tugas cuti

Upload: putu-andina-hineni

Post on 13-Jul-2015

298 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pegawai negeri merupakan profesi yang cukup berdedikasi mengingat lingkungan pekerjaannya yang berkaitan dengan pelayanan publik. Dalam pelayanan publik inilah seorang pegawai negeri dituntut untuk dapat berkinerja secara profesional. Kenyataannya, citra pegawai negeri jauh dari kata profesional. Layaknya telah kehilangan integritasnya, masyarakat seringkali menghujat profesi ini. Bahkan, tak sedikit yang mengaitkannya dengan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang lekat dengan bidang layanan publik ini pun dirasa sangat rumit dan bertele-tele hingga tak heran banyak warga yang lebih memilih menggunakan jasa calo untuk mempercepat suatu proses adminstrasi tertentu. Namun anehnya, profesi ini masih menjadi favorit bangsa ini. Mungkin kerangka pikir masyarakat Indonesia yang telah terdoktrin untuk mengarahkan anak-anaknya menjadi seorang aparatur negara hanya karena adanya santunan biaya hidup saat pensiun dari pekerjaan ini. Profesi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti pegawai negeri ini memang cukup membutuhkan komitmen yang tinggi. Ya, karena bersentuhan langsung dengan masyrakat inilah seorang pegawai negeri hendaknya dapat melayani masyarakat secara prima meskipun sedikit masyarakat yang memberikan feed back positif dan siap untuk menerima celaan ketika dinilai gagal menjalankan tugasnya sebagai public servant. Profesionalitas pegawai negeri adalah pelayanan prima bagi masyarakat di mana masyarakat akan merasa sangat terbantu dan terlayani dengan baik. Bagi pegawai negeri itu sendiri cerminan profesionalitasnya tidak terbatas pada keahlian yang dimiliki sesuai bidangnya, melainkan juga harus menjunjung tinggi kedisiplinan sebagai kunci meraih kesuksesan dalam bidang pelayanan publik. Kedisiplinan menjadi hal yang sangat krusial sekarang ini. Sebagaimana publik ketahui, adalah hal biasa ketika menjumpai beberapa pegawai negeri yang melenggang di ruang publik pada jam-jam kerja. Hal semacam inilah yang dapat merusak citra pegawai negeri dan menjauhkannya dari etika profesionalitas dalam bekerja.

1.2. PERUMUSAN MASALAH a. Profesional yang seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang pegawai negeri? b. Hal apa saja yang mempengaruhi profesionalitas pegawai? c. Seberapa besar pengaruh disiplin kerja terhadap profesionalitas pegawai? d. Seberapa besar pengaruh profesionalisme dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap efektivitas kerja pegawai? e. Berbagai kendala-kendala yang dihadapi dalam meningkatkan efektivitas kerja pegawai

1.3. TUJUAN

BAB II PERMBAHASAN

2.1. PROFESIONALITASProfesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar (MenPAN, 2002 : 25). Yang dimaksud profesional adalah kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima masyarakat (MenPAN, 2002 : 14). (Majalah Manajemen Pembangunan, 2000 : 45) menyatakan bahwa profesionalisme di dunia kerja bukan sekedar ditandai oleh penguasaan IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan IPTEK itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Se-orang profesional harus dapat; (1) memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi dirinya sendiri maupun organisasi atau perusahaan dimana ia bekerja serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; (2) mencerminkan sikap dan jati diri tehadap profesinya dengan kesungguhan untuk mendalami, menguasai, menerapkan dan bertanggungjawab atas profesinya; (3) memiliki sifat intelektual serta mencari dan mem-pertahankan kebenaran; (4) mengutamakan dan mendahulu-kan pelayanan yang maksimal di atas imbalan jasa, tetapi ti-dak berarti bahwa jasanya diberikan tanpa imbalan. Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (1996 : 206-207), bahwa manusia profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki keahlian serta kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi keahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusan-keputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya.

Menurut Affandi (2002 : 88-89), ada empat ciri-ciri yang bisa ditengarai sebagai petunjuk atau indikator untuk melihat tingkat profesionalitas seseorang, yaitu :

1. Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang dibidang tertentu, dan ketekunan mengikutiperkembangan ilmu yang dikuasai;

2. Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang berguna bagikepentingan sesama;

3. Ketaatan dalam melaksanakan dan menjunjung tinggi etika keilmuan, serta kemampuannyauntuk memahami dan menghormati nilai-nilai sosial yang berlaku dilingkungannya;

4. Besarnya rasa tanggungjawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga,serta diri sendiri atas segala tindak lanjut dan perilaku dalam mengemban tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu yang dimiliki. Sedangkan Poerwopoespito & Utomo (2000 : 266), mengatakan bahwa profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. Maister (1998 : 21-22), mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme sejati yaitu :

a. Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan ko-mitmen pribadi pada kualitas. b. Berusaha meraih tanggung jawab. c. Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif. d. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas. e. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah ditetapkan untukmereka.

f.

Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menja-di lebih mudah bagi orang yang mereka layani.

g. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang mereka layani. h. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani. i. j. l.Belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada ditempat. Adalah pemain tim.

k. Bisa dipercaya dalam memegang rahasia.Jujur, bisa dipercaya dan setia.

m. Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.Adapun ukuran profesional bagi Pegawai Negeri Sipil yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, menurut Affandi (2002 : 89) dapat dilihat pada pelayanan yang diberikan. Apabila pelayanan yang diberikan secara umum dapat memberi kepuasan kepada masyarakat yang dilayani, maka tidak usah ragu untuk menyatakan bahwa pelayanan telah diberikan secara profesional. Sebaliknya, apabila masyarakat pada umumnya masih mengeluhkan pelayanan yang diberikan berarti perlu dilakukan peningkatkan profesionalitas. Oleh karena itu, akan sangat wajar apabila masyarakatlah yang paling berhak untuk memberikan penilaian. Hal senada juga dikatakan oleh Maister (1998 : 24) bahwa profesional bukanlah label yang anda berikan kepada diri sendiri, ini adalah suatu diskripsi yang anda harapkan akan diberikan oleh orang lain kepada anda.

2.2. Faktor-faktor yang mendukung sikap Profesionalisme Faktor-faktor yang mendukung sikap profesionalisme, dalam Royen (2007:13) adalah: 1. Performance Performance dapat di artikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, penampilan kerja. Menurut Gibson, performance atau kehandalan serta prestasi kerja adalah hasil yang di inginkan dari prilaku, prestasi di hasilkan dalam urutan maupun kurun waktu tertentu. Sedangkan menurut Gomes prestasi kerja dapat di lihat dari: 1. Kuantitas kerja 2. Kualitas kerja Universitas Sumatera Utara3. Pengetahuan tentang pekerjaan 4. Pendapat atau pernyataan yang disampaikan. Berdasarkan defenisi-defenisi diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa performance adalah penghargaan yang di peroleh dari hasil pengetahuan yang di miliki dalam menghasilkan suatu kinerja pada satuan kurun waktu tertentu. 2. Akuntabilitas aparatur Akuntabilitas merupakan suatu kebijakan strategis, hal ini harus dapat di implementasikan untuk menciptakan kepatuhan pelaksanaan tugas dan kinerja pegawai. Akuntabilitas juga merupakan kewajiban untuk memberikan tanggung jawab kinerja kepada pihak-pihak tertentu. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut. 1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel. 2. Menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dan sesuai dengan peraturan-peraturan. 3. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah di tetapkan. 4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang di peroleh. 5. Jujur, objektif, transparan dan inovatif. Dengan demikian akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban kinerja dari seseorang atau sekelompok, kepada pihak-pihak yang memiliki wewenang sesuai dengan aturan yang ada. Universitas Sumatera Utara3. Loyalitas Pegawai Loyalitas aparatur yang berkaitan dengan karakteristik sosok profesionalisme menurut Islami dalam Royen adalah kesetiaan di berikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan sekerja, berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak di berikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Dengan demikian, maka para pegawai di harapkan supaya mampu menunjukkan loyalitas yang tinggi dalam seluruh aspek pekerjaannya. Loyalitas tidak memandang tingkatan artinya tidak membeda-bedakan pemberian pelayanan kepada setiap orang. 4. Kemampuan Aparatur/pegawai

Menurut Thoha, kemampuan merupakan salah satu unsur kematangan yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang di peroleh dari pendidikan dan pelatihan serta pengalaman. Profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan pegawai yang tercermin dalam perilaku sehari-hari. Istilah tersebut mengacu kepada potensi pegawai dalam mengerjakan tugas dan bagiannya. Adapun aspek-aspek profesionalisme menurut Oemar Hamalik dalam Royen (2007:7) dapat menambah pemahaman terhadap profesionalisme yaitu: 1. Aspek potensial. Setiap tenaga kerja tentunya memiliki potensi-potensi yang bersifat dinamis, yang dapat dikembangkan dan terus berkembang. 2. Aspek profesionalisme. Setiap pegawai memiliki keahlian yang berbeda dari orang lain tergantung bidangnya masing-masing. Hal ini Universitas Sumatera Utaramenyebabkan seseorang untuk terus meningkatkan keahliannya agar bisa bekerja lebih andal. 3. Aspek fungsional, para pegawai melaksanakan pekerjaannya yang di dasrkan pada hasil tepat guna artinya bekerja sesuai tugas dan fungsinya. 4. Aspek operasional, setiap pegawai dapat mendayagunakan kemampuan dan keterampilannya dalam proses dan prosedur pelaksanaan kerja yang di tekuninya. 5. Aspek personal, setiap pegawai harus memiliki sifat kepribadian yang menunjang pekerjaannya. 6. Aspek produktifitas artinya setiap pegawai harus memiliki motif kerja dan prestasi baik kualitas maupun kuantitas

2.3. DISIPLIN

Disiplin merupakan suatu keadaan tertib karena orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk dan taat pada pertauran yang ada serta melaksanakan dengan senang hati (Nitisemeto, 1982). Disiplin dalam arti yang positif seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini, Hodges (dalam Asnawi, 2002) menyatakan bahwa disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi. Berikutnya Disiplin Kerja dapat didefinisikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya (Sastrohadiwiryo, 2002) Jenis-jenis Disiplin Kerja

Didalam Disiplin Kerja itu sendiri dapat dibagi menjadi 2 aspek sebagaimana Terry (1993) menyatakan bahwa disiplin kerja dapat timbul dari diri sendiri dan dari perintah, yang terdiri dari : 1) Self Inposed Dicipline yaitu disiplin yang timbul dari diri sendiri atas dasar kerelaan, kesadaran dan bukan timbul atas dasar paksaan. Disiplin ini timbul karena seseorang merasa terpenuhi kebutuhannya dan merasa telah menjadi bagian dari organisasi sehingga orang akan tergugah hatinya untuk sadar dan secara sukarela memenuhi segala peraturan yang berlaku. 2) Command Dicipline yaitu disiplin yang timbul karena paksaan, perintah dan hukuman serta kekuasaan. Jadi disiplin ini bukan timbul karena perasaan ikhlas dan kesadaran akan tetapi timbul karena adanya paksaan/ancaman dari orang lain. Dalam setiap organisasi/perusahaan yang diinginkan adalah jenis disiplin yang timbul dari diri sendiri atas dasar kerelaan dan kesadaran. Akan tetapi dalam kenyataan selalu menyatakan bahwa disiplin itu lebih banyak disebabkan adanya paksaan dari luar. Untuk itu perlu melaksanakan kegiatan pendisiplinan yang mencakup disiplin preventif dan disiplin korektif. Disiplin preventif merupakan kegiatan yang dilakukan dengan maksud untuk mendorong para karyawan agar secara sadar mentaati berbagai standart dan aturan sehingga dapat dicegah berbagai penyelewengan/pelanggaran. Lebih utama dalam hal ini adalah dapat ditumbuhkan Self Dicipline (disiplin diri) pada setiap karyawan tanpa kecuali. Untuk memungkinkan iklim yang penuh disiplin kerja tanpa paksaan tersebut perlu kiranya standart itu sendiri bagi setiap karyawan dengan demikian dicegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya pelanggaran-

pelanggaran/penyimpangan dari standart yang ditentukan. Disiplin Korektif merupakan kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang telah terjadi terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran lebih lanjut, kegiatan korektif ini dapat berupa suatu hukuman / tindakan pendisiplinan (Dicipline Action) yang wujudnya berupa scorsing (Handoko, 1996). Pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi (Hasibuan, 2005). Diantaranya : 1. Tujuan dan kemampuan 2. Teladan pimpinan 3. Balas jasa

4. Keadilan 5. Waskat 6. Sanksi Hukuman 7. Ketegasan 8. Hubungan Kemanusiaan. Disiplin kerja karyawan dapat dikatakan baik, apabila memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Para karyawan datang tepat waktu, tertib, teratur 2. Berpakaian rapi 3. Mampu memanfaatkan dan menggerakkan perlengkapan secara baik 4. Menghasilkan pekerjaan yang memuaskan 5. Mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh perusahaan 6. Memiliki tanggung jawab yang tinggi (Soejono, 1997).2.4. DISIPLIN KERJA Keith Davis (1985-366) mengemukakan bahwa " Dicipline is management action to enforce organization standards". pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. Disiplin pada dasarnya merupakan tindakan manajemen untuk mendorong agar para anggota organisasi dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi, yang di dalamnya mencakup: y y y (1) adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan; (2) adanya kepatuhan para pengikut; dan (3) adanya sanksi bagi pelanggar

Indikator yg mempengaruhi kedisiplinan : Tujuan & kemampuan Teladan pemimpin Balas jasa Keadilan Waskat Sanksi hukuman Ketegasan Hubungan kemanusiaan Jenis Disiplin dalam Organisas

y

(1) Disiplin Preventif Disiplin preventif adalah tindakan yang mendorong para karyawan untuk taat kepada

berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan prilaku yang diinginkan dari setiap anggota organisasi, untuk mencegah jangan sampai para karyawan berperilaku negatif. Keberhasilan penerapan pendisiplinan karyawan (disiplin preventif) terletak pada disiplin pribadi para anggota organisasi. y Tiga hal yang perlu mendapat perhatian manajemen di dalam penerapan disiplin pribadi, yaitu : Triguno (2000) menyebutkan bahwa tujuan pokok dari pendisiplinan preventif adalah untuk mendorong karyawan agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar peran kepemimpinan tidak terlalu berat dengan pengawasan, yang dapat mematikan prakarsa, kreativitas serta partisipasi sumber daya manusia Penerapan disiplin pribadi, yaitu : y Para anggota organisasi perlu didorong, agar mempunyai rasa memiliki organisasi, karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang menjadi miliknya. y Para karyawan perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan standar yang harus dipenuhi. Penjelasan dimaksudkan seyogyanya disertai oleh informasi yang lengkap mengenai latar belakang berbagai ketentuan yang bersifat normatif. y Para karyawan didorong, menentukan sendiri cara-cara pendisiplinan diri dalam rangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh anggota organisasi. y (2) Disiplin Korektif (Sondang P. Siagaan, 1996). Disiplin korektif adalah upaya penerapan disiplin kepada karyawan yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan dan kepadanya dikenakan sanksi secara bertahap. y Horald D. Garret. (1994) menyebutkan bahwa bila dalam instruksinya seorang karyawan dari unit kelompok kerja memiliki tugas yang sudah jelas dan sudah mendengarkan masalah yang perlu dilakukan dalam tugasnya, serta pimpinan sudah mencoba untuk membantu melakukan tugasnya secara baik, dan pimpinan memberikan kebijaksanaan kritikan dalam menjalankan tugasnya, namun seseorang karyawan tersebut masih tetap gagal untuk mencapai standar kriteria tata tertib, maka sekalipun agak enggan, maka perlu untuk memaksa dengan menggunakan tindakan korektif, sesuai aturan disiplin yang berlaku. Tindakan Sanksi Korektif: y (1) peringatan lisan (oral warning),

y y

(2) peringatan tulisan (written warning), (3) disiplin pemberhentian sementara

(discipline layoff), dan y (4) pemecatan (discharge).

Pemberian Sanksi Korektif: y (1) karyawan yang diberikan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau kesalahan apa yang telah diperbuatnya; y y (2) kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri dan (3) dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan wawancara keluar (exit interview) pada waktu mana dijelaskan antara lain, mengapa manajemen terpaksa mengambil tindakan sekeras itu. y Burack (1993) mengingatkan bahwa pemberian sanksi korektif yang efektif terpusat pada sikap atau perilaku seseorang dalam unit kelompok kerja yang melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja dan bukan karena kepribadiannya. y Untuk itu, dalam penerapan sanksi korektif hendaknya hati-hati jangan sampai merusak seseorang maupun suasana organisasi secara keseluruhan. Dalam pemberian sanksi korektif harus mengikuti prosedur yang benar sehingga tidak berdampak negatif terhadap moral kerja anggota kelompok. y Pengaruh negatif atas penerapan tindakan sanksi korektif yang tidak benar akan berpengaruh terhadap kewibawaan manajerial yang akan jadi menurun, demikian juga dalam tindakan sanksi korektif dalam tim yang tidak benar dapat berakibat terhadap kurangnya partisipasi karyawan terhadap organisasi, dimana kerja tim akan menjadi tidak bersemangat dalam melaksanakan tugas kerja samanya, dan menjadi tercerai-berai karena kesalahan tindakan disiplin tim. Pendekatan Disiplin Kerja 1. Pendekatan Disiplin Modern Pendekatan disiplin modern yaitu mempertemukan sejumlah keperluan atau kebutuhan baru di luar hukuman. Asumsi : 1) Disiplin modern merupakan suatu cara menghindarkan bentuk hukuman secara fisik. 2) Melindungi tuduhan yg benar untuk diterus kan pada proses hukum yg berlaku. 3) Keputusan - 2 yg semaunya terhadap kesa-lahan atau prasangka harus diperbaiki dg mengadakan proses penyuluhan dg men-dapatkan fakta nya.

4) Melakukan protes terhadap keputusan yg berat sebelah pihak terhadap kasus disiplin 2. Pendekatan Disiplin dengan Tradisi Pendekatan disiplin dg cara memberikan hukuman. Asumsi :

a) Disiplin dilakukan oleh atasan kpd bawahan, & tidak pernah ada peninjauan kembali bila telah diputuskan. b) Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksa-naannya harus disesuaikan dg tingkat pelanggarannya. c) Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kpd pelanggar maupun kpd pegawai lainnya. d) Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yg lebih keras. e) Pemberian hukuman terhadap pegawai yg melanggar kedua kalinya harus diberi hukuman yg lebih berat. Pendekatan disiplin bertujuan Disiplin kerja harus dapat diterima & di pahami oleh semua pegawai Disiplin bukanlah suatu hukuman, tetapi merupakan pembentukan perilaku Disiplin ditujukan untuk perubahan peri-laku yg lebih baik Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggung jawab terhadap perbuatan nya.

2.5. EFEKTIVITAS KERJA Sebagaimana umumnya bahwa tujuan setiap organisasi, baik organisasi publik maupun swasta akan dapat tercapai dengan baik apabila pegawai dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan efisien. Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan kerja (produktivitas) para pegawai, organisasi harus menjalankan usaha-usaha pengembangan pegawai. Jadi pengembangan pegawai adalah untuk memperbaiki efektivitas kerja pegawai dalam mencapai hasil-hasil kerja yang ditetapkan. Perbaikan efektivitas kerja pegawai dalam mencapai hasil-hasil kerja yang ditetapkan. Perbaikan efektivitas kerja dapat dilakukan dengan memperbaiki pengetahuan, ketrampilan maupun sikap pegawai itu sendiri terhadap tugas-tugasnya ( Heidjrahman Ranupandojo dan Suad Husnan, 1983:67-71). Dari pada itu baru diuji sebenarnya untuk manajemen yang baik adalah kemampuan organisasi dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dalam tugas untuk mencapai dan memiliki sesuatu tingkat efektivitas, ( Richard M.Steers, 1983:1). Menurut Kamarudin (1982:2) mengatakan bahwa efektivitas kerja adalah suatu keadaan

yang menunjukan tingkat keberhasilan di atas kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Jadi efektivitas pada dasarnya adalah ketepatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehubungan dengan itu, (Muhammad As ad 1984:112) mengatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan dikatakan efektivitas apabila mampu merealisasikan sasaran-sasaran pekerjaan. Wujud dari efektivitas adalah tumbuhnya kemahiran kerja dan kuantitatif secara kualitas hasil kerja. Menurut The Liang Gie (1982:108) Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendakinya maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Selanjutnya menurut (H.Emerson, 1983:16), efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah dicapai sesuai dalam rencana pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya adalah efektivitas. Sebaliknya bila tujuan dan sasaran tidak dapat dicapai pada waktunya maka dapat dikatakan bahwa pekerjaan itu tidak efektivitas. Suatu pekerjaan pemerintah sekalipun tidak efisien dalam arti input atau output, tetapi tercapainya tujuan itu adalah efektivitas sebab mempunyai efek dan pengaruh yang besar terhadap kepentingan bersama. Sondang P. Siagian (1982:171), apabila seseorang berbicara tentang efektivitas sebagai orientasi kerja berarti apa yang menjadi sasaran yang telah ditentukan dapat dicapai tepat pada waktunya yang sudah dialokasikan untuk berbagai kegiatan. Artinya jumlah dan jenis sumber-sumber itulah maka hasil-hasil tertentu harus dicapai dalam waktu yang telah ditetapkan. Jadi efektivitas kerja pada dasarnya adalah ketepatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas-tugas menurut waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ukuran efektivitas dalam suatu organisasi bukan ukuran kuantitaf. Sejalan dengan konsep di atas Michael mengemukakan Efektivitas kerja bukan suatu ukuran kuantitatif efisiensi, tetapi lebih merupakan kualitatif atau efektivitas kerja adalah tingkat prestasi organisasi dalam mencapai tujuannya atau sejauh mana tujuan yang diciptakan dapat tercapai. Mengenai hal ini H. Emerson dalam Soewarno Handoyoningrat (1985:16) mengemukakan bahwa efektivitas berarti pengukuran dalam arti tercapainya sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Berpedoman pada pendapat-pendapat yang tertera di atas maka dapat dipandang bahwa

efektivitas kerja merupakan suatu pengukuran terhadap keberhasilan pekerjaan yang dicapai dengan prestasi, mutu hasil kerja dan ketetapan waktu dalam proses organisasi yang didasarkan dan berorientasi pada orang-orang yang ada didalamnya menyangkut efektivitas pekerjaan yang dilaksanakan. Dalam kaitan dengan pencapaian tersebut, Hidayat (1986:22) berpendapat bahwa Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, waktu) yang telah dicapai . Sehubungan dengan ukuran tersebut di atas maka S.P Siagian (1982) mengemukakan 4 buah ukuran untuk mengukur efektivitas kerja yaitu : 1. Ukuran waktu yaitu berapa lama seseorang yang membutuhkan jasa tertentu untuk memperolehnya. 2. Ukuran harga dalam arti seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa yang dibutuhkan. 3. Ukuran nilai-nilai social dalam arti penghasilan jasa menyampaikan produknya kepada kleinnya. 4. Ukuran ketelitian yang menunjukan apakah jasa yang diberikan akurat atau tidak. Dari uraian diatas dapat disimpulkan efektivitas kerja pegawai adalah keadaan maupun berhasilnya suatu pekerjaan yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan hasil guna yang diharapkan dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan untuk mencapai apa yang diharapkan itu membutuhkan peralatan yang memadai bagi kelancaran pelaksanaan tugas. Adapun yang dimaksud dengan efektivitas pelaksanaan tugas adalah kemampuan para pegawai pada satu organisasi atau instansi dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas pekerjaan yang diembannya bersesuaian dengan ketentuan jadwal atau rencana kerja dan prosedur kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Pekerjaan yang dilaksanakan dan sesuai oleh para pegawai pada umumnya dalam suatu kantor atau instansi pemerintah antara lain berupa penyelenggara tata usaha, kepegawaian, keuangan, perpustakaan sarana peralatan penelitian dan lain sebagainya. Bila memahami pengertian konsep efektivitas pelaksanaan tugas di atas maka pada intinya mempunyai kesamaan pengertian dengan konsep efektivitas kerja, yakni pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan tepat pada waktunya yang telah ditentukan (The Liang Gie, 1996:1), atau menurut Soewarno Handayaninggrat, (1997:16). Efektivitas kerja adalah kemampuan berhasilnya suatu kerja yang dilakukan manusia untuk memberikan hasil yang diharapkan. Hal yang sama ditandaskan pula oleh Shester I. Bernard (1999:27) bahwa efektivitas kerja

adalah pencapaian sarana yang telah disepakati atas usaha bersama. Tingkat pencapaian sasaran menurutnya adalah tingkat efektivitas. Apabila seseorang berbicara tentang efektivitas sebagai orientasi kerja, berarti yang menjadi sorotan perhatian adalah tercapainya berbagai sasaran yang telah ditentukan tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang sudah dialokasikan untuk mencapai kegiatan tersebut. Artinya jumlah jenis sumber-sumber yang sudah digunakan harus ditentukan sebelumnya dan dengan memanfaatkan sumber-sumber itulah maka hasilhasil tertentu harus dicapai dalam waktu yang telah ditetapkan pula (S.P.Siagian 2002:171). Efektivitas kerja merupakan nilai dan keadaan yang ingin dicapai atau diwujudkan dalam setiap organisasi, tetapi tidak hanya organisasi swasta tetapi juga organisasi pemerintah melalui efektivitas kerja maka setiap organisasi dapat mempertahankan eksistensinya dengan melancarkan operasi-operasinya. Sejalan dengan hal ini, maka Richard Steer (1998:1) mengatakan bahwa batu uji yang sebenarnya untuk menajemen yang baik adalah kemampuan organisasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam tugas untuk mencapai dan memelihara suatu tingkat operasi yang efektivitas. Wujud dari efektifitas pelaksanaan pekerjaan adalah timbulnya kemahiran kerja dan kuantitas serta kualitas hasil kerja. Suatu organisasi tidak akan mewujudkan efektivitas dalam mencapai tujuan bila tidak ditunjang dengan perlengkapan yang lengkap serta kemampuan dan ketrampilan dari pada pelaksanaan dalam mengorganisasikan peralatan tersebut. Efektivitas pelaksanaan tugas (efektivitas kerja) dalam suatu organisasi diukur melalui : Pertama : Ukuran waktu yaitu beberapa lama seseorang membutuhkan waktu tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan. Kedua : Ukuran-ukuran yaitu seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Ketiga : Ukuran nilai-nilai sosial budaya dalam pengertian cara penyampaian pelayanan kepada klien. Keempat : Ukuran ketelitian yang menunjukan apakah pelayanan yang diberikan akurat atau tidak (S.P Siagian) 1992:10) pada bagian lain S.P. Siagian (1992:136) mengatakan pula bahwa disamping ukuran-ukuran yang lain, efektivitas pelaksanaan tugas dapat diukur pula melalui ukuran-ukuran sebagai berikut : 1 : Ukuran yang berkaitan dengan sumberdaya manusia seperti perilaku tenaga kerja, semangat dan kegairahan kerja.

2 : Ukuran yang berkaitan dengan sarana dan prasarana dalam pengertian kemampuan memanfaatkan berbagai peralatan dan fasilitas yang tersedia. 3 : Ukuran yang berkaitan dengan sarana dan prasarana dalam pengertian kemampuan memanfaatkan berbagai dengan dan prasarana dalam pengertian kemampuan memanfaatkan berbagai peralatan dan fasilitas yang tersedia.

2.6. HUBUNGAN ANTARA DISIPLIN KERJA DAN EFEKTIVITAS PEGAWAITelah dijelaskan bahwa pada hakekatnya Disiplin adalah ketaatan, sikap kelakuan, sikap hormat yang nampak sesuai dengan tata aturan yang diberlakukan dalam suatu organisasi. Apakah tata aturan itu hasil berdebatan secara bebas atau perlakuan tanpa didiskusikan terlebih dahulu, apakah tata aturan itu tertulis atau secara diam-diam. Sedangkan efektivitas pelaksanaan tugas adalah penyelesaian tugas pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memiliki hubungan secara teoritis. Dikatakan demikian karena tidak mungkin suatu pekerjaan akan diselesaikan tepat pada waktunya bilamana para pegawai tidak memiliki ketaatan terhadap berbagai aturan organisasi. Aturan-aturan tersebut berhubungan dengan jam kantor, jadwal pelaksanaan tugas, pemakaian sarana dan prasarana yang tersedia dalam organisasi dan lain sebagainya. Hubungan antara disiplin kerja dengan efektivitas kerja adalah suatu bentuk ketaatan terhadap aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang telah ditetapkan . Dalam kaitannya dengan perlu tindakan disiplin dalam suatu organisasi. Hani handoko (1985:154), mengatakan bahwa disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasi. Dari pada itu baru diuji sebenarnya untuk manajemen yang baik adalah kemampuan organisasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam tugas untuk mencapai dan memiliki sesuatu tingkat efektif ( Richard M. Steers,1983 :1). Menurut Kamarudin ( 1982 : 2 ) mengatakan bahwa efektifitas kerja adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan di atas kegiatan manjemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Jadi efektifitas pada dasarnya adalah ketepatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehubungan dengan itu Muhammad Asad (1984 : 112) mengatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan dikatakan efektifitas apabila mampu merealisasikan saran-saran pekerjaan. Wujud dari efektifitas adalah timbulnya kemahiran kerja kuantitatif dan secara kualitas hasil kerja. Menurut H. Emerson efektifitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah dicapai sesuai dengan rencana pada waktu yang telah tentukan sebelumnya adalah efektif. Sebaliknya bila tujuan dan sasaran tidak dapat dicapai waktunya, maka dikatakan bahwa pekerjaan itu tidak efektif ( Soewa Handayaningrat, 1983 : 16). Apabila seseorang berbicara tentang efektifitas sebagai orientasi kerja berarti apa yang menjadi sasaran yang telah ditentukan dapat dicapai tepat pada waktunya yang sudah

dialokasikan untuk berbagai kegiatan artinya jumlah dan jenis sumber-sumber itulah maka hasil tertentu harus dicapai dengan waktu telah ditetapkan (S.P Siagian, 1983 : 171). Jadi efektivitas kerja pada dasarnya adalah ketepatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas-tugas menurut waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ukuran efektifitas dalam suatu organisasikan bukan ukuran kuantitaf. Sejalan dengan konsep di atas Michael mengemukakan Efektivitas kerja bukan suatu ukuran kualitatif efisien, tetapi lebih merupakan kualitatif atau efektifitas kerja adalah tingkat prestasi organisasi dalam mencapai tujuannya, artinya sejauh mana tujuan yang ditetapkan dapat dicapai (S.P. Siagian, 1983 : 2 )

2.7. HUBUNGAN DISIPLIN KERJA DAN PROFESIONALISME Sumber daya manusia merupakan tulang punggung kehidupan organisasi, keberhasilan organisasi secara keseluruhan sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, organisasi perlu memiliki pegawai yang berkemampuan tinggi dan berkembang dengan baik untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi. Menurut Rivai (2006) Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian Universitas Sumatera Utaratujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika . Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja pegawai adalah motivasi, pendidikan, ketrampilan, sikap dan etika, tingkat penghasilan, teknologi, disiplin kerja serta lingkungan kerja (Anoraga, 2005). Disiplin kerja pada pegawai sangat dibutuhkan, karena apa yang menjadi tujuan organisasi akan sukar dicapai jika tidak adanya disiplin kerja. Dengan disiplin kerja yang baik, berarti akan dicapai suatu keuntungan yang berguna bagi organisasi maupun pegawai. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan yang jelas, sehingga mudah dipahami dan adil, yaitu berlaku bagi pimpinan yang tertinggi sampai kepada pegawai yang terendah. Menurut Werther dan Davis (2004) Disiplin kerja adalah suatu tindakan manajemen memberikan semangat kepada pelaksanaan standar organisasi, pelatihan mengarah kepada upaya membenarkan dan melibatkan pengetahuan-pengetahuan dan perilaku pegawai sehingga ada kedisiplinan pada pegawai untuk menuju pada kerjasama dan mencapai prestasi kerja yang lebih baik . Menurut Siagian (2008), bahwa Disiplin pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan prilaku pegawai sehingga para pegawai tersebut secara sukarela berusaha bekerja

secara kooperatif dengan para pegawai lainnya serta meningkatkan prestasi kerjanya . Disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong keinginan tercapainya prestasi kerja yang tinggi. 2.8. UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEGAWAI 1. Pembinaan disiplin a. Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan disiplin pegawai. Konseling yaitu pemimpin mengidentifikasi gangguan prilaku dan kinerja pegawai sehingga mencari solusi untuk mengatasinya. Dokumentasi tertulis yaitu pegawai dan pimpinan membuat dokumen tertulis untuk mencegah munculnya persoalan lebih jauh. Peringatan terakhir, yaitu memberikan satu kesempatan terakhir kepada pegawai untuk mengoreksi sikap dan tingkah lakunya. Pemberhentian yaitu menghentikan pegawai dari pekerjaannya karena pelanggaran tidak dapat di tolerir lagi. Mengikuti apel sore dan apel pagi Pembinaan kerohanian Universitas Sumatera Utara Pemberian sanksi kepada pegawai yang tidak disiplin. 2. Pembinaan karir a. Konsultasi kinerja Pegawai b. Upaya yang dilakukan untuk membina karir pegawai/pendidikan dan pelatihan c. Promosi yaitu memberikan kesempatan kepada pegawai pada suatu tugas yang lebih baik. d. Mutasi yaitu perubahan jabatan secara horizontal, artinya pegawai di pindahkan ke jabatan yang tidak lebih tingi dantidak lebih rendah. e. Demosi yaitu penurunan jabatan dalam suatu kelas yang

lebih rendah, dan juga dalam hal penurunan gaji. 3. Pembinaan etika profesi a. Upaya yang dilakukan supaya kode etik pegawai dapat terealisasi. Sosialisasi kode etik pegawai Memahamkan betapa besarnya tanggung jawab PNS Memperketat pengawasan terhadap pegawai Memotivasi pegawai. Adanya Sanksi terhadap Pelanggaran kode etik Pegawai B. Profesionalisme Kerja Pegawai 1. Keahlian atau kapasitas yang dimiliki pegawai dalam mengerjakan tugas dan bagiannya. Universitas Sumatera Utaraa. Memiliki keterampilan tinggi dalam bidangnya. b. Kecerdasan dalam menganalisa suatu masalah 2. Kemampuan untuk beradaptasi dan dapat menyikapi perubahan. a. Respon terhadap perubahan yang terjadi b. Sikap orientasi masa depan 3. Performance Pegawai a. Kuantitas Kerja b. Kualitas Kerja

2.9. IMPLEMENTASI DISIPLIN KERJA DALAM LINGKUP KEMENTERIAN DALAM NEGERI RUMUSAN HASIL WORKSHOP PERATURAN KEPEGAWAIAN Dalam rangka mewujudkan PNS yang handal, profesional, dan bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan prinsipprinsip pemerintahan yang baik (good governance), maka perlu dilaksanakan pembinaan PNS dengan sebaik-baiknya. Salah satu pembinaaan PNS yaitu dengan memberikan pemahaman yang terkait dengan Peraturan Kepegawaian mengenai disiplin pegawai. Dasar hukum yang menjadi acuan dalam pembinaan disiplin pegawai diantaranya: 1. UU No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubag dengan UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok Pokok Kepegawaian;

2. PP.4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil; 3. PP.32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; 4. PP.10 Tahun 1983 jo. 45 Tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil; 5. PP.98 Tahun 2000 jo. PP. 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, 6. PP.37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik; 7. PP.53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keseragaman pemahaman, Biro Kepegawaian mengadakan Workshop Peraturan Kepegawaian dari mulai tanggal 23 sampai dengan 25 tahun 2011.Workshop dibuka oleh Sekretaris Jenderal yang diwakili Kepala Biro Kepegawaian dan dihadiri oleh 243 peserta. Setelah mencermati dan memperhatikan: 1. Arahan Sekretaris Jenderal atau yang mewakili dalam hal ini diwakili Kepala Biro Kepegawaian. 2. Paparan dari: a. Kepala Bidang Bimbingan Teknis Kantor Regional X BKN mengenai Peraturan-Peraturan di Bidang Kepegawaian; b. Asisten Sekretaris Badan Pertimbangan Kepegawaian mengenai Dasar-dasar Hukum Penyelesaian Kasus Kepegawaian; c. Kasubdit Peraturan Perundang-undangan Badan Kepegawaian Negara mengenai Implementasi Peraturan Kepala BKN Nomor 21 Tahun 2010.; d. Kepala Kantor Regional X BKN mengenai Penyelesaian Kasus Kepegawaian; e. Badan Pertimbangan Kepegawaian mengenai Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990; f. Simulasi Kasus Kepegawaian tentang Hukuman Disiplin. 3. Masukan dan saran Peserta Workshop

Dirumuskan hal-hal sebagai berikut: 1. PNS Wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD-1945, Negara dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI, Wajib mentaati segala peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab serta wajib menyimpan rahasia jabatan. 2. Pegawai Negeri Sipil berhak memperoleh gaji, cuti, memperoleh perawatan, memperoleh tunjangan, pensiun; 3. Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar akan dijatuhi hukuman disiplin; 4. Kewenangan penjatuhan hukuman disiplin adalah atasan langsung. Apabila pelaku hukuman disiplin mempunyai pangkat yang sama atau lebih tinggi, maka atasan langsungnya wajib melaporkan secara hierarki disertai berita acara pemeriksaan; 5. Pejabat yang berwenang menghukum wajib menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, apabila Pejabat yang berwenang menghukum, tidak menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, maka pejabat tersebut dijatuhi hukuman disiplin oleh atasannya dengan hukuman sama beratnya dengan pelanggaran yang dilakukan bawahannya; 6. PNS yang melakukan pelanggaran disiplin harus dilakukan pemeriksaan yang dituangkan kedalam Berita Acara Pemeriksaan, untuk dapat mencerminkan suatu kepastian hukum dan untuk mempermudah digunakan rumus 5 W + 1 H (Who, What, Why, When, Where, + How);7. Perlakuan terhadap Calon PNS yang melakukan hukuman disiplin maka cara penyelesaiannya dengan Pasal 18 PP. 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil; 8. Penjatuhan disiplin ringan, sedang, atau berat sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh PNS yang bersangkutan,

mempertimbangkan latar belakang dan dampak dari pelanggaran yang dilakukan; 9. PNS yang melanggar disiplin apabila perbuatan tersebut terdapat unsur pidana dan perdata, guna pemeriksaan maka wajib diberhentikan sementara dari jabatan negeri berdasarkan PP. Nomor 4 Tahun 1966; 10. Unit kerja yang memiliki pegawai yang telah dikenakan hukuman pidana yang ancaman hukumnya lebih dari 4 (tahun) telah incraht (yang mempunyai kekuatan hukum tetap), agar mengambil langkah sesegera mungkin, mengusulkan kepada Biro Kepegawaian untuk memproses lebih lanjut penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS berdasarkan PP. Nomor 32 Tahun 1979 dengan dilampiri Salinan Keputusan Pengadilan; 11. Unit kerja yang memiliki pegawai yang telah melanggar hukuman disiplin menjadi Anggota Partai Politik, agar mengambil langkah sesegera mungkin, mengusulkan kepada Biro Kepegawaian untuk memproses lebih lanjut penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS berdasarkan PP.37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik;12. Bagi PNS yang dijatuhi hukuman disiplin diberikan hak untuk membela diri melalui upaya administratif, sehingga dapat dihindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam penjatuhan hukuman disiplin; 13. Penyelesaian Masalah/Kasus Pegawai yang terkait dengan ijin Perkawinan dan Ijin Perceraian mengacu kepada PP 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990; 14. Mekanisme pengajuan usul penyelesaian kasus kepegawaian diusulkan dari unit kerja eselon I untuk disampaikan kepada Biro Kepegawaian dengan dilampiri berkas dan kelengkapan kasus diantaranya Surat Pemanggilan, Hasil Berita Acara Pemeriksaan dan bukti-bukti lainnya; 15. Biro Kepegawaian akan memproses Usul penyelesaian kasus

kepegawaian yang memenuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya, mengundang Tim Etika yang terdiri dari Biro Kepegawaian, Biro Hukum dan Organisasi, Sekretaris Inspektorat Jenderal, Sekretaris unit eselon I dan Inspektur Mitra unit kerja yang menyampaikan usul penyelesaian kasus pegawainya, untuk melakukan sidang kasus kepegawaian tersebut. 16. Di dalam menerapkan sebuah peraturan dibutuhkan sebuah komitmen dan usaha yang ekstra kuat (extra ordinary effort) oleh seluruh pimpinan unit kerja dalam menjalankan dan menegakkan aturan; 17. Implementasi PP.53 Tahun 2010 diharapkan agar menjadikan pegawai sebagai sebuah subjek yang dinamis dan berkembang, yaitu suatu kondisi dimana pegawai memiliki rasa kedisiplinan atas dasar nilai kesadaran pribadi;18. Dalam rangka mengusung suatu tata nilai aturan kepegawaian yang lebih komprehenship, diperlukan sebuah terobosan baru berkenaan dengan bagaimana sebuah peraturan disiplin pegawai mampu mengakomodir secara baik unsur-unsur nilai yang mampu memberi stimulasi (rangsangan) bagi para pegawai untuk mampu mengembangkan nilai dan karya mereka berdasarkan prinsip etos kerja , dan bukan hanya kepatuhan administratif semata. Denpasar, 25 Nopember 2011

BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN 3.2. SARAN

DAFTAR PUSTAKA