tugas dian

Upload: renny-al-dhia-sya

Post on 06-Jul-2015

234 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I HUKUM PERORANGAN

1. SUBYEKTUM YURIS Dalam hokum adat di samping manusia juga dikenal badan hokum, sebagai subyek hukum. Badan-badan hukum yang ada ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf dan akhir-akhir ini juga yayasan. Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3). Jawa Tengah mengakui juga sebagai badan hukum, perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi. Di Pulau Bali didapat pula badan-badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa-rupanya siakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hamba setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah colonial, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya lenyap pula dalam masyarakat sehari-hari. (Van Vollenhoven Het Adatrecht van Nederland-Indie jilid II halaman 545). 2. MANUSIA SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS Meskipun pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wenang hukum (Djojodiguno memakai istilah kecakapan berhak) yang sama, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat perkecualian-perkecualian sebagai berikut :

a. Di Jawa Tengah dalam tahun 1934-1938 di dalam beberapa desa, hanyalah orang laki-laki saja yang berhak menjadi kepala desa. b. Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi penghulu-andiko atau mamak-kepala-waris. Lain halnya dengan cakap-hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojodiguno menggunakan istilah kecakapan bertindak). Menurut hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa dalam hukum adat adalah berlainan dengan criteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu (Profesor Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat apabila ia antara lain sudah : a. Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri). Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu. b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri. Menurut hukum adat dewasa ini baru mulai setelah tisak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja. Perlu dijelaskan disini, bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri ataupun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya jadi tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya.

3. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS Perlu mendapat pembahasan adalah kiranya mengenai wakaf dan yayasan, yaitu: Wakaf Ada pendapat yang mengkaitkan perbuatan hukum yang menimbulkan wakaf itu dengan tujuan-tujuan ataupun maksud-maksud religious. Tetapi sesungguhnya dalam realita kita dapat mewakafkan tanah atau barang untuk tiap maksud asalkan tidak bertentangan ataupun tidak dilarang oleh agama. Dalam adat yang sering terlihat adalah dua macam wakaf sebagai berikut : a. Mencadangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk mesjid atau langgar, bahkan jika perlu disertai dengan tanah pertanian yang berada di sekelilingnya guna member kesempatan kepada para pejabat mesjid/langgar untuk memungut hasilnya guna mengongkosi penghidupannya beserta keluarganya, dan juga disertai dengan buku-buku quran untuk dipakai di mesjid atau langgar itu. b. Menentukan sebagian dari harta benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat dijual demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya. Lembaga hukum wakaf ini asalnya dari hukum Islam. Oleh karenanya, maka pelaksanaannya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam seperti yang berikut : 1. Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang diinginkan akan diwakafkan. 2. Benda yang diwakafkan harus ditunjuk dengan terang dan maksud serta tujuannya yang tidak bertentangan/dilarang agama, harus dijelaskan. 3. Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang. 4. Maksudnya harus tetap.

5. Yang menerima wakaf harus menerimanya (Kabul). Mereka yang mewakafkan dapat menunjuk seorang-orang untuk mengurus harta-benda yang diwakafkan itu. Apabila orang yang dikuasakan ini tidak ada, maka khususnya di Jawa, kepala mesjid/langgar melakukan pekerjaan itu karena jabatannya. Semua tindakan-tindakan yang wajib dilakukan untuk mencapai tujuan wakaf, termasuk pula pelaksanaannya, adalah tugas daripada penguasa wakaf. Yayasan Masyarakat membutuhkan juga suatu badan hukum yang tidak terikat oleh syarat-syarat hukum Islam. Badan hukum yang demikian ini adalah yayasan dan koperasi. Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial. Yayasan demikian ini dapat dibentuk dengan akta pembentukan. Akhir-akhir ini dijumpai pula yayasan-yayasan di kalangan masyarakat yang bergerak di bidang kematian, bidang pemeliharaan anak yatim piatu dan lain sebagainya.

BAB II HUKUM KEKELUARGAAN

1. KETURUNAN Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara yang seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur, adaalah keturunan yang seorang dari yang lain. Pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan kepada hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga kita melihat bahwa pada umumnya ada akibat-akibat ketunggalan leluhur, akibat-akibat hukum ini tidak semua sama di seluruh daerah. Tetapi meskipun akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur ini di seluruh daerah tidak sama, toh dalam masalah keturunan ini di seluruh daerah yaitu bahwasanya keturunan suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Oleh karena itu, maka, apabila ada sesuatu cl n, suku ataupun kerabat yang a khawatir akan menghadapi kenyataan tidak memiliki keturunan, clan, suku maupun kerabat ini pada umumnya melakukan pemungutan anak (adopsi) untuk menghindari kepunahannya. Keturunan dapat bersifat : a. Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan anak, antara kakak, bapak dan anak,. Disebut lurus ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapka ke anak, sedngkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.

b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau se-kakek-nenek dan lain sebagainya. 2. HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah masyarakat adat. Kecuali oleh orang tuanya anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelinsung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri. Oleh karenanya, maka sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, xdalam masyarakata adat dapat banyak upacara-upacara adat yang sifatnya religio-magis serta yang

penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti pertumbuhan fisik anak tersebut yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya dari segala bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak setelah anak dilahirkan, supaya anak dimaksud dapat menjelma menjadi seorang anak yang dapat memenuhi harapan orang tuanya. a. Anak lahir di luar perkawinan Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon, misalnya, wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak bersangkutan, jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anakadalam perkawinannya yang sah.

Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuan (artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan-kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak. Apakah sebabnya dahulu ada tindakan tindakan yang sekeras ini di beberapa daerah, sebabnya adalah takut melihat adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatanselamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si-ibu beserta anaknya yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria yang bersangkutan diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak itu. Tindakan demikian ini selalu diambil oleg rapat marga di Sumatera Selatan. Demikian juga di Bali, bahkan di daerah ini apabila pria dimaksud tidak mau mengawini wanita yang telah melahirkan anak itu, ia dapat dijatuhi hukuman. b. Anak lahir karena hubungan zinah Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, suaminya itu menjadi bapak anak yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena zinah itu.

Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan seperti halnya dalam hukum Islam yang menetapkan waktu lebih dari enam bulan setelah nikah sebagai syarat kelahiran abak agar diakui sebagai anak yang sah. Memang harus diakui, bahwa ketentuan dalam hukum Islam ini disana sini mempengaruhi hukum adat yang berlaku. c. Anak lahir setelah perceraian Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. Pada waktu yang lalu masih banyak dijumpai seorang laki-laki yang memelihara selir di samping istrinya sendiri. Anak yang lahir dari selir-selir ini mempunyai kedudukan serta hak-hak (misalnya hak warisan) yang tidak sama dengan anak -anak dari istri. Anak-anak dari istri mempunyai hak-hak lebih banyak. Hubungn anak dengan orangtua (anak bapak atau anak ibu) ini menimbulkan akibat-akibat hukum yang berikut : a. Larangan kawin antara anak-bapak atau anak-ibu. b. Saling berkewajiban memelihara dan member nafkah. Menurut hukum adat di jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayai penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa tidak semata-mata dibebankan hanya kepada ayah anak tersebut, tetapi kewajiban itu juga ditugaskan kepada ibunya. 3. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

Seperti telah diketahui, maka di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak-ibu. Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu misalnya, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga dari pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral demikian ini, maka masalah-masalah tentang larang kawin, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap kedua belah pihak keluarga adalah sama. Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaannya adalah unilateral, yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu). 4. MEMELIHARA ANAK PIATU Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya, bapak atau ibunya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak -anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan pihak bapak-ibu orang tua yang masih hidup yang memelihara anak -anak tersebut lebih lanjut. Jika kedua-dua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam hal ini, pada umumnya sangat menentukan lingkungan di mana anak-anaka tersebut semasa masih hidupnya orang tua diasuh, kalau pengasuhan sebelumnya dilakukan dalam lingkungan keluarga pihak ibu, maka setelah ditinggalkan orang tuanya, anak-anak yang belum dewasa itu sudah biasa hidup di kalangan kerabat

pihak ibu, sehingga mengingat akan hal ini, demi kepentingan anak-anak sendiri lazimnya pemeliharaan seterusnya dilakukan oleh seorang warga keluarga pihak ibu. Dan demikian halnya juga apabila sebelumnya pemeliharaan anak-anak dilakukan dalam lingkungan kerabat pihak bapak. Anak-anak yang sudah besar pada umumnya memilih sendiri ingin selanjutnya dipelihara oleh siapa. 5. MENGANGKAT ANAK (ADOPSI) Mengangkat anaka (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Perbuatan mengangkat anak demikian ini adalah merupakan gejala yang umum dalam Negara Indonesia. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatanpengangkatan anak yang berikut : 1. Mengangkat anak bukan keluarga 2. Mengangkat anak dari kalangan keluarga 3. Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan

BAB III HUKUM PERKAWINAN

1. ARTI PERKAWINAN Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Malahan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan jug merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwaharwah para leluhur serta seluruh keluarganya mengharapkan jug restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami istri. Bahwa setelah perkawinan suami istri itu merupakan satu ketunggalan adalah terbukti antara lain karena : a. Menurut adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua mempelai itu pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka masing -masing pakai hingga saat ini (nama kecil) serta kemudian memperioleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai bersama. b. Sesebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami istri, yaitu garwa (jawa). Istilah ini berasal dari kata-kata sigara-ning nyawa (artinya adalah belahan jiwa). Jadai jelas dari sesebutan tersebut di atas, nyata sekali pandangan orang jawa bahwa suami istri itu merupakan satu ketunggalan.

c. Adanya ketunggalan harta benda dalam perkawinan yang disebut harta-gini. 2. PERTUNANGAN Pertunangan adalah merupakan suatu stadium (keadaaan) yang bersifat khusus yang di Indonesia ini biasanya mendahului dilangsungkannya satu perkawinan. Stadium pertunangan ini timbul setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga bakal suami dan pihak keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah lebih dahulu ada suatu lamaran, yaitu suatu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Lamaran ataupun meminang demikian ini, lazimnya dilakukan oleh seorang utusanm duta yang mewakili keluarga pihak laki-laki. Pada uimumnya yang ditugaskna sebagai duta untuk mengadakan pembicaraan yang pertama kalinya dengan keluarga pihak perempuan itu adalah anggota keluarga yang dekat serta biasanya yang sudah berumur (sekarang banyak pula yang dilakukan oleh kedua orang tua kedua belah pihak). Dasar alasan pertunangan adalah tidak sama di semua daerah, lazimnya adalah : 1. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah dilangsungkan dalam waktu dekat. 2. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara mudamudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan tersebut. 3. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal, sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.

3. PERKAWINAN TANPA LAMARAN DAN TANPA PERTUNANGAN Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian ini kebanyakan diketemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal, tetapi dalam persekutuan yang matrilineal dan parental (garis bapak-ibu) meskipun agak lebih kurang toh terdapat juga. Alasan terjadinya perkawinan corak ini pada umumnya adalah untuk membebaskan diri dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dengan lamaran dan pertunangan, seperti misalnya memberi paningset, memberi hadiah barang dan lain sebagainya atau untuk menghindari turut campur, bahkan tantangan dari pihak orang tua dan keluarga. 4. PERKAWINAN DALAM PELBAGAI SIFAT KEKELUARGAAN Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar untuk dapat dipahami tanpa dibarengi dengan peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti telah diketahui, maka di Indonesia ini terdapat tiga macam sifat susunan kekeluargaan, yaitu patrilineal, matrilineal dan parental. Oleh karena corak corak perkawinan dalam masing-masing sifat susunan kekeluargaan dimaksud di atas adalah berbeda, maka sebaiknya tinjauan kita dilakukan menurut masing -masing sifat susunan kekeluargaan sebagai berikut : a. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal b. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal c. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental

5. SISTEM PERKAWINAN Kita mengenal 3 macam sistem perkawinan yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami. a. Sistem endogami Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang sekali terdapat di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi dalam waktu dekat, di daerah ini pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan lain-lain daerah akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. b. Sistem exogami Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Sistem demikian ini terdapat misalnya di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. Dalam perkembangan jaman ternyata, bahwa sistem exogami ini dalam daerahdaerah tersebut di atas lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, hingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. c. Sistem eleutherogami Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistem endogami ataupun exogami. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena nasab (turunan yang dekat), seperti kawin

dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus ke atas dank e bawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. 6. PERKAWINAN ANAK-ANAK Kecuali di beberapa daerah, yaitu Kerinci, di Roti dan pada suku Toraja, maka adat tidaklah melarang perkawinan antara orang-orang yang masih kanak-kanak. Khususnya di Pulau Bali perkawinan gadis yang belum dewasa itu merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman. Tetapi meskipun di kebanyakan daerah perkawinan anak-anak itu diperkenankan di dalam kenyataan, biasanya tidak akan terjadi, bahwa orang tua atau wali dari anak anak itu akan member izin mereka kawin sebelum mereka masing-masing mencapai umut yang pantas, yaitu 15 atau 16 tahun bagi orang perempuan dan umur 18 atau 19 tahun bagi orang laki-laki. 7. PENGARUH AGAMA ISLAM DAN AGAMA KRISTEN TERHADAP

PERKAWINAN ADAT Bila sesuatu masyarakat memeluk agama Islam atauapun Kristen, maka terlihat adanya pengaruh agama yang bersangkutan terhadap ketentuan-ketentuan tentang perkawinan adat. Perkawinan secara Islam ataupun Kristen tidak memberikan kewenangan turut campur yang begitu jauh dan menentukan pada keluarga, kerabat dan persekutuan seperti dalam adat. Oleh karena itu perkawinan menurut hukum agama Islam dan Kristen itu membuka jalan bagi mereka yang memeluk agama-agama tersebut untuk menghindari kekuasaan-kekuasaaan kerabat, keluarga dan persekutuan seperti keharusan memilih istri dari hula-hula yang bersangkutan keharusan exogami, keharusan endogami dan lain sebagainya.

Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini jalan terus dan akhirnya ternyata, bahwa : a. Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Islam itu menjadi satu bagian dari perkawinan adat keseluruhannya. b. Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat yang betulbetul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen saja yang masih dapat diturut. 8. ACARA NIKAH Acara nikah menurut agama Islam ini merupakan suatu bagian dari pada seluruh upacara-upacara perkawinan adat. Dengan demikian, maka sebelum dan sesudah nikah, masih terdapat upacara-upacara perkawinan adat yang di seluruh daerah hingga kini senantiasa masih dilakukan dengan penuh khidmat. Nikah secara Islam ini yang dilaksanakan menurut hukum fiqh adalah merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat. Nikah merupakan juga hal yang amat penting baik bagi yang bersangkutan, yaitu suami istri, maupun masyarakat pada umumnya, ialah merupakan penentuan, mulai saat manakah dapat dan harus dikatakan, bahwa ada suatu perkawinan selaku suatu kejadian hukum dengan segala akibat hukum-hukumnya. 9. UPACARA-UPACARA PERKAWINAN ADAT Upacara-upacara adat pada sesuatu perkawinan ini adalah berakar pada adat istiadat sert kepercayaan yang sejak dahulu kala, sebelum agam Islam masuk di Indonesia, telah diturut dan senantiasa dilakukan. Upacara-upacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari

sesudah upacara nikah. Upacara ini di pelbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing. 10. PERCERAIAN Perceraian adalah menurut adat merupakan peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah. Pada asasnya tiap keluarga, kerabat serta persekutuan menghendaki sesuatu perkawinan yang sudah dilakukan itu, dipertahankan untuk selama hidupnya. Pada asasnya dan sedapat-dapatnya, artinya apabila memang menurut keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan bukan bagi suami istri saja, melainkan juga kepentingan keluarga kedua belah pihak, bahkan malahan juga demi kepentingan keseluruhan perlu dilakukan, maka perbuatan itu dapat dijalankan. 11. AKIBAT-AKIBAT PERCERAIAN Setelah bercerai bekas suami istri tersebut masing-masing dapat kawin lagi. Menurut hukum adat dan hukum Islam, bekas istri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas suaminya, sedangkan menurut hukum Kristen ini dapat serta diatur dalam pasal 62 ordonansi tanggal 25 Pebruari 1933 Staatsblad Nomor 74. Kesalahan pada satu pihak menyebabkan pihak yang lain mempunyai hak yang lebih terhadap anak-anaknya. Sangat penting dan menentukan adalah pilihan anak-anak itu sendiri, juga penting adalah siapa dari orangtua mereka yang dalam kenyataannya memelihara mereka.

BAB IV HUKUM HARTA PERKAWINAN

1. FUNGSI HARTA PERKAWINAN Perkawinan itu, kecuali seperti yang dijelaskan di muka mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, berpokok tujuan juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai ongkos kehidupan mereka sehari-harinya, beserta anak-anaknya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut harta perkawinan, benda perkawinan, harta keluarga ataupun harta benda keluarga. Harta perkawinan yang merupakan kekayaan duniawi guna memenuhi segala keperluan hidup somah ini wajib dibedakan dari harta kerabat. Memang harus diakui, bahwa kadang-kadang batas-batas antara harta perkawinan atau harta keluarga dengan harta kerabat atau harta family itu sangat lemah dan tidak mudah dilihat, tetapi juga kadang-kadang sangat jelas dan tegas. 2. PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN DALAM 4 GOLONGAN Harta perkawinan lazinya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut : a. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan. b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.

c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama. d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan sitri bersama pada waktu pernikahan. 3. BARANG-BARANG PENGHIBAHAN Barang-barang ini tetap menjadi milik suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan, juga kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka itu meninggal serta mereka itu tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu kembali kepada keluarga dari suami atau istri yang meninggal dunia itu, jadi tidak diwariskan kepada suami atau istri yang masih hidup. Maksudnya supaya barang-barang itu tidak hilang dan kembali ke asalnya. Jadi barang-barang milik suami dan istri yang diterima sebagai warisan atau hibah, tetapi terpisah satu dari yang lain, sampai pada saatnya barang-barang itu secara warisan beralih kepada anak-anak mereka kalau ada. Anak-anak dan seterusnya keturunannya inilah yang melanjutkan hak atas kekayaan dari suatu keluarga. 4. BARANG-BARANG YANG DIPEROLEH ATAS JASA SENDIRI Baik suami maupun istri masing-masing mempunyai kemungkinan untuk dalam masa perkawinan itu, memiliki barang-barang sendiri atas jasa-jasanya sendiri. Adapaun besar dan kecilnya kemungkinan ini sangat tergantung kepada kuat atau tidaknya pengaruh-pengaruh daripada ketentuan-ketentuan kekayaan family (kerabat) di satu pihak dan ketentuan-ketentuan kekayaan somah di lain pihak. Pada keluarga di mana ikatan family atau kerabat sangat kuat, maka barang barang yang baru didapat itu sejak semula menjadi milik yang memperoleh barang itu YANG DIPEROLEH SECARA WARISAN ATAU

sendiri dan kelak barang-barang itu sebagai harta warisan akan diterima oleh para ahli waris dalam pertalian kerabat itu, kecuali apabila ada anak-anak dalam keluarga tersebut sehingga barang-barang itu oleh pemiliknya dapat diwariskan kepada anak-anaknya sendiri. 5. BARANG-BARANG YANG DALAM MASA PERKAWINAN DIPEROLEH SUAMI DAN ISTRI SEBAGAI MILIK BERSAMA Adanya milik bersama terhadap barang-barang yang sedemikian ini adalah sudah merupakan gejala umum, bahkan telah menjadi asas umum dalam hukum adat. Gejala dan asas umum ini pada hakikatnya adalah merupakan konsekuensi daripada proses umum dalam perkembangan adat, yaitu bahwa makin lama Nampak makin jelas kuatnya pertumbuhan kedudukan hukum somah (keluarga terdiri atas suami istri dan anak-anak) di dalam suatu persekutuan hukum. Di lain-lain daerah yang mengenal adanya milik bersama suami sitri, menganggap termasuk milik bersama suami istri segala kekayaan yang selama berlangsungnya perkawinan, diperoleh suami atau istri, asal saja dua-duanya bekerja untuk keperluan somah. Dan pengertian bekerja itu sendiri lama kelamaan menjadi sangat luas dan kabur, sehingga seorang istri yang pekerjaannya di rumah saja, berupa memelihara anak-anak dan mengurus rumah tangga, sudah dianggap bekerja juga, sehingga juga dalam hal ini semua kekayaan yang inconcreto didapat oleh suami menjadi milik bersama ini sudah wajar, sebab meskipun si istri tidak bekerja sendiri untuk memperoleh barang-barang tersebut, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, si suami telah menerima bantuan yang sangat berharga serta yang sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, jadi juga mempengaruhi secara tidak langsung tambah atau kurangnya milik bersamanya itu.

6. BARANG-BARANG HADIAH PADA WAKTU PERNIKAHAN Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya diperuntukkan mempelai berdua, oleh karenanya maka barang-barang tersebut menjadi harta milik bersama suami istri. Tetapi ada kalanya pada saat pernikahan itu terjadi pemberian barang atau kadang-kadang juga uang kepada istri, mempelai perempuan, dari bakal suami atau dari anggota famili, barang-barang ini biasanya tetap menjadi milik istri sendiri.

BAB V HUKUM ADAT WARIS

1. PENGERTIAN HUKUM ADAT WARIS Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Proses peralihannya itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai semsa pemilik harta kekayaan itu sendiri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri (mentas dan mencar (jawa) yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya (keturunannya) juga. Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa kita wajib mengadakan pemisahan yang jelas antara proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan pada masa pemiliknya masih hidup dan proses pada waktu sesudah pemiliknya meninggal dunia. 2. SIFAT HUKUM ADAT WARIS Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum adat waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliranaliran pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka hukum adat waris memperlihatkan perbedaan yang prinsipal dengan hukum waris barat.

Hukum adat waris sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu. Lain daripada itu, hukum adat waris juga mendapat pengaruh tidak hanya dari perubahan-perubahan sosial, misalnya yang disebabkan makin kuatnya hubungan kekeluargaan somah dan makin lemahnya ikatan clan dan kerabat, tetapi juga dari peraturan-peraturan hukum asing sejenis yang oleh para hakim agama selalu diterapkan in concreto walaupun pengaruhnya itu sangat kecil. 3. SISTEM KEWARISAN ADAT Di Indonesia kita menjumpai tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut : a. Sistem kewarisan individual Cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di jawa. b. Sistem kewarisan kolektif Cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau. c. Sistem kewarisan mayorat Cirinya harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali di

mana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah-Semendo di Sumatera Selatan di mana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua. 4. HARTA PENINGGALAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI- BAGI Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini, berdasarkan atas alasannya tidak dibagi-bagi, dapat dibeda-bedakan sebagai berikut : a. Karena sifatnya memang tidak menungkinkan untuk dibagi-bagi b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempt/jabatan tertentu c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan d. Karena pembagiannya untuk smentara ditunda e. Karena hanya diwaris oleh seorang saja Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya yang memang tidak member kemungkinan untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama, dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimaksud merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi bagi, atau barang itu merupakan lambing persatuan serta keastuan daripada keluarga yang bersangkutan. 5. PENGHIBAHAN ATAU PEWARIS Merupakan kebalikan daripada harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi adalah perbuatan penghibahan atau pewarisan, yaitu pembagian keseluruhan ataupun sebagian dari pada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup. Adapaun dasar pokok ataupun motif daripada penghibahan ini adalah tidak berbeda dengan motif daripada tidak memperbolehkan membagi-bagi hrta peninggalan kepada para ahli waris yang berhak, yaitu harta kekayaan somah merupakan dasar kehidupan materiil yang disediakan bagi warga somah yang bersangkutan beserta keturunannya.

6. HIBAH-WASIAT,

WEKASAN,

(JAWA),

UMANAT

(MINANGKABAU),

PENUNEUSAN, (ACEH), NGENDESKAN (BATAK) Hibah-wasiat merupakan juga suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa masih hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku seteah ia meningga dunia. Keinginan terakhir ini, lazimnya diucapkan pada waktu sipeninggal warisan sudah sakit keras serta tidak dapat diharapkan sembuh kembali lagi, bahkan kadang kadang dilakukan pada saat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Maksud dari hibah-wasiat itu adalah terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya. Maksud kedua ialah untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya di kemudian hari di antara para ahli waris. Selain dari pada itu, dengan hibah-wasiat peninggal warisan menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang-barang yang akan menjadi harta warisan seperti barang pusaka, barang yang disewa, barang yang dipegang dengan hak gadai dan lain sebagainya. 7. HARTA KEKAYAAN KELUARGA YANG MERUPAKAN HARTA

PENINGGALAN Harta peninggalan keluarga tidak merupakan satu kumpulan ataupun kesatuan harta benda yang semcam dan seasal. Oleh karena itu, maka pelaksanaan pembagiannya kepada para ahli waris yang berkepentingan tidak dapat begitu saja dilakukan melainkan wajib diperhatikan sepenuhnya sifat (macam), asal dan kedudukan hukum daripada barang-barang itu

masing-masing. Dan sekarang tergantung daripada sifat (macam), asal dan kedudukan hukum dari barang-barang yang ditinggalkan itu, apakah atau bagaimanakah kekuasaan atas barang-barang itu akan beralih kepada para ahli waris atau beberapa orang dari mereka. 8. PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN Pembagian harta peninggalan dalah merupakan suatu perbuatan daripada para ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama daripada para ahli waris. Apabila harta peninggalan dibagi-bagi antara para ahli waris, maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun, di dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris. Pemabgian berjalan atas dasar kerukunan. Sebagai contoh dapat dikemukakan kebiasaan di daerah Banten, yakni bahwa rumah tinggal orang tua biasanya dibagikan kepada anak perempuan, oleh karena si suami lazimnya datang berdiam di rumah istrinya. 9. PARA AHLI WARIS Unsure ahli waris ini, seperti telah diuraikan pada awal paragraph ini menimbulkan suatu persoalan, yaitu bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara si peninggal warisan di satu pihak dan para ahli waris di lain pihak, agar harta kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada para ahli waris. Dalam hukum adat anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu -satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga, tidak menjadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak.

BAB VI HUKUM TANAH

1. KEDUDUKAN TANAH DALAM HUKUM ADAT SANGAT PENTING Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu : a. Karena sifatnya Merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, tetapi masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. b. Karena fakta Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. 2. HAK PERSEKUTUAN ATAS TANAH Mengingat akan fakta dimaksud di atas, maka antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabnkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu.

3. HAK PERSEORANGAN ATAS TANAH Hak perseroangan atas tanah dibatasi oleh hak ulayat, sebagai seorang warga persekutuan maka tiap individu mempunyai hak untuk : a. Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan lain sebagainya. b. Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan. c. Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. d. Membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah it uterus menerus. e. Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan. 4. TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH Kita mengenal 2 macam transaksi tanah, yaitu pertama yang merupakan perbuatan hukum sepihak, dan kedua yang merupakan perbuatan hukum dua pihak. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak contohnya yaitu pendirian suatu desa. Sekelompok orang-orang mendiami suatu tempat tertentu dan membuat perkampungan di atas tanah itu, membuka tanah pertanian, mengubur orangorang yang meninggal dunia di tempat itu dan lain sebagainya sehingga lambat laun tempat itu menjadi desa, lambat laun timbul hubungan religio-magis antara desa dan tanah tersebut, tumbuh suatu hubungan hukum antara desa dan tanah dimaksud, tumbuh suatu hak atas tanah itu bagi persekutuan yang bersangkutan, yakni hak ulayat. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak, intinya daripada transaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah perbuatan hukum ini disebut transaksi jual. Transaksi ini supaya merupakan perbuatan hukum yang sah, artinya supaya berhak mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan ini, maka perbuatan tersebut menjadi terang dan tidak gelap.

5. TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN TANAH Transaksi dimaksud di atas terjadi, apabila pemilik tanah memberikan izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwayang mendapat izin itu harus memberikan sebagian hasil tanahnya kepada pemilik tanah. Dasar transaksi adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak ingin atau tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya itu.

BAB VII HUKUM HUTANG PIUTANG

Dalam hukum adat hutang piutang tidak hanya meliputi ataupun mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang menyngkut masalah kredit perseorngan saja, tetapi juga masalah-masalah yang menyangkut : a. Hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang. b. Sumbang menyumbang, sambat sinambat, tolong menolong. c. Panjer. 1. HAK ATAS PERUMAHAN, TUMBUH TUMBUHAN, TERNAK DAN BARANG Perbedaaan prinsipal antara hak ini dengan hak-hak atas tanah adalah, bahwa terhadap hak ini berlaku terutama hak milik perseorangannya, sedangkan pada hak atas tanah hak persekutuanlah yang lebih diutamakan. Dalam prinsipnya hak milik atas rumah dan tumbuh tumbuhan terpisah dari pada hak milik atas tanah di mana rumah atau tumbuh tumbuhan itu berada. Jadi ini artinya, bahwa seseorang dapat memiliki rumah atau/dan pohon-pohonan di atas pekarangan milik orang lain. 2. SUMBANG MENOLONG Tolong menolong yang kita jumpai dalam adat, ternyata ada yang mempunyai dasar gotong royong, artinya tanpa ada pikiran supaya di kemudian hari dapat menerima balasan pertolongan sekarang memberikan satu pertolongan. Ada pula tolong menolong yang bermotif, supaya di kemudian hari menerima pertolongan pula atau oleh karena MENYUMBANG, SAMBAT MENYAMBAT, TOLONG

telah menerima pertolongan merasa berkewajiban untuk membalas memberi pertolongan sepadan. 3. PANJER Perbedaan antara perjanjian dengan panjer dan perbuatan kontan adalah jelas sekali, yakni bila dengan panjer mengandung janji untuk melaksanakan apa yang telah dimufakati bersama di kemudian hari, dan perbuatan kontan mengandung prestasi (perbuatannya dilaksanakan pada saat permufakatan itu tercapai). 4. KREDIT PERSEORANGAN Hutang atau pinjam uang adalah merupakan perbuatan normal dalam masyarakat Indonesia, baik pinjaman yang memakai maupun yang tidak memakai bunga. Meskipun memungut bunga menurut agama Islam tidak dibenarkan, tetapi dalam kenyataan banyak orang atau perkumpulan juga yang melakukan peminjaman dengan bunga.

BAB VIII HUKUM ADAT DELIK

1. PENGERTIAN DELIK ADAT Ter Haar mengartikan suatu delik itu sebagai tia[-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immateriil milik hidup seorang atau kesatuan (persatuan) orang-orang, yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, dengn reaksi adat ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Macam serta besarnya reaksi ditentukan oleh hukum adat yang bersangkutan, lazimnya ujud reaksi tersebut adalah suatu pembayaran delik dalam uang atau barang. 2. SIFAT PELANGGARAN HUKUM ADAT Hukum adat tidak mengadakan perpisahakan antara pelanggaran hukum ya ng mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata. Oleh karenanya maka sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam hal penuntutan, satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun untuk penuntutan secara kriminil. Ini berarti, bahwa petugas hukum yang berwenang untuk mengambil tindakantindakan konkrit (reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu, adalah tidak seperti dalam sistem hukum Barat, yaitu hakim pidana untuk perkara pidana dan hakim perdata untuk perkara perdata, melainkan satu pejabat saja, yakni Kepala Adat, Hakim perdamaiana desa atau Hakim Pengadilan Negeri untuk semua macam pelanggaran hukum adat.

3. LAHIRNYA DELIK ADAT Lahirnya delik adat itu tidak berbeda dengan lahirnya tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum, apabila pada suatu ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturn itu atau pada suatu ketika petugas hukum yang bersangkutan bertindak untuk mencegah pelanggaran itu. 4. KEDUDUKAN INDIVIDU DALAM MASYARAKAT Dalam hal ini terdapat perbedaan yang menyolok antara aliran pikiran dunia Barat dan aliran pikiran tradisional Indonesia. Aliran dunia Barat yang bersifat liberalistis adalah bercorak rasionalistis dan intelektualistis. Agama, ekonomi, kesenian dan lain sebagainya menurut aliran pikran Barat mempunyai lapangan sendiri sendiri yang satu terpisah dari yang lain. 5. LAPANGAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT DELIK Perkara delik adat itu dapat bersifat : a. Melulu delik adat misalnya pelanggaran peraturan-peraturan exogami, pelanggaran peraturn panjer atau peraturn-peraturan khusus adat lainnya. b. Di samping delik adat, juga bersifat delik menurut KUH Pidana misalnya delik-delik terhadap harta kekayaan seseorang, menghina seseorang dan lain sebagainya. 6. PETUGAS HUKUM UNTUK PERKARA ADAT Menurut Undang-Undang Darurat No.1 tahun 1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Staatblad No.102 tahun 1935, Staatblad No.102 tahun 1945, maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkar delik adat.

Di dalam kenyataan sekarang ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus merupakan delik menurut KUH Pidana. 7. BEBERAPA PERBEDAAN POKOK ALIRAN ANTARA SISTEM HUKUM PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM ADAT DELIK a. Suatu pokok dasar kitab hukum kriminil tersebut ialah, bahwa yang dapat dipidana hanyalah seorang manusia saja. Persekutuan hukum Indonesia seperti desa, kerabat atau famili dan lain sebagainya tidak mempunyai tanggung jawab kriminil terhadap delik yang diperbuat oleh seorang warganya. b. Pokok prinsip yang kedua dari KUH Pidana ialah, bahwa seseorang hanya dapat dipidana, apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun dalam kekhilafan, pendek kata apabila ia mempunyai kesalahan. c. Sistem KUH Pidana mengenal serta membeda-bedakan masalah membantu perbuatan delik, membujuk, dan ikut berbuat (pasal 55 dan 56). d. Sistem KUH Pidana menetapkan percobaan sebagai tindak pidana (pasal 53). 8. ALASAN-ALASAN YANG DAPAT MENUTUP KEMUNGKINAN UNTUK DIPIDANA, DAPAT MERINGANKAN DAN DAPAT MEMBERATKAN PIDANA Alasan-alasan untuk memberatkan pidana adalah misalnya kedudukan seseorang dalam persekutuan. Makin tinggi kedudukan dalam persekutuan, makin berat sifat delik yang dilakukan terhadapnya, jadi juga makin berat hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Misalnya seorang kepala adat akan mendapat hukuman yang lebih daripada seorang warga biasa dari persekutuan yang bersangkutan untuk suatu delik yang sama. 9. KEWAJIBAN PETUGAS HUKUM ADAT

Para petugas hukum di dalam masyarakat adat melahirkan di dalam penetapanpenetapannya, apa yang hidup sebagai rasa keadailan di dalam masyarakat. Dengan peneteapan itu, rasa keadailan tersebut dituangkan dalam bentuk yang konkrit. Di dalam rangka sistem hukum adat, hakim berwenang, dan berkewajiban jikalau terhadap suatu soal belum ada peraturan hukum yang positif, member putusan yang mencerminkan rasa keadilan rakyat yang bertumbuh baru, wajib member konkretisasi, wajib menuangkan menajdi konkrit di dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai dengan aliran masyarakat.