tugas makalah
TRANSCRIPT
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Makalah
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila
oleh:
Eva Febrianty Annisa
NPM 240110090025
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2009
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. karena atas karunia dan rido-Nya kami dapat
menyusun makalah yang berjudul Penegakan Hukum di Indonesia sebagai upaya
untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pancasila.
Di dalam makalah ini kami memaparkan mengenai penegakan hukum di
Indonesia. Kami membahas mulai dari pengertian hukum, pembagian hukum, dan
penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia masih belum
sempurna. Banyak hal yang menghambat proses penegakan hukum yang adil dan
bertanggung jawab.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan yang
harus diperbaiki baik dari segi isi materi, tata bahasa, dan cara penulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Jatinangor, Desember 2009
Penyusun
Eva Febrianty Annisa-240110090025 2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................... 2
Daftar Isi ............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 4
1.2 Tujuan ............................................................................................... 4
BAB II ISI
2.1 Hukum di Indonesia .......................................................................... 5
2.2 Pembagian Hukum di Indonesia ....................................................... 5
2.2.1 Hukum Perdata Indonesia ........................................................ 5
2.2.2 Hukum Pidana Indonesia ......................................................... 7
2.2.3 Hukum Tata Negara ................................................................. 8
2.2.4 Hukum Tata Usaha (Administrasi) Negara .............................. 8
2.2.5 Hukum Acara Perdata Indonesia ............................................. 8
2.2.6 Hukum Acara Pidana Indonesia ............................................... 9
2.3 Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia ................................. 9
2.3.1 Permasalahan Hukum .............................................................. 10
2.3.2 Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di
Indonesia .................................................................................. 11
2.3.3 Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di
Indonesia .................................................................................. 15
2.3.4 Prioritas Penegakan Hukum ..................................................... 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................. 20
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 21
Eva Febrianty Annisa-240110090025 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum merupakan suatu aturan yang berfungsi untuk mengatur
kehidupan manusia agar tercipta kehidupan yang aman dan tertram. Ada
banyak jenis hukum yang berlaku di Indonesia. Semua hukum tersebut
mempunyai tujuan yang sama, yakni menciptakan keamanan dan ketertiban.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Ada hal-hal yang
menyebabkan terjadinya krisis penegakan hukum di Indonesia.
Orang dapat menganggap lain istilah krisis penegakan hukum itu dan
memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya
dari hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan
bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat
berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja.
Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum
itu sendiri masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi
masyarakat. Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini
belum dapat memberikan rasa puas bagi masyarakat bawah.
1.2 Tujuan
Makalah ini membahas tentang hukum dan penegakan hukum di
Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi atau pengetahuan
kepada pembaca untuk dapat lebih memahami permasalahan hukum di
Indonesia. Dalam makalah ini penulis juga memberikan beberapa contoh
kasus penegakan hukum di Indonesia sebagai bahan pemikiran kita dalam
memahami dan menanggapi permasalahan tersebut. Diharapkan setelah
membaca makalah ini pembaca dapat mempunyai opini dan mengambil sikap
untuk menanggapi permasalahan yang ada.
Eva Febrianty Annisa-240110090025 4
BAB II
ISI
2.1 Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-hukum
Eropa, hukum Agama, dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental,
khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-
Indie).
Selain itu, hukum di Indonesia dipengaruhi oleh hukum agama. Karena
sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum
atau Syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan,
dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
2.2 Pembagian Hukum di Indonesia
2.2.1 Hukum Perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban
yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai
lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan
pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka
hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan
perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum
Eva Febrianty Annisa-240110090025 5
perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum
yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara
persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris,
misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem
hukum komunis, sistem hukum Islam, dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata
di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan kitab undang-undang hukum perdata (dikenal
KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang
kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang
berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan
wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW
diberlakukan mulai tahun 1859. Hukum perdata Belanda sendiri
disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa
penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat
KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
1) Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan
hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum. Antara lain ketentuan
mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran,
kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian, dan hilangnya hak
keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan
diundangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2) Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu
hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subjek
hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak
kebendaan, waris, dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda
meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah,
bangunan, dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud
yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap
Eva Febrianty Annisa-240110090025 6
sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak
berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian
tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak
berlaku dengan diundangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang
agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik,
telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya UU tentang
hak tanggungan.
3) Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan
(atau kadang disebut juga perjanjian walaupun istilah ini
sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban antara subjek hukum di
bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang
terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang
dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat
dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang
perdagangan, kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga
dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer,
khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus
dari KUHPer.
4) Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan
kewajiban subjek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu)
dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-
hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan
oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas
hukum di Indonesia.
2.2.2 Hukum Pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah
hukum yang mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum
publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan
Eva Febrianty Annisa-240110090025 7
warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum
publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur
tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana
(sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil
mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia,
pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
2.2.3 Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang
negara, antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan,
pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan
kewajiban) antarlembaga negara, wilayah, dan warga negara.
2.2.4 Hukum Tata Usaha (Administrasi) Negara
Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang
mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur
tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Hukum
administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.
Kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah, sedangkan
dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi
konstitusi atau hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam
hal pengaturan kebijakan pemerintah, untuk hukum administrasi
negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata
usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
2.2.5 Hukum Acara Perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur
tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam
Eva Febrianty Annisa-240110090025 8
lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata dapat dilihat
dalam kitab undang-undang hukum acara perdata (KUHAPerdata).
2.2.6 Hukum Acara Pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur
tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam
lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam
UU nomor 8 tahun 1981.
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
1) Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat
dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang
berwenang sesuai dengan UU.
2) Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak
memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari
penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat,
ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
3) Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya
kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna
pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
4) Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara
terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
5) Asas pembuktian, yaitu tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh
UU.
2.3 Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau
konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat
rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu
konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak
ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk
penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
Eva Febrianty Annisa-240110090025 9
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang
berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang
diuntungkan dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum
yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap
pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif,
memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998,
masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang
seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Akan tetapi, kadang usaha mereka
dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos
dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang
mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik dan sebagainya.
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat
penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban
masyarakat Indonesia yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak
terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
2.3.1 Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal,
baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi
penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan
hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang
sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya
inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan
hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga,
maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan
sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula
mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang
menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan
sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke
hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa
kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat
Eva Febrianty Annisa-240110090025 10
dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan
three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi
anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja
mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang
kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat
apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-
hari adalah koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena
kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga
bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim Soeharto
tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan
masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
2.3.2 Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia
terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan
beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik
melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
a. Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan
Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek
pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan
dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan. PN Jakpus
menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan
menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan
ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk
kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob
Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman
tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan
Eva Febrianty Annisa-240110090025 11
cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-
kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan
bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian puluh
juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding.
Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang
menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara.
Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal
yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh
orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.
Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang
memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985. Tasiran,
seorang petani sederhana yang terlibat konflik tanah seluas 1000
meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga
bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April
1986 karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena
mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali
masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara,
Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir
Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi
Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, DPR/MPR,
Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia
kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
b. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar
negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh
sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi
banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan
dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari
anggaran DPRD DKI sebesar 5,2 milyar rupiah dan uang saku dari
PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam
Eva Febrianty Annisa-240110090025 12
kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai
tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang
Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad
tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan
segera setelah media cetak dan elektronik menemukan
ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat
mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa
ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya
dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan
mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat
tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris
PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggung jawab. Sampai
makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini
belum terlaksana.
c. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf
Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S.,
diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun
penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil
menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi.
Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis
kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan
atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses
pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer
yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang
dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling
tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96
milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan
Eva Febrianty Annisa-240110090025 13
dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah
permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat
bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling
berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai
saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di
udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
d. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada
tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf
UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat.
Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari
Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk
segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB
untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia,
desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan
ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini
mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak dengan segera
melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa
bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung
jawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang
terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya Ambon, Aceh,
Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami
penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam
bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi
berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun
ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di
Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus
Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan
Eva Febrianty Annisa-240110090025 14
internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan
hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
2.3.3 Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus
menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat
bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat
bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah
yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang
terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada
aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah,
tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum
ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana
perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi
penegakan hukum di Indonesia.
a. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak
merugikan mereka dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang
melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak
dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan
agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Memang dalam
hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan
arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat
waktu dan biaya. Namun tidak demikian halnya dengan hukum
pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di
Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai
pilihan diluar pengadilan.
Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi
“tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun
demikian peranan pengacara, jaksa penuntut, dan polisi sebagai
penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat
lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan,
Eva Febrianty Annisa-240110090025 15
yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak
kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan
suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini
kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun
ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh
lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan
aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang
bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak
pengacara dan terdakwa. Oleh karena itu, dakwaan disusun secara
sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa
kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan
presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas
karena dakwaan yang lemah.
b. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara
sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan
pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang
sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses
pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor,
perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang
lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini
menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive).
Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
rasional mengenai jumlah kerugian objektif yang menimpa
masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang
muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku.
Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada
memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak
melakukan tindakan pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan
kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai
Eva Febrianty Annisa-240110090025 16
dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga
Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan
kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan
sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis
Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi
tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui
tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum
tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan
norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi
bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut.
Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si
terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok
tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.
c. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan
Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media
cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan
baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus
ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara
terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang
seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi
terdakwa, berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan
seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara
posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang
menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa.
Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah
dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi
condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-
ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan
yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian masalah
menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan
Eva Febrianty Annisa-240110090025 17
terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kayalah
yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini.
Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan
menerima putusan pengadilan yang lebih tinggi.
d. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu
pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan
dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh
aparat. Lembaga asing nonpemerintah biasanya aktif melakukan
tekanan-tekanan semacam ini, misalnya dalam pengusutan kasus
pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.
Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi
mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing
yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh
masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang
menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan
tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan
yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan
hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut
dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal,
penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk
meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang
sedang atau akan dijalaninya.
2.3.4 Prioritas Penegakan Hukum
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting
yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan
bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan
hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak
mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan
Eva Febrianty Annisa-240110090025 18
cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar
jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok
orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak
yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa
ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat
Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di
Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik
polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam
wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan
moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan
terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus
menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat
menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul
lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain
mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif
dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih
sesuai dengan perkembangan zaman, diharapkan pula peran dan
kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun
lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum
masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara
konsisten.
Eva Febrianty Annisa-240110090025 19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan hukum di Indonesia masih harus terus diperbaiki. Banyak
kasus yang telah terjadi, tetapi tindakan hukumnya tidak berjalan sepenuhnya.
Hal ini membuat masyarakat kecewa dan pada akhirnya masyarakat cenderung
tidak percaya dengan kinerja para penegak hukum di negeri yang kita cintai
ini.
3.2 Saran
Seiring dengan timbulnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
para penegak hukum, maka perlu diadakan evaluasi. Ada beberapa hal yang
harus segera dibenahi lagi seperti kinerja para penegak hukum, menteri
hukum, perundangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, dan
yang paling pentind adalah peningkatan kesadaran hukum dari setiap individu.
DAFTAR PUSTAKA
Eva Febrianty Annisa-240110090025 20
Ali, Achmad. 1999. Pengadilan dan Masyarakat. Makassar: Hasanudin
University Press.
Anonimous. 2009. Gravitasi. Available at:
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Hukum-Indonesia (diakses pada 6
Desember 2009 pukul 11.12 WIB).
Doyle, Paul Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan
Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Prasetya, Cana. 2008. Krisis Penegakan Hukum di Indonesia. Available at:
http://cana23.multiply.com/journal/item/9 (diakses pada 6 Desember 2009
pukul 10.56 WIB).
Soemardi, Dedi. 1997. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co.
Eva Febrianty Annisa-240110090025 21