trauma laring

15
REFERAT TRAUMA LARING Disusun oleh : Cut Vanessa 1102010061 Kepaniteraan Klinik THT RSUD Pasar Rebo Pembimbing : Dr. Aswaldi SpTHT SMF THT RSUD PASAR REBO JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: cut-vanessa-rachmadian-muly

Post on 11-Nov-2015

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Trauma Laring

TRANSCRIPT

REFERATTRAUMA LARING

Disusun oleh :Cut Vanessa1102010061Kepaniteraan Klinik THT RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :Dr. Aswaldi SpTHT

SMF THTRSUD PASAR REBO JAKARTAFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS YARSI

Anatomi dan Fisiologi Laring

Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas ia membuka ke dalam laringofaring, dan di bawah ia bersambung dengan trakea. Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis, tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot.Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus laringeus internus cabang dari nervus laringeus superior sedangkan di bawah plika vokalis disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot intrinsik laring melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus yang dipersarafi oleh nervus laringeus eksternus. Pendarahan laring bagian atas dipasok oleh ramus laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan bagian bawah oleh ramus laringeus inferior dari a.tiroidea inferior.Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaituglottis) bermuara ke dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glottis merupakan pemisah antara saluran pernafasan atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan glottis, dan fungsi seperti pintu dari epiglottis yang berbentuk daun pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui glottis, fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.Laring dilindungi dengan baik oleh mandibula, sternum, dan mekanisme fleksi dari leher. Fungsi primer dari laring adalah sebagai jalan nafas, melindungi saluran pernafasan di bawahnya, dan memproduksi suara. Laring dapat dibagi menjadi 3 area : supraglottis, glottis and subglottis. Sebagai penyangganya adalah os hyoid, kartilago tiroid, dan kartilago krikoid. Supraglottis adalah area yang paling tidak bergantung pada penyangga eksternal, dan mengandung sebagian besar jaringan lunak dan mukosa. Glottis sangat bergantung pada penyangga eksternal dan dengan koordinasi mobilitas krikoaritenoid dan aktifitas neuromuskular mengatur jalan nafas dan memproduksi fonasi. Pada orang dewasa, jalan nafas mengalami penyempitan di daerah glottis. Oleh karena itu, trauma yang terjadi di area ini dapat berimbas paling buruk untuk usaha mempertahankan jalan nafas. Subglottis disangga hanya oleh kartilago sirkuler pada laring, yaitu krikoid, yang merupakan area tersempit dalam jalan nafas bayi dan anak-anak.

TRAUMA LARING

Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat merusak struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, sarah, pembuluh darah, dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dashboard dalam kecelakaan mobil, tertendang atau terpukul pada waktu berolahraga bela diri, nerkelahi, dicekik, atau usaha bunuh diri, dengan menggantung diri (strangulasi) atau seorang pegendara motor terjerat tali yang tertentang di jalan, (Clothesline Injury) Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:1. Trauma Mekanik Eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, atau krikotirotomi) dan Mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).2. Trauma akibat luka bakar, oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan alcohol, amoniak, natrium hipoklorit, dan lisol) yang terhirup.3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas pada leher.4. Trauma otogen akibat pemakaian suara berlebihan (vocal abuse) misalnya akibat berteriak menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

Epidemiologi

Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun cenderung meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80% kasus terjadi pada 2,5 cm diatas carina.Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea adalah 1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah 1 dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk melaporkan 1 kasus TLT dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam yang datang ke UGD. Gussack dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus trauma.Sabina dkk melaporkan 23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring, 8 kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan belas dari 23 kasus akibat trauma tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal ini sesuai dengan penemuan dari Lee bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4 kasus/tahun. Shelly dkk, mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700 kasus trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65 kasus tersebut (1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma tembus.TLT lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita. Symbas melaporkan perbandingannya adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia produktif (19-40 tahun). Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih tinggi mobilitasnya dibandingkan dengan wanita.

Patofisiologi

Trauma laring dapat menyebabakan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emifisema subkutis di daerah leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis, abses atau fistel.Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi. Kerusakan mengalami pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan dan perikondritis yang mengakibatkan peyempitan lumen laring dan trakea.Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis.Boyes (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, dalam 3 golongan : a. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema, submukosa, luka tusuk atau luka sayat tanpa kerusakan tulang rawanb. Trauma yang mengakibatkan tulang rawan hancur (Crushing Injury)c. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer larig dan trakea, yaitu sebagai saluran napas yang adekuat.Adapun pembagian golongan lain berupa :Grup I: Trauma endolaringeal ringan tanpa frakturGrup II: Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada ekspose tulang rawan, fraktur nondislokasiGrup III Edema berat, robekan mukosa dengan ekspose tulang rawan, disertai kord vokalis yang immobileGrup IV sama dengan derajat 3 ditambah perlukaan berat endolaringeal disertai bentuk laring yang tidak beraturan. Grup V Terputusnya laringotrakeal komplit.

Gejala klinik Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.Timbulnya Gejala stridor yang perlahan-lahan yag makin menghebat atau timbul mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan napas.Suara serak (Disfoni) atau suara hilang (Afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara.Emifisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring ata trakea, atau fraktur tulang-tulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernapasan akan keluar dan masuk jaringan subkutis leher. Emifisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada dan abdomen dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit.Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan napas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan napas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat lika tusuk, luka sayat, luka tembak maupun luka tumpul.Disfagia (Sulit menelan) dan odinofagia (Nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan

Pemeriksaan Penunjang

Protokol trauma umum (Advanced Trauma Life Support [ATLS]) diindikasikan untuk menilai pasien yang cedera parah. Jalan nafas mesti dibersihkan dan sistem organ yang lain ( jantung, paru, vaskular) juga harus distabilisasi. Sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut, cedera yang mengancam jiwa, seperti cedera vaskular dan perdarahan, harus diatasi terlebih dahulu.Secara umum, pada fraktur laring, foto servikal dan thoraks harus diambil terlebih dahulu untuk menyingkirkan trauma servikal. Fraktur laring biasanya telah dapat dicurigai berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisis saja, namun visualisasi langsung dari laring sangatlah penting untuk menentukan lokasi dan luasnya cedera. Endoskopi merupakan pilihan utama untuk maksud ini. Dengan endoskopi, berbagai kelainan seperti edema, hematoma, robekan mukosa, kartilago yang terpapar, lebam dan paralisis kord vokal,serta dislokasi arytenoid dapat diperiksa dengan endoskopi. Prosedur pilihan endoskopi yang terbaik digunakan adalah Transnasal fiberoptic laryngoscopy dimana dengan prosedur ini dapat menilai jalan nafas dalam kondisi dinamik dan mengidentifikasi berbagai kelainan. Sementara itu, laringoskopi indirek dapat membantu melihat keadaan mukosa yang abnormal, kartilago yang fraktur ataupun dislokasi arytenoid. Namun pada pasien yang cedera berat sebaiknya laringoskopi indirek tidak dilakukan karena dapat menyumbat pernafasan dan memicu batuk .Bila penyebab dari cedera laring belum jelas, pemeriksaan histologi dan membantu menentukan penyebab cedera dan mendeteksi kelainan makroskopik lainnya.

Radiologi CT scan merupakan pemeriksaan radiologi pilihan utama untuk memeriksa trauma laring. CT scan dapat membantu mendeteksi fraktur laring pada pasien yang datang tanpa keluhan dan gejala klinis. Namun, pada pasien dengan cedera ringan dan gejala yang minim (misalnya edema, ekimosis dan hematoma), CT scan tidak membantu memberikan informasi tambahan yang dapat merubah terapi. Sama halnya pada pasien yang datang dengan gangguan nafas dan secara klinik membutuhkan pembedahan yang agresif, tidak memerlukan CT Scan untuk menegakkan diagnosisnya.Dengan penggunaan yang bijaksana, informasi yang diperoleh dari CT Scan dapat menuntun kepada terapi yang tepat dan mencegah dari tindakan eksplorasi bedah yang tidak perlu. CT Scan haruslah dimaksudkan untuk menentukan jenis terapi yang tepat dan bukan untuk memastikan cedera yang telah diperiksa sebelumnya.Teknik pencitraan CT Scan yang terus berkembang hingga bisa memproduksi gambar 3 dimensi akan sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis fraktur laring di saat modalitas lain seperti MRI, fibroskopi dan CT scan konvensional tidak mampu mendeteksinya. MRI jarang dipergunakan dalam mendeteksi trauma laring oleh karena tidak praktis dan tidak dapat mengambarkan struktur skeletal dengan baik.

Prosedur diagnostik lainnya Direct laryngoscopy, esophagoscopy, bronchoscopy, optic fiber nasolaryngoscopy.

Penatalaksanaan macam-macam luka

Luka TerbukaLuka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya oleh pisau, celurit dan peluru.Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena pendarahan atau terjadi nya asfiksia.Diagnosis luka terbuka di laring dapat di tegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udaha yang keluar dari trakea.Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran napas dan mencegah aspirasi darah ke paru.Tindakan segera yang harus dilakukan ialah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakea tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera serta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti tetanus.Komplikasi yang dapat terjadi ialah aspirasi darah, paralisis pita suara dan stenosis laring

Luka tertutup (Closed injury)

Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk dan waku bicara. Di samping itu mungkin terdapat disfonia, tetapi belum terdapat sesak nafas.Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring. Sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan napas (Stridor dan Dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia, serta emifisema yang ditemukan di daerah leher, muka, dada, dan mediastinum.Kebanyakan pasien trauma laring juga mengaami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sadar dan sesak napas. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan napas tanpa memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi.Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT Scan.Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edema, hematoma atau laserasi laring, tanpa adanya gejala sumbatan laring.Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah:1. Sumbatan jalan napas yang memerlukantrakeostomi2. Emifisema subkutis yang progresif3. Laserasi mukosa luas4. Tulang rawan krikoid yang terbuka5. Paralisis bilateral pita suara

Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi , menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir (Flap) atau tandur alih (Graft) kulit.Untuk menyangga lumen laring dapat digunakan bidai (Stent) atau mold dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu. Peyangga tersebut biasanya berbentuk seperti huruf T sehingga di sebut T tube.

Komplikasi

Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain :

1. Terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring2. Paralisis nervus rekuren3. Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut and stenosis laring dan trakea.

DAFTAR PUSTAKA

1.Quinn FB, Ryan MW. Laryngeal trauma. September 2003. Online [cited July 2009] available from URLhttp://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Laryng-Trauma-2003-0903/Laryng-trauma-2003-0902.htm.2.Soepardi EA, Iskandar HN (edit). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala leher.Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2001.p.170-2.3.Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. 2007. Online [cited July 2009] available from URLhttp://www.bedahtkv.com/index.php?/Paper/Referat-dan-Tinjauan-Pustaka/Trauma-Laringotrakea.html4.Price SA, Wilson LM. Sistem respirasi. Patofisiologi:konsep klinis proses-proses penyakit volume II edisi keenam.Jakarta:EGC;2005. p.737.5.Anonymous. Larynx. Online [cited July 2009] available from URLhttp://en.medicinestuff.org/wiki/Larynx6.Chen EH, Logman ZM, et al. A case of tracheal injury after emergent endotracheal intubation: a review of the literature and causalities. Anesth Analg Case Report 2001;93:1270-1.