transformasi model pengembangan vanili (vanilla...

35
TRANSFORMASI MODEL PENGEMBANGAN VANILI (Vanilla planifolia A.) SEBAGAI KOMODITAS AGRIBISNIS UNGGULAN MENUJU PENGUASAAN PASAR DUNIA SECARA BERKELANJUTAN (Studi Literatur di Indonesia) KARYA ILMIAH Disusun Oleh: IWAN SETIAWAN, SP., MS NIP. 132 206 502 JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2004

Upload: trinhnga

Post on 11-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TRANSFORMASI MODEL PENGEMBANGAN VANILI (Vanilla planifolia A.) SEBAGAI KOMODITAS AGRIBISNIS UNGGULAN

MENUJU PENGUASAAN PASAR DUNIA SECARA BERKELANJUTAN

(Studi Literatur di Indonesia)

KARYA ILMIAH

Disusun Oleh:

IWAN SETIAWAN, SP., MS NIP. 132 206 502

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

2004

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman vanili (Vanilla planifolia Andrews atau Vanilla fragrans), bukanlah

tanaman asli Indonesia. Secara historis, tanaman tahunan ini baru masuk ke Indonesia

pada tahun 1819. Namun demikian, tanaman vanili tumbuh lebih subur dan lebih

produktif di Indonesia yang beriklim tropis, dibandingkan dengan negara asalnya

(Mexico) dan negara produsen vanili lainnya. Bahkan, menurut Suwandi dan

Sudibyanto (2004), kualitas vanili Indonesia yang dikenal dengan “Java Vanili” masih

yang terbaik di Dunia. Hal ini didasarkan atas kadar vanilinnya yang cukup tinggi,

yakni sekitar 2,75 persen. Kadar tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar

vanili Madagaskar yang hanya 1,91-1,98 persen, Tahiti 1,55-2,02 persen, Mexico 1,89-

1,98 persen, dan Sri Lanka 1,48 persen. Di tinjau dari perspektif spasial dan bisnis,

maka Indonesia unggul secara komparatif dibanding negara-negara produsen vanili

lainnya di dunia.

Secara umum, vanili bernilai ekonomis tinggi dan fluktuasi harganya relatif

stabil jika dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya. Namun pada

kenyataannya ironi, meskipun kualitas vanili Indonesia menduduki posisi paling tinggi

di Dunia, tetapi secara kuantitas Indonesia baru bisa memasok sekitar 10 persen dari

total kebutuhan pasar dunia (Badan Pengembangan Ekspor Nasional, 1995).

Meskipun posisinya menduduki urutan ketiga di dunia, namun angka pasokan tersebut

masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Madagaskar yang mampu memasok

sekitar 70 persen pasar dunia dan Comoro Island sekitar 12 persen. Kecenderungannya,

2

dalam 13 tahun terakhir (1990-2003), volume dan nilai ekspor vanili Indonesia pun

berada pada kondisi yang tidak stabil, bahkan mengarah pada penurunan yang cukup

signifikan (Tabel 1). Kondisi tersebut jelas berbeda dengan perkembangan volume dan

nilai ekspor vanili pada era 1980-1990 yang cenderung terus menunjukkan peningkatan.

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan merebaknya serangan hama penyakit di

sentra-sentra produksi vanili di Indonesia.

Kecenderungan penurunan volume dan nilai ekspor vanili Indonesia pada

periode 1990-2003 sebagaimana terlihat pada Tabel 1, jelas menarik untuk dicermati

dan dikaji, karena terjadi dalam sistem pembangunan pertanian yang berpijak pada

paradigma agribisnis. Secara teoretis maupun praktis, agribisnis sendiri merupakan

alternatif pendekatan pembangunan pertanian mutakhir yang diyakini oleh para

penganutnya (terutama ekonom dan teknolog), akan mampu membawa sektor pertanian

negara manapun menjadi lebih modern, bernilai ekonomis, dan berdaya saing tinggi.

Tetapi menariknya, kenapa dalam satu dasa warsa implementasi kebijakan agribisnis

tersebut, vanili Indonesia yang unggul secara komparatif maupun kompetitif, sedikit

sekali kontribusinya (10%) terhadap pasar vanili dunia, produktivitasnya tetap rendah,

dan begitu juga nilai ekspornya. Padahal, secara makro permintaan atas vanili dari

negara-negara konsumen cenderung terus meningkat (Tabel 2), seiring dengan

meningkatnya penggunaan vanili oleh industri makanan, minuman, obat-obatan,

kosmetika, parfum, rokok, bahan kimia (campuran mesiu), tekstil, dan sebagainya.

Disamping itu, secara kuantitas permintaan atas vanili, diduga akan pula datang dari

negara-negara produsen baru, baik dari negara-negara yang berada di Benua Asia,

Eropa, maupun Amerika Serikat. Pertanyaannya, adakah sesuatu yang salah dalam

sistem dan model pengembangan pervanilian yang diterapkan di Indonesia selama ini?

3

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Vanili Indonesia, Pada Kurun 20 Tahun Terakhir (1990-2000).

Tahun Volume (ton) Nilai (.000 US$) Tahun Volume (ton) Nilai (.000 US$) 1980 77 1.344 1992 763 22.680 1981 138 2.110 1993 720 20.976 1982 115 2.357 1994 629 22.494 1983 234 6.728 1995 632 17.452 1984 154 6.387 1996 539 12.726 1985 175 8.469 1997 507 9.145 1986 298 10.713 1998 729 8.764 1987 411 11.481 1999 339 5.497 1988 507 9.810 2000 350 8.503 1989 677 14.007 2001 533 6.916** 1990 607 16.366 2002 898 11.653** 1991 666 18.805 2003 697* 9.044**

(Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2002. *) Asumsi Penurunan 34 % Menurut FAO (2004).

**) Asumsi Harga Rata-Rata (Rp.12.977.400,-/ Kg) di Tingkat Lokal Menurut FAO (2004)

Tabel 2. Tingkat Permintaan Vanili Menurut Negara-Negara Importir Vanili Dunia dalam Periode 1994-2002.

Tingkat Permintaan Vanili (Ton) No Negara 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 1. AS 1.245 1.481 1.524 2.198 1.941 1.361 1.305 1.470 1.117 2. China 1 1 0 1 0 0 2 19 - 3. Singapura 17 28 4 18 11 67 75 185 177 4. Jepang 84 80 96 69 91 116 88 84 - 5. Austria 5 5 43 65 76 70 90 106 101 6. Prancis 322 435 407 464 490 564 493 414 450 7. Jerman 344 337 285 329 326 327 311 197 195 8. Belanda 42 41 91 114 162 105 240 238 139 9. Switzerland 43 42 53 51 55 67 54 37 50 10. Inggris 49 62 79 174 283 441 298 365 218 11. Australia 22 20 23 15 12 18 19 12 23

(Sumber: FAO, 2004).

Secara kuantitatif, telah banyak strategi dan kebijakan pengembangan vanili

yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Namun pada kenyataannya, setiap strategi

lebih terfokus pada aspek perluasan luas lahan, teknik budidaya, dan penyediaan sarana

produksi. Sementara, masalah kelembagaan (rantai supply), manajemen usaha,

teknologi penanganan pasca panen, dan teknologi pengolahan, yang menurut White dan

Sinaga (1990), sangat vital untuk dikedepankan di negara-negara yang sistem

4

pertaniannya berbasis rakyat, kurang diperhatikan. Data BPS (1999), menunjukkan

bahwa 98.94 persen dari total luas lahan vanili di Indonesia merupakan perkebunan

rakyat, 1.05 persen perkebunan besar swasta, dan 0.01 persen perkebunan besar negara.

Sebagian besar dikelola secara tradisional dan tercecer pada luas lahan yang sempit

(kurang dari 0.5 ha). Akibatnya, meski luas lahan vanili Indonesia terus meningkat

(Tabel 3), namun produksi dan produktivitasnya tetap tidak mampu menggeser

Madagaskar.

Pada Tabel 2, terlihat bahwa permintaan dari beberapa negara maju (seperti:

Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang, dan Inggris), mengalami penurunan yang

cukup signifikan pada lima tahun terakhir. Menurut FAO (2004), penurunan tersebut

lebih disebabkan oleh meningkatnya pasokan vanili sintetis dari Amerika Serikat.

Namun demikian, permintaan akan vanili dunia akan kembali menguat seiring dengan

meningkatnya trend gaya hidup sehat yang alami (back to nature). Kecenderungannya,

trend gaya hidup tersebut berkembang pesat di negara-negara maju yang selama ini

tercatat sebagai importir vanili dunia.

Secara makro, peluang pasar vanili Indonesia sendiri akan semakin meningkat

seiring dengan beralihnya perhatian konsumen dunia ke Indonesia dalam tiga hingga

lima tahun kedepan. Hal ini terjadi karena Madagaskar yang selama ini menjadi pusat

vanili dunia, produksinya sedang mengalami penurunan yang signifikan, pasca

terjadinya serangan jamur fusarium batatis dan badai. Menurut Simanjuntak (2004),

permintaan dunia atas vanili (terutama jenis planifolia andrew) Indonesia, pada tahun

2004 ini mencapai 6.500.000 ton. Namun pada kenyataannya, Indonesia baru mampu

memenuhi sekitar 650.000 – 1.000.000 ton atau sekitar 10% dari total permintaan dunia.

Jumlah tersebut merupakan kumulatif dari seluruh sentra produksi vanili di Indonesia,

5

seperti dari Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatera, Maluku, dan Irian Jaya.

Padahal menurut BPS (1998), luas areal vanili Indonesia tumbuh sebesar 5,0 persen

setiap tahunnya.

Ironinya, permintaan pasar dalam negeri sendiri masih belum tertutupi hingga

kini. Kecenderungannya, peluang pasar dalam negeri (terutama dalam bentuk vanili

olahan) tersebut kurang diperhatikan, akibatnya dimanfaatkan oleh para importir.

Celakanya, vanili yang masuk ke pasar Indonesia sebagian besar berupa vanili sintetis

dan hasil olahan vanili yang mungkin bahan bakunya berasal dari Indonesia. Secara

kuantitatif, impor vanili ke Indonesia ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut

FAO (2004), pada periode 1999-2002 telah masuk vanili ke Indonesia sekitar 437 ton.

Setiap tahunnya, rata-rata masuk sekitar 24 ton, dan meningkat menjadi 59 ton, 176 ton,

dan 178 ton.

Secara nasional, kecilnya pasokan vanili Indonesia ke pasar dunia lebih

disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanaman vanili per tahun (Tabel 3), dimana

rata-rata hanya sebesar 0.861 ton/ha. Sedangkan menurut BPS (1998), selama kurun

waktu 1980-1999 produktivitas rata-rata per tahun hanya 139.6 kg/ha, dengan tingkat

produktivitas tertinggi sekitar 240.21 kg/ha. Sementara produktivitas rata-rata vanili di

Madagaskar, sudah mencapai angka 2.516 ton/ha (FAO, 1994). Menurut FAO (1994),

rendahnya produktivitas vanili di Indonesia disebabkan oleh besarnya pengaruh musim,

sehingga tanaman vanili tidak dapat berbuah sepanjang tahun. Kecenderungannya,

hampir di seluruh Indonesia vanili berbuah dalam waktu yang hampir bersamaan.

Akibatnya, pasokan ke pasar pun bersifat musiman. Keadaan tersebut terus berulang

dari tahun ke tahun, karena tidak diimbangi dengan rekayasa wilayah, rekayasa

teknologi, dan inovasi didalam budidaya dan penanganan hasil.

6

Tabel 3. Luas Lahan, Jumlah Produksi, dan Produktivitas Vanili di Indonesia dalam Periode 1994-2003.

No Tahun Luas Lahan (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

1. 1994 2.313 1.770 0.765 2. 1995 2.458 1.958 0.796 3. 1996 2.261 2.051 0.907 4. 1997 2.169 2.054 0.947 5. 1998 1.961 1.900 0.969 6. 1999 2.308 1.800 0.780 7. 2000 2.128 1.681 0.780 8. 2001 2.574 2.198 0.854 9. 2002 3.068 2.731 0.890 10. 2003 2.577 2.375 0.922

(Sumber: FAO, 2004).

Tingginya tingkat permintaan pasar dunia dan pasar dalam negeri atas vanili dan

produk olahan vanili, tingginya kualitas vanili, rendahnya produktivitas vanili,

lemahnya manajemen pengelolaan usahatani vanili, lemahnya rekayasa teknologi

budidaya, dan lemahnya teknologi penanganan pasca penen (dan atau agroindustri)

vanili di Indonesia, hendaknya kita dudukkan sebagai kekuatan dan peluang yang harus

dimanfaatkan secara optimal sebagai pijakan bagi Indonesia untuk menguasai pasar

dunia secara berkelanjutan. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan dan

diwujudkan oleh Indonesia yang sudah unggul secara komparatif maupun kompetitif.

Pertanyaannya, apa yang perlu dilakukan atas pervanilian Indonesia agar mampu

memaksimalkan potensi pasar domestik dan pasar dunia secara berkelanjutan?

Alternatif solusi yang kami tawarkan dalam karya tulis ilmiah ini adalah perlunya

dilakukan transformasi model pengembangan vanili kearah penguasaan pasar domestik

dan pasar dunia secara berkelanjutan.

Untuk merumuskan model atau strategi pengembangan vanili yang mumpuni,

maka penting terlebih dahulu mengungkap keragaan pengembangan pervanilian di

Indonesia saat ini, baik menyangkut masalah sosial budaya (petani dan pelaku lainnya),

7

ekonomi (harga, mutu, pemasaran, dan rantai supply), teknologi (budidaya, panen,

penanganan pasca panen, dan agroindustrinya), ekologis (iklim, tanah, hama penyakit,

dan keamanan), kelembagaan (regulasi, proteksi, manajemen pengelolaan usaha),

maupun politik pertanian yang terkait dengan pervanilian. Mengingat rendahnya daya

pasok Indonesia atas pasar vanili dunia dan domestik sangat terkait dengan faktor

internal dan faktor eksternal, maka penting pula untuk mengungkap kedua faktor

tersebut. Kedua faktor tersebut pada akhirnya akan pula menjadi input bagi perumusan

strategi pengembangan vanili di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari fakta-fakta dan data-data di atas, serta dengan melihat peluang

dan ancaman dari kecenderungan perubahan-perubahan pada berbagai aspek dan

konteks globalisasi, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kergaan pengembangan pervanilian di negara yang dikatakan sangat

potensial bagi pengembangan vanili ini?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan rendahnya daya pasok Indonesia atas

permintaan vanili dunia?

3. Bagaimana strategi pengembangan vanili yang dipandang mampu

memaksimalkan peluang pasar domestik dan dunia secara berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penulisan

Berkaitan dengan permasalahan di atas, secara umum karya tulis ini bertujuan

untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang model pengembangan pervanilian

di Indoensia menuju penguasaan pasar domestik dan pasar dunia secara berkelanjutan,

8

yang memungkinkan petani akan semakin berdaya secara sosial, ekonomi, teknis (fisik),

dan kelembagaan, serta sinergi dengan pihak-pihak terkait lainnya. Sedangkan tujuan

khusunya adalah:

1. Mengetahui kergaan pengembangan pervanilian di negara yang dikatakan sangat

potensial bagi pengembangan vanili ini.

2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya daya pasok Indonesia

atas permintaan vanili dunia.

3. Merumuskan strategi pengembangan vanili yang mampu memaksimalkan

peluang pasar domestik dan dunia secara berkelanjutan.

1.4. Manfaat Tulisan

Manfaat atau kegunaan tulisan ini dapat dilihat secara teoretis maupun secara

praktis:

1. Secara teoretis, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan

sumbangan ilmiah bagi penulisan atau penelitian lebih lanjut mengenai

pengembangan pervanilian di Indonesia maupun di daerah-daerah otonom,

sesuai dengan karakteristik lokasinya.

2. Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan informasi

ilmiah bagi semua pihak yang terlibat dengan kegiatan LKTI (terutama teman-

teman mahasiswa). Lebih jauh, diharapkan dapat menjadi informasi bagi para

perumus kebijakan dan pelaku pervanilian lainnya.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi dan Deskripsi Agribisnis

Pembahasan mengenai keragaan pengembangan pervanilian di Indonesia akan

didekati dengan menggunakan pendekatan konsep agribisnis. Agribisnis sendiri

didefinisikan oleh Davis dan Goldberg (1957) sebagai:

The sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of

farm supplies; producion operations on the farm; amd the storage, processing,

and distribution of farm commodities and items made for them.

Berdasarkan pada definisi tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa agribisnis

merupakan pendekatan pembangunan yang bersifat sistemik. Sebagai suatu sistem,

agribisnis memiliki cakupan yang lebih luas. Menurut Saragih (2000), agribisnis

sebagai sistem meliputi empat subsistem, yaitu: 1) Subsistem agribisnis hulu (upstream

agribusiness) yang merupakan kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi

bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk,pestisida), industri

agro-otomotif (mesin dan peralatan), dan industri benih/bibit; 2) Subsistem usahatani

(on-farm agribusiness) yang merupakan kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana

produksi yang dihasilkan oleh agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian

primer. Termasuk kedalam usahatani ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman

hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, dan usaha

kehutanan; 3) Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yang berupa

kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik

produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik

10

maupun di pasar internasional; dan 4) Subsistem penunjang (supporting system) yang

mencakup seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga

keuangan, lembaga penelitian, dan lembaga pemerintah.

Sebagai suatu proses atau aktivitas yang dijalankan oleh manusia sebagai

mahluk sosial, maka pervanilian pun tidak akan lepas dan melepaskan diri dari relasi

dengan berbagai pihak, apalagi dalam konteks globalisasi seperti sekarang ini. Oleh

karena itu, pervanilian pun sudah pasti akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik

yang datang dari lingkungan internal Indonesia, maupun dari lingkungan strategis

internasional yang terikat dengan peraturan global dan skema perdagangan bebas.

2.2. Definisi dan Deskripsi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Faktor internal didefinisikan sebagai faktor-faktor yang bersumber dari dalam

individu, badan hukum, atau negara, yang mempengaruhi aktivitas sosial, ekonomi,

fisik, kelembagaan, dan politis. Faktor internal tersebut dapat berupa karakteristik

sosial budaya, karakteristik ekonomi, karakteristik fisik, karakteristik kelembagaan,

karakteristik politik, karakteristik teknologi, karakteristik sumberdaya manusia, dan

karakteristik sumberdaya alam. Menutur Nelly (1988), dan Sugiyanto (1996),

karakteristik internal adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh individu,

institusi, atau negara. Ia seringkali digunakan untuk membedakan seseorang, insitusi,

atau negara dengan yang lainnya. Svaslatoga (1989), menegaskan bahwa perbedaan

bersifat universal dan bervariasi derajatnya, sehingga tugas teoretis yang penting adalah

menganalisis perbedaan tersebut. Menurutnya, perbedaan tersebut jangan hanya dilirik

sebagai takdir Tuhan semata, tetapi harus dinilai sebagai fakta. Faktor internal yang

dimaksud dalam tulisan ini adalah faktor-faktor di dalam negeri yang mempengaruhi

11

pervanilian Indonesia, faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor teknis (fisik), faktor

kelembagaan, faktor ekologi, faktor politis, dan faktor teknologi (Rangkuti, 1999).

Sedangkan faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor-faktor yang datang dari

luar atau lingkungan strategis yang mempengaruhi kondisi dan aktivitas sosial budaya,

ekonomi, teknis, kelembagaan, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia suatu

institusi, atau negara. Faktor eksternal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah faktor-

faktor yang datang dari luar yang mempengaruhi pervanilian Indonesia, baik faktor

negara pesaing, faktor politis internasional, permintaan pasar dunia, faktor negara

importir, dan sebagainya (Umar, 2001).

Faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pervanilian di

Indonesia maupun di Dunia, semakin hari semakin kompleks dan dinamis. Kondisi

tersebut tidak mungkin cukup dikekati, diantisipasi, dan diselesaikan dengan

pendekatan-pendekatan yang konvensional. Untuk mengimbangi laju perubahan yang

terjadi di lingkungan internal dan lingkungan strategis global, maka kita harus

senantiasa mengembangkan strategi-strategi yang mumpuni untuk memanfaatkan

semaksimal mungkin peluang dan kekuatan, serta meminimalkan ancaman dan

kelemahan. Langkah-langkah strategis tersebut pun mendesak dilakukan dalam

pervanilian Indonesia. Untuk itu, transformasi atas model, pola, dan strategi

pengembangan pervanilian Indonesia, merupakan hal yang mendesak untuk

diimplementasikan.

3.3. Definisi dan Deskripsi Transformasi

Transformasi didefinisikan Sukanto (1993) dan Reading (1977), sebagai

perubahan atau pergantian bentuk, pola, atau model. Model sendiri didefinisikan oleh

12

Reading (1977), sebagai suatu hubungan keterkaitan antara variabel yang

disederhanakan. Model yang dimaskud dalam tulisan ini adalah suatu model yang

menyangkut perubahan (dynacic model) dan peramalan terhadap masa depan suatu

sistem (deterministic model).

Dalam tulisan ini, konsep transformasi diartikan sebagai perubahan atau

pergeseran pola dan strategi, yaitu pola dan modal pengembangan vanili yang semula

lebih menekankan pada aspek perluasan areal tanam dan teknologi budidaya semata

(parsial), bergeser ke pola dan strategi pengembangan vanili yang menekankan pada

aspek manajemen usaha, rekayasa teknologi budidaya, penguatan kelembagaan, dan

optimalisasi penanganan pasca panen atau agroindustri.

Pola atau model pengembangan vanili yang diterapkan oleh Pemerintah

Indonesia sekarang ini, masih mengacu kepada program Pelita IV, yaitu (Anon, 1995):

1) Pola pengembangan masih tetap menggunakan pendekatan perkebunan besar

swasta; 2) Sistem pengembangan adalah agribisnis “secara utuh setempat”

dimana subsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran berada di lokasi; 3)

Dikembangkan hubungan kemitraan dalam usahatani antara petani dengan

pengusaha; 4) Optimalisasi pemakaian lahan sehingga pendapatan petani

meningkat. Dalam hal ini tanaman pelindung pada budidaya kopi, kakau, teh,

vanili, dan penutup tanah (Leguminose Cover Crops) diganti dengan jenis

tanaman produktif yang selain tetap berfungsi sebagai tanaman pelindung atau

penutup tanah, juga mempunyai nilai ekonomi; 5) Pengembangan suatu

komoditas harus memperhatikan pasarnya (market oriented); 6) Pengendalian

hama penyakit menggunakan sistem pengendalian hama terpadu (PHT); dan 7)

Pembinaan petani diarahkan untuk mempertangguh KUD dan Kelompok Tani.

13

4.4. Definisi dan Deskripsi Strategi Pengembangan

Ditinjau dari latar belakang munculnya teori strategi, Nickols (2000)

mengatakan bahwa:

Concept of strategy has been borrowed from the military and adapted for use in

business (or others context). A review of what noted writers about business (or

others context) strategy have to say suggests that adopting the concept was easy

because the adaptation required has been modest. In business (or others

context), as in the military, strategy bridges the gap between policy and tactics.

Together, strategy and tactics bridge the gap between ends and means.

Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan (palanning) dan manajemen

(management) untuk mencapai suatu tujuan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut,

strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, tetapi

harus pula menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya (Effendy, 1986). Secara

sederhana, van den Ban dan Hawkins (1992) mendefinisikan strategi sebagai suatu

cara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan jelas melalui gabungan

banyak sarana dalam jangka waktu tertentu. Dengan mengantisipasi, dicoba diramalkan

lawan-lawan, diri sendiri dan atau yang dapat dilakukan dari alam.

Namun demikian, Hamel dan Prahalad (1995) dalam Umar (2001)

mengingatkan bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa

meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa

yang diharapkan oleh stakeholders di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir

selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi.

Terjadinya kecepatan inovasi pasar (dan teknologi), serta perubahan pola konsumen

(dan pelaku pertanian lainnya) memerlukan kompetensi inti (core competencies).

14

Pengusaha (termasuk petani) perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang

dilakukannya.

Mengacu kepada berbagai definisi strategi yang ada, Nickols (2000)

menyimpulkan bahwa:

Strategy is all these—it is perspective, position, plan, and pattern. Strategy is the

bridge between policy or high-order goals on the one hand and tactics or

concrete actions on the other. Strategy and tactics together straddle the gap

between ends and means. In short, strategy is a term that refers to a complex

web of thoughts, ideas, insights, experiences, goals, expertise, memories,

perceptions, and expectations that provides general guidance for specific

actions in pursuit of particular ends. Strategy is at once the course we chart, the

journey we imagine and, at the same time, it is the course we steer, the trip we

actually make.

Banyak cara untuk merumuskan strategi, baik yang bersifat tradisional maupun

cara-cara modern, seperti SWOT Analisis, Force Field, Teknik Pohon Masalah, Teknik

Fishbond, Model Casual Map, Model Matriks, Check Sheet, Stratifikasi, Model Skala

Nilai, Model USG, Diagram Pareto, Model Problem Priority, dan Model Komparasi

(Sianipar dan Entang, 2001). Namun demikian, alat analisis yang akan digunakan

dalam tulisan ini adalah SWOT Analisis.

Menurut Rangkuti (1999), SWOT Analisis adalah identifikasi berbagai faktor

secara sistematis untuk merumuskan strategi. Sianipar dan Entang (2001)

menambahkan bahwa alat tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan faktor

unggulan dan strategi interaksi efektif yang dapat dilakukan dalam mencapai sukses

yang lebih besar. Menurut Rangkuti, analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

15

memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara

bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Sianipar

dan Entang menegaskan bahwa kemampuan memilih dan memadukan faktor kunci

sukses internal dan eksternal akan dapat membangun sinergi keunggulan institusi

mencapai sukses yang lebih besar, termasuk dalam pemberdayaan.

Strategi pengembangan pervanilian sebagaimana ditulis dalam tujuan,

diharapkan dapat membawa Indonesia keluar dari berbagai permasalahan untuk

kemudian berkembang menjadi penguasa pasar vanili dan produk vanili dunia secara

berkelanjutan.

5.5. Definisi dan Deskripsi Berkelanjutan

Berkelanjutan (sutainable) didefinisikan oleh Reijntjes dkk., (1999), sebagai

suatu sistem yang dapat mengkondisikan pada kemanfaatan dan kegunaan (utility) yang

makin tinggi dan makin efisien dalam penggunaan sumberdaya dan melestarikan

berbagai aspek dalam sistem.

Konsep berkelanjutan pada dasarnya mengandung aspek-aspek pertumbuhan

ekonomi secara berkesinambungan, pelestarian sumberdaya, dan pengentasan

kemiskinan. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut konsep sosial,

ekonomi, ekologis, kemanusian, kelembagaan, dan daya adaptasi (Sumardjo, 1999).

Konsep berkelanjutan dalam tulisan ini, pada intinya jelas mengarah pada

keberdayaan dan kesejahteraan petani. Sedangkan secara ekologis, berkelanjutan juga

bermakna melestarikan sumberdaya alam dan hayati. Secara kelembagaan,

berkelanjutan juga dimaknai dengan terciptanya kondisi senang bekerja dan senang

berusaha kepada semua pihak yang terkait dengan pervanilian.

16

BAB III

METODE PENULISAN

Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode deskriptif (deskriptif

method), yaitu suatu metode penulisan yang semata-mata bertujuan untuk memberikan

gambaran atau memaparkan tentang sesuatu, baik situasi maupun peristiwa (Easthope,

1974); Rakhmat, 1984; dan Suhartono, 1999). Pemaparannya pun dilakukan tanpa

melakukan analisis statistik, tetapi dengan pendekatan analisis kualitatif. Namun

demikian, dalam beberapa hal terdapat beberapa data kuantitatif yang dideskripsikan

dalam pemaparannya.

Jenis data yang digunakan dalam tulisan ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui teknik wawancara

kepada petani vanili di Kabupaten Garut dan Sumedang, indepth interview kepada

informan (pengusaha vanili di Cimahi), dan observasi partisipatif (pengamatan langsung

atas fakta-fakta di lapangan tanpa menggunakan kuesioner sambil mengikuti kegiatan

rutin kelompok) di Sumedang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari review hasil-

hasil penelitian yang telah ada dan kajian pustaka yang relevan dengan penelitian, serta

data yang telah dikumpulkan oleh berbagai institusi yang ada seperti: Dinas Pertanian

Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan, BPS, dan institusi lainnya, yang relevan dengan

bidang pervanilian.

Adapun alat analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah SWOT analisis.

Alat analisis ini khususnya digunakan dalam merumuskan strategi pengembangan

pervanilian Indonesia menuju penguasaan pasar secara berkelanjutan.

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Keragaan Pengembangan Pervanilian di Indonesia

Sebagaimana diungkapkan dalam tinjauan pustaka, pembahasan mengenai

keragaan pengembangan pervanilian di Indonesia akan disusun secara sistematis

berdasarkan konsep agribisnis, yaitu: 1) Up-Stream Agribusiness; 2) On-Farm

Agribusiness; 3) Down- Stream Agribusiness; dan 4) Supporting System Agribusiness.

3.1.1. Sub Sistem Agribisnis Hulu (Up-Stream Agribusiness)

Pengembangan vanili tidak akan terpisahkan dari kegiatan ekonomi yang

menghasilkan sarana produksi pertanian (agroindustri hulu) dan perdagangan produksi

pertanian primer seperti industri pupuk, obat-obatan, bibit, benih, alat dan mesin

pertanian serta industri pembibitan/perbenihan. Di Indonesia, pupuk dapat dengan

mudah diperoleh, meskipun tidak jarang terjadi kelangkaan pupuk. Permasalahan pupuk

sesungguhnya masih terletak pada aspek distribusinya. Oleh karena itu, seringkali

ditemukan harga pupuk yang sangat mahal di beberapa daerah, termasuk di sentra

produksi vanili. Vanili merupakan tanaman yang membutuhkan humus atau unsur hara

sangat besar untuk pertumbuhannya (Manoi, 1986). Menurut Rismunandar (1989),

vanili sangat membutuhkan unsur hara Nitrogen, Fospat, Kalium, Magnesium, Kalsium,

dan Klor, dan unsur-unsur mikro. Namun demikian, hingga kini para petani masih

menggunakan pupuk anorganik yang umum, bahkan masih banyak petani yang tidak

melakukan pemupukan atas vanilinya. Permasalahannya, hingga kini belum ada industri

pupuk yang mampu menyediakan secara khusus pupuk untuk tanaman vanili.

18

Secara ekologis, vanili merupakan tanaman yang cukup rentan terhadap berbagai

serangan hama penyakit tanaman. Jamur fusarium merupakan salah satu penyakit utama

vanili yang hingga kini masih belum dapat ditanggulangi dengan menggunakan obat-

obatan. FAO (2004), mencatat bahwa tiga tahun terakhir ini pervanilian Madagaskar

mengalami kehancuran akibat serangan jamur fusarium batatis. BPS (1998), juga

melaporkan bahwa jamur fusarium oxysporium yang menyebabkan busuk batang vanili

telah terbukti menyerang tanaman vanili di Indonesia. Menurut Hadipoentyanti (2002),

penyakit busuk batang telah menyerang 50 – 80 persen areal pertanaman vanili di

Indonesia, sehingga kerugiannya mencapai Rp 32 milyar/tahun. Secara teknis, petani

masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu membiarkan lahan tidak ditanami vanili

selama tiga hingga empat tahun. Hal ini dilakukan oleh petani karena belum

ditemukannya obat-obatan untuk mengendalikan jamur fusarium dan tidak adanya

varietas vanili yang kebal atas serangan jamur ini.

Produksi vanili juga dipengaruhi oleh musim, oleh karena itu panennya juga

bersifat musiman. Ini merupakan kendala bagi Indonesia, karena tidak dapat memasok

permintaan konsumen dunia sepanjang tahun. Keadaan ini belum terpecahkan hingga

kini, baik melalui rekayasa wilayah, cuaca, maupun rekayasa tanaman. Oleh karena itu,

meskipun permasalahan bibit vanili yang permintaannya terus meningkat dari tahun ke

tahun dapat ditanggulangi dengan kultur jaringan, namun rekayasa kearah pengaturan

waktu berbunga dan berbuah belum banyak dilakukan, termasuk oleh Balitro.

Permasalahan utama di sektor hulu pervanilian Indonesia adalah belum

dikembangkannya alat dan mesin pertanian untuk penanganan pasca panen dan

peningkatan nilai tambah. Hal ini dapat diidentifikasi dari besarnya ekspor vanili dalam

bentuk bentah (batangan). Secara kuantitatif, sedikit sekali vanili dari Indonesia yang

19

diekspor dalam bentuk olahan. Di dalam negeri saja, pengolahan vanili baru dilakukan

oleh industri makanan dan minuman, sementara industri kosmetika, rokok, obat-obatan,

dan idustri bahan kimia, masih tergantung pada import. Karena industri pengolahan

belum banyak dikembangkan, maka wajar jika margin pemasaran terbesar dipegang

oleh negara importir.

3.1.2. Sub Sistem Usahatani (On-Farm Agribusiness)

Seperti halnya usahatani-usahatani lainnya di Indonesia, usahatani vanili pun

sebagian besar diusahakan di atas lahan yang sempit dan tercecer. BPS (1998)

melaporkan, bahwa luas perkebunan vanili rakyat di Indonesia pada tahun 1999 adalah

19.904 ha, sedangkan perkebunan besar swasta hanya 112 ha. Secara riil, perkebunan

vanili yang dikelola oleh pemerintah masih sangat minim (rata-rata hanya 1.35 ha),

bahkan tidak pernah berkembang sejak tahun 1991. Luas lahan perkebunan rakyat rata-

rata kurang dari 0,5 ha, artinya masuk kategori gurem. Penguasaan lahan yang sempit

dan tercecer mengakibatkan usahatani tersebut susah untuk dikelola secara efisien,

akibatnya tidak memberikan jaminan pendapatan yang adil kepada petani (Departemen

Pertanian, 2000). Memang, vanili harganya sangat mahal dan dapat menguntungkan

meski diusahakan pada lahan yang skalanya kecil, tetapi jika tidak dikelola secara baik,

maka sebagian besar keuntungan dari tingginya harga vanili tersebut jatuh ketangan

para pedagang. Lebih jauh, lemahnya pengelolaan panen dan penanganan pasca panen

oleh para petani, seringkali membuat vanili Indonesia tidak memenuhi kriteria pasar

(Kasryno, dkk., 2000).

Berbicara tentang teknologi budidaya, tampaknya petani vanili yang rata-rata

sudah berpengalaman diatas 10 tahun, sudah tidak diragukan lagi keterampilan dan

20

keahliannya. Permasalahan utama pada sub sistem on-farm vanili ini sesugguhnya

terletak pada tiga faktor, yaitu iklim, hama penyakit tanaman, dan pencurian. Kondisi

iklim telah menyebabkan tanaman vanili menjadi bersifat musiman. Kecenderungannya,

kondisi ini berlaku hampir di seluruh Indonesia. Disamping itu, panen yang bersifat

musiman ini, seringkali terhambat atau gagal, sebagai akibat serangan hama penyakit

tanaman maupun karena tingginya tingkat pencurian. Hasil wawancara dengan petani

vanili di Garut dan Sumedang menunjukkan bahwa kerugian petani akibat pencurian

dapat mencapai 80 persen. Para petani pun mengungkapkan bahwa, sebagian dari areal

tanam vanili mereka sudah terserang penyakit busuk pangkal batang, oleh karena itu

tidak ditanami vanili. Menurut Siagian (1999), tanaman vanili dapat terbebas dari

penyakit tersebut, jika pH tanahnya berada pada kisaran 6-7.

Tingginya tingkat harga dan kurang berhasilnya upaya yang dilakukan oleh

petani dan pemerintah untuk mencegah dan menekan tingkat pencurian, telah

mendorong para petani untuk melakukan pemanenan vanili pada umur muda. Panen

muda juga dilakukan ketika petani mengetahui tanamannya terserang penyakit busuk

pangkal batang. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas vanili yang secara

otomatis berpengaruh pula pada tingkat harga yang diterima petani. Namun demikian,

kenyataan dipasaran menunjukkan lain. Menurut Paimin (2002), karena vanili muda

yang kualitasnya rendah harganya lebih murah, maka sangat diminati para eksportir.

Karena buah muda laku, maka sebagian besar petani pun enggan menunggu hingga

buah masak (9 bulan). Akibatnya, sangat jarang ditemui vanili yang berkualitas tinggi.

Karena pasokan vanili semakin menurun, maka kualitas apapun juga tetap diterima oleh

pasar dunia.

21

Hampir setiap tahun, permintaan atas vanili tidak pernah terimbangi dengan

penawarannya. Kondisi ini menciptakan persaingan yang sangat ketata antar pedagang,

akibatnya terjadi persaingan harga. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan petani,

tetapi jika hal ini berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan jatuhnya kualitas

vanili Indonesia di pasar dunia. Secara teknis, petani pun tidak akan lagi berbicara

tentang penanganan pasca panen dan atau agroindustri. Hal ini pasti akan terjadi, karena

para pedagang tidak jarang membeli vanili petani pada saat masih bunga dan

memanennya sendiri pada usia muda. Menurut Paimin (2002), sangat sulit mencari

vanili kering yang berkualitas tinggi dijaman seperti sekarang ini. Bahkan, untuk

mendapatkan yang basah saja sudah sangat sulit.

3.1.3. Sub Sistem Agribisnis Hilir (Down- Stream Agribusiness)

Vanili adalah tanaman yang harus melalui tahapan pengolahan menjadi produk

vanili, sebelum dikonsumsi. Secara fisik, vanili tidak dapat dikonsumsi secara langsung.

Kecenderungannya, produk vanili pun hanya dijadikan sebagai bahan baku atau

campuran produk lainnya. Menurut Balitro (1998), sebagian besar negara importir

menjadikan vanili sebagai bahan baku industri. Oleh mereka, vanili diolah menjadi

berbagai produk untuk kemudian diekspor kembali ke negara-negara di dunia, termasuk

ke negara produsen yang menjadi sentra vanili.

Secara riil, Indonesia yang merupakan negara produsen vanili terbesar kedua di

Dunia, tidak memiliki perusahaan pengolahan vanili yang mengekspor produknya ke

pasar internasional. Menurut Paimin (2003), hampir semua vanili (baik yang tua

maupun muda) yang berhasil dikumpulkan oleh para pedagang atau eksportir, diekspor

ke pasar internasional dalam bentuk mentah atau batangan.

22

Kecenderungannya, hanya sedikit sekali perusahaan makanan dan minuman di

Indonesia yang mengkonsumsi vanili mentah atau yang melakukan pengolahan atas

vanili mentah. Ironinya, perusahaan makanan dan minuman di dalam negeri pun banyak

yang dipasok dari luar negeri. BPS (1998), mencatat bahwa meningkatnya impor

produk vanili (termasuk vanili sintetis) ke Indonesia terjadi karena tingginya permintaan

dari perusahaan-perusahaan makanan dan minuman.

Minimnya industri dalam negeri yang bergerak dalam pengolahan vanili, jelas

tidak kondusif bagi masa depan pervanilian Indonesia. Karena nilai jual vanili mentah

yang tinggi pada saat ini, belum tentu berlaku dimasa yang akan datang. Kita

seharusnya berkaca pada kasus Kelapa Sawit, yang kemudian tergeser oleh Malaysia

yang menyertakan industri pengolahan dalam pengembangannya. Kondisi seperti

tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi dalam sistem pervanilian Indonesia.

Apalagi dengan kondisi pasar yang sudah mulai jenuh, dan pesatnya perkembangan

inovasi pengembangan pervanilian di negara produsen lainnya.

3.1.4. Sub Sistem Penunjang Agribisnis (Supporting System Agribusiness).

Secara riil, sub sistem penunjang yang sudah nampak perangnnya dalam

pengembangan vanili di Indonesia adalah kelembagaan pemasaran swasta dan lembaga

penyedia bibit vanili hasil kultur jaringan. Sedangkan kelembagaan penyuluhan,

permodalan, dan pengaturan rantai supplay belum nampak. Hal ini dapat kita lihat dari

semakin kompleksnya permasalahan teknis dan non teknis yang dihadapi oleh para

petani vanili. Keterlibatan lembaga pengaturan mutu, pewilayahan, dan penanganan

masalah penyakit busuk pangkal batang dan pencurian belum ada. Hal ini jelas sangat

berbeda dengan di Madagaskar. Menurut Lawani (1993), pemerintah Madagaskar

23

melakukan pengaturan waktu panen secara jelas, sehingga mutu vanili dapat terjaga.

Kemudian, apabila terjadi pencurian pemerintah dan kelompok masyarakat akan

mengontrol pasar dan menunda waktu panen beberapa saat hingga tertangkapnya si

pencuri.

Pada kenyataannya, dalam sistem agribisnis ini, petani vanili hanya terlibat pada

subsistem usahatani (on-farm) saja. Meskipun memegang peran kunci (karena

subsistem yang lain tidak akan bisa berjalan tanpa adanya aktivitas yang menghasilkan

produk primer), namun posisi tawar petani vanili atas ketiga subsistem lainnya sangat

lemah.

3.2. Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Daya Pasok Indonesia ke Pasar Vanili Dunia Banyak faktor internal yang menyebabkan kecil dan tidak kontinyunya pasokan

vanili Indonesia, seperti: 1) Faktor ekologi. Pada umumnya, vanili di Indoensia berbuah

satu tahun satu kali, hal ini terjadi karena faktor musim (Anon, 1990). Selain itu,

serangan hama penyakit terutama penyakit busuk pangkal batang juga masih menjadi

ancaman utama; 2) Faktor teknis. Secara umum, vanili belum diusahakan secara intensif

dan sebagian besar masih diusahakan secara tradisional; 3) Faktor sosial. Secara umum,

usahatani vanili di Indonesia masih rentan terhadap pencurian, bahkan menjadi faktor

utama yang merugikan petani vanili; 4) Faktor ekonomi. Secara umum, usahatani vanili

belum dikelola secara agribisnis. Akibatnya, terjadi ketimpangan perolehan keuntungan

antara petani dengan tengkulak atau bandar. Akibat lainnya, petani tidak mampu

mengelola secara optimal penanganan pasca panen dan peningkatan nilai tambahnya; 5)

Faktor kelembagaan. Secara umum, rendahnya pasokan vanili Indonesia juga

disebabkan oleh lemahnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, baik

24

pengaturan pada rantai pasok, tataniaga, pewilayahan, maupun dalam pengembangan

manajemen inovasi, manajemen teknologi budidaya, dan manajemen penanganan pasca

panennya. Faktor lainnya adalah masih lemahnya pengawasan mutu, masih lemahnya

pengaturan tataniaga vanili, dan masih lemahnya penanganan gangguan keamanan.

Disamping itu, kemitraan yang selama ini diterapkan cenderung bersifat eksploitatif;

dan 6) Faktor Teknologi. Hingga saat ini, vanili Indonesia masih dipasarkan dalam

bentuk batangan atau mentah. Hal ini terjadi karena belum dikembangkannya idustri

pengolahan vanili. Pengembangan agroindustri vanili sangat penting, terutama untuk

meningkatkan nilai tambah dan devisa negara. Disamping itu, agroindustri juga dapat

diandalkan untuk mengantisipasi anjloknya harga vanili mentah di pasar dunia.

Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan rendahnya pasokan vanili

Indonesia ke pasar Dunia adalah: 1) Pasar Dunia sudah mengalami kejenuhan; 2)

Berkembangnya negara-negara produsen baru; 3) Dikembangkannya vanili sintetis; 4)

Ketergantungan pada pasar tetap dunia, padahal masih banyak negara konsumen yang

membutuhkan vanili; 4) Masih lemahnya kepercayaan negara lain (terutama negara

maju) pada produk olahan vanili negara produsen yang rata-rata berstatus negara sedang

berkembang dan negara dunia ketiga; 5) Politik pertanian negara-negara importir yang

ketat, menyebabkan sulitnya produk olahan kita memasuki pasar mereka.

Kecenderungannya, mereka mewajibkan untuk mengimpor vanili mentah yang dapat

mendatangkan keuntungan dari hasil pengolahannya (produk olahan).

3.3. Strategi Pegembangan Pervanilian Indonesia

Bertitik tolak dari uraian pada pembahasan masalah pertama dan kedua, maka

dapat diidentifikasi dan diinventarisir kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya,

sebagai berikut:

25

3.3.1. Kekuatan Pervanilian Indonesia

Kekuatan pervanilian Indonesia meliputi: 1) Kondisi geografis dan iklim tropis;

2) Kualitas vanili (kadar vanili) tertinggi di Dunia; 3) Luas lahan bagi pengembangan

vanili masih luas; 4) Banyak dan tingginya keterampilan petani vanili; 5) Permintaan

pasar dalam negeri semakin meningkat; 6) Meningkatnya perhatian pemerintah atas

sektor pertanian; 7) Meningkatnya kualitas dan kuantitas bioteknologi dan sumberdaya

manusianya; dan 8) Adanya pewilayahan vanili di setiap daerah.

3.3.2. Kelemahan Pervanilian Indonesia

Beberapa kelemahan dari pervanilian Indonesia yang dapat diidentifikasi dan

diinventarisir adalah: 1) Ekspor vanili masih berupa vanili mentah; 2) Panen tidak

teratur, sehingga berdampak pada mutu vanili; 3) Tingginya tingkat pencurian; 4)

Menyebarnya serangan penyakit busuk pangkal batang; 5) Belum ditemukannya obat

pengendali penyakit busuk pangkal batang; 6) Peran dan fungsi KUD dan Kelompok

Tani masih lemah; 7) Kemitraan cenderung eksploitatif; 8) Peran pemerintah dalam

pengaturan tataniaga dan penanganan masalah keamanan masih rendah; 9)

Meningkatnya konsumsi masyarakat atas vanili impor (sintetis); dan 10) Lemahnya

manajemen inovasi dalam pengembangan vanili.

3.3.3. Peluang Pengembangan Pervanilian Indonesia

Pengembangan vanili di Indonesia sangat terbuka lebar, hal ini didasari oleh

peluang-peluang sebagai berikut: 1) Meluasnya serangan jamur fusarium batatis dan

gangguan alam berupa Badai Siklon di Madagaskar; 2) Meningkatnya trend gaya hidup

sehat di negara-negara maju yang menjadi konsumen vanili dunia; 3) Berkembangnya

26

industri-industri yang berbahan baku vanili; 4) Masih banyaknya negara konsumen

vanili yang belum menjalin kerjasama perdagangan dengan Indonesia; 5) Menurunnya

pasokan vanili ke pasar dunia; dan 6) Meningkatnya penggunaan teknologi informasi

dalam transaski dan promosi.

3.3.4. Ancaman Atas Pervanilian Indonesia

Indonesia bukanlah satu-satunya negara produsen vanili di Dunia, tetapi terdapat

sejumlah negara lainnya yang sudah dan sedang mengembangkan vanili. Oleh karena

itu, eksistensi pervanilian Indonesia pasti tidak akan terlepas dari berbagai ancaman

yang datang dari lingkungan eksternal. Beberapa ancama yang sudah teridentifikasi

adalah sebagai berikut: 1) Pasar vanili dunia sudah mengalami kejenuhan; 2)

Meningkatnya produksi dan konsumsi vanili sintetis; 3) Meningkatnya jumlah negara

produsen vanili, baik di Amerika, Asia, maupun Eropa; 4) Ketatnya proteksi negara

importir atas produk-produk olahan, yang cenderung disengaja agar impor tetap berupa

produk mentah; 5) Adanya perjanjian perdagangan internasional yang cenderung

merugikan negara-negara produsen; 6) Masuknya hama dan penyakit vanili dari negara

lain, sebagai akibat dari semakin terbukanya arus masuk dan keluar produk mentah; dan

7) Diberlakukannya UU Bioteririsme.

3.3.5. Perumusan Strategi Pengembangan Pervanilian Indonesia

Mengacu kepada indikator kekuaatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, di

atas, dan kemudian dianalisis dengan alat analisis SWOT, maka dapat dirumuskan

strategi pengembangan sebagai berikut (Tabel 4):

27

Pada Tabel 4, terlihat bahwa beberapa alternatif strategi yang dapat ditempuh

untuk mengembangkan pervanilian di Indonesia adalah:

1. Kembangkan komoditas yang dapat berproduksi sepanjang tahun lewat

rekayasa genetik (bioteknologi)

2. Kembangkan vanili di wilayah yang memiliki pola produksi yang berbeda

3. Manfaatkan teknologi informasi untuk promosi dan untuk memperluas pangsa

pasar dunia.

4. Kembangkan agribisnis berbasis komunitas

5. Manfaatkan teknologi informasi bagi pengembangan jaringan informasi dan

jaringan usaha antar pelaku pervanilian baik di tingkat lokal, nasional, maupun

internasional.

6. Kembangkan obat pengendalian hama penyakit tanaman vanili organik atau

hayati yang ramah lingkungan.

7. Kembangkan industri pengolahan di dalam negeri berikut manajemen

inovasinya.

8. Tingkatkan fungsi kontrol masyarakat dan kelembagaan karantina

9. Libatkan perguruan tinggi dalam pengembangan pervanilian secara melembaga

10. Rangkul para pedagang (bandar dan eksportir) dalam pengembangan pervanilian

28

Tabel 4. Matrik Analisis SWOT Pengembangan Pervanilian di Indonesia Menuju Penguasaan Pasar Dunia Secara Berkelanjutan.

FAKTOR INTERNAL

FAKTOR EKSTERNAL

KEKUATAN 1. Iklim dan Lahan Mendukung 2. Kualitas/Kadar Vanili Tinggi 3. Jumlah dan Skill Petani Tinggi 4. Permintaan Domestik Tinggi 5. Perhatian Pemerintah Atas Sektor Pertanian Meningkat 6. Bioteknologi Berkembang Pesat 7. Adanya Pewilayahan Komoditas

KELEMAHAN 1. Ekspor Masih Vanili Mentah 2. Waktu Panen Tidak Jelas, Akibatnya Mutu Vanili Rendah 3. Pencurian Tinggi 4. Serangan Fusarium Meluas dan Belum Ditemukan Teknologi Pengendaliannya 5. Kelembagaan Petani Belum Berfungsi 6. Kemitraan Belum Adil 7. Manajemen Inovasi Rendah 8. Regulasi dan Proteksi dari Pemerintah Masih Lemah

PELUANG 1. Menurunnya Produksi di Madagaskar. 2. Meningkatnya Trend Gaya Hidup (Back to Nature) 3. Meningkatnya Industri Berbahan Baku Vanili 4. Masih Banyaknya Negara Konsumen yang Belum Menjalin Kerjasama 5. Menurunnya Pasokan Vanili ke Pasar Dunia 6. Meningkatnya Penggunaan Teknologi Informasi dalam Transaksi dan Promosi

STRATEGI MAXI-MAXI (SO)

1. Kembangkan Komoditas yang Dapat Berproduksi Sepanjang Tahun Lewat Rekayasa Genetik (Bioteknologi) 2. Kembangkan Vanili di Wilayah yang Memiliki Pola Produksi yang Berbeda 3. Manfaatkan Teknologi Informasi untuk Promosi Memperluas Pangsa Pasar Dunia

STRATEGI MINI-MAXI (WO)

1. Kembangkan Agribisnis Berbasis Komunitas 2. Manfaatkan Teknologi Informasi bagi Pengembangan Jaringan Informasi dan Jaringan Usaha Antar Pelaku Pervanilian Lokal, Nasional, dan Internasional. 3. Kembangkan Obat Pengendalian Hama Penyakit Organik/Hayati

ANCAMAN 1. Kejenuhan Pasar Dunia 2. Vanili Sintetis 3. Meningkatnya Produsen Vanili 4. UU Bioteriris dan Proteksi 5. Perjanjian Perdagangan Bebas 6. Persaingan Tidak Sehat 7. Ancaman Masuknya Hama Penyakit dari Negara Lain.

STRATEGI MAXI-MINI (ST)

1. Kembangkan Industri Pengolahan di Dalam Negeri 2. Tingkatkan Fungsi Kontrol Masyarakat dan Kelembagaan Karantina

STRATEGI MINI-MINI (WT)

1. Libatkan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Pervanilian Secara Melembaga 2. Rangkul para pedagang (Bandar dan Eksportir) dalam Pengembangan Pervanilian

29

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan pada identifikasi masalah, tujuan penulisan dan pembahasan atas

masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Keragaan pengembangan pervanilian yang diterapkan di Indonesia selama ini

secara riil masih terfokus pada sub sistem on-farm agribusiness, artinya belum

mencerminkan pendekatan agribisnis. Kecenderungannya, posisi tawar petani

(sebagai pelaku utama dalam pervanilian) atas ketiga sub sistem agribisnis

lainnya, tetap lemah.

2. Rendahnya daya pasok Indonesia ke pasar vanili dunia dan domestik

dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1) faktor ekologi (musim dan hama

penyaakit); 2) faktor teknis (perkebunan rakyat tradisional); 3) faktor sosial

(pencurian); 4) faktor ekonomi (tataniaga belum efisien); 5) faktor kelembagaan

(lemahnya regulasi); 6) faktor teknologi (belum berkembangnya industri

pengolahan); 7) Pasar Dunia sudah mengalami kejenuhan; 8) Berkembangnya

negara-negara produsen baru; 9) Dikembangkannya vanili sintetis; 10)

Ketergantungan pada pasar tetap dunia, padahal masih banyak negara konsumen

yang membutuhkan vanili; 11) Masih lemahnya kepercayaan negara lain

(terutama negara maju) pada produk olahan vanili negara produsen yang rata-

rata berstatus negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga; dan 12)

Politik pertanian negara-negara importir yang ketat, menyebabkan sulitnya

produk olahan kita memasuki pasar mereka. Kecenderungannya, mereka

30

mewajibkan untuk mengimpor vanili mentah yang dapat mendatangkan

keuntungan dari hasil pengolahannya (produk olahan).

3. Alternatif strategi pengembangan pervanilian Indonesia dapat dirumuskan

sebagai berikut: 1) Kembangkan komoditas yang dapat berproduksi sepanjang

tahun lewat rekayasa genetik (bioteknologi); 2) Kembangkan vanili di

wilayah yang memiliki pola produksi yang berbeda; 3) Manfaatkan teknologi

informasi untuk promosi dan untuk memperluas pangsa pasar dunia; 4)

Kembangkan agribisnis berbasis komunitas; 5) Manfaatkan teknologi informasi

bagi pengembangan jaringan informasi dan jaringan usaha antar pelaku

pervanilian baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional; 6)

Kembangkan obat pengendalian hama penyakit tanaman vanili organik atau

hayati yang ramah lingkungan; 7) Kembangkan industri pengolahan di dalam

negeri berikut manajemen inovasinya; 8) Tingkatkan fungsi kontrol masyarakat

dan kelembagaan karantina; 9) Libatkan perguruan tinggi dalam pengembangan

pervanilian secara melembaga; dan 10) Rangkul para pedagang (bandar dan

eksportir) dalam pengembangan pervanilian.

Implemtasi strategi pengembangan pervanilian di Indonesia hendaknya

didudukkan dalam kerangka pemberdayaan semua pelaku di sektor pervanilian. Namun

dalam implementasinya, perlu menempatkan petani sebagai sentral dalam

pengembangan pervanilian Indonesia. Pemerintah dan pelaku kebijakan lainnya, sudah

saatnya meninggalkan pendekatan rekayasa (top down) yang tidak berkelanjutan, dalam

pengembangan pervanilian di Indonesia.

31

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pertanian (2000). Profil Kelembagaan dan Ketenagaan Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, Jakarta.

Food Agricultural Organization (2003). Agriculture Development. FAO, Roma.

Kasryno, F., Pasandaran, E., Simatupang, P., Erwidodo, dan Sudaryanto (2000). Membangun Kembali Sektor Pertanian dan Kehutanan. Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional: Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 Ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Rakhmat, J (1984). Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Rangkuti, F. (1999). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Reading, H.F (1977). Dictionary of The Social Science. London: Roudledge a Kegan Faul, London.

Reijntjes, C., Bartus, H., dan Water-Bayer (1992). Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta.

Sa’id, E.G. dan Intan, H. (2001). Pembangunan Agribisnis. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Saragih, Bungaran (2000). Pembangunan Agribisnis. Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sinaga and White (1980). Problem of Institutional Agriculture in Indonesia. UI, Jakarta.

Soehartono, I (1999). Metode Penelitian Sosial. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Soekanto, S. (1993). Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press, Jakarta.

Sumardjo (1999). Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Umar, H. (2001). Strategic Management in Action: Konsep, Teori, dan Teknik Menganalisis Manajemen Strategis Strategic Business Unit Berdasarkan

32

33

RINGKASAN

Karya tulis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang

model pengembangan pervanilian di Indoensia menuju penguasaan pasar domestik dan

pasar dunia secara berkelanjutan, yang memungkinkan petani akan semakin berdaya

secara sosial, ekonomi, teknis (fisik), dan kelembagaan, serta sinergi dengan pihak-

pihak terkait lainnya. Sedangkan tujuan khusunya adalah: 1) Mengetahui kergaan

pengembangan pervanilian di negara yang dikatakan sangat potensial bagi

pengembangan vanili ini; 2) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya

daya pasok Indonesia atas permintaan vanili dunia; dan 3) Merumuskan strategi

pengembangan vanili yang mampu memaksimalkan peluang pasar domestik dan dunia

secara berkelanjutan.

Hasil studi literatur dan wawancaran mendalam yang kemudian dianalisis secara

despriptif, diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Keragaan pengembangan pervanilian yang

diterapkan di Indonesia selama ini secara riil masih terfokus pada sub sistem on-farm

agribusiness, artinya belum mencerminkan pendekatan agribisnis. Kecenderungannya,

posisi tawar petani (sebagai pelaku utama dalam pervanilian) atas ketiga sub sistem

agribisnis lainnya, tetap lemah; 2) Rendahnya daya pasok Indonesia ke pasar vanili

dunia dan domestik dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: faktor ekologi (musim dan

hama penyaakit); faktor teknis (perkebunan rakyat tradisional); faktor sosial

(pencurian); faktor ekonomi (tataniaga belum efisien); faktor kelembagaan (lemahnya

regulasi); faktor teknologi (belum berkembangnya industri pengolahan); pasar Dunia

sudah mengalami kejenuhan; berkembangnya negara-negara produsen baru;

34

Dikembangkannya vanili sintetis; ketergantungan pada pasar tetap dunia, padahal masih

banyak negara konsumen yang membutuhkan vanili; masih lemahnya kepercayaan

negara lain (terutama negara maju) pada produk olahan vanili negara produsen yang

rata-rata berstatus negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga; dan politik

pertanian negara-negara importir yang ketat, menyebabkan sulitnya produk olahan kita

memasuki pasar mereka. Kecenderungannya, mereka mewajibkan untuk mengimpor

vanili mentah yang dapat mendatangkan keuntungan dari hasil pengolahannya (produk

olahan); dan 3) Alternatif strategi pengembangan pervanilian Indonesia dapat

dirumuskan sebagai berikut: kembangkan komoditas yang dapat berproduksi

sepanjang tahun lewat rekayasa genetik (bioteknologi); kembangkan vanili di wilayah

yang memiliki pola produksi yang berbeda; manfaatkan teknologi informasi untuk

promosi dan untuk memperluas pangsa pasar dunia; kembangkan agribisnis berbasis

komunitas; manfaatkan teknologi informasi bagi pengembangan jaringan informasi dan

jaringan usaha antar pelaku pervanilian baik di tingkat lokal, nasional, maupun

internasional; kembangkan obat pengendalian hama penyakit tanaman vanili organik

atau hayati yang ramah lingkungan; kembangkan industri pengolahan di dalam negeri

berikut manajemen inovasinya; tingkatkan fungsi kontrol masyarakat dan kelembagaan

karantina; libatkan perguruan tinggi dalam pengembangan pervanilian secara

melembaga; dan rangkul para pedagang (bandar dan eksportir) dalam pengembangan

pervanilian.

.