transformasi not

21
S URAT R EDAKSI Transformasi Not Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Khalifah Memasuki tahun kedua kepemimpinan Khalifah LSBO peri- ode ini, kami bertekat melakukan perbaikan komunikasi dengan para kader LSBO Khalifah secara struktural, serta tentu saja di lingkungan IAIN Manado, dimana LSBO Kha- lifah sebagai bagian integral dari keluarga besar IAIN Mana- do. Kami berkeyakinan, LSBO Khalifah menjadi bagian dari pembaharuan melalui gagasan dan wacana segar dan bernas. Sebab, kemandegan gagasan dapat berujung pada ke- mandegan praksis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan dekadensi pada spirit kekaryaan. Transformasi Not ini hadir sebagai jembatan komunikasi, informasi dan wadah bagi diskursus pemikiran dan gagasan yang murah dan efektif karena dapat menjangkau seluruh lingkungan IAIN Manado. Evaluasi di LSBO Khalifah yang lalu menyadarkan kita, bahwa konsolidasi organisasi dan ka- derisasi saja tidak cukup untuk menempatkan LSBO Khalifah kian berperan, melainkan konsolidasi gagasan dan wacana juga teramat dibutuhkan agar LSBO Khalifah dapat berkem- bang secara keseluruhan dalam lingkungan IAIN Manado. Edisi ini mengangkat topik tentang “Memaknai Kemerdekaan dalam Bingkai Pendidikan” dan beberapa topik lainnya. Pili- han topik ini dikarenakan bahwa kenyataan saat ini kita se- dang merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-70 yang kemudian kita memaknainya dalam konteks pendidikan dewasa ini. Beragam topik lain juga menarik dan perlu mendapat perhatian kita semua. Transformasi Not di tangan pembaca ini diharapkan tidak hanya menjadi media komunitas, melainkan dapat pula men- jadi sumber bacaan bagi seluruh lingkungan IAIN Manado. Akhir kata, semoga semua topik yang ditampilkan dapat me- menuhi keinginan pembaca, serta dapat menggelitik pembaca untuk terus memberikan kritik dan saran bagi pengembangan kedepan. Selanjutnya kami memohon maaf kepada pelbagai pihak termasuk yang dengan tidak sengaja termuat nama atau lain sebagainya, baik dalam pemberitaan maupun ada kesa- maan nama pada beberapa pengistilahan atau nama samaran di beberapa rubrik ini. Dan ucapan terima kasih juga kepada para penulis atas kontribusinya. Selamat membaca! LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT Daftar Isi: Page 2 Surat Redaksi 2 Headline: Memaknai Pendidikan dalam Bingkai Pendidikan 3 Sekolah dan Merdeka 5 Sudut Pandang Meminang Rasionalisme; Sebuah respon epistemologis ter- hadap realitas pendidikan Islam dewasa ini 6 Peduli solusi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia 10 Topik Kampus: Menbaca IAIN Manado 11 Multiekspresi Keragaman; Menbaca IAIN Manado sebagai “kampus multikultural” 12 Topik KeIslaman: Islam sebagai produk dalam ilmu manajemen pemasaran: Pengantar studi manajemen pemasaran produk agama 13 Islam Budaya Budaya Islam; Pengatar kajian Islam In- donesia Barat dan Timur 15 Topik Umum: Kekuasaan = Kekerasan 17 Liberalisme sebuah gagasan berbeda 18 Topik Cerpen: Ungkapan maut dan prestasi cuci tangan di Universitas Koya 19 Beasiswa hardik prestasi; Sebuah kisah di Universitas koya 19 Kisah bukan teladan 20 Jadi orang baik itu susah 21 Dari Redaksi 22

Upload: haikal-drum

Post on 14-Dec-2015

59 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

TN LSBO KHALIFAH. Edisi Agust-Sept 2015.

TRANSCRIPT

Page 1: Transformasi Not

SURAT REDAKSI

Transformasi Not Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO)

Khalifah

Memasuki tahun kedua kepemimpinan Khalifah LSBO peri-ode ini, kami bertekat melakukan perbaikan komunikasi dengan para kader LSBO Khalifah secara struktural, serta tentu saja di lingkungan IAIN Manado, dimana LSBO Kha-lifah sebagai bagian integral dari keluarga besar IAIN Mana-do. Kami berkeyakinan, LSBO Khalifah menjadi bagian dari pembaharuan melalui gagasan dan wacana segar dan bernas. Sebab, kemandegan gagasan dapat berujung pada ke-mandegan praksis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan dekadensi pada spirit kekaryaan.

Transformasi Not ini hadir sebagai jembatan komunikasi, informasi dan wadah bagi diskursus pemikiran dan gagasan yang murah dan efektif karena dapat menjangkau seluruh lingkungan IAIN Manado. Evaluasi di LSBO Khalifah yang lalu menyadarkan kita, bahwa konsolidasi organisasi dan ka-derisasi saja tidak cukup untuk menempatkan LSBO Khalifah kian berperan, melainkan konsolidasi gagasan dan wacana juga teramat dibutuhkan agar LSBO Khalifah dapat berkem-bang secara keseluruhan dalam lingkungan IAIN Manado.

Edisi ini mengangkat topik tentang “Memaknai Kemerdekaan dalam Bingkai Pendidikan” dan beberapa topik lainnya. Pili-han topik ini dikarenakan bahwa kenyataan saat ini kita se-dang merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-70 yang kemudian kita memaknainya dalam konteks pendidikan dewasa ini. Beragam topik lain juga menarik dan perlu mendapat perhatian kita semua.

Transformasi Not di tangan pembaca ini diharapkan tidak hanya menjadi media komunitas, melainkan dapat pula men-jadi sumber bacaan bagi seluruh lingkungan IAIN Manado. Akhir kata, semoga semua topik yang ditampilkan dapat me-menuhi keinginan pembaca, serta dapat menggelitik pembaca untuk terus memberikan kritik dan saran bagi pengembangan kedepan. Selanjutnya kami memohon maaf kepada pelbagai pihak termasuk yang dengan tidak sengaja termuat nama atau lain sebagainya, baik dalam pemberitaan maupun ada kesa-maan nama pada beberapa pengistilahan atau nama samaran di beberapa rubrik ini. Dan ucapan terima kasih juga kepada para penulis atas kontribusinya.

Selamat membaca!

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Daftar Isi:

Page 2

Surat Redaksi 2

Headline:

Memaknai Pendidikan dalam Bingkai Pendidikan 3

Sekolah dan Merdeka 5

Sudut Pandang

Meminang Rasionalisme; Sebuah respon epistemologis ter-hadap realitas pendidikan Islam dewasa ini

6

Peduli solusi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia 10

Topik Kampus:

Menbaca IAIN Manado 11

Multiekspresi Keragaman; Menbaca IAIN Manado sebagai “kampus multikultural”

12

Topik KeIslaman:

Islam sebagai produk dalam ilmu manajemen pemasaran: Pengantar studi manajemen pemasaran produk agama

13

Islam Budaya – Budaya Islam; Pengatar kajian Islam In-donesia Barat dan Timur

15

Topik Umum:

Kekuasaan = Kekerasan 17

Liberalisme sebuah gagasan berbeda 18

Topik Cerpen:

Ungkapan maut dan prestasi cuci tangan di Universitas Koya

19

Beasiswa hardik prestasi; Sebuah kisah di Universitas koya 19

Kisah bukan teladan 20

Jadi orang baik itu susah 21

Dari Redaksi

22

Page 2: Transformasi Not

Indonesia kini memasuki usianya yang ke 70 tahun, pasca Ir Soe-karno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekan Indonesia. Usia yang sudah ter-bilang tua tentunya, terus setelah 70 tahun Indonesia di-proklamirkan menjadi bangsa yang merdeka, apakah kita sudah

berdikari sebagai bangsa yang berdaulat?. Sepertinya wacana tersebut patut direnungkan. Kemerdekaan tidak bisa sekedar dimaknai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari keterjajahan bangsa asing. Tetapi dapat diartikan bebasnya seluruh rakyatnya, dari segala bentuk eksploitasi, kebodohan, dan ketidakadilan. Bahkan Konstitusi menyebutkan, bahwa setiap Warga Negara Indonesia mempunyai hak untuk hidup adil dan sejahtera, sebagai prasyarat kemerdekaan seutuhnya. Menjawab benarkan bangsa ini telah Merdeka, tentunya pendidikan bisa menjadi salah satu alat ukur yang tepat untuk mengetahui, bahwa benarkah Indonesia telah menuju kemerdekaan seutuhnya. Karena, wacana pendidi-kan telah menjadi prioritas utama disaat bangsa Indonesia hendak mengumumkan dirinya menjadi Negara yang merdeka. Hal ini pun ditegaskan, dengan pendidikan se-bagai pilar utama untuk menuju kemerdekaan, sehingga beberapa pasal dalam UUD 1945 mencatut cita-cita untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Founding Fathers dan Cita-Cita Kemerdekaan

Jauh sebelum Indonesia merdeka, para founding fathers telah mencetus tekad untuk menjadikan pendidikan sebagai alat untuk menumpas penindasan dari segala ben-tuk eksploitasi. Bisa dilihat ketika pemikiran Kartini gadis keturunan Ningrat, mengubah wajah perempuan Indonesia dan menggagas sekolah perempuan pertama. Cita-citanya untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat tanpa dis-kriminasi dan melepaskan masyarakat Indonesia dari keterpurukan, kebodohan, dan penjajahan yang terus membelenggu. Kartini juga menyadari bahwa kebodohan adalah senjata bagi kaum penindas, termasuk kolonialis. “Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa ber-

pengetahuan, ia tidak akan lagi mengiyakan dan mengamini segala sesuatu yang ingin dikatakan atau di-wajibkan oleh atasannya.” [Surat Kepada E.H. Zeehan-delaar, 12 Januari 1900] Gagasan Kartini yang mejadikan pendidikan se-bagai alat pembebasan dan melepaskan masyarakat Indo-nesia dari mental budak atau bangsa terperintah adalah jawaban dari cita-cita menuju kemerdekaan. Kartini mengatakan, “pendidikan dapat memperbaiki bangsa kita, agar tidak dipandang hina dan rendah oleh bangsa lain, lewat pendidikan bangsa kita dapat menjadi setara dengan bangsa lain” (Wiwid Prasetyo, 2010). Selain Kartini, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara ada-lah satu dari founding fathers yang menjadi pelopor pen-didikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, se-buah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk memperoleh hak pendidi-kannya layaknya para priyayi maupun orang-orang Bel-anda. Namanya pun diubah menjadi Ki Hadjar Dewantara dan melepas gelar kebangsawanan di depan namanya, agar dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Bahkan untuk mengenang perjuangannya dalam pendidikan, tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional dan semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Na-sional Indonesia. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipa-kainya, kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indo-nesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa ber-bunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Sem-boyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman Siswa. Begitupula dengan Sang proklamator Indonesia, Ir Soekarno pun menginginkan pendidikan sebagai pen-ceradasan kehidupan rakyat dan membawa bangsa ini terbebas dari belenggu kebodohan dan keterjajahan. Ia mendorong seluruh rakyatnya untuk bisa mengakses pen-didikan tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Keseriusannya yang sangat tinggi untuk memajukan bang-sanya lewat pendidikan.

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Memaknai Kemerdekaan dalam Bingkai

Pendidikan

Sahrul Setiawan, mantan Khalifah LSBO ke-3

Page 3

Page 3: Transformasi Not

Mencapainya, dua hal yang dilakukan Soekarno dalam pemerintahannya: pertama, memastikan setiap manusia Indonesia, tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, status sosial, dapat mengakses pendidikan di semua jenjang. Kedua, memastikan isian/kualitas pendidi-kan bisa mencerdaskan, menyadarkan, dan memerdekakan manusia Indonesia. Di jamannya juga, pendidikan menjadi alat untuk “nation and character building”. Pendidikan Di Rundung Problematika

Cita-cita yang digambarkan oleh Kartini, Ki Hajar Dewantara dan Ir Soekarno tentang dunia pendidikan tern-yata belum sepenuhnya terwujud sampai saat kini. Kegi-gihan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka sepertinya berada ruang yang sempit. Bahkan pendidikan sebagai alat untuk mewujudkan kemerdekaan terus dirundung berbagai problematika. Beberapa persoalan bisa menjadi catatan, betapa jauhnya kemerdekaan bangsa ini di dunia pendidikan. Per-tama, hingga saat ini masih banyak warga negara yang kesulitan mengakses pendidikan akibat biaya pendidikan yang mahal. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, hingga akhir tahun 2013, masih ada 3,6 juta penduduk Indonesia berusia 15-59 tahun yang buta huruf. Angka putus sekolah masih sangat tinggi. Mantan Menteri Pendidikan, Muhamad Nuh menyebutkan, pada tahun 2007, dari 100% anak yang mengikuti SD, yang berlanjut hingga lulus SD hanya 80%. Sementara 20% sisanya putus di tengah jalan. Sudah begitu, dari 80% yang lulus itu, hanya 61% yang lanjut ke pendidikan menengah (SMP). Dari jumlah itu, yang bertahan hingga lulus SMP hanya 48%. Lalu, dari angka 48% itu, yang melanjutkan ke SMA hanya 21%. Sementara dari 21% yang masuk SMA, hanya 10% yang berhasil lulus. Dan lebih tragis lagi: hanya 1,4% yang berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. (Berdikari Online, 2014). Kedua, soal fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang belum memadai dan merata. Masih banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan infrastruktur pendidikan yang memadai, seperti ruang belajar yang memadai, buku-

buku, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Ketiga, soal kualitas pendidikan yang masih jauh dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Akibat tuntutan pasar, kurikulum pendidikan pun disusun ber-dasarkan kebutuhan pasar tenaga kerja untuk menjadi lu-lusannya sebagai buruh terampil dan berupah murah.

Keempat, gaji dan kesejahteraan para guru belum memadai. Akibatnya, banyak guru atau tenaga pengajar yang harus terbebani ekonominya hingga harus mencari pekerjaan sampingan untuk menopang ekonomi keluar-ganya. Disamping itu, sistem pendidikan nasional kita juga diselimuti banyak masalah lain, seperti soal maraknya tawuran antar-pelajar, kekerasan, dan maraknya praktek pelecehan seksual. UNESCO dalam Global Monitoring Report 2011 juga melaporkan, 80 persen dari murid kelas IV SD di Indonesia masih memiliki kemampuan membaca di bawah standar internasional. Belum lagi, sistem pen-didikan kita belum bebas dari perbuatan terkutuk, yakni korupsi, yang menjangkiti lingkungan sekolah hingga pe-jabat pemerintah yang mengurusi pendidikan. Sistem pendidikan kita juga hanya melahirkan manusia-manusia yang terasing dengan realitas sosialnya. Akibatnya, banyak alumnus lembaga pendidikan kita tidak sanggup berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan memajukan rakyatnya. Lebih parah lagi, karena sentuhan nilai-nilai yang kurang selama pendidikan, banyak alum-nus pendidikan kita merelakan ilmunya dipergunakan un-tuk melayani para penindas rakyat: menjadi pengacara koruptor, peneliti/tenaga ahli di perusahaan perampas tanah rakyat, konsultan pejabat korup, dan lain-lain. Semagat Kemerdekaan Menuju Pencerahan

Ki Hajar Dewantara berpesan, “Kita harus mempunyai kekuatan dan kepribadian dalam menghadapi perjuangan nasional ini. Jika tidak, maka selamanya saudara-saudara akan tetap menjadi budak! Lepaskan diri dari perbudakan ini!”

Semangat Kemerdekaan hendaknya dapat dijadi-kan momentum dalam meraih kemajuan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan. Sehingga mak-na Kemerdekaan tidak didefinisikan secara sempit. Kema-juan pendidikan kita erat kaitannya dengan kemajuan bangsa ini, sebab pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencetak manusia yang cerdas secara kognitif saja, tetapi seperti yang diungkapkan oleh Prof. H.A.R. Tilaar, bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu cara untuk mewujudkan suatu educated and civilized human being (masyarakat yang terdidik dan beradab). Semoga dimasa yang akan datang dunia pendidikan kita menjadi semakin maju dan berkembang. Karena, kemajuan suatu bangsa hanya akan menjadi suatu hal yang kosong apabila tidak diikuti oleh kemajuan dunia pendidikannya.*

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 4

Page 4: Transformasi Not

“Manusia yang tidak mengetahui ke-jadian-kejadian sebe-lum dia lahir, maka selamanya dia adalah anak kecil.” Ucap Cice-ro. Kira-kira, begitulah kutipan menarik yang

saya temukan dalam bagian awal buku karangan Hasanud-din dan Basri Amin berjudul “Gorontalo : Dalam Dina-mika Sejarah Masa Kolonial” waktu saya berkunjung ke Kota Serambi Madinah bulan Mei 2015 untuk kepentingan riset. Secara bahasa, apa yang disinggung oleh Cicero di atas tentu sangat mudah untuk kita pahami apalagi dikait-kan dengan momentum kemerdekaan Indonesia yang ke-

70 tahun ini. Bangsa yang besar adalah dimana masyara-katnya dapat mengenal sejarah mereka juga menghargai sekaligus meneladani jasa-jasa para pahlawannya. Baik dalam tingkatan lokal maupun nasional. Apa yang di-namakan merdeka sekarang sudah barang tentu tidak akan terlepas dari berbagai proses perjalanan, perjuangan, juga perenungan yang begitu dalam. Kalau mau dibuat sebuah tahap periodesiasi, maka awalnya Indonesia dipersatukan secara geografis, lalu ditertibkan secara administratif dan terakhir dimerdekakan secara politis termasuk aspek pen-didikan, ekonomi, sosial, bahasa, budaya, serta agama yang berperan penting untuk sebuah peradaban. Sejarah membuka mata kita bahwa nikmat ke-merdekaan jelas tidak akan dirasakan oleh masyarakat sekarang jika para tokoh-tokoh bangsa dahulu tidak mem-iliki kesadaran juga kemauan yang keras untuk bersekolah. Apapun resikonya. Karena cukup jelas, mereka yang tidak bersekolah hanyalah menjadi budak oleh penjajah kala itu. Budak-budak ini pun bukan dalam jumlah sedikit melain-kan dalam jumlah yang banyak karena anak-istri ikut terli-bat. Di satu sisi memang benar, ketika memasuki tahun 1900-an, sekolah-sekolah di Indonesia cenderung dikuasai oleh Belanda dan hanya anak-anak dari keluarga besar yang boleh masuk bersama mereka. Diantaranya Agus Salim, Syahrir dan Mohammad Hatta. Tapi, seb-etulnya ini tidak lantas melunturkan semangat masyarakat pribumi lainnya untuk meninggalkan bangku sekolah dengan alasan ekonomi juga minimnya referensi. Sebab

sekali lagi, rendahnya kualitas pendidikan suatu tatanan masyarakat akan berakibat pada buruknya kemampuan berpikir dan berkembang. Bayangkan, seandainya Soekar-no dan kawan-kawan yang menjadi tiang penopang repub-lik ini malas bersekolah dalam artian belajar bersungguh-

sungguh pada konteks ruang dan waktu tak terbatas, maka sangat mustahil kemerdekaan ini akan terwujud. Hal ini juga telah dicontohkan oleh perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Cut Nyak Dien di Aceh, juga Pangeran Diponegoro di Jawa. Mereka semua bernalar tajam. Walaupun di sisi lain, mereka juga terjebak pada perilaku negosiasi yang salah. Akibatnya, mereka kalah sekaligus diasingkan. Ini menjadi pembelajaran sendiri untuk generasi muda. Jangan mudah menaruh kepercayaan sebelum selesai sebuah pekerjaan. Selanjutnya, saking pentingnya peran pendidikan untuk sebuah kemerdekaan, Snouck Hurgronje, seorang antropolog dari Belanda menaruh perhatian serius ter-hadap bidang ini pada konteks sekolah-sekolah agama. Dalam risetnya pada jangka waktu yang cukup lama di Indonesia, Snouck berkesimpulan bahwa yang membuat misalnya Aceh sulit untuk dijatuhkan bukanlah sebuah kebetulan akan tetapi karena mereka memperkuat basis sekolahnya di pesantren bahkan ada yang sampai ke Mek-kah. Ketika mereka pulang kembali ke Indonesia, mereka mulai menyebarkan spirit perlawanan dengan doktrin aga-ma yang kental serta rasional berdasarkan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh sebab itu, banyak rakyat Aceh yang tercerahkan pemikirannya lalu berbalik badan mengusir Belanda. Hasil riset Snouck ini mengakibatkan pada tahun 1664, Belanda melarang tiga orang Bugis yang baru pulang menunaikan ibadah haji di Mekkah untuk mendarat dan membuang mereka ke Tanjung Harapan. Belanda mengemukakan dalih bahwa kedatangan mereka di tengah-tengah orang Islam yang sangat menghormati orang-orang yang sudah naik haji-termasuk sekolah di sa-na- dikhawatirkan akan menimbulkan kerusuhan. Tahun 1810 Gubernur Deendels mengeluarkan dektrit yang me-merintahkan agar para Kyai yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain wajib membawa paspor. Peraturan ini sengaja dibuat untuk mengawasi pergerakan mereka (Zamakhsyari Dhofier, 2011 : 18-19). Dari kenyataan ini, jelas rakyat Aceh telah ber-hasil melakukan sebuah analisa empiris-akibat proses ber-sekolah- bahwa selama ini Belanda telah mengubah dasar struktur organisasi kemasyarakatan orang Indonesia ter-masuk sektor ekonomi dan politik. Mereka juga terus

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 5

SEKOLAH & MERDEKA

Ist.

Page 5: Transformasi Not

melancarkan langkah-langkah pembatasan gerak dan pengawasan yang ketat terhadap pemimpin-pemimpin Is-lam yang dikhawatirkan akan membahayakan kekuasaan Belanda. Raffles mengakui bahwa setiap Kyai (pengajar agama di sekolah) di Indonesia oleh penduduk dianggap sebagai orang suci dan memiliki kekuatan gaib. Karena ketinggian kehormatan yang dimiliki oleh para Kyai itu, dengan mudah mereka dapat membangkitkan gerakan pemberontakan dan bilamana para Kyai ini bekerjasama dengan para pemimpin rakyat yang menentang Belanda, maka kerjasama tersebut akan sangat membahayakan Bel-anda. Pengalaman Raffles menunjukkan bahwa para Kyai ini ternyata aktif dalam berbagai pemberontakan menuju kemerdekaan. (Zamakhsyari Dhofier, 2011 :19). Mengkaji sejarah kemerdekaan Indonesia dari aspek pendidikan (sekolah) memang tidaklah bisa dinafikan, sekolah men-jadi semacam rumah pengetahuan sekaligus perumusan ideologi pergerakan demi bangkit dari sebuah keterpurukan intelektual, emosional, spiritual maupun kul-tural. Sejarah tentu telah berlalu dan refleksi atas masa silam tentu harus diikuti dengan capaian-capaian progresif ke depan. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada lain adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan pekerti yang memberi manfaat kebahagiaan dan kesejahteraan bagi sesama makhluk tanpa membeda-bedakannya. HOS Cokroaminoto menyebutkan, di sinilah akan terbentuk setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat. Mengembangkan ilmu pengetahuan adalah semes-tinya. Sebab, dimana kita sekolah, di situlah kita merdeka. Kemerdekaan jelas kita peroleh dari tradisi pembelajaran sedangkan belajar itu sendiri berarti proses perubahan pa-da diri seseorang. Perubahan itu terjadi karena pengala-man. Pengalaman secara filosofis adalah persentuhan in-dera seseorang dengan lingkungannya. Lingkungan tiada lain adalah sesuatu di luar diri seseorang. Titik temu antara konteks persekolahan dan konteks kemerdekaan berdasar-kan potret sejarah di atas ialah (a) Tujuan belajar. Kita harus menentukan sendiri apa yang ingin kita pahami, terapkan, praktekkan, atau hindari. Belajar tidak hanya sekedar mempertahankan suatu kondisi yang biasa berlaku tapi juga belajar mendalami sesuatu secara sungguh-

sungguh sehingga mampu menemukan teori, metode, dan menciptakan hal baru. (b) Nilai dan Norma. belajar adalah mengambil keputusan atas pengetahuan berdasarkan aturan yang berlaku pada konteks kehidupan masing-

masing. (c) Belajar Menemukan. Belajar tidak sebatas

mengetahui apa, siapa, dimana, dan kapan tetapi lebih dari itu hingga akan ditemukan kesimpulan yang berpijak pada asas rasional, operasional juga terukur. (d) Intisari hidup. Belajar adalah intisari hidup. Bila tidak belajar, kita tidak berubah. Bila tidak berubah, kita akan mati. Mati bukan artian kehilangan nyawa melainkan hilangnya daya saing dan posisi tawar di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. (e) Trial and error. Belajar adalah soal menco-ba. Ketika gagal, maka kita akan menemukan pola-pola baru menuju kesuksesan. Di sini sangat dibutuhkan pola pikir integratif-interkonektif juga inklusif-continous im-provement. Kelima titik temu ini adalah spirit terbesar dari peran pendidikan (sekolah) di masa kolonial dulu agar bisa bangkit melawan karena diam adalah pengkhianatan. Da-lam pidato kebudayaannya Hasto Kristiyanto yang saya ikuti di Universitas Gadjah Mada 15 Juni 2015 lalu, dengan lantang beliau mengatakan bahwa “Syarat dasar daripada Indonesia merdeka telah dirumuskan dengan baik oleh para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI. Indonesia berdiri atas paham kolektivitas dengan seman-gat gotong royong. Seluruh konsepsi paripurna tentang Indonesia merdeka adalah Indonesia yang bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu harus menjadi titik tolak dalam membangun Indonesia kembali. Indone-sia harus menempatkan Pancasila sebagai dasar sekaligus tujuan. Namun juga sebagai the way of life di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pada tahun 1957 Bung Karno menegaskan para pemimpin, seluruh kaum mudanya, dan pergerakan rakyat Indonesia harus merom-bak cara berpikir, cara kerja, cara berjuang, dan cara hidup dengan mendorong gerakan hidup baru. Suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala”. Sudahkah kita bertindak seperti itu? Ka-lau belum, segeralah berubah. Sebab, momentum ke-merdekaan tahun ini bukanlah hanya bentuk narsisme ser-emonial semata, namun sebagai upaya konkret menjadikan kita bangsa yang berkemajuan juga berkepribadian.

(Almunauwar Bin Rusli, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UII Yogyakarta Program Islamic Studies)

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 6

Page 6: Transformasi Not

MEMINANG RASIONALISME; Sebuah respon epistemologis terhadap realitas pendidikan Islam dewasa ini

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 7

Rasionalisme, sejauh dimengerti se-bagai sebuah proses pemberdayaan potensi akal manusia, maka boleh dikatakan telah melewati perjalanan waktu yang sedemikian lama. Bebera-pa literatur mencatat, Thales dari Mile-tos adalah tokoh filsafat yang mula-

mula mempraktekkan penggunaan ra-sio secara bebas dan radikal dalam

menalari realitas kontekstual di sekelilingnya. Thales ada-lah contoh yang baik pada masanya, ia tidak mau mengikatkan diri pada pandangan-pandangan umum masyarakatnya, dan lebih memilih dan meyakini kemam-puan rasionya dalam mencari dan menemukan kegelisahan-kegelisahan intelektualnya. Sebuah kemerdekaan berpikir yang teramat langkah jika kita mencoba membanding-kannya dengan realitas masyarakat pada masanya yang lebih menggandrungi mitologis, dan terjebak dalam dunia irrasionalitas yang melumpuhkan. Selanjutnya, jika dilihat dari kerangka historikal mazhab pemikiran, kurang lebih pada paruh abad ke-17 Masehi, di tangan tokoh Descartes, Baruch De Spinoza, Leibniz dan beberapa nama lainnya, rasionalisme lahir dan berkembang menjadi mazhab pemikiran yang besar, gaungnya mewarnai daratan Eropa. Pengaruhnya tidak hanya khusus dalam ranah diskursus filosofis, melainkan juga menyentuh wilayah yang lebih luas lagi, semisal seni, politik, budaya dan agama. Untuk nama yang terakhir, ia memiliki sejarah yang kelam dengan rasionalisme. Panji-panji ”peperangan” dengan rasionalisme telah lama berkibar. Bagaimana tidak, sesuatu yang mendaku suci, menjadi kanopi dari kebaikan tertinggi dan termulia dalam semesta namun kemudian menghadirkan malapetaka kemanusiaan yang tidak kecil. bukanlah sebuah kebetulan jika Giordano Bruno pada tahun 1600 dijatuhi hukuman pancung di Ro-ma. Pun demikian, nasib yang sama dialami oleh Lucilio Vanini filsuf Italy. Belum cukup, Galileo Galilei harus mendekam di penjara seumur hidupnya akibat penemuan ilmiahnya yang mementahkan klaim absolut gereja (baca; agama). Nama-nama ini hanyalah contoh dari sebagian deretan tokoh pemikir-ilmuwan yang dipaksa mengubah pandangannya atau menyudahi hidupnya sendiri dikare-nakan “merusak dan melampaui” pengetahuan dan keya-

kinan sakral agama. Hal yang sama pun sebenarnya tak jauh berbeda jika merujuk pada realitas historis Islam. Syihabuddin Suhrawardi, Al-Halaj, adalah sebagian kecil dari deretan nama yang harus merengkuh siksa dan maut di atas “ketidakdewasaan” agama dalam menyikapi perbe-daan pemikiran. Pada masa itu, agama senantiasa mengambil posisi berlawanan dengan rasionalisme. Aga-ma selalu merasa terusik dan teramat sensitif jika ada lon-taran gagasan-gagasan baru yang “mendobrak” ke-mapanan pemahaman yang telah diwarisi dan diyakini sebagai yang benar secara turun temurun. Tidak berlebi-han kiranya jika mengacu pada pengalaman kelam sejarah di atas, agama adalah nama yang berbahaya bagi konsespi the idea of progress (gagasan kemajuan). Pada titik ini kemudian dapat dimengerti mengapa Rasionalisme, lahir, hidup dan berkembang dengan semangat anti klerikal yang dogmatis itu. Karena tanpa keluar dari jeratan falasi logika otoritas (non akliyah) tersebut, kekuatan rasio akan mem-busuk dan menjadi fosil sejarah bagi generasi ke generasi selanjutnya. Rasio tak lagi menjadi tools bagi peradaban dan kebutuhan dalam mengeksplor apa yang mesti di-yakini dan apa yang tidak, sekurang-kurangnya bagi diri secara individual. Olehnya, dalam konteks ini, meminang rasional-isme adalah sebagai respon epistemologis (pendidikan) Islam yang berangkat dari kehendak untuk sebuah kemungkinan menghadirkan kembali Islam yang bersan-dar pada nilai-nilai dan prosedur rasionalistik. Bukan Is-lam model masa kini yang identik dengan marah-marah, kebencian, ancaman dan kekerasan yang setiap saat menginvasi bilik-bilik kesadaran manusia yang berbeda alur berpikir dan keyakinannya. Sungguh, tak ada kedama-ian dan peradaban yang lebih manusiawi bagi tatanan dunia jika lokus pemikiran dan laku umat Islam masih bercokol pada pada pusaran ekstrimisme, kebencian dan ragam atribut regresif di atas. Meminang dalam pengertian ini adalah mengambil, menggali dan mengawinkan kem-bali rasionalisme dengan Islam (lewat praktik pendidi-kannya) sebagai kata kunci dari upaya mewujudkan cita-

cita peradaban. Apa yang terjadi dengan umat islam dewasa ini adalah semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tan Mala-ka dalam “Madilog”, dimana umat ini telah terjerat dalam frame logika-mistika, tapi dalam format yang lebih baru.

Jaja C. Anar, pegiatat di Komunitas Pem-

belajar

Page 7: Transformasi Not

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 8

Jika dulu logika-mistika ditandai dengan keyakinan pada kekuatan supranatural yang bersandar pada mitologis, maka sekarang logika-mistika itu membentur dinding-

dinding rasionalitas dalam wujud kepatuhan tanpa reserve pada pemikiran tokoh-tokoh agama, ulama, ustadz atau lembaga dan organisasi tertentu, semisal MUI (majelis Ulama Indonesia), NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-

lain sebagai otoritas mutlak yang berhak menentukan nalar dan keyakinan siapa yang paling benar. Kritik kepada kelompok insti-tusionalis ini adalah “ketidakmauan melampaui” dari apa yang telah terurai dalam tafsir teks petunjuk aga-ma. Kekaburan mereka dalam memaknai apa yang disebut dengan agama dan tafsir agama berhujung pada pemut-lakan pemahaman ke-lompoknya sebagai satu-

satunya yang paling benar. dan lebih dari itu, yang tak sekedar keliru tapi juga berbahaya ada-lah implikasinya mereka pun lewat lembaga fatwa masing-masing, merasa berhak menjadi hakim dari apa yang diyakini orang atau kelompok lain diluar mereka. Meski, ada dari kelompok ini yang mendaku tidak bemazhab atau bermazhab secara metodologis tapi toh pada kesimpulannya tetap membentuk mazhab baru yang rigid dan ekslusif dalam kelompoknya. Alih-alih keluar dari kerka kejumudan, justru kembali menggali lubang kejumudan yang baru. Lebih dari semua itu, pada akhirnya rasionalitas menghamba pada kewibawaan otoritas dan dogma absolut. Bentuk lain dari logika-mistika ini berwujud pada ketakutan pada rasio itu sendiri. Rasionalitas, sekurang-

kurangnya dimusuhi bahkan diberangus atas dasar merusak sakralitas ajaran agama dan menggoyahkan iman terhadap yang suci. Sehingga menjaga iman dengan me-nutup kran kebebasan berpikir menjadi sebuah nilai moral yang mesti (wajib) dilakukan. Ketakutan-ketakutan ini

sulit sekali untuk dimengerti, karena pada situasi dan kon-disi seperti apakah kebenaran ajaran dan iman itu diketahui sebagai yang benar untuk kemudian diyakini tanpa menggunakan nalar yang rasional? sungguh, ini ada-lah sebuah ketakutan yang tak berdasar. Kebutuhan menjaga iman jauh dari kesesatan inilah yang menjadikan Farag Faudah dengan kritiknya terhadap betapa culasnya praktek kepemimpinan khalifah-

khalifah yang mendaku menegakkan “perintah” khilafah Islamiyah itu, harus menerima nya-wanya merenggang da-lam hentakan peluru bedil-bedil penguasa. Pun demikian dengan Nasr Hamid Abu Zaid dengan lontaran-lontaran kritisnya terhadap metod-ologi konvensional da-lam memahami kitab suci, ia dikafirkan dan olehnya darahnya halal, serta dipaksa bercerai dengan istrinya, tapi ia bernasib sedikit lebih baik ketimbang Faudah dengan pilihannya untuk berpindah kewarganega-raan. Di Negeri ini, label sesat, bahkan di fatwa

mati pun sempat menerpa cendekiwan semisal Nurcholish Madjid, Ulil Absar Abdalah dan beberapa nama lainnya. Catatan kelam ini menunjukkan bagaimana ra-sionalitas dimusuhi dan diberangus. Akal bukan lagi pili-han sebagaimana pesan Nabi (kira-kira dapat dimaknai dengan, “tidak ada agama tanpa akal”), tapi telah menjadi musuh yang mesti dikerangkeng, sebaliknya, dogmatisme menjadi sebuah kesalehan yang mulia untuk dituntunkan dari generasi ke generasi dalam agama ini. Alhasil, dapat dimengerti kemudian mengapa FPI (front pembela Islam) dan beberapa organisasi lain yang “ikut-ikutan”, merasa terpanggil atas nama dakwah, dengan segala kegarangan dan kekasarannya untuk main hujat, takfir bahkan berlaku ekstrim tanpa rasa berdosa. Kesemena-menaan ini menjadi logis bagi mereka karena tuntutan teks sebagaimana tafsiran pimpinan kelompok mereka. Lahirnya klaim-

Ist.

Page 8: Transformasi Not

Disinilah kemudian dalam hemat saya, ruang-ruang

pendidikan Islam adalah wadah yang efektif untuk

membangunnya. Mengambil kembali rasionalisme

sebagai warisan peradaban Islam yang kini telah

digenggam kelompok tertentu di belahan dunia lain.

sehat adalah tipikal para pemegang mandat Tuhan tentang kebenaran tersebut. Dan inilah contoh yang paling baik tatkala dogmatisme telah berakar dalam keyakinan, manu-sia akan kehilangan independensi dalam berpikir dan ber-sikap sebagaimana layaknya makhluk rasional yang otonom. Dari rangkaian pandangan di atas, saya hanya ingin mengatakan rasionalisme mengalami perjalanan yang tidak mudah. Permusuhan dan perlawanan terhadap-nya semacam telah menjadi “takdir” sejarah. Dan memang jika kita objektif memandang, sebagaimana Hegel, semua realitas ini menjadi rasional untuk dilihat. Kekolotan dan dogmatisme tidak membutuhkan dialog atau pertarungan gagasan, karena sikap kolot dan dogmatis tidak mem-ilikitools untuk itu, selain klaim, ancaman dan tentu, kekerasan. Dan jika merujuk pada Konteks dewasa ini, nyata jelas, rasio yang semestinya menjadi senjata dalam membangun peradaban telah lama ditinggalkan oleh umat agama ini. Disinilah kemudian dalam hemat saya, ruang-

ruang pendidikan Islam adalah wadah yang efektif untuk membangunnya. Mengambil kembali rasionalisme se-bagai warisan peradaban Islam yang kini telah digenggam kelompok tertentu di belahan dunia lain, dan tentu, dengan ragam pencapaian keilmuan dan teknologi yang sedemikian melesat jauh. Dalam posisi ini kita merin-dukan lahirnya tokoh kaliber dunia semisal Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ar-Razi, dan beberapa nama besar lainnya yang dengan pemikiran dan temuan-temuan ilmiahnya menjadi corong bagi kebangkitan peradaban. Mereka pada masanya, tidak ada ketakutan dalam melontarkan gagasan, karena semuanya tidak disudahi dengan klaim sepihak dan fatwa, melainkan lewat pertukaran gagasan yang ramah. Contoh yang paling baik adalah ketika Al-Ghazali mengkritik para filsuf lewat bukunya, tahafut al-falasifah, dan kemudian itu dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan tahafut al-tahafut-nya. Perbedaan ini bagi mereka adalah hal yang normal dan biasa terjadi. Mengkritik, dikritik adalah kultur peradaban. Pertanyaannya sekarang, mungkinkah kebeba-san yang sama dalam melahirkan pemikiran sebagaimana tokoh-tokoh di atas untuk kemudian pun bebas diperdebat-kan secara akademis tanpa rasa takut lepas dari nama be-sar MUI dan otoritas hakim kebenaran lainnya masih bisa kita rasakan saat ini? Jawabannya, dalam konteks pendidi-kan tentu terpulang pada bagaimana kultur akademik kita saat ini. Jika kulturnya, ramah dengan perbedaan pan-

dangan, setiap civitasnya bebas melontarkan gagasan se-jauh mampu dipertanggungjawabkan, maka kemungkinan itu terbuka lebar. Akan tetapi, jika kulturnya menghendaki penyeragaman pemahaman, setiap civitasnya diplot dalam satu model pemikiran maka kemungkinan itu berubah menjadi kemustahilan. Tawaran epistemologis dalam kerangka pendidi-kan Islam disini adalah kemungkinan bagi stakeholders pendidikan Islam untuk dapat melampaui proses pendidi-kan lebih dari sekedar urusan “corat-coret” RPP, kuriku-lum, teks-teks ujian dengan ragam variannya. Tetapi mem-buka ruang kebebasan pemikiran lebih luas dan men-dalam. Menjamurnya tindak dan laku kebencian serta kekerasan adalah implikasi dari kemiskinan dalam menilai segala hal dari sudut rasio yang sehat. Jika tidak demikian, maka dipastikan sejarah hari ini telah berputar ke belakang, dan kita akan menyaksikan bagaimana ke-hidupan barbarik sebagai sesuatu yang biasa dan sewajarn-ya saja terjadi. Mari meminang rasionalisme, demi pendidikan yang lebih baik-bermakna, demi peradaban.. hidupkan nalar, and say no to dogmatism..

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 9

Ist.

Page 9: Transformasi Not

Peduli Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Indonesia

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 10

Sejak beberapa tahun lalu pemerintah mulai memberla-kukan Ujian Nasional, sebagai salah satu media evaluasi belajar peserta didik. Hal ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana hasil belajar peserta didik dan juga kinerja dari pendidik selama tiga atau enam tahun melakukan proses belajar mengajar. Pada awalnya ujian nasional menjadi satu-satunya syarat bagi peserta didik untuk lulus dari institusi pendidikan, sistem pengujian di atas mengundang reaksi positif dan negatif dari beberapa pihak yang mengklaim diri sebagai masyarakat Indonesia, mere-ka berpandangan bahwa ujian nasional tidak bisa dijadikan satu-satunya syarat kelulusan siswa sebab keberhasilan belajar-mengajar di sekolah tidak hanya diukur pada ban-yak pengetahuan yang dimiliki, namun lebih dari itu yakni seberapa besar pengetahuan mempengaruhi peserta didik baik dari segi etika, moralitas, dan akhlak. Selain itu ujian nasional yang hanya dikhususkan pada beberapa mata pelajaran yang menjadikan mata pelajaran lain terkesan tidak berguna, hal ini menyebabkan kecenderungan meremehkan mata pelajaran lain beserta pendidiknya bahkan cenderung menghindarinya. Jika hal ini terus berlanjut maka filosofi pendidi-kan bagi sekalian guru saya rasa tidak lagi pantas untuk disandang, karena tujuan kita bukan lagi merubah, mem-bentuk serta menstimulus peserta didik kearah yang lebih baik. Tujuan utama dilaksanakan Ujian Nasional adalah meningkatkan kualitas pendidikan di Negara ini. Hanya saja meningkatkan kualitas pendidikan tidak dapat dicapai hanya dengan membuat suatu program kerja yang kita anggap terukur dan lain sebagainya, meningkatkan kuali-tas pendidikan juga bukan sekedar tugas dan tanggungja-wab dari pelaku pendidikan, baik itu sekolah pemerintah dan lain sebagainya. Mengutip sambutan dari Mentri Pen-didikan Indonesia saat ini “Memang Benar, secara konsti-tusional meningkatkan kualitas pendidikan merupakan tanggungjawab dari pemerintah, namun secara moral meningkatkan kualitas pendidikan adalah tanggungjawab kita semua” tahukah kita tentang keadaan sekolah kita yang dulu, tahukah kita tentang keadaan guru dan dosen kita, bagaimana problematika yang mereka hadapi di sekolah, sudahkah kita mulai peduli. Kita harus mulai menyadari sejauh mana kepedulian kita terhadap dunia pendidikan dan bahwa harta terbesar negeri ini bukanlah terletak pada sumber daya alam yang melimpah, bukan pada energi, bukan juga pada laut kita, tapi kekayaan kita

ada pada sumber daya manusia, oleh karenanya kita semua harus terlibat dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Orang tua harus lebih perduli tentang perkembangan fisik mental dan spiritual anak, para guru harus meningkatkan profesionalitas mereka, jika kita semua telah peduli maka sudah barang pasti kualitas pen-didikan yang diidamkan sedari dulu akan tercapai. Bebera-pa waktu yang lalu kita semua merayakan peringatan hari PENDIDIKAN NASIONAL yang bertepatan pada tanggal 2 Mei, tanggal tersebut diambil berdasarkan hari lahir dari bapak pendidikan bangsa ini yaitu Ki Hajar Dewantara, bagi beliau sekolah seharusnya seperti taman, rindang, sejuk, menggembirakan dan lain sebagainya. Jika filosofi taman ini benar diterapkan dalam sekolah, maka tentu para siswa akan senang jika berlama-

lama di sekolah dan berat hati jika meninggalkan sekolah. Tapi yang terjadi saat ini berbeda jauh dengan filosofi ta-man yang diucapkan oleh bapak pendidikan kita. Ke-hidupan seperti medan perang atau hutan belantara, yang memaksa para peserta didik untuk Survival dari ganasnya hutan atau kejamnya musuh peperangan, maka guru juga yang semestinya menjadi panutan dan memiliki tanggung-jawab memberi pengetahuan yang utuh dan bukan melakukan hal sebaliknya. Kita semua harus menyadari ujung dari permasa-lahan ini bukanlah soal anggaran yang kurang atau fasili-tas yang tidak memadai, namun kita sedang mengalami krisis kepedulian terhadap pendidikan di Indonesia, kita hanya memandang pendidikan hanyalah objek untuk men-cari nafkah atau sekedar mencari lisensi untuk mendapat-kan pekerjaan. Kita tidak peduli dengan dampak yang nantinya akan dihadapi, kita tidak menyadari bahwa kita-lah yang membuat pendidikan di Indonesia merosot, maka janganlah heran jika nantinya, pemimpin-pemimpin bangsa ke depan yang berasal dari generasi terdidik saat ini hanyalah segelintir orang yang hanya mencari keun-tungan dari kesempatan yang ada. Hal tersebut hanya dapat dicegah dengan membentuk Generasi-Peduli yang tidak hanya terbatas pada insan pendidikan semata tapi kita semua masyarakat Indonesia.

(Imam Handoyo)

Ist.

Page 10: Transformasi Not

Membaca IAIN Manado Topik Kampus

Apakah IAIN Manado berani untuk mengakomodasi isu-

isu tersebut sebagai objek penelitian?

Melihat dari letak geo-grafisnya, letak Sulawesi Utara san-gat strategis. Sekiranya Indonesia merupakan Negara yang berada di antara dua benua dan dua Samudera, maka secara geografis posisi Sulawe-si Utara menjadi salah satu pintu yang menghubungkan kedua benua tersebut dan merupakan pintu masuk dari pasifik yang menghubungkann-ya dengan Hindia. Ditambah lagi bagian utaranya berbatasan dengan Filipina. Hal ini menggambarkan betapa Sulawesi Utara merupakan propinsi yang secara geografis ber-potensi memainkan peran pentingnya dalam ekonomi, politik, sosial, dan budaya bukan hanya dalam skala nasional, tetapi juga global. Dengan letaknya pada bibir Samudera Pasifik, Sulawesi Utara menjadi pintu masuk dan keluar dari jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Pasifik dan Hindia serta Asia dan Australia. Sebagai jalur internasional, Sulawesi Utara juga merupakan salah satu jalur bagi perdagangan manusia, narkoba, he-wan langka, barang selundupan, ille-gal fishing, hingga terorisme. Menariknya lagi Sulawesi Utara me-wakili Indonesia “berhadapan” dengan pangkalan Laut Amerika Serikat di Selatan Pasifik. Ini meru-pakan isu-isu penting sebagai konsekwensi letak geografis Sulawe-si Utara. Sebagai Perguruan Tinggi Islam di Sulawesi Utara, tentunya memiliki peran strategis dalam mengembangkan wacana-wacana keIslaman lokal. Namun, melihat posisi geografis Sulawesi Utara yang strategis tersebut, IAIN Manado ha-

rusnya berani membaca peluang ini dan mengembangkannya dalam wacana keIslaman global (Selatan Pasifik). Mengapa tidak? Tentunya ini adalah tantangan besar untuk In-stitut yang baru berkembang ini. Persoalannya apakah IAIN Manado berani untuk mengako-modasi isu-isu tersebut sebagai objek penelitian? Kiranya perlu sesuatu yang besar untuk membaca isu-isu tersebut dalam kerangka pikir study Islam. Keberanian untuk mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama yang masih fokus kepada isu-isu lokal dan normative diperlukan untuk mendukung pembacaan-pembacaan tersebut. Untuk itu perlu melihat kembali arah IAIN Manado sebagai lembaga Pendidikan Islam satu-

satunya di Sulawesi Utara dan mem-buka seluas-luasnya kritikan sebagai sarana untuk memperbaiki institute dalam kontribusi positifnya mem-bangun bangsa.

Sebagai lembaga Pendidikan Islam satu-satunya di Sulawesi Utara yang berada di pintu Pasifik Selatan dengan tantangannya sebagai Insti-tute yang baru berkembang, kiranya dapat membaca tantangan ini dengan penuh keterbukaan pada kemung-kinan yang ada tanpa perlu takut pa-da konsekwensi dari keterbukaan yaitu keniscayaan perubahan. Sean-dainya kondisi ini dibaca dengan seksama dan dijadikan sebagai moti-vasi untuk membangun institute ke depan, maka tidak menutup kemung-kinan beberapa tahun ke depan ada mahasiswa dari Filipina dan daerah Pasifik Selatan lainnya datang untuk berguru disini. Bahkan lebih jauh

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 11

Ist.

Page 11: Transformasi Not

Keragaman merupakan hal yang pasti dalam aspek kehidupan masyarakat. Kenyataan akan kondisi keragaman secara langsung juga berkaitan dengan sikap atau ekspresi dari setiap orang ketika dihadapkan dengan pelbagai keragaman tersebut. Isu tentang keragaman memang selalu menarik untuk terus diperbincangkan, terutama dikalangan para aktivis dan akademisi. Meskipun juga, isu tersebut secara aktual telah menjadi salah satu wacana besar yang digaungkan oleh kalangan politisi dan birokrat, tentu dengan tujuan yang “berbeda” pula. Tapi bukan pada ruang ini kita akan memba-has tujuan dari masing-masing “pengamat” di atas tentang wacana tersebut. Dengan berkaca dari pengalaman kasus konflik di beberapa daerah yang melibatkan entitas masyara-kat yang berbeda atas nama agama maupun suku, tentu kita berharap pertentangan yang berujung

pada kerugian besar seperti itu tidak terjadi lagi. Namun sangat disayangkan, tidak sedikit pula saat ini aksi-aksi kekera-san mengatasnamakan agama masih tetap saja terjadi di beberapa daerah. Hegemoni akan mayoritas terus berlanjut. Keberagaman seolah menjadi “musuh” yang perlu dipangkas bahkan ditumpas. Kedewasaan menerima mereka yang ber-beda atau (the others) hanya sebatas pada slogan, tapi pada kenyataan ekspresi berbanding terbalik dengan apa yang “dikampanyekan”. Pada akhirnya yang tampak hanya sikap “pseudo” (keberpura-puraan) dalam semangat menerima perbedaan. Dalam konteks keragaman Sulawesi Utara, kita masih bisa berbangga dengan jargon “Torang Samua Basudara”. Sebuah istilah yang secara sosio-lingustik daerah menggambarkan setiap orang adalah bagian dari orang lain, tanpa me-mandang faktor pembeda apapun. Kita kemudian akan bertanya, masih bisakah ajakan yang sangat “inklusif” ini kita pertahankan, bahkan menjadi contoh yang “tepat dan sehat” bagi daerah lain dalam mengekspresikan keragaman di In-donesia.? Atau pada perkembangannya hanya akan menjadi kalimat yang “usang” yang tidak perlu dijadikan “dalil” atau model rujukan dalam menghargai keragaman.?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu ada agenda kembali merawat “ruang-ruang perjumpaan”. Ruang per-jumpaan yang mampu membahas persoalan yang lebih aktual dan faktual mengenai isu keragaman. Dalam hal ini, ada ekspektasi untuk mengkampanyekan wacana inklusif, sikap “welas asih”, moderatisme, bahkan pluralism, terhadap IAIN Manado sebagai satu-satunya lembaga pendidikan islam di Sulawesi Utara akan tampil berada pada garda terdepan yang senantiasa mencetuskan ide-ide mengenai pengelolaan keragaman tersebut. Tentu bukan hanya sebatas pada kajian wila-yah akademis saja, tapi memang memainkan peran aktif dalam mengekspresikan “wajahnya” sebagai kampus yang siap menjaga dan bisa dijadikan rujukan dalam wacana yang multikultural. Berada pada letak geografis yang strategis dan daerah yang masih menjadi barometer ukuran toleransi “terbaik” sampai saat ini, tentu hal ini menjadi tantangan bagi IAIN Manado yang baru saja “berevolusi” dari STAIN untuk men-ampilkan diri sabagai “kampus multikultural” yang mau dan mampu mengawal isu-isu yang berkaitan dengan keraga-man. Dengan mengedepankan nilai inklusifnya sebagai lembaga pendidikan islam yang moderat dan terbuka, IAIN Ma-nado tentu perlu memulainya dari dalam. Pertama, adanya peran aktif dari pimpinan kampus untuk selalu siap “memanfaatkan” momentum, yakni dengan bersedia menjadi bagian dari inisiator dalam menggelar ruang perjumpaan, seperti dialog antar agama. Menggagas adanya lembaga kampus yang bisa melibatkan diri dalam kegiatan advokasi mau-pun penelitian seputar wacana keragaman. Kedua, faktor dosen pengampu mata kuliah juga perlu disoroti. Bagaimana bisa, jika kita berharap IAIN Manado menjadi “kampus multikultural”, tetapi dosen didalamnya tidak jarang menampil-kan sikap tertutup dan senang “menghakimi” terhadap pemikiran yang” dianggapnya” keliru bahkan “sesat”. Sehingga cenderung tampil sebagai “otoritas absolute” pemangku kebenaran tanpa membuka ruang diskusi yang “wajaadilhum billati hiya ahsan”. Faktor yang terakhir, tentu ada pada mahasiswa. Kesiapan menjadi bagian dari masyarakat yang mul-tikultural, memerlukan juga komitmen intelektual dan ekspresi yang terbuka terhadap pelbagai perbedaan. “Nalar ber-pikir yang terdogma dan eksklusif”, meminjam istilah Mohamed Arkoun, perlu dihindari. Jika sekiranya faktor tersebut bisa menjadi perhatian dari segenap civitas, harapan kita pada IAIN Manado untuk tampil sebagai “kampus multikultural”, tidak hanya akan menjadi angan kosong saja. Ekspresi akan keragaman tidak jarang muncul karena faktor indoktrinasi di sekitarnya. Tinggal bagaimana individu “membaca” wacana tersebut. Pada akhirnya, kita pun akan bertanya: “mau dan mampukah IAIN Manado memulainya”.?

Adlan Ryan Habibie, (alumni STAIN Manado, koordinator

“Tunas Merdeka” Sulut)

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Multiekspresi Keragaman; Membaca IAIN Manado sebagai “kampus multikultural”

Page 12

Page 12: Transformasi Not

Topik keIs laman

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 13

ISLAM SEBAGAI PRODUK DALAM ILMU MANAJEMEN PEMASARAN

(Pengantar Studi Manajemen Pemasaran Produk Agama)

Fungsi manajemen seperti yang dijelaskan disemua buku manajemen adalah kegiatan manajemen yang saling terkait untuk mencapai keseluruhan proses. Empat fungsi manajemen yaitu : perencanaan (planning), pengorgan-isasian (organizing), pengaturan (directing), dan pengawasan (controlling). Ilmu manajemen masuk disega-la jenis dan cabang ilmu baik eksa atau social bahkan ilmu terapanpun dijamah. Mungkin dengan berjamurnya ilmu manajemen yang bisa hidup dicabang ilmu apa saja, se-hingga banyak masyarakat Indonesia belajar tentang ma-najemen. Salah satu yang menarik dalam ilmu ekonomi yang dijamah ilmu manajemen adalah marketing, (marketing management) atau manajemen pemasaran. Hal penting dalam manajemen pemasaran adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan perusahaannya dan terus berkembang. Maka tidak heran kalau sekarang setiap perusahaan untuk mencapai kesuksesan harus mem-iliki Konsep Pemasaran yang jitu untuk memberikan yang terbaik bagi konsumen (puas). Dengan kata lain, ilmu ma-najemen tidak hanya menganalisa barang apa yang akan diproduksi, tetapi apakah barang itu akan disukai atau tid-ak, dan disegmen mana akan dipasarkan agar bisa sukses. Nah pada bagian ini psikologi konsumen memiliki kajian tersendiri dalam ilmu manajemen pemasaran. “puas” untuk manusia sangat relatif. Bagaimana dengan beragama ??? apakah kita “puas” dengan agama kita ??? pertanyaan ini mungkin tak pernah terpikir bagi kita yang memiliki keyakinan kuat akan agama yang kita anut. Pernahkah kita mendengan tentang sekian orang di-murtadkan atau menjadi kafir karena Mie Instan atau dia menjadi kafir karna harta dan wanita. Suka atau tidak su-ka, hamper 100 % umat Islam Indonesia Islam karena orang tua yang beragama Islam, tetapi untuk menjadi mus-lim itu adalah pilihan. Sebab Islam tidak dipasarkan kepa-da anak kita tetapi keyakinan lain mengiklankan keya-kinan mereka kepada anak kita. Tahukah bahwa mana-jemen pemasaran agama yang baik akan mempengaruhi daya beragama bagi masyarakat.!!! Baik mari kita lihat:

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Be-ragama dalam Ilmu Manajemen Pemasaran

Faktor budaya, baik budaya masyarakat, sub bu-daya dan kelas sosial, mempengaruhi perilaku masyarakat atau peminat agama – agama yang diyakini.

Faktor sosial yang mempengaruhi perilaku masyarakat untuk beragama – terdiri dari kelompok yang mempengaruhi (reference group), keluarga (family), dan status sosial. Faktor pribadi perseorangan yang mempengaruhi perilaku masyarakat untuk beragama – terdiri dari tingkat siklus kehidupan ( life cycle stage) dan umur, pekerjaan, keadaan ekonomi, cara hidup (life style), kepribadian dan konsep diri sendiri (self concept) yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Faktor psikologis dari orang-orang yang mempengaruhi masyarakat dalam beragama adalah moti-vasi, persepsi, proses belajar dari pengalamannya serta kepercayaan diri dan sikap seseorang . Perilaku ingin beragama atau tidak merupakan segala sesuatu yang dilakukan individu yang menyangkut proses. Perilaku beragama meliputi bagaimana seorang memutuskan untuk memilih, cara mendapatkan, bagaima-na menggunakannya dan apa yang dilakukan setelah be-ragama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku be-ragama tersebut adalah faktor lingkungan, perbedaan in-dividual dan faktor psikologis. Berikut penjelasan dari ketiga faktor tersebut :

1. Faktor Lingkungan

Orang yang beragama ataupun tidak hidup dalam lingkungan yang serba kompleks, dimana proses kebu-tuhan mereka dipengaruhi oleh : Budaya, mencakup pada nilai-nilai, gagasan, dan simbol – simbol yang bermakna untuk membantu individu dalam berkomunikasi, melaksanakan penafsiran dan evaluasi berbagai gejala didalam masyarakat. Kelas Sosial, merupakan pembagian didalam masyarakat yang terdiri dari individu dengan berbagi nilai, minat dan perilaku yang sama. Pengaruh Pribadi, merupakan respon seseorang terhadap tekanan yang dirasakan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan harapan yang diberikan oleh orang lain. Keluarga, merupakan unit pengambilan keputusan utama, dengan pola peranan dengan fungsi yang kompleks dan bervaria-si.

2. Faktor perbedaan Individu

Page 13: Transformasi Not

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 14

Perbedaan individu merupakan faktor internal yang menggerakkan dan mempengaruhi perilaku suatu individu, perbedaan ini disebabkan oleh lima faktor yaitu : Sumber daya beragama, dimana setiap orang membawa tiga sumber daya dalam setiap situasi pengambilan kepu-tusan yakni waktu, dana dan perhatian. Motivasi dan Keterlibatan, motivasi merupakan faktor terpenting dalam hal mengendalikan pribadi yang dirasakan atau minat yang timbul dalam situasi yang spesifik. Dan keterlibatan merupakan refleksi dari motivasi yang kuat dan sangat dirasakan dari suatu agama dalam hal tertentu. Penge-tahuan, merupakan informasi yang disimpan dalam in-gatan, dimana pengetahuan orang yang ingin beragama mencakupi susunan luas informasi tatacara beragama, ho-kum dalam agama, dll. Sikap (attitude), merupakan suatu evaluasi menyeluruh yang memungkinkan orang berespons dengan cara menguntungkan atau tidak menguntungkan secara konsisten berkenaan dengan ob-jek atau alternatif yang diberikan agama. Kepribadian, Gaya hidup dan Demografi. Kepribadian merupakan karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang konsiten. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang di ekspresikan oleh kegiatan, minat dan pendapat seseorang, sedangkan Demografi yang tujuannya adalah mendeskripsikan orang yang ingin beragama seperti usia, pendapatan, dan pendidikan.

3. Faktor Proses Psikologis

a.Pengolahan Informasi yang menyampaikan cara – cara dimana informasi ditransformasikan, dikurangi, dirinci, disimpan dan didapatkan kembali dan disimpan, ini be-gitu penting bagi komunikasi pemasaran sehingga pen-golahan informasi seharusnya mendominasi bidang penelitian pemasaran beragama. b.Pembelajaran, merupakan proses dimana pengalaman menyebabkan perubahan dalam pengetahuan atau per-ilaku. c. Perubahan sikap dan perilaku, menggambarkan pengaruh psikologis dasar yang menjadi subjek dari be-berapa penelitian. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bah-wa Islam sebagai produk jika dianalisa dengan ilmu mana-jemen pemasaran maka itulah yang harus diperhatikan. Pertanyaannya adalah apakah kita mau menganalisa keinginan orang Indonesia memilih agama Islam itu kare-na apa ??? apakah agama islam itu popular sebagai agama

label atau Islam sebagai agama yang memuaskan masyara-kat Indonesia, atau Islam yang kita pilih adalah Islam yang betul-betul membuat kita bisa memiliki status social atau Islam yang kita pilih telah benar-benar kita yakini sebab telah kita pelajari seluruhnya. Sebab membeli produk an-droid atau smart phone saja kita begitu selektif bagaimana dengan beragama atau memilih agama yang baik dan benar sehingga agama bisa menjadi kebanggaan kita bahkan yang tadinya kita hanya konsumen yang mempela-jarinya, suatu saat ketika kita sudah mahir, maka akan menjadi pengiklan agama.

Proses Pengambilan Keputusan Beragama Keputusan beragama merupakan fungsi evaluasi dari keseluruhan sikap ditambah keyakinan tentang pengharapan-pengharapan dari orang -orang yang relevan yang akan menentukan perilakunya. Kombinasi antara kekuatan dan evaluasi tentang keyakinan penting seorang beragama akan membentuk perilakunya. Jika diibaratkan memilih produk dalam permintaan pasar maka teori dibawah ini bisa menjadi ilustrasi : Dalam membeli suatu produk biasanya kon-sumen mengikuti beberapa tahapan dalam proses pengambilan keputusan pembelian, menurut Boyd ( 2000 : 123) terdiri dari : (1) pengenalan kebutuhan, (2) pencarian informasi,(3) evaluasi alternatif, (pembelian), (5) perilaku pasca pembelian. Kelima tahapan tersebut mewakili proses menggerakkan konsumen dari pengenalan produk atau jasa ke evaluasi pembelian. Proses pengambilan keputusan beragama tidak bisa ter-jadi dengan sendirinya, sebaliknya masalah kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologis secara kuat mempengaruhi proses keputusan tersebut. Mereka memiliki pengaruh dari waktu beragama menerima ransangan melalui per-ilaku pasca beragama. Faktor budaya yang termasuk didalamnya adalah budaya dan nilai, sub-sub budaya dan kelas sosial, secara luas mempengaruhi pengambilan keputusan beragama. Faktor sosial menunjukan interaksi sosial antara beragama dan mempengaruhi sekelompok orang, seperti pada referensi kelompok, opini para pem-impin dan para anggota keluarga. Faktor Individu (pribadi), termasuk jenis kelamin, umur, keluarga dan daur hidup keluarga ( family life cycle stage), pribadi, konsep hidup dan gaya hidup adalah unik pada setiap individu dan memerankan aturan utama pada apa yang diinginkan dalam beragama. Faktor psikologis menentukan bagai-

Page 14: Transformasi Not

ISLAM BUDAYA – BUDAYA ISLAM;

Pengatar kajian Islam Indonesia Barat dan Timur

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

mana menerima dan berinteraksi dengan lingkungannya serta pengaruh pada keputusan yang diambil oleh masyarakat untuk beragama yang didalamnya terdiri dari persepsi, motivasi, pembelajaran, keyakinan dan sikap. Ada sebuah cerita seorang ayah yang mengajak anaknya naik motor yang kebetulan bermerek Islam tanpa Tanya si anak ikut saja. Tanpa harus tau bagaimana cara mengendarai motor, suku cadangnya beli dimana, onder-dilnya model apa, yang penting ikut saja. Namanya anak pastilah ikut orang tua. Siapa yang tidak mau naik motor. Sampai suatu saat si anak sudah bisa mengendarai motor yang mereknya Islam itu. Tapi sayangnya, ketika mo-tornya bermasalah dia tidak bisa berbuat apa-apa sebab dia

tidak tau harus apa, bahkan bengkel motor yang bermerek Islam ini, dia tidak tau ada dimana letaknya. Sugguh sa-yang…

Sedikit celoteh diatas seharusnya bisa menjadi pembanding tentang apa yang seharusnya kita lakukan dengan Agama Islam yang dianut. Sebab menjadi muslim itu mahal tetapi menjadi Islam sangat mudah cukup lahir dari orang tua beragama Islam otomatis kita menjadi Islam atau cukup mengucapkan dua kalimat syahadat kita sudah menjadi Islam. Semoga kita tidak sama seperti anak yang ada dalam cerita itu… amin.

(Naufal Najih F.T & Mufid Mu’ayyad F. T )

Hahahahahahahaaaaa….. banyak teman mengerutkan dahi sambil komat-kamit mencoba memahami dan mungkin tidak sedikit yang tersenyum sambil mencoba memahami celoteh anak LSBO Khalifah yang dituangkan dalam ben-tuk karya tulis. Baik kita mulai berceloteh….. secara se-derhana pemahaman masyarakat Islam Indonesia hapir sebagian besar terpengaruh oleh adat istiadat yang berlaku disebuah daerah entah itu di Barat Indonesia atau di Timur Indonesia. Geertz menulis sebuah buku yang amat menggem-parkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka. Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keaga-maan tadi dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teo-logi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Is-lam. Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti me-medi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum),

tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempu-nyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, sep-erti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso). Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan. Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvari-an, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah ke-lompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam ke-

Page 15

Page 15: Transformasi Not

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 15

lompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut. Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan terten-tu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern. Pengejawantahan dari ke-lompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak di-capai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam. Dalam pembahasan sekian banyak ahli sejarah entah dari luar ataupun dalam negeri sebagian besar men-jadikan pulau jawa sebagai patron dalam penyebaran aga-ma Islam entah itu Wali songo dan para ulama’ ulama’ pulau jawa lainnya. Sangat sedikit ahli sejarah mengupas asal-muasal Islam diwilayah Indonesia timur, bahkan be-lum ada yang membicarakan keunikan dan perbedaan an-tara Islam Indonesia Timur dan Islam Indonesia bagian Barat (pulau Jawa). Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa masyarakat muslim Indonesia bagian barat yang diwakili oleh pulau jawa oleh Geertz dibagi menjadi tiga kelompok dengan sedikit deskripsinya. Di Indonesia bagian timur tidak

dipungkiri pengaruh jawa begitu kental apalagi dulu pernah ada program transmigrasi oleh pemerintah sehing-ga budaya jawa yang diIslamkan ikut masuk menjadi bagi-an dari budaya Islam masyarakat Muslim Indonesia Ti-mur. Meski demikian, terdapat banyak perbedaan antara Islam Indonesia Timur dan Barat. Semisal dalam pe-nanggalan, bulan. Islam Indonesia timur hanya menggunakan dua kalender sebagai rujukan diantaranya kalender masehi dan hijriyah. Berbeda dengan Islam Indo-

nesia Barat masih menggunakan kalender jawa yang telah diislamkan ditambah kalender hijriyah dan kalender masehi. Belum lagi dalam pengistilahan hari. Meski sebagian besar masyarakat mus-lim Indonesia telah sera-gam menggunakan kal-ender masehi dalam ak-tivitas kerja. Salah satu keunikan Islam Indone-sia Timur adalah men-jadikan Islam sebagai budaya atau dengan kata lain banyak kegiatan-

kegiatan keagamaan yang dibuat menjadi budaya semisal hari raya ketupat yang rutin dilaksanakan seminggu setelah lebaran. Atau misalnya pawai obor menjelang satu muharram, atau per-ayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Dan lain se-bagainya. Tetapi tidak sedikit juga budaya local yang diislamkan di wilayah Indonesia timur seperti halnya yang terjadi di Indonesia Bagian Barat semisal kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain sebagainya. Terlepas dari itu semua, Islam Indonesia bagian timur memiliki kekhasannya sendiri, selain terdiri dari puluhan suku dan adat istiadat yang berbeda, sebagian besar menjalankan perintah agama Islam merujuk dari sumbernya tanpa harus mengislamkan kebiasaan (budaya local). Pertanyaan men-dasar untuk kajian / penelitian lebih lanjut adalah bagaimana factor sejarah, faktor psikologi masyarakat menjadi pembeda antara Islam Indonesia Timur dan Islam Indonesia Barat ??? Dan apa ada pengaruh ormas Islam serta majelis-majelis kajian Islam terhadap perkembangan Islam Indonesia Barat dan Timur.??? -

Page 16

Ist.

Page 16: Transformasi Not

Topik Umum

Dialog dalam film the imitation game, Alan Turing mengatakan Mengapa orang suka kekerasan? Itu Karena rasanya nikmat. Manusia rasa, kekerasan sangat memuaskan. Mungkin jawaban Turing hanyalah salah satu dari sekian jawaban yang memungkin kekerasan itu dilakukan. Untuk memahami bagaimana kekerasan terjadi, adalah dimulai dengan pertanyaan yang pada prosesnya melihat sesuatu terjadi. Pertanyaannya mengapa kekerasan merupakan alat untuk sebuah tujuan?. Pertanyaan ini bukan untuk menjawab secara tuntas tentang aspek apa yang memungkinkan terjadinya kekerasan, melaikan sebuah

hipotesis yang bersifat sementara dan tidak berpretensi untuk menjawabnya secara final atau secara “benar”. Artinya saya hanya mencoba menjawab dengan asumsi yang memungkinkan asumsi itu benar atau malah salah dalam melihat indikator-indikatornya. Kekerasan yang terjadi belakang ini dan marak yang terjadi di Indonesia untuk sebagian peneliti terutama Luthfi Assyaukanie meminjam bahasanya bahwa ini merupakan “kisah yang berulang” dan asumsi saya dapat dilihat dalam dimensi politik. Patricia Owens dalam artikelnya tentang Hanna Arendt mengatakan politik dipandang pada dasarnya berkaitan dengan akumulasi power (kekuasaan) atas pihak lain, dengan akumulasi kepemimpinan terhadap pihak lain. Power itu dipandang sebagai suatu instrument aturan yang menghasilkan hubungan hierarkis dan koersif antara penguasa dan yang dikuasai. Sedangkan violence (kekerasan) adalah ekspresi tertinggi-bahkan inti-dari kekuasaan. Arendt mendefinisikan “power” sebagai kapasitas kolektif yang muncul diantara banyak orang ketika mereka bertindak bersama-sama. Power hanya ada sebagai potensi sampai dibangkitkan oleh orang yang bertindak seiring untuk mencapai tujuan bersama mere-ka. Power adalah tujuan. Sementara itu, violence adalah instrument-nya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dapat dilihat bahwa terjadinya kekerasan/terror terhadap pihak lain yaitu, dalam sebuah lembaga kekuasaan (power) seperti institusi negara ataupun institusi lainnya. Kemudian kekuasaan mempertahankan suatu dominasi dengan cara penaklukan terhadap pihak lain melalui cara kekerasan yang terselubung atau simulasi (dengan maksud bahwa kejadian itu benar terjadi demi langgengnya kekuasaan). Jika proses-proses itu terjadi maka apa yang memungkinkan kekuasaan ada? Kalau dilihat dalam pandangan Foucault bahwa jika kekuasaan itu ada dimana-mana, maka individu dan kelompok termasuk didalamnya. Kekerasan yang dilakukan individu mungkin bersifat emosional (psikologis). Nah, bagaimana dengan kekerasan terjadi dalam se-buah kelompok (kolektif) dan bagaimana itu tercipta? Saya memahami sebagai; bahwa jika kekuasaan memungkinkan kekerasan terhadap apa yang dikuasai, ini berarti kekuasaan ingin mempertahankan kedaulatannya tanpa adanya tendensi perlawanan dari pihak yang dikuasai. Bagaimana kekerasan itu digunakan oleh kekuasaan? Dalam penelitian yang dilakukan Julie Southwood & Pat-rick Flagnan yang meneliti kekerasaan yang terjadi di Indonesia terutama pada masa Orde Baru. Pertama, rekayasa peri-stiwa; dimana rekayasa dapat dibuat dengan memalsukan peristiwa masa silam atau menciptakan peristiwa-peristiwa lain sesuai zamannya. Kedua, kekerasan fisik dan mental; seperti teror dan propaganda di Indonesia yang bertujuan me-manipulasi rakyat untuk patuh dan mau bersikap “kooperatif” dengan kekuasaan betapapun brutal, eksploitatif dan me-langgar kebebasan. Ketiga, Propaganda; tujuannya adalah mendapatkan kepatuhan masyarakat yang membabibuta dan tidak kritis terhadap perintah serta kebijakan para penguasa. Masih ada contoh kasus lain yang berkaitan penggunaan premanisme seperti yang digambarkan dalam sebuah novel penembak misterius karya Seno Gumira Ajidarma, bahwa kekuasaan menggunakan premanisme untuk membuat situasi jadi ricuh atau seperti Stalin dan Hitler yang menggunakan orang terlatih (intelejen) dengan tujuan menggulingkan lawan-lawannya. Situasi yang terjadi di atas seolah terlihat seperti adanya “jaring-jaring” kekuasaan yang menggambarkan kekuasaan itu ada dimana-mana. Ataukah adanya sebuah perselingkuhan antara institusi legal dan negara. Sulit juga un-tuk memberikan jawaban yang tepat karena tulisan ini hanya bertujuan untuk melihat situasi yang terjadi tanpa ber-pretensi memberikan pernyataan yang “benar” atau sesungguhnya terhadap suatu peristiwa.

(Joko)

Kekerasan = Kekuasaan

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Page 17

Ist.

Page 17: Transformasi Not

Apa yang sesunggunya berbeda? Dan kenapa gagasan liberal-isme begitu berbeda?

Kita mengetahui dua pandangan yang sangat berbeda dalam memahami tentang manusia dan seluruh kehidupannya (sebuah pilihan untuk hidup berdasarkan putusan mana yang terbaik), yaitu individualisme dan kolektivisme. Dari pertan-yaan pertama di atas tentang apa yang sesungguhnya ber-

beda? Adalah ketika melihat manusia dalam seluruh kehidupannya dilihat dari pili-hannya menentukan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Individualisme adalah sebuah keniscayaan bagi setiap orang dimana ia berhak atas hidupnya, dan jika setiap orang mengetahuinya maka dengan sendirinya ia akan menghormati siapapun atas hak hidupnya. Sedangkan kolektivisme adalah sebuah pan-dangan bahwa manusia ditentukan oleh sebuah pandangan kebersamaan yang diatur secara kolektif dan manusia itu sendiri pada-dirinya adalah sosial. Akan tetapi jika argu-men dari pandangan kolektivisme dipertanyakan lagi, yaitu kenapa manusia butuh orang lain atau pada-dirinya sosial adalah karena ia makhluk individu. Kesalahan orang melihat bahwa sesungguhnya seorang individualis adalah mere-ka yang bukan atau tidak bekerja sama dalam bidang apapun merupakan sebuah pan-dangan yang keliru. Sebab individualisme tidak semata-mata dilihat dengan cara seperti itu, jika yang di asumsikan memang demikian lalu kenapa sebuah Negara kapitalis mampu bahkan sebuah keniscayaan menyumbangkan kemajuan bagi manusia secara global. Pertanyaan kedua kenapa gagasan liberalisme begitu berbeda? Sesungguhnya penilaian ini bukan atas dasar asumsi bahwa mereka adalah liyan (orang lain). Penilaian ini adalah derivasi yang telah menjadi darah daging oleh mereka (kolektivisme “sebuah pandangan kebijaksanaan kaum sosialis”), yang memandang bahwa liberal (baca; individ-ualisme) adalah egoisme itu sendiri. Setidaknya argumen itu adalah benar. Tetapi mereka tidak melihat bahwa itu sebuah kejujuran yang tidak dipaksakan. Sesungguhnya mereka (yang mengatakan bahwa ide liberalisme adalah sebuah pandangan yang keliru) sebenarnya tidak cukup sabar dalam meilihat bahwa ide liberal telah memberikan sebuah kemajuan yang luar biasa. Coba kita renungkan bahwa sebuah perekonomian tidak akan tumbuh tanpa adanya gagasan-gagasan liberal yang mengahar-gai tentang individualisme, kebebasan dan hak milik. Begitupun dengan sebuah ide pem-baharuan dalam matra pendidikan yang takkan terlaksana tanpa adanya kebebasan dalam berpikir. Demikian juga dalam wilayah yang lain. Ada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa “gagasan tentang liberal adalah pan-dangan barat dan jelas merupakan pandangan yang berbeda bagi bangsa kita oleh karena itu tidak murni.” Asumsi itu cukup naif sebab apa yang dikatakan murni (pure), bersifat obscure. Contohnya, dimana dasar bagi bangsa ini ter-stimulan oleh gagasan-gagasan (konsep-konsep) dari barat. Jadi apa yang sesungguhnya murni dari asumsi di atas itu?. Perbedaan yang sesungguhnya dari pandangan liberalisme dan kolektivisme (sosialis), dan jika setiap orang memahami itu dan cukup sabar mempelajarinya adalah cara mereka memahami individualisme (hidup), kebebasan dan hak milik.

(Pegiat di Kelompok Pembelajar)

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

“there is nothing as glamorous as a brilliant

a chievement of the

human mind”

-Ayn Rand

Liberalisme Sebuah Gagasan Berbeda

“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga

engkau memakai umat

manusia, baik dalam

pribadimu, maupun

dalam pribadi setiap

orang lain, selalu juga

sebagai tujuan, tidak

pernah hanya sebagai

sarana.”

-Immanuel Kant

“minoritas terkecil di bumi adalah individu.

siapapun yang

menyangkal kebenaran

individu tidak dapat

mengklaim pembela

minoritas”

-Ayn Rand

Page 18

Ist.

Page 18: Transformasi Not

Topik Cerpen

“saya ibarat masuk hutan rimba yang dipenuhi binatang buas” ungkapan inilah yang dilontarkan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Koya pada sambutan acara kemaha-siswaan. Ungkapan diatas men-imbulkan kontroversi dikalangan mahasiswa. Secara tidak langsung menggambarkan bahwa dunia maha-siswa atau dunia lembaga kemaha-siswaan itu asing bagi warek III, bisa saja minim pengalaman organisasi, atau minim bersosialisasi dengan khalayak ramai. Atau bisa saja dunia mahasiswa dianggap buas seperti binatang dihutan rimba. Walla-hu’alam… meski mahasiswa itu sesungguhnya bukan binatang. Teta-pi yang perlu dipahami bahwa ungkapan ini lahir dari kepanikan akan sebuah tugas besar yang harus diemban yang entah harus dimulai darimana. Sehingga tidak heran keti-ka banyak kebijakan yang dikeluar-kan tidak menambah prestasi maha-siswa malah memperburuk prestasi mahasiswa. Kemudian dikesempatan yang lain ada lagi ungkapan “jika ada yang bermasalah denganku maka hidupnya tidak akan tenang dan akan mendapat penderitaan” ungkapan ini menunjukkan karakter dari seseorang yang lebih dekat dengan sifat-sifat

jin (pendendam). Kita tahu bahwa manusia itu makhluk Allah yang paling mulia sehingga seluruh yang ada pada semua makhluk ciptaaan Allah pasti ada di manusia sehingga kita bisa melihat banyak manusia seperti binatang karna memang di manusia sifat binatang itu ada. Ada manusia yang seperti malaikat, dan ada yang seperti setan atau jin. Semua diberi pilihan kepada manusia bahwa kalian ingin lebih menjadi apa..??? Ungkapan tentang “mahasasiswa kritis itu tidak mungkin, pasti ada orang / oknum dosen dibelakang mahasiswa ketika mereka demo mengkritisi kebijakan Birokrasi khususnya kebijakan yang berhubungan dengan mahasiswa ”. Ungkapan yang lahir dari pemikiran picik ini adalah menganggap mahasiswa itu terlalu bo-doh. Seakan mahasiswa mudah di-profokasi dan tak mamapu menganalisa setiap kebijakan warek yang berhub-ungan dengan kepentingan mahasiswa dan kesejahteraan mahasiswa. Ini aneh… seharusnya dia dan mereka sadar bahwa kampus ini ada karna mahasiswa bahkan bisa beralih status salah satunya karna jumlah mahasiswa, seharusnya perlakuan terhadap mahasiswa lebih baik dan setiap ucapan tindakan dia dan mereka menjadi contoh. Bayangkan ka-lau semua mahasiswa kita mencontohi

semua ungkapan warek III Univer-sitas Koya khususnya ungkapan yang kedua “jika ada yang bermasalah denganku maka hidupnya tidak akan tenang dan akan mendapat pender-itaan”. Pasti mahasiswa Universitas Koya setiap harinya akan mencari-cari kesalahan orang untuk diumbar kepublik dan tidak akan berhenti sampai orang itu disingkirkan dari Universitas Koya., Naudzubillah Tsumma Naudzubillah.. Kemudian dari sekian banyak kegiatan yang telah dihasilkan oleh mahasiswa apa prestasi yang dapat dibanggakan ??? Kalaupun ada itu bersumber dari usaha pribadi mahasiswa dengan mengembangkan bakat yang telah ada sejak dia belum masuk di Uni-versitas Koya. Metode pembinaan khusus yang bersifat istiqomah tidak pernah ada. Yang ada tiba masa tiba akalnya…. Nanti sudah dekat per-lombaan baru mau berlatih ada apa semua ini…??? Jawabannya adalah itukan urusan lembaga kemaha-siswaan. Bukan urusan saya. Saya banyak urusan malas mengurus yang begituan. Astagfirullah… inikah yang menjadi contoh mahasiswa..??? Haruskah prestasi cuci tangan ini dipertahankan ?? menari diatas keterpurukan dan miskin prestasi mahasiswa Universitas Koya.

Ungkapan Maut dan Prestasi Cuci Tangan di Universitas Koya

Page 19

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Lagi-lagi Universitas Koya membuat gebrakan baru dengan menghardik anak-anak berprestasi + miskin. Kemarin tepat-nya pada pertengahan bulan april belum cukup sebulan pelantikan pejabat di lingkungan Universitas Koya, Wakil Rektor III Bidang Ke-Mahasiswa-an menghardik anak-anak berprestasi dengan alasan yang aneh, meski nilai IPK mereka rata-

rata 3.20, tetap saja ditendang dan disingkirkan dari daftar penerima Beasiswa Bidik Misi. Mendengar istilah BIDIK MISI tentu tidak asing bagi masyarakat Indonesia, sebab program yang digagas presiden SBY ini masih berlaku sampai sekarang dimasa kepemimpinan Presiden Jokowi. Point penting dalam program BIDIK MISI adalah bagaimana pemerintah dapat menyalurkan bantuan langsung tunai kepada anak bangsa yang miskin dan berprestasi. Entah apa yang ada di pikiran warek III bidang kemahasiswaan Universitas Koya dengan semenamena mengganti sekian banyak maha-siswa dalam program bantuan ini. Bahkan yang memilukan adalah hamper sebagian besar pengganti dari anak-anak

Beasiswa Hardik Prestasi; Sebuah kisah di Universitas koya

Page 19: Transformasi Not

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

Pada tahun 2014 yang lalu Rektor Universitas Koya ingin di-jatuhkan oleh segelintir orang yang mengaku paling berkuasa ditanah rantau nyiur melambai, sampai pada suatu hari ada diskusi kecil antara mahasiswa dan sepasang suami isteri yang kebetulan keduanya dosen Universitas Koya. Begini ceritanya :

Mahasiswa : kita harus demo pokoknya harus demo.

Dosen P : demo saja … memang harus didemo oleh mahasiswa.!

Dosen L : iya memang harus demo mahasiswa harus demo un-tuk menyatakan sikap..!!!

Mahasiswa : bapak serius mendukung kita demo ???

Dosen P : saya mendukung sepenuhnya… demo saja…!!!

Dosen L : kalau perlu sesuatu bilang saja….

Dosen P : kamu perlu apa..??? Bilang saja….

Mahasiswa : terimakasih pak/ibu kami tidak perlu apa2 kami hanya ingin suara kami didengar kalau kami perlu keadilan antara hak dan kewajiban kami.

Dosen L : iya kalian memang harus menuntut itu saya orang

Yang paling mendukung kalian apa lagi kalau bicara hak mahasiswa .. Kalian sudah bayar mahal kenapa hak kalian diabaikan..??? Itu tandatanya besar…

Mahasiswa : memang masalah akreditasi Universitas Koya masih menjadi tandatanya besar… kenapa sudah sekian tahun institusi ini berdiri akreditasinya masih kabur bahkan terkesan ditutup-tutupi kebenarannya…

Dosen P : memang kampus ini tidak becus orang-orangnya … demo saja kalau perlu jangan berhenti sampai kemauan kalian tercapai…

Dosen L : memang harus seperti itu kalian harus kritis…

Mahasiswa : terimakasih pak/ibu atas dukungannya…

Delapan Bulan Berlalu…… Setelah Percakapan….. Ternyata Si Dosen P, sama Si Dosen L Keduanya menjadi pejabat yang bias dibilang lumayan tinggi hamper menyentuh langit… suatu hari mahasiswa yang sama dengan kelompoknya mencoba kritis dan bertanya kepada Dosen P :

Mahasiswa : Ini apa2… kenapa kebijakannya seperti ini… kena-pa kami dianggap musuh… padahal kami adalah masyarakat kampus ini. Kami membayar SPP untuk membiayai tunjangan kamu Dosen P.

Dosen P : Pokoknya kalo ada yang bermaslah dengan saya pasti hidupnya akan sengsara…

Mahasiswa ; Kemarin diwaktu kalian Cuma dosen biasa kalian mendukung kami bahkan sering member kami masukkan agar melakukan demo. Sekarang setelah menjabat malah kami yang kalian hardik. Kami berharap dengan pemikiran kalian dosen P dan L kami bisa mendapat pimpinan yang lebih arif dan berpiha-

miskin tadi adalah anak kos yang tinggal di kos-kosan sang warek tiga Universitas Koya. Subhanallah…. Diberbagai Universitas di Indonesia khususnya di Sulawesi Utara mungkin hanya Universitas Koya yang menggunakan aturan tambahan sebagai bahan untuk menghardik anak yatim dikampusnya, sebut saja Unsrat, Unima, IAIN Manado, Unklab tidak ada aturan lain selain aturan BIDIK MISI yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Tapi sangat aneh di Universitas Koya mereka menambahkan aturan pembelajaran malam hari dan lebih aneh lagi honor pembayaran tenaga pengajar itu diambil dari bantuan beasiswa untuk mahasiswa dengan aturan yg dibuat sedemikian rupa dan sangat mengikat sampai2 mahasiswa harus membubuhi tandatangan diatas mate-rai. Persoalan mendasar yang terjadi adalah mahasiswa miskin dihardik dengan memaksa mereka harus mengikuti kegiatan malam dan ketika tidak mengikuti maka dikeluarkan dari program beasiswa bantuan pemerintah. Seharusnya mahasiswa mengikuti ataupun tidak dalam program itu mestinya tidak masalah sebab honor tenaga pengajarnya tetap dipotong dari bantuan mahasiswa yang diberikan pemerintah. Sangat aneh ketika anak yatim memberikan sedekah dari sebagian bantuan yang diberikan pemerintah kepada tenaga pengajar kemudian mereka harus dihardik. Dan menurut tim investigasi dilapangan ternyata hasil pembelajaran malam itu tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan mahasiswa bahkan tidak ada pengaruh dengan nilai mata kuliah yang mereka tempuh. Buktinya meski mereka tidak mengikuti pembelajaran malam, mereka tetap mendapat nilai baik, akhlak mereka baik, meski mereka lebih kritis dengan berani mengatakan salah ketika salah dan mengatakan benar ketika mereka benar. Nah hal ini kemudian menjadi ancaman bagi warek tiga. Semakin anak-anak miskin ini mengkritisi kebijakannya, makin dihardiklah anak-anak yatim tadi. Bahkan tidak jarang mahasiswa sering diancam dan diteror sedemikianrupa. Pembunu-han karakter dilakukan terusmenerus kepada mahasiswa yang kritis dengan kebijakan warek III Universitas Koya. Seha-rusnya hal ini tidak terjadi ketika kebijakan itu tegas tetapi melalui tahapan proses semisal teguran lisan, teguran tulisan dan baru diberhentikan ketika dua teguran tadi tidak diindahkan. Semoga persoalan tadi tidak terjadi di kampus yang kita cintai IAIN Manado. (B-ONE)

Kisah Bukan Teladan

Page 20

Page 20: Transformasi Not

Page 21

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

k kepada mahasiswa. Ternyata kalian lebih parah dari orang-orang sebelum kalian. Kemarin kami mengkritik, pendahulu kalian tetap menjadikan ka-mi anak dan itu dianggap sebagai dinamika kampus sebab hal yang wajar ketika kami mengkritik ke-bijakan kampus. Hari ini kami mengkritik, kami dijadikan musuh bahkan dengan terang2 terangan mengancam kami dengan akan mengsengsarakan kami dikampus ini. Kalian sungguh keterlaluan hai dosen P dan L ….

Dosen L : Kalau dia (P) keterlaluan kamu mau apa..??? Siapa dibelakangmu panggil kesini hadapi saya… kalian saya sudah rekam dan pembicaraan ini saya rekam …. Kal-ian harus mengaku siapa dibelakang kalian….

Mahasiswa : Ini murni sikap kami sebab kalian berdua P dan L sudah sangat keterlaluan…. Kalau saja Rektor ingin mengusut tuntas tentang aksi kami kemarin … dan rector bersikap sama seperti kalian ini, yakin pasti kal-ian tidak akan diangkat menjadi pejabat …. Baiklah.. Karna kalian telah banyak menyusahkan kami maha-siswa Universitas Koya… dengan senang hati kami

akan beberkan belang kalian… agar rector Universitas Koya tahu siapa kalian dan kami yakin dia akan sangat menyesal telah mengangkat kalian sebagai pejabat… sebab masih ada yang lebih pantas dan lebih baik dari kalian …..

Hikmah didalam salah satu kisah di Universitas Koya ini adalah seharusnya mahasiswa menyelesaikan segala sesuatu itu dengan cara baik, semisal mengkonfirmasi tentang isu yang berkem-bang, kemudian berdiskusi dengan pemegang kebijakan kampus dalam hal ini Rektor Universitas Koya tidak harus demo. Kemudian seharusnya para dosen memberikan pemahaman pos-itif kepada mahasiswa bukan kemudian memprovokasi maha-siswa. Sadarkah mereka, bahwa suatu saat mereka yang akan berada diposisi pengambil kebijakan dikemudian hari…. Dan hal ini bisa terulang sebab hokum karma itu ada… dan nyata. Jika kita tidak ingin disakiti orang maka seharusnya jangan menyakiti orang lain. Kalau kita tidak ingin diganggu orang, maka janganlah kau ganggu orang lain. Apalagi yang kau ganggu itu orang yang tidak pernah mautau dengan urusanmu... Semoga kisah diatas menjadi pelajaran bagi kita semua...

(AN-X)

Pernah gak sih kalian berbuat baik ke seseorang eh jatuhnya malah kalian dimanfaatkan karena kebaikan kalian?

Rasanya sakit banget kan, niatnya baik malah dapet jelek dari orang.

Kayak air susu dibalas dengan air cucian piring. Terlebih lagi seseorang itu bilang sesuatu di belakang kalian yang intinya seperti, "Bego banget sih jadi orang. Mau aja disuruh apa aja." Well, bukankah yang kelihatan bego itu malah yang bilang orang lain bego ya?

Gue yakin, setiap orang punya teman yang cuma dateng pas mereka butuh doang. Setelah selesai urusannya, lalu pergi.

Gue pernah mengalami hal itu. Dan rasanya gue gak ikhlas buat nolongin dia. Baik-baik ke gue, mewek-mewek minta tolong, bilang makasih, dan menghilang.

Setelah berminggu-minggu kemudian, gue inget kejadian dimana dia pernah ngebantu gue juga. Dan mungkin ada lagi, sayangnya gue seorang pelupa yang handal.

Yah, jadi orang baik itu enak sebenarnya. Contohnya sering dipuji. Dapet ucapan terima kasih. Apalagi ucapannya dateng dari orang yang kalian taksir. Bakal seneng kampret jadinya. Ya gak sih?

Sama dengan teori sebuah hubungan percintaan sih. Ngedapetin sebuah hubungan itu gampang, yang susah itu mempertahankannya.

Sama. Jadi orang baik itu juga yang sulit adalah saat mempertahankannya.

Tapi, kalo dipikir, orang itu kayaknya gak mungkin jadi orang baik yang super baik. Karena orang paling baik sekalipun, pasti ada jahatnya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang paling jahat sekalipun, pasti ada baiknya.

Menurut gue, kita gak harus selalu menjadi orang baik. Tapi kita butuh menjadi orang yang baik. Semampu diri kita masing-masing.

Karena saat kita berbuat baik ke seseorang yang mungkin tidak dikenal, maka suatu hari di masa depan, kita mungkin akan bertemu orang yang tidak dikenal itu lagi untuk berbuat baik kepada kita.

Seperti hukum alam, memberi dan menerima ….. (P-MAN)

Jadi orang baik itu susah

Page 21: Transformasi Not

Primary Business Address Your Address Line 2 Your Address Line 3 Your Address Line 4. Kampus STAIN Manado, Camar V, Kelurahan

Addres Info

Phone : 0823 9639 3667 Email : [email protected]

Selamat dan sukses kepada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado

yang menjadi tuan rumah atas penyelenggaraan AICIS (Annual International

Conference On Islamic Studies) tahun 2015 dengan mangangkat tema Harmo-

ny In Diversity; Promoting Moderation and Preventing Conflicts in Socio-

Religious Life.

Sebagai satu-satunya Institut agama Islam di Manado sudah sepantasnya

IAIN menjadi mercusuar pengetahuan dengan mengajarkan nilai-nilai moder-

atisme yang diharapkan tidak berhenti pada wilayah teoritik tapi kemudian

bisa diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Mengingat kondisi masyarakat Nyiur Melambai yang bersifat heterogen meru-

pakan suatu yang hukumnya “wajib ‘ain” untuk mempertahankan nilai-nilai

moderat sebagaimana slogan Kota Manado “Torang Samua Basudara”. kegiatan seperti ini haruslah diapresiasi oleh semua elemen masyarakat dan

juga lingkuan Institut sebagai langkah konkret dalam meredam fenomena vio-

lence (apapun bentuknya) serta mendorong moderasi dan mencegah konflik da-

lam kehidupan sosial-keagamaan.

Semoga dengan diselenggarakannya kegiatan ini dapat menjadikan Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Manado sebagai bagian dari pembaharuan me-

lalui gagasan dan wacana pemikiran Islam yang lebih progress di Sulawesi

Utara.

On The Web..!!!

khalifahlsbo.blogspot.com

LEMBAGA SENI BUDAYA DAN OLAHRAGA (LASBO) KHALIFAH TRANSFORMASI NOT

LSBO KHALIFAH

Penanggung Jawab :

LSBO Khalifah

Tim Penyusun :

Divisi Litbang

Joko Mantu

Adiyatma Mokoginta

Abdurrahman Kasim

Page 22

Business Name

Lembaga Seni Budaya dan olahraga (LSBO) Khalifah IAIN Manado Men-gucapkan Selamat Datang Kepada Mahasiswa Baru Di kampus Hijau IAIN Manado. Dan selamat kepada segenap mahasiswa IAIN Manado khususnya kepada pengurus LSBO Khalifah yang telah menyelesaikan ‘Ujian Akhir’. Semoga selalu tetap eksis dalam memperjuangkan hidup demi masa depa yang cerah.

Cat : Gambar ilustrasi di akses lewat www.Google.com dengan symbol ist (istimewa).