tugas legal reasoning dari pak amir

Upload: surya-bawana

Post on 15-Jul-2015

347 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

STATUS HAK WARISAN PADA AHLI WARIS YANG BERALIH AGAMA MENURUT HUKUM ADAT BALI

Mata kuliah Dosen

: Legal Reasoning : Dr. Amiruddin, SH.,M.Hum

Oleh: I KETUT SURYA BAWANA NIM: I2B 011 032

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

STATUS HAK WARISAN PADA AHLI WARIS YANG BERALIH AGAMA MENURUT HUKUM ADAT BALI

Mata kuliah Dosen

: Legal Reasoning : Dr. Amiruddin, SH.,M.Hum

Oleh: I KETUT SURYA BAWANA NIM: I2B 011 032

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Legal Reasoning ini dengan judul Status Hak Warisan Pada Ahli Waris yang Beralih Agama Menurut Hukum Adat Bali. Pada kesempatan ini penulis ucapan terima kasih kepada para dosen pengampu mata kuliah Legal Reasoning, khususnya kepada Dr. Amiruddin, SH.,M.Hum yang telah memberikan bekal pengetahuan dan tugas perkuliahan untuk menambah khasanah pengetahuan di dalam menimba ilmu dibangku kuliah. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik maupun saran demi penyempurnaan isi, bentuk maupun susunan akan penulis terima dengan terbuka. Semoga makalah ini dapat memberi kontribusi dalam menambah wawasan kita semua dalam menempuh studi ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Mataram.

Mataram Penulis,

DAFTAR ISI Halaman Judul.............................................................................................................. i Kata Pengantar............................................................................................................. ii Daftar Isi ....................................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................. 1 A. Latar Belakang .................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 3 BAB II. PEMBAHASAN .............................................................................................. 3 Status Hak Mewarisi Ahli Waris yang Beralih Agama Dalam Hukum Adat Bali........................................................................................................................... 4 BAB III. PENUTUP......................................................................................................13 A. Kesimpulan .........................................................................................................13 B. Saran...................................................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupannya sebagai mahluk sosial yang tidak dapat lepas dari sesama atau orang lain, baik karena hubungan sedarah maupun karena hubungan semenda atau perkawinan, manusia senantiasa mengalami peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan hidupnya. Sebagian dari peristiwa-peristiwa penting tersebut antara lain meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada saat manusia berada di dalam kandungan, manusia tersebut pada dasarnya sudah memiliki hak sampai ia dilahirkan dan hak tersebut terus ada seiring perkembangan usianya yang semakin dewasa. Dalam proses inilah kemudian secara bertahap muncul kewajiban-kewajiban sebagai implikasi dari keberadaan hak yang melekat pada diri manusia tersebut. Dan ketika sampai pada akhir hidupnya yaitu kematian, manusia harus menyelesaikan hak dan kewajiban terakhirnya. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan tugas baru bagi keluarga maupun penerusnya. Persoalan-persoalan mengenai pemenuhan pelaksanaan hak dan kewajiban ini merupakan objek kajian yang diatur dalam hukum kewarisan. Dalam hukum kewarisan dikenal beberapa istilah sebagai berikut: 1. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris atau hak milik. 2. Ahli waris adalah keturunan dari pada pewaris, berdasarkan hubungan darah dan hubungan semenda atau perkawinan. 3. Harta warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli warisnya. 4. Pewarisan adalah perbuatan meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris.1

1

J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 171.

Adapun pihak-pihak yang berhak mendapatkan harta warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama (Pasal 832 KUH Perdata), yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. Suami atau istri dan keturunannya; Orang tua, saudara dan keturunan saudara; Nenek dan kakek atau leluhur lainnya; Sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam.2 Sedangkan mengenai cara mendapatkan warisan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Warisan karena kematian atau karena undang-undang. Disebut juga pewaris menurut hukum waris abintestato. Hukum waris abintestato adalah hukum yang mengatur pewarisan yang terjadi seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu misalnya dalam hal tidak ada surat wasiat. 2. Pewarisan karena wasiat. Disebut pewaris berdasarkan testamen, hukum yang mengatur disebut hukum testamentair (abtestato) hukum yang mengatur pewarisan karena adanya surat wasiat dari pewaris.3 Dalam Pasal 874 KUH Perdata menyebutkan bahwa segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap hal itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris meliputi juga hutang-hutang yang dimiliki pewaris sebagai akibat dari adanya pengalihan status kepemilikan dari pewaris kepada ahli waris. Pada dasarnya setiap ahli waris berhak menerima warisan, namun dalam Hukum Adat Bali hak mewarisi dari pihak perempuan ditutupi oleh hak mewarisi dari pihak laki-laki. Perempuan hanya berhak menikmati tanpa memiliki warisan sampai dia menikah dan pindah mengikuti sang suami. Sedangkan pihak laki-laki sebagai ahli waris dapat memiliki warisan setelah2 Pitlo dalam Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 140. 3 G. Karta Sapoetra, Pembahasan Hukum Benda, Hipotik dan Warisan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1983), hal. 83.

dikurangi dengan hutang-hutang, apabila ada. Akan tetapi, ketentuan mengenai pemberian warisan ini akan menimbulkan permasalahan apabila dalam kenyataannya pihak laki-laki selaku ahli waris beralih agama. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimanakah status hak mewarisi dari ahli waris yang beralih agama ditinjau dari Hukum Adat Bali?

BAB II PEMBAHASAN Status Hak Mewarisi Ahli Waris yang Beralih Agama Dalam Hukum Adat Bali Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya.4 Penerusan harta benda ini pada umumnya dilakukan setelah orang tua (pewaris) meninggal dunia. Apabila dalam kenyataannya, penerusan harta benda ini dilakukan semasa pewaris masih hidup maka hal tersebut dipandang sebagai suatu penerobosan hukum terhadap berlakunya hukum adat waris tradisional. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam hukum kewarisan ini antara lain: 1. Unsur individual yaitu menyangkut diri pribadi seseorang, pada prinsipnya seseorang memiliki kebebasan untuk berbuat apa saja terhadap benda yang dimilikinya. 2. Unsur sosial yaitu menyangkut kepentingan bersama, tujuan dari unsur sosial ini adalah untuk memberikan pembatasan terhadap pewaris demi kepentingan ahli waris yang sangat dekat dan juga untuk melindungi kepentingan mereka.5 Tujuan pelaksanaan pewarisan ini pada dasarnya dilakukan untuk melanjutkan perkembangan keturunan dari pewaris secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi selanjutnya yang diikuti juga dengan perpindahan seluruh harta benda untuk dipakai sebagai modal dalam kehidupan materil di dalam pengembangan generasi tersebut. Dalam prosesnya, pelaksanaan pewarisan ini memiliki keterkaitan erat dengan sistem kekerabatan yang dianut dalam suatu daerah. Sistem kekerabatan ini akan berimplikasi pada orang-orang yang berhak mendapatkan suatu warisan.

R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hal. 28. Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 ), hal.13.5

4

Adapun pembagian sistem kekerabatan ini digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem masyarakat yang menarik garis keturunan setiap anggota atau warganya dari/menurut garis keturunan pihak ayah saja. 2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem masyarakat yang menarik garis keturunan setiap anggotanya atau warga dari/menurut garis keturunan pihak ibu saja. 3. Sistem Bilateral atau Parental, yaitu sistem masyarakat yang menarik garis keturunan setiap anggotanya atau warganya dari/menurut garis keturunan ayah maupun ibu sebagai orang tua (parent).6 Suku Adat Bali pada dasarnya menganut sistem kekerabatan patrilineal. Sehingga dalam hal ini, jalur keturunan laki-laki akan menjadi ahli waris dari seluruh harta peninggalan pewaris. Anak laki-laki yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah akan menjadi ahli waris terhadap orang tuanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam sistem hukum patrilineal pihak perempuan tidak tergolong sebagai ahli waris terhadap harta peninggalan orang tuanya sehingga ia hanya memiliki hak untuk menikmati atas suatu bagian tertentu dari harta warisan yang ditinggalkan dengan syarat, yaitu: 1. Selama ia belum menikah (daha). Ketentuan ini juga berlaku pada anak perempuan yang telah lanjut usianya tetapi belum menikah. Di dalam pewarisan, ia memiliki kedudukan yang sama dengan anak perempuan lainnya. 2. Tetap setia melaksanakan darmaning anak perempuan, misalnya tidak melakukan perbuatan yang tercela.7 Dalam Hukum Adat Bali dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris adalah: 1. Golongan ahli waris menurut garis lurus ke bawah dari pancar laki-laki yaitu: a. Anak b. Cucu c. Buyut dan seterusnyaA. Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 10. 7 Wawancara dengan Ida Pedanda Gede Nyoman Sebali Kenatan, Ketua Paruman Pinandita Provinsi NTB tanggal 16 Maret 2009. dalam Skripsi Hukum Perdata Implikasi Yuridis Beralih Agama terhadap Hak Warisan dalam Hukum Adat Bali (studi di Mataram) oleh I Wayan Sutha Apriana, hal. 40.6

2. Jika golongan ahli waris menurut garis lurus kebawah dari pancar laki-laki tidak ada, maka golongan ahli waris beralih kepada golongan ahli waris menurut garis lurus ke atas yaitu: a. Bapak b. Ibu 3. Jika golongan ahli waris tersebut di atas pada nomor 1 dan 2 tidak ada, maka golongan ahli warisnya beralih kepada golongan ahli waris menurut garis mendatar dari pancar laki-laki yaitu: a. Saudara b. Anak saudara c. Misan atau sepupu sekali d. Misan atau sepupu dua kali dan seterusnya sampai pada derajat ke-6 (enam).8 Bilamana semua golongan ahli waris tersebut di atas tidak ada sama sekali (tidak mempunyai sanak saudara atau yang disebut camput), dalam Hukum Adat Bali dikenal juga istilah menunjuk anak angkat atau mengasuh anak dari kecil (sentana) yang dipersiapkan untuk menjadi ahli waris serta mengabenkan jenazah orang tua angkatnya tersebut. Untuk mengesahkan pengangkatan anak tersebut, di dalam Hukum Adat Bali dilakukan dengan upacara memeras (ritual adat dalam pengangkatan anak). Dengan dilakukannya upacara memeras itu berarti memutuskan hubungan anak angkat tersebut dengan orang tua kandungnya, dan ia hanya berhak mewaris terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya. Terhadap hal ini, Soeripto mengatakan bahwa oleh karena pengangkatan anak angkat itu merupakan suatu perbuatan hukum, maka untuk sahnya harus melalui prosedur sebagai berikut: 1. Mengajukan permohonan kepada pemerintah (Camat Setempat) yang diketahui keliang banjar (kepala Banjar) setempat atau Perbekelnya (Kepala Desanya); 2. Camat mengumumkan permohonan keseluruh sanak saudara si pemohon, jika tidak ada keberatan maka permohonan di kabulkan; 3. Disiarkan dalam sangkepan Banjar (rapat anggota Banjar); 4. Dibuatkan bebanten (sesajen) untuk upacara yang bersifat keagamaan, salah satu perbuatan dari upacara ini ialah bahwa anak angkat menarik benang dari bebanten itu hingga putus;

K.R.M.H. Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat Waris Bali, (Jember: Fakultas Hukum Negeri Jember, 1973), hal. 60.

8

5. Ayah angkat meras anak tersebut biasanya disertai dengan pemberian sawah dan sebagainya, sekedar sebagai bukti kesungguhan si bapak angkat dalam hal ini.9 Selain dengan jalan mengangkat anak, pada masyarakat Suku Bali mengenal pula adanya istilah Mekidihang Awak , artinya menyerahkan diri dari seseorang yang tidak mempunyai sanak saudara serta seluruh harta kekayaannya kepada seseorang yang dipilih sebagai ahli warisnya. Perbuatan Mekidihang Awak ini menurut Hukum Adat Bali dikenal dengan istilah Paksi Amilih Kayuan (burung yang memilih kayu). Untuk sahnya Paksi Amilih Kayuan ini harus melalui prosedur antara lain harus disiarkan pada Sangkepan Banjar (rapat anggota Banjar); harus ada persetujuan dari pihak yang menerimanya; dan harus ada akte penyerahan diri yang dibuat oleh Camat.10 Tujuan diajukannya masalah ini dalam rapat anggota banjar adalah agar seluruh pengurus dan anggota banjar mengetahui dan diposisikan sebagai saksi bahwa telah dilaksanakannya proses paksi amilih kayuan tersebut. Bagi pihak-pihak yang tergolong sebagai ahli waris, untuk dapat menerima hak warisannya harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:11 1. Harus mempunyai hubungan darah antara ahli waris dengan pewaris yang didasarkan pancar laki-laki. 2. Harus melakukan sidikara yaitu suatu perikatan antara beberapa keluarga dalam menyelesaikan karya-karya adat di lingkungan sesama kasta. Sidikara ini digolongkan menjadi 3 (tiga) antara lain: a. Nista yaitu sidikara rojong-kerojong artinya bersedia untuk memikul mayat seseorang yang telah meninggal dunia yang berlaku di lingkungan sesama kastanya. b. Madya yaitu sidikara parid-keparid, bersedia untuk makan makanan sisa sesajen dari salah seorang kerabatnya. Sidikara parid-keparid ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Sidikara parid hidup 2) Sidikara parid mati

K.R.M.H. Soeripto, Op.cit, hal. 69. Wawancara dengan, Bapak I Made Supastha, selaku Tokoh Adat pada tanggal 12 Maret 2009, dalam Skripsi Hukum Perdata Implikasi Yuridis Beralih Agama terhadap Hak Warisan dalam Hukum Adat Bali (studi di Mataram) oleh I Wayan Sutha Apriana, hal. 41. 11 Wawancara dengan Ida Pedanda Gede Nyoman Sebali Kenatan, Op.cit, hal. 42.10

9

c. Utama yaitu sidikara sembah-kesembah artinya bersedia untuk memikul mayat dari anggota kerabat yang lebih tua umurnya misalnya seperti: 1) Seorang anak terhadap orang tuanya (bapak/ibu/kakek) dan seterusnya ke atas. 2) Seorang keponakan terhadap pamannya. 3) Seseorang terhadap saudara/sepupu yang umurnya lebih tua dan seterusnya. 4) Seseorang yang lebih muda umurnya terhadap orang yang memang masih mempunyai hubungan sidikara sembah. Dari ketiga golongan sidikara di atas, sidikara sembah-kesembah merupakan syarat mutlak dan sangat menentukan bagi seorang ahli waris agar dapat menerima hak warisannya, di samping syarat-syarat lain yang di perlukan. Oleh karena sidikara sembah-kesembah ini tidak sedemikian mudah dilakukan oleh seseorang yang memang bukan keturunannya atau tidak ada hubungan sidikara sembah-kesembah, sebab menurut hukum kekeluargaan Suku Bali apabila ada dari salah seorang anggota keluarganya melakukan sidikara sembah terhadap mayat seseorang yang tidak pantas untuk disembah atau memang tidak mempunyai hubungan sidikara sembah, maka bagi mereka akan dikenakan sangsi yaitu diasingkan dari lingkungan keluarganya, bahkan dapat berakibat terputusnya hubungan kekeluargaan atau dengan kata lain kehilangan haknya sebagai ahli waris, begitu pula seperti yang dijelaskan oleh Ida Pedande Gede Nyoman Sebali Kenatan bahwa syarat untuk dapat mewaris yang paling utama adalah sidikara. 3. Harus berasal dari golongan yang sama yang dikenal dengan nama Catur Warna, dengan pembagian sebagai berikut: a. Brahmana ialah golongan masyarakat yang setiap anggotanya memiliki ilmu pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk mensejahterakan masyarakat, Negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan memimpin upacara keagamaan. b. Kesatrya ialah golongan masyarakat yang setiap anggotanya memiliki kewibawaan cinta tanah air serta memiliki bakat kelahiran untuk mempertahankan kesejahterakan masyarakat, Negara dan umat manusia berdasarkan Dharmanya. c. Wesya ialah golongan masyarakat yang setiap anggotanya memiliki watak tekun, terampil, hemat, cermat keahlian serta bakat kelahiran untuk menyelenggarakan kemakmuran masyarakat, Negara dan umat manusia. d. Sudra ialah golongan masyarakat yang setiap anggotanya memiliki kekuatan jasmaniah, ketahanan serta bakat kelahiran sebagai pelaku

utama dalam tugas-tugas kemakmuran masyarakat, Negara dan umat manusia atas petunjuk golongan masyarakat yang lainnya.12 5. Harus melaksanakan upacara Pengabenan jenazah pewaris, sebab upacara pengabenan adalah salah satu hutang yang harus dibayar oleh ahli warisnya, ini dikarenakan juga dalam Hukum Adat Bali syarat untuk dibaginya warisan adalah setelah meninggalnya pewaris dan mayatnya telah diabenkan barulah warisan dapat dibagi kepada ahli waris serta memelihara segala harta yang ditinggalkan pewaris. Setelah memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana tersebut di atas, ahli waris akan menerima hak mewarisi yang tentunya diikuti juga dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya sebagai konsekwensi dari adanya pengalihan status kepemilikan harta peninggalan pewaris. Menurut Ida Pedande Gede Nyoman Sebali Kenatan selaku Tokoh Agama dan Ketua Paruman Pedande Provinsi NTB menjelaskan bahwa hak seorang ahli waris itu adalah hak untuk mendapatkan seluruh harta dari si pewaris baik yang berbentuk materil maupun immateril, yang dimaksud materil dalam hal ini berupa tanah sawah, tanah pekarangan, uang dan lain-lain. Sedangkan immateril berupa hak untuk melakukan pemujaan atau persembahyangan di merajan/sanggah dan pura-pura kawitan keluarga di rumah. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan ahli waris adalah kewajibankewajiban kepada sidikara, seperti memberikan perhatian, pelayanan terhadap pewaris semasa hidupnya dan walaupun dia sudah meninggal, ahli waris wajib memelihara tempat pemujaan di rumah pewaris. Dalam kenyataannya, ahli waris yang berhak bisa saja kehilangan hak mewarisi harta peninggalan pewaris. Menurut Hukum Adat Bali, beberapa faktor yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisnya antara lain:13 1. Diangkat menjadi anak angkat oleh keluarga lain. Ahli waris yang diangkat sebagai anak hanya memiliki hubungan dengan pewaris yang mengangkatnya sebagai anak. 2. Melakukan Sadatatayi (enam macam pembunuhan kejam).

12

Parisadha Hindu Dharma, Upadeca tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu, (Singaraja: Departemen Agama R.I, Proyek Penerangan, Bimbingan dan Dawah/Khutbah Agama Hindu dan Budha, 1981), hal. 52. 13 Wawancara dengan Ida Pedanda Gede Nyoman Sebali Kenatan, Op.cit, hal. 46.

3.

4.

5.

6.

Yang digolongkan dalam 6 (enam) macam pembunuhan kejam tersebut, antara lain: a. Agnida artinya membakar milik orang lain; b. Wisada artinya meracun; c. Atbarwa artinya melakukan ilmu hitam (sihir); d. Sastragbna artinya mengamuk; e. Dratikrama artinya memperkosa; f. Rajapisuna artinya memfitnah (sampai mengakibatkan kematian orang).14 Keluar dari kasta pewaris. Keluar dari kasta dalam artian ahli waris meninggalkan keleluhuran, maka ia akan kehilangan hak mewarisnya karena hak mewaris tersebut hanya dapat dilakukan apabila ahli waris berada dalam golongan yang sama dengan pewaris. Melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak hormat terhadap pewaris. Melakukan perbuatan yang tidak hormat terhadap pewaris seperti tidak menghormati pewaris atau tidak menuruti kehendak pewaris, berbuat sesukanya tidak menuruti aturan keluarga. Putus sidikara sembah dengan pewaris. Sidikara sembah adalah syarat mutlak dan sangat menentukan bagi seorang ahli waris agar dapat menerima haknya untuk mewaris, jika memutuskan sidikara sembah berarti menghilangkan hak untuk mewaris. Ahli waris beralih agama. Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini jelas memberikan kebebasan kepada setiap orang, termasuk juga ahli waris untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya tanpa harus menuruti kehendak pewaris. Namun di sisi lain, ahli waris harus siap meninggalkan warisan yang semestinya menjadi hak miliknya dikarenakan di dalam Hukum Adat Bali telah diatur bahwa ahli waris yang meninggalkan kepercayaannya dapat kehilangan semua atas haknya begitu pula dengan kewajibannya dikarenakan beralih agama. Dalam hal ini, Ida Pedande Gede Nyoman Sebali Kenatan menambahkan bahwa ahli waris yang telah beralih agama kehilangan semua haknya karena telah dibuang oleh keluarga dan sidikaranya, walaupun keluarga tidak keberatan atas perpindahan tersebut namun syarat yang paling utama untuk dapat mewaris adalah sidikara. Jika sidikaranya memutuskan hubungan berarti hak ahli waris untuk dapat mewaris menjadi hilang. Beralihnya agama yang dianut ahli waris sebelumnya membawa dampak

tersendiri terhadap hak dan kewajiban ahli waris yang bersangkutan di dalam masyarakat adat. Dalam Hukum Adat Bali, ahli waris yang beralih agama14

Parisadha Hindu Dharma, Op.cit, hal. 55.

selain kehilangan hak mewaris ia juga akan kehilangan hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. Hak dan kewajiban di dalam berbanjaran. Memutuskan kewajiban yang dimaksud seperti: a. Ngaturang ngayah di Banjar (sembahyang di Pura Banjar); b. Sumbangan untuk biaya Odalan (perayaan hari besar di Banjar); c. Sangkep (rapat pembangunan Pura di Banjar). Kehilangan hak yang dimaksud seperti: a. Kehilangan hak untuk mengeluarkan pendapat dalam sangkep banjar yang membicarakan hal yang berhubungan dengan kegiatan upacara keagamaan. b. Kehilangan hak suara jika terjadi pengambilan suara mengenai pelaksanaan odalan (hari besar banjar). 2. Kehilangan hak dan kewajiban dalam sidikara. Kehilangan hak di dalam sidikara adalah sidikara tidak perlu lagi melakukan kewajiban seperti apa yang dilakukan terhadap pewaris atau bapaknya dikarenakan ahli waris atau anaknya tidak lagi menganut kepercayaan yang sama tetapi memiliki kepercayaan yang berbeda, kewajiban sidikara tersebut antara lain seperti: a. Rojong-kerojong (nista); b. Parid-keparid (madya); c. Sembah-kesembah (utama).15 Dalam ketentuan Pasal 838 KUH Perdata menyebutkan 4 (empat) alasan yang menyebabkan seseorang tidak patut mewaris yaitu: 1. Orang yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris. 2. Orang yang berdasarkan keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap telah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap orang yang telah meninggal dunia tersebut, yaitu pengaduan bahwa orang yang meninggal dunia tersebut telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 4 (empat) tahun lamanya atau lebih lama dari 4 (empat) tahun. 3. Orang yang dengan kekerasan atau suatu perbuatan telah mencegah si wafat untuk membuat atau mencabut surat wasiat. 4. Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si wafat.16

Parisadha Hindu Dharma, Op.cit, hal. 57. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984), hal. 223.16

15

Aturan-aturan dalam KUH Perdata sebagian besar mengatur hal-hal umum yang berlaku dalam hukum kewarisan. Tidak ada aturan-aturan dalam KUH Perdata yang mengatur hapusnya hak mewaris dari ahli waris yang berpindah agama. Dalam artian, KUH Perdata tetap menganggap ahli waris memiliki hak terhadap harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris terlepas dari ahli waris yang bersangkutan berpindah agama atau tidak. Keadaan ini merupakan suatu hal yang sangat kontradiksi dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat adat. Hukum adat menghapus hak mewaris dari ahli waris yang berpindah agama dikarenakan ia telah meninggalkan leluhurnya. Sehingga apabila timbul suatu sengketa mengenai penuntutan atas hak mewaris dari ahli waris yang beralih agama, tentunya hal tersebut merupakan hak perdata setiap orang dan aturan yang mungkin digunakan dalam menyelesaikan sengketa ini adalah aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat hukum adat mengingat hukum adat tersebut merupakan aturan-aturan yang diakui keberadaan dan eksistensinya oleh komunitas adat sekalipun bentuknya tidak tertulis. Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Pengadilan wajib memediasi suatu perkara dengan sistem negosiasi dan jika hal tersebut tidak dilakukan maka batal demi hukum. Ketentuan ini jelas menghendaki dilakukannya penyelesaian sengketa yang dilakukan secara adat. Dengan demikian, sistem peradilan di Indonesia ini secara perlahan-lahan mulai kembali pada sistem peradilan hukum adat yang pada hakikatnya merupakan sistem peradilan yang mengacu pada aturanaturan yang berlaku di masyarakat dan diyakini mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam Hukum Adat Bali hak mewaris dari ahli waris yang berpindah agama akan hilang begitu pula dengan hak-hak dan kewajiban lainnya di dalam masyarakat adat. B. Saran Dalam hal terjadi sengketa mengenai status hak mewaris pada ahli waris yang berpindah agama, sebaiknya Hakim atau para penguasa adat mengambil titik tengah dari ketentuan-ketentuan yang berlaku pada hukum tertulis dan hukum yang berlaku secara adat agar mampu memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

DAFTAR PUSTAKA Halim, A. Ridwan. 1998. Hukum Adat dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia. HS, Salim. 2003. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. Parisadha Hindu Dharma. 1981. Upadeca tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Singaraja: Departemen Agama R.I. Proyek Penerangan, Bimbingan, dan Dawah/Khutbah Agama Hindu dan Budha. Sapoetra, Karta. G. 1983. Pembahasan Hukum Benda, Hipotik dan Warisan. Jakarta: Bumi Aksara. Satrio, J. 1992. Hukum Waris. Bandung: Alumni. Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. 2005. Hukum Kewarisan Perdata Barat. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Soepomo, R. 1979. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Soeripto, K.R.M.H. 1973. Beberapa Bab tentang Hukum Adat Waris Bali. Jember: Fakultas Hukum Negeri Jember. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Sutha, I Wayan. 2009. Skripsi Hukum Perdata Implikasi yuridis Beralih Agama terhadap Hak Warisan dalam Hukum Adat Bali (studi di Mataram). Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Soal Legal Reasoning1. A. Penalaran hukum dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) tipe / karakter tipe, jelaskan cara berpikir masing-masing tipe. B. Tunjukan pada bagian mana dalam tulisan saudara, yang menggunakan tipe pada salah satu jawaban huruf A. berikan arumentasi jawaban saudara, ditunjukan premis mayor dan premis minor. 2. Dalam ilmu hukum dikenal lapisan ilmu hukum, yaitu : Teori Hukum Filsafat Hukum Dogmatik Hukum A. Tulisan saudara termasuk dalam lapisan ilmu apa ? berikan argumentasi jawaban saudara. B. Tunjukan pada bagian mana tulisan saudara hal tersebut dapat diketahui. 3. Apakah tulisan saudara sudah terhindar dari 13 (tiga belas) kesesatan didalam penulisan hukum. A. Jika sudah, tunjukan pada kalimat mana dalam penulisan saudara bahwa penalaran dan argumentasi saudara adalah benar. B. Jika belum, tunjukan pada kalimat mana dalam penulisan saudara bahwa penalaran dan argumentasi saudara adalah salah dan bagaimana seharusnya. 4. Tunjukan bahwa penyimpulan dalam tulisan saudara adalah termasuk penyimpulan induktif atau deduktif yang : Hipotetik : Kesimpulan yang ada saran Kategorik : Kesimpulan yang tidak ada saran. Berikan argumentasinya. Jawaban : 1. A. - Penalaran induktif yaitu proses penalaran untuk menarik kesimpulan dari prinsip/ sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus (induksi) - Penalaran deduktif, kebalikan dari penalaran induktif yaitu menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum (deduktif).

B. Dalam penyusunan tulisan ini, penulis menggunakan penalaran induktif yang berangkat dari suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. 2. premis mayor terletak pada halaman 2 tulisan dimaksud dengan tanda warna kuning pada tulisannya. premis minor terletak pada halaman 2 tulisan dimaksud dengan tanda warna hijau pada tulisannya.

A. Tulisan ini masuk dalam lapisan Teori Hukum, hal ini dikarenakan tulisan ini meneliti mengenai pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. B. Hal tersebut di atas dapat diketahui dihalaman 12 tulisan ini.

3. A. Tulisan ini sudah terhindar dari 13 (tiga belas) kesesatan didalam penulisan hukum, adapun hal tersebut dapat diketahui pada halaman 9 tulisan ini dengan diberikan tanda warna hijau tua. B. Tulisan ini belum terhindar dari 13 (tiga belas) kesesatan didalam penulisan hukum, adapun hal tersebut dapat diketahui pada halaman 7 tulisan ini dengan diberikan tanda warna biru tua. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya waktu penyusunan tulisan tersebut sehingga mengutik pendapat Ida Pedanda Gede Nyoman Sebali Kenatan dalam Skripsi Hukum Perdata Implikasi Yuridis Beralih Agama terhadap Hak Warisan dalam Hukum Adat Bali (studi di Mataram) oleh I Wayan Sutha Apriana. Seharusnya penulis melakukan penelitian kembali untuk memastikan pendapat dari informan tersebut.4. Penyimpulan dalam tulisan ini adalah termasuk penyimpulan induktif yang

hipotetik, hal ini dikarenakan proses penarikan kesimpulan yang umum (berlaku untuk semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang kasus-kasus individual (khusus). kemudian dicantumkan juga saran yang merupakan sebagai bahan pertimbangan kepada Hakim atau para penguasa adat dalam hal terjadi sengketa mengenai status hak mewaris pada ahli waris yang berpindah agama.