tugas hukum

32
MAKALAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL Disusun Oleh : Muhammad RizkyAdha (B1A011498) Roy Alexandro (B1A011441) Reza Arifani (B1A011419) KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Upload: muzaipeh

Post on 12-Dec-2015

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ilmu Hukum

TRANSCRIPT

MAKALAH

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Disusun Oleh :

Muhammad RizkyAdha (B1A011498)

Roy Alexandro (B1A011441)

Reza Arifani (B1A011419)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS HUKUMBANJARMASIN

2014

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar

penduduknya mempunyai mata pencarian sebagai petani dan

menggantungkan hidup serta penghasilannya dari usaha dibidang pertanian,

sehingga tanah pertanian merupakan sumber daya kehidupan dan memegang

peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Dalam pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tertulis bahwa

“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pada kenyataannya jumlah tanah yang tersedia tidak seimbang dengan

bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Masalah yang timbul akibat

meningkatnya pertambahan penduduk antara lain yaitu semakin sempitnya

lahan pertanian dan terbatasnya tempat tinggal. Dampak dari

ketidakseimbangan antara jumlah tanah yang tersedia dengan kebutuhan

manusia akan tanah mengakibatkan terjadinya penumpukan luas pemilikan

lahan pada satu pihak tertentu sehingga ada masyarakat atau pihak lain yang

sama sekali tidak memiliki tanah.

Untuk itu pemerintah sebagai pembuat kebijakan membuat suatu

aturan yang mengatur tentang tanah yang bertujuan untuk kemakmuran

rakyat, terutama bagi kemakmuran petani. Kebijakan tentang pertanahan

diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Agraria (UUPA). Dilihat dari isi dan tujuannya Undang-undang Pokok

Agraria merupakan bentuk kepastian hukum bagi masyarakat mengenai hak-

hak atas tanah, terutama golongan petani.

Semakin sempitnya lahan pertanian mendorong banyaknya petani

dengan lahan sempit dan buruh tani (tidak mempunyai lahan pertanian)

mengerjakan tanah orang lain dengan sistem bagi hasil sebagai mata

pencahariannya, untuk itu masih diperlukan atau dibuka kemungkinan adanya

penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang tidak memiliki lahan

misalnya dengan cara sewa, bagi hasil, gadai dan lain sebagainya.

Perjanjian penggarapan tanah pertanian dengan bagi hasil tersebut

telah dilaksanakan sejak dahulu bahkan sudah turun-temurun dari generasi ke

generasi selanjutnya. Perjanjian bagi hasil tersebut dilakukan oleh pemilik

tanah yang tidak mempunyai waktu atau tidak mampu mengerjakan tanahnya

kemudian bekerja sama dalam bentuk bagi hasil dengan petani yang

mempunyai tanah atau tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian

pokoknya adalah menggarap tanah untuk pertanian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang Dimaksud Perjanjian Bagi Hasil Tanah ?

2. Dasar Hukum dari Bagi Hasil Tanah ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pengertian perjanjian bagi hasil menurut seorang penulis bernama Jenny yang

dikutip oleh A.M.P.A Scheltema (1982 : 1) mengemukakan sebagai berikut:

“Bagi hasil dalam pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, di mana pembahagian hasil terhadap dua unsur produksi yaitu modal kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam bentuk natural dengan perkembangan usaha tani”

Perjanjian bagi hasil secara umum dapat diartikan sebagai suatu

perjanjian di mana seseorang pemilik tanah memperkenankan atau mengizinkan

orang lain dalam hal ini penggarap untuk menggarap tanahnya dengan membuat

suatu perjanjian, bahwa pada waktu panen hasil dari tanaman tersebut akan dibagi

sesuai perjanjian yang telah dibuat.

Perlu diketahui selain perjanjian bagi hasil untuk tanah pertanian,

terdapat pula perjanjian bagi hasil dalam bentuk lain di mana bukan hasil tanaman

yang menjadi objek perjanjian. Akan tetapi yang dijadikan objek adalah ternak,

seperti kerbau, ayam dan lain sebagainya. Perjanjian bagi hasil semacam ini

terdapat pula di Kabupaten Sinjai tempat penulis mengadakan penelitian.

Adapula perjanjian bagi hasil Perikanan yang telah diundangkan dengan

Undang-Undang No.16 Tahun 1964 tentang perjanjian bagi hasil Perikanan.

Dalam Pasal 1 huruf a yang berbunyi sebagai berikut :

“Perjanjian bagi hasil perikanan adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan ikan antara nelayan, pemilik, dan penggarap tambak, menurut perjanjian mana masing-masing menerima bagian dari hasil dan usaha tersebut menurut pertimbangan yang telah disetujui sebelumnya”.

Akan tetapi penulis tidak akan jauh membahas perjanjian tersebut di

atas, sebab dalam penulisan ini pembahasan hanya berfokus pada perjanjian bagi

hasil tentang tanah Akkinanreang seperti yang terdapat di Kabupaten Sinjai.

Pengertian perjanjian bagi hasil telah penulis paparkan, dan selanjutnya

akan penulis uraikan mengenai perjanjian bagi hasil menurut Undang-Undang

No.2 Tahun 1960 yang seperti kita ketahui merupakan satu-satunya produk

hukum nasional yang mengatur cukup detail mengenai masalah perjanjian bagi

hasil tanah pertanian. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian bukanlah suatu

masalah yang baru tumbuh tetapi merupakan suatu lembaga yang telah lama

dikenal.

Scheltema (1982 : 2) melukiskannya, “sebagai salah satu bentuk

perjanjian tertua dalam hal penguasaan tanah yang terdapat diberbagai negara

serta dalam masyarakat dengan derajat perkembangan yang sangat berlainan”.

Di masa kemerdekaan di mana bangsa Indonesia dalam masa transisi

hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional yang baru, masalah bagi

hasilpun mendapat perhatian dari pemerintah.

Pegangan kita dalam membicarakan masalah ini ialah Pasal 1 huruf c

Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 yang menyatakan secara tegas pengertian

perjanjian bagi hasil, sebagai berikut :

            “Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak yang dalam Undang-Undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenangkan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagiannya antara kedua belah pihak”.

Pengertian di atas ditempatkan sejajar dengan beberapa istilah yang lain,

ini termasuk semuanya dalam suatu perangkat pengertian yang dalam bab ini

diberi titel arti beberapa istilah. Istilah yang sejajar ditulis sebagai berikut :

a.    Tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan

makanan.

b.    Pemilik, adalah orang atau badan Hukum yang berdasarkan sesuatu hak

menguasai tanah.

c.    Perjanjian bagi hasil.

d.    Hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap

termasuk dalam huruf c pasal ini setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, ternak

serta biaya untuk menanam dan biaya panen.

e.    Petani, adalah orang baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai

tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk

pertanian.

Dari pengertian di atas terdapat suatu penembangan dari pengertian-

pengertian bagi hasil yang diuraikan sebelumnya, yang mana ditetapkannya badan

Hukum dapat menjadi pihak dalam suatu perjanjian bagi hasil.

Dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 dalam Pasal 1

tersebut di atas telah menyatakan bahwa perjanjian dengan nama apapun juga

antara pemilik dan penggarap disebut perjanjian bagi hasil. Menyebut dengan

nama apapun juga menandakan bahwa sesungguhnya sejak awal pembuat

Undang-Undang telah menyadari bahwa perjanjian bagi hasil mempunyai nama

yang bermacam-macam ditiap-tiap daerah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa

keberadaan Hukum adat khususnya yang menyangkut bagi hasil terhadap tanah

Akkinanreang dihormati oleh pemerintah setempat.

Dalam Pasal 1 huruf c tersebut, juga ditunjukkan bahwa para pihak yang

mengadakan suatu perjanjian ditegaskan kedudukannya dengan menyimlpulkan

bagaimana berlangsungnya hubungan kedua belah pihak. Perumusan mengenai

hubungan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian bagi hasil niscaya makin

memberi kejelasan tentang apa dan bagaimana hakikat dari perjanjian yang terjadi

diantara pihak-pihak tersebut.

Untuk lebih memahami isi Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun

1960 seperti telah dikemukakan terdahulu, di bawah ini dikemukakan penjelasan

Pasal tersebut yang berbunyi :

“……dalam perjanjian itu yang Hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan Hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas suatu tanah yang karena suatu sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri, tetapi ingin mendapat hasilnya memperkenangkan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut, yang hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang sudah ditentukan sebelumnya”.

Sesuai maksud yang terkandung dalam penjelasan Pasal 1 ayat c

Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tersebut di atas, jelaslah bahswa bagi hasil

tanah itu telah ada dan hidup dikalangan maysrakat Indonesia sejak dahulu.

Walaupun nama dan istilahnya berbeda-beda pada berbagai daerah, namun

tujuannya adalah sama.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang

perjanjian bagi hasil, secara otomatis merupakan suatu pengakuan pemerintah

terhadap adanya pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam maysarakat

Hukum adat.

Disamping itu, latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang tersebut

disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

a.     Masih adanya pemilik tanah yang tak sempat atau yang tak dapat

mengerjakan sendiri tanahnya, sehingga memperkenangkan orang lain untuk

mengerjakan. Pemilik tanah pertanian secara besar-besaran oleh orang-orang

yang tergolong berekonomi kuat terjadi sebelum dan sesudah

dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria. Sebaliknya yang

berekonomi lemah hanya memiliki tanah pertanian yang sempit, bahkan

biasanya tidak memiliki tanah sebidangpun. Golongan ini selain jumlahnya

banyak, juga hidup dengan berusaha menjadi buruh tani, menggarap tanah

pertanian sambil terikat oleh berbagai persyaratan yang sangat memberatkan.

Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dan Landreform,

maka pemilikan tanah secara luas mulai dibatasi dengan ketentuan batas

maksimum dan batas minimum. Tujuannya adalah untuk mencegah berlarut-

larutnya ketimpangan-ketimpangan seperti yang telah dikemukakan. Selain

itu para pemilik tanah diusahakan dapat mengelolah dan mengerjakan sendiri

tanahnya sehingga memperkenangkan orang lain untuk mengerjakan sistem

perjanjian bagi hasil.

b.    Adanya kebiasaan dalam melaksanakannya perjanjian bagi hasil secara lisan

tanpa disaksikan dan diketahui serta disahkan oleh pihak-pihak yang

berwenang. Hal demikian dapat mengakibatkan ketidakpastian dan keraguan

dalam Hukum sehingga memungkinkan timbulnya perselisihan antara para

pihak.

c.    Untuk mencegah terjadinya hal seperti dikemukakan terutama cara-cara yang

tidak menguntungkan baik dipihak pemilik tanah maupun dikalangan para

penggarap, untuk itu pemerintah berkewajiban mengatur sedemikian rupa

sistem perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang-Undang yang berlaku

diseluruh wilayah Indonesaia. Sebagai pelaksanaannya, diundangkanlah

Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.

Selanjutnya, sebagaimana tujuan dibuatnya Undang-Undang No.2 Tahun

1960, dalam penjelasannya dijelaskan sebagai berikut :

“Dalam usaha melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang Agraria diundangkanlah Undang-Undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud :

a)    Agar pembagian hasil tanah antara para pihak didasarkan atas dasar adil.

b)    Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan Hukum yang layak bagi penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi hasil itu berada dalam keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar, serta

c)    Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah kegembiraan bekerja pada petani. Hal mana akan berpengaruh baik pula pada caranya memelihara kesuburan, dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu saja akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program untuk melengkapi sandang pangan rakyat”.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 maka

pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara para pihak, selain senantiasa harus

didasarkan pada pembagian yang adil dilain pihak hak dan kewajiban kedua belah

pihak juga telah diperjelas dengan Undang-Undang tersebut utamanya yang

menyangkut terjaminnya kedudukan Hukum yang layak khususnya bagi para

penggarap. Hal demikian tidak saja berpengaruh terhadap peningkatan hasil

produksi akan tetapi pengaruhnya menjangkau jauh sampai kepada terpenuhinya

kebutuhan rakyat terhadap sandang pangan.

Sebenarnya sudah banyak pembahasan yang dilakukan para ahli dari

berbagai disiplin ilmu pengetahuan sejalan dengan Undang-Undang No.2 Tahun

1960 tentang perjanjian bagi hasil namun penulis masih merasa perlu untuk

mengetengahkan kembali sebagai suatu permasalahan untuk bahan pemikiran

dalam pembinaan Hukum di Negara kita.

Dalam membahas Hukum di Negara kita, khususnya Undang-Undang

No.2 Tahun 1960 yang berlaku sekarang ini, tidaklah cukup hanya membahas

peraturan-peraturan yang termuat didalamnya dan peraturan pelaksanaan dari

peraturan tersebut didalam masyarakat.

B. Dasar Hukum Tentang Pembagian Bagi Hasil

1.        Ketentuan Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1960

Undang-Undang No.2 Tahun1960 yang mengatur tentang perjanjian

bagi hasil dapat dipandang sebagai suatu kelompok Hukum yang mengatur hak-

hak atas sumber daya alam.

Mempelajari Hukum dari suatu Negara, kita tifdak terlepas hanya

dengan mengamati tata Hukumnya dalam keadaan diam atau pasif, akan tetapi

harus pula melihat bagaimana anggota masyarakatnya berusaha mewujudkan

nilai-nilai yang terkandung pada peraturan tersebut didalam kenyataan sehari-hari.

Mengingat kondisi tiap-tiap daerah berlainan mengenai jenis tanaman,

keadaan tanah, kepadatan penduduk dan lain-lain, hal ini berpengaruh kepada

penentuan dasar besar kecilnya bagian. Oleh sebab itu tiap-tiap daerah

mempunyai tradisi pembagian hasil yang berlainan.

Dengan diangkatnya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang

perjanjian bagi hasil dengan demikian adalah merupakan suatu pengakuan

pemerintah terhadap adanya pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang berlainan

dalam setiap masyarakat Hukum adat.

Ketentuan selama ini pada kenyataannya tidak atau belum menjadi

ketentuan yang konkrit dan diterapkan, karena adanya kecenderungan praktis

dalam pandangan dan sikap masyarakat dipedesaan yang di mana perjanjian bagi

hasil ditemukan.

Untuk mengarah kepada pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu kita

kutip ketentuan yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

No.2 Tahun 1960 sebagai berikut :

1.    Semua perjanjian bagi hasil harus ada pemilik dan penggarap sendiri dihadapan kepala desa atau kepala daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan. Selanjutnya Undang-Undang ini disebut  : Kepala desa, dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.

2.    Perjanjian bagi hasil dalam ayat 1 di atas memerlukan pengesahan dari Camat yang bersangkutan atau dari pejabat lain yang setingkat dengan itu. Selanjutnya dalam Undang-Undang itu disebut Camat.

3.    Pada tiap musyawarah desa, maka Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah musyawarah yang terakhir.

4.    Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas.

Demikian kita kutip secara lengkap ketentuan dalam Undang-Undang

No.2 Tahun 1960 Pasal 3 ayat (1,2,3 dan 4) secara lebih lengkap agar kiranya

menjadi jelas bahwa perjanjian bagi hasil telah diatur pelaksanaannya, perangkat

dan proses bagaimana melaksanakannya. Walaupun terdapat kesenjangan antara

ketentuan yang diundangkan dengan realita dimasyarakat, namun ketentuan

tersebut tetaplah senantiasa sebagai bahan perbandingan bila mana diingat bahwa

Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut adalah suatu ketentuan satu-satunya

yang mengatur masalah perjanjian bagi hasil.

Dari Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut di atas diketahui

bahwa suatu perjanjian bagi hasil atas sebidang tanah yang diperjanjikan antara

seorang atau lebih hanya dapat dianggap sah bilamana dilakukan secara tertentu

dengan beberapa syarat. syarat-syarat tersebut adalah :

1.    Perjanjian harus dibuat oleh para pihak itu sendiri.

2.    Harus dibuat tertulis dihadapan Kepala Desa.

3.    Harus disaksikan 2 orang, masing-masing dari kedua pihak tersebut.

4.    Harus disaksikan olek Camat setempat.

Berdasarkan keempat syarat yang disebutkan di atas, maka suatu

perjanjian bagi hasil dapat dianggap sah bilamana telah memenuhi atau

menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu dapat ditarik

bahwa kekurangan dari salah satu syarat yang diakibatkan oleh karena tidak

dijalankan dilaksanakannya syarat tersebut, dapat memberi konsekuensi tidak sah

atau tidak diakuinya suatu perjanjian bagi hasil.

Penetapan keempat syarat tersebut, menurut pemikiran penulis adalah

wajar dan memang suatu keharusan demi mencapai efektifitas ketentuan

perundang-undangan yang bertumpuh pada keadilan sepenuh-penuhnya untuk

semua pihak. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 ini juga amat

logis sebagai suatu penetapan penting bagi terselenggaranya perjanjian bagi hasil

dan untuk suatu kepastian Hukum bagi semua kalangan masyarakat tani pada

semua tingkatan sosial dan lapisan kehidupan.

Khususnya bagi kalangan masyarakat pemilik tanah dan penggarap maka

perlu adanya ketentuan yang menekankan unsur keadilan dan kepastian Hukum

sebagaimana yang telah digariskan dalam Pasal 3 seperti dikemukakan di atas

agar kiranya bertujuan untuk menjamin terciptanya kehidupan yang berlandaskan

pada adanya pemerataan penikmatan hasil tanah pertanian diantara semua

masyarakat tani. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan suatu kehidupan yang

lebih sejahtera.

Suatu latar belakang pemikiran lain, agaknya menjadi bahan

pertimbangan dengan ditetapkannya ketentuan bahwa setiap perjanjian bagi hasil

mesti dituangkan secara tertulis dan lebih menunjukkan adanya sesuatu yang

benar-benar nyata. Dengan demikian dari segi realitanya sebagai sebuah

perbuatan Hukum yang dapat dibuktikan dan memperkuat daya berlakunya.

Oleh karena itu dapat dikaitkan bahwa dengan suatu bentuk yang

tertulis, maka perjanjian bagi hasil dapat menghindarkan terjadinya keragu-

raguan. Hal ini kiranya amat penting mengingat bahwa kepercayaan hanya dapat

diperoleh bilamana ada suatu yang konkrit dan dijadikan bukti tentang terjadinya

suatu perbuatan Hukum.

Dengan adanya kepercayaan yang ditumbuhkan oleh adanya bentuk

tertulis, maka kemungkinan munculnya perselisihan akibat keragu-raguan dapat

dicegah sedini mungkin. Bentuk tertulis juga akan lebih efektif bagi kedua pihak,

karena dengan cara demikian telah ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan

jelas adanya kesepakatan tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak

yang mengadakan suatu perjanjian bagi hasil. Demikian pula akan menjadi suatu

penegasan kedua pihak yang menyangkut aspek-aspek dari perjanjian lainnya

yang menjadi kesepakatan.

Perjanjian yang dibuat secara tertulis, dengan penyaksian Kepala Desa

pengesahan Camat, juga bermanfaat bagi suatu bukti penguat kekuatan yuridis

suatu perjanjian. Sebab dengan adanya penyaksian dan pengesahan yang prepentif

dalam hal pelaksanaan perjanjian yang diberlakukan.

Sebelum melangkah lebih jauh kedalam pembahasan selanjutnya , maka

terlebih dahulu harus disimak kembali maksud perjanjian bagi hasil. Kemudian

juga mengenai batasan dari pengertian pemilik dan penggarap, dengan penguraian

kembali agar supaya dimaksudkan penelaahan selanjutnya akan lebih jelas,

sebagai berikut :

a.    Perjanjian Bagi Hasil.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, maksud perjanjian bagi hasil

adalah berdasarkan pengertian yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang

No.2 Tahun 1960, yakni perjanjian dengan nama apapun juga diadakan antara

pemilik pada suatu pihak yang dalam hal ini disebut penggarap berdasarkan

perjanjian mana penggarap diperkenangkan oleh pemilik tersebut untuk

menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah milik, dengan pembagian

bagi hasilnya antara kedua belah pihak (Pasal 1 huruf c Undang-Undang No.2

Tahun 1960 )

b.    Pemilik.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1, juga diberikan penjelasan dalam

Undang-Undang No.2 Tahun 1960.  bahwa, pemilik ialah orang atau badan

Hukum yang berdasarkan hak menguasai tanah ( Pasal 1 huruf b ). Dan sesuai

dengan Hukum yang berlaku sekarang, yang berwenang untuk mengadakan

perjanjian bagi hasil itu tidak hanya terbatas pada para pemilik, tetapi juga

para pemegang gadai, penyewa dan lain-lain orang yang berdasarkan suatu

hak menguasai tanah yang bersangkutan.

c.    Penggarap

Ditentukan dalam Pasal 3, namun pengertian subjek yang dimaksudkan

dapat ditarik dari pemahaman berdasarkan Pasal 1 huruf c Undang-Undang

No.2 Tahun 1960, yakni penggarap adalah suatu individu atau badan Hukum

disatu pihak yang mengadakan suatu perjanjian dengan pemilik, dilain pihak

diperkenangkan oleh pemilk untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas

tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua pihak.

Sesungguhnya suatu perbuatan Hukum yang dimaksudkan untuk

mengatur hubungan Hukum yang menyangkut kebendaan atau suatu bentuk

materi yang bertolak dari adanya kepentingan bersama antara satu sama lain

dianggap sebagai suatu yang penting. Seyogyanya dituangkan dalam bentuk

tertulis oleh sebab pertama-tama dilandaskan dari pengertiannya sendiri bagi

para pihak yang mengadakan perjanjian. Hanya bentuk tertulislah yang dapat

menyatakan hak dan kewajiban para pihak dengan jelas dan hanya berbentuk

tertulis pulalah suatu objek yang diperjanjikan dan ditegaskan dengan nyata.

Bagaimana melihat hakikat penetapan tentang bentuk perjanjian yang

diharuskan sebagai sesuatu yang semestinya terwujud dalam pelaksanaan

perjanjian dalam hubungannya dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat

di mana perjanjian bagi hasil itu masih sering terjadi.

Kenyataan bahwa perjanjian bagi hasil itu yang dilakukan

dimasyarakat tidak dilakukan dalam bentuk tertulis dengan demikian

merupakan petunjuk bahwa sifat formal atau sifat berkesan resmi dengan

bentuk tertulis adalah bukan ciri dari percerminan pemberlakuan hukum adat

dalam perjanjian bagi hasil. Sebagai mana diketahui system hukum adat

tidaklah berdasarkan pada suatu bentuk yang statutoir atau dalam ketentuan

tertulis, tetapi hanya dalam bentuk kesepakatan yang dirumuskan dengan

pengertian. Dan ini semata-mata bersandar pada pola yang telah diberlakukan

sebagai kasepakatan bersama pada warga masyarakat pada tempat di mana

sistem hukum adat itu berlaku.

d.    Ketentuan Menurut Hukum Adat

Sebelum membahas ketentuan tentang tanah Akkinanreang menurut

Hukum adat, perlu dikemukakan terlebih dahulu tentang hak-hak atas tanah

setelah Undang-Undang Pokok Agraria. Hak milik, sebagai landasan idealnya

adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara struktural

antara lain dengan adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dahulu hak milik dalam pengertian Hukum barat bersifat mutlak, hal

ini sesuai dengan faham yang mereka anut yaitu individualisme, yang di

mana kepentingan individu sangat menonjol, individu diberi kekuasaan bebas

dan penuh terhadap miliknya. Hak milik atas tanah dalam pengertian

sekarang, setelah Undang-Undang Pokok Agraria , hak milik adalah hak

turun-temurun dengan mengingat fungsi sosialnya. Hak milik mempunyai

fungsi sosial yang mempunyai arti bahwa hak milik yang dipunyai seseorang

tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau

perseorangan, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat banyak. Jadi hak

milik mempunyai fungsi kemasyarkatan yang memberi berbagai hak bagi

orang lain.

Telah ditegaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria bahwa hak

ulayat diakui sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih

ada pada masyarakat Hukum yang bersangkutan. Tetapi tdak dapat

dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat Hukum tersebut

menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak

tersebut sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas, maka tidak

diperbolehkan lagi pemilikan tanah originer tanpa izin dari pemerintah yang

diberikan sebelumnya, seperti halnya dengan pembukaan tanah menurut

Hukum adat atau kepemilikan tanah timbul, akan tetapi semua pemilik tanah

bertsifat sekunder.

Maka wewenang berupa tanah-tanah oleh masyarakat Hukum

mendapat batasan yang sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa

sebelumnya karena sejak itu (berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960)

segala kewenangan mengenai persoalan tanah berpusat pada kekuasaan

Negara. Kalau demikian sebagaimana kewenangan (ketentuan) masyarakat

Hukum adat atas tanah yang kita sebut dengan hak ulayat, apakah masih

diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan

ketentuan-ketentuan Hukum adat tentang tanah yang sebagaimana telah

diuraikan di atas.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, diuraikan

sebagai berikut :1.    Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan Nasional dan

Negara yang brdasarkan peraturan-peraturan dan persatuan bangsa.2.    Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan sosialis Indonesia.3.    Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang

Pokok Agraria.4.    Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-

undangan lainnya.5.    Hukum adat harus mengindahkan unsur yang bersandar pada Hukum

agama.

Pengertian Hukum adat disini mempunyai arti tersendiri, bukan lagi

sebagi Hukum adat yang selama ini diperkenalkan oleh beberapa ahli Hukum

adat sesekalipun masih adanya kelainan penafsiran tentang pengertian itu.

Hukum adat menurut pengertian Undang-Undang Pokok Agraria adalah

Hukum adat baru.

e.    Hak dan Kewajiban Masing-Masing Pihak Dalam Perjanjian Bagi Hasil

Terhadap Tanah Akkinanreang.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu bahwa suatu

perjanjian yang dibuat dengan sepakat oleh para pihak membawa akibat

Hukum, tidak saja mengikat para pihak tetapi juga berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya.

Dalam perjanjian yang mereka buat itu ditentukan hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak. Hal ini berarti bahwa pihak

yang satu untuk menuntut suatu prestasi kepada pihak lain sebagai yang telah

disanggupi dalam perjanjian tersebut.

Apabila terdapat salah satu pihak meninggal kemudian

mengalihkannya kepada ahli warisnya, maka mengenai hak dan kewajiban

masing-masing ahli waris tersebut adalah berhak memiliki sepenuhnya hasil

produksi pada gilirannya dan berkewajiban membayar jenis pungutan yang

sah dari pemerintah. Mengingat bahwa pengaruh sistem hukum adat setempat

masih sangat besar, maka kenyataan yang terjadi bahwa perjanjian bagi hasil

tanah Akkinanreang walaupun diadakannya secara tidak tertulis namun tetap

dapat berlangsung lancar tanpa adanya perbedaan eksteren dengan yang telah

ditetapkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang suatu perjanjian

bagi hasil.

Salah satu hasil perombakan hukum yang berhasil adalah penetapan

UU No. 5 Tahun 1960, yang populer dikenal sebagai Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA). Mengingat susunan masyarakat pertanian, khususnya di

pedesaan masih membutuhkan penggunaan tanah yang bukan miliknya, maka

kiranya sementara waktu masih diperlukan atau dibuka kemungkinan adanya

penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan miliknya misalnya

dengan cara sewa, bagi hasil, gadai, dll. Hal demikian seperti halnya yang di

atur dalam Pasal 53 UUPA, bahwa hak-hak adat yang sifatnya bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan UUPA (Pasal 7 dan 10) tetapi berhubungan

dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat di hapuskan, diberi

sifat sementara yaitu dengan hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang

dan hak sewa tanah pertanian, yang harus diselenggarakan menurut

ketentuan– ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya untuk

mencegah hubungan-hubungan hak yang bersifat “penindasan “.

Perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian merupakan perbuatan

hubungan hukum yang diatur dalam hukum Adat. Perjanjian Bagi Hasil

adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang

tanah pertanian dari orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan

perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang

bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak

atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.

Perjanjian Bagi Hasil merupakan salah satu perjanjian yang berhubungan

tanah yang mana obyeknya bukan tanah namun melainkan segala sesuatu

yang ada hubunganya dengan tanah atau yang melekat pada tanah seperti

tanaman- tanaman, hak mengerjakan, menggarap, atau menanami tanah

tersebut, dan sebagainya. Materi Bagi Hasil tanah pertanian itu sendiri masuk

dalam ruang lingkup hukum tanah adat teknis, yaitu perjanjian kerjasama

yang bersangkutan dengan tanah tetapi yang tidak dapat dikatakan berobyek

tanah, melainkan obyeknya adalah tanaman.

Perjanjian pengusahaan tanah dengan Bagi Hasil semula diatur

didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah

dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati

sebelumnya oleh kedua belah pihak.

Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian mendapat

pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian

Bagi Hasil yang lahir berdasarkan pada hukum adat di Indonesia.

Perjanjian Bagi Hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah tidak asing

lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka umumnya

adalah petani. Namun pengusahaan tanah dengan bagi hasil di setiap daerah

di Indonesia itu berbeda-beda nama dan pengaturanya.

Menurut para ahli hukum adat perjanjian bagi hasil itu mempunyai

pengertian yang bermacam-macam. Pengertian perjanjian bagi hasil menurut

Boedi Harsono yakni: “Suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak

atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut penggarap,

berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah

itu dengan pembagian hasil diantara penggarap dan berhak atas tanah tersebut

menurut imbangan yang telah disetujui bersama, misalnya masing-masing

mendapat seperduai (maro) atau penggarap mendapat sepertiga bagian

(mertelu)”. Pengertian perjanjian bagi hasil menurut Bushar Muhammad

adalah: “Apabila pemilik tanah memberi ijin kepada orang lain untuk

mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu harus

memberikan sebagian (separo kalau memperduai atau maro serta sepertiga

kalau mertelu atau jejuron) hasil tanahnya ke pada pemilik tanah “.

Fungsi perjanjian bagi hasil ini menurut Djaren Saragih adalah untuk

memelihara produktifkan dari tanah tanpa mengerjakan sendiri, sedang bagi

pemaruh (deelbouwer) fungsi dari perjanjian adalah untuk memproduktifkan

tenaganya tanpa memilliki tanah. Hilman Hadikusuma menjelaskan pada

umunya setiap orang yang menanami tanah orang lain baik karena

persetujuan kedua belah pihak atau tanpa persetujuan, pihak yang menanami

harus memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik tanah. Hal inilah yang

merupakan azas umum yang berlaku dalam Hukum Adat.Jadi Perjanjian Bagi

Hasil menurut Hukum Adat pada dasarnya adalah suatu perjanjian yang

timbul dalam masyarakat Hukum Adat antara pemilik tanah dengan petani

penggarap dan umumnya perjanjian tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk

tertulis tetapi hanya bersifat lisan dengan dasar saling percaya.

Di daerah MinangKabau (Sumatera Barat) perjanjian bagi hasil dikenal

dengan istilah “memperduai “ atau “babuek sawah urang “ dalam

kenyataanya dilakukan secara lesan dihadapan kepala adat. Imbangan hasil

tergantung pada kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan

sebagainya. Apabila bibit disediakan oleh pemilik tanah maka hasilnya dibagi

dua antara pemilik tanah dan penggarap tanpa memperhitungkan nilai, benih

serta pupuk, lain halnya apabila tanah kering atau sawah ditanami palawija,

dimana pemilik tanah menyediakan bibit dan pupuk, maka hasilnya di bagi

dua, akan tetapi memperhitungkan harga bibit dan pupuk. Perjanjian ini

disebut dengan “ sadua bijo.” Di daerah jawa Tengan, perjanjian bagi hasil

tergantung pada kualitas tanah, macam tanaman, yang akan dikerjakan, serta

penawaran buruh tani. Jika kualitas tanah baik, maka pemilik tanah akan

memperoleh bagian hasil yang lebih besar dari pada penggarap.

Hukum Tanah Nasional melarang kemungkinan pemerasan orang

atau golongan satu oleh orang atau golongan lain. Sehingga macam-macam

hak atas tanah yang bersifat sementara, pada prinsipnya adalah hak-hak yang

memberikan wewenang untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian

kepunyaan orang lain .Hal ini merupakan lembaga-lembaga hukum yang

dapat menimbulkan keadaan penguasaan tanah yang bertentangan dengan

asas yang tercantum dalam Pasal 10 di atas.

Termasuk didalamnya perjanjian Bagi Hasil dapat memungkinkan

timbulnya hubungan-hubungan yang mengandung unsur pemerasan oleh

sipemilik tanah terhadap pihak yang mengusahakan tanahnya atau

sebaliknya.Jadi Perjanjian Bagi Hasil dalam Hukum Tanah Nasional adalah

tidak diperbolehkan, karena bertentangan dengan prinsip yang ada dalam

UUPA yaitu Pasal 10 UUPA. Karena lembaga hukum ini masih dibutuhkan

oleh masyarakat petani di pedesaan yang tidak punya tanah, sehingga dalam

UUPA diakomodir sebagai macam-macam hak atas tanah yang bersifat

sementara, yang pada suatu saat akan dihapuskan. Karena untuk

menghapuskan hak-hak tersebut sekaligus pada saat mulai berlakunya UUPA

pada tanggal 24 september 1960, harus disertai dengan usaha-usaha untuk

penyediaan lapangan kerja baru diluar bidang pertanahan bagi mereka yang

tidak mempunyai tanah sendiri, atau menyediakan kredit lunak bagi yang

memerlukan, atau memperluas areal tanah pertanian, yang dalam hal ini

sampai sekarang belum dapat terselenggara.

Untuk membatasi sifat –sifat dari hak-hak yang bersifat sementara

tersebut (perjanjian Bagi-Hasil) yang bertentangan dengan UUPA, maka

harus mendapatkan Penganturan lebih lanjut. Untuk Pengaturan tentang

perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian telah mendapat pengaturan dalam

Undang-Undang No 2 tahun 1960 tentang “ Perjanjian Bagi Hasil.”

Sebenarnya Undang-Undang ini tidak memberikan perlindungan yang

berlebihan kepada penggarap tanah/ tunakisma, namun tujuan utama adalah

memberikan kepastian hukum kepada penggarap serta menegaskan hak dan

kewajiban penggarap dan pemilik tanah (memori penjelasan UU No.2 tahun

1960).Sehingga hak–hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik

tanah menjadi semakin lebih tegas.

Lembaga bagi hasil yang ada di seluruh Indonesia sangat bervariasi.

Disetiap daerah tidak ada kesamaan, namun demikian pada umunya hampir

sama. Pada dasarnya diaturnya lembaga bagi hasil adalah sifatnya

formalitasnya saja, seperti perjanjiannya harus tertulis, pengumuman oleh

Kepala Desa, dan pelaporan pada camat setempat.

BAB III

KESIMPULAN

Perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian merupakan perbuatan hubungan

hukum yang diatur dalam hukum Adat. Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk

perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang

lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap

diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian

hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan

yang telah disetujui bersama.

Perjanjian Bagi Hasil merupakan salah satu perjanjian yang berhubungan

tanah yang mana obyeknya bukan tanah namun melainkan segala sesuatu yang

ada hubunganya dengan tanah atau yang melekat pada tanah seperti tanaman-

tanaman, hak mengerjakan, menggarap, atau menanami tanah tersebut, dan

sebagainya. Materi Bagi Hasil tanah pertanian itu sendiri masuk dalam ruang

lingkup hukum tanah adat teknis, yaitu perjanjian kerjasama yang bersangkutan

dengan tanah tetapi yang tidak dapat dikatakan berobyek tanah, melainkan

obyeknya adalah tanaman.

Perjanjian pengusahaan tanah dengan Bagi Hasil semula diatur didalam

hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah dan petani

penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati sebelumnya oleh

kedua belah pihak.

Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian mendapat

pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi

Hasil yang lahir berdasarkan pada hukum adat di Indonesia.

Perjanjian Bagi Hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah tidak

asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka umumnya

adalah petani. Namun pengusahaan tanah dengan bagi hasil di setiap daerah di

Indonesia itu berbeda-beda nama dan pengaturanya.

DAFTAR PUSTAKA

http://isharyanto.wordpress.com/racikan-ilmiah/lentera-ide/perjanjian-bagi-hasil-tanah-pertanian/

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5006/1/04007784.pdf