tugas makalah mandiri
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mandiriTRANSCRIPT

TUGAS MAKALAH MANDIRI
ANTIANEMIA DEFISIENSI
Oleh :
Muthmainnah
I1A001030
Pembimbing
dr. H. M. Bakhriansyah, M. Kes. M. Med. Ed.
Laboratorium FarmasiFakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Banjarbaru
November, 2009

BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan dimana jumlah
sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah
merah berada dibawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang
memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke
seluruh bagian tubuh. Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah
atau jumlah hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat
mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh.
Gejala-gejala yang disebabkan oleh pasokan oksigen yang tidak mencukupi
kebutuhan ini, bervariasi. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang
tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan
stroke atau serangan jantung.
Penyebab umum dari anemia:
Perdarahan hebat
o Akut (mendadak)
o Kecelakaan
o Pembedahan
o Persalinan
o Pecah pembuluh darah
o Kronik (menahun)
o Perdarahan hidung
o Wasir (hemoroid)
o Ulkus peptikum
o Kanker atau polip di saluran
pencernaan
o Tumor ginjal atau kandung
kemih
o Perdarahan menstruasi yang
sangat banyak
Berkurangnya pembentukan sel darah merah
o Kekurangan zat besi
o Kekurangan vitamin B2
o Kekurangan vitamin B6
o Kekurangan vitamin B12
1

o Kekurangan asam folat o Penyakit kronik
Meningkatnya penghancuran sel darah merah
o Pembesaran limpa
o Kerusakan mekanik pada sel
darah merah
o Reaksi autoimun terhadap sel
darah merah:
Hemoglobinuria nokturnal
paroksismal
Sferositosis herediter
Elliptositosis herediter
o Kekurangan G6PD
o Penyakit sel sabit
o Penyakit hemoglobin C
o Penyakit hemoglobin S-C
o Penyakit hemoglobin E
o Thalasemia
2

Penyebab anemia berdasarkan logaritma anemia :
Berikut ini akan dibahas mengenai antianemia yang disebabkan karena
berkurangnya pembentukan sel darah merah oleh karena defisiensi/kekurangan seperti :
Vitamin B2, Vitamin B6, Vitamin B12, Zat Besi dan Asam Folat.
1.2. Tujuan
Anemia karena hal ini dapat dicegah atau segera diperbaiki apabila asupan akan
zat-zat tersebut tercukupi. Dengan adanya pembahasan singkat mengenai antianemia
defisiensi ini diharapkan kita dapat mengetahui terapi yang tepat untuk berbagai jenis
anemia defisiensi ini.

BAB IIISI
2.1. Vitamin B2 (Riboflavin)

Riboflavin ddalam bentuk flavin mononukleotida (FMN) dan flavin adenin
dinukleotida (FAD) berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme flavo protein dalam
pernafasan sel. Sehubungan dengan anemia, ternyata riboplavin dapat memperbaiki
anemia normokromik-normositik (pure red cell aplasia). Anemia defisiensi riboflavin
banyak terdapat pada malnutrisi protein-kalori, di mana ternyata faktor defisiensi Fe dan
penyakit infeksi diketahui ikut pula memegang peranan.
A. Farmakokinetik
Pemberian secara oral atau parenteral akan diabsorbsi dengan baik dan
didistribusi merata ke seluruh jaringan. Absorbsti terutama terjadi di usus halus bagian
proksimal, absorbsi juga terjadi di usus besar yang merupakan riboflavin hasil sintesis
bakteri. Absorbsi terus terjadi di sepanjang saluran intestinal dari usus halus hingga usus
besar melalui reaksi kinetik usus. Absorbsi akan meningkat dengan adanya makanan dan
menurun jika perut dalam kondisi kosong. Absorbsi juga menurun pada kondisi obstruksi
biliaris, hepatitis, dan cirosis.
Melalui proses filtrasi glomerulus asupan yang berlebihan akan dikeluarkan
melalui urin dalam bentuk utuh. Dalam feses ditemukan riboflavin hasil sentesis oleh
kuman di saluran cerna yang belum sempat diabsorbsi.
B. Farmakodinamik

Pemberian riboflavin baik secara oral maupun parenteral tidak memberikan efek
farmakodinamik yang jelas
C. Bentuk sediaan
Riboflavin tersedia dalam bentuk vitamin B Kompleks, bersama dengan vitamin
B lainnya.
D. Indikasi
Penggunaannya yang utama adalah untuk pencegahan dan terapi defisiensi
vitamin B2 yang sering menyertai pelagra atau defisiensi vitamin B kompleks lainnya,
sehingga riboflavin sering diberikan bersama vitamin lain. Defisiensi riboflavin ditandai
dengan gejala sakit tenggorok dan radang disudut mulut (stomatitis angularis), keilosis,
glositis, lidah berwarna merah dan licin. Timbul dermatitis seboroik di muka, anggota
gerak dan seluruh badan. Gejala pada mata adalah fotofobia, lakrimasi, gatal dan panas.
Pada pemeriksaan tampak vaskularisasi kornea dan katarak. Selain itu juga menyebabkan
anemia yang bersifat normokromik-normositik. Dalam penanganan anemia, riboflavin
berperan dalam mekanisme eritropoesis, memperbaiki penyerapan terhadap besi, dan
membantu mobilisasi besi dari jaringan.
Kebutuhan tiap individu akan riboflavin berbanding lurus dengan energi yang
digunakan, meminum 0,3 mcg/1000 kcal. Dosis untuk pengobatan adalah 5 – 10 mg/hari.
E. Efek samping
Samapi saat ini belum pernah ada dilaporkan tentang adanya efek samping dari
vitamin B1, sehingga untuk saat ini kita bisa menyimpukan bahwa vitamin B1 cukup
aman dikonsumsi oleh tubuh kita sebagai tambahan suplemen.
2.2. Vitamin B6 (Piridoksin)
Vitamin B6 berfungsi sebagai koenzim yang yang merangsang pertumbuhan
heme. Defisiensi Vitamin B6 akan menimbuklan anemia mikrositik hipokromik, pada
sebagian besar penderita akan terjadi anemia normoblastik sideroakresitik dengan jumlah
Fe non hemoglobin yang banyak dalam prekursor eritrosit, dan pada beberapa penderita

terdapat anemia megaloblastik. Pada keadaan ini absorbsi Fe meningkat, fe-binding
protein menjadi jenuh dan terjadi hiperferemia, sedangkan daya regenerasi darah
menurun. Akhirnya akan didapatkan gejala hemosiderosis.
A. Farmakokinetik
Piridoksin, piridoksal dan piridoksamin mudah diabsorbsi melalui saluran cerna.
Metabolit terpenting dari ketiga bentuk tersebut adalah 4-asam piridoksat (bentuk aktif).
Disribusi : vitamin B6 disimpan terutama dalam hepar dengan jumlah yang lebih sedikit
dalam otot dan otak.
Eliminasi : waktu paruh piridoksin 15-20 hari. Dalam hepar, piridoksin dioksidasi
menjadi 4-asam piridoksin yang diekskresi di urin. Ekskresi melalui urin juga terjadi
dalam bnetuk piridoksal.
B. Farmakodinamik
Sumber piridoksin adalah ragi, biji-bijian (gandum, jagung, dan lain-lain) dan
hati. Dalam alam vitamin ini terdapat dalam tiga bentuk yaitu piridoksin yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, serta piridoksal dan piridoksamin yang terutama berasal dari hewan.
Ketiga bentuk piridoksin tersebut dalam tubuh diubah menjadi piridoksal fosfat.
Pemberian piridoksin secara oral dan parenteral tidak menunjukan efek
farmakodinamik yang nyata. Piridoksil fosfat dalam tubuh merupakan koenzim yang
berperan penting dalam metabolisme berbagai asam amino, di antaranya dekarboksilasi,
transaminasi, dan resemisasi triptofan, asam-asam amino yang bersulfur dan asam amino
hidroksida.
C. Bentuk Sediaan
Piridoksin tersedia sebagai tablet piridoksin HCl 10 – 100 mg dan sebagai larutan
steril 100mg/ml piridoksin HCl untuk injeksi, serta tersedia juga sedian bersama vitamin
B lainnya. Tablet 10 mg, 25 mg, Kaplet 10 mg Ampul 50 mg/ml x 1ml, 100 mg/ml x
1ml.
D. Indikasi

Selain untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B6, vitamin ini juga
diberikan bersama vitamin B lainnya sebagai multivitamin untuk pencegahan dan
pengobatan defisiensi vitamin B kompleks. Indikasi lain untuk mencegah atau mengobati
neuritis perifer oleh obat misalnya isoniazid, sikloserin, hidralizin, penisilamin yang
bekerja sebagai antagonis piridoksin dan/atau meningkatkan ekskresinya melalui urin.
Piridoksin dapat diberikan sejumlah 300-500% AKG selama terapi dengan
antagonis piridoksin. Pemberiannya pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral
yang mengandung estrogen juga dibenarkan, karena kemungkinan terjadinya defisiensi
piridoksin pada wanita-wanita tersebut. Piridoksin juga dilaporkan dapat memperbaiki
gejala keilosis, dermatitis seboroik, glositis dan stomatitis yang tidak memberikan
respons terhadap tiamin, riboflavin dan niasin serta dapat mengurangi gejala-gejala yang
menyertai tegangan prahaid (premenstrual tension). Piridoksin diindikasikan untuk
anemia yang responsif terhadap piridoksin yang biasanya sideroblastik dan mungkin
disebabkan kelainan genetik. Sebaliknya pemakain piridoksin hendaknya dihindarkan
pada penderita yang mendapat levodopa.
E. Efek Samping
Sistem saraf pusat : Piridoksin dapat menyebabkan neuropati sensorik atau
sindrom neuropati dalam dosis antara 50 mg – 2 g perhari untuk jangka panjang. Gejala
awal dapat berupa sikap yang tidak stabil dan rasa kebas di kaki, diikuti pada tangan dan
sekitar mulut. Gejala berangsur-angsur hilang setelah beberapa bulan bila asupan
piridoksin dihentikan. Sakit kepala, kejang (mengikuti pemberian dosis IV yang sangat
besar.
Endokrin & metabolik : penurunan sekresi serum asam folat; Gastrointestinal :
Mual; Hepatik : Peningkatan AST; Neuromuskular & skeletal : paresthesia; Lain-lain :
reaksi alergi.
2.3. Vitamin B12 (Sianokobalamin) (anti anemia megaloblastik)
Vitamin B12 bersama dengan asam folat dibutuhkan untuk sintesis DNA yang
normal, sehingga defisiensi salah satu vitamin ini menimbulkan gangguan produksi dan

maturasi eritrosit yang memberikan gambaran sebagai anemia megaloblastik/anemia
perniosa. Defisiensi vitamin B12 juga menyebabkan kelainan neurologik.
A. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Sianokobalamin diabsorbsi baik dan cepat setelah pemberian IM dan SK. Kadar
dalam plasma mencapai puncak dalam waktu 1 jam setelah suntikan IM.
Hidroksikobalamin dan koenzim B12 lebih lambat diabsorbsi, agaknya karena ikatan-
ikatan yang lebih kuat dengan protein. Absorbsi peroral berlangsung lambat di ileum,
kadar puncak dicapai 8-12 jam setelah pemberian 3 mcg. Absorbsi berlangsung dengan
dua mekamnisme, yaitu dengan perantara faktor Intrinsik Castle (FIC) dan absorbsi
secara langsung.
Absorbsi dengan perantara FIC sangat penting, dan sebagian besar anemia
megaloblastik disebabkan oleh gangguan mekanisme ini. Setelah dibebaskan dari ikatan
protein, vitamin B12 dari makanan akan membentuk kompleks B12-FIC. hanya mampu
mengikat sejumlah 1,5 – 3 mcg vitamin B12. kompleks ini masuk ke ilium dan disini
melekat pada reseptor khusus di sel mukosa ileum untuk diabsorbsi. Untuk perlekatan ini
diperlukan ion kalsium (ion magnesium dapat juga membantu) dan suasana pH sekitar 6.
Absorbsi berlangsung dengan mekanisme pinositosis dan oleh sel mukosa ileum. FIC
yang dihasilkan oleh sel parietal lambung, merupakan suatu glikoprotein dengan berat
molekul 60.000. Bila sekresi FIC bertambah, misalnya akibat obat-obat kolinergik,
histamin, dan mungkin juga beberapa hormon seperti ACTH, kortikosteroid, dan hormon
tiroid,maka absorbsi vitamin B12 juga akan meningkat. Karena untuk diabsorbsi vitamin
B12 harus dibebaskan lebih dulu dari protein, maka jumlahnya yang diabsorbsi juga
tergantung dari ikatannya dengan makanan/jenis makanan.
Faktor intrinsik konsentrat (eksogen) yang diberikan bersama vitamin B12 hanya
berguna untuk penderita yang kurang mensekresi FIC dan penderita menolak untuk
disuntik. Kebanyakan penderita akan menjadi refrakter setelah pengobatan lebih dari satu
tahun, diduga karena terbentuknya antibodi terhadap faktor intrinsik konsentrat di usus.
Yang juga dapat mengurangi absorbsi vitamin B12 ialah pengkelat kalsium dan sorbitol
dosis besar (mungkin menyebabkan diare).

Absorbsi secara langsung baru terjadi pada kadar vitamin B12 yang tinggi dan
berlangsung secara difusi, jadi merupakan suatu mass action effect.
2. Transportasi
Dalam darah vitamin B12 hampir semua terikat dengan protein plasma. Sebagian
besar terikat pada beta-globulin (transkobalamin II), sisanya terikat pada alfa-glikoprotein
(transkobalamin I) dan inter alfa glikoprotein (transkobalamin III). Vitamin B12 yang
terikat pada transkobalamin II akan diangkut keberbagai jaringan, teruitama hati yang
merupakan gudang utama penyimpanan B12 (50-90%). Kadar normal vitamin B12 dalam
plasma 200 – 900 pg/ml dengan simpanan sebanyak 1 – 10 mg dalam hepar.
3. Ekskresi
Dalam hepar kedua kobalamin akan diubah menjadi koenzim B12. dalam jaringan
dan darah kedua kobalamin ini juga terikat oleh protein dimana ikatan dengan
hidroksikobalamin lebih kuat sehingga sukar diekskresikan lewat urin. Pengurangan
kobalamin dalam tubuh disebabkan oleh ekskresi melalui saluran empedu, sebanyak 3 – 7
mcg/hari harus direabsorbsi dengan perantara FIC.
Ekskresi melalui urin hanya terjadi pada bentuk yang tidak terikat protein, 80 –
95% vitamin B12 akan diretensi dalam tubuh bila diberikan dalam dosis sampai 50 mcg,
dengan dosis yang lebih besar, jumlah yang diekskresi akan lebih banyak. Jadi bila
kapasitas ikatan protein dari hati, jaringan dan darah telah jenuh, vitamin B12 bebas akan
dikeluarkan bersama urin sehingga pemberian vitamin B12 dalam jumlah besar tidaklah
berguna.
B. Farmakodinamik
Sianokobalamin (vitamin B12) merupakan satu-satunya kelompok senyawa alam
yang megandung unsur Co dengan struktur yang mirip derivat porfrin alam lain.
Molekulnya terdiri atas bagian-bagian cincin porfirin dengan satu atom Co, basa
dimetilbenzimidazol, ribosa dan asam fosfat. Pada kobalamin, penambahan gugus CN
menghasilkan sianokobalamin, sedangkan penambahan gugus OH menghasilkan zat yang
dinamakan hidrksokobalamin.

Sianokobalamin yang aktif dalam tubuh manusia adalah deoksiadenosil
kobalamin dan metilkobalamin. Dengan demikian sianokobalamin dan
hidroksokobalamin yang terdapat dalam obat serta kobalamin lain dalam makanan harus
diubah menjadi bentuk aktif ini.
C. Bentuk Sediaan dan Dosis
Vitamin B12 tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian oral dan larutan untuk
suntikan, juga tersedia sediaan yang yang terdiri dari campuran Fe, Vitamin B12, asam
folat, kobal, Cu, ekstrak hati dan sebagainya. Dikenal beberapa jenis suntikan vitamin
B12, yaitu :
1. larutan sianokobalamin yang berkekuatan 10 – 1000 mcg/ml
2. larutan ekstrak hati dalam air
3. suntikan depot vitamin B12
4. suntikan hidroksikobalamin 100 mcg
Sebelum pengobatan dapat dilakukan percobaan terapi untuk memastikan
diagnosis anemia perniosa, dengan dosis 1 – 10 mcg selama 10 hari. Pada terapi awal
diberikan dosis 100 mcg selama 5-10 hari, dilanjutkan dengan memberikan dosis
penunjang 100 – 200 mcg sebulan sekali sampai diperoleh remisi yang yang lengkap
yaitu jumlah eritrosit dalam darah + 4,5 juta/mm3 dan morfologik hematologi dalam batas
normal. Kemudian 100 mcg sebulan sekali cukup untuk mempertahankan remisi.
Pemberian dosis penunjang setiap bulan penting sebab retensi vitamin B12 terbatas,
walaupun diberikan dosis sampai 1000 mcg.
D. Manfaat
Sediaan oral bermanfaat sebagai suplemen diit, namun kecil manfaatnya untuk
penderita yang kekurangan faktor intrinsik atau penderita dengan gangguan ileum, karena
absorbsi secara difusi tidak dapat diandalkan sebagai terapi efektif.
Defiasiensi Vitamin B12 menimbulkan anemia megaloblastik yang disertai
dengan gangguan neurologik, bila tidak cepat diobati kelainan neurologik dapat membuat
penderita cacat seumur hidup. Penggunaan asam folat dapat memperbaiki anemia tapi
kelainan neurologiknya tidak dipengaruhi.

Vitamin B12 bersama asam folat sangat penting untuk metabolisme intrasel. Pada
rangkaian reaksi ini vitamin B12 terdapat sebagai koenzim B12 yang aktif yaitu 5-
deoksiadenosikobalamin dan metilkobalamin. Yang pertama merupakan unsur yang
penting dalam reaksi enzimatik di mitokondria, sedangkan metilkobalamin diperlukan
sebagai donor metil pada pembentukan metionin dan derivatnya dari homosistein. Jumlah
vitamin B12 yang tidak adekuat ternyata juga mempengaruhi metabolisme intrasel dari
asam folat melalui interaksi yang kompleks. Interaksi ini merupakan rangkaian reaksi inti
dalam sintesis purin dan pirimidin untuk pembnetukan DNA, inilah yang mendasari
terjadinya anemia megaloblastik pada defisiensi vitamin B12.
Kelainan neurologik pada defisiensi vitamin B12 diduga karena kerusakan pada
sarung mielin, namun mekanisme yang pasti belum dapat dijelaskan. Agaknya
pembentukan bagian lemak dari sarung mielin memerlukan isomerasi metilmalonat
menjadi suksinat yang menggunakan deoksiadenosiklokobalamin sebagai kofaktor.
E. Efek Samping
Kelebihan vitamin B12 tidak memberikan efek yang bermakna karena vitamin
B12 bebas yang tidak terikat dengan protein dari hati, jaringan, dan darah karena telah
jenuh, akan dikeluarkan bersama urin. Efek samping terjadi pada penggunaan jarum
suntik karena menyebabkan iritasi dan reaksi alergi ditempat suntikan. Reaksi alergi biasa
terjadi karena sediaan sudah tidak murni lagi.
2.4. Asam Folat
Defisiensi asam folat sering merupakan komplikasi dari :
1. gangguan di usus kecil
2. alkoholisme yang menyebabkan asupan makanan buruk
3. afek toksik alkohol pada sel hepar
4. anemia hemolitik yang menyebabkan laju malih eritrosit tinggi.
Obat-obat yang dapat menghambat enzim dihidrofolat reduktase dan yang
mengadakan interaksi pada absorbsi dan penyimpanan folat dapat menurunkan kadar
folat dalam plasma dan menimbulkan anemia megaloblastik.

Dari sudut biologik, defisiensi folat mengakibatkan gangguan pertumbuhan akibat
gangguan pembentukan nukleotida purin dan pirimidin, gangguan ini akan
menuyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel. Semua jaringan yang
cepat berproliferasi akan dipengaruhi, misalnya pada darah, eritropoiesis normoblastik
akan menjadi megaloblastik.
A. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Pada pemberian oral, absorbsi asam folat baik sekali, terutama di 1/3 bagian
proksimal usus halus. Dengan dosis oral yang kecil, absorbsi memerlukan energi,
sedangkan pada kadar tinggi absorbsi dapat berlangsung secara difusi. Walaupun terdapat
gangguan pada usus halus, absorbsi folat biasanya masih mencukupi kebutuhan terutama
sebagai PmGA.
2. Transfortasi
Dua pertiga dari asam folat yang terdapayy dalam plasma darah terikat pada
protein yang tidak difiltrasi ginjal. Distribusinya merata ke semua sel jaringan dan terjadi
penumpukan dalam cairan serebrospinal.
3. Ekskresi
Ekskresi berlangsung melalui ginjal, sebagian besar dalam bentuk metabolit.
Belum diketahui pasti apakah degradasi berlangsung di ginjal atau di tempat lain. Pada
orang dengan diit normal, jumlah yang di ekskresi hanya sedikit sekali, dan akan
meningkat bila diberikan folat dalam jumlah besar.
B. Farmakodinamik
Asam folat (asam pteroilmonoglutamat, pMGA) terdiri atas bagian-bagian
pteridin, asam para aminobenzoat (PABA) dan asam glutamat. Yang memiliki arti
biologik adalah gugus PABA dan gugus asam glutamat. PmGA bersama-sama dengan
konjugat yang mengandung lebih dari satu asam glutamat, membentuk suatu kelompok
zat yang dikenal sebagai folat.

PmGA merupakan prekursor inaktif dari beberapa koenzim yang berfngsi pada
transfer unit karbon tunggal (single carbon unit). Mula-mula folat reduktase mereduktase
PmGA menjadi THFA (asam tetrahidrofolat). THFA yang terbentuk bertindak sebagai
akseptor berbagai unit karbon tunggal dan selanjutnya memindahkan unit ini kepada zat-
zat yang memerlukan. Berbagai reaksi penting yang menggunakan unit karbon tunggal
adalah :
1. sintesis purin melalui pembentukan asam inosinat
2. sintesis nukleotida pirimidin melalui metilasi asam deoksiluridilat menjadi asdam
timidilat
3. interkonversi beberapa asam amino misa;l antara serin dengan glisin, histidin dengan
asam glutamat, homosistein dengan metionin (yang terakhir ini juga memerlukan
vitamin B12).
C. Bentuk Sediaan dan Dosis
Folat tersedia sebagai asam folat dalam bentuk tablet 0,1; 0,4; 4; 5; 10 atau 20 mg
dan dalam larutan injeksi asam folat 5 mg/ml. Selain itu asam folat terdapat dalam
berbagai sediaan multivitamin atau digabung dengan antianemia lainnya. Asam folat
injeksi biasanya hanya digunakan sebagai antidotum pada intoksikasi antifolat
(antikanker).
Kebutuhan tubuh akan folat rata-rata 50 mcg sehari dalam bentuk PmGA. Dosis
yang digunakan tergantung dari beratnya anemia dan komplikasi yang ada. Umumnya
folat diberikan peroral, tetapi bila keadaan tidak memungkinkan, folat diberikan secara
IM atau SK. Untuk tujuan diagnistik digunakan dosis 0,1 mg per oral selama 10 hari yang
hanya memberikan respon hematologik pada penderita defisiensi folat. Terapi awal pada
defisiensi folat tanpa komplikasi dimulai dengan 0,5 – 1 mg sehari secara oral selama 10
hari. Dengan adanya komplikasi dimana kebutuhan folat meningkat disertaoi pula dengan
supresi hematopoesis, dosis perlu lebih besar. Setelah perbaikan cukup memuaskan,
terapi dilanjutkan dengan dosis penunjang yang biasanya berkisar antara 0,1 – 0,5 mg
sehari.
D. Indikasi/manfaat

Penggunaan folat yang rasional adalah pada pencegahan dan pengobatan
defisiensi folat.
E. Efek Samping
Penggunaan membabi buta dapat merugikan penderita, sebab folat dapat
memperbaiki kelainan darah pada anemia perniosa tanpa memperbaiki kelainan
neurologik sehingga dapat berakibat penderita cacat seumur hidup.
Efek toksik pada penggunaan folat untuk manusia hingga sekarang belum pernah
dilaporkan terjadi. Dosis 15 mg pada manusia masih belum menimbulkan efek toksik.
Ada laporan yang menyatakan bahwa asam folat dapat menurunkan afek antiepilepsi
fenobarbital, fenitoin, dan primidon sehingga meningkatkan frekuensi serangan, tetapi hal
ini disangkal oleh peneliti lain.
2.5. Besi (Fe)
Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin (Hb), sehingga defisiensi Fe akan
menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dengan kandungan Hb yang
rendah dan menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
A. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Absorbsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum, makin ke
distal absorbsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diabsorbsi dalam bentuk fero.
Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara transport aktif. Ion fero yang sudah
diabsorbsi akan diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan
masuk ke dalam plasma dengan perantara trasferin, atau diubah menjadi feritin dan
disimpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan
kebutuhan akan zat besi rendah, maka akan lebih banyak Fe diubah menjadi feritin. Bila
cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru diserap akan segera
diangkut dari sel mukosa ke sumsum tulang untuk eritropoesis. Eritropoesis dapat
meningkat sampai lebih dari 5 kali pada anemia berat atau hipoksia.
Jumlah Fe yang diabsorbsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah absolutnya
serta adanya zat-zat lain. Makanan yang mengandung + 6 mg Fe/1000 kilokalori akan

diabsorbsi 5 – 10% pada orang normal. Absorbsi dapat ditingkatkan oleh kobal, inosin,
etionin, vitamin C, HCl, suksinat dan senyawa asam lain. Asam akan mereduksi ion feri
menjadi fero dan menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan yang tidak
larut. Sebaliknya absorbsi Fe akan menurun bila terdapat fosfat atau antasida misalnya
kalsium karbonat, aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Besi yang terdapat
pada makanan hewani umumnya diabsorbsi rata-rata dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan makanan nabati.
Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorbsi Fe. Absorbsi ini
meningkat pada keadaan defisiensi Fe, berkurangnya depot Fe dan meningkatnya
eritropoesis. Selain itu, bila Fe diberikan sebagai obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah
serta jenis makanan dapat mempengaruhi absorbsinya.
2. Transport
Setelah diabsorbsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin (siderofilin), suatu
beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian diangkut keberbagai jaringan, terutama ke
sumsum tulang dan depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe dalam plasma
sebanding dengan jumlah total trasferin plasma, tetapi jumlah Fe dalam plasma tidak
selalu menggambarkan kapasitas pengikatan total Fe ini. Selain transferin, sel-sel
retikulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untu keperluan eritropoesis. Sel ini juga
berfungsi sebagai gudang Fe.
3. Penyimpanan dan Ekskresi
Fe yang tidak digunakan dalam eritropoesis akan disimpan sebagai cadangan
dalam bentuk terikat sebagai feritin. Feritin terutama terdapat dalam sel-sel
retikoloendotelial (hati, limpa dan ssumsum tulang) yang nantinya akan digunakan oleh
sumsum tulang dalam proses eritropoesis, 10% diantaranya terdapat dalam labile pool
yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini, sedangkan sisanya baru digunakan bila
labile pool telah kosong. Besi yang terdapat dalam parenkim jaringan tidak dapat
digunakan untuk eritropoesis.
Bila Fe diberikan IV, akan cepat sekali diikat oleh apoferitin (protein yang
membentuk feritin) dan disimpan terutama dihati, sedangkan setelah pemberian peroral
terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari pemecahan

eritrosit akan masuk ke dalam hati dan limpa. Penimbunan Fe dalam jumlah abnormal
tinggi dapat terjadi akibat transfusi darah yang berulang-ulang atau akibat penggunaan
prefarat Fe dalam jumlah berlebihan yang diikuti absorbsi yang berlebihan pula.
Jumlag Fe yang diekskresi setiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5 – 1 mg
sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna yang
terkelupas, selain itu juga melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang
dipotong. Pada proteinuria jumlah yang dikeluarkan dengan urin dapat meningkat
bersama dengan sel yang mengelupas. Pada wanita usia subur dengan siklus haid 28 hari,
jumlah Fe yang diekskresi sehubungan dengan haid diperkirakan sebanyak 0,5 – 1 mg
sehari.
B. Farmakodinamik
Tubuh manusia sehat mengandung + 3,5 g Fe yang hampir seluruhnya dalam
bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam bentuk organik, yaitu
sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan ion.
Besi mudah mengalami oksidasi dan reduksi. Kira-kira 70% dari Fe yang terdapat dalam
tubuh merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30% merupakan Fe yang nonesensial.
Fe esensial ini terdapat pada :
1. hemoglobin + 66%
2. mioglobin 3%
3. enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer elektron misalnya sitokromoksidase,
suksinil dehidrogenase dan xantin oksidase sebanyak 0,5%
4. transferin 0,1%
Besi nonesensial terdapat sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin
sebanyak 25%, dan pada parenkim jaringan kira-kira 5%. Cadangan Fe pada wanita
hanya 200-400 mg, sedang pada pria kira-kira 1 gr.
C. Bentuk Sediaan
Sedian Fe untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk berbagai garam fero dari
sulfat, fumarat, glukonat, suksinat, glutamat, dan laktat. Tidak ada perbedaan absorbsi di
antara garam-garam Fe ini. Jika ada, mungkin disebabkan oleh perbedaan kelarutannya

dalam asam lambung. Dalam bentuk garam sitrat, tartrat, karbonat, pirofosfat ternyata Fe
sukar diabsorbsi, demikian pula sebagai garam ferri (Fe+++).
Sediaan yang banyak digunakan dan murah ialah hidrat sulfas ferosus
(FeSO4.7H2O) 300 mg yang mengandung 20% Fe. Untuk anemia berat biasanya
diberikan 3 x 300 mg sulfas ferosus sehari selama 6 bulan. Dalam hal ini mula-mula
absorbsi berjumlah + 45 mg sehari, dan setelah depot Fe dipenuhi menurun menjadi 5 –
10 mg sehari. Selama kausa anemia belum disingkirkan terapi harus diteruskan. Pada
mereka yang intoleran terhadap dosis setinggi ini, dapat dikurangi sampai jumlah yang
diterima atau bila perlu sedian diganti dengan sediaan parenteral.
Berbeda dengan fero sulfat, fero fumarat tidak mudah mengalami oksidasi pada
udara lembab. Dosis efektifnya 600-800 mg/hari dalam dosis terbagi. Fero glukonat, fero
laktat, fero karbonat dosis efektifnya kira-kira samadengan fero sulfat. Tersedia pula
sediaan Fe lepas lambat dan salut enterik, tetapi biovailabilitasnya kurang baik.
Penggunaan sediaan untuk suntikan IM dan IV hanya dibenarkan bila pemberian
oral tidak memungkinkan misalnya penderita bersifat intoleran terhadap sediaan oral,
atau pemberian oral tidak menimbulkan respons terapeutik.
Iron dextran (imferon) mangandung 50 mg Fe setiap ml (larutan 5%) untuk
penggunaan IM atau IV. Respons terapeutik terhadap suntikan IM ini tidak lebih cepat
daripada pemberian oral. Dosis total yang diperlukan dihitung berdasarkan beratnya
anemia yaitu 250 mg Fe untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada hari pertama disuntikan
50 mg, dilanjutkan de4ngan 100 – 250 mg setiap hari atau beberapa hari sekali.
Penyuntikan dilakukan pada kuadran atas luar m. Gluteus dan secara dalam untuk
menghindari pewarnaan kulit.
Untuk memperkecil reaksi toksik pada pemberian IV, dosis permulaan tidak boleh
melebihi 25 mg, dan diikuti dengan peningkatan bertahap untuk 2-3 hari sampai tercapai
dosis 100 mg/hari. Obat harus diberikan perlahan lahan yaitu dengan menyuntikan 20-50
mg/menit.
D. Indikasi
Sediaan Fe hanya digunakan untuk pengobatan anemia defisiensi Fe. Penggunaan
di luar indikasi ini cenderung menyebabkan penyakit penimbunan besi dan keracunan
besi. Anemia defisiensi Fe paling sering disebabkan oleh kehilangan darah. Selain itu,

dapat pula terjadi misalnya pada wanita hamil (terutama multipara) dan pada masa
pertumbuhan, karena kebutuhan yang meningkat.
E. Efek Samping
Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi terhadap sediaan oral,
dan ini sangat tergantung dari jumlah Fe yang dapat larut dan yang diabsorbsi pada tiap
pemberian. Gejala yang timbul dapat berupa mual dan nyeri lambung (+ 7-20%),
konstipasi (+ 10%), diare (+ 5%) dan kolik. Gangguan ini biasanya ringan dan dapat
dikurangi mengurangi dosis atau dengan pemberian sesuadah makan, walaupun dengan
cara ini absorbsi dapat berkurang. Perlu diterangkan kemungkinan timbulnya feses yang
berwarna hitam kepada penderita.
Pemberian Fe secara IM dapat menyebabkan reaksi lokal pada tempat suntikan
yaitu berupa rasa sakit, warna coklat pada tempat suntikan, peradangan lokal dengan
pembesaran kelenjar inguinal. Peradangan lokal lebih sering terjadi pada pemakaian IM
dibandingkan IV. Selain itu dapat pula terjadi reaksi sistemik yaitu pada 0,5 – 0,8%
kasus. Reaksi yang dapat terjadi dalam 10 menit setelah suntikan adalah sakit kepala,
nyeri otot dan sendi, hemolisis, takikardi, flushing, berkeringat, mual, muntah,
bronkospasme, hipotensi, pusing dan kolaps sirkulasi. Sedangkan reaksi yang lebih sering
timbul dalam ½ - 24 jam setelah suntikan misalnya sinkop, demam, menggigil, rash,
urtikaria, nyeri dada, perasaan sakit pada seluruh badan danensefalopatia. Reaksi sistemik
lebih sering terjadi pada pemberian IV, demikain pula syok atau henti jantung.
Intoksikasi akut sangat jarang terjadi pada orang dewasa, kebanyakan terjadi pada
anak akibat menelan terlalu banyak tablet FeSO4 yang mirip gula-gula. Intoksikasi akut
ini dapat terjadi setelah menelan Fe sebanyak 1 gr. Kelainan utama terdapat pada saluran
cerna, mulai dari iritasi, korosi, sampai terjadi nekrosis. Gejala yang timbul sering kali
berupa mual, muntah, diare, hematemesis serta feses berwarna hitam karena perdarahan
pada saluran cerna, syok dan akhirnya kolaps kardiovaskuler dengan bahaya kematian.
Efek korosif dapat menyebabkan stenosis pilorus dan terbentuknya jaringan parut
berlebihan di kemudian hari.
Gejala keracunan tersebut diatas dapat timbul dalam waktu 30 menit atau setelah
beberapa jam meminum obat. Terapi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

pertama-tama diusahakan agar penderita muntah, kemudian diberikan susu atau telur
yang dapat mengikat Fe sebagai kompleks protein Fe. Bila obat diminum kurang dari 1
jam sebelumnya, dapat dilakukan bilasan lambung dengan menggunakan larutan natrium
bikarbonat 1%. Akan tetapi, bila masuknya obat telah lebih dari 1 jam, maka telah terjadi
nekrosis sehingga bilasan lambung dapat menyebabkan perforasi. Selanjutnya keadaan
syok dehidrasi dan asidosis harus diatasi. Selain itu, deferoksamin yang merupakan zat
pengkelat (chelating agent) spesifik untuk besi, efektif untuk mengatasi efek toksik
sistemik maupun lokal. Intoksikasi menahun dapat mengakibatkan hemosiderosis.
BAB IIIPENUTUP
Kesimpulan

Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah atau jumlah
hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada dibawah normal.
Banyak hal yang dapat menyebabkan anemia, tapi yang berkenaan secara langsung
dengan anemia difisiensi adalah vitamin B6, vitamin B12, asam folat, dan zat besi.
Semantara vitamin B2 berperan secara tidak langsung dalam hal pada proses terjadinya
anemia dimana berfungsi untuk membantu dari kerja vitamin yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Riboflavin. Alternative Medicine Review Volume 13, Number 4 2008 p334-340. Available from URL: http://Google.com

Anonymous. Eksklopedia wikipedia indonesi : Anemia. 2009. Available from URL : http://google.com
Beata Ineck, Barbara J. Mason, E. Gregory Thompson. Pharmacotherapy Pathophysiologic Approach Approach, Sixth Edition : Anemia. 2005. Available from URL : http://www.pharmacotherapyonline.com.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Informasi Obat : Piridoksin HCl (Vitamin B6). 2006. Available from URL: http://dinkes_jabarprov.go.id
Ganiswara, Sulistia G et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. FKUI, Jakarta; 1995
