tugas kapsel jurnal

14
AUTOKORELASI SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI POLA HUBUNGAN BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI JAWA TENGAH 2012 Riza Asmul Faizah Mahasiswa Jurusan Statistika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro ABSTRAK Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar lokasi (amatan). Pada kasus gizi buruk di Jawa Tengah, metode ini akan memberikan informasi penting dalam menganalisis hubungan karakteristik gizi buruk antar wilayah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial pada data gizi buruk di Jawa Tengah. Metode yang digunakan adalah uji moran’s I dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui uji moran’s I tidak terdapat autokorelasi spasial pada persentase jumlah balita penderita gizi buruk di Jawa Tengah pada tahun 2012. Sementara itu melalui LISA, disimpulkan bahwa terdapat pengelompokan kabupaten/kota yang signifikan. Kata kunci : Autokorelasi spasial, moran’s I, LISA, gizi buruk PENDAHULUAN Analisis data spasial merupakan analisis yang berhubungan dengan pengaruh lokasi. Hal ini didasarkan pada hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh Tobler dalam Anselin dan Rey (2010:17) yang menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh. Pada data spasial, seringkali pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi llain yang berdekatan (neighboring). Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar loksai (amatan). Beberapa metode yang dapat digunakan dalam autokorelasi adalah Moran’s I, Rasio

Upload: riza

Post on 05-Jan-2016

254 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Autokorelasi spasial untuk identifikasi pola gizi buruk di Jawa Tengah 2012

TRANSCRIPT

Page 1: tugas Kapsel Jurnal

AUTOKORELASI SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI POLA HUBUNGAN BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI JAWA TENGAH 2012

Riza Asmul Faizah

Mahasiswa Jurusan Statistika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar lokasi (amatan). Pada kasus gizi buruk di Jawa Tengah, metode ini akan memberikan informasi penting dalam menganalisis hubungan karakteristik gizi buruk antar wilayah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial pada data gizi buruk di Jawa Tengah. Metode yang digunakan adalah uji moran’s I dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui uji moran’s I tidak terdapat autokorelasi spasial pada persentase jumlah balita penderita gizi buruk di Jawa Tengah pada tahun 2012. Sementara itu melalui LISA, disimpulkan bahwa terdapat pengelompokan kabupaten/kota yang signifikan.

Kata kunci : Autokorelasi spasial, moran’s I, LISA, gizi buruk

PENDAHULUAN

Analisis data spasial merupakan analisis yang berhubungan dengan pengaruh lokasi. Hal ini didasarkan pada hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh Tobler dalam Anselin dan Rey (2010:17) yang menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh. Pada data spasial, seringkali pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi llain yang berdekatan (neighboring).

Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar loksai (amatan). Beberapa metode yang dapat digunakan dalam autokorelasi adalah Moran’s I, Rasio Geary’s, dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Metode ini sangat penting untuk mendapatkan informasi mengenai pola penyebaran karakteristik suatu wilayah dan keterkaitan antar lokasi di dalamnya. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk identifikasi pemodelan spasial.

Salah yang memperhatikan aspek spasial adalah kasus gizi buruk pada balita. Kasus gizi buruk pada balita akan berbeda untuk setiap daerah atau lokasi pengamatan tergantung pada kondisi daerah atau lokasi pengamatan. Sehingga, untuk menanggulangi kasus gizi buruk tersebut, tidakdapat dilakukan secara menyeluruh untuk setiap daerah atau lokasi pengamatan.

Berdasarkan Ditjen Gizi dan KIA, Kemenkes RI (2013) Jawa Tengah merupakan salah satu dari lima provinsi di Indonesia dengan kasus gizi buruk tertinggi. Pada tahun 2012, terdapat 1.131 balita yang menderita gizi buruk dari 1.714.655 balita yang ada di Jawa Tengah dan tersebar di setiap kabupaten/ kota di Jawa Barat. Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah,

Page 2: tugas Kapsel Jurnal

kabupaten Blora adalah daerah dengan kasus gizi buruk tertinggi sebesar 105 kasus, sedangkan kota Surakarta tidak terdapat kasus gizi buruk (BPS,2012).

Berdasarkan kajian teori dan permasalahan yang ada, pada penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial untuk mnegetahui hubungan karaktersitik gizi buruk antar lokasi di Jawa Tengah. Informasi ini sangat penting untuk membantu menganalisis hubungan karakteristik gizi buruk antar wilayah, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dapat direkomendasikan untuk mennetukan suatu kebijakan yang terpadu antar wilayah.

LANDASAN TEORI

Autokorelasi spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai amatan yang berkaitan dengan lokasi spasial pada variabel yang sama. Autokorelasi spasial positif menunjukkan adanya kemiripan nilai dari lokasi-lokasi yang berdekatan dan cenderung berkelompok. Sedangkan autokorerasi spasial yang negatif menunjukkan bahwa lokasi-lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar.

Karakteristik dari autokorelasi spasial yang diungkapkan oleh Kosfeld, yaitu:

1. Jika terdapat pola sistematis pada distribusi spasial dari variabel yang diamati, maka terdapat autokorelais spasial.

2. Jika kedekatan atau ketetanggaan antar daerah lebih dekat, maka dapat dikatakan ada autokorelasi spasial positif.

3. Autokorelasi spasial negatif menggambarkan pola ketetanggaan yang tidak simetris.4. Pola acak dari data spasial menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial

Pengukuran autokorelasi spasial untuk data spasial dapat dihitung menggunakan metode Moran’s index (Indeks Moran), Rasio Geary’s, dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA).

Indeks Moran’s

Indeks Moran (Moran’s I) merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial secara global. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial. Keacakan spasial ini dapat mengindikasikan adanya pola-pola yang mengelompok atau membentuk tren terhadap ruang. Menurut Kosfeld, perhitungan autokorelasi spasial dengan metode Indeks Moran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial tak terstandarisasi

I=n∑i=1

n ∑j=1

n

w ij¿ (¿¿x j−x)(x j−x)

So∑i=1

n

( x i−x )¿¿

Dengan S0=∑i=1

n

∑j=1

n

w ij¿

w ij¿=¿ elemen pada pembobot tak terstandarisasi antara daerah i dan j

2. Indeks Moran dengan matriks pembobo spasial terstandarisasi W

Page 3: tugas Kapsel Jurnal

I=n∑

i=1

n

∑j=1

n

w ij(x j−x)(x j−x)

∑i=1

n

(xi−x)2

Dengan: I : Indeks Moran n : banyaknya lokasi kejadianx i : nilai pada lokasi ke i x j : nilai pada lokasi ke j x : rata-rata dari jumlah variabel atau nilaiw ij : elemen pada pembobot terstandarisasi antara daerah i dan j

Rentang nilai dari Indeks Moran’s dalam kasus matriks pembobot spasial terstandarisasi adalah -1 ≤ I ≤ 1. Nilai -1 ≤ I < 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif, sedangkan nilai 0 < I ≤ 1 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, nilai Indeks Moran’s bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok. Nilai Indeks Moran tidak menjamin ketepatan pengukuran jika matriks pembobot yang digunakan adalah pembobot tak terstandarisasi. Untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial atau tidak, dilakukan uji signifikansi Indeks Moran. Uji hipotesis untuk Indeks Moran adalah sebagai berikut:

a. HipotesisH0 : Tidak ada autokorelasi spasialH1 : Terdapat autokorelasi spasial

b. Tingkat Signifikansiα

c. Statistik uji

Z ( I )= I−E ( I )√Var ( I )

≈ N (0,1 )

Dengan

E ( I )=I 0=−1n−1

Var ( I )=n2 S1−n S2+3 S0

2

(n2−1)S02 − [E (I )]2

S0=∑i=1

n

∑j=1

n

w ij

S1=12∑i=1

n

∑j=1

n

(w ij+w ji)2

S2=∑i=1

n

(∑j=1

n

wij+∑j=1

n

w ji)2

d. Kriteria ujiTolak H0 pada taraf signifikansi α jika |Z ( I )|>Z1−α dengan Z1−αadalah (1-α) kuantil dari l standar. Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1. Apabila I > Io, data memiliki autokorelasi positif. Jika I < Io, data memiliki autokorelasi negatif

Page 4: tugas Kapsel Jurnal

Moran’s scatterplot

Moran’s Scatterplot menunjukan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi yang distandarisasi dengan rata-rata nilai amatan pada lokasi yang bertetanggan dengan lokasi yang bersangkutan. Moran’s Scatterplot berupa diagram scatterplot yang terdiri dari empat kuadran. Setiap kuadran menunjukan pola hubungan spasial antar lokasi yaitu Low-Low (LL), Low-High (LH), High-Low (HL), dan High-High (HH). LL menunjukan bahwa lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. LH menunjukan bahwa lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. HL menunjukkan lokasi yang mmepunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah. Dan HH menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mepunyai nilai amatan tinggi. Gambar dibawah ini menunjukan Moran’s Scatterplot :

Kuadran 2 (LH) Kuadran 1 (HH)

Kuadran 3 (LL) Kuadran 4 (HL)

Gambar 1 Moran’s Scatterplot

LISA (Local Indicator of Spasial Autocorrelation)

Moran’s I juga dapat digunakan untuk pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal (Local autocorrelation) atau korelasi spasial pada setiap daerah. Semakin tinggi nilai lokal Moran’s, memberikan informasi bahwa wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang hampir sama atau membentuk suatu penyebaran yang mengelompok. Identifikasi Moran’s I tersebut adalah Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA), yang indeksnya dinyatakan dalam persamaan berikut :

I i=z i∑i=1

n

wij z j

Dimana z i=( x i−x )

σx

z j=( x j−x )

σ x

σ x=¿ nilai standar deviasi dari variable x

Pengujian terhadap paarmeter Ii dapat dilakukan sebagai berikut:a. Hipotesis

H0 : Ii = 0 ( tidak ada autokorelasi antar lokasi)H1 : Ii ≠ 0 ( ada autokorelasi antar lokasi)

b. Taraf signifikansi (α)c. Statistik uji

Page 5: tugas Kapsel Jurnal

Zhitung=I i−E (I i)

√Var (I i¿)¿

Variansi dari I0 adalah sebagai berikut:

var ( I i )=wi .(2)

(n−m4

m22 )

n−1−2wi (kh )

( 2 m4

m22−n )

(n−1 ) (n−2 )−

wi .2

(n−1)2

Dimana

w i .(2)=∑

j=1

n

wij2 dengan i≠ i

w i .2=(∑

j=1

n

wij❑)

2

w i (kh )=∑k ≠ i

n

∑h≠ i

n

wik wih

E ( I i )=−w i .

n−1

d. Kriteria UjiTolak H0 jika |Zhit|>Z α /2. Hubungan antara indeks Moran’s dengan LISA adalah sebagai

berikut I=∑i=1

n

I i

Pembobot

Hubungan kedekatan (neighbouring) antar lokasi dinyatakan dalam matrik pembobot W.Elemen-elemen matrik tersebut adalah wij yang menunjukkan ukuran hubungan lokasi ke-i dan ke-j. Lokasi yang dekat dengan lokasi yang diamati diberi pembobot besar, sedangkan yang jauh diberi pembobot kecil. Pemberian koding pembobotan di antaranya adalah kode biner:

w ij={1 , untuk i dan j yangberdekatan0untuk lainnya

Sementara itu jenis pembobotan area adalah persinggungan tepi (Linear Contiguity), persinggungan sisi (Rook Contiguity), persinggungan sudut (Bhisop Contiguity), dan lain-lain

Page 6: tugas Kapsel Jurnal

METODOLOGI PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah balita penderita gizi buruk Jawa Tengah 2012 yang diperoleh dari data Badan Pusat Statsitika (BPS) yang bersumber dari buku Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Peta lokasi dan kode kabupaten/ kota disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 1 berikut:

Gambar 2 Lokasi Penelitian

Tabel 1Kode kabupaten/Kota di Jawa Tengah

No Kabupaten/Kota No Kabupaten/Kota123456789101112131415161718

Kabupaten WonosoboKabupaten WonogiriKabupaten TemanggungKabupaten TegalKabupaten SukoharjoKabupaten SragenKabupaten SemarangKabupaten RembangKabupaten PurworejoKabupaten PurbalinggaKabupaten PemalangKabupaten PekalonganKabupaten PatiKabupaten MagelangKabupaten KudusKota TegalKota SurakartaKota Semarang

1920212223242526272829303132333435

Kota SalatigaKota Pekalongankota MagelangKabupaten KlatenKabupaten KendalKabupaten KebumenKabupaten KaranganyarKabupaten JeparaKabupaten GroboganKabupaten DemakKabupaten CilacapKabupaten BrebesKabupaten BoyolaliKabupaten BloraKabupaten BatangKabupaten BanyumasKabupaten Banjarnegara

Sementara itu, metode analisis melalui tahapan eksplorasi data melalui peta tematik dilanjutkan dengan analisis autokorelasi spasial, yaitu Moran’s I dan LISA. Pembobot yang digunakan adalah kode biner dan persinggungan sisi (Rook Contiguity).

Page 7: tugas Kapsel Jurnal

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah balita penderita gizi buruk di Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 1131, dimana kabupaten Blora menduduki peringkat tertinggi yaitu sebesar 105 balita, selanjutnya kabupaten Cilacap (92 balita), kabupaten Tegal (87 balita) dan kabupaten Brebes (86 balita), sedangkan untuk kota Surakarta tidak ada balita yang menderita gizi buruk. Dapat diketahui bahwa kabupaten-kabupaten tersebut saling berdekatan (kabupaten Cilacap, kabupaten Tegal, dan kabupaten Brebes) dan berlokasi di Jawa Tengah bagian barat. Pola persebaran kasus gizi buruk di Jawa Tengah disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Pola persebaran kasus gizi buruk di Jawa Tengah.

Nilai Moran’s I

Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi spasial dengan Moran’s I (Tabel 2) dengan tingkat signifikansi 5%, diketahui bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial karena nilai |Zhit|=0,5917 < 1,96.hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan atau hubungan jumlah balita penderita gizi buruk antar kabupaten/ kota di Jawa Tengah.

Tabel 2Pengujian Moran’s I

Moran’s I E ( I ) Mean Standar deviasi Z value0,0533 -0,0286 -0,0144 0,1144 0,5917

Page 8: tugas Kapsel Jurnal

Gambar 4 merupakan Moran’s scatterplot yang menunjukkan pola hubungan antara jumla balita penderita gizi buruk pada suatu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain.

Gambar 4. Moran’s scatterplot

Tabel 3 menunjukkan hasil Moran’s Scatterplot untuk kasus gizi buruk di Jawa Tengah. Kuadran I (High-High) dengan wilayah kabupaten Blora, kabupaten Tegal, kabupaten Banyumas, kabupaten Pati, kabupaten Cilacap, kabupaten Brebes merupakan wilayah dengan sifat autokorelasi spasial yang tinggi dan dikelilingi oleh wilayah sekitarnya yang mempunayi autokorelasi spasial yang tinggi pula.

Tabel 3 Hasil Moran’s Scatterplot

Kuadran I (HH) kabupaten Blora, kabupaten Tegal, kabupaten Banyumas, kabupaten Pati, kabupaten Cilacap, kabupaten Brebes

Kuadran II (LH) Kabupaten Rembang, kabupaten Pemalang, kabupaten Kudus, kota Tegal, kota Pekalongan, kabupaten Kebumen, kabupaten Grobogan, kabupaten Banjarnegara

Kuadran III (LL) Kabupaten Wonosobo, kabupaten Temanggung, kabupaten Sukoharjo, kabupaten Sagen, kabupaten Semarang, kabupaten Magelang, kota Surakarta, kota Salatiga, kota Magelang, kabupaten Klaten, kabupaten Kendal, kabupaten Karanganyar, kabupaten Demak, kabupaten Boyolali, kabupaten Batang

Kuadran IV (HL) Kabupaten Wonogiri, kabupaten Purworejo, kabupaten Purbalingga, kabupaten Pekalongan, kota Semarang, kabupaten Jepara,

Page 9: tugas Kapsel Jurnal

Nilai Local Indicator of Spasial Autocorrelation (LISA)

Untuk mengetahui signifikansi autokorelasi spasial secara lokal adalah melalui LISA. Dari pengujian ini akan didapatkan signifikansi secara lokal pada masing-masing kabupaten/kota.

Tabel 4 menunjukkan nilai moran’s I lokal dan value pengujian LISA. Dapat diketahui bahwa kabupaten Cilacap mempunyai moran’s I tertinggi yaitu sebesar 1,22898, sedangkan wilayah kabupaten Banyumas, kabupaten Boyolali, kota Tegal, dan kabupaten Pemalang merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai efek autokorelasi dengan wiayah lainnya.

Tabel 4 nilai indeks LISA pada setiap wilayah

No Nama Kab/Kota LISA pvalue

No Nama Kab/Kota LISA pvalue

1 Wonosobo 0.156105 0.178 19 Kota Salatiga 0.362363 0.52 Wonogiri -0.828042 0.14 20 Kota Pekalongan -0.181832 0.363 Temanggung 0.021967

10.214 21 Kota Magelang 0.595568 0.31

4 Tegal 0.425272 0.328 22 Klaten 0.117631 0.3665 Sukoharjo 0.162987 0.31 23 Kendal 0.0764172 0.2446 Sragen 0.371137 0.242 24 Kebumen -0.119654 0.2967 Semarang 0.129643 0.124 25 Karanganyar 0.246883 0.2228 Rembang -0.140771 0.018 26 Jepara -0.123497 0.4149 Purworejo -0.098537 0.19 27 Grobogan -0.048113 0.34410 Purbalingga -0.342352 0.474 28 Demak 0.102104 0.31411 Pemalang -0.817713 0.004 29 Cilacap 1.22989 0.10612 Pekalongan -0.663722 0.084 30 Brebes 1.14818 0.07413 Pati 0.247924 0.206 31 Boyolali 0.0294615 0.01614 Magelang 0.18224 0.252 32 Blora 0.142625 0.38215 Kudus -0.083541 0.406 33 Batang 0.119243 0.3416 Kota Tegal -1.44416 0.012 34 Banyumas 0.188531 0.01417 Kota Surakarta 0.823672 0.094 35 Banjarnegara -0.077573 0.29618 Kota Semarang -0.045694 0.312

KESIMPULAN

Jumlah balita penderita gizi buruk di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 1.131, dimana kabupaten Blora menduduki peringkat tertinggi yaitu 105 balita, dan untuk kota Surakarta tidak terdapat balita yang menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk yang tinggi menyebar di lokasi Jawa Tengah bagian barat. Angka moran’s I adalah sebesar 0,0533 dan tidak menunjukkan adanya autokorelasi spasial (tidak ada hubungan antara lokasi yang satu dengan yang lain). Sementara dengan LISA, didapat kesimpulan bahwa ada pengelompokkan kabupaten/ kota yang signifikan.

Page 10: tugas Kapsel Jurnal

DAFTAR PUSTAKA

1. [BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2013. Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2012. Semarang: BPS Provinsi Jawa Tengah

2. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : Kemenkes RI.

3. Prahutama, Alan. 2014. Analisis Kemenangan Pemilihan Gubernur (PILGUB) Jawa Tengah 2013 dengan Autokorelasi Spasial. Statistika, Vol. 2, No. 1, Hal:1-7.

4. Dwi Bekti, Rokhana. 2012. Autokorelasi Spasial untuk Identifikasi Pola Hubungan Kemiskinan di Jawa Timur. ComTech Vol.3, No.1, Hal:217-227.