translate referat onkologi

26
Sigmoidoskopi fleksibel (lentur) Sigmoidoskopi fleksibel (lentur) memungkinkan suatu pemeriksaan yang lebih teliti dari rektum dan kolon sigmoid hingga ke kolon desenden dan telah menggantikan sigmoidoskopi yang kaku. Diperkirakan bahwa sigmoidoskopi lentur ini dapat mendeteksi 60%-83% kanker dan polip yang biasanya ditemukan dengan kolonoskopi. Kaiser-Permanente melakukan penelitian terhadap hal tersebut, dan terdapat pula beberapa studi dari sigmoidoskopi fleksibel yang memperkirakan penurunan angka kematian dan insidensi yang cukup besar dari deteksi dini terhadap individu-individu yang asimptomatik. Meskipun demikian, studi penelitian tersebut tidak dapat mengendalikan bias yang melekat pada evaluasi deteksi dini. Percobaan dalam dua skala besar acak, satu di Amerika Serikat dan satu di Inggris, saat ini menggunakan metode deteksi dini tersebut. Penelitian ini dapat memberikan perkiraan yang lebih baik mengenai keunggulan dari sigmoidoskopi sebagai alat deteksi dini, sementara terus menjadi bagian dari pedoman dalam deteksi dini kanker kolorektal. Kolonoskopi Kolonoskopi yang memungkinkan pemeriksaan lengkap dari rektum dan kolon hingga ke sekum, telah menjadi metode skrining kanker kolorektal yang lebih disukai oleh para ahli gastroenterologi, dokter serta kesehatan masyarakat. Meskipun kurangnya bukti langsung, antusiasme terletak inferensi dari yang lain, yaitu bukti tidak langsung. Sebanyak 15%-33% pengurangan angka kematian dari skrining darah pada tinja yang disebabkan oleh kolonoskopi hampir seluruhnya diikuti hasil tes positif. Tidak hanya kanker yang ditemukan dan secara awal diobati dengan menggunakan kolonoskopi

Upload: desy-putri-cahyani

Post on 28-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ilmu bedah onkologi

TRANSCRIPT

Sigmoidoskopi fleksibel (lentur)

Sigmoidoskopi fleksibel (lentur) memungkinkan suatu pemeriksaan yang lebih teliti dari rektum dan kolon sigmoid hingga ke kolon desenden dan telah menggantikan sigmoidoskopi yang kaku. Diperkirakan bahwa sigmoidoskopi lentur ini dapat mendeteksi 60%-83% kanker dan polip yang biasanya ditemukan dengan kolonoskopi. Kaiser-Permanente melakukan penelitian terhadap hal tersebut, dan terdapat pula beberapa studi dari sigmoidoskopi fleksibel yang memperkirakan penurunan angka kematian dan insidensi yang cukup besar dari deteksi dini terhadap individu-individu yang asimptomatik. Meskipun demikian, studi penelitian tersebut tidak dapat mengendalikan bias yang melekat pada evaluasi deteksi dini. Percobaan dalam dua skala besar acak, satu di Amerika Serikat dan satu di Inggris, saat ini menggunakan metode deteksi dini tersebut. Penelitian ini dapat memberikan perkiraan yang lebih baik mengenai keunggulan dari sigmoidoskopi sebagai alat deteksi dini, sementara terus menjadi bagian dari pedoman dalam deteksi dini kanker kolorektal.

Kolonoskopi

Kolonoskopi yang memungkinkan pemeriksaan lengkap dari rektum dan kolon hingga ke sekum, telah menjadi metode skrining kanker kolorektal yang lebih disukai oleh para ahli gastroenterologi, dokter serta kesehatan masyarakat. Meskipun kurangnya bukti langsung, antusiasme terletak inferensi dari yang lain, yaitu bukti tidak langsung. Sebanyak 15%-33% pengurangan angka kematian dari skrining darah pada tinja yang disebabkan oleh kolonoskopi hampir seluruhnya diikuti hasil tes positif. Tidak hanya kanker yang ditemukan dan secara awal diobati dengan menggunakan kolonoskopi pada penelitian ini, tetapi adenoma prekanker yang ditemukan selama pemeriksaan telah dibuang dan kemungkinan besar menyebabkan pengurangan angka kejadian yang terlihat pada setidaknya satu penelitian. Disamping itu, studi observasional yang positif baik dari sigmoidoskopi dan kolonoskopi mendukung kemanjuran kolonoskopi sebagai metode skrining. Namun, karena efek yang sebenarnya pada kematian dan kejadian tidak diketahui, analisis keefektifitasan biaya dalam membandingkan metode skrining yang berbeda tersebut bergantung pada perkiraan yang tidak dapat diandalkan.

Saat ini dalam pedoman di Amerika Serikat, kolonoskopi dianjurkan setiap 10 tahun pada individu yang beresiko. Alasannya berdasarkan bukti dari penelitian observasional, karena keunggulan dari kolonoskopi belum diteliti secara langsung. Umumnya dipercaya bahwa waktu rata-rata dari pengembangan polip untuk berkemban menjadi keganasan invasif minimal 10 tahun. Karena sensitifitas kolonoskopi terhadap kanker dan polip sangat tinggi, dengan deteksi

dini setiap 10 tahun maka hampir semua polip dapat terdeteksi sebelum berubah menjadi keganasan dan beberapa diantaranya ditemukan dalam stadium awal.

Menariknya, kolonoskopi, suatu tes diagnostik untuk kanker kolorektal bukanlah tanpa masalah. Dalam sebuah pengamatan baru-baru ini, dimana studi tandem atau back-to-back kolonoskopi dilakukan, Van Rijn et al. menunjukkan bahwa 21% adenoma tidak terdeteksi: 26% diantaranya adenoma berukuran 1-5 mm dan 2% adenoma berukuran 10 mm atau lebih. Rex membahas masalah variabilitas yang luas dalam kinerja skrining kolonoskopi diantara para ahli gastroenterologi, mereka berpendapat bahwa perbaikan dalam teknologi akan membantu, tapi waktu dan biaya untuk prosedur ini akan meningkat. Dia menyarankan bahwa ahli kolonoskopi terbaik harus mencapai persiapan usus yang efektif dan aman, cukup lambat dan hati-hati selama penarikan, dan mengidentifikasi semua adenoma. Trecca et al. mengevaluasi kromoendoskopi disamping kolonoskopi konvensional untuk mendeteksi neoplasma datar dan menunjukkan bahwa kromoendoskopi, terutama untuk lesi nonpolipoid, dapat mendeteksi lesi dengan jaringan yang lebih lanjut yang tidak terjawab oleh kolonoskopi konvensional.

PENCITRAAN COMPUTED TOMOGRAPHY KOLONOGRAFI (KOLONOSKOPI VIRTUAL)

Pencitraan CT untuk mendeteksi kanker kolorektal telah diusulkan sejak tahun 1980. CT spiral memungkinkan suatu cara noninvasif untuk membuat gambaran tiga dimensi dari kolon dan rektum sehingga dapat digunakan untuk melihat polip dan kanker. Dengan penggunaan zat kontras seperti barium dan persiapan usus untuk meminimalisir sisa tinja, ahli radiologi telah mencapai kinerja deteksi yang mirip dengan kolonoskopi optikal dalam percobaan yang cukup besar. Temuan utama tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Bahkan lebih besar lagi, penelitian eksperimental multisenter saat ini sedang dilakukan untuk mengevaluasi lebih lanjut tentang kolonoskopi virtual sebagai metode skrining yang layak. Nilai utamanya adalah bahwa kolonoskopi virtual kurang invasif dan berpotensi memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan kolonoskopi. beberapa masalah dapat ditangani, namun pada pasien yang menunjukkan lesi yang signifikan harus menjalani kolonoskopi optikal untuk meniadakan pemeriksaan patologi. Karena persiapan usus untuk kolonoskopi baik virtual maupun optik dapat mengganggu dan menyakitkan bagi pasien, maka sebaiknya hanya dilakukan sekali tiap skrining. Beberapa peneliti sedang mempelajari metode persiapan untuk kolonoskopi virtual dengan cara menandai usus dan dengan demikian lebih mudah untuk mengidentifikasi sisa tinja. Kesempurnaan metode tersebut hanya akan mengharuskan pasien pemeriksaan kolonoskopi virtual untuk melakukan persiapan bilas usus sebagai

tindak lanjut dari kolonoskopi optikal. Suatu alternatif yaitu mengembangkan pusat-pusat yang memungkinkan kolonoskopi optikal langsung diikuti dengan kolonoskopi virtual sehingga dengan persiapan yang sama akan digunakan untuk kedua prosedur tersebut. Hal yang terkait adalah menentukan kriteria untuk kolonoskopi optikal berdasarkan ukuran atau jumlah lesi yang ditemukan dengan kolonoskopi virtual. Meskipun demikian, konsensus atau kesepakatan penggunaan kolonoskopi virtual secara rutin bertambah, terutama dalam kasus dimana kolonoskopi optikal mungkin sulit dilakukan karena kelemahan atau keengganan pasien.

Rosman dan Korsten melakukan metaanalisis dari 30 studi CT kolonografi dan menentukan bahwa sensitivitas tinggi untuk polip kecil lebih besar daripada CT kolonografi dua dimensi atau tiga dimensi yang dilakukan di sekitarnya. CT kolonografi lebih unggul dengan kontras barium enema-udara. Kolonoskopi optikal lebih baik dilakukan dibandingkan dengan CT kolonografi terutama untuk polip kecil. Untuk mengatasi persiapan usus yang luas serta paparan radiasi yang terkait dengan CT kolonografi, Fiore et al mengevaluasi Magnetic Resonance (MR) kolonografi pada pasien berisiko tinggi (riwayat keluarga/riwayat dahulu menderita polip atau kanker kolorektal) supaya dilakukan kolonoskopi optikal. Suatu persiapan usus yang minimal digunakan, sebagian besar terdiri dari diet rendah serat dan mengonsumsi 12 gram bubuk laktosa (dalam paket 6 gram) yang terlarut dalam air sebanyak satu kali sehari. Suatu zat kontras oral ditambahkan ke semua makanan besar. Untuk polip dengan ukuran lebih besar dari 6 mm, sensitivitas dan spesifitas CT kolonografi, secara berturut-turut adalah 65% dan 67% dan untuk polip yang lebih besar dari 10 mm, sensitivitas dan spesifitasnya secara berturut-turut sebesar 75% dan 93%. Penulis menyimpulkan bahwa hasilnya adalah sederhana, dan penggunaan MR kolonografi untuk skrining harus menunggu perkembangan teknik lebih lanjut.

Tabel 2. Karakteristik Penggunaan Kolonoskopi Virtual dan Kolonoskopi Optikal untuk Mendeteksi Adenoma

VariabelKategori Lesi

≥ 6 mm ≥ 7 mm ≥ 8mm ≥ 9 mm ≥ 10 mmNomor / Total nomor 1% [95% CI]

Analisis berdasarkan pasienVirtual kolonoskopi

sensitivitas 149/168(88,7[82,9-93,1])

100/110(90,9[83,9-95,6])

77/82(93,9[86,3-98,0])

53/57(93,0[83,0-98,1])

45/48(93,8[82,8-98,7])

spesifisitas 848/1065(79,6[77,0-82,0])

981/1123(87,4[85,3-89,2])

1061/1151(92,2[90,5-93,7])

1116/1176(94,9[93,5-96,1])

1138/1185(96,0[94,8-97,1])

ketepatan 997/1233(80,9[78,6-83,0])

1081/1233(87,7[85,7-89,5])

1138/1233(92,3[90,7-93,7])

1169/1233(94,8[93,4-96,0])

1183/1233(95,9[94,7-97,0])

tingkat test positif

366/1233(29,7[27,1-32,3])

242/1233(19,6[17,4-22,0])

167/1233(13,5[11,7-15,6])

113/1233(9,2[7,6-10,9])

92/1233(7,5[6,1-9,1])

Sensitivitas 155/168(92,3[87,1-95,8])

100/110(90,9[83,9-95,6])

75/82(91,5[83,2-96,5])

51/57(89,5[78,5-96,0])

42/48(87,5[74,8-95,3])

kolonoskopi optikalAnalisis berdasarkan polip

sensitivitas kolonoskopi

virtual

180/210(85,7[80,2-90,1])

119/133(89,5[83,0-94,1])

88/95(92,6[85,4-97,0])

56/61(91,8[81,2-97,3])

47/51(92,2[81,1-97,8])

sensitivitas kolonoskopi

optikal

189/210(90,0[85,1-93,7])

120/133(90,2[83,9-94,7])

85/95(89,5[81,5-94,8])

55/61(90,2[79,8-96,3])

45/51(88,2[76,1-95,6])

CI: confidence interval; rentang kepercayaanUntuk analisis berdasarkan pasien: Sensitivitas: persentase dari seluruh pemeriksaan pada individu dengan sekurang-kurangnya satu ukuran polip yang tercatat telah dilaporkan memiliki sekurang-kurangnya satu pemeriksaan, contohnya sensitivitas dari kolonoskopi virtual untuk polip berukuran ≥ 6 mm menunjukkan bahwa sebanyak 88,7% dari semua polip dengan ukuran tersebut terdeteksi pada pemeriksaan dengan kolonoskopi virtual. Spesifitas: persentase dari seluruh pemeriksaan pada individu tanpa polip dalam kategori ukuran yang tidak dilaporkan pada kategori ukuran tersebut, contohnya spesifitas kolonoskopi virtual untuk polip berukuran ≥ 6 mm menunjukkan bahwa sebanyak 79,6% dari semua pemeriksaan pada individu tanpa polip dilaporkan tidak ada polip berukuran ≥ 6 mm. Ketepatan: persentase dari seluruh pemeriksaan yang memberikan ketepatan hasil menurut kategori ukuran polip, contohnya ketepatan dari kolonoskopi virtual untuk polip berukuran ≥ 6 mm menunjukkan bahwa sebesar 80,9% dari seluruh pemeriksaan dilaporkan secara tepat terdapat polip berukuran ≥ 6 mm atau bahwa tidak terdapat polip berukuran ≥ 6 mm. Tingkat tes positif: persentasi dari seluruh pemeriksaan yang melaporkan sekurang-kurangnya satu polip dalam kategori ukuran, contohnya tingkat tes positif untuk polip berukuran ≥ 6 mm menunjukkan bahwa sebesar 29,7% dari seluruh pemeriksaan menemukan polip berukuran ≥ 6 mm.Data untuk studi kolonoskopi virtual dianggap positif pada setiap kategori ukuran.Data untuk kolonoskopi optikal adalah untuk kolonoskopi optikal yang dilakukan sebelum hasil kolonoskopi virtual didapat.Untuk analisis berdasarkan polip: Sensitivitas: persentase dari semua polip dengan berbagai kategori ukuran yang dilaporkan dengan pemeriksaan tersebut, contohnya sensitivitas dari kolonoskopi virtual menunjukkan bahwa sebesar 85,7% dari semua polip berukuran ≥ 6 mm dilaporkan oleh pemeriksaan tersebut.

Vijan et al menemukan bahwa CT kolonografi dalam segi biaya lebih mahal dan kurang efektif daripada kolonoskopi optik, dan bahwa perbaikan lebih lanjut akan perlu dibuat untuk menemukan pemeriksaan yang dapat menjadi pilihan skrining yang efektif biaya.

TEKNOLOGI PENCITRAAN YANG LAINNYA

Endoskopi kapsul, suatu kapsul tanpa kabel, bersifat noninvasif yang terdiri dari sirkuit nirkabel untuk mencari dan mentransmisikan sinyal. Prosedur ini dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Pemeriksaan ini memiliki potensi untuk mendeteksi lesi pada usus halus. Penggunaan paling umum untuk endoskopi kapsul ini yaitu dalam kasus-kasus perdarahan gastrointestinal jelas yang menetap setelah endoskopi menunjukkan hasil negatif. Tidak ada kematian yang dilaporkan dan hanya sejumlah kecil efek samping dari endoskopi kapsul yang ada saat ini. Telah ada beberapa upaya penggunaan endoskopi kapsul untuk skrining kanker kolorektal, pengkajian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah metode ini memiliki potensi untuk skrining kanker kolorektal.

DETEKSI DINI KANKER KOLOREKTAL UNTUK PASIEN BERISIKO TINGGI

Berdasarkan berdasarkan faktor-faktor risiko keluarga atau keturunan, beberapa pasien mungkin berada pada rata-rata yang lebih tinggi untuk risiko kanker kolorektal. Rekomendasi skrining ini ditujukan khusus untuk individu berisiko tinggi, tetapi implementasinya merupakan sebuah tantangan. Dalam sebuah penelitian terbaru tentang pasien yang dipilih secara acak di sebuah kelompok praktik multispesialis besar, Fletcher et al. menemukan bahwa kurang dari setengah dari pasien dengan sejarah keluarga yang kuat terhadap kanker kolorektal yang diskrining secara tepat. Kondisi klinis dikenal seperti penyakit radang usus (penyakit Crohn atau kolitis ulserativa) atau familial adenomatosa poliposis (FAP) menempatkan individu tersebut pada risiko tinggi untuk penyakit. Istilah ‘skrining’ biasanya tidak digunakan pada situasi tersebut, tetapi malah menggunakan kata ‘surveilans’. Namun, ada kondisi lain yang berisiko tinggi dan tetap memerlukan skrining, dan ini merupakan faktor genetika atau penanda fenotipik yang meningkatkan kemungkinan kanker kolorektal sejauh bahwa skrining perlu dilakukan lebih awal atau dengan lebih tepat. Metode lain yang lebih diusulkan untuk mengidentifikasi individu berisiko tinggi kanker kolorektal untuk target program skrining adalah penggunaan skor risiko berdasarkan faktor risiko seperti usia, penggunaan alkohol, status merokok, dan indeks massa tubuh. Dalam satu aplikasi dengan menggunakan data dari studi kesehatan dokter, orang-orang dalam kelompok risiko tertinggi memiliki rasio kemungkinan 15,3. Bagi individu yang diduga memiliki kanker usus besar nonpolyposis yang diwariskan dalam keluarga mereka, skrining awal dan sering dengan kolonoskopi direkomendasikan. Bahkan jika pasien tidak memenuhi kriteria ini, bagaimanapun, ada beberapa situasi dimana pola kanker kolorektal dalam keluarga meningkatkan risiko ke titik dimana skrining lebih awal atau lebih sering mungkin diperlukan. Tabel 3. memberikan pedoman bagi pasien berisiko tinggi. Penting untuk mengumpulkan secara teliti tentang riwayat kanker pada seluruh keluarga saat mengevaluasi rejimen skrining bagi seorang individu.

Tabel 3. Rekomendasi Skrining Kanker Kolon untuk Individu dengan Risiko Kanker pada Keluarga atau Keturunan

Kategori Risiko Skrining yang Direkomendasikan

Keluarga tingkat pertama yang terkena kanker kolorektal atau polip adenomatosa saat usia ≥60 tahun, atau dua keluarga tingkat kedua yang terkena kanker kolorektal

Sama seperti risiko pada umumnya, tapi dimulai saat usia 40 tahun

Dua atau lebih keluarga tingkat pertamaa dengan kanker kolon, atau seorang keluarga tingkat pertama dengan kanker kolon atau polip adenomatosa saat usia <60 tahun

Kolonoskopi setiap 5 tahun, dimulai saat usia 40 tahun atau 10 tahun lebih muda dari anggota keluarga yang pertama terdiagnosis

Seorang keluarga tingkat kedua atau ketigab,c Sama seperti risiko pada umumnya

dengan kanker kolorektalGen pembawa atau berisiko untuk poliposis adenomatosa familiald

Sigmoidoskopi rutin setiap tahun, dimulai saat usia 10-12 tahune

Gen pembawa atau berisiko untuk HNPCC Kolonoskopi setiap 1-2 tahun dimulai saat usia 20-25 tahun atau 10 tahun lebih muda dari kasus pertama dalam keluarga

HNPCC, hereditary nonpolyposis colon cancer; APCC, attenuated adenomatous polyposis coli.aKeluarga tingkat pertama: orang tua, saudara kandung, anak.bKeluarga tingkat kedua: kakek-nenek, paman, bibi.cKeluarga tingkat ketiga: buyut, sepupu.dTermasuk subkategori dari poliposis adenomatosa familial, sindrom Gardner, sindrom Turcot dan APCC.ePada APCC, kolonoskopi harus dilakukan dibanding sigmoidoskopi sebab lebih banyaknya kasus adenoma kolon proksimal. Skrining kolonoskopi pada APCC sebaiknya dimulai pada akhir masa remaja atau awal usia 20an.

KANKER GASTROINTESTINAL LAINNYA

Sayangnya, kanker gastrointestinal lain yang tidak terkait dengan metode yang dapat diterima dengan skrining untuk penyakit tanpa gejala. Untuk lambung, pankreas, usus halus, dan kanker hati, tidak ada pilihan yang layak di masa depan. Untuk kanker pankreas, pencarian untuk biomarker telah difokuskan pada histologi dan genetika molekular karsinogenesis. Keperluan untuk penelitian kohort berskala besar dengan sampel biologis yang telah diikuti studi secara prospektif membuat penelitian tersebut menjadi sulit.

Untuk kanker hati, harus terfokus pada individu berisiko tinggi, seperti penderita sirosis. Penelitian berskala kecil dan ketergantungan pada bias waktu kasus kelangsungan hidup daripada perbandingan kematian membuat hasil tersebut sampai saat ini tidak dapat diandalkan.

Untuk kanker esofagus, pekerjaan yang paling difokuskan pada skrining endoskopi bagi mereka yang berisiko tinggi akibat kronis dan parahnya penyakit refluks gastroesofageal. Jika kondisi yang dikenal sebagai esofagus Barrett, yang ditandai dengan penggantian sel endotel dengan sel skuamosa, ditemukan, beberapa dokter menganjurkan pelaksanaan jadwal surveilans endoskopi, namun tidak ada data yang kuat untuk membimbing dokter pada seberapa sering pemeriksaan tersebut harus dilakukan, maupun bukti bahwa surveilans tersebut efektif dalam mengurangi angka kematian kanker. Demikian, beberapa penelitian yang menjanjikan telah dilakukan, tetapi pandangan jangka pendek untuk teknologi skrining baru agak sulit.

RINGKASAN

Di Amerika Serikat dan seluruh dunia, kanker memberikan kontribusi signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas. Penurunan terkini dalam insiden kanker dan kematian diantara warga Amerika Serikat sebagian terjadi karena penurunan tingkat kanker gastrointestinal, terutama pada kanker kolorektal. Beberapa penurunan tersebut adalah karena perbaikan dalam pengobatan, tetapi skrining untuk kanker kolorektal telah ditunjukkan oleh kedua penelitian yang dirancang dengan baik, yaitu studi observasional serta uji acak ketat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah penyakit.

Metode skrining untuk kanker gastrointestinal lainnya tidak digunakan saat ini. Penelitian tentang skrining untuk esofagus, pankreas, dan kanker hati sedang berlangsung, tapi sejauh bukti-bukti tidak mendukung penggunaan rutin endoskopik atau metode skrining molekul untuk kanker ini. terbatasnya ketersediaan kohort besar dengan koleksi sampel jaringan prospektif dan kesulitan dan biaya melakukan percobaan besar prosedur penyaringan endoskopik akan terus menantang bukti akhirnya metode tersebut.

Skrining kanker kolorektal di Amerika Serikat telah diterima dengan baik, dan tingkat skrining di Amerika Serikat telah meningkat menjadi lebih dari 50% dalam dekade terakhir. Lima metode berbeda dari skrining untuk individu yang rata-rata berisiko yang saat ini direkomendasikan oleh The United States Multisociety Task Force on Colorectal Cancer, dirangkum dalam Tabel 4.

Tabel 4. Rekomendasi Skrining Kanker Kolorektal untuk Individu yang Berisiko

Jenis Pemeriksaan Skrining Frekuensi

1. Pemeriksaan darah pada tinja Setiap tahun2. Sigmoidoskopi lentur Setiap 5 tahun3. Kombinasi antara nomor 1 dan 2 Setiap tahun untuk pemeriksaan darah pada

tinja dan setiap 5 tahun untuk sigmoidoskopi lentur

4. Kolonoskopi Setiap 10 tahun 5. Pemeriksaan foto Rontgen barium enema dobel kontras

Setiap 5 sampai 10 tahun

Skrining awal atau lebih intensif diperlukan untuk individu berisiko tinggi karena alasan keluarga atau keturunan. Evaluasi seksama sejarah keluarga sangat penting untuk mengidentifikasi individu tersebut.

Metode skrining yang lebih baru sudah dapat diterima. Tes imunokimiawi darah yang terdapat pada tinja memberikan spesifisitas yang lebih besar dengan bereaksi hanya untuk darah manusia, sementara tetap mempertahankan sensitivitas tes yang lebih terdahulu, yaitu tes berbasis guaiac. Penelitian pengujian DNA dalam sampel tinja telah menunjukkan beberapa harapan dari

teknologi itu. Teknik pencitraan baru memperbaiki barium enema x-ray dengan menggunakan CT spiral dengan rekonstruksi tiga dimensi dari lumen usus dikombinasikan dengan penandaan tinja serta media kontras barium. Teknologi ini dapat memberikan sensitivitas yang lebih tinggi daripada kolonoskopi optikal untuk beberapa lesi. Melanjutkan pengembangan teknologi skrining akan meningkatkan ketepatan percobaan serta penerimaan yang luas di kalangan penduduk yang menjadi target.

SESI 3

KANKER-KANKER GINEKOLOGIK

KANKER SERVIKS

Kebijakan skrining kanker serviks mengikuti sistem triase dalam mendeteksi, pemberian obat, dan tidak lanjutnya. Tes skrining utama untuk kanker serviks di negara maju adalah Pap smear, dimana spesimen selular dari serviks diperiksa dan diwarnai pada suatu apusan untuk interpretasi visual. Perubahan morfologik dari sel pre-kanker, neoplasia intraepitelial serviks (CIN), dapat diidentifikasi. Pasien dengan hasil Pap smear yang abnormal dirujuk untuk pemeriksaan kolposkopi, dimana sekitar 3%-5% asam asetat diberikan pada serviks dan diperiksa di bawah perbesaran dengan cahaya terang untuk memperjelas lesi yang akan dibiopsi. Para waanita yang menjalani Pap smear kemudian akan mengambil hasil dan diterapi sesuai hasil tersebut. Terdapat pengakuan bahwa pemeriksaan Pap smear telah menurunkan angka kejadian kanker serviks. Hal ini didasarkan pada bukti bahwa penurunan angka kematian kanker leher rahim sebanding dengan pelaksanaan Pap smear selama 50 tahun terakhir. Namun, ada kontroversi untuk banyaknya frekuensi tes harus dilakukan, bagaimana menerapkan pengujian DNA human papilloma virus (HPV) ke dalam prosedur skrining, dan kurangnya penerapan skrining tersebut untuk Negara-negara Dunia Ketiga.

Data pengamatan menunjukkan efektivitas skrining meningkat saat pemeriksaan Pap smear dilakukan lebih sering. Meskipun tes Pap smear tunggal dapat memiliki sensitivitas yang relatif rendah, sensitivitas tes kumulatif tahunan tinggi nilainya. Pedoman konsensus tentang frekuensi Pap smear telah dikembangkan oleh American Cancer Society (ACS), American College of Obstetricians dan Gynecologists, dan United States Preventive Task Force (Tabel 5). Rekomendasi saat ini mendukung inisiasi skrining pada usia 21 tahun atau dalam kurun waktu 3 tahun sejak hubungan seksual pertama, mana yang lebih dulu. Sampai dengan usia 30 tahun, skrining dianjurkan pada interval 1 sampai 3 tahun, tergantung pada rekomendasi khusus yang diikuti dan metode pengumpulannya. Setelah usia 30 tahun, interval skrining dapat diperpanjang hingga 2 sampai 3 tahun jika pasien memenuhi kriteria spesifik risiko rendah. Rekomendasi yang paling sering untuk menghentikan skrining yaitu pada usia 65 atau 70 tahun atau setelah histerektomi. The Canadian Task Force on Preventive Health Care (www.ctfphc.org) merekomendasikan tes Pap smear tahunan untuk wanita yang aktif secara seksual atau berusia 18, dan setelah dua tes Pap smear yang normal, skrining setiap 3 tahun sampai usia 69. Frekuensi skrining dapat meningkat pada wanita dengan faktor risiko tinggi. Sistem Kesehatan Nasional Program Pemeriksaan Serviks di Inggris (cancerscreening.nhs.uk) meliputi skrining serviks untuk wanita antara usia 25 dan 64 tahun setiap 3 sampai 5 tahun. Meskipun rekomendasi oleh organisasi-organisasi internasional, sebagian besar

perempuan di negara-negara Amerika terus mendapatkan skrining Pap smear tahunan. Spesimen sitologi serviks dapat dikumpulkan dengan berbagai alat. Penggunaan sebuah spatula ektoserviks dan sikat atau swab endoserviks secara bersamaan tampaknya menjadi metode terbaik untuk mendapatkan sel-sel serviks untuk spesimen konvensional. Analisis dan pengumpulan sitologi berbasis cairan yang dimiliki penyedia perawatan kesehatan menempatkan sel-sel serviks dalam botol kecil berisi larutan fiksatif dibandingkan membuat persiapan apusan langsung. Berdasarkan cairan atau sistem persiapan lapisan tipisThinPrep System (Cytyc Corporation) dan SurePath (TriPath Imaging, BD)yang dirancang untuk menghapus sel nonepitelial yang mengaburkan dan mendistribusikan sel secara merata pada apusan. Sampel dikirim ke laboratorium sitologi mana sampel tersebut disaring atau disentrifugasi untuk menghilangkan kelebihan darah dan kotoran. Sel-sel kemudian ditransfer ke apusan dalam satu lapisan. Apusan diwarnai dan diperiksa secara manual. Dua sistem skrining yang dibantu dengan komputer yang saat ini tersedia yaitu Focal-Point Slide Profiler (TriPathImaging, BD) dan ThinPrep Imaging System. Keduanya disetujui untuk digunakan dengan apusan Pap smear berbasis cairan. Dengan Focal-Point Slide Profiler (www.tripathimaging.com/physicians/focal_biblio.html), alat tersebut memeriksa kembali materi pada apusan dan, berdasarkan algoritma, menilai apusan untuk kemungkinan suatu kelainan yang tampak. Algoritma ini mencakup berbagai karakteristik visual, seperti bentuk dan kepadatan optik dari sel-sel. The ThinPrep Imaging System (www.thinprep.com/pap.test/thinprep-imaging.html) dikembangkan untuk skrining primer dan menyajikan gambar komputer dari 22 bidang yang mengandung sel-sel yang dikehendaki menggunakan suatu pewarnaan DNA kuantitatif. Setelah ahli teknologi sel memasukkan pendapatnya, alat tersebut akan menampakkan penentuanya berdasarkan peringkat, seperti apakah penilaian secara manual dapat dibenarkan atau tidak. Ketika resensi manusia dan komputer sepakat bahwa tidak ada tinjauan yang diperlukan, diagnosis "dalam batas normal" kemudian diberikan. Peninjauan manual diperlukan untuk kasus apapun jika ditunjuk baik oleh ahli sitologi maupun peringkat komputer.

Tabel 5. Pedoman Konsensus untuk Skrining Pap smear

ACS ACOG USPSTF

Mulai skrining awal Dalam 3 tahun setelah hubungan seksual pertama, tidak kurang dari usia < 21 tahun

≤ 30 tahun Setiap tahun untuk Pap smear biasa; setiap 2 tahun untuk Pap smear cair

Setiap tahun Setiap 3 tahun setelah 2-3 kali berturut-turut hasil normal pada Pap smear

> 30 tahun Setiap 2-3 tahun setelah 3 kali berturut-turut hasil normal pada Pap smear

Setiap 2-3 tahun setelah 3 kali berturut-turut hasil normal pada Pap smearb

Berhenti Skrininga Usia 70 tahun setelah 3 kali berturut-turut hasil normal pada Pap smear dan tidak ada hasil yang abnormal dalam 10 tahun

Usia 65 tahun diikuti dengan hasil yang normal pada Pap smear terakhir

Setelah histerektomi Tidak adac Tidak adac Tidak adaTes DNA HPV untuk skrining

Pilihan bagi wanita usia >30 tahun, dilakukan setiap 3 tahun bersamaan dengan pemeriksaan sitologi

Tidak cukup bukti untuk direkomendasikan atau terhadap pengujian

ACS, American Cancer Society; ACOG, American College of Obstericians and Gynecologists; USPSTF, United States Preventive Services Task Force; HPV, Human Papilloma Virus.aSkrining direkomendasikan bagi wanita usia tua yang belum pernah diskrining atau bagi mereka dengan informasi tentang skrining sebelumnya yang tidak tersedia. bSetiap 3 tahun jika menggunakan kombinasi tes DNA HPV dan pemeriksaan sitologi; Frekuensi yang lebih sering mungkin diperlukan bagi wanita yang berisiko tinggi, yaitu immunosupresi atau terinfeksi HIV, terpapar DES in utero, pernah terdiagnosa mengalami kanker serviks sebelumnya.cWanita dengan riwayat neoplasia intraepitelial serviksCIN 2 atau 3 harus terus skrining sampai 3 kali berturut-turut hasil negatif pada Pap smear.

Sistem Bethesda yang digunakan untuk pelaporan hasil sitologi serviks secara seragam awalnya dikembangkan pada tahun 1988. Sistem tersebut telah diperbaharui pada tahun 1991 dan 2001 untuk menggabungkan antara pengalaman klinis dan laboratoris. Panduan ini didukung oleh lebih dari 40 perkumpulan internasional, dan lebih dari 90% laboratorium di Amerika Serikat menggunakan sistem Bethesda, seperti yang dilakukan oleh laboratorium-laboratorium di banyak negara lain. Sistem Bethesda mencakup diagnosis deskriptif dan suatu penilaian yang adekuat terhadap spesimen (Tabel 6). Sistem Bethesda 2001 mempertahankan kategori “memuaskan untuk evaluasi” dan “tidak memuaskan untuk evaluasi”, namun menghilangkan “memuaskan tetapi dibatasi oleh ...” karena penandaan seperti itu dianggap membingungkan bagi banyak dokter dan memerlukan pengulangan tes yang tidak perlu. Bethesda 2001 menambahkan kategori baru untuk sel atipikal pada risiko yang lebih tinggi dari gabungan prakanker, “sel skuamosa atipikal-tak terkecuali lesi tingkat tinggi” atau “ASC-H”. Kategori ini menyoroti 5% sampai 10% sel skuamosa atipikal yang tidak dapat ditentukan secara signifikan darimana asalnya (ASCUS) yang lebih mungkin mengandung lesi skuamosa intraepitelial tingkat tinggi. Di samping itu, kategori “sel skuamosa atipikal mendukung reaktif” dan “perubahan seluler jinak” telah dieliminasi. Klasifikasi kelainan kelenjar telah direvisi, menghilangkan kategori “sel glandular atipikal yang tidak dapat ditentukan secara signifikan darimana asalnya” atau “AGUS” untuk mencegah kebingungan dengan ASCUS. Ditemukannya sel glandular atipikal penting secara klinis karena 10% sampai 39% kasus berhubungan dengan mendasari penyakit tingkat tinggi. Kelainan sel

kelenjar saat ini diklasifikasikan sebagai “sel atipikal endoserviks, endometrial atau kelenjartidak spesifik atau mendukung neoplastik”.

Tabel 6. Sistem Bethesda

Tipe spesimen Menunjukkan Pap smear biasa versus Pap smear berbasis-cairan versus lainnya.Kecukupan spesimen Memuaskan untuk dievaluasi (menjelaskan ada atau tidaknya komponen endoserviks/zona transformasi serta petunjuk kualitas lainnya seperti sebagian tertutup darah, peradangan, dsb). Tidak memuaskan untuk dievaluasi (alasan tertentu, seperti spesimen ditolak/tidak diproses atau spesimen diproses dan diperiksa tetapi tidak memuaskan untuk evaluasi keabnormalitasan epitel karena suatu alasan tertentu). Kategori umum Negatif untuk lesi intraepitel atau keganasan. Sel intraepitel yang abnormal: lihat “Interpretasi/Hasil” (sesuai dengan “skuamosa” atau “kelenjar”). Lainnya: lihat “Interpretasi/Hasil” (contohnya, sel endometrium pada wanita usia >40 tahun).Pemeriksaan otomatis Suatu kasus yang diperiksa dengan alat otomatis, spesifik dan hasil yang otomatis.Pemeriksaan tambahan Memberikan gambaran singkat tentang metode pengujian dan melaporkan hasilnya sehingga mudah dipahami oleh dokter.Interpretasi/Hasil Negatif untuk lesi intraepitelial/keganasan (jika tidak terdapat bukti adanya sel neoplasia, tulislah dalam “Kategori umum” di atasnya dan/atau dalam “Interpretasi/Hasil” sebagai bagian dari laporan, apakah ada atau tidak organisme atau temuan non-neoplastik lainnya ). Organisme: Trichomonas vaginalis Jamur yang secara morfologi terdiri dari Candida spp Pergeseran flora sugestif dai vaginosis bakterialis Bakteri yang secara morfologi terdiri dari Actinomyces spp Perubahan selular yang terdiri dari herpes simplex virus Temuan non-neoplastik lainnya (dapat dilaporkan atau tidak; tidak termasuk dalam daftar): Perubahan selular reaktif yang berhubungan dengan Peradangan (termasuk juga perbaikan khasnya) Radiasi Alat kontrasepsi dalam rahim (Intrauterine device, IUD) Status sel kelenjar pasca histerektomi Atrofi Lain-lain Sel endometrium (pada wanita usia di atas 40 tahun) (Tentukan apakah terdapat suatu “temuan negatif terhadap lesi intraepitel skuamosa”)Sel Epitel Abnormal Sel skuamosa Sel skuamosa atipikal Signifikan-Tidak diketahui asalnya (ASCUS) Tidak dapat dimasukkan dalam lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi (HSIL;ASC-H) Lesi intraepitel skuamosa derajat rendah (LSIL) mencakup: HPV/displasia ringan/CIN 1 HSIL mencakup: displasia sedang dan berat, CIS/CIN 2 dan CIN 3 dengan tanda kecurigaan invasi (jika ada suspek invasi) Karsinoma sel skuamosa Sel kelenjar

Atipikal Sel-sel endoserviks (NOS atau tidak diuraikan secara spesifik) Sel-sel endometrium (NOS atau tidak diuraikan secara spesifik) Sel-sel kelenjar (NOS atau tidak diuraikan secara spesifik) Atipikal Sel-sel endoserviks, cenderung neoplastik Sel-sel kelenjar, cenderung neoplastik Adenokarsinoma endoserviks in situ Adenokarsinoma Endoserviks Endometrium Ekstrauterina NOSNeoplasma maligna lainnya (spesifik)

HPV, Human Papilloma VirusNOS, not otherwise specified: tidak spesifik

Secara keseluruhan, program skrining sitologi serviks untuk mendeteksi neoplasia intraepitelial serviks grade 3 atau kanker telah dilaporkan berbagai sensitivitas (50% sampai 70%) dan spesifitas (69% sampai 94%). Sensitivitas dari sitologi terbatas pada kesalahan sampling (sampling error), dimana sel-sel abnormal tidak bisa dikumpulkan, dan kesalahan membaca hasil (reading error), dimana terdapat sedikit sel-sel abnormal yang tidak teridentifikasi diantara sel-sel normal atau terhalang oleh darah atau kotoran. Sitologi juga memiliki masalah dengan spesifisitas. Program skrining yang terbebani oleh batas potensi ganas Pap smear yang tidak pasti, yang mahal untuk diikuti dan menyebabkan kecemasan untuk perempuan yang terlibat. Apalagi, multicenter acak National Cancer Institute ASCUS LSIL Triage Studi (ALTS), yang mengevaluasi metode triase untuk Pap smear yang abnormal ringan, menegaskan reproduktifitas yang buruk terhadap pembacaan sitologi oleh ahli patologi: 45% dari rujukan pembacaan Pap smear yang menjadi sengketa oleh kelompok kontrol kualitas patologi. Studi ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam sistem skrining.

Kegunaan klinis dari skrining berbasis HPV (Human Papilloma Virus) untuk penyakit serviks diakibatkan oleh nilai prediktif negatif yang dihasilkannya. Hasil HPV positif hanya dapat menunjukkan infeksi dibandingkan probabilitas tinggi penyakit serviks. Kebanyakan dari infeksi HPV bersifat sementara, menetap hanya dalam kurun waktu 12 hingga 18 bulan. Namun, wanita yang mengalami infeksi persisten dengan HPV onkogenik memiliki risiko jauh lebih tinggi untuk menderita neoplasia dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Mengingat pentingnya HPV dalam perkembangan kanker serviks, deteksi klinis HPV telah menjadi alat diagnosis yang penting untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami kanker serviks. Uji klinis ALTS membantu menentukan kegunaan klinis dari pengujian HPV yang dikombinasikan dengan skrining Pap smear tahunan. Percobaan ini menyimpulkan bahwa triase HPV pada pasien

dengan ASCUS Pap smear sebelum dirujuk untuk kolposkopi lebih efektif untuk mendeteksi penyakit dibandingkan mengulang pemeriksaan sitologi atau dirujuk langsung menjalani pemeriksaan kolposkopi. Sensitivitas pengujian DNA HPV untuk deteksi biopsidikonfirmasi CIN 2 dan grade yang lebih tinggidengan ASCUS adalah 96% dan lebih tinggi dari sensitivitas tes ulang tunggal sitologi serviks. Oleh karena itu, tes HPV dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif untuk tindak lanjut dari ASCUS dalam rangka untuk menentukan siapa yang lebih lanjut akan dirujuk untuk kolposkopi. Tes dilakukan pada spesimen sitologi berbasis cairan asli atau sampel yang dikumpulkan pada kunjungan awal untuk menghindari pasien datang kembali ke klinik untuk mengulang. “refleks tes HPV DNA” menawarkan keuntungan yang signifikan karena perempuan tidak perlu menjalani pemeriksaan klinis tambahan untuk mengumpulkan spesimen, dan 40% sampai 60% wanita akan terhindar pemeriksaan kolposkopik. Pasien dengan hasil sitologi ASCUS dan tes HPV positif memiliki prevalensi 15% mengalami lesi skuamosa intraepitelial grade tinggi dibandingkan 1% atau kurang untuk pasien dengan hasil ASCUS dan tes HPV negatif.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan tes HPV yang dikombinasikan dengan skrining Pap smear sebagai deteksi utama untuk penyakit serviks pada wanita usia 30 tahun atau lebih disamping untuk uji refleks dalam populasi pasien ASCUS. Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyimpulkan bahwa tes HPV lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan sitologi tetapi mengkhawatirkan tentang spesifitas pengujian utama, terutama pada wanita muda, dimana prevalensi yang tinggi dan akan membutuhkan penelitian terhadap tindak lanjut. Gambaran studi pada tes skrining HPV terhadap kanker primer serviks menunjukkan sensitivitas rata-rata untuk mendeteksi CIN 2 atau lesi grade lebih tinggi yaitu sebesar 96%, dimana hal ini tidak terpengaruh oleh usia pasien. Spesifisitas (untuk lesi kurang dari CIN 2) bervariasi antara 76% dan 96% dan signifikan pada ujung bawah grade pada wanita muda. Disesuaikan untuk wanita 35 tahun ke atas, spesifisitasnya sebesar 93%. Mayoritas studi ini didasarkan pada desain cross-sectional yang menilai prevalensi penyakit yang terdeteksi baik oleh HPV pengujian maupun pemeriksaan sitologi. Tindak lanjut jangka pendek telah tersedia untuk sebagian kecil pasien, namun tindak lanjut jangka panjang untuk mengidentifikasi angka kejadian dan kematian dari kanker yang invasif belum tersedia. Hingga saat ini masih belum jelas apakah tes HPV akan menjadi lebih atau kurang penting pada populasi perempuan yang divaksinasi terhadap HPV16 dan 18. Perkumpulan Kolposkopi dan Patologi Serviks Amerika mengadakan sebuah panel pakar pada tahun 2001 untuk memberikan panduan konsensus berbasis-bukti (evidence-based) untuk pengelolaan wanita dengan kelainan sitologi serviks dan prekursor kanker serviks. Pembaharuan pedoman diharapkan pada musim semi 2007. Saat kombinasi antara pemeriksaan sitologi dan tes DNA HPV digunakan sebagai

skrining kanker serviks, hasil pemeriksaan sitologi cenderung mendominasi pengelolaan pasien. Seorang wanita dengan hasil pemeriksaan sitologi yang normal tetapi terdeteksi DNA HPV secara onkogenik, harus diskrining ulang dengan kedua tes tersebut dalam 6 hingga 12 bulan dan harus dievaluasi lebih lanjut dengan kolposkopi jika hasil Pap smear abnormal (ASCUS atau lesi yang lebih parah) atau jika HPV onkogeniknya menetap saat dilakukan tes ulang. Seorang wanita dengan hasil tes HPV negatif tetapi memiliki hasil pemeriksaan Pap smear yang menunjukkan adanya ASCUS dapat dievaluasi ulang dengan pemeriksaan sitologi dalam kurun waktu 1 tahun. Kolposkopi diindikasikan untuk wanita HPV positif dengan hasil sitologi berupa ASCUS atau wanita dengan lesi intraepitelial skuamosa grade berapa pun tanpa memperhatikan status tes HPV. Informasi lebih lanjut tentang pengelolaan sitologi dan histologi serviks dapat didapatkan di American Society for Colposcopy and Cervical Pathology website (www.asccp.org).

Pengelolaan bagi wanita dengan hasil pemeriksaan sitologi abnormal tetapi tidak dilakukan kolposkopi akan tergantung pada hasil Pap smear sebelumnya. Wanita yang tidak melakukan pemeriksaan kolposkopi setelah adanya lesi intraepitelial skuamosa atau ASCUS baik dengan atau tanpa HPV harus ditindaklanjuti dengan tes Pap smear dalam 6 sampai 12 bulan atau dengan tes DNA HPV dalam kurun waktu 12 bulan. Wanita dengan lesi intraepitelial skuamosa grade tinggi tanpa melakukan pemeriksaan kolposkopi memerlukan tindakan eksisi untuk diagnosis. Eksisi pada seluruh zona trasformasi dengan eksisi lingkaran besar dari zona transformasi (Large Loop Excision of the Transformation Zone, LLETZ) atau eksisi kerucut (cold knife conization) digunakan untuk mendiagnosa lesi yang tidak tampak atau CIN dalam endoserviks. Pengecualian yaitu untuk perempuan muda, yang mungkin diamati dengan pemeriksaan sitologi serial dan kolposkopi, serta wanita selama kehamilan. Wanita dengan sel kelenjar atipikal dan tidak melakukan pemeriksaan kolposkopi, kuretase endoserviks, dan biopsi endometrium (bagi mereka dengan perdarahan vagina abnormal atau lebih dari usia 35 tahun) dapat ditindaklanjuti dengan tes Pap smear serial. Jika pada Pap smear serial tersebut didapatkan hasil ASCUS atau lesi yang lebih parah lagi, maka diindikasikan untuk kolposkopi ulang.

Servikografi dan kolposkopi telah dievaluasi sebagai tes skrining primer, tetapi akurasi dan persyaratan teknis kurang optimal. Servikografi adalah suatu foto serviks yang diperiksa di lokasi pusat untuk lesi atipikal, memiliki sensitivitas yang sebanding dengan Pap smear tetapi spesifisitasnya jauh lebih rendah. Di samping itu, kinerja servikografi buruk pada wanita lebih dari 50 tahun, dan sekitar 10% sampai 15% servigram tidak memuaskan. Kolposkopi, dimana serviks dilihat dengan diperbesar secara langsung setelah pemberian asam asetat, secara luas dilakukan pada pada wanita dengan Pap smear yang abnormal tetapi

memiliki sensitivitas yang buruk (34%-43%) dan spesifisitas (68%) bila digunakan sebagai tes skrining untuk neoplasia serviks pada wanita tanpa gejala. Kerugian lainnya dari pemeriksaan kolposkopi mencakup biaya yang tinggi, terbatasnya persediaan alat, serta memerlukan waktu serta keahlian untuk melakukan prosedur tersebut. Percobaan ALTS juga menyoroti tentang kurangnya tingkat ketelitian dari kolposkopi dimana 47% biopsi serviks yang dilakukan atas arahan dari kolposkopi tidak menunjukkan lesi patologik.

Program skrining sitologi yang tersebar luas dan berfungsi baik di daerah industri rupanya tidak layak di negara berkembang. Program tersebut jauh lebih mahal dan tidak dapat mencapai seluruh lingkup secara adekuat. Apalagi, negara-negara miskin sering kekurangan sumber daya, dukungan teknis, dan keahlian untuk menjamin hasil yang akurat. Dalam keadaan sumber daya yang rendah, pemeriksaan visual langsung telah dievaluasi sebagai tes skrining satu-satunya atau kombinasi dengan sitologi. Serviks dilihat dengan menggunakan mata telanjang atau dengan alat pembesar berkekuatan rendah setelah serviks diberi 3%-5% asam asetat. Terdapat variasi yang besar dalam rata-rata sensitivitas dan spesifisitas (80% dan 80%) yang dilaporkan untuk pemeriksaan visual langsung, mungkin karena variasi dalam pelatihan dan kinerja test itu sendiri serta kegagalan untuk mengatur pembuktian adanya bias. Universitas Zimbabwe dan JHPIEGO mengevaluasi pemeriksaan visual serviks dengan asam asetat (visual inspection with acetic acid, VIA) dalam program skrining berskala besar. Dalam penelitian tersebut, sebanyak 10.934 wanita diperiksa oleh enam perawat dan bidan terlatih menggunakan VIA. Kolposkopi dan biopsi, sesuai dengan indikasinya, digunakan sebagai uji referensi. VIA dan Pap smear dilakukan secara bersamaan dan sensitivitas serta spesifitas keduanya pun dibandingkan. VIA lebih sensitif namun kurang spesifik dibanding pemeriksaan sitologi. Sensitivitas VIA adalah 76,7% sedangkan pemeriksaan sitologi sebesar 44,3%. Spesifitas VIA sebesar 64,1% sedangkan pemeriksaan sitologi sebesar 90,6%. Belinson, et al. mencatatkan hal serupa terhadap sensitivitas (71%) dan spesifitas (74%) dalam penelittian mereka terhadap sekitar 2.000 wanita di pedesaan Cina dengan mengerahkan ahli ginekologi terlatih untuk VIA. VIA berperan di daerah dengan sumber daya yang terbatas. Prosedur ini tidak memerlukan infrastruktur laboratorium dan dapat memberikan hasil segera serta memungkinkan untuk skrining, diagnosis, dan terapi dalam satu kali kunjungan.

Skrining kanker serviks secara teratur perlu domotivasi kepada semua wanita, khususnya mereka yang memiliki kecenderungan terpapar infeksi HPV dan HIV. Setengah dari seluruh jumlah kasus kanker serviks dapat terjadi pada wanita yang tidak pernah diskrining. Diperlukan upaya khusus agar dapat menjangkau wanita-wanita yang kurang mungkin untuk diskrining, seperti pada wanita yang usianya lebih tua, miskin, berpendidikan rendah, dan imigran. Target Masyarakat Sehat 2010 untuk skrining kanker serviks meningkat dari 79%

menjadi 90% dengan proporsi pada wanita di atas usia 18 tahun yang telah melakukan Pap smear dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (http://healthypeople.gov). Program Nasional Deteksi Dini Kanker Payudara dan Serviks, yang diberikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan PenyakitCDC, adalah program kesehatan masyarakat nasional yang membantu perempuan yang tidak diasuransikan dan terlayani untuk mendapatkan akses ke layanan skrining untuk deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks (http://cdc.gov/gov/cancer/nbccedp/). CDC menghimpun dana untuk kualifikasi lembaga kesehatan (50 negara, 6 negara bagian Amerika, the District of Columbia, dan 15 Indian Amerika atau suku asli Alaska dan persatuan suku-suku) untuk melaksanakan program skrining yang komprehensif. Untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas, program terfokus pada skrining Pap smear pada mereka yang belum diuji selama 5 tahun dan interval skrining meningkat untuk setiap 3 tahun. Tantangan skrining kanker serviks terus berlanjut yaitu melakukan pengujian Pap Smear kepada mereka yang paling membutuhkannya.