tugas ide keseimbangan
DESCRIPTION
Tugas Ide KeseimbanganTRANSCRIPT
IDE DASAR KESEIMBANGAN ANTARA
KEPENTINGAN INDIVIDU DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT (NASIONAL)
DALAM NEGARA HUKUM PANCASILA
Tugas Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum.
Oleh : Hadi Sulistyanto (PDIH.03.VI.15.0252)
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia, hukum memegang peranan penting dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya di bidang kesehatan yang merupakan hak
asasi manusia. Dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945.
Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 termaktub tujuan Negara
Republik Indonesia: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdakaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam pasal 28H ayat 1 Undang-undang Dasar
1945 dinyatakan bahwa : setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Bunyi pasal tersebut sudah jelas bahwa penyelenggaraan
kesehatan merupakan hak asasi dan hak dasar setiap orang yang dijamin oleh negara.
Supaya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, diperlukan
dukungan hukum bagi penyelenggaraan di bidang kesehatan.1
Upaya penyelenggaraan kesehatan sebagaimana dimaksud di atas dipengaruhi
oleh faktor lingkungan sosial, budaya, ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang
bersifat dinamis dan kompleks. Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah
melalui sistem kesehatan nasional berupaya menyelenggarakan kesehatan yang bersifat
menyeluruh, terpadu, merata, dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh rakyat
masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal. Supaya dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, maka secara terus
menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan
1 Arief Hidayat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Konsepsi Negara Hukum Pancasila.
pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan
kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme pelaksana pelayanan kesehatan, dan
dilakukannya desentralisasi di bidang kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah tentu
memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai, dimaksudkan agar adanya
kepastian dan perlindungan hukum yang menyeluruh, baik bagi penyelenggara upaya
kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan secara pribadi maupun
komunitas.2
Sampai saat ini, HIV/AIDS masih merupakan masalah kesehatan penting di
dunia yang belum terselesaikan. Menyerang usia produktif serta bersifat fatal. Pada
akhir 2013 tercatat 130 juta penderita HIV/AIDS seluruh dunia. Di Indonesia jumlah
pasien HIV/AIDS cenderung meningkat. Masyarakat banyak yang beranggapan bahwa
penularan penyakit HIV/AIDS bisa lewat jabat tangan, alat makan dan minum, atau
pakaian. Persepsi yang salah inilah yang membuat penderita HIV/AIDS terkucil dari
masyarakat sekeliling. Sebenarnya keberadaan seorang penderita HIV/AIDS selalu
dirahasiakan. Ketidaktahuan masyarakat ini salah satu sebab peran serta tidak tampak.
Beberapa kasus yang terjadi di masyarakat diantaranya :
dipecat dari pekerjaan & jabatannya
ditolak masuk sekolah bagi AIDS anak-anak
tidak diijinkannya Magic Johnson pebasket masuk ke beberapa negara
RS tidak mau merawat
Dokter SpPD dipecat karena merawat HIV/AIDS
membolehkan euthanasia penderita AIDS
keluarga tidak menerima dan menolak
masyarakat tidak mau menguburkan penderita AIDS
kehilangan tempat tinggal
kehilangan kesempatan berpartisipasi di masyarakat.
2 Sofwan Dahlan. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal. IDI Wilayah Jateng. Badan Penerbit : Undip Semarang.
Upaya Pemerintah di bidang Hukum berupa keputusan Presiden RI No. 36
Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS, Keputusan Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat No. 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional Penanggulangan
AIDS, Renstra Depkes RI 2003-2007 dan 2008-2014, Undang-undang RI Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa permasalahan berikut
ini.
a. Bentuk pendekatan yang bagaimanakah yang sebaiknya terhadap penderita HIV
dan penderita AIDS, serta hak-hak mereka?
b. Siapa saja yang diharuskan menjalani Mandatory Testing/Compulsary Testing?
c. Siapa saja yang berhak mengetahui jika ada seseorang penderita HIV/AIDS, di
samping kewajiban bagi dokter untuk mengingatkan mereka?
d. Bagaimana cara melindungi masyarakat dari penderita yang tidak bertanggung
jawab atau sengaja menularkan kepada orang lain?
e. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien HIV/AIDS?
f. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penularan pasien HIV/AIDS di dalam
masyarakat?
BAB III
PEMBAHASAN
Diskursus mengenai konsepsi negara hukum Pancasila telah lama menjadi
wacana dalam berbagai forum akademis dan ilmiah yang tidak kunjung usai dibicarakan
dan diperdebatkan. Semuanya sepakat bahwa konsepsi negara hukum Indonesia berbeda
dengan konsepsi rechtstaats maupun rule of law. Konsepsi negara hukum Indonesia
memiliki ciri dan karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila.
Meskipun identifikasi dan rumusan ciri negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara hukum Pancasila
belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh karena itu perlu ada
upaya sistematis, terstruktur, dan massive untuk melakukan internalisasi konsep negara
hukum Pancasila ke dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara utamanya
pembentukan hukum nasional.
Seperti telah dinyatakan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, yang
dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945 penjelasan bahwa Indonesia merupakan
negara hukum sangatlah bernilai konstitutif, kemudian ditegaskan ke dalam Pasal 1 ayat
3 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa : Negara
Indonesia adalah negara hukum. Dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945 inilah
tidak disebutkan lagi bahwa Indonesia menganut konsep rechtsaats, namun lebih
diterjemahkan ke dalam konsep negara hukum.3
Untuk dapat mengetahui apakah konsep negara hukum yang sebenarnya dianut
oleh negara Indonesia adalah dengan melihat pada pembukaan dan pasal-pasal Undang-
3 Arief Hidayat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Konsepsi Negara Hukum Pancasila.
undang Dasar 1945 sebagai keseluruhan sumber politik hukum Indonesia. Adapun yang
menjadikan dasar penegasan keduanya sumber politik hukum nasional adalah :
Pertama, pembukaan dan pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945 memuat
tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar Negara Indonesia yang harus
menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum Indonesia
Kedua, pembukaan dan pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945 mengandung
nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang
diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
Dengan melihat pada dua parameter tersebut jelas bahwa konsep yang dianut
oleh negara hukum Indonesia sejak jaman kemerdekaan hingga saat ini bukanlah
konsep rechtstaat dan bukan pula konsep rule of law, melainkan membentuk suatu
konsep negara hukum baru yang bersumber pada pandangan dan falsafah hidup luhur
bangsa Indonesia. Konsep baru tersebut adalah negara hukum Pancasila sebagai
kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat dengan nilai-nilai etika dan moral
yang luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-
undang Dasar 1945 dan tersirat dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945.4
Dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan norma dasar negara Indonesia
(grundnorm) dan juga merupakan cita hukum negara Indonesia (rechtsidee) sebagai
kerangka keyakinan (belief framework) yang bersifat normatif dan konstitutif. Bersifat
normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat ideal yang mendasari setiap
hukum positif, dan bersifat konstitutif karena mengarahkan hukum pada tujuan yang
hendak dicapai. Pada tahap selanjutnya Pancasila menjadi pokok kaidah fundamental
negara (staaatsfundamentalnorm) dengan dicantumkan dalam pembukaan Undang-
undang Dasar 1945.
Konsep negara hukum Pancasila inilah yang menjadi karakteristik utama dan
membedakan sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya, dimana jika
dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial,
disebut sebagai pilihan prismatik yang dalam konteks hukum disebut sebagai hukum
prismatik. Dapat dipahami bahwa negara hukum Pancasila bersifat prismatik (hukum
4 Ali Mansyur, 2007, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen & Pembaharuan Hukum), UNISSULA Press Semarang.
prismatik). Hukum prismatik adalah hukum yang mengintegrasikan unsur-unsur baik
dari yang terkandung di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga terbentuk
suatu hukum yang baru dan utuh.
Adapun karakteristrik dari negara hukum Pancasila adalah sebagai berikut.
Pertama, merupakan suatu negara kekeluargaan. Dalam suatu negara kekeluragaan
terdapat pengakuan terhadap hak-hak individu (termasuk pula hak milik) atau HAM
namun dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional (kepentingan bersama) di atas
kepentingan individu tersebut. Hal ini di satu sisi sejalan dengan nilai sosial masyarakat
Indonesia yang bersifat paguyuban, namun disisi lain juga sejalan dengan pergeseran
masyarakat Indonesia ke arah masyarakat modern yang bersifat patembayan. Hal ini
sungguh jauh bertolak belakang dengan konsep negara hukum barat yang menekankan
pada kebebasan individu seluas-luasnya, sekaligus bertolak belakang dengan konsep
negara hukum sosialisme-komunisme yang menekankan pada kepentingan komunal
atau bersama. Dalam negara hukum Pancasila, diusahakan terciptanya suatu harmoni
dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan nasional (masyarakat)
dengan memberikan pada negara kemungkinan untuk melakukan campur tangan
sepanjang diperlukan bagi terciptanya tata kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai
dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Kedua, merupakan negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan. Dengan
sifatnya yang prismatik maka konsep negara hukum Pancasila dalam kegiatan
berhukum baik dalam proses pembentukan maupun pengimplementasianya dilakukan
dengan memadukan berbagai unsur yang baik yang terkandung dalam konsep rechtstaat
maupun the rule of law, yakni dengan memadukan antara prinsip kepastian hukum
dengan prinsip keadilan, serta konsep dan sistem hukum lain, misalnya sistem hukum
adat dan sistem hukum agama yang hidup di nusantara ini, sehingga terciptalah suatu
prasyarat bahwa kepastian hukum harus ditegakkan demi menegakkan keadilan dalam
masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Ketiga, merupakan religious nation state. Dengan melihat pada hubungan antara
negara dan agama maka konsep negara hukum Pancasila tidaklah menganut sekulerisme
tetapi juga bukanlah sebuah negara agama seperti dalam teokrasi dan dalam konsep
Nomokrasi Islam. Konsep negara hukum Pancasila yang adalah sebuah konsep negara
yang berketuhanan. Berketuhanan dalah dalam arti bahwa kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
dengan begitu maka terbukalah suatu kebebasan bagi warga negara untuk memeluk
agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Konsekuensi logis dari
pilihan prismatik ini adalah bahwa atheisme dan juga komunisme dilarang karena telah
mengesampingkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keempat, memadukan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum
sebagai cermin budaya masyarakat. Dengan memadukan kedua konsep ini negara
hukum Pancasila mencoba untuk memelihara dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat (living law) sekaligus pula melakukan positivisasi terhadap living law
tersebut untuk mendorong dan mengarahkan masyarakat pada perkembangan dan
kemajuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pancasila.
Kelima, basis pembuatan dan pembentukan hukum nasional haruslah didasarkan
pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal, dalam pengertian bahwa harus
memenuhi persyaratan utama yaitu Pancasila sebagai perekat dan pemersatu,
berlandaskan nilai yang dapat diterima oleh semua kepentingan dan tidak
mengistimewakan kelompok atau golongan tertentu, mengutamakan prinsip gotong
royong dan toleransi, serta adanya kesamaan visi misi, tujuan, dan orientasi yang sama
disertai dengan saling percaya.5
Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi sosial, menjadi pedoman
utama bagi masyarakat dalam relasinya dengan warga negara yang lain, terutama dalam
pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Jika dikaitkan dengan hak asasi
manusia, implementasinya harus didasarkan kepada azas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia. Hak asasi manusia akan dipenuhi manakala manusia juga
menunaikan kewajiban asasinya. Tegaknya hak asasi manusia ditentukan oleh tegaknya
azas keseimbangan hak asasi dengan kewajiban asasi, sekaligus sebagai penunjuk
derajat moral dan martabat manusia. Dalam realita sering terjadi ketidakseimbangan
pelaksanaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Acap kali orang menuntut hak asasi,
tetapi mengabaikan kewajiban asasinya. Kenyataan itulah yang sering memicu
5 Arief Hidayat. 2015. Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia. Tantangan Mewujudkan Masyarakat Sadar Konstitusi. Dalam seminar nasional Pendidikan Kewarganegaraan dengan tema “Komitmen Komunitas Akademik PKn dalam Memperkokoh Jatidiri PKn”.
terjadinya konflik sosial. Maka disinilah Undang-undang Dasar 1945 memberikan
tuntunan dan pedoman.
Secara filosofis, pembukaan Undang-undang Dasar 1945 merupakan modus
vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan suku
bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran (certificate of
birth) yang didalamnya memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta identitas
diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Dari
sudut hukum, pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memuat Pancasila itu
menjadi dasar falsafah negara yang menghasilkan cita hukum (rechtsidee) dan dasar
sistem hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai
dasar negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun
hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam
kedudukannya yang demikian, pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila
yang dikandungnya menjadi staatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah negara
yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum kecuali perubahan mau
dilakukan terhadap identitas Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945.
Dalam melakukan konsep penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan
konsep negara hukum Pancasila, sebelumnya perlu diketahui apakah tujuan
penyelenggaraan negara Indonesia atau apakah tujuan negara Indonesia. Hal ini penting
karena konsep penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus selalu tertuju pada
terwujudnya tujuan negara Indonesia. Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang
dalam alenia ke-empat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.6
Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai
organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada
6 Arief Hidayat. 2015. Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana sebagai Guru Besar Universitas Jember.
lima dasar Pancasila. Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman
utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka terwujudnya tujuan Negara Indonesia tersebut maka dalam setiap
kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara termasuk didalamnya
upaya melakukan pembangunan sistem hukum nasional dalam upaya penyelenggaraan
negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum Indonesia
(Pancasila). Keempat prinsip cita hukum tersebut yaitu :
1. Menjaga integrasi bangsa dan negara, baik ideologis maupun teritorial.
2. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi)
sekaligus sebagai kesatuan tidak terpisahkan.
3. Mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadilan dalam hidup
beragama.
Oleh karenanya dalam penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus dibangun
sistem hukum nasional yang :
1. Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara secara ideologis dan
teritorial.
2. Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah
mufakat maupun melalui pemungutan suara. Dan hasilnya dapat diuji
konsistensinya secara yuridis.
3. Bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
4. Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti
tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok-kelompok
atau golongan-golongan tertentu.
Seseorang yang berobat ke seorang dokter atau masuk rumah sakit maka
seseorang itu disebut pasien. Artinya, seseorang itu meminta bantuan akan masalah
kesehatannya pada orang lain. Meminta agar seseorang dirawat, walaupun meminta,
setiap pasien tetap punya hak, maksudnya dokter tersebut atau rumah sakit tempat
seseorang itu dirawat tidak boleh memperlakukan pasien sekehendak hati. Karena
pasien itu punya hak dan harus dihormati.
Dahulu hubungan dokter pasien biasanya bersifat paternalistik, dimana pasien
selalu mengikuti apa saja yang dikatakan dokternya tanpa bertanya apapun. Sekarang
berbeda, dokter itu partner pasien, dan kedudukannya berimbang secara hukum. Pasien
punya hak dan kewajiban tertentu. Demikian pula dokter punya hak dan kewajiban
tertentu. Yang menjadi hak pasien otomatis menjadi kewajiban dokter untuk
memenuhinya. Sebaliknya, apa yang menjadi hak dokter menjadi kewajiban pasien
untuk memenuhinya.
Hak hukum pasien antara lain :
1. Hak atas informasi
2. Hak memberikan persetujuan
3. Hak memilih dokter
4. Hak memilih sarana kesehatan atau rumah sakit
5. Hak atas rahasia kedokteran
6. Hak menolak perawatan atau pengobatan
7. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu
8. Hak untuk menghentikan pengobatan atau perawatan
9. Hak atas pendapat kedua
10. Hak melihat rekam medik7
Tidak mudah untuk menyelesaikan permasalahan etik/hukum di atas karena
kedua hak dan kedua kepentingan tersebut saling berlawanan dan sama pentingnya.
Tetapi negara sebagai pemegang The Police Power (“the power of the state to protect
the health, safety, morals, and general walfare of its citizen”) mempunyai kewenangan
untuk menentukan sikapnya. Namun demikian data-data ilmiah, pendapat pakar,
pendapat kebanyakan representatif (kelompok penderita dan masyarakat risiko tinggi)
harus dijadikan pertimbangan.8
Aspek konfidensialitas medis masih harus digarisbawahi dari kedudukan
keluarga. Untuk penderita penyakit ini lebih diperhatikan lagi mengingat
stigmatisasinya lebih menyakitkan dibanding penyakit itu sendiri. Persoalan lain
bagaimana dengan istri/suami/masyarakat yang terancam penularan, sebab masyarakat
tidak bisa berharap bahwa semua penderita penyakit ini jujur, mengikuti gejala Magic
Johnson, pemain basket/public figure masyarakat Amerika serikat yang dengan sukarela
jujur dan penuh tanggung jawab mengumumkan sendiri penyakitnya dan mengajak
orang lain menghindarinya. Apa yang akan dilakukan jika penderita tidak jujur dan
terus-menerus mengancam anggota masyarakat lainnya? Dapatkah mereka dihukum?
Karena menganiaya, membunuh, atau meracuni pasangan seksualnya? Bagaimana
dengan tanggung jawab para dokter yang merawat penderita, sebab mereka tahu persis
7 Drs Fred Ameln. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Penerbit : Grafikatama Jaya.8 Sofwan Dahlan. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal. IDI Wilayah Jateng. Badan Penerbit : Undip Semarang.
bahwa penderita AIDS atau pengidap HIV berpotensi menularkan penyakitnya?
Salahkah bila dokter memberitahukan kepada orang-orang yang terancam penularan?
Salahkah dokter jika di kemudian hari benar ada yang tertular disebabkan dokter itu
lebih suka menjunjung tinggi sumpah dokter dan konfidensialitas medis?9
Masalah HIV/AIDS adalah merupakan suatu masalah dan tantangan yang berat
di bidang medis untuk mengatasinya. Hukum saat ini diminta untuk memberikan
kontribusinya di dalam memecahkan persoalan atau setidak-tidaknya untuk mengurangi
menjalarnya penyakit infeksi yang mematikan itu. Di Indonesia perlindungan hukum
yang penting tentang HIV/AIDS saat sekarang ada 2 produk hukum yaitu :
a. Instruksi Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Instruksi/1998 tentang kewajiban
melaporkan penduduk dengan gejala AIDS. Ketentuan ini hanya ditujukan kepada
petugas medis/kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan saja. Tindakan yang harus
diambil pada saat ditemuinya seseorang dengan gejala AIDS hanyalah pelaporan
kepada Dirjen P2MPLP saja dengan memperhatikan kerahasiaan pribadi penderita.
Bagaimana dengan masyarakat yang mengetahui? Memang masalah HIV/AIDS
banyak sangkut pautnya dengan rahasia medis, sehingga kita harus berhati-hati
dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan hukum terdapat dilema antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat. 10
b. Surat Keputusan Menkokestra No. 9/1994 tentang Strategi Nasional
penanggulangan HIV/AIDS yang antara lain dikatakan :
“Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang terjangkit (informed
consent).”
Pada dasarnya penyakit HIV/AIDS adalah penyakit infeksi menular sehingga segala
pengaturannya akan termasuk hukum medis. Saat ini yang bisa diwajibkan
menjalani uji HIV (Mandatory Test) adalah kalangan anggota militer/kepolisian dan
narapidana. Negara-negara dilarang menanyakan status HIV turis. Sedangkan para
9 Sofwan Dahlan. 2000. Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter. Badan Penerbit : UNDIP Semarang.10 Intruksi Menkes RI No. 72 / Menkes / Inst / 1988 : Tentang Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS.
WTS pun tidak boleh dipaksakan untuk menjalani tes HIV. Untuk tes darah
seseorang harus memberikan persetujuan dan memperoleh konseling sebelum dan
sesudah uji HIV dilakukan. Pada lamaran kerja di perusahaan dapat dimintakan
persetujuannya untuk testing HIV, tetapi hal ini harus secara sukarela dan harus ada
informed consent. Masalah HIV/AIDS yang menyangkut bidang hukum yang
berhubungan dengan dokter, RS, tenaga kesehatan lain dapat dirumuskan menjadi 2
masalah pokok yaitu :
Masalah pemeriksaan HIV/AIDS
Bila hasil positif apa yang harus kita lakukan?
Hal lain yang perlu mendapatkan penjelasan atau klarifikasi dari aspek
hukumnya adalah tentang pemeriksaan darah, yang dalam rangka pencegahan
meluasnya penyakit sering dipaksakan kepada kelompok tertentu di dalam masyarakat
berisiko tinggi. Persoalannya adalah bahwa setiap bentuk intervensi medik, berdasarkan
doctrine of informed consent, memerlukan ijin lebih dulu dari yang bersangkutan
setelah diberi informasi. Apakah compulsary testing atau mandatory testing tidak
bertentangan dengan doctrine of informed consent yang bersumber pada hak
menentukan nasibnya sendiri (the right to self-determination)?
Di sisi lain juga dapat dipertanyakan keuntungan model pemeriksaan seperti itu
bagi upaya pencegahan, sebab tentunya orang akan berusaha menghindar mengingat
pemeriksaan tersebut dapat menimbulkan bencana seperti misalnya kehilangan
pekerjaan, tempat tinggal, kesempatan belajar, kesempatan berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan di masyarakat, keutuhan keluarga, dan sebagainya. Tetapi kalau tidak
dipaksakan, kapan dapat ditemukan pengidap HIV pada tingkat sedini mungkin
sehingga lebih banyak orang dapat dihindarkan dari penyakit yang mematikan ini,
benar-benar merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.
BAB IV
KESIMPULAN
Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi sosial, menjadi pedoman
utama bagi masyarakat dalam relasinya dengan warga negara yang lain, terutama dalam
pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Jika dikaitkan dengan hak asasi
manusia, implementasinya harus didasarkan kepada azas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia. Hak asasi manusia akan dipenuhi manakala manusia juga
menunaikan kewajiban asasinya. Tegaknya hak asasi manusia ditentukan oleh tegaknya
azas keseimbangan hak asasi dengan kewajiban asasi, sekaligus sebagai penunjuk
derajat moral dan martabat manusia. Dalam realita sering terjadi ketidakseimbangan
pelaksanaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Acap kali orang menuntut hak asasi,
tetapi mengabaikan kewajiban asasinya. Kenyataan itulah yang sering memicu
terjadinya konflik sosial. Maka disinilah Undang-undang Dasar 1945 memberikan
tuntunan dan pedoman.
Tidak mudah untuk menyelesaikan permasalahan etik/hukum di atas karena
kedua hak dan kedua kepentingan tersebut saling berlawanan dan sama pentingnya.
Tetapi negara sebagai pemegang The Police Power (“the power of the state to protect
the health, safety, morals, and general walfare of its citizen”) mempunyai kewenangan
untuk menentukan sikapnya. Namun demikian data-data ilmiah, pendapat pakar,
pendapat kebanyakan representatif (kelompok penderita dan masyarakat risiko tinggi)
harus dijadikan pertimbangan.
Masalah HIV/AIDS adalah merupakan suatu masalah dan tantangan yang berat
di bidang medis untuk mengatasinya. Hukum saat ini diminta untuk memberikan
kontribusinya di dalam memecahkan persoalan atau setidak-tidaknya untuk mengurangi
menjalarnya penyakit infeksi yang mematikan itu. Di Indonesia perlindungan hukum
yang penting tentang HIV/AIDS saat sekarang ada 2 produk hukum yaitu :
c. Instruksi Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Instruksi/1998 tentang kewajiban
melaporkan penduduk dengan gejala AIDS. Ketentuan ini hanya ditujukan kepada
petugas medis/kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan saja. Tindakan yang harus
diambil pada saat ditemuinya seseorang dengan gejala AIDS hanyalah pelaporan
kepada Dirjen P2MPLP saja dengan memperhatikan kerahasiaan pribadi penderita.
Bagaimana dengan masyarakat yang mengetahui? Memang masalah HIV/AIDS
banyak sangkut pautnya dengan rahasia medis, sehingga kita harus berhati-hati
dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan hukum terdapat dilema antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat. 11
d. Surat Keputusan Menkokestra No. 9/1994 tentang Strategi Nasional
penanggulangan HIV/AIDS yang antara lain dikatakan :
“Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang terjangkit (informed
consent).”
11 Intruksi Menkes RI No. 72 / Menkes / Inst / 1988 : Tentang Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, S., 2005, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, BP Undip,
Semarang : h. 29-58, h. 117-122.
Dahlan, S. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal. IDI Wilayah Jateng. Badan Penerbit :
Undip Semarang.
Guwandi, J., 2005, Rahasia Medis, FKUI, Jakarta : h. 130-163.
Hidayat, Arief. 2015. Tantangan Mewujudkan Masyarakat Sadar Konstitusi. Dalam
seminar nasional Pendidikan Kewarganegaraan dengan tema “Komitmen
Komunitas Akademik PKn dalam Memperkokoh Jatidiri PKn”.
Hidayah, Arief. 2015. Orasi Ilmiah. Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Widodo
Ekatjahjana sebagai Guru Besar Universitas Jember, 25 April 2015.
Hidayat, Arief. Tanpa Tahun. Konsepsi Negara Hukum Pancasila. Dibacakan pada Kuliah
PDIH Angkatan ke-6.
Intruksi Menkes RI No. 72 / Menkes / Inst / 1988 : Tentang Kewajiban Melaporkan
Penderita dengan Gejala AIDS
KPA, 2005, Situasi Mutakhir HIV/AIDS dan Beberapa Peran Serta Upaya
Mengatasinya, Jakarta.
Mansyur, Ali. 2007, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen &
Pembaharuan Hukum), UNISSULA Press Semarang.
Pitono, 2006, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Airlangga University Press,
Surabaya.
Pozgar, D, D,. Pozgar, N, S., 1996, Legal Aspect of Health Care Administration, An
Aspen Publication, USA, 339-346.
Richards III, E, P,. Rathbun, K, C, 1993, Law and the Physician: A Practical Guide,
Little Brown and Company, Boston/Toronto/London, 496-505.
Riono, P., 2006, Tantangan Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Indonesia, FHI-
Indonesia, Jakarta.
UU RI No. 36 / 2009 : Tentang Kesehatan
Peraturan Menkes No. 280 / 2008 : Tentang Informed Consent
Permenkes No. 36 / 2012 : Tentang Rahasia Kedokteran
Surat Keputusan Menkokesra No. 9 / 1994 : Tentang Strategi Nasional
Penanggulangan HIV/AIDS