tugas epidemiologi k3 riwayat alamiah muh. yusuf s, 70200110058
TRANSCRIPT
TUGAS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN dan
KESELAMATAN KERJANama : Muh. Yusuf S.
NIM : 70200110058
Fakultas : Ilmu Kesehatan
Jurusan : Kesehatan Masyarakat
Riwayat Alamiah Penyakit Antrakosis
A. Gambaran umum
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja,
bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dalam melakukan pekerjaan apapun, sebenarnya
kita berisiko untuk mendapatkan gangguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh
penyakit tersebut. Menurut Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 tertanggal 27 Februari
1993, Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1). Keputusan Presiden tersebut melampirkan Daftar
Penyakit yang diantaranya yang berkaitan dengan pulmonologi termasuk pneumokoniosis
dan silikotuberkulosis, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu logam keras, penyakit
paru dan saluran nafas akibat debu kapas, vals, henep dan sisal (bissinosis), asma akibat
kerja, dan alveolitis alergika. Pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan karena
peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan karena ulah manusia, lewat kegiatan industri
dan teknologi. Pada umumnya udara yang telah tercemar oleh partikel dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau pneumoconiosis. Pneumoconiosis adalah
penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau
mengendap di dalam paru-paru. Penyakit pnemokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari
jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa jenis penyakit
pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan
teknologi, yaitu Silikosis, Asbestosis, Bisinosis, Antrakosis dan Beriliosis. Penyakit
Antrakosis adalah penyakit
saluran pernapasan yang disebabkan
oleh debu batubara. Penyakit ini
biasanya dijumpai pada pekerja-
pekerja tambang batubara atau pada
pekerja-pekerja yang banyak
melibatkan penggunaan batubara,
seperti pengumpa batubara pada tanur
besi, lokomotif (stoker) dan juga pada
kapal laut bertenaga batubara, serta
pekerja boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara. Jika pada debu
batubara terkadang juga terdapat debu silikat maka penyakit antrakosis juga sering disertai
dengan penyakit silicosis. Bila hal ini terjadi maka penyakitnya disebut silikoantrakosis.
Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu penyakit antrakosis murni, penyakit
silikoantraksosis dan penyakit tuberkolosilikoantrakosis. Sebenarnya antara antrakosis murni
dan silikoantraksosi sulit dibedakan, kecuali dari sumber penyebabnya. Sedangkan paenyakit
tuberkolosilikoantrakosis lebih mudah dibedakan dengan kedua penyakit antrakosis lainnya.
Perbedaan ini mudah dilihat dari fototorak yang menunjukkan kelainan pada paru-paru
akibat adanya debu batubara dan debu silikat, serta juga adanya baksil tuberculosis yang
menyerang paru-paru. Paru-paru hitam merupakan akibat dari terhirupnya serbuk batubara
dalam jangka waktu yang lama. Merokok tidak menyebabkan meningkatnya angka kejadian
paru-paru hitam, tetapi bisa memberikan efek tambahan yang berbahaya bagi paru-paru.
Resiko menderita paru-paru hitam berhubungan dengan lamanya dan luasnya pemaparan
terhadap debu batubara. Kebanyakan pekerja yang terkena berusia lebih dari 50 tahun.
Penyakit ini ditemukan pada 6 dari 100.000 orang.
B. Riwayat alamiah penyakit
Riwayat alamiah penyakit merupakan proses perkembangan suatu penyakit tanpa
adanya intervensi manusia (campur tangan medis) dengan sengaja (Fletcher). Perkembangan
penyakit mulai dari sehat, sakit, sampai akhir perjalanan penyakit (sembuh, kronik, cacad,
mati). Maka gambaran riwayat alamiah penyakit dimulai dengan proses prepatogenesis
dimana pekerja dalam tahap pajanan, kemudian patogenesis dimana mulai terjadi kesakitan
pada pekerja, dan yang terakhir pascapatogenesis yakni hasil akhir perjalanan penyakit atau
prognosis. Berikut gambaran riwayat alamiah penyakit antrakosis :
Prepatogenesis
Pada tahap ini debu batu bara masih bertebaaran di udara tempat kerja yang dimana
debu batu bara ini dapat dihasilkan dari peledakan dan proses lainnya yang ada di
lingkungan kerja industri batu bara tersebut. Dengan melihat ukuran debu maka dapat
diketahui sejauh mana debu atau partikel terebut berada. Debu atau partikel yang
berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan
partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran pernapasan bagian
tengah. Partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron, akan masuk ke dalam
kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil lagi,
kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas dihembuskan. Durasi pajanan pasien
terhadap debu batu bara (biasanya selama 15 tahun atau lebih),
Inkubasi
Masa inkubasi penyakit ini antara 2 – 4 tahun. Seperti halnya penyakit silicosis dan
juga penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai
dengan adanya rasa sesak napas. Pada saat pekerja menarik nafas, udara yang
mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang
masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan
partikel tersebut. Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus
yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh. Pada suatu
saat penyakit makin bertambah hebat, sehingga timbul gejalanya. Garis yang
membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit disebut dengan horison
klinik. Pada tahap ini dapat digambarkan bahwa debu batu bara terinhalasi akan
melekat pada permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respiratorius, duktus
alveoralis dan alveolus) karena tempat tersebut basah sehingga mudah ditempati debu.
Pada awalnya paru memberikan respon berupa inflamasi dan fagositosis terhadap
debu batu bara oleh makrofag alveolus. Makrofag memfagositosis debu dan
membawa partikel debu ke bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerakan mukosiliar
debu di usahakn keluar dari paru. Sebagian partikel diangkut ke pembuluh limfe
sampai limfonodi regional di hillus paru. Bila paparan debu banyak, dimana gerak
mukosiliar sudah tidak mampu bekerja, maka debu / partikel akan tertumpuk di
permukaan mukosa saluran napas, akibatnya partikel debu akan tersusun membentuk
anyaman kolagen dan fibrin dan akibatnya paru (saluran napas) menjadi kaku
sehingga complien paru menurun (Sudoyo dkk, 2006). Serta gambaran patofisiologi
yakni patikel debu batu bara yang terakumulasi di dalam makrofag dan limfonodus
jaringan paru tadi akan menghasilkan penampilan kehitaman pada paru yang disebut
dengan penyakit antrakosis. Pada beberapa kasus antrakosis bisa disebabkan oleh
Mycobacterium tuberkulosis (Ghanei,2010).
Dini
Ada tiga mekanisme penimbunan debu didalam paru-paru yaitu pertama, pengaruh
inersia akan timbul kelembaban dari debu itu sendiri dimana pada saat bergerak dan
melalui belokan-belokan, maka akan lebih didorong oleh aliran udara. Pada sepanjang
jalan pernapasan yang lurus akan langsung ikut dengan aliran lurus kedalam.
Sedangkan partikel-partikel yang besar kurang sempat ikut dalam aliran udara, akan
tetapi mencari tempat-tempat yang lebih ideal untuk menempel atau mengendap
seperti pada tempat lekuk-lekuk pada selaput lender dalam saluran napas. Kedua,
pengaruh sedimentasi terjadi di saluran-saluran pernapasan dimana kecepatan arus
udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga partikel-partikel tersebut melalui gaya berat
dan mengendap. Yang terakhir, gerakan Brown berlaku untuk debu-debu berukuran
kurang dari 0.1 mikron dimana melalui gerakan udara dan permukaan partikel debu
yang masuk ke dalam tubuh khususnya, akan mengganggu alveoli kemudian
mengendap. Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala
penyakit, pada tahap ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih ringan.
Umumnya penderita masih dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dan karena itu
sering tidak berobat. Selanjutnya, bagi yang datang berobat umumnya tidak
memerlukan perawatan, karena penyakit masih dapat diatasi dengan berobat jalan.
Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan masyarakat,
terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih kuat mereka
tidak datang berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu telah parahnya
penyakit yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah terlambat. Pada
tahap ini biasanya penderita yang mengalami batuk menahun dan mudah sesak nafas
karena mereka juga menderita emfisema (karena merokok) atau bronkitis (karena
merokok atau terpapar polutan industri toksik lainnya). Fibrosis masif progresif yang
berat juga menyebabkan batuk dan sesak nafas. Seperti halnya penyakit silicosis dan
juga penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai
dengan adanya rasa sesak napas dan batuk nonproduktif. Maka dapat dilakukan
penegakan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen dada dan tes fungsi paru-
paru berupa Anamnesis (keluhan utama sesak napas), Riwayat pekerjaan (paparan
terhadap debu batu bara), Pemeriksaan penunjang (gambaran radiologis berupa garis-
garis) opasitas di lapangan bawah paru, perubahan dan kerusakan pada pleura.
Lanjut
Penyakit antrakosis murni disebabkan debu batubara. Penyakit ini memerlukan waktu
yang cukup lama untuk menjadi berat, dan relatif tidak begitu berbahaya. Penyakit
antrakosis menjadi berat bila disertai dengan komplikasi atau emphysema yang
memungkinkan terjadinya kematian. Kalau terjadi emphysema maka antrakosis murni
lebih berat daripada silikoantraksosis yang relatif jarang diikuti oleh emphysema.
Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam tahap penyakit
lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan jika
datang berobat, umumnya telah memerlukan perawatan.
Akhir
Prognosisnya bervariasi. Penyakit sederhana dan asimtomatik ini bersifat self-limiting
(bisa sembuh tanpa banyak intervensi), tetapi bisa berkembang ke bentuk yang
disertai komplikasi. Penyakit ini dengan komplikasi bisa membuat penderitanya
mengalami ketidakmampuan yang menyebabkan gagal napas berat dan gagal jantung
sisi kanan yang muncul setelah hipertensi pulmoner. Pada beberapa antrakosis
ditemukan limfonodi mediastinum mirip seperti tuberculosis
limfadenitis atau karsinoma (Ghanei, 2010).
C. Pencegahan
Menurut Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 tertanggal 27 Februari 1993 pasal
2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa mereka yang menderita penyakit yang
timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan kecelakaan kerja. Keputusan
Presiden tersebut merujuk kepada Undang-Undang RI No 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja, yang pasal 1 nya menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yg timbul
karena hub kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yg biasa atau wajar dilalui.
Dalam rangka pencegahan Penyakit Paru akibat Kerja diperlukan kerja-sama sinergis antara
tenaga kerja, Departemen K3, dokter perusahaan dan pihak manajemen perusahaan. Kegiatan
pencegahan meliputi kegiatan:
1. Penerapan peraturan perundangan yang berlaku
Upaya perlindungan dan pencegahan terhadap akibat yang merugikan perusahaan maupun
tenaga kerja melalui penerapan Standart Operating Procedure ( SOP ), Petunjuk dan cara
kerja berdasar norma kerja berdasar Undang-undang dan peraturan K3 yang berlaku seperti
Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di tempat kerja.
2. Identifikasi Potensi Bahaya dan penilaian risiko
Merupakan pengenalan terhadap kondisi lingkungan kerja, pekerjaan dan beberapa faktor
lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit paru akibat kerja. Hasil dari
pengenalan dapat digunakan bahan dalam melakukan analisis risiko. Kedua hal tersebut
sangat penting dalam upaya pencegahan.
3. Pengujian dan pemantauan lingkungan kerja
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapat data mengenai faktor kimia maupun biologis. Dari
kegiatan ini akan didapatkan hasil kadar potensi bahaya yang ada.
4. Pengujian Kesehatan Tenaga Kerja & Pemantauan Biologis
Pemeriksaan kesehatan sangat perlu dalam rangka penegakan diagnosis penyakit akibat kerja.
Pemeriksaan kesehatan tersebut meliputi pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan khusus.
5. Teknologi Pengendalian
Berdasarkan hirarki pengendalian mulai darieliminasi, subtitusi, engineering control,
administrasi (menghindari debu batubara pada lingkungan kerja. Pekerja tambang batubara
harus menjalani pemeriksaan foto dada tiap 4-5 tahun sehingga penyakit ini dapat ditemukan
pada stadium awal. Jika ditemukan penyakit, maka pekerja tersebut harus dipindahkan ke
daerah dimana kadar debu batubaranya rendah, untuk menghindari terjadinya fibrosis masif
progresif) dan alat pelindung diri. Berikut contoh nya teknologi terapan dalam mencegah
permasalahan debu:
Filter Udara
Filter udara dimaksudkan untuk yang ikut keluar pada cerobong atau stack, agar tidak ikut
terlepas ke lingkungan sehingga hanya udara bersih yang saja yang keluar dari cerobong. Filter
udara yang dipasang ini harus secara tetap diamati (dikontrol), kalau sudah jenuh (sudah penuh
dengan abu/ debu) harus segera diganti dengan yang baru. Jenis filter udara yang digunakan
tergantung pada sifat gas buangan yang keluar dari proses industri, apakah berdebu banyak,
apakah bersifat asam, atau bersifat alkalis dan lain sebagainya.
Pengendap Siklon
Pengendap Siklon atau Cyclone Separators adalah pengedap debu / abu yang ikut dalam gas
buangan atau udara dalam ruang pabrik yang
berdebu. Prinsip kerja pengendap siklon adalah
pemanfaatan gaya sentrifugal dari udara / gas
buangan yang sengaja dihembuskan melalui tepi
dinding tabung siklon sehingga partikel yang
relatif “berat” akan jatuh ke bawah. Ukuran
partikel / debu / abu yang bisa diendapkan oleh
siklon adalah antara 5 u – 40 u. Makin besar
ukuran debu makin cepat partikel tersebut
diendapkan. Bentuk skematis sebuah pengendap
siklon .
Filter Basah
Nama lain dari filter basah adalah
Scrubbers atau Wet Collectors. Prinsip
kerja filter basah adalah membersihkan
udara yang kotor dengan cara
menyemprotkan air dari bagian atas alt,
sedangkan udara yang kotor dari
bagian bawah alat. Pada saat udara
yang berdebu kontak dengan air, maka
debu akan ikut semprotkan air turun ke
bawah. Untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik dapat juga prinsip kerja
pengendap siklon dan filter basah digabungkan menjadi satu. Penggabungan kedua macam
prinsip kerja tersebut menghasilkan suatu alat penangkap debu yang dinamakan.
Pegendap Sistem Gravitasi
Alat pengendap ini hanya
digunakan untuk
membersihkan udara kotor
yang ukuran partikelnya
relatif cukup besar, sekitar
50 u atau lebih. Cara kerja
alat ini sederhana sekali,
yaitu dengan mengalirkan
udara yang kotor ke dalam
alat yang dibuat sedemikian
rupa sehingga pada waktu terjadi perubahan kecepatan secara tiba-tiba (speed drop), zarah akan
jatuh terkumpul di bawah akibat gaya beratnya sendiri (gravitasi). Kecepatan pengendapan
tergantung pada dimensi alatnya. Skema alat pengendap sistem gravitasi tersebut dapat dilihat
pada Gambar 14. di bawah ini.
Pengendap Elektrostatik
Alat pengendap elektrostatik
digunakan untuk membersihkan udara
yang kotor dalam jumlah (volume)
yang relatif besar dan pengotor
udaranya adalah aerosol atau uap air.
Alat ini dapat membersihkan udara
secara cepat dan udara yang keluar
dari alat ini sudah relatif bersih. Alat
pengendap elektrostatik ini
menggunakan arus searah (DC) yang
mempunyai tegangan antara 25 – 100
kv. Alat pengendap ini berupa tabung
silinder di mana dindingnya diberi
muatan positif, sedangkan di tengah
ada sebuah kawat yang merupakan pusat silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan negatif.
Adanya perbedaan tegangan yang cukup besar akan menimbulkan corona discharga di daerah
sekitar pusat silinder. Hal ini menyebabkan udara kotor seolah – olah mengalami ionisasi.
Kotoran udara menjadi ion negatif sedangkan udara bersih menjadi ion positif dan masing-
masing akan menuju ke elektroda yang sesuai. Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik
oleh dinding tabung sedangkan udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan
kemudian terhembus keluar.
Olehnya, untuk mencegah hal-hal tersebut, usaha pencegahan merupakan tindakan yang
paling penting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri.
D. Dasar hukum
a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NO.02/MEN/1980, tentang
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja.
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NO.01/MEN/1981, tentang kewajiban
melapor penyakit akibat kerja.
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI.NO.per.05/02/1988, tentang petunjuk teknis
pendaftaran pesertaan, pembayaran iuran dan pelayanan jaminan sosial tenaga kerja.
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI.NO.KPTS.333/MEN/1989, tentang diagnosa dan
pelaporan penyakit akibat kerja.
e. Kepres RI.NO.22/1993, tentang penyakit yang ditimbulkan karena hubungan kerja.
Referensi
Noor, 1997, Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta, PT. Rineka Cipta
Bustan, 2000, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta, PT. Rineka Cipta
Notoatmojo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip Prinsip Dasar, Jakarta, PT.
Rineka Cipta
Entjang, 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti
Vaughan, Morrow, 1993, Panduan Epidemiologi Bagi Pengelolaan Kesehatan
Kabupaten, Bandung, ITB
Bustan mn. 2002. Pengantar epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Gerstman. 2003. Epidemiology Kept Simple. California: Willey Liss.
Juwono, Sugeng. Riwayat Alamiah, Spektrum, Rantai Infeksi dan Kejadian Epidemik
Penyakit. 2011
Lalusu, Yusnita Erni. Pengantar epidemiologi. 2011
Murti, Bisma. Modul Perkuliahan Fakultas Kedoketran UNS.
Arif, et al. 1999: Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid I: Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia