tugas 3 - resume
DESCRIPTION
interaksi bahan pengemas dengan makananTRANSCRIPT
Pengaruh, Proses Interaksi, dan Terjadinya Migrasi Bahan Pengemas Terhadap Bahan Pangan
yang Dikemasnya
RESUME
Dosen Pengampu :
Mustika NH, S.TP., M.Pd
Disusun oleh :
Firman Rian T.
Hetty Restika Sari
Teddy Tarudin
Andari Sulfaj
Anja Wulan Sari
Bangun Ambar Ekowati
Yatin Dwi Rahayu
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
Pengaruh, Proses Interaksi, dan Terjadinya Migrasi Bahan Pengemas Terhadap Bahan Pangan yang Dikemasnya
Proses pengemasan sebagai tahap akhir proses pengolahan merupakan
salah satu tahap paling kritis, walaupun kemasan dapat menahan kontaminasi dari
luar, namun produk pangan yang sudah terlanjur terkontaminasi sebelum dan
selama proses pengemasan, tidak bisa dihilangkan tanpa adanya dekontaminasi;
misalnya proses sterilisasi dan pasteurisasi. Disamping itu, zat-zat dalam bahan
kemasan juga berpotensi mengontaminasi produk pangan yang ada didalamnya.
Secara garis besar, interaksi produk pangan dengan kemasannya meliputi antara
lain : (1). Migrasi komponen kemasan ke dalam pangan; (2). Permeabilitas gas
dan uap air melaui kemasan; (3). Penyerapan uap organik dari pangan ke bahan
kemasan; (4) Transfer interaktif akibat dari transmisi cahaya; dan (5). Flavor
scalping ( sorbtion ) yaitu proses penyerapan rasa, aroma atau zat pewarna dari
bahan pangan ke bahan kemasan. Interaksi ini terjadi karena adanya kontak
langsung antara bahan kemasan dengan produk pangan yang adanya di dalamnya.
Interaksi antara kemasan dan pangan yang dikemas ini menimbul kan
kekhawatiran adanya kemungkinan pengaruh kesehatan dalam jangka panjang
bagi seseorang yang mengkonsumensi zat-zat kimia tersebut (Anonim, 2006).
Fenomena interaksi antara kemasan dengan bahan pangan merupakan hal
penting, fenomena tersebut salah satunya adalah proses transfer atau migrasi
senyawa-senyawa yang berasal dari kemasan ke dalam produk pangan khususnya
kemasan yang berbahan dasar plastik, selain itu juga dapat terjadi pada kemasan
yang berbahan dasar logam, kaca, keramik, karet dan kertas (BPOM, 2005).
Migrasi senyawa-senyawa kimia dari bahan kemasan dapat memberikan
dampak terhadap keamanan dan kualitas makanan. Hal tersebut diakui dalam
kerangka petujuk atau arahan masyarakat eropa No 89/109/EEC, 2 artikel,
dimana pernyataan yang dikeluarkan diantaranya sebagai berikut : Bahan dan zat
harus dibuat dengan penerapan good manufacturing practice (GMP) sehingga,
dalam kondisi normal atau dapat diprediksi kondisi penggunaannya, bahan
tersebut tidak memindahkan bahan penyusunnya kedalam bahan pangan dalam
jumlah yang akan: membahayakan kesehatan manusia serta menyebabkan
perubahan yang tidak dapat diterima pada komposisi bahan pangan atau
perubahan karakter organoleptik (Castle, 2000).
Semua jenis bahan pengemasan memiliki pengaruh terhadap bahan pangan
yang dikemasnya. Pengaruh tersebut dapat berupa keuntungan yaitu dapat
melindungi bahan pangan yang memberikan peranan pertahanan, pengawetan,
menarik konsumen. Namun, pengaruhnya juga dapat mengakibatkan adanya
interksi antara komponen-komponen penyusun bahan pengemas dengan bahan
pangan yang dikemasnya seperti terjadinya proses migrasi. Adanya pengaruh,
proses interaksi, dan terjadinya migrasi pada jenis bahan pengemas terhadap
bahan pangan adalah sebagai berikut:
A. Bahan Pengemas Kayu
Kayu merupakan bahan pengemas tertua yang diketahui oleh manusia, dan
secara tradisionaldigunakan untuk mengemas berbagai macam produk pangan
padat dan cair seperti buah-buahan dan sayuran, teh, anggur, bir dan minuman
keras. Kayu adalah bahan baku dalam pembuatan palet, peti atau kotak kayu di
negara-negara yang mempunyai sumber kayu alam dalam jumlah banyak. Tetapi
saat ini penyediaan kayu untuk pembuatan kemasan juga banyak menimbulkan
masalah karena makin langkanya hutan penghasil kayu. Penggunaan kemasan
kayu baik berupa peti, tong kayu atau palet sangat umum di dalam transportasi
berbagai komoditas dalam perdagangan intrenasional. Pengiriman botol gelas di
dalam peti kayu dapat melindungi botol dari resiko pecah. Kemasan kayu
umumnya digunakan sebagai kemasan tersier untuk melindungi kemasan lain
yang ada di dalamnya.
a) Pengaruh Bahan Pengemas Kayu Terhadap Bahan Pangan yang
Dikemasnya
Kelebihan kemasan kayu adalah memberikan perlindungan mekanis
yang baik terhadap bahan yang dikemas, karakteristik tumpukan yang baik
dan mempunyai rasio kompresi daya tarik terhadap berat yang tinggi.
Penggunaan kemasan kayu untuk anggur dan minuman-minuman beralkohol
dapat meningkatkan mutu produk karena adanya transfer komponen aroma
dari kayu ke produk. Selain itu negara-negara pengimpor seperti Australia
juga meminta adanya sertifikat yang menyatakan kayu tersebut telah mendapat
perlakuan khusus untuk mencegah penyebaran penyakit kayu atau serangga,
misalnya perlakuan fumigasi atau perlakuan kimia lainnya.
Kelemahan dari penggunaan kayu sebagai kemasan adalah
ketidakcukupan pengetahuan akan teknik dasar seperti struktur kayu, metode
perakitan dan sebagainya. Hingga saat ini perakitan kemasan kayu masih
dilakukan dengan cara yang sederhana, dan jarang sekali dilakukan
pengamatan terhadap kandungan air kayu, rancang bangun/disain yang efisien,
pengikatan/ pelekatan tidak dengan jenis pengikat dan ukuran yang benar,
sehingga dihasilkan kemasan kayu dengan kekuatan yang rendah. Akibatnya
nilai ekonomis kemasan kayu menjadi rendah.
Peranan kemasan kayu di masa depan masih tetap baik terutama pada
aplikasi palet, dan merupakan salah satu alernatif penting disamping kertas
dan plastik. Hal ini disebabkan karena bahan baku kayu dan tenaga kerja yang
masih cukup tersedia. Penggunaan peti kayu untuk transportasi buah, sayur
dan ikan masih mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, sehingga
perlu dikembangkan pengetahuan akan pembuatan kemasan berbahan baku
kayu.
b) Interaksi Antara Komponen Penyusun Bahan Pengemas dengan
Bahan Pangan yang Dikemasnya
Jika kayu yang akan digunakan untuk kemasan atau akan diekspor
mempunyai kadar air yang tinggi, maka dapat diberikan perlakuan kimiawi
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya noda parit atau noda biru yang
disebabkan oleh jamur dan bermigrasi terhadap bahan yang dikemas tersebut.
Bahan kimia yang biasa digunakan adalah larutan garam berkonsentrasi
rendah seperti garam sodium dari pentachlorophenol (Na PCP), yang harganya
murah tetapi cukup efektif untuk mencegah noda. Penggunaan PCP sebagai
bahan anti noda diizinkan oleh Badan Kesehatan dan Keselamaan di Inggris,
dan juga sudah digunakan di negara-negara Skandinavia, USA, Asia Tenggara
dan Jepang. Penggunaan bahan kimia anti noda di negara lain adalah garam-
garam inorganik seperti borat dan copper atau komponen organik amonium.
Penggunaan kemasan kayu dalam pengiriman komoditi ekspor, harus
mendapatkan perlakuan khusus yang bertujuan untuk menghindari adanya
mikroorganisme pengganggu yang menyebabkan kontaminasi.
Kayu yang berwarna terang lebih baik dari kayu yang berwarna gelap,
karena kayu yang berwarna gelap biasanya banyak mengandung tanin, yang
jika berhubungan langsung dengan bahan yang dikemas akan mengurangi
kesegarannya. Kayu yang digunakan juga harus tanpa perlakuan kimiawi.
B. Bahan Pengemas Gelas, Kaca
Gelas terdiri dari oksida-oksida logam dan non logam. Bahan baku
pembuatan gelas adalah :
1. Pasir silika (SiO2)
2. Soda abu (Na2CO3) yang dengan pembakaran pada suhu tinggi akan
terbentuk Na2O sehingga gelas tampak jernih .
3. Batu kapur (CaO) yang berfungsi untuk memperkuat gelas.
4. Pecahan gelas (kaca) disebut cullet (calcin), untuk memudahkan proses
peleburan. Cullet kadang-kadang ditambahkan dengan persentase 15-
20%. Al2O3 dan boraksida (B2O3), titanium dan zirconium untuk
meningkatkan ketahanan dan kekerasan gelas.
5. Borax oksida pada gelas boroksilikat seperti pyrex berfungsi agar gelas
lebih tahan pada suhu tinggi.
6. Na2SO4 atau As2O3 untuk menghaluskan dan menjernihkan.
Senyawa-senyawa kimia ini dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:
1. Bahan pembentuk gelas (glass former) yang mempunyai sifat membentuk
gelas.
2. Bahan antara (Intermediate) yang mempunyai sifat pembentuk gelas,
tetapi tidak mutlak.
3. Bahan pelengkap (modifier) yang tidak mempunyai sifat membentuk
gelas.
Pasir silika tanpa bahan lain dapat dibuat menjadi wadah gelas tapi tidak
praktis karena untuk peleburannya diperlukan suhu 1760-1870oC. Penambahan
soda abu akan menurunkan suhu peleburan pada keadaan yang mudah
dipraktekkan yaitu 1426-1538oC, sehingga soda abu disebut juga FLUXING
AGENT. Untuk membuat agar kemasan gelas bersifat inert dan netral maka gelas
dicelupkan dalam larutan asam. Untuk melindungi permukaan kemasan gelas
maka diberi laminasi silikon polietilen glikol atau polietilen stearat.
a) Pengaruh Bahan Pengemas Gelas Kaca Terhadap Bahan Pangan
Kelebihan gelas dapat dilihat dari sifat-sifatnya yaitu :
1. Sifat Kedap Gas dan Pelapisan Gelas : Wadah gelas kedap terhadap semua
gas sehingga menguntungkan bagi sediaan berkarbonasi seperti saturasi
karena kecepatan difusinya sama dengan 0. Wadah gelas barrier terhadap
benda padat, cair dan gas sehingga baik sebagai pelindung terhadap
kontaminasi bau dan cita rasa. Sifat-sifat ketahanan gelas dapat diawetkan
dengan cara memberi lapisan yang tidak bereaksi dengan gelas, misalnya
minyak silikon, oksida logam, lilin. Resin, belerang, polietilen.
2. Sifat Tahan Panas : Gelas bukan benda padat, tapi benda cair dengan
kekentalan yang sangat tinggi dan bersifat termoplastis. Sifat fluida gelas
bervariasi menurut suhu. Titik lebur dan titik beku tidak diketahui, dan ini
merupakan keadaan kaca. Gelas jenis pyrex tahan terhadap suhu tinggi.
Umumnya perbedaan antara suhu bagian luar dan bagian dalam gelas tidak
boleh lebih dari 27oC, sehingga pemanasan botol harus dilakukan
perlahan-lahan. Konduktivitas panas gelas 30 kali lebih kecil dari pada
konduktivitas panas besi. Tidak ada penyimpangan produk secara kimia,
karena kemasan botol gelas bersifat inert, yaitu tidak bereaksi dengan
senyawa,, makanan, obat yang ada di dalamnya sehingga tahan lama tanpa
merusak produk (Adawiyah, 2002).
3. Sifat Mekanis : Walaupun mudah pecah tetapi gelas mempunyai kekuatan
mekanik yang tinggi. Wadah gelas lebih tahan terhadap kompresi dari
dalam dibandingkan tekanan dari luar. Sifat seperti ini penting untuk
pembotolan minuman berkarbonasi. Daya tahan gelas dapat mencapai 1,5
x 105 kg/cm2. Daya tahan ini dipengaruhi oleh komposisi, ketebalan dan
bentuk dari wadah gelas.
Kelemahan kemasan gelas yaitu: berat sehingga biaya transportasi
mahal, resistensi terhadap pecah dan mempunyai thermal shock yang rendah,
dimensinya bervariasi, berpotensi menimbulkan bahaya yaitu dari pecahan
kaca
Penyimpangan dari kemasan gelas atau kaca tidak berbahaya seperti
plastik, akan tetapi yang paling ditakutkan penggunaan kemasan gelas atau
kaca adalah terdapatnya pecahan kaca pada bahan pangan yang dikemas. Botol
gelas bisa digunakan beberapa kali untuk pengemasan sehingga pada tahap
pencucian atau sterilisasi sangatlah berpengaruh terhadap bahan pangan yang
dikemas. Apabila pencucian dan sterilisasi tidak dilakukan dengan sempurna
atau benar maka bisa terdapat mikroorganisme yang tidak di inginkan atau
bahkan dapat menimbulkan toksit.
Hal yang paling penting lainnya dalam penggunaan kemasan gelas atau
kaca adalah penutupan botol misalnya pada kemasan botol gelas atau kaca.
Pengisian minuman pada botol masih disisakan udara tujuannya agar tidak
terjadi penggembungan dan masih ada ruang ketika sterilisasi.
b) Interaksi Antara Komponen-Komponen Penyusun Bahan Pengemas
dengan Bahan Pangan yang Dikemas
Tidak ada penyimpangan produk secara kimia, karena kemasan botol
gelas bersifat inert, yaitu tidak bereaksi dengan senyawa, makanan, obat yang
ada di dalamnya sehingga tahan lama tanpa merusak produk (Adawiyah, 2002).
Kemasan gelas dicelupkan dalam larutan asam dengan tujuan agar kemasan
gelas bersifat inert dan netral terhadap bahan pangan.
C. Bahan Pengemas Logam (Kaleng, alumunium)
Kemasan logam sudah lama dikenal oleh masyarakat. Sebagian besar
produk yang dikemas di dalamnya berupa produk pangan olahan atau produk
yang diawetkan. Dimana hal ini sejalan dengan sifat bahan kemasan logam yang
relatif tahan terhadap kerusakan fisik baik selama distribusi maupun selama
penyimpanan, sehingga produk yang dikemas dapat tahan lama dibandingkan
dikemas dengan bahan kemasan lain. (Griffin, 1985).
a) Pengaruh Bahan Pengemas Kaleng dan Alumunium Terhadap Bahan
Pangan
Kaleng (tin plate) adalah suatu wadah yang dibuat dari baja dan dilapisi
timah putih (Sn) tipis dengan kadar tidak lebih dari 1,00-1,25 persen dari berat
kaleng. Lapisan ini seringkali dilapisi lagi oleh lapisan non metal yaitu untuk
mencegah reaksi dengan makanan di dalamnya (Winarno, 1980).
Keuntungan bahan kemasan kaleng adalah dapat dipanaskan untuk
sterilisasi dan cepat dingin, fisik kuat tanpa berat ekstra, serta kedap sinar,
udara dan air, kedap cahaya dan tahan terhadap suhu. Kelemahannya yaitu
kaleng tidak lembam terhadap bahan kimia dan bisa bereaksi dengan
lingkungan serta isinya, dan beberapa produk makanan serta minuman sangat
sensitif kehilangan rasa disebabkan oleh terbukanya kaleng logam (Setyowati,
2000).
Menurut Ellis (1979), penggunaan kaleng sebagai kemasan mempunyai
beberapa keuntungan, yaitu :
1. Dalam kaleng yang tertutup rapat, produk pangan terhindar dari
kontaminasi oleh organisme, serangga atau benda asing lainnya.
2. Dapat mencegah kehilangan kadar air
3. Dapat melindungi dari absorpsi oksigen, gas lain, dan bau.
4. Melindungi dari cahaya, untuk isian yang peka terhadap cahaya.
Beberapa keuntungan lain dari emasan kaleng untuk makanan dan
minuman yaitu mempunyai kekuatan mekanik yang tinggi, mempunyai sifat
sebagai barrier yang baik khususnya terhadap gas, uap air, jasad renik, debu
dan kotoran sehingga cocok untuk kemasan hermetic (Syarief, 1989). Kaleng
secara umum digunakan sebagai kemasan hermetis, maksudnya wadah
tersebut secara sempurna tidak dapat dilalui oleh gas, udara, maupun uap air
(Hariyadi et al, 2000).
Berdasarkan komposisinya kaleng dibagi menjadi 3 tipe yaitu: Kaleng
Tipe L = Low Metalloids adalah kaleng yang mempunyai daya korosif rendah,
sehingga dapat digunakan untuk makanan yang berasam tingi. Kaleng tipe
MR (Medium Residual) dan tipe MC (Medium Metalloids Cold Reduces)
adalah kaleng yang mempunyai daya korosif rendah sehingga digunakan
untuk makanan berasam rendah. Kaleng dengan lapisan timah yang tebal
digunakan untuk makanan dengan daya korosif yang tinggi. Kemasan plat
timah mempunyai daya tahan terhadap karat yang rendah, tetapi daya
tahannya terhadap reaksi-reaksi dengan bahan pangan yang dikemasnya lebih
lambat dibanding baja. Kaleng dengan lapisan timah yang tebal digunakan
untuk mengalengkan bahan makanan yang mempunyai daya korosif lebih
tinggi.
Kelebihan dari tin plate adalah mengkilap, kuat, tahan karat dan dapat
disolder. Tetapi kekurangannya adalah terjadi penyimpangan warna
permukaan tin plate karena bereaksi dengan makanan yang mengandung
sulfur, yang disebut dengan sulphur staining/feathering (terbentuknya noda
sulfur pada permukaan tin plate). Kekurangan ini dapat diatasi dengan proses
lacquering dan pasivitasi yaitu melapisi tin plate dengan lapisan krom setebal
1-2 mg/m2. Proses lacquering dan pasivitasi dapat memperpanjang daya
simpan tin plate dan mencegah terjadinya sulphur staining.
Masalah dalam penggunaan kemasan plast timah (tin plate)
sebagai bahan kemasan pangan adalah terjadinya migrasi (perpindahan)
logam berat yaitu Pb dan Sn dari kaleng ke makanan yang dikemas. Batas
maksimum Sn yang diperbolehkan dalam bahan pangan adalah 200 mg/kg
makanan.
Interaksi antara bahan pangan dengan kemasan ini dapat
menimbulkan korosi yang menghasilkan warna serta flavor yang tidak
diinginkan, misalnya :
1. Terbentuknya warna hitam yang disebabkan oleh reaksi antara besi atau
timah dengan sulfida pada makanan berasam rendah (berprotein tingg).
2. Pemucatan pigmen merah dari sayuran/buah-buahan seperti bit atau
anggur karena reaksi dengan baja, timah atau aluminium.
Untuk mencegah terjadinya korosi ini maka kaleng lapisan enamel.
Jenis-jenis lapisan enamel yang digunakan adalah :
1. Epoksi-fenolik, merupakan pelapis yang banyak digunakan, bersifat tahan
asam serta mempunyai resistensi dan fleksibilitas terhadap panas yang
baik. Digunakan untuk pengalengan ikan, daging, buah, pasta dan produk
sayuran. Pada pelapisan dengan epoksi fenolik juga dapat ditambahkan
zink oksida atau logam aluminium bubuk untuk mencegah sulphur
staining pada produk daging, ikan dan sayuran.
2. Komponen Vinil, yang mempunyai daya adhesi dan fleksibilitas
tinggi, tahan terhadap asam dan basa, tapi tidak tahan terhadap suhu
tinggi pada proses sterilisasi. Digunakan untuk produk bir, juice buah
dan minuman berkarbonasi.
3. Phenolic lacquers, merupakan pelapis yang tahan asam dan komponen
sulfida, digunakan untuk kaleng kemasan pada produk daging, ikan,
buah, sop dan sayuran.
4. Butadiene lacquers, dapat mencegah kehilangan warna dan mempunyai
resistensi terhadap panas yang tinggi. Digunakan untuk bir dan minuman
ringan.
5. Acrylic lacquers, merupakan pelapis yang berwarna putih, digunakan
sebagai pelapis internal dan eksternal pada produk buah. Pelapis ini lebih
mahal dibanding pelapis lainnya dan dapat menimbulkan masalah pada
beberapa produk.
6. Epoxy amine lacquers, adalah pelapis yang mempunyai daya adhesi yang
baik, tahan terhadap panas dan abrasi, fleksibel dan tidak menimbulkan
off-flavor, tetapi harganya mahal. Digunakan untuk bir, minuman ringan,
produk hasil ternak, ikan dan daging.
7. Alkyd lacquers, adalah pelapis yang murah dan digunakan sebagai pelapis
luar, tidak digunakan sebagai pelapis dalam karena dapat menimbulkan
masalah off-flavor.
8. Oleoresinous lacquers, digunakan untuk berbagai tujuan, harganya murah,
pelapis dengan warna keemasan. Digunakan untuk bir, minuman sari buah
dan sayuran. Pelapis ini dapat digabung dengan zink oksida (C’enamel)
yang digunakan untuk kacang-kacangan, sayur, sop, daging dan bahan
pangan lain yang mengandung sulfur.
Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai
sifat ketahanan korosi yang baik. Alumunium dengan adanya
udara akan membentuk alumunium-oksida yang merupakan
lapisan film yang tahan terhadap korosi dari atmosfer. Jika
alumunium digunakan untuk wadah maka bagian sebelah
dalam akan kurang mendapat oksigen sehingga alumunium-
oksida juga berkurang atau lama kelamaan akan habis,
sehingga alumunium tidak akan tahan lagi terhadap korosi.
Oleh karena itu bagian dalam dari wadah alumunium
harus dilapisi enamel. Pelapisan atau ”coating” tidak hanya
melapisi metal dari korosi, tetapi juga mencegah kontak
antara makanan dengan logam yang dapat menghasilkan
warna atau cita rasa yang tidak diinginkan (Winarno et al.,
1980).
Ketebalan alumunium foil menentukan sifat
protektifnya. Alumunium foil dengan ketebalan rendah masih
dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alumunium foil yang
lebih tipis dapat diperbaharui dengan memberi lapisan plastik
atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-
plastik. Teknik pengemasan dengan cara mengkombinasikan
berbagai jenis kemasan bentuk (fleksibel) telah menghasilkan
suatu bentuk yang disebut ”retort pouch”. Jenis kemasan ini
memiliki keunggulan sebagai berikut : daya simpan tinggi,
teknik penutupan mudah, kuat, tidak mudah sobek atau
tertusuk, dan tahan terhadap proses sterilisasi. Sebagai
contoh kemas bentuk retort pouch terdiri dari
poliesteradhesif-alumunium foil-adhesif-polipropilen (Syarief
et al., 1989).
b) Interaksi Penyusun-Penyusun Pengemas Logam dengan Pangan yang
Dikemasnya
Interaksi antara penyusun kemasan dengan bahan pangan yang dikemas
dapat mengakibatkan kerusakan pada makanan kaleng. Kerusakan yang dapat
terjadi pada bahan pangan yang dikemas dengan kemasan kaleng terutama
dalah kerusakan kimia, meski demikian kerusakan biologis juga dapat terjadi.
Kerusakan kimia yang paling banyak terjadi pada makanan yang dikemas
dengan kemasan kaleng adalah hydrogen swell . Kerusakan lainnya adalah
interaksi antara bahan pembuat kaleng yaitu Sn dan Fe dengan makanan yang
dapat menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan, kerusakan
mikrobiologis dan perkaratan (korosi).
1. Hydrogen swell
Hidrogen swell terjadi karena adanya tekanan gas hidrogen yang
dihasilkan dari reaksi antara asam pada makanan dengan logam pada kaleng
kemasan. Hydrogen swell disebabkan oleh: meningkatnya keasaman bahan
pangan, meningkatnya suhu penyimpanan, ketidaksempurnaan pelapisan
bagian dalam dari kaleng, proses exhausting yang tidak sempurna, terdapatnya
komponen terlarut dari sulfur dan pospat.
2. Interaksi antara bahan dasar kaleng dengan makanan
Kerusakan makanan kaleng akibat interaksi antara logam pembuat
kaleng dengan makanan dapat berupa: perubahan warna dari bagian dalam
kaleng, perubahan warna pada makanan yang dikemas, off-flavor pada
makanan yang dikemas, kekeruhan pada sirup, perkaratan atau terbentuknya
lubang pada logam, kehilangan zat gizi
3. Kerusakan biologis
Kerusakan biologis pada makanan kaleng dapat disebabkan oleh:
meningkatnya resistensi mikroba terhadap panas setelah proses sterilisasi,
rusaknya kaleng setelah proses sterilisasi sehingga memungkinkan
masuknya mikroorganisme ke dalam kaleng. Kerusakan kaleng yang
memungkinkan masuknya mikroorganisma adalah kerusakan pada bagian
sambungan kaleng atau terjadinya gesekan pada saat proses pengisian (filling).
Mikroorganisme juga dapat masuk pada saat pengisian apabila kaleng yang
digunakan sudah terkontaminasi terutama jika kaleng tersebut dalam keadaan
basah. Kerusakan juga dapat disebabkan karena kaleng kehilangan kondisi
vakumnya sehingga mikroorganisme dapat tumbuh.
4. Perkaratan (Korosi)
Perkaratan adalah pembentukan lapisan longgar dari peroksida yang
berwarna merah coklat sebagai hasil proses korosi produk pada
permukaan dalam kaleng. Pembentukan karat memerlukan banyak oksigen,
sehingga karat biasanya terjadi pada bagian head space dari kaleng. Proses
korosi jika terus berlangsung dapat menyebabkan terbentuknya lubang dan
kebocoran pada kaleng. Beberapa faktor yang menentukan terbentuknya karat
pada kemasan kaleng adalah : sifat bahan pangan, terutama pH, adanya faktor-
faktor pemicu, misalnya nitrat, belerang dan zat warna antosianin, banyaknya
sisa oksigen dalam bahan pangan khususnya pada bagian atas kaleng (head
space), yang sangat ditentukan pada saat proses blanching, pengisian dan
Exhausting, faktor yang berasal dari bahan kemasan, misalnya berat lapisan
timah, jenis dan komposisi lapisan baja dasar, efektivitas perlakuan
permukaan, jenis lapisan dan lain-lain, suhu dan waktu penyimpanan, serta
kebersihan ruang penyimpanan. Perkaratan pada kemasan kaleng ini dapat
menyebabkan terjadinya migrasi Sn ke dalam makanan yang dikemas.
Menurut Syarief et al. (1989), berbagai makanan yang
dibungkus dengan alumunium foil menunjukkan bahwa
produk-produk makanan tersebut cukup baik dan tahan
terhadap alumunium dengan resiko pengkaratan yang kecil.
Reaksi-reaksi yang ditemukan sesungguhnya adalah
reaksi kimia yang tidak berakibat fatal, tetapi jika dibungkus
dengan alufo yang bersentuhan dengan logam-logam lain
(baja, plat timah, perak) maka akan terjadi reaksi elektrokimia
atau galvanis dengan alumunium sebagai anoda. Kemasan
alumunium untuk produk susu biasanya memerlukan lapisan
pelindung. Laminasi alumunium pada pengemasan keju
terutama untuk mencegah pengurangan air, menjaga
penampakan, pelindung dari jasad renik dan juga mencegah
masuknya oksigen.
Kesesuaian aluminium untuk kemasan pangan adalah
sebaga berikut:
1. Produk buah-buahan dan sayur-sayuran,
a. Dapat menyebabkan terbentuknya karat dan
penggembungan pada kemasan Al yang tidak dilapisi.
b. Dapat menyebabkan perubahan warna buah-buahan dan
sayur, tetapi dapat diatasi dengan penambahan vit. C
c. Produk saus apel, jam dan jeli tidak begitu menimbulkan
karat dibandingkan pengemasan dengan kaleng
d. Penggunaan wadah Al dengan enamel dapat mengurangi
pengkaratan sangat nyata, pelapisan enamel tahan
terhadap tekanan fisik selama proses pemanasan, tetapi
tidak dapat menahan perubahan warna dan aroma
produk
e. Jenis-jenis enamel yang digunakan untuk produk buah-
buahan dan sayur-sayuran adalah : penolik, penolik-
oleoresin, epoksi dimodifikasi
2. Produk daging
a. tidak menyebabkan perubahan warna pada daging
b. penambahan gelatin pada produk daging (berkadar gram
tinggi dan mengandung bumbu-bumbu) dapat
mengurangi terbentuknya karat pada wadah kaleng,
tetapi pada wadah aluminium ini tidak diperlukan
3. Ikan dan kerang-kerangan
a. tidak menyebabkan terbentuknya karat
b. tidak terjadi perubahan warna
4. Produk susu
a. kemasan aluminium untuk susu biasanya diperlukan
lapisan pelindung, terutama untuk susu kental tidak
manis
b. kemasan alufo berperan dalam memberikan sifat opak
dalam pengemasan mentega dan berfungsi sebagai
sekat lintasan bagi cahaya dan oksigen sehingga dapat
menghindari ketengikan
c. laminasi aluminium pada pengemasan keju, terutama
untuk mencegah pengurangan air, menjaga
penampakan, pelindung dari jasad renik dan mencegah
masuknya oksigen
5. Minuman
a. untuk bir yang dikemas dengan aluminium peningkatan
kadar besi selama penyimpanan dalam minuman dapat
diperlambat, sedangkan yang dikemas dalam kaleng
peningkatannya sangat cepat
b. kaleng aluminium yang dilapisi ekposi vinil untuk
pengemasan minuman kola dan lemon, tidak terjadi
perubahan flavor dan penampakan setelah produk
disimpan 6 bulan.
c) Terjadinya Proses Migrasi Sn Pada Kemasan Logam Terhadap
Makanan Yang Dikemas
Timah putih (Sn) baik dalam bentuk alloy maupun murni, sudah sejak
lama dikenal sebagai logam yang aman digunakan untuk menyiapkan dan
mengemas makanan. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang tahan korosi dan
daya racunnya kecil. Pada saat ini lebih dari 50% produksi Sn di dunia dipakai
untuk melapisi kaleng dalam pembuatan tin plate yang penggunaan utamanya
untuk mengemas makanan.
Logam Sn dan Fe yang merupakan logam dasar pembuat kemasan
termasuk ke dalam golongan logam berat, sehingga jika produk pangan
kalengan terkontaminasi oleh logam ini dan makanan itu dikonsumsi oleh
manusia dapat menimbulkan keracunan. Hal ini disebabkan toksikan dari
logam berat mempunyai kemampuan untuk berfungsi sebagai kofaktor enzim,
akibatnya enzim tidak dapat berfungsi sebagaimana biasanya sehingga reaksi
metabolisme terhambat.
Secara alami biji-bijian, sayuran dan daging mengandung Sn sekitar 1
mg/kg. Timah putih (Sn) merupakan logam yan tidak beracun (mikronutrien
yang esensial untuk tubuh). Menurut CODEX, batas maksimum Sn di dalam
makanan adalah 250 mg/kg. Jumlah Sn yang dikonsumsi melalui makanan
tergantung dari pola makan seseorang. Dosis racun Sn untuk manusia adalah 5-
7 mg/kg berat badan. Keracunan Sn ditandai dengan mual-mual, muntah dan
pada kadar keracunan yang tinggi dapat menyebabkan kematian, tetapi jarang
ditemukan adanya kasus keracunan Sn yang serius.
Konsumsi Sn dalam jumlah sedikit pada waktu yang panjang juga
tidak menimbulkan efek keracunan (Reilly, 1990 di dalam Herman, 1990).
Kontaminasi Sn ke dalam makanan dapat berasal dari peralatan pengolahan
atau dari bahan pengemas. Untuk memperkecil larutnya Sn ke dalam bahan
makanan maka digunakan enamel sebagai pelapis kaleng.
Bahan-bahan makanan yang mendapat perhatian khusus terhadap
kontaminasi Sn adalah sayuran, buah-buahan (nenas, tomat, jamur, asparagus
dan buah-buahan berwarna putih) yang umumnya dikalengkan dalam kemasan
kaleng tin plate tanpa enamel. Hal ini disebabkan karena kontaminasi Sn dapat
menurunkan penampilan produk yaitu perubahan warna menjadil lebih gelap.
Kandungan Sn dalam fraksi padatan dan fraksi cairan dari makanan kalen
umumnya berbeda. Fraksi padatan pada umumnya mengandung Sn lebih tinggi
dibandingkan fraksi cairan, yang kemungkinan disebabkan adanya komponen
kimia tertentu dalam fraksi padatan yang dapat mengikat Sn.
Untuk komoditi yang terdiri dari fraksi padatan yang dicampur dengan
fraksi cairan seperti buah dalam kaleng yang diberi sirup gula, maka penetapan
kadar Sn dilakukan setelah kedua fraksi dicampur secara merata. Tetapi
jika komoditi tersebut yang dikonsumsi hanya fraksi padatannya saja
seperi jamur di dalam kaleng, maka penetapan kadar Sn dilakukan hanya
terhadap fraksi padatan saja.
D. Bahan Pengemas Kertas, Kotak
a) Pengaruh Bahan Kemasan Kertas Terhadap Bahan Pangan
Pengaruh kemasan kertas terhadap bahan pangan yang dikemasnya
adalah akan terjadi perubahan warna pengaruh tersebut diakibatkan karena
bahan pengemas. Pengaruh yang lainnya adalah terjadinya penurunan berat
bahan dari semula hal tersebut terjadi karena terjadi pelepasan uap air sebagai
tanda penyesuaian diri terhadap lingkungan. Selain itu terjadi aroma bahan
semakin berkurang, hal tersebut terjadi karena disebabkan oleh menguapnya
aroma bahan pangan tersebut menuju lingkungan.
b) Interaksi Komponen Kemasan Kertas Terhadap Bahan Yang
Dikemas
Interaksi komponen kertas terhadap bahan pangan yang dikemasnya
adalah salah satunya penggunaan kemasan kertass yang bertinta sebagai
pengemas pangan adalah adanya kontaminasi mikroorganisme, sehingga
dapat merusak produk pangan dan menimbulkan penyakit. Apabila kertas yang
mengandung tinta digunakan untuk membungkus produk pangan yang
berminyak seperti gorengan, maka minyak dalam keadaan panas dapat
melarutkan timbal (Pb) yang terkandung pada tinta dan bermigrasi ke produk
pangan. Mengkonsumsi produk pangan yang terkontaminasi timbal dapat
membahayakan kesehatan, karena dapat menyebabkan keracunan akut yang
ditandai dengan munculnya rasa haus dan rasa logam. Gejala lain yang dapat
muncul adalah sembelit, kram perut, mual, muntah, kolik, dan tinja berwarna
hitam, dapat pula disertai dengan diare atau konstipasi.
Terhadap susunan saraf pusat, timbal anorganik dapat menyebabkan
paraestesia, nyeri dan kelemahan otot, anemia berat dan hemoglobinuria akibat
hemolisis. Selain itu keracunan timbal berat, dapat pula menimbulkan
kerusakan ginjal, gagal ginjal akut, dan kematian yang terjadi dalam 1-2 hari.
Apabila keracunan akut teratasi, umumnya akan terlihat gejala keracunan Pb
kronik. Terpapar timbal kronik diketahui bersifat neurotoksik (menyerang
saraf) dan akumulatif, bahkan dapat menyebabkan kanker, gangguan fungsi
ginjal (nefrotoksik), sistem hemopoietik, saluran pencernaan, pada laki-laki
dapat menyebabkan penurunan kualitas sperma sehingga dapat menyebabkan
kemandulan, menurunkan fertilitas, dan berpotensi menurunkan kecerdasan
(IQ) pada anak - anak.
Kertas bertinta yang diputihkan dengan cara menambahkan klor
(chlorine), bila terkena suhu tinggi akan menghasilkan dioksin yaitu suatu
senyawa racun yang berbahaya bagi kesehatan karena bersifat karsinogenik
(menyebabkan kanker). Pada konsentrasi yang tinggi dioksin dapat
menyebabkan penyakit kulit chloracne (jerawat yang parah disertai dengan
erupsi kulit dan kista). Selain itu dioksin juga dapat menyebabkan penurunan
hormon reproduksi pria hingga 50% dan menyebabkan kanker prostat dan
kanker testis. Sedangkan pada wanita, dioksin dapat menyebabkan kanker
payudara dan endometriosis, yakni jaringan selaput lendir rahim yang tumbuh
di luar rongga rahim.
c) Migrasi Kemasan Kertas ke Dalam Bahan Pangan
Struktur dasar bubur kertas (pulp) dan kertas adalah felted mat dari
serat selulosa. Komponen lain meliputi hemiselulosa (15-90 unit glukosa
berulang), lignin (unit fenil propan terpolimerisasi kompleks, berada sebagai
lem yang melengketkan serat–serat), bahan bahan terekstrak (lemak, lilin,
alkohol, fenol, asam aromatis, minyak esensial, oleoresin, stereol, alkaloid dan
pigmen), mineral dan isi lainnya. Dalam proses pembuatan kertas, terkadang
digunakan senyawa klor sebagai bahan pemutih. Selain itu, kemasan dari kertas
dan karton seringkali diberi aditif seperti adhesive, alumunium, pewarna atau
bahan pelapis yang dapat mengandung bahan berbahaya (BPOM, 2005).
Belum banyak studi yang dilakukan, namun beberapa studi menyatakan
bahwa migrasi dari kemasan dan karton dapat terjadi. Sebagian besar migrant
yang terdeteksi berasal dari tinta printer atau adhesive yang digunakan dalam
pembuatan bahan kemasan. Pengecualian untuk Diisopropylnaphthalenes
(DIPNs) karena walau digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan tinta cetak,
juga digunakan secara luas dalam kertas kopi non-karbon dan kertas termal.
Risiko kontaminasi makanan dari tinta cetak dalam kemasan
berhubungan dengan hanya terjadi kontak tidak langsung dua mekanisme :
Perpindahan melalui bahan kemasan dan fenomena set-off. Fenomena set-off
berarti komponen tinta cetak berpindah dari permukaan yang dicetak ke
permukaan yang tidak dicetak melalui kontak langsung selama pembuatan
bahan, penyimpanan atau penggunaan. Fenomena tersebut umumnya
melibatkan bahan lainselain pewarna, dan karena itu tidak dapat terlihat.
Penggunaan bahan daur ulang seperti serat dari kertas daur ulang dapat
mengakibatkan adanya kontak langsung antara komponen tinta dan makanan,
setidaknya jalur paparan menjadi lebih pendek.
Berdasarkan faktor penyebab migrasi yaitu luas permukaan kemasan
dan jenis kemasan maka dilakukan penelitian untuk pengujian migrasi dari
permukaan lapisan kemasan makanan yang menggunakan paperboard yang
didaur ulang terhadap pengganti makanan berlemak (Miguel et al., 1997).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi adalah:
1. Luas permukaan yang berkontak
Tingkat kontak bahan pengemas dengan bahan pangan sangat penting.
Contohnya katup kecil yang digunakan dalam mesin pengolah pangan yang
besar akan kurang penting dibandingkan dengan film yang digunakan dalam
jumlah besar untuk mengemas makanan retail. Hal yang sama ditemui pada
sebuah sarung tangan atau conveyor yang digunakan dalam waktu singkat
untuk menangani berton-ton makanan dalam pabrik memiliki kemungkinan
migrasi bahan kimia yang lebih rendah dibanding dengan kaleng berpernish
atau botol plastik yang akan kontak dengan isinya selama berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Kemampuan bahan pengemas harus jelas.
2. Temperatur Kontak
Migrasi bahan kimia dipercepat dengan panas, sehingga migrasi akan
lebih tinggi bila suhu ditingkatkan. Bahan yang berbeda harusnya digunakan
dalam kondisi yang berbeda. Antara lain pada suhu beku; suhu kulkas; suhu
ruang; pendidihan; sterilisasi; microwave dan pemanggangan. Bahan yang
cocok untuk satu kondisi, mungkin tidak cocok untuk bahan lainnya dan sering
kali menjadi jebakan bagi pengguna.Bahan yang diperuntukan cocok untuk
makanan disebut dengan ”food grade” hanya cocok untuk kondisi tertentu
harus dijelaskan oleh penjual dan harus dimengerti oleh pengguna (Castle,
2000).
3. Lama Kontak
Bahan yang cocok untuk penggunaan dalam waktu singkat mungkin
tidak cocok untuk penggunaan dalam waktu yang lebih lama.
Migrasi dapat meningkat apabila meningkatnya waktu kontak
meningkatnya suhu kontak; jumlah additif yang lebih banyak dalam bahan
kemasan; tingkat kontak; dan tingkatagresifitas makanan. Migrasi juga dapat
berkurang apabila : additif pada bahan kemasan memiliki berat molekul yang
besar; hanya terjadi kontak tidak langsung; bahan kemasan yang memiliki laju
difusi rendah (innert); adanya barrieryang inert (Castle, 2000).
E. Bahan Pengemas Plastik
Plastik adalah campuran yang mengandung polimer, filler,
pemlastis/plasticizer, pengawet/retard, nyala, antioksidan, lubrikan,
penstabil/stabilizer panas dan pigmen warna. Jenis polimer yang banyak
digunakan adalah polietilen, polipropilen, polivinil klorida dan polistirina.
a. Pengaruh Bahan Kemasan Plastik Terhadap Bahan Pangan
Berbagai jenis bahan kemasan lemas seperti misalnya polietilen,
polipropilen, nilon poliester dan film vinil dapat digunakan secara tunggal
untuk membungkus makanan atau dalam bentuk lapisan dengan bahan lain
yang direkatkan bersama. Kombinasi ini disebut laminasi. Sifat-sifat yang
dihasilkan oleh kemasan laminasi dua atau lebih film dapat memiliki sifat
yang unik. Contohnya kemasan yang terdiri dari lapisan
kertas/polietilen/aluminium foil/polipropilen baik sekali untuk kemasan
makanan kering. Lapisan luar yang terdiri dari kertas berfungsi untuk cetakan
permukaan yang ekonomis dan murah. Polietilen berfungsi sebagai perekat
antara aluminium foil dengan kertas, sedangkan polietilen bagian dalam
mampu memberikan kekuatan dan kemampuan untuk direkat atau ditutupi
dengan panas. Dengan konsep laminasi, masing-masing lapisan saling
menutupi kekurangannya menghasilkan lembar kemasan yang bermutu tinggi.
Kemasan plastik banyak digunakan untuk mengemas bahan makanan.
Misalnya untuk mengemas buah-buahan, sayuran segar, roti dan makanan
beku. Pengaruh penggunaan plastik selain untuk mengemas bahan pangan
adalah merupakan kemasan paling praktis, banyak dijumpai, banyak
digunakan, mampu menjaga kesegaran bahan pangan, mampu
mempertahankan mutu bahan pangan, menunda oksidasi bahan pangan.
Pemilihan penggunaan plastik juga dipengaruhi dari bahan pangan yang
dikemas, misalnya roti tawar, sangat membutuhkan perlindungan terhadap
kelembaban, karena itu kemasan yang memiliki barier terhadap uap seperti
LDPE sudah cukup baik serta produk susu membutuhkan persyaratan yang
lebih ketat sehingga perlu PE dengan densitas tinggi.
b. Interaksi Komponen Penyusun Kemasan Plastik Terhadap Bahan
Pangan
Plastik berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-
sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang sengaja ditambahkan itu
disebut komponen non plastik, diantaranya berfungsi sebagai pewarna,
antioksidan, penyerap cahaya ultraviolet, penstabil panas, penurun viskositas,
penyerap asam, pengurai peroksida, pelumas, peliat, dan lain-lain (Crompton,
1979).
Selama proses pengemasan dan penyimpanan makanan, kemungkinan
terjadi migrasi (pemindahan) bahan plastik pengemas dari bungkus ke
makanan yang dikemas sehingga formulasi plastik akan terus berkembang.
Bahan yang berpindah dapat berupa residu polimer (monomer), katalis
maupun aditive lain seperti filler, stabilizer, plasticizer dan flalameretardant
serta pewarna. Aditive ini pada umumnya bersifat racun, terikat secara kimia
atau fisika pada polimer dalam bentuk asli atau modifikasi.
c. Migrasi Kemasan Plastik Terhadap Bahan Pangan yang Dikemasnya
Migrasi merupakan perpindahan bahan kimia baik itu polimer,
monomer, ataupun katalisator kemasan (contoh formalin dari kemasan/wadah
melamin) kedalam pangan. Migrasi bahan kimia tersebut memberikan dampak
berupa penurunan kualitas pangan dan keamanan pangan, juga menimbulkan
efek terhadap kesehatan. Jumlah senyawa termigrasi pada umumnya tidak
diketahui secara pasti, tetapi dapat berpengaruh fatal terutama pada jangka
panjang (bersifat kumulatif dan karsinogenik). Faktor yang mempengaruhi
migrasi adalah jenis serta konsentrasi bahan kimia yang terkandung, sifat dan
komposisi pangan, suhu dan lama kontak serta kualitas bahan kemasan (jika
bahan bersifat inert atau tidak mudah bereaksi maka potensi migrasinya kecil
dan demikian pula sebaliknya).
Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi adalah :
1. Luas permukaan yang berkontak,
2. Kecepatan migrasi,
3. Jenis bahan plastik,
4. Temperatur dan waktu kontak.
Migrasi monomer plastik terjadi karena dipengaruhi oleh suhu
makanan atau penyimpanan dan proses pengolahannya. Semakin tinggi suhu
tersebut, semakin banyak monomer yang dapat bermigrasi ke dalam makanan.
Semakin lama kontak antara makanan tersebut dengan kemasan plastik,
jumlah monomer yang bermigrasi dapat makin tinggi.
Monomer yang perlu diwaspadai yaitu vinil klorida, akrilonitril,
metacrylonitil, vinylidene klorida serta styrene. Monomer vinil klorida dan
akrilonitril cukup tinggi potensinya untuk menimbulkan kanker pada manusia.
Vinil klorida dapat bereaksi dengan guanin dan sitosin pada DNA sedangkan
akrilonitril bereaksi dengan adenin. Vinil asetat telah terbukti menimbulkan
kanker tiroid, uterus dan hati pada hewan. Akrilonitril menimbulkan cacat
lahir pada tikus yang memakannya. Monomer lain seperti akrilat, stirena dan
metakriat serta senyawa turunannya, seperti vinil asetat, polivinil klorida,
kaprolaktam, formaldehida, kresol, isosianat organik, heksa metilandiamin,
melamin, epodilokkloridin, bispenol dan akrilonitril dapat menimbulkan iritasi
pada saluran pencernaan terutama mulut, tenggorokan dan lambung. Aditif
plastik jenis plasticizer, stabilizer dan antioksidan dapat menjadi sumber
pencemaran organoleptik yang membuat makanan berubah rasa serta aroma
dan bisa menimbulkan keracunan.
Laju migrasi monomer ke dalam bahan yang dikemas tergantung dari
lingkungan. Konsentrasi residu vinil klorida awal 0.35 ppm termigrasi
sebanyak 0.020 ppm selama 106 hari kontak pada suhu 25oC. Monomer
akrilonitril keluar dari plastik dan masuk ke dalam makanan secara total
setelah 80 hari kontak pada suhu 40oC. Semakin tinggi suhu maka semakin
banyak monomer plastik yang termigrasi ke dalam bahan yang dikemas. Oleh
karena itu perlu penetapan tanggal kadaluarsa pada bahan yang dikemas
dengan kemasan plastik.
Batas ambang maksimum dari monomer yang ditoleransi
keberadaannya di dalam bahan pangan ditentukan oleh hasil tes toksisitas (LD
50) serta jumlah makanan yang dikonsumsi/hari. Di Belanda toleransi
maksimum yang diizinkan adalah 60 ppm migran dalam makanan atau 0.12
mg/cm2 permukaan plastik. Di Jerman toleransi maksimum yang diizinkan
adalah 0.06 mg/cm2 lembaran plastik. Batas toleransi untuk monomer vinil
klorida 0.05 ppm (di Swedia 0.01 ppm). Kantong plastik polietilen dan
polipropilen mempunyai daya toksisitas yang rendah yaitu dengan ambang
batas maksimum 60 mg/kg bahan pangan.
Ancaman lain kemasan plastik adalah pigmen warna kantong plastik
bisa bermigrasi ke makanan. Pada kantong plastik yang berwarna-warni
seringkali tidak diketahui bahan pewarna yang digunakan. Pewarna food grade
untuk kantong plastik yang aman untuk makanan sudah ada tetapi di Indonesia
biasanya produsen menggunakan pewarna nonfood grade. Yang perlu
diwaspadai adalah plastik yang tidak berwarna. Semakin jernih, bening dan
bersih palstik tersebut, semakin sering terdapat kandungan zat kimia yang
berbahaya dan tidak aman bagi kesehatan manusia.
Metode dan alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan
menganalisamigrasi komponen plastik dalam bahan pangan adalah pelabelan
radioaktif, termogravimetri, spektrofotometer, Gas Chromatography (GC),
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Gas
Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS), yang dapat mendeteksi
migran dengan kadar 10-20 gram – 10-6 gram.
Daftar Pustaka
_____. _____. Migrasi Bahan Pengemasan Terhadap Produk Olahan Pangan. ___
Goulas.A.E, Anifantaki.K.I, Kolioulis.D.G, Kontominas.M.G. (2000). Migration
of di-(2-ethylhexylexyl)Adipate Plasticizer from Food-Grade Polyvinyl
Chloride Film into Hard and Soft Cheeses. Laboratory of Food Chemistry
and Technology,Departement of Chemistry, University of Ioannina.
Ioannina.
Nurminah Mimi. 2002. Penelitian Sifat berbagai Bahan Kemasan Plastik dan
Kertas Pengaruhnya Terhadap Bahan Yang Dikemas. Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Sulcan M., Nur Endang. 2007. Keamanan Kemasan Pangan Platik dan Styrofom.
Pasca Sarjana, Prodi Gizi Biomedik, FK UNDIP. Semarang
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. PENGEMAS DAN KEAMANAN PANGAN. _____._______.____
BPOM, 2005. Berita Pengemasan Edisi 13 April-Mei 2005. Federasi
Pengemas Indonesi, Jakarta.
Dardanella, Derry. 2007. Pengaruh Jenis Kemasan dan Kondisi
Penyimpanan Terhadap Mutu Produk Keju Cheddar Selama
Penyimpanan. [Online]. Tersedia:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1110
8/F07dda.pdf?sequence=3 [27 Februari 2013].
Goulas.A.E, Anifantaki.K.I, Kolioulis.D.G, Kontominas.M.G. (2000). Migration
of di-(2-ethylhexylexyl)Adipate Plasticizer from Food-Grade Polyvinyl
Chloride Film into Hard and Soft Cheeses. Laboratory of Food Chemistry
and Technology,Departement of Chemistry, University of Ioannina.
Ioannina.
Herudiyanto, Marleen S. 2010. Teknologi Pengemasan Pangan.
Bandung: Widya Padjadjaran.
_____. _____. Migrasi Bahan Pengemasan Terhadap Produk Olahan Pangan. ___
Nurminah Mimi. 2002. Penelitian Sifat berbagai Bahan Kemasan Plastik dan
Kertas Pengaruhnya Terhadap Bahan Yang Dikemas. Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Sulcan M., Nur Endang. 2007. Keamanan Kemasan Pangan Platik dan Styrofom.
Pasca Sarjana, Prodi Gizi Biomedik, FK UNDIP. Semarang
Syam, Andrew Putra Rabulis. 2010. Pengemasan, Penggudangan,
dan Penyimpanan. [Online]. Tersedia:
http://andrewopunk.blogspot.com/2010/11/pengemasanpen
ggudangan-dan-penyimpanan.html [1 Maret 2013].
Syarif, Rizal. Teknologi Pengemasan Pangan Lanjut. [Online].
Tersedia: http://files.myopera.com/fansaviola/blog/TAKE
%20HOME%20PENGEMAS%20DAN%20KEAMANAN
%20PANGAN.pdf?1362084631 [1 Maret 2013].