tugas individu 3_filsafat

33
1 BAB I PENDAHULUAN Berpikir secara filsafat memiliki dua karakteristik yakni menyeluruh dan mendasar. Menyeluruh berarti ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang dari segi ilmu pengetahuan itu sendiri, akan tetapi dilihat juga hubungannya dengan ilmu lain, kaitannya dengan agama dan moral. Sementara mendasar berarti bersifat kritis terhadap ilmu pengetahuan yang ada, tidak percaya begitu saja bahwa ilmu tersebut benar. Beberapa pertanyaan berkaitan dengan karakteristik mendasar ini adalah: mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian ilmu itu dilakukan? Apakah kriterianya sudah benar?. Jadi, berfilsafat itu berarti mencari hakikat dari ilmu pengetahuan yang kita pelajari. Demikian halnya dengan filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang menyelidiki serta menjelaskan segala sesuatu terkait matematika. Filsafat matematika bertujuan untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Dalam filsafat matematika akan ditelusuri beberapa hal antara lain: apa hakikat matematika, apakah objek dari matematika itu, sejak kapan matematika muncul dalam kehidupan manusia, apa manfaat matematika dalam peradaban manusia, bagaimana pengaruh budaya dan kehidupan sosial manusia terhadap perkembangan matematika, serta banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menjadi tujuan yang hendak diselidiki. Matematika sebagai hasil pengamatan manusia terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari fenomena inilah muncul berbagai persoalan matematika yang pada waktu itu belum dikenal oleh manusia. Pada zaman yunani orang-orang mulai memikirkan persoalan-persoalan tersebut dan mendapatkan fakta bahwa matematika yang dilakukan sehari-hari itu adalah abstraksi dan idealisasi. Dalam perkembangannya, banyak aliran-aliran yang dipercaya dan dianut oleh pendahulu-pendahulu terkait dengan matematika. Ada Aliran logisisme, formalisme, konstruktivisme serta paham absolutisme dan fallibist yang semuanya memberikan beragam pandangan dalam proses pengkajian matematika yang mana hal itu mengiringi perkembangan matematika dari waktu ke waktu. Pemikiran-pemikiran para filsuf serta ilmuwan zaman dahulu tersebut berdampak pada kehidupan zaman sekarang, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya maupun dalam praktik pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, filsafat matematika begitu penting untuk dipelajari.

Upload: ulfah-nasution

Post on 17-Jan-2017

311 views

Category:

Healthcare


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas individu 3_filsafat

1

BAB I

PENDAHULUAN

Berpikir secara filsafat memiliki dua karakteristik yakni menyeluruh dan mendasar.

Menyeluruh berarti ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang dari segi ilmu pengetahuan itu

sendiri, akan tetapi dilihat juga hubungannya dengan ilmu lain, kaitannya dengan agama dan

moral. Sementara mendasar berarti bersifat kritis terhadap ilmu pengetahuan yang ada, tidak

percaya begitu saja bahwa ilmu tersebut benar. Beberapa pertanyaan berkaitan dengan

karakteristik mendasar ini adalah: mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian ilmu

itu dilakukan? Apakah kriterianya sudah benar?. Jadi, berfilsafat itu berarti mencari hakikat

dari ilmu pengetahuan yang kita pelajari.

Demikian halnya dengan filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang

filsafat yang menyelidiki serta menjelaskan segala sesuatu terkait matematika. Filsafat

matematika bertujuan untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk

memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Dalam filsafat matematika

akan ditelusuri beberapa hal antara lain: apa hakikat matematika, apakah objek dari

matematika itu, sejak kapan matematika muncul dalam kehidupan manusia, apa manfaat

matematika dalam peradaban manusia, bagaimana pengaruh budaya dan kehidupan sosial

manusia terhadap perkembangan matematika, serta banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya

yang menjadi tujuan yang hendak diselidiki. Matematika sebagai hasil pengamatan manusia

terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari fenomena inilah

muncul berbagai persoalan matematika yang pada waktu itu belum dikenal oleh manusia.

Pada zaman yunani orang-orang mulai memikirkan persoalan-persoalan tersebut dan

mendapatkan fakta bahwa matematika yang dilakukan sehari-hari itu adalah abstraksi dan

idealisasi. Dalam perkembangannya, banyak aliran-aliran yang dipercaya dan dianut oleh

pendahulu-pendahulu terkait dengan matematika. Ada Aliran logisisme, formalisme,

konstruktivisme serta paham absolutisme dan fallibist yang semuanya memberikan beragam

pandangan dalam proses pengkajian matematika yang mana hal itu mengiringi perkembangan

matematika dari waktu ke waktu. Pemikiran-pemikiran para filsuf serta ilmuwan zaman

dahulu tersebut berdampak pada kehidupan zaman sekarang, baik dalam aspek kehidupan

sosial budaya maupun dalam praktik pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, filsafat

matematika begitu penting untuk dipelajari.

Page 2: Tugas individu 3_filsafat

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Filsafat Matematika

Filsafat merupakan kajian menyeluruh tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam

kehidupan manusia, baik itu pengalaman hidup maupun cara-cara berpikir manusia itu sendiri.

Filsafat secara umum berusaha menjawab 3 pertanyaan untuk membedakan pengetahuan yang

satu dengan pengetahuan yang lain dalam kehidupan manusia yaitu apa yang dikaji oleh

pengetahuan itu (ontologi)?, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut

(epistemologi)?, dan untuk apa pengetahuan tersebut digunakan (aksiologi)?.

Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan

menjelaskan segala sesuatu tentang matematik, sehingga dapat memberikan rekaman sifat,

metodologi dalam matematika serta memahami kedudukan matematika dalam kehidupan

manusia. Pendekatan epistemologinya adalah dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan di

bidang apapun, diwakili oleh satu set proposisi bersama dengan satu prosedur untuk

memverifikasinya atau memberikan pembenaran atas pernyataan-pernyataannya. Hal inilah

yang menyebabkan pengetahuan matematika terdiri dari proposisi beserta pembuktiannya.

Sederhananya, filsafat matematika merupakan penyedia dasar kepastian pengetahuan

matematika. Kebenaran matematika merupakan asumsi yang mendasari doktrin fungsi filsafat

matematika. Pondasi tersebut terikat pada pandangan absolutis matematika. Dalam hal ini,

pembenaran menjadi pandangan utama filsafat matematika.

B. Hakikat Matematika

Istilah matematika berasal dari bahasa Inggris, mathematics yang berarti ilmu pasti.

Mathematical merupakan kata sifat, artinya berhubungan dengan ilmu pasti. Mathematically

adalah kata kerja yang artinya menurut ilmu pasti, secara mathematis, dan mathematician

adalah kata benda yang berarti orang yang ahli matematika.

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika artinya ilmu tentang

bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam

penyelesaian masalah mengenai bilangan. Matematika dikatakan sebagai bahasa karena

matematika memuat simbol-simbol yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan

yang ingin disampaikan. Melalui simbol-simbol matematika, informasi-informasi

dikomunikasikan secara jelas kepada orang lain. Lambang-lambang dalam matematika

bersifat artifisial dimana baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.

Page 3: Tugas individu 3_filsafat

3

Kekurangan-kekurangan yang ada pada bahasa verbal dapat dilengkapi oleh matematika.

Matematika menghilangkan sifat-sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal,

misalnya untuk menunjukkan proses memanjangnya suatu benda akibat perlakuan tertentu

maka informasi ukuran panjang secara eksak dapat ditunjukkan melalui simbol-simbol

matematika. Bahasa matematika bersifat jelas, spesifik dan informatif sehingga tidak

menimbulkan konotasi yang emosional. Jadi jelaslah bahwa matematika merupakan bahasa

yang digunakan untuk berkomunikasi. Matematika juga disebut sebagai sarana berpikir

deduktif yang mana matematika berperan dalam proses pengambilan kesimpulan yang

didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Secara deduktif

matematika menentukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis yang mana

pengetahuan tersebut adalah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah

ditemukan sebelumnya.

Secara tradisional, matematika telah dipandang sebagai paradigma pengetahuan

tertentu. Euclid mendirikan sebuah struktur logis yang megah hampir 2.500 tahun lalu dalam

Elements, yang sampai akhir abad kesembilan belas diambil sebagai paradigma untuk

mendirikan kebenaran dan kepastian. Newton menggunakan bentuk Elemen di dalam

bukunya Principia, dan Spinoza dalam Etika, untuk memperkuat klaim mereka atas penjelasan

kebenaran sistematis. Dengan demikian matematika telah lama diambil sebagai sumber

pengetahuan yang paling tertentu yang dikenal bagi umat manusia.

Pertanyaan tentang apa (ontologi) merupakan pengetahuan inti dari filsafat dan

jawaban dasar filsafat untuk pertanyaan tersebut adalah bahwa pengetahuan adalah keyakinan

yang dibenarkan. Pengetahuan awalnya terdiri dari dalil yang dapat diterima (dapat

dipercaya), asalkan ada alasan yang memadai untuk menegaskannya. Pengetahuan

diklasifikasikan atas dasar alasan untuk pernyataan tersebut. Pengetahuan terbagi dalam dua

kategori, yaitu pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan

apriori memuat proposisi yang didasarkan atas penalaran, tanpa dibantu dengan observasi

terhadap dunia. Penalaran di sini memuat penggunaan logika. Sebaliknya pengetahuan

aposteriori memuat proposisi yang didasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi

dunia. Pengetahuan apriori terdiri dari dalil yang ditegaskan berdasarkan pemikiran sendiri,

tanpa jalan lain untuk pengamatan dunia. Berikut alasan penggunaan logika deduktif dan

makna istilah, biasanya dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau

pengetahuan posteriori terdiri dari dalil berdasarkan pengalaman atau berdasarkan

pengamatan dunia.

Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori, karena terdiri

dari dalil berdasarkan nalar semata. Termasuk alasan logika deduktif dan definisi yang

Page 4: Tugas individu 3_filsafat

4

digunakan, dalam hubungannya dengan seperangkat asumsi aksioma atau postulat

matematika, sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika. Jadi dasar

pengetahuan matematika yang merupakan alasan untuk menyatakan kebenaran dalil

matematika terdiri dari bukti deduktif. Bukti dalil matematika adalah rentetan yang terbatas

dari pernyataan akhir pada dalil, yang memenuhi bahwa setiap pernyataan yang merupakan

aksioma diambil dari seperangkat aksioma sebelumnya, atau diturunkan dengan aturan

kesimpulan dari satu atau lebih pernyataan yang terjadi sebelumnya. Dalam pembuktian

matematika, ada dua asumsi yang digunakan yaitu asumsi matematis dan asumsi logis (aturan

inferensi sebagai bagian dari bukti teori keseluruhan dan sintaks logis).

C. Pandangan Absolutis dalam Pengetahuan Matematika

Pandangan absolutis dalam pengetahuan matematika adalah bahwa pengetahuan

matematika merupakan kebenaran mutlak, pengetahuan yang unik dan unchallengeable (tidak

dapat ditantang). Penganut absolutisme memandang bahwa pengetahuan matematika

didasarkan atas dua jenis asumsi; matematika ini berkaitan dengan asumsi dari aksioma dan

definisi, dan logika yang berkaitan dengan asumsi aksioma, aturan menarik kesimpulan dan

bahasa formal serta sintak. Ada lokal (micro) dan ada global (macro) asumsi, seperti deduksi

logika cukup untuk menetapkan kebenaran matematika. Pandangan absolutis menemui

masalah pada permulaan permulaan abad 20, ketika sejumlah antinomis dan kontradiksi yang

diturunkan dalam matematika. Kontradiksi lainnya yang muncul adalah teori himpunan dan

teori fungsi. Penemuan ini berakibat terkuburnya pandangan absolutis tentang matematika.

Para ahli banyak berbeda pendapat tentang filsafat matematika. Pemikiran tentang

matematika diwarnai dengan perdebatan sengit antara ahli matematika yang satu dengan ahli

matematika lainnya. Karena adanya perdebatan ini seoalah-olah para ahli terkotak-kotak

menurut kelompoknya masing-masing berdasarkan sudut pandang pandang dan ide yang

dikeluarkannya. Ada 3 aliran besar mempengaruhi perkembangan matematika, termasuk

perkembangan pendidikan matematika, yakni:

1. Aliran Logisisme

Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya

antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R.

Carnap(1931). Logisme dipelopori oleh filsuf Inggris bernama Bertrand Arthur William

Russell. Pernyataan penting yang dikemukakannya adalah bahwa semua konsep matematika

secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika dan semua kebenaran matematika

dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika semata.

Dengan demikian logika dan matematika merupakan bidang yang sama karena seluruh konsep

Page 5: Tugas individu 3_filsafat

5

dan dalil matematika dapat diturunkan dari logika. Betran merumuskan dua tuntutan

logisisme secara jelas dan eksplisit yaitu:

1. Semua konsep matematika pada akhirnya dapat dikurangi pada konsep logika, asal saja

ini diambil untuk memasukkan konsep dari kumpulan teori atau beberapa kekuatan yang

serupa, seperti jenis teori Russel

2. Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma-aksioma dan aturan-aturan

yang terkait dengan logika itu sendiri.

Jika semua matematika dapat diekspresikan dalam teorema logika murni dan dibuktikan dari

prinsip-prinsip logika sendiri maka kepastian dari ilmu matematika dapat dikurangi untuk dan

dari logika itu. Logika disadari untuk menyediakan sebuah dasar yang pasti atas kebenaran,

sebagian dari ambisi yang berlebihan mencoba untuk menyampaikan logika, seperti hukum

Frege yang kelima. Dengan demikian jika membantu, program logika akan menyediakan

dasar logika yang pasti untuk pengetahuan matematika, melahirkan kembali kepastian yang

mutlak dalam matematika

Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:

a. Bahwa pernyataan matematika sebagai implikasi pernyataan sebelumnya, dengan

demikian kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa

menyatakan benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua

kebenaran matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.

b. Teorema Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk

mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses

mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuk menurunkan semua

kebenaran matematika.

c. Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan

tidak dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan

merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar

tertentu untuk pengetahuan matematika.

2. Aliran Formalisme

Dalam aliran formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang yang

formal, bertalian dengan sifat–sifat struktural dari simbol–simbol dan proses pengolahan

terhadap lambang–lambang itu. Simbol–simbol dianggap mewakili berbagai sasaran yang

menjadi obyek matematika. Bilangan–bilangan misalnya dipandang sebagai sifat–sifat

struktural yang paling sederhana dari benda–benda. Jejak filosofi formalis matematika dapat

ditemukan dalam tulisan-tulisan Uskup Berkeley. Landasan matematika formalisme

Page 6: Tugas individu 3_filsafat

6

dipelopori oleh ahli matematika besar dari Jerman David Hilbert. Program formalis Hilbert

bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam sistem formal. Artinya, dalam lingkup

terbatas tetapi sangat mengarah pada sistem formal yang menunjukkan sifat matematika,

dengan menurunkan mitra resmi dari semua kebenaran matematika melalui bukti konsistensi.

Menurut Ernest (1991) aliran formalisme memiliki dua dua tesis, yaitu :

� Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan

sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.

� Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak

konsistenan. Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang pendukung aliran formalisme

merumuskan matematika sebagai ilmu tentang sistem – sistem formal.

Beberapa ahli tidak menerima konsep aliran formalisme ini. Keberatan bermula ketika

Godel membuktikan bahwa tidak mungkin bisa membuat sistem yang lengkap dan konsisten

dalam dirinya sendiri. Pernyataan ini dikenal dengan Teorema Ketidaklengkapan Godel

(Godel’s Incompleteness Theorem). Ketidaklengkapan Teorema Kurt Godel (Godel, 1931)

menunjukkan syarat yang tidak bisa dipenuhi. Teorema pertamanya menunjukkan bahwa

bahkan tidak semua kebenaran dari aritmatika dapat diturunkan dari aksioma Peano (atau

setiap aksioma set yang rekursif lebih besar). Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan

bahwa dalam kasus konsistensi pembuktian memerlukan meta-matematika. Jadi, tidak semua

kebenaran matematika dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal dan

sistem itu sendiri tidak dapat dijamin kebenarannya.

3. Konstruktivisme

Dalam aliran konstruktivisme, salah satu programnya adalah merekonstruksi

pengetahuan matematika dan memperbaiki praktik matematis untuk menjaganya dari

kehilangan makna, dan dari kontradiksi. Konstruktivisme pada filsafat matematika dapat

ditelusuri kembali oleh Kant dan Kronecker (Korner,1960). Untuk tujuan ini, konstruktivis

menolak pendapat non konstruktif seperti pembuktian Cantor terhadap bilangan real tak

terhingga dan hukum logika. Para Konstruktivis yang terkenal adalah intuisionis L.E.J

browner (1913) dan A. Heyting (1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop (1967)

telah melakukan program konstruktivis dengan merekonstruksi sebagian besar analisis secara

konstruktif. Berbagai bentuk konstruktivisme masih berkembang saat ini, seperti dalam karya

intuisionis filosofis M.Dummet (1963-1977). Konstruktivisme mencakup berbagai pandangan

yang berbeda, dari ultra intuisionis (A.Yessenin-Volpin), melalui apa yang disebut intuisionis

filosofis sempurna (L.E.J. Brouwer), intuisionis menengah (A. Heyting dan H. Weyl),

Page 7: Tugas individu 3_filsafat

7

intuisionis logika modern (A. Troelstra) dan sampai pada konstruktivis Liberal yakni dari P.

Lorenzen, E. Bishop, G. Kreisel dan P. Martin-Lof.

Ahli matematika beranggapan bahwa matematika klasik tidak cukup kuat, dan perlu

dibangun kembali melalui metode konstruktif dan penalaran. Kontruktivis mengklaim bahwa

kebenaran matematika dan keberadaan objek matematika harus ditetapkan melalui metode

konstruktif. Ini berarti bahwa konstruksi matematika dibutuhkan untuk mendirikan kebenaran

atau keberadaan, dibandingkan dengan mengandalkan bukti yang kontradiksi. Bagi para

kontruktivis, pengetahuan harus dibangun melalui bukti-bukti konstruktif, berdasarkan logika

kontruktivis terbatas, dan makna istilah/objek matematis memuat prosedur formal

sebagaimana mereka dikonstruk. Meskipun beberapa kontruktivis mempertahankan bahwa

matematika adalah studi tentang proses konstruktif yang dilakukan dengan menggunakan

pensil dan kertas, pandangan kuat intusionis, dipimpin oleh Brouwer, matematika menempati

tempat utama dalam pikiran dan matematika tertulis menempati tempat kedua. Salah satu

konsekuensi, Brouwer menganggap semua aksiomatisasi logika intuisi tidak lengkap,

sehingga dianggap tidak pernah memiliki bentuk akhir.

Intuisionisme menggambarkan filosofi konstruktivis paling lengkap dalam

matematika. Dua klaim dipisahkan dari intuisionisme sebagaimana diistilahkan oleh

Dummett: tesis positif dan negatif. Tesis positif menyatakan bahwa cara intuisionik untuk

mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah koheren dan masuk akal,

matematika intuisionik membentuk teori yang jelas, sementara tesis negatif menyatakan

bahwa cara klasik untuk mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah tidak

koheren dan tidak masuk akal, matematika klasik memiliki bentuk yang menyimpang dan

banyak yang tidak jelas.

Namun, para konstruktivis belum menunjukkan bahwa ada masalah yang tak

terhindarkan untuk menghadapi matematika klasik meskipun tidak koheren dan tidak valid.

Memang matematika klasik murni dan terapan telah hilang sejak program konstruktivis

diusulkan. Masalah lain dari pandangan konstruktivisme adalah beberapa hal tidak konsisten

dengan matematika klasikal, misalnya, rangkaian bilangan real seperti yang didefenisikan

oleh intuisionis dapat dihitung. Ini bertentangan dengan hasil klasik bukan karena ada

kontradiksi yang sudah menjadi sifat, tetapi karena defenisi bilangan real berbeda. Gagasan

konstruktivisme memiliki arti yang berbeda dari gagasan klasik. Dari perspektif epistemologi

baik tesis positif dan negatif dari intuisionime memiliki kekurangan. Intuisionis memberikan

landasan tertentu untuk kebenaran matematika dengan menurunkannya dari aksioma intuisi

tertentu menggunakan metode pembuktian intuitif. Pandangan ini mendasarkan pengetahuan

matematika secara eksklusif pada keyakinan subjektif. Namun, kepercayaan absolut tidak

Page 8: Tugas individu 3_filsafat

8

dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga ada jaminan bahwa intuisi intuisionis

yang berbeda tentang kebenaran dasar akan serupa, akan tetapi ini tentu saja tidak ada.

D. Kekeliruan pada Paham Absolutisme ( Kemutlakan )

Ketiga aliran dalam matematika baik logisisme, formalisme, dan intuisionisme telah

berupaya untuk menyediakan suatu pondasi kuat untuk kebenaran matematis, menurunkannya

dengan pembuktian matematika dari sesuatu yang terbatas tetapi pada bidang yang pasti pada

suatu kebenaran. Hasilnya ketiga kelompok tersebut gagal untuk menetapkan kepastian yang

mutlak tentang kebenaran matematika. Karena logika deduktif hanya menyalurkan kebenaran,

tidak memasukkan kebenaran dan kesimpulan dari pembuktian yang logis merupakan yang

terbaik sebagai kepastian premis terlemah. Ketiga kelompok tersebut juga gagal untuk

memberikan landasan yang sepenuhnya untuk kebenaran matematis. Untuk teorema

ketidaklengkapan Godel yang pertama menunjukkan bukti tidak cukup untuk menunjukkan

semua kebenaran. Dengan begitu ada kebenaran matematika yang tidak dimiliki oleh sistem

kelompok ini. Kenyataannya tiga kelompok berpikir dalam filsafat matematika yang telah

gagal membangun kepastian dari pengetahuan matematika tidak menyudahi persoalan umum.

Masih mungkin ditemukannya dasar-dasar lain untuk menyatakan kebenaran matematika.

Kebenaran mutlak dalam matematika menyisakan suatu matematika yang mempunyai suatu

dampak yang sangat kuat pada cara pengajaran (Davis, 1967: Cooney, 1988: Ernest, 1988 b,

1989c). Sebuah studi menyimpulkan bahwa konsistensi yang diamati antara konsep

matematika guru dan cara mereka menyajikan suatu isi menunjukkan bahwa pandangan,

kepercayaan dan kesukaan guru tentang matematika mempengaruhi praktek pengajaran

mereka (Thompos, 1984, halam 125). Isu tersebut adalah inti bagi filsafat pendidikan

matematika dan memiliki hasil praktis yang penting untuk pengajaran dan pembelajaran

matematika.

E. Kritik Fallibist terhadap Absolutisme

Ada beberapa kritik dari penganut paham Fallibilist tentang kelemhaman dari paham

Absolutisme. Yang pertama menyangkut logika yang mendasar pada pembuktian matematis.

Penetapan kebenaran matematika, yaitu deduksi teorema dari seperangkat aksioma,

membutuhkan asumsi lebih lanjut, yaitu aksioma dan aturan inferensi logika sendiri. Ini

merupakan asumsi yang tidak sepele dan tidak dapat dihapuskan, dan argumen di atas (sifat

tak dapat dijabarkan dari asumsi seperti lingkaran tak berujung) berlaku sama pada logika.

Dengan demikian kebenaran matematika tergantung pada logika mendasar sama seperti

asumsi matematis. Tidak mungkin hanya menambahkan semua asumsi logika pada

Page 9: Tugas individu 3_filsafat

9

sekumpulan asumpsi matematis, mengikuti strategi hypothetico-deduktif 'jika-maka'. Logika

memberikan aturan-aturan kesimpulan yang benar dimana teorema matematika tersebut

berasal. Memasukkan semua asumsi logis dan matematis ke dalam bagian 'hipotesis' tidak

meninggalkan dasar pada bagian ‘deduktif’ dari metode tersebut. Deduksi menyangkut

'kesimpulan yang benar’, dan ini pada gilirannya didasarkan pada gagasan tentang kebenaran

(kebenaran nilai). Tapi apa kemudian fondasi dari kebenaran logis? Ini tidak dapat bersandar

pada bukti, pada lingkaran tak berujung, sehingga harus diasumsikan. Tetapi setiap asumsi

tanpa dasar yang kuat, apakah itu diperoleh melalui intuisi, konvensi, berarti atau apa pun

adalah, adalah sebuah kesalahan. Singkatnya, kebenaran dan bukti matematis bersandar pada

deduksi dan logika. Tetapi logika sendiri kekurangan fondasi yang pasti. Hal ini terlalu

bersandar pada asumsi yang tidak tereduksi. Sehingga ketergantungan pada deduksi logis

meningkatkan sekumpulan asumsi pada sandaran kebenaran matematis, dan ini tidak bisa

dinetralisir oleh strategi 'jika-maka’.

Matematika terdiri dari teori-teori (misalnya teori grup, teori kategori) yang dipelajari

dalam sistem matematika, berdasarkan serangkaian asumsi (aksioma). Untuk menetapkan

bahwa sistem matematika aman (konsisten), untuk setiap sistem kita diperlukan untuk

memperluas serangkaian asumsi dari sistem (teorema ketidak lengkapan Godel kedua,1931).

Oleh karena itu kita mengasumsikan konsistensi dari sistem yang lebih kuat untuk

mendemonstrasikan kelemahan. Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui bahwa sistem

matematika paling mudah adalah aman, dan kemungkinan kesalahan dan inkonsistensi harus

selalu tetap. Kepercayaan pada keamanan matematika harus didasarkan atas dasar empiris

(tidak ada kontradiksi yang ditemukan pada sistem matematika) atau pada kepercayaannya,

tidak juga memberikan dasar tertentu yang absolutisme butuhkan.

Masing-masing asumsi berikut adalah beberapa kondisi yang diperlukan untuk

kepastian dalam matematika. Masing-masing yang diperdebatkan adalah asumsi absolut yang

tidak beralasan.

Asumsi A

Bukti yang dipublikasikan matematikawan sebagai jaminan untuk menegaskan teorema, pada

prinsipnya, dapat diterjemahkan ke dalam bukti-bukti formal yang teratur. Pembuktian

informal yang dipublikasikan matematikawan umumnya tidak sempurna, dan tidak berarti

seluruhnya dapat diandalkan (Dawis, 1972). Menerjemahkannya ke dalam bukti-bukti formal

yang teratur sepenuhnya bukanlah yang utama, pekerjaan non mekanis. Hal ini membutuhkan

kecerdasan manusia untuk menghubungkan gap dan untuk memperbaiki kesalahan. Karena

pembenaran secara total dari matematika tidak akan mungkin dilakukan, apa nilai yang

Page 10: Tugas individu 3_filsafat

10

menyatakan bahwa bukti-bukti informal dapat diterjemahkan ke dalam bukti-bukti formal

'pada prinsipnya'. Ini adalah janji yang tidak terpenuhi, bukan alasan untuk kepastian.

Pembenaran secara total adalah cita-cita yang tidak tercapai dan bukan realita praktis. Oleh

karena itu kepastian tidak dapat diklaim sebagai bukti matematika, sekalipun kritik

sebelumnya tidak diabaikan.

Asumsi B

Bukti formal yang kaku dapat diperiksa kebenarannya.

Sekarang ada bukti informal tidak dapat diperiksa manusia, seperti Appel-Haken (1978) bukti

teorema empat warna (Tymoczko, 1979). Terjemahan ke dalam bukti-bukti formal yang kaku

akan menjadi lebih lama. Jika ini tidak mungkin disurvei oleh seorang matematikawan, atas

dasar apa mereka dianggap sebagai kebenaran mutlak? Jika bukti tersebut diperiksa oleh

komputer apa yang menjadi jaminan bahwa perangkat lunak dan hardware yang dirancang

benar-benar sempurna, dan bahwa perangkat lunak tersebut berjalan sempurna? Mengingat

kompleksitas perangkat keras dan perangkat lunak tampaknya tidak masuk akal dapat

diperiksa oleh satu orang. Lebih lanjut, pemeriksaan tersebut melibatkan unsur empiris

(yakni, apakah berjalan sesuai dengan desain?). Jika pemeriksaan bukti-bukti formal tidak

dapat dilakukan, atau memiliki unsur empiris, maka klaim kepastian absolut harus dilepaskan

(Tymoczko, 1979).

Asumsi C

Teori-teori Matematika dapat diterjemahkan secara valid ke dalam serangkaian aksioma

formal. Formalisasi teori matematika intuitif dalam seratus tahun terakhir (misalnya, logika

matematika, teori bilangan, teori himpunan, analisis) telah menyebabkan masalah yang

mendalam dan tak terduga, sebagai konsep-konsep dan bukti berada di bawah pengawasan

semakin ketat, saat mencoba untuk menjelaskan dan merekonstruksinya. Formalisasi yang

memuaskan dari matematika tidak dapat diasumsikan tanpa masalah. Sampai formalisasi ini

dilakukan tidak mungkin untuk menyatakan dengan pasti bahwa hal itu dapat dilakukan

secara sah. Tapi sampai matematika diformalisasikan, ketelitiannya, sebagai kondisi yang

diperlukan untuk kepastian, diluar angan-angan.

Asumsi D

Konsistensi dari representasi (dalam asumsi C) dapat diperiksa.

Page 11: Tugas individu 3_filsafat

11

Seperti yang kita ketahui dari Teorema Ketidaklengkapan Godel, ini bertambah secara

signifikan terhadap asumsi pokok yang mendukung pengetahuan matematika. Jadi tidak ada

jaminan kebenaran mutlak.

F. Pandangan Fallibilist

Dalam pandangan Fallibilist, kebenaran matematika dapat keliru dan dapat

diperbaiki/dibenarkan. Tesis fallibilist memiliki dua bentuk setara, satu positif dan satu

negatif. Bentuk negatif menyangkut penolakan paham absolutisme: pengetahuan matematika

bukan kebenaran mutlak, dan tidak memiliki validitas mutlak. Bentuk positif adalah bahwa

pengetahuan matematika dapat diperbaiki dan selalu terbuka untuk revisi (perbaikan).

G Matematika dan Nilai

1. Pandangan Matematika Netral dan Bebas Nilai

Filosofi absolutis berkomitmen dengan keyakinan mutlak pada obyektifitas dan

netralitas pada matematika serta memuat nilai. Sebab, sebagaimana telah kita lihat, dalam

matematika ada nilai-nilai implisit. Abstrak dinilai lebih konkret, formal lebih informal,

tujuan lebih subjektif, pembenaran atas penemuan, rasionalitas atas intuisi, alasan di atas

emosi, umum lebih khusus, teori di praktek, kerja otak atas pekerjaan tangan, dan

sebagainya. Ini merupakan banyak nilai-nilai yang jelas dari matematika, serta dimiliki oleh

banyak budaya ilmiah Inggris dan Barat. Menurut pengikut paham Absolutisme, nilai-nilai ini

menyangkut matematika dan budaya mereka, dan bukan wilayah tujuan matematika itu

sendiri. Diklaim bahwa nilai-nilai absolutis dimasukkan ke matematika, baik secara sadar atau

tidak sadar, melalui definisi lapangan. Dengan kata lain, semua perspektif absolutisme akan

diakui sebagai pengetahuan matematika yang dapat dipercaya yang harus memenuhi nilai-

nilai. Dalil matematika dan buktinya, produk-produk dari wacana matematika formal sebagai

matematika yang sah, penemuan matematika, praktek matematikawan dan produk lainnya dan

proses wacana matematika informal dan tidak profesional. Setelah aturan pembatasan disiplin

ditetapkan dengan cara ini, maka dapat mengklaim bahwa matematika adalah netral dan bebas

nilai. Untuk tempat nilai-nilai ada aturan yang menentukan hal yang diterima.

Nilai matematikawan telah dikembangkan sebagai bagian dari disiplin dengan logika

yang kuat dan estetika. Jadi Tidak akan masuk akal untuk menyatakan bahwa nilai-nilai ini

melakukan apa pun kecuali secara eksplisit melayani kepentingan sosial kelompok. Namun

demikian, apakah sengaja atau tidak, kenyataannya bahwa nilai-nilai ini tidak melayani

kepentingan kelompok istimewa. Keuntungan laki-laki atas perempuan, kulit putih atas kulit

hitam, dan kelas menengah atas kelas bawah, dalam hal keberhasilan akademis dan prestasi

Page 12: Tugas individu 3_filsafat

12

dalam matematika sekolah. Hal ini mendorong kepentingan yang lebih istimewa dalam

masyarakat, karena fungsi sosial khusus matematika sebagai 'kritis filter' dalam hal akses ke

profesi yang dibayar paling baik (Menjual, 1973, 1976). Dengan demikian nilai-nilai rahasia

matematika dan matematika sekolah melayani dominasi budaya masyarakat dengan satu

sektor. Tanggapan absolut untuk mengisi ini adalah bahwa matematika adalah objektif dan

netral serta bebas nilai. Setiap nilai yang tersirat dalam matematika tidak mewakili pilihan

atau preferensi tetapi penting untuk sifat dari perusahaan.

2. Pandangan matematika syarat nilai dan terikat budaya

Pandangan konstruktivisme sosial matematika sebagai produk dari aktivitas manusia

terorganisir, sepanjang waktu. Berbagai bidang pengetahuan ciptaan manusia, interkoneksi

oleh asal mereka bersama dan sejarah. Akibatnya, matematika seperti sisa budaya

pengetahuan terikat, dan dijiwai dengan nilai-nilai pembuat dan konteks budaya mereka.

Catatan sejarah pembentukan matematika

Catatan sejarah pembuatan matematika, bukan hanya jalur yang ditinggalkan oleh

matematika untuk mendekati kebenaran lebih dekat. Ini masalah catatan yang diajukan, dan

konsep, proposisi, bukti-bukti dan teori dibuat, dinegosiasikan dan dirumuskan oleh individu

dan kelompok untuk melayani tujuan dan kepentingan mereka. Konsekuensi dari pandangan

ini, karena filsafat absolut telah mendominasi lapangan, bahwa sejarah matematika harus

ditulis ulang dengan cara yang non-teleologis non-Eurocentric. Pandangan absolutis

matematika sebagai kebenaran yang diperlukan secara implisit mengasumsikan bahwa

penemuan hampir ditakdirkan dan bahwa matematika modern merupakan hasil tak terelakkan.

Koreksi ini perlu, untuk matematika modern tidak lebih dalam hasil yang tak terelakkan dari

sejarah daripada manusia modern adalah hasil yang tak terelakkan dari evolusi.

Semua bidang pengetahuan manusia saling berhubungan

Konstruktivisme sosial dimulai dari premis bahwa semua pengetahuan yang dihasilkan

oleh aktivitas intelektual manusia, memberikan kesatuan genetik yang mendasari untuk semua

bidang pengetahuan manusia. Konstruktivisme sosial terletak pada pembenaran pengetahuan

atas dasar bersama, yaitu perjanjian manusia. Jadi baik dari segi asal-usulnya dan dasar

pembenaran, pengetahuan manusia memiliki kesatuan mendasar, dan semua bidang

pengetahuan manusia yang saling berhubungan. Akibatnya, menurut konstruktivisme sosial,

pengetahuan matematika dihubungkan terkait dengan bidang pengetahuan lain, dan melalui

Page 13: Tugas individu 3_filsafat

13

bagian akarnya, juga syarat nilainya, diakui menjadi bidang pengetahuan lainnya, karena

dihubungkan dengan mereka.

Matematika terikat budaya dan sarat nilai

Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan manusia, hal itu merupakan

budaya-terikat dan dijiwai dengan nilai-nilai pembuat dan konteks budaya mereka. Akibatnya

meliputi kehidupan sosial dan budaya (Davis dan Hersh, 1988). Shirley (1986) mengusulkan

pembagian matematika menjadi matematika formal dan informal, terapan dan murni.

Menggabungkan perbedaan ini mendorongnya untuk membagi empat kategori aktivitas

matematika, masing-masing termasuk sejumlah praktek-praktek yang berbeda, sebagai

berikut:

a) Matematika formal-murni, termasuk matematika penelitian universitas, dan banyak dari

matematika diajarkan di sekolah.

b) Matematika formal-diterapkan, berpengaruh baik ke keluar lembaga pendidikan, dan

seterusnya, seperti bekerja dengan statistik di industri.

c) Matematika informal-murni terlibat dalam lembaga-lembaga sosial di luar matematika,

yang mungkin disebut 'budaya' matematika murni.

d) Matematika informal-diterapkan, yang terdiri dari berbagai macam matematika tertanam

dalam kehidupan sehari-hari, kerajinan, adat atau bekerja.

Sebagai bagian dari budaya suatu masyarakat, matematika memberikan kontribusi

pada keseluruhan tujuan. Untuk membantu orang memahami kehidupan dan dunia,

menyediakan alat untuk berurusan dengan berbagai pengalaman manusia. Bagian dari budaya

matematika melayani tujuan tujuan secara keseluruhan. Tapi budaya matematika di setiap

bagian berbeda dan dapat diberikan peran yang berbeda pula untuk bermain, sebagai

kontribusi terhadap tujuan ini. Dengan demikian budaya matematika berimplikasi pada

agama, artistik, praktis, teknologi, penelitian untuk kepentingan sendiri, dan seterusnya.

Apapun itu, budaya matematika masing-masing mungkin melayani keperluan sendiri secara

baik dan efisien, karena telah berkembang untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan selamat.

Akibatnya, masing-masing budaya matematika sama-sama berharga, karena semua budaya

sama-sama valid.

Sebuah kesalahan untuk berpendapat bahwa akademik Barat matematika lebih

berharga atau efisien daripada matematika dari budaya lain. Untuk klaim nilai atau efisiensi

matematika mengasumsikan sistem nilai. Setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai yang

merupakan bagian dari pandangannya tentang dunia, tujuan keseluruhan, dan memberikan

Page 14: Tugas individu 3_filsafat

14

tujuan kepada para anggotanya. Setiap kebudayaan, seperti setiap individu, memiliki hak

integritas. Dengan demikian, sistem nilai-nilai budaya dari masing-masing, sama-sama valid.

Dalam hal kemutlakan, tidak ada dasar untuk menyatakan bahwa sistem nilai dari satu budaya

atau masyarakat lebih unggul daripada yang lainnya. Hal ini tidak bisa menegaskan, oleh

karena, bahwa matematika Barat lebih unggul daripada yang bentuk lain karena kekuasaan

yang lebih besar atas alam. Ini kesalahan dengan mengasumsikan bahwa nilai-nilai budaya

Barat dan matematika bersifat universal. Pengakuan sifat terikat budaya matematika pasti

mengarah ke pengakuan sifat sarat nilai.

H. Gender dan Pendidikan Matematika

Masalah yang muncul terkait gender dan pendidikan matematika adalah kesenjangan

antara laki-laki dan perempuan pada tingkat partisipasi dalam matematika. Selama dua dekade

bukti telah terkumpul bahwa perempuan kurang beruntung dari laki-laki dalam pendidikan

matematika (Fox et al., 1977) . Di Inggris, Hilary Shuard mendokumentasikan ketimpangan

ini pada awal tahun 1980-an (Cockcroft, 1982). Ada dua hal yang menjadi acuan masalah ini

yaitu: Rendahnya prestasi perempuan dalam ujian eksternal, Perempuan kurang berpartisipasi

dalam matematika.

Sejak matematika menjadi 'pintu gerbang' untuk berbagai bidang studi lebih lanjut,

dan 'kritis filter' dalam pekerjaan, matematika sangat penting (Menjual, 1973, 1976). Ini

adalah sumber ketimpangan, yang menutup peluang pendidikan dan karir perempuan, dan

menghalangi masyarakat tentang manfaat bakat mereka. Lebih dari itu, ada dua dimensi lebih

lanjut: seksisme kelembagaan di bidang pendidikan dan seksisme dalam masyarakat menjadi

akar masalah (Cockcroft, 1982; Walden dan Walkerdine, 1982; Whyld, 1983; Burton, 1986;

Open University, 1986; Walkerdine, 1989; Walkerdine et al, 1989).

1. Seksisme kelembagaan dalam pendidikan, Ini diwujudkan dalam hal:

• isi budaya dari kurikulum (matematika sebagai domain laki-laki);

• bentuk-bentuk penilaian yang digunakan (kompetitif);

• teks bias gender dan lembar kerja (stereotip);

• metode mengajar yang digunakan (individualistis bukan lisan dan kooperatif);

• organisasi sekolah dan seleksi;

• ketidakcukupan panutan perempuan yang positif antara matematika guru

• dan sadar seksisme di kalangan guru.

Page 15: Tugas individu 3_filsafat

15

2. Seksisme dalam masyarakat

Ini diwujudkan dalam beberapa bentuk yang kuat termasuk :

• keyakinan yang jelas seksis dan perilaku

• dominasi budaya ( legitimasi dan mereproduksi peran gender stereotip dan bidang

pengetahuan , termasuk matematika gender bias ) ; dan

• seksisme kelembagaan struktural (yang menyangkal kesempatan perempuan yang

sama, sehingga mereproduksi ketidaksetaraan gender dalam masyarakat).

Beberapa faktor-faktor yang saling terkait dan berkontribusi terhadap masalah gender

dalam matematika dapat ditunjukkan sebagai siklus reproduktif berikut. Hal ini menunjukkan

kurangnya kesempatan peremuan dalam belajar matematika. Pandangan negatif mengarah ke

perempuan terhadap kemampuan matematika mereka sendiri, dan memperkuat persepsi

mereka tentang matematika sebagai subjek laki-laki. Konsekuensinya adalah rendahnya

pencapaian perempuan dan partisipasinya dalam matematika.

Gambar: Siklus reproduktive kesempatan kaum perempuan dalam belajar matematika

Para pragmatis teknologi memberi solusi terhadap hambatan perempuan untuk

menjadi tenaga kerja di bagian teknologi melalui pelatihan yang bersahabat dengan

perempuan. Mereka mengakui bahwa langkah-langkah tertentu harus diambil untuk

mengatasi bias gender dalam pendidikan matematika dan teknologi. Para pendidik maju

melihat masalah dalam diri perempuan dalam hal prestasi dan kurang percaya diri. Menurut

Page 16: Tugas individu 3_filsafat

16

pandangan ini, ada hambatan pribadi untuk perempuan mencapai potensi mereka, yang dapat

diperburuk melalui pengajaran dan materi sensitif atau seksis. Solusi pendidik maju mengatasi

masalah ini adalah dengan (1) memastikan materi kurikulum tidak bias jender dan

memberikan panutan perempuan baik dalam matematika; dan (2) membantu perempuan untuk

mengembangkan konsep diri matematika yang positif dan sikap, melalui perhatian individu

dan pengalaman sukses dalam matematika. Pendekatan ini individualistik yakni menemukan

masalah dalam individudan berusaha untuk memperbaiki kondisi mereka merupakan respon

yang terdalam dan sejauh ini dianggap paling prinsipiil.

Pandangan pendidik masyarakat

Dari pandangan pendidik masyarakat, perempuan dipandang kurang partisipasi dalam

matematika karena wacana budaya yang mengakar kuat yang mengidentifikasi matematika

dengan kejantanan dan kekuasaan, dan konsekuensi dari definisi ini adalah perempuan keluar

dari matematika (Walkerdine et al, 1989). Jadi masalah tersebut menjadi epistemologis, dan

tidak dapat dipisahkan sosio politik. Untuk dominasi budaya pengetahuan rasional dan ilmiah

oleh nilai-nilai kejantanan, berfungsi hirarki yang sah dan mempertahankan dominasi status

laki-laki, kekuasaan dan kekayaan, dan politik di masyarakat.

Solusi pendidik masyarakat adalah pendidikan anti seksis, yang menetapkan (1)

mengungkapkan dan memberantas seksisme kelembagaan eksplisit di guru, teks, pandangan

pengetahuan, dan akhirnya dalam definisi budaya jenis kelamin, (2) untuk memberikan semua

dengan memberdayakan pendidikan matematika.

I. Tujuan dan Ideologi Pendidikan Matematika

1. Sikap Epistemologi dan Etika

Filosofi matematika yang berbeda memberikan hasil yang berbeda dalam hal praktik

pendidikan.namun hubungannya tidak langsung, sehingga penyelidikan atas filosofi yang

mendukung pengajaran matematika dan kurikulum matematika membuat kita harus

mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan kelompok-kelompok sosial yang menaatinya.

Ideologi

bagian ini membedakan berbagai ideologi yang tergabung dalam kedua pandangan

epistemologi dan etis.karena konsep ideologi itu penting, sehingga sangatlah tepat untuk

menjelaskan artinya terlebih dahulu.williams (1977) menelusuri salah satu penggunaan pada

napoleon Bonaparte, dimana ini menandakan pemikiran revolusioner, yang dianggap sebagai

suatu ide yang tidak diinginkan dan mengancam cara berpikir yang baik dan masuk akal.hal

Page 17: Tugas individu 3_filsafat

17

ini menyebabkan penggunaan indeologi rendah yaitu sebagai teori fanatik atau teori

masyarakat yang tidak praktis. Meskipun Mark pertama kali menggunakan istilah kesadaran

palsu, dimana para pemikir membayangkan motif yang palsu atau nyata (Meighan, 1986

halaman 174), Ia kemudian menggunakannya dalam arti yang dimaksudkan di sini .dalam

pengertian ideologi yang lebih sosiologi ini, ideologi merupakan suatu filsafat yang kaya

nilai, atau berpandangan luas(secara mendunia), suatu sistem gagasan dan keyakinan yang

saling mengunci satu sama lain.

Dengan demikian ideologi yang dipahami disini menjadi persaingan sistem

kepercayaan, penggabungan nilai sikap secara epistemologi dan moral, tanpa merendahkan

makna ideologi itu sendiri. Pengertian-pengertian tersebut tidak boleh dihadapkan dengan isi

ilmu pengetahuan dan matematika, tetapi untuk mendukung dan menyerap pengetahuan ini

dan untuk mengilhami pemikiran kelompok yang sesuai dengan ny (Gidden, 1983; Althusser,

1971). Ideologi sering dilihat para penganutnya sebagai ‘cara yang sebenar-benarnya dari

semua hal’ (Meighan, 1986),

Karena hal tersebut sering substratum yang tak terlihat untuk hubungan antara kekuasaan dan

dominasi dalam masyarakat (Giddens, 1983; Althusser, 1971). Namun perlakuan terhadap

ideologi yang diberikan di sini menekankan pada aspek epistemologi, etika, pendidikan,

kepentingan sosial kekuasaan dan dominasi akan dibahas untuk selanjutnya.

Tujuan dari bab ini adalah untuk menghubungkan filsafat umun dan pribadi dari

matematika dan pendidikan.Sebagai tambahan atas filsafat yang secara eksplisit kita juga

akan membahas sistem kepercayaan individu dan kelompok. Keyakinan seperti ini tidak

begitu mudah terlepas dari konteksnya sebagai filsafat publik, dan menjadi bagian dari

keseluruhan hubungan (nexus) ideologis. Kepercayaan ini terdiri dari komponen yang saling

terjalin, termasuk epistemologi pribadi, rangkaian nilai-nilai dan teori-teori pribadi lainnya.

Oleh karenanya, dibutuhkan lebih dari epistemologi untuk menghubungkan filsafat publik

dengan ideologi pribadi.

Sebagai dasar untuk membedakan ideologi kita mengadopsi teori Perry (1970, 1981) .

Teori Ini adalah teori psikologi tentang perkembangan sikap epistemologi individu dan etis

dan juga merupakan teori struktural yang memberikan/ menyiapkan suatu kerangka kerja

yang sesuai dengan berbagai macam filosofi yang berbeda dan rangkaian nilai.

Theory Perry

Teori perry menentukan urutan tahap perkembangan, serta memungkinkan fiksasi , dan

mengalami kemunduran dari level tersebut. Untuk sederhananya, kami hanya

mempertimbangkan tiga tahap yaitu Dualisme, Multiplisitas, dan Relativisme . Teori ini tidak

Page 18: Tugas individu 3_filsafat

18

berakhir di Relativisme, tetapi terus melalui beberapa tahapan Komitmen. Namun tahapan ini

tidak mewakili restrukturisasi radikal keyakinan, tidak seperti entrenchment dan integrasi

relativisme kedalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari skema perry adalah asumsi

bahwa perkembangan intelektual dan etika mulai tertanam dalam serangkaian keyakinan yang

tidak dipertanyakan, berlangsung melalui beberapa tingkat detasemen kritis, dan kemudian

kembali tertanam dengan sendirinya dalam suatu komitmen terhadap seperangkat prinsip

intelektual dan etika. Jadi tiga tahap dibahas disini cukup untuk membedakan ideologi yang

secara struktural berbeda.

Dualisme

Dualisme Sederhana adalah penataan bercabang dari dunia antara yang baik dan

buruk, benar dan salah, kita dan pandangan lainnya.pandangan Dualistik ditandai dengan

dikotomi sederhana dan ketergantungan yang kuat pada keabsolutan dan otoritas sebagai

sumber kebenaran, nilai, dan kontrol. Sehingga dalam hal keyakinan epistemologi , dualisme

menyiratkan pandangan absolutis terhadap pengetahuan yang dibagi menjadi dua yaitu

kebenaran dan klepalsuan, bergantung pada otoritas sebagai wasit. Pengetahuan tidak dinilai

secara rasional, tetapi dinilai dengan mengacu pada otoritas. Dalam hal keyakinan etika,

Dualisme berarti bahwa semua tindakan hanya dinilai atas benar atau salah.

Semua masalah ini diselesaikan denga ketaatan[penyelarasan diri dengan Otoritas]:

ketaatan, kesesuaian terhadap hak dan apa yang mereka inginkan. Keinginan/kemauan

kekuasaan (will popwer) dan pekerjaan akan menghasilkan kongruensi aksi dan penghargaan.

Keserbaragaman tidak diperhitungkan . diri didefinisikan terutama oleh keanggotaan dalam

hak dan tradisional.(Perry, 1970, akhir-chart)

Keserbaragaman

Sebuah pluralitas 'jawaban', menunjukkan pandangan atau evaluasi, dengan mengacu

topik atau masalah yang sama. Pluralitas ini dianggap sebagai kumpulan yang mempunyai

ciri-ciri tersendiri tanpa struktur internal maupun hubungan eksternal , dalam artian orang

memiliki hak untuk memiliki pendapatnya sendiri, dengan implikasi bahwa tidak ada

penilaian dapat dibuat terhadapa pendapat-pendapat tersebut.(Perry, 1970, akhir chart).

Pandangan Multiplistic mengakui pluralitas 'jawaban', pendekatan atau perspektif, baik yang

bersifat epistemologis dan etis, tetapi tidak memiliki dasar rasional pilihan antara Alternatif-

alternatif.

Page 19: Tugas individu 3_filsafat

19

Relativisme

Sudut pandang pluralitas, interpretasi, kerangka acuan, sistem nilai dan kontinjensi di

mana sifat struktural dari konteks dan bentuk memungkinkan adanya berbagai macam

analisis, perbandingan dan evaluasi dalam multiplisitas.

(Perry, 1970, akhir-chart)

Secara Epistemologis, Relativisme mengharuskan pengetahuan, jawaban dan pilihan

dilihat sebagaisuatu yang tergantung pada fitur konteks, dan dievaluasi atau dibenarkan dalam

sistem atau prinsip-prinsip yang diatur. Dari sudut pandang etika , tindajkan dianggap

diinginkan atau tidak diinginkan berdasarkan kesesuaian dengan konteks dan sistem nilai-nilai

dan prinsip-prinsip.

Sejumlah peneliti pendidikan telah menemukan Skema Perr adalah kerangka yang

berguna untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etika dan juga keyakinan

pribadi.termasuik juga aplikasinya untuk tingkat pemikiran sistem teori siswa y menjadi

berguna kerangka untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etis dan keyakinan

pribadi. Ini termasuk aplikasi ke tingkat pemikiran teori sistem siswa (Salner, 1986),

mahasiswa dan siswa jurusan matematika ((Buerk, 1982; Stonewater et . al, 1988) dan guru

matematika terkait keyakinan-sistem yang terkait (Copes, 1982, 1988; Oprea dan Stonewater,

1987; Cooney dan Jones, 1988; Cooney, 1988; Ernest, 1989a perguruan tinggi dan sekolah

tinggi mahasiswa matematika Dengan demikian teori Perry secara luas digunakan untuk

menggambarkan filosofi pribadi, khususnyadalam matematika.

J. Hirarki dalam Matematika, Belajar, Kemampuan Dan Masyarakat

1. Hirarki dalam Matematika

Untuk semua teori matematika formal, dengan sekumpulan aksioma tetap, maka ada

struktur hirarkis, pilihan aksioma, bersamaan dengan spesifikasi aturan interferensi dan latar

belakang bahasa formal, menentukan teori matematika hirarkis. Namun, matematika dibentuk

oleh banyak teori yang berbeda, kebanyakan memiliki formulasi aksiomatik yang berbeda.

Aksiomatik menetapkan teori misalnya, memiliki sejumlah aksiomatisasi yang cukup berbeda

seperti teori Zermelo-Fraenkel dan Teori Godel-Bernays-von-Neuman (Kneebone, 1963). Di

luar itu, banyak ahli matematika selanjutnya mengubah teori himpunan aksiomatik yang

mereka pelajari dengan menambahkan aksioma lanjut (Jech, 1971; Maddy, 1984). Akibatnya,

tidak ada keseluruhan struktur bagi matematika formal, karena ini terbentuk dari banyak

sekali teori yang berbeda dan pembentukan teori, semuanya dengan struktur dan hirarkinya

sendiri. Selanjutnya, sebenarnya setiap satu dari teori aksioma ini tidaklah lengkap, menurut

Godel (1931). Maka ada kebenaran teori yang tidak memiliki tempat dalam hirarki deduktif.

Page 20: Tugas individu 3_filsafat

20

Seperti yang kita tahu dalam bab sebelumnya, usaha yang dilakukan oleh beberapa ahli

matematika hebat dari abad ini untuk menciptakan pengetahuan matematika dalam system

fondasi tunggal dimana logicist, formalist atau intuitionist, semuanya gagal. Sehingga hasil

dari meta-matematika mendorong kita untuk memahami bahwa matematika dibentuk oleh

teori keserberagaman yang berbeda, dimana hal ini tidak bisa diturunkan pada sistem tunggal,

dan tidak ada dari teori ini yang cukup untuk menangkap semua kebenaran bahkan dalam

domain aplikasi yang terbatas. Lebih lanjut, belajar matematika paling baik diatur dengan cara

ini, bahwa kemampuan matematika disusun dengan cara seperti ini dan masyarakat memiliki

struktur hirarkis yang pasti, terutama dalam pembelajaran.

Keunikan hiearki matematika tergantung pada persetujuan seperti pada fondasi

matematika, Bourbaki mengasumsikan serangkaian fondasi teoritis. Kita telah melihat

bahwa Foundationist mengklaim bahwa matematika berada dalam kegagalan fondasi yang

unik. Paling tidak dua alternatif pada fondasi teoritis dalam matematika ada. Pertama,

telah diklaim bahwa Teori Kategori bisa memberikan dasar alternatif matematika, dalam

tempat teori himpunan (Lawvere, 1966). Klaim ini belum sepenuhnya dibenarkan, namun

meski demikian ini merupakan tantangan bagi keunikan fondasi teoritik himpunan. Ada

cabang teori kategori (teori Topos) yang kedua-duanya logika intuisi dan klasik dapat

diturunkan (Bell, 1981). Karena teori himpunan dapat ditunjukkan dalam logika klasik urutan

pertama, maka bisa diturunkan untuk teori kategori. Kedua, logika intuisionis memberikan

fondasi bagi matematika. Meskipun tidak semua matematika bisa ditunjukkan dalam

kaitannya dengan basis ini, sebagian besar dari program telah direalisasikan untuk analisis,

oleh Bishop (1967) dan yang lainnya. Oleh karena itu logika intuisionist mengakomodir

matematika combinatioral, tidak seperti fondasi teoriti himpunan dari matematika klasik.

Sehingga dalam basis dua argumen ini, klaim bahwa keberadaan struktur unik pada

matematika disangkal.

2. Matematika Hasil Dari Pengajuan Dan Pemecahan Masalah Manusia.

Konstruktivisme sosial mengidentifikasi matematika sebagai satu kemasyarakatan,

yang diakibatkan dari permasalahan manusia dan pemecahannya. Matematika sesuatu

kemungkinan yang unik pada pusat yang memberikan permasalahan, yang dapat tersisa atau

tidak dapat terpecahkan dan merupakan hal menarik institusi dari ribuan tahun. Sejumlah ahli

filsafat telah mengidentifikasi masalah dan pemecahan masalah berada pada pusat ilmiah.

Laudan (1997) dengan tegas mengajukan satu model pemecahan masalah dengan kemajuan

ilmiah. Dia membantah bahwa yang meyediakan ini, terjadi dalam konteks (atau budaya)

yang mengijinkan bahasan/diskusi yang kritis, pemecahan masalah adalah karakteristik yang

Page 21: Tugas individu 3_filsafat

21

penting dengan rasionalitas ilmiah dan metodologi. Pada filsafat dari matematika, Hallet

(1979) mengajukan masalah, dimana hal tersebut harus, memainkan satu peran kunci pada

evaluasi dari teori matematis. Dia mengadopsi Kriteria Hilbert’, bahwa teori dan program

penelitian dalam matematika harus dinilai dengan luas kemana arah mereka membantu solusi

dari permasalahan tersebut. Kedua pendekatan ini mengakui adanya kepentingan dari masalah

dalam kemajuan ilmiah, tetapi mereka berdua memiliki andil pada satu fokus pembenaran

apabila dibandingkan dengan ciptaan dari teori. Ini adalah ‘konteks dari pembenaran’,

dibandingkan oleh Popper (1959) dengan ‘konteks dari penemuan’, yang dia abaikan.

Sejak zaman Euclid, atau sebelumnya, penekanan dalam presentasi matematika

menggunakan logika deduktif dan berperan dalam pembenaran pengetahuan matematika. Ini

adalah salah satu prestasi besar dari matematika. Namun penekanannya

pada teorema dan bukti, dan secara umum tentang pembenaran, telah membantu untuk

menopang pandangan absolut tradisional dari matematika. Pengenalan awal dari suatu

masalah dan pemecahan masalah dalam matematika mengingatkan kita akan sejarah dari ilmu

matematika, salah satunya yang menekankan konteks kalimat dari penemuan atau penciptaan.

Dari masa yunani kuno, telah dikenal pendekatan sistematis yang dapat memudahkan

penemuan dalam matematika. Dengan demikian, antara lain, Pappus menulis satu risalah yang

mencirikan di antara analitik dan sintetik sebagai metode pemecahan masalah. Yang pertama

melibatkan memisahkan komponen logis atau semantik dari premis atau kesimpulan,

sedangkan yang terakhir melibatkan membawa elemen baru ke dalam bermain dan mencoba

untuk menggabungkan mereka. Perbedaan ini telah terjadi sepanjang sejarah, dalam beberapa

kali telah digunakan oleh psikolog untuk membedakan berbagai tingkat proses kognitif

(Bloom, 1956).

Sejak zaman Renaisans, sejumlah metodologi penting dari ilmu pengetahuan telah

berusaha untuk mengatur ciptaan dalam jalan yang merupakan pertanda dari heuristik

matematis. Bacon (1960) mengajukan suatu metode atau cara menginduksi untuk

memunculkan hipotesis, yang kemudian menjadi sasaran pengujian. Agar memudahkan asal

usul dengan hipotesis induktif, dia mengajukan konstruksi dengan tabel sistematis dari hasil

atau fakta, diorganisir untuk memperlihatkan persamaan dan perbedaan. Usulan tersebut

diterbitkan pada tahun 1620, antisipasi heuristik dari penelitian modern pada pemecahan

masalah matematis, seperti Kantowski, yang ditetapkan sebagai ‘ proses Heuristik

berhubungan untuk merencanakan, mencari-cari pola, membuat tabel atau matriks ’ (Bell dkk,

1983 halaman 208).

Pada tahun 1628 Descrates (1931) mengusulkan prosedur lanjut, yang secara eksplisit

makin menuju ke arah penemuan matematika. Termasuk di dalamnya adalah penyederhanaan

Page 22: Tugas individu 3_filsafat

22

pertanyaan, pencacahan berurutan, pemunculan contoh-contoh untuk memfasilitasi

generalisasi induktif, penggunaan diagram untuk membantu pemahaman, simbolisasi

hubungan, representasi hubungan dengan persamaan aljabar, dan penyederhanaan persamaan.

Prosedur ini menginspirasi banyak prosedur yang diterbitkan 350 tahun kemudian sebagai alat

bantu untuk mengajarkan pemecahan masalah. seperti Mason dkk (1982) dan Button (1984).

Pada tahun 1830 Whewell mengusulkan model penemuan dengan tiga tahap: (1)

klarifikasi, (2) colligation (induksi), dan (3) verifikasi, yang masing-masing memiliki

sejumlah komponen dan metode. Teori Whewell ini lebih banyak berkaitan dengan ilmu

pengetahuan empirik, namun sangat bisa digunakan dalam matematika. Whewell sendiri

adalah pengikut Kant yang percaya bahwa kebenaran yang diperlukan terjadi di dalam

matematika dan ilmu pengetahuan. Polya (1945), menginisiasi model pemecahan masalah

untuk matematika, yakni (1) memahami masalah, (2) merancang rencana dan

melaksanakannya, dan (3) melihat ke belakang (maksudnya mengevaluasi).

Sejarah proses penemuan dalam matematika tercatat sangat panjang dan sebanding

dengan penemuan manusia itu sendiri. Poincaré dan Hadamard memberikan komentar bahwa

peran intuisi dan kesadaran dalam penemuan penemuan matematika. Bagi mereka,

matematikawan besar memiliki ruang-ruang matematis khusus yang memungkinkan mereka

untuk menembus tabir misterius sekitarnya, menembus 'realitas matematika', dan mencapai

kebenaran yang utuh. Pandangan ini berdasarkan penemuan matematis yang mendukung

penganut faham elit, pandangan penganut kemutlakan dari matematika, pencipta ilmu dari

ciptaan manusianya.

Pandangan tersebut dikonfirmasi oleh nilai-nilai yang melekat pada matematika.

Kegiatan dan wacana matematika berlangsung pada tiga tingkat wacana formal, informal dan

sosial matematika. Dalam masyarakat Barat, dan khususnya, dalam budaya profesional

matematika, ini dinilai dalam urutan. Tingkat wacana matematika formal disediakan untuk

presentasi membenarkan matematika, yang menempati derajat tinggi. Wacana matematika

informal berlangsung pada tingkat yang lebih rendah, dan tentunya diberi nilai yang lebih

rendah. Tetapi aktivitas matematika dan kreatifitas matematika secara alami terjadi pada

tingkat informal, dan ini berarti bahwa ia memiliki status yang lebih rendah (Hersh, 1988).

Istilah penganut konstruktivisme sosial disematkan pada orang yang menganggap

bahwa dalam matematika terjadi hubungan antara subjektivitas dan obyektivitas pengetahuan.

Hal ini berarti bagi penganut konstruktivisme sosial konteks penemuan (kreasi) dan

pembuktian tidak bisa sepenuhnya dipisahkan. Pembuktian dalam matematika merupakan

produk kreativitas manusia yang berwujud konsep, dugaan, dan teori.

Page 23: Tugas individu 3_filsafat

23

Konstruktivisme sosial mengidentifikasi semua pelajar matematika sebagai pencipta

matematika, namun hanya mereka yang mendapatkan persetujuan kritis masyarakat

matematika yang dapat menghasilkan pengetahuan bonafid yaitu baru (Ernest menyebutnya

matematika yang yang disahkan). Aktivitas matematika dari siapapun yang produktif serta

melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah, secara kualitatif tidak berbeda dari aktivitas

profesional matematika lain. Matematika non-produktif tidak menawarkan hal yang sama,

karena pada dasarnya reproduksi teori adalah lawan dari kreativitas , dan Ernest menyebutnya

dengan 'matematika beku'.

K. Masalah dan Investigasi dalam Pendidikan

Sebagian besar dari matematika adalah bermula dari masalah manusia dan pemecahannya,

maka pembahasan bab terakhir ini akan terkait dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

� Matematika sekolah harus bersumber dari masalah pengajuan dan pemecahan masalah

manusia.

� Permintaan dan penyelidikan harus menempati posisi penting dalam kurikulum

matematika sekolah.

� Fakta bahwa matematika adalah fallible (dapat dislahkan, tidak absolut) dan merupakan

konstruksi manusia yang subjektif, hendaknya menjadi salah satu pertimbangan dalam

menyusun kurikulum.

� Pedagogi yang digunakan harus diawali dengan proses dan penyelidikan terfokus.

Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini bahwa istilah matematika untuk semua bergeser

menjadi matematika oleh semua. (volmik, 1990)

1. Masalah dan Investigasi: Beberapa Perbedaan

Pembelajaran matematika dengan pemecahan masalah dan investigasi telah dikenal

luas dalam dunia pendidikan matematika Inggris sejak Cockcroft (1982). Di belahan dunia

lain, pemecahan masalah dapat ditelusuri lebih jauh ke masa lalu, setidaknya untuk Brownell

(1942) dan Polya (1945), dan mungkin tokoh-tokoh sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam

tinjauan selektif penelitian dalam pemecahan masalah matematika, Lester (1980) mengutip

106 referensi penelitian, mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah diterbitkan pada

saat itu.Dalam pendidikan matematika Inggris, pemecahan masalah dan investigasi mungkin

pertama kali muncul di tempat kejadian pada tahun 1960-an, dalam Asosiasi Guru

Matematika (1966) dan Asosiasi Guru di Sekolah Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967).

Page 24: Tugas individu 3_filsafat

24

Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran pemecahan masalah dan

pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak jelas dan dipahami secara

berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada kesepakatan bahwa dua hal tersebut

berhubungan dengan matematika inkuiri (penemuan). Karenanya, pembahasan selanjutnya

melangkah pada matematika berbasis inkuiri, mulai dari fokus, proses, sampai sisi

pedagogisnya.

a). Objek Dari Penyelidikan

Objek penyelidikan adalah masalah dan titik awal investigasi. Salah satu definisi

masalah adalah suatu situasi di mana seorang individu atau kelompok dituntut untuk

melakukan tugas, dimana tugas tersebut tidak memiliki cara yang mudah untuk menentukan

solusi. Perlu ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan adanya keinginan dari individu

atau kelompok untuk melakukan tugas tersebut. (Lester, 1980,halaman 287). Definisi ini

menunjukkan masalah sebagai suatu tugas tidak biasa yang membutuhkan kreativitas untuk

diselesaikan. Penyelesaian masalah ini akan memunculkan relativitas dari masing-masing

orang. Maksudnya adalah tiap-tiap orang akan memunculkan ide-ide berbeda dalam usahanya

memecahkan masalah tersebut. Ini akan berefek pula pada penyusunan kurikulum

matematika, dimana penyusunan kurikulum pasti akan membawa siswa menuju satu definisi,

algoritma, atau bahasa sederhananya rumus tertentu. Penyusunan kurikulum juga akan terkait

dengan posisi siswa dalam belajar. Penyusunan kurikulum matematika akan terkait dengan

posisi siswa sebagai individu dan kelompok. Siswa bukanlah suatu wadah kosong yang bias

langsung diisi dengan aturan kurikulum tertentu. Siswa memiliki keunikan masing-masing

sebagai individu, dan juga keunikan yang diakibatkan dari adat dan kebiasaan masyarakat di

sekitarnya. Secara lebih spesifik, bahwa tujuan pendidikan matematika bagi seorang guru dan

siswa-siswanya adalah kompleks, sehingga sangat naif jika dilakukan simplifikasi

(penggampangan) dalam menyusun kurikulum.

Sementara konsep investigasi dipermaslahkan karena dua sebab. Meskipun

'investigasi' adalah kata benda, namun sebenarnya kata investigasi memiliki makna yang berujung

pada penemuan (inkuiri). Sebuah kamus mendefinisikan investigasi sebagai proses

investigasi, pencarian, penemuan, pengujian sistematik, penelitian yang hati-hati. Dalam

pendidikan matematika terjadi pergeseran makna, investigasi adalah sebuah penyelidikan

matematika dengan pijakan awalnya adalah pertanyaan matematika atau situasi tertentu.

Pengertian ini menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran yang bertugas merekayasa

Page 25: Tugas individu 3_filsafat

25

investigasi, yang tentunya bertolak belakang dengan pandangan siswa sebagai pusat pembelajaran, yang

memandang investigasi sebagai aktivitas peserta didik.

Masalah pertama adalah bahwa ketika penyelidikan dapat dimulai dengan situasi

matematika atau pertanyaan, fokus kegiatan bergeser sebagai pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi

baru yang dihasilkan dan tereksplorasi. Di mana obyek penyelidikan bergeser dan didefinisikan

ulang oleh penanya. Ini berarti bahwa nilai terbatas untuk mengidentifikasi penyelidikan dengan

situasi pembangkit aslinya.

Masalah kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan) dimaknai sebagai kegiatan

yang dimulai dengan munculnya situasi matematika atau pertanyaan tertentu, lalu bergeser

pada pengajuan permasalahan baru, pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut.

Di sinilah obyek penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh peserta

didik (inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan menyulitkan pendefenisian

investigasi sebagai aktivitas yang terkait dengan situasi pembangkitaslinya (dalam bahasa lain,

dengan titik awal investigasi itu sendiri).

b). Proses Penyelidikan

Kontras dengan objek penelitian adalah proses penyelidikan itu sendiri, meskipun ini

tidak dapat dipisahkan secara keseluruhanya. Sebagaimana telah kita lihat dalam kasus

penyelidikan. Jika masalah diidentifikasi dengan sebuah pertanyaan, proses pemecahan

masalah matematika adalah kegiatan mencari jalan untuk mendapatkan jawabannya. Namun

proses ini merupakan jawaban yang unik, karena jawaban dapat memiliki beberapa solusi

untuk masalah. Semakin kompleks solusi yang didapat, berarti tingkat permasalahan yang

diajukan semakin tinggi. Dalam bahasa lain, pengertian pemecahan masalah adalah

menemukan jalur menuju solusi, atau meminjam bahasa ilmu geografi adalah menemukan rute

menuju tujuan yang diinginkan (metafora geografis).

Sejak zaman Nilsson (1971) telah muncul dasar bagi beberapa penelitian tentang

pemecahan masalah dalam matematika, yang memanfaatkan gagasan tentang ruang solusi

(solution space) atau ruang dari keadaan (state-space) sebagai representasi dari masalah.

Metafora geografis yang telah disebutkan di atas diwujudkan dalam bentuk ilustrasi yang

berbentuk diagram himpunan semua ruang yang dapat diperoleh dari keadaan awal. Keadaan

awal suatu masalah sendiri adalah himpunan semua ekspresi yang telah diperoleh dari pernyataan

awal masalah sampai saat tertentu (Lester, 1980,halaman 293). Kekuatan dari gagasan

metafora geografis ini adalah semua proses dapat semua langkah dalam proses dapat disajikan

(dalam sebuah diagram) dan jalur alternatif yang disebut proses tadi akan menjadi bagian

yang tak terpisahkan dengan langkah-langkah yang disajikan. Kelemahannya adalah semua

Page 26: Tugas individu 3_filsafat

26

kemungkinan yang muncul dari kondisi awal, bahkan kondisi-kondisi yang belum muncul,

belum terpikir, atau bahkan yang tidak mungkin muncul tetap dipandang sebagai sesuatu yang

belum muncul (as pre-existing) dan membutuhkan penemuan agar bisa muncul. Perlu dipahami

bahwa gagasan investigasi dalam pengertian metafora geografis ini cenderung cocok untuk

penganut absolutis dari pada platonis (dalam koridor cara pandang terhadap matematika).

Metafora geografis juga diterapkan pada proses penyelidikan matematika. Penekanannya

adalah pada eksplorasi bagian matematika ke segala arah. Proses perjalanannya (bukan

tujuannya) (Pirie, 1987, halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah

yang tidak diketahui, dari pada perjalanan menuju ke tujuan tertentu. Jadi ketika proses

pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen, investigasi matematika

adalah hal yang berbeda.

Bellet al. (1983) mengusulkan suatu model dari proses penyidikan, dengan empat

langkah yaitu merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi, integrasi. Menurutnya,

Di sini kata ‘investigasi digunakan dalam upaya untuk menghimpun segala macam cara

memperoleh pengetahuan (Bell dkk., 1983, halaman 207). Mereka berpendapat bahwa

penyelidikan matematika adalah bentuk khusus, dengan komponen karakteristiknya sendiri

yakni abstraksi, representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian, dan simbolisasi.

Pendekatan ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah proses mental yang terlibat dalam

investigasi matematika (dan pemecahan masalah). Sementara penulis lain, seperti Polya (1945)

berpendapat bahwa investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses pemecahan

masalah. Perbedaan utama antara Polya dan Bell adalah masuknya perumusan atau pengajuan

masalah ( problem posing), yang mendahului pemecahan masalah. Namun, walau model yang

diusulkan oleh dua tokoh tadi memiliki dasar empiris, tidak ada alasan dan justifikasi rasional

yang dapat dijadikan acuan untuk memilih salah satu model.

c). Pedagogi Berbasis Penyelidikan

Pemecahan masalah dan penyelidikan adalah sebagai pendekatan pedagogis untuk

matematika. Cockcroft (1982) mendukung pendekatan ini dengan judul 'gaya mengajar',

meskipun terminologi yang digunakan tidak membuat perbedaan antara model pembelajaran.

Salah satu cara kontras pendekatan Berbasis Penyelidikan adalah untuk membedakan peran

guru dan peserta didik, seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Page 27: Tugas individu 3_filsafat

27

Tabel 1: Suatu Perbandingan Metode Penyelidikan Untuk Mengajar Matematika

Metode Hal yang dilakukan guru Hal yang dilakukan siswa

Penemuan

terbimbing

- Mengajukan permasalahan, atau

memilih situasi dengan tujuan yang

sudah dibayangkan.

- Membimbing siswa menuju solusi

atau tujuan tadi.

Mengikuti petunjuk yang

diberikan guru

Pemecahan

masalah

- Mengajukan permasalahan

- Meninggalkan metode pencarian

solusi terbuka untuk dicari sendiri

oleh siswa.

Mencari jalan sendiri untuk

memecahkan masalah

Pendekatan

investigasi

Memilih situasi awal untuk

mengarahkan siswa

- Mendefenisikan masalah

dengan situasi yang ada

- Melakukan pemecahan dengan

cara mereka sendiri.

Tabel di atas menggambarkan pergeseran pembelajaran dari penemuan terbimbing,

pemecahan masalah, dan pendekatan investigasi tidak hanya terkait dengan proses

matematika. Pergeseran juga terjadi dalam ranah kontrol guru dalam hal jawaban, metode

yang dipakai peserta didik, sampai pada konten materi pelajaran. Peserta didik lebih bisa

menentukan solusi mana menerapkan metode dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa

memilih konten pelajaran yang ingin mereka pelajari. Pergeseran ke pendekatan yang lebih

berorientasi penyelidikan melibatkan peningkatan otonomi pelajar dan aturan pembelajaran

yang bebas ditentukan sendiri. Jika iklim kelas dengan aturan yang bebas dan ditentukan

sendiri seperti ini biasa dijaga konsistensinya, siswa akan dapat dibimbing sampai pada taha

kemandirian untuk menentukan interaksi, aturan dalam kelas, dan akses ke berbagai bahan

pembelajaran.

Pemecahan masalah dan investigasi matematika sebagai pendekatan pengajaran

memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas, dan membutuhkan satu hubungan yang kuat

antara guru dan siswa. Pemecahan masalah memungkinkan pelajar untuk berkreasi dalam

pembelajaran dan dalam situasi yang baru, guru masih mempertahankan kendali atas konten

dan instruksi. Jika pendekatan investigasi diterapkan sampai tahap memungkinkan siswa

untuk mengajukan masalah dan pertanyaan untuk selanjutnya diselidiki dengan cara yang

relatif bebas, akan terjadi pembelajaran berbasis pemberdayaan (empowering) dan pelibatan

Page 28: Tugas individu 3_filsafat

28

siswa (emansipatoris). Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah komunikasi dalam

pengalaman kelas dengan berbasis pada pandangan bahwa matematika itu progresif dan

fallible. Ini akan berakibat pada keunikan dan relatifitas dari masing-masing jawaban dan

metode yang diajukan siswa, bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai pembuat

pengetahuan.

2. Persepsi yang Berbeda terhadap Masalah dan Investigasi

Beberapa perbedaan yang sudah disebutkan dalam subbab sebelumnya menyebabkan

perbedaan- perbedaan yang muncul dalam memahami Masalah dan Investigasi serta

penggunaannya dalam pembelajaran matematika. Berikut perbedaan-perbedaan tersebut.

a. Penolakan terhadap Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi

Reaksi negatif terkuat untuk masalah dan investigasi muncul dari akibat pandangan

bahwa pendekatan ini tidak pantas digunakan untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan

pada persepsi bahwa matematika sekolah adalah konten yang berorientasi, dan bahwa fungsi

utamanya adalah untuk menanamkan keterampilan matematika dasar. Pendekatan ini

dipandang sebagai sesuatu yang sembrono, menyia-nyiakan waktu, dan sebuah kerja keras

yang mubazir. Ini adalah respon dari kelompok yang memandang pendidikan sebagai lahan

penyuplai kebutuhan industri. Kelompok ini secara sempit melihat isi matematika dengan

epistemologi dualistiknya. Bagi mereka, pembelajaran adalah model transmisi otoriter, dan

setiap usaha meningkatkan otonomi siswa dalam pembelajaran sangat ditentang.

b. Penggabungan Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Konten

Kelompok kedua menganggap pendekatan ini perlu untuk dimasukkan sebagai konten

dari kurikulum matematika. Kelompok ini memandang bahwa pendekatan ini dapat

memperkaya konten matematika. Namun aliran absolut yang mereka anut membuat mereka

mengabaikan penyelidikan sebagai salah satu unsur penting dalam pendekatan ini. Burghes

(1984), yang mewakili perspektif ini, merumuskan investigasi dalam (1) penyelidikan eureka

(teka-teki), (2) investigasi eskalator ('proses'atau masalah kombinatorial), (3) keputusan

terhadap masalah dan (4) masalahnyata. Secara keseluruhan pendekatan pemecahan masalah

dan investigasi diidentifikasi sebagai objek penyelidikan, dan diperlakukan sebagai tambahan

isi kurikulum, ini terjadi jika pemodelan matematika tidak dipahami sebagai suatu proses.

c. Pemecahan Masalah dan Investigasi sebagai Pedagogi

Kelompok ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai pendekatan

pedagogis dengan kurikulum keseluruhan, dan bukan hanya sebuah tambahan. Pandangan ini prihatin

Page 29: Tugas individu 3_filsafat

29

dengan peran manusia dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dan karenanya mendukung

proses pemecahan masalah dan investigasi masuk dalam kurikulum matematika.

Penggabungan penuh proses ini ke dalam kurikulum, termasuk problem posing, mengarah ke

pedagogi pemecahan masalah dan pedagogi investigatif.

Perspektif kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan fasilitas bagi

pengembangan kreativitas individual peserta didik, dan pemecahan masalah dan investigasi

dianggap mampu mewujudkannya. Jadi pemecahan masalah dan investigasi dipahami dari

segi proses yang dialami siswa dan juga segi pendekatan pedagogis yang diadopsi di dalam

kelas. Lingkungan belajar, situasi belajar, dan hal-hal lain terkait pembelajaran disusun

dengan hati-hati terstruktur dan didesain agar memungkinkan terjadi eksplorasi matematika di

dalamnya, serta memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengejar penyelidikan mereka

sendiri. Peran guru dipahami sebagai manajer lingkungan dan sumber belajar, serta sebagai

fasilitator pembelajaran. Materi dibatasi situasi matematika murni, dengan topik tematik yang

'aman' dari isu-isu politik. Penekanannya pada individu siswa dan minat siswa, bukan pada

konteks sosial struktural tempat mereka akan hidup, akan belajar, dan akan mencari nafkah.

Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok industrialis. Kelompok ini

tidak memandang pembelajaran matematika sebagai sebuah pembekalan keahlian-keahlian yang

mereka butuhkan ketika nanti mereka bekerja, namun lebih memandang pembelajaran

matematika sebagai pembelajaran yang memperhatikan minat siswa.

3. Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogi

Konsep pemecahan masalah dan investigasi tentu akan berasimilasi dengan perspektif

penafsir, dan dipahami dengan caranya masing-masing. Performa guru dalam memakai

pendekatan tergantung pada bagaimana guru memandang matematika. Bukti empiris

menunjukkan bahwa guru dapat memberi penafsiran secara sempit pada pendekatan

pemecahan masalah dan investigasi. Lerman (1989), misalnya, menjelaskan bagaimana

pendekatan investigasional dalam matematika sekolah ditumbangkan oleh pandangan bahwa

hanya ada hasil tunggal yang benar dan unik, (yang tentu saja diakibatkan oleh filosofi

matematika absolut yang masih dianut).Kendala berikutnya adalah implementasi. Kendala ini

melibatkan hubungan antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari praktek

pembelajaran di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan antara rencana dan kurikulum

yang diajarkan. Pada skala kecil, kendala ini berupa perbedaan antar teori-teori yang dianut

oleh masing-masing guru dalam melaksanakan pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan

guru yang menganut pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran matematika pada

Page 30: Tugas individu 3_filsafat

30

prakteknya hanyalah semacam espositori dengan ditambah penambahan masalah (Cooney,1983; 1985,

Thompson, 1984; Brown, 1986).

Penyebabnya adalah karena konteks sosial guru yang bersangkutan ikut andil dalam proses

pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit bagi guru untuk merubah pakem

pembelajaran yang sudah ada dalam suatu sekolah tertentu. Ernest menyebutkan bahwa dalam

sekolah yang sama, guru-guru yang diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama,

dan tidak mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap matematika.

Singkatnya, keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika tertentu masih kalah

pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru mengajar. Gambar berikut menunjukkan

hubungan yang terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil.

Gambar 2. The relationship between espoused and enacted beliefsof the mathematics teacher

Gambar tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen ideologi guru, yakni

pandangan filosofisnya terhadap matematika mendasari dua komponen sekunder, yakni teori

mengajar dan belajar matematika. Dua komponen sekunder ini akan menjadi dasar

diambilnya suatu model belajar, termasuk penggunaan sumber daya pembelajaran yang

dipilih, termasuk teks matematika. Penting diketahui bahwa teks yang dipakai guru ketika

melakukan pembelajaran menunjukkan alur pandangan epistemologinya, bagaimana melihat

teks sebagai penentu penting sifat dari kurikulum yang diimplementasikan. Panah ke bawah

pada gambar menunjukkan arah pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih

tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah.

Page 31: Tugas individu 3_filsafat

31

L. Kelebihan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah

Pembelajaran berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan pengajaran

emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu memberdayakan peserta didik

secara epistemologis (dalam arti peserta didik mengetahui darimana suatu konsep diperoleh).

Hal ini dapat mendorong siswa aktif untuk mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri,

sekaligus melegitimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks

sekolah.

Page 32: Tugas individu 3_filsafat

32

BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa filsafat matematika

adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan menjelaskan segala sesuatu tentang

matematik, sehingga dapat memberikan rekaman sifat, metodologi dalam matematika serta

memahami kedudukan matematika dalam kehidupan manusia. Banyaknya aliran-aliran yang

mempengaruhi perkembangan matematika menunjukkan bahwa matematika sejak dulu

diminati serta dipandang sangat perlu dalam kehidupan manusia. Perkembangan matematika

dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya manusia dan berdampak besar

dalam usaha memampukan manusia memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam

kehidupan sehari-hari. Demikian halnya juga dengan praktik pendidikan, sangat dipengaruhi

oleh pemikiran-pemikiran yang sudah ada sejak dahulu, misalnya pembelajaran dengan

pemecahan masalah dan penyelidian yang tengah dikembangkan saat ini telah dimulai oleh

pakar-pakar matematika sejak dulu. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa filsafat

matematika memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan matematika dan

kehidupan manusia hingga zaman sekarang.

Page 33: Tugas individu 3_filsafat

33

DAFTAR PUSTAKA

Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Francis: Taylor and Group.

Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Francis: Taylor and Group.

(Terjemahan)