tugas akhir untuk kepentingan akademisxa.yimg.com/.../22981121/961378717/name/tesis+lengkap.docx ·...

253
UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PASIEN DALAM MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT DI PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS, JAKARTA TESIS NAMA : LIANINGSIH PARTAHUSNIUTOYO NPM : 0806444026 PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT PROGRAM PASCA SARJANA

Upload: phungngoc

Post on 28-Mar-2018

524 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PASIEN DALAM MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT DI PELAYANAN KESEHATAN

SINT CAROLUS, JAKARTA

TESIS

NAMA : LIANINGSIH PARTAHUSNIUTOYO

NPM : 0806444026

PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA

JULI 2010

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PASIEN DALAM MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT DI PELAYANAN KESEHATAN

SINT CAROLUS, JAKARTA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister

NAMA : LIANINGSIH PARTAHUSNIUTOYO

NPM : 0806444026

PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA

2010

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang

dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Lianingsih Partahusniutoyo

NPM : 0806444026

Tanda Tangan :

Tanggal : 5 – 7 – 2010

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama : Lianingsih Partahusniutoyo

NPM : 0806444026

Mahasiswa Program : Kajian Administrasi Rumah Sakit

Tahun Akademik : 2008

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya

yang berjudul :

Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat di

Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima

sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Depok, 5 Juli 2010

(Lianingsih Partahusniutoyo)

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa, yang dengan

anugrahNya telah memimpin dan menolong saya selama studi hingga dapat

menyelesaikan tugas akhir ini. Penyelesaian Tesis ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Administrasi Rumah

Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam penulisan

ini perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1 drh.Wiku Adisasmito,M.Sc,Ph.D sebagai pembimbing, yang di tengah

kesibukan beliau telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk

mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

2 Dr dra Ratu Ayu Dewi Sartika,Apt, MSc, sebagai penguji yang telah

memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam penyelesaian

tesis ini, dukungan semangat beliau sangat berarti bagi penulis.

3 dr Markus Waseso Suharyono,MARS selaku Direktur Utama PK Sint Carolus

yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian

di rumah sakit yang dipimpinnya.

4 Dra Meitini, Apt, Dra Marlina,Apt beserta jajaran unit farmasi dan Zr Merry,

wakil kepala unit rawat jalan PK Sint Carolus yang telah banyak membantu

penulis selama proses penelitian berlangsung.

5 Ibu Sylvia Richarda Doy,Skp,MARS, kepala bagian SIRS PK Sint Carolus

yang bukan hanya membantu memberikan data yang penulis perlukan tetapi

juga telah memberikan dukungan semangat kepada penulis.

6 Suami dan ketiga anak-anakku tersayang yang telah rela kehilangan waktu

kebersamaan selama penulis mengikuti studi dan mendukung penulis dengan

caranya masing-masing.

7 Sahabat-sahabat selama kuliah, dr Fina Jusuf, dr Go Ester dan dr Patricia

Hutagalung yang telah bersama-sama penulis menyelesaikan tugas-tugas

kuliah dan tak lupa mendoakan penulis selama mempersiapkan tesis ini.

8 Teman-teman kuliah baik kelas khusus maupun kelas reguler yang tak dapat

disebut satu persatu, dimana penulis telah menikmati kebersamaan selama

masa perkuliahan berlangsung dan juga terus memberikan dukungan

semangat selama proses penyelesaian tesis ini.

Kiranya Tuhan, Allah Yang Maha Pemurah membalas segala kebaikan Bapak/Ibu

sekalian dan mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi Rumah Sakit

dan pengembangan ilmu.

Jakarta, 5 Juli 2010

Penulis

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia , saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Lianingsih Partahusniutoyo

NPM : 0806444026

Program Studi : Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas : Kesehatan Masyarakat

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalty Noneksklusif. Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/format, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 5 Juli 2010

Yang menyatakan

( Lianingsih Partahusniutoyo)

ABSTRAK

Nama : Lianingsih Partahusniutoyo

Program Studi : Pasca Sarjana

Program Kajian Administrasi Rumah Sakit

Judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasien Dalam Memilih

Tempat Membeli Obat Di Pelayanan Kesehatan

Sint Carolus, Jakarta.

Penelitian ini dilatarbelakangi jumlah resep dari unit rawat jalan yang ditebus di luar unit farmasi PK Sint Carolus pada tahun 2009 sebesar 21,37%. Proses pembelian obat di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus masih manual, setelah berkonsultasi dengan dokter, pasien menerima resep dan memilih sendiri tempat membeli obat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat di PK Sint Carolus. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan mulai bulan April sampai awal Juni 2010 di Poliklinik spesialis PK Sint Carolus, Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan data sekunder sebagai data awal dan kemudian dikembangkan dengan wawancara mendalam kepada informan yang terlibat dalam proses pemilihan tempat membeli obat di PK Sint Carolus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya persentase resep obat yang dibeli di luar unit farmasi PK Sint Carolus disebabkan oleh kualitas pelayanan unit farmasi yang belum optimal, belum semua dokter meresepkan sesuai formularium, kurangnya kontrol manajemen terhadap fungsi panitia farmasi dan terapi dan belum terjalin relationship antara pasien dengan petugas farmasi.

Kata kunci : Pemilihan tempat membeli obat, farmasi

ABSTRACT

Name : Lianingsih Partahusniutoyo

Study Programme : Post Graduate (Magister)

Title : Factors that influence patients in choosing where to buy drugs in Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta

This research conducted because the amount of prescription from outpatient unit which be redeemed outside pharmacy unit of PK Sint Carolus in the year of 2009 has reached the number of 21,37%. The process to buy medicine in the pharmacy unit is still working manually. After consulting with the doctor, patient receive a prescription dan choose by themselves where to buy the medicine. The objective of this research is find out factors that influence patients in choosing where to buy drugs in PK Sint Carolus. This research was conducted for 2 months since April until early June 2010 in spesialist polyclinic of PK Sint Carolus, Jakarta. This research was using qualitative approach, with secondary data as initial data dan then improved by indepth interview with informans who involved with the selection of places to buy drugs. The result of this research shows that the big percentage of prescription which bought outside the pharmacy unit of PK Sint Carolus is caused by the lack of control towards the function of pharmacy and therapy commitee, the service quality of pharmacy unit which is not optimal yet, not all the doctors prescribe according to formularium, and there hasn’t been a relationship between patients and pharmacysts.

Keywords : Selection of places to buy drugs, pharmacy

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................ii

HALAMAN PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT...................................................iii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................iv

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH.................................................v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................vii

ABSTRAK................................................................................................................viii

DAFTAR ISI...............................................................................................................x

DAFTAR TABEL......................................................................................................xv

DAFTAR GAMBAR................................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................xvi

BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................................1

1.1. Latar Belakang……………………………………………………………..…1

1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………...………….…2

1.3. Pertanyaan Penelitian……………………………………………………........3

1.4. Tujuan Penelitian………………………………………………………....…...3

1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………………….4

1.6. Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………….....4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dinamika Perkembangan Rumah Sakit…………………………………......7

2.1.2. Perkembangan Layanan Rawat Jalan……………………………….....9

2.1.3. Farmasi Rumah Sakit………………………………………………...10

2.2. Obat dan Penggunaannya……………………………………………………17

2.3. Panitia Farmasi Dan Terapi………………………………………………….21

2.4. Formularium……………………………………............................................24

2.5. Peresepan Obat ……………………………………………………………..28

2.6. Kebijakan Rumah Sakit…….…………………………………………........32

2.7. Keputusan Pasien Memilih Tempat Membeli Obat…………………...…..34

BAB III. GAMBARAN UMUM PK SINT CAROLUS..………………....……….39

3.1. Sejarah PK Sint Carolus…………….………...………………….………..39

3.2. Lambang Pelayanan Kesehatan………………..…………………....……40

3.3. Visi dan Misi……………………………………..……………………….41

3.4. Sarana……………………………………………...……………………...41

3.5. Fasilitas Pelayanan…………………………………..……………....…....42

3.6.1. Pelayanan Gawat Darurat……………………..…………………...42

3.6.2. Pelayanan Rawat Jalan Spesialistik……………...………………....42

3.6.3. Pelayanan Uji Kesehatan………………………...…………....……43

3.6.4. Pelayanan Hemodialisa…………………………...…………....…...43

3.6.5. Balai Kesehatan Masyarakat……………………...………………...43

3.6.6. Poli Laktasi………………………………………...……………….44

3.6.7. Pelayanan Rawat Inap……………………………...………………44

3.6.8. Kamar Bedah………………………………………...………....…..47

3.6.9. Pelayanan Kesehatan Di Rumah……………………...…………….47

3.6.10. Pelayanan Penunjang Medik………………………...…………….47

3.6.11. Pelayanan Penunjang :Promotif dan Rehabilitatif…...……………48

3.6.12. Pelayanan Spritual Dan Sosial………………………...…………..48

3.6.13. Pelayanan Penunjang Umum…………………………...…………48

3.6. Sumber Daya Manusia…………………………………………...………..49

3.6.1. Jumlah Dokter……………………………………………...……….49

3.6.2. Jumlah Karyawan Farmasi……………………...…………........…..50

3.7. Kinerja Pelayanan Farmasi…………………………..………………...….50

3.7.1. Penerimaan Resep Dari Ranap Dan Rajal……………………...…..50

3.7.2. Penerimaan Resep di Unit Farmasi Tahun 2009...............................51

3.8. Panitia Farmasi Dan Terapi………………………………………...……..51

BAB IV. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…........…….55

4.1. Kerangka Teori……………………………………………………………...554.2. Kerangka Pikir................................................................................................56

4.3.Kerangka Konsep…………………………………………………………....57

4.4. Definisi Istilah…………………………………………………………..…. 58

BAB V METODE PENELITIAN……...…………………………………………...61

5.1. Rancangan Penelitian………………………………………..……………...61

5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………….....61

5.3. Sumber Informasi…………………………………………………………...61

5.4. Instrumen Penelitian………………………………………………………...62

5.5. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data……………………………………….63

5.6. Pengolahan dan Analisis Data……………...……………………………… 64

5.6.1. Pengolahan Data………………………………………………………64

5.6.2. Analisis Data………….……………………………………………….66

5.6.3. Validasi Data……………………………………………………….....67

5.6.4. Penyajian Data……………………………....…………………….…..67

BAB VI HASIL PENELITIAN………..……………………………………….....68

6.1. Diskripsi Informan…………………………………………………………..68

6.2. Hasil Penelitian……………………………………………………………...73

6.2.2. Kebijakan Pengelolaan Obat………………………………………….73

6.2.2.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi Dan Terapi………….....73

6.2.2.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium………………….....75

6.2.2.3. Sosialisasi Formularium……………………………………...79

6..2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peresepan dokter………………..81

6.2.3.1. Pengetahuan Dokter Tentang Formularium…………………..81

6.2.3.1.1. Pendapat Dokter Tentang Formularium Di PKSC...82

6.2.3.1.2. Pertimbangan Utama Dokter Dalam Meresepkan....83

6.2.3.2. Kepatuhan Dokter Pada Formularium…………………….....84

6.2.3.3. Pengaruh Promosi Industri Farmasi……………………….....87

6.2.4. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat……………………………....88

6.2.4.1. Harga………………………………………………………....89

6.2.4.2. Ketersediaan ………………………………………………...92

6.2.4.3. Waktu Tunggu……………………………………………….95

6.2.5. Pengaruh Karakteristik Pasien Dengan Keputusan Memilih Tempat

Menebus Resep……………………………………………………....100

6.2.5.1. Pendidikan ……………………………………………...…..101

6.2.5.2. Pekerjaan …………………………………………………...101

6.2.5.3. Penanggung Biaya…………………………………………...102

6.2.5.4. Status Penyakit……………………………………………....102

6.2.5.5. Faktor-faktor lain yang menentukan tempat informan

menebus resep………………………………………………103

BAB VII PEMBAHASAN…….……………………………………………...…104

7.1. Keterbatasan Penelitian……………………………………………..…….104

7.2. Tinjauan Hasil Penelitian……….…………………………………….......104

7.2.1. Kebijakan Pengelolaan Obat……………………………...…...104

7.2.1.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi Dan Terapi…….105

7.2.1.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium…………….106

7.2.1.3. Sosialisasi Formularium……………………………...108

7.2.2. Pola Peresepan Dokter………………………………………..110

7.2.2.1. Pengetahuan Dokter Tentang Formularium………….110

7.2.2.2. Kepatuhan Dokter Pada Formularium………………..111

7.2.2.3. Pengaruh Promosi Industri Farmasi………………….113

7.2.3. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat……………………..114

7.2.3.1. Harga…………………………………………………116

7.2.3.2. Ketersediaan Obat Di Unit Farmasi…………………..117

7.2.3.3. Waktu Tunggu………………………………………..119

7.2.4. Pengaruh Karakteristik Pasien Dengan Keputusan Memilih

Tempat Menebus Resep…………………………………...…122

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN……..…………………………….....126

8.1. Kesimpulan………………………………….………………………….126

8.2. Saran…………………….……………………………………………...127

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..…….....129

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

TABEL Halaman

1.1. Perbandingan kunjungan rawat jalan dengan penerimaan resep di PK Sint

Carolus tahun 2007-2009.......................................................................................2

3.1. Kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan…………………..….……46

3.2 Jumlah karyawan farmasi rumah sakit……………………………………….....50

3.3. Penerimaan resep di farmasi ranap-rajal periode Januari-Agustus

tahun 2004-2009………………………………………………………………...50

3.4 Penerimaan resep di unit farmasi PK Sint Carolus tahun 2009…….……..…...51

5.1. Daftar kode informan…………………………………………………………...65

6.1. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur manajemen PK Sint Carolus..68

6.2. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur panitia farmasi dan terapi…...69

6.3. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur pelaksana rawat jalan…….…69

6.4. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur dokter spesialis………….…..70

6.5. Diskripsi informan wawancara mendalam unsur pasien……………………….71

6.6. Pengaruh karakteristik pasien dengan keputusan memilih tempat membeli

obat......................................................................................................................72

6.7. Jumlah obat sisipan formularium tahun 2006-2009……………………………77

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

2.1. Peran pimpinan………………………………………………………………..33

7.1. Tahapan prosedur penetapan obat……………………………………………107

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Struktur Organisasi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus

Lampiran 2 : Pedoman Wawancara Mendalam

Lampiran 3 : Kategorisasi Data

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Di era globalisasi saat ini yang sangat kompetitif , rumah sakit tidak dapat

lagi dipandang sebagai institusi sosial semata, yang dikelola dengan manajemen

tradisional dan mengandalkan sumber daya seadanya, tetapi rumah sakit lebih

dipandang sebagai suatu lembaga sosio-ekonomi yaitu lembaga sosial yang dikelola

dengan prinsip-prinsip ekonomi. Saat ini rumah sakit swasta non-profit semakin

berkembang kearah organisasi bisnis. Dalam UU No 44 tahun 2009 tercantum bahwa

salah satu hak rumah sakit adalah menerima imbalan jasa pelayanan. Terjadi

perubahan sistem nilai, rumah sakit yang semula terutama berfungsi sosial sudah

menjadi badan usaha bisnis yang menghasilkan surplus keuangan dari

penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Unit farmasi rumah sakit adalah sebuah unit atau bagian di rumah sakit yang

melakukan pekerjaan kefarmasian dan memberikan pelayanan kefarmasian

menyeluruh khususnya kepada penderita, professional kesehatan, rumah sakit dan

masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh seorang apoteker yang sah, kompeten, dan

professional. Kewajiban apoteker adalah menetapkan dan memelihara standar untuk

menjamin mutu, penyimpanan yang tepat, pengendalian dan penggunaan yang aman

dari semua sediaan farmasi (Siregar&Amalia,2003).

Di Indonesia, peran farmasi rumah sakit dalam penjualan obat cukup signifikan.

Dari data distributor farmasi terkemuka didapatkan kontribusi penjualan obat di tiga

sektor bisnis obat di Indonesia adalah sebagai berikut : dari rumah sakit sebesar 51%,

46% dari apotik dan sisanya 3% melalui dispensing dokter.

(farmakologinews.blogspot.com,2008). Oleh sebab itu unit farmasi rumah sakit

merupakan salah satu sumber pendapatan yang signifikan bagi rumah sakit.

Penelitian yang dilakukan oleh Fathoni, dkk (2001) di Rumah Sakit Pupuk Kaltim

mendapatkan hasil bahwa pendapatan apotik rumah sakit merupakan 60% dari

pendapatan total rumah sakit. Di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus unit farmasi

memberikan sekitar 60-61% pendapatan dari total penerimaan rumah sakit sekalipun

hanya sekitar 80% pasien yang menerima resep obat (Siregar dan Amalia,2003).

Tabel 1.1. Perbandingan kunjungan rawat jalan dengan penerimaan resep di PK Sint

Carolus tahun 2007-2009

1.2. RUMUSAN MASALAH.

Dari data 3 tahun terakhir terlihat bahwa 16-24% dari resep yang ditulis

dokter di unit rawat jalan dibeli di luar unit farmasi PK Sint Carolus sehingga

mempengaruhi total pendapatan PK Sint Carolus. Hal ini sesuai dengan pernyataan

dari Direktur Utama PK Sint Carolus bahwa kehilangan resep tersebut sangat

signifikan bagi PK Sint Carolus. Untuk itu diadakan penelitian ini dalam rangka

mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli

obat.

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN

1.3.1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli

Tahun Kunjungan

Rajal

∑ Resep Rajal

Diterima Farmasi

Selisih %

2007 121.649 66.626 55.673 10.953 16,44

2008 131.920 79.415 60.694 18.721 23,57

2009 138.144 104.131 81.880 22.251 21,37

obat di PK Sint Carolus?

1.3.2. Apakah faktor peresepan dokter di poliklinik spesialis PK Sint Carolus

mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat?

1.3.3. Apakah faktor karakteristik obat di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus

mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat?

1.3.4. Apakah faktor pertimbangan dokter di poliklinik spesialis PK Sint Carolus

dalam meresepkan obat mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli

obat?

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1. Tujuan umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat

membeli obat.

1.4.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui faktor-faktor peresepan dokter di poliklinik spesialis PK

Sint Carolus yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat

membeli obat.

2. Mengetahui faktor-faktor karakteristik obat di unit farmasi rawat

jalan PK Sint Carolus yang mempengaruhi pasien dalam memilih

tempat membeli obat.

3. Mengetahui faktor-faktor pertimbangan dokter di poliklinik spesialis

PK Sint Carolus dalam meresepkan obat yang mempengaruhi pasien

dalam memilih tempat membeli obat.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Bagi PK. Sint Carolus :

a. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat

membeli obat.

b. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen PK Sint Carolus untuk

merancang strategi mengurangi jumlah resep yang ditebus diluar unit farmasi.

c. Menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen rumah sakit Sint Carolus untuk

meminimalisir setiap potensi kehilangan penerimaan di setiap unit.

1.5.2. Bagi peneliti

a. Mendapat pengetahuan, pengalaman dan pemahaman tentang penerapan ilmu

manajemen rumah sakit khususnya dalam sistem pelayanan di unit revenue

center.

b. Mendapatkan pembelajaran tentang manajemen rumah sakit khususnya hal-

hal yang mempengaruhi pasien dalam memilih tempat membeli obat

c. Mendapat kesempatan untuk mengembangkan wawasan keilmuan yang

diperoleh selama mengikuti perkuliahan di jurusan Kajian Administrasi

Rumah Sakit.

1.5.3. Bagi institusi pendidikan

Khususnya Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam bidang Kajian

Administrasi Rumah Sakit sebagai tempat pembelajaran penelitian ini sebagai

pemenuhan tugas akhir dan kiranya hasil penelitian ini dapat berguna bagi

pihak-pihak yang berkepentingan.

1.6. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan diagram fishbone dari Ishikawa untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat membeli obat

di PK Sint Carolus tahun 2009. Dari diagram tersebut diketahui bahwa pemilihan

tempat membeli obat dipengaruhi oleh peresepan dokter spesialis yang berpraktek di

poliklinik spesialis, obat-obat yang tersedia di unit farmasi rawat jalan dan

karakteristik pasien yang berobat di poliklinik spesialis PK Sint Carolus. Faktor-

faktor penyebab masalah tersebut menjadi variabel-variabel yang akan dianalisa.

Ketiga faktor penyebab itu juga dipengaruhi oleh kebijakan manajerial PK Sint

Carolus dengan dibentuknya panitia farmasi dan terapi yang mengatur pengelolaan

obat di PK Sint Carolus.

Penelitian ini menggunakan pendekatan model sistem, dimana panitia farmasi

dan terapi, peresepan dokter, karakteristik obat dan karakteristik pasien menjadi

variabel masukan, prosesnya adalah pertimbangan dokter dalam peresepan dokter

dan keluarannya adalah pemilihan tempat membeli obat. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif karena peneliti ini ingin mengetahui lebih mendalam mengenai

permasalahan penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus tahun

2009.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer yaitu sejumlah keterangan/fakta yang secara langsung diperoleh

dari sumber dimana penelitian ini dilakukan. Data primer diperoleh melalui

informan.

b. Data sekunder yaitu keterangan-keterangan yang mendukung data primer.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan

melalui literatur maupun bentuk lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Tehnik pengumpulan data dilakukan berdasarkan :

a. Studi kepustakaan

Merupakan suatu tehnik pengumpulan data sekunder dengan cara menelusuri

dan mengkaji dokumen-dokumen dan literatur yang ada hubungannya dengan

penelitian

b. Wawancara

Merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara tanya jawab berdasarkan

pedoman wawancara yang dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap

informan yang terlibat langsung dalam peresepan, ketersediaan obat dan

penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus.

Pengambilan data primer dan sekunder dilaksanakan di PK Sint Carolus, Jalan

Salemba Raya Nomor 41, Jakarta pada bulan April – awal Juni 2010.

Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DINAMIKA PERKEMBANGAN RUMAH SAKIT

Perubahan paradigma pengelolaan rumah sakit saat ini jauh berbeda dengan

konsep rumah sakit jaman dulu dimana fungsi sosial sebagai institusi pelayanan

kesehatan masyarakat sangat dominan. Dewasa ini rumah sakit diperhadapkan pada

tantangan kritis akibat perkembangan sosial, ekonomi dan budaya yang mengglobal,

menyebabkan terjadinya perubahan pasar yang ditandai dengan makin ketatnya

kompetisi antar rumah sakit dan reformasi di bidang pelayanan kesehatan. Rumah

sakit menghadapi realita kehidupan yang semakin meterialistis, kita tidak dapat

menutup mata bahwa mutu pelayanan rumah sakit terkait dengan pesatnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, yang membutuhkan

biaya tinggi. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran pola pengelolaan rumah sakit.

Saat ini dalam pengelolaannya rumah sakit tidak hanya berorientasi pada

pelayanan kesehatan masyarakat saja, tetapi juga harus memikirkan sistem bisnis agar

dapat tumbuh dan berkembang, bila orientasi bisnis tidak diperhatikan maka akan

terjadi kegagalan berkembang, akibatnya seluruh fungsi rumah sakit menjadi

terganggu (Trisnantoro,2004). Bisnis merupakan usaha penyediaan produk dan jasa

berkualitas bagi pemuasan kebutuhan customer untuk memperoleh return jangka

panjang memadai bagi kemampuan bertahan dan berkembang bisnis tersebut

(Mulyadi,1995) dikutip dari (Trisnantoro,2004).

Meskipun demikian bisnis rumah sakit dibatasi oleh peraturan perundang-

undangan dikarenakan (UU N0 36, 2009) :

1 Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,

membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan

terjangkau oleh masyarakat.

2 Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan

perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan

terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan

norma-norma agama.

3 Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang

aman, bermutu dan terjangkau.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada masyarakat juga mengacu pada

kebijakan pelayanan publik seperti yang tercantum dalam UU No 25 tahun 2009 yaitu

bahwa setiap warganegara berhak memperoleh pelayanan yang adil dan pemberian

pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status

ekonomi.Sehingga semua golongan masyarakat dapat menikmati pelayanan

kesehatan sesuai dengan kebutuhannya dan dengan biaya yang terjangkau.

Dalam UU No 44 Tahun 2009 disebutkan bahwa fungsi rumah sakit adalah :

1 Penyelenggaran pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit.

2 Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

3 Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

4 Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan (UU No 44,2009) :

1 Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

2 Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.

3 Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.

4 Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Pengelolaan rumah sakit memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga

korporat pada umumnya, disebabkan (Djojodibroto,1997) :

1 Sebagian besar tenaga kerja rumah sakit adalah tenaga professional

2 Wewenang kepala rumah sakit berbeda dengan wewenang pimpinan

perusahaan

3 Tugas-tugas kelompok professional lebih banyak dibandingkan tugas

kelompok manajerial

4 Beban kerjanya tidak bisa diatur

5 Jumlah pekerjaan dan sifat pekerjaan di unit kerja beragam

6 Hampir semua kegiatannya bersifat urgent

7 Pelayanan rumah sakit sifatnya sangat individualistic. Setiap pasien harus

dipandang sebagai individu yang utuh, aspek fisik, aspek mental, aspek

sosiokultural, dan aspek spiritual harus mendapat perhatian penuh

8 Tugas memberikan pelayanan bersifat pribadi, pelayanan ini harus cepat,

tepat, kesalahan tidak bisa ditolerir

9 Pelayanan berjalan terus menerus 24 jam sehari

2.1.1. PERKEMBANGAN LAYANAN RAWAT JALAN

Salah satu kegiatan pelayanan medis rumah sakit yang merupakan pelayanan

terdepan yang menampilkan citra rumah sakit adalah pelayanan rawat jalan. Rawat

jalan memegang peran penting dalam pelayanan rumah sakit, karena merupakan

pintu gerbang rumah sakit, pelayanan terdepan yang memberikan kesan pertama bagi

pasien dan merupakan tempat peralihan ke unit-unit lain di rumah sakit, seperti unit

rawat inap dan unit-unit penunjang medis.(Rijadi,1997).

Tahun 1985, penerimaan rumah sakit dari kunjungan rawat jalan kurang dari

15% dari total penerimaan rumah sakit, tetapi tahun 2000 praktisi kesehatan

memperkirakan penerimaan dari rawat jalan meningkat drastis menjadi paling sedikit

50% dari total penerimaan rumah sakit (Barr & Breindel, 1995) dikutip dari Rijadi

(1997). Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan pelayanan rawat jalan

adalah (Cambridge Research Institute,1976; Avery&Imdieke,1984; Feste,1989 dalam

Azwar,1996) :

1. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan

rawat jalan relative lebih sederhana dan murah, dan arena itu lebih banyak

didirikan.

2. Kebijakan pemerintah yang untuk mengendalikan biaya kesehatan mendorong

dikembangkannya berbagai sarana pelayanan rawat jalan. Di Amerika Serikat

sarana pelayanan rawat jalan yang dimaksud antara lain Health Maintenance

Organization (HMOs) serta Prefered Provider Organization (PPOs)

3. Tingkat kesadaran kesehatan penduduk yang makin meningkat, yang tidak

lagi membutuhkan pelayanan untuk mengobati penyakit saja, tetapi juga

untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan yang umumnya dapat

dilayani oleh sarana pelayanan rawat jalan saja.

4. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran yang telah dapat melakukan

berbagai tindakan kedokteran yang dulunya memerlukan pelayanan rawat

inap, tetapi pada saat ini cukup dilayani dengan pelayanan rawat jalan saja.

5. Utilisasi rumah sakit yang makin terbatas, dan karenanya untuk meningkatkan

pendapatan, kecuali lebih mengembangkan pelayanan rawat jalan yang ada di

rumah sakit juga terpaksa mendirikan berbagai sarana pelayanan rawat jalan

di luar rumah sakit.

2.1.2. FARMASI RUMAH SAKIT

Sebagai satu-satunya unit yang mengelola dan mendistribusikan perbekalan

farmasi, unit farmasi rumah sakit merupakan salah satu sumber pendapatan yang

signifikan bagi rumah sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Fathoni, dkk (2001) di

Rumah Sakit Pupuk Kaltim mendapatkan hasil bahwa pendapatan apotik rumah sakit

merupakan 60% dari pendapatan total rumah sakit.

Unit farmasi rumah sakit adalah suatu unit atau bagian di rumah sakit yang

melakukan pekerjaan kefarmasian dan memberikan pelayanan kefarmasian

menyeluruh khususnya kepada penderita, profesional kesehatan, rumah sakit dan

masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh seorang apoteker yang sah, kompeten, dan

professional. Kewajiban apoteker adalah menetapkan dan memelihara standar untuk

menjamin mutu, penyimpanan yang tepat, pengendalian dan penggunaan yang aman

dari semua sediaan farmasi (Siregar&Amalia,2003).

Saat ini orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari

pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang

berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada Pharmaceutical

Care. Kegiatan pelayanan yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat

sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. (Kepmenkes No 1197,2004).

Tujuan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan di rumah

sakit adalah (Kepmenkes No 1197,2004) :

1 Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah

sakit.

2 Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan

dan efisiensi penggunaan obat.

3 Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang

terkait dalam pelayanan farmasi.

4 Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan

penggunaan obat secara rasional

Fungsi pokok apotik rumah sakit dan apoteker menurut ASHP (American Society of

Hospital Pharmacist) adalah sebagai berikut :

1. Membuat dan mensterilisasi obat injeksi bilamana dibuat di RS

2. Membuat obat yang sederhana

3. Memberikan (dispensing) obat, bahan kimia dan preparat farmasi

4. Mengisi dan memberikan etiket pada semua container yang berisi obat dan

diberikan kepada pasien maupun lain bagian RS

5. Mengawasi semua pharmaceutical supplies yang dikirimkan dan

dipergunakan di berbagai bagian RS

6. Menyediakan persediaan antidot dan lain-lain obat untuk keadaan gawat

darurat

7. Mengawasi pengeluaran obat narkotika dan alkohol dan membuat daftar

inventory

8. Membuat spesifikasi (kualitas dan sumber) dari pembelian semua obat, bahan

kimia, antibiotika, biologicals dan preparat-preparat farmasi yang dipakai

dalam pengobatan pasien di RS

9. Memberikan informasi mengenai perkembangan terbaru berbagai obat kepada

para dokter, perawat dan lain-lain orang yang berkepentingan

10. Membantu mengajar para mahasiswa kedokteran dan perawat pada program

koasisten fakultas kedokteran/perawat

11. Melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil oleh panitia farmasi dan

terapi

Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik maka pelayanan apotik RS harus

(Aditama,2004) :

1. Punya sistem yang mendukung berjalannya kegiatan yang cepat, tepat dan

aman

2. Sebaiknya mendistribusikan pelayanan di beberapa loket untuk

mempermudah pasien

3. Mampu membuat system inventory yang dapat menurunkan penggunaan

modal kerja

4. Mampu menjalin komunikasi yang baik dengan seluruh unit kerja di rumah

sakit

5. Memiliki karyawan handal dan terlatih.

Masalah yang berkaitan dengan dispensing obat pada pasien rawat inap sangat

berbeda dengan pasien rawat jalan. Pada pasien rawat inap, proses permintaan obat ke

unit farmasi, pendistribusian dan pemberian obat kepada pasien, dilakukan oleh

perawat dan staf unit farmasi rumah sakit, sedangkan pasien rawat jalan setelah

menerima resep dan menebus obat, ia bertanggung jawab sendiri terhadap konsumsi

obatnya karena pasien berada dalam lingkungan yang tak dapat dikendalikan oleh

rumah sakit. Karena itu perlu ada jaminan mutu dan keamanan obat yang diberikan

kepada pasien. Jaminan mutu dan keamanan obat juga termasuk dalam pengolahan

resep obat yang diterima oleh unit farmasi rumah sakit, persyaratannya adalah

sebagai berikut (Siregar&Amalia,2003) :

1 Semua fungsi dispensing harus dilakukan oleh apoteker atau di bawah

pengawasan apoteker.

2 Apoteker harus mengembangkan kebiasaan mengetahui praktik penulisan dari

dokter individu yang secara khas menulis bagi penderita yang dilayani unit

farmasi rumah sakit.

3 Apoteker harus berinteraksi dengan dokter penulis yang memberi pengaruh

positif pada penulisan resep.

4 Obat harus di dispensing dan diberikan kepada pasien rawat jalan hanya

berdasarkan order tertulis atau lisan dari dokter penulis yang sah.

5 Ketepatan dari pemilihan obat, dosis, rute pemberian, serta jumlah secara

klinik harus dikaji oleh apoteker.

6 Profil pengobatan penderita dari semua penderita harus dipelihara.

7 Apoteker merupakan bagian terpadu dari setiap program pemberian obat di

rumah. Apoteker harus terlibat dalam mengevaluasi kemungkinan perawatan

kesehatan rumah guna menetapkan kemampuan mereka berpartisipasi secara

aman dan efektif dalam konsumsi obat di rumah.

8 Apoteker harus membuat dan/atau menyiapkan tepat waktu dan dengan cara

yang akurat, formulasi obat, kekuatan, bentuk sediaan dan pengemasan yang

ditulis dokter

9 Personel unit farmasi rumah sakit harus menyiapkan semua obat parenteral

untuk diberikan pada pasien rawat jalan dan pasien yang dirawat di rumah,

kecuali dalam keadaan darurat.

10 Prosedur pemeriksaan dan prosedur jaminan mutu yang tepat harus digunakan

untuk memastikan ketelitian dari semua sediaan obat dan proses dispensing.

11 Apoteker harus mengambil peran aktif dalam manajemen terapi obat

langsung.

12 Obat yang di dispensing harus diberi etiket dengan lengkap dan benar serta

dikemas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan standar praktik yang

diterima.

13 Etiket pada wadah obat yang di dispensing untuk pasien rawat jalan, minimal

mengandung informasi berikut :

a. Nama, alamat dan nomor telepon unit farmasi rumah sakit

b. Tanggal obat di dispensing

c. Nomor seri resep

d. Nama lengkap penderita

e. Nama obat (nama generik)

f. Aturan pakai obat untuk penderita

g. Nama dokter penulis resep

h. Informasi peringatan

i. Paraf (atau nama) apoteker penanggung jawab

Dispensing adalah salah satu unsur vital dari penggunaan obat karena

memastikan bahwa suatu bentuk yang efektif dari obat yang benar dihantarkan

kepada penderita yang benar. Dispensing mencakup berbagai kegiatan, yang

dilakukan oleh seorang apoteker, mulai dari penerimaan resep atau permintaan obat

bebas dari unit rawat inap dan unit rawat jalan dengan memastikan penyerahan obat

yang tepat pada penderita tersebut serta kemampuannya mengkonsumsi sendiri

dengan baik. Tetapi sebelum obat di dispensing kepada pasien perlu dilakukan

pelayanan konseling untuk menginformasikan cara konsumsi obat yang benar.

Hal-hal yang perlu disampaikan dalam konseling antara lain (Siregar&Amalia,2003) :

1 Cara pengeluaran sediaan obat dari wadahnya

2 Cara/teknik pengkonsumsian suatu bentuk obat, misalnya obat tetes, obat

inhalasi, supositoria, tablet kunyah, tablet sublingual, tablet vagina dll

3 Jadwal waktu penggunaan/konsumsi obat, sesuai aturan penggunaan yang

tertulis

4 Lama penggunaan suatu obat

5 Penyimpanan obat yang tepat

6 Efek samping

7 Interaksi obat atau dengan makanan

8 Alergi

9 Maksud terapi

Untuk menjamin kualitas pelayanan farmasi, ditetapkan suatu standar

pelayanan yang disebut sebagai standar minimal pelayanan unit farmasi, yaitu

kegiatan minimal yang harus dilakukan unit farmasi secara terus-menerus yang masih

memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik (Siregar&Amalia,2003)

Standar minimal untuk pelayanan farmasi adalah :

1. Waktu tunggu pelayanan

a. obat jadi : tidak lebih dari 30 menit

b. obat racikan : tidak lebih dari 60 menit

2. Tidak ada kejadian kesalahan pemberian obat : 100%

3. Kepuasan pelanggan : lebih dari 80%

4. Penulisan resep sesuai formularium : 100%

Pelayanan farmasi di rumah sakit terbagi menjadi pelayanan klinik dan non klinik.

a. Pelayanan non kilinik

Adalah pelayanan yang tidak memerlukan interaksi langsung dengan pasien

dan professional kesehatan lain

b. Pelayanan klinik

Adalah pelayanan yang secara langsung diberikan kepada penderita dan/atau

memerlukan interaksi dengan professional kesehatan lain, yang secara

langsung terlibat dalam perawatan penderita. Pelayanan farmasi klinik terdiri

dari :

1. Pelayanan langsung pada penderita, mencakup :

a. Pengambilan sejarah obat penderita

b. Pengadaan dan pemeliharaan profil pengobatan penderita

c. Edukasi dan konseling penderita

d. Pelayanan farmakokinetik klinik

e. Pelayanan pencampuran sediaan intravena

f. Pelayanan obat sitotoksik

g. Pelayanan nutrisi parenteral lengkap

h. Pemantauan efek obat

i. Pelayanan informasi/konsultasi obat kepada dokter dalam pemilihan

obat bagi penderita

j. Pelayanan spesialisasi untuk berbagai penyakit

2. Pelayanan tidak langsung pada penderita, yaitu berperanan dalam :

a. Sistem formularium/pemeliharaan formularium

b. Sentra informasi obat/keracunan

c. Panitia farmasi dan terapi

d. Evaluasi penggunaan obat

e. Pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan

f. Pemantauan terapi obat

g. Investigasi obat

h. Sistem pemantauan kesalahan obat

i. Buletin farmasi

j. Program pendidikan “in service”, tentang obat bagi professional

kesehatan di rumah sakit.

2.2. OBAT DAN PENGGUNAANNYA

Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam

pelayanan kesehatan karena obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam

upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis,

pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat

dibutuhkan (Rancangan KONAS, 2005).

Menurut WHO (1997) obat paling sedikit memiliki 5 fungsi penting, yaitu:

1 Obat menyelamatkan hidup dan meningkatkan kesehatan

2 Pemberian obat mengandung unsur kepercayaan dan partisipasi dari

pelayanan kesehatan

3 Obat mengandung komponen biaya

4 Obat berbeda dengan produk konsumsi lain, karena :

a. Pasien tidak memilih obat tetapi obat diresepkan oleh dokter atau

direkomendasikan oleh staf farmasi

b. Sekalipun pasien memilih obat tetapi tidak mengerti tentang aspek

kesesuaian, keamanan, kualitas atau nilai biaya obat (value of money)

5 Sistem pengadaan dan penggunaan obat selalu perlu ditingkatkan agar obat

selalu tersedia pada saat dibutuhkan.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN,2004) menyatakan bahwa penyelenggaraan

subsistem obat dan perbekalan kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip berikut :

1 Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia yang

berfungsi sosial, sehingga tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas

ekonomi semata

2 Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik harus dijamin

ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya

dikendalikan oleh pemerintah dan tidak sepenuhnya diserahkan kepada

mekanisme pasar

3 Obat dan perbekalan kesehatan tidak dipromosikan secara berlebihan dan

menyesatkan

4 Peredaran serta pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan tidak boleh

bertentangan dengan hukum, etika dan moral

5 Penyediaan obat mengutamakan obat generik bermutu yang didukung oleh

pengembangan industri bahan baku yang berbasis pada keanekaragaman

sumberdaya alam

6 Penyediaan perbekalan kesehatan diselenggarakan melalui optimalisasi

industri nasional dengan memperhatikan keragaman produk dan keunggulan

daya saing

7 Pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan standar

formularium obat rumah sakit, sedangkan di sarana kesehatan lain mengacu

kepada Daftar Obat Esensial Nasional.

8 Pelayanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara rasional

dengan memperhatikan aspek mutu, manfaat, harga, kemudahan diakses serta

keamanan bagi masyarakat dan lingkungannya.

9 Pengembangan dan peningkatan obat tradisional yang bermutu tinggi, aman,

memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara

luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan

dalam pelayanan kesehatan formal.

10 Pengamanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan mulai dari tahap

produksi, distribusi dan pemanfaatan yang mencakup mutu, manfaat,

keamanan dan keterjangkauan

11 Kebijakan Obat Nasional ditetapkan oleh pemerintah bersama pihak terkait

lainnya.

Selain SKN di Indonesia juga terdapat Kebijakan Obat Nasional (KONAS) yang

digunakan sebagai landasan, arah dan pedoman dalam penggunaan obat. Tujuannya

untuk menjamin (Panjaitan,2006) :

1 Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial

2 Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi

masyarakat dari penggunaan obat yang salah dan penyalahgunaan obat

3 Penggunaan obat yang rasional

Menurut WHO (1997) tujuan kebijakan obat nasional dan peningkatan pengelolaan

obat terbagi menjadi :

1 Tujuan yang berhubungan dengan kesehatan :

a. Menyediakan obat esensial bagi seluruh populasi masyarakat

b. Menyediakan obat yang terjamin keamanan, efektifitas dan kualitasnya

c. Meningkatkan keberadaan fasilitas kesehatan dengan cara meningkatkan

kredibilitas dan penerimaan terhadap sistem kesehatan

d. Mempromosikan peresepan, dispensing dan penggunaan obat yang rasional

kepada pasien

2 Tujuan ekonomi, yaitu :

a. Menurunkan biaya belanja obat-obatan, baik bagi pemerintah, penyedia

layanan kesehatan maupun masyarakat

b. Mengurangi biaya pembelian obat dari negara lain tanpa mengurangi

supply obat

c. Menyediakan lapangan pekerjaan dalam bidang produksi dan distribusi obat

3 Tujuan pembangunan nasional, yaitu :

a. Meningkatkan kemampuan personel, baik dalam pengelolaan obat, farmasi

dan obat-obatan

b. Meningkatkan sistem komunikasi internal

c. Mendukung perkembangan industri pengemasan obat, formulasi obat dan

aspek produksi lainnya

Lebih dari 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan

farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan/alat kesehatan habis pakai,

alat kedokteran, dan gas medik), dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit

berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. Karena itu, jika masalah perbekalan

farmasi tidak dikelola secara cermat dan penuh tanggung jawab maka dapat

diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit akan mengalami penurunan

(Suciati&Adisasmito,2006)

Jenis obat terdiri dari :

1 Obat paten

adalah obat yang masih memiliki hak paten. Biasanya adalah obat yang baru

ditemukan dan ada hak paten yang dimiliki oleh penemu atau produsen

farmasi pengembang. Hak paten ini dimiliki 2 tahun sampai lebih dari 20

tahun

2 Bukan obat paten, terbagi atas :

a. Obat generik

Adalah obat dengan nama resmi “International Non Propletary Names”

(INN) yang ditetapkan dalam farmakope Indonesia atau buku standar

lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya

b. Obat bermerek

Obat generic bermerek/bernama dagang adalah obat generik dengan nama

dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan.

Obat generik bermerek pada dasarnya memiliki kandungan zat berkhasiat

sama dengan obat generik. Obat bermerek pada umumnya memiliki harga

yang lebih tinggi daripada obat generik karena :

1. Mungkin ada penambahan zat tertentu dan variasi

2. Kemasan dibuat menarik

3. Iklan untuk mendorong pemasaran obat

4. Obat bermerek adalah bisnis perusahaan farmasi

Penelitian untuk menemukan jenis obat baru biasanya dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan farmasi raksasa di luar negeri yang sudah mapan, karena

membutuhkan biaya yang sangat besar, sekitar US$ 100 juta untuk penemuan satu

jenis obat baru. (Sirait, 1992). Ketika masa paten obat tersebut sudah lewat, barulah

pabrik obat lain diperbolehkan memproduksi versi generik obat sejenis dengan harga

yang lebih murah, Biaya penelitian obat baru dibebankan bukan saja pada obat baru

yang ditemukan, akan tetapi juga terhadap obat-obat penting hasil industri farmasi

yang bersangkutan (Sirait, 1992), sehingga harga berbagai bahan obat penting yang

beredar di seluruh dunia akan mengalami peningkatan. Terdapat jurang yang sangat

lebar antara harga obat generik dengann harga obat paten yang lisensinya dimiliki

oleh perusahaan farmasi asing. perbedaan harganya bisa sampai 10-40 kali , bahkan

ada yang sampai 80 kali (Widjajarta,2007). Penelitian WHO menunjukkan

perbandingan harga antara satu nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk

obat yang sama, berkisar 1 : 2 sampai 1 : 5 (Rancangan KONAS,2005).

2.3. PANITIA FARMASI DAN TERAPI

Dari satu jenis bahan obat dapat diproduksi berbagai merek obat jadi dengan

rentang harga dari yang sangat rendah sampai harga yang tinggi. Keragaman obat

yang beredar di pasaran membuat para dokter tidak mungkin dapat selalu meng up

date dan membandingkan berbagai macam obat tersebut. Produk obat yang sangat

bervariasi menyebabkan tidak konsistennya pola peresepan dalam suatu sarana

pelayanan kesehatan (Jati,2009).

Rumah sakit perlu mengembangkan suatu program penggunaan obat yang

baik, guna memastikan bahwa pasien menerima perawatan terbaik

(Siregar&Amalia,2003). Karena itu menurut Laing,et al (2001) rumah sakit perlu

membuat kebijakan pengelolaan obat sebagai berikut :

1. Menyusun pedoman pengobatan standar

2. Menyusun formularium

3. Membentuk panitia farmasi dan terapi

4. Menerapkan problem-based training dalam farmakoterapi di kurikulum

pendidikan dokter dan perawat

5. Mendorong partisipasi dokter,perawat dan apoteker untuk mengikuti program

pendidikan berkelanjutan

6. Menstimulasi kelompok interaktif diantara sesama penyedia layanan

kesehatan untuk mereview penggunaan obat yang adekuat

7. Melatih apoteker dan staf farmasi untuk aktif memberikan nasihat pada

consumer mengenai obat dan kesehatan

8. Mendorong keterlibatan organisasi masyarakat untuk aktif memberikan

informasi obat pada masyarakat

9. Berkolaborasi dengan organisasi profesi untuk mengembangkan strategi

penggunaan obat yang rasional

10. Menyusun sistem monitoring untuk mengetahui dampak perubahan peraturan

Melihat pentingnya penggelolaan obat di rumah sakit, maka Pemerintah

menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 1009/Menkes/SK/X/1995, yang

menyatakan bahwa (Panjaitan,2006) :

1. Semua Rumah Sakit Pemerintah diwajibkan membentuk panitia

farmasi dan terapi

2. Panitia farmasi dan terapi bertugas membantu direktur menentukan

kebijakan di bidang obat, pengobatan dan farmasi

3. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu, efisiensi dan efektivitas

pelayanan rumah sakit

Menurut Siregar & Amalia (2003) rumah sakit memerlukan suatu fungsi pemantauan

farmasi dan terapi yang mencakup :

1. Pengembangan kebijakan dan prosedur mengenai seleksi, distribusi,

penanganan, penggunaan, dan pemberian/konsumsi obat dan bahan uji

diagnostik

2. Pengembangan dan pemeliharaan formularium obat

3. Evaluasi dan apabila tidak ada mekanisme demikian, persetujuan protocol,

berkaitan dengan penggunaan obat investigasi atau obat percobaan

4. Penetapan dan pengkajian semua reaksi obat yang merugikan

Fungsi pemantauan farmasi dan terapi tersebut dilakukan oleh panitia farmasi dan

terapi, yang keanggotaannya melibatkan tenaga kesehatan dari berbagai profesi

seperti dokter, perawat, apoteker, kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lain di

rumah sakit (WHO,2001).

Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan

komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri

dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan

apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya

(Kepmenkes No1197,2004). Susunan kepanitiaan panitia farmasi dan terapi serta

kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi

rumah sakit setempat (Kepmenkes No 1197,2004) :

1 Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga)

Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter

bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang

ada.

2 Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam

kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik,

maka sebagai ketua adalah Farmakolog. Sekretarisnya adalah Apoteker dari

instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.

3 Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya

2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan

sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari

dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi

pengelolaan Panitia Farmasi dan Terapi.

4 Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat panitia farmasi dan terapi

diatur oleh sekretaris termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.

5 Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang

sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.

Tujuannya adalah :

1 Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat

serta evaluasinya.

2 Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru

yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan

kebutuhan. (merujuk pada SK Dirjen Yanmed nomor YM.00.03.2.3.951).

Menurut Moss,R.L et al (1990) dan Hester,F.G (1990) tugas panitia farmasi

dan terapi di rumah sakit adalah menyeleksi dan merekomendasikan obat dan alat

kesehatan yang cost effective dan cost efficient dan memonitor penggunaan obat,

efek samping obat serta hasil terapi Dokter berperan penting dalam memberikan

masukan kepada panitia farmasi dan terapi mengenai keseimbangan antara aspek

ekonomi dan ilmu pengetahuan kedokteran dalam proses seleksi obat

(Quintiliani&Quercia,2003).

Kewajiban panitia farmasi dan terapi adalah (Kepmenkes No 1197,2004):

1 Memberikan rekomendasi pada pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya

pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional

2 Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah

sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain

3 Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat

terhadap pihak-pihak yang terkait

4 Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan

umpan balik atas hasil pengkajian tersebut

Pimpinan rumah sakit menetapkan tugas, lingkup fungsi, kewajiban, tanggung jawab,

wewenang dan hak panitia farmasi dan terapi dan anggotanya, secara jelas, tegas, dan

dituangkan dalam surat keputusan direktur rumah sakit (Siregar&Amalia,2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Suryasaputra (1998) menunjukkan bahwa

peningkatan penggerakkan fungsi panitia farmasi dan terapi memberi dampak positif

terhadap pendapatan instalasi farmasi rumah sakit.

2.4. FORMULARIUM

Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh panitia

farmasi dan terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap

batas waktu yang telah ditentukan (Kepmenkes No 1197,2004). Tujuan utama

dibuatnya formularium rumah sakit adalah untuk mendorong para dokter agar

menggunakan obat yang paling efisien dari segi terapi dan biaya (Lancer,2002)

Komposisi formularium terdiri dari (Kepmenkes No 1197,2004) :

1. Halaman judul

2. Daftar nama anggota Panitia Farmasi dan Terapi

3. Daftar Isi

4. Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat

5. Produk obat yang diterima untuk digunakan

6. Lampiran

Manfaat formularium adalah (apoteker-istn.blogspot.com,2010):

1. Terapeutik

memudahkan dokter dan apoteker untuk memberikan obat yang rasional bagi

pasien

2. Ekonomi

menghilangkan duplikasi obat sehingga mengurangi duplikasi pengadaan obat

dan memberikan harga yang rendah kepada pasien

3. Edukasi

formularium yang baik berisi informasi monografi obat terstandar dan

informasi tambahan mengenai obat untuk kepentingan edukasi

Panduan umum formularium rumah sakit menurut WHO (1997) :

1. Jumlah obat yang masuk dalam formularium harus dibatasi, tidak semua obat

yang beredar di pasaran masuk dalam formularium

2. Kurangi jumlah obat bermerek, hanya satu obat bermerek dari satu jenis obat

generik yang secara rutin ada dalam stok

3. Obat diseleksi berdasarkan penyakit dan penatalaksanaan medis yang dapat

dilakukan di sarana pelayanan kesehatan tersebut

4. Selalu tersedia obat pilihan utama (drug of choice) yang biasa digunakan

dalam pengobatan. Obat pilihan sudah diseleksi berdasarkan efektivitas,

keamanan,toksisitas, farmakokinetik, bioequivalen, dan biaya yang efektif

merupakan aspek penting dalam pemilihan obat.

5. Obat alternatif tetap diperlukan selain obat pilihan utama (drug of choice),

tetapi jumlahnya dibatasi

6. Formularium rumah sakit harus sinergis dengan kebijakan obat nasional dan

pedoman diagnosa dan terapi

Pedoman Penggunaan Formularium di Indonesia menurut Kepmenkes No 1197 tahun

2004, meliputi :

1 Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan

panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,

organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem

Formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan terapi.

2 Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan

tiap-tiap institusi.

3 Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis

oleh panitia farmasi dan terapi untuk menguasai sistem Formularium yang

dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi.

4 Nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik.

5 Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi

Farmasi.

6 Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek

terapinya sama, seperti :

a. Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik

yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang

diminta.

b. Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus

didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi.

c. Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber

obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan

oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien.

Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah (WHO,2001) :

1. Obat sudah terbukti efektif dan aman

2. Biaya yang relatif efisien

3. Pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti pharmakokinetik

obat atau tersedianya fasilitas pengadaan dan penyimpanan

4. Mutu terjamin, termasuk bioavailabilitas dan stabilitas obat selama

penyimpanan

5. Sebaiknya obat memiliki komponen tunggal, bila dalam bentuk

kombinasi maka perbandingan dosis komponen kombinasi tetap

merupakan perbandingan yang tepat untuk populasi yang memerlukan

kombinasi tersebut dan kombinasi tetap terbukti memiliki kelebihan

daripada komponen tunggalnya baik dari segi efek terapi, keamanan

serta kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Apabila seorang dokter bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib setuju

berpraktik sesuai dengan peraturan system formularium rumah sakit tersebut, obat

yang akan ditulis, di-dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai dengan

sistem formularium (Siregar&Amalia,2003). Formularium obat di rumah sakit

berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik dokter tetap maupun mitra,

sebagai penulis resep di rumah sakit (Buku Formularium PKSC,2006). Bila obat

yang diresepkan dokter diluar formularium yang berlaku, maka petugas farmasi wajib

menghubungi dokter penulis resep untuk substitusi obat dengan yang tercantum

dalam formularium (WHO,1997) dengan argumen :

1. Obat yang rutin digunakan merupakan obat dengan biaya yang paling efektif

2. Panitia farmasi dan terapi telah melakukan seleksi obat yang memberikan efek

terapi paling baik

Metode untuk meningkatkan kepatuhan dokter pada formularium (WHO,1997) :

1 Melakukan review dan tindakan tertentu jika ada penggunaan obat diluar

formularium

2 Membatasi penggunaan dan distribusi sampel obat diluar formualrium

3 Menetapkan prosedur substitusi obat

4 Menyediakan kemudahan dalam mengakses formularium

5 Melibatkan staf medis dalam penyusunan formularium

6 Mempromosikan penggunaan formularium

2.5. PERESEPAN OBAT

Resep obat merupakan bagian dari hubungan professional antara dokter

penulis, apoteker dan penderita. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter

gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi

pasien sesuai peraturan yang berlaku (KepMenkes no 1197 tahun 2004).

Layanan resep merupakan salah satu proses operasional dalam farmasi rumah sakit

yang tujuan utamanya adalah menyediakan obat dan alat kesehatan baik kepada

pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap.

Menurut Admar (2009) pengertian penulisan resep :

1 Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam

memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan

peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek

agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apotek berkewajiban

melayani secara cermat, memberi informasi terutama yang menyangkut

dengan penggunaan serta mengoreksinya bila terjadi kesalahan dalam

penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih rasional, artinya tepat,

aman, efektif dan ekonomis.

2 Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara konprehensif

menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang farmakologi dan

terapeutik secara tepat, aman, dan rasional kepada pasiennya khususnya dan

masyarakat umumnya

Ada tiga macam formula pada penulisan resep (Fauzia,2009) :

1 Resep racikan

Komposisi, bentuk sediaan dan dosis obat ditentukan dokter berdasarkan

indikasi penyakit pasien, umur dan berat badan secara individual

2 Resep standar

Komposisi dan bentuk sediaan obat telah tercantum dalam buku resmi, antara

lain : Farmakope Belanda, FMS, FMI, dll

Contoh : Potio nigra contra tussim

3 Resep obat paten

Komposisi dan bentuk sediaan obat berupa obat paten/obat generik yang

dibuat oleh industri farmasi

Peresepan obat melibatkan beberapa keputusan (WHO,1988):

1 Kapan dokter perlu memberikan resep

2 Obat apa yang diresepkan

3 Berapa jumlah obat yang diresepkan

4 Bagaimana cara meresepkannya

Pertimbangan cara peresepan terkait dengan aspek teknis, medis, farmasi dan

ekonomi, seperti pilihan obat yang terbaik, ketepatan dosis dan harga yang ekonomis.

Menurut Bahaudin (www.pom.go.id) peresepan harus memenuhi prinsip-prinsip

berikut ini :

1 Tepat diagnosis dan tepat indikasi

2 Sesuai dengan indikasi penyakit

3 Tepat pemilihan obat

4 Tepat dosis

5 Tepat cara pemberian

6 Tepat interval waktu pemberian

7 Tepat lama pemberian

8 Waspada terhadap efek samping obat

9 Tepat informasi

10 Tepat penilaian kondisi pasien

11 Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta

tersedia setiap saat dengan harga terjangkau

12 Tepat tindak lanjut (follow up)

13 Tepat penyerahan obat (dispensing)

14 Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan

Menurut WHO (1988) pengetahuan dasar seorang dokter yang didapat di

bangku kuliah mengenai cara penegakkan diagnosis, cara pengobatan dan waktu yang

tepat untuk memberikan obat, perlu diperlengkapi dengan tambahan pengetahuan

baik dari artikel dan jurnal kedokteran maupun dengan mengikuti pelatihan formal

dan bedside training.

Menurut WHO (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi penulisan resep

adalah :

1 Status kesehatan pasien

2 Riset dan pelatihan professional

3 Industri farmasi

4 Otoritas kesehatan dan sistem asuransi

5 Kolega dan rekan profesi kesehatan lain, seperti perawat, apoteker

6 Pasien

7 Karakter dokter dan kondisi di tempat kerja

8 Situasi global

9 Pengobatan yang sudah digunakan di negara maju

Penelitian yang dilakukan oleh Jones et al (2001) menyatakan bahwa keputusan

dokter dalam memilih obat yang diresepkan terutama dipengaruhi oleh literatur dan

pertemuan ilmiah. Menurut pendapat Quintiliani&Quercia (2003) dokter yang sering

membaca literatur secara teratur dan mengikuti sesi pelatihan, ronde besar dan

kongres nasional, lebih dapat meresepkan obat yang efektif, aman dan sudah teruji

secara klinis.

Ulfah,dkk (2004) menyatakan bahwa pertimbangan dokter dalam meresepkan obat

dipengaruhi oleh:

1. Faktor internal :

a. Pengetahuan

b. Kepercayaan

c. Pengalaman

2. Faktor eksternal :

a. Pengaruh pasien

b. Hubungan dokter-pasien

c. Promosi

d. Pengaruh sejawat

Menurut Darmansyah (1996) faktor-faktor yang mempengaruhi dokter dalam

menuliskan resep adalah :

1 Diagnosis

Proses penegakan diagnosis seringkali lebih ditentukan oleh kebiasaan

daripada deduksi ilmiah, sehingga menggiring dokter ke pengobatan

irrasional. Bila diagnosis tetap belum dapat dilakukan maka pengobatan

ditujukan pada diagnosis deferensial, disebut sebagai defensive therapy, yang

berarti penggunaan obat polifarmasi untuk menutupi berbagai kemungkinan.

2 Pengaruh industri farmasi

Pengaruh promosi sangat efektif, walaupun dilakukan dengan cara yang tidak

menyolok, seperti seminar atau memberi kepustakaan yang mendukung

produknya

Saat ini jumlah obat yang beredar di Indonesia kira-kira 13.000 jenis

(Kompas.com,2010) dari 199 perusahaan farmasi (id.answers.yahoo.com). Banyak

industri farmasi yang memberikan imbalan yang tidak etis kepada dokter agar dapat

survive dalam persaingan bisnis. Wiraniaga dari perusahaan farmasi memasarkan

produk mereka langsung kepada dokter di ruang praktek dengan iming-iming hadiah,

tiket pertandingan olahraga, dukungan biaya perjalanan, sampel, dan sebagainya

(Hester,F.G,1990). Karena itu tidak heran jika komponen biaya obat dari total biaya

pelayanan kesehatan sangat tinggi, dapat mencapai lebih dari 60%

(Simamora&Suryawati,2003).

Disini ada konflik kepentingan dokter dalam memberikan pelayanan kepada

pasien. Konflik kepentingan ialah suatu keadaan dimana pertimbangan profesional

(professional judgement) mengenai suatu kepentingan primer (primary interest)

dipengaruhi oleh suatu kepentingan sekunder (secondary interest) (Thompson,1993)

dikutip dari (Setiabudy,2009). Merupakan hal yang wajar bila dokter mengalami

konflik kepentingan dalam menjalankan profesinya, tetapi konflik kepentingan dapat

dikatakan melanggar etika bila keputusan dokter dibuat demi keuntungan pribadi.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) sudah ada peraturan

mengenai konflik kepentingan dokter di rumah sakit, yaitu (Setiabudy,2009) :

1 Pasal 3: Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak

boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan

kemandirian profesi

2 Pasal 2 : Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya

sesuai dengan standar profesi tertinggi

Dalam menjalankan profesinya seorang dokter juga terikat dengan sumpah

dokter dan etika kedokteran, yang diimplementasikan paling tidak dalam 4 butir

syarat berikut ini (Wonodirekso,2005) :

1 Perilaku (sadar etika dan hukum)

2 Penguasaan ilmu pengetahuan (dalam hal ini ilmu kedokteran)

3 Terampil dan mahir (teknis medis)

4 Kinerja (giat, kreatif, inovatif, dan produktif)

2.6. KEBIJAKAN RUMAH SAKIT

Hampir 80% kesalahan dalam penyelenggaraan atau penatalaksanaan di

rumah sakit disebabkan oleh sistem, kebijakan dan prosedur yang tidak jelas dan

tidak konsisten, hanya sekitar 10 – 20% yang diakibatkan oleh faktor manusia

(Firmanda,2005). Angka tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh kebijakan

terhadap proses penyelenggaraan pelayanan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh

pimpinan rumah sakit akan memberi dampak simultan terhadap seluruh rangkaian

proses penyelenggaraan pelayanan maupun penatalaksanaan pasien. Kebijakan dapat

dimanifestasikan dalam pernyataan, tindakan, peraturan, dan juga hukum sebagai

hasil keputusan tentang bagaimana cara melaksanakan sesuatu (Ayuningtyas,2008).

Kebijakan manajemen rumah sakit tidak terlepas dari keterlibatan pimpinan

rumah sakit, Winardi (2000) menyatakan bahwa peran seorang pemimpin dapat

digambarkan seperti dibawah ini :

Bagan 2.1 : Peran pimpinan (Winardi,2000)

MEMBUAT KEPUTUSAN-KEPUTUSAN

MENETAPKAN SASARAN-SASARAN

BERKOMUNIKASI

MENGARAHKAN & MENSUPERVISI

MENGORGANISASI & MENEMPATKAN PEKERJA

KONTROL

MERENCANAKAN & MENYUSUN KEBIJAKAN

Peran Pimpinan

Lebih dari 50% obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak

tepat, tidak efektif dan tidak efisien (Bahaudin,www.pom.go.id). Penggunaan obat di

rumah sakit melibatkan tanggung jawab multidiplin, antara lain (WHO,1997):

1 Peresepan oleh dokter

2 Penyiapan dan penyerahan obat oleh staf di unit farmasi

3 Pemberian obat oleh perawat atau tenaga kesehatan lain

4 Pemantauan efek obat pada pasien oleh tim pelayanan kesehatan.

Dokter memainkan peran yang dominan dalam proses penyelenggaraan

pelayanan kesehatan di rumah sakit, termasuk dalam hal peresepan obat.tetapi tidak

dapat dipungkiri bahwa manajemen sebagai pimpinan rumah sakit memiliki otoritas

dalam proses pengelolaan rumah sakit.

Kebijakan pimpinan rumah sakit dalam peresepan obat ditujukan pada

pengobatan yang rasional, melalui serangkaian kebijakan seperti pedoman

pengobatan standar (treatment guideline) dan clinical pathway yang mengarah pada

penegakkan diagnosis berdasarkan bukti yang valid (evidence-based), serta

pembentukkan panitia farmasi dan terapi yang bertugas menyusun formularium obat

rumah sakit dan membuat ketentuan agar para dokter mematuhi formularium yang

sudah ditetapkan.

2.7. KEPUTUSAN PASIEN MEMILIH TEMPAT MEMBELI OBAT

Pelayanan jasa, termasuk pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak dapat

disamaratakan seperti produk barang karena jasa yang diberikan rumah sakit

memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu (Rijadi,1997):

1 Transient (sekali pakai habis)

2 Dilakukan oleh staf pelaksana rumah sakit

3 Sulit distandarisasi

4 Pelaksanaannya tanpa supervisi, sangat individual

5 Sangat dipengaruhi pendapat klien

6 Peran budaya perusahaan akan dominan

Ketika kualitas jasa yang diberikan tidak memenuhi persepsi customer, maka jasa

tersebut tidak dapat diganti atau diulangi lagi, dan customer akan mencari tempat

pelayanan kesehatan lain yang dapat memenuhi persepsinya.

Sebelum mengambil keputusan untuk berobat, pasien sudah melewati tahap –

tahap pemikiran berikut (WHO,1997) :

1 Pasien menyadari kalau keadaan tubuhnya tidak normal seperti biasanya atau

tubuhnya mengalami gangguan atau ia menyadari kalau dirinya sedang sakit.

2 Pasien menyadari bahwa karena kondisinya ia memerlukan

pertolongan/pengobatan agar gejalanya hilang.

3 Ketika pasien menyadari bahwa ia memerlukan pertolongan maka ia akan

memilih tempat layanan kesehatan : rumah sakit, puskesmas, dokter pribadi,

apoteker, penyembuh alternatif, saudara.

4 Ketika pasien sudah mendapat resep maka ia mendapat rekomendasi dimana

ia akan membeli obat, di farmasi atau di tempat lain, membeli semua resep

atau hanya sebagian saja.

5 Setelah pasien memutuskan tempat dan saat membeli obat, maka ia akan

memikirkan bagaimana cara mengkonsumsi obat , apakah obat akan

diteruskan bila gejala penyakitnya sudah hilang, apa yang harus dilakukan

bila terjadi efek samping obat, apa yang akan dilakukan dengan obat yang

tidak habis dikonsumsi

Keputusan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan tergantung dari 3

faktor utama (Anderson,1968) dikutip dari (Santosa,2000) :

1 Karakteristik predisposisi

Menggambarkan bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan yang

berbeda-beda dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan

karena :

a. Perbedaan ciri demografi : jenis kelamin, umur dan status

perkawinan

b. Struktur social : tingkat pendidikan, pekerjaan, suku,dll

c. Sikap atau persepsi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan dan

keyakinan bahwa pelayanan dapat menolong proses kesembuhan

penyakit

2 Karakteristik pendukung

Suatu keadaan atau kondisi yang membuat seseorang mampu melakukan

tindakan untuk memenuhi kebutuhannya akan pelayanan kesehatan. Dapat

digolongkan dalam :

a. Sumber daya keluarga : penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam

asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa pelayanan dan

pengetahuan tentang informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan

b. Sumber daya masyarakat : jumlah sarana pelayanan kesehatan yang

ada, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di suatu wilayah, rasio

jumlah penduduk-jumlah tenaga kesehatan dan lokasi tempat tinggal.

3 Karakteristik kebutuhan

Seseorang yang sedang sakit akan berupaya mencari pengobatan. Kebutuhan

merupakan stimulus langsung untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan antara

lain pengetahuan tentang kesehatan, sikap terhadap fasilitas kesehatan dan

pengalaman terhadap kualitas fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Variabel

kebutuhan ini terbukti secara statistik bermakna terhadap pemanfaatan

pelayanan kesehatan seseorang, disamping faktor lain, seperti jumlah

keluarga. Makin banyak jumlah anggota keluarga atau adanya anggota

keluarga yang masih balita dan usia lanjut, makin sering memanfaatkan

pelayanan kesehatan.

Tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen (Putri,2010) :

1 Konsumen Individu

Pilihan merek dipengaruhi oleh :

a. Kebutuhan konsumen

b. Persepsi atas karakteristik merek

c. Sikap kearah pilihan

d. Sebagai tambahan, pilihan merek dipengaruhi oleh demografi

konsumen, gaya hidup, dan karakteristik personalia.

2 Pengaruh Lingkungan

Lingkungan pembelian konsumen ditunjukkan oleh :

a. Budaya (norma kemasyarakatan, pengaruh kedaerahan atau kesukuan)

b. Kelas sosial (keluasan grup sosial ekonomi atas harta milik konsumen)

c. Grup tata muka (teman, anggota keluarga, dan grup referensi)

d. Faktor menentukan yang situasional ( situasi dimana produk dibeli

seperti keluarga yang menggunakan mobil dan kalangan usaha).

3 Strategi pemasaran

Merupakan variabel dimana pemasar mengendalikan usahanya dalam

memberitahu dan mempengaruhi konsumen. Variabel-variabelnya adalah (1).

Barang, (2). Harga, (3). Periklanan dan (4). Distribusi yang mendorong konsumen

dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Kotler (1995), Perilaku pembelian dipengaruhi oleh 4 faktor utama, yaitu :

1. Budaya : kultur, subkultur, kelas sosial

2. Sosial : kelompok acuan, keluarga, peran, status

3. Pribadi : umur, tahap siklus hidup, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya

hidup, kepribadian, konsep pribadi

4. Psikologis : motivasi, persepsi, pengetahuan, kepercayaan, pendirian

Provider yang berorientasi pada konsumen hendaknya selalu memikirkan apa

yang dibutuhkan oleh konsumen, apa yang diinginkan konsumen, dan pelayanan yang

bagaimana disenangi oleh konsumen sehingga konsumen tidak hanya puas, akan

tetapi menjadi loyal dan kembali lagi.

BAB III

GAMBARAN UMUM PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS

3.1. SEJARAH PK SINT CAROLUS

Berdirinya Pelayanan Kesehatan Sint. Carolus diawali oleh kedatangan 10

Suster ordo Carolus Borromeus ke Batavia membaktikan dirinya dalam karya

kesehatan di Indonesia pada 7 Oktober 1918. Rumah Sakit Sint. Carolus dibuka resmi

oleh Perhimpunan Carolus pada 21 Januari 1919. Dengan kapasitas 40 tempat tidur.

Pada tahun 1967, untuk dapat melayani masyarakat yang memerlukan pertolongan

segera, dibuka P3K yang buka selama 24 jam dan dilayani oleh dokter. Pelayanan

inilah yang menjadi cikal bakal UGD saat ini. Agar pelayanan dapat menjangkau

masyarakat lebih luas sejak 1969 berturut-turut didirikan Balai Kesehatan

Masyarakat di 5 wilayah DKI (Paseban, Tanjung priok, Klender, Cijantung dan

Cengkareng), sebagai pusat pelayanan kesehatan yang melayani langsung kepada

semua tingkat sosial masyarakat secara paripurna dan terpadu (preventif, promotif,

kuratif dan rehabilitatif). Pada tahun 1977 dibangun gedung "Semar" yang sebagian

ruangannya diperuntukan bagi masyarakat yang kurang mampu. Biaya pembangunan

gedung tersebut sebagian didapat dari sumbangan Bapak Soeharto yang menjabat

Presiden RI saat itu.

Sejak tahun 1980 mengingat orientasi yang semakin luas dalam upaya

merealisasikan tingkat kesehatan masyarakat, unit operasional RS St Carolus

berkembang menjadi “Pelayanan Kesehatan St Carolus” ( PK. Sint Carolus ).

Di bidang manajemen, juga diadakan pembenahan-pembenahan seperti: dari

Manajemen Karismatik, menjadi Manajemen Matriks yang mengandalkan keputusan

bersama. Pelayanan keperawatan yang menjadi ujung tombak rumah sakit inipun

mulai berkembang ke arah profesional, dengan mulai disekolahkannya perawat D3 ke

jenjang S1 keperawatan sejak tahun 1985. Di Bidang medik mulai banyak dokter

spesialis purna waktu maupun paruh waktu .

Pada tahun 1989 saat HUT PKSC pe 70, diresmikan penggunaan GEDUNG

MEDIK oleh dr. Adhyatma MPH yang menjabat Menteri Kesehatan saat itu. Gedung

tersebut digunakan untuk UGD, Radiologi, Kamar Operasi, Ruang Perawatan Intensif

dan Ruang Perawatan.

Sejak tahun 1995, PK Sint Carolus telah lulus akreditasi Rumah Sakit yang

dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI.  Proses akreditasi ini terus

berkelanjutan hingga akreditasi terakhir tahun 2007 untuk 16 bidang pelayanan

(Administrasi dan Manajemen, Pelayanan Medik, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan

UGD, Rekam Medik, Farmasi, Radiologi, Laboratorium, Kamar Operasi, Infeksi

nosokomial, Rehabilitasi Medik, Pelayanan Perinatologi, Pelayanan Gizi, Pelayanan

Intensif, K3 dan Pelayanan Bank Darah).

3.2. LAMBANG PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS

SALIB : Iman

TANGAN : Harapan

BUNGA : Kasih

SAYAP : Pelayanan kepada masyarakat

WARNA PUTIH : PK Sint Carolus mengabdikan diri kepada masyakrakat tanpa

pamrih

WARNA HIJAU : Kesehatan

WARNA MERAH : Cinta Kasih

3.3. VISI DAN MISI PK St Carolus

VISI : Menjadi Pelayanan Kesehatan yang dikenal melayani dengan sentuhan

manusiawi, utuh dan terpadu atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi sesama

melalui sumber daya manusia yang mampu dan mau bekerja keras dan terus

belajar mengembangkan diri.

MISI :

1 Memberikan pelayanan kesehatan bermutu dengan sikap bela rasa, sabar,

rendah hati, hormat terhadap kehidupan dan adil terutama kepada mereka

yang paling membutuhkan.

2 Memberikan pelayanan kesehatan melalui Balkesmas, Rawat Inap, Rawat

Jalan dan Pelayanan Penunjang dengan memperhatikan aspek fisik, mental,

sosial dan spiritual.

3 Menyediakan pelayanan kesehatan bagi warga masyarakat dari semua agama,

ras, golongan dan strata sosial serta ekonomi dengan cara subsidi silang.

4 Menyediakan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kesejahteraan dan

pengembangan diri bagi semua yang berkarya sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan P.K. St. Carolus.

5 Menciptakan suasana atau iklim kerja yang serasi dan mendukung

persaudaraan sejati, rasa memiliki serta disiplin demi kemajuan P.K. St.

Carolus

3.4 SARANA

Luas lahan : 47.000 meter persegi

Luas bangunan : 51.000 meter persegi

Luas Taman : 14.700 meter persegi

Luas Jalan dan Parkir : 6.300 meter persegi

3.5. FASILITAS PELAYANAN

3.5.1. Pelayanan Gawat Darurat

Unit Gawat Darurat (UGD) PK St. Carolus buka selama 24 jam. Unit ini

dilengkapi dengan sarana penunjang diagnostik seperti: laboratorium cito dan

radiologi, serta ambulans transportasi. Unit yang mempunyai fasilitas 10

tempat tidur ini juga dilengkapi dengan “Pelayanan Bantuan Informasi Medis”

(PBIM), yang siap membantu masyarakat yang memerlukan panduan

penanganan masalah kesehatan dengan segera.

3.5.2. Pelayanan Rawat Jalan Spesialistik

Unit Rawat Jalan Spesialistik , yang buka dari pukul 08.00 – 21.00 ini

melayani berbagai pelayanan dokter spesialis dan pemeriksaan diagnostik.

dengan 24 poliklinik spesialis dan subspesialis yaitu :

a. Penyakit Dalam, Ginjal, Hati, Jantung, Paru-paru, Hematologi dan

Onkologi, Allergi dan Immunologi, Bedah Umum, Bedah Digestif,

Bedah Urologi, Bedah Tulang, Bedah Plastik, Bedah Mulut, Bedah

Vaskuler, Bedah Syaraf, Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Syaraf,

Jiwa, Mata, THT, Kulit dan Kelamin, serta Rehabilitasi Medik.

b. Psikologi: melayani psikotest untuk berbagai keperluan, baik individu,

kelompok maupun instansi.

c.. Pemeriksaan Diagnostik: EKG, Treadmil, EEG, USG, Echocardiografi,

Audiologi, Spirometri, Uroflometri.

Gedung unit rawat jalan terdiri dari dua sayap, yaitu sayap selatan dan sayap utara :

a. sayap selatan terdiri dari dua lantai, yaitu :

1 Lantai 1 : Penyakit dalam, Jantung,Paru,Saraf,Psikiatri,Gizi,

dokter gigi, pemeriksaan diagnostik : USG, EMG, EEG

2 Lantai 2 merupakan poliklinik anak terpadu yang terdiri dari :

dokter spesialis anak, bedah anak. gigi anak, jantung anak dan

uji kesehatan

b. sayap utara terdiri dari dua lantai, yaitu :

1 Lantai 1 : bedah umum, bedah digestif, bedah tulang, bedah

saraf, bedah urologi, bedah plastik, bedah onkologi, bedah

vaskuler, kebidanan dan kandungan, mata, THT, rehabilitasi

medik

2 Lantai 2 : klinik kulit, psikologi

3.5.3 Pelayanan Uji Kesehatan

Pelayanan ini ditujukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien dan untuk

mendeteksi sedini mungkin gangguan atau penyakit yang diderita klien,

sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya. Berbagai tipe

pemeriksaan tersedia di unit ini, sesuai kebutuhan dan permintaan klien; mulai

dari tipe yang sederhana hingga tipe yang sangat lengkap. Pelayanan Uji

Kesehatan ini juga melayani permintaan untuk dilakukan pemeriksaan di

tempat kerja, di instansi atau perusahaan.

3.5.4 Pelayanan Hemodialisa

Unit Hemodialisa ini siap melayani 24 jam tindakan cuci darah untuk pasien

gagal ginjal. Tersedia mesin cuci darah yang terpisah untuk pasien dengan

penyakit menular.

3.5.5 Balai Kesehatan Masyarakat

PK St. Carolus memiliki lima buah Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)

guna menjangkau masyarakat yang kurang mampu di kelima wilayah Ibu

Kota ini. Balkesmas dan Balai Pengobatan tersebut adalah:

1 Balkesmas Paseban – untuk wilayah Jakarta Pusat.

2 Balkesmas Klender – untuk wilayah Jakarta Timur.

3 Balkesmas Cijantung – untuk wilayah Jakarta Timur.

4 Balkesmas Tanjung Priok – untuk wilayah Jakarta Utara.

5 Balkesmas Cengkareng – untuk wilayah Jakarta Barat.

3.5.6 Poli Laktasi

Program PPASI yang diselenggarakan di klinik Laktasi PK St. Carolus,

bertujuan: Membantu klien yang mengalami kesulitan dalam memberikan Air

Susu Ibu (ASI) kepada bayinya, terutama dalam upaya memberikan “ASI

Eksklusif”. PPASI juga menyediakan ‘Hot Line Service’ – 24 jam untuk

melayani masyarakat yang memerlukan informasi tentang pemberian ASI

serta permasalahannya. Selain pelayanan di Klinik Laktasi, PPASI juga

menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi Petugas Kesehatan maupun

masyarakat awam agar dapat menjadi ‘Pembina Ibu Menyusui’ di masyarakat.

3.5.7 Pelayanan Rawat Inap

Pelayanan rawat inap mempunyai kapasitas 399 tempat tidur ,

Pelayanan perawatan di rawat inap ini meliputi:

1 Perawatan penyakit dalam.

2 Perawatan bedah.

3 Perawatan kebidanan

4 Perawatan anak.

5 Perawatan perinatologi.

6 Perawatan neurologi.

7 Perawatan intensif

8 Perawatan jiwa

9 Kemoterapi.

Perawatan Intensif: meliputi Intensif Umum, Intensif Pasca Bedah, dan

Intensif Jantung (Cardiovascular).

Khusus perawatan perinatologi: tersedla pelayanan perawatan untuk tingkat

“High Care, Medium Care, hingga Normal Care (Perawatan Biasa)”,

ditunjang oleh pemberian ASI Eksklusif.

Jenis kelas perawatan yang tersediapun bervariasi: mulai dari SuperVIP, VIP,

Kelas Utama, Kelas I, Kelas II, Kelas III, dan Kelas Khusus untuk pelayanan

sosial bagi masyarakat yang kurang mampu.

Tabel 3.1 Kapasitas Tempat Tidur Berdasarkan Kelas Perawatan

Kapasitas Tempat

Tidur

Presentase

Super VIP

- Super VIP A

- Super VIP B

- Super VIP C

7

3

2

2

1,8

VIP

- VIP A

- VIP B

- VIP C

26

4

13

9

6,5

Utama 11 2,8

I AC 42 10,5

II

- II AC

- II Non AC

141

101

38

35,3

III 156 39,1

ICU 16 4,0

Total

399 100,0

3.5.8 Kamar Bedah

Kamar Bedah melayani berbagai operasi, seperti: bedah umum, bedah digestif,

bedah orthopaedi, bedah syaraf, bedah kebidanan, bedah mata, bedah vaskuler,

bedah plastik, dan lain-l Terdapat ruang pulih yang berkapasitas 6 tempat tidur

ini, di tahun 2003 telah mampu menambah pelayanan bedah dengan fasilitas

dan peralatan baru, yaitu operasi katarak dengan tehnik Phaco dan Bedah

jantung.

3.5.9 Pelayanan Kesehatan Di Rumah

Guna melengkapi pelayanan secara paripurna, maka sejak tahun 1995 PK St.

Carolus membuka Pelayanan Kesehatan di Rumah (PKR); dengan demikian

kesinambungan asuhan keperawatan terhadap pasien di rumah tetap dapat

dilakukan oleh anggota keluarga atau orang terdekat dengan klien di bawah

pemantauan tim yang terdiri dari perawat dan dokter PKR.

Pasien-pasien yang dapat dirawat di rumah adalah:

1 Pasien pasca rawat inap di PK St. Carolus yang masih memerlukan asuhan

medik dan / atau asuhan keperawatan lanjutan.

2 Pasien yang masih harus dirawat di rumah sakit namun karena sebab-

sebab tertentu tidak dapat melanjutkan perawatannya di rumah sakit.

3 Pasien ‘long term care’ (membutuhkan asuhan keperawatan dalam waktu

yang panjang).

4 Pasien yang dirujuk oleh dokter atau perawat dari luar PK St. Carolus.

Jangkauan pelayanan PKR ini meliputi : kelima wilayah di DKI Jakarta

(Jakarta pusat Jakarta timur, Jakarta barat, Jakarta selatan, Jakarta utara),

Bekasi, dan Depok.

3.5.10 Pelayanan Penunjang Medik : Diagnostik dan Terapi

Penunjang medik berupa: Laboratorium (patologi klinik dan patologi

anatomi), Radiologi (röntgen dengan atau tanpa kontras, serta CT Scanning -

whole body), Endoscopy dan Farmasi (untuk rawat inap, rawat jalan, dan

farmasi 24 jam).

3.5.11 Pelayanan Penunjang : Promotif dan Rehabilitatif

Sesuai visi-misi PK St. Carolus untuk memberikan pelayanan yang holistik

dan paripurna, maka selain pelayanan kuratif disediakan pula pelayanan

promotif dan rehabilitatif, meliputi:

1 Pelayanan Gizi

2 Pelayanan Fisioterapi

3 Club Sehat: Club jantung sehat, club asma, club diabetes mellitus, dan

club osteoporosis; serta mungkin masih akan terbentuk club lainnya di

kemudian hari.

3.5.12 Pelayanan Spiritual dan Sosial

Pelayanan ini melengkapi seluruh pelayanan kepada pasien yang tidak hanya

berupa pelayanan dari segi fisiknya saja. Pelayanan ini meliputi:

1 Pelayanan pastoral : berupa pendampingan dari aspek spiritual (tanpa

membe-dakan agama maupun latar belakang) agar pasien mampu

menemukan makna hidup dalam pertemuannya dengan Allah melalui

penderitaan.

2 Pelayanan sosial medis: ditujukan bagi pasien atau keluarganya yang

mengalami masalah-masalah sosial dalam kaitannya dengan

keberadaan pasien di rumah sakit, dengan maksud untuk

memberdayakan masyarakat dalam menanggulangi masalah sosialnya.

3.5.13 Pelayanan Penunjang Umum

Selain berbagai bentuk pelayanan langsung seperti yang telah dipaparkan

diatas, pelayanan penunjang yang tidak langsung berhubungan dengan pasien

juga tidak kalah penting untuk mendukung kelancaran, kenyamanan, dan

keamanan pasien.

Pelayanan Penunjang Umum tersebut meliputi:

1 Rekam Medik.

2 Pelayanan Administrasi Pasien Masuk,

3 Pelayanan Sanitasi dan Amdal,

4 Pelayanan Pemeliharaan Bangunan,

5 Pelayanan Pemeliharaan Alat Medik dan Alat Komunikasi

6 Pelayanan Keamanan

7 Pelayanan Pemeliharaan Tekstil

8 Pelayanan Sentral Sterilisasi

9 Pelayanan Rekening Pasien.

3.6. SUMBER DAYA MANUSIA

3.6.1. Jumlah Dokter

1 Dokter Spesialis purnawaktu : 16 orang

2 Dokter Spesialis tamu : 87 orang

3 Dokter Spesialis masih dalam status PKWT : 4 orang

4 Dokter Umum purnawaktu : 40 orang

5 Dokter Umum dalam status PKWT : 2 orang

6 Dokter Gigi purnawaktu : 9 orang

Keterangan : PKWT : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ( 6 bulan ), status

kepegawaian sebelum menjadi purnawaktu.

3.6.2. Jumlah karyawan farmasi rumah sakit

Tabel 3.2 Jumlah karyawan farmasi rumah sakit

No Jumlah

karyawan

Farmasi

rawat

jalan

utara

Farmasi

rawat

jalan

selatan

Farmasi

24 jam

Farmasi

anak

Farmasi

produksi

Total

1 Apoteker 1 1 1 - - 3

2 Asisten

apoteker

12 11 25 6 1 55

3 Administrasi 2 3 5 2 2 14

4 Pekarya 2 2 3 3 10

3.7. KINERJA PELAYANAN FARMASI

3.7.1. Penerimaan Resep Di Farmasi Dari Ranap – Rajal Periode Januari-

Agustus Tahun 2004-2009 :

Tabel 3.3 Penerimaan resep di farmasi ranap-rajal periode Januari-Agustus tahun

2004-2009

Tahun Rawat Inap Rawat Jalan

2004 131.944 113.417

2005 118.785 101.351

2006 130.045 113.155

2007 131.724 101.276

2008 133.450 106.733

2009 113.972 108.747

3.7.2. Penerimaan Resep di Unit Farmasi PK Sint Carolus Tahun 2009

Tabel 3.4 Penerimaan resep di unit farmasi PK Sint Carolus tahun 2009

No Bula

n

URJ Lain2 BKM

Paseba

n

KIA UGD Klinik

JPK

Rana

p

Jumlah

1 Jan 6.626 1.296 1.102 528 512 2.712 14.066 26.843

2 Feb 5.866 1.129 2.545 445 550 2.563 15.146 28.244

3 Mar 6.973 800 2.590 457 534 2.166 17.818 31.338

4 Apr 6.748 1.463 2.150 374 406 1.954 16.729 29.824

5 Mei 6.473 1.311 2.204 367 474 1.913 13.046 25.788

6 Juni 6.304 1.331 3.396 494 464 1.839 13.514 27.342

7 Juli 7.415 1.375 2.756 482 691 2.575 12.085 27.379

8 Agust 7.456 1.431 2.224 515 526 2.241 11.568 25.961

9 Sept 6.833 1.522 1.762 486 459 1.937 11.079 24.078

10 Okt 7.415 1.283 1.797 507 406 1.978 11.320 24.706

11 Nov 6.966 1.477 1.612 547 371 2.350 11.506 24.829

12 Des 6.805 1.675 1.631 609 511 2.076 10.148 23.455

3.8. PANITIA FARMASI DAN TERAPI

Panitia farmasi dan terapi di PK Sint Carolus pertama kali dibentuk pada

tanggal 20 September 2001 berdasarkan Surat Keputusan direksi No

022/SKD/IX/2001/DM yang ditandatangani oleh direktur medik. Dalam SK tersebut

direksi memutuskan pemberlakuan formularium obat PK Sint Carolus edisi 1.

Pengurus panitia farmasi dan terapi terdiri dari 1 orang dokter spesialis penyakit

dalam sebagai ketua, 1 dokter umum sebagai wakil ketua, 2 orang apoteker sebagai

sekretaris dan 18 orang anggota yang terdiri dari 11 dokter spesialis, 1 dokter gigi, 4

dokter umum dan 2 perawat. Dalam buku formularium tercantum tahapan usulan obat

untuk formularium dan daftar nama-nama obat. Formularium tahun 2001 ini belum

mencantumkan tugas dan wewenang panitia farmasi dan terapi juga tata tertib

pengelolaan obat di PK Sint Carolus.

Pada tanggal 1 Desember 2004 dilakukan revisi keanggotaan panitia farmasi

dan terapi PK Sint Carolus dengan SK No 014/SKD/XII/2004/DIRUT tetapi

formularium obat tidak mengalami perubahan.

Pada tanggal 1 September 2006 Direksi PK Sint Carolus menerbitkan 2 Surat

Keputusan, yaitu :

1. SK 019/SKD/IX/2006/Dirut, yang berisi :

a. Perubahan susunan keanggotaan panitia farmasi dan terapi PK Sint

Carolus. Ketua panitia farmasi dan terapi adalah dokter spesialis

penyakit dalam, wakil ketua adalah dokter umum dengan magister

administrasi rumah sakit, 2 orang apoteker bertugas sebagai sekretaris

I dan II serta 16 anggota yang terdiri dari dokter spesialis yang

mewakili setiap spesialisasi dan perawat di PK Sint Carolus.

b. Tugas panitia farmasi dan terapi PK Sint Carolus, yaitu :

1 Membuat dan mengkaji formularium obat rumah sakit

2 Mengkaji efek terapeutik, keamanan obat dan penggunaan obat

formularium obat rumah sakit secara terus-menerus dengan

melibatkan satuan kerja lainnya atau konsultan bila diperlukan

3 Memberikan informasi serta masukan kepada staf medis,

perawatan dan farmasi dalam rangka pengembangan dan

implementasi standar terapi yang rasional

c. Wewenang panitia farmasi dan terapi, yaitu :

1 Mengusulkan kepada direksi pilihan berdasarkan kriteria yang

ditetapkannya, kandidat obat-obat pada jenis/golongan

terapeutik masing-masing terdiri dari produk original, produk

generik dan maksimal 3 produk non original

2 Terlibat dalam penyelenggaraan tahapan prosedur penetapan

obat formularium obat rumah sakit sebagai berikut :

a. Menetapkan obat yang akan masuk ke tahap evaluasi awal

melalui usulan permintaan dari sedikitnya 3 (tiga) dokter

pengguna dengan menyebutkan alasan dan perkiraan jumlah

pemakaiannya

b. Melalui presentasi produk di Komite Medik untuk kemudian

memutuskan berdasarkan kriteria yang ada, untuk

mengusulkan kepada direksi untuk dapat diadakan

penyediaannya secara konsinyasi

c. Mengevaluasi pemanfaatan dan efek terapi obat tersebut

pada tahap pengamatan selama 6 (enam) bulan di masa

konsinyasi tersebut

d. Bila memenuhi kriteria yang ditetapkan selama masa

pengamatan 6 (enam) bulan, panitia mengusulkan nama

produk tersebut kepada direksi untuk selanjutnya melalui

rapat direksi yang melibatkan bagian pembelian/Logistik

Farmasi ditetapkan untuk dapat dimasukkan ke dalam

formularium

e. Mengevaluasi obat-obatan dalam formularium setiap tahun,

bila tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, maka akan

diusulkan kepada direksi untuk dikeluarkan dari daftar

formularium

f. Memantau permintaan dan pemakaian obat non formularium

dan mengevaluasinya setiap 3 (tiga) bulan, dengan

melibatkan satuan kerja terkait, untuk menjadi bahan

pertimbangan penentuan perbaikan/perubahan formularium

g. Keputusan atau rekomendasi dibuat dalam rangka

pengembangan standar terapi rasional.

2 SK 020/SKD/IX/2006/Dirut, yang menetapkan :

a. Menarik peredaran formularium obat PK Sint Carolus edisi I dan

menetapkan diberlakukannya formularium obat PK Sint Carolus edisi

II sebagai acuan dalam pemakaian obat menuju pada penggunaan obat

yang rasional, efektif dan efisien.

b. Formularium obat PK Sint Carolus edisi II berlaku bagi semua dokter

dan atau dokter gigi, baik dokter tetap maupun mitra, sebagai penulis

resep di PK Sint Carolus

Formulir usulan obat baru sebagai obat sisipan terlampir dalam buku formularium

obat tahun 2006. Notulen rapat panitia farmasi dan terapi sudah terdokumentasi dan

kumpulan notulen itu dibundel tersendiri tiap-tiap tahun.

Pada tahun 2010 panitia farmasi dan terapi sedang menyusun formularium

edisi III yang rencananya akan mulai berlaku pada bulan Juni 2010.

BAB IV

KERANGKA KONSEP

4.1.KERANGKA TEORI

Obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya kesehatan, mulai

dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan

harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan ( Rancangan KONAS,

2005). Pengobatan yang rasional akan meningkatkan mutu pelayanan & mencegah

pemborosan sumber dana (Panjaitan,2006). Peresepan obat di rumah sakit mengacu

pada formularium yang sudah disusun oleh panitia farmasi dan terapi.

Tahap akhir dalam penyelenggaraan pelayanan rawat jalan adalah pasien

menebus resep obat di unit farmasi rawat jalan rumah sakit. Terdapat interaksi dan

ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen dan aspek rumah sakit sebagai

suatu sistem pelayanan kesehatan sehingga seluruh rangkaian proses pelayanan

dapat berlangsung sesuai dengan alur yang sudah ditetapkan oleh manajemen rumah

sakit. Komponen yang mempengaruhi keluaran (output) pemilihan tempat membeli

obat adalah masukan (input), proses dan lingkungan. Masukan (input), meliputi

kebijakan manajerial dalam pengelolaan obat di rumah sakit dengan dibentuknya

panitia farmasi dan terapi, peresepan dokter, karakteristik obat dan pelayanan obat di

unit farmasi dan karakteristik pasien yang memilih tempat membeli obat. Proses

merupakan pertimbangan yang dilakukan dokter ketika menulis resep untuk pasien.

Keluaran (output) adalah pemilihan tempat membeli obat. Lingkungan adalah

keadaan di luar rumah sakit tetapi ikut mempengaruhi unsur masukan (input) antara

lain kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah dalam hal ini Kementerian

Kesehatan yang ditetapkan berkaitan dengan pemberian pelayanan obat-obatan

kepada masyarakat.

4.2. KERANGKA PIKIR

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat

membeli obat di PK Sint Carolus tahun 2009, digunakan diagram Fishbone dari

Ishikawa. Dari diagram tersebut diketahui bahwa pemilihan tempat membeli obat

dipengaruhi oleh kebijakan manajerial,peresepan dokter spesialis yang berpraktek di

poliklinik spesialis, obat-obat yang tersedia di unit farmasi rawat jalan dan

karakteristik pasien yang berobat di poliklinik spesialis PK Sint Carolus.

4.3. KERANGKA KONSEP

Mengacu dari teori WHO (1988), Anderson (1968) yang dikutip dari Santoso

(2000) dan Bahaudin (www.pom.go.id) maka disusunlah kerangka konsep penelitian

ini menurut pendekatan sistem sebagai berikut :

4.4. DEFINISI ISTILAH

KELUARANPROSESMASUKAN

Kebijakan Manajerial :

Panitia Farmasi Dan

Terapi

Peresepan Dokter

Pengetahuan

Kepatuhan Pada

Formularium

Promosi Industri

Farmasi

Karakteristik Obat :

Harga

Ketersediaan

Waktu tunggu

Karakteristik Pasien :

Pendidikan

Pekerjaan

Kasus Penyakit

Penanggung Biaya

Pertimbangan Dokter Dalam

Peresepan Obat :

Status Kesehatan

Diagnosis

Pemilihan Obat

Jenis Obat

Takaran Dosis

Cara Pemberian

Lama Pemberian

Efektivitas Biaya

Pemilihan Tempat

Membeli Obat

No Variabel Definisi istilah

1 Peraturan-Peraturan

Panitia Farmasi Dan

Terapi

Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh

manajemen tentang tugas dan wewenang panitia

farmasi dan terapi dan penggunaan formularium

obat di PK Sint Carolus

Sumber informasi : manajemen, pengurus panitia

farmasi dan terapi dan dokumen

Cara : wawancara mendalam dan telaah dokumen

2 Peresepan Dokter Penulisan resep dokter spesialis yang berpraktek di

poliklinik spesialis PK Sint Carolus

Sumber informasi : dokter

Cara : wawancara mendalam

3 Pengetahuan Pengetahuan dokter mengenai formularium obat

yang berlaku di PKSC

Sumber informasi : dokter dan dokumen

Cara : wawancara mendalam dan telaah dokumen

4 Kepatuhan pada

formularium

Ketaatan dokter dalam menulis resep yang sesuai

dengan formularium obat PKSC

Sumber informasi : dokter dan dokumen

Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah

dokumen

6 Karakteristik Obat Ciri-ciri obat dan pelayanan obat di unit farmasi

rawat jalan sayap selatan lantai 1, poliklinik

spesialis PKSC

Sumber informasi : manajemen, pelaksana rawat

jalan, pasien dan dokumen

Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah

dokumen

7 Harga Harga obat di unit farmasi rawat jalan selatan

lantai 1 poliklinik spesialis PKSC

Sumber informasi : manajemen, pasien dan

dokumen

Cara : wawancara mendalam dan telaah dokumen

8 Ketersediaan Tersedianya obat yang diresepkan oleh dokter

spesialis poliklinik PKSC di unit farmasi rawat

jalan selatan lantai 1 PKSC

Sumber informasi : manajemen, kepala unit

farmasi rawat jalan, pasien dan dokumen

Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah

dokumen

9 Waktu tunggu Waktu pasien menunggu obat, mulai saat

menyerahkan resep ke unit farmasi sampai

menerima obat

Sumber informasi : manajemen, pelaksana rawat

jalan, pasien dan dokumen

Cara : wawancara mendalam, observasi dan telaah

dokumen

10 Karakteristik Pasien Ciri-ciri khusus pasien yang berobat di poliklinik

spesialis PKSC

Sumber informasi : pasien

Cara : wawancara

11 Pendidikan Pasien Pendidikan formal terakhir informan

Sumber informasi : pasien

Cara : wawancara

12 Pekerjaan Pasien Pekerjaan informan

Sumber informasi : pasien

Cara : wawancara

13 Status penyakit Pasien Status penyakit informan berdasarkan diagnose

dokter

Sumber informasi : pasien

Cara : wawancara

14 Penanggung biaya

Pasien

Pihak yang membayar biaya pengobatan informan

Sumber informasi : pasien

Cara : wawancara

15 Pemilihan tempat

membeli obat

Pasien memilih tempat membeli obat, di unit

farmasi atau di luar unit farmasi PK Sint Carolus

Sumber informasi : manajemen, pelaksana rawat

jalan dan pasien

Cara : wawancara mendalam dan observasi

BAB V

METODE PENELITIAN

5.1. RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Studi ini dimaksudkan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi peresepan, ketersediaan obat dan penerimaan resep di unit farmasi di

PK Sint Carolus terhadap pemilihan tempat membeli obat.

Dengan pendekatan kualitatif secara konseptual dapat mengetahui secara

lengkap dan mendalam tentang pengetahuan, sikap dan persepsi baik manajemen PK

Sint Carolus sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan maupun pasien sebagai

penerima pelayanan, serta dapat menggali faktor yang yang berperan dalam

penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus.

5.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan. Sint Carolus, yang terletak di jalan

Salemba Raya no 41, Jakarta Pusat. pada bulan April sampai awal Juni 2010.

5.3. SUMBER INFORMASI

Penentuan informan sebagai sumber informasi mengacu prinsip kesesuaian

(appropriateness) dan kecukupan (adequacy) melalui metode kunci utama (key

informan) yang dalam penelitian ini adalah mereka yang terdiri dari kelompok

informan :

1 Informan dari manajemen rumah sakit yang secara mendalam mengetahui dan

memberikan informasi yang menggambarkan pembuatan kebijakan, yaitu :

a. direktur utama PK Sint Carolus

b. direktur medik

2 Informan dari panitia farmasi dan terapi yang secara mendalam mengetahui

dan memberikan informasi tentang formularium obat di PK Sint Carolus,

yaitu :

a. ketua panitia farmasi dan terapi

b. wakil ketua

c. sekretaris, yang sehari-hari bertugas sebagai kepala farmasi PKSC

3 Informan dari unit rawat jalan yang secara mendalam mengetahui dan

memberikan informasi tentang pelaksanaan pelayanan pasien di unit rawat

jalan yaitu :

a. duty manager

b. kepala unit rawat jalan

c. wakil kepala unit rawat jalan

d. kepala unit farmasi rawat jalan

4 Informan yang terdiri dari 4 orang dokter spesialis yang berpraktek di

poliklinik spesialis PK Sint Carolus, dengan kriteria telah menjalankan

profesinya lebih dari 5 tahun.

5 Informan yang terdiri dari 7 orang pasien yang berobat di poliklinik spesialis

PK Sint Carolus, baik yang memutuskan untuk membeli ataupun tidak

membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus

Penambahan informan akan dilakukan bila diperlukan untuk memperdalam informasi

atau kelengkapan data. Penambahan informan secara teknis menggunakan metode

snowballing interview.

5.4. INSTRUMEN PENELITIAN

Pada penelitian kualitatif instrumen penelitian yang utama adalah peneliti

sendiri dan dibantu dengan instrumen penelitian lain, yaitu :

1 pedoman wawancara mendalam

2 alat pencatat dan perekam suara (voice recorder)

3 kamera

Penyusunan pedoman wawancara mendalam disesuaikan dengan kerangka konsep penelitian

5.5. JENIS DAN TEHNIK PENGUMPULAN DATA

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder

a. Pengumpulan data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap

manajemen PK Sint Carolus, panitia farmasi dan terapi, pelaksana di unit rawat

jalan, dokter spesialis yang berpraktek di poliklinik spesialis dan pasien yang

berobat di poliklinik spesialis PK Sint Carolus.

Hasil dicatat dan direkam dengan alat perekam

b. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen yang terkait

dengan kebijakan peresepan obat berupa :

1 surat keputusan (SK) yang berhubungan dengan penelitian

2 buku formularium PK Sint Carolus

3 dokumen lain yang terkait dengan penelitian

c. Observasi pelayanan di poliklinik spesialis bangunan sayap selatan lantai 1

Data sekunder dikumpulkan dengan melakukan check list terhadap arsip dan

dokumen yang mendukung penelitian ini melalui penelusuran dokumen berdasarkan

daftar yang telah ditetapkan.

Unit Dokumen/data

Manajemen PKSC 1 Surat keputusan

2 Peraturan-peraturan

Unit sistem informasi rumah sakit Laporan kegiatan PK Sint Carolus

triwulan 1, 2, 3, 4 tahun 2009

Panitia farmasi dan terapi 1 Peraturan-peraturan

2 Buku formularium

3 Formulir usulan obat

4 Notulen rapat

5 Protap usulan obat sisipan

Dan berbagai dokumen yang terkait dengan

penelitian ini

Poliklinik rawat jalan bangunan

selatan lantai 1

1 Jadwal praktek dokter spesialis

2 Petunjuk arah ruangan

3 Alur pasien rawat jalan

Unit farmasi 1 Prosedur tetap

2 Standar pelayanan minimal

Ruang praktek dokter di poliklinik

spesialis bangunan sayap selatan lt 1

Buku formularium obat PK Sint

Carolus tahun 2006

5.6. PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS DATA

5.6.1. Pengolahan Data

a. Pembuatan transkrip

Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dikelompokkan dan

diklasifikasikan berdasarkan jenis pertanyaan dalam bentuk transkrip.

Data hasil dikumpulkan dan disusun dalam bentuk transkrip dengan

mencocokkan rekaman sedekat mungkin dengan yang dimaksud informan.

Transkrip dibuat dengan menambahkan catatan lapangan serta hal-hal lain

yang tidak dapat tertangkap oleh alat perekam, seperti ekspresi, situasi

sekitar dan bahasa tubuh yang terkait dengan topik wawancara.

b. Pengkodean

pengkodean meliputi identitas informan, kode berkas arsip dan kode topik

bahasan.

kode identitas informan

Semua informan mendapatkan nomor identitas yang terdiri dari :

digit kesatu adalah kode kategori unsur informan

1 – unsur manajemen rumah sakit

2 – unsur panitia farmasi dan terapi

3 – unsur pelaksana unit rawat jalan

4 - unsur dokter spesialis

5 – unsur pasien

digit kedua adalah kode informan

Tabel 5.1 Daftar kode informan

Unsur

manajemen

Unsur panitia

farmasi dan

terapi

Unsur

pelaksana URJ

Unsur dokter

spesialis

Unsur pasien

Kode Informan Kode Informan Kode Informan Kode Informan Kode Informan

1.1 Direktur

utama

2.1 Ketua 3.1 Duty

manager

4.1 Dokter A 5.1 Pasien 1

1.2 Direktur

medik

2.2 Wakil

ketua

3.2 Kepala

URJ

4.2 Dokter B 5.2 Pasien 2

2.3 sekretaris,

merangkap

ka farmasi

PKSC

3.3 Waka

URJ

4.3 Dokter C 5.3 Pasien 3

3.4 Ka

farmasi

URJ

4.4 Dokter D 5.4 Pasien 4

5.5 Pasien 5

5.6 Pasien 6

5.7 Pasien 7

Kode berkas transkrip

Tiap berkas transkrip diberi kode yang mencantumkan nomor

identitas informan dan waktu pengambilan data.

Form kode transkrip adalah sebagai berikut :

No identitas Metode pengambilan data Tanggal, bulan, tahun

contoh

1.1 WM 20 Mei 2010

transkrip wawancara mendalam dari unsur manajemen dengan

informan direktur utama PK Sint Carolus pada tanggal 20 Mei 2010

c. Peringkasan data

Transkrip yang telah disusun diberi kode kemudian dibaca ulang untuk

memdapatkan pemahaman yang lebih tajam. Faktor-faktor yang ada

diringkas dan dikelompokkan sesuai jenis kata kunci yang dapat

menangkap isi teks. Data yang tidak perlu dibuang, kemudian data

diorganisir sehingga didapat ringkasan data.

d. Ringkasan data diintepretasikan dan secara keseluruhan disajikan dalam

bentuk matriks

5.6.2. Analisis Data

Analisa data mengatur secara sistematis transkrip wawancara mendalam. Hasil

pengolahan data primer dan sekunder dilakukan analisis berdasarkan isi (content

analysis) yaitu menganalisis dan mengidentifikasi sesuai dengan topik bahasan dari

setiap hasil wawancara menjadi berbagai kategori topik bahasan yang sama, sesuai

topik dalam pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian.

Ringkasan data disajikan dalam bentuk tabulasi untuk memberikan gambaran

yang berhubungan dengan variabel-variabel yang diteliti. Hasil penelitian

dibandingkan dengan teori yang dikemukakan dalam tinjauan pustaka.

5.6.3. Validasi Data

Untuk mendapatkan data dengan validitas tinggi, penelitian ini menggunakan

metode Triangulasi meliputi :

1 Triangulasi Sumber, yaitu :

a. Cross check data dengan fakta dari sumber melalui informan yang

berbeda, sampai menghasilkan data yang saling memperkuat atau tidak

ada kontradiksi satu dengan yang lainnya.

b. Membandingkan dan melakukan kontras data pada kategori informan

berbeda dengan telaah topik yang berkaitan.

2 Triangulasi metode, yaitu :

Dilakukan dengan cara menggunakan metode yang berbeda dalam

pengumpulan data. Dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam dan

observasi

3 Triangulasi Data, dilakukan dengan cara :

a. Analisa dilakukan oleh peneliti serta meminta pendapat ahli (pembimbing)

agar intepretasi yang dilakukan hasilnya optimal dan menghindari

subyektivitas peneliti

b. Minta umpan balik dari informan

5.6.4. Penyajian Data

Data hasil disusun dan disajikan menjadi informasi dalam bentuk narasi agar

mudah dimengerti dan merupakan gambaran kejadian. penyajian data dibuat dalam

bentuk matriks, dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitian.

BAB VI

HASIL PENELITIAN

6.1. DESKRIPSI INFORMAN

Penelitian ini dilakukan di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus yang terletak di

jalan Salemba Raya nomor 41, Jakarta Pusat. Penelitian dilakukan oleh peneliti

sendiri pada bulan April sampai awal Juni 2010. Deskripsi identitas informan

wawancara mendalam tampak pada tampilan tabel dibawah ini

Tabel 6.1 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur manajemen PK Sint

Carolus

No Jabatan Umur (tahun)

Jenis kelamin

Pendidikan Lama masa kerja (tahun)

Lama menjabat (tahun)

1 Direktur utama

48 L Dokter, magister administrasi rumah sakit

10 5

2 Direktur medik

55 P Dokter, spesialis mikrobiologi klinik, magister administrasi rumah sakit

18 4,5

Tabel 6.2 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur panitia farmasi dan terapi

No Jabatan Umur Jenis kelamin

Pendidikan Lama profesi(tahun)

Lama menjabat(tahun)

1 Ketua 62 L Dokter, spesialis 23 6

penyakit dalam

2 Wakil ketua - P Dokter, magister

administrasi

rumah sakit

13 9

3 Sekretaris 52 P Apoteker 15 10

Tabel 6.3 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur pelaksana unit rawat

jalan

No Jabatan Umur Jenis kelamin

Pendidikan Lama profesi(tahun)

Lama menjabat(tahun)

1 Duty

Manager

46 p S1 Keperawatan 20 1

2 Kepala URJ 44 P Dokter umum 13 5

3 Wakil ketua

URJ

50 P S1 Keperawatan 13 9

4 Kepala

farmasi

rawat jalan

53 P Apoteker 13 9

Tabel 6.4 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur dokter spesialis

No Informan Umur Jenis

kelamin

Pendidikan Lama

profesi

(tahun)

Lama

bekerja

di PKSC

(tahun)

Status

1 Dokter A 53 L Dokter, 12 18 Purna

spesialis

penyakit dalam

waktu

2 Dokter B 58 L Dokter,

spesialis bedah

umum

22 14 Purna

waktu

3 Dokter C 68 L Dokter

spesialis peny

dalam

13 34 Purna

waktu

4 Dokter D 51 L Dokter

spesialis

jantung

12 3 Purna

waktu

Tabel 6.5 Deskripsi informan wawancara mendalam unsur pasien

No Nama Umur

(tahun)

Jenis

kelamin

Pendidikan Pekerjaan Alamat

1 Pasien 1 48 L D3 Karyawan

PT.

Kamp Areman

Rt 02/08 No 6,

Gramedia Depok

2 Pasien 2 62 P SLTA - Perum Citra

Graha Prima

No 3, Bogor

3 Pasien 3 73 L D3 - Pondok

Kelapa Selatan

No 11A,

Jakarta Timur

4 Pasien 4 82 P - - Taman Kota

Blok B2/7,

Bekasi

5 Pasien 5 28 p SMU Karyawati Kompleks

AURI Jl

Wiradarma II

Blok R/7,

Jatiwaringin

6 Pasien 6 59 L SMA Wiraswasta Senen Dalam

VI/17, JakPus

7 Pasien 7 34 L S1 Karyawan

PT PLN

Kav DKI

Duren Sawit

Rt 01/05 No

14, JakTim

Tabel 6.6 Pengaruh karakteristik pasien dengan keputusan membeli obat di PKSC

No Kode

Informan

Kasus Penyakit Pendidikan Pekerjaan Penanggung

Biaya

Membeli

Obat di

PKSC

1 Pasien 1 Post opname radang usus D3 Karyawan

PT

Gramedia

Perusahaan Ya

2 Pasien 2 Post stroke SLTA - OOP Ya

3 Pasien 3 Post op tumor kandung

kemih, penyempitan pemb

drh koroner, osteoporosis

D3 - OOP Ya

4 Pasien 4 Hipertensi, osteoporosis - - OOP Tidak

5 Pasien 5 Post Tuberculosis SMU Karyawati Perusahaan Ya

6 Pasien 6 Post opname stroke, post

op hernia

SMA Wiraswasta OOP Tidak

7 Pasien 7 Gatal-gatal S1 Karyawan

PT PLN

Perusahaan Tidak

6.2. HASIL PENELITIAN

6.2.1. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT

Kebijakan Manajemen PK Sint Carolus dalam mengelola obat di rumah sakit

diimplementasikan dengan dibentuknya panitia farmasi dan terapi dan penyusunan

peraturan-peraturan terkait dengan penggunaan obat di PK Sint Carolus.

6.2.1.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi dan Terapi

Kepada informan ditanyakan, bagaimana proses penetapan susunan

keanggotaan panitia farmasi dan terapi PK Sint Carolus tahun 2006? Jawaban

informan dari unsur panitia farmasi dan terapi seperti tampak pada wawancara

mendalam berikut ini :

2.1. “…..yang menentukan direksi, semua anggota panitia direksi yang menentukan ,yang baru saya gak ikut menentukan, yang dulu iya……ada kriterianya ketua harus spesialis, ketua harus mengetahui obat dsb…..setiap kepala bagian ada wakilnya di panitia farmasi dan terapi, komite medik juga ada…..”

2.2. “……yang memilih mungkin direktur utama dengan direktur medik kali yah karena isinya kan dokter-dokter,… semua staf medik itu ada wakilnya, komposisinya terdiri dari perwakilan-perwakilan staf medik meskipun ada yang digabung untuk yang bagian besar satu, misalnya penyakit dalam ada wakilnya satu,obsgyn ada satu, anak satu ,yang kecil-kecil digabung seperti kulit, mata , THT. dokter gigi ada wakilnya, dokter umum juga ada wakilnya.…..panitia farmasi bukan dibawah komite medik lagi dulu kan menjadi salah satu bagian komite medik karena itu ada perwakilan komite medik juga……”

2.3. “….proses pemilihan ada rapat di direksi kemudian dipilihlah orang-orangnya yang menjadi pengurus……rapat rutin harusnya sebulan sekali tapi selama ini kalau ada usulan obat baru dirapatkan, susah ngumpulin dokter spesialisnya.. kalau seperti sekarang ini sedang menyusun formularium yang baru, rapatnya sering sekali, sebulan 2 – 3 kali, bahkan bisa seminggu sekali…..”

Penelusuran dokumen yang menjadi landasan dari penetapan pengurus panitia

farmasi dan terapi adalah SK Direksi PK Sint Carolus nomor 019/SKD/IX/2006/Dirut

tentang perubahan susunan keanggotaan panitia farmasi. Pada SK tersebut terlampir

susunan keanggotaan panitia farmasi dan terapi tahun 2006 sebagai berikut :

a. 1 orang ketua merangkap anggota, yaitu dokter spesialis penyakit dalam

b. 1 orang wakil ketua merangkap anggota yaitu dokter umum, magister

administrasi rumah sakit

c. 2 orang sekretaris merangkap anggota yaitu apoteker

d. 16 anggota, yaitu masing-masing : dokter spesialis bedah, dokter spesialis

kesehatan jiwa, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis jantung & pembuluh

darah, dokter spesialis kebidanan & kandungan, dokter umum yang bertugas

di Balai Kesehatan Masyarakat (BKM) Klender, dokter gigi, dokter spesialis

THT, dokter spesialis syaraf, dokter spesialis mata, dokter spesialis mata,

dokter spesialis anak, dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter spesialis paru,

dokter umum yang bertugas di klinik Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK),

perawat yang bertugas di rawat inap, seorang perawat yang bertugas di Biro

Pengembangan Usaha Pelayanan Kesehatan (BPUPK)-pelayanan pelanggan.

Pada penelusuran dokumen kumpulan notulen rapat panitia farmasi dan terapi tahun

2009, panitia farmasi dan terapi telah mengadakan rapat sebanyak 9 kali, waktunya

tidak rutin. Sebagian besar topik pembahasan dalam rapat adalah mengenai usulan

obat baru. Hasil pembahasan dalam rapat sudah terdokumentasi dalam kumpulan

notulen rapat panitia farmasi dan terapi tahun 2009.

Berdasarkan informasi dan penelusuran data sekunder tampak bahwa ketua

dan wakil ketua panitia farmasi dan terapi PK Sint Carolus yang sekarang menjabat

ditetapkan oleh direksi, baru setelah itu bersama-sama ketua dan wakil ketua, direksi

memilih dokter-dokter spesialis dan anggota lain yang bersedia menjadi anggota

panitia farmasi dan terapi. Ketua panitia farmasi dan terapi yang ditetapkan oleh

direksi adalah dokter spesialis purna waktu yang sudah cukup senior. Jumlah anggota

panitia farmasi dan terapi ada 20 orang termasuk ketua, wakil ketua dan 2 orang

sekretaris Susunan anggota pengurus panitia farmasi dan terapi sudah mewakili

semua spesialisasi yang ada, apoteker, dokter umum dan perawat yang bertugas di

PK Sint Carolus tetapi keanggotaan belum terbagi dalam seksi-seksi yang merupakan

satuan kerja yang lebih kecil. Sepanjang tahun 2009 diadakan 9 kali rapat panitia

farmasi dan terapi, rapat tidak diadakan secara rutin tergantung ada/tidaknya masalah

yang perlu dibahas.

6.2.1.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium

Obat dan perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam pelayanan di rumah

sakit disediakan oleh unit farmasi rumah sakit. Proses seleksi obat dalam

formularium PK Sint Carolus tahun 2006, obat sisipan dan rencana seleksi obat pada

formularium yang sedang direvisi tampak pada hasil wawancara mendalam dengan

informan dari unsur manajemen berikut ini :

1.1. .“ …….kami sedang membereskan itu dengan merapikan formularium, membatasi jumlah obat yang masuk.. dari awal sampai akhir direksi terlibat langsung dalam mengambil keputusan , jenis obat apa saja yang masuk ……. panitia farmasi dan terapi adalah tim yang dibentuk direksi untuk mengolah itu, mereka yang mengolah usulan obat dari para dokter, kemudian mereka melihat quality obat itu, dari harga…… setelah dalam bentuk draf ,diusulkan ke direksi, direksi yang memutuskan, jumlah obat dalam formularium dalam tiap golongan menjadi keputusan direksi…….”

1.2. “……obat yang masuk dalam formularium ,yaitu yang memberikan discount paling banyak…….formularium yang lalu me too nya banyak, sehingga karena nama obatnya sudah ada di formularium kan kita harus sediakan, itu menyebabkan cost nya banyak , sekarang untuk formularium yang baru kita sederhanakan, kita batasi 5 me too dan meskipun rekomendasi obat dari panitia farmasi dan terapi tapi yang memutuskan,tetap direksi, harus paraf direksi baru obat tersebut boleh disediakan sebagai obat sisipan …….dulu kan,cukup ketua panitia farmasi dan terapi,… kalau ada dokter yang mengusulkan obat baru, mungkin gak enak sesama teman sejawat dan sudah ditanya-tanya terus, dikejar-kejar terus…..yah sudah di acc saja sehingga itu yang mengakibatkan banyak sekali obat sisipan…..”

Panitia farmasi dan terapi berperan besar dalam menyetujui usulan obat yang

masuk dalam formularium. Dalam masa berlakunya formularium dapat saja

diproduksi golongan obat-obat baru, karena itu dalam peraturan yang ditetapkan

panitia farmasi dan terapi tercantum tata cara bagi dokter yang akan mengusulkan

obat baru untuk dimasukkan sebagai obat sisipan dalam formularium yang berlaku.

Penerapan peraturan seleksi obat dalam formularium tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur panitia farmasi dan terapi yang menyatakan :

2.1. “…sampai saat ini kita memakai 1 obat paten, 1 obat generik dan 5 me too nya, seleksinya yang sampai saat ini kita jalanin, yang paling banyak peminatnya dulu, ada beberapa obat sebagai cadangan yang boleh masuk kalau yang 5 me too ini tidak terpakai…….harusnya sih dari mutu dan sebagainya tapi kita kan tidak bisa menentukan, kalau kita yang menentukan nanti dokter lain bilang ini jelek…gimana……”

2.2. “….setelah dibentuk panitia, kita mengundang semua dokter, kita presentasikan,….yang lalu sudah jalan, sudah sampai terbentuk formularium , tetapi mungkin evaluasinya yang kurang, 3 tahun itu kan lama yah, sudah ada banyak penambahan obat-obat baru…… prosedurnya penambahan obat baru minimal diusulkan oleh 3 orang dokter,dokter apa, mengusulkan obat ini, alasannya apa…..kalau usulnya diterima, kita masukkan di obat sisipan, kemudian obat sisipan itu ternyata

berkembang jadi banyak, dulu itu kelemahannya………formularium yang dulu mee too nya 3, sekarang yang baru me too nya 5 karena variasinya banyak…. ”

2.3. “……dulu usulan obat baru sudah ada aturannya harus dengan persetujuan 3 dokter, tapi belum dibuat protapnya tertulis....kalau akan mengusulkan obat, dokter harus menulis memo ke sekretaris, baru kita berikan formulir usulan obatnya…..tidak semua obat yang diusulkan akan disetujui panitia farmasi dan terapi…. padahal kalau sudah disetujui dan obatnya disediakan kadang juga tidak dipakai, kita ingatkan lagi ke dokter yang mengusulkan, dok, obatnya kok tidak dipakai….ternyata dokternya juga lupa kalau sudah ngusulin obat…yah karena sudah dikejar-kejar detailer itu…..”

Pada penelusuran dokumen formularium PK Sint Carolus tahun 2006 terdapat

1384 obat, terdiri dari :

a. sistem pencernaan : 136

b. sistem kardiovaskular dan hemopoetik : 205

c. sistem pernapasan : 93

d. sistem neuromuscular : 192

e. hormon : 42

f. obat-obatan kontraseptif : 6

g. antibiotika : 176

h. kemoterapoetik : 57

i. sistem genitor-urinaria : 34

j. sistem endokrin dan metabolisme : 61

k. vitamin dan mineral : 151

l. nutrisi : 44

m. sediaan untuk mata, telinga dan tenggorokan : 74

n. sediaan untuk kulit : 132

o. anestetik : 18

p. alergi dan sistem imun : 31

q. vaksin, antisera dan imunologik : 28

r. antidote : 7

s. cairan intravena : 44

Pada penelusuran dokumen buku formularium tahun 2006, prosedur penetapan

seleksi awal obat yang masuk dalam formularium sudah tercantum dalam SK direksi

No 019/SKD/IX/2006/DIRUT tetapi belum mencantumkan prosedur tetap (protap)

seleksi obat sisipan yaitu obat yang baru diusulkan setelah formularium tahun 2006

diterbitkan. Pada penelusuran dokumen kumpulan notulen rapat panitia farmasi dan

terapi tahun 2006-2009, dalam setiap pembahasan usulan obat baru maka formulir

usulan obat sisipan selalu disertakan, yang diusulkan oleh minimal tiga orang dokter

disertai alasan mengusulkan obat. Usulan obat bisa disetujui, ditolak atau ditunda dan

ditandatangani oleh ketua panitia farmasi dan terapi. Pada penelusuran dokumen

kumpulan notulen rapat panitia farmasi dan terapi, sejak formularium tahun 2006

jumlah obat yang diusulkan sebagai obat sisipan adalah :

Tabel 6.7 Jumlah obat sisipan formularium tahun 2006-2009

Tahun 2006 2007 2008 2009

Jumlah obat yang diusulkan

82 95 107 53

Jumlah obat yang disetujui

panitia farmasi dan terapi

sebagai obat sisipan

50 73 94 52

Berdasarkan informasi dan data sekunder rencana perubahan proses seleksi

obat pada formularium yang akan datang sebenarnya sudah tercantum dalam SK

direksi No 019/SKD/IX/2006/DIRUT tetapi selama ini belum diterapkan :

a. Selama ini proses seleksi usulan obat baru hanya sampai persetujuan panitia

farmasi dan terapi dan langsung dimasukkan sebagai obat sisipan dan obat

disediakan di unit farmasi, proses seleksi belum melibatkan direksi meskipun

dalam SK direksi PK Sint Carolus Nomor 019/SKD/IX/2006/DIRUT

diyatakan bahwa bila obat memenuhi kriteria yang telah ditetapkan selama

masa pengamatan 6 (enam) bulan, panitia mengusulkan nama obat tersebut

kepada direksi untuk selanjutnya melalui rapat direksi yang melibatkan bagian

pembelian/logistik farmasi ditetapkan untuk dapat dimasukkan dalam

formularium

b. Dalam SK diatas dinyatakan bahwa prosedur penetapan obat formularium

rumah sakit melalui presentasi produk di komite medik dan

mempertimbangkan masukan dari konite medik, tetapi sampai tahun 2009

prosedur itu belum dijalankan, baru pada tahun 2010 sudah mulai dilakukan

presentasi produk obat.

c. Ketika satu obat yang diusulkan sudah disetujui oleh panitia farmasi dan

terapi, obat yang sudah ada dalam formularium yang sama golongannya, tidak

dikurangi jumlahnya sehingga makin lama jumlah obat dalam satu golongan

semakin banyak

d. Prosedur persetujuan obat baru tanpa melihat dulu data pengeluaran obat

selama 1 tahun/6 bulan terakhir untuk melihat apakah ada obat yang jarang

dipakai atau bahkan tidak pernah dipakai dan dapat dipertimbangkan untuk

dihapus dari formularium agar obat baru yang diusulkan dapat menggantikan

obat tersebut.

e. Dalam formularium tahun 2006 belum tercantum prosedur tetap (protap)

seleksi obat sisipan namun demikian secara tidak tertulis panitia farmasi dan

terapi sudah mempunyai aturan seleksi obat sisipan

f. Seringkali karena rasa tidak enak hati dengan rekan sejawat yang

mengusulkan maka usulan obat disetujui

g. Obat yang diusulkan kadang-kadang tidak dipakai karena ternyata usulan dari

detailer kepada dokter, dokter sudah ditanya-tanya dan dikejar-kejar detailer

untuk mengusulkan obat sehingga akhirnya dokter mengusulkan

6.2.1.3. Sosialisasi Formularium

Panitia farmasi dan terapi perlu mensosialisasikan penggunaan formularium

pada dokter-dokter yang merupakan user, agar dokter dapat tetap konsisten

memanfaatkan formularium dalam penulisan resep, menggunakan obat yang tersedia

di unit farmasi rumah sakit sehingga kebutuhan obat pasien terpenuhi, dan pasien

diharapkan tidak membeli obat di luar unit farmasi rumah sakit. Gambaran dari

sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara mendalam dengan informan

dari unsur manajemen yang menyatakan :

1.1. “…..dalam waktu dekat kalau tidak salah 1 Juni akan kami terapkan formularium yang baru, sudah kami sosialisasikan melalui komite medik……dulu tidak tersosialisasi dengan baik....”

Gambaran dari sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur panitia farmasi dan terapi yang menyatakan :

2.1. “….sudah disosialisasikan di komite medik, itu kan tempat ngumpulnya dokter-dokter, jadi semua diundang, semua apa yang kita mau lakukan, kita bicarakan …kalau ada sisipan kita kasih bukunya dan .tiap 6 bulan sekali kita evaluasi…….. ”

2.3. “…..kalau dokter sedang ada pertemuan, panitia farmasi dan terapi ikut mensosialisasikan formularium ke dokter kira-kira setengah jam…..tidak rutin

Gambaran dari sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur pelaksana rawat jalan yang menyatakan :

3.3. “….buku formularium dibagikan ke asisten yang membantu dokter,perawatnya, satu ruangan dapat satu buku…”

3.4 “.....pernah juga ngundang pakar dari luar tapi yang ngundang bukan atas nama panitia farmasi dan terapi, waktu itu kebetulan direksi yang ngundang profesor farmakologi dari RSCM tentang obat di OK, itu bagus , akhirnya dilaksanakan, tadinya pola antibiotik kan tidak seperti itu , akhirnya diinformasikan oleh professor itu secara teori begini, begini … akhirnya diterapkan oleh dokter-dokter…..”

Gambaran dari sosialisasi formularium tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur dokter spesialis yang menyatakan :

4.2. “….dulu ada tapi kita gak pernah peduli,saya suka-suka, saya mau tulis…tulis, pada waktu itu memang kita sering tulis obatnya tidak ada…”

4.3. “….tahu tapi ndak pernah baca….untuk PJPK saja, pasien ndak…..”

4.4. “…….saya tahu ada formularium, tapi saya tidak pernah lihat disini ada tidak…..”

Berdasarkan informasi maka dapat disebutkan bahwa panitia farmasi dan

terapi hanya melakukan sosialisasi formularium secara informal dan tidak rutin di

ruang komite medik, tempat berkumpulnya para dokter. Buku formularium tahun

2006 tidak dibagikan secara langsung kepada setiap dokter tetapi melalui perawat

yang bertugas sebagai asisten dokter, tiap satu kamar praktek dokter tersedia satu

buku formularium sehingga dapat dimengerti kalau informan 4.3 dan 4.4 tidak

mengetahui adanya formularium di ruang praktek karena ruang praktek dipakai

bergantian dengan dokter lain, selain itu mungkin juga karena perawat yang bertugas

bergantian dinas pagi dan dinas sore sehingga informasi tentang adanya buku

formularium tidak sampai kepada dokter. Sosialisasi penggunaan obat pernah

dilakukan tetapi belum diagendakan secara rutin.

Pada pengamatan sekilas di meja praktek informan 4.3 dan 4.4 peneliti tidak

melihat adanya buku formularium. Wawancara informan 4.1 dan 4.2 dilakukan di

ruang komite medik sehingga peneliti tidak dapat mengamati adanya buku

formularium.tetapi pada wawancara informan 4.1 dan 4.2 sudah mengetahui buku

formularium.

Berdasarkan informasi dan pengamatan dapat disimpulkan bahwa sosialisasi

formularium tahun 2006 belum maksimal, terbukti ada 2 informan yang tidak

mengetahui bahwa di kamar prakteknya ada buku formularium hal ini antara lain

disebabkan sosialisasi belum dilakukan secara formal dengan mengundang semua

dokter yang berpraktek di PK Sint Carolus.

6.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peresepan Dokter

Peresepan dokter-dokter di poliklinik spesialis PK Sint Carolus terkait dengan

ketersediaan obat di unit farmasi dan obat yang tersedia adalah obat yang namanya

tercantum dalam formularium obat PK Sint Carolus. Karena semua informan adalah

dokter spesialis dan sudah memiliki pengalaman profesi lebih dari 10 tahun maka

peneliti mengasumsikan bahwa semua informan memiliki pengetahuan dan

pengalaman yang sama. Karena itu yang akan dibahas dibawah ini adalah faktor

pengetahuan dokter tentang formularium, kepatuhan pada formularium dan pengaruh

promosi industri farmasi terkait dengan ketersediaan obat yang diresepkan oleh

dokter

6.2.2.1. Pengetahuan dokter Tentang Formularium

Meskipun formularium PK Sint Carolus yang berlaku saat ini sudah

diterbitkan sejak tahun 2006 tetapi tidak semua informan dokter spesialis mengetahui

tentang peraturan dan daftar obat dalam formularium, seperti tampak pada

wawancara mendalam berikut ini :

4.1. “ ..untuk pengendalian, maksudnya pengendalian penyediaan obat di logistik, dan juga harga, sehingga tidak semua orang menulis obat semaunya sendiri….pengobatan menjadi cost efektif…..”

4.2. “ ….untuk mempermudah pengadaan obat artinya obat yang beredar di carolus dalam tanda kutip terbatas….kalau dulu kan bebas, dokter A mau pakai obat ini, dokter B mau pakai obat lain…...?

4.3. “ …untuk karyawan saja…..”

4.4. “ ….untuk pengadaan, jumlah obatnya kan lebih sedikit sehingga lebih mudah diatur…..”

Pada penelusuran dokumen, SK direksi PK Sint Carolus Nomor

020/SKD/IX/2006/DIRUT menyatakan bahwa formularium obat PK Sint Carolus

edisi II sebagai acuan dalam pemakaian obat menuju pada penggunaan obat yang

rasional, efektif dan efisien dan berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik

dokter tetap maupun mitra, sebagai penulis resep di PK Sint Carolus.

Berdasarkan informasi dan data sekunder tampak informan 4.1, 4.2, dan 4.4

sudah mengetahui tujuan disusunnya formularium obat di PK Sint Carolus, tetapi

informan 4.3. belum mengetahuinya dan beranggapan bahwa formularium ditujukan

untuk karyawan PK Sint Carolus saja.

6.2.2.2. Pendapat Dokter Tentang Formularium Di PK Sint Carolus

Informan yang pernah membaca buku formularium PK Sint Carolus tahun

2006 tentu mempunyai suatu pendapat tentang formularium ini. Pendapat dari para

informan merupakan masukan bagi panitia farmasi dan terapi untuk terus menerus

melakukan perbaikan agar tujuan disusunnya formularium dapat tercapai. Persepsi

informan tentang formularium obat PK Sint Carolus tercermin dalam hasil

wawancara berikut ini :

4.1. “……selalu bisa ada yang lebih bagus, kalau ada yang sistematikanya seperti MIMS lebih bagus…. saya gak hafal, lebih gampang kalau kita telepon apotik, yang ada obatnya apa saja……”

4.2. “……mungkin kalau ada formularium dan rumah sakit konsekuen dengan obat itu berarti obatnya selalu ada sehingga pasien tidak mengalami kesulitan,misalnya harus pergi keluar…”

Pada pengamatan, selain formularium obat PK Sint Carolus edisi II tahun

2006 yang dipakai untuk kepentingan semua pasien yang berobat di PK Sint Carolus,

juga ada formularium lain yang digunakan khusus untuk pasien Program Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan (PJPK) dengan susunan obat yang sama tetapi jumlah

obatnya lebih sedikit.

Pada penelusuran dokumen, daftar obat dalam buku formularium tahun 2006

tidak mencantumkan indikasi, , kontra indikasi, takaran dosis, peringatan dan efek

samping obat, formularium hanya memberikan informasi singkat mengenai nama

obat, bentuk sediaan dan komposisi obat.

Format susunan daftar obat dalam formularium tahun 2006 adalah sebagai berikut :

No Nama generik Nama dagang Bentuk

sediaan/kekuatan

komposisi pabrik

Pada penelusuran dokumen, SK direksi PK Sint Carolus Nomor

020a/SKD/VI/DIRUT menyatakan bahwa khusus untuk karyawan dan peserta PJPK

mengacu pada formularium PJPK.

Berdasarkan informasi, pengamatan dan data sekunder ternyata informan 4.1

sudah mengetahui format susunan daftar obat dalam formularium tahun 2006

sehingga dapat memberikan pendapatnya berdasarkan perbandingan dengan buku

MIMS. Informan 4.3 dan 4.4 belum pernah melihat dan mengetahui isi buku

formularium tahun 2006 bahkan Informan 4.3. beranggapan bahwa formularium tidak

digunakann untuk pasien umum dan hanya digunakan untuk pasien PJPK (Program

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan) saja.

6.2.2.3. Pertimbangan Utama Dokter Dalam Meresepkan

Salah satu upaya dokter dalam menyembuhkan pasien adalah dengan

memberikan obat.. Pemilihan obat yang tepat dan efektif sangat mempengaruhi

proses kesembuhan pasien. Dokter yang sudah menjalankan profesinya lebih dari 10

tahun tentu sudah memiliki pertimbangan yang baku dalam memilih obat. Berikut

hasil wawancara dengan dokter spesialis mengenai hal-hal yang menjadi

pertimbangan utama dalam meresepkan obat :

4.1. “ …. cost effective……”

4.2. “…….kita lihat jenis infeksinya,….biaya tetap masuk pertimbangan, kalau di bedah pemberian obat itu tergantung hasil kulturnya, kita lihat yang paling cocok dan yang paling murah……”

4.3. “…..penyakit pasien toh…..kalau orangnya tidak mampu yah pakai yang generik…”

4.4. “……saya lebih banyak berdasarkan base evidence medicine, yang kedua faktor harga, karena yang berobat kesini penyakitnya kan kronis, pengobatannya jangka panjang, kalau dikasih obat yang mahal tapi pasien tidak melanjutkan pengobatan…..yah lebih baik obatnya murah, terjangkau ……”

Berdasarkan informasi, pertimbangan utama informan dalam meresepkan obat

juga tergantung dari spesialisasi dokter yang bersangkutan. Informan 4.2 sebagai

dokter spesialis bedah menyatakan hasil kultur kuman sangat menentukan pilihan

obat. Informan 4.4 adalah dokter spesialis jantung yang kebanyakan pasiennya

menderita penyakit kronis dan sebagian sudah berusia lanjut maka memilih obat

dengan harga yang terjangkau agar meningkatkan kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat. Tetapi ada kesamaan dari semua informan yang diwawancarai

yaitu faktor kesesuaian diagnosis dan harga obat merupakan pertimbangan penting

dalam memilih obat.

6.2.2.4. Kepatuhan Dokter Pada Formularium

Obat yang masuk dalam formularium sudah diseleksi berdasarkan efektivitas,

keamanan sehingga penebusan resep di unit farmasi rumah sakit adalah salah satu

faktor untuk menghindarkan pasien dari pengobatan yang tidak bermutu dan tidak

terjamin keamanannya, selain itu obat yang sesuai dengan formularium tersedia di

unit farmasi rumah sakit sehingga pasien tidak perlu mencari-cari lagi ke tempat lain.

Gambaran dari kepatuhan dokter terhadap formularium tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur manajemen yang menyatakan :

1.1.“……..disini masalahnya low inforcement terhadap kepatuhan menggunakan formularium, penyebabnya macam-macam, pertama dokter tidah hafal, kedua, sosialisasi yang kurang dijalankan dengan baik , ketiga, diri dokter sendiri yang tidak mau…..patuhlah terhadap formularium yang sudah disepakati……pada umumnya yang tidak patuh dokter-dokter tamu yang pasiennya memang banyak atau dokter full time disini yang sudah pensiun kemudian statusnya menjadi dokter tamu, tapi pasiennya banyak, sebenarnya dokter ini lebih banyak praktek di rumah sakit lain daripada disini mungkin karena itu obat-obatnya lebih mengikuti cara di rumah sakit itu….. kami akan memberikan kewenangan kepada petugas farmasi kita untuk menyampaikan kepada para dokter untuk menyampaikan jenis obat lain dengan golongan yang sama,dengan persetujuan dokter obat akan diganti dengan yang ada,tapi bila dokter tetap tidak mau maka minta persetujuan dari direksi, nanti direksi yang akan memutuskan untuk mengganti obat tersebut sesuai dengan yang ada….”

1.2. “…………kalau menurut saya bukan tidak patuh yah, formularium dengan sekian ribu item,dan dokternya tidak hanya praktek di carolus tapi di rumah sakit lain juga, tidak mungkin menghafalkan tapi kita punya mekanisme untuk itu, kalau obat tidak ada kita lapor supaya bisa diganti dengan yang ada di farmasi. dan sebagian besar dokter kita bisa bekerja sama. jadi bukan karena tidak comply tapi karena keterbatasan manusia………..”

Gambaran dari kepatuhan dokter terhadap formularium dalam peresepan pada hasil

wawancara mendalam dengan informan dari unsur panitia farmasi dan terapi tampak

dinyatakan seperti dibawah ini :

2.1. “…..selama ini dengan formularium yang lama kurang konsisten, sekarang mulai 1 April 2010 sudah konsisten,sudah disosialisasikan, sebenarnya yang banyak

masalah antibiotik saja , yang lain sih sudah sesuai dengan jalurnya……kalau resep tidak sesuai formularium pasti ditolak…….”

2.3. “………. tapi sekarang saya akui banyak kemajuan, kalau dulu (sebelum tahun 2007-2008) kita bilang : dok obatnya tidak ada di formularium, dokternya jawab copy aja, sekarang gak, mengacu kesini, pada umumnya sudah sesuai dengan formularium………”

Pendapat informan dari unsur pelaksana rawat jalan terhadap kepatuhan dokter

terhadap formularium tampak pada jawaban informan tersebut dibawah ini :

3.1. “……kan .gak semua dokter memakai formularium yang ada, itu menyangkut kode etik juga…..”

3.4. “…….dulu nulis apa yang dokter ingat aja, kadang diluar formularium tapi kita komunikasikan ke dokternya kalau obatnya tidak ada di formularium, yang ada di kita obatnya ini, ini, ini, jenisnya apa, nah dokter pilih yang mana …..biasanya sih dokternya mau aja, kalau disini sih agak mudah…….dokternya juga gak hafal obatnya ribuan, apalagi dokter tamu, tapi lama-lama udah terbiasa ………pokoknya kita coba pake obat yang ada dulu ……..”

Jawaban dari informan dokter spesialis sebagai penulis resep terhadap pertanyaan

kepatuhan pada formularium adalah sebagai berikut :

4.1. “ saya gak ingat obatnya apa saja tapi saya tahu ada formularium, saya gak ingat jumlahnya obatnya, tapi selalu kalau dapat telpon dari apotik obatnya gak ada, saya ikutin apa yang ada.....”

4.2. “….. formularium ini di carolus sudah lama,tetapi mulai benar-benar dijalankan belum begitu lama, kalau sekarang sih sampai saat ini saya belum pernah ada hambatan, belum pernah dapat surat dari apotik bilang tidak ada, belum pernah…”

4.3. “…..pokoknya kalau karyawan saya kasih aja yang generik, pasti masuk, kalau bukan karyawan ndak pakai formularium, pakai seenaknya , kalau ndak ada disini yah suruh beli diluar …..”

4.4. “……wah saya tidak tahu obatnya apa saja, tapi selama ini saya tidak pernah dikasih tahu obatnya tidak ada karena sebagian besar saya pakai obat generik, yang paling sering captopril, itu murah sekali hanya sekitar dua ratus rupiah, dibandingkan dengan obat lain yang bisa sampai enam ribu- tujuh ribu. ….”

Pada pengamatan terhadap resep yang diterima di unit farmasi rawat jalan ada

beberapa obat dalam resep yang tidak sesuai dengan formularium tetapi sebagian

besar obat sudah sesuai dengan formularium.. Bila ada obat yang tidak tersedia di

unit farmasi baik karena tidak ada dalam formularium maupun karena stoknya

kosong maka apoteker menelpon dokter penulis resep dan menanyakan apakah dokter

bersedia obatnya disubstitusi dengan obat lain yang golongannya sama, pada

umumnya dokter bersedia obatnya disubstitusi. Peneliti mengamati bahwa dokterpun

tidak segan-segan untuk mendatangi unit farmasi untuk berkonsultasi mengenai obat.

Pada resep obat dari dokter tertentu yang tidak tersedia di unit farmasi karena tidak

sesuai formularium biasanya petugas farmasi sudah tahu kalau untuk obat tersebut

dokter penulis resep tidak mau obatnya disubstitusi sehingga diinformasikan kepada

pasien bahwa obat tidak ada dan akan dibuat copy resepnya.

Pada penelusuran dokumen, SK direksi PK Sint Carolus Nomor

020/SKD/IX/2006/DIRUT menyatakan bahwa formularium obat PK Sint Carolus

edisi II sebagai acuan dalam pemakaian obat yang rasional, efektif dan efisien serta

berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik dokter tetap maupun mitra,

sebagai penulis resep di PK Sint Carolus

Berdasarkan informasi, pengamatan dan penelusuran dokumen tampak

meskipun sudah ada SK drektur rumah sakit bahwa peresepan mengacu pada

formularium dan berlaku bagi semua dokter tetapi belum semua dokter mematuhinya.

Informan 4.1 tidak hafal nama-nama obat dalam formularium tetapi mau mematuhi

formularium dengan mensusbtitusi dengan obat yang tersedia di unit farmasi.

Informan 4.3. menyatakan bahwa menulis resep seenaknya tetapi pada pengamatan

terhadap beberapa resep obat yang ditulisnya dan setelah dikonfirmasi ke asisten

apoteker yang bertugas di unit farmasi rawat jalan ternyata resep-resep yang

ditulisnya sudah sesuai dengan formularium. Hal ini mungkin karena informan 4.3.

selalu memberikan obat yang menjadi standar dalam diagnosis dan sering dipakai.

6.2.2.5. Pengaruh Promosi Industri Farmasi

Dengan banyaknya obat yang beredar di pasaran mengakibatkan persaingan

perusahaan obat untuk mempengaruhi dokter dalam penulisan resep semakin tidak

rasional. Pengaruh promosi industri farmasi dapat diamati pada resep dokter yang

tidak sesuai formularium, selalu merujuk pada perusahaan farmasi yang sama dan

harga obat yang mahal. Pendapat manajemen mengenai promosi industri farmasi

dalam peresepan tampak pada wawancara dibawah ini :

1.1. “....kita memang sudah batasi detailer hanya dapat bertemu dokter pada hari senin dan kamis tapi kesulitannya, disini ruang poliklinik terbuka, banyak pintu ke poliklinik spesialis dan tidak setiap pintu ada penjaganya sehingga detailer bebas keluar masuk....”. 1.2. “…..harus comply, kalau tidak patuhnya karena tidak hafal yah… tapi kalau karena tidak comply kita gak bisa terima…salah satu upayanya adalah secara tidak langsung, kalau itu kan pribadi masing-masing, gak mungkin hati nurani dokter kita yang intervensi…..”

Pendapat informan dari unsur panitia farmasi dan terapi terhadap pengaruh promosi industri farmasi dalam peresepan adalah sebagai berikut :

2.3. “….. dulu kalau ada obat baru,donasi sampel dari detailer, langsung deh obatnya beredar di carolus, tapi sekarang gak bisa, harus diproses dulu…..”

Dokter spesialis merupakan target dari promosi industri farmasi karena berdasarkan

resep yang ditulis dokterlah produk obatnya bisa terjual. Dibawah ini tampak

pendapat informan dari unsur dokter spesialis tentang promosi industri farmasi :

4.1. “………kalau memang ada yang baru yah bisa saja, tapi saya ketemu detailer cuma buat tanda tangan saja, cukup satu detik, saya lebih banyak mendapat informasi obat dari internet bukan dari detailer………”

4.2. “….. mungkin begini yah, saya ini barangkali termasuk kategori dokter yang sudah tua, sehingga tentu tidak semudah itu farmasi mempengaruhi saya, karena kita kan punya pengalaman………”

4.3. “…….ndak terlalu yah, kalau obat sudah resmi di majalah-majalah, sudah dipakai, ada laporan-laporan (beliau menunjukkan majalah Compendium of Indonesian Medicine) maka saya lihat apa cocok ………..”

4.4. “…….buat saya sih tidak, kalau obatnya mahal kan tidak terjangkau ….kalau dari detailer saya paling lihat saja…….”

Pada pengamatan tampak para detailer bebas berlalu lalang di poliklinik

spesialis PK Sint carolus diluar hari yang sudah ditentukan yaitu Senin dan Kamis,

yang menurut informan 1.1 salah satu sebab ialah ruang poliklinik sangat terbuka dan

juga memiliki banyak pintu dan tidak semua pintu dijaga oleh petugas keamanan

rumah sakit.

Pada penelusuran dokumen sebagian resep-resep yang diterima unit farmasi

rawat jalan tampak bahwa masing-masing dokter sudah mempunyai pola penulisan

resep yang khas, disebabkan sudah lama berpraktek sebagai dokter spesialis sehingga

sudah memiliki pengalaman dalam memberikan terapi yang cocok pada pasien.

Berdasarkan informasi, pengamatan dan data sekunder tampak bahwa

sebagian besar penulisan resep tidak terpengaruh oleh promosi dari industri farmasi.

Informan sudah mempunyai pendapat dan pola masing-masing dalam penulisan

resep. Dalam wawancara dengan informan 4.2. tampak bahasa tubuh dan penekanan

intonasi perkataan menegaskan pernyataannya bahwa ia. termasuk dokter yang sudah

tua sehingga sudah memiliki sikap dan pola peresepan yang baku berdasarkan

pengalamannya selama ini tanpa dipengaruhi oleh promosi industri farmasi.

6.2.3. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat

Tujuan dari kebijakan manajemen dalam pelayanan farmasi adalah

memberikan pelayanan obat yang memuaskan pasien baik dari segi harga yang

kompetitif dengan rumah sakit dan apotik lain yang letaknya berdekatan, ketersediaan

obat yang lengkap dan bermutu serta pelayanan yang cepat.

Wawancara mendalam dilakukan baik pada unsur manajemen dan pelaksana

pelayanan sebagai pemberi jasa pelayanan maupun pasien yang memanfaatkan jasa

pelayanan kesehatan PK Sint Carolus agar dapat membandingkan informasi dari

kategori informan yang berbeda.

6.2.3.1. Harga

Harga obat yang berbeda-beda antar provider membuat pasien mempunyai

kesempatan untuk memilih tempat membeli obat. Apalagi bila apotik yang letaknya

dekat tempat tinggal informan dapat memberikan harga lebih murah daripada unit

farmasi PK Sint Carolus, tentu informan lebih memilih membeli obat disitu.

Penentuan harga jual obat ditetapkan oleh manajemen PK Sint Carolus karena itu

peneliti melakukan wawancara mendalam dengan unsur manajemen untuk

mengetahui kebijakan mengenai harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus, berikut

adalah pernyataan dari informan manajemen :

1.2. “……. sesuai dengan visi misi carolus mestinya tidak boleh harga obat kita lebih mahal daripada apotik lain,….. kita lakukan perbandingan tapi biasanya kan obat-obat yang mahal seperti human albumin, anti biotik, tapi mungkin nanti akan lebih banyak lagi item obatnya yang kita bandingin.…obat yang mahal pasti kita benchmark dengan apotik sekitar terus kita turunkan lebih rendah tapi karena masih ada keluhan obat di carolus mahal, akan lebih banyak item yang akan kita benchmark…..”

Dibawah ini merupakan pendapat sekretaris panitia farmasi dan terapi yang sehari-

hari bertugas sebagai kepala farmasi rumah sakit, terhadap pertanyaan mengenai

harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus :

2.3.” ………kalau dengan sekitar sini kita gak kemahalan kok, dulu pernah ada obat yang saya bandingin dengan apotik dan rumah sakit di sekitar sini karena ada pasien yang komplain obatnya mahal, tapi ternyata gak kemahalan juga, mungkin ada beberapa kali yang disini lebih mahal tapi ada juga obat yang disini lebih murah, tapi sebagian besar murah disini lebih mahal disana……..”

Pemilihan obat yang cost efektif juga mempengaruhi kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat sesuai resep. Dibawah ini adalah hasil wawancara dengan

informan dari unsur dokter spesialis yang sering dikunjungi penderita penyakit

kronis:

4.4. “……harga obat di carolus ini murah lho, dibandingkan dengan rumah sakit lain tempat saya bekerja, disini lebih murah, apalagi dibanding apotik “X” yang dekat sini……kalau pasien disini paling sering saya pakai captopril, murah sekali harganya apalagi kalau pasiennya tidak mampu……..”

Bagi pasien meskipun selisih harga antara unit farmasi PK Sint Carolus dengan

apotik dekat rumah hanya sedikit tetapi cukup bermakna karena komponen biaya

pengobatan bukan hanya untuk obat-obatan saja tetapi juga biaya dokter,

pemeriksaan penunjang, biaya transport ke rumah sakit dan lain-lain. Gambaran dari

harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus pada hasil wawancara mendalam dengan

informan dari unsur pasien adalah sebagai berikut :

5.1. “………kalau penyakit seperti saya ini kan obatnya memang mahal….biasanya saya ngambil obat di kimia farma dekat kantor Gramedia Palmerah , cukup pake kartu karyawan aja, kalau disini bayar dulu nanti diganti kantor 90%....... sekarang karena baru diopname jadi sekalian kontrol ke dokter, bapaknya cuti. …….dibanding kimia farma kayaknya disana lebih mahal, apa karena saya ngambil obatnya banyak, rata-rata 900 ribu…….”

5.2. “……. dokternya milih obatnya bagus tuh,… murah sih…..sekitar 60 ribu buat 1 bulan

5.3. “……. harga obat yah cukuplah karena sekarang kan memang harga obat mahal……….”

5.4. “ ………..saya gak beli obat disini karena ada saudara saya kerja di apotik jatinegara………disana saya dapat discount, abis sama saudara sih. saya gak pernah beli obat disini kecuali waktu mama saya di opname disini…………. kalau ditanya mahal atau gak, wah saya gak bisa jawab…………”

5.5. “……….. saya baru pertama kali kesini, dikasih tahu teman katanya dokternya lebih murah obatnya juga lebih murah dibandingin dengan di rumah sakit yang lama, ternyata memang disini lebih murah, yang sekarang ini obatnya cuma 28.500 buat dua minggu, dulu sampe seratus ribu lebih, gak sampe 2 minggu cuma buat 10 hari…….”.

5.6. “ ……saya gak beli obat disini karena udah ada apotik langganan dekat rumah, udah kenal jadi lebih murah, bisa beda sekitar 30-40%, ………..obatnya mahal sekitar 350 ribu cuma 3 macam., mestinya kalo 3 macam itu sekitar 100 ribu yah, buat saya kalo separo nya 175 ribu juga masih kemahalan……..”

5.7. “…….saya gak beli obat disini karena sering kurang duitnya,sedang saya bawa duitnya pas-pasan….kalau penyakit kayak saya gini obatnya mahal sekitar 600 ribuan, buat sekitar 3 minggu………kalau saya nilai biaya obat dimana-mana juga sama …..saya biasa beli di apotik 24 jam…..saya jadi member obatnya lebih murah dikit , kalau member kan dapat discount 10%,….bapak ini ada vitamin tapi gak diganti kantor,jadi kita nyetir sendiri aja, kalau ada obat yang di rumah masih banyak, bisa minta ganti dengan vitamin. vitaminnya banyak, mahal-mahal, kalau disini dicek, ditelpon, ditanya ini obat atau vitamin,kalo vitamin dibalikkin ke saya, gak diganti makanya gak bisa ……saya pernah dikasih obat generik tapi gak bereaksi, jadi sekarang obatnya paten semua…….”

Menurut penelusuran dokumen SK direksi PK Sint Carolus Nomor

023/SKD/VII/2007/DIRUT tentang falsafah dan tujuan bidang pelayanan farmasi di

PK Sint Carolus menyatakan pelayanan farmasi PK Sint Carolus adalah bagian yang

tidak terpisahkan dari sistem PK Sint Carolus yang berorientasi kepada pelayanan

pasien, penyediaan obat yang bermutu sesuai dengan kebutuhan pasien dan

terjangkau. Pada penelusuran copy kuitansi pembelian resep, 1 jenis obat memiliki

rentang harga yang bervariasi dan obat yang memiliki efek serupapun tersedia dalam

beberapa jenis obat.

Berdasarkan informasi dan data sekunder tampak masih ada ketidaksesuaian

persepsi mengenai keterjangkauan biaya obat antara manajemen dengan pasien.

Informan 1.2 sebagai unsur manajemen menyatakan bahwa sesuai visi dan misi PK

Sint Carolus seharusnya harga obat tidak lebih mahal daripada rumah sakit dan

apotik di sekitarnya.Informan 5.6 dan 5.7 menyatakan harga obat mahal terutama

untuk vitamin seperti yang dikatakan informan 5.7. Informan 5.1 dan 5.3 mengakui

karena penyakitnya dianggap cukup berat maka harga obatnya mahal. Informan 5.2

dan 5.5 menyatakan harga obat murah dibandingkan dengan rumah sakit

lain.Pendapat Informan 5.7 yang menebus resep di apotik langganan bukan semata-

mata karena mendapat discount tetapi karena bisa diberikan vitamin yang seharusnya

tidak mendapat penggantian biaya dari perusahaan tetapi dalam kuitansi nama

vitamin diganti dengan nama obat lain sehingga informan 5.7 tetap mendapat vitamin

dengan biaya dari perusahaan. Kalau informan 5.7 menebus resep di unit farmasi PK

Sint Carolus , kuitansi obat dibuat sesuai dengan obat yang diberikan.. Tampaknya

berat ringannya penyakit yang diderita pasien dan kemampuan ekonomi pasien turut

mempengaruhi dokter dalam memilih obat yang diresepkan.

6.2.3.2. Ketersediaan

Keputusan pasien untuk membeli obat di unit farmasi terkait dengan

ketersediaan obat yang ada di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus. Farmasi

hanya menyediakan obat-obat yang ada dalam daftar formularium karena itu

kepatuhan dokter terhadap formularium mempengaruhi kelengkapan resep obat.

Gambaran dari ketersediaan obat di unit farmasi PK Sint Carolus tampak pada hasil

wawancara mendalam dengan informan dari unsur manajemen yang menyatakan :

1.2. “…………kita melihat juga ada pasien misalnya diberi obat 5 item yang 4 item ada yang 1 nih gak ada padahal sesungguhnya di formularium ada tapi kita tidak tersedia stoknya di apotik, ah dari pada di copyresepkan satu, udah lima-limanya

saya ambil diluar aja, jangan sampai terjadi seperti itu karena itu kerjasama pengadaan dengan logistic harus baik…..kita sedang membenahi pengadaan dan pembelian obat di farmasi. rencananya kita akan menempatkan 1 apoteker di logistik, mungkin dalam bulan depan, meskipun dia tetap dibawah farmasi……..dengan adanya apoteker ada disana dia bisa melihat mana yang kurang…….”

Dibawah ini merupakan pendapat sekretaris panitia farmasi dan terapi yang sehari-

hari bertugas sebagai kepala farmasi rumah sakit, terhadap pertanyaan mengenai

ketersediaan obat di unit farmasi PK Sint Carolus :

2.3. “ ……….. karena pasiennya kan maunya dapat obat lengkap kalau cuma 1 gak ada udah sekalian beli di luar. Pokoknya kita berusaha obat dilengkapi dulu. cuma kalau berbicara obat, masalahnya berkaitan dengan logistik. jadi itu yang tidak bisa terselesaikan. Menurut kita cito,mungkin menurut mereka gak,….. padahal obat sudah ditunggu pasien ditunggu dokter, apalagi di rawat inap ………mereka kan gak dibawah saya, saya gak bisa ngatur mereka, kan ada kepalanya sendiri, dibawah kepala gudang………………. begitu sore ada permintaan lagi, gak bisa ngambil, kan tutup, mereka cuma sampai jam setengah tiga……stok obat dibuat untuk 3 hari disesuaikan dengan permintaan obat yang seminggu 3 kali….”

Gambaran dari ketersediaan obat di unit farmasi PK Sint Carolus tampak pada hasil

wawancara mendalam dengan kepala unit farmasi rawat jalan yang menyatakan :

3.4. “…..kadang-kadang permintaan obat tidak diantar, mungkin karena di gudang kosong tetapi tidak diinformasikan ke kita, tiba-tiba obatnya gak datang….., kebanyakan logistik membeli obat di PBF, kalau di PBF tidak ada mereka tidak mengusahakan cari di tempat lain padahal kita kan terserah mau beli di PBF atau apotik luar, yang penting obatnya ada …mungkin karena kalau di PBF ada discountnya, kalau di apotik atau tempat lain kan gak ada…...pola dokter kan bervariasi, kadang hari ini obat tertentu gak keluar tapi besoknya keluar banyak sedangkan bagian logistic kan gak melihat perkembangan itu,…… kita akan usul ke manajemen supaya gudangnya buka lebih lama supaya bila ada permintaan obat sore hari dapat dilayani….”

Bila obat yang diresepkan dokter tidak tersedia baik sebagian atau seluruhnya

di unit farmasi maka pasien menganggap obat-obatan yang tersedia di unit farmasi

rawat rumah sakit itu tidak lengkap. Gambaran dari ketersediaan obat di unit farmasi

PK Sint Carolus tampak pada hasil wawancara mendalam dengan informan dari

unsur pasien yang menyatakan :

5.1. “…..obat selalu ada….”

5.2. “…..gak pernah tebus diluar , selalu ada …..”

5.3. “…..obat semua ada disini….”

5.5. “…….obat ada disini…..”

5.6. “ …….yang dulu pernah dokternya bilang obatnya gak ada disini, emang udah dicari 3 apotik gak ada,, adanya di kimia farma garuda………”

5.7. “…… kalau saya merasa semuanya komplit disini, gak pernah gak ada….soalnya resep dari dokter…….”

Unit logistik merupakan gudang dari seluruh barang kebutuhan rumah sakit,

bukan hanya farmasi saja dan mempunyai kepala logistik sendiri. Untuk melayani

kebutuhan logistik farmasi, ditempatkan 3 orang asisten apoteker.

Pada pengamatan PK Sint Carolus memiliki 4 farmasi satelit, 2 unit farmasi

yang melayani pasien rawat jalan, 1 farmasi 24 jam yang melayani pasien UGD dan

rawat inap , 1 farmasi poliklinik anak dan 1 farmasi produksi yang memproduksi

obat-obatan yang dipakai internal rumah sakit dan balai kesehatan masyarakat yang

dikelola oleh PK Sint Carolus. Bila stok di unit farmasi rawat jalan kosong atau tidak

cukup, selain melakukan permintaan obat ke logistik, dapat juga melakukan

permintaan ke farmasi satelit yang lain.

Pada pengamatan di unit farmasi rawat jalan, ketidaksediaan obat disebabkan

antara lain :

a. stok obat di gudang logistik kosong sehingga permintaan dari unit farmasi

tidak dapat dipenuhi

b. jumlah obat yang tersedia tidak mencukupi, dapat disebabkan karena jumlah

obat yang tersedia di unit farmasi/logistik sedikit atau dokter memberikan

obat untuk jangka lama (misalnya 3 bulan) sehingga jumlah obatnya banyak

sekali

c. obat tidak sesuai dengan formularium PK Sint Carolus dan dokter tidak setuju

obatnya disubstitusi.

d. jam kerja petugas di gudang logistic hanya 1 shift sampai pk 14.30 sehingga

bila sore/malam persediaan obat di unit farmasi kosong tidak dapat diminta

ke logistik

Pada penelusuran dokumen :

a. SK direksi PK Sint Carolus Nomor 020a/SKD/VI/DIRUT tentang kebijakan

pelayanan farmasi di PK Sint Carolus menyatakan bahwa semua obat yang

keluar harus berdasarkan atas resep dokter sesuai prosedur tetap yang berlaku

dan mengacu pada formularium PK Sint Carolus

b. Formularium tahun 2006 tercantum tata laksana pelayanan farmasi di PK Sint

Carolus yang menyatakan bahwa bila obat yang diresepkan dokter diluar

formularium yang berlaku, maka petugas farmasi wajib menghubungi dokter

penulis resep untuk substitusi obat dengan yang tercantum dalam

formularium

Berdasarkan informasi,pengamatan dan data sekunder ternyata banyak faktor

yang menyebabkan obat tidak tersedia di unit farmasi, antara lain :

a. Obat tidak sesuai dengan formularium

b. Sistem pengadaan obat di logistik belum sinergis dengan di unit farmasi

c. Jam kerja di unit logistik hanya sampai jam 14.30, sehingga bila sore/malam

hari unit farmasi membutuhkan obat tidak dapat dilayani

d. Waktu pemesanan obat ke logistik lama karena selain melayani obat, logistik

juga melayani permintaan barang-barang lain kebutuhan rumah sakit

e. Tidak ada informasi ke unit farmasi bila ada obat dari logistik tidak dikirim

atau hanya dikirim sebagian

f. Unit logistik hanya mau membeli obat dari pedagang besar farmasi (PBF),

bila stok obat di PBF kosong, unit logistik tidak berusaha membeli obat di

tempat lain, misalnya apotik atau rumah sakit lain

g. Kesulitan untuk mengatur stok obat di unit farmasi karena :

1 fluktuasi jumlah pasien

2 fluktuasi kasus penyakit

3 fluktuasi jumlah pemakaian obat

6.2.3.3. Waktu Tunggu

Waktu tunggu obat yang lama menyebabkan pasien enggan untuk membeli

obat di unit farmasi rumah sakit, padahal farmasi rumah sakit memberikan kontribusi

pemasukan yang signifikan bagi rumah sakit.

Gambaran dari waktu tunggu pelayanan obat tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur manajemen yang menyatakan :

1.1. “……....mungkin salah satu penyebab ialah secara system operational procedure belum memberikan kenyamanan bagi pasien terutama waktu menunggu obat yang terlalu lama dan informasi yang kurang yang sampai kepada pasien berkaitan dengan waktu tunggu, kemudian dalam bidang kebijakan manajerial kita belum menerapkan system operasional procedure yang lebih optimal berkaitan dengan peresepan obat dokter maksud saya kalau sudah memakai system paperless maka akan mempercepat pelayanan di farmasi dan memutuskan mata rantai waktu tunggu yang terlampau lama….. system layanan menyiapkan obat yang belum efektif, antara obat jadi dengan obat racikan waktunya masih bersamaan, mestinya kalau tingkat kecepatan mau ditingkatkan obat jadi dilayani lebih dulu tidak harus sesuai nomor urutan yang kaku, selama ini semua masih dalam bentuk urutan…kedua, system yang belum cepat untuk obat yang dibeli sebagian oleh pasien, obat itu kan sebenarnya sudah diinput di komputer pada waktu resep datang tetapi waktu ditawarkan kepada pasien, dia hanya mau beli sebagian atau mau dibeli diluar maka system komputernya harus dirubah lagi, system ini yang belum fleksibel……

1.2. “ lihat antrian panjang, pasien kan malas. Mungkin juga karena sudah nunggu dokter lama, pasien pengen cepat pulang dan beli obatnya deket rumah aja”

Gambaran dari waktu tunggu pelayanan obat tampak pada hasil wawancara

mendalam dengan informan dari unsur pelaksana unit rawat jalan yang menyatakan :

3.1.”…. kendalanya banyak, gak bisa kita menghakimi kok lama, tapi dari rentetan itu mana yang bisa kita kendalikan sehingga pasien puas… itu kan bisa diantisipasi sebelumnya….. gak ada rantai peta, mapping, ,alur obat begini, dimana sih kendalanya itu bisa dilingkari…tidak link, selain itu waktu pasien menyerahkan resep, ntar liat dulu obatnya yah bu, belum lagi kalau uangnya kurang…diinput ulang lagi, itu makan waktu, baru di penerimaan resep gak cukup 5 menit,,,untuk persediaan menurut saya ada gudang kecil di unit farmasi , jadi tidak setiap saat minta ke logistik………..”

3.3. “…….saya pernah tanya mereka kenapa lama alasannya masing-masing obat pakai kartu stok, setelah obat diambil harus melidi, ambil panadol melidi dulu,

kemudian pindah amoksilin mesti melidi lagi… ambil satu melidi… ambil satu melidi…jadi lama…………mestinya ada studi banding pelayanan farmasi di rumah sakit lain…….”

3.4 “….. kita udah buat rawat jalan, untuk obat paten 15 menit, untuk racikan 30 menit,……. sesuai dengan nomor yang paling duluan yah dikerjain duluan……., kalau obat racikan kan ada proses buat salinan ulang resepnya dulu di formulir racikan, dihitung jumlah obatnya berapa, karena resep kan prinsipnya gak boleh dicoret-coret, sekalian di cek, benar gak perhitungan obatnya dan apakah benar obat yang ditulis dalam salinan resep, jadi lebih lama………dulu kita hanya punya 1 alat pengisi kapsul dan hanya digunakan buat obat TH, kalau buat obat lain masih manual karena ukurannya kapsulnya gak pas,…memang jadi lama apalagi kalau jumlah nya banyak, setelah diblender,dibagi-bagi baru dimasukkan satu-satu ke dalam kapsul, baru sekitar 2 bulan ini kita punya alat sendiri, sekarang ada 2, ada yang ukuran 0 dan 00….”

Persepsi pasien mengenai waktu tunggu pelayanan obat di PK Sint Carolus tampak

pada hasil wawancara mendalam dengan informan dari unsur pasien yang

menyatakan :

5.1. “……kalau pas rame bisa nunggu sekitar 40-60 menit……”

5.2. “….kalau racik sih memang lama….tapi gak apa-apa…...”

5.3. “…..selama ini selalu beli obat disini karena sekalian berobat…..obatnya belum selesai jadi belum tau lama atau gak……….”

5.4. “ ………saya gak beli obat disini, saya beli di apotik jatinegara karena ada saudara yang kerja disana,….. namanya ke dokter,beli obat di apotik pasti nunggu, disana juga nunggu, pasiennya banyak juga tapi nunggunya cepat, kalau keluarga kan spesial, pokoknya kalau keluarga serba spesial deh…..”

5.5. “………belum tau yah, masih nunggu obat nih…..”

5.7. “…….ada kali 10 menit, kalau racikan agak lama juga bisa 20 menit……kalau di apotik 24 jam obat bisa diantar, gak usah nambah ongkos lagi..….”

Pada pengamatan di dalam ruang farmasi rawat jalan, obat racikan lebih

banyak diresepkan oleh dokter spesialis saraf dan dokter spesialis kesehatan jiwa.

Resep racikan yang sudah sering diresepkan dan apoteker di unit farmasi rawat jalan

sayap selatan sudah memiliki resep racikan tersebut yang diberi kode, antara lain TH

1, TH 2 dan TH*, obat selalu disediakan dalam bentuk yang sudah diracik dan

dimasukkan dalam kapsul sehingga bila petugas menerima resep tersebut, obat

dapat segera dikemas. Pada umumnya waktu tunggu obat racikan tergantung dari

jumlah obat yang dibuat, banyaknya resep yang diterima unit farmasi, kelengkapan

obat dan pekarya yang meracik obat, bila pekarya ini sedang mengambil obat cito ke

logistik maka waktu penyiapan obat makin lama.

Di atas dinding ruang farmasi terpasang monitor yang cukup besar untuk

menampilkan nomor resep yang sudah selesai obatnya, tetapi belum difungsikan

karena kekurangan SDM karena prosesnya dengan mengetik di komputer dan

tampilannya akan tampak di monitor. Pada jam sibuk dimana fungsi monitor itu

sangat berguna untuk mempercepat pelayanan tetapi justru pada saat itu semua SDM

farmasi sangat sibuk mempersiapkan obat dan tidak sempat untuk menginput nomor

resep yang sudah selesai di komputer. Sampai saat ini obat yang sudah selesai

diinformasikan melalui pengeras suara, petugas penyerahan obat menyebutkan nama

pasien beserta dengan nama dokternya.

Pada penelusuran dokumen buku pedoman kerja farmasi tahun 2007 sudah

ada protap pembuatan obat racikan disertai alurnya. Dalam dokumen standar

pelayanan minimal farmasi PK Sint Carolus adalah sebagai berikut :

a. Setiap resep obat non racikan diserahkan kepada pasien dalam waktu ≤ 15

menit.

Penyiapan obat yang lama karena :

1. persediaan obat di farmasi satelit habis/kurang, sehingga harus

mengambil di farmasi satelit yang lain atau di gudang farmasi

2. dalam 1 lembar resep terdapat lebih dari 3 R/

3. resep ditebus pada jam yang ramai pengunjung

4. tulisan dokter kurang jelas, sehingga harus dikonsultasikan dulu

dengan dokter yang bersangkutan

5. obat tidak tercantum dalam formularium RS, sehingga harus

dikonsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan untuk diganti

dengan obat sejenis

6. resep kurang lengkap atau kekeliruan dokter menuliskan dosis,

sehingga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan

b. Setiap resep obat racikan diserahkan kepada pasien dalam waktu ≤ 30 menit

Penyiapan obat yang lama karena :

1. persediaan obat di farmasi satelit habis/kurang, sehingga harus

mengambil di farmasi satelit lain atau di gudang farmasi

2. obat racikan yang dibuat jumlahnya banyak

3. salah menghitung dosis, sehingga harus diulang

4. resep ditebus pada jam yang ramai pengunjung

5. tulisan dokter kurang jelas, sehingga harus dikonsultasikan dulu

dengan dokter yang bersangkutan

6. obat tidak tercantum dalam formularium RS, sehingga harus

dikonsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan untuk diganti

dengan obat sejenis

7. resep kurang lengkap atau kekeliruan dokter menuliskan dosis,

sehingga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang

bersangkutan.

Berdasarkan informasi, pengamatan peneliti dan data sekunder,faktor-faktor

yang menyebabkan waktu tunggu obat lama dapat dibedakan menjadi :

a. Faktor internal farmasi, yaitu :

1. stok obat di unit farmasi belum online, sehingga bila petugas

penerimaan resep ragu-ragu apakah obat tersedia atau tidak, ia akan

mengecek dulu kartu stok obat yang ada di kotak obat sebelum

menginput nama obat di komputer

2. setiap obat memiliki kartu stok masing-masing, yang harus diisi oleh

asisten apoteker setiap kali mengambil obat di kotak obat

3. kalau obat habis diluar waktu permintaan rutin ,maka dilakukan

permintaan obat cito ke bagian logistik, dan obat harus diambil oleh

pekarya di unit farmasi, padahal ia mempunyai tugas meracik obat

sehingga jumlah tenaga kerja berkurang dan akibatnya pasien harus

menunggu lebih lama (pada permintaan obat rutin obat diantar oleh

petugas logistik)

4. lama menyiapkan resep racikan, baik puyer yang dimasukkan ke

dalam kapsul maupun racikan dalam bentuk salep

5. Alur resep racikan lebih panjang daripada resep non racikan

6. Jumlah item obat pada resep non racikan bisa sampai 6 -8 obat atau

jumlah obat racikan banyak ( 60 – 180 dosis obat puyer dimasukkan

ke dalam kapsul )

7. pada tahun 2009 alat pengisi kapsul hanya ada 1, yaitu di farmasi

satelit URJ selatan bawah sehingga alat juga dipinjam oleh farmasi

satelit yang lain, di unit farmasi satelit URJ selatan bawahpun hanya

digunakan untuk obat tertentu saja karena ukuran alat belum tentu pas

dengan ukuran kapsul yang lain.

8. resep datang bersamaan sehingga menumpuk pada jam-jam sibuk

yaitu pk 11.00 – 13.00 dan pada pk 18.00, hal ini terkait dengan jam

praktek dokter, pada saat itu pasien harus menunggu obat lebih lama

b. Faktor eksternal farmasi :

1. Dokter : obat yang diresepkan tidak sesuai formularium atau resep

kurang lengkap sehingga perlu dikonsultasikan dulu dengan

dokter penulis resep

2. Logistik :

a. stok obat di farmasi kurang/kosong karena proses pengiriman

obat dari logistic lama

b. komunikasi dengan antara unit farmasi dan logistik belum

terjalin dengann baik

3. Pasien :

a. pasien sudah menyerahkan resep ke farmasi tetapi karena

uang tidak mencukupi, obat hanya dibeli separuh resep

atau hanya dibeli sebagian saja, sehingga petugas

penerima resep harus melakukan input ulang di komputer

b. pada pasien langganan :

1. bila nomor rekam medis masih menggunakan nomor

pasien umum sehingga harus diubah datanya lebih

dulu

2. ada asuransi tertentu yang memberikan batasan biaya

obat sehingga petugas penerima resep harus

menyesuaikan jumlah obat dengan biaya obat yang

ditanggung oleh asuransi

Dari rangkuman diatas tampak bahwa masalah waktu tunggu obat yang lama

tidak hanya semata dilihat sebagai masalah internal farmasi saja tetapi juga terkait

dengan unit pelayanan lain.

6.2.4. Pengaruh Karakteristik Pasien Yang Mempengaruhi Pasien Dalam

Memilih Tempat Membeli Obat

Karakteristik informan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pendidikan,

pekerjaan, status penyakit dan penanggung biaya pengobatan.

6.2.4.1. Pendidikan

Informasi tentang pendidikan sangat penting dalam hubungannya dengan

pengertian informan terhadap informasi pengobatan dari dokter dan kepatuhan

informan terhadap pengobatan. Dalam penelitian ini, 2 dari 3 informan yang

berpendidikan SLTA membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus. 1 dari 2

informan berpendidikan D3 membeli di unit farmasi PK Sint Carolus. 1 informan

berpendidikan S1 membeli obat di apotik langganan dan 1 informan lagi tidak

diketahui tingkat pendidikannya karena sudah lanjut usia dan wawancara dilakukan

dengan anak perempuan informan yang tidak mengetahui pendidikan terakhir ibunya.

dan informan ini selalu membeli obat di apotik langganan.

Dari informasi diatas tampak tingkat pendidikan informan tidak

mempengaruhi pemilihan informan terhadap tempat membeli obat.

6.2.4.2. Pekerjaan

Pekerjaan informan berkaitan dengan pemilihan tempat membeli obat. Bagi

informan yang masih bekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan menentukan tingkat

pendapatan keluarga yang terkait dengan tempat informan berobat dan membeli obat,

selain itu juga dengan ada/tidaknya penggantian biaya pengobatan dari perusahaan

tempat informan bekerja. Bagi informan yang tidak bekerja atau sudah pensiun

berarti biaya pengobatan ditanggung oleh keluarga/anak.

Jenis pekerjaan 3 informan adalah karyawan, dimana biaya pengobatan

ditanggung oleh perusahaan. Hanya 1 dari 3 informan ini yang membeli obat di unit

farmasi PK Sint Carolus. 1 dari 3 informan yang tidak bekerja karena lanjut usia,

membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus. 1 informan lagi mempunyai usaha

sendiri dan membeli obat di apotik langganan.. Bagi informan yang tidak bekerja

biaya pengobatan ditanggung oleh anaknya karena itu keputusan memilih tempat

menebus resep lebih banyak ditentukan oleh anaknya.

Dari informasi diatas tampak bahwa pekerjaan informan tidak mempengaruhi

pemilihan tempat membeli obat.

6.2.4.3. Penanggung biaya

3 informan bekerja sebagai karyawan/ti dan biaya pengobatan ditanggung

perusahaan. 2 dari 3 informan ini biayanya ditanggung 100% dan 1 informan

biayanya ditanggung perusahaan 90%. Karena ke 3 perusahaan tempat informan

bekerja tidak bekerjasama dengan PK Sint Carolus dalam pengobatan rawat jalan

maka informan bebas memilih tempat menebus obat.

Pada pengamatan peneliti di bagian penerimaan resep, bila penanggung biaya

adalah perusahaan asuransi, dimana PK Sint Carolus sudah ditentukan menjadi mitra

dalam memberikan pelayanan kesehatan pada kliennya maka obat langsung dibeli di

unit farmasi PK Sint Carolus dan biaya obat diklaim ke perusahaan asuransi yang

bersangkutan, tetapi bila penanggung biaya adalah perusahaan tempat pasien bekerja,

pengobatan dibayar secara kontan oleh informan dan kuitansi diklaim ke perusahaan

sehingga informan dapat memilih tempat membeli obat sesuai dengan keinginannya.

Dari informasi dan pengamatan, karena semua informan yang biaya

pengobatannya ditanggung perusahaan bukan merupakan klien perusahaan asuransi,

maka penanggung biaya dalam hal ini perusahaan tidak mempengaruhi informan

dalam memilih tempat membeli obat.

6.2.4.4. Status Penyakit

3 informan datang ke poliklinik PK Sint Carolus untuk melakukan kontrol

penyakitnya ke dokter setelah menjalani rawat inap. 2 diantaranya membeli obat di

unit farmasi PK Sint Carolus , 1 diantara 2 informan ini biasanya membeli obat di

apotik langganan tetapi karena baru menderita penyakit yang cukup berat dan belum

masuk kantor dimana lokasi apotik langganan berdekatan dengan kantor maka ia

membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus. sedangkan 1 informan lagi membeli

obat di apotik langganan. 3 informan lain menderita penyakit kronis, 1 informan

membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus dan 2 informan membeli obat di apotik

langganan. 1 informan lagi adalah pasien yang baru pertama kali berobat ke

poliklinik spesialis PK Sint Carolus dan sekaligus membeli obat di unit farmasi PK

Sint Carolus

Dari informasi diatas peneliti tidak melihat hubungan antara kasus penyakit

yang tidak berat dengan pemilihan tempat membeli obat. Tetapi tampaknya pada

informan yang penyakitnya cukup berat, lebih praktis untuk membeli obat di unit

farmasi PK Sint Carolus sekalian kontrol ke dokter.

6.2.4.5. Faktor-faktor lain yang menentukan tempat informan menebus resep

Dari informasi data alamat informan ada 3 informan yang berdomisili cukup

jauh dari PK Sint Carolus yaitu di Bogor, Depok dan Bekasi. Jarak tempat tinggal

tidak termasuk karakteristik yang diteliti tetapi melihat sebagian informan berdomisili

di luar Jakarta ini sudah lama berlangganan dengan PK Sint Carolus, maka peneliti

ingin mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi informan

untuk berobat ke PK Sint Carolus.

Dari tabel 6.6 diketahui lokasi tempat tinggal informan untuk melihat keterkaitan

jarak tempat tinggal informan dengan pemilihan tempat membeli obat. Dari 3

informan berdomisili di luar kota Jakarta. 2 diantaranya membeli obat di unit farmasi

PK Sint Carolus sedangkan 1 informan membeli obat di apotik langganan. 4 informan

lain berdomisili di Jakarta, 2 diantaranya membeli obat di unit farmasi PK Sint

Carolus sedangkan 2 informan lainnya menebus obat di luar.

Berdasarkan informasi tampak tidak ada keterkaitan antara jarak tempat

tinggal informan dengan PK Sint Carolus dengan pemilihan tempat membeli obat.

BAB VII

PEMBAHASAN

Hasil penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi serta

penelusuran terhadap dokumen-dokumen, dengan merujuk pada literatur dan hasil

studi yang telah ada.

7.1. KETERBATASAN PENELITIAN

Peneliti dalam melaksanakan rangkaian kegiatan penelitian merasakan

keterbatasan-keterbatasan diantaranya adalah :

a. Kurangnya pengalaman peneliti dalam melakukan wawancara mendalam

sehingga kurang dapat memanfaatkan peluang untuk menggali lebih dalam

informasi yang disampaikan

b. Hasil penelitian ini cenderung mengalami bias karena pandangan

subyektivitas peneliti

c. Permasalahan memiliki keterkaitan dengan banyak unit/bagian di rumah sakit

dan peneliti kurang dapat melakukan observasi lebih mendalam

d. Keterbatasan waktu penelitian sehingga peneliti kurang dapat melakukan

observasi lebih mendalam

7.2. TINJAUAN HASIL PENELITIAN

7.2.1. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT

Kebijakan Manajemen PK Sint Carolus dalam mengelola obat di rumah sakit

diimplementasikan dengan dibentuknya panitia farmasi dan terapi, hal ini sesuai

dengan pernyataan WHO (2001) bahwa rumah sakit perlu membuat kebijakan

pengelolaan obat di rumah sakit agar pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan

kebutuhannya dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya

serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya dan Laing,et al (2001)

bahwa untuk meningkatkan efektivitas penggunaan obat rasional, rumah sakit perlu

membuat kebijakan dengan membentuk panitia farmasi dan terapi.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 1009/Menkes/SK/X/1995,

mewajibkan semua rumah sakit pemerintah membentuk panitia farmasi dan terapi

(Panjaitan, 2006). Meskipun PK Sint Carolus adalah rumah sakit swasta, tetapi sejak

tahun 2001 telah memiliki panitia farmasi dan terapi dan telah menyusun

formularium obat yang digunakan di rumah sakit dan membuat peraturan-peraturan

yang mendukung terlaksananya fungsi pemantauan penggunaan obat. Saat ini yang

berlaku adalah formularium edisi II yang disusun pada tahun 2006 dan sedang

disusun formularium edisi III.

Kebijakan dan peraturan Panitia farmasi dan terapi yang berlaku di PK Sint

Carolus saat ini berdasarkan Surat Keputusan Direksi PK Sint Carolus nomor

019/SKD/IX/2006/Dirut yang berisi susunan keanggotaan, tugas dan wewenang

panitia farmasi dan terapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siregar dan Amalia

(2003) bahwa panitia farmasi dan terapi dibentuk berdasarkan surat keputusan dari

pimpinan rumah sakit, termasuk didalamnya sudah diatur tugas, tanggung jawab dan

wewenang.

7.2.1.1. Penetapan Pengurus Panitia Farmasi Dan Terapi

Menurut Kepmenkes No 1197,2004, ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih

dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai

ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakolog. Sekretarisnya adalah

Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk. PK Sint Carolus tidak

mengikuti prosedur pemilihan ketua panitia farmasi dan terapi sesuai Kepmenkes

diatas karena sulit menentukan anggota-anggota panitia farmasi dan terapi yang

jumlahnya banyak dan harus mewakili semua spesialisasi yang ada, karena itu bila

ketua dan wakil ketua sudah dipilih maka dapat dilakukan pendekatan kepada dokter

spesialis yang ada untuk bersedia menjadi anggota.

Jumlah pengurus panitia farmasi dan terapi yang hanya duduk sebagai

anggota ada 16 orang tetapi belum terbagi dalam satuan kerja yang lebih kecil

sehingga cenderung membuat para anggota tidak ikut terlibat dalam meningkatkan

fungsi panitia farmasi dan terapi. Di Rumah Sakit Fatmawati, keanggotaan panitia

farmasi dan terapi telah dibagi dalam 4 seksi yaitu Seksi Pelayanan, Seksi

Pendidikan, Seksi Penelitian dan Seksi Pelayanan Informasi Obat (Firmanda,2005).

Keberadaan seksi-seksi ini dapat membantu dan meringankan beban kerja ketua

panitia farmasi dan terapi dan meningkatkan aktivitas panitia farmasi dan terapi,

seperti menyelenggarakan presentasi produk, pertemuan ilmiah, sosisalisasi

formularium dan sebagainya.

7.2.1.2. Proses Seleksi Obat Dalam Formularium tahun 2006

Saat ini jumlah obat yang beredar di pasaran ada sekitar 13.000 jenis obat

(Kompas.com,2010), tetapi Jumlah obat yang masuk dalam formularium harus

dibatasi, tidak semua obat yang beredar di pasaran masuk dalam formularium

(WHO,1997). Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah obat yang

sudah terbukti efektif dan aman serta dengan biaya yang relatif efisien (WHO,2001)

selain itu penyediaan obat yang banyak akan meningkatkan biaya belanja obat rumah

sakit.

Banyaknya obat yang beredar dengan beragam mutu, khasiat dan harga serta

munculnya obat-obat baru tidak jarang justru menyebabkan kebingungan bagi dokter

untuk memilih obat dan kesulitan bagi apoteker dan pengelola logistik farmasi dalam

menyediakan obat di rumah sakit. Sebagian besar obat yang beredar merupakan

duplikasi sediaan yang ada, dengan isi dan dosis yang sama tetapi harga berbeda

(apoteker-istn.blogspot.com,2010). Formularium merupakan salah satu alat

manajemen untuk mengendalikan jumlah obat yang beredar di rumah sakit.

Dalam SK direksi PK Sint Carolus Nomor 019/SKD/IX/2006/DIRUT sudah

ditetapkan tahapan prosedur penetapan obat formularium obat rumah sakit, yang

dapat digambarkan dalam bagan berikut ini :

Bagan 7.1 Tahapan prosedur penetapan obat

Dalam pelaksanaannya,proses seleksi obat hanya dilakukan sampai tahap pertama

saja yaitu usulan dari minimal 3 orang dokter, kemudian bila disetujui oleh panitia

farmasi dan terapi, obat langsung dimasukkan sebagai obat sisipan dalam

usulan dari min 3 dokter kepada PFT

presentasi produk

pengamatan manfaat & efek

persetujuan direksi

formularium dan disediakan di farmasi rumah sakit tanpa dilakukan presentasi

produk, pengamatan efek dan manfaat obat serta tidak melalui persetujuan direksi.

Berdasarkan wawancara dengan informan 2.2 memang terungkap bahwa

seharusnya proses pengusulan obat baru tidaklah semudah itu yang mengakibatkan

jumlah obat generik bermerek (di PK Sint Carolus disebut sebagai obat me too)

sebagai sisipan dalam formularium tahun 2006 bertambah banyak, padahal sudah

ditetapkan dalam formularium tahun 2006 hanya ada 3 obat me too. Dalam WHO

(1997) dikatakan bahwa jumlah obat bermerek (obat me too) harus dikurangi, hanya

satu obat bermerek dari satu jenis obat generik yang secara rutin ada dalam stok,

demikian juga dalam Kepmenkes No 1197 tahun 2004 dinyatakan bahwa jumlah

produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi Farmasi harus dibatasi.

Adanya obat yang diusulkan dan sudah disetujui oleh panitia farmasi dan

terapi tetapi tidak digunakan oleh dokter pengusul membuktikan bahwa usulan obat

bukanlah didorong oleh kebutuhan dokter akan obat tersebut. Rasa tidak enak hati

dengan rekan sejawat yang mengusulkan obat terutama kepada dokter senior

merupakan hal yang wajar dialami oleh dokter yang bertugas sebagai pengurus

panitia farmasi dan terapi, karena itu bila seluruh proses seleksi obat diterapkan

sesuai dengan kebijakan direksi dalam SK Nomor 019/SKD/IX/2006/DIRUT maka

akan menghilangkan persetujuan usulan obat dengan alasan tersebut.

Pada tanggal 21 Oktober 2009 panitia farmasi dan terapi mengirimkan surat

kepada direksi dengan nomor surat 048/FARM/X/2009 yang isinya permohonan

kepada direksi untuk ikut menyeleksi obat yang masuk dalam formularium. Ternyata

intervensi direksi dalam proses seleksi obat terbukti dapat menurunkan jumlah obat

yang diusulkan pada tahun 2009 seperti tampak pada tabel 6.7. Hal ini sesuai dengan

pendapat Winardi (2000) bahwa peran pimpinan selain menyusun kebijakan adalah

melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.

Pada formularium edisi III yang sedang disusun, direksi terlibat langsung

sejak pengusulan obat sampai persetujuan, surat persetujuan usulan obat

ditandatangani oleh direktur medik.

Dengan adanya keterlibatan langsung manajemen dalam penggunaan formularium di

rumah sakit maka diharapkan :

1 Obat baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium akan lebih bersifat

base evidence medicine karena harus melalui presentasi untuk melihat

manfaat dan efek terapi obat secara ilmiah dan berdasarkan data pengeluaran

obat di farmasi.

2 Anggaran belanja rumah sakit untuk pembelian obat-obatan akan lebih efektif

dan efisien karena jumlah item obat terbatas

3 Keterlibatan direksi rumah sakit dalam proses seleksi obat sangat

mempengaruhi kepatuhan dokter terhadap peraturan-peraturan yang ada

dalam formularium

4 Peresepan obat menjadi lebih rasional

7.2.1.3. Sosialisasi Formularium

Salah satu metode untuk meningkatkan kepatuhan pada formularium adalah

mempromosikan penggunaan formularium (WHO,1997). Meskipun semua informan

sudah mengetahui adanya formularium di PK Sint Carolus tetapi informan 4.3 dan

4.4 belum pernah membaca buku formularium PK Sint Carolus tahun 2006 sehingga

tidak mengetahui obat apa saja yang tercantum dalam formularium, tetapi pada

penelusuran resep tampak sebagian besar resep sudah sesuai dengan formularium.

Informan 4.4 tidak pernah membaca buku formularium PK Sint Carolus tahun

2006 , ia memperolah informasi pengobatan dari media CIM ,tetapi pola

peresepannya sudah sesuai formularium. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi

tentang pengobatan yang rasional bisa didapatkan lewat media apa saja dan sikap

professional dokter dalam memberikan pelayanan berperan penting dalam proses

pemilihan obat. Hal ini sesuai dengan penelitian Alwi (2002) di RSMH Palembang

bahwa sikap dokter mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan pada

formularium. Informan 4.2 menyatakan bahwa ketika sosialisasi formularium kurang

dijalankan maka ia tidak peduli dengan keberadaan formularium rumah sakit dan

menulis resep sesuai dengan keinginannya, tapi ketika formularium mulai

disosialisasikan tampak bahwa informan berusaha menulis resep sesuai dengan

formularium dan kalaupun obat ternyata tidak tersedia di unit farmasi, informan

bersedia untuk mengganti obatnya dengan obat sejenis yang tersedia.

Sosialisasi formularium yang belum dijalankan dengan optimal juga

disebabkan belum adanya seksi khusus yang menangani sosialisasi dalam susunan

pengurus panitia farmasi dan terapi tahun 2006. Selama ini tampaknya beban kerja

hanya dibagi antara ketua dan sekretaris saja, anggota-anggota yang lain belum

terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan panitia farmasi dan terapi. Hal ini

menunjukkan bahwa meskipun hanya sebagai suatu panitia, ketua panitia farmasi dan

terapi perlu mengorganisir fungsi anggota-anggotanya agar masing-masing anggota

mempunyai peran khusus dalam kepanitiaan. Selain itu karena sebagian besar

anggota panitia farmasi dan terapi adalah dokter spesialis termasuk ketua adalah

dokter spesialis penyakit dalam, yang setiap hari sudah disibukkan dengan praktek

melayani pasien sehingga sulit untuk mengelola seluruh tugas dan tanggung jawab

panitia farmasi dan terapi tanpa dilakukan pembagian tugas (job description) yang

jelas diantara anggota-anggota panitia farmasi dan terapi.

Kesulitan yang dialami selama ini dimana dokter-dokter tamu menulis resep

tidak sesuai dengan formularium seperti yang dinyatakan oleh informan 1.1 kiranya

dapat diminimalisir dengan melakukan pendekatan pribadi oleh seksi sosialisasi,

karena itu perlu dipikirkan untuk menempatkan dokter yang secara keilmuan dan

senioritas sudah diakui dan disegani di PK Sint Carolus.

7.2.2. Pola Peresepan Dokter

Dalam melayani pasien, dokter memeriksa, mendiagnosa dan memberikan

obat dalam waktu yang relatif singkat. Agar dalam waktu singkat dokter dapat

mengambil keputusan yang tepat dibutuhkan informasi yang benar tentang penyakit

dan informasi tentang obat yang jumlahnya cukup banyak dan bervariasi.

Pengetahuan dasar seorang dokter yang didapat di bangku kuliah mengenai cara

penegakkan diagnosis, cara pengobatan dan waktu yang tepat untuk memberikan

obat, perlu diperlengkapi dengan tambahan pengetahuan baik dari artikel dan jurnal

kedokteran maupun dengan mengikuti pelatihan formal dan bedside training

(WHO,1988). Proses pemilihan obat merupakan salah satu tahap penting dalam

pengobatan. Dokter harus menetapkan jenis obat yang benar-benar diperlukan bagi

pasien, pilihan obat yang diresepkan haruslah yang paling efektif dan aman bagi

pasien karena seperti yang dinyatakan oleh WHO (1997) bahwa pasien tidak memilih

obat sendiri tetapi obat diresepkan oleh dokter dan pasien juga tidak mengerti

tentang aspek kesesuaian obat, keamanan, kualitas atau biaya obat.

Banyak faktor yang mempengaruhi dokter dalam meresepkan obat, baik

faktor internal antara lain pengetahuan, pengalaman dan kepercayaan dan faktor

eksternal yaitu pengaruh pasien, hubungan dokter-pasien, promosi dan pengaruh

sejawat (Ulfah dkk,2004). Selain pengetahuan di bidang kedokteran, proses

peresepan dokter di rumah sakit juga dipengaruhi oleh pengetahuan dokter tentang

keberadaan formularium obat di rumah sakit tersebut, kepatuhan dokter terhadap

formularium dan promosi industri farmasi.

7.2.2.1. Pengetahuan Dokter Tentang Formularium

Tujuan utama dibuatnya formularium rumah sakit adalah untuk mendorong

para dokter agar menggunakan obat yang paling efisien dari segi terapi dan biaya

(Lancer,2002). Kepmenkes No 1197 tahun 2004 menyatakan bahwa penggunaan

formularium akan membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di

Instalasi Farmasi.

Dalam wawancara didapat 2 informan tidak mengetahui tujuan penggunaan

formularium di rumah sakit dan peraturan-peraturan yang terkait dengan formularium

padahal pengetahuan dokter tentang formularium erat kaitannya dengan kepatuhan

dokter terhadap formularium. Pengetahuan dokter terhadap formularium rumah sakit

ikut menentukan pola peresepan dokter.Hasil penelitian Alwi (2002) di RSMH

Palembang menunjukkan bahwa dokter yang mempunyai pengetahuan tentang

formularium lebih patuh dibandingkan dengan dokter yang tidak mempunyai

pengetahuan. Tetapi pada penelusuran resep ternyata sebagian besar obat yang

diresepkan sudah sesuai dengan obat-obatan yang tersedia di unit farmasi rawat jalan

yang berarti sesuai dengan formularium obat PK Sint Carolus bahkan beberapa resep

menggunakan obat generik. Peneliti melihat bahwa hal ini disebabkan karena :

a. Sudah ada kerjasama yang baik antara dokter spesialis yang berpraktek di

poliklinik spesialis dengan apoteker dan petugas unit farmasi rawat jalan

b. Obat yang tidak tersedia di unit farmasi selalu dikomunikasikan oleh

apoteker/petugas farmasi kepada dokter penulis resep untuk disubstitusi

dengan obat lain yang sejenis

c. Dokter yang diwawancarai sudah berpraktek lebih dari 10 tahun sehingga

sudah memiliki pola peresepan yang baku berdasarkan pengalaman dan

pengetahuannya

d. Dokter mendapatkan informasi pengobatan yang rasional melalui berbagai

media, seperti informan 4.3 yang mendapatkan informasi obat dari jurnal dan

majalah CIM (Compendium of Indonesian Medicine) dan informan 4.1 yang

mendapat informasi obat melalui internet. Hal ini sesuai dengan pendapat

Quintiliani&Quercia (2003) bahwa dokter yang sering membaca literatur

secara teratur lebih dapat meresepkan obat yang efektif, aman dan sudah teruji

secara klinis.

7.2.2.2. Kepatuhan Dokter Pada Formularium

Dokter memiliki otonomi dalam menjalankan profesinya termasuk

menentukan diagnosis dan terapi yang tepat bagi pasiennya. Masing-masing dokter

mempunyai pola pikir dan sudut pandang yang berbeda ketika memutuskan terapi

terbaik dalam suatu kasus penyakit. Dalam praktek pribadi hal itu tidak menjadi

masalah, tetapi apabila seorang dokter bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib

setuju berpraktik sesuai dengan peraturan sistem formularium rumah sakit tersebut,

obat yang akan ditulis, di-dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai

dengan sistem formularium (Siregar&Amalia,2003).

Pada pengamatan peneliti terhadap resep-resep dokter spesialis baik yang

diwawancarai maupun yang tidak diwawancarai, sebagian besar resep sudah

mengacu pada obat yang tersedia di unit farmasi, hal ini disebabkan pada tahap awal

seleksi obat panitia farmasi dan terapi sudah melibatkan dokter spesialis sebagai user

(WHO,1997), obat yang paling banyak dipakai oleh dokter spesialis itu yang

dimasukkan dalam formularium. Seleksi tidak berdasarkan efektivitas dan keamanan

obat serta efisiensi biaya seperti yang tercantum dalam WHO (2001) tetapi pada

umumnya obat yang diusulkan adalah obat yang sudah lama beredar di pasaran dan

efektivitas serta keamanannya sudah diketahui.

Ketidakpatuhan pada formularium menurut informan 1.2 juga disebabkan

kesulitan dokter untuk menghafal nama-nama obat yang ada dalam formularium.

Untuk mengatasi hal itu PK Sint Carolus sudah menerapkan seperti dinyatakan oleh

WHO (1997) bahwa bila obat yang diresepkan dokter di luar formularium yang

berlaku, maka petugas farmasi wajib menghubungi dokter penulis resep untuk

substitusi obat dengan yang tercantum dalam formularium.

Dalam meresepkan, informan 4.3 tidak pernah memperhatikan kesesuaian

obat dengan formularium obat PK Sint Carolus, ia lebih banyak mendapat informasi

obat dari literatur dan CIM, tetapi pada umumnya resep sudah sesuai dengan

formularium PK Sint Carolus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jones

et al (2001) bahwa keputusan dokter dalam memilih obat yang diresepkan terutama

dipengaruhi oleh literatur dan pertemuan ilmiah. Tampaknya bagi informan yang

pernah terlibat dalam organisasi rumah sakit lebih mudah untuk mematuhi

formularium seperti informan 4.1 yang merupakan mantan direktur utama dan

informan 4.2 yang menjadi anggota panitia farmasi dan terapi, hal ini dikuatkan

dengan pendapat informan 1.1 bahwa ketidakpatuhan terhadap formularium biasanya

dilakukan oleh dokter-dokter tamu. Dokter tamu yang jam prakteknya lebih lama di

rumah sakit lain daripada di PK Sint Carolus, sudah terbiasa menggunakan obat yang

tersedia disana sehingga pola peresepannya mengikuti ketersediaan obat di rumah

sakit lain. Padahal dalam buku formularium PKSC tahun 2006 sudah tertulis bahwa

formularium obat di rumah sakit berlaku bagi semua dokter dan atau dokter gigi, baik

dokter tetap maupun mitra, sebagai penulis resep di rumah sakit. Faktor senioritas dan

jumlah pasiennya yang banyak tampaknya menyebabkan manajemen PK Sint Carolus

segan untuk menegur dokter-dokter tamu ini.

Ketidakpatuhan dalam penulisan resep berdasarkan pada formularium akan :

1 Mempengaruhi persediaan obat, di satu sisi akan terjadi kekurangan atau

kekosongan obat, di sisi lain adanya stok obat yang berlebihan.

2 Diperlukan investasi yang lebih besar untuk melengkapi jenis obat yang lebih

banyak dari standar formularium

3 Mempengaruhi mutu pelayanan, karena obat sering kosong, waktu pelayanan

menjadi lama karena harus konsultasi dokter untuk pergantian obat, adanya

resep yang ditolak, obat tidak bisa dibeli, kesinambungan pengobatan

terganggu serta pembiayaan total pengobatan menjadi tinggi.

4 mempengaruhi citra rumah sakit di mata pasien dan masyarakat karena

ketidaklengkapan obat dipersepsikan dengan kualitas pelayanan yang kurang

baik

7.2.2.3. Pengaruh Promosi Industri Farmasi

Saat ini ada sekitar 199 perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia

(id.answers.yahoo.com) dan bersaing mempromosikan produknya. Gencarnya

promosi obat oleh detailer menjadi salah satu faktor penentu proses pengambilan

keputusan pemilihan obat, meskipun dalam kenyataannya tidak semua obat yang

dipromosikan memiliki bukti manfaat dan keamanan yang dapat diandalkan.

Pada penelitian tampak bahwa sebagian besar penulisan resep tidak

terpengaruh oleh promosi dari industri farmasi, dokter sudah mempunyai pendapat

dan pola masing-masing dalam penulisan resep. Meskipun demikian pernah terjadi

ada dokter yang tidak pernah meresepkan obat yang sudah diusulkannya, sehingga

diduga bahwa dokter pengusul sebenarnya tidak memerlukan obat tersebut, dokter

mengusulkan karena sudah lelah ditanya-tanya terus oleh detailer.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia telah disebutkan bahwa dalam

melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh

sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi

(Setiabudy,2009)

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK/XI/2008 menyatakan bahwa

batas maksimal biaya promosi untuk perusahaan farmasi adalah 2% dari penjualan

atau 25 milyar dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/PER/XI/2008

yang melarang perusahaan-perusahaan farmasi asing untuk menjual produknya di

Indonesia tanpa memiliki fasilitas produksi yang berlokasi di Indonesia

(www.idx.co.id) akan membatasi ruang gerak industri farmasi untuk mempromosikan

produknya di Indonesia, termasuk promosi langsung kepada dokter-dokter di rumah

sakit.

7.2.3. Karakteristik Obat Dan Pelayanan Obat

Di masa depan, fungsi unit rawat jalan akan menjadi primadona pelayanan

rumah sakit (Rijadi,1997). Peningkatan jumlah kunjungan rawat jalan akan ikut

mendongkrak penerimaan resep di unit farmasi rawat jalan sebagai salah satu unit

penunjang medis. Farmasi akan mempunyai peran yang semakin strategis. Pernyataan

direktur utama PK Sint Carolus bahwa persentase pendapatan farmasi sekitar 60-61%

dari total pendapatan bruto rumah sakit menunjukkan bahwa pendapatan farmasi

mempunyai daya ungkit yang besar terhadap pendapatan rumah sakit.

Hasil survei yang dilakukan PK Sint Carolus akhir tahun 2009 menyatakan

bahwa 84,03% responden membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus dan 15,97%

membeli obat diluar. Alasan pasien untuk menebus obat di luar adalah :

a. Pelayanan lama

b. Harga obat mahal

c. Obat tidak tersedia

d. Mempunyai apotik langganan

e. Cara pembayaran yang ribet harus mondar-mondir ke kasir – farmasi.

Peneliti mencoba membandingkan dengan hasil penelitian Handayani,dkk (2009)

mengenai persepsi konsumen apotek terhadap pelayanan apotek di tiga kota di

Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Makasar, ternyata lima alasan terbanyak

konsumen memilih apotek adalah sebagai berikut :

a. Jaraknya dekat = 62,5%

b. Pelayanannya cepat = 49,5%

c. Harga obatnya murah = 46,4%

d. Pelayanannya ramah = 42,8%

e. Obatnya lengkap = 42,4%

(jawaban bisa lebih dari satu).

Perbandingan dua penelitian diatas tampak 4 dari 5 faktor penting yang menentukan

pasien untuk memilih tempat menebus resep adalah sama yaitu

a. Kecepatan pelayanan

b. Harga obat

c. Ketersediaan obat

d. Jarak dekat dengan apotek langganan.

Salah satu faktor yaitu kedekatan jarak antara rumah/kantor dengan apotek bukan

merupakan hal mutlak bagi pasien PK Sint Carolus, kalau pasien sudah bersedia

untuk berobat ke dokter spesialis di poliklinik spesialis PK Sint Carolus tentu lebih

mudah mendorong pasien untuk sekaligus menebus obat di unit farmasi PK Sint

Carolus asalkan aspek-aspek lainnya dapat dipenuhi. Aspek-aspek lain itu adalah

harga, ketersediaan dan waktu tunggu pelayanan obat, yang akan dibahas dibawah

ini.

7.2.3.1. Harga

Disamping merupakan unsur yang penting dalam upaya kesehatan, obat

sebagai produk dari industri farmasi dengan sendirinya tidak lepas dari aspek

ekonomi dan teknologi.(Rancangan Konas,2005). Meskipun harga obat paten dapat

mencapai 10-40 kali harga obat generik (Widjajarta,2007) tetapi banyak dokter tidak

memilih obat generik, terutama antibiotik. Besarnya margin yang diambil oleh

rumah sakit menentukan harga jual obat, informasi dari unsur manajemen

menyatakan sebagai rumah sakit swasta yang berbasis charity PK Sint Carolus

berusaha untuk mengurangi margin agar harga obat lebih dapat terjangkau oleh

pasien.

Pada wawancara mendalam dengan pasien, faktor harga sangat menentukan

pasien untuk memilih tempat membeli obat, pasien tentu saja akan memilih tempat

membeli obat yang harganya lebih murah. 2 dari 7 informan dari unsur pasien

menyatakan harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus mahal, padahal mahalnya

harga obat sangat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat sesuai

dengan yang diresepkan dokter, terutama pada pasien dengan penyakit kronis

(Sagall,2006).

Pada penelitian harga obat di unit farmasi PK Sint Carolus bukan semata-mata

“kemahalan”, tetapi dari jawaban informan dapat disimpulkan demikian :

a. Pada pasien langganan, selain bekerjasama dengan PK Sint Carolus,

perusahaan juga bekerjasama dengan apotik lain, sehingga kedekatan lokasi

apotik langganan dengan rumah/tempat bekerja juga merupakan alasan pasien

memilih menebus resep di apotik langganan meskipun harga obat kira-kira

sama.

b. Pada perusahaan yang sudah memiliki kerjasama dengan PK Sint Carolus,

cara bayar untuk tiap-tiap pelayanan tidaklah sama. Bisa terjadi, untuk rawat

inap biaya langsung ditagih ke perusahaan tetapi untuk rawat jalan, pasien

harus membayar kontan terlebih dahulu, nanti kuitansi biaya pengobatan di

klaim ke perusahaan. Hal ini memberatkan pasien yang harga obatnya mahal

karena pasien harus membawa uang kontan yang cukup banyak. Tetapi selain

bekerjasama dengan PK Sint Carolus, perusahaan juga bekerjasama dengan

apotik, dimana kalau karyawan perusahaan tersebut menebus obat di apotik

langganan cukup memperlihatkan kartu karyawan saja dan biaya langsung

ditagih dari apotik ke perusahaan tersebut.

c. Discount yang diberikan oleh apotik langganan sebagai member akan

membuat pasien lebih memilih apotik langganan karena selain lebih murah

juga lokasi yang lebih dekat dengan rumah/tempat bekerja

d. Status penyakit pasien yang cukup berat menyebabkan dokter memilih obat

yang memang harganya lebih mahal terutama antibiotik

Rencana manajemen PK Sint Carolus untuk melakukan benchmarking dengan

rumah sakit dan apotik di sekitar PK Sint Carolus merupakan tindakan tepat yang

secara nyata akan mendapatkan data yang akurat mengenai selisih harga obat.Saat ini

benchmarking ditujukan pada obat antibiotik karena selama ini keluhan yang sering

dilontarkan adalah harga obat antibiotik kemahalan, menurut peneliti cakupan obat

yang dibandingkan perlu diperluas lagi bukan hanya obat antibiotik saja tetapi juga

obat-obat yang lain, termasuk vitamin karena menurut informan 5.7 harga vitamin di

PK Sint Carolus lebih mahal dan perbedaannya cukup besar.

7.2.3.2. Ketersediaan Obat Di Unit Farmasi

Ketersediaan obat di farmasi merupakan payung untuk melindungi

masyarakat dari penggunaan obat yang tidak terjamin kualitas dan keamanannya.

sesuai dengan Kepmenkes No 1197, 2004, pelayanan farmasi harus dapat menjamin

efektivitas, keamanan dan efisiensi penggunaan obat. Peresepan dokter harus

mengacu pada formularium PK Sint Carolus untuk menjamin ketersediaan obat,

seperti dinyatakan dalam Sistem Kesehatan Nasional (2004) bahwa pengadaan dan

pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan standar formularium obat di rumah

sakit.

Sebagian besar pasien yang menjadi informan mengatakan bahwa semua obat

tersedia di unit farmasi rawat jalan PK Sint Carolus. Pada pengamatan peneliti

menemukan ada beberapa resep yang obatnya tidak tersedia di unit farmasi,

jumlahnya memang sedikit sekali dibandingkan jumlah resep yang obatnya lengkap.

Informan 5.6 pernah berobat ke dokter spesialis bedah dan dokter tersebut

mengatakan bahwa obat dalam resep tidak ada di unit farmasi PK Sint Carolus dan

harus dibeli di luar tetapi memang setelah dicari di 3 apotik tidak ada dan obat baru

tersedia di apotik yang keempat, hal ini mungkin terkait dengan penyakit informan

yang baru menjalani operasi hernia dan seminggu sebelumnya informan juga dirawat

di PK Sint Carolus dengan diagnosis stroke.

Selain itu ketersediaan obat di unit farmasi sangat tergantung pada pengiriman

obat dari unit logistik. Kekurangan atau kehabisan stok obat di unit farmasi sebelum

hari permintaan tidak dapat dihindarkan karena pemakaian obat yang berfluktuasi

setiap hari. Karena itu unit farmasi menerapkan mekanisme permintaan obat cito,

yaitu permintaan obat di luar hari permintaan yang sudah ditetapkan, yang dilakukan

melalui komputer di unit farmasi rawat jalan yang terkoneksi dengan komputer di

unit logistik farmasi.

Kendala lain kehabisan obat yang sulit diselesaikan menurut informan 2.3

adalah obat kosong di Pedagang Besar Farmasi (PBF) meskipun mungkin di rumah

sakit atau apotik lain obat masih tersedia. Seringkali pesanan ke PBF hanya dijawab

dengan “ obat sedang kosong”, sehingga petugas farmasi akan kesulitan untuk

menginformasikannya ke dokter karena menurut dokter di tempat lain obatnya masih

ada. Lebih baik jika PBF yang bersangkutan mengirim surat pemberitahuan kepada

kepala unit farmasi dan menginformasikan penyebab obat tidak ada, seperti yang

dilakukan oleh beberapa PBF yang peneliti lihat di ruang kepala unit farmasi rawat

jalan. Informan 1.2 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan obat

masuk dalam formularium setelah seleksi awal oleh panitia farmasi dan terapi adalah

jumlah discount yang diberikan oleh industri farmasi yang memproduksi obat

tersebut. Tetapi melihat kenyataan diatas, direksi merencanakan untuk membuat

kesepakatan yang lebih tegas dengan industri farmasi yang obatnya masuk dalam

formularium tahun 2010 mengenai kelancaran distribusi obat ke PK Sint Carolus.

Salah satu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa obat yang dibeli di

unit farmasi rumah sakit bukan merupakan sesuatu yang diinginkan pasien. Pasien

terpaksa membeli obat karena penyakitnya. Karena itu ketersediaan obat di unit

farmasi harus benar-benar dilengkapi seperti dikatakan informan 1.3, sehingga pasien

tidak perlu mencari lagi di apotik lain seperti dikatakan informan 4.2, dan tidak

menambah kesusahan pasien yang sedang menderita sakit.

7.2.3.3. Waktu Tunggu

Pengobatan di unit rawat jalan rumah sakit merupakan rantai kegiatan

pelayanan yang dilakukan pasien sejak pasien tiba di rumah sakit dan mendaftar ke

bagian registrasi, berkonsultasi dengan dokter, melakukan pemeriksaan penunjang

bila diinstruksikan dokter sampai pasien menebus resep di unit farmasi. Penebusan

resep merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan pasien dalam melakukan

pengobatan di rumah sakit sehingga jika pasien merasa waktu yang dihabiskan untuk

melakukan kegiatan pengobatan sebelumnya sudah terlalu lama, maka pasien

cenderung untuk melakukan tahap akhir pengobatan yaitu pembelian obat di apotik

lain saja, terutama apotik yang dekat dengan rumah.

Berdasarkan hasil survei pelayanan farmasi yang dilakukan PK Sint Carolus

tahun 2009 tampak salah satu alasan pasien tidak menebus obat di unit farmasi adalah

waktu tunggu obat yang lama. Menurut Siregar dan Amelia (2003) standar waktu

tunggu pelayanan obat racikan tidak lebih dari 60 menit dan obat jadi tidak lebih dari

30 menit. Standar pelayanan minimal pelayanan farmasi di PK Sint Carolus lebih

pendek yaitu 30 menit untuk obat racikan dan 15 menit untuk obat non racikan. Pada

penelitian tampaknya standar minimal waktu pelayanan tidak selalu dapat ditepati,

terutama untuk obat racikan. Prosedur pembuatan obat racikan yang lebih panjang

dan jumlah dosis obat racikan yang banyak tampaknya merupakan faktor dominan

yang menyebabkan lamanya waktu tunggu obat racikan. Meskipun tersedia

beranekaragam obat jadi tetapi bagi beberapa dokter tertentu terutama dokter spesialis

saraf dan dokter spesialis kesehatan jiwa tampaknya perlu dibuat racikan satu macam

obat yang terdiri dari beberapa obat dalam dosis tertentu, yang menurutnya lebih

efektif dalam memberikan kesembuhan. Kombinasi obat dalam resep merupakan ciri

khas dan ketrampilan dokter masing-masing.

Waktu tunggu obat dapat memanjang karena kejadian yang terjadi dalam

pemberian obat di unit farmasi tidak selalu dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini

disebabkan faktor penyebabnya bukan hanya dari unit farmasi saja tetapi juga terkait

dengan unit/personal/kejadian lain di luar unit farmasi. Waktu tunggu obat juga

terkait dengan waktu tunggu dokter yang lama, seperti dikatakan oleh informan 1.3.

Dalam jadwal praktek dokter yang ada di meja kepala unit rawat jalan, jam praktek

dokter tidak sama untuk setiap dokter, ada dokter yang mulai praktek pk 08.00, pk

09.00 dan pk 10.00. Bila dokter datang terlambat maka jam prakteknya akan

mundur, terutama pada dokter yang mempunyai jadwak praktek pk 8.00, sehingga

jadwal prakteknya hampir bersamaan dengan dokter yang jadwal prakteknya pk

09.00, demikian pula bila dokter yang mempunyai jadwal praktek pk 09.00 terlambat

datang maka jadwal prakteknya hampir bersamaan dengan dokter yang mempunyai

jadwal praktek pk 10.00. Akibatnya jumlah resep yang diterima unit farmasi sampai

pk 10.00 tidaklah terlalu banyak, resep obat baru akan menumpuk sekitar pk 11.00 –

13.00. Alasan keterlambatan dokter yang sering dilontarkan adalah dokter bedah

melakukann operasi di pagi hari atau dokter sedang visite pasien di ruang rawat inap,

tetapi peneliti mengamati bahwa banyak dokter yang terlambat datang bukan karena

kedua alasan tersebut. Tampaknya kepala unit rawat jalan dengan latar belakang

dokter umum dan duty manager yang berpendidikan S1 keperawatan akan mengalami

kesulitan untuk mengkomunikasikan hal ini secara langsung kepada dokter spesialis

yang bersangkutan, karena itu diperlukan intervensi manajemen untuk membuat

kebijakan yang mengatur kedisiplinan dokter untuk mematuhi jadwal praktek yang

sudah disepakati.

Pada pengamatan di ruang tunggu pasien tidak terpampang jadwal praktek

dokter dan brosur jadwalpun tidak tersedia. Setelah dikonfirmasi dengan wakil kepala

unit rawat jalan, ternyata dulu sebelum poliklinik spesialis direnovasi sudah ada

jadwal praktek dokter yang terpasang di ruang tunggu tetapi setelah renovasi posisi

ruang praktek masing-masing dokter berubah, di bangunan sayap utara khusus untuk

praktek dokter yang banyak melakukan tindakan kedokteran seperti dokter spesialis

bedah dan dokter spesialis kebidanan sedangkan ruang praktek dokter spesialis yang

lainnya ada di bangunan sayap selatan. Renovasi telah dilakukan hampir 3 tahun yang

lalu tapi sampai sekarang jadwal praktek dokter belum terpampang di poliklinik

spesialis bangunan sayap selatan. Brosur obat hanya tersedia di meja registrasi dan

diberikan bila pasien meminta. Brosur tidak diletakkan pada tempat yang mudah

dilihat dan diambil pasien dengan alasan karena sering diambil semaunya atau pernah

terjadi brosur dipermainkan oleh pasien gangguan jiwa yang berobat ke dokter

spesialis kesehatan jiwa. Kondisi ini menyulitkan pasien terutama pasien baru yang

belum mengetahui jadwal praktek dokter yang dituju dan juga bagi pasien yang

dikonsulkan ke dokter spesialis yang lain.

Banyaknya penyebab masalah waktu tunggu yang terkait dengan unsur lain

menurut informan 3.1 perlu dibuat alur pelayanan dan respond time di tiap pelayanan

sehingga dapat ditemukan tempat-tempat hambatannya secara akurat. Hal ini sesuai

dengan rencana manajemen yang dilontarkan oleh informan 1.2 bahwa rumah sakit

akan menerapkan Lean Service untuk memperbaiki pelayanan di unit rawat jalan.

Masalah yang ada di unit farmasi rawat jalan tidak dapat dianggap sebagai

tanggung jawab unit farmasi sendiri, yang harus diselesaikan oleh kepala unit farmasi

tanpa melibatkan pihak lain, tetapi masalah itu ternyata juga berkaitan dengan

unit/bagian/personal lain di unit rawat jalan dan rumah sakit secara keseluruhan.

Sehingga untuk menyelesaikannya perlu melibatkan pihak lain yang secara struktural

kedudukannya lebih tinggi, yang dapat melakukan intervensi di semua

unit/bagian/personal yang terkait, yaitu dalam hal ini adalah manajemen rumah sakit.

Keterlibatan manajemen rumah sakit ialah dalam bentuk membuat kebijakan

berdasarkan hasil evaluasi terhadap masalah dan melakukan kontrol terhadap

implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Kebijakan dapat dimanifestasikan

dalam pernyataan, tindakan, peraturan, dan juga hukum sebagai hasil keputusan

tentang bagaimana cara melaksanakan sesuatu (Ayuningtyas,2008). Peraturan-

peraturan yang dibuat manajemen rumah sakit akan bersifat mengikat terhadap setiap

unit/bagian/personal yang berada dalam organisasi rumah sakit.

7.2.4. Pengaruh Karakteristik Pasien Yang Mempengaruhi Pasien Dalam

Memilih Tempat Membeli Obat

Pada penelitian ternyata faktor-faktor karakteristik pasien seperti pendidikan,

pekerjaan dan penanggung biaya tidak mempunyai pengaruh yang cukup kuat

terhadap keputusan pasien untuk membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus.

Status kesehatan pasien yang cukup berat tampaknya merupakan salah satu bahan

pertimbangan pasien untuk membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus.

Tetapi peneliti melihat ada fenomena lain yang menyebabkan informan dari

luar kota Jakarta datang berobat ke poliklinik spesialis PK Sint Carolus meskipun

tidak semua informan tersebut membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus.

Fenomena itu ternyata adalah relationship antara informan dengan dokter spesialis

yang mengobatinya. Jarak yang cukup jauh tampaknya tidak menghalangi informan

untuk datang berobat ke PK Sint Carolus, bukan karena di wilayah yang dekat tempat

tinggal mereka tidak ada rumah sakit atau dokter spesialis yang berpraktek tetapi

tampaknya sudah terjalin relationship yang baik dengan dokter spesialis yang

mengobatinya selama ini dimana kemudahan menghubungi dokter melalui nomor

handphone dokter kapanpun bila diperlukan seperti yang dinyatakan oleh informan

5.4 merupakan salah satu nilai tambah bagi pasien untuk.terus berobat dengan dokter

yang sama.

Demikian juga dalam memilih tempat membeli obat, tampaknya relationship

yang baik dengan apotik langganan merupakan salah satu faktor yang menentukan

informan untuk membeli obat disitu. Selama beberapa minggu peneliti mengamati

pelayanan di unit farmasi rawat jalan, peneliti belum melihat jalinan relasi yang

terbina antara pasien dengan petugas farmasi unit rawat jalan. Petugas farmasi

memang melayani dengan ramah dan sopan tetapi tidak ada kedekatan secara

emosional dengan pasien-pasien yang sudah sering berobat ke PK Sint Carolus dan

tidak ada senyum yang menunjukkan keinginan untuk memberikan pelayanan yang

memuaskan pasien.

Menurut peneliti penyebabnya adalah :

a. Posisi meja pelayanan farmasi yang tidak sejajar antara pasien dengan petugas

farmasi, kontak mata antara petugas dengan pasien tidak sejajar, untuk

berbicara dengan pasien petugas perlu mendongakkan kepalanya sehingga

tidak tercipta komunikasi yang baik antara petugas dengan pasien yang

menebus resep. Terutama pada saat jam sibuk dimana jumlah kunjungan

pasien meningkat, proses pelayanan berlangsung cepat karena banyaknya

pasien yang perlu dilayani sehingga komunikasi antara petugas dan pasien

sebatas hal-hal yang perlu saja.

b. Meja farmasi sepanjang 3,2 meter hanya cukup untuk 3 petugas melayani,

yaitu 2 petugas penerima resep dan 1 petugas penyerahan obat, karena ada 2

printer dibawah meja untuk 2 komputer penerima resep. Pada jam sibuk,

jumlah petugas penyerahan obat ditambah, dari 1 orang menjadi 2 orang,

maka petugas yang kedua hanya melayani dengan berdiri dalam posisi agak

jauh dengan pasien, terkesan hanya bertugas menyerahkan obat saja, tidak

lebih dari itu.

c. Farmasi PK Sint Carolus masih berkutat pada masalah operasional seperti

stok obat yang sering kosong sehingga sering dilakukan permintaan obat cito

ke logistik sehingga jumlah SDM di unit farmasi berkurang. Jumlah resep

yang meningkat pada jam sibuk menyebabkan perbandingan jumlah resep dan

jumlah SDM makin tidak seimbang sehingga karena mengejar kecepatan dan

ketepatan dalam pelayanan, sulit bagi petugas untuk dapat melakukan

komunikasi yang intens dengan pasien.

d. Petugas sudah lama bekerja di unit farmasi PK Sint Carolus sehingga

menganggap pelayanan kepada pasien merupakan rutinitas yang dijalani

setiap hari, tidak ada dorongan untuk memberikan kepuasan kepada pasien

sebagai customer rumah sakit.

Ternyata keputusan pasien dalam memilih tempat membeli obat bukan hanya

semata-mata ditentukan oleh variabel karakteristik obat saja yaitu harga, ketersediaan

dan waktu tunggu pelayanan obat tetapi kedekatan, kenyamanan dan kepercayaan

pasien terhadap penyedia layanan juga sangat menentukan.(Warren,2008)

Pelayanan rumah sakit khususnya pelayanan farmasi merupakan pelayanan

jasa, dimana jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan, jasa tersebut

tidak dapat diganti atau diulangi lagi sehingga kepuasan atau ketidakpuasan terhadap

pelayanan akan mempengaruhi keputusan pasien selanjutanya, apakah pasien akan

terus memilih tempat menebus resep obat di unit farmasi PK Sint Carolus atau

menebus resep di luar unit farmasi PK Sint Carolus.

Saat ini masyarakat memiliki beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan

termasuk pelayanan farmasi, mereka mempunyai posisi tawar yang cukup kuat

sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk

pelayanannya saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya. Dengan banyaknya

rumah sakit dan apotik baru yang bermunculan di sekitar PK Sint Carolus yang

menawarkan benefit (keuntungan) yang lebih besar dengan biaya lebih ekonomis

merupakan ancaman sekaligus peluang bagi PK Sint Carolus untuk dapat

meningkatkan kualitas pelayanannya, PK Sint Carolus harus dapat memberikan nilai

tambah dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Pelayanan yang hanya sesuai

dengan standar saja akan kalah bersaing dengan rumah sakit atau apotik lain karena

tolok ukur yang dipakai adalah standar pelayanan minimal. Farmasi PK Sint Carolus

perlu menciptakan budaya kerja yang berorientasi pada kepentingan pasien yang

nantinya akan mempengaruhi sistem pelayanan. Perubahan konsep pengelolaan

farmasi merupakan fenomena yang harus terjadi, demi meningkatkan kualitas

pelayanan. Kinerja professional akan menghasilkan kualitas yang tinggi, dimana

pasien merasa dipuaskan dan utilisasi rumah sakit meningkat, akibatnya pendapatan

rumah sakit akan meningkat dan rumah sakit memiliki citra yang positif di mata

masyarakat..

Obat yang dibeli diluar unit farmasi rumah sakit Sint Carolus, akan

mengurangi penerimaan unit farmasi dan pendapatan rumah sakit secara keseluruhan.

Padahal saat ini rumah sakit dituntut untuk terus mengikuti irama perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran dengan menyediakan peralatan medis yang

harganya sangat mahal. Untuk membeli peralatan medis dibutuhkan dana yang

sangat besar karena itu PK Sint Carolus perlu mengkaji kinerja pelayanannya

terutama unit revenue center. Dibentuknya tim khusus untuk menganalisis kinerja

penunjang medik, termasuk farmasi, menunjukkan kesungguhan manajemen PK Sint

Carolus dalam menangani masalah resep yang ditebus di luar unit farmasi PK Sint

Carolus tetapi hasil penemuan yang didapat perlu didukung dengan wawancara

mendalam dengan pasien yang berobat di PK Sint Carolus agar dapat menggali

persepsi pasien terhadap pelayanan di unit farmasi dan rumah sakit pada umumnya.

BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1 Kebijakan tentang tugas dan wewenang panitia farmasi dan terapi belum

didukung dengan kontrol manajemen terhadap implementasinya di lapangan.

Sehingga peresepan obat belum sepenuhnya mengikuti peraturan-peraturan

yang disusun oleh manajemen PK Sint Carolus.

2 Karakteristik obat dan pelayanan obat di unit farmasi PK Sint Carolus belum

sepenuhnya mempengaruhi pasien untuk memilih membeli obat di unit

farmasi PK Sint Carolus karena dalam penelitian didapatkan bahwa

karakteristik obat tidak hanya menyangkut unit farmasi saja tetapi juga terkait

dengan unit/bagian lain di rumah sakit. Seperti harga yang ditentukan oleh

manajemen, ketersediaan dan waktu tunggu obat yang terkait dengan stok

obat dan kesesuaian resep dengan formularium. Karena itu pemecahan

masalahnya harus melibatkan direksi rumah sakit.

3 Pertimbangan dokter dalam memilih obat tidak mengacu pada formularium,

tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan dari jurnal

kedokteran. Faktor kesesuaian diagnosis dengan jenis obat dan harga obat

merupakan 2 pertimbangan utama dokter dalam memilih obat. Tetapi tidak

semua jenis obat yang dipilih dokter tersedia di unit farmasi PK Sint Carolus

sehingga ketidaklengkapan obat mempengaruhi pasien dalam memilih

rtempat membeli obat.

4 Belum terjalin komunikasi yang efektif antara pasien dengan petugas farmasi

PK Sint Carolus padahal pemilihan tempat membeli obat juga dipengaruhi

oleh relationship antara pasien dengan petugas farmasi.

8.2. SARAN

Disarankan kepada manajemen PK Sint Carolus untuk melihat permasalahan

di farmasi dalam perpektif yang lebih luas, sebagai satu kesatuan dari pelayanan yang

bertujuan untuk memberikan kepuasan kepada pasien/keluarga. Usulan pemecahan

masalah adalah sebagai berikut :

1. Optimalisasi peran manajemen PK Sint Carolus dalam mengontrol

implementasi kebijakan peresepan obat agar semua dokter meresepkan sesuai

dengan formularium dan mempengaruhi pasien dalam memilih tempat

membeli obat.

2. Manajemen PK Sint Carolus perlu membuat kebijakan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan farmasi yang terintegrasi dengan unit/bagian lain di rumah

sakit sehingg antara lain :

a. Perlu segera diterapkan sistem stok obat online yang akan memangkas

waktu tunggu obat di penerimaan resep dan penyiapan obat

b. Peningkatan kinerja logistik farmasi dan kerjasamanya dengan unit

farmasi untuk menjamin ketersediaan obat

c. Mengubah tampilan luar unit farmasi rawat jalan sayap selatan agar

tampak lebih menarik dan mendukung kelancaran kerja petugas

3. Manajemen PK Sint Carolus perlu meningkatkan kualitas pelayanan rawat

jalan agar semua pasien yang berobat di PK Sint Carolus dapat menuntaskan

semua tahap pelayanan termasuk pemilihan tempat membeli obat di PK Sint

Carolus (one stop service)

4. Peningkatan kompetensi karyawan, antara lain :

a. Pengembangan SDM di jajaran manajemen dalam bentuk pelatihan

manajerial tingkat manajer dan tingkat kepala unit

b. Pengembangan SDM front liner (termasuk petugas farmasi, perawat,

dokter umum) dalam customer service. Dalam memberikan pelayanan

kepada customer, petugas perlu memiliki sikap empati yaitu

kepedulian dan memberikan perhatian pribadi kepada customer.

Customer yang datang ke poliklinik dan unit farmasi khususnya adalah

orang yang menderita sakit atau keluarga dari penderita, mereka

memerlukan pelayanan yang empatik dimana ada sentuhan manusiawi

dan cinta kasih sesuai dengan visi PK Sint Carolus.

4 Peningkatan fungsi panitia farmasi dan terapi dengan menetapkan pembagian

tugas diantara para anggotanya dalam seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan di

PK Sint Carolus

5 Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi pemasaran unit farmasi

rawat jalan dengan melakukan analisis bauran pemasaran

DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama, T.Y, Manajemen Administrasi Rumah sakit, Universitas Indonesia,

Jakarta, 2004

2. Admar,J, Perihal Resep dan Dosis Serta Latihan Menulis Resep, USU Press,

Medan, 2009

3. Alwi,M, Analisis Kepatuhan Dokter Menulis Resep Berdasarkan

Formularium Di Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang Pada Tahun

2002, Tesis, FKM-UI, Jakarta, 2002

4. Ayuningtyas,D,Kotak Hitam Sistem Penetapan Kebijakan dan Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhinya, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,Vol 11. No

02,Juni,2008

5. Azwar, A, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1996

6. Azwar, A, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara,

Jakarta, 1996

7. Bahaudin,N,Kebijakan Penggunaan Obat Rasional (POR) di Indonesia,

Direktur Bina Penggunaan Obat Rasional, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, Depkes RI,www.pom.go.id, diunduh 28 Maret 2010

8. Buku Formularium Pelayanan Kesehatan Sint Carolus,Jakarta, 2006

9. Darmansjah,I,Rasionalisasi Penggunaan Obat, disampaikan pada seminar

sehari Peresepan Obat dan Masalahnya, PT Persero Asuransi Kesehatan

Indonesia,28 Nop 1996

10. Djojodibroto,R.D,Kiat Mengelola Rumah Sakit, Hipokrates,Jakarta,1997

11. farmakologinews.blogspot.com, September 2008, Diunduh 19 Februari 2010

12. Firmanda,D, Proses Penyusunan Formularium Obat Di Rumah Sakit

Fatmawati, Disampaikan Pada Seminar Standarisasi Pelayanan Obat Di

Pontianak, 18 Juni 2005, www.scribd.com, diunduh 15 Maret 2010

13. Fauzia, Bentuk Sediaan Obat Cair, Departemen Farmasi Kedokteran Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia,2009,

repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/2516.pdf, diunduh 21 Maret 2010

14. Handayani, Raharni, Gitawati, Persepsi Konsumen Apotek Terhadap

Pelayanan Apotek Di Tiga Kota Di Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol 13,

No.1, Juni 2009

15. id.answers.yahoo.com, diunduh 19 Juni 2010

16. Jati,SP, Evaluasi Manajemen Obat di Rumah Sakit, 19 Januari 2009, diakses

dari www.scribd.com, diunduh pada tanggal 9 April 2010

17. Jones,MI, SM Greenfield, CP Bradley, Prescribing New Drugs : Qualitative

Study of Influences on Consultants and General Practitioners, British Medical

Journal, Academic Research Library, Aug 18, 2001

18. Kementerian Kesehatan RI, Rancangan Kebijakan Obat Nasional, Jakarta,

2005

19. Kementerian Kesehatan RI, Standar Pelayanan Rumah Sakit, Dirjen

Yanmed, Depkes RI, Jakarta, 1992

20. Kementerian Kesehatan RI, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 2004

21. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI,2004

22. Kompas.com, Pemerintah Belum Mampu Kendalikan Harga Obat, 7 April

2010, diunduh 8 Juni 2010

23. Laing,RO,HV Hogerzeil,D Ross-Degnan,,Ten Recommendation To Improve

Use of Medicines in Developing Countries,Health Policy and

Planning,Oxford University Press,2001

24. Lancer,E.G,What Should Your Formulary Look Like,Healthcare Executive,

Jan/Feb 2002,ProQuest Health Management

25. Materi Kuliah Apoteker ISTN : Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), apoteker-

istn.blogspot.com, diunduh 9 juni 2010

26. Moss,R.L,JD Bowman, W Smith,The Role of the Pharmacy and Therapeutics

Committee in Material Management,Hospital Material Management

Quarterly,Feb 1990,ProQuest Health Management

27. Panjaitan, R, Penggunaan Obat Rasional, Pertemuan Perncanaan Kesehatan

Nasional, Jakarta, Sept 2006

28. Putri,AML,Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Konsumen,

ayua0891.student.ipb.ac.id, 18 Juni 2010, diunduh 29 Juni 2010

29. Quintiliani,R,RA.Quercia, How To Create a Therapeutics Committee That is

Scientifically and Economically Sound, Formulary, Oct 2003,ProQuest Health

Management

30. Rijadi, S, Manajemen Unit Rawat Jalan di Rumah Sakit, Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia, Jakarta, 1997

31. Sagall,RJ, Can Your Patients Afford The Medications You Prescribe?, Family

Practise Management, April 2006, ProQuest Health Management

32. Santosa,YA,Tesis, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasien Dalam

Pembelian Obat Di Apotik Instalasi Farmasi RSIJT Tahun 1999, FKM-

UI,2000

33. Setiabudy,R, Conflict of Interest Profesi Dokter di Rumah Sakit,MKEK-

IDI,Wil DKI Jakarta,Dipresentasikan Pada Muktamar IDI ke-

27,Palembang,19 Nopember,2009

34. Simamora,S,S Suryawati,,Diskusi Kelompok Kecil Untuk Menurunkan Biaya

Obat Peserta Wajib PT.ASKES di Palembang,Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan Vol 06,No 03,2003

35. Sirait,M,Tiga Dimensi Farmasi, Ilmu-Teknologi,Pelayanan kesehatan dan

Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta ,2001

36. Siregar,C.J.P dan L Amalia, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan,

EGC, Jakarta, 2003

37. Soejitno,S,dkk,Reformasi Perumahsakitan di Indonesia, Ditjen

Yanmed,Depkes-WHO,Hastarimasta CV,Jakarta,2000

38. Suciati, S dan W Adisasmito, Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC

Index Kritis di Instalasi Farmasi, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol

09, No 01,Maret 2006

39. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1197, Standar Pelayanan Farmasi

di Rumah Sakit, Depkes RI, Jakarta, 2004

40. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1027, Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta, 2004

41. Suryasaputra,D,Analisis Fungsi Penggerakkan Panitia Farmasi dan Terapi

Dalam Komite Medik Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Daerah Tingkat II

Tasikmalaya, Tesis, FKM-UI, Jakarta, 1998

42. Trisnantoro, L, Memahami Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004

43. Ulfah,N.M,dkk, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik

di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.Sardjito,Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan Vol.07/No 02/Juni/2004

44. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik

45. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan

46. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah

Sakit

47. WHO, How To Develop and Implement A National Drug Policy,Second

Ed,,Geneva, 2001

48. WHO, Managing Drug Supply, The Selection, Procurement, Distribution, and

Use of Pharmaceuticals, Second Edition,Kumarian Press,Inc, West

Hartford,USA,1997

49. WHO, Psychoactive Drugs : Improving Prescribing Practices, Edited by

Ghodse,H and I,Khan,Geneva,1988

50. Widjajarta,M, Obat Mahal,Peluang Maraknya Obat Palsu,Perspektif Baru,

Edisi 573,Maret,2007,www.perspektifbaru.com

51. Winardi,Kepemimpinan Dalam Manajemen,,Rineka Cipta,Jakarta,2000

52. Wonodirekso,S,Etika Profesi Dalam Praktek Dokter: Penyelamat Dalam

Persaingan Pasar Bebas,Majalah Kedokteran Indonesia,Vol 55 No 5,

Mei,2005

53. www.idx.co.id diunduh 17 Juni 2010

Lampiran 1

STRUKTUR ORGANISASI PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS

PK Sint Carolus dipimpin oleh seorang Direktur Utama ( CEO ) yang bertanggung

jawab kepada Yayasan Sint Carolus.

PENGURUS PSC

DIREKTUR UTAMA

DirekturKeperawatan

DirekturAdm & Keuangan

DirekturKESMAS

DirekturSDM & Umum

DirekturMedik

KomiteKeperawatan

KomiteMedik

- Staf Dir. Bid. Pely & Asuhanpasien

- Staf Dir. Bid.TenagaKeperawatan

Staf Dir. Bid. Keu Staf Dir.Bid.Program

-BPUPK- BPM+KP- Humas + Hukum- SIRS- Pengendalian Internal- Sekretariat

Staf Dir. Bid.SDM

Staf Dir. Bid.Yanmed & Jangdik

- U. Theresia- U. Carolus- U. Lidwina- U. Yohanes- U. Elizabeth- U. Lukas- U. Fransiskus- U. Xaverius- U. Immanuel- U. Yosef

- U. Ignatius 1&2- U. Maria- U. Pius- U. Antonius- U. Yacinta- U.Goretty- UPI- U. Haemodialisa- PasSosmed

- Keuangan- Akuntansi- Pembelian- PA+RP- Logistik- PTB

- Balkesmas Paseban- Balkesmas Cijantung- Balkesmas Tg. Priok- Balkesmas Cengkareng- Balkesmas Klender- BP. Tigaraksa- PKRS (+ Klub Kes)- PKR

- Sekuriti,- Transportasi- Pel. Gizi- Pemeliharaan Textil- SanAmdal + KesLing- Pemel Alat Medik & Elektronika

- SDM

- URJ- UGD- Laboratorium- Radiologi-USG- Farmasi- Ujikes- Kamar Bedah- Endoskopi- Rehabilitasi Medik- Rekam Medik- Sentral Sterilisasi- Klinik JPK

BadanPertimbanganMedik& KomiteEtikRS

STRUKTUR ORGANISASI PK ST. CAROLUS

PEDOMAN WAWANCARA MANAJEMEN PK SINT CAROLUS

IDENTITAS INFORMAN

1

2

3

4

5

6

7

Nomor Informan :

Nama :

Usia : Jenis kelamin :

L/P

Pendidikan terakhir :

Jabatan :

Lama masa kerja :

Lama masa jabatan sekarang :

B Waktu wawancara

1

2

Hari/Tanggal :

Jam mulai – jam selesai

C Perkenalan

Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara

mendalam dalam penelitian ini

Selamat Pagi/ Siang/ Sore

Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka

penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan masyarakat

Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah Sakit.

Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi

sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/ Ibu,

semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan pendidikan saja.

Demikian, terimakasih atas bantuannya.

Pertanyaan untuk informan yang berasal dari manajemen PK Sint Carolus

A. Evaluasi

1 Apakah semua jajaran manajemen sudah mengetahui jumlah dan persentase

resep obat di unit farmasi rawat jalan yang tidak ditebus di farmasi PK Sint

Carolus setiap tahun?

2 Apakah manajemen sudah menghitung berapa potensi kehilangan pendapatan

rumah sakit terkait dengan resep obat di unit farmasi rawat jalan yang ditebus

diluar

3 Apakah pendapatan yang hilang itu cukup signifikan?

4 Apakah manajemen sudah melakukan evaluasi/mencari penyebab pasien tidak

menebus resep di unit farmasi PK Sint Carolus? ( probing : penyebab dari

farmasi, dokter penulis resep, pasien, kebijakan manajerial)

5 Apakah manajemen sudah memikirkan solusi untuk mengatasi masalah

tersebut? (probing:melibatkan berbagai unsur dalam RS, melibatkan dokter

spesialis penulis resep,

6 Apakah manajemen sudah merencanakan/ melakukan tindakan tertentu untuk

mengatasi masalah tersebut? (probing: melakukan evaluasi kinerja farmasi,

evaluasi kinerja poliklinik spesialis,melibatkan dokter spesialis, alur

pasien ,membahas dengan melibatkan berbagai unsur RS, membentuk tim

kerja yang melibatkan berbagai unsur RS, mempresentasikan hasil

pencapaian farmasi, design ruang poliklinik)

7 Apakah manajemen pernah mendiskusikan masalah ini dengan komite medik

dan komite farmasi dan terapi ? (probing: terkait pengobatan rasional,

kepatuhan pada formularium, ketersediaan obat, alur pengadaan &

distribusi obat, kebijakan pemesanan obat ke perusahaan farmasi)

8 Apakah manajemen sudah mensharingkan masalah ini kepada para dokter

spesialis yang berpraktek di poliklinik spesialis?(probing: penulisan resep

sesuai foemualrium, ketersediaan obat, usulan obat dari dokter, up date

formularium)

9 Apakah manajemen sudah melakukan evaluasi terhadap kinerja unit farmasi

rawat jalan? (probing: cara evaluasi: sesuai teori serqual, melibatkan

berbagai unsur di RS, umpan balik, apakah ada perubahan signifikan yang

perlu dilakukan

B. Harga obat

1 Menurut bapak/ibu bagaimana harga jual obat di unit farmasi PKSC?

(probing: persentase keuntungan rata-rata obat, persentase keuntungan lebih

tinggi,bandingkan persentase keuntungan obat generic,obat original, me too,

membeli banyak harga lebih murah sehingga harga jual lebih murah, harga

jual mempengaruhi keputusan pasien membeli obat di unit farmasi PKSC)

2 Apakah manajemen pernah membandingkan harga jual obat di PK Sint

Carolus dengan RS/apotik lain yang letaknya berdekatan?

C Kebijakan

1 Tolong jelaskan instrumen kebijakan apa saja (pedoman, peraturan, petunjuk

teknis, dll) yang tersedia untuk melaksanakan kebijakan penggunaan obat di

poliklinik spesialis PKSC

2 Menurut Bapak/ Ibu/ Saudara apakah instrument tersebut aplikatif untuk

dilaksanakan? Jelaskan. (Probing: kendala)

3 Kebijakan yang dilakukan oleh manajemen terkait farmasi sebagai revenue

center?

4 Bagaimana koordinasi antar unit yang terkait dengan peresepan obat yang

sesuai formularium di PK Sint Carolus ? ( farmasi, unit rawat jalan)

5 Apakah kebijakan peresepan obat sesuai dengan formularium berpihak pada

pasien? (Probing : efektivitas & keamanan obat)

6 Kebijakan apa yang selama ini dilakukan agar pasien menebus resep obat di

unit farmasi PKSC? (Probing : strategi,pelayanan farmasi,dokter )

7 Kebijakan apa yang telah dilakukan oleh manajemen untuk menghindari

konflik kepentingan peresepan obat yang rasional dengan promosi industri

farmasi ? (Probing : apakah dilaksanakan di lapangan,kendala)

D Implementasi

1 Menurut Bapak/Ibu apakah keberadaan formularium PKSC memberikan

dampak positif dalam peresepan obat? (Probing : pengobatan yang

rasional,jumlah penerimaan resep)

2 Menurut Bapak/Ibu apakah dengan adanya formularium memudahkan dalam

pengelolaan obat di farmasi PKSC? (Probing : pengadaan,

penyimpanan,distribusi logistic farmasi)

3 Menurut Bapak/Ibu apakah formularium PKSC perlu disosialisasikan terus-

menerus ?(Probing : strategi yang digunakan)

PEDOMAN WAWANCARA PANITIA FARMASI & TERAPI

A IDENTITAS INFORMAN

1

2

3

4

5

6

7

Nomor Informan :

Nama :

Usia : Jenis kelamin : L/P

Pendidikan terakhir : :

Jabatan :

Lama masa kerja :

Lama masa jabatan sekarang :

B Waktu wawancara

1 Hari/Tanggal :

2 Jam mulai – jam selesai

C Perkenalan

Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara

mendalam dalam penelitian ini

Selamat Pagi/ Siang/ Sore

Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka

penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan

masyarakat Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah

Sakit.

Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi

sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/

Ibu, semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan

pendidikan saja. Demikian, terimakasih atas bantuannya.

Pertanyaan untuk informan yang berasal dari komite farmasi dan terapi PK

Sint Carolus

A. Organisasi

1 Apakah ada struktur organisasi komite farmasi dan terapi ?

2 Bagaimana proses pemilihan pengurus komite farmasi dan terapi ?

3 Bagaimana komposisi pengurus komite farmasi dan terapi ?

4 Apakah ada SK pengangkatan dari direktur rumah sakit ?

5 Apakah ada uraian tugas dan petunjuk pelaksanaan ?

6 Berapa lama masa kerja untuk satu periode ?

7 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki staf khusus ? (Probing : setiap

hari khusus melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan komite

farmasi dan terapi)

B. Kebijakan

1 Tolong jelaskan instrumen kebijakan apa saja (pedoman, peraturan, petunjuk

teknis, dll) yang tersedia untuk melaksanakan kebijakan penggunaan obat di

poliklinik spesialis PKSC

2 Apakah menurut Bapak/ Ibu/ Saudara kebijakan peresepan obat sesuai

formularium ini sudah dijalankan secara konsisten? Jelaskan. (Probing:

kendala)

3 Menurut Bapak/ Ibu/ Saudara bagaimana sebaiknya system pengembangan

formularium rumah sakit sehingga dapat memberikan pengobatan yang

efisien, efektif dan biaya yang terjangkau? Jelaskan

4 Bagaimana proses seleksi obat yang masuk dalam formularium RS? ( probing

: apakah sesuai dengan aturan yang berlaku, kendala )

5 Apakah dilakukan evaluasi terhadap formularium? ( probing : berapa

lama,rutin, tata cara, kendala, tindak lanjut )

6 Apakah pernah dilakukan audit resep dokter spesialis di poliklinik spesialis ?

(Probing : kendala)

C. Kegiatan

1 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki rencana kegiatan yang lengkap

dan dalam bentuk tertulis?

2 Sejauh mana rencana kegiatan tersebut telah dilaksanakan ? ( Probing :

kendala )

3 Upaya apa yang telah dilakukan oleh komite farmasi dan terapi untuk

mendorong penggunaan obat yang rasional? ( Probing : kendala)

4 Upaya apa yang telah dilakukan oleh komite farmasi dan terapi untuk

mendorong para dokter spesialis di poliklinik spesialis agar meresepkan obat

sesuai formularium PKSC? ( Probing : kendala)

5 Apakah komite farmasi dan terapi pernah melakukan sosialisasi penggunaan

formularium PKSC kepada dokter spesialis yang berpraktek di poliklinik

spesialis ? . (Probing: dimana, kapan, sudah berapa kali dilakukan, apakah

rutin dilakukan, adakah pengaruhnya terhadap pola peresepan obat dokter

spesialis, kendala, target sosialisasi)

6 Apakah komite farmasi dan terapi memberikan informasi obat/ menerbitkan

bulletin obat yang dibagikan pada dokter spesialis di poliklinik spesialis

PKSC (Probing : sudah berapa kali dilakukan, apakah rutin dilakukan,

adakah pengaruhnya terhadap pola peresepan obat dokter spesialis, kendala)

7 Apakah komite farmasi dan terapi pernah mengundang pakar-pakar dari

dalam maupun luar rumah sakit untuk memberikan masukan bagi pengelolaan

komite farmasi dan terapi PKSC ? (Probing : berapa kali,bidang kepakaran,

tanggapan dari dokter spesialis, bagaimana pengaruhnya terhadap pola

peresepan dokter spesialis)

D. Sarana/prasarana

1 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki ruang kerja/ ruang rapat

tersendiri ?

2 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki sarana prasarana untuk

mendukung tugasnya? misalnya computer,mesin fax

3 Apakah komite farmasi dan terapi memiliki anggaran biaya untuk mendukung

kelancaran kerjanya ? misalnya dana konsumsi rapat

E. Formularium

1 Menurut Bapak/ Ibu/ saudara, permasalahan apa saja terkait penulisan resep

dokter spesialis sesuai dengan formularium ? Jelaskan

2 Apa tindakan yang sudah dilakukan oleh komite farmasi dan terapi untuk

mengatasi permasalahan diatas? Jelaskan.

3 Apakah semua dokter yang berpraktek di poliklinik spesialis sudah

mengetahui adanya formularium yang berlaku di PKSC ? dan tujuan

penggunaan formularium ?

4 Bagaimana komite farmasi dan terapi meningkatkan pengetahuan dokter

mengenai pemilihan obat yang efektif dan efisien ? Jelaskan. (Probing: jenis

pelatihan/ seminar, penyelenggara, frekuensi pelatihan/ seminar, kendala)

5 Apakah pernah terjadi usulan penambahan obat baru diluar waktu yang

ditetapkan untuk seleksi obat? ( Probing : berapa kali, alasan, jenis obat,

dokter pengusul )

6 Apakah penambahan obat baru dalam formularium, dilakukan sesuai dengan

tata tertib yang berlaku?

F. Implementasi

1 Apakah di semua ruang praktek dokter sudah tersedia buku formularium ?

(Probing : bentuk & ukuran buku formularium, kemudahan dibaca)

2 Apakah selama ini penulisan resep oleh dokter spesialis di poliklinik spesialis

PK Sint Carolus sudah sesuai dengan buku formularium? (Probing :

kendala)

3 Apakah pernah ada resep obat dokter spesialis yang tidak sesuai dengan

formularium kemudian disubstitusi dengan obat lain yang ada dalam

formularium? (Probing : tata caranya, siapa yang berhubungan dengan

dokter, apakah memperlambat proses pelayanan )

4 Apakah obat yang namanya tercantum dalam formularium selalu tersedia di

unit farmasi ? (Probing : kendala, logistic farmasi,alur permintaan obat dari

farmasi ke gudang, alur distribusi obat,sdm di gudang farmasi)

5 Tindakan apa yang dilakukan bila obat yang diresepkan tidak tersedia di unit

farmasi ? (probing:RS membeli obat dari luar, pasien membeli di luar, dokter

diminta mengganti obat sesuai formularium, koordinasi farmasi dengan

dokter)

6 Apakah farmasi sudah menerapkan standar minimal pelayanan?

7 Apakah pelayanan farmasi berorientasi pada obat ( drug oriented) atau pada

pasien (patient oriented)

8 Bagaimana kolaborasi unsur-unsur yang ada di poliklinik spesialis untuk

meningkatkan penerimaan resep

9 Cara menjamin mutu dan keamanan obat yang diberikan pada pasien

10 Proses dispensing dan konseling pada pasien

PEDOMAN WAWANCARA DOKTER SPESIALIS

A IDENTITAS INFORMAN

1

2

3

4

5

6

7

Nomor Informan :

Nama :

Usia : Jenis kelamin :

L/P

Pendidikan terakhir :

Status kepegawaian : purna waktu/ paruh waktu

Lama masa kerja sebagai dokter spesialis :

Lama masa kerja sebagai dokter spesialis di PKSC :

B Waktu wawancara

1

2

Hari/Tanggal :

Jam mulai – jam selesai :

C Perkenalan

Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara

mendalam dalam penelitian ini

Selamat Pagi/ Siang/ Sore

Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka

penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan

masyarakat Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah

Sakit.

Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi

sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/

Ibu, semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan

pendidikan saja. Demikian, terimakasih atas bantuannya.

Pertanyaan untuk informan dokter spesialis yang berpraktek di poliklinik

spesialis PK Sint Carolus

A. Pengetahuan tentang formularium

1 Apakah dokter mengetahui formularium yang ada di PKSC?

2 Apakah dokter pernah melihat/membaca/menggunakan formularium PKSC

(probing : persepsi, kendala penggunaan)

3 Menurut pendapat dokter apakah manfaat dari formularium? (probing :

pengobatan rasional, biaya efisien,obat tersedia, efek samping ,efektivitas

hasil pengobatan sudah diketahui)

4 Menurut pendapat dokter apakah penulisan resep berdasarkan formularium

PKSC dapat membantu pasien untuk meringankan biaya pengobatan?

(probing: pilihan obat dengan harga murah-mahal, bandingkan dengan

diagnosis)

5 Menurut pendapat dokter apakah keberadaan formularium di RS dapat

membantu dokter dalam memilih obat dalam resep? (probing :ketersediaan

obat di farmasi,formularium menjadi tempat referensi obat, seleksi obat,

kendala, usulan)

6 Apakah dokter pernah membutuhan suatu obat tapi tidak ada dalam

formularium? (probing : alasan,frekuensi, tindakan yang dilakukan, usulan

pada komite farmasi dan terapi)

7 Menurut pendapat dokter bagaimana mutu obat-obatan yang tercantum dalam

formularium PKSC? (probing: efektivitas, keamanan, keterjangkauan)

8 Menurut pendapat dokter apakah bentuk, ukuran , isi dan cara penyusunan

formularium sudah cukup baik? (probing : persepsi dokter,mudah

diingat,jumlah, kendala, usulan)

B. Kebijakan

1 Apakah dokter mengetahui adanya kebijakan penulisan resep sesuai dengan

formularium di PKSC ? (probing : sosialisasi,informasi tertulis, mengikuti

pertemuan komite farmasi & terapi ,terlibat dalam seleksi obat)

2 Menurut pendapat dokter apakah tujuan dari kebijakan diatas? (probing :

pengobatan yang rasional, efektivitas pengobatan, efisiensi biaya obat,

penggunaan obat generik, penulisan resep obat dengan nama generik)

3 Apakah rumah sakit menyediakan panduan klinis pengobatan? (probing :

pedoman diagnosis dan terapi,rutin di up date,frekuensi, sesuai dengan

standar organisasi profesi, lebih memilih model mana)

C. Pertemuan ilmiah

1 Apakah dokter cukup sering mengikuti pertemuan ilmiah? (probing:

frekuensi, rutin, topik yang diikuti, sesuai bidang keilmuan/termasuk bidang

lain yang masih terkait)

2 Apakah pertemuan ilmiah yang dokter ikuti selama ini menjadi sumber

informasi perkembangan obat (probing: launching obat baru,

3 Apakah pertemuan ilmiah yang dokter ikuti mempengaruhi pemilihan obat

dalam resep? (probing: mencoba obat baru, lebih memilih obat lama yang

sudah diketahui efektivitasnya, pola penulisan resepsudah baku)

D. Promosi industri farmasi

1 Apakah keragaman obat yang beredar di pasaran membingungkan dokter

dalam memilih obat? (probing: mengikuti perkembangan obat baru atau

tidak, melalui media, rutin, implementasi dalam peresepan, solusi)

2 Menurut pengalaman dokter selama ini,sumber informasi obat lebih

cepat/mudah didapat dari mana (probing: farmasi RS, bulletin

ilmiah,pertemuan ilmiah, organisasi profesi, detailer, internet, dll)

3 Bagaimana pengaruh promosi obat oleh industri farmasi dalam penulisan

resep dokter? (probing: reward dari industri farmasi, tekanan untuk menulis

resep dengan nama obat tertentu, konflik kepentingan, pertentangan antara

kepatuhan pada formularium dan promosi obat))

E. Penulisan resep

1 Apakah pertimbangan utama dalam pengobatan pasien? (probing:kesembuhan

pasien, pengobatan rasional, kesesuaian dengan pedoman diagnosis dan

terapi,biaya, kemudahan pasien dalam mengkonsumsi obat, penggunaan obat

baru,selera pasien, berikan satu contoh penyakit misal : typhoid)

2 Apakah yang menjadi pertimbangan utama dokter dalam pemilihan obat?

(probing: jenis obat,obat lama yang sudah dikenal efektivitasnya, obat baru

yang dipromosikan detailer, cara pemberian , lama pemberian,efisiensi biaya,

kepatuhan pasien mengkonsumsi obat, takaran dosis: obat baru dosisnya

lebih kecil misal amlodipine 5 mg)

PEDOMAN WAWANCARA PASIEN POLIKLINIK SPESIALIS

A IDENTITAS INFORMAN

1

2

3

4

5

6

7

Nomor Informan :

Nama :

Usia : Jenis kelamin :

L/P

Pendidikan :

Pekerjaan :

Penyakit yang diderita :

Berobat pada dokter spesialis :

B Waktu wawancara

1

2

Hari/Tanggal :

Jam mulai – jam selesai :

C Perkenalan

Pewawancara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara

mendalam dalam penelitian ini

Selamat Pagi/ Siang/ Sore

Saya Lianingsih,saat ini saya sedang menyusun tugas akhir dalam rangka

penyelesain studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan

masyarakat Universitas Indonesia- Peminatan Kajian Administrasi Rumah

Sakit.

Saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk membantu memberikan informasi

sehubungan dengan penyusunan tugas akhir ini. Untuk kenyamanan Bapak/

Ibu, semua data yang terkumpul hanya digunakan untuk keperluan

pendidikan saja. Demikian, terimakasih atas bantuannya.

A. Persepsi pasien

1 Apakah bapak/ibu/sdr membeli obat di unit farmasi PK Sint Carolus?

(probing :ya, tidak, alasan )

2 Bila tidak, dimanakah biasanya bapak/ibu/sdr membeli obat? (probing :

apotik langganan, toko obat bebas, , apakah obat diganti dengan obat

sejenis dengan harga lebih murah, service tambahan yang diberikan : via

telepon, layanan antar jemput resep, bonus membeli obat )

3 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana kualitas obat yang tersedia

di unit farmasi PK Sint Carolus? (probing : efektivitas pengobatan,

keamanan, tanggal kadaluarsa, perubahan bentuk,warna, pernah

mengalami kejadian obat tidak sesuai standar )

4 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana harga obat di unit farmasi

PKSC? (probing : mahal, sedang, murah, Tidak tahu, alasan)

5 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana kualitas pelayanan unit

farmasi PKSC? (sikap petugas : ramah, judes,cekatan, bersedia

memberikan informasi, profesionalisme dalam melayani)

6 Apakah bapak/ibu/sdr mendapat informasi yang jelas mengenai obat

yang diberikan? (cara dan waktu mengkonsumsi obat,interval pemberian,

dosis, obat diminum sampai habis atau sesuai gejala, efek samping,

kepatuhan pasien)

7 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana prosedur pembelian obat

di unit farmasi (probing : praktis, berbelit-belit, lama)

8 Bagaimana tanggapan bapak/ibu/sdr mengenai waktu menunggu obat?

(probing : tergantung jam sibuk, tergantung jenis obat : racikan, obat

jadi, tergantung dokter : datang tepat waktu, terlambat)

9 Menurut pendapat bapak/ibu/sdr bagaimana kondisi ruang tunggu?

(probing : kenyaman ruang tunggu,ruang tunggu sempit/lega,crowded,

bercampur dengan pasien yang sakit , kebersihan ruangan,kebisingan,

ada TV ,bahan bacaan sehingga tidak bosan, toilet bersih, fasilitas untuk

pasien dengan kesulitan berjalan,orang tua, tersedia kantin yang bersih)

10 Bagaimana tanggapan bapak/ibu/sdr mengenai ketersediaan obat di unit

farmasi PKSC? (lengkap, tidak lengkap : sering, frekuensi, pernah satu

kali, apa yang dilakukan farmasi bila obat tidak ada,apakah obat akan

diusahakan untuk dicari/dibeli, apa yang dilakukan pasien bila obat tidak

ada)

B. Kasus penyakit

1 Apakah diagnosa penyakit bapak/ibu/sdr menurut dokter? ( penyakit

infeksi, penyakit degeneratif, penyakit kronis, hanya satu kali berobat,

harus control teratur, perlu operasi atau dilakukan tindakan tertentu)

2 Apakah karena penyakit yang diderita, bapak/ibu/sdr sering berobat ke

PKSC? ( probing : kontrol rutin,frekuensi, hanya bila ada keluhan, hanya

untuk menebus resep ulang saja,)

3 Apakah selama ini harga obat-obatan yang diresepkan masih cukup

terjangkau? (probing : kesesuaian obat dengan harga yang harus

dibayar, sulit dijangkau oleh masyarakat dengan golongan ekonomi

tertentu, apakah dokter spesialis lebih memilih obat mahal, penyakit

kronis: digunakan obat generik)

4 Bagaimana pilihan obat dalam resep menurut bapak/ibu/sdr? (probing :

rasional, obat generic, pilihan obat mahal, obat cepat menyembuhkan,

apakah obat bisa diganti dengan yang lebih murah, jumlah item obat

terlalu banyak )

C. Penanggung biaya

1 Siapakah yang menanggung biaya pengobatan bapak/ibu/sdr? (probing :

out of pocket, asuransi, perusahaan tempat bekerja)

2 Bila bukan out of pocket, berapa besar biaya yang ditanggung? (probing :

biaya diganti penuh, sebagian, persentase penggantian, ada limit biaya

pengobatan, tergantung jenis obatnya, jenis tindakan dokter)