tugas kelompok parasitologi veteriner i

34
TUGAS MATA KULIAH PARASITOLOGI VETERINER I DIPYLIDIOSIS Disusun oleh: Kelompok 6 Anggota kelompok: Putu Indra Sathya 1309005033 Santri Devita Sari Gurning 1309005076 Gusti Ayu Made Sri Antari 1309005125 Ni Luh Putu Dianti Wedayani 1309005132 LABORATORIUM PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Upload: santri-devitasari-gurning

Post on 03-Oct-2015

161 views

Category:

Documents


29 download

DESCRIPTION

parasit

TRANSCRIPT

TUGAS MATA KULIAHPARASITOLOGI VETERINER I

DIPYLIDIOSISDisusun oleh: Kelompok 6Anggota kelompok:Putu Indra Sathya1309005033Santri Devita Sari Gurning1309005076Gusti Ayu Made Sri Antari1309005125Ni Luh Putu Dianti Wedayani1309005132

LABORATORIUM PARASITOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2014KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan paper ini dapat diselesaikan.Paper ini kami susun untuk pemenuhan tugas dari mata kuliah Parasitologi Veteriner I yang berjudul Dipylidiosis. Meskipun banyak hambatan yang kami lalui dalam pembuatan paper ini, tapi kami dapat menyelesaikannya tepat waktu. Terima kasih kami sampaikan kepada Drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya penyelesaian tugas paper ini.Demikianlah paper ini kami susun, dan kami menyadari masih ada kekurangna di dalamnya oleh karena itu kritik dan saran pembaca sangat kami butuhkan. Besar harapan kami paper ini dapat menambah wawasan pembaca tentang dipylidiosis

Denpasar, 18 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPULiKATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiDAFTAR GAMBARivDAFTAR LAMPIRANvBAB I. PENDAHULUAN1BAB II. MANFAAT DAN TUJUANBAB III. TINJAUAN PUSTAKA3BAB IV. PEMBAHASAN9BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN10DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangParasit merupakan organisme kelompok hewan yang untuk dapatmempertahankan hidupnya membutuhkan makhluk hidup lainnya sebagai sumbermakanan dan sumber kehidupannya, sehingga merugikan dan bahkan dapat membunuhinduk semang tempatnya menumpang hidup. Parasit dalam peranannya adalah suatuorganisme yang hidup secara temporer (sementara) atau menetap pada atau dalam tubuhorganisme hidup yang bertujuan untuk memperoleh makanan. Dalam hal ini parasit diuntungkan dengan adanya hubungan yang erat terhadap keberadaan induk semang. Parasitologi pada umumnya mencakup bakteri, kapang, protozoa, cacing, artrhopoda, spirokheta dan virus. Cacing gastrointestinal pada anjing sangat berpengaruh serius terhadap anjing tersebut maupun terhadap manusia. Parasit cacing tersebut apabila bermanifestasi pada inangnya dapat berakibat menjadi penyakit infeksius, menghambat pertumbuhan, menurunkan produktivitas kerja, malnutrisi serta masalah kesehatan yang serius. Parasit pada hewan menunjukkan gejala yang bervariasi, tergantung spesiesnya parasitnya. Gejala yang terlihat biasanya adalah gangguan pencernaan, iritasi, mal digesti, mal absorbsi dan gastroentropathy dan beberapa kasus kadang berujung dengan kematian.Kebanyakan parasit cacing pada anjing dapat bersifat zoonosis. Salah satunya adalah parasit cacing dari subkelas cestoda, yakni Dipylidium caninum. Cacing ini biasa disebut juga cacing pita pada anjing ataudog tapewormkarena cacing ini tubuhnya berbentuk segmen-segmen seperti pita. Cacing ini terdistribusi secara kosmopolitan.Diperlukan suatu pemahaman atau pengetahuan mengenai siklus hidup serta inang perantara pada suatu organisme parasit agar diketahui secara cepat diagnosa serta pengobatan yang selektif untuk memberantas parasit yang merugikan tersebut. Untuk itulah paper ini disusun agar pembaca dapat mengerti cara efisien untuk memberantas cacing Dipylidium caninum pada anjing. 1.2 Rumusan Masalah1. Apa penyebab Dipylidiosis?2. Bagaimana siklus hidup cacing penyebab Dipylidiosis?3. Bagaimana gejala klinis dan diagnosa dari Dipylidiosis?4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatnnya?

BAB IIMANFAAT DAN TUJUAN

2.1 ManfaatAda pun manfaat yang bisa didapat dari penulisan paper ini adalah mahasiswa mengetahui lebih mendalam lagi mengenai penyakit Dipylidiosis yang sering tidak disadari setiap mereka yang memelihara hewan atau anjing. Mahasiswa juga mengetahui cara pencegahan agar anjing atau kucing mereka tidak terserang penyakit ini serta mengetahui gejala klinis dan cara penanganan terhadap anjing atau kucing yang sudah terserang penyakit ini.2.2 TujuanTujuan dari penyusunan paper ini adalah untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang Dipylidiosis sebagai modal awal untuk melanjutkan studi ke tahapan selanjutnya. Dan juga menambah wawasan mpengenai penyakit Dipylidiosis.

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

Dipylidiosis merupakan penyakit cacing pita yang secara primer terjadi pada anjing dan kucing dan bersifat zoonosis. Dipylidiasis disebabkan oleh Dipylidium caninum. Selain anjing, hospes definitif lainnya adalah kucing dan karnivora liar. Manusia terutama anak-anak dapat sebagai occasional host . Sebagai intermediate hostnya (hospes perantara) adalah flea (pinjal) anjing (Ctenocephalides canis), pinjal kucing (Ctenocephalides felis). Selain itu Pulex irritans dan kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) juga diduga sebagai intermediate host. Saat feses anjing atau kucing yang memiliki larva cacing Dipylidium caninum di dalamnya dimakan oleh hospes intermediet atau pinjal maka larva tersebut akan berkembang di dalam tubuh si pinjal menjadi larva infektif atau disebut larva sistiserkoid. Apabila hospes intermediet yang mengandung larva sistiserkoid tertelan oleh hospes diefinitif (anjing atau kucing) maka sistiserkoid akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitif serta tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari. Cacing dewasa akan menempati saluran usus hospes definitif. Bentuknya memanjang seperti pita, biasanya pipih dorsoventral. Tidak mempunyai alat cerna ataupun saluran vascular dan biasanya terbagi ke dalam segmen-segmen yang disebut proglotid yang bila dewasanya akan berisi alat-alat reproduksi jantan dan betina.Penyakit Dipylidiosis merupakan penyakit yang sulit diberantas secara tuntas dan bersifat menahun. Timbulnya gejala penyakit cacing ini tergantung dari jumlah cacing yang menyerang, kondisi anjing, umur anjing, ras dan lingkungan. Hampir semua anjing dewasa pernah terserang cacing ini, tetapi kebanyakan tidak menimbulkan gejala klinis. Biasanya anjing yang banyak kutu pada tubuhnya juga diserang penyakit cacing pita. Banyak sediaan obat anthelmentik pada anjing, namun pada parasit cacing dari kelas nematoda dan terutama cestoda memerlukan tindakan penanganan yang serius mengenai dosis yang dianjurkan. Banyak terdapat sediaan anthelmentik yang dapat digunakan untuk memberantas parasit ini pada anjing, namun sayangnya pemberian anthelmentik ini tidak diimbangi dengan pemutusan siklus hidup dari cacing ini. Keberadaan dari agen pembawa (vektor) dari parasit ini seringkali diabaikan. Pinjal Ctenocephalides canis (pada anjing) merupakan ektoparasit yang berperan sebagai vector dalam proses maturasi cacing Dipylidium caninum. Tindakan pemberantasan pinjal ini seringkali terabaikan dikarenakan pemilik anjing terlalu fokus dengan temuan cacing pita Dipylidium caninum pada feses anjing peliharaannya.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Dipylidium caninum Sebagai Penyebab DipylidiosisDipylidium caninum dikenal juga dengan nama lain yakni flea tapeworm, double-pored tapeworm, cucumber seed tapeworm atau common dog tapeworm. Penyakit ini disebabkan oleh cacing pita yang umumnya termasuk dalam golongan Dipylidium. Klasifikasi taksonomi cacing Dipylidium caninum :Kingdom:AnimaliaPhylum :PlatyhelminthesClass :CestodaOrder :CyclophyllideaFamily : DipylidiidaeGenus :DipylidiumSpecies :Dipylidium caninum

Gambar 4.1 Cacing Dipylidium caninum4.2 Morfologi dan Identifikasi Dipylidium caninumCacing Dipylidium caninum tinggal dalam usus halus anjing atau kucing, memiliki panjang sampai 50 cm. Untuk melekat dan memperoleh makanan cacing tersebut dilengkapi dengan 4 penghisap (Sucker) pada skoleksnya. Pada sucker terdapat Sucker dilengkapi dengan rostellum yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait (hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung transversal serta kait-kait yang dapat ditarik ke dalam.

Gambar 4.2 Skoleks D. Caninum Proglotid bunting memiliki tanda yang menciri (karakteristik) berbentuk seperti biji mentimun. Setiap proglotid terdapat 2 pasang organ genital dan lubang kelamin yang terlihat jelas pada setiap sisi lateral. Ovarium dengan glandula vetelina membentuk masa pada salah satu sisi menyerupai gerombolan buah anggur. Proglotid bunting akan terlepas keluar melalui anus, bergerak berputar-putar dengan bebas atau melekat pada rambut disekitar anus. Telur tersimpan di dalam kantong telur (kapsula). Tiap kantung berisi sekitar 15-25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 dan berisi oncosphere yang mempunyai 6 kait. Proglottid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok 2 sampai 3 segmen. Segmen segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per jam dan keluar melewati anus atau bersama feces.

Gambar 4.3 Proglotid dewasa

Gambar 4.4 Kapsula berisi telur cacing Dipylidium caninum4.3 Hospes Hospes definitif : berpredileksi di dalam usus halus anjing dan kucing, serta kadang-kadang pada manusia (terutama anak-anak)Hospes Intermediet : pinjal (Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis dan Fulex irritans) serta kutu Trichodectes canis, bentuk peralihannya adalah sistiserkoid yang ditemukan didalam rongga badan, terbentuk setelah 13 hari. Masa prepaten selama 2 3 minggu. Sistiserkoid pada pinjal menimbulkan kematian atau menjadi lemah dan lamban, sehingga dengan mudah dimakan oleh hospes definitifMenurut Soulsby, Ctenocephalides canis berdasarkan taksonominya termasuk ke dalam :Kingdom: AnimaliaPhylum : ArthropodaKelas : InsektaSub Kelas : PterygotaOrdo : SiphonapteraSuper Famili : PulicoidaeFamili : PulicidaeGenus : CtenocephalidesSpesies : Ctenocephalides canis Gambar 4.5 Ctenocephalides canisGambar 4.6 Ctenocephalides felisSecara umum morfologi dari C.canis sama dengan C.felis, tetapi berbeda dengan C.felis, pinjal C.canis memiliki duri pertama dari ktenidia genal yang lebih pendek dari duri yang dibelakangnya. Selain itu pinjal ini memiliki mamibrium melebar di apeks. Kaki belakang terdiri dari delapan ruas.Larva pinjal mungkin mengkonsumsi sejumlah kapsul telur yang tiap telur mengandung sejumlah onkosfer. Seekor pinjal dapat memiliki sistiserkoid dalam jumlah besar sehingga dapat menginfeksi anjing beberapa kali (Subronto, 2006)4.4 Siklus Hidup Dipylidium Caninum

Gambar 4.7 Siklus hidup D.CaninumSegmen cacing yang mengandung telur gravid keluar dari tubuh bersama feses anjing secara spontan. Segmen tersebut secara aktif bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan membebaskan telur cacing. Kapsul cacing yang berisi larva nantinya akan termakan oleh pinjal. Kapsul tersebut pecah sehingga onkosfer akan keluar dari telur dan menembus dinding usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif yang disebut larva sistiserkoid.Hospes definitif yang tanpa sengaja memakan pinjal yang mengandung larva sistiserkoid maka larva sistiserkoid akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes tersebut. Larva sistiserkoid tersebut selanjutnya akan mengalami evaginasi, skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang sebagai cacing dewasa. setelah kurun waktu sekitar 2o hari4.5 Gejala Klinis dan DiagnosaGejala klinis yang terlihat pada anjing atau kucing yang terkena penyakit dipylidiosis ialah rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan menyebabkan penderita menggosok-gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita dengan infeksi berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun. Pada infeksi berat terlihat diare , konstipasi dan obstruksi usus.Infeksi pada manusia umumnya sangat ringan , kadang-kadang terjadi nyeri epigastrium, diare atau reaksi alergi disertai penurunan berat badan ( Soedarto,2008).Diagnosa yang dapat dilakukan berdasarkan anamnesa yaitu perilaku keeratan hubungan dengan anjing atau kucing peliharaannya dan status kesehatan anjing atau kucing peliharaannya serta gejala klinis yang tampak dapat diprediksi kemungkinan menderita dipylidiosis. (Bagus, 2009)Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces. Kadangkadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita. (Bagus, 2009)4.6 Pencegahan Infeksi dapat dicegah dengan cara sanitasi kandang yang baik. Pemberian obat cacing secara teratur merupakan pencegahan yang mutlak diperlukan. Jagalah kebersihan dan kesehatan anjing atau kucing agar meminimalisir terinfeksinya penyakit Dipylidiosis ini. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida (Soedarto,2007). 4.7 PengobatanPyrantel merupakan obat cacing golongan tetrahydropyrimidin, derivat dari imidazothiazole (Ganiswara, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat yang berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, namun dalam bentuk cairan jika terkena cahaya matahari akan mengalami fotoisomerisasi sehingga tidak memiliki potensi sebagai obat cacing dengan demikian bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam 2-3 jam.Garam pyrantel pamoat larut dalam air, dan hal ini menguntungkan untuk membunuh cacing yang hidup di usus posterior (Subronto, dan Tjahajati, 2008). Absorbsi pyrantel pada usus tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala (Ganiswara, 1995).Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel 600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009; Markell EK, et al, 1992) Praziquantel tidak berwarna dan tersasa pahit.Terabsorbsi secara cepat pada pemberian secara oral dan dimetabolisme dalam hepar sebelum di ekskresikan ke dalam empedu. Jangan diberikan pada anjing atau anjing berumur 1 2 bulan (Rossof, 1994).Efek anthelmentik praziquantel secara invitro, praziquantel diambil secara cepat dan reversibel oleh cacing tetapi tidak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui dua cara. Pertama pada kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot pada cacing karena holangnya ion Ca intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang sifatnya reversible, yang mungkin menyebabkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang normal pada hospes. Yang kedua, pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan hospes dipacu dan terjadi kematian cacing.Pada pemberian oral absorbsinya baik, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam waktu 1-2 jam. Metabolisme obat berlangsung cepat melalui proses hidroksilasi dan konjugasi sehingga kadar metabolit dalam plasma kira-kira 100 kali kadar praziquantel. Metabolitnya sebagian besar diekskresikan bersama urin dan sedikit diekskresikan dalam bentuk utuh. Efek samping segera timbul segera setelah diberi pengobatan seperti sakit perut, anoreksia, sakit kepala dan pusing, namun efek ini hanya sementara dan ringan dan timbulnya tergantung besarnya dosis.Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982).

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KesimpulanDipylidiosis merupakan penyakit yang menyerang anjing atau kucing dan bersifat zoonosis yang memiliki dua hospes yakni hospes intermediet (pinjal) dan hospes definitif (anjing atau kucing). Penyakit ini sangatlah berbahaya dan sering sekali tidak diketahui oleh mereka yang memelihara anjing atau kucings. Gejala klinis yang tampak sesudah terinfeksi iala rasa gatal di daerah dubur anjing atau kucing yang merangsang penderita menggosok-gosokkan bagian rektalnya di tanah. Jika sudah terinfeksi, obat golongan anthelmintik bisa digunakan sebagai pengobatan. 5.2 SaranMengingat bahwa anjing dan kucing merupakan hewan peliharaan yang semakin banyak diminati , maka perlu diwaspadai adanya kemungkinan penularan dipylidiasis dari hewan peliharaan kepada manusia. Sebelum memelihara anjing ataupun kucing, perlu memilih dengan seksama dan memperhatikan status kesehatannya misalnya telah divaksinasi, bebas penyakit baik yang zoonosis maupun yang bukan zoonosis.Selama pemeliharaan hendaknya selalu menjaga kesehatan anjing atau kucing peliharaannya dengan secara teratur memeriksakan kepada dokter hewan untuk diberikan anthelmintik. Menjaga kebersihan lingkungan ataupun kandang hewan peliharaan dengan penyemprotan insektisida untuk memberantas pinjal dan kutu juga perlu dilakukan untuk mencegah reinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA

DHARMAWAN NS. SURATMA NA, DAMRIYASA M, MERDANA IM.2003. Infeksi Cacing Pita pada Anjing Bali dan Gambaran Morfologinya.Jvet.Vol 4(1).LEVINE ND.1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.163-164,480.Palgunadi, Bagus Uda.2009.Dipylidiasis.Surabaya : Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.SOEDARTO.2003.Zoonosis Kedokteran.Airlangga University Press.67.SOEDARTO.2007.Sinopsis Kedokteran Tropis.Airlangga University Press.75-76.SOEDARTO.2008.Parasitologi Klinik.Airlangga University Press.37-39.SOULSBY EJL.1982.Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7thEd.Bailliere Tindal London. 105

LAMPIRANDIPYLIDIASISBagus Uda PalgunadiDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrakDipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang bersifat zoonosis dan disebabkan oleh Dipylidium caninum. Sebagai Definitif host selain anjing adalah kucing dan carnivora lain sedangkan manusia adalah occasional host. Cacing ini menular dari hewan yang terinfeksi ke manusia melalui intermediate host yaitu flea (Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis dan Pulex irritans) ataupun kutu (Trichodectes canis). Kejadian dypilidiasis pada manusia sangat tergantung pada kejadian dyplidiasis pada hewan dan ada tidaknya intermediate host. Pernah ada penelitian terjadinya kasus dipylidiasis pada anjing di Indonesia walaupun belum ada penelitian mengenai kejadian dipylidiasis pada manusia di Indonesia. Potensi terjadinya penyakit ini sangat dimungkinkan mengingat anjing dan kucing adalah hewan peliharaan yang umum pada sebagian orang.

Kata kunci : Dipylidiasis, zoonosis

DIPYLIDIASISBagus Uda PalgunadiLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstract

Dipylidiasis a tapeworm disease in dogs that are zoonotic and are caused by Dipylidium caninum. As a Definitive hosts are cats and dogs than other Carnivora, while humans are occasional hosts. This worm is transmitted from infected animals to humans through the intermediate hosts of flea (Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis and Pulex irritans) or lice (Trichodectes canis). Dypilidiasis incidence in humans is highly dependent on the incident dyplidiasis on animals and whether there is an intermediate host. Been no studies of dipylidiasis cases in dogs in Indonesia, although there has been no research on the incidence dipylidiasis in humans in Indonesia. The potential occurrence of this disease is very possible considering dogs and cats are common pets in some people.

Keywords: Dipylidiasis, zoonotic

PENDAHULUAN Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita yang secara primer terjadi pada anjing. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis karena dapat ditularkan kepada manusia melalui hospes perantara berupa pinjal atau kutu anjing. Di Indonesia kasus dypilidiasis pada manusia belum pernah dilaporkan. Dari Laporan hasil penelitian terjadinya dipylidiasis pada anjing Bali disebutkan bahwa 18% dari anjing yang diperiksa , positif terinfeksi Dipylidium caninum ( Dharmawan NS dkk, 2003)ETIOLOGI Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang disebabkan oleh Dipylidium caninum. Selain anjing, hospes definitif lainnya adalah kucing dan karnivora liar. Manusia terutama anak anak dapat sebagai occasional host . Sebagai intermediate hostnya (hospes perantara) adalah flea (pinjal) anjing (Ctenocephalides canis) , pinjal kucing (Ctenocephalides felis). Selain itu Pulex irritans dan kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) juga diduga sebagai intermediate host. (Levine ND,1994)Morfologi dan siklus hidup :Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175 proglottid. Scolex cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan mempunyai 4 buah sucker yang menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi dengan rostellum yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait (hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung transversal. Proglottid mature berbentuk seperti vas bunga dan Tiap segmennya mempunyai 2 perangkat alat reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah tengah sisi lateralnya. Proglottid gravid penuh berisi telur yang berada di dalam kapsul / selubung (kantung). Tiap kantung berisi sekitar 15 sampai 25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 dan berisi oncosphere yang mempunyai 6 kait. Proglottid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok 2 sampai 3 segmen. Segmen segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per jam dan keluar melewati anus atau bersama feces.Pinjal (flea) dari anjing (Ctenocephalides canis) dan kucing ( Ctenocehalides felis) atau kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) merupakan intermediate host ( hospes perantara ) dari Dipylidium caninum ini. Apabila telur Dipylidium caninum tertelan oleh larva dari hospes perantara, maka oncosphere akan keluar dari telur dan menembus dinding usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif yang disebut larva cysticercoid. Apabila hospes perantara yang mengandung larva cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka larva cysticercoid akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitive serta tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari. ( Soulsby,1982 ; Brown,1975)

EPIDEMIOLOGI :Dipylidiasis pada manusia umumnya dilaporkan terjadi pada anak anak usia di bawah 8 tahun. Penularan biasanya terjadi per oral malalui makanan , minuman atau tangan yang tercemar pinjal anjing atau kucing serta kutu anjing yang mengandung cysticercoid . (Soedarto,2003). Orang yang mempunyai resiko tinggi adalah yang mempunyai hewan peliharaan anjing atau kucing yang menderita dipylidiasis. Rupanya orang orang yang menyayangi hewan peliharaannya pasti selalu kontak dan adakalanya menciumi atau membawa hewan tersebut ke kamar tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi dipylidiasis melalui tertelannya pinjal dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain mengenai tertelannya pinjal tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut.Penyebaran penyakit ini pada hewan maupun manusia sangat tergantung pada ada atau tidaknya hospes perantara karena perkembangan telur Dipylidium caninum untuk menjadi larva yang infektif yaitu cysticercoid harus di dalam tubuh hospes perantara yaitu pinjal atau kutu anjing. PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS :Pada anjing atau kucing yang terinfeksi ringan tidak terlihat gejala yang jelas, hanya tampak gelisah dan menggosok gosokkan anusnya ke tanah. Pada infeksi berat terlihat diare , konstipasi dan obstruksi usus. (Soulsby, 1982)Infeksi pada manusia umumnya sangat ringan , kadang kadang terjadi nyeri epigastrium, diare atau reaksi alergi disertai penurunan berat badan ( Soedarto,2008)

DIAGNOSA:Berdasarkan anamnesa yaitu perilaku keeratan hubungan dengan anjing atau kucing peliharaannya dan status kesehatan anjing atau kucing peliharaannya serta gejala klinis yang tampak dapat diprediksi kemungkinan menderita dipylidiasis. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces. Kadang kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.

PENGOBATAN : Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel 600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009; Markell EK, et al, 1992)Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982)

PENCEGAHANPenularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak anak dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida ( Soedarto,2007)

KESIMPULAN DAN SARANMengingat bahwa anjing dan kucing merupakan hewan peliharaan yang semakin banyak diminati , maka perlu diwaspadai adanya kemungkinan penularan dipylidiasis dari hewan peliharaan kepada manusia.Sebelum memelihara anjing ataupun kucing, perlu memilih dengan seksama dan memperhatikan status kesehatannya misalnya telah divaksinasi, bebas penyakit baik yang zoonosis maupun yang bukan zoonosis.Selama pemeliharaan hendaknya selalu menjaga kesehatan anjing atau kucing peliharaannya dengan secara teratur memeriksakan kepada dokter hewan untuk diberikan anthelmintik.Menjaga kebersihan lingkungan ataupun kandang hewan peliharaan dengan penyemprotan insektisida untuk memberantas pinjal dan kutu juga perlu dilakukan untuk mencegah reinfeksi.DAFTAR PUSTAKABROWN HW, 1975. Basic Clinical Parasitology.4thEd.Appleton Century Crofts. 185-187.DHARMAWAN NS. SURATMA NA, DAMRIYASA M, MERDANA IM.2003. Infeksi Cacing Pita pada Anjing Bali dan Gambaran Morfologinya.Jvet.Vol 4(1).LEVINE ND.1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.163-164,480.MARKELL EK, VOGE M, JOHN DT. 1992.Medical Parasitology.7thEd.WB Saunders Company.254-255.NATADISASTRA D, AGOES R. 2009.Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC.122-123.SOEDARTO.2003.Zoonosis Kedokteran.Airlangga University Press.67.SOEDARTO.2007.Sinopsis Kedokteran Tropis.Airlangga University Press.75-76.SOEDARTO.2008.Parasitologi Klinik.Airlangga University Press.37-39.SOULSBY EJL.1982.Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7thEd.Bailliere Tindal London. 105