tugas akhir oleh: yuyus bahtiar nim...

20
RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C) PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035 Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010

Upload: lethien

Post on 03-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C)

PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA

TUGAS AKHIR

Oleh:

YUYUS BAHTIAR NIM 12203035

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar

SARJANA TEKNIK

pada Program Studi Teknik Perminyakan

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2010

Page 2: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C)

PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA

TUGAS AKHIR

Oleh:

YUYUS BAHTIAR

NIM 12203035

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar

SARJANA TEKNIK

pada Program Studi Teknik Perminyakan

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Institut Teknologi Bandung

Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing Tugas Akhir,

Tanggal……………………………..

(Dr. Ir. Arsegianto)

Page 3: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang

senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta petunjuk dan pertolongan-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik dan sekaligus mengakhiri masa studi penulis

di Program Studi Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung.

Pengerjaan dan penulisan Tugas Akhir ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, pengarahan,

dan motivasi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dan Ibu penulis tercinta, yang selalu ada di saat penulis membutuhkan mereka. Di saat

penulis merasa telah begitu dalam mengecewakan mereka, ternyata mereka masih menaruh

harapan dan kepercayaan kepada penulis. Ini yang selalu memotivasi penulis untuk senantiasa

berusaha memberi yang terbaik kepada mereka,

2. Keluarga besar penulis yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan sehingga penulis

bersemangat kembali dalam menjalankan hidup.

3. Mas Ir. Bambang Yasmadi, M.T. selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak dari

waktunya untuk senantiasa memberi petunjuk, motivasi, dan dengan sabar membimbing

penulis hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baikBapak Dr. Ir. Taufan

Marhaendrajana. M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknik Perminyakan ITB yang selalu

tersenyum ramah kepada penulis,

4. Bapak Dr. Ir. Arsegianto selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberi

masukan, dan dorongan selama penulis menyelesaikan Tugas Akhir,

5. Seluruh staf pengajar di Program Studi Teknik Perminyakan yang telah membagi ilmu dan

pengalaman-pengalaman kepada penulis,

6. Pak Oman, Pak Paryono, Pak Acep, Pak Haryanta, Teh Yuti, Bu Tuti, serta seluruh pegawai

Tata Usaha Program Studi Teknik Perminyakan yang telah membantu administrasi penulis

tanpa kenal lelah dan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di ITB,

Page 4: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

7. Inspiring Movie seperti The Pursuit Of Happiness, dan para penulis buku ekonomi

makro,mikro,perbankan,manajemen keuangan, serta perpajakan yang setiap jadi santapan.

8. Teman-teman perguruan taekwondo dan ilmu hikmah; Chaiq, Iwan, Iis,Ade, serta Ronny.

9. Master-master tenaga Reiki terutama yang tergabung dalam Waskita Reiki di seluruh

indonesia, terima kasih atas segala bantuanya.

10. Teman-teman dekat yang selalu penulis repotkan; Mas’un, Duddy, Budi, Hida, Aul, Riza,

Syukri, Epul, Bang Nanang, Tatul, Ari, Eka, Aep, dan banyak teman lainya yag tidak bisa

penulis sebutkan.

11. Seluruh penggemar Barcelona, dan Arsenal yang bersemayam di se antero Indonesia, Mari

dukung tim kesayangan kita supaya menjadi juara di dunia dan akherat.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan.

Karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari semua pihak demi kesempurnaan

Tugas Akhir ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir penulis ini dapat bermanfaat bagi

penulis sendiri maupun bagi setiap pembaca.

Bandung, Juli 2010

Penulis,

Yuyus Bahtiar

Page 5: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi
Page 6: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 1

RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C)

PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA

Oleh :

Yuyus Bahtiar, 12203035*

Dr. Ir. Arsegianto dan Bambang Yasmadi, ST, MT

Sari

Minyak dan gas bumi adalah salah satu sumber daya alam tidak terbarukan(Unrewenable Source) yang menjadi

sumber devisa bagi negara serta pemasok utama kebutuhan energi dan bahan baku industri domestik di Indonesia.

Akan tetapi, selama ini kontrak migas dinilai lebih menguntungkan investor terutama yang berasal dari luar negeri.

Anggapan tersebut terjadi karena adanya berbagai term yang memberikan insentif bagi investor yang dirasa terlalu memanjakan investor sehingga negara mengalami kerugian secara financial. Term yang paling jadi sorotan dan

berpotensi merugikan negara adalah Cost Recovery. Hal itu, karena sangat sulit untuk mengontrol Cost Recovery

sehingga revenue yang dapat diperoleh oleh negara menjadi berkurang. Oleh karena itu, maka dilakukan kajian ini

guna merumuskan sebuah skema yang dapat memberikan solusi mengenai masalah-masalah yang terkait dengan

operasi migas di Indonesi. Term yang digunakan dalam kajian ini adalah Revenue to Cost Index sebagai piranti

yang dapat mengontrol berbagai biaya khususnya Cost Recovery sehingga kemungkinan pembengkakkan biaya

(Gold Plating) dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali yang pada akhirnya dapat meningkatkan

pendapatan pemerintah dari sektor migas. Formula tersebut sudah terbukti ampuh dalam memajukan sektor migas

Malaysia, sehingga menjadi negara yang unggul serta kompetitif. Selain itu, penerapan term tersebut dapat

menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan memacu kontraktor untuk meningkatkan efisiensi sehingga revenue

yang diperolehnya bertambah kareana ETBS yang berdasarkan pada R/C, dengan begitu kontrak kerja sama migas lebih memberikan keuntungan bagi negara serta tidak menjadikan investor enggan dalam menanamkan modalnya

dengan menyesuaikan pada koridor hukum(legal) yang ada.

Kata kunci : Revenue to Cost Index, investasi, kontrak kerjasama migas.

Abstract

Oil and gas is one of exhaustable / depleted natural resource that being a source of devizen for our country and also

the major supplier for domestic energy need and even industry material in Indonesia. However, long period of time

oil and gas contract is more give the profit for contractor than for government especially for foreign investor. Those

assumption occured because of several insentif term from government for investor. The center of concern is Cost

Recovery term couse it has potention to make government’s revenue decrease. Thereby it study is done to find a scheme to overcome problems that happen in our oil and gas industry. It’s ocured because controlling of Cost

Recovery is very hard so as the concequencies government take is not optimum. So that, in this study term Revenue

to Cost Index is used as a tool to control cost recovery, so it’s can minimaize or even diminish gold plating and

finally government’s revenue increase. Besaid that, the application of term can create better investation climate and

can also encourage contactor to increase their efficiency, so revenue’s contractor increase because of ETBS that

based of R/C, so that oil and gas cooperation contract is more competitive and more has quality, not only make

investor confertable to invest their money, but also suits of regulations(legal).

Keywords : Revenue to Cost Index, investment, oil cooperation contract.

* Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB.

** Dosen Pembimbing Program Studi Teknik Perminyakan ITB

Page 7: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber

daya alam tidak terbarukan yang memegang peranan

penting pada berbagai sektor kehidupan manusia di

seluruh negara, termasuk Indonesia. Selain untuk

meningkatkan devisa negara, minyak dan gas bumi

masih merupakan pemasok utama kebutuhan energi

dan bahan baku industri terbesar di Indonesia.Selama

beberapa dasawarsa sektor minyak dan gas bumi telah memberikan kontribusi yang sangat besar, terutama

sebagai sumber penerimaan bagi negara (APBN).

Dengan peranya yang sangat vital tersebut, maka

pengelolaanya diatur sedemikian rupa sehinggga dapat

memberikan maafaat sebesar-besarnya bagi rakyat

Indonesia sesuai dengan yang terkandung dalam pasal

33 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Adanya perubahan peraturan perundang-undangan

sektor minyak dan gas bumi, maka secara langsung

berdampak pada terjadinya beberapa variasi bentuk kontrak kerja sama, khususnya di sector

hulu(upstreamnya).Perubahan tersebut menjadikan

bentuk kontrak kerja sama bagi hasil bukan satu-

satunya pilihan lagi dengan maksud memberikan opsi

yang baik guna memaksimalkan keuntungan bagi

pemerintah.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun

1960 Jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, model

kontrak minyak dan mas bumi yang digunakan

Indonesia adalah bentuk Kontrak Bagi Hasil

(Production Sharing Contract), dan setelah

diberlakukanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, istilah yang digunakan adalah Kontrak Kerja

Sama (KKS) yang pengertiannya yaitu Kontrak Bagi

Hasil atau konrak jenis lain yang lebih menguntungkan

bagi negara. Selama ini di Indonesia, model kontrak

yang masih dianggap menguntungkan baik bagi Negara

maupun Kontraktor adalah bentuk Kontrak Bagi Hasil

(Production Sharing Contract/PSC). Ciri khas dari

model kontrak kerja sama PSC adalah Cost Recovery,

yaitu biaya yang dikembalikan kepada kontraktor oleh

pemerintah pada tahun berjalan. Akan tetapi, dalam

perkembangannya penerapan Cost Recovery 100% dinilai banyak kalangan berpotensi mengurangi

pendapatan pemerintah, dengan kata lain lebih

memihak pada kepentingan kontraktor. Hal dapat

terjadi karena sulitnya mengontrol cost recovery,

sehingga perlu dibuiat sebuah modifikasi supaya

potensi kerugian Negara dapat dicegah.

Salah satu bentuk Kontrak Kerja Sama PSC yang dapat

menjadi alternatif untuk

mengatasi permasalahan tersebut diatas adalah Kontrak

Kerja Sama PSC dengan formula Revenue to

Cost(R/C) Index. Model tersebut adalah varian atau

modifikasi dari bentuk PSC yang mencoba mengontrol

penerapan Cost Recovery dalam PSC. Oleh karenanya,

perlu dilakukan pengkajian dan evaluasi terhadap

alternatif model Kontrak Kerja Sama PSC dengan

formula R/C Index.

1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari kajian ini adalah mengkaji dan

mengevaluasi secara konprehensif, baik dari aspek legal, teknis, dan ekonomi. Dengan begitu, dapat

diketahui apakah model Kontrak Kerja Sama PSC

Cost Recovery dengan forula R/C Index relevan untuk

diterapkan di Indonesia sebagai alternatif baru

penerapan model kontrak kerja sama pada sektor

minyak dan gas bumi.

Tugas akhir ini bertujuan guna memberikan model

alternatif yang sesuai dengan kondisi saat ini sehingga

negara mendapatkan keuntungan lebih bila

dibandingkan dengan penerapan model kontrak kerja

sama sekarang.

1.3 Lingkup Kegiatan

di Lingkup kegiatan ini mencakup:

1. pengumpulan data dan informasi kontrak migas

Indonesia dan Malaysia yang berlaku saat ini;

2. melakukan perbandingan kontrak migas yang

berlaku di Indonesia dan Malaysia saat ini;

3. memformulasikan kontrak migas baru yang bisa

diberlakukan di Indonesia

1.4. Sumber Data

Data-data lapangan yang akan dipergunakan dalam

analisis keekonomian model kontrak kerjasama yang menerapkan Revenue to Cost Index ini adalah data

hipotetik untuk mengomparasikan berbagai model

yang diujikan.

1.5. Metodologi

Penyelesaian tugas akhir ini terdiri dari pengumpulan

data-data yang dibutuhkan dan Analisis. Data-Data

yang dibutuhkan yaitu informasi mengenai persaingan

menarik investor di sektor hulu migas, UUD’45 Pasal

33 ayat (2) dan (3), Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Model PSC

saat ini serta mekanisme sharing profitnya, Model R/C,

Undang-Undang Perpajakan di Sektor Migas,

Page 8: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 3

Cadangan, produksi dan harga oil. Analisis dilakukan

terhadap 2 aspek yaitu aspek legal dan ekonomik

Dalam aspek legal dilakukan analisa terhadap

Perundang-undangan yaitu UUD’45 Pasal 33 ayat (3),

Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Tentang

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, dan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi. Dalam aspek ekonomik

dilakukan analisa terhadap kelaikan suatu proyek.

Indikator kelaikan proyek adalah parameter-parameter

untuk dapat menilai kelayakan suatu proyek investasi

secara objektif.

II. PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS

NASIONAL

2.1. Cadangan dan Produksi Migas

2.1.1. Cadangan Migas

Pada 1 Januari 2006 jumlah cadangan minyak Indonesia memperlihatkan gambaran yang lebih

optimis jika dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

ditandai dengan adanya peningkatan cadangan

sebanyak 6% dari tahun 2005 sebesar 8,17 miliar barel

menjadi 8,68 miliar barel, yang terdiri dari 4,37 miliar

barel cadangan terbukti dan 4,31 miliar barel cadangan

potensial. Untuk gas bumi, cadangan Indonesia dalam

periode 1999-2005 memperlihatkan pola pertumbuhan

positif, yaitu meningkat 34% dari 134,5 tcf pada tahun

1999 menjadi 180 tcf pada 1 Januari 2005. Pada 1

Januari 2006, total cadangan gas turun sebanyak 6% menjadi 169,4 tcf, yang terdiri dari 93,9 tcf cadangan

terbukti dan 75,5 tcf cadangan potensial.

2.1.2. Produksi Migas

Produksi rata-rata minyak mentah dan kondensat pada

tahun 2006 sebesar 1,006 juta bph atau mencapai 96%

dari target APBN-P yang ditetapkan. Realisasi

produksi ini lebih kecil 5,3% dari level produksi tahun

2005 sebesar 1,062 bph. Realisasi produksi gas bumi pada tahun 2006 sebesar 8,28 miliar kaki kubik per hari

(bscfd), atau lebih tinggi 2,12% dari target produksi

yang ditetapkan dalam Work Program and Budget

(WP&B) 2006. Bila dibandingkan realisasi produksi

tahun 2005 pencapaian tahun 2006 lebih tinggi 0,4%.

Sedangkan dari cadangan minyak sendiri ternyata

tahun 2007 mengalami penurunan 0,58 % bila

dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meski sempat

naik dari tahun 2005 sebesar 8,170 milyar barel

menjadi 8,928 milyar barel, atau mengalami

peningkatan 0,928 % tahun 2006(lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1 Cadangan Minyak Bumi Tahun 2005-2007

Tahun Cadangan Minyak(miliar barel) Perubahan (%)

2005 8,170 -

2006 8,928 09,28

2007 8,403 -05,88

Sumber: Ditjen Migas, 2008

2.2. Sistem dan Sejarah Perkembangan Kontrak

Bagi Hasil

Sistem Production Sharing Contract (PSC) merupakan substitusi / pengganti dari sistem kontrak kerja

(Contract of Work) sesuai dengan amanat UUD 1945.

Dalam kontrak PSC, manajemen perusahaan dan

kegiatan operasi minyak dan gas bumi berada di tangan

Pemerintah. Kontrak bagi hasil yang dimulai pada

tahun 1965 telah banyak mengalami perubahan dalam

perkembangannya. Perubahan - perubahan tersebut

dilakukan untuk menyesuaikan dengan situasi dunia perminyakan yang selalu berubah. Secara umum

perubahan tersebut dikelompokkan dalam 3 generasi

yaitu:

2.2.1. PSC Periode I (Tahun 1964-1975)

1. Manajemen operasi dipegang oleh Pertamina.

2. KPS menanggung resiko eksplorasi. Bila

ditemukan hidrokarbon maka penggantian biaya

dibatasi sampai maksimum 40% per tahun dari

jumlah pendapatan minyak yang dihasilkan

tersebut.

3. Pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi

65% / 35% untuk keuntungan negara.

4. Kontraktor wajib menyerahkan 25% dari

bagiannya kepada pemerintah sebagai DMO dengan menerima fee US $ 0,20/bbl.

5. Kredit investasi adalah 20%.

6. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh

kontraktor menjadi milik Pertamina.

7. 10% dari interest kontraktor ditawarkan kepada

perusahaan nasional Indonesia setelah lapangan

minyak tersebut dinyatakan komersial.

2.2.2. PSC Periode II (Tahun 1976-1988)

1. Batasan cost recovery ditiadakan dan capital expenditure dapat diperoleh kembali melalui

depresiasi dalam waktu 7 tahun menggunakan

sistem double declining balance dan non capital

cost termasuk intangible cost, dapat diexpense.

2. Produksi setelah dipotong biaya operasi :

a. Minyak : 65,91% untuk Pertamina, 34,09%

untuk kontraktor.

Page 9: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 4

b. Gas : 31,82% untuk Pertamina, 68,18%

untuk kontraktor.

Berdasarkan pembayaran pajak sebesar 45% pajak

pendapatan dan 20% pajak deviden yang

menghasilkan 85% dan 15%, bagi keuntungan

pemerintah dan kontraktor untuk minyak, sedangkan untuk gas 70% dan 30%. Berdasarkan

UU Pajak 1984 maka untuk tetap menghasilkan

equity split 85% dan 15%, maka pembagian

pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi

71,15% bagian pemerintah dan 28,85% bagian

kontraktor untuk minyak dan 42,31% bagian

pemerintah dan 57,69% bagian kontraktor untuk

gas.

3. Untuk new field, KPS diberi invesment credit

terhadap capital expenditures yang dikeluarkan

untuk fasilitas produksi sebesar 20%.

4. Untuk kontrak yang diperpanjang atau kontrak baru, domestic market obligation (DMO) crude

setelah 5 tahun pertama ditetapkan dengan nilai

US $ 0,20/bbl.

5. Kontraktor mendapat insentif :

Harga ekspor penuh untuk DMO setelah lima

tahun pertama produksi.

Insentif pengembangan 20% dari modal yang

dikeluarkan untuk fasilitas produksi.

2.2.3. PSC Periode III (tahun 1988-sekarang)

Paket Insentif 31 Agustus 1988 :

1. Pemberian invesment credit, dengan syarat bahwa

pemerintah harus memperoleh 49% dari

pendapatan kotor tidak berlaku lagi.

2. Pendapatan komersialitas, jaminan minimum 25%

dari pendapatan kotor untuk pemerintah tidak

diperlukan.

3. Harga DMO 10% dari harga ekspor setelah selesai

60 bulan pertama.

4. Penyisihan minyak pertama, 20% dari produksi

disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi kemudian dibagi antara Pertamina dan kontraktor.

5. Pembagian Produksi Daerah Frontier

Sampai dengan 50 MBOPD = 80/20

50-150 MBOPD = 85/15

150 MBOPD = 90/10

6. Tatacara perizinan diserahkan.

2.2.4. PSC Periode III (tahun 1989-sekarang)

lanjutan

Paket Insentif 22 Februari 1989 : 1. Pembagian untuk lapangan marjinal dan tertiary

EOR pada wilayah konvensional 80/20 dan

wilayah frointer 75/25.

2. Pembagian untuk produksi di daerah Pre-Teritary

dan laut dalam pembagian tambahan untuk

produksi frointer (lihat 1).

3. Invesment Credit untuk laut dalam sebesar 110%

untuk minyak dan 55% untuk gas.

4. Perpanjangan masa eksplorasi 6 tahun menjadi 1 x 14 tahun.

5. Harga gas diorientasikan pada komersialitas untuk

pengembangan lapangan.

6. Akses data tidak terbatas pada lahan yang

ditenderkan.

7. Perolehan data lapangan dilakukan oleh Pertamina

dan terbuka bagi kontraktor.

Gambar 2 1. Model PSC Standard

Prosedur dan rumus yang digunakan dalam

perhitungan cash flow adalah sebagai berikut:

1. Revenue (R) = Produksi x harga minyak

2. Investment = Capital (Cap) + Non Capital (NC) 3. Depresiasi (Dep), metode yang digunakan adalah

metode declining balance

4. Operating cost (OC) = Biaya produksi x produksi

5. FTP = R x 20%

6. Investment Credit (IC) = 16.8% x Cap

7. Unrecovered (UR) untuk tahun pertama adalah

biaya capital pada tahun sebelumnya. Untuk tahun

selanjutnya, digunakan rumus:

Jika IC + Cost recovery > Recovered, maka UR =

Cost recovery + IC - Recovered

8. Cost recovery (CR), jika R > 0, maka CR = NC +

Dep + OC + UR 9. Recovery (Rec), jika IC + CR > R – FTP maka

Rec = R – FTP, jika tidak, maka Rec = IC + CR

10. Equity to be Split (ES) = R – FTP – Rec

Page 10: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 5

11. Contractor Share (CS) = %ShareContractor / (1 -

%Tax) x ES + %ShareContractor / (1 - %Tax) x

FTP

12. Domestik Market Obligation (DMO) sampai tahun

ke-5 = 0, sedangkan tahun ke-6 dihitung dengan

rumus: Jika 25% x %ShareContractor x R / 0.56 > CS,

maka DMO = CS, jika tidak, maka DMO = %25 x

%ShareContractor x R / 0.56

13. DMOfee = 10% x DMO

14. Contractor Taxable Income (CTI) = CS + IC –

DMO + DMOfee

15. Government Tax (GT) = %Tax x CTI

16. Net Contractor Share (NCS) = CTI – GT

17. Total Contractor Income (TCI) = NCS + Rec – IC

18. Expenditure (Exp) = Cap + NC + OC

19. Contractor Cash Flow (CCF) = TCI – Exp

20. Indonesia Take (IT) = (R – CS) + DMO – DMOfee + GT – Rec

2.3. Elemen – Elemen Dalam Kontrak Bagi Hasil

Dalam kontrak bagi hasil terdapat beberapa elemen

yang digunakan dalam perhitungan indikator

keekonomian suatu proyek.

2.3.1. Investasi Kapital dan Non-Kapital

Istilah kapital dan non-kapital digunakan untuk mendefinisikan nilai suatu barang atau modal sebagai

fungsi dari waktu. Barang-barang yang digolongkan

sebagai kapital adalah barang-barang yang dianggap

memiliki pengurangan nilai atau depresiasi terhadap

waktu, sedangkan barang-barang non-kapital dianggap

tidak memiliki nilai depresiasi. Istilah barang / aset

kapital didefinisikan sebagai nilai uang dari suatu

modal (asset) yang tangible, hal ini meliputi bangunan-

bangunan, peralatan pemboran dan produksi, mesin-

mesin, fasilitas produksi konstruksi dan alat

transportasi yang mengalami depresiasi nilai karena

pemakaian. Sedangkan istilah barang non kapital adalah modal yang meliputi semua tipe dari mineral,

biaya-biaya operasi dan pemeliharaaan. Tidak ada nilai

yang dapat ditetapkan pada saat pemeriksaan dan

modal tidak mengalami depresiasi terhadap waktu.

Penggolongan suatu barang apakah termasuk kapital

atau non-kapital bersifat tidak pasti, tergantung pada

perjanjian yang dilakukan.

2.3.2. Depresiasi

Suatu barang atau modal kapital akan mengalami pengurangan nilai karena waktu atau pemakaian.

Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam

menghitung periode depresiasi dari suatu barang atau

modal adalah biaya awal (initial cost), harga/biaya

yang dapat diperoleh (recoverable cost) pada waktu

barang-barang selesai atau tak dapat dipakai lagi dan

lama waktu pemakaian. Beberapa metode depresiasi

yang sering dipakai adalah straight line, declining

balance, dan double declining balance with cross over

dan write off, yang mempergunakan kombinasi dari metode double declining balance dan straight line.

Metode Straight Line

Pada metode ini depresiasi dihitung dengan

menganggap penurunan nilai barang tiap tahunnya

dianggap konstan dari awal tahun sampai akhir periode

depresiasi. Secara matematis, metode ini dapat ditulis

sebagai berikut :

(1)

Metode Declining Balance

Pada metode ini depresiasi dihitung dengan

menganggap penurunan nilai barang tidak sama dari

tahun ke tahun. Pada awal penurunan nilai barang lebih

besar dibanding pada tahun berikutnya. Secara

matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut :

(2)

Dimana :

subskrip i = waktu perhitungan T = lama waktu depresiasi

Metode Double Declining Balance

Metode ini hampir sama dengan metode declining

balance, hanya saja nilai suatu barang akan berkurang

dua kali lebih cepat daripada metode declining

balance. Secara matematis, metode ini dapat dituliskan

sebagai berikut :

(3)

2.3.3. Cost Recovery

Cost recovery terdiri atas:

Non-capital cost tahun tersebut.

Depresiasi capital cost tahun tersebut.

Operating cost tahun tersebut.

Unrecovered cost (uncovered operating cost tahun

sebelumnya).

Non-capital cost merupakan operating cost yang

berhubungan dengan operasi selama tahun yang

bersangkutan termasuk di dalamnya biaya pekerja, material, survey seismik dan intangible cost dari

peralatan pemboran meliputi lumpur pemboran dan

bahan kimia, bit, casing serta work over. Operating

cost untuk tiap volume hidrokarbon yang dihasilkan

merupakan pembagian biaya-biaya yang berlangsung

dengan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan. Biaya

yang dapat dibayarkan pada tahun yang bersangkutan

DepresiasiWaktu

InvestasiDepresiasi

)(1

)( 1ii DepresiasiInvestasiT

Depresiasi

)(2

)( 1ii DepresiasiInvestasiT

Depresiasi

Page 11: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 6

disebut Recoverable Cost (Recovery). Recovery dari

kontraktor dapat diperoleh kembali dari pendapatan

kotor hasil penjualan hidrokarbon (gross revenue) pada

tahun bersangkutan. Bila cost recovery kontraktor

melebihi pendapatan (gross revenue) kontraktor, maka

kekurangan tersebut dapat diperoleh pada tahun berikutnya. Kekurangan pada tahun yang bersangkutan

disebut dengan carry forward, sedangkan kekurangan

pada tahun sebelumnya disebut sebagai unrecovered

prior year.

Secara matematis, kondisi diatas dinyatakan sebagai

berikut :

Jika (Cost Recovery + Invesment Credit) Revenue , maka : Recovery = Revenue (4)

Unrecovered = Cost Recovery + Invesment

Credit – Recovery (5)

Jika tidak, maka :

Recovery = Cost Recovery + Invesment

Credit (6) Unrecovered = 0 (7)

2.3.4. First Trench Petroleum (FTP)

Pada tahun 1987 telah terasa timbulnya gejala

permasalahan dalam perjanjian Production Sharing

Contract yang berlaku saat itu, terutama dari sudut

pandang keekonomiannya. Permasalahan tersebut

muncul akibat :

Tingkat pemasaran dan harga minyak bumi yang

rendah dan tak menentu.

Ukuran penemuan cadangan yang semakin mengecil.

Peraturan pelaksanaan perundangan yang

kemudian dikeluarkan tidak mendukung

kelancaran operasi dan cenderung mengabaikan

sifat strategis minyak dan gas.

Dengan latar belakang permasalah tersebut,

timbul kekhawatiran akan terjadi hal-hal yang

menghambat kelangsungan industri perminyakan,

sehingga mempengaruhi penerimaan Indonesia dari

sektor minyak dan gas bumi. Untuk menanggulangi

permasalahan tersebut, maka dilakukan modifikasi terhadap bentuk perjanjian Production Sharing

Contract. Konsep yang diajukan sebagai hasil

modifikasi PSC adalah First Trench Petroleum (FTP).

FTP adalah bagian dari minyak yang diproduksi, yang

akan dibagi antara pemerintah dan kontraktor sebelum

dikurangi dengan Cost Recovery. Besar FTP ini adalah

20% dari gross revenue dan mulai diberlakukan untuk

kontrak lapangan-lapangan baru ataupun kontrak

perpanjangan yang diadakan sejak deregulasi pada

bidang perminyakan bulan Agustus 1988. Secara

sistematis perhitungan FTP adalah sebagai berikut :

FTP = 20% x Gross Revenue (8)

FTP Pertamina = (1 – SH) x FTP (9)

FTP Kontraktor = SH x FTP (10)

2.3.5. Domestic Market Obligation (DMO)

DMO adalah kewajiban kontraktor menyerahkan

sebagian minyak yang dihasilkan kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

Jumlah yang diserahkan ini besarnya ditetapkan secara

merata terhadap seluruh kontraktor yang beroperasi di

Indonesia dan dibatasi maksimum 25% dari minyak

yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan.

Minyak yang diserahkan sebagai DMO diambil dari

bagian kontraktor. Berdasarkan kontrak bagi hasil,

perhitungan DMO adalah sebagai berikut :

Jika (25% x Revenue x Share ) > Contractor Share,

maka:

DMO = Contractor Share (11) Jika tidak, maka :

DMO = 25% x Revenue x Share (12)

Sedangkan perolehan kontraktor atas minyak yang

dijual kepada pemerintah dengan harga domestik

tersebut disebut dengan fee DMO. Untuk 5 tahun

pertama produksi fee DMO sama dengan DMO, yang

mana keadaan ini disebut five years holidays.

Sedangkan untuk berikutnya 10% dari DMO.

2.3.6. Net Contractor Share

Net Contractor Share dihitung berdasarkan persamaan

berikut :

Jika Taxable Share > 0, maka :

Net Contractor Share = Taxable Income

– Tax (13)

Jika tidak, maka:

Net Contractor Share = 0 (14)

2.3.7. Cash Flow Contractor

Cash Flow Contractor dihitung dari hasil pengurangan

Contractor Share dengan Total Cost (Capital + Non Capital + Operating Cost), atau dinyatakan :

Cash Flow Contractor = Contractor Share – Total Cost

III. TINJAUAN KONTRAK MIGAS MALAYSIA

Model kontrak migas Malaysia merupakan sistem PSC

yang tergolong progresif dan telah mengalami

beberapa perubahan yang signifikan, mulai dari PSC

1976, PSC 1985, sampai akhirnya menerapkan PSC

deepwater dan R/C Index yang berlaku sampai

sekarang. Beberapa fase transformasi tersebut dipengaruhi pula dengan perubahan fiscal term di

dunia yang lebih mengarah pada profitability oriented

base(orientasi keuntungan), dan kemudian diciptakan

model PSC dengan formula R/C.

Page 12: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 7

Pada dasarnya R/C adalah kumulatif revenue dibagi

dengan kumulatif cost. Revenue disini yaitu cash

inflow kontraktor, yang terdiri dari cost oil dan profit

oil. Dengan demikian, apabila harga dari R/C =1, maka

dapat kita anggap sebagai Undiscounted Payback.

Seperti lazimnya suatu perhitungan aliran dana (Cash Flow), dimana cash inflow sama dengan cash outflow,

maka bila ingin mengetahui discounted payback kita

tinggal memakai harga discounted cash flow, sehingga

hasil R/C berkisar 1.4.

Sistem R/C Malaysia memgandung konsekuensi logis,

dimana makin menguntungkan suatu proyek, maka

bagian pemerintah akan semakin besar, begitu pula

sebaliknya dengan makin kecilnya keuntungan suatu

proyek, maka bagian pemerintah otomatis berkurang.

Kedua aspek tersebut, ditunjukan dengan adanya

mekanisme Tranche/Sliding Scale, yang mengandung pengertian bahwa apabila keuntungan kontraktor

semakin besar yang ditunjukkan oleh harga R/C

Indeks, maka makin rendah cost tranche dan

pembagian keuntungannya, serta hal tersebut berlaku

pula sebaliknya.

Dengan metoda tersebut Malaysia telah berhasil

menciptakan iklim investasi yang kompetitif dimana

kontraktor terpacu guna melakukan investasi terus

dengan ekspektasi mengharapkan gain yang baik. Di

sisi yang lain, kontraktor juga secara tidak langsung dituntut untuk meningkatkan efisiensi usahanya

sehingga penghematan expenditure bisa dilakukan

yang pada akhirnya dapat menjaga atau bahkan

meningkatkan R/C index.

Gambar 3.1. Model kontrak R/C Malaysia Dengan memperhatikan diagram PSC diatas maka kita dapat melihat hal yang berbeda dengan model kontrak yang

Apabila kita perhatikan perbedaan skema kontrak

Malaysia di atas dengan model PSC dipergunakan di

Indonesia. Perbedaan tersebut terletak pada

pemberlakuan term royalty sebesar 10 % dari Gross

Revenue, dan besaran biaya yang harus diganti oleh

pemerintah(Recoverable Cost). Jumlah penggantian

tersebut berbeda-beda (Sliding Scale) tergantung dari

besarnya R/C. Hal lain yang berbeda dengan sistem

yang dianut oleh Indonesia adalah tidak adanya pengaturan mengenai kewajiban memenuhi kebutuhan

pasar domestik (DMO).

Spirit dari sistem yang progresif ini adalah pada saat

produksi awal dikala keadaan cash flow kontraktor

masih kurang baik karena perlu waktu untuk

mengembalikan modal dahulu, maka pemerintah

Malaysia memberikan insentif berupa

pembagian(Share) yang lebih besar untuk pihak

kontraktor. Akan tetapi, apabila proyek semaakin profit

bagian kontraktor dengan berjalannya waktu, maka

pada saat itu negara memperoleh bagian yang lebih

besar.

Tabel 3.1 Ketentuan R/C, Cost Ceiling, dan Profit Oil

Split.

Ketentuan-ketentuan merupakan hal yang mendasari

pembatasan biaya yang akan dikembalikan oleh

pemerintah kepada pihak kontraktor berdasarkan nilai

R/C yang diperoleh. Sehingga kontraktor dipaksa seefisien mungkin dalam menghabiskan biayanya.

Dengan begitu, jumlah unused cost meningkat dan

akan dikembalikan lagi oleh pemerintah dalam bentuk

dengan share yang lebih berpihak pada kontraktor.

IV. HASIL KAJIAN MODEL USULAN

4.1.1 Aspek Legal

Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor

22 tahun 2001 Tentang Minyak da Gas Bumi pada

akhir tahun 2001(selanjutnya disebut Undang-undang

Migas) dianggap sebagai tonggak kegiatan hulu dan

hilir migas. Jiwa Undang-undang tersebut sesuai

dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam

Undang-undang Migas secara tegas disebutkan bahwa

Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan

migas yang terkandung di bumi NKRI.

Selain dari itu, pada Undang-Undang Migas no 22

tahun 2001 pasal 20, bahwasanya bentuk kontrak yang

diterapkan di Indonesia adalah PSC atau bentuk

Cont R/C Index Cost Ceilling

Aticle 5.1.1 Split(if any) Remainig Split Portion Article 5.1.1 Split (if any) Remaining Spilt Portion

Per : Cont Per : Cont Per : Cont Per : Cont

0<R/C<=1 70% 0% 20% 0% 60%

1<R/C<=1.4 60% 20% 30% 60% 70%

1.4<R/C<=2 50% 30% 40% 60% 70%

2<R/C<=2.5 30% 40% 50% 60% 70%

2.5<R/C<=3 30% 50% 60% 60% 70%

R/C>3 30% 60% 70% 80% 90%

Prod Oil and Gas Split

Cun Prod & Above THVCum Prod & Below Cum THV

Tax(45%)

Contractor Take

Gross Revenue

Royalty 10% Rec. Cost

ETBS Base on R/C

Baseed on R/C

Government Share

Government Take

Contractor Share

Page 13: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 8

kontrak lain yang lebih menguntungkan bagi Negara.

Maksud dari menguntungkan tersebut adalah

memberikan keuntungan(Government Take) yang lebih

besar dengan tidak menimbulkan kerugian bagi

investor sehingga enggan untuk menanamkan

modalnya

4.1.2 Model Hasil Kajian

Merujuk pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

maka dikaji model kontrak baru(modifikasi) yang

merupakan hasil dari modifikasi PSC dengan system

kontrak kerjasama migas yang diterapkan di Indonesia

Gambar 4.1. Model Modifikasi

4.2 Komparasi Model Kontrak PSC dan Model

Hasil Kajian(Modifikasi) Dengan Menggunakan

Indikator-indikator Keuntungan

4.2.1 Data yang Digunakan

Dalam melakukan perbandingan kontrak PSC Standar

dengan kontrak PSC usulan(modifikasi), diperlukan

data - data produksi, data harga - harga, dan data - data

lain yang disesuaikan dengan peraturan dan kondisi di

Indonesia. Asumsi yang digunakan untuk project life

yaitu selama 25 tahun. Untuk data laju produksi

selama kontrak diperoleh secara hipotetik. Data dan

asumsi - asumsi yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 4.1 Data Laju Produksi Hipotetik

Year Production(MMBBL)

1 18.9

2 19.1

3 19.2

4 19.4

5 19.5

6 19.6

7 19.8

8 20

9 20.1

10 20.2

11 20.4

12 20.5

13 20.6

14 20.3

15 20.1

16 19.9

17 19.8

18 19.6

19 19.5

20 19.3

21 19.1

22 18.8

23 18.4

24 17.9

25 17.5

Tabel 4.2 Asumsi Formulasi Model Usulan

Asumsi Keterangan

Recoverable Reserve 487.5 MBBL

Price 55 US$/BBL

Price Excalation 0%

Operating Cost 15 US$/BBL

Operating Cost

Excalation

Contractor Share 15% After Tax

Government Share 85% After Tax

Contractor Tax 44%

FTP 20%

Investment Credit 17.00%

DMOi 25%

DMOfee 10%

60 month

after

production

Production-success ratio 100%

Gross Revenue

FTP

IC

Contractor Take

Rec. Cost

Contractor Share

ETBS

Taxable Income

DMO

DMO Fee

Tax(44%)

Based on R/C

Based on R/C

Government Share

Government Take

Gross Revenue

FTP

IC

Contractor Take

Rec. Cost

Contractor Share

ETBS

Taxable Income

DMO

DMO Fee

Tax(44%)

Based on R/C

Based on R/C

Page 14: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 9

Depreciation 5 years(DDB)

Loan

Loan Period

Interest 9.0%

Discount Factor 12%

Project Life 25 Years

Tabel 4.3 Indikator Keekonomian(Base Case).

Indikator PSC

STANDAR NON COST RECOVERY

Contractor NPV @ 12%

326.00 2001.94

Rate of Return (ROR)

20% 20%

Pay Out Time, year

3.43 4.08

Government NPV @ 12%

5386.42 5305.24

4.2.2 Analisa Sensitivitas Model Kontrak

Gambar 4.2 Perubahan Harga(Price) Terhadap NPV Kontraktor Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.3 Perubahan Operating Cost(OC) Terhadap

NPV Kontraktor Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.4 Perubahan Harga(Price) Terhadap ROR

Proyek pada Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.5 Perubahan Operating Cost(OC) Terhadap

ROR Proyek pada Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.6 Perubahn Harga(Price) Terhadap NPV

Pemerintah(Government) pada Metode PSC, dan Modifikai.

Page 15: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 10

Gambar 4.7 Perubahan Operating Cost(OC) Terhadap

NPV Pemerintah(Goverrment) pada Model PSC, dan

Modifikasi.

Gambar 4.8 Perubahan Investasi terhadap NPV

kontraktor pada Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.9 Perubahan Investasi terhadap ROR pada

Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.10 Perubahan Investasi terhadap NPV

Pemerintah(Government) pada Model PSC, dan

Modifikasi.

Gambar 4.11 Perubahan harga(Price) terhadap POT

pada Model PSC, dan Modifikasi.

Gambar 4.12 Biaya Operasi(OC) terhadap Pay Out

Time(POT) pada Model PSC, dan Modifikasi.

Page 16: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 11

Gambar 4.13 Investasi terhadap POT pada Model PSC,

dan Modifikasi

V . ANALISIS

5.1 Aspek Ekonomi

Berdasarkan grafik antara perubahan harga(price)

terhadap NPV kontraktor terlihat dengan jelas bahwa

apabila model Modifikasi diberlakukan, maka secara

ekonomi jauh lebih menguntungkan (profitable) bila

dibandingkan dengan metode yang lain. Disamping itu,

model itu ternyata dapat bertahan bila harga minyak

mengalami kontraksi. Hal itu desebabkan karena dengan asumsi harga yang terus naik(running) dan

variable lain dianggap konstan(cateris paribus), maka

R/C makin besar sehingga unused cost terus bertambah

yang akan dibagi dengan porsi yang lebih berpihak

bagi kontraktor, dan pada akhirnya menjadikan arus

kas kontraktor lebih positif Selain itu, tax rate 44% dan

share bagi kontraktor yang lebih besar pada awal

proyek menambah besar contractor take dibanding ke

dua model kontrak migas lainnya. Kenyataan yang

serupa didapat pada grafik antara Biaya Operasi(OC)

terhadap NPV kontraktor, karena pada harga biaya operasi yang relatif rendahl maka kontraktor

mendapatkan keuntungan lebih dari hasil pembagian

unused cost sebagai kompensasi dari pemerintah atas

kinerja kontraktor yang berhasil menekan direct

expenditure(OC), sebaliknya ketika biaya operasi

meningkat dimana harga serta variabel lain

diasumsikan stagnan, ternyata ROR kontraktor tidak

turun secara tajam. Hal tersebut lebih desebabkan oleh

keberadaan FTP dalam skema kontrak, sehingga

kontraktor tidak begitu merugi karena paling tidak

masih ada yang diperoleh meskipun terdapat

pembatasan penggantian biaya(ceiling cost). Perbedaan yang relatif tipis tampak pada gambar 7,

dimana model kontrak PSC sedikit lebih baik manakala

terjadi kenaikkan harga karena tidak adanya

pembatasan cost recovery.

Pada grafik antara perubahan harga(price) terhadap

NPV Pemerintah, tampak dengan jelas bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara model yang diujikan

meski model modifikasi tampak sedikit lebih baik. Hal

yang serupa terlihat pula pada grafik antara Biaya

Operasi(OC) terhadap NPV Pemerintah. Pada grafik tersebut model Modifikasi sedikit lebih curam bila

dibandingkan dua kompetitornya karena penerapan

sistem itu yang lebih progresif dari PSC standard

dengan piranti-piranti tambahan berupa Ceiling Cost,

R/C index, Unused Cost, Sliding Scale Split, terbukti

ampuh dalam mengontrol cost recovery dan menjaga

stabilitas Cashflow kontraktor.

Hasil sensitivitas investasi terhadap NPV Kontraktor,

dan NPV Pemerintah menunjukkan bahwa model

kontrak modifikasi lebih baik karena di satu sisi

terdapatnya alat kontrol biaya yang harus diganti pemerintah(recoverable cost), tapi di sisi lain

kontraktor juga diuntungkan tax rate dari model

Malaysia dan ditambah lagi insentif lain berupa DMO

holiday. Selain itu, dengan pemberlakuan model

modifikasi kontraktor “dipaksa” untuk berhemat dalam

menjalankan operasinya, sehingga memperoleh share

lebih besar yang ditunjukkan dengan indikator unused

cost. Dengan begitu, kontraktor terpacu untuk

meningkatkan eksplorasi dilapangan lain. Berbeda

dengan sistem Indonesia(PSC) awal produksi

merupakan masa yang berat karena besarnya biaya yang dikeluarkan dan belum mengalami penggantian

(Recovery), ditambah lagi dengan pemberlakuan

investment credit yang justru memberatkan kontraktor

pada masa awal.

Di lain pihak, terlihak bahwa grafik POT Model

Modifikasi terhadap Total Produksi , dan Biaya

Operasi(OC) kalah landai bila dibandingkan dengan

Model PSC Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena

asumsi harga minyak, dan parameter-parameter lain

tetap(cateris paribus), maka kenaikan jumlah produksi

akan meningkatkan revenue kontraktor, akan tetapi biaya operasional per bbl akan meningkat pula yang

pada akhirnya menambah POT sebagai akibat sistem

progresif yang diberlakukan. Dengan kennyataan itu,

maka dapat dimengerti kalau POT PSC lebih stabil

daripada model R/C Malaysia dan Modifikasi. Dengan

sebab yang serupa tedapat pada grafik antara Biaya

Operasi(OC) dan Pay Out Time(POT) dimana efek dari

penberlakuan sistem progresif menimbulkan

berkurangnya keuntungan kontraktor bila tidak bisa

melakukan efisiensi(saving money), sehingga

pengembalian modal menjadi lebih lama tercapai. Dengan, kata lain makin bertambahnya biaya

operasi(OC) menimbulkan konsekuensi logis rasio R/C

makin kecil, yang pada akhirnya berpengaruh pada

berkurangnya split untuk kontraktor dan unused cost.

Page 17: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 12

Melalui sistem tersebut Pemerintah sebagai pemegang

kuasa pertambangan guna melakukan fungsi

pengontrolan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh

kontraktor sehingga potensi hilangnya keuntungan

dapat dieliminir.

5.2 Impilikasi Logis Penerapan Model Kontrak PSC

Modifikasi R/C Terhadap BP Migas(implementing

body)

Sejak ditetapkannya UU No.22 tahun 2001 tentang

Migas dan PP No.42 tahun 2002 tentang Badan

Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, pengawasan

dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau

Kontrak Productions Sharing yang sebelumnya

dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan

oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas

atau BPMIGAS. Tugas BP migas antara lain: 1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk

penyiapan dan penawaran WK serta KKS

2. Menandatangani Kontrak Kerja Sama

3. Mengkaji dan menyampaikan POD lapangan yang

pertama kali akan diproduksikan dalam suatu WK

kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;

4. Memberikan persetujuan POD berikutnya

5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan

anggaran

6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada

Menteri mengenai pelaksanaan KKS 7. Menunjuk penjual Migas bagian negara

Dengan diberlakukanya sistem kontrak migas PSC

modifikasi R/C, maka mengandung konsekuensi logis

yaitu BP migas sebagai badan pelaksanan

(implementing body) beban tanggung jawab akan

berkurang atau terdeliverikan dengan para operator

minyak. Makna dari tanggung jawab yang

terdeliverikan adalah operator baik NOC maupum IOC

akan secara serta merta melakukan efisiensi biaya

operasionalnya sehingga keuntungan (contractor take) yang diperoleh akan lebih besar. Di sisi yang lain

kegiatan eksplorasipun akan semakin karena share

yang didapatkan perusahaan lebih besar manakala cash

inflow masih negatif.

Kemudian guna lebih meningkatkan kualitas

implementasi sistem kontrak tersebut, maka harus ada

perwakilan pemerintah yang ditempatkan di setiap

perusahaan. Maksudnya adalah agar mencegah praktek

– praktek yang berpotensi merugikan negara, yakni

dengan melakukan penggelembungan biaya.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Penerapan R/C Index dalam sistem modifikasi

dapat memacu kinerja kontraktor karena adanya unused cost yang akan dibagi dengan

porsi yang menguntungkan kontraktor.

Pembagian unused cost untuk kontraktor

nilainya 10% lebih tinggi dari profit split yang

berlaku. Dapat dikatakan, semakin efisien

kontraktor dalam menjalankan produksi maka

akan semakin besar pula pendapatan yang

diperolehnya.

2. Ceiling Cost yang tinggi adalah hasil dari

modifikasi pemberlakuan DMO. Efek dari

ceiling cost yang tinggi ini adalah semakin

kecilnya porsi equity to be split yang akhirnya

memperkecil porsi yang akan didapat oleh

pemerintah dari ETBS.

3. Pada modifikasi ini pendapatan nominal total

kontraktor tidak mengalami perubahan yang

berarti. Kondisi ini sesuai dengan prinsip

dasar hukum kontrak internasional, dimana

harus ada penyesuaian terhadap dua pihak yang berkontrak – win-win solution. Dimana

pemerintah bisa menaikkan arus kasnya tanpa

merubah pendapatan nominal total kontraktor.

4. Pemberlakuan DMO pada strategi modifikasi

ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

domestik akan minyak bumi yang didapat dari

tiap Wilayah Kerja.

5. Dengan pemberlakuan sistem kontrak

modifikasi yang lebih progresif daripada

model PSC standar Indonesia, diharapkan

tidak akan ada lagi kisruh tentang cost

recovery dan sekaligus juga dapat mencegah praktek MarkUp.

6.2 Saran

1. Menerapkan metoda R/C Index pada PSC

Indonesia dengan tetap memberlakukan DMO

serta FTP guna menjaga stabilitas

ketersediaan sumber energi untuk warga

negara yang ada di NKRI.

2. Memodifikasi pembagian hasil antara pemerintah dan kontraktor dengan

meningkatkan bagian pemerintah dalam

pembagian equity to be split berdasarkan R/C

Index.

3. Dengan Pemberlakuan Unused Cost, maka

kontraktor terpacu untuk saving, dengan

begitu Markup(Gold Platting) dapat dihindari.

Page 18: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar |12203035 13

4. Memangkas rantai birokrasi, dan penegakkan

supremasi hkum supaya tidak ada lagi

keengganan(reluctant) yang pada akhirnya

dapat meningkatkan investasi khussnya di

sektor migas.

5. Pengenaan pajak 44 % dapat dikurangi(Tax Deduction) sebagai insentif, supaya iklim

investasi menjadi lebih kompetitif lagi.

6. Guna meningkatkan pendapatan pemerintah

maka terdapat alternative lain yaitu dengan

mekanisme participation interest. Dengan

begitu pembagian kue terasa lebih adil.

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Arsegianto.,Ekonomi Minyak dan Gas Bumi,

Diktat Kuliah Teknik Perminyakan ITB, 2000 2. Partowidagdo, W, Manajemen dan Ekonomi

Migas, Program Pascasarjana Studi

Pembangunan ITB, Bandung, 2002

3. Undang – Undang Republik Indonesia No.22

tentang Minyak, dan Gas Bumi, 2001

4. Peraturan Pemerintah No.35 tentang Kegiatan

Usaha Hulu Migas, 2004

5. Simamora, Rudi.,Hukum Perminyakan,2000

6. Johnston, Daniel., International Petroleoum

Fiscal Systems and Production Sharing

Contracs, PennWell Publishing Company, New York, 1979

7. Seba R.D., Economics of Wordwide

Petroleoum Production, Oil & Gas

Consultants International., Tulsa, Oklahoma,

1998

8. Taverne, Bernard., An Introdoction to

Regulation of The Petroleoum Industry,

Professor of Mining and Petroleoum Law,

Delf University of Technology, Netherlands,

1994

9. Hutagaol, John., Kapita Selekta Perpajakan,

Salemba Empat, 2006 10. Www.esdm.go.id

11. Www.bpmigas.com

12. Benny Lubiantara, blogspot.

Page 19: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar | 12203035

1

4

Tabel 7. Cash Flow Model Kontrak PSC Indonesia

Cont

C NC TI

0 2007 0 0 500 500 1000 1000 (1,000.00) (1,000.00)

1 2008 18.9 1039.5 200 283.5 207.9 85 500 983.5 831.6 0 55.7 140.7 61.9 78.8 825.4 283.5 541.89 (458.12) 214.1

2 2009 19.1 1050.5 120 286.5 210.1 - 406.5 406.5 433.9 172.5 172.5 75.9 96.6 503.1 286.5 216.60 (241.52) 547.4

3 2010 19.2 1056 72 288 211.2 - 360 360 484.8 186.4 186.4 82.0 104.4 464.4 288 176.40 (65.12) 591.6

4 2011 19.4 1067 43.2 291 213.4 - 334.2 334.2 519.4 196.3 196.3 86.4 109.9 444.1 291 153.12 88.01 622.9

5 2012 19.5 1072.5 64.8 292.5 214.5 - 357.3 357.3 500.7 191.6 191.6 84.3 107.3 464.6 292.5 172.08 260.09 607.9

6 2013 19.6 1078 294 215.6 - 294 294 568.4 210.0 72.2 7.2 145.0 63.8 81.2 375.2 294 81.22 341.30 702.8

7 2014 19.8 1089 297 217.8 - 297 297 574.2 212.1 72.9 7.3 146.5 64.5 82.0 379.0 297 82.05 423.35 710.0

8 2015 20 1100 300 220 - 300 300 580 214.3 73.7 7.4 148.0 65.1 82.9 382.9 300 82.88 506.22 717.1

9 2016 20.1 1105.5 301.5 221.1 - 301.5 301.5 582.9 215.4 74.0 7.4 148.7 65.4 83.3 384.8 301.5 83.29 589.51 720.7

10 2017 20.2 1111 303 222.2 - 303 303 585.8 216.4 74.4 7.4 149.5 65.8 83.7 386.7 303 83.70 673.22 724.3

11 2018 20.4 1122 306 224.4 - 306 306 591.6 218.6 75.1 7.5 151.0 66.4 84.5 390.5 306 84.53 757.75 731.5

12 2019 20.5 1127.5 307.5 225.5 - 307.5 307.5 594.5 219.6 75.5 7.6 151.7 66.7 84.9 392.4 307.5 84.95 842.70 735.1

13 2020 20.6 1133 309 226.6 - 309 309 597.4 220.7 75.9 7.6 152.4 67.1 85.4 394.4 309 85.36 928.06 738.6

14 2021 20.3 1116.5 304.5 223.3 - 304.5 304.5 588.7 217.5 74.8 7.5 150.2 66.1 84.1 388.6 304.5 84.12 1,012.18 727.9

15 2022 20.1 1105.5 301.5 221.1 - 301.5 301.5 582.9 215.4 74.0 7.4 148.7 65.4 83.3 384.8 301.5 83.29 1,095.47 720.7

16 2023 19.9 1094.5 298.5 218.9 - 298.5 298.5 577.1 213.2 73.3 7.3 147.3 64.8 82.5 381.0 298.5 82.46 1,177.93 713.5

17 2024 19.8 1089 297 217.8 - 297 297 574.2 212.1 72.9 7.3 146.5 64.5 82.0 379.0 297 82.05 1,259.97 710.0

18 2025 19.6 1078 294 215.6 - 294 294 568.4 210.0 72.2 7.2 145.0 63.8 81.2 375.2 294 81.22 1,341.19 702.8

19 2026 19.5 1072.5 292.5 214.5 - 292.5 292.5 565.5 208.9 71.8 7.2 144.3 63.5 80.8 373.3 292.5 80.80 1,421.99 699.2

20 2027 19.3 1061.5 289.5 212.3 - 289.5 289.5 559.7 206.8 71.1 7.1 142.8 62.8 80.0 369.5 289.5 79.97 1,501.97 692.0

21 2028 19.1 1050.5 286.5 210.1 - 286.5 286.5 553.9 204.6 70.3 7.0 141.3 62.2 79.1 365.6 286.5 79.15 1,581.11 684.9

22 2029 18.8 1034 282 206.8 - 282 282 545.2 201.4 69.2 6.9 139.1 61.2 77.9 359.9 282 77.90 1,659.02 674.1

23 2030 18.4 1012 276 202.4 - 276 276 533.6 197.1 67.8 6.8 136.2 59.9 76.2 352.2 276 76.25 1,735.26 659.8

24 2031 17.9 984.5 268.5 196.9 - 268.5 268.5 519.1 191.8 65.9 6.6 132.5 58.3 74.2 342.7 268.5 74.17 1,809.43 641.8

25 2032 17.5 962.5 262.5 192.5 - 262.5 262.5 507.5 187.5 64.5 6.4 129.5 57.0 72.5 335.0 262.5 72.52 1,881.95 627.5

Sum 487.5 26812.5 500 500 1000 500 7312.5 5362.5 85 500 8312.5 8160.6 13289.4 4996.0 1,442 3783.7 1664.8 2118.8 10194.4 8312.5 1,881.95 16618.1

ProdInv

YearNo GTRev Dep OC FTP IC URTot Inv DMO DMO Fee TaxETBSRecInt ExpendCI CCFTCI CCCFCR CS

Asumsi

Recoverable Reserve 487.5 MMBBL

Price 55 US$/BBL

Price Excalation 0%

Operating Cost 15 US$/BBL

Operating Cost Excalation

Contractor Share 15% After Tax

Government Share 85% After Tax

Contractor Tax 44%

FTP 20%

Investment Credit 17.00%

DMOi 25%

DMOfee 10% 60 month after production

Production-success ratio 100%

Depreciation 5 years(DDB)

Loan

Loan Period

Interest 9.0%

Discount Factor 12%

Project Life 25 Years

Oil(Remark)

Oil MMBBL

Financial MMUS$

Unit

MMUS$

Total Investment 1000

326.00

20%

3.43

5386.42

Economic Evaluation Result

Indicator

NPV Contractor@12%

Rate Of Return(ROR)

Pay Out Time(POT), year

NPV Government@12%

Page 20: TUGAS AKHIR Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035digilib.itb.ac.id/files/disk1/454/jbptitbpp-gdl-yuyusbahti-22658-1... · PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi

Yuyus Bahtiar | 12203035

1

4

Tabel 8. Cash Flow Model Kontrak Modifikasi

Asumsi

Price 55 US$/BBL

Price Excalation 0%

Operating Cost 15 US$/BBL

Operating Cost Excalation

Contractor Share 15% After Tax

Government Share 85% After Tax

Contractor Tax 44%

FTP 20%

Investment Credit 0.00%

DMOi 25%

DMOfee 10%

Production-success ratio 100%

Depreciation 5 years(DDB)

Loan

Loan Period

Interest 9.0%

Discount Factor 12%

Project Life 25 Years

THV 400

Oil

Prod Cumm Cost Unused Unitized GS GS DMO Cont

Prod C NC Tranch Cost Cost % USD Fee TI

0 2007 0 0 0 500 500 1000 1,000 (1,000.0) (1000.0)

1 2008 18.9 18.9 1039.5 200 283.5 - 207.9 500 983.5 1.1 60% 623.70 623.7 0 0.6 207.9 0.3 62.4 145.5 145.5 64.0 81.5 705.2 284 421.7 (578.3) 334.3

2 2009 19.1 38 1050.5 120 286.5 - 210.1 406.5 2.6 37% 383.98 384.0 0.0 0.6 456.4 0.6 273.9 182.6 182.6 80.3 102.2 486.2 287 199.7 (378.6) 564.3

3 2010 19.2 57.2 1056 72 288 - 211.2 360 2.9 37% 385.99 370.4 26.0 0.6 474.4 0.6 295.0 205.4 205.4 90.4 115.0 485.4 288 197.4 (181.2) 570.6

4 2011 19.4 76.6 1067 43.2 291 - 213.4 334.2 3.2 37% 390.01 356.5 55.8 0.6 497.1 0.7 370.3 182.6 182.6 80.3 102.3 458.8 291 167.8 (13.4) 608.2

5 2012 19.5 96.1 1072.5 64.8 292.5 - 214.5 357.3 3.0 37% 392.02 371.2 34.7 0.6 486.8 0.7 354.7 166.9 166.9 73.4 93.4 464.6 293 172.1 158.72 607.9

6 2013 19.6 115.7 1078 294 - 215.6 294 3.7 37% 394.03 334.0 100.0 0.6 528.4 0.7 409.9 218.5 72.2 7.2 153.6 67.6 86.0 420.0 294 126.0 284.7 658.0

7 2014 19.8 135.5 1089 297 - 217.8 297 3.7 37% 398.05 337.4 101.0 0.6 533.8 0.7 414.1 220.8 72.9 7.3 155.1 68.3 86.9 424.3 297 127.3 412.0 664.7

8 2015 20 155.5 1100 300 - 220 300 3.7 37% 402.07 340.8 102.1 0.6 539.2 0.7 418.2 223.0 73.7 7.4 156.7 68.9 87.8 428.6 300 128.6 540.6 671.4

9 2016 20.1 175.6 1105.5 301.5 - 221.1 301.5 3.7 37% 404.08 342.5 102.6 0.6 541.9 0.7 420.3 224.1 74.0 7.4 157.5 69.3 88.2 430.7 302 129.2 669.8 674.8

10 2017 20.2 195.8 1111 303 - 222.2 303 3.7 37% 406.09 344.2 103.1 0.6 544.6 0.7 422.4 225.2 74.4 7.4 158.3 69.6 88.6 432.9 303 129.9 799.7 678.1

11 2018 20.4 216.2 1122 306 - 224.4 306 3.7 37% 410.11 347.6 104.1 0.6 550.0 0.7 426.6 227.5 75.1 7.5 159.8 70.3 89.5 437.1 306 131.1 930.8 684.9

12 2019 20.5 236.7 1127.5 307.5 - 225.5 307.5 3.7 37% 412.12 349.3 104.6 0.6 552.7 0.7 428.7 228.6 75.5 7.6 160.6 70.7 89.9 439.3 308 131.8 1062.6 688.2

13 2020 20.6 257.3 1133 309 - 226.6 309 3.7 37% 414.13 351.1 105.1 0.6 555.3 0.7 430.8 229.7 75.9 7.6 161.4 71.0 90.4 441.4 309 132.4 1195.1 691.6

14 2021 20.3 277.6 1116.5 304.5 - 223.3 304.5 3.7 37% 408.10 345.9 103.6 0.6 547.3 0.7 424.5 226.3 74.8 7.5 159.0 70.0 89.1 435.0 305 130.5 1325.6 681.5

15 2022 20.1 297.7 1105.5 301.5 - 221.1 301.5 3.7 37% 404.08 342.5 102.6 0.6 541.9 0.7 420.3 224.1 74.0 7.4 157.5 69.3 88.2 430.7 302 129.2 1454.8 674.8

16 2023 19.9 317.6 1094.5 298.5 - 218.9 298.5 3.7 37% 400.06 339.1 101.6 0.6 536.5 0.7 416.2 221.9 73.3 7.3 155.9 68.6 87.3 426.4 299 127.9 1582.7 668.1

17 2024 19.8 337.4 1089 297 - 217.8 297 3.7 37% 398.05 337.4 101.0 0.6 533.8 0.7 414.1 220.8 72.9 7.3 155.1 68.3 86.9 424.3 297 127.3 1710.0 664.7

18 2025 19.6 357 1078 294 - 215.6 294 3.7 37% 394.03 334.0 100.0 0.6 528.4 0.7 409.9 218.5 72.2 7.2 153.6 67.6 86.0 420.0 294 126.0 1836.0 658.0

19 2026 19.5 376.5 1072.5 292.5 - 214.5 292.5 3.7 37% 392.02 332.3 99.5 0.6 525.7 0.7 407.8 217.4 71.8 7.2 152.8 67.2 85.6 417.9 293 125.4 1961.4 654.6

20 2027 19.3 395.8 1061.5 289.5 - 212.3 289.5 3.7 37% 388.00 328.9 98.5 0.6 520.3 0.7 403.6 215.2 71.1 7.1 151.2 66.5 84.7 413.6 290 124.1 2085.5 647.9

21 2028 19.1 414.9 1050.5 286.5 - 210.1 286.5 3.7 37% 383.98 306.0 97.5 0.8 534.4 0.9 500.5 131.4 70.3 7.0 68.1 30.0 38.1 344.1 287 57.6 2143.1 706.4

22 2029 18.8 433.7 1034 282 - 206.8 282 3.7 37% 377.94 301.2 95.9 0.8 526.0 0.9 492.6 129.4 69.2 6.9 67.0 29.5 37.5 338.7 282 56.7 2199.8 695.3

23 2030 18.4 452.1 1012 276 - 202.4 276 3.7 37% 369.90 294.8 93.9 0.8 514.8 0.9 482.1 126.6 67.8 6.8 65.6 28.9 36.7 331.5 276 55.5 2255.4 680.5

24 2031 17.9 470 984.5 268.5 - 196.9 268.5 3.7 37% 359.85 286.8 91.4 0.8 500.8 0.9 469.0 123.2 65.9 6.6 63.8 28.1 35.7 322.5 269 54.0 2309.4 662.0

25 2032 17.5 487.5 962.5 262.5 - 192.5 262.5 3.7 37% 351.81 280.4 89.3 0.8 489.6 0.9 458.5 120.4 64.5 6.4 62.4 27.5 34.9 315.3 263 52.8 2362.2 647.2

487.5 26812.5 500 500 1000 500 7312.5 - 5362.5 500 8312.5 10044.15 8682.2 2,114 16 12767.8 4855.4 4855.4 1441.5 144.2 3,558.0 1,565.5 1,992.5 10,674.7 8,312.50 2,362.2 16,137.8

Tax CCCFCCF GTCI TCI ExpendRevInv

ETBSRec DMOCSNo Year CeilingR/CCR

Sum

IntTot Inv Dep OC FTPIC UR

Cont R/C Index Cost Ceilling

Aticle 5.1.1 Split(if any) Remainig Split Portion Article 5.1.1 Split (if any) Remaining Spilt Portion

Per : Cont Per : Cont Per : Cont Per : Cont

0<R/C<=1 70% 0% 20% 0% 60%

1<R/C<=1.4 60% 20% 30% 60% 70%

1.4<R/C<=2 50% 30% 40% 60% 70%

2<R/C<=2.5 37% 40% 50% 60% 70%

2.5<R/C<=3 37% 50% 60% 60% 70%

R/C>3 37% 60% 70% 80% 90%

Prod Oil and Gas Split

Cum Prod & Below Cum THV Cun Prod & Above THV

20%

4.08

5,305.24

Pay Out Time(POT), year

NPV Government@12%

Total Investment 1000

Indicator MMUS$

NPV Contractor@12% 2,001.94

Rate Of Return(ROR)

Economic Evaluations Result

Oil MMBBL

Financial MMUS$

Unit