tugas dr.adi 2

38
KEJANG PADA ANAK A. KEJANG DISERTAI DEMAM 1. DEFINISI Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 2. KLASIFIFKASI 1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) 2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure) Kejang demam sederhana Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang

Upload: yurieamelia

Post on 10-Dec-2015

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dd

TRANSCRIPT

KEJANG PADA ANAK

A. KEJANG DISERTAI DEMAM

1. DEFINISI

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.

Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam

kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi

berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak

berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului

demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang

kebetulan terjadi bersama demam.

2. KLASIFIFKASI

1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)

2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)

Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,

tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam

sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:

1. Kejang lama > 15 menit

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang

berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.

Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang

parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang

berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan

kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang

mengalami kejang demam.

3. ETIOLOGI

Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti.

Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang

demam,yaitu:

1. Demamnya sendiri

2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak

3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit

5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak

diketahui atau ensefalopati toksik sepintas

6. Gabungan semua faktor diatas

Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang

demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak

sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi

pertusis (DPT) dan morbili (campak).

Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada

297 penderita   kejang    demam,  66(±22,2%)   penderita   tidak  diketahui

penyebabnya.2 Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat

peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian

tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otrtis media akut. (lihat tabel ).

Penyebab demam pada 297 penderita KD

Penyebab demam Jumlah penderita

Tonsilitis dan/atau faringitis

Otitis media akut (radang liang telinga

tengah)

Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)

Enteritis/gastroenteritis disertai Dehidrasi

Bronkitis (radang saiuran nafas)

Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran

nafas)

Morbili (campak)

Varisela (cacar air)

Dengue (demam berdarah)

Tidak diketahui

100

91

22

44

17

38

12

1

1

66

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD

daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman

Shigella mengaiami KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya

di mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%, Lahat dkk mengemukakan bahwa

tingginya angka kejadian KD pada shigellosis dan salmonellosis mungkin

berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.

4. PATOFISIOLOGI

Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa

faktor fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang.

Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi

yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang

terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen

disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui

sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui

proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.

Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam

adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran

sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit

dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).

Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi

rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena

perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat

perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk

menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan

enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:

a.Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.

b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau

aliran listrik dari sekitarnya.

c.Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%.

Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion

kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas

ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang

disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang

kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang

anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan

ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC,

sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat

terjadi pada suhu 40oC atau lebih.

Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,

meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet

sedangkan otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang

akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis

disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang

tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya

aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan

hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang

mengakibatkan kerusakan sel neuron.

Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam

lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam

penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita

menjadi kejang.

5. MANIFESTASI KLINIK

Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang

cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39°C atau lebih

(rectal). Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik.

Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan

disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan sentakan berulang tanpa didahului

kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.

Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari

8% yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri

setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak

capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk

sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah

beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit

neurologis.

Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat

fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh

sementara pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai

beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang

menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi

pada kejang demam yang pertama.

6. DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang

telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf

Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun

2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit

3. Kejang bersifat umum

4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam

5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal

tidak menunjukkan kelainan

7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi  4 kali

Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang

demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak

didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.

Tetapi perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula

tejadi pada kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau

radang otak (ensefalitis).

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan

dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang

mempunyai nilai prognostic, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan

kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang dikemudian hari.

Saat ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam

sederhana. Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk

mengevaluasi sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan

gangguan keseimbangan cairan dapat diduga terdapat gangguan  metabolisme

akut, sehingga pemeriksaan elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain

perlu dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya demam.

7. PENATALAKSANAAN

a. Penatalaksanaan Saat Kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang

kejang sudah berhenti. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling

cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena.

Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/ Kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-

2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat praktis yang dapat diberikan oleh orang tua dirumah adalah diazepam

rectal. Efek samping berupa depresi pernafasan jarang ditemukan bila diberikan

secara rectal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/ kg atau diazepam rektal 5

mg untuk anak dengan berat badan < 10 Kg dan 10 mg untuk anak dengan berat

badan > 10 Kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibwah usia 3

tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang

lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2

kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, pasien dianjurkan ke rumah sakit.

Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila

kejang tetap belum berhanti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-

20 mg/ Kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ Kg/ menit atau kurang dari 50 mg/ menit.

Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya diberikan 12 jam setelah dosis awal dengan

dosis 4-8 mg/ kg/ hari. Bila dengan pemberian fenitoin kejang masih belum berhenti

pasien harus dirawat di ruang intensif.

Lorazepam tidak dianjurkan sebab meskipun digunakan secara rektal,

memerlukan waktu hingga 45 menit untuk di absorbsi.

b. Penatalaksanaan Demam

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko

terjadinya kejang demam. Namun antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol

yang digunakan adalah 10-15 mg/ kg/ kali, diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari

5 kali. Ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 5-10 mg/ kg/ kali, diberikan 3-4 kali

sehari.

Asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrome reye terutama pada anak

kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaanya tidak dianjurkan.

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/ Kg setiap 8 jam pada saat demam

dapat menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus. Begitu pula

dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 C. (19, 21, 22)

Diazepam diberikan selama durasi penyakit (sekitar 2-3 hari). Namun, pada dosis

yang cukup tinggi dapat menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat

pada 25-39 % kasus.

Diazepam sering diberikan pada anak dengan ambang batas kejang demam

yang sangat rendah terutama jika kejang terjadi secara berulang dan berlangsung

lama. Diazepam diberikan secara rektal pada saat :

Saat anak demam sebelum kejang

Secepatnya setelah anak kejang

Fenobarbital, carbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna

untuk mencegah kejang demam.

c. Obat Rumatan

Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah

satu ciri sebagai berikut :

Kejang lama berlangsung > 15 menit

Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang. (Misalnya :

hemiparesis, Paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus)

Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak

mempunyai fokus organik.

Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila :

Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

Kejang demam > 4 kali per tahun.

Kelainan neurologis yang tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan

ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumatan.

Jenis antikonvulsan yang digunakan untuk pengobatan rumatan adalah asam

valproat dan fenobarbital. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari

efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Namun pemakaian fenobarbital

setiap hari dapat menimbulkan gangguan prilaku dan kesulitan belajar pada 40-50%

kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutam yang berumur kurang dari 2 tahun, asam

valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa

kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek

samping, maka pengobatan rumatan hanya diberikan terhadap kasus selektif dan

dalam jangka pendek.

Obat rumatan pilihan pada saat ini adalah asam valproat. Dosis asam valproat

adalah 15-40 mg/ kg/ hari dinagi dalam 2-3 dosis. Fenobarbital juga dapat diberikan

dengan dosis 3-4 mg/ kg/ hari dibagi dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumatan diberikan

hingga 1 tahun bebas kejang, kemudian obat dihentikan secara bertahap selama 1-2

bulan.

d. Edukasi

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Kecemasan ini

dapat dikurangi dengan memberikan penjelasan, diantaranya :

o Meyakinkan bahwa kejang demam sederhana sering terjadi dan mempunyai

prognosis yang baik

o Memberitahukan cara penanganan kejang. Terdapat beberapa hal yang harus

dilakukan bila anak kembali kejang :

Tetap tenang dan tidak panic

Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

Bila tidak sadar, pastikan anak tidur terlentang dengan kepala miring.

Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan hidung.

Walaupun ada kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke

dalam mulut.

Ukur suhu tubuh, observasi bentuk kejang dan lama waktu kejang

Tetap berada bersama pasien selama kejang

Berikan diazepam rektal. Diazepam tidak diberikan bila kejang telah berhenti.

Bawa ke dokter/ rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit.

o Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

o Memberitahu bahwa resiko kerusakan otak dan perkembangan menjadi epilepsi

sangat kecil

o Pemberian obat-obatan memang efektif untuk mencegah rekurensi kejang tetapi

harus diingat adanya efek samping obat.

e. Vaksinasi

Kejang dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin whole cell diphtheria-

pertussis-tetanus dan vaksin measles, namun hal ini bukan merupakan efek dari

komponen vaksin. Perjalanan kejang secara klinis sangat identik dengan kejang

demam, sehingga disebut sebagai kejang demam. Frekuensi kejang demam pada

vaksin DPT atau measles adalah 6-9 dan 24-25 per 100.000 anak setelah divaksinasi.

Vaksin pertusis acellular baru tidak menyebabkan demam, sehingga imunisasi dengan

vaksin ini tidak menyebabkan kejang demam. Tidak ada kontraindikasi untuk

melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam.

Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca

vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus/ 100.000 anak yang divaksinasi. Sedangkan angka

kejadian pasca vaksinasi MMR adalah 25-34/ 100.000 anak. Dianjurkan untuk

memberikan diazepam rektal atau oral bila anak demam, terutama setelah vaksinasi

DPT atau MMR. Beberapa dokter merekomendasikan pemberian parasetamol pada

saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

8. KOMPLIKASI

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan

tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lebih lama (>15

menit) yaitu:

a. Kerusakan otak

b. Retardasi mental

c. Biasanya disertai apnoe, hipoksemia, hiperkapnea, asidosislaktat, hipotensi artrial,

suhu tubuh makin meningkat.

9. PROGNOSIS

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan

neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian

retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, biasanya terjadi

pada kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal.

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko

berulangnya kejang demam adalah :

a. Riwayat kejang demam dalam keluarga

b. Usia kurang dari 12 bulan

c. Temperatur yang rendah saat kejang

d. Cepatnya kejang setelah demam

e. Kejang demam kompleks

Bila terdapat seluruh faktor diatas, kemungkinan berulangnya kejang demam

adalah 80%. Sedangkan bila tidak terdapat salah satu faktor diatas, kemungkinan

berulangnya kejang demam adalah 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam

paling besar pada satu tahun pertama setelah kejang.

Anak dengan kejang demam sederhana memiliki resiko yang sama untuk

mengalami epilepsi sebelum usia 7 tahun dengan populasi umum yaitu 1%. Faktor resiko

terjadi epilepsi meningkat di kemudian hari apabila :

a. Kelainan neurologis atau gangguan perkembangan yang jelas sebelum kejang pertama

b. Kejang demam kompleks

c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

d. kejang demam sederhana sebelum usia 9 bulan.

Masing-masing faktor resiko meningkat kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-

6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi

10-49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat

rumatan pada kejang demam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro Hd, Widodo Dp, Ismael S. Konsesus Penatalaksanaan Kejang

Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006

2. Ismael S. Kppik-Xi, 1983; Soetomenggolo Ts. Buku Ajar Neurologi Anak 1999.

3. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi.   Penanganan

Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu

Kesehatan Anak XLVII.Cetakan pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005

B. KEJANG TANPA DISERTAI DEMAM

1. DEFINISI

2. ETIOLOGI

3. PATOFISIOLOGI

4. MANIFESTASI KLINIS

5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

6. PENATALAKSANAAN

7. KOMPLIKASI

8. PROGNOSIS

ASFIKSIA NEONATORUM

1. DEFINISI

Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan

O2 dan mungkin meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat buruk dalam

kehidupan lebih lanjut.

Atas dasar pengalaman klinis, Asfikia Neonaiorum dapat dibagi dalam :

a. "Vigorous baby'' skor apgar 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak

memerkikan istimewa.

b. "Mild-moderate asphyxia" (asfiksia sedang) skor apgar 4-6 pada pemeriksaan

fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari lOOx/menit, tonus otot kurang baik

atau baik, sianosis, refick iritabilitas tidak ada

c. Asfiksia berat: skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan' frekuensi

jantung kurang dari l00x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-

kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.

Asfiksia berat dengan henti jantung yaitu keadaan :

o Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelu lahir lengkap.

o Bunyi jantung bayi menghilang post partum.

2. ETIOLOGI

Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan perlukaran

gas atau pengangkutang O2 dari ibu kejanin. Gangguan ini dapat timbul pada masa

kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sehagian hes;ir asfiksia bayi

baru lahir meriip;ik;in kcltiniutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama

kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau

kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.

Pengolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari:

a. Faktor Ibu

o Hipoksia ibu

Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia

dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.

o Gangguan aliran darah uterus

Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya

pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering ditemukan pada :

Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani

uterus akibat penyakit atau obat.

Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.

Hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.

b. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.

Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,

misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.

c. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam

pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.

Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung,

tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain.

d. Faktor Neonatus

Depresi pusat pernapasan pada bayi baun lahir dapat terjadi karena :

o Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara

langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.

o Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarah intrakranial. Kelainan

konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran

pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.

3. MANIFESTASI KLINIS

Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksi janin yang menimbulkan tanda:

a. DJJ lebih dari 1OOx/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur.

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

c. Apnea

d. Pucat

e. Sianosis

f. penurunan terhadap stimulus.

4. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Diagnosis asfiksia dapat ditegakkan melalui :

a. Dengan mengamati 3 variabel yaitu : usaha nafas, denyut jantung dan warna kulit.

Bila bayi tidak bernafas atau nafas megap-megap, denyut jantung turun, dan kulit

sianosis atau pucat, maka secara klinis dapat ditegakkan diagnosis asfiksia

neonatorum

b. Dengan pemeriksaan analisa gas darah

c. Dengan skor apgar

Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity,

Respiration) asfiksia diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

o Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3

o Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6

o Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9

o Bayi normal dengan nilai APGAR 10

Nilai 0 1 2

Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur

Denyut jantung Tidak ada <100 >100

Warna kulit Biru atau pucat

Tubuh merah

jambu & kaki,

tangan biru.

Merah jambu

Gerakan/tonus otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi

Reflex (menangis) Tidak ada Lemah/lambat Kuat

Cara menghitung : Setelah bayi lahir pada pengamatan berturut-turut menit I,

V, dan X diamati dan dihitung jumlah skor apgar. Normal skor 10, disebut asfiksia

ringan bila skor 7, bila skor 4-6 disebut asfiksia sedang, asfiksia berat bila skor ≤ 3.

a. Anamnesis

o Gangguan/ kesulitan waktu lahir.

o Cara dilahirkan.

o Ada tidaknya bernafas dan menangis segera setelah dilahirkan.

b. Pemeriksaan fisik

o Bayi tidak bernafas atau menangis.

o Denyut jantung kurang dari 100x/menit.

o Tonus otot menurun.

o Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa

mekonium pada tubuh bayi.

o BBLR (berat badan lahir rendah)

c. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium: hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada

darah tali pusat jika:

o PaO2 < 50 mm H2O

o PaCO2 > 55 mm H2

o pH < 7,30

5. RESUSITASI NEONATORUM

Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada

saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal

saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi

cukup bulan, apakah bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik.

Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan

Dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya

dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai

untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini:

a. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas

jika diperlukan, mengeringkan, merangsang)

b. Ventilasi

c. Kompresi dada

d. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume

Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi

langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke

langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan

dan frekuensi denyut jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah

pemberian oksigen tambahan, penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi

denyut jantung, pernapasan, dan status oksigenasi.

Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan

pada tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk

resusitasi neonatus:

Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital

yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk

menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan.

Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara

dibanding dengan oksigen 100%.

Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended

oxygen) , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri.

Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan

trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan

pada bayi dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).

Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui

adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.

Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau

mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati

hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai

panduan.

Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama

10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi

setelah 10 menit.

Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang

tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama

waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.

Langkah Awal

Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan

bayi di bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit

tengadah untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu,

mengeringkan bayi, dan stimulasi napas.

Membersihkan jalan napas:

a. Jika cairan amnion jernih.

Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi

hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan

VTP.

b. Jika terdapat mekonium.

Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan

rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau

depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk

merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan. Praktek yang

dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan

mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama

dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama

jika terdapat bradikardia persisten.

Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen

Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena

adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak bayi.

Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma.

Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:

Resusitasi diantisipasi

VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas

Sianosis menetap

Oksigen tambahan diberikan.

Pemberian oksigen tambahan

Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau

oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk

mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai

dengan udara kamar. Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik

resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan

sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.

Ventilasi Tekanan Positif (VTP)

Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang

dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.

Pernapasan awal dan bantuan ventilasi

Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit

untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per

menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi

denyut jantung.

Tekanan akhir ekspirasi

Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure

(CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir.

Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan

dengan gawat napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung

penggunaan CPAP di ruang bersalin.

Alat untuk ventilasi

Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak

Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece

resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat

digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥34 minggu. LMA

dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil dan intubasi

endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti untuk digunakan

pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau untuk

pemberian obat melalui trakea.

Pemasangan intubasi endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:

Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar.

Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu lama.

Jika dilakukan kompresi dada.

Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir

amat sangat rendah.

Kompresi dada

Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit

setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio

kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi

harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai

frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.

Medikasi

Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi

denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat

dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang

volume atau ke duanya dapat dilakukan.

Epinefrin

Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena

0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat dipertimbangkan sambil

menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi

epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL).

Pengembang volume

Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah

dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya

resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis

10 mL/kg, dapat diulangi.

Perawatan pasca resusitasi

Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai

risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi

adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan.

Nalokson

Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang

bersalin untuk bayi dengan depresi napas.

Glukosa

Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat

untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik

iskemik. Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah

resusitasi dengan tujuan menghindari hipoglikemia.

Hipotermia untuk terapi

Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur kehamilan

36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan berat. Hasil

penelitian ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan neurologik yang

lebih rendah pada bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi

terapi hipotermia. Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan

dilakukan di fasilitas yang memadai.

Penghentian resusitasi

Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10

menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10

menit

DAFTAR PUSTAKA

1. Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus on

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with

Treatment Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287.

2. Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care. Pediatrics 2010;126:e1400-e1413