tugas hukum penanggulangan bencana ii
DESCRIPTION
lzawTRANSCRIPT
PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA BUMI DI SUMATERA
BARAT
Tugas II
HUKUM PENANGGULANGAN BENCANA
Disusun oleh:
1. Nicholas Chandra ( 10.20.0012 )
2. Bernadete Sonia Surya Santika D ( 10.20.0014 )
3. Arina Permatasari I.P ( 10.20.0016 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2012
0
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia yang
mempunyai 17.508 pulau, dimana wilayah Indonesia sendiri terbentang antara 6
derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97
derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua dan
dua samudra yaitu Benua Asia dan Australia/Oceania serta Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan
sebuah Negara yang memilki letak yang sangat potensial dan strategis. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah Indonesia
masuk dalam wilayah Negara cincin api (Ring of Fire). Dimana ketika sebuah
Negara atau wilayah masuk kedalam wilayah cincin api ini maka daerah tersebut
akan sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi
cekungan Samudra Pasifik.
Hal inilah yang mengakibatkan di Indonesia sering sekali terjadi bencana
gempa bumi dan letusan gunung berapi, terutama bencana gempa bumi. Selain
karena disebabkan oleh hal tersebut diatas, gempa bumi yang sering melanda
sejumlah wilayah di Indonesia ini juga disebabkan oleh adanya zona tumbukan
lempeng, dimana secara tektonik posisi Indonesia berada pada jalur zona
tumbukan lempeng (tiga lempeng besar yang bertemu di kepulauan Indonesia).
Ketiga lempeng tersebut adalah Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan
Lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak relatip ke arah utara dan
menyusup kedalam lempeng Eurasia, sementara lempeng Pasifik bergerak relatip
ke arah barat, ketiga lempeng tersebut selalu bergerak aktif, akibatnya jika suatu
hari ketiga lempeng tersebut bertemu maka gempa bumi yang terjadi di Indonesia
tidak akan terelakkan lagi.
Di Indonesia sendiri telah banyak terjadi peristiwa bencana gempa bumi
yang melanda sejumlah wilayah di negeri ini, baik dalam skala kecil hingga skala
besar. Beberapa perisitwa bencana gempa bumi dalam skala besar yang terjadi di
1
Indonesia adalah gempa bumi di Aceh dalam skala 9,1 Skala Richter pada tanggal
26 Desember 2004, gempa bumi di Sumatera Utara dalam skala 8,7 Skala Richter
pada tanggal 25 Maret 2005, gempa bumi di Yogyakarta dalam skala 5,6 Skala
Richter pada tanggal 27 Mei 2006, dan gempa bumi di Sumatera Barat dalam
skala 7,6 Skala Richter pada tanggal 30 September 2009,dll.
Diantara ketiga perisitiwa besar tersebut, gempa bumi yang terjadi di
Sumatera Barat termasuk salah satu peristiwa gempa bumi yang menghentakkan
Indonesia karena peristiwa tersebut terjadi pada sore hari disaat sejumlah warga
Kota Padang dan sekitarnya sedang melakukan perjalanan kembali ke rumah
setelah bekerja, selain itu banyak gedung-gedung penting di Sumatera Barat yang
roboh seketika setelah bertahun-tahun berdiri, termasuk Hotel terbesar di Kota
Padang yaitu Hotel Andalas dan gedung pemerintahan Kota Padang, serta sempat
munculnya peringatan dini Tsunami yang sempat membuat panik masyarakat dan
tak lupa jumlah korban yang meninggal menembus angka ratusan.1
Selain itu peristiwa gempa bumi ini juga turut menghenyakkan Sumatera
Barat, terutama Kota Padang dan sekitarnya yang semula merupakan kota yang
tenang, nyaman, seketika itu berubah menjadi kota yang menyeramkan, penuh
dengan kepanikan dan banyak jatuh korban disemua tempat, dimana mayoritas
dari korban-korban tersebut berasal dari kelompok rentan. Disini Negara dan
pemerintah daerah sendiri langsung melakukan sebuah tindakan penanggulangan
bencana. Ditengah kepanikan tersebut akan terjadi satu hal yang menjadi sorotan
mengenai perlindungan bagi kelompok rentan yang mayoritas adalah korban dari
bencana gempa bumi di Sumatera Barat tersebut.
Berangkat dari hal-hal tersebut, penulis melakukan sebuah penyusunan
paper yang berjudul, ”PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK
RENTAN DALAM PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA BUMI DI
SUMATERA BARAT.”
1http://asahannews.com/gempa-sumatera-barat-30-september-2009-evakuasi-korban-gempa-dilakukan-manual.html, diunduh Tanggal 20 November 2012, Pukul 18.10 WIB.
2
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam
penanggulangan bencana gempa bumi di Sumatera Barat?
2. Bagaimana perlindungan bagi kelompok rentan secara normative di
Indonesia?
3. Bagaimana perlindungan bagi kelompok rentan dalam penanggulangan
bencana gempa bumi di Sumatera Barat?
C. TINJAUAN PUSTAKA
a. TEORI-TEORI (DOKTRIN)
1. Teori Pengertian:
3
1.1 Teori Pengertian Bencana Menurut Eko Teguh Paripurno
(Pakar Bencana Alam):
Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas
alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi,
tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan
manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat,
sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan
struktural, bahkan sampai kematian.2
1.2 Teori Pengertian Gempa Bumi Menurut DR. Dani Hilman
(Pakar Gempa):
Gempa bumi adalah getaran yang terjadi permukaan bumi.
Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi
(lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk
menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut.
Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi
apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu
besar untuk dapat ditahan.3
1.3 Teori Pengertian Penanggulangan Bencana Menurut Pasal
1 ayat 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.4
1.4 Teori Pengertian Kelompok Rentan Menurut Pasal 55 ayat
(2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
2 Sema Gul, 2007, Bencana Alam, Jakarta:Yudhistira,hal.18.
3 Bambang Ruwanto, 2008, Mengenal Bencana Alam: Gempa Bumi, Jakarta:Kanisius, hal. 37.
4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
4
Kelompok rentan adalah kelompok yang terdiri atas bayi,
balita, dan anak-anak,ibu yang sedang mengandung atau menyusui,
penyandang cacat, dan orang lanjut usia.5
2. Teori Tahap-Tahap Penanggulangan Bencana Menurut
Pusat Pendidikan dan Mitigasi Bencana Universitas
Pendidikan Indonesia:
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3
(tiga) tahap meliputi:
a. Prabencana, yang meliputi:
1. Perencanaan penanggulangan bencana
2. Pengurangan risiko bencana
3. Pencegahan
4. Pemaduan dalam perencanaan pembangunan yang
dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana
penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan
pusat dan daerah
5. Analisis resiko bencana
6. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan
untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup
pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar
keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.
7. Pendidikan dan pelatihan; dan
8. Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Saat tanggap darurat, yang meliputi:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya
2. Penentuan status keadaan darurat bencana
5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
5
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
melalui upaya: pencarian dan penyelamatan korban;
pertolongan darurat
4. Pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi : kebutuhan
air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan
kesehatan, pelayanan psikososial, dan penampungan
dan tempat hunian.
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan (bayi,
balita,dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung
atau menyusui; penyandang cacat; dan orang lanjut
usia) berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan,
pelayanan kesehatan, dan psikososial.
6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital,
dilakukan dengan memperbaiki dan/atau mengganti
kerusakan.
c. Pascabencana, yang meliputi:
1. Rehabilitasi
2. Rekonstruksi6
3. Teori Kemajemukan Dalam Ruang Publik Menurut Lucinda
M. Finley:
Ruang public harus menerima kemajemukan, yaitu antara
lain dengan menerima perempuan yang harus dirumuskan di luar
gagasan hubungan public-privat yang bersohat hirarkis.7
6 http://www.p2mb.geografi.upi.edu/Tentang_Bencana.html, diunduh tanggal 20 November 2012, Pukul 18.30 WIB
7 Lucinda M.Finley, 2000, “Transcending Equality Theory: A Way Out of The Maternity and The Workplace Debate”, Philadelphia: Temple University Press, hal. 190.
6
4. Teori Feminisme Liberal Menurut Rosemarie Putnam Tong:
Feminisme Liberal menyatakan bahwa setiap orang
memiliki otonomi, termasuk perempuan. Lebih lanjut, karena aliran
ini sangat menekankan pada adanya kesetaraan maka aliran ini
berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki secara rasional setara,
jadi mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama.8
5. Teori Feminis Post-Modern Menurut Jacques Lacan:
Aturan simbolis yang sarat dengan aturan laki-laki telah
menyulitkan perempuan, karena aturan-aturan ini diekspresikan
dalam bahasa dan cara berpikir yang maskulin sehingga
menyebabkan penindasan terhadap perempuan secara berulang.9
6. Teori Peraturan Hukum Menurut Sunaryati Hartono:
Hukum tidak saja peraturan-peraturan yang tertulis, hukum terdiri
dari:
1. Peraturan perundang-undangan
2. Peraturan yurisprudensi
3. Konvensi-konvensi/ Hukum kebiasaan
4. Perjanjian internasional
5. Lembaga internasional
6. Proses dan prosedur
7. Pendidikan hukum
8. Para pelaku hukum
8 Rosemarie Putnam Tong, 2004, “Feminist Thought”, Princenton: Princenton University Press, hal. 255.
9 Gadis Arivia,2003, Filsafat Berprespektif Feminis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, hal.128.
7
9. Sarana dan prasarana hukum10
7. Teori Kesejahteraan Anak Menurut Darwan Prinst:
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.11
8. Teori Usaha Kesejahteraan Anak Menurut Darwan Prinst:
Usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan untuk menjamin
terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya
kebutuhan anak, usaha tersebut meliputi pembinaan,
pencegahan, dan rehabiltasi. Pelaksananya adalah pemerintah
yang memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan
pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan
oleh masyarakat.12
9. Teori Penanganan Anak Menurut Sunaryati Hartono:
Untuk menjamin anak-anak akan ditangani dengan cara
yang layak bagi kehidupan anak, seimbang dengan keadaan
maupun dengan pelanggaran yang dilakukan, perlu diadakan
pengaturan tentang:
a. Pemeliharaan
b. Bimbingan dan pengawasan
c. Pemberian nasihat
d. Masa percobaan
e. Pemeliharaan anak angkat
f. Program pendidikan dan pelatihan kejuruan
10 Sunaryati Hartono, 2002, “Dampak Terorisme Terhadap Hukum Transnasional”, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipana,hal. 58.
11 Darwan Prinst, 1997, “Hukum Anak Indonesia”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 79.
12 Ibid. hal 83.
8
g. Alternatif lain untuk lembaga pemeliharaan anak
angkat.13
10. Teori Pembangunan Sosial Menurut Roscue Pound:
Law is a tool of social engineer, hukum sebagai alat
pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum
diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam
masyarakat.14
11. Teori Perlakuan Lanjut Usia Menurut Sasmitro A.W:
Lansia di Indonesia berpotensi mengalami diskriminasi
dikarenakan dari segi umur, mereka sering dianggap sebagai
sampah masyarakat dikarenakan dengan usia yang sudah tidak
produktif mereka tidak dapat menghidupi dirinya sendiri dan
cenderung bergantung pada orang lain, selain itu dari segi fisik,
lansia ini sering dianggap sebagai manusia lamban, akibatnya
ketika terjadi sesuatu hal sering kali keberadaan lansia
didiskriminasikan.15
b. ASAS-ASAS
Asas-asas yang digunakan dalam penanggulangan sebuah bencana
adalah:16
1. Asas Kemanusiaan:
Termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga
undang-undang ini memberikan perlindungan dan
13 Op cit, hal. 89.
14 I Made Arya Utama, 2005, Sistem Hukum Perijinan Berwawasan Lingkungan, Jakarta:Sinar Grafika, hal. 17.
15 Ibid. hal. 86.
16 Erica Harper, 2009,Hukum dan Standar Internasional yang Berlaku Dalam Situasi Bencana Alam,Jakarta:Grasindo, hal. 23.
9
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
2. Asas Keadilan:
Setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga negara tanpa kecuali.
3. Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan
Pemerintahan:
Materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial.
4. Asas Keseimbangan:
Materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan.
5. Asas Keselarasan:
Materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.
6. Asas Keserasian:
Materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial
masyarakat.
7. Asas Kebersamaan:
Penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang
dilakukan secara gotong royong.
c. PERUNDANG-UNDANGAN
10
a. Penanggulangan Bencana17:
1. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana:
Pasal ini berisi mengenai prinsip-prinsip dalam
penanggulangan bencana, yaitu cepat dan tepat, prioritas,
koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna,
transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan,
nondiskriminatif; dan, nonproletisi.
2. Pasal 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Berisi mengenai peraturan bahwa tanggung jawab
penyelenggaraan penanggulangan bencana ada di tangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
3. Pasal 6 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Berisi mengenai ketentuan-ketentuan tanggung jawab dari
pemerintah pusat terhadap penanggulangan bencana, yaitu:
a. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan
pengurangan risiko bencana dengan program
pembangunan
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
11
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
memadai
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana
dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari
ancaman dan dampak bencana.
4. Pasal 8 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Pasal ini berisi mengenai tanggung jawab pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang
terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.
5. Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Pasal ini berisi mengenai Pemerintah pusat membentuk
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
6. Pasal 18 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
12
. Pasal ini berisi mengenai Pemerintah daerah membentuk
Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
7. Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana:
Pasal ini mengatur mengenai hak-hak yang diterima oleh
masyarakat terutama bagi korban bencana alam.
8. Pasal 33 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Pasal ini mengatur mengenai 3 tahapan dalam proses
penanggulangan bencana.
9. Pasal 71 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana:
Pasal ini mengatur mengenai fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
b. Perlindungan Wanita
1. Undang-undang No 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita.18
a. Pasal 12 ayat (1) Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Agains
Women):
Pasal ini mengatur mengenai kewajiban negara untuk
menjamin pemeliharaan kesehatan termasuk hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan bagi perempuan.
18 Sulistyowati Irianto, 2008,Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 99-104.
13
b. Pasal 12 ayat (2) Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Agains
Women):
Pasal ini mengatur mengenai kewajiban negara
untuk menjamin bahwa perempuan mendapat pelayanan
yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan
masa sesudah persalinan dengan biaya Cuma-Cuma.
c. Pasal 2 Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Agains
Women):
Pasal ini mengatur mengenai larangan bagi negara
terutama peserta konvensi untuk tidak melakukan
diskriminasi terhadap perempuan dalam bentuk apapun.
c.Perlindungan Anak
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak19:
a. Pasal 2- pasal 9 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak:
Mengatur mengenai hak-hak anak, yaitu:
a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan.
b. Hak atas pelayanan
c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan
d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup
e. Hak mendapatb pertolongan pertama
19 Ibid.
14
f. Hak memperoleh asupan
g. Hak memperoleh bantuan
h. Hak diberi pelayanan dan asuhan
i. Hak memperoleh pelayanan khusus
j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak20:
a. Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak:
Pasal ini mengatur mengenai hak anak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dengan kebutuhan fisik,
mental, spiritual, dan sosial.
a. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak:
Pasal ini mengatur mengenai hak anak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran.
b. Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak:
Pasal ini mengatur mengenai hak anak untuk berisitrahat dan
memanfaatkan waktu luang dengan teman sebaya, bermain, dan berkreasi.
c. Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak:
Negara dan pemerintah wajib mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak.
3. Konvensi Jenewa 1924 Tentang Hak-hak Asasi Anak21:
a. Hak mendapat perlindungan anak oleh negara (Pasal 3 ayat (2)).
b. Hak anak untuk hidup (Pasal 6 ayat (1)).
c. Perlindungan bagi anak yang kehilangan orang tua (Pasal 20).
20 Darwan Prinst, 1997,Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 112-124.
21 Ibid, hal 132.
15
d. Mengambil langkah-langkahyang layak untuk menjamin status anak
pengungsi (Pasal 22).
e. Melindungi anak dari eksploitasi (Pasal 32).
f. Melindungi anak dari penyalahgunaan seksual (Pasal 34).
g. Meningkatkan pemulihan rohani,jasmani, dan penyatuan kembali (Pasal
39).
d. Perlindungan Lanjut Usia
1. Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia:
Dalam pasal ini dijelaskan mengenai hak-hak yang diterima oleh
kelompok lanjut usia, diantaranya hak mendapat pelayanan kesehatan,
hak diperlakukan sama, hak mendapat kemudahan dalam
menggunakan fasilitas umum, hak untuk mendapat bantuan sosial.
2. Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia:
Dalam pasal ini berisi mengenai ketentuan maksud adanya
pelayanan kesehatan yaitu untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan dan kemampuan lanjut usia, agar kondisi fisik, mental, dan
sosialnya dapat berfungsi secara wajar.
3. Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia:
Dalam pasal ini berisi mengenai ketentuan bahwa bantuan sosial
dimaksudkan agar lanjut usia potensial yang tidak mampu dapat
meningkatkan taraf kesejahteraannya.
D. PEMBAHASAN (ANALISIS)
16
1. Peran Pemerintah Pusat Maupun Pemerintah Daerah Dalam
Penanggulangan Bencana Gempa Bumi di Sumatera Barat:
Pada tanggal 30 September 2009, pada pukul 17.16.10 WIB,
terjadi sebuah gempa bumi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas
pantai Sumatera Barat. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera,
sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan kerusakan
parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten
Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota
Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam,
Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut data Satkorlak
Penanggulangan Bencana, korban tewas adalah sebanyak 6.234 akibat
gempa ini yang tersebar di 3 kota & 4 kabupaten di Sumatera Barat,
korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang,
korban hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak berat, 65.380
rumah rusak sedang, & 78.604 rumah rusak ringan Peringatan tsunami
sempat dikeluarkan namun segera dicabut dan terdapat laporan
kerusakan rumah maupun kebakaran. Selain itu sejumlah hotel di
Padang rusak salah satunya adalah Hotel Andalas yang merupakan
hotel terbesar di Kota Padang, dan upaya untuk mencapai Padang
cukup susah akibat terputusnya komunikasi22
Kejadian gempa bumi di Sumatera ini cukup menggemparkan
seluruh Indonesia bahkan dunia, dikarenakan jumlah korban yang
berjatuhan tidak sedikit jumlahnya, bahkan korban tewas sendiri
mencapai 6.234 jiwa, sungguh angka yang fantastis.
Perlu diketahui bahwa, yang mengakibatkan adanya korban-korban
ini baik korban tewas hingga luka ringan adalah bukan karena gempa
bumi secara langsung, tetapi hal ini berasal dari dampak yang
diakibatkan dengan adanya gempa bumi (gempa bumi secara tidak
22 http://asahannews.com/gempa-sumatera-barat-30-september-2009-evakuasi-korban-gempa-dilakukan-manual.html, diunduh Tanggal 20 November 2012, Pukul 18.10 WIB
17
langsung). Mereka para korban ini mengalami luka-luka hingga tewas
hampir 90% karena mereka terjebak di dalam gedung dan akhirnya
gedung itu roboh dan mereka tertimbun dibawah reruntuhan gedung-
gedung tersebut. Seperti pada gempa bumi di Sumatera Barat ini,
beberapa korban tewas ditemukan di bawah reruntuhan Hotel Andalas
di Kota Padang, mereka terjepit tembok-tembok yang berkilo-kilo
beratnya, mereka tertimbun bahkan sampai hitungan hari.
Sebelum kita membahas lebih jauh, akan jauh lebih baik jika kita
mengingat bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang masuk ke
dalam wilayah “cincin api”, yaitu sebuah kawasan yang dikelilingi
oleh proses gerak bumi yang selalu aktif, akibatnya Indonesia
merupakan negara yang rawan bencana terlebih gempa bumi. Jadi, apa
yang dialami oleh Sumatera Barat sebenarnya bukan barang baru
untuk Indonesia. Terlebih bencana gempa bumi seperti ini sebelumnya
telah banyak terjadi di Indonesia, bahkan jauh lebih dahsyat dari
gempa bumi di Sumatera Barat ini.
Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dan pemerintah dalam
proses penanggulangan sebuah bencana,baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah. Seperti halnya peristiwa gempa bumi di Sumatera
Barat ini, ketika bencana ini terjadi dan menimbulkan korban-korban
terlebih korban jiwa dan kerugian lainnya, diperlukan sebuah peranan
dari pemerintah terutama, dalam hal ini pemerintah pusat karena
kejadian ini terjadi dalam wilayah Indonesia terlebih termasuk bencana
nasional dan juga oleh pemerintah daerah Sumatera Barat, karena
kejadian ini terjadi di daerah Sumatera Barat, hal ini tercantum jelas
dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 dimana
disebutkan bahwa tanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan
bencana ada di tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
18
Pertama, akan dibahas mengenai peran pemerintah pusat. Dalam
Pasal 6 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana diatur mengenai apa saja yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana, yakni meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang
terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar
pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk
dana siap pakai; dan pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan
kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa pemerintah
pusat juga memiliki tanghung jawab bagi keberlangsungan
hidup masyarakat korban bencana, dalam hal ini korban bencana
gempa bumi Sumatera Selatan. Untuk mewuhudkan hal tersebut
pemerintah pusat membentuk suatu badan yang berfungsi untuk
menanggulangi bencana sebagai penggerak pemerintah pusat di
lapangan, menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah pusat
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Melalui badan tersebut, pemerintah pusat melakukan
perannya, salah satunya dalam gempa bumi di Sumatera Barat,
pemerintah pusat mengucurkan dana untuk penanggulangan
bencana di daerah tersebut, yang kemudian diaplikaiskan dalma
19
bentuk bantuan logistik, tenda-tenda darurat, kantung
jenazah,bahkan hingga proses rekonstruksi. Untuk selanjutnya
sebagai eksekutor di lapangan adalah BNPB tersebut.
Selain pemerintah pusat pemerintah daerah pun turut serta
dalam peran penaggulangan bencana di Sumatera Barat tersebut.
Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana tanggung jawab pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
memadai.
Selain itu, kurang lebihnya apa yang dilakukan oleh
pemerintah pusat sama dengan pemerintah daerah, namun disini
peran pemerintah daerah lebih diintensifkan, karena yang
mengetahui keadaan daerah tersebut hanya pemetintah daerah
itu sendiri, dalam hal ini Sumatera Barat. Dalam bencana gempa
bumi di Sumatera Barat ini pemerintah daerah turut membentuk
Badan Penanggulangan Bencana tetapi setingkat daerah.
Namun perlu disadari bahwa memang secara normatif
diatur mengenai peran pemerintah pusat dan daerah, namun
menurut kenyataannya peristiwa gempa bumi di Sumatera Barat
ini masih dirasakan kurangnya tanggapan dari pemerintah pusat
20
dan daerah ini, mereka dinilai masih lamban, bahkan saat
bencana ini terjadi, pemerintah pusat justru sedang merapatkan
apa tindakan-tindakan yang akan dilakukan, padahal di luar sana
banyak korban berjatuhan yang harus segera ditolong.
Pemerintah terkesan tidak siap, padahal perisitiwa semacam ini
sudah terjadi di masa sebelumnya dan pasti akan terjadi
kembali. Per;u diketahui bahwa tahap penanggulangan bencana
sebenarnya adalah tahap prabencana, tanggap darurat dan pasca
bencana.
Tetapi saat ini telah terjaid pergeseran makna, bahkan peran
pemerintah itu sendiri baik pusat maupun daerah justru hanya
terasa pada saat tanggap darurat dna sedikit terasa pada saat
pasca bencana, untuk pra bencana sendiri hampir di Indonesia
tidak eprnah dilakukan tahap ini guna mempersiapkan diri dan
bahkan dapat untuk menekan jumlah korban dan kerugian-
kerugian terutama kerugian materiil. Padahal sudah bukan
rahasia lagi bahwa Indonesia merupakan negara rawan gempa
bumi yang dapat disamakan dengan Jepang, namun
dibandingkan dengan negara Indonesia, Jepang jauh lebih siap
dalam menghadapi bencana, dikarenakan mereka sudah matang
pad atahan prabencana ini. Pemerintah juga harus belajar dari
hal ini.
Namun lepas dari itu semua, peran pemerintah baik pusat
maupun daerah pada saat gempa bumi di Suamtera Barat sudah
dirasakan. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya perintah tanggap
darurat oleh pemerintah pusat yang kemudian disertai dengan
turunnya sejumlah bantuan yang juga diselenggarakan oleh
pemerintah daerah, baik bantuan logistik hingga bantuan tenaga.
Akibatnya laju jatuhnya korban dapat ditekan dan masyarakat
lainnya sudah tertangani dengan baik. Hal ini merupakan
21
pemenuhan tanggung jawab oleh pemerintah seperti yang
tercantum dalam undang-undang diatas, selain itu pemerintah
juga terus memfollow-up perisitiwa ini dalam bentuk
pengawasan, agar tujuannya dapat tercapai secara tepat. Fungsi
pengawasan ini tercantum dalam Pasal 71 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
2. Perlindungan Bagi Kelompok Rentan Secara Normative di
Indonesia:
Menurut Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan kelompok
rentan adalah kelompok yang terdiri atas bayi, balita, dan anak-
anak,ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat,
dan orang lanjut usia. Namun, dalam paper ini, penulis lebih
memfokuskan diri untuk menyoroti permasalahan perempuan (ibu),
anak, dan lanjut usia.
Untuk kelompok rentan dalam hal ini perempuan, secara normatif,
perempuan-perempuan di Indonesia sudah mendapatkan perlindungan
hukumnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya Undang-undang No 7
Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Undang-undang ini
bersumber dari adanya Konvensi Cedaw (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women) yang telah
ditandatangani oleh sejumlah negara-negara di dunia. Melihat hal ini,
didorong dengan keresahan Bangsa Indonesia akan kekerasan-
kekerasan yang terjadi perempuan-perempuan di Indonesia, maka
Indonesia akhirnya meratifikasi konvensi ini, yang artinya apa yang
tercantum dalam konvensi itu akan berlaku pula di Indonesia.
Konvensi tersebut mengatur mengenai hak-hak yang harus dimiliki
oleh perempuan-perempuan, seperti pada Pasal 12 ayat (1) Konvensi
CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
22
Discrimination Agains Women) yang mengatur mengenai kewajiban
negara untuk menjamin pemeliharaan kesehatan termasuk hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan bagi perempuan. Ada pula Pasal 12
ayat (2) Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Agains Women) dimana mengatur mengenai
kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan mendapat
pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan
masa sesudah persalinan dengan biaya Cuma-Cuma, serta Pasal 2
Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Agains Women) mengatur mengenai larangan bagi
negara terutama peserta konvensi untuk tidak melakukan diskriminasi
terhadap perempuan dalam bentuk apapun.
Dalam pasal-pasal tersebut jelas bahwa secara normatif inilah
bentuk perlindungan bagi perempuan-perempuan terutama di
Indonesia, dan negara harus menjamin pemenuhan hak-hak perempuan
tersebut.
Untuk kelompok rentan dari kelompok anak, anak merupakan
anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa untuk selalu dijaga dan
dilindungi, karena anak dianggap belum mampu untuk menentukan
apa yang dia inginkan dengan baik atau sesuai dengan kaidah-kaidah
yang berlaku selain itu agar anak dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik sesuai dengan keinginannya dengan jalan yang benar.
Menyadari hal itu, Indonesia lalu mengundangkan secara normatif
peraturan perundang-undangan guna melindungi anak-anak ini secara
hukum. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 4
Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain itu ada pula konvensi
yang dilakukan negara-negara di dunia yang mengatur mengenai hak-
hak anak, yaitu Konvensi Jenewa 1924 Tentang Hak-hak Asasi Anak
hal ini juga turut dilakukan di Indonesia, ingat bahwa konvensi dapat
23
menjadi peraturan seperti undang-undang seperti yang dikatakan
Sunaryati Hartono.
Intinya kesemua peraturan tersebut mengatur mengenai apa saja
hak-hak dari anak, dan apa yang harus dilakukan oleh negara untuk
menjamin terlaksanannya hak anak tersebut.
Untuk yang terakhir adalah kelompok lanjut usia, kelompok lanjut
usia juga perlu diberikan perlindungan,dikarenakan kelompok ini
merupakan kelompok yang sudah berusia lanjut dan masuk masa
kurang produktif, sehingga terkadang posisi mereka dalam masyarakat
sering dilecehkan bahkan dianggap sebagai benalu yang sudah tidak
bisa berdiri sendiri dan pergerakannya pun lambat, sehingga mereka
sering didikriminasi. Melihat hal tersebut negara pun turut
mengundangkan peraturan guna melindungi kelompok lanjut usia ini,
yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998
Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Itulah merupakan bentuk
perlindungan bai kelompok rentan secara normatif.
3. Perlindungan Bagi Kelompok Rentan dalam Penanggulangan
Bencana Gempa Bumi di Sumatera Barat:
Gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat merupakan sebuah
perisitwa yang mengguncang Indonesia. Banyak korban-korban yang
berjatuhan, bahkan ada pula korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya.
Dibalik hal itu semua, perlu disoroti pula mengenai korban-korban
yang selamat dari kesemua korban-korban tersebut, pasti seluruh mata
masyrakat Indonesia bahkan dunia akan langsung tertuju pada
kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, dan lanjut usia.
Kelompok rentan ini adalah kelompok yang menjadi prioritas harus
dilindungi, hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 48
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
24
Bencana. Dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana teridiri dari beberapa aspek
salah satunya adalah perlindungan kelompok rentan.
Perlindungan bagi kelopok rentan di lokasi gempa bumi di
Sumatera Barat terdiri dari perlindungan secara normatif, perlindungan
secara sosiologis, dan perlindungan dari pemerintah baik pusat
maupun daerah.
1. Perlindungan Normatif:
a. Untuk kelompok perempuan,
Perlindungan secara hukum bagi perempuan-perempuan ini dengan
tegas disebutkan dalam Undang-undang No 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita. Dimana jika dikaitkan antara sisi
normatif dalam undang-undang tersebut dengan realita yang ada di
lokasi gempa, maka peraturan-peraturan tersebut yang tepat adalah
yang tercantum dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Agains
Women) yang mengatur mengenai kewajiban negara untuk menjamin
pemeliharaan kesehatan termasuk hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan bagi perempuan, ada pula Pasal 12 ayat (2) Konvensi
CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Agains Women) dimana mengatur mengenai kewajiban
negara untuk menjamin bahwa perempuan mendapat pelayanan yang
layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan masa sesudah
persalinan dengan biaya Cuma-Cuma, serta Pasal 2 Konvensi CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Agains
Women) mengatur mengenai larangan bagi negara terutama peserta
konvensi untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan
dalam bentuk apapun.
b. Untuk kelompok anak,
25
Perlindungan untuk anak ini secara tegas disebutkan dalam 2
undang-undang dan 1 konvensi Internasional tentang hak anak. Yaitu :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak. Dalam undang-undang tersebut hanya ada beberapa pasal yang
sesuai jika dicocokkan dengan apa yang terjadi dalam peristiwa
gempa bumi ini, seperti Pasal 2- pasal 9 Undang-undang Nomor 4
Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang mengatur mengenai
hak-hak anak, yaitu:
a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan.
b. Hak atas pelayanan
c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan
d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup
e. Hak mendapatb pertolongan pertama
f. Hak memperoleh asupan
g. Hak memperoleh bantuan
h. Hak diberi pelayanan dan asuhan
i. Hak memperoleh pelayanan khusus
j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, Dalam undang-undang tersebut hanya ada beberapa pasal yang
sesuai jika dicocokkan dengan apa yang terjadi dalam peristiwa
gempa bumi ini, seperti Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai hak anak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial, Pasal 9 ayat (1)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
yang mengatur mengenai hak anak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran, Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai hak anak untuk
berisitrahat dan memanfaatkan waktu luang dengan teman sebaya,
bermain, dan berkreasi, serta Pasal 23 ayat (2) Undang-undang
26
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berisi
mengenai Negara dan pemerintah wajib mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak.
3. Konvensi Jenewa 1924 Tentang Hak-hak Asasi Anak:
DImana Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta
dalam konvensi tersebut, yang artinya konvensi ini juga berlaku di
Indonesia. Konvensi ini mengatur mengenai hak anak untuk:
a. Hak mendapat perlindungan anak oleh negara (Pasal 3 ayat (2)).
b. Hak anak untuk hidup (Pasal 6 ayat (1)).
c. Perlindungan bagi anak yang kehilangan orang tua (Pasal 20).
d. Mengambil langkah-langkahyang layak untuk menjamin status
anak pengungsi (Pasal 22).
e. Melindungi anak dari eksploitasi (Pasal 32).
f. Melindungi anak dari penyalahgunaan seksual (Pasal 34).
g. Meningkatkan pemulihan rohani,jasmani, dan penyatuan kembali
(Pasal 39).
c. Kelompok Lanjut Usia
4. Dalam kelompok lanjut usia ini kembali ditegaskan dari point
nimor 2 di pembahasan sebelumnya bahwa Indonesia punturut peduli
untuk melindungi lanjut usia karena dianggapsebagai kelompok rentan
hal ini dibuktikan dengan adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun
1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Dimana pasal-pasal yang
terkait dengan perisitwa penanggulangan bencana gempa bumi di
Suamtera Barat adalah Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998
Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengatur mengenai hak-hak yang
diterima oleh kelompok lanjut usia, diantaranya hak mendapat
pelayanan kesehatan, hak diperlakukan sama, hak mendapat
kemudahan dalam menggunakan fasilitas umum, hak untuk mendapat
bantuan sosial, Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998
Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengenai ketentuan maksud
27
adanya pelayanan kesehatan yaitu untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lanjut usia, agar
kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar, Pasal
20 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia mengenai ketentuan bahwa bantuan sosial
dimaksudkan agar lanjut usia potensial yang tidak mampu dapat
meningkatkan taraf kesejahteraannya.
2. Perlindungan Sosiologis:
Untuk perlindungan secara sosiologis ini akan
dikemukakan beberapa teori-teori dan asas yang sesuai dengan
kondisi proses penanggulangan bencana di perisitiwa gempa bumi
di Sumatera Barat serta perlindungan bagi kelompok rentan. Ada
teori :
1. Kemajemukan Dalam Ruang Publik Menurut Lucinda M.
Finley.
2. Teori Feminisme Liberal Menurut Rosemarie Putnam Tong
3. Teori Feminis Post-Modern Menurut Jacques Lacan
4. Teori Kesejahteraan Anak Menurut Darwan Prinst
5. Teori Usaha Kesejahteraan Anak Menurut Darwan Prinst
6. Teori Penanganan Anak Menurut Sunaryati Hartono
7. Teori Pembangunan Sosial Menurut Roscue Pound
8. Teori Perlakuan Lanjut Usia Menurut Sasmitro A.W
9. Asas Kemanusiaan
10. Asas Keadilan
11. Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan
28
12. Asas Keseimbangan
13. Asas Keselarasan
14. Asas Keserasian
15. Asas Kebersamaan
3. Perlindungan dari Pemerintah baik Pusat Maupun Daerah:
Bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah salah
satunya dengan melakukan 3 tahap penanggulangan bencana tadi
yang sudah dibahas pada pembahasan pertama, yaitu meliputi
tahap prabencana, tanggap darurat hingga pasca bencana.
Walaupun ada perlindungan lain yaitu dalam bentuk pemeberian
bantuan seperti logistik, tenda darurat, pakaian, dsb, itu semua
merupakan bagian dari tahap tanggap darurat.
Diatas sudah dibahas mengenai perlindungan-perlindungan
dari tiga aspek, itu tadi secara Das Solen, secara Das Sein, dalam
perisitwa gempa di Sumatera Barat tersebut, banyak terjadi kasus-
kasus lain yang melingkupinya, seperti permasalahan kesehatan,
pasca gempa bumi tentu banyak sekali masalah-masalah kesehatan
yang melingkupinya mulai dari mereka yang terluka hingga
gangguan kesehatan lainnya. Namun dalam praktiknya perihal
kesehatan ini sangat minim sekali, ada seorang Ibu hamil yang
pada akhirnya melahirkan namun dia melahirkan di tenda darurat,
dengan alasan dari rumah sakit jauh serta harus membayar terlebih
dahulu, hal ini tentu sangat janggal. Padahal dalam peraturan
perundang-undangan yang telah disebut diatas sangat jelas
disebutkan bahwa perempuan berhak atas hak
melahirkan,kesehatan, bahkan secara Cuma-Cuma, apalagi ini
merupakan peristiwa darurat.
29
Ada pula permasalahan pendidikan, sekolah-sekolah roboh,
segala arsip sekolah hilang, padahal sebentar lagi akan diadakan
ujian mid semester. Disini terjadi sebuah problem dimana anak-
anak korban bencana ini masih dihantui rasa trauma secara
psikologis, namun masih dibebani mid semester yang harus tetap
diadakan, padahal buku-buku mereka juga hilang.
Permasalahan muncul kembali yaitu pada tenda-tenda
darurat yang dibangun di alam terbuka dengan fasilitas yang sangat
minim, di tenda-tenda darurat ini tinggal beberapa kepala keluarga
sekaligus, dan dicampur pula antara laki-laki dan perempuan. Hal
ini sungguh tidak sehat dan tidak ideal, padahal manusia tetap
membutuhkan ruang privat. Seperti contoh bagi ibu yang hendak
menyusui, pasti dibutuhkan tempat yang nyaman dan privat, tetapi
di lokasi pengungsian hampir tidak ditemukan ruangan khusus ibu
menyusui. Ada pula bagi bayi, di tenda itu terkadang ada sejumlah
orang yang sembarangan melakukan hal-hal yang dapat
menganggu kesehatan, merokok misalnya, padahal disana ada bayi
yang sangat rentan terhadap penyakit,persoalan iklim juga turut
serta, tenda darurat dibangun di alam terbuka dengan konsep tenda
yang tidak terlalu tertutup, padahal disitu terdapat pua kelompok-
kelompok lanjut usia yang kesehatannya sudah sangat menurun,
ditambah dengan keadaan iklim seperti itu pasti akan lebih parah
lagi, buktinya adalah ada 2 orang kakek dan nenek meninggal di
tempat pengungsian karena sakit yang diakibatkan oleh cuaca yang
buruk ditengah penempatan tenda yang minim.
Maih banyak lagi hal-hal lainnya, disini dapat kita lihat
betapa mirisnya antara das solen dan das sein sungguh sangat
bertolak belakang, padahal menurut teori Roscou Poun hukum
diciptakan untuk merekayasa kehidupan sosial tentunya untuk ke
arah yang lebih baik. Selain itu teori-teori feminisme juga
30
menegaskan bahwa budaya patriakhi masih sangat terasa di dunia
ini, ini juga dibuktikan dengan masih adanya isteri-isteri ditengah
keadaan darurat seperti itu masih harus melayani suaminya untuk
sekedar membuatkan kopi dan juga mengurus anak-anaknya,
padahal istri tersebut juga tengah sakit dan terguncang jiwanya.
Disini perlindungan untuk perempuan harus hadir.
Penanggulangan bencana memiliki asas-asas seperti yang
tersebut diatas dan prinsipnya yang cepat, tepat, dan prioritas.
Prioritas disini yang dimaksud adalah bagi kelompok rentan.
Sebenarnya permasalahan perlindungan ini bukan semata-mata
tugas pemerintah saja, sebagai masyarakat juga turut membantu,
namun ternyata masyarakat sendiri juga terkesan acuh tak acuh
dengan kelompok rentan. Seperti adanya kasus pemerkosaan dan
eksploitasi anak-anak korban bencana alam gempa bumi di
Sumatera Barat ini. Orang-orang tertentu justru memanfaatkan
moment ini untuk berbuat sesuai dengan keuntungan bagi dirinya.
Disini juga dibutuhkan peran serta dari aparat kepolisian. Akhirnya
jika ada konflik seperti ini konsep keadilan akan muncul, karena
hal ini sungguh tidak adil bagi kelompok rentan karena terus-
menerus dirugikan.
Disini terlihat peran pemerintah dalam hal melindungi
kelompok rentan yang memang menjadi prioritas dalam
penanggulangan bencana gempa bumi di Sumatera Barat terkesan
mendadak, tidak siap, dsb, namun jika dilihat dari satu sisi saja
sungguh tidak adil, peran serta masyarakat untuk turut melindungi
pun masih kurang. Tetapi kembali lagi, lepas dari itu semua
pemerintah beserta instrumen-instrumennya sudah mengupayakan
sebaik mungkin utnuk melindungi kelompok rentan ini dalam
proses penanggulangan bencana, karena walau bagaimanapun juga
hal ini scara normatif sudah diatur dan memang secara sosiologis
31
mereka harus dilindungi dan melindungi mereka memang sudah
menjadi tugas dan kewajiban pemerintah. Untuk itu pemerintah
tetap harus dihargai untuk usaha dan upayanya.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Peran Pemerintah Pusat Maupun Pemerintah Daerah dalam
Penanggulangan Bencana Gempa Bumi di Sumatera Barat:
Peran pemerintah pusat maupun daerah dalam penanggulangan
bencana gempa bumi ini kurang lebih sama, hanya saja lebih menjadi
prioritas bagi pemerintah daerah. Keduanya sudah melakukan berbagai
upaya untuk menanggulangi bencana ini, hal ini terlihat dengan
dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana baik tingkat
Nasional maupun daerah. Peran mereka terlihat ketika mereka
mengupayakan segala macam pengiriman bantuan termasuk
penangguhan tanggap darurat sebagai realisasi atas eraturan
perundang-undangan mengenai tanggung jawab mereka.
b. Perlindungan bagi Kelompok Rentan Secara Normative di
Indonesia:
1. Kelompok Perempuan:
a. Undang-undang No 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
b. Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Agains Women)
2. Kelompok Anak:
32
a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak.
b. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
c. Konvensi Jenewa 1924 Tentang Hak-hak Asasi Anak
3. Kelompok Lanjut Usia:
a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia.
c. Perlindungan bagi Kelompok Rentan dalam Penanggulangan
Bencana Gempa Bumi di Sumatera Barat:
Perlindungan bagi kelompok rentan diabgi menjadi 3 yaitu
perlindungan normatif, perlindungan sosiologis, dan dari pemerintah.
Secara normatif perlindungan untuk kelompok rentan sudah baik dan
emang melindungi, begitu pula dari segi sosiologis. Namun dari
pemerintah sebagai prakteknya masih terjadi kekurangan disana-sini
pemerintah terkesan lamban dan belum 100 persen melindungi
kelompok rentan, begitu pula dengan masyarakatnya. Hal ini
merupakan puncak dari ketidaksiapan segala aspek terutama
pemerintah dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana,
seharusnya penangulangan bencana tidak hanya tanggap darurat tapi
juga harus ada prabencana mengingat Indonesia pasti akan sering
terjadi peristiwa gempa bumi. Akibatnya kelompok rentan akan selalu
dirugikan dan terksesan tidak dilindungi. Namun disini pemerintan
dan aspek-aspek lainnya tetap berupaya untuk melindungi kelompok
rentan ditengah upaya penanggulangan bencana, namun belum 100
persen dan terkesan lamban, harus diliaht dari aspek lainnya agar adil.
33
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU ATAU REFERENSI
1. Arivia,Gadis,2003,Filsafat Berprespektif Feminis, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
2. Finley,Lucinda M., 2000, “Transcending Equality Theory: A Way Out of
The Maternity and The Workplace Debate”, Philadelphia: Temple
University Press.
3. Gul, Sema, 2007, Bencana Alam, Jakarta:Yudhistira.
4. Harper, Erica, 2009,Hukum dan Standar Internasional yang Berlaku
Dalam Situasi Bencana Alam,Jakarta:Grasindo.
5. Hartono,Sunaryati,2002,“Dampak Terorisme Terhadap Hukum
Transnasional”, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipana.Irianto,Sulistyowati, 2008, “Perempuan dan Hukum
34
Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan“, Jakarta:
Yayasan Obor.
6. Prinst,Darwan,1997,“Hukum Anak Indonesia”, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
7. Ruwanto, Bambang, 2008, Mengenal Bencana Alam: Gempa Bumi,
Jakarta:Kanisius
8. Tong,Rosemarie Putnam,2004,“Feminist Thought”,Princenton: Princenton
University Press.
9. Utama, I Made Arya, 2005, Sistem Hukum Perijinan Berwawasan
Lingkungan, Jakarta:Sinar Grafika.
B. PERUNDANG-UNDANGAN
1. RI,Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
2. RI,Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak.
3. RI,Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
4. RI, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana.
5. Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Agains Women).
6. Konvensi Jenewa 1924 Tentang Hak-hak Asasi Anak.
C. INTERNET
1. http://asahannews.com/gempa-sumatera-barat-30-september-2009-
evakuasi-korban-gempa-dilakukan-manual.html.
2. http://www.p2mb.geografi.upi.edu/Tentang_Bencana.html.
35
36