tugas geologi minyak bumi
TRANSCRIPT
TUGAS
GEOLOGI MINYAK BUMI
DISUSUN OLEH :
AL-HUSSEIN FLOWERS RIZQI
( 410009047 )
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL
YOGYAKARTA
2012
Terdapat hubungan antara cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat
dengan elemen-elemen tektonik yang ada. Cekungan-cekungan besar di wilayah Asia Tenggara
mempresentasikan kondisi setiap elemen tektonik yang ada, yaitu cekungan busur muka (forearc
basin), cekungan busur belakang (back-arc basin), cekungan intra kraton (intracratonic basin),
dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona tumbukan (collision zone basin).
Forarc-Basin adalah depresi dasar laut yang terletak antara zona subduksi dan terkait
dengan busur vulkanik. Sedimentasi yang terbentuk merupakan endapan material kerak samudra
yang terendapkan di tepi-tepi pulau disampingnya.
Back-arc basin yang diduga bentuk dari hasil dari proses rollback disebut. Istilah ini
menggambarkan gerakan mundur dari zona subduksi terhadap gerakan lempeng yang sedang
menumbuk. Sebagai zona subduksi dan parit yang ditarik ke belakang, lempeng override ditarik,
penipisan kerak yang terbentuk dalam cekungan pada belakang busur. Sedimentasi sangat
asimetris, dengan sebagian besar sedimen dipasok dari busur magmatik aktif yang regresi sejalan
dengan rollback parit.
Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui bahwa
ada sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial.
Diantaranya basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara,
Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.
Cekungan busur belakang timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-lapangan
minyak yang paling produktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat flow dari
posisi penurunan cekunga dan pembebanan. Proses ini diperkuat oleh gaya-gaya kompresi telah
menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap struktur sebagai
tempat akumulasi hidrokarbon. (Barber, 1985)
Secara rinci perkembangan sistem cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk
sangat dipergaruhi oleh tatanan geologi local. Sebagai contoh structural pull apart basin
menentukan perkembangan sistem cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan gaya
kompresif dan ekstensional dari proses peregangan berarah untara-selatan mempengaruhi pola
pembentukan antiklinorium dan cekungan Palembang yang berarah N300oE (Pulunggono,
1986). Demikian pula pola sebaran cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat dipengaruhi oleh
pola struktur berarah timur-barat (Brandasen & Mattew, 1992), sedang pola cekungan di Laut
Jawa bagian barat-laut berarah timur laut-baratdaya, sedang pola cekungan di timur-laut berarah
barat-laut-tenggara.
Cekungan Kutai dan Tarakan merupakan cekungan intra kraton di Indonesia.
Pembentukan cekungan terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan cekungan dan
sedimentasi yang bersifat trangesif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen tengah (Barber,
1985). Pola-pola ini menjadikan pembentukan delta berjalan efektif sebagai pembentuk
perangkap minyak bumi maupun batu bara.
Zona tumbukan (collision zone), merupakan tempat endapan-endapan kontinen
bertumbuk dengan kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan
Bula, Seram, Bituni dan Salawati di sekitar Kepala Burung Papua, cekungan lengan timur
Sulawesi, serta Buton, merupakan cekungan masuk dalam kategori akibat proses tumbukan.
Keberadaan endapan aspal Buton berasosiasi dengan zona tumbuka antara mikro kontinen
Tukang Besi dengan lengan timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai kompleks ofiolit.
(Barber, 1985; Sartono, 1999)
Kehadiran minyak di Papua berasosiasi dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang
merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat dengan tepi benua Australia. Sumber
reservoat hidrokarbon terperangkap struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal serta di
bagian bawah hanging-wall sesar sungkup.
PENDAHULUAN
1. TEKTONIK INDONESIA BARAT
MANDALA BARAT TEKTONIK INDONESIA
MANDALA TIMUR
Tektonik suatu kawasan / wilayah / mandala ditentukan dan dipengaruhi sifat gerak dan
pergeseran lempeng listosfer yang saling bersentuhan.
Indoneisa barat ß ditentukan dan dipengaruhi sifat gerak lempeng Hindia – Australia
yang bergerak ke utara bertemu dengan lempeng Eurasia. Pertemuan kedua lempeng ini
bersifat tumbukan dan melibatkan kerak Samudra Hindia dan kerak Kontinen Asteng
membentuk busur kepulauan è Sunda Arc System.
Gerak tektonik tersier (Oligosen – Miosen) adalah cerminan bergeraknya bagian Timur
Asia ke Tenggara (Lempeng Sunda) sebagai akibat tumbukan daratan India dengan
Eurosia (Tapponier, Dkk, 1982).
Kerangka Tektonik Indonesia Barat :
1. Busur luar non Vulkanik (NV. Outer Arc).
Ø Pulau-pulau sebelah Barat Sumatera.
Ø Sedimen tersier yang terlipat dan / atau patah.
Ø Batuan dasar : malihan dan batuan beku bersifat basa sampi ultra basa.
Ø Di selatan Jawa hanya berupa dataran tinggi dasar laut (gbr. 6 & 8).
2. Cekungan Busur Luar (F. Arc Basin).
Ø Antara Non Vulkanik dan Vulkanik.
Ø Sedimen tebal ( » 6000 m): serpih, turbidit dan batu gamping bermaterial vulkanit yang
menipis ke arah pantai Sumatera.
Ø Di selatan Jawa : Vulkanit dan Gamping terumbu.
Present day plate tectonik elements of Indonesia and location of the study area (modified
from Coffield et al. 1993) KAWASAN BARAT 1. Busur luar non vulkanik 2. Cekungan
busur luar 3. Busur dalam vulkanik Selain deretan gunung api pada busur ini terjadi
patahan Semangka dan patahan Rembang. 4. Cekungan Busur Dalam = {Cekungan
Sumut, Sumteng, Sumsel, Jabar, Jatim, Kalsel & Kaltim} 5. Paparan Sunda. KAWASAN
TIMUR : Kawasan ini merupakan zona tabrakan antar lempeng-lempeng Australia,
Pasifik dan Asia (Eurasian) banyak terdapat sesaran (perhatikan gambar) dan di Irian
terdapat pegunungan yang tinggi berlereng terjal dan lembah (cekungan). A.= Bagian
dari Pegunungan Lingkar Pasifik B = Bagain dari Pegunungan Lingkar Australi
3. Busur Vulkanik (Busur Magmatik)
Ø Sistem Pegunungan Sunda.
Ø Kerangka Sumatera, Jawa dan Nusatenggara
Ø Di Sumatera : - Bukit Barisan : 1.650 km BL – Teng
- Sesar Semangka di Lampung (Liwa) dan SUMBAR (Bukit Tinggi) – SUMUT (Kuta
Cane)
Ø Di Jawa : - Geantiklin Jawa Selatan.
Ø Sedimen Paleozoikum – Kenozoikum yang telah terlipat dan Intrusi Andesit – Basalt.
Ø Batuan dasar : Metamorf & BB. Granitik
Ø Deretan Gunung Api.
4. Cekungan Busur Dalam ( B Arc Basin)
Sumatera Utara
Ø Cekungan :
Sumatera Tengah & Sumatera Selatan
Jawa Barat Utara à Jatim dan Madura
KALTIM – KALSEL (Kutai dan Asam).
Ø Cekungan minyak dan Gas tersier yang Produktif
5. Paparan Sunda (Sunda Shelf)
à Inti Benua di Asteng (Indonesia Barat)
Mantap secara tektonik sejak tersier.
Ø Sememanjung Malaka, P. Bangka dan Belitung, Laut dan P. Natuna, P. Anambas,
Pantai Kalbar.
Ø Bagian Utara : Cekungan Natuna Barat dan Cekungan Natuna Timur (Dipisahkan oleh
Pulau Natuna).
Sedimen
Ø Batuannya : Pra Tersier.
Metamorf
CEKUNGAN PADA BUSUR LUAR (MUKA ?):
= Cekungan: Sibolga, Bengkulu dan Jawa Selatan.
Gambar 8. Penampang Cekungan Muka Busur.
FORE ARC BASIN
Ø Daerah Pengendapan Asymetris – poros dekat Busur Vulkanik dan dibatasi Fleksure.
Ø Telah mengalami deformasi à termasuk kompleks Melagne berumur Pratersier.
CEKUNGAN PADA BUSUR DALAM (BELAKANG ?)
· Cekungan Aceh Utara
· Cekungan Sumatera Utara
· Cenkungan Sumatera Tengah
· Cekungan Sumatera Selatan
· Cekungan Jawa Barat Laut : - Cekungan Jabar
- Cekungan Sunda
- Cekungan Beliton.
· Cekungan Jateng Timur Laut.
· Cekungan Kalimantan : - cekungan Asem-asem
- cekungan Barito
- cekungan Kutai
- cekungan Tarakan.
CEKUNGAN ACEH UTARA – SUMATERA UTARA
Ø UJUNG Utara cekungan Sumatera
Ø BL/U : L.Andaman. Tenggara : Dataran Tinggi Asahan
Ø BD : Bukit Barisan TL : Paparan Sunda.
Ø Endapan selama tersier (Paleosen – Pliosen) Non Marin dan Marin à tebal 800 m
= Bt. Pasir Kuarsa – Mika dan Bt. Karbonat
Lapisan tak selaras dengan batuan Pra tersier.
2. Keberadaan Minyak dan Gas Bumi
Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai
kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini memiliki
peran sekitar 80% dari total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di Indonesia.
Dengan demikian peran minyak dan gas bumi dalam peningkatan perolehan devisa negara masih
sangat diperlukan. Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat dengan
elemen-elemen tektonik yang ada. Cekungan-cekungan besar di wilayah Asia Tenggara
merepresentasikan kondisi setiap elemen tektonik yang ada, yaitu cekungan busur muka (forearc
basin), cekungan busur belakang (back-arc basin), cekungan intra kraton (intracratonic basin),
dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona tumbukan (collision zone basin).
Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui ada
sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial. Diantaranya
basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat,
Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.
Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-
lapangan minyak paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat flow
dari proses penurunan cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya kompresi
telah menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap struktur
sebagai tempat akumulasi hidrokarbon (Barber, 1985). Secara lebih rinci, perkembangan sistem
cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh tatanan struktur
geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin menentukan perkembangan sistem
cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan gaya kompresif dan ekstensional dari
proses peregangan berarah utara-selatan mempengaruhi pola pembentukan antiklinorium dan
cekungan Palembang yang berarah N300oE (Pulunggono, 1986).
Demikian pula pola sebaran cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat dipengaruhi oleh
pola struktur berarah timur-barat (Brandsen & Mattew, 1992), sedang pola cekungan di Laut
Jawa bagian barat-laut berarah berarah timur-laut – baratdaya, sedang pola cekungan di timur-
laut berarah barat-laut – tenggara. Cekungan Kutai dan Tarakan merupakan cekungan intra
kraton (intracratonic basin) di Indonesia. Pembentukan cekungan terjadi selama Neogen ketika
terjadi proses penurunan cekungan dan sedimentasi yang bersifat transgresif, dan dilanjutkan
bersifat regresif di Miosen Tengah (Barber, 1985). Pola-pola ini menjadiken pembentukan delta
berjalan efektif sebagai pembentuk perangkap minyak bumi maupun batubara.
Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan dengan
kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula, Seram, Bituni
dan Salawati di sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi, serta Buton,
merupakan cekungan yang masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985). Keberadaan endapan aspal
di Buton berasosiasi dengan zona tumbukan antara mikro kontinen Tukang Besi dengan lengan
timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono,
1999). Kehadiran minyak di Papua berasosiasi dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang
merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat dengan tepi benua Australia (Barber, 1985).
Sumber dan reservoar hidrokarbon terperangkap struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal
serta di bagian bawah hanging-wall sesar sungkup (Simanjuntak dkk, 1994.
3. Zaman Paleontologi dan Neogen Di Indonesia
Paleogen dan Neogen merupakan bagian dari Zaman Tersier (70-2 juta tahun
yang lalu), dengan Paleogen yang terdiri atas Paleosen, Eosen dan Oligosen dan Neogen
yang terdiri atas Miosen dan Pliosen. Tiap zamannya memiliki karakteristik, baik dari
unsur kehidupan, cekungan sedimen, pengisi cekungan sedimen hingga aktivitas
tektonik yang berlangsung pada zamannya. Kondisi pada awal Paleogen merupakan
kondisi dimana terbentuknya awal dari sebuah cekungan, mulai ada suplai sedimen yang
mengisi cekungan yang umumnya disebut dengan cekungan pra-Tersier. Kondisi awal
cekungan, untuk di daerah fore-arc atau sepanjang zona tumbukan kerak samudera
(Samudera Hindia) dan kerak benua (Indo-Asia) berupa laut tengah hingga dalam (zona
batial) hingga terendapkan batulempung hingga batupasir halus.
Contohnya yang terjadi pada daerah Banjarnegara - Purbalingga, dimana pada
Paleogen Akhir merupakan laut dalam yang dipengaruhi kegiatan tektonik aktif
sehingga terjadi longsoran-longsoran bawah laut yang mengakibatkan terjadinya
endapan turbidit Formasi Worawari. Pada akhir Paleogen Atas terjadi pula longsoran –
longsoran yang mengakibatkan terbentuknya endapan olistostrom Formasi Worawari
yang tersusun oleh matriks lempung dan bongkah - bongkah batugamping numulit,
batupasir kasar - sangat kasar, serta konglomerat. Setelah itu pada umur N3 terjadi
pengangkatan yang diikuti oleh pendangkalan dan akhirnya diikuti proses erosi. Sebagai
akibatnya terjadi rumpang umur antara Formasi Worawari yang paling muda berumur
N2 dengan Formasi Merawu yang berumur paling tua N4.
Selama fase peregangan (Eosen-Oligosen), arah peregangan berarah timur laut -
barat daya, Kemudian pada permukaan Neogen (Oligo-Miosen), jalur penujaman baru
terbentuk di selatan Jawa dan menerus hingga sekarang serta menghasilkan sistem sesar
naik yang dimulai dari selatan (Cileuteuh) bergerak semakin muda ke utara, sesuai
dengan yang dikenal dengan thrust fold belt system. Sistem sesar naik yang mempunyai
pola barat timur ini ditemukan pada daerah jalur selatan dari cekungan Jawa Barat
Utara.
Bukti pendukung interpretasi yang menyatakan bahwa cekungan tersebut pada
awalnya bukan merupakan back-arc basin adalah adanya arah peregangan dari rifting di
Jawa Barat Utara hampir tegak lurus dengan arah zona tumbukan ( subduction zone) saat
ini.
Berdasarkan kondisi geologi dan geofisika, tektonik Neogen Indonesia terbagi
menjadi 6 (enam) bagian orogen (Gambar 1), yakni: Sunda, Barisan, Talaut, Sulawesi,
Banda, dan Melanesia.
Gambar 1. Pembagian Tektonika Neogen Wilayah Indonesia.
Orogen Sunda pada daerah ini mempengaruhi Jawa dan Nusa Tenggara Barat.
Pada orogen ini Lempeng Samudra Lautan Hindia menunjam di bawah ujung selatan
Lempeng Benua Asia Tenggara dengan kecepatan sekitar 7cm/tahun. Sistem subduksi
ini menghasilkan busur gunung api sepanjang Jawa dan Nusa Tenggara. Di belakang
busur gunung api ini (di Laut Jawa) terbentuk cekungan sedimen yang dikenal
mempunyai kandungan minyak dan gas bumi.
Orogen ini juga mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar regional yang
memanjang barat-timur di bagian utara P. Jawa dan menerus sampai di utara P. Flores.
Orogen Barisan, yang dimulai pada Akhir Neogen, menyebabkan sistem subduksi,
dimana Lempeng Samudra Hindia menunjam di bawah Lempeng Benua Asia Tenggara
dengan kecepatan 7cm/tahun. Subduksi mencong (oblique) 50o-65o ini membentuk busur
gunung api Bukit Barisan sepanjang Pulau Sumatra. Sistem subduksi ini juga
membentuk tiga cekungan besar Sumatra yang mempunyai cadangan minyak dan gas
bumi besar; yakni Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Sumatra Tengah dan Cekungan
Sumatra Utara. Di samping itu beberapa cekungan sedimen juga terbentuk di depan
busur gunung api.
4. Macam Sumur dan Rig Dalam Perminyakan
Dalam dunia perminyakan, macam-macam sumur terbagi menjadi tiga
macam yaitu:
Sumur Eksplorasi (Wildcat) merupakan sumur yang dibor pertama
kali untuk menentukan keterdapatan minyak dan gas pada lokasi yang
masih baru.
Sumur Konfirmasi (Confirmation Well), merupakan sumur yang
digunakan untuk memastikan apakah hidrokarbonnya cukup untuk
dikembangkan. Sumur ini akan dilakukan pemboran di lokasi sekitar
sumur eksplorasi.
Sumur Pengembangan (Development Well) merupakan sumur yang
dibor pada suatu lapangan minyak yang telah ada. Sumur ini memiliki
tujuan untuk mengambil hidrokarbon secara maksimal di lapangan
yang telah ada.
Dalam hal sumur perminyakan, juga dikenal adanya beberapa istilah
mengenai sumur itu sendiri, yaitu:
Sumur Produksi, merupakan sumur yang mampu menghasilkan
minyak bumi, gasbumi, maupun keduanya. Dan memiliki aliran fluida
dari bawah ke atas.
Sumur Injeksi, merupakan sumur yang digunakan untuk menginjeksi
fluida tertentu ke dalam formasi dan memiliki aliran fluida dari atas
ke bawah
Sumur Vertikal, merupakan sumur yang lurus dan memanjang secara
vertikal.
Sumur Berarah (Deviated Well, Directional Well), merupakan sumur
yang secara geometri tidak memiliki bentuk yang lurus vertikal,
melainkan dapat berbentuk S, J, maupun L.
Sumur Horizontal, merupakan sumur yang memiliki bagian yang
berarah horizontal, dan merupakan bagian dari sumur berarah.
Dalam pembuatan sumur dalam dunia perminyakan tidak dapat dilepaskan
dari alat yang dinamakan dengan Rig. Rig itu sendiri merupakan
serangkaian peralatan khusus yang digunakan untuk membor suatu sumur
atau pengakses sumur. Rig itu dicirikan dengan adanya menara yang
terbuat dari baja yang dapat digunakan untuk menaikan dan menurunkan
pipa-pipa tubular pada sumur.
Berdasarkan lokasinya. Rig itu sendiri terbagi atas dua macam, yaitu:
Rig Darat (Land Rig), merupakan rig yang beroperasi di daratan dan
dibedakan atas rig besar dan rig kecil. Pada rig kecil biasanya hanya
digunakan untuk pekerjaan sederhana seperti Well Service atau Work
Over. Sementara itu, untuk rig besar bisa digunakan untuk operasi
pemboran, baik secara vertikal maupun direksional. Rig darat ini
sendiri dirancang secara portable sehingga dapat dengan mudah
untuk dilakukan pembongkaran dan pemasangannya dan akan dibawa
menggunakan truk. Untuk wilayah yang sulit terjangkau, dapat
menggunakan heliportable.
Rig Laut (Offshore Rig), merupakan rig yang dioperasikan di atas
permukaan air seperti laut, rawa-rawa, sungai, danau, maupun delta
sungai.
Dari Rig Laut (Offshore Rig) sendiri terbagi atas berbagai macam jenis
berdasarkan kedalaman air yaitu:
Swamp Barge: merupakan jenis rig laut yang hanya pada kedalaman
maksimum 7 meter. Dan, sangat sering dipakai pada daerah rawa-
rawa dan delta sungai. Rig jenis ini dilakukan dengan cara
memobilisasi rig ke dalam sumur, kemudian ditenggelamkan dengan
cara mengisi Ballast Tanksnya dengan air. Pada rig jenis ini, proses
pengeboran dilakukan setelah rig duduk didasar dan Spud Cannya
tertancap didasar laut.
Tender Barge, merupakan jenis rig laut yang sama dengan model
Swamp Barge, namun dipakai pada kedalaman yang lebih dalam lagi.
Jack Up Rig, rig jenis ini menggunakan platform yang dapat
mengapung dengan menggunakan tiga atau empat kakinya. Kaki-kaki
pada rig ini dapat dinaikan dan diturunkan, sehingga untuk
pengoperasiannya semua kakinya harus diturunkan hingga ke dasar
laut. Kemudian, badan dari rig ini diangkat hingga di atas permukaan
air dan memiliki bentuk seperti platform. Untuk melakukan
perpindahan tempat, semua kakinya harus dinaikan dan badan rignya
akan mengapung dan ditarik menggunakan kapal. Pada operasi
pengeboran menggunakan rig jenis ini dapat mencapai kedalaman
lima hingga 200 meter.
Drilling Jacket, merupakan jenis rig yang menggunakan platform
berstruktur baja. Pada umumnya memiliki bentuk yang kecil dan
sangat cocok berada di laut dangkal maupun laut tenang. Rig jenis ini
sering dikombinasikan dengan Rig Jack Up maupun Tender Barge.
Semi-Submersible Rig, jenis rig yang sering disebut “semis” ini
merupakan model rig yang mengapung (Flooded atau Ballasted) yang
menggunakan Hull atau semacam kaki. Rig ini dapat didirikan dengan
menggunakan tali mooring dan jangkar agar posisinya tetap diatas
permukaan laut. Dengan menggunakan Thruster (semacam baling-
baling) yang berada disekelilingnya, dan Ballast Control System,
sistem ini dijalalankan dengan menggunakan komputer sehingga rig
ini mampu mengatur posisinya secara dinamis dan pada level diatas
air sesuai keinginan. Rig ini sering dipakai jika Jack Up Rig tidak
mampu menjangkau permukaan dasar laut. Karena jenis rig ini sangat
stabil, maka rig ini sering dipakai pada lokasi yang berombak besar
dan memiliki cuaca buruk, dan pada kedalaman 90 hingga 750 meter.
Drill Ship, merupakan jenis rig yang bersifat mobile dan diletakan di
atas kapal laut, sehingga sangat cocok untuk pengeboran di laut
dalam (dengan kedalaman lebih dari 2800 meter). Pada kapal ini,
didirikan menara dan bagian bawahnya terbuka ke laut (Moon Pool).
Dengan sistem Thruster yang dikendalikan dengan komputer, dapat
memungkinkan sistem ini dapat mengendalikan posisi kapalnya.
Memiliki daya muat yang lebih banyak sehingga sering dipakai pada
daerah terpencil maupun jauh dari daratan.
Berdasarkan fungsi-fungsi dari rig itu sendiri, dapat terbagi menjadi dua
macam, yaitu:
Drilling Rig, merupakan rig yang digunakan untuk melakukan proses
pemboran pada sumur, baik sumur baru, cabang sumur baru, maupun
memperdalam sumur lama.
Workover Rig, rig ini memiliki fungsi untuk melakukan penutupan
sesuatu terhadap sumur yang telah ada, misalnya berupa perawatan,
perbaikan, penutupan, dan sebagainya.
Komponen-komponen pada rig itu sendiri pada umumnya terbagi menjadi
lima dalam bagian besar, yaitu:
Hoisting System, secara umum komponen terdiri dari Drawworks
(kadang disebut Hoist), Mast atau Derrick, Crown Block, Traveling
Block, dan Wire Rope (Drilling Line). Hoisting System berfungsi untuk
menurunkan dan menaikan tubular (pipa pemboran, peralatan
completion, atau pipa produksi) untuk keluar dan masuk lubang
sumur.
Rotary System, merupakan komponen dari rig yang berfungsi sebagai
pemutar pipa-pipa di dalam sumur. Pada pemboran konvesional, pipa
pemboran (Drill Strings) memutar mata-bor (Drill Bit) untuk
penggalian sumur.
Circulation System, komponen ini memiliki fungsi berupa
mensirkulasikan fluida pemboran untuk keluar dan masuk ke dalam
sumur dan menjaga agar properti lumpur seperti yang diinginkan.
Sistem sirkulasi ini meliputi antara lain: pompa tekanan tinggi untuk
memompakan lumpur keluar dan masuk ke dalam sumur, dan pompa
rendah digunakan untuk mensirkulasikan lumpur di permukaan.
Kemudian, peralatan untuk mengkondisikan lumpur: Shale Shaker:
berfungsi untuk memisahkan “solid” hasil pemboran (Cutting) dari
lumpur, Desander: berfungsi untuk memisahkan pasir, Degasser:
berfungsi untuk mengeluarkan gas, Desilter: berfungsi untuk
memisahkan partikel padat berukuran kecil.
Blowout Prevention System, komponen ini berfungsi untuk mencegah
terjadinya Blowout (meledaknya sumur di permukaan dikarenakan
adanya tekanan tinggi dari dalam sumur). Pada komponen ini bagian
yang utama adalah BOP (Blow Out Preventer) yang terdiri atas
berbagai macam katup (Valve) dan dipasang di kepala sumur
(Wellhead).
Power System, komponen ini berupa sumber tenaga yang berfungsi
untuk menggerakan semua sistem di atas dan juga untuk suplai
listrik. Sebagai sumber tenaga, biasanya menggunakan mesin diesel
berkapasitas besar. Pada sebuah rig untuk Power Systemnya,
tergantung dari ukuran dan kedalaman sumur yang akan di capai,
biasanya akan membutuhkan satu atau lebih Prime Mover. Pada rig
besar biasanya memiliki tiga atau empat buah, bersama-sama mereka
membangkitkan tenaga sebesar 3000 atau lebih Horsepower. Dan,
tenaga yang dihasilkan juga harus dikirim ke komponen rig yang lain.
A. PEMBENTUKKAN CEKUNGAN MINYAK BUMI PADA FORE ARC
BASIN
1.) Rekonstruksi struktur antiklin terhadap rembesan minyak di kecamatan cipari, kabupaten
cilacap
SARI
Daerah Cipari merupakan bagian dari Cekungan Banyumas, yang merupakan bagian dari
Cekungan Busur Muka Jawa bagian Selatan (South Java Fore Arc Basin). Secara tektonik, Cekungan
Banyumas masuk dalam Area Jawa Tengah Bagian Selatan (South Central Java Region) dimana
struktur utamanya berarah Barat Laut – Tenggara dan Timur Laut – Barat Daya. Daerah Banyumas
merupakan salah satu daerah yang dijumpai adanya rembesan minyak dan termasuk sistem petroleum
aktif. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui posisi rembesan minyak pada struktur yang ada.
Penelitian dilakukan dengan pemetaan sebaran litologi, pengukuran strike dan dip lapisan batuan,
dan pengambilan contoh batuan untuk analisis fosilnya. Kemudian dari data-data tersebut, dilakukan
rekontruksi struktur antiklin daerah Cipari serta bagaimana hubungan antiklin tersebut dengan
kehadiran rembesan minyak Cipari.
Satuan batuan di daerah penelitian adalah satuan perselingan batupasir-batulempung dengan
sisipan napal yang merupakan bagian dari Formasi Halang, satuan breksi Formasi Kumbang dan
satuan batulempung Formasi Tapak. Dari data lapangan yang didapat, dengan pengukuran stike dan
dip maka hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa tipe antiklinnya adalah tipe asimetris dan
diperkirakan berupa drag fold dari adanya sesar naik di bagian utara. Rembesan minyak yang
merupakan obyek penelitian terletak pada sayap bagian utara antiklin yang berarah barat-
timur.Migrasi minyak dari batuan induk ke batuan reservoir diinterpretasikan berasal dari arah
selatan menuju ke utara. Hal ini karena daerah yang dalam berada di sebelah selatan cekungan,
sehingga memungkinkan batuan induk untuk matang dan kemudian minyak bermigrasi ke daerah
yang lebih tinggi karena adanya uplift yaitu di bagian utara cekungan. Migrasi minyak akan mengisi
struktur-struktur antiklin yang terbentuk kemudian di utara dan terjebak pada puncak-puncak antiklin
tersebut.
Hasil analisis mikropaleontologi dari beberapa sampel batuan di sekitar rembesan minyak
menunjukkan kandungan fosil foraminifera plantonik yang berumur Pliosen awal (tidak lebih dari
N19).
2.) Cekungan Bengkulu
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia.
Cekungan forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore -
arc; arc = jalur volkanik). Tetapi, kita menyebutnya demikian berdasarkan posisi
geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah dari dulu begitu? Belum tentu, dan
inilah yang harus kita selidiki. Publikasi-publikasi dari Howles (1986), Mulhadiono dan
Asikin (1989), Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995)—semuanya
diproceedings IPA baik untuk dipelajari soal Bengkulu Basin.
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal
ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah.
Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti
tidak ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau
Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera
Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan
Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai
saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera
Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera
Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat
diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya
mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben
Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan
Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan
Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang
lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya
terumbu-terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara
umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di
Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga).
Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan
sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara
Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan
Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan
Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi
diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar
Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di
sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini
bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang
berpasangan (couple strike-slipatau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka
wilayah yang diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat
Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-
tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam
sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif
asalkan tidak terlalu dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun
berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman
cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang
sejak akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai
saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan gas
biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—proceedings IPA untuk
keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia
yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-
Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak
berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target
pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target
Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan
Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Cekungan Bengkulu akan merupakan harapan pertama untuk penemuan minyak di
sistem Paleogennya. Sumur terdalam di cekungan ini yang dibor oleh operator Fina pada
tahun 1992 (Arwana-1) menemukan oil shows dan menembus sedimen Oligo-Miosen
yang berkualitas baik sebagai batuan induk minyak. Kemudian, berdasarkan data sumur
ini pula, diketahui bahwa termal cekungan ini panas (4,5-5 F/100 ft) sebuah anomali bagi
“cool basin“—sebutan yang terkenal untuk Cekungan-cekungan forearc.
Gradient geothermal yang besar ini merupakan anomali pada sebuah forearc
basin yang rata-rata di Indonesia sekitar 2.5 F/100 ft atau di bawahnya (Netherwood,
2000); Bila dibandingkan cekungan forearc lain, memang banyak publikasi menyebutkan
thermal Cekungan Bengkulu di atas rata-rata. Itu pula yang dipakai sebagai salah satu
pemikiran bahwa Cekungan ini dulunya bersatu dengan Cekungan Sumatera Selatan
(pada Paleogen)—pemikiran yang juga didukung oleh tatanan tektonostratigrafinya.
Gradient geothermal dipengaruhi konduktivitas termal masing-masing lapisan
pengisi cekungan dan heatflow dari basement di bawah cekungan. Apabila basementnya
kontinen, maka ia akan punya heatflow yang relatif lebih tinggi daripada basement
intermediat dan oseanik. Selain itu, kedekatan denganvolcanic arc akan
mempertinggi thermal background di wilayah ini dan berpengaruh kepada konduktivitas
termal. Gradient geothermal yang diluar kebiasaan ini, tentu saja baik bagi pematangan
batuan induk dan generasi hidrokarbon.
Sekuen syn-rift dan post-rift di cekungan ini belum tertembus, di situlah harapan
akumulasi migas berada. Diperlukan data seismik yang lebih baik untuk target dalam dan
diperlukan sumur-sumur dalam untuk menembus target-target Paleogen. Selain data
seismik, rembesan minyak dipermukaan juga menjadi data yang sangat berharga apabila
bisa diplot di peta geologi permukaan yang cukup detail, lalu dilihat penampang
geologinya. Nanti akan diketahui dari batuan mana rembesan itu berasal. Yang tak kalah
penting adalah melakukan serangkaian analisis geokimia kepada rembesan minyak itu,
hal ini akan memberi tahu kita sifat batuan induk yang telah menggenerasikan minyak
tersebut.
Sejarah tulisan ini:
Tulisan tentang Cekungan Bengkulu ini diawali dari kiriman Pak Awang HS pada medio
Maret 2009 di iagi-net yang berupa jawabannya terhadap pertanyaan seorang mahasiswa
tentang cara terbentuknya Cekungan Bengkulu. Kiriman ini ditanggapi oleh beberapa
orang anggota milis. Dengan demikian, para anggota milis iagi-net yang berkontribusi—
baik bertanya maupun menjawab—dalam diskusi mengenai Cekungan Bengkulu ini
adalah: Awang HS, Junrial Hairul Huzaen, Bayu Nugroho dan Sigit Prabowo. Terima
kasih juga untuk Yorris Wibriana atas informasinya tentang gambar setting tektonik
regionalSumatra.
B. PEMBENTUKKAN CEKUNGAN MINYAK BUMI PADA BACK ARC
BASIN
“Escape Tectonics” Indonesia
2007 MAY 23
by admin
By Awang Harun Satyana
Konsep escape tectonics (extrusion tectonics) yang dikemukakan oleh Molnar dan
Tapponnier (1975), Tapponnier dkk. (1982), dan Burke dan Sengör (1986) dicoba diterapkan di
Indonesia (Satyana, 2006). Escape tectonics adalah konsep tektonik yang membicarakan
terjadinya gerak lateral suatu blok geologi menjauhi suatu wilayah benturan di benua dan
bergerak menuju wilayah bebas di samudra. Karena itu, peneyebutan konsep tektonik ini lebih
sesuai bila disebut :post-collisional tectonic escape (gerak lateral menjauh pascabenturan).
Eksplorasi hidrokarbon di wilayah Indonesia membantu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah
terjadi escape tectonicsdi Indonesia. Secara singkat bisa dikatakan, zone benturan dicirikan oleh
jalur sesar-lipatan yang ketat, sementara hasil escape tectonics dicirikan oleh sesar-sesar
mendatar regional, sesar-sesar normal, dan retakan-retakan atau pemekaran kerak Bumi.
Saya mengidentifikasi lima peristiwa benturan di Indonesia yang membentuk atau
mempengaruhi sejarah tektonik Indonesia sepanjang Kenozoikum. Benturan pertama adalah
benturan India ke Eurasia yang terjadi mulai 50 atau 45 Ma (Eosen awal-tengah). Benturan ini
telah menghasilkan Jalur Lipatan dan Sesar Pegunungan Himalaya yang juga
merupakan sutureIndus. Benturan ini segera diikuti oleh gerakan lateral Daratan Sunda
(Sundaland) ke arah tenggara, sebagai wujud escape tectonics, diakomodasi dan
dimanifestasikan oleh sesar-sesar mendatar besar di wilayah Indocina dan Daratan Sunda,
pembukaan Laut Cina Selatan, pembentukan cekungan-cekungan sedimen di Malaya, Indocina,
dan Sumatra, dan saat ini oleh pembukaan Laut Andaman. Sesar-sesar ini terbentuk di atas dan
menggiatkan kembali garis-garissuture akresi batuandasar berumur Mesozoikum di Daratan
Sunda. Sesar-sesar besar hasil escape tectonics ini adalah : Sesar Red River-Sabah, Sesar Tonle-
Sap-Mekong (Mae Ping), Sesar Three Pagoda-Malaya-Natuna-Lupar-Adang, dan Sesar
Sumatra.
Gambar 1 Tectonic escape di Indonesia Barat pada 45 Ma dicirikan oleh benturan India dan
Eurasia dan bergeraknya massa daratan Asia Timur, Indocina dan Indonesia Barat ke arah
timur dan tenggara. Sesar-sesar mendatar besar di Asia (misalnya Altyn Tagh), pembukaan Laut
Jepang dan Laut Cina Selatan adalah juga manifestasi tectonic escape akibat benturan India-
Eurasia (dimodifikasi dari Tapponnier dkk., 1982; Satyana, 2006)
Benturan kedua terjadi pada sekitar 25 Ma (Oligosen akhir) ketika sebuah busur
kepulauan samudra yang terbangun di tepi selatan Lempeng Laut Filipina berbenturan dengan
tepi utara Benua Australia di tengah Papua sekarang. Benturan ini menghasilkan jalur lipatan dan
sesar Pegunungan Tengah Papua dan segera diikuti oleh escape tectonics berupa sesar-sesar
mendatar besar dan pembentukan cekungan akibat runtuhan (collapse) di depan zone benturan.
Sesar-sesar besar tersebut adalah Sesar Sorong-Yapen (bagian awalnya), Sesar Waipoga, Sesar
Gauttier, dan Sesar Apauwar-Nawa. Pembukaan daerah cekungan (basinal area) Papua Utara
(termasuk di dalamnya Cekungan Waipoga, Waropen, Biak, Jayapura) dan Cekungan
Akimeugah di selatan zone benturan Pegunungan Tengah Papua, terbentuk akibat runtuhan
untuk mengkompensasi tinggian akibat benturan. Sesar-sesar mendatar yang terbentuk juga
mempengaruhi pembentukan cekungan-cekungan ini.
Benturan ketiga adalah benturan antara mikro-kontinen Kepala Burung dengan badan
Papua pada sekitar 10 Ma (Miosen akhir). Jalur lipatan dan sesar Lengguru menandai benturan
ini. Sesar-sesar mendatar yang menjauh dari zone benturan ini seperti Tarera-Aiduna, Sorong,
Waipoga, dan Ransiki menunjukkan escape tectonics pascabenturan. Cekungan Bintuni yang
terletak di sebelah barat Jalur Lengguru merupakan foreland basin yang terbentuk sebagai
akibat post-collision extensional structure.
Benturan keempat terjadi dari 11-5 Ma (Miosen akhir-Pliosen paling awal) ketika mikro-
kontinen Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula membentur ofiolit Sulawesi Timur. Kedua
mikro-kontinen ini terlepas dari Kepala Burung Papua dan bergerak ke barat oleh Sesar Sorong.
Benturan ini telah membentuk jalur lipatan dan sesar Buton di selatan Sulawesi Timur dan Jalur
Batui di daerah benturan Banggai dan Sulawesi Timur. Kedua benturan ini telah diikuti tectonic
escapespascabenturan dalam bentuk-bentuk rotasi lengan-lengan Sulawesi, pembentukan sesar-
sesar menndatar besar Palu-Koro, Kolaka, Lawanopo, Hamilton, Matano, dan Balantak, dan
pembukaan Teluk Bone. Gerak sesar-sesar mendatar ini di beberapa tempat telah membuka
cekungan-cekungan koyakan (pull-apart basin) akibat mekanisme trans-tensional seperti danau-
danau Poso, Matano, Towuti juga Depresi Palu.
Benturan terakhir mulai terjadi pada sekitar 3 Ma (pertengahan-Pliosen) ketika tepi utara
Benua Australia berbenturan dengan busur Kepulauan Banda. Benturan ini telah membentuk
jalur lipatan dan sesar foreland sepanjang Timor, Tanimbar sampai Seram. Di wilaya Seram,
jalur ini juga banyak dipengaruhi oleh benturan busur Seram dengan mikro-kontinen Kepala
Burung. Pembukaan lateral juga terjadi mengikuti benturan busur-benua ini, pembukaan ini
adalah manifestasi tectonic escape. Sesar-sesar mendatar besar terbentuk hampir sejajar dengan
orientasi Pulau Timor. Pengalihan tempat mikro-kontinen Sumba dan pembentukan serta
pembukaan Cekungan Weber, Sawu, dan Laut Banda dapat berhubungan dengan escape
tectonicspascabenturan ini melalui mekanisme extensional structure atau collapse yang
mengikuti arc-continent collision.
Kasus-kasus di Indonesia ini menunjukkan bahwa tectonic escapes adalah gejala dan
proses yang penting dalam evolusi wilayah konvergen seperti Indonesia. Konsep escape
tectonicsmemberikan kontribusi penting untuk pemahaman bagaimana benua terbangun dan
terpotong-potong.
Gambar 2. Tectonic escape pascabenturan Banggai-Sula dicirikan oleh banyak hal : rotasi
lengan-lengan Sulawesi, pembukaan Teluk Bone, dan pembentukan sesar-sesar mendatar besar
yang memotong pulau ini. Escape tectonics di Sulawesi merupakan gambaran ideal model yang
dikemukakan Molnar dan Tapponnier (1982) dan Tapponnier dkk. (1982). Panah hitam adalah
arah benturan, panah kosong adalah arah escape (Satyana, 2006)
1.) CEKUNGAN BANGGAI ( BANGGAI BASIN )
Oleh :
Freddie Wira A. (140710070038), Adrie Wiranata (140710070042), Rifki Asrul Sani
(140710070075), Sandy Tirta S. (140710070091), Aji Wibowo (140710077003)
Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran
2010
Disusun guna memenuhi salah satu tugas matakuliah Stratigrafi Indonesia
PENDAHULUAN
Banggai Sula Mikrocontinent merupakan bagian dari lempeng benua Australia-New
Guinea yang terlepas selama zaman Mesozoik akhir. Hal ini didukung dengan adanya kesamaan
dalam stratigrafi Pra-Cretaceous berada diatas basement Paleozoic granitic dan metamorphic.
Selama periode Miosen hingga Pliosen, Mikrocontinent bertubrukan dengan lempeng Asiatic
menghasilkan obduction kearah timur dari ophiolite di Timurlaut Sulawesi.
GEOLOGI REGIONAL
1. Kerangka Tektonik
Konsep escape tectonics (extrusion tectonics) yang dikemukakan oleh Molnar dan
Tapponnier (1975), Tapponnier dkk. (1982), dan Burke dan Sengör (1986) dicoba diterapkan di
Indonesia (Satyana, 2006). Escape tectonics adalah konsep tektonik yang membicarakan
terjadinya gerak lateral suatu blok geologi menjauhi suatu wilayah benturan di benua dan
bergerak menuju wilayah bebas di samudra. Karena itu, peneyebutan konsep tektonik ini lebih
sesuai bila disebut : post-collisional tectonic escape (gerak lateral menjauh pascabenturan).
Eksplorasi hidrokarbon di wilayah Indonesia membantu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah
terjadi escape tectonics di Indonesia. Secara singkat bisa dikatakan, zone benturan dicirikan oleh
jalur sesar-lipatan yang ketat, sementara hasil escape tectonics dicirikan oleh sesar-sesar
mendatar regional, sesar-sesar normal, dan retakan-retakan atau pemekaran kerak Bumi.
Awang H. Satyana (2007) mengidentifikasi lima peristiwa benturan di Indonesia yang
membentuk atau mempengaruhi sejarah tektonik Indonesia sepanjang Kenozoikum. Benturan
pertama adalah benturan India ke Eurasia yang terjadi mulai 50 atau 45 Ma (Eosen awal-tengah).
Benturan ini telah menghasilkan Jalur Lipatan dan Sesar Pegunungan Himalaya yang juga
merupakan suture Indus. Benturan ini segera diikuti oleh gerakan lateral Daratan Sunda
(Sundaland) ke arah tenggara, sebagai wujud escape tectonics, diakomodasi dan
dimanifestasikan oleh sesar-sesar mendatar besar di wilayah Indocina dan Daratan Sunda,
pembukaan Laut Cina Selatan, pembentukan cekungan-cekungan sedimen di Malaya, Indocina,
dan Sumatra, dan saat ini oleh pembukaan Laut Andaman. Sesar-sesar ini terbentuk di atas dan
menggiatkan kembali garis-garis suture akresi batuandasar berumur Mesozoikum di Daratan
Sunda. Sesar-sesar besar hasil escape tectonics ini adalah : Sesar Red River-Sabah, Sesar Tonle-
Sap-Mekong (Mae Ping), Sesar Three Pagoda-Malaya-Natuna-Lupar-Adang, dan Sesar
Sumatra.
Benturan kedua terjadi pada sekitar 25 Ma (Oligosen akhir) ketika sebuah busur
kepulauan samudra yang terbangun di tepi selatan Lempeng Laut Filipina berbenturan dengan
tepi utara Benua Australia di tengah Papua sekarang. Benturan ini menghasilkan jalur lipatan dan
sesar Pegunungan Tengah Papua dan segera diikuti oleh escape tectonics berupa sesar-sesar
mendatar besar dan pembentukan cekungan akibat runtuhan (collapse) di depan zone benturan.
Sesar-sesar besar tersebut adalah Sesar Sorong-Yapen (bagian awalnya), Sesar Waipoga, Sesar
Gauttier, dan Sesar Apauwar-Nawa. Pembukaan daerah cekungan (basinal area) Papua Utara
(termasuk di dalamnya Cekungan Waipoga, Waropen, Biak, Jayapura) dan Cekungan
Akimeugah di selatan zone benturan Pegunungan Tengah Papua, terbentuk akibat runtuhan
untuk mengkompensasi tinggian akibat benturan. Sesar-sesar mendatar yang terbentuk juga
mempengaruhi pembentukan cekungan-cekungan ini.
Benturan ketiga adalah benturan antara mikro-kontinen Kepala Burung dengan badan
Papua pada sekitar 10 Ma (Miosen akhir). Jalur lipatan dan sesar Lengguru menandai benturan
ini. Sesar-sesar mendatar yang menjauh dari zone benturan ini seperti Tarera-Aiduna, Sorong,
Waipoga, dan Ransiki menunjukkan escape tectonicspascabenturan. Cekungan Bintuni yang
terletak di sebelah barat Jalur Lengguru merupakan foreland basin yang terbentuk sebagai
akibat post-collision extensional structure.
Benturan keempat terjadi dari 11-5 Ma (Miosen akhir-Pliosen paling awal) ketika mikro-
kontinen Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula membentur ofiolit Sulawesi Timur. Kedua
mikro-kontinen ini terlepas dari Kepala Burung Papua dan bergerak ke barat oleh Sesar Sorong.
Benturan ini telah membentuk jalur lipatan dan sesar Buton di selatan Sulawesi Timur dan Jalur
Batui di daerah benturan Banggai dan Sulawesi Timur. Kedua benturan ini telah diikuti tectonic
escapes pascabenturan dalam bentuk-bentuk rotasi lengan-lengan Sulawesi, pembentukan sesar-
sesar menndatar besar Palu-Koro, Kolaka, Lawanopo, Hamilton, Matano, dan Balantak, dan
pembukaan Teluk Bone. Gerak sesar-sesar mendatar ini di beberapa tempat telah membuka
cekungan-cekungan koyakan (pull-apart basin) akibat mekanisme trans-tensional seperti danau-
danau Poso, Matano, Towuti juga Depresi Palu.
Benturan terakhir mulai terjadi pada sekitar 3 Ma (pertengahan-Pliosen) ketika tepi utara
Benua Australia berbenturan dengan busur Kepulauan Banda. Benturan ini telah membentuk
jalur lipatan dan sesar foreland sepanjang Timor, Tanimbar sampai Seram. Di wilaya Seram,
jalur ini juga banyak dipengaruhi oleh benturan busur Seram dengan mikro-kontinen Kepala
Burung. Pembukaan lateral juga terjadi mengikuti benturan busur-benua ini, pembukaan ini
adalah manifestasi tectonic escape. Sesar-sesar mendatar besar terbentuk hampir sejajar dengan
orientasi Pulau Timor. Pengalihan tempat mikro-kontinen Sumba dan pembentukan serta
pembukaan Cekungan Weber, Sawu, dan Laut Banda dapat berhubungan dengan escape
tectonics pascabenturan ini melalui mekanisme extensional structure atau collapseyang
mengikuti arc-continent collision. Kasus-kasus di Indonesia ini menunjukkan bahwa tectonic
escapes adalah gejala dan proses yang penting dalam evolusi wilayah konvergen seperti
Indonesia. Konsep escape tectonics memberikan kontribusi penting untuk pemahaman
bagaimana benua terbangun dan terpotong-potong.
Banggai-Sula Mikrokontinen merupakan bagian dari benua Australia Utara – New
Guinea. Selama zaman Mesozoic Lempeng mikro Banggai-Sula terpisah dan bergerak kearah
barat Lempeng Asia. Periode extensional ini dicirikan dengan sebuah fase transgresi klastika
jurasik dari daratan ke laut dangkal yang berada diatas anoxic shale laut dalam. Secara utama
proses sedimentasi passive margin terjadi dalam Cretaceous hingga Tersier selama
pergerakannya kearah barat.
Collision dari Banggai-Sula dengan Lempeng Asia terjadi dari Miosen Tengah hingga
Pliosen dan dihasilkan dalam kerak samudra Asia, Sulawesi ophiolite, sedang ditekan menuju
timur pada Lempeng mikro Banggai-Sula. Episode compressive merupakan hal yang
mengakibatkan terjadinya struktur sesar yang muncul di paparan Taliabu. Mengikuti aktivitas
pensesaran dan pengangkatan dari Sulawesi timus, kearah timur dihubungkan dengan
pengendapan molasses yang dimulai pada Pliosen awal. Sedimen molasses pada periode Pliosen
dan Pleistosen, mengalami progradasi kearah timur mengisi area cekungan hingga ke bagian
barat pulau Peleng.
Gambar 1. Peta Lokasi Cekungan Banggai
Di bagian utara Banggai-Sula mikrokontinen merupakan batasan denganlempeng laut
Maluku. Sedimen yang terdeformasi menunjukan bukti obduksi menuju north-dipping bagian
Mesozoik hingga Tersier. Sequence yang terdeformasi mungkin menjadi bagian yang tersusun
atas sedimen imbrikasi dari batuan asal Banggai-Sula tapi lebih menyerupai
sebuah mélange tektonik yang menutupi laut Maluku. Jauh ke utara diketahui kandungan
sedimen yang berasosiasi dengan batuan ultrabasa dan batuan vulkanik.
Gambar 2. Keadaan Tektonik pada Cekungan Banggai.
Ditempat lain, sesar normal periode Pliosen akhir hingga Pleistosen diakibatkan bagian
dari gaya tekanan compressive awal, dihasilkan dari subsidence pada selat Peleng. Kompleks
Collisi / terusan sabuk diinterpretasikan terbentuk sebagai suatu hasil dari proses kolisi, yang
terjadi selama Kala Miosen, dari Lempeng Mikro Kontinen Banggai-Sula dan sebuah Busur
vulkanik Tersier, yang membentuk daerah yang dikenal sebagai Sulawesi Tengah pada saat ini.
Proses Collisi menghasilkan lipatan yang mempengaruhi daerah disekitarnya, penujaman, dan
imbrikasi dari sedimenter, dan juga pada ubduksi dari salah satu massa ophiolit terbesar di dunia,
yakni Sabuk Ophiolit Sulawesi Bagian Timur.
Lempeng Mikro Kontinen Banggai-Sula diinterpretasikan mempunyai lokasi awal yang
jauh ke arah timur dari lokasinya yang sekarang, dipredeksikan di dekat daerah New Guinea
Bagian Tengah, dan membentuk Lempeng Kontinen Mayor dari Australia-New Guinea, dimana
lempeng ini sendiri terbentuk sebagai hasil dari proses pemisahan dari Gondwana, yang terjadi
selama Masa Mesozoikum. Pada saat proses pemisahan berlangsung, lempeng mikro mengalami
pemekaran ke arah barat, dan subduksi kerak oceanic yang cenderung ke arah barat,
berhubungan dengan bagian tepi dari lempeng mikro yang dikenal pada saat sekarang ini dengan
Sulawesi Barat.
Inisial sedimentasi yang berada di atas basement batuan beku atau metamorfik dari
Lempeng mikro Banggai-Sula yang berumur Paleozoikum Akhir dimulai dari sedimen laut
dangkal hingga laut dalam, sedimen klastik berumur Jura, sedimen khas hasil pemisahan, batas
pemekaran sikuen. Batupasir laut dangkal dan material lempung dijumpai pada daerah Peleng
Timur dan fasies laut dalam, termasuk turbidit, dijumpai pada daerah bagian barat dari Sulawesi
Timur. Sedimentasi pasif yang terjadi selama Zaman Kapur hingga Paleogen, sebagai hasil dari
proses pemekaran ke arah barat dari lempeng mikro yang berkesinambungan. Adanya singkapan
yang muncul di permukaan yang terbatas dan data well memperlihatkan bahwa sedimentasi
karbonat dimulai pada Kala Eosen pada bagian selatan dan barat dari wilayah ini, sementara di
daerah lain di bagian timur sedimentasi karbonat tidak jelas terjadi hingga Kala Miosen. Pada
suatu paparan (shelf) dengan kaberadaan karbonat yang ekstensif, dilokalisir oleh pertumbuhan
terumbu karang, mengelilingi wilayah Banggai Sula selama Kala Miosen.
Selama Kala Miosen Akhir hingga Pliosen Awal, collisi dari lempeng mikro dengan
bagian luar, busur non-vulkanik menghasilkan gaya kompresi yang mengarah ke timur,
terobosan dan imbrikasi dari sedimenter, dan obduksi dari ophiolit mulai dari tepian lempeng
Asia ke Lempeng Mikro Banggai-Sula. Plat Banggai-Sula bersama dengan sedimenter bagian
atas pada akhirnya merupakan plat yang yang berada di dalam overthrust sedimenter Tersier dan
Mesozoik dan batuan beku ultrabasa yang membentuk kompleks collisi pada saat ini. Bersama
dengan sedimen flysch, yang dihasilkan oleh proses erosi dari kompleks collisi, terjadi di depan
dari penunjaman bagian timur. Komponen utama dari sedimen ini adalah debris ophiolit.
1. Stratigrafi
Banggai Sula Mikrokontinen memiliki urutan stratigrafi yang diurutkan berdasarkan
umur dari Paleozoikum hingga Kuarter (Gambar.3).
Batuan alas (basement) merupakan basal klastik berumur Paleogen tipis (Eosen akhir-
Oligosen awal) dan batuan karbonat, dan dalam skala regional berupa batuan karbonat dan
klastik (Kelompok Salodik).
Pra Jurasik
Metamorphic Tanpa Nama
Basement berupa batuan metamorf terdiri atas slate, schist, dan gneiss yang mungkin
sudah mengalami proses deformasi pada periode Paleozoikum Atas. Selama Permian Akhir
hingga Triassic batuan granite bercampur dengan Basement. Tingkat metamofisme tinggi
dihasilkan oleh intrusi ini yang sebagiannya merupakan hornfel.Batuan alas (Basement) dari
Lempeng Mikro Banggai Sula terlihat dalam bentuk outcrop/singkapan di Pulau Peleng dan
beberapa singkapan yang terdapat di Tomori PSC, merupakan sekis primer yang terintrusi oleh
Granit berumur Perm hingga Trias.
Granit Banggai
Granit diperkirakan berumur Permian Akhir hingga Triassic. Terdapat bermacam-macam
intrusi di daerah ini, termasuk Orthoclase merah kaya granit, granadiorit, diorite kuarsa,
mikrodiorit, syenite porphiri, aplite dan pegmatite. Di Banggai dan Selatan Taliabu, granit
terlihat segar dan ini menjadi dalil kemunculannya relatif masih baru sebagai hasil dari proses
pengangkatan dan pensesaran. Terlihat jelas seperti pada pulai Kano, granit mengalami
pelapukan secara intensif, ini memungkinkan terjadi selama periode pembukaan benua yang
berasosiasi dengan rifting pada Jurassic Awal. Variasi outcrop dari batuan yang berumur
Mesozoikum terekam sebagai jendela tektonik di Cekungan Banggai, terutama pada sabuk
ophiolit. Batuan yang berumur Trias hingga Kapur terbentuk dan meliputi batugamping pelagic
dan batulempung, batugamping laut dangkal dan turbidit, dan batupasir. Keduanya merupakan
reservoir potensial dan batuan induk yang terekam. Diperkirakan sekitar 14.000 kaki dari
sedimen Tersier dikenali pada bagian tengah wilayah lepas pantai dari blok Tomori dari
interpretasi seismic. Sedimen-sedimen tersebut cenderung menebal secara signifikan kearah
barat dan barat daya.
2.) Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut –
tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda
di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan
tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di
sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera
Tengah.
Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)
Penampang seismik
Penampang seismik adalah rekaman data seismik (seismogram) yang digambarkan (di
plot) sepanjang lintasan tertentu. Penampang seismik diperoleh dari rekaman di banyak titik
sepanjang lintasan pengukuran. Apabila gambar dihasilkan langsung dari seismogramnya, maka
disebut penampang waktu (time section) sementara apabila sudah dikonversi menjadi kedalaman,
maka disebut penampang kedalaman (depth section) yang berasosiasi dengan struktur dibawah
lintasan pengukurannya.
Dari penampang seismik ini dapat diduga daerah mana yang potensial merupakan
jebakan minyak dan lebih lanjut dengan menghitung volume jebakan minyaknya, volume
minyak bumi itu sendiri dapat diduga besarnya
Penampang seismik yang menggambarkan struktur perlapisan di bawah permukaan bumi
Eksplorasi seismik
Eksplorasi seismik adalah istilah yang dipakai di dalam bidang geofisika untuk menerangkan
aktifitas pencarian sumber daya alam dan mineral yang ada di bawah permukaan bumi dengan
bantuan gelombang seismik. Hasil rekaman yang diperoleh dari survei ini disebut dengan
penampang seismik.
Eksplorasi seismik atau eksplorasi dengan menggunakan metode seismik banyak dipakai oleh
perusahaan perusahaan minyak untuk melakukan pemetaan struktur di bawah permukaan bumi
untuk bisa melihat kemungkinan adanya jebakan-jebakan minyak berdasarkan interpretasi dari
penampang seismiknya.
3.) Geologi Cekungan Pati
Secara geologi cekungan-cekungan yang terdapat di Laut Jawa tersebut mempunyai
sejarah tektonik dan tipe-tipe yang berbeda. Cekungan Billiton dan Pembuang mempunyai tipe
intra kraton(intracratonic basin); Cekungan Barito dan Asem Asem mempunyai tipe depan
daratan (foreland basin) dan Cekungan Sunda, Utara Jawa Barat, Utara Jawa Timur, Laut Jawa
Bagian Timur Laut dan Pati mempunyai tipe belakang busur (back arc basin) (Koesoemadinata,
1980). Keberadaan cekungan-cekungan tersebut dikontrol oleh kegiatan tektonik Paleogen yang
menghasilkan morfologi graben pada batuan dasar (basement rock) sebagai dasar suatu
cekungan. Berdasarkan evolusi tektonik di perairan Laut Jawa memperlihatkan adanya
perkembangan yang didahului oleh proses pembentukan graben pada Paleosen – Oligosen yang
dicirikan oleh sesar-sesar normal membentuk daerah pemekaran (extensional zone) (Suprijadi,
1992; Directorate General of Oil and Gas, 2007). Proses-proses tersebut menjadikan cekungan di
Laut Jawa lebih terbuka sebagai daerah tangkapan sedimen yang tebal dan memungkinkan
terbentuknya sistem perangkapan stratigrafi yang prospek mengandung hidrokarbon
(Koesoemadinata, 1980).
jadi secara tidak langsung daerah utara jawa punya daerah yang mumpuni untuk menjadi
perangkap yang baik adanya hidrokarbon, nah kalo Cekungan PATI, Bagaimana???
Keberadaan tinggian Karimunjawa (Karimunjawa High) di bagian barat dan tinggian
Bawean (Bawean High) di bagian timur sebagai pembatas Cekungan Pati, telah merubah
pandangan tentang pembentukan dan batas-batas suatu cekungan. Kedua tinggian tersebut
merupakan produk dari tektonik Plio-Plistosen yang ditunjukkan oleh umur batuan vulkanik di P.
Bawean adalah 0,8 – 0,3 juta tahun (Darman and Sidi, 2000). Fenomena menarik lainnya adalah
keberaadan batuan vulkanik berumur Plistosen di P. Bawean tersebut terbentuk pada batuan
dasar yang sudah sangat stabil. Batuan vulkanik biasanya muncul pada daerah volcanic arc yang
labil seperti di bagian tengah P. Sumatera dan P. Jawa.
Kedua tinggian tersebut telah merubah konfigurasi Cekungan Utara Jawa Timur sebagai
produk tektonik Paleogen. Munculnya tinggian Bawean sebagai produk tektonik Plio-Plistosen
menyebabkan Cekungan Utara Jawa Timur terbelah menjadi dua; di bagian barat membentuk
Cekungan Pati dan bagian timur membentuk Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Laut. Dengan
demikian keberadaan tektonik Plio-Plistosen dapat pula menjadi dasar dalam penetapan suatu
cekungan baru. Hasil survei magnet di Cekungan Pati diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai konfigurasi morfologi dan evolusi tektonik Cekungan Pati.
3.1. Evolusi Struktur Geologi Laut Jawa
Pembentukan struktur dan konfigurasi cekungan di Laut Jawa bagian selatan dikontrol oleh
kerangka morfotektonik regional berdasarkan perkembangan dan evolusi dari waktu ke waktu.
Berdasarkan evolusi tektonik tersebut, di Laut Jawa dipengaruhi oleh tiga perioda tektonik, yaitu
pemekaran dan pemisahan pada Paleogen hingga Miosen Awal(extensional rifting Paleogene);
tekanan dan perputaran pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (compressional wrenching
Neogene); dan pembentukan sesar naik dan perlipatan pada Plio-Plistosen(compressional thrust-
folding Plio-Pleistocene) (Suprijadi, 1992). Proses ini kemudian menghasilkan tiga arah struktur
dan pola cekungan di Laut Jawa, yaitu: Pola Sunda berah utara – selatan (N-S), Pola Jawa
berarah barat – timur (W-E) dan Pola Meratus berarah barat daya – timur laut (SW – NE)
(Pulunggono dan Martodjojo, 1994).
Periode Extensional Rifting Paleogene merupakan periode tektonik regangan (tarikan) dan
merupakan periode pembentukan cekungan-cekungan dengan tipe graben dan setengah
graben (half graben).Periode ini kemudian dikenal sebagai masa terbentuknya dasar cekungan
Pra-Tersier di Laut Jawa yang kemudian prospek mengandung hidrokarbon.
Periode Compressional Wrenching Neogenemerupakan periode yang membentuk wrench
fault akibat gaya kompresi, sehingga pada periode ini terbentuk sesar-sesar turun, sesar mengiri
dan struktur antiklin. Sedangkan periode Compressional Thrust-Folding Plio-
Pleistocene merupakan periode tektonik yang membentuk lipatan serta sesar-sesar naik yang
berarah barat – timur dan barat daya – timur laut, sementara pembentukan wrench faultyang
sudah dimulai sejak Neogen berlanjut sampai Plistosen.
Evolusi tektonik di Laut Jawa bagian selatan tersebut ikut mempengaruhi pembentukan sedimen
dan perangkap stratigrafinya. Sejak Paleosen hingga Eosen dan berlanjut hingga Miosen Awal
terjadi regangan (extensional faulting) yang membentuk graben dan setengah graben di
daerah back arc basin terutama di Laut Jawa bagian selatan, dan diikuti oleh proses sedimentasi.
Regangan ini menyebabkan sedimen mengisi cekungan membentuk lapisan yang tebal.
Selanjutnya mulai Oligosen hingga Miosen Awal, dasar cekungan telah terisi oleh sedimen
dengan perselingan beberapa satuan/formasi batuan yang terjadi berulang-ulang (Directorate
General of Oil and Gas, 2007). Pada masa ini, kegiatan regangan masih menerus hingga ke
Miosen Awal bagian atas.
Kegiatan regangan terhenti dan diikuti proses perlipatan mulai Miosen Tengah – Miosen Akhir.
Selanjutnya pada Plio-Plistosen merupakan masa terjadinya perlipatan yang membentuk sistem
perangkap stratigrafi dan perangkapan hidrokarbon. Perkembangan ini juga ditunjukkan oleh
perkembangan tektonik di utara Jawa Timur terdapat tiga elemen utama, yaitu Northern
Platform, Central High dan Southern Basin (Pertamina, 1996). Masing-masing elemen tektonik
tersebut terdapat perubahan-perubahan pada batuan dasarnya dari arah utara ke selatan.
Berdasarkan sejarah tektoniknya, Northern Platform sebagian besar merupakan sisa
dari Suturing berumur Kapur selama amalgamsi bagian tenggara dari Paparan
Sunda. Platform ini dikategorikan sebagai Pre-Tertiary Structural Grain dan selama Eosen,
Oligosen dan Miosen Awal menjadi tempat pengendapan karbonat terumbu karang yang baik,
dan pada akhir Tersier sebagai tempat pengendapan fasies karbonat paparan laut dangkal. Cenral
High dikategorikan sebagai Tertiary Structural Grain yang masih terpengaruh oleh Pre-Tertiary
Structural Grain (Pertamina, 1996). Propinsi struktural ini merupakan suatu daerah terangkat,
kemungkinan terbentuk selama pensesaran regangan (extensional faulting) dari Eosen – Oligisen
Akhir, dan diikuti oleh periode inversi dari Miosen Awal hingga Resen. Central Highmerupakan
propinsi struktural yang memanjang barat – timur mulai utara Rembang, utara Madura hingga
selatan Kangean dengan lebar 30 – 40 km dan terjepit di antara Northern Platform di utara
danSouthern Basin di selatan.
3.2. Potensi Hidrokarbon
Daerah tinggian terdapat di sebelah barat dan timur daerah penelitian yang merupakan daerah
Tinggian Karimunjawa (Karimunjawa High) dan Tinggian Bawean (Bawean High).
Kehadiran dua tinggian berumur Plistosen pada penelitian ini memberikan gambaran bahwa
tektonik Plistosen dapat merubah konfigurasi cekungan yang besar dan berumur lebih tua (Pra-
Tersier) dan membentuk cekungan yang lebih kecil seperti Cekungan Pati. Keberadaan Tinggian
Bawean menjadi bukti pembentukan Cekungan Pati dan terpisah dari Cekungan Utara Jawa
Timur; di bagian barat dibatasi oleh Tinggian Karimunjawa.
Adanya perioda tektonik dan pola struktur Jawa dan Laut Jawa sejak Pra-Tersier sampai
Plistosen memberikan arahan bagi kegiatan eksplorasi hidrokarbon, terutama untuk mendapatkan
pola struktur antiklin, pusat-pusat cekungan (depo centre) dan perangkap stratigrafi. Di samping
itu pemahaman terhadap tektonik Plistosen akan memberikan arahan tentang batas-batas suatu
cekungan.
C. PEMBENTUKKAN CEKUNGAN MINYAK BUMI PADA PULL
APART BASIN
1.) Cekungan di Sumatera Tengah
Diterbitkan oleh Ichwan Dwi
Cekungan tidak begitu dalam sehingga tebal endapan juga tidak setebal di
Sumatra Selatan (kurang dari 3.000 m). Karena itu pelipatan akibat compressing settling
juga lemah. Daerah ini lebih dominan dengan patahan blok yang mubngkin juga
disebabkan oleh gaya tarikan gravitasi/ tensional stress ke arah Lautan Hindia, sehingga
Sumatera Timur mengalami patahan memanjang berbentuk sejumlah horst dan graben.
Pegunungan tigapuluh yang posisinya di sumbu idiogeosinklinai nampaknya merupakan
pengangkatan bentuk dome pada era Mesozoikum akhir ketika daerah ini menjadi busur
dalam dari orogene sumatera (batuannya batuan Pratersier). Pegunungan Tigapuluh ini
mengalami pengangkatan lagi pada zaman Pliosen sebagai pengelompokan imigran
seperti halnya di Pegunungan Meratus – Samarinda, Zone Bogor-Serayu Utara-Kendeng
Ridge yang posisinnya disumbu geosinklin. Sebelah barat laut Pegunungan Tigapuluh
merupakan daerah minyak di Sumatera Tengah dengan lapangan minyak terpenting:
Di Cekungan Jambi: umumnya lapangan minyak sudah tua, tinggal sisa-sianya
saja misalnya kenali asam dan tampino.
Di cekungan Palembang Tengah ladang minyak Mangunjaya, Kluang, bakat Ukui
dsb.Di Talang Akar –Pendopo: ladangn minyak Talang Akar-Pendopo, Limau, Air
Benakat,talang Jimar. Dimuara Enim-Baturaja: umumnya sudah tua dan tidak
menghasilkan lagi, antara lain ladang kampung minyak, Sungai Taham, Saban Jerigi.
Minas (1944): kedalaman 800 m, produksinya telah melampaui 1 milyar barrel.
Tergolong lapangan minyak raksasa didunia (Raksasa bila cadangan minyak > 500 juta
barrel).
Duri (1940): kedalaman 200 m, produksinya sudah lebih 100 juta barrel.
Kota Batak (1952): belum lama berproduksi
Lain-lain: Sago, Ukai, Lirik, Molek.
Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan busur belakang (Back-Arc Basin) yang
berkembang sepanjang tepi Paparan Sunda di barat daya Asia Tenggara. Cekungan ini
terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudera Hindia yang bergerak relatif ke arah
utara (N 6o E) dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama Miosen.
Geometri dari cekungan ini berbentuk asimetri dengan bagian terdalam berada di
baratdaya dan melandai ke arah timur laut (Mertosono dan Nayoan, 1974). Produk lain
yang dihasilkan oleh interaksi kedua lempeng tektonik ini adalah unit fisiografi parallel
berarah NW berupa busur kepulauan sepanjang muka pantai barat daya Sumatra,
cekungan muka busur Nias, busur volkanik Barisan, cekungan belakang busur dan zona
sesar Sumatra (Great Sumatra Fault Zone) atau yang dikenal dengan sebutan Sesar
Semangko.
Struktur dengan arah barat laut (NW) dan kesatuan topografi merupakan
fenomena pada Kenozoikum Akhir yang menghasilkan Busur Asahan dengan arah timur
laut (NNE), Tinggian Lampung dan Tinggian Tigapuluh yang berarah timur-timur laut
(ENE). Busur dan Tinggian ini bergabung secara efektif membagi daratan Sumatra
menjadi Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah dan Cekunga Sumatra
Selatan. Cekungan Sumatra Tengah bagian barat daya dibatasi oleh up-lift Bukit Barisan,
bagian barat laut dibatasi oleh Busur Asahan, di sebelah tenggara dibatasi oleh Tinggian
Tigapuluh dan pada timurlaut dibatasi oleh Kraton Sunda (Mertosono dan Nayoan,
1974).
Basement Pra-Tersier pada Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari dua litologi
utama, di sebelah barat adalah Greywacke Terrain yang merupakan bagian mikroplate
Mergui dan di sebelah timur Quartzite Terrain dari mikroplate Malaka. Kedua Terrain ini
dipisahkan oleh garis Kerumutan. Zona sentuh ini terdiri dari chert laut dalam, limestone,
serpih mauve, dan basalt. Basement Pra-Tersier dicirikan dengan refleksi seismik yang
baik, dimana akustik impedan sangat kontras dengan bagian bawah Pematang.
Struktur lineamen Tersier tertua pada Cekungan Sumatra Tengah mempunyai arah barat
laut-tenggara seperti pada tinggian Minas dan Duri dan berarah utara-selatan pada busur
trough Pematang. Tektonik transtensional utama terjadi pada daratan Sunda selama
waktu Eosen Awal dan bertanggung jawab pada trough Pematang, Kiri, Mandau, dan
Bengkalis. Pada umumnya, Trough pada area ini adalah Half-Graben yang dibatasi oleh
patahan normal.
Lower Red Bed dari grup pematang berasosiasi dengan onset trough formasi dan
terdiri dari konglomerat, batu pasir, batu lempung yang diendapkan sebagai alluvial fan
yang mempunyai hubungan unconformable di atas basement. Lower Red Bed telah
menunjukkan potensial sebagai reservoar hidrokarbon pada semua seting
struktural/stratigrafi pada bagian trough. Karena cekungan terus menurun, danau semakin
dalam kemudian Brown Shale diendapkan selama Oligosen Tengah.
Brown Shale yang terdiri dari serpih hitam hingga coklat tua adalah batuan induk utama
hidrokarbon di Sumatra Tengah. Bentuk Lower Red Bed dan Brown Shale dibatasi
terutama oleh trough Paleogen. Pada Oligosen Akhir, Upper Red Bed Pematang
diendapkan pada lingkungan fluvio alluvial di atas Brown Shale dan juga di atas
basement di daerah yang lebih tinggi. Upper Red Bed juga bermanfaat sebagai reservoar
terutama pada areal trough. Pada umumnya Grup Pematang dipotong oleh major
unconformity terutama pada graben. Hubungan ini ditampilkan dengan refleksi seismik
yang baik. Grup Pematang ketebalannya melebihi 7000 kaki pada beberapa Eo-Oligosen
trough.
Penurunan perlahan pada Miosen Awal dikombinasikan dengan kenaikan relatif
sea level menghasilkan batupasir Grup Sihapas yang tersebar luas. Grup sihapas
diendapkan di atas ketidakselarasan Pematang, pasir Sihapas adalah reservoar
hidrokarbon utama. Pasir ini berakumulasi pada lingkungan yang beragam termasuk
endapan braided dan meandering (Formasi Menggala), endapan inner neritik (Formasi
Bangko), endapan delta dan tidal flat (Formasi Bekasap dan Duri). Minas dan Duri,
lapangan minyak terbesar di sini, meghasilkan hidrokarbon dari Formasi Bekasap dan
Duri. Reservoar ini umumnya terdiri dari butir-butir kuarsa yang berasal dari granit dan
quartzite terrain daratan Sunda. Formasi Sihapas diasosiasikan dengan kualitas seismik
refleksi dengan kualitas tinggi dan menerus. Ketebalan Sihapas bervariasi diantara 500-
1500 kaki, dan dapat dipetakan pada seluruh bagian cekungan.
Pada Miosen Tengah, tektonik konvergen menunjukkan perkembangan
konfigurasi saat ini dari sistem busur kepulauan di Sumatra. Pengunungan Bukit Barisan
berasosiasi dengan aktivitas busur vulkanik mulai tumbuh selama waktu ini. Pada
cekungan tengah, kejadian tektonik ini ditandai dengan angular unconformity pada top
Formasi Telisa. Karenanya, penstrukturan pada permulaan cekungan dan perubahan
cekungan menjadi back arc pada lingkungan yang terbatas. Formasi Petani diendapkan
selama Miosen Tengah hingga Pliosen pada cekungan yang terbatas ini ketika suplai
sedimen berasal dari pegunungan Bukit Barisan tapi juga bercampur dengan dentritus
vulkanogenik dari aktivitas vulkanik.
Pada profil seismik, Petani sangat jelas terlihat sebagai unit sedimen utama yang
berprogradasi dari barat ke timut. Formasi Petani terdiri dari batu lempung berwarna abu-
abu kehijauan dan batulanau dengan lapisan tipis batu pasir dan sedikit lapisan limestone
dan batubara. Batu pasir Petani diendapkan sebagai Off Shore Bar Sand dan kadang-
kadang mengandung gas biogenik yang potensial. Formasi Petani mencapai ketebalan
maksimum melebihi 6000 kaki disepanjang sisi-sisi sesar Dalu Dalu pada baratdaya
cekungan. Selama Plio-Pleistosen, tektonik oblig konvergen mencapai puncaknya karena
tekanan utama dan dilengkapi dengan jalinan tektonik pada seluruh Cekungan Sumatra
Tengah. Pengaruh antara tekanan dan jalinan tektonik selama akhir masa ini
menghasilkan perkembangan perangkap struktural yang berharga pada hampir seluruh
lapangan minyak di Sumatra Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.
I'm from Indonesian, I just a Student in Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, Geophysics Department
Awang Harun Satyana, Blognya Ahli Geologi Indonesia
hidayat-ardiansyah , BLOGROLL
Freddie Wira A. (140710070038), Adrie Wiranata (140710070042), Rifki Asrul Sani (140710070075), Sandy Tirta S. (140710070091), Aji Wibowo (140710077003), Fakultas Teknik Geologi,Universitas Padjadjaran2010
sumber dari http://geologi.iagi.or.id/2009/03/22/cekungan-bengkulu/
Cekungan di Sumatera Tengah , Diterbitkan oleh Ichwan Dwi
Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan , Hidayat Ardiansyah
sumber : Vivanews.com, FILED UNDER GEOSCIENCE
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/pertambangan/2005/0401/tam1.html
http://www.antara.co.id/arc/2007/12/8/lautan-indonesia-mampu-serap-karbon-
245-6-juta-ton/
http://research.ocean.itb.ac.id/?page_id=8
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/10/08/brk,20041008-38,id.html
http://www.dkp.go.id/content.php?c=1823