tugas fer .docx

349
CHAPTER 30 INFERTILITAS PRIA INFERTILITAS PRIA Pemahaman kita terhadap fungsi reproduksi pria dan pentingnya faktor pria dalam infertilitas, telah berkembang dengan sangat signifikan selama dekade terakhir. Di masa lalu, faktor wanita menjadi fokus primer perhatian dan faktor pria dianggap sebagai penyebab infertilitas yang relatif jarang. Kita sekarang mengetahui bahwa abnormalitas pada laki-laki merupakan penyebab tunggal pada sekitar 20% pasangan infertil dan merupakan faktor penting pada 20-40% pasangan dengan kegagalan reproduksi. Banyak pria infertil disebabkan oleh gangguan yang dapat dikoreksi secara medis ataupun operatif, yang bila terdiagnosis dan diterapi dengan tepat, maka dapat memungkinkan pria tersebut berkonsepsi secara normal dengan pasangannya. Pada beberapa kasus lainnya, abnormalitas semen yang ringan namun penting, dapat diatasi dengan inseminasi intrauterine (IUI). Saat semua usaha tersebut gagal atau tidak dapat dilakukan, maka proses assisted reproductive technologies (ART) atau disebut bayi tabung, masih dapat memberikan kemungkinan untuk sukses. In vitro fertilization (IVF) dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI) yakni injeksi langsung sel sperma tunggal ke oocyte mature, telah menawarkan kesempatan yang realistis untuk menjadi ayah bagi pada banyak laki-laki yang sebelumnya infertil. Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor, yang merupakan 1

Upload: yogaya-3000

Post on 01-Sep-2015

230 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

CHAPTER 30 INFERTILITAS PRIA

INFERTILITAS PRIAPemahaman kita terhadap fungsi reproduksi pria dan pentingnya faktor pria dalam infertilitas, telah berkembang dengan sangat signifikan selama dekade terakhir. Di masa lalu, faktor wanita menjadi fokus primer perhatian dan faktor pria dianggap sebagai penyebab infertilitas yang relatif jarang. Kita sekarang mengetahui bahwa abnormalitas pada laki-laki merupakan penyebab tunggal pada sekitar 20% pasangan infertil dan merupakan faktor penting pada 20-40% pasangan dengan kegagalan reproduksi.Banyak pria infertil disebabkan oleh gangguan yang dapat dikoreksi secara medis ataupun operatif, yang bila terdiagnosis dan diterapi dengan tepat, maka dapat memungkinkan pria tersebut berkonsepsi secara normal dengan pasangannya. Pada beberapa kasus lainnya, abnormalitas semen yang ringan namun penting, dapat diatasi dengan inseminasi intrauterine (IUI). Saat semua usaha tersebut gagal atau tidak dapat dilakukan, maka proses assisted reproductive technologies (ART) atau disebut bayi tabung, masih dapat memberikan kemungkinan untuk sukses. In vitro fertilization (IVF) dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI) yakni injeksi langsung sel sperma tunggal ke oocyte mature, telah menawarkan kesempatan yang realistis untuk menjadi ayah bagi pada banyak laki-laki yang sebelumnya infertil. Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor, yang merupakan pilihan satu-satunya bagi banyak pasangan dengan infertilitas pria, tetap merupakan strategi terapi yang penting dan sangat efektif, namun saat ini dianggap sebagai terapi lini terakhir. Dokter-dokter yang menangani pasangan infertil harus tahu bagaimana melakukan evaluasi dasar terhadap fungsi reproduksi laki-laki dan bagaimana mengenali para lelaki yang memerlukan evaluasi yang lebih ekstensif atau canggih serta terapi yang lebih canggih pula. Chapter ini menjelaskan regulasi fungsi testicular, mendiskusikan analisis semen dan tes-tes lain untuk fungsi sperma, menjelaskan penyebab infertilitas pria, dan meninjau konsep saat ini mengenai terapi infertilitas pria.

REGULASI FUNGSI TESTISTestis memiliki dua komponen yang berbeda, yakni tubulus seminiferous (tempat spermatogenesis) dan sel-sel Leydig (sumber testosterone). Tubulus seminiferous terdiri dari germ cells yang disebut spermatogonia dan sel-sel Sertoli. Tight junction (ikatan yang erat) antar sel-sel Sertoli membentuk sebuah barrier (pembatas) difus yang disebut blood testis barrier (mirip dengan blood brain barrier) yang memproteksi germ cells dari antigen, antibody, dan toksin lingkungan. Tubulus seminiferous bersifat avaskuler, dan meregulasi molekul yang masuk dengan difusi. Sel-sel Leydig berlokasi di jaringan ikat yang berada di antara tubulus seminiferous.Setelah terjadi migrasi germ cell ke genital ridge selama embryogenesis, terdapat sekitar 300.000 spermatogonia di setiap gonad. Setiap sel tersebut menjalani pembelahan mitosis serial dan saat pubertas, terdapat sekitar 600 juta sel di setiap testis. Proliferasi terus menerus selama dewasa menghasilkan produksi sekitar 100-200 juta sel sperma setiap hari dan lebih dari 1 triliun selama masa hidup normal. Saat spermatogenesis dimulai, spermatogonia diploid (46 kromosom) tumbuh menjadi spermatocyte primer sebelum memasuki fase meiosis. Pembelahan meiosis pertama menghasilkan 2 spermatocyte sekunder haploid (23 kromosom), yang masing-masing menghasilkan 2 spermatid selama pembelahan meiosis kedua. Selanjutnya, setiap spermatid menjalani proses pematangan menjadi spermatozoa matang. Sekitar separuh dari semua sperma yang potensial tersebut hilang selama proses meiosis. Proses spermatogenesis diarahkan oleh gen-gen yang terletak pada kromosom Y dan membutuhkan waktu sekitar 70 hari untuk menyelesaikannya. Kemudian diperlukan 12-21 hari lagi untuk mentransport sperma dari testis melalui epididymis ke duktus ejakulatorius. Selama perjalanan melalui epididymis, sperma mengalami pematangan lebih lanjut sehingga memiliki kapasitas untuk melakukan motilitas. Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan dan transit sperma berarti bahwa hasil analisis semen merefleksikan kondisi-kondisi yang terjadi beberapa minggu sebelumnya. Semen terdiri dari sekret-sekret yang diproduksi oleh prostat, vesikula seminalis, dan vasa deferentia distal.

Fungsi testis normal memerlukan peran kerja dari kedua gonadotropin dari pituitary, yakni follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). LH menstimulasi sel-sel Leydig di interstitium testis untuk mensintesis dan mensekresi testosterone (sekitar 5-10 mg per hari). Aksi LH secara tidak langsung dibantu oleh FSH, yang menginduksi pemunculan reseptor LH di sel-sel Leydig testis. Testosterone disekresikan baik ke sirkulasi maupun ke lumen tubulus seminiferous, di mana testosterone terkonsentrasi sangat tinggi hingga ke level yang dibutuhkan untuk mendukung spermatogenesis di epithelium germinal dan maturasi sperma di epididymis; konsentrasi dalam testis 50-100 kali lebih tinggi daripada di darah. Aksi-aksi testosterone dalam mendukung spermatogenesis dimediasi oleh sel-sel Sertoli yang melapisi tubulus seminiferous dan mengandung reseptor androgen. FSH berikatan dengan sel-sel Sertoli dan menstimulasi produksi ABP, androgen binding protein, yang berfungsi menjaga konsentrasi testosterone lokal yang tinggi yang dibutuhkan untuk spermatogenesis. Peningkatan level serum testosterone memberikan feedback inhibisi terhadap sekresi LH, yang beraksi baik pada level hypothalamus untuk memperlambat denyut pelepasan GnRH (gonadotropic releasing hormone) dari hypothalamus serta pada level pituitary untuk menurunkan sensitivitas gonadotropin dari pituitary terhadap stimulasi GnRH. Banyak penelitian yang melibatkan infuse testosterone, estradiol, atau dihydrotestosterone (yang tidak dapat dikonversi menjadi estrogen) atau administrasi antagonis estrogen pada pria normal, pada individu dengan insensitivitas androgen, pada pria dengan idiopathic hypogonadotrophic hypogonadism telah terbukti bahwa testosterone memberikan efek feedback negatif terhadap sekresi LH baik secara langsung maupun tidak langsung melalui konversi estradiol di otak.Berkebalikan dengan efek terhadap sekresi LH, level fisiologis testosterone tidak mensupresi sekresi FSH. Regulasi sekresi FSH dari pituitary lebih dikontrol oleh inhibin. Level FSH meningkat secara bertahap setelah dilakukan orchiectomy, sebuah observasi yang pada akhirnya menemukan inhibin. Inhibin-B disintesis dan disekresi oleh sel-sel Sertoli sebagai respon terhadap stimulasi FSH dan secara spesifik menghambat sekresi FSH di pituitary; inhibin A tidak diproduksi dengan jumlah yang signifikan pada pria.

Sekresi inhibin-B oleh sel Sertoli dimodulasi secara tidak langsung oleh LH melalui testosterone, yang menghambat ekspresi gen inhibin-B di sel Sertoli. Tidak diragukan lagi, mekanisme regulasi autokrin/parakrin lain yang melibatkan produksi growth factor lokal dan hormon peptida juga berperan dalam proses tersebut, seperti sebuah interaksi yang komplek yang bekerja pada folikel ovarium. Sel-sel Sertoli pada testis analog dengan sel-sel granulosa di ovarium dan sel-sel Leydig setara fungsinya dengan sel-sel theca. Sejauh mana FSH dan LH diperlukan untuk mengawali dan mempertahankan proses spermatogenesis, masih sulit untuk ditentukan karena observasi yang dilakukan terhadap berbagai kondisi alami maupun kondisi yang diinduksi oleh eksperimen telah menghasilkan bukti-bukti yang saling bertentangan. Adanya sperma di ejakulat pria dengan mutasi inactivating pada subunit I2 gen LH dan pada pria lain dengan defisiensi LH menunjukkan bahwa FSH saja dapat menginisiasi spermatogenesis, meskipun terdapat kemungkinkan yang belum bisa dieksklusi seperti adanya beberapa residu aktivitas LH atau produksi testosterone melalui sel Leydig yang terstimulasi FSH melalui sel-sel Sertoli. Sebaliknya, rendahnya level produksi sperma pada laki-laki dengan mutasi inactivating di reseptor FSH dan berbagai bentuk defisiensi FSH lainnya, menunjukkan bahwa produksi testosterone yang didorong oleh LH saja tidak dapat menginisiasi spermatogenesis, meskipun masih terdapat kemungkinan adanya residu aktivitas FSH dengan adanya konsentrasi FSH tinggi di sirkulasi. Bukti bahwa testosterone eksogen dosis tinggi dapat menstimulasi spermatogenesis secara sempurna pada monyet yang immatur, meskipun pada level yang rendah, menunjukkan bahwa FSH bukan merupakan kebutuhan mutlak, namun penjelasan yang didapatkan dari penelitian terhadap pria azoospermia dengan mutasi subunit I2 gen FSH menunjukkan kesimpulan yang berkebalikan. Kebutuhan untuk mempertahankan spermatogenesis juga sama kontroversialnya. Observasi pada monyet di mana FSH eksogen dapat mempertahankan volume testis dan jumlah spermatogonia setelah dilakukan supresi total terhadap sekresi gonadotropin menggunakan antagonis GnRH, menunjukkan bahwa FSH saja dapat mempertahankan spermatogenesis pada primata, setidaknya dalam beberapa kondisi. Deskripsi dari sebuah individu unik dengan mutasi activating pada reseptor FSH (berfungsi meskipun tidak ada stimulasi FSH) dan level inhibin-B yang normal (marker untuk fungsi sel Sertoli yang distimulasi FSH) yang menjalani hypophysectomy untuk pengambilan tumor pituitary jinak (menghilangkan semua sekresi gonadotropin endogen) dan tetap fertil selama hanya menerima terapi penggantian dengan testosterone eksogen fisiologis (normalnya tidak adekuat untuk mendukung spermatogenesis pada laki-laki yang dilakukan hypophysectomy), menunjukkan sebuah ilustrasi pentingnya FSH dalam mempertahankan spermatogenesis. Sebaliknya, pengembalian fertilitas setelah diberikan terapi dengan hCG eksogen saja pada pria azoospermic dengan defisiensi gonadotropin (level FSH dan LH dua-duanya rendah) menunjukkan bahwa produksi testosterone yang distimulasi LH mungkin cukup untuk mempertahankan spermatogenesis. Tidak peduli apakah produksi testosterone dengan stimulasi FSH atau LH saja cukup untuk menginisiasi atau mempertahankan spermatogenesi, keduanya diperlukan untuk produksi sperma yang normal secara kualitatif dan kuantitatif. Pentingnya FSH telah terdemonstrasi pada berbagai penelitian pada primata non-manusia dan pria yang menjalani supresi selektif terhadap FSH dengan imunisasi terhadap FSH atau dengan pemberian terapi hCG eksogen kronis dosis tinggi. Supresi FSH menginduksi abnormalitas semen baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang dapat dikembalikan dengan terapi simultan dengan FSH eksogen namun tidak dengan testosterone eksogen. Selain itu, pada penelitian kontrasepsi pada pria yang menggunakan testosterone dosis tinggi tunggal atau dengan kombinasi dengan levonorgestrel untuk mensupresi spermatogenesis, hanya para pria dengan supresi FSH hingga tidak terdeteksi lagi yang menjadi azoospermia. Pentingnya testosterone dalam spermatogenesis terbukti dari observasi di mana FSH saja tidak dapat menginduksi proliferasi epithel seminiferous pada monyet pre-pubertal, namun hanya terapi dengan FSH dan hCG yang dapat meningkatkan volume testis dan jumlah sel Sertoli dan spermatogonia. Juga, pada pria dengan idiopathic hypogonadotropic hypogonadism (karena ketiadaan stimulasi GnRH), stimulasi GnRH eksogen berkala atau kombinasi antara FSH dan LH atau FSH dan hCG eksogen yang dapat menginduksi spermatogenesis dan mencapai fertilitas, namun terapi dengan FSH saja atau dengan kombinasi dengan testosterone dosis rendah (tidak cukup untuk mencapai konsentrasi lokal testosterone yang tinggi untuk mendukung spermatogenesis) tidak dapat menginduksi spermatogenesis.

PENUAAN DAN FUNGSI REPRODUKSI PRIAMeskipun proses penuaan memiliki efek merugikan terhadap fungsi reproduksi pria, efek dari penuaan tidak terlalu jelas bila dibandingkan pada wanita. Kualitas semen dan fertilitas pria serta produksi androgen dan level testosterone dalam serum menurun secara gradual seiring pertambahan usia.

Penuaan dan Fertilitas PriaHubungan antara usia dan fertilitas pada pria lebih sulit untuk ditentukan daripada wanita, umumnya karena perbedaan fundamental dalam gametogenesis di antara kedua jenis kelamin. Pada wanita, jumlah oocyte saat lahir menurun seiring dengan pertambahan usia hingga mencapai penghentian secara fungsional pada menopause, dan fertilitas menurun seiring jumlah oocyte yang tersisa. Pada pria, pembelahan mitosis pada spermatogonia di sepanjang hidup akan terus mengisi suplai germ cell dan spermatogenesis berlanjut dengan baik hingga usia tua, sehingga memungkinkan pria untuk bereproduksi bahkan pada usia sangat tua. Meskipun fertilitas pada pria tidak tampak menurun seiring pertambahan usia, efek-efek dari pertambahan usia tidak terlalu berbeda. Masalah ini menjadi penting saat ini karena makin banyak jumlah pria yang memilih untuk memiliki anak pada usia tua. Di US, tingkat kelahiran dengan pria berusia antara 35 45 tahun meningkat hampir 30% antara tahun 1980 (68.2/1.000 pria) dan tahun 2000 (88.3/1.000).Volume semen, mortilitas sperma, dan proporsi sperma yang normal secara morfologis akan menurun secara bertahap seiring pertambahan usia, namun tidak untuk konsentrasi sperma. Meski demikian, karakteristik semen secara umum serta parameter endokrin yang ada tidak secara akurat memprediksikan kapasitas fertilisasi. Sebuah studi cohort terhadap hampir 100 pria usia 22-80 tahun dengan riwayat fertilitas yang tidak diketahui, menunjukkan bahwa terjadi penurunan volume semen (-0.03 ml pertahun), motilitas total (-0.7% pertahun), motilitas progresif (-3.1% pertahun), dan hitung total jumlah sperma (-4.7% pertahun). Studi lain yang meneliti hubungan antara usia dan kualitas semen di antara 400 pasangan pria dari wanita yang ingin mendapatkan kehamilan melalui IVF dengan donor oocyte, menemukan bahwa hitung total sperma motile menurun sekitar 2.5 juta sperma per tahun. Seimbang dengan hal tersebut, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa tingkat kehamilan menurun dan waktu yang dibutuhkan untuk konsepsi meningkat seiring pertambahan usia pada pria. Pada penelitian mengenai efek usia partner pria terhadap tingkat kehamilan, usia partner wanita dan penurunan frekuensi coitus dengan makin meningkatnya usia sudah jelas dan menjadi faktor penting yang mempengaruhi. Di antara sedikit studi dengan kontrol terhadap usia wanita, tingkat kehamilan untuk pria >50 tahun, 23-38% lebih rendah daripada pria usia 30 tahun. Untuk lelaki yang berusaha untuk memiliki anak, probabilitas kemungkinan terjadinya kehamilan dalam 1 tahun adalah sekitar 50% lebih rendah di usia >35 tahun daripada 45 tahun daripada pria 1 ng/ml) segera setelah dimulainya terapi menunjukkan adanya kemungkinan kanker prostate yang tidak terdeteksi dan dapat menjadi alasan untuk menghentikan terapi sementara dilakukan pemeriksaan prostate secara teliti. Testosterone di sirkulasi juga harus diperiksa untuk memastikan bahwa terapi berhasil mencapai target konsentrasi, namun respon klinis subyektif mungkin berupakan penanda terbaik untuk efektifitas dari terapi androgen empiris. Pria dengan respon klinis bagus, tidak ada efek samping, dan level testosterone normal, dapat melanjutkan terapi, namun harus kembali menjalani evaluasi setelah 6 bulan dan selanjutnya setiap 1 tahun. Tetap harus dipikirkan bahwa respon klinis juga dapat merefleksikan reaksi placebo. Bila osteoporosis menjadi salah satu indikasi untuk dilakukan terapi, bone mineral density juga harus dievaluasi ulang setidaknya 1-2 tahun setelah terapi dimulai.

EVALUASI INFERTILITAS PRIAInfertilitas pada pria dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab. Beberapa penyebab seperti obstruksi duktus dan hipogonadotropik hipogonadisme, dapat dideteksi dengan tepat dan diterapi secara efektif. Sedangkan penyebab lainnya seperti kegagalan testis primer, dapat dideteksi namun tidak dapat diterapi. Sayangnya, infertilitas pada pria sebagian besar bersifat idiopatik. Meskipun jarang, infertilitas pria mungkin juga merupakan indikasi awal adanya kondisi medis serius yang tersembunyi. Evaluasi terhadap pria infertil harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut: Untuk mengidentifikasi dan mengoreksi penyebab spesifik dari infertilitas, bila memungkinkan Untuk mengidentifikasi individu dengan infertilitas yang tidak dapat dikoreksi namun dapat diatasi dengan IUI atau penggunaan berbagai bentuk ART Untuk mengidentifikasi individu dengan abnormalitas genetik yang dapat mempengaruhi kesehatan dari keturunannya yang didapat melalui proses ART Untuk mengidentifikasi indivisu dengan infertilitas yang tidak dapat dikoreksi serta tidak dapat diatasi dengan ART, untuk dipertimbangkan melakukan adopsi atau penggunaan donor sperma Untuk mengidentifikasi individu dengan kondisi medis serius yang belum terdeteksi, yang mungkin memerlukan perhatian medis khusus.

Indikasi EvaluasiEvaluasi terhadap partner pria harus dimulai dengan waktu yang sama dengan evaluasi partner wanita yakni secara umum bila kehamilan gagal terjadi dalam 1 tahun dengan hubungan seksual reguler tanpa proteksi. Evaluasi dapat dilakukan lebih awal untuk pria bila diketahui terdapat faktor resiko infertilitas, pria dengan partner berusia 35 tahun atau lebih (di mana penting untuk mengidentifikasi semua faktor infertilitas yang potensial secepat dan seefisien mungkin), dan pria yang memiliki alasan untuk mempertanyakan fertilitasnya.Untuk evaluasi terhadap pria, bagian paling penting dari penggalian riwayat dan pemeriksaan fisik meliputi hal-hal berikut: Penggalian riwayat Durasi infertilitas dan riwayat fertilitas sebelumnya Frekuensi coitus dan adanya disfungsi seksual Semua hasil evaluasi atau terapi infertilitas sebelumnya Penyakit masa anak dan masa pertumbuhan Riwayat operasi sebelumnya, indikasi dan hasilnya, serta penyakit sistemik (diabetes mellitus, penyakit saluran napas atas) Riwayat sebelumnya atau eksposure terhadap infeksi menular seksual Eksposure terhadap toksin lingkungan, termasuk panas Medikasi dan alergi saat ini Pekerjaan, merokok, alcohol, obat lain Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penis, termasuk lokasi dari meatus urethra Palpasi testis dan pemeriksaan ukuran kedua testis Keadaan dan konsistensi vasa dan epididymis Adakah varicocele Karakteristik seksual sekunder, termasuk bentuk tubuh, distribusi rambut, dan perkembangan payudara Pemeriksaan colok dubur

Riwayat cryptorchidism atau mumps orchitis, meningkatkan kemungkinan adanya atrofi testis. Onset dan tingkat dari perkembangan seksual sekunder dapat menjadi penanda kemungkinan endokrinopati. Obstruksi duktus dapat disebabkan oleh infeksi menular seksual. Diabetes mellitus (disfungsi bladder neck sehingga menyebabkan ejakulasi retrograde) dan cystic fibrosis (sangat terkait dengan kelainan kongenital berupa ketiadaan vas deferens) merupakan kondisi-kondisi medis yang dapat mengganggu fertilitas pria. Perbaikan hernia inguinal, transplantasi ginjal, dan operasi skrotum beresiko menyebabkan injury yang tidak terdeteksi terhadap vas deferens. Operasi retroperitoneal dapat mengganggu pathway neuron dan menyebabkan disfungsi ejakulasi; yang merupakan efek yang sama pada pemberian alfa blocker, phentolamine, methyldopa, guanethidine, atau reserpine.Bila evaluasi infertilitas dilakukan oleh seorang ginekolog, maka pemeriksaan fisik pada pria dapat ditunda untuk dilakukan analisis semen terlebih dahulu, bila tidak terdapat riwayat abnormalitas genital, trauma, operasi, atau disfungsi seksual. Meski demikian, riwayat reproduksi abnormal atau analisis semen yang abnormal merupakan indikasi untuk dilakukannya evaluasi formal tambahan yang dapat dilakukan oleh ginekolog yang telah terlatih dan berpengalaman, namun seringkali sebagian besar dilakukan oleh urologis atau spesialis reproduksi pria lainnya.

Penyebab Infertilitas pada PriaDaftar dari penyebab infertilitas pada pria yang telah diketahui, sangatlah banyak, namun dapat dibagi ke dalam 3 kategori utama: abnormalitas produksi sperma, abnormalitas fungsi sperma, dan obstruksi sistem duktus. Abnormalitas produksi sperma bisa disebabkan oleh kegagalan testis primer (hypergonadotropic hypogonadism) akibat abnormalitas genetik (Klinefelter syndrome, Y chromosome microdeletion) atau kerusakan langsung terhadap anatomi testis (cryptorchidism, varicocele), infeksi (mumps orchitis), atau gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang inadekuat akibat penyebab genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek langsung dan tidak langsung dari tumor hypothalamus atau pituitary, atau penggunaan androgen eksogen (supresi terhadap sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma yang buruk. Abnormalitas fungsi sperma mungkin terkait dengan antibody antisperma, inflamasi traktus genitalis (prostatitis), varicocele, kegagalan reaksi acrosome, abnormalitas biokimia (spesies oksigen reaktif), atau adanya masalah pada ikatan sperma (dengan zona pellucida) atau penetrasi. Obstruksi pada sistem ductal dapat diakibatkan oleh vasektomi, ketiadaan vas deferens bilateral kongenital, atau dari obstruksi kongenital maupun dapatan di epididymis atau duktus ejakulatorius. Sayangnya, sebagian besar infertilitas pada pria bersifat idiopatik, yang merefleksikan masih sedikitnya pemahaman kita mengenai mekanisme yang mengatur fungsi testis.

GonadotoksinEksposure lingkungan yang relevan termasuk di antaranya panas, rokok, radiasi, logam berat, larutan organik, dan pestisida. Peningkatan sedang pada temperatur skrotum dapat memberikan efek buruk terhadap spermatogenesis, dan suatu penyakit dengan febris dapat menyebabkan penurunan densitas dan motilitas sperma yang dramatik dan sementara. Secara teori, sumber panas dari lingkungan, termasuk celana dalam yang terlalu ketat, mandi dan spa air hangat, dan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan waktu duduk yang lama (contoh: mengemudi jarak jauh) dapat menurunkan fertilitas, namun belum ada yang pernah diteliti secara klinis. Merokok atau penggunaan ganja, alkohol, atau kokain berlebihan dapat menurunkan kualitas semen dan level testosterone. Beberapa obat (cimetidine, spironolactone, nitrofurantoin, sulfasalazine, erythromycin, tetracycline, dan agen-agen kemoterapi) dapat memiliki efek gonadotoksik; sehingga bila dibutuhkan terapi antibiotika maka cephalosporin, penicillin, quinolone, dan trimethoprim sulfametoxazole merupakan pilihan yang relatif aman. Semua efek samping dari sebagian besar obat bersifat reversibel saat pemakaian dihentikan, namun efek yang didapatkan dari penggunaan steroid anabolik dapat bertahan lama atau permanen.

ANALISIS SEMENBila terdapat faktor infertilitas pria, maka hampir selalu terdeteksi melalui analisis semen yang abnormal, meskipun faktor lain (disfungsi seksual) juga dapat terlibat bahkan saat kualitas semen normal. Evaluasi awal untuk faktor infertilitas pada pria setidaknya harus meliputi 2 analisis semen yang baik yang didapatkan setidaknya dengan rentang waktu 4 minggu. Parameter dalam pemeriksaan semen dapat bervariasi seiring waktu, bahkan untuk pria fertil, dan juga dapat bervariasi sesuai musim. Dengan mempertimbangkan tujuan umum adalah untuk mendapatkan kualitas semen sesuai waktu, maka diperlukan lebih dari 1 kali analisis; karena sampel semen tunggal hanya menunjukkan sebuah poin estimasi yang mungkin tidak representatif. Dengan sedikit pengecualian, kualitas semen normal dapat secara efektif mengeksklusi faktor-faktor penting dalam infertilitas pria pada kondisi tidak terdapat keluhan atau kecurigaan disfungsi seksual. Sebaliknya, parameter semen abnormal menunjukkan perlunya tambahan evaluasi endokrin, urologi, dan genetik.

Pengumpulan SemenHarus disediakan instruksi standar yang mendetail mengenai proses pengumpulan semen, termasuk harus ada periode abstinen (tidak melakukan hubungan seksual) selama 2-3 hari. Makin pendek interval abstinen maka makin rendah volume semen dan densitas sperma namun secara umum hanya berefek kecil atau bahkan tidak berefek sama sekali terhadap motilitas atau morfologi sperma. Interval abstinen yang lebih panjang makin meningkatkan volume semen dan densitas sperma, namun juga meningkatkan proporsi sperma yang mati, immotile (tidak bergerak), serta sperma dengan morfologi abnormal. Idealnya, spesimen semen harus dikumpulkan melalui masturbasi ke sebuah kontainer yang bersih. Semen dapat dikumpulkan saat intercourse (hubungan seksual) dengan menggunakan kondom silastik dengan desain khusus yang tidak mengandung agen spermisida seperti pada kondom lama yang digunakan dalam kontrasepsi; meski demikian, hal ini mungkin tidak diperlukan karena pabrik-pabrik telah menghentikan produksi kondom yang dilapisi dengan nonoxynol-9, yang merupakan respon terhadap kemungkinan adanya hubungan antara spermisida dengan transmisi HIV. Pengumpulan semen setelah withdrawal (pencabutan penis) selama intercourse memberikan resiko hilangnya bagian awal dari spesimen yang secara umum mengandung konsentrasi sperma paling tinggi. Bila memungkinkan, spesimen semen harus diambil di ruang privat di dalam atau di dekat laboratorium. Bila dibutuhkan, spesimen dapat dilakukan pengambilan di rumah namun harus disimpan dalam suhu ruang atau suhu tubuh selama transport. Apapun metode pengumpulannya, sampel semen harus diperiksa dalam 1 jam setelah pengumpulan.

Nilai Referensi NormalNilai referensi normal yang saat ini digunakan didasarkan pada perbandingan nilai hasil observasi partner pria pada pasangan fertil dan partner pria pada pasangan infertil tanpa eksklusi spesifik terhadap faktor infertilitas partner wanita, sehingga tidak selalu merepresentasikan rentang rata-rata pada pria fertil. Sayangnya, terdapat banyak nilai yang tumpang tindih pada parameter yang diobservasi pada pria fertil dan infertil. Rentang referensi normal tidak secara pasti merepresentasikan nilai minimal absolut yang dibutuhkan untuk konsepsi; banyak pria fertil dengan nilai di luar rentang normal dan banyak pria infertil berada dalam rentang nilai normal. Nilai di luar rentang normal menunjukkan faktor infertilitas pada pria tersebut mungkin memerlukan tambahan evaluasi klinis atau laboratoris, namun setiap parameter harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Densitas sperma yang sedikit rendah mungkin hanya memiliki sedikit signifikansi bila volume semen, motilitas sperma dan proporsi sperma yang abnormal, masih dalam rentang normal. Sebaliknya, densitas sperma yang normal memiliki kepentingan yang besar bila volume semen sangat rendah atau terjadi ketidaknormalan yang besar pada proporsi sperma yang motil/normal. Secara keseluruhan, kemungkinan infertilitas pada pria makin meningkat dengan makin banyaknya jumlah parameter utama analisis semen (konsentrasi, motilitas, morfologi) yang berada di rentang sub-fertil; kemungkinannya adalah 2-3 kali lebih tinggi bila salah satu dari tiga tersebut abnormal, 5-7 kali lebih tinggi bila terdapat dua yang abnormal, dan 16 kali lebih tinggi bila ketiganya abnormal.Meskipun prosedur detail untuk analisis semen telah ditentukan oleh WHO, metode dan akurasi dari analisis semen sangat bervariasi karena dikerjakan oleh dokter di tempat praktek, rumah sakit, serta laboratorium khusus andrology. Idealnya, untuk memastikan hasil yang akurat dan dapat dipercaya, analisis semen harus dilakukan di laboratorium yang telah ditentukan melalui program quality control yang sesuai dengan standar Clinical Laboratory Improvement Amendments. WHO merekomendasikan nilai referensi normal sebagai berikut:

Analisis Semen: Nilai Referensi Normal

Volume1.5-5.0 ml

pH>7.2

Viskositas (kekentalan)20 juta/ml

Jumlah total sperma>40 juta/ejakulat

Persen motilitas>50%

Gerak arah ke depan>2 (skala 0-4)

Morfologi normal>50% normal

>30% normal

>14% normal

Sel-sel bulat (round cells)