tugas makalah cpo
DESCRIPTION
Makalah berisi studi kasus Pemanfaatan limbah padat pengolahan minyak kelapa sawitTRANSCRIPT
MAKALAH
PEMANFAATAN LIMBAH PADAT PENGOLAHAN MINYAK SAWIT SEBAGAI SUMBER NUTRISI TERNAK RUMINANSIA
Studi Kasus : Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah
DISUSUN OLEH :
Nama : Rani SuhartiniNIM : 1009035066Prodi : Teknik Lingkungan
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGANFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah
saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Terima kasih kepada Dosen Mata
Kuliah Pengolahan Limbah Agroindustri, teman-teman saya yang telah membantu dalam proses
pengerjaan makalah Pengolahan Air Buangan “Pemanfaatan Limbah Padat Pengolahan Minyak
Sawit Sebagai Sumber Nutrisi Ternak Ruminansia Studi Kasus : Kota Waringin Timur,
Kalimantan Tengah ” ini berupa tenaga, pikiran serta support yang telah diberikan hingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, deskripsi teori
permasalahan, dan hasil pembahasan yang diperoleh dari pemaparan berbagai sumber maupun
penelitian, serta kesimpulan dan saran dari jawaban permasalahn yang akan dibahas.
Makalah ini dapat dikatakan masih jauh dari kata sempurna. Begitu banyak terdapat kekurangan,
baik dari segi penyusunan maupun isi. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang konstruktif
dari berbagai pihak sangat saya harapkan guna kesempurnaan makalah berikutnya. Akhirnya
kepada segenap pihak yang tidak dapat disebutkan semua dan turut berpartisipasi dalam
penyusunan makalah ini, diucapkan banyak terima kasih.
Samarinda, November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agroindustri saat ini merupakaan subsektor yang harus diandalkan oleh pemerintah dalam
memacu laji peningkatan eksport untuk mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan melanda
Indonesia. Memang terbukti bahwa sesuai dengan kondisi alamnya, yaitu iklim tropis dan potensi
tanah yang subur, maka Indonesia haruslah menjadikan sector pertanian sebagai tulang punggung
dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Kelapa sawit telah menjadi salah satu unggulan
untuk dikembangkan sesuai potensi yang sangat besar dan tersebar di seluruh kawasan Indonesia.
Provinsi-provinsi yang telah mengembangkan kelapa sawit diantaranya adalah Sumatra Utara,
Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan sebagian provinsi di Sulawesi. Banyak provinsi lain
yang akan segera mulai mengembangkan perkebunan dan industri kelapa sawit.
Ketergantungan akan komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal,
menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Disisi lain, dampak negatif sebagai
akibat pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang terus meningkat sangat
dirasakan usaha ternak ruminansia. Sumber dan ketersediaan hijauan yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak menjadi terbatas.
Meskipun limbah pertanian selalu dikaitkan dengan harga yang murah, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya. Faktor dimaksud adalah kontinuitas ketersediaan,
kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya
bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan. Hasil-hasil penelitian tentang
pemanfaatan beberapa limbah pertanian seperti dedak padi, limbah singkong, bungkil kelapa,
limbah kelapa sawit, ampas tahu, limbah udang, kakao pod, batang pisang dan daun rami dalam
pakan ternak ruminansia (sapi dan domba) dan non-ruminansia (ayam ras, ayam buras dan itik)
merrupakan bagian dari pakan inkonvensional.
Pengembangan peternakan khususnya ruminansia pada kawasan perkebunan kelapa sawit dapat
memanfaatkan sumber pakan berupa limbah kelapa sawit antaral ain, bungkil inti sawit, serat
sabut buah sawit, dan lumpur sawit. Pemakaian limbah perkebunan memerlukan sentuhan
teknologi agar pemanfaatannya optimum bagiternak. Usaha-usaha pemanfaatan limbah
perkebunan kelapa sawit yang berkualitas rendah dapat dilakukan dengan sentuhan teknologi
antara lain, peningkatkan kecernaan struktural karbohidrat dengan perlakuan kimiavvi
(amoniasi), fisik, dan biologis (fermentasi). Limbah solid asal kelapa sawit merupakan perbaikan
nutrisi protein pakan ternak ruminansia
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah limbah padat kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia?
b. Apakah pemanfaatan limbah padat kelapa sawit menaikan bobot ternak ruminansia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mengenal Limbah Solid
Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil
inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid (Aritonang 1986; Pasaribu et al.
1998; Utomo et al. 1999). Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding
limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg (Ketaren
1986) sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun, bungkil inti sawit di
Kalimantan Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relatif mahal sehingga bukan
merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila diberikan pada ternak. Serat
perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang biasa-nya dibakar
dijadikan abu untuk di-manfaatkan sebagai pupuk sumber kalium.
Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Di Sumatera,
limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan dengan
cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua macam limbah yang dihasilkan pada
produksi CPO, yaitu limbah padat dan limbah cair. Persentase limbah padat dan cair yang
dihasilkan berdasarkan jumlah tandan buah segar (TBS) yang diolah disajikan pada Tabel 1.
Saat sekarang ini produksi limbah solid di dua pabrik pengolahan CPO di Kabupaten
Kotawaringin Barat sekitar 36−42 t/hari (rata-rata 20 t/pabrik/hari). Jumlah limbah solid yang
dihasilkan bergantung pada TBS yang diolah. Produksi TBS akan makin bertambah pada masa
mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi.
Diharapkan dalam setiap 10.000 ha berdiri satu pabrik pengolahan CPO.
Tabel 1 Komposisi limbah yang dihasilkan pada pengolahan minyak sawit (CPO) di salah satu pabrik di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Komposisi limbah yang dihasilkan pada pengolahan minyak sawit (CPO) di salah satu pabrik di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Sumber: Utomo (2001).
2.2 Potensi Limbah Solid Sebagai Pakan Ternak
Perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah ditargetkan mencapai area 1.557.752 ha.
Apabila tanaman kelapa sawit sudah berproduksi semua, dan setiap 10.000 ha terdapat satu pab-
rik, maka dalam kebun seluas itu akan terdapat 155 pabrik pengolahan kelapa sawit. Apabila tiap
pabrik rata-rata meng-hasilkan solid 20 t/hari maka setiap hari akan diperoleh 3.100 ton solid.
Apabila seekor sapi dapat mengkonsumsi solid + 20 kg/hari (jumlah yang biasa diberi-kan
peternak pada sapi dengan rata-rata bobot badan 250 kg), maka produksi limbah tersebut akan
dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi + 155.000
Diskripsi
Kisaran produksi
(%) (t/hari)Tandan buah segar 100 600 − 700Crude palm oil 23 138 − 161Limbah cair 8,50 51 − 59,50Limbah padat
− 112Tandan buah kosong 16 96Serat perasan buah 26 156 − 182Bungkil inti sawit 4 24 − 28Cangkang 6 36 − 42Solid 3 18 − 21Limbah lain 13,50 81 − 94,40
ekor sapi/ hari. Dengan demikian, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat men dukung
pengembangan peternakan di masa mendatang. Hingga kini solid dapat diambil secara cuma-
cuma di pabrik pengolahan kelapa sawit. Alangkah sayangnya apabila potensi yang sangat besar
ini terabaikan begitu saja.
Sejauh ini solid masih belum di-manfaatkan oleh pihak pabrik, tetapi hanya dibuang begitu saja
sehingga dapat mencemari lingkungan. Pihak pabrik memerlukan dana yang relatif besar untuk
membuang limbah tersebut, yaitu dengan membuatkan lubang besar. Tentunya akan sangat
menguntungkan bagi pihak pabrik apabila solid dapat dimanfaatkan secara luas, antara lain
sebagai pakan ternak.
Kelemahan solid untuk pakan adalah tidak tahan lama disimpan. Hal ini karena solid masih
mengandung 1,50% CPO sehingga akan mudah menjadi tengik bila dibiarkan di tempat terbuka
serta mudah ditumbuhi kapang yang berwarna keputihan. Namun dari hasil pemeriksaan di
laboratorium, kapang tersebut tidak bersifat patogen.
Solid dapat tahan lama apabila disimpan dalam tempat tertutup, mi-salnya dalam kantong plastik
hitam dengan meminimumkan jumlah oksigen yang masuk. Teknologi sederhana ini ter-inspirasi
oleh teknologi “silo”. Kantong plastik hitam akan menggantikan fungsi bangunan silo. Jumlah
oksigen dalam kantong plastik diminimumkan dengan cara mengisap udara memakai pompa
sepeda. Kantong plastik dibuat rangkap tiga. Kantong plastik pertama diisi dengan solid
kemudian udaranya diisap dan ujungnya diikat. Selanjutnya bungkusan plastik dimasukkan ke
dalam kantong plastik kedua dan sebelum diikat, udara yang ada di dalamnya diisap terlebih
dahulu. Setelah diikat, bungkusan di-masukkan ke dalam kantong plastik ke-tiga, dikeluarkan
udaranya kemudian diikat. Daya
simpan solid sangat ber-gantung pada tempat penyimpanan (kualitas kantong plastik). Dengan
cara ini solid tahan disimpan lebih dari 1 bulan dengan warna relatif tidak berubah, yaitu cokelat
muda. Solid yang disimpan di tempat terbuka menjadi tengik (busuk) dan warnanya menjadi
kehitaman (Utomo et al. 2002). Walaupun permukaan solid sudah berubah warna (busuk), bagian
dalamnya memiliki konsistensi dan warna yang tidak berubah.
Dengan cara ini, selain daya simpan solid lebih lama, juga kandungan nutrisinya lebih lengkap
karena adanya beberapa bahan pakan lain yang ditambahkan. Pakan solid dalam bentuk blok bisa
diberikan baik untuk ternak ruminansia besar maupun kecil.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi
baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar
9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et
al. 1999). Pada uji preferensi terhadap 25 ekor sapi Madura, solid pada akhirnya sangat disukai,
namun perlu waktu adaptasi 4−5 hari.
Pemanfaatan solid sebagai pakan ternak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah
ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, serta meningkatkan produktivitas ternak.
Rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi milik petani di Kabupaten Kotawaringin
Barat yang tidak diberi pakan solid jauh di bawah PBBH ternak yang diberi solid, yaitu hanya
250 g/ekor/ hari (Zulbardi et al. 1995). Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang
diberikan, dalam hal ini rumput alam, relatif rendah. Sapi hanya dilepas di padang
penggembalaan yang umumnya hanya ditumbuhi alang-alang tanpa di-beri pakan tambahan
(konsentrat). Solid sangat berpotensi sebagai sumber pakan lokal
mengingat kandungan nutrisinya cukup memadai, jumlahnya melimpah, kontinuitas terjamin,
terpusat pada satu tempat, murah karena dapat diminta secara cuma-cuma, dan
tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, solid
memungkin-kan untuk menjadi titik tolak agroindustri pakan di Kalimantan Tengah.
2.3 Inovasi Teknologi Pakan untuk Meningkatkan Kandungan Gizi Pada Limbah Lumpur Sawit
Seperti yang kita tahu bahwa limbah lumpur sawit kaya akan serat kasar sehingga sebelum
diberikan kepada ternak unggas sebaiknya dilakukan proses fermentasi agar meningkatkan
kandungan proteinnya dan menurunkan kandungan serat kasarnya.
SINURAT (2003) melaporkan bahwa nutrisi lumpur sawit yang di fermentasi dengan Aspergilus
niger (LSF) mengandung protein kasar (PK) 22,07%, serat kasar (SK) 18,6%, energi (TME)
1717 kkal/kg, Ca 1,24% dan P 0,65%. Pada ayam broiler dan ayam kampung lumpur sawit hanya
dapat digunakan sekitar 10% (SINURAT et al., 2000)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yosie Fenita dan kawan-kawan pada tahun 2010, limbah
lumpur sawit difermentasi menggunakan Neurospora sp karena kadar karotennya yang sangat
tinggi. Karoten merupakan suatu zat pigmen yang memberi warna kuning cerah pada yolk,
sehingga pemberian ransum yang sudah ditambahkan lumpur sawit fermentasi dapat
meningkatkan kualitas produksi ayam petelur.
Lumpur sawit yang sudah difermentasi menggunakan Neurospora sp akan terjadi peningkatan
nilai protein kasar sejumlah (73% unit), peningkatan asam amino dan pengurangan nilai serat
kasar (38% unit) pada produk fermentasi (Tabel 1) ( Fenita at al, 2010).
Kandungan β-karoten produk fermentasi mengalami peningkatan, hampir dua kali lipat (3735,8
μ/100g vs 1860 μ/100g). Hasil kandungan β-karoten pada produk lumpur sawit fermentasi (LSF)
ini memiliki kandungan karoten yang lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh
NURAINI (2006). Selanjutnya dilaporkan bahwa kandungan karoten dari fermentasi Neurospora
sp yang menggunakan substrat campuran 60% ampas sagu dengan 40% ampas tahu hanya
sebesar 2700,60 μ/100g.
BAB IV
PEMBAHASAN
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mempunyai potensi daya dukung untuk
pengembangan peternakan,yaitu sebagai sumber pakan baik pakan hijauan maupun pakan dari
limbah pengolahan minyak kelapa sawit. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak adalah solid. Produksi limbah tersebut di Kabupaten Kotawaringin Barat mencapai
18−21 t/hari/pabrik. Bila limbah tersebut dimanfaatkan sebagai pakan, jumlah tersebut dapat
menampung + 155.000 ekor sapi/hari. Solid mengandung bahan kering 81,56%, protein kasar
12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154
kal/100 g. Pemberian solid dalam bentuk segar secara ad libitum kepada sapi PO jantan
memberikan pertambahan bobot badan harian (PBBH) 770 g/ekor/hari. Pada domba, pemberian
solid 1% dari bobot badan, baik dalam bentuk segar, complete feed block (CFB) tanpa fermentasi
maupun CFB fermentasi masing-masing memberikan PBBH 45, 64, dan 83 g/ekor/hari.
Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Di
Sumatera, limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan
dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua macam limbah yang dihasilkan
pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan limbah cair. Saat sekarang ini produksi limbah solid
di dua pabrik pengolahan CPO di Kabupaten Kotawaringin Barat sekitar 36−42 t/hari (rata-rata
20 t/pabrik/hari). Jumlah limbah solid yang dihasilkan bergantung pada TBS yang diolah.
Produksi TBS akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area
perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Diharapkan dalam setiap 10.000 ha berdiri satu
pabrik pengolahan CPO.
Pemeliharaan ternak (sapi) sebag iusaha sambilan kurang menguntungkan apabila memanfaatkan
solid sebagai pakan karena akan menambah biaya produksi, berupa biaya angkut dari pabrik ke
lokasi peternak. Kondisi ini dapat menghambat adopsi teknologi pemanfaatan solid. Solid akan
dimanfaatkan secara luas oleh peternak apabila pemeliharaan ternak bersifat komersial misalnya
penggemukan. Strategi yang dapat ditempuh untuk memaksimumkan pemanfaatan solid sebagai
pakan adalah melalui kemitraan antara petani dan pemerintah daerah ataupun pihak swasta.
Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil
inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid . Bungkil inti sawit mempunyai nilai
nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan
energi kasar 4.230 kkal/kg sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun,
bungkil inti sawit di Kalimantan Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relative
mahal sehingga bukan merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila
diberikan pada ternak. Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan
cangkang biasanya dibakar dijadikan abu untuk dimanfaatkanm sebagai pupuk sumber kalium.
Perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah ditargetkan mencapai area 1.557.752 ha.
Apabila tanaman kelapa sawit sudah berproduksi semua, dan setiap 10.000 ha terdapat satu
pabrik, maka dalam kebun seluas itu akan terdapat 155 pabrik pengolahan kelapa sawit. Apabila
tiap pabrik rata-rata menghasilkan solid 20 t/hari maka setiap hari akan diperoleh 3.100 ton solid.
Apabila seekor sapi dapat mengkonsumsi solid + 20 kg/hari (jumlah yang biasa diberikan
peternak pada sapi dengan rata-rata bobot badan 250 kg), maka produksi limbah tersebut akan
dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi + 155.000
ekor sapi/ hari. Dengan demikian, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat
menpengembangan peternakan baik dalam skala menengah maupun besar. Apalagi saat ini
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah berkembang cukup pesat dengan target area
1.557.752 ha yang tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat 644.845 ha, Kotawaringin Timur
700.000 ha, dan sisanya 212.857 ha tersebar di Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas,
dan Palangkaraya. Perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi daya dukung untuk
pengembangan peternakan sebagai sumber pakan ternak, baik yang berupa hijauan yang tumbuh
di kawasan perkebunan maupun limbah pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil
= CPO). Melalui keterpaduan dengan tanaman perkebunan, upaya pengembangan ternak ternyata
menunjukkan hasil yang positif .
Kendala utama pengembangan ternak di area perkebunan kelapa sawit adalah rendahnya
kandungan gizi rumput alam. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai jenis rumput
yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat menunjukkan
kandungan bahan kering 83,15%, protein kasar 7,27%, karbohidrat 14,32%, lemak kasar 1,84%,
kalsium 0,08%, fosfor 0,004%, dan energi 102,02 kal/100 g . Jumlahnya pun masih jauh dari
mencukupi, terlebih pada musim kemarau. Berdasarkan hasil monitoring, kapasitas tampung
ternak mhanya mencapai 0,70 ekor/ha/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan bila
mengintroduksikan rumput unggul (rumput raja) di kawasan perkebunan dengan kapasitas
tampung mampu mencapai 6,06 ekor/ha/tahun.
Selain itu, kandungan nutrisinya juga lebih tinggi. Keberhasilan pengembangan peternakan
sangat ditentukan oleh penyediaan pakan ternak . Upaya peningkatan produksi ternak tidak cukup
hanya dengan memberikan rumput alam saja, tetapi perlu adanya
pakan tambahan. Pakan tambahan yang potensial untuk dimanfaatkan adalah limbah kelapa sawit
yang berupa “solid”.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi
baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar
9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et
al. 1999). Pada uji preferensi terhadap 25 ekor sapi Madura, solid pada akhirnya sangat disukai,
namun perlu waktu adaptasi 4−5 hari.
Pemanfaatan solid sebagai pakan ternak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah
ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, serta meningkatkan produktivitas ternak.
Ratarata pertambahan bobot badan harian(PBBH) sapi milik petani di Kabupaten Kotawaringin
Barat yang tidak diberi pakan solid jauh di bawah PBBH ternak yang diberi solid, yaitu hanya
250 g/ekor/ hari . Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, dalam hal ini
rumput alam, relatif rendah.
Pemberian solid selama 3 bulan pada sapi Madura jantan meningkatkan ke-untungan per
September 1999 dari Rp537.000/ekor/bulan (tanpa solid) menjadi Rp696.000/ekor/bulan (Tabel
3) (Widjaja et al. 2000b). Bagi pihak pabrik, dengan mendistribusikan solid yang diproduksinya
seminggu sekali ke petani sekitarnya, seperti di Desa Kumpai Batu Bawah dengan jarak sekitar
60 km dari pabrik, biaya yang diperlukan lebih murah (hanya Rp2,16 juta) dibandingkan bila
membuang limbah tersebut seperti yang biasa dilakukan dengan biaya lebih dari Rp6,76 juta
(Utomo 2001). Biaya distribusi dapat lebih ditekan lagi bila solid didistribusikan ke desa yang
berdekatan dengan lokasi pabrik dan merupakan daerah gudang ternak, misalnya Desa Pangkalan
Lada yang jaraknya sekitar 25 km dari pabrik.
Kenaikan bobot badan ternak yang diberi pakan tambahan solid selama 3 bulan pemeliharaan di Kotawaringin Barat,
Kalimantan Tengah.Sapi Madura jantan Sapi PO jantan Domba jantan
Komposisi pakan Bobot badan (kg/ekor) PBBH Bobot badan (kg/ekor) PBBH Bobot badan (kg/ekor) PBBH
(kg/ekor/ (kg/ekor/ (kg/ekor/Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhirhari) hari) hari)
Rumput alam 220 225,40 0,06 315,60 334,60 0,22 10,80 13,95 0,04(pola petani)
Solid segar 1,50% BB 220 261,20 0,46+ rumput alam
Solid segar 1,50% BK 234,40 267,70 0,44dari BB ternak+ rumput alam
Solid segar ad libitum 211,40 274,40 0,77+ rumput alam
Solid segar 1% 13,30 17,35 0,05+ rumput alam
Solid dalam bentuk 19 24,76 0,06CFB 1% tanpafermentasi+ rumput alam
Solid dalam bentuk 19,76 27,23 0,08CFB fermentasi 1%+ rumput alam
Tabel 2 Kenaikan bobot badan ternak yang diberi pakan tambahan solid selama 3 bulan pemeliharaan di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Tabel 3 Analisis finansial pemeliharaan sapi Madura jantan per ekor selama 3 bulan dengan
pemberian solid, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, September 1999.
Analisis finansial pemeliharaan sapi Madura jantan per ekor selama 3 bulan dengan pemberian
solid, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, September 1999.
Uraian Pakan solid Tanpa solid(Rp) (Rp)
BiayaSapi bakalan 2.000.000 2.000.000Rumput alam 148 .500 198 .000Solid segar 29 .700 0Bioplus 20 .000 0Obat-obatan 5.000 5.000Tenaga kerja 90 .000 90 .000Perbaikan kandang 10 .000 10 .000
Total biaya 2.303.200 2.303.000
PenerimaanPenjualan sapi 3.918.000 3.381.000Penjualan pupuk 108 .000 172 .800Pengolahan tanah 360 .000 360 .000
Total penerimaan 4.386.000 3.913.800
Pendapatan 2.082.800 1.610.800Pendapatan per bulan 694 .000 537 .000R/C ratio 1,90 1,69
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Limbah kelapa sawit berupa solid ber-potensi sebagai sumber nutrisi untuk ternak karena
mengandung protein kasar 12,63% dan energi 154 kal/100 g, ke-tersediaannya melimpah,
berkelanjutan, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Pemanfaatan solid sebagai
pakan tambahan dipengaruhi oleh sistem produksi, dan menguntungkan pada
pemeliharaan dengan orientasi komersial (penggemukan).
Ketersediaan solid di Kalimantan Tengah dapat memenuhi kebutuhan bagi 150.000 ekor
sapi/hari apabila perkebun-an kelapa sawit di Kalimantan Tengah sudah berproduksi
semua. Peran aktif pemerintah daerah dan atau industri pengolah minyak kelapa sawit
sangat diperlukan untuk memasyarakatkan pemanfaatan solid secara lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, D. 1986. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber pakan ternak di Indonesia. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Per-tanian V(4): 93−99.
Dinas Kehewanan Kalimantan Tengah. 2001. Kebijakan dan strategi pembangunan pe-ternakan
di Kalimantan Tengah tahun 2001−2005. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket
Teknologi dan Temu Informasi Pertanian Subsektor Peternakan 13−14 November 2001 di
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya.
Djaenudin, D., H. Subagio, dan S. Karama. 1996. Kesesuaian lahan untuk pengembangan
peternakan di beberapa propinsi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Cisarua 7−8 November 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe-ternakan,
Bogor. hlm. 165−174.
Horne, P.M., Ismail, and C.D. Thai. 1994. Agroforestry plantation system: sustainable forage and
animal production in rubber and oil palm plantation. In J.W. Coplan, A. Djajanegara, and
Sabrani (Eds.). Proceedings of an International Symposium held in Association with 7 th AAAP
Animal Science Congress, Bali, Indonesia, 11−16 July 1994.
Kamaruddin, A. 1997. The effects of feeding palm oil by-products on the growth per-formance
and nutrients utilization by growing lambs. Prosiding Seminar Nasional II Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak, 15−16 Juli 1997. Kerja Sama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
dengan Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Indonesia (AINI), Bogor. hlm. 71−72.
Ketaren, P.P. 1986. Bungkil inti sawit dan ampas minyak sawit sebagai pakan ternak. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(4−6): 10−11.