tortor dalam pesta horja pada kehidupan masyarakat batak ... · pdf filedengan upacara adat...

247
TORTOR DALAM PESTA HORJA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA T E S I S Oleh SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013 PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 1 2 Universitas Sumatera Utara

Upload: vuongthuan

Post on 31-Jan-2018

282 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

TORTOR DALAM PESTA HORJA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN

STRUKTUR DAN MAKNA

T E S I S

Oleh

SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 1 2

Universitas Sumatera Utara

TORTOR DALAM PESTA HORJA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN

STRUKTUR DAN MAKNA

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh SANNUR D.F. SINAGA

NIM. 097037013

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 2

Universitas Sumatera Utara

Judul Tesis : TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA

Nama : Sannur D.F. Sinaga Nomor Pokok : 097037013 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Dra. Rithaony, M.A. NIP. 196311161997032001

Ketua

Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum. NIP. 196510211992032003

Anggota Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua, Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001

Fakultas Ilmu Budaya Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Universitas Sumatera Utara

Tanggal lulus:

Telah diuji pada

Tanggal

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (……………………..)

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu., M.Hum. (..…..………………..)

Anggota I : Dra. Rithaony, M.A. (….… ………………)

Anggota II : Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum. (...……………………)

Anggota III : Drs. Kumalo Tarigan, M.A. (……………...………)

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

This research discusses about Tortor in Horja ceremony for Batak Toba’s society. How the Tortor presented in Horja ceremony, and what is it mean and the floor’s pattern?

Tortor is a dancing that is moving all body with Gondang Sabangunan music and it is central moving from feet, hand, fingers, feet palm, back and shoulder. Tortor has spirit of togetherness, brotherhood, or solidarity principles to common interest. Tortor is about custom ceremony, ritual ceremony and also entertainment amusement. In this research, researcher focused for Horja ceremony in Rahut Bosi village, Pangaribuan, North Tapanuli.

Tortor is danced equal with the status of Dalihan Na Tolu. From it is moving we will know who is hula-hula, dongan tubu and also boru.

Tortor from Batak Toba’s society are still coherent in their life wherever they live. The activity of manortor is dancing in every activity in Batak Toba’s custom society life. Though, the using of Tortor has many growth after christian’s, but the basic motif of Tortor dancing is still pure, even though the context has changed the limits that is equivalent with the Christian’s religion.

The presented of Tortor that are the basic dancing, danscript of Tortor dancing, the floor’s pattern and also the clothes are focuses of discussed by researcher about the Tortor in Horja ceremony.

Keywords: Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada masyarakat Batak Toba. Bagaimana bentuk penyajian Tortor dalam Pesta Horja, dan bagaimana makna maupun pola lantainya?

Tortor adalah tarian yang menggerakkan seluruh badan dengan iringan Gondang Sabangunan dengan pusat pola gerakan terletak pada kaki, tangan, jari, telapan kaki, punggung dan bahu. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Tortor berhubungan dengan upacara adat, upacara ritual, maupun hiburan.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada Pesta Horja di Desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukannya dalam Dalihan Natolu. Dari gerakan Tortor kita akan mengetahui siapa hula-hula, dongan tubu maupun boru.

Tortor bagi masyarakat Batak Toba tetap melekat dalam kehidupannya di manapun mereka berada. Aktivitas manortor dilakukan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba. Meskipun pemakaian/penggunaan Tortor banyak mengalami perkembangan setelah era kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan.

Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam Pesta Horja tersebut.

Kata kunci: Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat, rahmat dan karunia-Nya yang membimbing dan menyertai penulis dalam

penyelesaian studi di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.

Tulisan dalam bentuk tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Studi Magister (S-2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera

Utara Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak A. Sinaga dan Ibu (Oma)

R. Napitupulu (alm), nasehatmu ibu senantiasa mengiringi langkahku di manapun

aku berada. Segala yang Bapak berikan (doa dan nasehat) membawaku mencapai

jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya tidak mampu membalasnya dengan

apapun.

Kepada suami saya tercinta, Drs. Aipda. Saut Gultom, yang tidak pernah

lelah mendukung dan memotivasi saya dengan moril maupun materil dalam

perkuliahan hingga selesainya penulisan tesis ini. Hanya tesis ini yang dapat saya

persembahkan sebagai tanda terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu

kepadaku.

Tidak lupa kepada kedua anakku yang sangat kucinta dan kusayangi,

Kevin Gultom dan Kenny Gultom. Atas dorongan dan kelucuanmu membuat

Universitas Sumatera Utara

mama termotivasi dalam penyelesaian tesis ini, tanpa kalian mama tidak ada

semangat dan kekuatan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada

kedua mertua saya, M. Gultom dan L. Br. Sinaga.

Tidak lupa saya berterima kasih kepada abang, Ir. Mardi Sinaga, MBA,

Sahala Adhel Sinaga, SE, dan adik saya, Imelda Sinaga, SP. Atas dorongan,

motivasi dan doa kalian mendukung terselesaikannya pembuatan tesis ini. Semoga

kalian selalu diberkati Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat kita.

Secara akademik penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

Dr. dr. Syahril Pasaribu., DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., sebagai Dekan

Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberi fasilitas, sarana dan prasarana belajar

bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara

ini dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua

Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara, Drs. Irwansyah, M.A., dan Sekretaris,

Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, atas bimbingan akademis dan arahan yang

diberikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada Ibu Dra.

Rithaony, M.A., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Yusnizar Heniwaty,

M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II atas semua tuntunan, nasehat serta

bimbingannya dan memotivasi penulis supaya tetap semangat dan terus maju

Universitas Sumatera Utara

tidak menyerah. Juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Penguji Drs.

Kumalo Tarigan, M.A., yang memberikan koreksi dan kritikan demi perbaikan

penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen Program Studi

Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, antara lain: Prof. Drs. Mauly

Purba, M.A., Ph.D., Drs. Kumalo Tarigan, MA, Dra. Rithaony, M.A., Drs. Setia

Dermawan Purba, M.Si., Dra. Frida Deliana, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si.,

atas ilmu yang telah diberikan selama ini. Begitu juga kepada Bapak Drs. Ponisan

sebagai pegawai adminsitrasi, terima kasih atas segala bantuannya selama ini.

Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Selain itu juga

dapat menjadi sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang

Penciptaan dan Pengkajian Seni, serta Etnomusikologi.

Tentu tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya, karena itu kepada semua

pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun

pada tesis ini.

Medan, Januari 2012 Penulis Sannur D.F. Sinaga

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

1. Nama : Sannur D. F. Sinaga

2. Tempat/Tgl. Lahir : Parapat, 22 Juli 1971

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Kristen Protestan

5. Kewarganegaraan : Indonesia

6. Nomor Telepon : 081361776034

7. Alamat : Villa Mutiara III, Blok H-16

Jl. Bajak II H, Marindal-Medan

8. Pekerjaan : PNS Guru SMK Negeri 11 Medan

PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri 091463 Parapat lulus tahun 1984

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Parapat lulus tahun 1987

3. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Parapat lulus tahun 1990

4. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera

Utara lulus tahun 1997

Universitas Sumatera Utara

5. Akta Mengajar IV Bidang Kependidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Medan lulus tahun 2003

6. Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni di

Fakultas Budaya Universitas Sumatera Utara

PENGALAMAN KERJA

1. Tahun 2004-2009

PNS Guru di SMA Negeri 2 Yayasan Sopo Surung Balige

2. Tahun 2009-sekarang

PNS Guru di SMK Negeri 11 Medan

PENGALAMAN PROFESI

1. Tahun 2005 Juri Festival Tortor Se Kabupaten Toba Samosir

2. Tahun 2009 - Pengurus Lembaga Pengembangan Paduan

Suara Daerah Kabupaten Toba Samosir

- Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kabupaten

Toba Samosir

- Juru Festival Paduan Suara Wanita Se Gereja

HKBP Distrik Humbang Hasundutan

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se

Kabupaten Deli Serdang

- Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara

Kabupaten Tapanuli Utara

Universitas Sumatera Utara

- Juri PORSENI SD Tk. Provinsi Sumatera Utara

- Juri Festival Paduan Suara TB. Silalahi Center

Toba Samosir

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se

Kabupaten Toba Samosir

- Juri PORSENI Tk. I SMP Provinsi Sumatera

Utara

- Pengurus Lembaga Pengembangan Musik

Gereja Sumatera Utara

- Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara Se

Kabupaten Tapanuli Utara

- Panitia Pagelaran Musik Gereja Bernuansa Etnis

Se Sumatera Utara

- Peserta Festival Paduan Suara Gerejawi Tingkat

Nasional Utusan Sumatera Utara di Samarinda

3. Tahun 2010-2012 - Juri Tari Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara

- Juri Vocal Group Tk. SLTA Se Provinsi

Sumatera Utara

- Juri Vocal Solo Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera

Utara

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se

Kabupaten Deli Serdang

Universitas Sumatera Utara

- Juri Festival Paduan Suara HKBP Se Humbang

Hasundutan dalam rangka Jubileum HKBP ke

150 tahun

- Tim Kesenian Toba Samosir ke Taman Mini

Indonesia Indah

- Juri Vocal Group Perparawi Se Kabupaten

Simalungun

- Juri Paduan Suara, Vocal Group, Solo Se

Kabupaten/Kota Nias

Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

Sannur D.F. Sinaga NIM 097037013

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii

ABSTRACT ................................................................................................... v

ABSTRAK ..................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2 Pokok Permasalahan ............................................................. 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 15

1.3.1 Tujuan Penelitian ........................................................... 15

1.3.2 Manfaat Penelitian ......................................................... 16

1.3.3 Fokus Penelitian ............................................................. 17

1.4 Studi Kepustakaan ................................................................. 17

1.5 Landasan Teori ...................................................................... 19

1.6 Metodologi Penelitian ........................................................... 23

1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data ................... 25

1.7.1 Observasi ........................................................................ 25

1.7.2 Wawancara ...................................................................... 26

Universitas Sumatera Utara

1.7.3 Perekaman ....................................................................... 26

1.7.4 Kerja laboratorium ........................................................... 27

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA

BATAK TOBA .............................................................................. 28

2.1 Geografi Batak Toba ............................................................. 28

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba ....................................... 30

2.2.1 Pengertian Batak ....................................................... 30

2.2.2 Sejarah Batak ............................................................. 31

2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba ........................................ 35

2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara .................................... 36

2.4 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Batak Toba ............... 44

2.4.1 Hula-hula ................................................................... 47

2.4.2 Dongan Sabutuha ...................................................... 48

2.4.3 Boru ........................................................................... 49

2.4.4 Sistem Sapaan ........................................................... 50

2.5 Mata Pencaharian .................................................................. 54

2.6 Kampung dan Desa ............................................................... 54

2.7 Agama dan Kepercayaan ....................................................... 56

2.7.1 Islam .......................................................................... 60

2.7.2 Kristen ....................................................................... 62

2.7.3 Parmalim ................................................................... 64

2.7.4 Siraja Batak ............................................................... 67

2.8 Kesenian Masyarakat Batak Toba ......................................... 68

Universitas Sumatera Utara

2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara ........................................... 68

2.8.2 Seni Rupa .................................................................. 72

2.8.3 Seni Sastra ................................................................. 73

2.8.4 Seni Musik ................................................................. 75

BAB III TORTOR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

BATAK TOBA .............................................................................. 78

3.1 Tortor Pada Saat Upacara ..................................................... 78

3.2 Penggunaan dan Fungsi Tortor ............................................. 93

3.2.1 Penggunaan Tortor .................................................... 93

3.2.2 Fungsi Tortor ............................................................. 96

3.3 Busana Tortor dalam Upacara ............................................... 104

3.4 Perkembangan Tortor ............................................................ 106

BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA ........ 108

4.1 Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja .............................. 108

4.2 Tujuan Pelaksanaan Pesta Horja ........................................... 113

4.3 Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja ................. 117

4.3.1 Mamanggil Pargonsi ................................................. 117

4.3.2 Adat Tu Pargonsi ....................................................... 118

4.3.3 Maniti Ari .................................................................. 120

4.3.4 Menentukan Tempat .................................................. 121

4.4 Tortor yang Disajikan Pada Saat Penyelenggaraan

Pesta Horja ............................................................................. 122

4.5 Penentuan Judul Tortor dan Hubungannya Dengan

Universitas Sumatera Utara

Pihak yang Manortor ............................................................. 123

4.6 Hubungan Tortor Dengan Gondang Sebagai Musik

Pengiring ............................................................................... 125

4.7 Tortor Sipitu Gondang Dalam Pesta Horja ........................... 168

4.7.1 Tortor Mula-mula ...................................................... 168

4.7.2 Tortor Somba ............................................................. 169

4.7.3 Tortor Mangaliat/Siuk-siuk ....................................... 169

4.7.4 Tortor Sibane-bane .................................................... 170

4.7.5 Tortor Saudara/Parsaoran .......................................... 170

4.7.6 Tortor Simonang-monang ......................................... 171

4.7.7 Tortor Hasahatan-Sitio-tio ......................................... 171

4.8 Mangido Tuani Gondang ...................................................... 172

4.9 Pantun (Umpasa) Dalam Meminta Gondang ........................ 173

BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PENYAJIAN TORTOR SIPITU

GONDANG ................................................................................... 182

5.1 Struktur dan Makna ............................................................... 182

5.2 Motif dan Makna Gerak Dasar Dalam Tortor ....................... 183

5.3 Aturan-aturan Dalam Gerakan Tortor ................................... 194

5.3.1 Pangurdot .................................................................. 194

5.3.2 Pangeal ...................................................................... 194

5.3.3 Pandenggal ................................................................ 195

5.3.4 Siangkup na (siakkup na) .......................................... 195

5.3.5 Hapunan .................................................................... 195

Universitas Sumatera Utara

5.4 Danskrip Tortor Dalam Pesta Horja ...................................... 199

5.5 Pola Lantai ............................................................................ 203

BAB VI PENUTUP ..................................................................................... 219

6.1 Kesimpulan ........................................................................... 219

6.2 Saran ...................................................................................... 221

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 222

LAMPIRAN:

GLOSSARIUM ............................................................................. 225

DAFTAR INFORMAN ................................................................ 231

TAROMBO NI OMPU I GURU TOLOAN GULTOM ............ 234

TERTIB ACARA PESTA HORJA ............................................. 237

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara ....................................... 29

Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan menurut Desa/Kelurahan ... 33

Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan ......................... 42

Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi .......................................................... 43

Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa rahut Bosi .................................................. 43

Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija .................................................................. 43

Tabel 2.7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga ............................................. 44

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat

pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang

lampau. Tari diadakan sesuai dengan kebudayaan setempat dengan cara dalam

konteks yang berbeda-beda. Tari diadakan untuk upacara-upacara yang berkaitan

dengan adat dan kepercayaan, namun ada juga yang melaksanakannya sebagai

hiburan atau rekreasi. Sistem sosial dan lingkungan alam mempengaruhi bentuk

dan fungsi tari pada suatu komunitas suku dan budaya.

Tari1

Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, Tortor berhubungan erat

dengan upacara adat, upacara ritual, maupun untuk hiburan. Dalam tulisan ini ada

beberapa subyek pembahasan yaitu tentang konteks, makna maupun

perkembangan Tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.

dalam kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Tortor, sedangkan

penari biasa disebut dengan Panortor. Tortor memiliki prinsip semangat

kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama.

1Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157). Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Batak Toba, tari (Tortor)

mempunyai peranan penting dalam aktivtas kehidupan mereka yang berkaitan

dengan kehidupan spiritual mereka dan juga untuk hubungan sosial

kemasyarakatannya. Tortor dilakukan dengan berbagai kegiatan ritual maupun

upacara keagamaan dan juga dapat dipertunjukkan dalam konteks adat.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukan masing-masing warga

masyarakat di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba yang disebut sebagai

sistem kekerabatan. Sistem ini disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu

terdiri dari Hula-hula (pihak pemberi istri), Boru (pihak keluarga istri), Dongan

Sabutuha (kerabat semarga).

Adat Batak Toba yang dimaksud ialah rangkaian atau tatanan norma-

norma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia

dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada Sang Pencipta, serta pelaksanaan

upacara-upacara ritual keagamaan (Purba, 2003: 1).

Tortor adalah “seni tari dengan menggerakkan seluruh badan dengan

dituntun irama gondang, dengan pusat gerakan pada tangan dan jari, kaki dan

telapak kaki/punggung dan bahu.” (Malau, 2000: 215)

“Setiap gerakan pada Tortor Batak yang berekspresi disebut urdot.

Mangurdot berarti menggerakkan badan dan anggota tubuh secara ekspresif.

Urdot ini dilakukan sesuai dengan iringan gondang. Gondang dan Tortor adalah

perpaduan bunyi dan gerak tubuh yang sedang dibawakan.” (Lumbantobing,

1968: 120)

Universitas Sumatera Utara

Tortor dalam upacara ritual maupun adat biasanya diiringi Gondang

Sabangunan (musik tradisional masayarakat Batak Toba). Manortor yang

dilakukan oleh muda-mudi adalah bentuk penyampaian hasrat hati kepada lawan

jenisnya, dan pada dulunya tarian ini dilakukan pada malam bulan purnama.

Artinya aktivitas manortor ini dilakukan sebagai sarana penyampaian isi

batin baik kepada roh-roh leluhur maupun kepada orang-orang yang dihormati

maupun yang disayangi (sesama manusia) yang ditunjukkan dalam bentuk

tarian/Tortor.

Tortor senantiasa diiringi gondang sabangunan. Setelah paminta gondang

(orang yang meminta repertoar gondang dimainkan yang sekaligus juga berperan

sebagai pemimpin kelompok penari) menyerukan untuk maminta gondang

(meminta gondang) dimainkan dimulailah gerakan mangurdot, seiring dengan

bunyi ritme dari gong (ogung) dan gendang (taganing). Dalam hitungan 2 x 8 atau

3 x 8 dengan dimulainya bunyi suara sarune (alat tiup berlidang ganda) maka

panortor mulai membuka tangan dan melakukan gerak tortor sesuai yang diminta.

Urdot selalu dimulai dengan kaki kanan dalam hitungan untuk memulainya. Kaki

kanan itu melambangkan keberhasilan dari sesuatu hal yang kita kerjakan. Dalam

bahasa Batak biasa disebut dengan parlangka siamun.

Hertz menyatakan bahwa pada berbagai suku bangsa di Indonesia upacara

kematian terdiri dari atas tiga tingkat, yaitu: (1) sepelture provisorie; (2) periode

intermediaire; dan (3) ceremonie finale. Mula-mula mayat diberi suatu sepulture

proisoire yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaire

atau masa antara. Setelah masa antara dilewati, diadakan suatu upacara yang

Universitas Sumatera Utara

memberikan suatu kedudukan yang baru untuk roh orang mati dengan jalan

ceremonie finale yaitu suatu upacara penggalian tulang belulang dan sisa jasmani

dari jenazah, lalu ditempatkan di tempat yang tetap (Koentjaraningrat, 1980:72-

73).

Kepercayaan tradisional masyarakat Batak Toba menyatakan bahwa

apabila seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, maka dia

harus melakukan berbagai hal dalam kehidupannya, antara lain sebagai berikut:

- Harus menghormati, menyembah dan memuja orang tua dan roh nenek

moyang dengan mengadakan upacara-upacara.

- Memberi perhatian yang khusus kepada roh-roh pengetua adat (harajaon)

maupun dukun (datu).

- Menyajikan persembahan dalam bentuk sesajen dan memelihara roh.

- Menuruti kehendak roh.

- Mentaati tata cara adat di dalam segala aktivitas dalam kehidupan.

Dalam kepercayaan Batak Toba manusia mempunyai tiga unsur yaitu:

tondi (jiwa), mudar (darah) dan sibuk (daging). Dalam hal ini tondi akan

menyertai manusia selama manusia masih hidup. Tetapi bila manusia meninggal,

maka tondi akan meninggalkannya dan tondi akan menjadi penghuni (mempunyai

kuasa) dunia tengah yang didiami roh-roh nenek moyang.

Dilihat dari sudut kepercayaan, peristiwa kematian manusia pada

masyarakat Batak Toba adalah hal yang sangat penting dan sangat dihargai dari

peristiwa-peristiwa dalam siklus kehidupan (life cycle), misalnya kelahiran,

perkawinan, kematian dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan adanya kepercayaan

Universitas Sumatera Utara

tentang tondi, begu, sahala, sombaon, dan sumangot orang Batak Toba (biasanya

untuk nenek moyang). Menurut keyakinan masyarakat mereka, segala aspek-

aspek ini selalu berhubungan erat dengan keyakinan terhadap datangnya berkat

kebahagiaan (pasu-pasu), maupun keselamatan. Hal ini akan diterima dengan

sendirinya apabila seseorang itu hidup dalam ketaatan adat maupun penghormatan

kepada seseorang sebelum maupun sesudah kematiannya.

Masyarakat Batak Toba meyakini roh orang yang sudah meninggal dapat

melihat keadaan orang-orang yang masing hidup dan keluarga yang

ditinggalkannya dan mempunyai hubungan mendatangkan keselamatan dan

mendatangkan malapetaka. Ada kepercayaan yang menyatakan bila suatu

keluarga atau sekelompok marga dapat melaksanakan upacara atau pesta horja ini

maka mereka akan memperoleh keselamatan, dan sebaliknya jika tidak

dilaksanakan akan mendatangkan malapetaka. Dengan demikian masyarakat

Batak Toba akan berusaha melaksanakan pesta tersebut sebagai tanda

penghormatan kepada nenek moyang mereka.

Tingkat ketiga dari upacara kematian tersebut, yakni ceremonie finale

terdapat pada masyarakat Batak Toba yang diawali dengan penyatuan tulang

belulang nenek moyangnya. Kemudian disatukan ke satu tempat yang dibangun

khusus. Upacara ini bermaksud untuk menghormati, memperingati, dan

meninggikan roh nenek moyang (leluhur) yang dipandang sebagai penentu adat.

Monang Naipospos selaku pengetua adat menyatakan Tortor Batak yang

sangat individual dan merupakan ritual kehidupan persembahan kepada orang

Universitas Sumatera Utara

banyak, lingkungan dan penciptaannya sifatnya bukan sebagai hiburan. Tortor

adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang.

Biasanya jenis gondang yang dimainkan adalah sama dengan nama Tortor

yang akan ditarikan. Misalnya dalam Gondang Mula-mula yang ditarikan adalah

Tortor Mula-mula artinya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada

yang menciptakan (dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikenal dengan

Mula Jadi Na Bolon), dan segala sesuatu yang dimulai dengan baik maka hasilnya

akan baik pula. Begitu juga dengan Gondang Somba yang ditarikan adalah Tortor

Somba (gerakan menyembah kepada Tuhan dan kepada masyarakat sekeliling),

dan masih banyak lagi jenis Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan.

Dalam sebuah aktivitas Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan

biasanya salah satu dari penari (panortor) tersebut akan bertindak sebagai paminta

gondang. Paminta Gondang ini adalah orang yang meminta Gondang (lagu)

untuk dimainkan dan sekaligus berperan sebagai pemimpin dari kelompok penari

(panortor) tersebut. Sebagai seorang paminta gondang, orang tersebut harus

punya pengetahuan tentang gondang yang akan dimainkan dan harus mengetahui

umpasa (pantun, petatah-petitih) yang selalu mengiringi aktivitas manortor

(menari pada kehidupan masyarakat Batak Toba). Jenis-jenis Tortor disesuaikan

dengan musik (gondang) yang akan dimainkan.

Seni tari Batak Toba pada zaman dahulu merupakan sarana utama

pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Menari/manortor juga dilakukan dalam

acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang pada waktu itu masih

menganut kepercayaan yang berbau mistis. Acara pesta adat membunyikan

Universitas Sumatera Utara

Gondang Sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap) sangat erat

hubungannya dengan pemujaan para dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur)

pada zaman dahulu.

Tata cara memulai tortor dilaksanakan dengan mengikuti persyaratan

tertentu. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhuton)

melakukan acara khusus yang dinamakan mangido tua ni gondang (yang artinya

pihak yang punya hajatan/hasuhutan meminta kepada pemain gondang dalam hal

ini taganing untuk memainkan gondangnya menggunakan kata-kata yang sopan

dan santun. Begini bunyinya:

“Amang Panggual Pargonci …(wahai pemusik...)

- Alualuhon damang majo tu omputta Mula Jadi Nabolon, na jumadihon

nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion

(sampaikanlah permohonan kami kepada maha pencipta, yang

menjadikan segala yang ada, menjadikan manusia serta seluruh isi

dunia ini). Gondang pun dimainkan...

- Alualuhon ma muse tu sumangot ni omputta sijolo-jolo tubu, sumangot

ni omputta paisada, omputta paidua sahat tu papituhon (Sampaikan

juga kepada roh-roh leluhur, leluhur yang pertama, kedua, hingga

leluhur tingkat ke tujuh). Gondang dimainkan...

- Alualuhon majolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo

(Mohonkan jugalah kepada hadirin yang terhormat). Lalu gondang pun

dimainkan...

Universitas Sumatera Utara

Demikianlah, setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan

pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga

permintaan seruan (alu-alu) tersebut dilaksanakan dengan baik, maka barisan

keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat

berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan meminta

jenis gondang yang harus dilakukan hasuhutan untuk mendapatkan tua ni

gondang. Para penari/panortor menari dengan gembira dan sukacita. Jenis

permintaan gondang yang dibunyikan adalah permohonan kepada dewa-dewa dan

para arwah leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan upacara diberi

keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, rejeki yang berlimpah ruah, dan upacara

adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh

keluarga, serta para undangan. Gondang terakhir yang dimohonkan adalah

Gondang Hasahatan. Artinya selesailah sudah upacara adat yang diharapkan pasti

membawa kebahagiaan dan kesejahteraan.

Dalam aktivitas manortor banyak pantangan yang tidak diperbolehkan,

seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, karena

bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapapun dalam bidang

ilmu pendukunan, atau adu pencak silat, atau ada tenaga dalam.

Yang umum dilakukan dalam aktivitas dalam manortor adalah:

1. Gondang Mula-mula dengan Tortor Mula-mula

2. Gondang Somba-somba, dengan Tortor Somba-somba

3. Gondang Sampur Marmeme dengan Tortor Sampur Marmeme

4. Gondang Sampur Marorot dengan Tortor Sampur Marorot

Universitas Sumatera Utara

5. Gondang Saudara dengan Tortor Saudara

6. Gondang Sitiotio dengan Tortor Sitio dilanjutkan dengan

7. Gondang Hasahatan dengan Tortor Hasahatan

Atau

1. Gondang Mula-mula

2. Gondang Somba-somba

3. Gondang Sibane-bane

4. Gondang Simonang-simonang

5. Gondang Didang-didang

6. Gondang Hasahatan Sitio-tio

Gerak tari sebagai bagian dari seni budaya refleksi dan perwujudan dari

sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu

sendiri. Tarian atau gerak adalah bahasa tubuh yang menggambarkan identitas

bangsa atau daerah. Dalam tarian atau gerak tergambar cita rasa, daya cipta dan

karsa dari sekelompok orang. Tortor menggambarkan pengalaman hidup orang

Batak dalam kehidupan keseharian, gembira atau senang, bermenung, berdoa,

menyembah, menangis, bahkan keinginan dan cita-cita maupun harapan

tergambar dalam tortor. Tortor adalah tarian seremonial yang secara fisik

merupakan tarian namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya

menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, karena melalui media

gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara (Purba,

2004:64).

Universitas Sumatera Utara

Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu yang berhubungan

satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah

sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas

obyektif karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-

bagiannya dan hubungan mereka. Sifat struktur adalah totalitas, transformatif, dan

otoregulatif. Struktur ini dapat kita lihat dalam penyajian tortor pada kehidupan

masyarakat Batak Toba yang terdiri dari makna gerakan, motif gerakan, pola

lantai, maupun busana yang dipergunakan.

Struktur penyajian tortor ada empat, yaitu: motif dasar gerak, danskrip

tortor dalam pesta horja, pola lantai dan busana tortor.

Dalam semantik, juga dikenal teori tiga makna. Odgen and Richards

(1923) menyebutkan sebagai symbol, reference, dan referent. Morris Morgan

(1955) menyebutkan sign, signal, dan symbol. Brodbeck (1963) menyebutnya

sebagai (1) makna referensial, makna suatu istilah mengenai obyek, pikiran, ide

atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, (2) makna yang

menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain,

dan (3) makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada

apa yang dimaksud oleh si pemakai (dalam Kusuma, 2007).

Coumming (1999) menyatakan teori makna melalui tiga pendekatan.

Ketiga bagian itu yaitu simbol dalam bahasa yang dilihat dari:

1. Perspektif referensial (makna dalam dunia) berarti entitas dalam dunia luar

2. Perspektif psikologi (makna dalam pikiran) berarti referensi dalam pikiran

3. Perspektif sosial (makna dalam tindakan) berarti dilakukan melalui bahasa.

Universitas Sumatera Utara

Makna tersebut terlihat dari setiap makna gerak yang terdapat dalam tortor Batak

Toba yang terdiri dari gerakan kepala, mata, hidung, wajah, kaki, badan dan

tangan, semua itu memiliki makna dan aturan yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba.

Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit

untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi

tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat

persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah

tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan.

Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan

dari kebudayaan lain, dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat

yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984:5).

Selanjutnya dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-

jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisik tidak akan

dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari.

Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuituf. Tari sebagai

ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau

keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada

tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh

kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam.

Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu

medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia

(Ellfeldt, 1976:160).

Universitas Sumatera Utara

Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh.

Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana

menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta

integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual

dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang

secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan

ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi

gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang,

maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari

(Thompson, 1974:262; Snyder, 1974:9).

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi

disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh

kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat. (Websteris, 1994:9).

Perkembangan dalam kelangsungan kehidupan tradisi tortor pada

masyarakat Batak Toba dimulai dengan masuknya agama Kristen di Tanah Batak.

Kedatangan para missionaris Kristen di Tanah Batak telah membuat batasan

penggunaan tortor dan gondang Batak Toba, dan dalam beberapa hal ada yang

bahkan dilarang untuk dilaksanakan. Hal ini diberlakukan dan dikenakan pada

masyarakat Batak Toba yang telah beralih ke agama Kristen.

Gereja membuat batasan bahwa tortor yang diiringi gondang sabangunan

hanya boleh dimainkan atau dilakukan pada acara-acara tertentu yang berkaitan

dengan kegiatan sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawainan dan inipun

dilakukan harus seizin pihak gereja atau terlebih dahulu dibuka atau dimulai pihak

Universitas Sumatera Utara

gereja. Artinya kegiatan ini akan terhindar dari kegiatan kepercayaan lama

masyarakat Batak Toba yang menurut faham kekristenan bertentangan dengan

ajaran kekristenannya.

Dengan kedatangan para missionaris Kristen ke Tanah Batak telah

memperkenalkan jenis ensambel musik tiup logam (brass band) dari Barat

(Jerman) kepada masyarakat Batak Toba. Jenis musik inipun dibunyikan sesuai

dengan perkembangan musik Batak Toba asli yang digabungkan dan

dikolaborasikan dengan musik tiup Barat tadi.

Dengan sendirinya musik yang dimainkan seiring dengan dilakukannya

gerakan Tortor yang ditarikan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba. Gondang Sabangunan dan musik tiup dari barat

merupakan jenis musik yang memiliki keterikatan yang cukup erat dalam tradisi

masyarakat Batak Toba karena karakteristik bunyi yang dihasilkan terdapat

penyesuaian satu sama lainnya. Dalam Gondang Sabangunan, Tortor dilakukan

sesuai karakteristik bunyi yang dihasilkan, demikian juga dengan brass band.

Lagu-lagu yang dibawakan dalam brass band merupakan lagu-lagu gereja

yang dibunyikan sesuai karakteristik musik (Gondang) pada kehidupan

masyarakat Batak Toba. Kemudian masyarakat sebagai pelaku aktivitas tersebut

juga manortor sesuai bunyi musik yang dimainkan dan tetap masih dalam aturan

sistem kekerabatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. Kadangkala lagu

gereja yang dimainkan pemusik Gondang Sabangunan digabung dengan musik

brass band tadi, yang hasilnya membuat aktivitas tortor semakin meriah dan

dinamis.

Universitas Sumatera Utara

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi

disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh

kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat (Websteris, 1994:9). Perlahan-lahan

Gondang yang mengiringi Tortor berubah menjadi brass band mengiringi Tortor.

Hal ini dimulai dari masyarakat yang hidup diperkotaan. Lagu-lagu yang

dibawakan sudah lebih banyak diambil dari buku lagu gereja dan lagu-lagu

populer. Di sisi lain yang tidak kalah problematis dan nyata adalah ketika kita

hendak berbicara yang berkaitan dengan musik di tanah air, namun yang kita

miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik,

baik dari sudut pandang teoritik analitik, maupun sejarah, sebagian besar berasal

dari predominasi pengetahuan Barat – yang/dan belum tentu pas dengan untuk

diaplikasikan pada persoalan musik di Indonesia, baik secara pengalaman maupun

dalam konteks kajian bangsa. (Hardjana, 2002). Perubahan maupun penyesuaian

yang terjadi akibat pengaruh masuknya kekristenan pada masyarakat Batak Toba

adalah bahwa masyarakat Batak Toba semakin tidak tahu tentang reportoar

gondang yang berkaitan dengan ritual kepercayaan lama, terjadinya pergeseran

fungsi tortor dengan iringan Gondang Sabangunan dari kepercayaan lama

menjadi lebih sekular seperti penggunaan dalam konteks perayaan dan pesta

pembangunan gereja. Akibat larangan dari pihak gereja tentang aktivitas musik

gondang mengakibatkan berkurangnya kuantitas penyajian musik tradisi gondang

dengan tortor yang mengakibatkan berkurangnya pengetahuan tentang musik

gondang dan tortor khususnya bagi generasi muda Batak Toba. Dengan adanya

brass band telah memperkenalkan genre musik baru yang telah mampu

Universitas Sumatera Utara

menggeser fungsi maupun penggunaan musik gondang meskipun reportoar lagu

yang dibawakan masih memiliki kedekatan yang cukup erat dengan karakteristik

musik yang terdapat dalam musik tradisi gondang. Begitu pula dengan gerakan

tortor yang pada saat ini sudah banyak menghilangkan unsur-unsur tradisi

kepercayaan lama. Seiring dengan perubahan musik tradisi gondang (dari

kepercayaan tradisi lama) menjadi jenis musik yang lebih bersifat sekular,

demikian pula dengan gerakan tortor yang dilakukan tidak terlalu kaku lagi atau

sudah lebih bebas meskipun masih tetap dalam konteks adat yang menganut

sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, artinya aturan dalam manortor itu masih

tetap dilaksanakan meskipun nilai kesakralannya sudah mulai hilang.

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan.

Dalam tesis nantinya, masalah yang akan dibahas adalah:

(1) bagaimana struktur tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba;

(2) sejauh mana fungsi dan makna tortor dalam konteks kebudayaan

masyarakat Batak Toba(pesta Horja).

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tortor dalam

kehidupan sosial adat masyarakat Batak Toba.

(2) Untuk mengetahui dan memahami makna tortor.

(3) Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya dan makna tortor dalam

kebudayaan masyarakat pendukungnya,

(4) Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu yang

dipergunakan dalam musik tortor.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam bentuk Tesis

ini adalah sebagai berikut:

(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tortor).

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni tari dan

musik, agar dapat mengetahui penyajian tortor dan musik dalam konteks

horja.

(3) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang

berkaitan dengan budaya daerah.

(4) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik

mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tortor.

(5) Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional

yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Sumatera Utara pada

khususnya dan Indonesia secara umum.

Universitas Sumatera Utara

1.3.3 Fokus Penelitian

Yang menjadi fokus dan tempat penelitian ialah Tortor dalam pesta Horja2

Acara pesta ini dimulai dari musyawarah keluarga dalam penentuan hari

yang disebut dengan maniti ari, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan dana

dari seluruh keturunan yang melaksanakan pesta ini.

dari keluarga marga Gultom di Desa Rahut Bosi, Kecamatan Pangaribuan adalah

pesta Horja yang dilaksanakan sebagai penghormatan kepada leluhur mereka.

Kemudian mereka mencari pemain musik (pargondang) atau disebut juga

pargonsi. Pihak penyelenggara pesta (hasuhuton) melakukan adat kepada

pargonsi. Acara ini dilaksanakan selama 3 hari, dari tanggal 7 Juli 2011 sampai

dengan 9 Juli 2011.

Di dalam acara ini terdapat acara pembukaan yang disebut mangido tuani

gondang kemudian dilanjutkan dengan acara manortor oleh seluruh peserta yang

hadir dalam pesta Horja tersebut.

1.4 Studi Kepustakaan

Sebelum penulis mengadakan studi lapangan, terlebih dahulu penulis

mengadakan studi kepustakaan antara lain: Skripsi Irwansyah yang berjudul

“Analisis Komparatif Bentuk (Penggarapan) dan Teknik Permainan dari sebuah

Gondang yang disajikan oleh Tujuh Partaganing”, Skripsi S1 Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, menyatakan salah satu aspek

kehidupan tradisi seni masyarakat Batak Toba berkisar pada tradisi margondang,

2 Adat feasts are divided into two categories: horja and pesta bius. In general, a horja is a ceremonial feast performed at the clan (marga) level. The central purpose of the horja is the strengthening of social relationships and the workship of ancestral spirits (Purba, 2005:122).

Universitas Sumatera Utara

yaitu suatu aktifitas masyarakat yang melibatkan tradisi musikal dan aturan-aturan

adat di dalam suatu pelaksanaan upacara. Menganalisa hubungan peristiwa musik

gondang, memberi makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai menunjukkan

satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia, atau orang-orang dalam

tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara

berlangsung. (Irwansyah, 1990:12), yang disajikan dalam upacara masyarakat

Batak dengan kegiatan musikal dalam upacara adat Batak Toba masa sekarang ini,

merupakan penelitian cross-disipliner antara musikologi dengan antroplogi

kebudayaan/etnologi yang mencermati perubahan struktur, gaya dalam penyajian

musiknya.

Mengacu pada pendapat Dibia, tortor merupakan sebuah tari komunal

(segala aktivitas tari yang melibatkan instrumen atau struktur sosial

kemasyarakatan, baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun

kepentingan individual (dalam buku Tari Komunal oleh I Wayan Dibia, FX.

Widaryanto, Endo Suanda, 2006:53).

Dimensi waktu juga telah mengundang seni karawitan ikut serta

mengiringi seni tari, dengan peran yang sangat menentukan. Di samping

menunjang seni geraknya dalam seni tari dengan menentukan ritme dan tempo

yang mewujudkan suasana yang sesuai dengan apa yang ditarikan (Djelantik,

1990:23).

Sumaryono dan Endo Suanda dalam buku Tari Tontonan (2005)

mengatakan tradisi mengalami proses keberlangsungan dan perubahan-perubahan

di dalam dirinya. Perubahan itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan,

Universitas Sumatera Utara

mengingat perubahan adalah hal yang alamiah dan niscaya terjadi di berbagai sisi

kehidupan dan kebudayaan manusia. Perubahan yang terjadi dalam kebudayaan

pada awalnya berlangsung dalam pertemuan panjang lewat persilangan

kebudayaan masa lalu dan berlangsung berabad-abad. Hal inilah yang kemudian

melahirkan tradisi-tradisi yang menjadi latar budaya yang berkembang di setiap

daerah (Sumaryono dan Suanda, 2005:132).

Hutasoit menulis dalam buku Ende Dohot Uning-uningan yang

menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba dan dalam bukunya yang

berjudul Gondang Dohot Tortor Batak yang membahas tentang makna-makna

gerak dan aturan-aturan gerak dalam tortor.

Batara Sangti dalam bukunya yang berjudul Sejarah Batak juga banyak

menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba (Gondang) dan tortor.

1.5 Landasan Teori

Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah sebagai

berikut: Untuk mengkaji konteks penulis mengacu pada tulisan Merriam dengan

mengacu pada pendapat (1) musik di dalam konteks kebudayaan (Hood,

1969:298) dan (2) musik dalam kebudayaan (Mariam, 1977:202). Dari dua

pendapat di atas bahwa penelitian ini berkaitan dengan perilaku musik,

pertunjukan musik dan pengalaman terhadap musik serta mempelajari sekaligus

menganalisis keberadaan musik tersebut dalam masyarakat pendukungnya.

Sehubungan dengan aktifitas gerak tari (tortor) Anthony V. Shay

mengatakan dalam artikelnya yang berjudul “The Function of Dance in Human

Universitas Sumatera Utara

Society” (1971) ada enam fungsi tari yaitu: (1) sebagai refleksi organisasi sosial,

(2) sebagai sarana ekspresi untuk ritual, sekuler dan keagamaan, (3) sebagai

aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai refleksi ungkapan estetis, (5) sebagai

ungkapan serta pengendoran psikologis, (6) sebagai refleksi dari kegiatan

ekonomi (terjemahan R. M. Soedarsono).

Untuk mengkaji perkembangan tortor dengan iringan gondang

sabangunan penulis mengacu pada teori Webster yang menyatakan: dua

kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut akulturasi

(acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap

suatu kelompok masyarakat. (Webster’s, 1994:9) walaupun beberapa di antaranya

kebudayaan itu terserap sedikit dan sebagian justru berusaha menolaknya.

Keadaan problematik dan nyata ketika pengaruh yang secara sistematis itu

berkaitan dengan pemakaian musik di masyarakat Batak Toba, namun yang kita

miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik,

baik predominasi pengetahuan Barat yang belum dapat diaplikasikan pada

persoalan musik di daerah pendukung kebudayaan itu, baik secara pengalaman

maupun dalam konteks kajian budaya. (Hardjana, 2002)

Tortor merupakan pertunjukan untuk dinikmati penonton. J. Maquet dalam

Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Soedarsono, 1999:56-57)

mengemukakan seni yang diciptakan oleh masyarakat bagi kepentingan mereka

sendiri disebut sebagai art by destination, sedangkan seni yang dikemas buat

masyarakat asing (wisatawan) disebut sebagai art by metamorphosis atau art of

acculturation, atau pseudo traditional arts, atau tourist arts.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Lorimer, et.al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang

dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan

antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada

masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial

didukung oleh fungsi institus-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan

pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika

Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk

mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat

yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan

berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok

manusia yang berhubungan dengan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi

dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim,

fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang

mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun

1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-

Amerika dalam dekade 1970-an. Broinslaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-

Brown, mengembangkan teori ini di bidang antroplogi, dengan memusatkan

perhatian pada masyarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsional

dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer, et.al.

1991:112-113).

Selain itu dalam seni tradisi dipergunakan pula teori evolusi. Pada

dasarnya, teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan

Universitas Sumatera Utara

dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi

lebih kompleks.

Kesenian sebagai proses kreatif seniman dalam olahan renungan intuisi,

kepekaan seni dan nurani kesenimanan ketika berhadapan dengan problematika

masyarakat, persoalan hidup ataupun gugatan rasa religiositas serta kejujuran

untuk senantiasa setia pada nurani, barang tentu akan berkreasi mengolah

inspirasi-inspirasi ini ke bentuk-bentuk pengucapan seni entah itu puisi, drama,

lukisan, film atau tari dan sebagainya (Sutrisno, Verhaak, 1993:157).

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari

maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan

ruang, sinar, warna dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu

pengorganisasian seni tari yang disebut “koreografi” (Djelantik, 1990:23)

Fungsi utama tarian komunal pada umumnya untuk keperluan ritus

spiritual, sosial, dan kultural dari masyarakat setempat. Tarian komunal

merupakan ekspresi komunal, yakni perwujudan rasa kebersamaan (Dibia,

Widaryanto Suanda, 2006:52).

Secara terminologis (Burhan, 2007), semiotik dapat didefinisikan sebagai

ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh

kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan

segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan

kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang

menggunakannya.

Universitas Sumatera Utara

Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di

mana secara lugas memiliki kemiripan. Di mana masing-masing memerhatikan

tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna. Ketiga unsur itu

adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda.

1.6 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik

penyajian dalam bentuk tulisan adalah deskriptif analitik. Dengan menggunakan

metode ini hasil penelitian akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan fokus

utama pada bidang budaya dan sosialnya.

Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian

kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disciplines. In sociology the work of the “Chicago school” in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, … charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. …

Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disciplines, fieldsm and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1994:1).

Sedangkan Nelson menyatakannya sebagai berikut.

Qualitative research is an interdisciplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of

Universitas Sumatera Utara

the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4).

Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa

penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok

manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan

berbagai jenis disiplin, baik itu dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam.

Para penelitinya mempercayakan kepada perspektif naturalistik, serta

menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu

biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etis posisi politik.

Namun demikian, penelitian ini juga melibatkan data-data yang bersifat

kuantitatif, dengan melihat kepada pernyataan Nasution bahwa setiap penelitian

(kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu diperlukan desain

penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan

menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan

tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi

sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data,

(e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya

menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan, dan sebagainya.

(Nasution, 1982:29). Karena penelitian yang penulis lakukan bersifat kualitatif,

maka fokusnya adalah kepada para seniman tortor (komponis dan pemain) etnis

Batak Toba di Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

Edi Sedyawati juga mengungkapkan perlunya tahapan-tahapan dalam

meneliti seni tari, seperti berikut:

Penelitian seni tari juga dapat kita bagi ke dalam tiga macam atau tahap, yakni (1) pengumpulan; (2) penggolongan; dan (3) penganalisaan dan penulisan. Khusus untuk seni tari, ada satu lagi yang dapat kita sebut sebagai tahap nomor empat, yaitu pengolahan atau pemanggungan. (Sedyawati, 1984:116)

1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data

Untuk mengumpulkan data, dilakukan penelitian lapangan. Penelitian

lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang penulis lakukan yang

berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari observasi,

wawancara, dan perekaman.

1.7.1 Observasi

Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung: yaitu melihat

langsung pertunjukan tortor. Untuk menjaring data-data yang diperlukan penulis

melakukan studi lapangan dengan cara observasi. Observasi dilakukan untuk

memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam

kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang

kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. Berdasarkan jenisnya,

maka observasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan

partisipasi pengamat sebagai partisipan (insider) yaitu sebagai anggota

masyarakat Batak Toba. Keuntungan cara ini adalah peneliti telah merupakan

bagian yang integral dari situasi yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak

mempengaruhi situasi itu dalam kewajarannya.

Universitas Sumatera Utara

1.7.2 Wawancara

Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi

tersebut (seperti konsep etnosainsnya tentang estetika dan teknis musikalnya),

penulis melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara

yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur

tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu.

Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut: Berdasarkan

fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik, (c) penelitian. Berdasarkan jumlah

respondennya: (a) individual, (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a)

singkat, (b) panjang. Berdasarkan pewawancara dan responden: (a) terbuka, tak

berstruktur, bebas, non direktif atau client centered; (b) tertutup, berstruktur.3

Dalam melakukan penelitian ini, berdasarkan fungsinya penulis memakai

jenis wawancara penelitian. Berdasarkan jumlah responden adalah wawancara

individual dan kelompok. Berdasarkan lamanya adalah wawancara panjang.

Berdasarkan peranan peneliti dan nara sumber adalah wawancara terbuka, tak

berstruktur, bebas, dan non-direktif. Pada saat wawancara ini penulis melakukan

catatan-catatan yang berkaitan dengan penjaringan data, serta merekamnya secara

auditif dan audiovisual.

1.7.3 Perekaman

Untuk mendokumentasikan data yang berkaitan dengan struktur umum tari

dan musik tortor etnis Batak, maka penulis melakukan perekaman. Perekaman

3Op.cit. p. 31.

Universitas Sumatera Utara

musik dan wawancara dilakukan dengan menggunakan tape recorder merk Sony

TCM 70, yang diproduksi oleh PT. Sony Amc Graha Jakarta, dengan

menggunakan kaset feroksida BASF dengan ukuran waktu 60 menit (C-60).

Untuk dokumentasi audiovisual, dipergunakan Handycam Sony.

1.7.4 Kerja Laboratorium

Pada tahapan kerja laboratorium, seluruh hasil kerja yang telah diperoleh

dari studi kepustakaan dan dari penelitian lapangan diolah, diseleksi, disaring

untuk dijadikan sebagai data dalam penelitian ini. Data mana yang dapat

dipergunakan untuk mendukung topik penelitian, data mana yang tak dapat

dipergunakan dilakukan dalam kerja laboratorium.

Tortor dan gondang sabangunan (musik) yang dijadikan sampel, dan yang

telah direkam di atas pita kaset BASF dan CD handycam, selanjutnya

ditranskripsikan dan dianalisis di laboratorium. Kemudian karena pendekatan

etnomusikologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur musik etnis

memakai pendekatan-pendekatan yang ada pada musikologi barat, maka penulis

juga mengikuti langkah itu, namun dengan menyertakan konsep-konsep

etnosainsnya. Semua ini penulis lakukan di dalam laboratorium (etnomusikologi).

Laboratorium di sini berarti khas etnomusikologi, sepert peralatannya: tape

rekorder, video, metronome maelzel (MM), peralatan fotografi, peralatan gambar,

dan sejenisnya.

Universitas Sumatera Utara

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA

2.1 Geografi Batak Toba

Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak,

meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba,

Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae,

dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada

ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan

berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut (Siahaan, t.t.)

Dilihat dari segi persebaran penduduk, masyarakat Batak Toba telah

tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, bahkan juga di

daerah lain di Nusantara serta mancanegara, jumlah yang pasti masyarakat Batak

Toba juga tidak dapat dipastikan, tetapi jumlah masyarakat Batak Toba yang

terdapat di Sumatera Utara lebih kurang 2.948.264 jiwa, jadi kira-kira 30% dari

jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 10.250.027 jiwa, berdasarkan

sensus penduduk 2001.4

Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut

Tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal

tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk

merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di

antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, atau pendidikan.

4Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Angka (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2001), hal.,12.

Universitas Sumatera Utara

Persebaran masyarakat Batak Tobadi Provinsi Sumatera Utara, dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara (Sumber: BPS Sumatera Utara 2001)

No. KABUPATEN/KOTA JUMLAH PENDUDUK 1 Nias 2.423 2 Mandailing Natal 10.880 3 Tapsel 195.309 4 Taput 178.828 5 Tapteng 393.480 6 Tobasa 294.149 7 Labuhan Batu 255.030 8 Asahan 208.261 9 Simalungun 265.984 10 Dairi 195.314 11 Karo 31.433 12 Deli Serdang 259.978 13 Langkat 40.668 14 Sibolga 54.695 15 Tanjung Balai 56.219 16 Pematang Siantar 114.807 17 Tebing Tinggi 18.131 18 Medan 335.758 19 Binjai 15.917

Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan

identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau

sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku

Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun

silaturahmi. (Siahaan, 1982:48)

Universitas Sumatera Utara

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba

Dalam mengaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari

berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengaji

tentang asal-usul masyarakat Batak Tobadapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1)

Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang

berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang

lahirnya suku Batak.

2.2.1 Pengertian Batak

Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan

pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang

lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang

mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’ (Lumbantobing, 1996:1).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang

pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera

Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang

membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan

arti dari pembatak adalah perampok/penyamun.

Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang

sesungguhnya. Jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya

adalah suatu etnis yang berdiam/berasal dari Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Sejarah Batak

Catatan sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak

ditemukan, sehingga sulit memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak

mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Beberapa catatan sejarah yang

umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi

tentang asal-usul masyarakat Batak akan dikemukakan sebagai berikut.

Sehubungan dengan asal-usul suku bangsa Batak, Brahma Putro

mengemukakan bahwa pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa dari

Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang

terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu

bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka

ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang.

Berdasarkan pendapat dari Brahma Putro tersebut maka suku bangsa Batak adalah

berasal dari bangsa-bangsa Hindia Belakang (Putro, 1978:20).

Tentang waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai

pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd. Yamin,

sebagai berikut:

Menurut G. Gerrad, perpindahan itu terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira 1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda).

Universitas Sumatera Utara

V.H. Geldern mengatakan,

Perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi.

Dr. Kern menyebutkan,

Perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Prof. Dr. Kern, yang menyebutkan bahwa perindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikutip oleh Brahma Putro di

atas, maka dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak telah lama mendiami

wilayah Sumatera Utara sekarang. Dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak

adalah termasuk ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro

Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga

suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman,

sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang

kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay.

Namun seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di

berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga

mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang

mengemukakan sebagai berikut.

Menurut beberapa prasasti peninggalan zaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayani telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui

Universitas Sumatera Utara

sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu. (Lumbantobing, 1996:1)

Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah

tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak

adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub

suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan

perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap

pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru

terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama

dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian

jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak.

(Schreiner, 2002: 64)

Melihat pendapat di atas maka suku bangsa Batak sebenarnya masih

tergolong baru mendiami wilayah Sumatera Utara apabila dibandingkan dengan

pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto

Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun

sebelum Masehi. Hal ini apabila diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja

Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan

generasi ke-19 (wafat 1907).

Mendukung pendapat yang berhubungan dengan Si Raja Batak ini, dari

kalangan yang sudah mulai meninggalkan mitos, membuat suatu rekayasa sejarah

dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada

golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya data dari

Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan

Universitas Sumatera Utara

menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah barat Pangunguran, pinggiran

Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari

India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di

pinggir Danau Toba (Sinaga, 1997:13).

Sejarawan Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang

aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan

Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke

pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang

terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis

(prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar

Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan

Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500

orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga

menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas.

Dilihat dari catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1.400 Kerajaan Nagur

(Nakur) berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas diperkirakan bahwa Si Raja

Batak adalah salah seorang yang sudah beberapa generasi berdiam di wilayah

timur atau selatan atau barat Danau Toba, namun dia mempunyai kemampuan

yang menonjol dalam berbagai hal sehingga mendapat simpati dari rakyat banyak,

dan dapat dipastikan Si Raja Batak bukan langsung berasal dari Thailand atau

India. Hal ini juga didukung pendapat yang mengatakan:

Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba

Universitas Sumatera Utara

kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku Tarombo Bor-bor Marsada anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu: Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.

2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba

Hampir semua suku bahkan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya,

begitu juga masyarakat Batak Toba, memiliki cerita yang berkembang di

masyarakat tentang asal-usulnya. Namun sebagaimana sifat dari tradisi lisan,

maka sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama

dan semakin jauh terpisah dari sumber awalnya, semakin berbeda dengan cerita

aslinya.

Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul

masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996).

Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki.

Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk Manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan

Universitas Sumatera Utara

anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan.

Si Boru Deakparujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (laki-laki) dan Boru Itam Manisia (perempuan).

Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.

Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir.

Cerita di atas hanya merupakan salah satu dari mitologi tentang asal-usul

masyarakat Batak Toba, meskipun banyak cerita dengan berbagai versi, tetapi

perbedaannya tidak begitu jauh, dan semua cerita mengatakan bahwa Si Raja

Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.

2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara

Etnografi berasal dari istilah ethnic dan secara harafiah berarti suku bangsa

dan graphein artinya menggambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi

merupakan jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung kajian

pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau

kelompok etnik.

Universitas Sumatera Utara

Selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan

masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi

soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok

penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam kaitan ini, para ilmuwan

antropologi, biasaya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di

dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang

mencakup enam macam: (1) masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and

gathering societies; (2) masyarakat peternak atau pastoral societies; (3)

masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; (4) masyarakat nelayan,

atau fishing communities, (5) masyarakat petani pedesaan, atau peasant

communities; dan (6) masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban

societies.

Pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu

karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan.

Selain itu, dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku

bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam

kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan

lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur

kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar

lagi. Konsep itu adalah konsep “daerah kebudayaan” atau culture area.

Sebuah “daerah kebudayaan” atau culture area merupakan penggabungan

atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku

bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna. Namun

Universitas Sumatera Utara

mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem

penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang

mengelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau

benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persamaan

unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh

dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku

bangsa di daerah atau benua tertentu.

Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari

seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para

pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi

Benua Amerika abad ke-19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan

daerah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan

dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang.

Walaupun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture area itu sudah lama ada

pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama

Clark Wissler (Koentjaraningrat, 1980: 127-128), seorang ahli museum, adalah

yang membat konsep itu populer, terutama karena bukungan The American Indian

(1920). Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa

Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area.

Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan

sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan yang membentuknya.

Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur

kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor,

Universitas Sumatera Utara

senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian,

bentuk-bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, properti tari dan teater, tetapi

juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem

budaya, seperti unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian,

upacara-upacara keagamaan, cara berpikir, filsafat, adat istiadat, dan lainnya. Ciri-

ciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan untuk

klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area

itu menunjukkan persamaan-persamaan besar dari unsur-unsur alasan tadi.

Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-unsur yang

sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke

dalam culture area tetangga. Dengan demikian, garis-garis yang membatasi dua

culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsur-

unsur dari kedua culture area itu selalu tampak tercampur.

Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi cultue area tadi telah

menimbulkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan antropologi sendiri.

Kelemahan-kelemahan metode ini memang telah lama dirasakan oleh para

sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa-rupanya tidak akan

mempertajam batas-batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya.

Walau demikian, metode klasifikasi diterapkan oleh para sarjana lain terhadap

tempat-tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai sekarang

karena pembagian ke dalam culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan

dalam hal menghadapi suatu daerah luas dengan banyak aneka warna kebudayaan

di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau boleh juga lebih sempit.

Universitas Sumatera Utara

Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari wilayah-wilayah

kecamatan sebagai berikut: Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, Siborong-borong,

Muara, Sipoholon, Tarutung, Adiankoting, Parmonangan, Siatas Barita,

Simangumban, Pahae Julu, Pahae Jae, Pagaran, Simangumban.

Wilayah Pangaribuan terdiri dari wilayah desa sebagai berikut:

Parlombuan, Lumban Sinaga, Pansur Natolu, Silantom Julu, Silantom Tonga,

Rahut Bosi, Batuna Dua, Sampagul, Harianja, Batu Manumpak, Pakpahan,

Parsibarungan, Najumambe, Purbatua, Lumban Sormin, Sibingke, Godung

Borotan, Parratusan, Sigotom Julu, Parsorminan I, Silantom Jae, Padang

Parsadaan.

Wilayah Kecamatan Pangaribuan mempunyai letak astronomi dan

geografis sebagai berikut:

1. Letak astronomis

Lintang Utara : 010 45’ – 020

Bujur Timur : 99

06’

0 02’ – 990

2. Letak di atas permukaan laut : 500 s/d 1500 m

02’

3. Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan : 459,25 Km2

4. Berbatasan dengan

- Sebelah Utara : Kecamatan Sipahutar

- Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Selatan

- Sebelah Barat : Kecamatan Pahae Julu dan

Kecamatan Pahae Jae

- Sebelah Timur : Kecamatan Garoga

Universitas Sumatera Utara

5. Jarak Kantor Camat ke Kantor Bupati

Kabupaten Tapanuli Utara : 48 Km

6. Iklim : Sedang

7. Curah hujan : 2.760 mm/thn

8. Kemiringan tempat

- Dataran rendah : 0-2% : 0 Ha

- Landai : 3-15% : 18.375 Ha

- Miring : 16 – 40% : 5.125 Ha

- Terjal : 40% Ke atas : 22.425 Ha

Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan Menurut Desa/Kelurahan

Desa/Kelurahan Luas (Km2) Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan (%)

Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan

23,25 20,00 21,00 29,00 12,20 37,00 20,00 21,00 12,00 39,00 7,00 9,00 25,00 21,00 11,00 12,00 43,00 22,00 40,00 12,17 12,00

5,06 4,35 4,57 6,31 2,65 8,06 4,35 4,57 2,61 8,49 1,52 1,96 5,44 4,57 2,40 2,61 9,36 4,79 8,71 2,64 2,61

Universitas Sumatera Utara

Pansorminan I 10,63 2,31 Jumlah 459,25 100

Di Kecamatan Pangaribuan, tepatnya Desa Rahut Bosi merupakan lokasi

penelitian mengenai Pesta Horja Marga Gultom yang mempunyai letak koordinat

sebagai berikut:

Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan

Desa/Kelurahan Bujur Timur Lintang Utara Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan Pansorminan I

99,12495 98,97968 99,21614 99,28791 99,19137 99,20013 98,97968 99,14807 99,16312 99,17527 99,16843 99,16401 99,22636 99,20293 99,16399 99,13445 99,10158 99,16891 99,10019 99,15214 99,19137 99,19137

1,97481 2,01366 1,94128 1,90997 1,96471 1,95416 2,01366 1,96204 2,00173 1,99450 2,00099 2,01709 2,04536 2,06267 2,01710 2,00988 1,99395 2,00230 1,97588 1,98579 1,96471 1,96471

Universitas Sumatera Utara

Desa Rahut Bosi diresmikan pada tahun 1949. Luas tanah Desa Rahut Bosi

menurut penggunaan pada tahun 2011 (Sumber: UPT Pertanian Kecamatan

Pangaribuan).

Tabel 2.4

Luas Tanah Desa Rahut Bosi Menurut Penggunaannya Pada Tahun 2011

Tanah

Sawah

(Ha)

Tanah

Kering

(Ha)

Bangunan

Pekarangan

(Ha)

Lainnya

(Ha)

Jumlah

(Ha)

Tanah

Perkebun

an Rakyat

(Ha)

Tanah

Pemuk

iman

(Ha)

Jalan dan

Kuburan

(Ha)

88 1897 215 1500 3700 1000 300 20

Tanah yang diusahai dalam waktu sementara 455 Ha. Sumber ekonomi Desa

Rahut Bosi adalah kopi, padi sawah, padi gogo, kemenyan, nenas dan

pertambangan mika.

Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa Rahut Bosi 2011

Desa Luas

(Km2)

Jumlah

Penduduk

Pertengahan

Tahun

(Jiwa)

Jumlah

Penduduk

Akhir Tahun

(Jiwa)

Kepadatan

Penduduk

(Jiwa/Km2)

Rahut Bosi 37,00 1.750 1757 47,49

Universitas Sumatera Utara

Jumlah penduduk Desa Rahut Bosi adalah 1757 jiwa yang terdiri dari laki-laki

895 jiwa dan perempuan 862 jiwa. Agama yang dianut adalah Kristen Protestan,

Kristen Katolik dan agama Islam.

Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija (ha.)

Jagung

(Ha)

Ubi Kayu

(Ha)

Ubi Jalar

(Ha)

Kacang

Tanah

(Ha)

Jumlah

(Ha)

22 12 20 2 56

Tabel 2.7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga

Desa/Kelurahan Jumlah

Penduduk

Jumlah

Rumah Tangga

Rata-rata per

Rumah Tangga

Parlombuan

Lumban Sinaga

Pansur Natolu

Silantom Julu

Salantom Tonga

Rahut Bosi

Batu Nadua

Sampagul

Harianja

Batu Manumpak

779

1.202

1.051

639

347

1.757

1.347

1.007

719

2.225

187

270

271

145

189

399

305

303

163

544

4

4

4

4

3

4

4

3

4

4

Universitas Sumatera Utara

Parsibarungan

Pakpahan

Najumambe

Purbatua

Lumban Sormin

Sibingke

Godung Borotan

Parratusan

Sigotom Julu

Silantom Jae

Padang Parsadaan

Pansorminan I

1.038

2.885

979

1.064

1.229

972

1.351

976

1.529

5.88

402

618

230

616

203

233

269

216

327

244

385

144

74

93

5

5

5

5

5

5

4

4

4

4

5

7

Jumlah 25.004 5.810 4

Jumlah 24.647 5.663 4

2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara

pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan

Na Tolu. Dalam berbagai tulisan yang membicarakan masyarakat Toba – kini

sudah lebih sering disebut Batak Toba– istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan

atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan

atau Tungku Nan Tiga.

Universitas Sumatera Utara

Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat

menjerangkan periuk. Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang

dalam kehidupan, yaitu: (1) pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima

istri (wife receiving party); (3) pihak yang memberi istri (giving party). (Siahaan,

1982:35)

Ketiga unsur atau posisi penting dalam kekerabatan masyarakat Batak

tersebut yaitu: Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang

berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai wujud penghormatan terhadap

kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal sebutan “Somba marhula-hula”

yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memeroleh

keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang

posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga yang harus tetap akrab dan

kompak, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan yang

mengatakan “manat mardongan tubu”, artinya menjaga persaudaraan agar

terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru,

yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah

sebagai “pekerja”, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek

marboru” yang artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima

istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta.

Kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan

sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula pada saat lain

mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi

hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan

Universitas Sumatera Utara

menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan

sabutuha.

Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan

kehidupan masyarakat Batak Toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak

utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan

bersikap.

Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi di antara tiga pihak

yang disebut tadi, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur yang besar,

gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat

ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan halong yang artinya

menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santun/etik. Dari

fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh

setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbeda-beda agama. Mereka

yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, dan Budha kadang-kadang begitu

erat kaitannya karena konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok

masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu

orang Batak akan setia terhadap ketentuan adatnya di mana pun mereka berada.

Setiap warga Batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota

pemangku adat Dalihan Na Tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah

berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan di tengah-

tengah masyarakat secara adat Dalihan Na Tolu. Karena bila salah satu unsur dari

adat Dalihan Na Tolu tidak hadir maka suatu pekerjaan adat dipandang tidak sah

dan tidak kuat.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan gambaran adat Dalihan Na Tolu di atas, dapat dimengerti

bahwa adat Dalihan Na Tolu dapat dibentuk dalam mengatur mekanisme

integritas dan identitas antar marga di suatu kampung. Akan tetapi meskipun telah

berkembang melintas batas daerah Batak namun konsep dasar adat Dalihan Na

Tolu berlaku sama di setiap wilayah dan tempat bagi masyarakat Batak Toba. Hal

ini bisa terwujud karena tutur dalam Dalihan Na Tolu amat menjaga adanya etika.

Dari luasnya hubungan kekerabatan dalam adat Batak Toba, maka dapat dilihat

tumbuhnya harosuan (keakraban) dan nilai ini sangat mendasar dalam segala

pergaulan. Nilai keakraban itu tidak sekedar teori, tapi diaplikasikan dalam bentuk

mekanisme sosial adat Dalihan Na Tolu sampai sekarang.

2.4.1 Hula-hula

Kedudukan pemberi anak hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan

dan penyalur bakat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajaon,

artinya dirajakan, dan mereka sangat dihormati oleh borunya. Rasa hormat

terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu, bahwa somba

marhula-hula artinya seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan

patuh kepada hula-hula walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan

kepangkatan di luar adat lebih tinggi, namun tetap harus menghormati hula-

hulanya.

Penghormatan terhadap hula-hula itu karena mereka dianggap sebagai

tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu, sehingga hula-hula dalam

masyarakat Batak Toba dianalogikan sebagai perwujudan “tuhan yang kelihatan”.

Universitas Sumatera Utara

Tidak jarang kita lihat Boru pergi mengunjungi Hula-hula yang tujuannya untuk

menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak Hula-hula. Keadaan ini

seolah-olah memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu akan tercapai

apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi Hula-hula dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba dapat dirinci atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Dalam suatu musyawarah dan mufakat untuk sebuah rencana, Hula-hula

adalah sebagai tempat meminta nasihat dan bantuan moral agar terlaksananya

suatu upacara adat.

2. Pada saat upacara adat berlangsung, Hula-hula bertugas memimpin upacara

memberkati dan berdoa, agar acara adat tidak mendapat hambatan.

3. Sebagai juru damai dalam suatu perselisihan, misalnya dalam hal pembagian

harta warisan. Hula-hula yang bersusah payah untuk mendamaikan, tanpa

memihak, sering menjadi pertimbangan untuk selesainya suatu permasalahan.

2.4.2 Dongan Sabutuha

Sehubungan dengan kekerabatan dongan sabutuha, Schreiner

mengemukakan: golongan-golongan “seperut” ini menganggap dirinya sebagai

persekutuan-persekutuan pemujaan yang anggota-anggotanya secara berkala

memperkuat kesatuan mereka dan ikatan persekutuan dengan bapa leluhur mereka

melalui pesta-pesta perjamuan bersama. Ikatan mereka diteguhkan melalui musik

gondang dan melalui pertukaran pemberian-pemberian. Kepada upacara-upacara

pesta yang disertai pertukaran barang-barang antara golongan-golongan yang

seketurunan semacam itu termasuk antara golongan-golongan yang seketurunan

Universitas Sumatera Utara

semacam itu termasuk juga kawin dan mengawinkan, yang mempertahankan

keselarasan makrokosmos-makrokosmos.5

Dongan sabutuha adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari ayah.

Namun cakupannya dalam suatu pelaksanaan upacara adat lebih luas lagi, setiap

marga yang dianggap satu nenek moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan

sabutuha. Dari kata “dongan”, yang artinya adalah teman sudah dapat diartikan

bahwa kedudukan mereka adalah sejajar. Sabutuha adalah “satu ayah” dan “satu

ibu”. Dongan sabutuha itu haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat sama

dipikul, sebagai keluarga kandung seibu-sebapak.

Fungsi dongan sabutuha di dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah

sama dengan suhut. Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga

sedemikian rupa suaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafah

manat mardongan tubu yang artinya hati-hati terhadap teman semarga,

maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga

dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat

bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan

dongan sabutuha.

2.4.3 Boru

Boru merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan

formal dan nonformal. Penerima boru dalam suatu horja berada pada posisi yang

lebih rendah dari hula-hula. Dalam posisi ini kelompok hula-hula harus

5 Lothar Schreiner, Adat dan Injil (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002) 42. “Seperut” adalah istilah Schreiner untuk semarga yang dalam bahasa Batak Toba disebut dengan istilah dongan sabutuha.

Universitas Sumatera Utara

mengasihi dan bersikap mengayomi boru yang tercermin dari filsafat elek

marboru. Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang

yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

kelancaran jalannya pesta. Jika masyarakat Batak Toba, hendak melaksanakan

suatu horja, pada saat musyawarah kelompok dongan sabutuha, pendapat dan

pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya

rencana keputusan dilaksanakan. Pendapat boru ini sangat penting, karena apa

saja keputusan sidang, pelaksananya adalah boru.

Jadi dapat dikatakan peranan utama dari boru dalam adat adalah memberi

sumbangan tenaga, materi, dan pemikiran pada setiap upacara adat. Selain itu,

boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila

terjadi perselisihan.

2.4.4 Sistem Sapaan

Fungsi lainnya dari adat Dalihan Na Tolu adalah pengenalan garis

keturunan hingga jauh ke atas yang disebut tarombo. Kekuatan kekerabatan

terwujud dalam pemakaian tutur. Tutur merupakan suatu aturan hubungan antar

perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur merupakan suatu

aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur

juga sekaligus menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Tidak kurang dari

lima puluh macam tutur dalam kekerabatan Batak Toba. Dengan menyebut tutur

terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan di antara mereka

Universitas Sumatera Utara

yang menggunakan. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan perilaku apa

yang pantas dan tidak pantas di antara mereka yang bergaul.

S. De Jong mengatakan bahwa di bawah payung yang sama yaitu adat,

manusia menjaga hak dan kewajiban tutur. Pada orang yang berbeda agama

kadang terdapat sikap hidup yang sama. Alasannya cukup sederhana, yakni karena

mereka semua pertama-tama merupakan orang Jawa atau Batak yang berpegang

pada adat. Hal ini berlaku bagi masyarakat Batak Toba, sehingga perbedaan-

perbedaan agama, status sosial, jabatan dan lain-lain, namun dalam kehidupan

bermasyarakat, termasuk dalam hal martutur mengesampingkan hal tersebut dan

lebih mematuhi ketentuan adat (Jong, 1970:7).

Dengan suatu tutur juga diketahui dan dilaksanakan suatu konsekuensi

secara adat akan adanya hal dan kewajiban secara adat di antara mereka yang ber-

tutur secara timbal balik. Jika seseorang memanggil tutur tulang yaitu sapaan

untuk bapak mertua dan saudara laki-laki dari ibu, maka si pemanggil adalah bere

yang artinya keponakan dari tulang tersebut. Konsekuensinya secara adat, yang

memanggil tulang harus hormat kepada yang dipanggilnya karena posisinya

menjadi hula-hula, sedang yang dipanggil tulang harus mengasihi, melindungi

dan membimbing yang memanggilnya, karena dalam falsafah masyarakat Batak

Tobadikenal istilah “amak do rere, anak do bere” yang artinya “keponakan adalah

anak”. Jadi si bere tersebut harus diperlakukan sebagaimana anaknya oleh

tulangnya.

Tegaknya hak kewajiban di antara mereka sekaligus menentukan etika

yang harus mereka jaga. Mereka harus menjaga etika dalam bersenda gurau.

Universitas Sumatera Utara

Misalnya seperti tutur antara parumaen terhadap amang boru ada aturan adatnya

yang masing-masing harus menjaganya. Si parumaen bila hendak

mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu kepada amang borunya biasanya

melalui anaknya, hal ini juga berlaku sebaliknya, melalui cucunya, karena

menurut pandangan masyarakat Batak Toba, janggal bila antara kedua tutur

tersebut akrab.

Untuk masyarakat yang tidak tercakup dalam lingkungan keluarga yang

dekat (masih diketahui hubungan kekerabatan yang jelas) tutur dapat juga

dilaksanakan dengan acuan marga. Marga bagi masyarakat Batak Toba adalah

asal mula nama nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama diri dari satu-

satu garis keturunan. Melalui rentetan vertikal turunan marga itu sejak nama

nenek moyang sampai saat sekarang ini menumbuhkan silsilah Batak Toba.

Marga dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Batak Toba memegang

peranan penting untuk menempatkan dirinya berkomunikasi terhadap sesamanya

masyakat sesuai dengan Dalihan Na Tolu.

Marga dalam masyarakat Batak membentuk keluarga dan menimbulkan

ketentuan yang ketat dalam aturan perkawinan. Seseorang harus mengawini

wanita dari marga di luar kelompok marganya. Garis keturunan yang patrilineal,

mengakibatkan wanita harus meninggalkan marganya, dan anaknya langsung

menyandang marga suaminya. Konsekuensinya adalah setiap keluarga secara

langsung masuk ke dalam tiga kelompok adat secara sekaligus; dongan sabutuha,

hula-hula, dan boru, yang membentuk apa yang disebut dalihan na tolu.

Universitas Sumatera Utara

Marga bagi orang Batak juga sekaligus merupakan identitas yang

menunjukkan silsilah dari nenek moyang asalnya. Sebagaimana diketahui marga

bagi orang Batak diturunkan secara patrilineal artinya menurut garis ayah.

Sebutan berdasarkan satu kakek dalam marga yang sama ialah

markahanggi/marampara. Orang Batak yang semarga merasa bersaudara kandung

sekalipun mereka tidak se-ibu-se-bapak. Mereka saling menjaga, saling

melindungi, dan saling tolong-menolong.

Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaan harus selalu

memelihara kekeluargaan. Rasa kekeluargaan tetap terpupuk bukan saja keluarga

dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan

seseorang adalah nama marganya bukan nama pribadinya. Jadi apabila orang

Batak Toba bertemu di mana saja, terlebih-lebih ketika di perantauan, maka

pertama sekali ditanyakan adalah nama marganya dan bukan nama atau tempat

asal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran

silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka, dengan

demikian mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal tabu dapat

dihindarkan, seperti ungkapan bahwa: “jalo tiniptip sanggar, asa binaen huru-

huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya untuk membuat

sangkat burung haruslah terlebih dahulu disiapkan/dibuat bahan-bahannya, dan

untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan

marga. Dengan demikian orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui

apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat

ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Mata Pencaharian

Mata pencaharian (sumber ekonomi) penduduk Tapanuli Utara secara

umum adalah di bidang pertanian. Dari luas wilayah itu dapat kita lihat luas panen

sawah 2.254/Ha, dan produksi 12.665,29 ton.

Untuk Rahut Bosi luas panen sawah 88 Ha, produksi 494,56 ton, luas

panen padi ladang di Rahut Bosi adalah 40 Ha, produksi 101,36 ton. Luas

tanaman palawija di antaranya jagung 22 Ha, ubi kayu 12 Ha, dan ubi jalar 20 ha.

Untuk hasil tanaman perkebunan rakyat di antaranya kopi 121 Ha, kemenyan

420,00 Ha, kulit manis 2 Ha, jahe 0,19 Ha.

2.6 Kampung dan Desa

Dalam hal kemasyarakatan Batak Toba, urusan/masalah perkampung-

an/desa memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap

marga mendiami sendiri suatu area sebagai perkampungan yang disebut huta,

yang kemungkinan juga merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh

sekelompok induk marga dari suatu keturunan, yang disebut toga. Kesatuan

masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang didiami unsur-

unsur marga satu keturunan disebut bius. Misalnya marga Nainggolan dalam

cakupan bius Onan Runggu, namun marga Simamora dalam cakupan bius Dolong

Sanggul, marga Lumban Tobing dalam cakupan bius Tarutung, marga Sinambela

dalam cakupan bius Balige, marga Pasaribu dalam cakupan bius Haunatas, dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol daripada kelompok

suku. Daerah suatu kampung, kecil adanya batas-batas pasti. Lebih tegas lagi, dia

adalah sebidang tanah tempat kampung berdiri dengan tembok dan paritnya. Jika

pendiri membangun di atas tanahnya sendiri, atau di atas tanah yang telah

diduduki, maka parhutaan adalah bagian dari milik si pendiri serta keturunannya,

dan akan terus begitu walaupun kampung itu pindah di kemudian hari ke lain

temat, dan parhutaan itu menjadi lobu yaitu huta yang ditinggalkan.

Daerah kampung adalah suatu lapangan kecil empat persegi dengan

halaman bagus, keras dan kosong di tengah-tengahnya. Di satu sisi bidang empat

persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah, biasanya berbaris, setiap

rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang. Berhadapan dengan

barisan rumah terdapat lumbung padi. Biasanya, adapula satu atau dua kubangan

lumpur. Keseluruhan dikelilingi tembok yang ditumbuhi pohon-pohon bambu

yang tinggi, kadang-kadang ada juga kampung dengan sebuah parit

mengelilinginya.

Dalam hal pemerintahan komunitas suatu kampung masyarakat Batak

Toba, belum sampai kepada tingkat pemerintahan yang mampu mencakup suatu

daerah luas di daerah pemerintahan yang mantap. Tidak ada orang atau orang-

orang yang memangku kekuasaan sentral.

Sepanjang untuk keamanan, kadang-kadang dianggap perlu memiliki suatu

kampung sebagai pos tapal batas di tempat yang dianggap rawan, dari mana

kelompok suku yang berdekatan diduga mungkin akan menyerbu. Dalam hal

demikian, setelah melalui perundingan antara wilayah-wilayah yang berdekatan,

Universitas Sumatera Utara

didirikanlah kampung, diisi dan dipeliharan sebagai sumbangan penting untuk

mencegah musuh berani mendekat.

2.7 Agama dan Kepercayaan

Dalam kepercayaan masyarakat Batak Purba, diyakini adanya Tuhan

Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara

fungsional terbagi atas tiga dalam prinsip yang tri tunggal, yaitu Tuan Bubi na

Bolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai

wilayah atas: langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang

disebut banua tonga dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua

toru. Konsep “Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli antropologi religi

akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli

orang Batak.6

Sebelumnya, keagamaan orang Batak adalah suatu konsep totalitas, yaitu

alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya terjalin dalam suatu pandangan. Konsep

totalitas itu juga yang tercermin dalam pembagian alam menjadi tiga bagian dan

Mulajadi Na Bolon sebagai penguasa. Sejak masa sebelum ada pengaruh Hindu,

orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa tanah, dan roh-roh

lain yang bermukim di tempat-tempat suci.

Diperkirakan agama Hindu lama cukup memengaruhi perkembangan

budaya Batak, seperti dapat dilihat dari kosa kata yang diserap dari bahasa Hindi

dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara, aditia, anggara dan

6 Hary Parkin, Batak Fruit Hindu Thought, (Madras: Cristian Literature Society, 1978), 253. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 46

Universitas Sumatera Utara

lain sebagainya, dan terdapatnya candi-candi Hindu di Portibi, Sipamutung dan

Padang Bolak.

Menurut Pedersen pada mulanya antara tahun 2000 dan 1500 sebelum

Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir barat Sumatera Utara

telah dikuasai oleh suatu peradaban Hindu-Budha. Tetapi kemudian, pendapat

tentang masuknya pengaruh Hindu-Budha ke daerah Batak lebih menonjolkan

teori kolonisasi yang lebih muda, dengan teori bahwa kolonisasi asing mungkin

secara langsung datang dari India atau dari Jawa, tetapi yang paling besar

kemungkinannya ialah dari orang-orang Melayu Minangkabau di Sumatera

Tengah-Barat. (Pedersen, 1975: 17)

Pada masa Si Singamangaraja X (sebelum masuknya Islam dan Kristen)

kehidupan beragama bagi orang Batak Toba merupakan kesatuan yang erat

dengan pemerintahan, yang pada masa itu dipegang oleh beberapa pimpinan.

Sebab walaupun secara keseluruhan wilayah Batak Toba berpegang pada tata cara

adat yang sama, tetapi masyarakatnya terbagi atas tiga harajaon yang masing-

masing dipimpin oleh Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, yang menguasai tujuh

marga dari keturunan Si Raja Lontung: Jonggi Manaor di lembah kaki gunung

Pusuk Buhit, yang menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan; dan

Si Singamangaraj X dengan wilayah yang hampir meliputi lima perenam dari

keseluruhan wilayah Batak Toba (yang mencakup Toba Holbung, Samosir Utara,

Humbang dan Silindung), yang menguasai belasan bius dari keturunan Sumba

(Pasaribu, 1996:32).

Universitas Sumatera Utara

Kedudukan ketiga pimpinan tersebut di atas adalah sebagai pendeta agung

yang mewakili Mang Maha Kuasa dengan sebutan Malim Ni Debata. Mereka

memimpin dari suatu bentuk organisasi politik yang meliputi berbagai bius, yang

secara genealogis dan geografis terkelompok sebagai suatu rumpun, sesuai dengan

peta hasil pola migrasi marga-marga masyarakat Batak Toba. Status mereka

“keramat” (sakral), bahkan lebih lagi, mereka dipandang sebagai perwujudan

nyata dari “yang keramat”, yang di dalam dirinya tergabung sifat alamiah (natural)

dan adi kodrati (super-natural), dan mereka disebut sebagai orang-orang yang

menerima sahala harajaon langsung dari Tuhan.

Dalam konsep kebudayaan totalitas, kegiatan keagamaan merupakan

kegiatan yang terjalin erat dalam keseluruhan tata kehidupan. Semua ritus

pemujaan, baik “sembahyang” maupun upacara yang menyangkut pertanian,

diatur oleh Parbaringin, sebuah organisasi bius yang mengatur tata kehidupan

masyarakat Batak Toba. Tetapi walaupun organisasi Parbaringin diangkat oleh

dan takluk di bawah pemerintahan sekuler biusnya sendiri, namun semua pejabat

sekuler, dan terutama para parbaringin, berkiblat kepada Malin Ni Debata secara

religius dan ideologis. Sehingga tampaklah suatu bentuk dari struktur “kekuasaan”

yang jenjang tangga politiknya terungkap lewat hirarki ritual pesta marga yang

tunduk pada ritual pesta bius, yang pada gilirannya tunduk pula pada ritual Malin

Ni Debata. Dengan demikian terjadilah hubungan timbal balik antara unsur

keagamaan dengan unsur “pemerintahan”.

Pada masa Si Singamangaraja XII, ditanamkan suatu keyakinan tentang

agama asli yang mereka anut sebagai agama yang berada di atas segala agama.

Universitas Sumatera Utara

Hal ini merupakan suatu ajakan bagi masyarakat Batak Toba untuk tetap setia

menganut agama asli yang berasal dari Mulajadi Na Bolon. Dalam konsep agama

yang berada di atas agama, tercatat adanya tiga lapisan atau unsur kepercayaan

yang juga tercermin dari ritual-ritual, yaitu: (1) unsur theisme, berdasar pada

kepercayaan akan keesaan tuhan; (2) unsur kepercayaan bahwa semua benda dan

gejala alamiah adalah roh atau mengandung roh, yang disebut animisme; dan (3)

unsur kepercayaan bahwa jagat raya ini dikuasai oleh daya-daya gaib, magis yang

lewat pelaksanaan ritual dan mantra dapat dikendalikan oleh datu, seperti

penyembuhan orang sakit secara kekuatan supra-natural.

Parbaringin dan Malim Ni Debata dapat dikatakan mewakili tahap evolusi

kepercayaan Batak Toba dalam mana unsur “theis” semakin menonjol sejalan

dengan perubahan wawasan politik dari ala bius ke tingkat yang lebih tinggi yaitu

kerajaan. Sekalipun tetap dianggap sebagai perwakilan kerohanian marga, para

Parbaringin dalam tugasnya terlepas dari ikatan kemargaan dan selalu mengabdi

kepada urusan keagamaan. Karena setelah dinobatkan oleh pemerintah sekuler

bius, mereka menjadi bagian dari struktur oraganisasi keagaman yang berinduk

kepada pendeta raja. Pendeta raja sendiri lebih longgar lagi hubungannya dengan

marga asalnya. Dari silsilah diketahui bahwa Jonggi Manaor berasal dari marga

Limbong, Ompu Palti Raja berasal dari marga Sinaga, dan Si Singamangaraja

berasal dari marga Sinambela, tetapi sejak pendeta raja itu mulai menerima

fungsinya, mereka terlepas dari hal-hal kemargaan. Mereka menjadi milik umum

dan afiliasi kemargaannya tidak lagi mengikat, kecuali untuk kehidupan

pribadinya.

Universitas Sumatera Utara

2.7.1 Islam

Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah

mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam.

Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang

banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi

juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan

sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari

masyarakat, sehingga memperoleh dukungan yang banyak terutama dari golongan

yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat. (Keunang, 1990: 302)

Kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada

orang Inggris, dan sesudah tahun 1824, kepada orang Belanda; maka pecahlah

suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut bagi kedua

belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri. Malahan pada tahun

1830 mereka melakukan penyerangan ke Mandailing dan berhasil

memporakporandakan perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya.

Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja Mandailing yang

dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas gerakan kaum Paderi

ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga era baru pun mulailah

di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah pendudukan Kolonial

Belanda.

Pemerintah Belanda dalam melaksanakan program-programnya

memerlukan tenaga-tenaga bantuan untuk mengerjakan urusan-urusan

pemerintahan, yang antara lain dimulainya penanaman kopi secara paksa –

Universitas Sumatera Utara

sebagai suatu bagian dari Culturstelsel (Sistem Tanam Paksa). Orang Batak

Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang

Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa

sekolah didirikan untuk mendidik putra kepala-kepala adat Batak Mandailing agar

memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan. Guru pada

sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau.

Orang-orang muslim yang menduduki posisi yang besar wibawanya,

dijadikan contoh, untuk dipakai sebagai pedoman. Terutama hal ini berlaku

terhadap generasi yang lebih muda, yang tidak lagi atau tidak sadar akan

pengalaman dari kekejaman kaum Paderi. Sebagai penganut agama Islam yang

sangat yakin, orang Minangkabau ini dihinggapi pula oleh semangat yang

menyala-nyala untuk agama, sehingga sambil bekerja bagi pemerintah kolonial

Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama Islam.

Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak

Toba, bahkan nyaris tanpa batas yang jelas, masuklah pengaruh Islam ke

masyarakat Batak Toba. Jadi hampir dapat dipastikan, bahwa masyarakat Batak

Toba yang memeluk agama Islam pasti mendapat pengaruh dari Batak Mandailing

yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul. Sehingga daerah Batak

Tobayang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian

penduduknya memeluk agama Islam sedang sebagian lagi memeluk agama

Kristen contohnya Pahae Jahe dan Pahae Julu.

Universitas Sumatera Utara

2.7.2 Kristen

Sejarah baru perkembangan yang sangat dinamis bagi masyarakat Batak

Toba dimulai dalam tahun 1863, ketika misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen

menetap di Silindung. Sebelum itu, berabad-abad lamanya hampir tidak ada

hubungan dunia luar, orang hidup terus dengan gayanya sendiri dan menurut

pahamnya sendiri. Sebelum kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar

Injil berkebangsaan Inggris, memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru

beberapa hari sampai di tanah Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga

melarikan diri meminta perlindungan kepada pihak Belanda. Sepuluh tahun

kemudian, dalam tahun 1834 dua orang penginjil Amerika harus menebus

kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh (Schreiner, 2002:56).

Satu-satunya orang kulit putih yang tidak lama sesudah tahun 1850 dapat

tinggal lebih lama di antara orang Batak-Toba adalah Neubronner Van Der Tuuk,

tetapi ia berada dekat pantai di Barus di daerah pinggiran. Perjalanannya ke Danau

Toba hampir saja berakhir dengan malapetaka baginya, ketika sekelompok

masyarakat Batak Toba mengejar-ngejarnya. Hanyalah dengan melarikan diri

dengan tergesa-gesa ia berhasil dapat mencapai kembali tempat tinggalnya di

Barus.

Tetapi untuk masa selanjutnya sikap masyarakat Batak Toba mulai

terbuka dalam menerima agama baru. Hal ini merupakan paduan antara keinginan

untuk merubah hidup dan gigihnya pekerjaan para zending. Mengenai persentasi

penganut agama Kristen di Batak Toba, Geertz menuliskan: Agama Kristen telah

dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak; ada juga sedikit menjadi Islam,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan nyang lainnya tetap memeluk apa yang dinamakan orang Batak Toba

sebagai agama perbegu, yaitu kepercayaan kepada roh-roh. (Greetz, 1986)

Nommensen pun sebenarnya mengalami banyak kesulitan di tahun-tahun

pertama. Dari berbagai pihak ia mengalami berbagai hambatan dan gangguan,

berkali-kali nyawanya terancam. Karena wibawa pribadinya yang besar dan

kesabarannya yang hampir melebihi kesabaran manusia ia dapat bertahan, dan

bukan itu saja ia berhasil pula menobatkan beberapa orang di antara raja-raja,

walaupun pada permulaannya agak perlahan-lahan. Sesudah itu gerakannya

bertambah cepat, agama Kristen mencapai perkembangan yang cepat.

Mula-mula di Silindung, kira-kira 15-20 tahun kemudian di Dataran

Tinggi Danau Toba dan Balige dan sekitarnya. Di sekitar Danau Toba walaupun

sudah melalui perjuangan yang sengit, dengan campur tangan sebuah ekspedisi

militer Belanda dan pencaplokan daerah itu, hasilnya memuaskan bagi Zending.

Akan tetapi memang sesudah tahun 1883 Zending telah benar-benar berhasil

dengan misinya, orang Batak Toba memahami apa arti kesempatan yang diberikan

Zending dan pemerintahan Belanda kepada mereka. Keamanan dan ketertiban,

pembukaan daerah permukiman dan lahan pertanian yang baru banyak

memengaruhi taraf kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak

Tobadiberi kesempatan untuk dididik menduduki kedudukan-kedudukan dalam

Zending sebagai pengetua-pengetua, guru dan pendeta. (Keunang, 1990: 302)

Universitas Sumatera Utara

2.7.3 Parmalim

Organisasi agama Parmalim dibentuk antara tahun 1870 sampai tahun

1883 suatu reaksi dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan sikap

hamalimon, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga keutuhan

kepercayaan asli Batak dari pengaruh agama Kristen dan perluasan administratif

Belanda. Bukti lain yang diajukan adalah keeratan hubungan antara Guru

Somalaing Pardede, yang dianggap sebagai mandat dari Raja Si Singamangaraja

XII untuk meneruskan pengorganisasi Parmalim dengan E. Modligiani7

Sekitar tahun 1907 Parmalim yang dianggap sebagai suatu gerakan

keagamaan dan politis, melahirkan Parhudamdam yang merupakan suatu gerakan

keagamaan politis yang lebih ekstrim. “Agama baru” ini secara tidak langsung

merupakan bawahan dari Parmalim. Sehubungan dengan ini Barlett menulis:

, seorang

ahli botani Katolik berkebangsaan Itali, membuat penyatuan kepercayaan Islam,

Kristen, kultus individu Si Singamangaraja dan animisme Batak dianggap sebagai

dasar dari organisasi Parmalim ini. (Sangti, 1978:71)

Akhirnya aliran Parmalim ini meningkat menjadi Parhudamdam, yang bertalian dengan penyembahan Si Singamangaraja, dan merambat ibarat api yang menggila meliputi seluruh Tanah Batak. Dalam tahun 1918 dianggap sebagai ancaman politik yang menguatirkan banyak pejabat Belanda.8

Parhudamdam diilhami oleh kematian Si Singamangaraja XII yang dipadu

dengan adanya pembebanan pajak yang berat oleh Belanda, penyusunan kembali

7Miodligiani, penulis buku laporan botani dan etnografi di daerah Batak yang berjudul “Fra I Bottacchi Indepedenti”, mengangkat Guru Somailing menjadi juru bicaranya. Sehingga diduga ia banyak memengaruhi sikap dan cara berfikir Somailing. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 37. 8H.H. Barlett. The Labors of The Datou, (Ann Arbor: University of Michigan), 15 dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 39.

Universitas Sumatera Utara

pola-pola tanah milik, dan pengaruh-pengaruh asing lainnya yang berkembang di

wilayah Batak, sehingga hal-hal tersebut di atas menimbulkan suatu mitologi yang

messianis, yaitu ada kepercayaan akan datangnya kembali Si Singamangaraja, dan

suatu tema kebinasaan apokaliptis bagi orang-orang yang tidak percaya. Tata cara

ibadat Parhudamdam merupakan paduan antara ritual-ritual gaya Parmalim

dengan Islam.9

Dalam pelaksanaan ibadat parmalim, selain acara ibadat rutin setiap hari

Sabtu, hampir seluruh upacara ritual mereka dilaksanakan dengan musik, baik

dengan gondang sabangunan maupun dengan gondang hasapi. Berikut ini tulisan

Pasaribu tentang kegiatan Parmalim yang dikutip dari catatan harian Masashi

Hiroshue, sebagai berikut.

Dungi marliat ma margondangi ganup ripe: manukma digondangkan ia na umpogos, hambing ia di naummora, jadi sai marpunguma nasida ganup ari mangan-mangan, ia dung lojabe manortori, ai ndang ringkot roha nasida marulaon. Ai songon ondo di dok guru nasidai: Mangulape angka parbegu I, dohot angka na Cristen I, na hita do I sogot, ninna, Huhut didok: molo dung mulak sian habuangan Guru Somalaing dohot Ompu Barnit ama pangajari I, sega ma tano on, jadi mago masude na cristen dohot parbegu I, alai sonangma ianggo hita. Ai patarma disi harajaonni rajanta Si Singamangaraja I dohot tuanta Raja Rom.10

Terjemahannya:

Kemudian setiap keluarga menari berkeliling dengan iringan gondang: keluarga yang sederhana mempersembahkan ayam, dan

9 Ismail Manalu, Mengenal Batak, (Medan: CV Kiara 1985), 174. Adanya pengucapan “La Illaha Illallahu” yang berulang-ulang dalam ibadat mereka, merupakan perkembangan yang sinkretis yang sudah akomodatif dalam menerima unsur-unsur agama, terutama agama Islam. 10 Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 41. Masashi Hiroshue adalah seorang warga Jepang yang menulis topik tentang Parmalim untuk disertasinya pada Australia National University.

Universitas Sumatera Utara

bagi keluarga yang kaya kambing, yang dipersembahkan melalui gondang, setiap hari mereka berkumpul dan makan-makan, dan mereka terus menari hingga letih, namun mereka tidak mengindahkan pekerjaan. Sebab guru mereka pernah berkata: walaupun kaum kafir dan kristen senantiasa bekerja, kelak hasilnya akan jatuh ke tangan kita, kemudian dikatakan: apabila Guru Somalaing dan Ompu Barnit, guru kecintaan kita, sudah kembali dari pembuangan berubahlah dunia ini, lantas musnahlah semua kristen dan kafir, tetapi kalau kita akan mendapat kesenangan. Sebab jelaslah pada saat itu kerajaan dari Raja Si Singamangaraja dan Tuan Kita Raja Rom.11

Secara umum peribadatan Parmalim dapat dibagi atas tiga kelompok

ritual, yaitu:

1. Upacara yang wajib dilaksanakan oleh anggota penganut Parmalim dua kali

dalam setahun, yang disebut sipaha sada dan sipaha lima. Upacara sipaha

sada berlangsung selama lima hari, sedang upacara sipaha lima berlangsung

selama tiga hari.

2. Upacara yang dilaksanakan secara khusus, tanpa berpegang pada bulan-bulan

tertentu, yang pelaksanaannya merupakan kehendak dari perseorangan.

Upacara seperti ini disebut maradat, misalnya martutu aek yaitu upacara

pemandian bagi anak yang baru lahir; manggalang na paet yaitu suatu upacara

kurban setelah melaksanakan puasa selama sehari semalam; dan sebagainya.

3. Upacara yang dilaksanakan apabila seseorang ada melakukan kesalahan atau

perbuatan asusila sehingga dilaksanakan acara manopoti sala (memohon

ampun). Kepada orang yang melakukan kesalahan ini akan dikenakan aturan

yang “ingkon pajong-jongonna hau sarung marnaik, halangonna gondang

11Dalam tonggo-tonggo (doa) Si Singamangaraja, diucapkan hormat kepada Mulajadi na Bolon, Martua Raja Uli, Tuan Soripada Aceh dan kepada Martua Raja Rom, yang diperkirakan adalah Raja Turki dari Istambul dari kekaisaran Ottoman yang pengaruh dan wibawanya masuk melalui Aceh.

Universitas Sumatera Utara

bolon” (harus mendirikan kayu sarung marnaik dan mengadakan acara

gondang).

2.7.4 Siraja Batak

Organisasi Si Raja Batak berdiri sekitar tahun 1942, merupakan suatu

kenangan terhadap Si Singamangaraja dengan memproklamasikan pemujaan

terhadap Mulajadi Na Bolon, penghormatan leluhur orang Batak, dan

pemeliharaan adat. Perbedaan yang nyata antara organisasi Parmalim dan Si Raja

Batak adalah dasar pijakannya. Parmalim menekankan pada hal iman sedangkan

Si Raja Batak menekankan pada hal adat.

Si Raja Batak didirikan oleh Raja Patik Tampubolon yang beranggapan

bahwa tugas penganut Si Raja Batak adalah menghidupkan kembali persekutuan-

persekutuan bius melalui pengaruh adat yang berdasarkan kekuatan ilham yang

supra alamiah. Tampubolon membuat “kitab suci” dari Si Raja Batak yang disebut

Pustaha Tumbaga Holing, yang oleh Tampubolon sendiri disebut sebagai pustaha

yang berdasar pada mitos pustaha yang diberikan Mulajadi Na Bolon kepada Si

Raja Batak (nenek moyang suku bangsa Batak), dan mencoba membuktikan

melalui pustaha karangannya bahwa seluruh habatahon (dasar-dasar kehidupan

dan setelah kehidupan masyarakat Batak) adalah dasar anutan Si Raja Batak.

Tetapi Tampubolon tidak menyebut agama, melainkan “adat” sebagai inti Si Raja

Batak (Schreiner, 2002: 41-43).

Hampir keseluruhan dari upacara-upacara penting Si Raja Batak

mempunyai kaitan dengan pertanian. Hal ini merupakan suatu warisan dari tata

Universitas Sumatera Utara

aturan parbaringin, yang senantiasa menyertakan siklus aktivitas pertanian dalam

ritual bius.

Secara umum upacara peribadatan Si Raja Batak dapat dibagi atas tiga

kelompok ritual, yaitu:

1. Upacara yang wajib dilaksanakan secara berkala dalam setahun, misalnya:

Gondang Patuat Boni Sipaha Ualu, suatu upacara sebelum menanam padi;

Gondang Buhuni Taon, suatu upacara menjelang panen; Gondang Matumona

Sipaha Dua, upacara panen; Gondang Haroroni Habonaran Sipaha Lima,

upacara menyambut kedatangan roh kebenaran; Gondang Sahala ni Raja Si

Singamangaraja, upacara memperingati kematian Si Singamangaraja.

2. Upacara yang dilaksanakan oelah penganut Si Raja Batak yang berkenaan

dengan adat dan dalihan na tolu, misalnya: Panangkokhon Saring-saring,

upacara menggali dan menguburkan kembali tulang-belulang leluhur, dan

Gondang Debata Pasahat Tondi ni Naung Mate Matua, upacara kematian.

Upacara yang dilaksanakan oleh penganut Si Raja Batak berdasarkan

keinginan perseorangan. Hal ini disebut sinta-sinta, misalnya: Sibaran, upacara

yang dilakukan atas permintaan seseorang yang telah menderita sakit dan

mangompoi gorga, upacara peresmian rumah.

2.8 Kesenian Masyarakat Batak Toba

2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara

Dalam masyarakat Batak Toba ada dua kata yang dapat dianalogikan

dengan istilah tari,

Universitas Sumatera Utara

a. Tumba yaitu suatu tarian bagi anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di

halaman desa, dan peristiwanya terlepas dari konteks upacara. Tumba mirip

dengan joting tetapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam

sambil bernyanyi. Gerakannya didominasi gerakan tortor, tetapi ada

kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut

dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan

nyanyian ini disebut Tumbas. Sementara dalam syair lagunya ada kata tumba.

Tumba adalah syairnya, embas adalah gerakannya. Pemakaian kata tumba

dipopulerkan karena embas tortor batak semakin dihilangkan dan telah

didominasi budaya joget melayu.

b. Tortor, yang dilakukan dalam setiap upacara dengan iringan gondang

sabangunan, secara umum terlihat seperti hiburan. Akan tetapi dalam

pemikiran yang asli, kedudukan tor-tor bagi masyarakat Batak Toba tidaklah

merupakan suatu seni hiburan. Pastor A.B. Sinaga menuliskan: Pada mulanya

tortor bukanlah peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada

Pengada Adikodrati… Tortor asli Batak bersifat sakral dan merupakan pujaan

kepada Sang Maha Tinggi (Sinaga, 1977:16-19).

Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian:

- Tortor hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara.

Antara pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya

dilakukan pada setiap awal penyajian gondang, setiap penari melakukan

gerakan yang sama, menurut pola-pola yang telah baku.

Universitas Sumatera Utara

- Tortor hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks

upacaranya. Dengan kata lain, fungsi tortor ini berhubungan dengan

upacara tersebut. Tortor ini dilakukan secara pribadi atau sekelompok

orang yang memiliki motivasi serupa misalnya tortor untuk kaum muda,

atau tortor dalam acara sukacita, tetapi memiliki gerakan yang relatif

bebas, setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan

ekspresinya sepanjang masih mengikuti ritme.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Batak Toba, tortor

sangat individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli

sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali

mereka mengabaikan hal ini.

c. Joting

Joting adalah seni suara dengan syair yang beraturan dipadukan dengan

gerakan yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan

purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seseorang bernyanyi dan

diikuti banyak suara (respinsorial).

d. Andung

Andung adalah ratapan bernuansa kesedihan. Bila tangisannya diiringi dengan

suara menggelegar dan hempasan tubuh sembarang disebut dengan “angguk

bobar”.

Universitas Sumatera Utara

e. Oing

Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Oing kebanyakan mengutarakan

suka duka dan pengharapan, biasanya dinyanyikan perahan dan dalam

kesendirian.

f. Dideng

Dideng adalah seni suara bernuansa sanjungan dan motivasi kepada seseorang.

g. Didang

Didang tidak disebut sebagai seni suara, tetapi merupakan sikap menyanjung

seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun perlahan disebut “mandidang”

dan kadang diiringi nyanyian meninabobokkan.

h. Doding

Doding adalah kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati

seseorang atau kelompok orang. Doding juga adalah rangkaian kata-kata

bentuk nyanyian yang tujuannya menyemangati seseorang atau kelompok

orang. Orang tua bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang

belajar berdiri termasuk juga sebagai kegiatan mandoding.

i. Ende

Ende (nyanyian) adalah syair dan irama yang dilagukan oleh pemain joting

dan tumbas.

Opera Batak adalah bentuk kegiatan teatrikal yang diiringi Gondang

Hasapi dan nyanyian (andung, ende, oing) untuk hiburan rakyat. Opera Batak

mempopulerkan kesenian andung, ende, oing, dan pemainnya sering

menampilkan (bernyanyi seperti menangis).

Universitas Sumatera Utara

2.8.2 Seni Rupa

Di antara beberapa ciri khas kesenian Batak Toba, karta seni rupa yang

paling tua dapat dilihat sekarang ini adalah hasil karya seni megalitikum.

Peninggalan ini sampai sekarang masih banyak kelihatan di beberapa tempat di

Toba. Pengaruh kebudayaan ini juga tercermin pada bentuk atap berbentuk tanduk

kerbau, dan dindingnya yang penuh ukiran yang disebut gorga.

Wawasan seni rupa yang ada pada masyarakat Batak Toba juga mencakup

tenun, ragam hias, patung, dan berbagai bentuk lainnya. Salah satu yang khas

dalam penyajiannya adalah apa yang tertera pada bangunan ruma dan sopo

(tempat menyimpan padi dan beberapa kegiatan desa yang menyangkut kehidupan

muda-mudi). Secara umum, pola-pola ragam hias tersebut dapat dikategorikan

sebagai berikut:

a. Pola berbentuk manusia, misalnya: ulu paung, singa-singa.

b. Pola berbentuk hewan, misalnya: boraspati, hoda-hoda.

c. Pola berbentuk raksasa, misalnya: jengger, jorngom.

d. Pola berbentuk tumbuhan, misalnya: hariara, sundung di langit.

e. Pola berbentuk geometris, misalnya: ipon-ipon, iran-iran.

f. Pola berbentuk kosmos, misalnya: silintong, simarogung-gung.

Di samping berfungsi sebagai magis, di sisi lain seni rupa yang berbentuk

tenunan, ulos misalnya berfungsi dalam upacara adat. Setiap corak atau motif ulos

yang dibedakan dalam warna, pola, bahan, dan ukuran memiliki nama-nama

tersendiri. Misalnya: ragidup, abit godang, runjat, sibolang, ragi hotang, sadum,

Universitas Sumatera Utara

parompa, dan sebagainya. Tetapi dalam masing-masing upacara adat, nama ulos

tersebut berubah menurut kepentingan dan fungsi ulos tersebut.

Misalnya: dalam upacara kelahiran diberikan ulos manimpus, ulos tondi;

dalam upacara perkawinan diberikan ulos pargomgom, ulos pansamoti, ulos hela

todoan, ulos paribanl dalam upacara kematian diberikan ulos saput, ulos

saurmatua, ulos panggabei; dalam upacara mangongkal holi diberikan ulos saput;

dalam upacara pemberian nama anak diberikan ulos mampe; dalam upacara

memasuki rumah baru diberikan ulos mompo jabu.

Jadi dalam kehidupan masyarakat Batak Tobakarya seni rupa mempunyai

kedudukan penting dalam religi, adat, dan kehidupan sehari-hari.

2.8.3 Seni Sastra

Selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari, bahasa Batak Toba juga

dipergunakan dalam seni-seni sastra masyarakat Batak Toba, yang mencakup turi-

turian (cerita/hikayat/legenda), tonggo-tonggo (mantra), torsa-torsa

(perumpamaan), huling-huling (teka-teki). Kesemuanya disampaikan dalam

beberapa bentuk penyajian sastra, yang berfungsi sebagai hiburan, bagian dari

adat, hukum dan religi.

Bentuk bahasa dalam seni sastra ini yang pokok ada tiga macam, yaitu:

1. Umpama, suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan

kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat,

misalnya:

Universitas Sumatera Utara

- Songon gondang, dobung-dobung soarana, hape rumar do dibagasan.

(Terjemahannya: Seperti gendang, keras suaranya, ternyata kosong di

dalamnya).

- Matek-tek bulung pinasa, matektek tu bona. Tunda ni anakna, dohonan tu

amana (Terjemahannya: jatuh daun nangka, jatuh ke batangnya. Perbuatan

anaknya, ditanggungkan ke ayahnya). (Pasaribu, 1986:41).

2. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang dari segi bentuknya agak sulit

dibedakan dari umpama. Tetapi dari segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan

religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan

berkat, contohnya”

- Sahat-sahatni solu, sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat

tu pangabean. (Terjemahannya: Melajulah perahu, melaju ke tepian, semoga

mempunyai umur yang panjang dan mencapai kebahagiaan/kesuksesan).

3. Tudosan, suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam

kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan

terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan

sesuatu, misalnya:

-Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani uhum, toguan hatani

padan. (Terjemahannya: Kuat/teguh pun akar bamboo, lebih kuat/teguh akar

rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, namun lebih kuat/teguh

aturan janji).

Universitas Sumatera Utara

2.8.4 Seni Musik

Musik dalam masyarakat Batak Toba, seperti dalam kelompok-kelompok

tercakup dalam dua bagian besar, yaitu: a) musik vokal, dan b) musik instrumen.

Dalam musik vokal tradisional pembagian ditentukan oleh kegunaan dan tujuan

lagu tersebut dapat dilihat dari isi liriknya. Masing-masing lagu yang disebut ende

memiliki kategori tersendiri, yang secara tradisional dibagi dalam beberapa jenis,

yaitu:

1. Ende Mandideng, yaitu musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak

(lullaby song).

2. Ende Sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang

akan melangsungkan pernikahan. Dinyanyikan pada saat senggang pada hari-

hari menjelang pernikahan tersebut.

3. Ende Pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-

chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda dalam waktu senggang, bisanya

malam hari.

4. Ende Tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring

tarian hiburan. Penyanyi sekaligus menari dengan melompat-lompat dan

berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini

dilakukan oleh remaja di halaman kampung yang disebut alaman pada malam

terang bulan.

5. Ende Sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang

berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang

menyanyi di tempat sepi.

Universitas Sumatera Utara

6. Ende Pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan

berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa.

Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.

7. Ende Hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang

disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian

pantun dengan bentuk AABB yang memiliki jumlah suku kata yang sama.

Biasanya dinyanyikan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh

seseorang yang lebih dewasa atau orang tua.

8. Ende Andung, adalah vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang

yang telah meninggal, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan.

Dalam ende andung, melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya,

haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta

menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini

(Pasaribu, 1986:50-54).

Dalam musik instrumen, ada instrumen yang lazim disajikan dalam bentuk

ensambel dan ada yang disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya

dengan upacara adat, ritual maupun hiburan.

Dalam masyarakat Batak Toba, instrumen tunggal adalah yang lepas dari

suatu ensambel, namun selain fungsinya sebagai instrumen yang dimainkan secara

tunggal, ia juga dapat dimainkan sebagai pendamping vokal.

Instrumen-instrumen ini, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Dalam kelompok kordophon. Sidideng (seperti rebab dengan dua senar),

tanggetang (bamboo idiochordo). Mengmung (seperti prinsip tanggetang

tetapi dengan senar dari rotan dan peti kayu sebagai resonator).

2. Dalam kelompok aerophoe, salung (transverse flute), salohat (seperti salung

dengan ukuran yang lebih kecil), along-along (alat tiup temporer dari batang

padi).

3. Dalam kelompok idiophone, jenggong (jews harp logam), saga-saga (jews

harp bambu).

Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam musik masyarakat Batak

Tobaterdapat dua jenis ensambel yang dalam beberapa repertoar memiliki

kesamaan fungsi sebagai pengiring upacara, yaitu gondang hasapi dan gondang

sabangunan.

1. Gondang hasapi, yang memiliki beberapa variasi dalam instrumentasinya,

tergantung pada guna dan jumlah pemainnya.

a. Instrumen pembawa melodi: hasapi ende (plucked lute dua senar),

garantung (xylophone), sarune etek (single reed).

b. Instrumen ritme konstan; hasapi doal (plucked lute dua senar) dan hesek

(plat logam atau botol kosong).

2. Gondang sabangunan, yang terdiri dari:

a. Instrumen pembawa melodi: sarune (shawm), taganing (drume chime).

b. Instrumen ritme variabel: gordang (single headed drum), taganing.

c. Instrumen ritme konstan: ogung (gong) yang terdiri dari oloan, ihutan,

doal dan panggora, hesek (plat logam atau botol kosong).

Universitas Sumatera Utara

BAB III

TORTOR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA

Pada bab ini penulis akan membahas tentang tortor pada saat upacara,

penggunaan dan fungsinya, busana dalam upacara serta perkembangannya.

3.1 Tortor Pada Saat Upacara

Bagi masyarakat Batak Toba, Tortor adalah bentuk seni tari yang bukan

hanya sekadar bentuk tari, tetapi lebih luas dan kompleks lagi pengertiannya

dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor adalah tarian yang mempunyai

pengertian dalam setiap gerakannya. Tortor juga dilakukan sesuai dengan sistem

kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.

Bagi masyarakat Batak Toba, Tortor dapat menjadi sarana interaksi

hubungan antar sesama manusia sesuai dengan kedudukannya dalam unsur

Dalihan Na Tolu (sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba).

Kegiatan manortor tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Batak Toba.

Di dalam upacara religi, Tortor dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan

maupun permohonan kepada Mula Jadi Na Bolon (Pencipta alam semesta),

kepada orang-orang yang dihormati dan orang-orang yang disayangi.

Kemudian untuk upacara adat, Tortor dilakukan untuk menghormati

maupun menyambut orang-orang yang terlibat dalam upacara adat sesuai

kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu, akan tetapi setiap memulai kegiatan

manortor selalu dimulai dengan penghormatan kepada Sang Pencipta. Dalam

Universitas Sumatera Utara

upacara hiburan Tortor dilakukan lebih bebas, tetapi tetap dalam ketentuan unsur

Dalihan Na Tolu. Pada saat sekarang ini Gondang Sabangunan sudah banyak

dikolaborasikan dengan musik tiup (brass band) setelah masuknya kekristenan ke

tanah Batak. Alat musik yang digabungkan adalah terompet, saxophone, keyboard

maupun drum.

Tortor dilakukan dalam setiap aktivitas upacara religi hiburan dan adat

dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor pada dulunya dilakukan pada

upacara adat dan religi. Tortor dilakukan untuk upacara yang sakral karena pada

dulunya aktivitas manortor ditujukan untuk menghormati Debata Mulajadi Na

Bolon (Pencipta alam semesta dan manusia, arwah leluhur, maupun masyarakat

sekeliling sesuai kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu). Misalnya pada pesta

adat perkawinan, meninggal yang disebut dengan upacara kematian Sarimatua

(keturunan orang yang meninggal tersebut masih ada yang belum menikah) dan

upacara kematian Saurmatua (semua keturunannya sudah menikah), pesta Horja

(biasa disebut pesta tugu yaitu menyatukan pemakaman orangtua dari satu garis

keturunan ke suatu tempat yang dibangun dari semen yang tujuannya

menghormati leluhur).

Aktivitas manortor selalu diiringi musik Gondang Sabangunan baik dalam

kegiatan adat atau religi. Secara keseluruhan aktivitas masyarakat Batak Toba

yang menyangkut interaksi antar sesamanya dapat dikatakan selalu diatur oleh

adat. Ada istilah tektek mula mulani gondang, serser mula mulani tortor (artinya

tektek bunyi memulai Gondang, kaki yang bergeser memulai tarian/Tortor).

Universitas Sumatera Utara

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan

bahwa masih ada kehidupan lain di balik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud

dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu

tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan.

Saurmatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik

dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna

dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah

sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain

halnya dengan orang yang meninggal sarimatua. Kalaupun suhut membuat acara

adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu

dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal

kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase

(tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya.

Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut

Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk

keturunan orang tua yang meninggal saurmatua itu, yaitu semua anak laki-lakinya,

cucu laki-laki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya

perempuan. Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu

dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang

pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah

piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan

gondang sabangunan dalam upacara saurmatua. Pemberian napuran tiar ini

menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima

Universitas Sumatera Utara

undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang

bersamaan.

Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orang tua yang

meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan

kamar orang tua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti

dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk, di sebelah

kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-

laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak

perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat.

Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua

mereka masing-masing. Dan semua unsur dari Dalihan Na Tolu sudah hadir di

rumah duka dengan mengenakan ulos.

Upacara di jabu ini biasanya dibuka pada pagi hari (sekitar jam 10.00

Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur Dalihan Na Tolu

mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara

penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur Dalihan Na Tolu sedang

berlangsung, di antara keturunan orang tua yang meninggal masih ada yang

menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan

yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah

dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian

pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah

kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi

dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu,

Universitas Sumatera Utara

nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar

(sirih).

Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka

yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-

masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal.

Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari,

sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan

pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang

sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang

elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan dan mengundang masyarakat

sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.

Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat

bahwa ada orang tua yang meninggal saurmatua, dan pada saat gondang tersebut

berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena

sebentar lagi kegiatan margondang saurmatua akan dimulai. Kemudian diaturlah

posisi masing-masing unsur Dalihan Na Tolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan

yang meninggal, boru di sebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di

depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka

mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi

mereka paling depan.

Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani

huria). Semua unsur Dalihan Na Tolu berdiri di tempatnya masing-masing.

Pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan:

Universitas Sumatera Utara

1. Gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan

bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia,

kekayaan dan kehormatan.

2. Gondang kedua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada

menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua

menari.

3. Gondang Liat-liat para pengurus gereja menari mengelilingi mayat

memberkati

semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas

kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di

wajah pengurus gereja.

4. Gondang Somba-somba maksudnya agar kita patut menghormati gereja.

Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta

berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing

pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke

atas kepala suhut.

5. Gondang yang terakhir, hasuhuton meminta gondang hasahatan dan sitio-

tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan

setelah selesai ditarikan mereka semuanya mengucapkan horas sebanyak

tiga kali.

Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Na Tolu meminta gondang

kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi

yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari

Universitas Sumatera Utara

pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah

sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada

pargonsi dalam memainkan Gondang Sabangunan.

Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan

pada malam-malam hari tersebut diisi dengan manortor semua unsur Dalihan Na

Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh

suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa masuk ke dalam rumah dan mayat

dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan

sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti

biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi di

beberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah

dongan sabutuha saja.

Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut,

maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai

pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. Pengganti dari ulos ini dapat

diberikan sejumlah uang.

Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada

boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha,

boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka

sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua

rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama.

Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orang tua yang saur

Universitas Sumatera Utara

matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan pada sore

hari.

Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta

lauknya) kepada orang tua yang saurmatua dan kepada semua sanak famili.

Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan, lalu semua unsur Dalihan

na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari

kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung

sampai selesai (pagi hari).

Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah

bersiap-siap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu

menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini

dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak

laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri

di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan

dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh

pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).

Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru

untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian

gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum

dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu

oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. Peti mayat tersebut masih tetap

ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah

sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib Kristen yang bertuliskan

Universitas Sumatera Utara

nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan

diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur Dalihan Na Tolu

yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk

mengikuti acara selanjutnya.

Upacara maralaman adalah upacara terakhir sebelum penguburan mayat

yang saurmatua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang saur matua

meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan

(disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat

partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur Dalihan Na Tolu berbeda

dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam rumah. Pihak suhut

berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di

belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal)

posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang

meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka

kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.

Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi

ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengah-tengah halaman rumah.

Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari

tiang kayu borotan. Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda

dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka

sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada

upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian

pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada

tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan

bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata

sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan

terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali

kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya

memainkan sitolu gondang (tanpa menyebut nama gondangnya), yaitu gondang

yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa

berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati

semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi

memainkan sitolu gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian

meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah

agar semua keturunan dari yang meninggal saurmatua ini selamat-selamat dan

sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan

(yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh

pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua

tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi

borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.

Kemudian pengurus gereja meminta gondang marolop-olop. Maksud dari

gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada

waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Na Tolu

lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu

Universitas Sumatera Utara

atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya

memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus

gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi

gondang hasahatan tu sitiotio. Semua unsur: Dalihan Na Tolu menari di tempat

dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang

meminta gondang mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari

mengelilingi kuda sebanyak 3 (tiga) kali, yang disambut oleh pihak boru dengan

gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh

pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang mangaliat. Setelah gondang

ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan

memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru. Sedangkan boru

memegang wajah suhut.

Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang mangaliat, maka

menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang mangaliat, dengan memberikan

‘boras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi

borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Kemudian giliran pihak

hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau Uang,

mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orang tua yang meninggal

(baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada

suhut itu merupakan ulos holong.

Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang

diberikan hula-hula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak

Universitas Sumatera Utara

ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Kegiatan gondang ini

diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari

setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang hasahatan atau sitio-tio

dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 (tiga) kali.

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang

mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang

diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan.

Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut.

Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja,

karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na

Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan

bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari

pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan

siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah

dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan

boru dan dongan sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh

hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan

sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman,

kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.

Tortor dalam upacara perkawinan dimulai dengan masuknya pengantin ke

dalam gedung tempat dilaksanakannya (adat na gok) atau adat yang sepenuhnya.

Pengantin berdiri di pintu masuk bersama keluarga pihak laki-laki. Kemudian

dipanggillah terlebih dahulu pihak hula-hula (pihak perempuan) untuk memasuki

Universitas Sumatera Utara

ruangan diikuti hadirin dan undangan lainnya. Dengan diiringi musik seluruh

undangan memasuki ruangan sambil menyalami pengantin dan keluarganya.

Keluarga hula-hula secara umum datang membawa beras di dalam sumpit

(tandok). Beras ini disebut sebagai boras sipirni tondi (beras yang menguatkan

semangat) dan ditaburkan di atas kepala orang sesuai kedudukannya sebagai

penerima beras tadi.

Pada saat manjalo tumpak” (sumbangan tanda kasih) gondang akan

mengiringi undangan datang menyalami suhut (tuan rumah) dan pengantin

memberikan amplop berisi uang sambil berjalan dan manortor.

Tortor yang dilakukan oleh muda-mudi yang disebut dengan gondang

naposo, dilakukan hanya untuk muda-mudi tanpa melibatkan unsur Dalihan Na

Tolu. Tortor muda-mudi ini dilakukan dalam ajang cari pasangan hidup atau

mencari jodoh. Lihat: Tortor dalam Pesta Horja (Bab IV).

Di dalam suatu upacara atau pesta, tortor yang wajib dilakukan adalah

tortor mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat dan yang terakhir tortor

hasahatan/sitio-tio. Sebelum tortor hasahatan/sitiotio atau setelah tortor

mangaliat, jenis tortor yang lain dapat diminta dan ditarikan sesuai permintaan

undangan yang hadir dan disesuaikan dengan upacara atau pesta yang

berlangsung. Jenis-jenis tortor yang disajikan misalnya:

− Tortor Hata sopisik adalah tortor yang dilakukan seperti berbisik dan

membentuk kelompok-kelompok, dan tortor ini biasa juga disebut tortor

marhusip. Iramanya yang cepat dan gembira membuat suasana jadi meriah.

Universitas Sumatera Utara

Gerakannya lebih bebas tetapi masih dalam motif dasar gerak tortor yang

sudah ada.

− Tortor didang-didang adalah tortor yang menggambarkan permohonan

datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.

− Tortor malim yaitu menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam

yang tidak mau ternoda.

− Tortor mulajadi yaitu tortor yang menggambarkan paenyampaian segala

permohonan kepada yang Maha Pencipta sumber segala anugerah.

− Tortor Haro-Haro yaitu tortor kegembiraan sebagai ucapan syukur kepada

Yang Maha Kuasa.

− Tortor Si bungka pikkiran yaitu tortor yang mengajak manusia untuk tidak

tenggelam dalam kegagalan, mengajak bergerak dinamis dengan

mengutamakan kecerdasan dan mampu menganalisa serta tepat membuat

keputusan.

− Tortor Si bunga jambu adalah tortor yang biasa ditarikan oleh muda-mudi

dengan harapan perkenalan akan berlanjut ke arah membina rumah tangga.

− Tortor Si boru yaitu tortor yang dilakukan oleh wanita saja untuk membujuk

hula-hulanya dalam meminta sesuatu.

Jenis tortor yang ada di luar konteks penyajian tortor si pitu gondang

adalah:

− Tortor Tunggal panaluan yaitu tortor yang dilakukan oleh para dukun untuk

menghindari musibah yang menyerang suatu desa, dengan memohon petunjuk

kepada Yang Maha Kuasa.

Universitas Sumatera Utara

− Tortor Nasiarsiaran yaitu tortor yang ditarikan oleh seseorang yang akan

mengalami kesurupan,dan biasanya dilakukan untuk menyembuhkan yang

sakit dengan meminta petunjuk kepada Yang Maha kuasa.

− Tortor Si pitu sawan yaitu tarian yang memangku tujuh cawan yang dilakukan

pada saat pengukuhan raja. Tarian ini berasal dari tujuh putri khayangan yang

mandi di sebuah telaga di puncak gunung Pusuk Buhit bersamaan dengan

datangnya Piso Si pitu Sasarung (pisau tujuh sarung).

− Tortor Pangurason yaitu tari pembersihan, biasanya digelar pada saat pesta

besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat atau lokasi pesta sebelum

pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut

yang dicampur air.

− Tortor Elek-elek (lae-lae) yaitu tortor yang dilakukan dalam upacara

Mangalahat Horbo Lae-lae, untuk membujuk kerbau yang akan disembelih

menuju tiang kayu borotan agar kerbaunya tidak melawan atau marah pada sat

upacara akan dilangsungkan.

Secara keseluruhan tortor ini senantiasa diiringi gondang sesuai dengan nama

tortor yang ditampilkan.

Tortor dilakukan dalam setiap kegiatan adat maupun hiburan bagi

masyarakat Batak Toba. Dalam setiap kegiatan itu, tortor memiliki penggunaan

dan penyajian yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukannya dalam unsur

Dalihan Na Tolu.

Tortor hula-hula tidak boleh dilakukan boru demikian sebaliknya akan

tetapi meskipun tortor itu berbeda menurut kedudukannya masing-masing dalam

Universitas Sumatera Utara

unsur Dalihan Na Tolu, tortor juga memiliki unsur dasar gerak yang hampir sama

satu dengan yang lainnya. Tortor hula-hula merupakan gerakan kedua telapak

tangan yang diarahkan ke kepala boru dan menyentuh pundak kepada dongan

sabutuha sambil berjalan berkeliling. Tujuan dari gerakan ini adalah mamasu-

masu (memberikan berkat kepada boru dan menyapa untuk dongan sabutuha).

Sebaliknya pihak boru melakukan gerakan tortor dengan posisi kedua telapak

tangan dirapatkan posisi menyembah kepada hula-hula sehingga ada pepatah

menyatakan (Ditortori naso gondangna) artinya (dia manortor tidak sesuai

dengan kedudukannya di dalam unsur Dalihan Na Tolu dan hal ini dapat

menimbulkan cemoohan dari orang lain). Tortor yang dilakukan ataupun yang

digunakan pada saat upacara religi, adat maupun hiburan berbeda penyajiannya

dan reportoar lagu yang mengiringinya pun berbeda juga.

Dalam upacara religi memulai tortor selalu dilakukan mangelek pargonsi

(membujuk pemain musik), mangido tuani gondang (memohon ijin dan tuah,

tujuannya supaya upacara berjalan tanpa hambatan), melakukan urutan tortor

dengan reportoar si pitu gondang, melakukan tortor sesuai dengan upacara yang

diadakan. Cara manortornya lebih sopan dan terkesan kaku. Pada acara adat,

misalnya dalam perkawinan, penyajian tortor lebih bebas, meskipun tetap dalam

keterikatan unsur Dalihan Na Tolu.

3.2 Penggunaan dan Fungsi Tortor

Tortor disajikan selalu terkait dengan upacara religi, upacara adat, dan

hiburan bagi masyarakat Batak Toba. Untuk melihat fungsi tortor penulis

Universitas Sumatera Utara

mengacu kepada fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan manusia yang

dikemukakan Soedarsono yang mengatakan secara garis besar fungsi seni

pertunjukan dalam kehidupan manusia bisa dikelompokkan menjadi 3 fungsi

primer, yaitu: (1) seni sebagai sarana ritual; (2) seni sebagai sarana hiburan

pribadi; dan (3) seni sebagai presentasi estetis.

3.2.1 Penggunaan Tortor

Tortor digunakan dalam setiap acara-acara dalam kehidupan masyarakat

Batak Toba. Telah dijelaskan bahwa tortor digunakan untuk menentukan

kedudukan seseorang dalam unsur Dalihan Na Tolu, yang dapat dilihat dari

gerakan-gerakan tortor yang dilakukan.

Tortor Batak Toba menggambarkan perjalanan hidup orang Batak Toba

dalam kehidupan kesehariannya. Tortor menggambarkan kegembiraan, rasa

senang, bermenung, berdoa, menyembah, menangis, bahkan keinginan atau cita-

cita dan harapan. Semua hal ini dapat tergambar dalam aktivitas manortor (tortor

Batak Toba). Tortor dahulu dipergunakan dalam pesta adat (tortor adat), acara

kegembiraan (sukacita) dan acara kesedihan (duka) dan untuk perenungan.

Tortor senantiasa tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat Batak

Toba. Masyarakat Batak Toba yang mendiami wilayah Toba Samosir, Samosir,

Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan sudah pasti senantiasa melakukan

aktivitas manortor ini dalam setiap kegiatan dalam kehidupannya.

Orang Batak Toba yang mendiami suatu wilayah, apabila dalam sistem

kekerabatan mereka telah mempunyai hubungan kekerabatan dengan sesama

Universitas Sumatera Utara

orang Batak Toba yang telah memungkinkan sudah didapati orang-orang dengan

struktur dalihan na tolu, pasti adat istiadat akan berjalan dengan baik.

Orang Batak Toba yang diperantauan akan membuat sebuah perkumpulan

dalam membina kekerabatan sesama orang Batak Toba. Dalam hal ini juga

mereka secara otomatis akan menerapkan sistem norma adat yang dilakukan

masyarakat Batak Toba umumnya.

Jadi wilayah pemakaian tortor ini dilakukan oleh orang Batak Toba itu

sendiri di manapun mereka berada di seluruh belahan dunia ini. Bisa saja beberapa

marga yang berkumpul dalam suatu wilayah dapat menjadi suatu sistem

kekerabatan yang baru di luar dari sistem kekerabatan yang sudah tinggal di

kampung. Di tempat yang baru mereka membentuk suatu perkumpuan adat dalam

hubungan kekeluargaan dan kekerabatan sesama orang Batak Toba. Jadi tortor itu

akan dilaksanakan oleh orang Batak yang ada di manapun di seluruh dunia ini.

Dalam upacara religi penganut aliran kepercayaan Parmalim, tortor sangat

benar-benar dilakukan karena tortor salah satu media penyampaian keinginan

kepada Sang Pencipta seperti kemakmuran dan kesejahteraan.

Pada pesta horja sebagai upacara adat, tortor digunakan sebagai media

kepada Sang Pencipta dan sebagai media yang dapat menunjukkan pada saat acara

berlangsung, orang-orang yang berkedudukan dalam unsur Dalihan na Tolu.

Saat ini perkembangan tortor (setelah masuknya era kekristenan) jadi

dipergunakan dalam acara kebaktian gereja (memuji Tuhan) dan biasanya teks

diiringi lagu-lagu rohani kemudian tortor untuk kepentingan hiburan (pariwisata/

Universitas Sumatera Utara

komersial) dan sudah banyak digabung dengan tarian etnis lain kemudian tarian

ini disebut sebagai kreasi tortor.

3.2.2 Fungsi Tortor

Fungsi tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah:

Sebagai refleksi organisasi sosial (pengesahan lembaga sosial), ritual, dan

keagamaan. Tortor dapat dilihat sebagai refleksi organisasi sosial (pengesahan

lembaga sosial), ritual, keagamaan dalam upacara Parmalim Sipaha Lima

dipercaya bahwa Debata Mula Jadi Na Bolon dan seluruh penghuni Banua

Ginjang (atas bumi) turun ke bumi untuk memberkati (mamasu-masu) dan

melihat seluruh ciptaan-Nya.

Tortor dengan iringan musik Gondang Sabangunan, adalah dua hal yang

tidak terpisahkan. Dalam pembentukan kepemimpinan setiap kegiatan ritual

maupun keagamaan. Tortor dan Gondang Sabangunan adalah kedua unsur yang

menentukan keabsahan kegiatan tersebut. Dalam setiap kegiatan pemilihan

pemimpin pada saat sekarang inipun tortor dan gondang sabangunan dijadikan

media pengesahan kepemimpinan yang baru, seperti pemilihan bupati, camat

ataupun unsur pemerintahan lainnya. Kemudian salah satu fungsi tortor dalam

kehidupan masyarakat Batak Toba adalah sebagai hiburan. Di manapun orang

Batak berkembang atau menempati suatu wilayah, pastilah tortor tetap hidup di

tengah-tengah mereka. Karena tortor sudah mendarah daging bagi kehidupan

orang Batak Toba. Ada ungkapan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang

mengatakan:

Universitas Sumatera Utara

Dang tartangishon, tumagonanma tinortorhon, artinya bila ada masalah

yang sudah tidak mampu kita tangisi, lebih baik kita menari (manortor) saja. Jadi

orang Batak menghibur dirinya dengan melakukan tortor, dan hal ini akan

berlangsung bila orang Batak mendengar bunyi gondang, secara sadar ataupun

tidak, dapat menggerakkan tubuh si orang Batak sendiri.

Berhubungan dengan fungsi seni sebagai hiburan, Merriam

mengemukakan,

Music provides an entertainment function is all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of music in western society, and entertainment combined with other function. The latter may well be a more prevalent feature of non literate societes. (Merriam, 1964:223).

Dalam kegiatan hiburan, tortor inipun sering disajikan atau dipertunjukkan

untuk menghibur wisatawan yang berkunjung ke daerah seputar Danau Toba

(khususnya daerah Parapat, Tomok, Tuktuk, dan Samosir sekitarnya). Kompetisi

tortor dalam kegiatan hari jadi atau ulang tahun beberapa kabupaten (Kabupaten

Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan

Kabupaten Samosir) sering dilaksanakan, bahkan telah menjadi agenda tahunan

dan dapat menjadi hiburan yang menarik untuk masyarakat. Tortor kreasi telah

menarik perhatian para panortor maupun masyarakat pendukungnya. Tortor

kreasi yang tidak terikat lagi dengan tata hukum adat, telah banyak menjadi

hiburan dalam setiap perayaan hari besar keagamaan maupun kenegaraan.

Pada hari besar keagamaan (untuk yang beragama Kristen), tortor sering

dipertunjukkan oleh anak-anak atau remaja dengan diiringi gondang yang sudah

digabung dengan keyboard, bahkan lagunya diambil dari kaset lagu rohani

Universitas Sumatera Utara

(gerejawi). Dalam aksi pengumpulan dana pada kegiatan pesta pembangunan

gereja, tortor juga dijadikan sebagai media hiburan. Bentuk penyembahan

terhadap arwah-arwah nenek moyang merupakan kepercayaan yang telah diwarisi

secara turun-temurun. Kegiatan pemujaan dan penyembahan kepada roh nenek

moyang ini diwujudkan dalam suatu bentuk upacara dengan tarian dalam hal ini

tortor yang menyertainya.

Upacara yang dilaksanakan dengan menyertakan tari memiliki berbagai

ragam yang sesuai dengan tujuannya masing-masing. Ada empat tujuan upacara

yang menyertakan tari, yaitu:

- Upacara yang ditujukan untuk penyembahan terhadap roh nenek moyang.

- Upacara berkenaan dengan peristiwa dalam daur kehidupan.

- Upacara dengan harapan tertentu.

- Upacara yang diselenggarakan untuk pergaulan. (Kusmayanti, 1990: 6)

Tortor dilakukan dalam setiap kegiatan upacara tersebut. Dalam memulai

tortor (khususnya dalam upacara religi dan adat) selalu dibuka dengan permintaan

dan permohonan kepada Tuhan (Debata Mula Jadi Na Bolon), roh-roh nenek

moyang (Sahala ni da Ompung), penguasa kampung (Raja Huta) dan

menghormati Hula-hula dan masyarakat sekitarnya (Siloloan Natorop).

Tujuannya mengharapkan semua yang dipuja dan dihormati memberikan berkat

(pasu-pasu) kepada penyelenggara pesta atau upacara (ulaon).

Paminta gondang akan menyerukan dan meminta kepada pemain musik

(pargonsi), yang bunyinya:

Universitas Sumatera Utara

Amang panggual pargocci, alualuhon damang ma jo tu Omputta Mula Jadi Na

Bolon....lalu gendang taganing dibunyikan sebentar, para panortor tidak manortor

tetapi dalam keadaan diam dan hening melipat tangan di arah perut, sambil berdoa

dalam hati.

Dilanjutkan lagi….

Alu-aluhon damang ma jo to akka sahalani da Ompung. ...dalam hal ini posisi dan

cara panortor sama dengan yang dilakukan pertama tadi.

Dilanjutkan lagi...

Alu-aluhon damang ma jo tu akka Raja ni huta, Raja ni hula-hula dohot sude si

Loloan na torop....posisi panortor tetap diam dan hening, suasana tetap khidmat

sambil berdoa dalam hati.

Secara totalitas panortor berserah kepada penguasa alam semesta,

penguasa kampung, roh nenek moyang, hula-hula dan masyarakat sekitarnya,

yang tujuannya supaya setiap elemen yang ada di sekitar wilayah

penyelenggaraan upacara dapat berjalan baik dan lancar tanpa ada gangguan

apapun dan hasil yang diinginkan mendapat berkah kesehatan, kemakmuran dan

kesejahteraan.

Hal ini dilakukan juga dalam setiap upacara perkawinan, meskipun tidak

secara keseluruhan lagi, karena upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba

telah dipengaruhi unsur kekristenan, sehingga penyelenggaraannya sudah

didominasi kegiatan gereja meskipun adat tetap dilaksanakan. Tortor dalam

upacara kematian (sarimatua maupun saurmatua) sangat berperan dalam kegiatan

upacara ini. Karena pihak keluarga yang meninggal harus berusaha menghormati

Universitas Sumatera Utara

semua orang yang datang melayat, hal ini diungkapkan dalam tortor. Begitu juga

dalam pesta horja (pesta tugu), bahwa dalam setiap gerakan tortor melambangkan

penghormatan kepada semua yang hadir sesuai kedudukannya dalam sistem

kekerabatan masyarakat Batak Toba.

Dahulu kala gondang dibunyikan untuk meminta sesuatu kepada penguasa

alam. Mengharapkan hujan turun, panen yang baik dan berlimpah, terhindar dari

penyakit dan banyak hal lagi. Kegiatan margondang selalu disertai tortor, dan

gerakan tortor itulah melambangkan permohonan dan harapan-harapan dapat

dicapai. Gondang naposo adalah tortor yang ditujukan khusus untuk muda-mudi

dalam hal pencarian jodoh ataupun persahabatan. Hal ini melibatkan pertemuan

muda-mudi antar kampung. Kegiatan ini dapat mempersatukan muda-mudi yang

sebelumnya tidak saling mengenal menjadi bersahabat bahkan ada yang menikah

dari hasil perkenalan tersebut.

Dalam upacara religi Parmalim Sipaha Lima dikenal dengan Ulaon

Parsahadaton yaitu acara doa (hari pertama), Ulaon pameleon (acara

persembahan) pada hari kedua, dan hari ketiga disebut Panggohi atau Mananti

(penutup).12

12Upacara religi Parmalim Sipaha Lima adalah upacara dengan kegiatan penyembahan puji pujian kepada Debata Mula Jadi Na Bolon serta seluruh penghuni Banua Ginjang (langit) dari Patumonaan (hasil pertama dari setiap pekerjaannya) dan dilakukan setiap bulan Sipaha Lima.

Dalam upacara ini semua umat Parmalim manortor bersama. Fungsi

upacara ini adalah untuk mengucapkan syukur kepada Debata Mula Jadi Na

Bolon, karena umat Parmalim telah sampai ke tempat pelaksanaan upacara

dengan selamat, tujuannya meminta pengampunan dosa yang dilakukan selama

ini, mengucap syukur, memohon bimbingan kepada petunjuk Debata Mula Jadi

Na Bolon, menyampaikan persembahan (pelean) dari hasil pertama rejeki yang

Universitas Sumatera Utara

diterima, memohon berkat (kesejahteraan, keselamatan, keturunan yang banyak,

kekuatan).

Dalam upacara adat perkawinan, dilakukan aktivitas manortor sebagai

bentuk hubungan yang baik dalam unsur kekerabatan masyarakat Batak Toba

antara hula-hula, dongan sabutuha dan boru. Tortor Mangaliat memperlihatkan

bentuk tarian yang dilakukan pihak hula-hula menyentuh kepala boru

(memberikan berkat pasu-pasu) dan menyentuh pundak dongan sabutuha

menggunakan ulos yang dipakai di pundak sebelah kanan hula-hula.

Pada dasarnya semua awal dari aktivitas ini membunyikan musik (dalam

hal ini gondang sabangunan/gabungan dengan alat musik pop lainnya) tetap

memohon dan menyembah kepada Tuhan, supaya setiap aktivitas atau kegiatan

upacara berjalan dengan lancar dan baik pula.

Hubungan komunikasi jelas terlihat dalam penyajian Tortor Si pitu

gondang dalam mengawali setiap kegiatan upacara yang ada pada masyarakat

Batak Toba.

1. Tortor mula-mula yang diiringi gondang mula-mula bentuk kepercayaan yang

diyakini orang Batak Toba bahwa segala yang ada di bumi ini bermula dari

kebaikan (marmula na uli marmula na denggan).

2. Tortor Somba yang diiringi Gondang Somba (repertoar lagu tortor)

memperlihatkan komunikasi manusia dengan penciptanya, pelaku upacara

dengan hula-hula (bentuk penghormatan), dan pelaku upacara dengan

harajaon/pengetua adat maupun dengan masyarakat sekitarnya disebut dengan

Si loloan na torop.

Universitas Sumatera Utara

3. Tortor Mangaliat dengan iringan Gondang Mangaliat (tarian berkeliling

menghormati dan menyayangi setiap peserta sesuai kedudukannya dalam

unsur Dalihan na tolu).

4. Tortor Sibane-bane (dengan iringan Gondang Sibane-bane) yaitu tarian

memohon kedamaian.

5. Tortor Saudara/Parsaoran dengan iringan gondang saudara/parsaoran

mengharapkan di antara sesama keturunan dan hadirin terdapat persaudaraan

yang kekal dan baik.

6. Tortor Simonang-monang dengan iringin Gondang Simonang-monang, yaitu

doa memohon kemenangan.

7. Tortor Hasahatan Sitio-tio (dengan iringan Gondang Hasahatan Sitio-tio)

dengan harapan segala sesuatu yang diharapkan akan terkabul.

Tortor yang dilakukan sebagai aktivitas keagamaan dalam aliran

kepercayaan Parmalim dan dilakukan setiap enam bulan sekali, merupakan

kegiatan upacara religi rutin yang otomatis telah menjadi suatu kesinambungan

budaya Batak Toba. Secara sadar ataupun tidak sadar aktivitas ini telah

diwariskan secara turun-temurun hingga saat sekarang ini. Hal ini mengakibatkan

generasi muda yang ikut dalam upacara ini sebagai naposo secara otomatis akan

menggantikan generasi tua yang sudah tidak mampu lagi dalam melakukan

aktivitas ini.

Dalam pesta Horja, tortor yang dilakukan telah menjadi sebuah

revitalisasi budaya dan telah berperan dalam upaya pelestarian budaya Batak

Toba, meskipun pelaksanaannya sekali seumur hidup dalam satu garis keturunan

Universitas Sumatera Utara

tertentu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, dan biasanya pesta Horja itu

dilaksanakan oleh generasi ke-3 (tiga) dari yang di”Horjakan” (dalam hal ini

adalah cucu).

Kompetisi tortor adalah salah satu unsur pelestarian dan kesinambungan

budaya Batak Toba. Dengan mengadakan perlombaan dengan janji kompensasi

hadiah, telah memacu orang-orang yang ikut kompetisi lebih giat berlatih dan

mencari unsur yang paling tradisi ataupun paling natural (bila kompetisi dalam

konteks budaya tradisi lama). Demikian halnya dengan tortor kreasi yang

dikompetisikan, sedikit banyak telah mempertunjukkan nilai-nilai dasar tradisi

yang masih terkandung di dalamnya.

Berdirinya sanggar-sanggar seni budaya tradisional Batak Toba juga telah

mendorong para anggota sanggar untuk berlatih berbagai macam tortor yang

sering ditampilkan dalam setiap kegiatan keagamaan maupun kenegaraan. Dalam

berbagai aktivitas budaya, tortor diekspresikan melalui penghayatan estetis.

Gerakan-gerakan tortor dilakukan dengan penghayatan secara estetis untuk tujuan

yang diharapkan bahwa segala sesuatu yang diinginkan melalui gerakan tortor itu

akan mengabulkan segala keinginan kepada Debata Mula Jadi Na Bolon. Ada

istilah dalam tortor disebut dengan hohom artinya manortor itu harus dilakukan

tertib, sopan, santun dan mata (khususnya wanita) tidak boleh liar. Bila segala

aktivitas manortor ini dilakukan dengan penghayatan estetis yang baik, maka

segala keinginan (kesejahteraan, kemakmuran, mempunyai keturunan, kekayaan)

akan tercapai dan terkabul dalam istilah Batak Toba disebut dapotan hamoraon

dohot hagabeon dohot hasangapon.

Universitas Sumatera Utara

3.3 Busana Tortor dalam Upacara

Busana atau pakaian yang dipakai dalam aktivitas manortor adalah yang

disebut dengan ulos. Ulos adalah bentuk kain atau benang yang ditenun khas

masyarakat Batak Toba (motif Batak Toba). Ulos yang dipakai dalam aktivitas

kehidupan masyarakat Batak Toba ada berbagai ragam. Mulai dari acara di dalam

kandungan, kelahiran, penabalan nama, perkawinan dan kematian.

Selain itu banyak aktivitas orang Batak Toba yang senantiasa

menggunakan ulos dan setiap kegiatan itu menggunakan ulos yang berbeda-beda

sesuai aktivitas yang dilaksanakan menurut adat ataupun upacara yang diadakan.

Jenis ulos yang dipergunakan untuk wanita adalah berupa selendang atau yang

diletakkan di bahu sebelah kanan yang disebut dengan Sampe-sampe. Jenis ulos

untuk Sampe-sampe ini dipakai dengan nama Ragi hotang. Sampe-sampe untuk

muda-mudi disebut Ratta-ratta atau Sengka-sengka. Hohop-hohop adalah ulos

yang dipakai (dililitkan) menutupi bagian dada ke pinggang. Jenis ulos untuk

Hohop-hohop ini disebut dengan Si bunga ni ambasang. Sabe-sabe adalah ulos

yang dipakai (dililitkan) dari pinggang sampai ke mata kaki atau dililitkan seperti

sarung. Jenis Sabe-sabe ini adalah Runjat.

Kemudian jenis ulos yang dipergunakan pria adalah Sabe-sabe. Sabe-sabe

adalah ulos yang dililitkan dari pinggang sampai ke mata kaki atau dililitkan

seperti sarung. Jenis Sabe-sabe untuk pria ini ada empat pilihan yang boleh

dipakai yaitu Marinjamsisi, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting. Sedangkan

tali-tali adalah ulos yang diikatkan di kepala pria dan jenisnya dinamakan

Tumtuman, Padang ursa, Tutur tutur, dan Mangiring. Keempat jenis ini boleh

Universitas Sumatera Utara

dipergunakan. Sampe-sampe (ulos yang diletakkan di bahu sebelah kanan) adalah

Ragi hotang. Ulos ini dipakai tanpa busana apapun di bagian dalam tubuh yang

dipakaikan ulos. Artinya seluruh pakaian yang dipergunakan adalah ulos dan

untuk pria bagian atas tubuh telanjang tidak memakai pakaian.

Berbeda dengan keadaan saat ini untuk wanita sudah memakai pakaian

kebaya di dalam dan ulos dililitkan di luar pakaian. Ulos yang dipergnakan juga

sudah yang dimodifikasi modern. Untuk selendang sudah dipakai dari ulos yang

dinamakan Sadum. Sadum dipakai sudah memiliki banyak motif dan warna. Kini,

sudah banyak yang memakai sarung dari ulos jenis Ragi idup. Padahal menurut

adat Batak Toba, ragi idup itu dipakai untuk tutup peti orang yang sudah

meninggal dan ulos ini didapat dari kerabat yang kedudukannya sebagai hula-

hula. Ulos ini sering disebut sebagai Ulos Saput. Untuk pria sudah lebih sering

memakai kemeja dan jas, kemudian ulos dililitkan di pinggang. Ada juga yang

melilitkan sarung (seperti pada pesta Horja). Tali-tali atau yang dipakai pria di

bagian kepala sudah banyak yang dimodifikasi menjadi mirip seperti topi suku

Melayu karena pemakaiannya lebih praktis dan banyak dijual di pasaran. Untuk

wanita aksesoris yang diikatkan di kepala yang berhiaskan emas dan ditempelkan

di sehelai kain merah disebut dengan Sortali. Saat ini penggunaan Sortali sudah

banyak diganti dengan imitasi.

Universitas Sumatera Utara

Keterangan:

Beberapa jenis ulos yang lazim dipergunakan dalam kegiatan manortor pada tradisi masyarakat Batak Toba sebelum era kekristenan.

3.4 Perkembangan Tortor

Saat ini tortor banyak dilakukan dalam upacara pesta gereja

(pembangunan gereja) dalam rangka mengumpulkan dana atau kegiatan

kegembiraan (perayaan hari besar umat Kristen) khususnya Batak Toba.

Tortor yang paling sering kita jumpai saat ini adalah tortor dalam pesta

perkawinan Batak Toba, pada upacara kematian Saurmatua, dan pada pesta horja

(peresmian tugu).

Padang ursa

Ragi hotang

Ragi pangko

Mangiring

Ragi hotang

Runjat

Sibungani-

b

Universitas Sumatera Utara

Banyak masyarakat (khususnya yang sudah tua) menyatakan bahwa

penggunaan tortor itu sudah mengalami banyak perubahan. Hal ini terjadi akibat

masuknya kekristenan ke Tanah Batak, yang telah banyak membuat larangan-

larangan mengenai penggunaan tortor dan gondang sabangunan.

Karena kegiatan ini masih dianggap berhubungan dengan kepercayaan

sipelebegu (animisme). Kalau dahulu kematian merupakan kutukan dan

malapetaka, tetapi dengan masuknya kekristenan telah merubah pandangan

masyarakat Batak Toba yang telah menganut ajaran agama Kristen yang

mempercayai bahwa malapetaka sehingga saat ini tortor tidak/jarang dilakukan

lagi untuk memuja roh-roh dan kekuatan-kekuatan alam seperti yang dilakukan

sebelum era kekristenan, meskipun pemeluk aliran kepercayaan yang masih ada

sampai sekarang ini masih tetap melakukan kegiatan ritual dengan tortornya,

seperti aliran kepercayaan parmalim yang masih ada hingga sekarang.

Musik maupun repertoar yang dimainkan sudah lebih mendominasi lagu-

lagu yang lagi tren (populer). Dalam upacara religi alat musik dan teknik

manortor masih menggunakan tata cara dahulu (tidak ada penggabungan ataupun

dipengaruhi musik atau tarian zaman sekarang), tetapi dalam upacara adat sudah

mulai dipengaruhi unsur-unsur masa kini, hal ini karena kehidupan masyarakat

Batak Toba sudah banyak dipengaruhi kekristenan yang melarang melakukan

upacara-upacara religi yang berhubungan dengan kepercayaan nenek moyang.

Sedangkan dalam upacara hiburan, unsur religi maupun adat sudah hilang sama

sekali. Lagu-lagu yang dimainkan sudah beragam dari irama pop, dangdut, dan

lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA

Pada bab ini penulis akan membahas tentang latar belakang pelaksanaan

Pesta Horja, tujuan pelaksanaan Pesta Horja, hal-hal yang dilakukan sebelum

pelaksanaan Pesta Horja, Tortor yang disajikan pada saat penyelenggaraan Pesta

Horja, penentuan judul Tortor dan hubungannya dengan pihak yang Manortor,

hubungan Tortor dengan gondang sebagai musik pengiring, Tortor Si pitu

Gondang dalam Pesta Horja, Mangido Tua ni Gondang, pantun (umpasa) dalam

meminta gondang.

4.1 Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja

Pesta Horja adalah pesta merayakan selesainya pembangunan makam

nenek moyang atau leluhur dalam hal ini sebagai penyelenggara pesta adalah

marga Gultom. Pedersen (1975:22) mengatakan bahwa: “Masyarakat Batak Toba

harus memperhatikan adat dan melaksanakannya karena diancam hukum-hukum

bencana seperti penyakit, wabah kelaparan dan lain-lain sebagainya.”

Dengan latar belakang ini membuat masyarakat Batak Toba berusaha

melaksanakan upacara-upacara yang berhubungan dengan penghormatan kepada

arwah-arwah leluhur (sumangot ni daompung). Berbeda dengan keadaan setelah

kekristenan masuk ke Tanah Batak yang dibawakan missionaris gereja. Aturan

dalam kekristenan menekankan bahwa hubungan yang mati dan hidup sudah tidak

ada lagi. Kekuatan alam di muka bumi ini adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha

Universitas Sumatera Utara

Kuasa yang saat ini dimanifestasikan masyarakat Batak Toba sebagai Debata

Mula Jadi Nabolon. Kalau dulu Debata Mula Jadi Nabolon dipercaya bisa

mendatangkan keburukan dan kebaikan bila disembah dan diberi sesajen di suatu

tempat yang diyakini tempatnya bermukin (gunung, pohon besar, gua-gua dan

sebagainya).

Manusia dan kebudayaan memiliki keterikatan yang sangat erat satu sama

lainnya. Secara keseluruhan unsur dalam kebudayaan Batak Toba tersebut

mempunyai sifat keterikatan dengan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan para

leluhurnya dan secara otomatis, masyarakat Batak Toba itu sendiri berusaha

mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam kehidupan mereka. Salah

satu bentuk adat istiadat yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Batak

Toba adalah Pesta Horja atau sering juga disebut pesta peresmian tugu yaitu

setelah nenek moyang mereka bisa bersatu ataupun disatukan permanen maka

diadakanlah suatu pesta perayaannya dengan mengundang semua unsur-unsur

yang terlibat dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba. Secara totalitas kegiatan ini tidak terlepas dari unsur

kehidupan lainnya misalnya religi, adat istiadat maupun ekonomi.

Salah satu yang melatarbelakangi diadakannya Pesta Horja ini adalah

karena tuntutan adat. Hukum adat adalah norma-norma yang mengatur sistem

kehiduan manusia yang pada awalnya adalah hasil pemikiran manusia dan telah

menjadi kebiasaan hidup yang menguasai kehidupan manusia itu sendiri

(masyarakat) dalam lingkungan adat tersebut. Norma dan kebiasaan tersebut

Universitas Sumatera Utara

menjadi pedoman yang bisa mengarahkan kehidupan masyarakat tersebut. Hal ini

berhubungan dengan yang disebutkan Schreiner (1978:20) yaitu:

Adat sebenarnya merangkum semua lapangan kehidupan agama dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan dan kematian. Maka adat atau hukum itu bukan hanya memberikan penetapan dengan seksama untuk setiap hal satu persatu…

Tuntutan adat yang telah dilaksanakan turun-temurun adalah berlandaskan petuah

dari para leluhur yang mengatakan:

Tuatma na dolok martungkot siala gundi, napinungka ni na dijolo adat dohot uhumi ihutonon ni na dipudi. (Turunlah menelusuri gunung atau bukit bertongkatkan kayu siala gundi, leluhur atau nenek moyang yang menciptakan adat dan hukum, kita keturunannya yang akan melanjutkan berikutnya).

Pesta Horja dilaksanakan karena tuntutan adat pada masyarakat Batak

Toba. Karena meskipun orang Batak telah jauh merantau ke mana pun ke ujung

bumi ini, bila pesta ini tidak diadakan mereka akan merasa ada sesuatu yang

kurang lengkap dalam hidupnya. Ada kekuatiran akan terjadi sesuatu apabila

pesta ini tidak dilaksanakan. Artinya merasa masih kurang menghormati nenek

moyang atau leluhurnya, dan masyarakat pun akan menilai keturunan ini na

somaradat (tidak beradat), dan akan dicemooh dalam lingkungan masyarakat

sekitarnya. Selain itu masyarakat Batak Toba mempercayai bila menghormati

leluhur dengan menjalankan adat dengan baik akan mendatangkan kebaikan dan

keselamatan.

Faktor yang berikutnya adalah faktor ekonomi. Dalam melaksanakan pesta

ini dibutuhkan pesta ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Keluarga yang

selama ini mencari nafkah baik yang di kampung maupun yang di perantauan

Universitas Sumatera Utara

belum tentu dapat mengumpulkan biaya untuk pesta ini. Maka pada suatu saat

diadakanlah rapat keluarga yang dipromotori keluarga yang berada di kampung

dan mengundang beberapa perwakilan anggota keluarga yang berada di

perantauan. Diputuskanlah pesta horja ini harus terlaksana. Anggota keluarga

yang lebih mapan diminta untuk lebih banyak menyumbang demi

terselenggaranya pesta tersebut. Dalam pesta horja ini yang berperan sebagai

pekerja (pelaksana) kegiatan yang disebut sebagai Parhobas adalah Paidua Suhut

(anggota keluarga) yang masih satu keturuan dari Ompung paling atas garis

keturunannya. Jadi yang berperan di sini adalah keturunan dari yang enam (6)

Ompung yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka saling membantu sesuai

dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Dari hasil informasi yang saya

terima dari masyarakat setempat, pada dasarnya upacara ini didukung oleh

keturunannya yang sudah berpenghasilan di perantauan.

Bila dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam

melaksanakan pesta horja ini sangat bertentangan dengan hukum ekonomi, karena

yang dirayakan adalah orang-orang yang sudah mati, padahal biaya itu dapat

dipergunakan untuk biaya hidup maupun untuk pendidikan keluarga yang kurang

mampu. Tetapi hukum adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba tidak dapat

diukur secara rasio dan hukum-hukum ekonomi. Masyarakat Batak Toba selalu

berusaha meningkatkan taraf hidup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan

untuk pemenuhan kebutuhan adat yang harus dilakukan. Selain faktor ekonomi,

faktor ‘prestise’ atau gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat merupakan

Universitas Sumatera Utara

faktor yang paling penting yang melatarbelakangi terselenggaranya pesta horja

ini.

Ada tiga jenis aktualisasi hidup dalam kehidupan sosial orang Batak Toba

yaitu: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Hamoraon artinya kekayaan.

Dengan kekayaan ini marga Gultom dapat menuntukkan kepada marga lain bahwa

marga Gultom ini mampu secara materi melaksanakan pesta ini karena

keturunannya mempunyai kekayaan yang cukup untuk itu. Hal ini dapat kita lihat

cara memberi makan para undangan, hewn yang dikurbankan, pakaian dan

perhiasan yang mereka pergunakan. Bila mereka mampu menunjukkan

kekayaannya dalam pesta tersebut maka masyarakat setempat akan kagum dan

hormat kepada orang yang melaksanakan pesta horja tersebut.

Hagabeon artinya baik dalam berketurunan. Seseorang dalam kehidupan

masyarakat Batak Tobadikatakan sempurna bukan hanya karena umur dan

kekayaan materi, tetapi dilihat dari jumlah keturunannya. Keturunan adalah dasar

penilaian bagi seseorang supaya dapat dihormati dan dipestakan. Artinya bila

banyak keturunannya, maka pesta akan terlihat ramai dan meriah.

Dalam pesta Horja marga Gultom ini dikumpulkan dari enam (6)

keturunan Ompu, sehingga jumlah keturunan dari Ompu Uluan Gultom

beristrikan boru Pasaribu menjadi ramai dan banyak, sehingga mereka dapat

menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka adalah keluarga yang

diberkati/dipasu-pasu oleh nenek moyang atau para leluhur.

Hasangapon berarti kemuliaan. Hal ini ditujukan kepada yang dipestakan

atau dihorjakan. Keenam (6) Ompu itulah yang mendapat penghargaan bahwa

Universitas Sumatera Utara

mereka sudah mendapatkan “Hasangapon” dari keturunannya sampai tingkat

ketiga dan keempat. Semakin tercapai hamoraon dan hagabeon dari setiap

keturunan yang dihorjakan tadi, maka semakin ‘sangap’ lah (mulialah) dia dalam

pandangan masyarakat sekelilingnya.

4.2 Tujuan Pelaksanaan Pesta Horja

Pesta Horja dilaksanakan untuk merayakan atau mengadakan pesta setelah

membangun tempat yang menyatukan leluhur ke suatu tempat yang disebut

dengan batu na pir atau tugu atau monumen yang dibuat dari batu dan semen.

Yang dihorjakan adalah anak dari Ompu Uluan Gultom yang mempunyai istri

Boru Pasaribu. Keenam (6) anaknya itu adalah Ompu Usbin dengan istri boru

Pakpahan, yang kedua Ompu Lukman Gultom istrinya boru Panjaitan, yang

ketiga Ompu Andar Gultom istrinya adalah boru Tambunan, yang keempat Ompu

Nisi Ober Gultom, istrinya boru Pakpahan, yang kelima Ompu Dorlan Gultom

istrinya boru Sormin, yang keenam Ompu Radot Gultom istrinya boru Sinaga,

yang menyelenggarakan dan mengumpulkan dana dalam pesta Horja ini adalah

semua keturunan dari keenam nama tersebut dari anak sampai ke cucu dan cicit

mereka (keturunan sampai ketiga dan keempat).

Adapun upacara itu dilatarbelakangi suatu keyakinan, yaitu: (1) agar para

keturunannya memperoleh berkat dari yang mati, di mana dianggap selalu

menyertai dan melindungi keturunannya di dalam setiap kegiatan yang dilakukan;

(2) dengan penghormatan yang dilakukan keturunannya maka roh orang mati akan

dapat diterima di dunia baru yaitu dunia arwah (Lubis, 1985: 119). Hal ini juga

Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Padersen (1975: 23), dimana dia

mengatakan:

…. pemujaan ini didasarkan pada pendirian bahwa peruntungan orang-orang hidup selalu bergantung pada itikad para nenek moyang bergantung pula pada penghormatan dan persembahan kurban yang dilaksanakan oleh orang-orang yang hidup.

Keyakinan ini motivasi masyarakat Batak Toba untuk melaksanakan

upacara tersebut dan mendorong kelompok masyarakat memanifestasikan hak dan

kewajibannya sebagai rasa solidaritas kebersamaan dan kegotongroyongan, yang

merupakan fungsi dinamis dan kontekstual seseorang berdasarkan prinsip Dalihan

Na Tolu (Sitompul, 1983:73).

Biasanya pesta Horja ini didahului dengan upacara Mengongkal holi

(menggali tulang belulang nenek moyang dan akan disatukan ke dalam satu

tempat yang disebut dengan batu na pir atau tugu yang bangunan kuburannya

berbentuk rumah-rumah kecil dibangun dari semen dan batu). Tetapi yang ada di

tempat pesta Horja marga Gultom yang dilaksanakan di Desa Rahut Bosi adalah

tempat (kuburan) semennya sudah berdiri/didirikan terlebih dahulu, sehingga bila

nenek moyang mereka meninggal sudah langsung diantar dan dikuburkan di

tempat tersebut, tanpa repot-repot mengumpulkan tulang belulang (holi-holi) dari

nenek moyang yang mungkin ada di perantauan. Artinya nenek moyang marga

Gultom ini sudah berfikir lebih praktis supaya keturunannya nanti tidak terlalu

kerepotan dari segi waktu dan ekonomi untuk mengumpulkan mereka. Karena

untuk mengumpulkan mereka harus diadakan lagi upacara mangongkal holi,

sehingga yang dilaksanakan sekarang adalah Pesta Horja (merayakan setelah

selesainya dibangun dengan baik tempat/kuburan/tugu/batu napir tempat mayat

Universitas Sumatera Utara

dari nenek moyang marga Gultom tadi). Tujuannya tentu saja untuk menghormati

roh-roh para leluhur dari marga Gultom tadi.

Keturunan dari marga Gultom ini berkeyakinan bahwa dengan

diadakannya pesta Horja ini, akan membuat mereka memperoleh bantuan dari

roh-roh nenek moyang untuk mencegah malapetaka, segala bentuk penyakit dan

memperoleh peruntungan hidup. Meskipun hal ini bertentangan dengan ajaran

kekristenan, akhirnya tujuan ini disebutkan sebagai penghormatan terhadap

leluhur atau nenek moyang mereka. Hal ini mereka hubungkan dengan hukum

Taurat yang kelima dalam ajaran Kristen yaitu:

“Ingkon pasangaponmu do natorasmu asa martua ho jala leleng mangolu di tano na nilehoni Debatam diho”.

Artinya:

Hormatilah orangtuamu supaya lanjut usiamu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu.

Bentuk penghormatan ini tidak boleh hanya dilakukan selama orangtua hidup,

tetapi sesudah orangtua meninggal pun harus tetap dihormati, sehingga dengan

melaksanakan pesta Horja tersebut adalah merupakan bentuk penghormatan

kepada orangtua mereka.

Dalam Alkitab ajaran agama Kristen upacara atau Pesta Horja ini

berpedoman kepada ayat yang ada di dalam Alkitab yaitu: Dalam Kejadian 50

ayat 25: Sebelum Yusuf meninggal ia menyuruh anak-anak Israel bersumpah,

katanya: “Tentu Allah akan memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus

membawa tulang-tulang ku dari sini.” Dalam Keluaran 13 ayat 19: Musa

Universitas Sumatera Utara

membawa tulang-tulang Yusuf, sebab tadinya Yusuf telah menyuruh anak-anak

Israel bersumpah dengan sungguh-sungguh: “Allah tentu akan mengindahkan

kamu, maka kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini.” Dalam Kejadian

49 ayat 29: Kemudian berpesanlah Yakub kepada mereka: “Apabila aku nanti

dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku disisi nenek moyangku

dalam gua yang di ladang Efron, orang Het itu.”

Untuk menghindari kepercayaan animisme yang dilarang gereja, maka

Pesta Horja ini harus dihadiri pengurus gereja (pendeta, guru jemaat dan sintua

(pelayan gereja)). Pesta Horja yang dilaksanakan di Desa Rahut Bosi ini dihadiri

oleh dua pihak gereja yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan GKPI

(Gereja Kristen Protestan Indonesia), meskipun keturunan marga Gultom tadi

banyak yang menjadi jemaat gereka lain, tetapi kedua gereja tersebut telah

disepakati sebagai perwakilan dari gereja dalam memulai pelaksanaan Pesta

Horja tersebut.

Tujuan yang paling utama dari pelaksanaan Pesta Horja ini adalah

mempertemukan dan mempersatukan seluruh anggota keluarga dari keturunan

Ompu Uluan Gultom yang sudah merantau ke berbagai tempat (di parserahan).

Hal ini sesuai dengan yang tertulis di dalam Alkitab agama Kristen yang

menyatakan: Idama, denggan nai dohot sonang nai, molo tung pungu sahundulan

angka namarhaha maranggi. Artinya “lihatlah, alangkah baiknya dan alangkah

senangnya, bila semua kakak dan adik berkumpul pada satu tempa.”

Artinya tidak ada lagi perseteruan maupun perselisihan di antara sesama

keluarga yang selama ini mungkin ada masalah-masalah dalam keluarga

Universitas Sumatera Utara

keturunan marga ini. Hal tersebut biasa terjadi dalam kehidupan manusia di mana,

siapapun dalam berkehidupan di antara sesama manusia.

4.3 Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja

4.3.1 Mamanggil Pargonsi13

Mamanggil Pargonsi adalah unsur utama sebelum pesta Horja dimulai.

Menghormati dan menghargai adalah unsur yang terdapat dalam adat Dalihan Na

tolu. Masyarakat Batak Toba selalu mengaplikasikan adat ini dalam kehidupan

sosial kemasyarakatnya. Mamanggil Pargonsi ini adalah salah satu bentuk

penghormatan dan penghargaan kepada pemain musik sebagai pendukung

terselenggaranya pesta. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, Pargonsi

disebut sebagai Batara Guru (dianggap Dewa) dan berhubungan dengan Tuhan

(Debata Mula Jadi Na Bolon).

Sebelum pesta Horja diadakan, terlebih dahulu pihak hasuhuton

(pelaksana pesta Horja) sebagai tuan rumah yaitu keturunan dari Ompu Uluan

Gultom mengadakan musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang dibutuhkan

dalam melaksanakan Pesta Horja ini. Salah satunya adalah memanggil Pargonsi.

Pihak hasuhuton yang diwakili J. Gultom memanggil Pargonsi dengan membawa

“napuran tiar untuk melakukan pangelekan” (sirih dengan isinya sebagai

permohonan dengan membujuk pargonsi supaya mau memenuhi panggilan

hasuhuton) untuk mengiringi tortor dengan memainkan musik Gondang

Sabangunan. Saat itu yang dijumpai adalah pemain sarune (parsarune) atau

13Pargonsi adalah pemain musik ensambel gondang dalam tradisi Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

pemain gondang (partaganing) yang diteruskan memanggil teman-temannya yang

lain. Meskipun secara utuh pemberian napuran tiar (sirih bersama sejumlah uang)

untuk melakukan pangelekan (membujuk) ini tidak semuanya menurut tradisi

kepercayaan lama, tetapi tujuannya adalah sama yaitu membujuk pargonsi supaya

mau memainkan musiknya pada saat pelaksanaan pesta. Karena keturunan dari

Ompu Uluan Gultom itu telah banyak menganut agama Kristen, maka perlakuan

terhadap Pargonsi ini dilakukan seijin gereja dengan hanya memberikan napuran

tiar sebagai tanda penghormatan kepada pargonsi.

Hal ini disebabkan karena peraturan gereja yang terdapat dalam “The

Order of Dicipline of Church” (Pengawasan Peraturan dalam Gereja [Protestan]),

yang salah satu larangannya adalah tidak boleh memberi buah pinang dan daging

pada saat memanggil pargonsi sesuai dengan cara pra-Kristen (Purba, 1998: 282).

Oleh karena itulah pihak hasuhuton marga Gultom ini berusaha mengambil jalan

tengah dalam cara pemanggilan pargonsi.

Tujuan memberikan napuran tiar ini kepada pargonsi adalah supaya

pemain musik itu baik dalam memainkan musiknya, kemudian dilakukan dengan

benar dan penuh semangat. Hasuhuton yang menyelenggarakan pesta Horja ini

pun akan merasa bahwa tujuan yang mereka harapkan akan tercapai melalui

musik yang dibawakan pargonsi.

4.3.2 Adat Tu Pargonsi

Pesta Horja yang diadakan oleh keluarga marga Gultom di Desa Rahut

Bosi ini dilangsungkan selama 3 (tiga) hari. Sebelum pesta dimulai, beberapa hari

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya pargonsi datang ke tempat diselenggarakannya pesta tempat pargonsi

dibangun sebuah pentas di sebelah kanan rumah hasuhuton siampudan

(penyelenggaraan pesta dari keturunan anak yang paling kecil dari yang

dipestakan yaitu anak siampudan (anak paling bungsu) dari Ompu Radot Gultom

yang bernama Juara Gultom, karena kebetulan beliau tinggal di kampung Rahut

Bosi tempat diselenggarakannya pesta Horja itu. Biasanya Pargonsi ditempatkan

di bonggar-bonggar ni ruma14

Pada pesta Horja ini adat yang dilaksanakan kepada pargonsi adalah

dengan memberikan napuran tiar (sirih yang lengkap) sebagai pangelekan

(membujuk) pargonsi mau melaksanakan tugasnya baik meskipun pargonsi

dibayar untuk itu.

atau di panca-panca ni sopo yang berpesta sudah

ada pada setiap rumah adat tradisional Batak Toba. Tetapi karena pihak hasuhuton

yang berpesta sudah tidak memiliki rumah adat tradisional di sekitar lokasi pesta,

maka dari itu dibuatlah pentas dari kayu yang dibangun kira-kira satu meter lebih

tingginya. Tujuannya juga supaya pargonsi dapat melihat seluruh yang hadir pada

pesta dan dapat melihat orang-orang yang manortor (menari).

Tradisi lama bagi masyarakat Batak Toba masih mengadakan upacara

untuk panangkok pargonsi (mengantar pargonsi naik ke tempat mereka

memainkan musiknya). Upacara itu adalah pemberian pinggan sapa panungkunan

yang dilakukan pihak hasuhuton kepada pargonsi. Pinggan panukkunan tersebut

ialah piring berisi napuran tiar (sirih lengkap dengan isinya), boras sakti (beras),

14 Ruma adalah bentuk rumah tradisional Batak Tobayang memiliki ukiran-ukiran yang menggambarkan budaya Batak Toba, sedangkan sopo adalah rumah tradisional Batak Tobayang tidak memiliki ukiran. Tempat pargonsi pada ruma adalah bonggar-bonggar dan tempat pargonsi pada sopo adalah panca-panca.

Universitas Sumatera Utara

gambiri (kemiri), tolor ni manuk (telur ayam), gundur (semangka), ansimun

(mentimun) dan ringgit sitio soara (uang). Napuran tiar mengandung makna

mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi

(mandok mauliate tu Amanta Debata), boras sakti bermakna segala sesuatu yang

dikerjakan berhasil dengan baik (gabe naniula), gambiri melambangkan

kemakmuran (marmiak), tolor ni manuk diberikan kepada raja (pengulu balang),

gundur mempunyai makna untuk keseluruhan segala penyakit (pamalumi),

ansimun berarti penyejuk hati (pangalamboki), ringgit sitio soara berarti segala

perkataan yang dipergunakan dalam upacara supaya sopan dan berkharisma.

Setelah itu pargonsi akan menanyakan hasuhuton, upacara atau pesta apa yang

akan dilaksanakan, kemudian hasuhuton menjelaskan secara rinci hal-hal yang

akan dilakukan selama pesta berlangsung. Tetapi pada pesta Horja ini, tradisi

lama yang tersebut di atas tidak dilakukan lagi secara utuh, karena keluarga ini

(hasuhuton ini) sudah menganut agama Kristen pada umumnya.

Pada akhir acara pesta Horja ini hasuhuton hanya memberikan napuran

tiar (sirih yang melambangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pesta

sudah berhasil dan berjalan baik tanpa kurang suatu apapun).

4.3.3 Maniti Ari

Maniti ari adalah menentukan waktu penyelenggaraan pesta Horja.

Hasuhuton melihat dari kesediaan semua keturunan dari Ompu Uluan Gultom ini.

Kegiatan ini sudah direncanakan sejak tahun 2009 yang lalu, tujuannya supaya

seluruh keturunannya dapat mengumpulkan uang untuk pulang kampung dan

Universitas Sumatera Utara

mengumpulkan toktok ripe (partisipasi dana dari setiap masing-masing keluarga

dan besarnya ditentukan dalam rapat musyawarah oleh keluarga yang tinggal di

kampung dan yang ada di perantauan).

Melihat dari segi penanggalan masyarakat Batak bahwa penanggalan

ganjil itu merupakan penanggalan yang baik, maka dari itu pesta Horja ini

dilangsungkan dari tanggal 7 Juli 2011 sampai dengan 10 Juli 2011 di Desa Rahut

Bosi, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. Panitia memilih

tanggal dan bulan ini adalah karena pada saat itu bertepatan sekolah masih dalam

keadaan libur (artinya anak-anak tidak akan terganggu masa belajarnya meskipun

anak-anak tidak diikutsertakan dalam pesta ini).

Pada saat itu pula, keluarga di kampung habis panen (artinya ada hasil

yang akan dipergunakan sebagai makanan pada acara pesta) dan bila habis panen

masyarakat belum mulai bekerja ataupun belum mulai menanam padi kembali dan

ada waktu luang untuk menyelenggarakan pesta tersebut. Bila dilihat secara

kekristenan yang tertulis dalam buku Almanak Gereja Kristen Protestan Indonesia

bahwa tanggal 7 Juli 2011 itu memiliki makna atau berisikan ayat Alkitab yang

tertulis dalam Amsal 16 ayat 3 Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka

terlaksanalah segala rencanamu.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi pedoman bagi panitia (hasuhuton) untuk

menentukan waktu penyelenggaraan pesta Horja tersebut.

Universitas Sumatera Utara

4.3.4 Menentukan Tempat

Menurut hasil musyawarah keluarga, bahwa tempat yang tepat untuk

mengadakan pesta Horja ini adalah di tengah-tengah kampung marga Gultom

yang di Desa Rahut Bosi. Rumah hasuhuton adalah yang ditempati Juara

Gultom/istri Boru Panjaitan (Ama Dewi), dan areal tempat manortor seluruh yang

hadir tepat di depan rumah hasuhuton tersebut. Hal ini juga dikarenakan

tugu/kuburan yang akan dipestakan berada tepat di ujung areal pemukiman

penduduk mengarah ke tombak (hutan kemenyaan) yang ada di kampung tersebut.

4.4 Tortor yang Disajikan Pada Saat Penyelenggaraan Pesta Horja

Tortor yang disajikan atau dilakukan pada saat pesta Horja pada umumnya

adalah tortor Sipitu Gondang, yang terdiri dari: Tortor Mula-mula, Tortor Somba,

Tortor Mangaliat/Siuk-siuk, Tortor Sampur Marorot/Sampur Marmeme, Tortor

Sibane-bane, Tortor Simonang-monang dan Tortor Hasahatan/Sitiotio.

Dalam pesta Horja, aktivitas manortor diiringi Gondang Sabangunan.

Karena kegiatan ini merupakan upacara adat yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba.

Secara totalitas Tortor Sipitu Gondang dalam pesta Horja ini senantiasa

diiringi Gondang Sabangunan karena kegiatan ini merupakan upacara adat yang

harus dilaksanakan secara adat. Dalam mengawali acara, tuan rumah (hasuhuton)

mengadakan acara Mangido tuani gondang dan menarikan Tortor Sipitu Gondang

tersebut. Setelah itu, hasuhuton (tuan rumah) balik kanan (membelakangi rumah

hasuhuton) untuk hadir dalam acara tersebut. Setelah hula-hula datang menjumpai

Universitas Sumatera Utara

hasuhuton sambil manortor membawa ulos dan uang yang diselipkan di sebatang

bambu dan disambut hasuhuton sesuai dengan hula-hulanya masing-masing.

Kemudian setelah sampai tempat, ulos dan uang tadi diserahkan kepada boru ni

hasuhuton (pihak boru dari tuan rumah). Setelah itu dimulailah maminta gondang,

oleh hula-hula yang datang lalu dimulailah acara panortorion.

Dimulai dari Tortor Mula-mula, Tortor Somba, Tortor Mangaliat, Tortor

Sibane-bane, Tortor Saudara/Parsaoran, Tortor Simonang-monang dan Tortor

Hasahatan Sitio-tio. Tortor mula-mula diiringi gondang mula-mula, tortor somba

diiringi gondang somba, tortor mangaliat diiringi gondang mangaliat/liat-liat,

tortor sampur marorot/sampur marmeme diiringi gondang sampur

marorot/gondang sampur marmeme, tortor sibane-bane diiringi gondang sibane-

bane, tortor simonang-monang diiringi gondang simonang-monang dan tortor

hasahatan/sitiotio diiringi gondang hasahatan sitio-tio. Biasanya bila banyak

waktu, tamu yang manortor akan meminta gondang di tengah-tengah atau

sebelum hasahatan sitiotio, berupa tortor hiburan misalnya tortor husip-husip

yang diiringi gondang husip-husip ataupun tortor yang lainnya yang sifatnya

hiburan.

4.5 Penentuan Judul Tortor dan Hubungannya Dengan Pihak yang

Manortor

Aktivitas tortor dilakukan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam unsur

Dalihan Na Tolu. Hari pertama tortor hasuhuton bolon mengawali acara dalam

mambuat tuani gondang adalah tortor yang dilakukan oleh pihak penyelenggara

Universitas Sumatera Utara

pesta (keturunan Ompu Uluan Gultom). Kemudian tortor yang dilakukan suhut

paidua (keturunan dari Ompu Honni Gultom, Ompu Tarianus Gultom, Ompu Rani

Gultom, Ompu Soaduon Gultom) yang merupakan saudara sekandung dari Ompu

Uluan Gultom. Berikutnya adalah manortor panambolo dohot sijalosoit

(keturunan Ompu Humala, Ompu Ambe, Ompu Pandaman, Ompu Ria). Manortor

bonaniari (Panjaitan dan Pasaribu). Panjaitan adalah Suhut dari Ompu Gonsang

dan Pasaribu adalah Tulang Ni Nahinorjahon (paman yang dipestakan). Manortor

hula-hula ninahinorjahon yaitu Bona tulang (Pasaribu) dan Bonaniari

(Panjaitan). Ditutup dengan tortor hasuhuton bolon.

Hari kedua pagi harinya Mambuat Tuani Gondang keluarga Hasuhuton

Bolon. Kemudian manortor semua urutan keturunan dari anak paling besar

sampai yang paling bungsu. Dipanggillah semua hula-hula dari anak dan cucu

yang dipestakan. Kemudian yang terakhir adalah tortor hasuhuton. Hari ketiga

diawali dengan tortor hasuhuton (mambuat tuani gondang). Dilanjutkan manortor

hahaanggi suhut paidua (saudara dari abang/adik dari yang dipestakan yaitu

Ompu Uluan Gultom). Kemudian manortor panamboli/Sijalosoit, hula-hula

nasonaro. Manortor boruni Suhut apidua (bere, ibebere), manortor ale-ale dohot

huria nadi Rahut bosi. Manortor Muspida dohot Dinas Jabatan Kecamatan

Pangaribuan, kemudian Manortor Boru ni Hasuhuton Bolon, Boru dohot ibebere.

Manortor Partuaek/Naposo Bulung (muda-mudi), kemudian manortor Haha

anggi dohot Harajaon (saudara abang adik dan pengetua adat). Kemudian

manortor Bonani ari nami, ditutup manortor Suhut (Panakkok Tuani Gondang).

Secara keseluruhan tortor yang disajikan adalah tortor Sipitu gondang dari tortor

Universitas Sumatera Utara

mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat/siuk-siuk, tortor sampur

marorot/samput marmeme, tortor sibane-bane, tortor simonangmonang, tortor

hasahatan/sitiotio.

4.6 Hubungan Tortor Dengan Gondang Sebagai Musik Pengiring

Tortor dan gondang sebagai musik pengiring tidak dapat dipisahkan.

Tortor dilakukan pada saat gondang dimainkan, dan gerakannya dimulai dengan

mendengarkan melodi Sarune (alat musik tiup dalam ensambel Gondang

Sabangunan sebagai pembawa melodi).

Pengertian gondang15

Istilah gondang bagi masyarakat Batak Tobamemiliki beberapa pengertian

di samping sebagai kata yang berdiri sendiri maupun kata majemuk (berimbuhan

sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak.

Gondang Batak sering diidentikkan dengan Gondang Sabangunan atau Ogung

Sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan Taganing (salah satu

alat musik yang terdapat di dalam Gondang Sabangunan). Hal ini berarti memberi

kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu

hanyalah Gondang Sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain,

yaitu: Gondang Hasapi tidak termasuk Gondang Batak. Padahal sebenarnya

Gondang Hasapi juga adalah Gondang Batak, akan tetapi istilah Gondang Hasapi

lebih dikenal dengan istilah Uning-uningan daripada Gondang Batak.

15 Pada tradisi musik Toba, kata gondang (secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai: (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (Pasaribu 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah, 1990).

Universitas Sumatera Utara

atau diikuti kata lain) dan sebagai kata-kata yang dipakai dalam kehidupan sehari-

hari di luar peristiwa musikal. Istilah gondang dapat berarti:

1) Seperangkat alat musik yang disebut tataganing atau gondang Batak

2) Alat musik gendang yang disebut taganing

3) Ensambel musik, yaitu gondang sabangunan dan gondang hasapi

4) Komposisi atau lagu

5) Beberapa komposisi lagu yang termasuk “satu keluarga” gondang

berdasarkan perbedaan kecepatan atau irama lagu

6) Suatu repertoar misalnya sipitu gondang dan panjujuran gondang

7) Nama upacara seperti gondang mandudu, gondang saoan, dan

8) Nama bagian dari upacara atau tingkatan kekerabatan, misalnya gondang

datu, pengurason, gondang hula-hula atau gondang nihasuhuton (Hutasuhut,

1990:3-7).

Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni

Gondang Sabangunan (Gondang Bolon) dan Gondang Hasapi (Uning-uningan).

Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi adalah dua jenis ensambel musik

yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis

ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di

dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara

seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan

menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini.

Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai

sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan

pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat

dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua.

Misalnya: Gondang si Bunga Jambu, Gondang si Boru Mauliate dan sebagainya.

Kata si Bunga Jambu, si Boru Mauliate dan Malim menunjukkan sebuah

komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri.

Berbeda dengan Gondang Somba, Gondang Didang-Didang dan Gondang

Elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian

komposisi, namun kata somba,didang-didang dan elek-elek memiliki pengertian

yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa

komposisi yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di

atas, yang merupakan ”satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga

gondang”, memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan

fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara

dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: Gondang

Debata (termasuk di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sori,

Bana Bulan, dan Mulajadi); Gondang Sahala dan Gondang Habonaran.

Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. Si pitu

Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang pargonsi (baca pargocci)16

16Pargonsi: sebutan kepada semua pemain ensambel gondang sabangunan dalam tradisi Batak Toba.

atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan

lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan

aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari

keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis

bagian apa saja yang terdapat pada si pitu gondang tampaknya cukup rumit juga

umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si

pitu gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan

secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh

ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam

jumlah bilangan ganjil, misalnya: satu, tiga, lima, tujuh).

Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya

gondang Mandudu (“upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (“upacara

ritual”). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana

kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial

tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya: gondang Suhut,

gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya Jika dikatakan

gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk

meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari

bersama kelompok kekerabatan lain yang diinginkannya. Demikian juga Boru,

artinya yang mendapat kesempatan untuk menari adalah pihak boru, gondang

datu, artinya yang meminta gondang dan menari dilakukan seorang datu (dukun)

dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk

menari. Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang

lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang

Sadari Saborngin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas

Universitas Sumatera Utara

margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam. Dengan demikian,

pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi

beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. Pengertian gondang sebagai suatu

ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiringi jalannya

upacara. Upacara keagamaan maupun upacara adat adalah gambaran dari adat

yang menuntun seluruh kehidupan Batak Toba (Manik, 1997:67).

Setiap pelaksanaan upacara keagamaan, upacara adat maupun hiburan

yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, selalu menggunakan

gondang sebagai musik pengiringnya. Aktivitas gondang disebut dengan

margondang dan aktivitas tortor disebut manortor.

Margondang dan manortor ini dilaksanakan hampir di setiap aspek

kehidupan masyarakat Batak Toba. Hutasoit (1976:9) mengatakan:

“Dipamasa do gondang i siala:

- Pesta

- Sibaran

- Mamele

Ia namasuk tu pesta

(I) Ima akka las ni ro ha:

1. Gondang tunggal;

2. Anak tubu;

3. Mamestahon jabu;

4. Manampe goar;

5. Mamestahon huta;

Universitas Sumatera Utara

6. Partangiangan;

7. Harajaon;

(II) (Ia namasuk Sibaran) ima akka dokdok ni ro ha:

1. Papurpur Sapata;

2. Margondang akka na dangol;

3. Namonding;

(III) (Ia namasuk) Mamele ima akka na porsea tu haporseaon najolo

1. Mamele sumangot;

2. Mangongkal holi;

3. Mamele Pangulu balang;

4. Marmiak hoda;

5. Horbo Santi.”

(Artinya, bahwa kegiatan Margondang dilaksanakan karena

- Pesta

- Kesedihan

- Membuat sesajen untuk menyembah roh-roh

Yang termasuk ke dalam (I) Pesta adalah yang berhubungan dengan kegembiraan:

1. Pesta muda-mudi yang diadakan pada malam hari;

2. Pesta kelahiran anak;

3. Pesta memasuki rumah baru;

4. Pesta pemberian nama kepada anak;

5. Pesta peresmian kampung baru;

6. Pesta syukuran dalam suatu keluarga yang meningkat taraf hidupnya;

Universitas Sumatera Utara

7. Pesta pengangkatan raja/pemimpin kampung.

Yang termasuk ke dalam (II) Sibaran adalah yang berhubungan dengan kesedihan:

1. Upacara menebus dosa;

2. Upacara yang dilakukan sebagai permohonan supaya lepas dari kemiskinan

dan penderitaan;

3. Upacara dalam kematian.

Yang termasuk ke dalam (III) Mamele adalah upacara yang berhubungan dengan

kepercayaan leluhur atau nenek moyang:

1. Upacara memberi sesajen dan memanggil roh nenek moyang

2. Upacara penggalian tulang belulang leluhur

3. Upacara untuk menghindarkan bencana

4. Upacara mengelus/meminyaki kuda tujuannya dalam mengambil suatu

keputusan

5. Upacara pemberian sesajen (sajian) yaitu kerbau.

Dalam segala aktivitas tersebut gondang akan seiring dengan tortor seiring

dengan tortor. Reportoar lagu yang dibawakan pun adalah sama dengan nama

tortor yang ditarikan. Misalnya yang diminta atau dilakukan tortor mula-mula,

maka yang dimainkan adalah gondang mula-mula, bila ditarikan tortor somba,

maka yang dibunyikan adalah gonda somba demikian seterusnya.

Tortor tidak akan berlangsung tanpa iringan Gondang (meskipun ada

beberapa lagu gondang yang dimainkan tanpa tortor, ini merupakan gondang

yang dibunyikan sebagai doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu sebagai

pembuka upacara/acara/mengawali acara dan tidak boleh ditarikan atau

Universitas Sumatera Utara

ditortorkan). Akan tetapi itu hanya merupakan gondang mengawali dimulainya

upacara/acara yang disebut gondang Alu-alu tu Amanta Debata, Alu-alu tu

siloloan natorop, Alu-alu tu harajaon.

Gerakan wanita: Dalam hitungan yang dilakukan pada setiap gerakan

dapat dihitung x 8 (delapan) ketukan. Pada saat pergantian gerakan dilihat melalui

ketukan gong (ogung oloan), sebagai pembawa ritmis dasarnya hitungannya 2 x

bunyi ogung oloan tadi (hesek). Dalam pergantian gerakan pertama yang dimulai

dari tangan dibutuha (tangan di perut) hitungannya adalah 1 x 8 (terhitung sejak

sarune berbunyi) meskipun hal ini tidak mutlak dalam 1 x 8 hitungan bisa saja

menjadi 2 x 8 hitungan. Setelah gerakan tangan dibutuha (yang dilakukan sambil

mangurdot) dalam hitungan 2 x 8 atau 1 x 8 dimulailah gerakan marsantabi

diparateatean (gerakan menyembah). Gerakan ini dihitung sebanyak 3 x 8 atau 2

x 8. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan membuka tangan (bukka tangan).

Pada saat bukka tangan ini mangurdot di tempat 1 x 8 hitungan dilanjutkan

dengan gerakan ampe diabara sebanyak 1 x 8 hitungan juga dan bergerak ke

kanan 1 x 4 hitungan kembali ke posisi semula 1 x 4 hitungan kemudian ke kiri 1

x 4 hitungan dan kembali ke posisi semula 1 x 4 hitungan. Setelah itu gerakan

udur juruk tu jolo sebanyak 3 x 8 hitungan dilanjutkan dengan gerakan margolom-

golom masak dengan hitungan 3 x 8 (1 x 8 hitungan ditarik dari kanan, 1 x 8

hitungan ditarik dari kiri dan 1 x 8 ditarik dari kanan kembali). Setelah itu

dilanjutkan kembali kepada gerakan semula yaitu marsantabi diparateatean.

Demikian gerakan ini seterusnya diulang-ulang sampai hitungan 3 x hitung dari

keseluruhan gerakan. Kemudian terakhir gerakan tangan dibutuha (tangan di

Universitas Sumatera Utara

perut) yang menandakan gerakan tortor telah selesai dan salah seorang pemimpin

tortor melambaikan tangannya kepada pemain musik (pargonsi). Dengan

demikian selesailah repertoar gondang ditarikan.

Gerakan laki-laki: Dimulai dengan bagian pertama tangan dibutuha dalam

hitungan 2 x 8, kemudian gerakan mangaot-aothon tabina sebanyak 3 x 8

hitungan, dilanjutkan dengan gerakan marsantabi dibohina juga dengan 3 x 8

hitungan. Setelah itu dilanjutkan dengan marnaek mijur huhut talak (tangan

bergerak-gerak ke samping atau sisi badan bergantian). Kemudian tangan

diturunkan sebanyak 2 x 8 hitungan dan dilanjutkan dengan tangan diayun (2 x 8

hitungan dan diayun kembali sebanyak 2 x 8 hitungan) setelah itu kembali ke

gerakan semula yaitu pada gerakan mangaot-aothon tabina (yang berakhir dengan

gerakan tangan dibutuha).

Universitas Sumatera Utara

Hubungan Gerakan Tortor Dengan Gondang Sabangunan (Gondang Sibane-bane)

Pembukaan :

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Taganing

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 1

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Notasi 2

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 3

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Notasi 4 Notasi 5

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 6

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 7

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 8

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 9

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 10 Notasi 11 Notasi 12

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Notasi 13

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Notasi 14 Notasi 15

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 16

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 17

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 18

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 19

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Notasi 20

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

Notasi 21

Sarune

Hesek

Gordang

Doal

Universitas Sumatera Utara

4.7 Tortor Sipitu Gondang Dalam Pesta Horja

Tortor Sipitu Gondang dalam pesta Horja ini adalah tortor yang lazim

dilakukan pada setiap kegiatan upacara maupun adat dalam kehidupan masyarakat

Batak Toba. Tortor Sipitu Gondang ini senantiasa dilakukan dalam setiap

memulai acara.

Universitas Sumatera Utara

4.7.1 Tortor Mula-mula

Tortor Mula-mula artinya tortor yang dilakukan dalam memulai atau

mengawali aktivitas manortor dalam suatu acara. Dalam pesta Horja ini Tortor

Mula-mula adalah tortor pembukaan yang artinya berisi permohonan kepada

Tuhan supaya segala sesuatu dapat berjalan baik dan lancar. Tortor Mula-mula

juga berarti bahwa manusia percaya bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan

baik akan berakhir dengan kebaikan pula, marmula na uli marmula na denggan.

Manusia juga percaya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada

kekuatan yang menciptakan yang disebut Debata Mula Jadi Na Bolon, dan semua

hal itu akan mendatangkan tuah dan berkat bagi penyelenggara pesta (hasuhuton).

Gerakan Tortor Mula-mula ini diawali dengan gerakan mangurdot (gerakan lutut

yang ditekuk lembut dan ditarik perlahan berulang-ulang), kemudian setelah

diawali bunyi gondang, lalu diikuti suara melodi sarune dan saat itulah dimulai

gerakan tangan seperti menyembah dan dirapatkan di depan dada. Pada Tortor

Mula-mula ini gerakan pria dan wanita adalah sama. Biasanya gerakan ini

dilakukan dengan hitungan 3 x 8 hitungan atau 4 x8 hitungan. Kemudian kedua

tangan diturunkan dan diposisikan di perut (menutup tangan).

Gerakan panortor menentukan berhentinya bunyi gondang, karena apabila

panortor menutup tangan di perut menandakan gerakan tortor telah selesai

dilakukan dan otomatis pemain gondang akan menghentikan permainannya dan

biasanya diikuti dengan gerakan melambaikan tangan oleh paminta gondang

(yang meminta lagu gondang dibunyikan). Lambaian tangan itu atau mengangkat

Universitas Sumatera Utara

tangan itu pemberitahuan bahwa tortor telah selesai. Kemudian paminta gondang

meminta kembali musik (gondang) dimainkan dan gerakan tortor pun kembali

dilakukan.

4.7.2 Tortor Somba

Tortor Somba dilakukan untuk menyembah Tuhan (Debata Mula Jadi Na

Bolon), Harajaon (Pengetua adat), seluruh yang hadir di tempat pesta Horja

(siloloan natorop). Posisi tangan menyembah sejajar dengan kening (menyembah

Tuhan), kemudian bergerak berputar di tempat sambil menurunkan posisi tangan

agak di depan dada (tujuannya untuk meminta restu dari seluruh yang hadir dalam

pesta tersebut).

4.7.3 Tortor Mangaliat/Siuk-siuk

Tortor ini dilakukan untuk menghormati dan menyayangi sesama manusia

dan unsur gerakan tortornya jelas terlihat dalam wujud sistem kekerabatan

Dalihan Na Tolu. Hasuhuton manortor berkeliling menyapa hula-hula dengan

mengambil ulos dari pundaknya dan dikenakan ke bahu hula-hula dan menyapa

boru dengan memegang dagu boru, demikian seterusnya berkeliling, kemudian

bergantian pihak boru datang manortor berkeliling menyembah hula-hulanya,

kemudian hula-hula memegang kepala boru yang artinya hula-hula memberkati

borunya.

Universitas Sumatera Utara

4.7.4 Tortor Sibane-bane

Tortor ini mengandung makna doa permohonan kedamaian. Kedamaian

artinya antara sesama keluarga, sesama yang bersaudara dalam satu garis

keturunan maupun terhadap para tamu atau undangan yang hadir. Gerakannya

lebih bebas tangan digerakkan ke atas bahu, turun ke bawah kemudian

melenggang lincah (embas) karena tortor ini melambangkan kegembiraan. Para

tamu membawa batang bambu yang diselipkan uang di antara buluh-buluh

bambunya, kemudian dihentak-hentakkan ke atas sambil berjalan berkeliling

sambil hasuhuton manortor dan di akhir bunyi gondang pihak undangan

menyerahkan uang yang diselipkan di bambu kepada panitia (bere dari

hasuhuton).

4.7.5 Tortor Saudara/Parsaoran

Tortor ini melambangkan persaudaraan atau kekerabatan yang baik dalam

Dalihan Na Tolu. Tortor ini dapat dikatakan juga sebagai tortor parsaroan yang

artinya semua keluarga yang belum saling mengenal akan (marsaor) atau

bergabung dan menyatu dengan semua peserta tortor.

Tortor ini mengharapkan kehidupan yang damai, tidak ada perselisihan

dan doa permohonan mengharapkan kemakmuran. Gerakan tortor ini lebih bebas,

ada yang mengajak sesama adik kakak (haha-anggi) manortor, tetapi tetap harus

diperhatikan dengan siapa dia boleh manortor dan dengan siapa yang tidak boleh

(pantang) atau tokka. Tangan melambai-lambai dalam gerakan marembas.

Universitas Sumatera Utara

4.7.6 Tortor Simonang-monang

Tortor ini melambangkan doa permohonan kemenangan dan gerakannya

lebih lincah dan gembira. Pepatah mengatakan “Talu maralo musu, monang

maralohon dongan”. Kira-kira artinya kalah melawan musuh, menang melawan

teman. Artinya permusuhan itu akan berakhir dengan mengalah lebih dahulu.

4.7.7 Tortor Hasahatan-Sitiotio

Tortor Hasahatan adalah doa pengharapan kepada Tuhan dan seluruh

yang hadir bahwa semua permohonan yang disampaikan dan diharapkan akan

terkabul. Hasahatan artinya sampai pada tujuan yang diharapkan, sedangkan

Sitiotio artinya “bening” atau jernih, jelas dan terang (segala sesuatu yang

dikerjakan atau yang diminta akan berhasil dengan baik sesuai yang diharapkan).

Tortor Hasahatan-Sitiotio disatukan di akhir permintaan membunyikan

gondang. Posisi tangan dirapatkan seperti menyembah di depan dada kemudian

ujung ulos dipegang dan dikibaskan sebanyak tiga kali sambil menyerukan horas

tiga kali. Itulah akhir dari aktifitas manortor setiap undangan yang hadir.

4.8 Mangido Tuani Gondang

Dalam pesta Horja, mangido tuani gondang dilakukan tiga kali selama

tiga hari acara dilaksanakan. Mangido tuani gondang dilakukan setiap pagi

sebelum acara dimulai. Mangido tuani gondang pada hari pertama acara

dilakukan setelah memberitahu kepada seluruh peserta upacara tentang tujuan

Universitas Sumatera Utara

pesta, menyebutkan nama pesta (pesta Horja), kemudian mengumumkan dan

menceritakan silsilah kekeluargaan orang tua yang dipestakan atau dihorjakan.

Pada pesta Horja ini ditunjuklah seorang cucu (pahompu) laki-laki dari

yang dihorjakan, namanya adalah Ernis Gultom. Mambuat tuani gondang oleh

hasuhuton adalah untuk meminta/menerima berkat dari Tuhan (Debata dan roh

nenek moyang/leluhur) yang disampaikan melalui tortor dan bunyi gondang.

Gondang yang diminta dalam acara ini pertama sekali adalah gondang

alu-alu tu Amanta Debata (yaitu doa memohon izin dan pemberitahuan kepada

Tuhan bahwa acara pesta Horja akan dimulai oleh pihak hasuhuton). Setelah itu

gondang alu-alu tu Sahala ni Amanta Raja (permohonan izin dan pemberitahuan

kepada Raja-raja), dan gondang alu-alu tu Siloloan Natorop (doa permohonan

izin kepada seluruh peserta yang hadir dalam pesta Horja), yang terakhir adalah

gondang alu-alu tu hasahatannai (permohonan izin kepada Mula Jadi Na Bolon

dan roh-roh leluhur atau Sumangot Ni Da Ompung). Semua doa permohonan ini

diminta kepada Tuhan dan sesama manusia dan hal ini menandakan sikap

menghargai dan menghormatu yang sesuai dalam sistem kekerabatan Dalihan Na

Tolu. Pada saat gondang alu-alu ini dimainkan hasuhuton belum boleh manortor,

karena gondang ini merupakan doa permohonan dan pemberitahuan kepada

Tuhan, manusia dan leluhur. Sikap diam dan tenang menunjukkan penghargaan

dan penghormatan kepada Tuhan, manusia dan leluhur. Setelah gondang alu-alu,

maka hasuhuton meminta gondang sipitu gondang dan mulailah hasuhuton

manortor.

Universitas Sumatera Utara

Gondang sipitu gondang tersebut adalah gondang mula-mula (doa

memulai acara), gondang somba (doa menyembah kepada Tuhan dan manusia),

gondang mangaliat (gondang siuk-siuk) yaitu gerakan berkeliling yang

menunjukkan penghormatan kepada sesama sesuai dalam unsur Dalihan Na Tolu,

gondang sampur marmeme atau sampur marorot (doa permohonan mengharapkan

mempunyai banyak keturunan), gondang sibane-bane (doa permohonan

kedamaian), gondang simonang-monang (doa permohonan kemenangan),

gondang hasahatan sitio-tio (doa permohonan dan pengharapan supaya segala

sesuatu yang diminta akan terkabul).

4.9 Pantun (Umpasa) Dalam Maminta Gondang

Umpasa adalah suatu bentuk pantun sastra yang lebih terasa berkesan

religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan

berkat. Dalam maminta gondang banyak petuah-petuah dan nasehat-nasehat yang

diserukan dalam bentuk pantun.

- Tortor Mula-mula

Paminta gondang akan menyerukan:

Amang panggual pargocci nami! (Para pemain musik!)

(Disahuti pemain gondang dengan membunyikan gondang beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Na nialap manogot tinaruhon botari, parindahan na suksuk parlompan

natabo nuaeng pe di son Amang pande nami partarias namalo, marmula jadi

marmula tompa, marmula denggan marmula horas.

Universitas Sumatera Utara

Baen damang ma jo gondang mula – mulai baen damang ma!

Artinya:

Bapak pemain musik kami!

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Yang dijemput pagi hari dan diantar pulang di sore hari,

Yang mempunyai nasi lezat dan lauk yang enak. Sekarang di sini Bapak kami

yang pintar!

Pemain musik yang pandai,

Asal mula dunia ini adalah dimulai dari penciptaan,

Bermula baik bermula horas (baik)

Bunyikanlah “Gondang mula-mula”

Bunyikanlah wahai Bapak!

Setelah manortor mula-mula, berhenti sejenak kemudian dilanjutkan dengan,

- Tortor Somba

Paminta gondang akan menyerukan!

Nuaeng pe amang pargocci nami,

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Asa marsomba hami tu Amanta Mula Jadi Nabolon na tumompa langit dohot

tano dohot nasa isina. Jala asa marsomba hami tu akka harajaon na adong

Universitas Sumatera Utara

dihuta on, dohot tu siloloan na torop dohot rajani hula-hula nami baen

damang majo gondang sombai baen damang ma.

Artinya:

Di sini sekarang Bapak pemain musik kami!

Supaya kami menyembah Tuhan Pencipta Alam Semesta yang menciptakan

langit dan bumi serta isinya.

Dan supaya kami menyembah kepada pengetua adat yang ada di kampung ini,

seluruh yang hadir dalam acara ini, kemudian kepada ‘hula-hula’ kami.

Bunyikanlah “Gondang Somba”

Bunyikanlah!

Setelah manortor somba, kemudian berhenti sejenak dan dilanjutkan dengan,

- Tortor Mangaliat/Siuk-siuk

Paminta gondang menyerukan!

Amang panggual pargocci nami

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Di son ro do hami hasuhuton, naeng manortor mangaliat jala maniuk akka

boru dohot bere nami, asa liat parhorasan liat panggabean.

Baen damang ma gondang liat liati, asa mangaliat hami di tonga ni

alamanon.

Baen damang ma!

Artinya:

Universitas Sumatera Utara

Wahai Bapak pemain musik kami!

Di sini kami sebagai tuan rumah ingin menari berkeliling, menyapa dan

menyayang semua keturunan kami, supaya tercapai segala kebaikan dan

keberhasilan masa depan.

Bunyikanlah gondang liat-liat, supaya kami berkeliling di tengah-tengah

halaman ini.

Bunyikanlah wahai Bapak.

Setelah tortor mangaliat/siuk-siuk berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan

dengan,

- Tortor Sibane-bane

Paminta gondang menyerukan!

Amang panggual pargocci nami,

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Di son pungu do hami sude naeng manortor mangidohon asa marmade hami

sude na mar keluarga, namar haha maranggi, dohot sude siloloan natorop na

adong di ingananon saluhutna sude.

Baen damang majo gondang sibane-banei, asa mardame hami sude na adong

di son.

Baen damang ma!

Artinya:

Bapak pemain musik kami!

Universitas Sumatera Utara

Di sini kami berkumpul semua ingin menari, meminta supaya datanglah

kedamaian bagi kami semua yang berkeluarga, berkakak adik, dan semua

yang hadir di sini.

Bunyikanlah ‘Gondang Sibane-bane’,

Supaya kami semua berdamai yang ada di tempat ini.

Bunyikanlah wahai Bapak!

Setelah tortor sibane-bane, kemudian berhenti sejenak, dan dilanjutkan

dengan,

- Tortor Saudara/Parsaoran

Paminta gondang menyerukan!

Amang panggual pargocci nami,

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Nunga pungu hami na sa ripe di son akka nasaroha, sisada pikkiran, sisada

Ompu mangidohon tu amanta pardenggan basai asa dilehon akka nasa

hahipason, hadameon, parsaoran nauli di hami na sa Ompu dohot tu

harajaon dohot siloloan natorop na mangingani hutaon.

Jala asa lam tamba akka paccamotan, asa gabe mardame-dame hami sude na

di luat parserahan nang dohot akka na dihutaon.

Baen damang ma gondang saudarai asa marsaor hami sude na adong

diingananon.

Baen damang ma!

Universitas Sumatera Utara

Artinya:

Bapak pemain musik kami!

Kami sekeluarga sudah berkumpul di sini sehati, sepikirm satu garis keturunan

meminta kepada Tuhan Yang Maha Baik, supaya diberikan kepada kita

kesehatan, kedamaian, persaudaraan dan kebersamaan yang baik, baik kami

yang satu keturunan dan kepada pengetua-pengetua adat dan seluruh yang

hadir di tempat ini dan menempati kampung ini.

Dan supaya makin ditambahi Tuhan pencaharian dan penghasilan yang baik,

berdamai kami sekeluarga yang di perantauan dan yang tinggal di kampung

ini.

Bunyikanlah ‘Gondang Saudara’ supaya berbaur kami sekeluarga yang

mungkin sudah lama tidak ketemu!

Bunyikanlah wahai Bapak!

Setelah tortor saudara/parsaoran, berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan

dengan,

- Tortor Simonang-monang

Paminta gondang menyerukan!

Amang panggual pargocci nami,

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Gala di gala bulu, panggalaan nibonang, molo naeng monang maralohon

musu, jolo talu ma marolohon dongan nuaeng pe amang pande nami, asa

Universitas Sumatera Utara

monang hita saluhutna, di sude akka ulaonta, baen damang majo gondang

simonang-monangi.

Baen damang ma!

Artinya:

Bapak pemain musik kami!

Galah terbuat dari bambu, tempat menyangkutkan benang kalau mau menang

melawan musuh harus kalah terlebih dahulu melawan teman.

Sekarang pun, Bapak pemain musik kami yang pandai,

Supaya kita menang seluruhnya di segala pekerjaan yang kita lakukan,

Bunyikanlah ‘Gondang Simonang-monang’,

Bunyikanlah wahai Bapak!

Setelah tortor simonang-monang, berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan

dengan,

- Tortor Hasahatan/Sitio-tio

Paminta gondang menyerukan!

Amang panggual pargocci nami,

(Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul

beberapa kali)

Dilanjutkan paminta gondang berkata,

Eme si tamba tua perlinggoman ni si borok, Debata do silehon tua, horas ma

hamu diparorot.

Sahat-sahat ni solu sahat ma tu bontean.

Sahat ma hamu leleng mangolu, sahat tu parhorasan dohot tu panggabean.

Universitas Sumatera Utara

Nuaeng pe amang pargocci nami

Mungga sahat sude nauli sahat sude na denggan jala tio akka na niula horas

sude hami namangulahon.

Alami amang, baen damang ma gondang hasahatoni, laos padomu damang

ma tu sitio-tio i, anggiat sahat akka na tio akka na uli jala na denggan.

Baen damangma!

Artinya:

Bapak pemain musik kami!

Padi yang menguning tempat berlindung burung si borok.

Tuhan pemberi tuah, sejahteralah kita dijaga-Nya.

Sampailah sampan ke labuhan, sampailah kami panjang umur, sampai sehat

selamat sejahtera dan berhasil ke masa depan.

Sekarang Bapak pemain musik kami!

Sudah sampai semua yang baik sampai semua yang sejahtera dan bening serta

jernih segala hal yang sudah kita kerjakan dan kita semua yang mengerjakan.

Karena itu, wahai Bapak!

Bunyikanlah ‘Gondang Hasahatan’ dan gabungkanlah dengan ‘Gondang

Sitio-tio’, semoga sampai semua yang bening dan jernih segala yang baik dan

sejahtera sentosa.

Bunyikanlah wahai Bapak!

Setelah tortor hasahatan/sitio-tio, maka berakhirlah satu urutan panortorion

dari satu undangan atau hadirin.

Universitas Sumatera Utara

BAB V

STRUKTUR DAN MAKNA PENYAJIAN TORTOR SI PITU GONDANG

Pada bab ini penulis akan membahas tentang struktur, makna, motif,

makna gerak dasar dalam Tortor, aturan-aturan dalam gerakan Tortor, danskrip

Tortor dalam Pesta Horja, pola lantai dalam Tortor maupun busana yang dipakai

dalam Tortor.

5.1 Struktur dan Makna

Struktur adalah suatu bangunan yang terdiri dari bahagian-bahagian yang

lebih kecil, dan yang membentuk satu kesatuan. Struktur seni diwujudkan dalam

dimensi ruang dan waktu. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide

transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978:16). Pertama, struktur

merupakan keseluruhan yang bulat yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak

dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gaya

transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu

melakukan proses transformasional dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan

melalui prosedur itu. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri dan setiap unsur

mempunyai fungsi berdasarkan letaknya.

Analisis struktural dalam Tortor adalah penyajian yang tidak dapat

terlepas dari segala unsur maknanya. Di dalam struktur penyajian Tortor terdapat

motif dan makna gerak dasar, kemudian aturan-aturan dalam gerak, danskrip

tortor, pola lantai maupun busana yang dipakai dalam Tortor.

Universitas Sumatera Utara

Makna adalah hal-hal yang dapat diketahui tujuannya melalui yang hendak

disampaikan kepada orang lain. Seni yang bermutu adalah seni yang memberikan

pengalaman estetik, pengalaman emosi, pengalaman keindahan, atau pengalaman

seni yang khas milik dirinya. C. Bel dalam Sumardjo (2000:124) menanamkan

kualitas seni yang demikian itu sebagai significant form (bentuk bermakna). De

Saussure dalam Hoed (2008:3-4) mengungkapkan “hubungan antara bentuk dan

makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yakni didasari oleh kesepakatan

(konversi) sosial.

5.2 Motif dan Makna Gerak Dasar Dalam Tortor

Tortor mempunyai perbedaan dalam setiap konteks penggunaannya dalam

kehidupan masyarakat Batak Toba. Tetapi bentuk gerakannya adalah sasma dan

sudah baku pada setiap Tortor yang ditarikan. Dalam aktivitas Tortor setiap

gerakannya mempunyai makna yang senantiasa berhubungan dengan sistem

kekerabatan Dalihan Na Tolu. Gerakan Tortor senantiasa berhubungan dengan

unsur kehidupan berkeluarga, dalam hal ini berkaitan dengan adat Dalihan Na

Tolu.

Dalam melakukan gerakan Tortor, tangan merupakan bagian tubuh yang

paling penting dan lebih banyak melakukan gerakan. Setiap gerakan tangan

menunjukkan arti dan makna setiap aktivitas Tortor. Sinaga mengatakan bahwa

gerakan tangan menunjukkan ciri-ciri kehidupan orang Batak Toba itu sendiri

(1991:28) dan yang paling banyak menunjukkan bagaimana adat Dalihan Na Tolu

dilakukan. Hal itu dapat dilihat dari awal memulai manortor, bahwa kedua telapak

Universitas Sumatera Utara

tangan harus diletakkan di atas perut dengan cara tangan kanan menimpa tangan

kiri (tangan kanan di atas tangan kiri). Tangan kanan dan tangan kiri adalah

lambang suami dan istri (tangan kanan adalah lambang suami dan tangan kiri

adalah lambang istri). Artinya suami harus senantiasa melindungi istrinya. Dan

dalam posisi manortor laki-laki harus selalu berada di sebelah kanan perempuan

(hal ini berlaku juga dalam segala aktivitas kehidupan orang Batak Toba),

misalnya dalam upacara adat perkawinan ataupun berdiri di hadapan khalayak

ramai.

Gerakan tortor yang dilakukan laki-laki maupun perempuan adalah

berbeda, Sinaga (1991: 29) menyatakan:

“Sian falsafah, pardijabu do anggo ina jala parbalian ianggo ama. Boima

berengon bonsir ni perbedaan ni tortor ni baoa dohot tortor ini boru-boru.

Lobi bebas jala ‘riar’ do tortor ni baoa sian tortor ni boru-boru. Hira na

holan humaliang jabuna (jaha: pamatangna) do ianggo tortor ni ina, hape

ianggo tortor ni baoa tung luas jala mangerbang huhut mangebangi.

Parpantunna pemansai andul. Hombar tu ngolu siapari, agresif (mungka

ni pangaririton) do tortor ni baoa, hape ianggo tortor ni boru-boru hira

manjalo laos marpaima”.

Artinya:

Berdasarkan pandangan hidup (Dalihan Na Tolu), bahwasanya seorang

istri (ina) sudah seharusnya tinggal di rumah, sedangkan seorang suami

(ama) harus bekerja ke luar rumah. Itulah yang mendasari perbedaan

Universitas Sumatera Utara

tortor laki-laki dan Tortor perempuan. Gerakan Tortor laki-laki lebih

bebas dan lincah (liar) daripada Tortor perempuan. Tortor perempuan

lebih mengarah sekitar rumahnya (baca: tubuhnya) saja, akan tetapi

gerakan Tortor laki-laki lebih luas dan bebas bergerak, gerakannya juga

lebih santai dan tangannya bebas dikibaskan kesana kemari. Sopan

santunnya juga sangat berbeda. Hal tersebut dihubungkan dengan

kehidupan sehari-hari, agresif (diperlihatkan dari awal pencarian pasangan

hidup atau jodohnya), itulah Tortor laki-laki, kenyataannya Tortor

perempuan menunjukkan sikap menerima dan menunggu. Hal tersebut

juga selalu dihubungkan dengan peran dan fungsi yang berbeda antara

suami dan istri.

Serser adalah bentuk gerakan telapak kaki membentuk segitiga dengan

mempertemukan kedua jempol kaki dan mempertemukan tumit kaki secara

bergantian. Dulu serser dilakukan pada waktu panen dilakukan pada waktu panen

sebelum padi ditumbuk. Para wanita yang akan menumbuk padi menginjak padi

terlebih dahulu dengan menggesekkan atau menggeser kaki sambil menari, karena

panen dianggap suatu kegembiraan.

Ada filosofi orang Batak yang mengatakan “jolo serser asa tortor, jolo

tektek asa gondang”, yang artinya geser kaki dahulu baru menari, menata irama

dahulu baru bergendang. Serser sebenarnya dilakukan oleh panortor (penari

wanita) yang akan bergerak atau berpindah tempat ke kiri maupun ke kanan.

Serser ini melambangkan kesopanan, keterikatan, dan keterbatasan gerakan

perempuan dalam kehidupan sehari-harinya. Berbeda dengan gerakan pria, untuk

Universitas Sumatera Utara

berpindah melakukan gerakan melangkah sesuai dengan sifat laki-laki yang

agresif mencari nafkah. Namun dalam pengamatan penulis, gerakan serser ini

tidak dilakukan dalam pesta Horja maupun dalam beberapa upacara lainnya.

Penulis menemukan serser dilakukan pada Tortor sawan (tarian membawa cawan

berisi air di kepala), Tortor dalam kegiatan hiburan (pertunjukan), dan tortor

dalam kompetisi Tortor adat yang banyak sekarang diselenggarakan dalam

berbagai aktivitas perayaan kedaerahan sekitar daerah Batak Toba.

Tortor juga dapat menjadi sarana menumpahkan isi hati si panortor itu

sendiri baik dalam keadaan sedih maupun gembira. Dalam keadaan gembira

kegiatan manortor sampai melompat dan tangan dilambai-lambaikan di kedua sisi

paha panortor. Kegiatan ini dinamakan marembas. Akan tetapi “marembas pun”

dapat dilakukan dalam suasana hati sedih dan sering dikatakan dengan

“mangondas”. Ada pepatah Batak Toba mengatakan Indada tartangishon,

tumagonan ma tinortorhon (tiada tertangiskan kejadian yang sudah lalu, lebih

baik aku menari). Kalau sudah demikian, hilanglah rasa duka yang dideritanya.

Artinya, manortor juga dapat membuat suasana hati menjadi gembira ataupun

sedih.

Motif dasar gerak tortor dapat kita lihat pada uraian berikut:

Universitas Sumatera Utara

MOTIF DAN MAKNA GERAK DASAR TORTOR

No Uraian Gerakan Foto Gerak Laki-laki Makna 1 Setiap gerakan tortor diawali

menutup tangan di perut. Pada saat gondang dimainkan, posisi tangan masih tetap di atas perut dan panortor mulai mangurdot (gerakan tubuh ke atas dan ke bawah dengan tekanan pada dengkul kaki). Gerakan ini juga dilakukan oleh perempuan. Mangurdot akan dilakukan pada setiap gerakan manortor di tempat. Untuk laki-laki gerakan melangkah atau jalan di tempat setelah dilakukan gerakan membuka tangan setelah gerakan tutup tangan di atas perut tadi.

Tangan dibutuha

Tangan dibutuha ini melambangkan hasangapon atau wibawa bagi penarinya, sedangkan mangurdot menggambarkan dalam kehidupan ini ‘adong hangoluan’ artinya dalam kehidupan suatu keluarga senantiasa ada siklus kehidupan yang terus-menerus.

Universitas Sumatera Utara

2 Tangan yang manortor digerakkan ke kanan dan ke kiri. Pada saat tangan sudah diletakkan di perut kemudian dibuka perlahan, lalu digerakkan ke kiri dan ke kanan

Mangaot-aothon tabina

Melambangkan bahwa panortor (penari) menghormati semua orang yang hadir pada saat upacara berlangsung.

3 Gerakan ini adalah gerakan yang dilakukan di depan wajah sambil digerakkan bergantian telapak tangan kiri dan telapak tangan kanan digerakkan bergantian ke atas dan ke bawah.

Marsantabi dibohina

Artinya bahwa laki-laki atau suami harus jadi pelindung bagi keluarganya dan suami adalah yang memegang kekuasaan dalam keluarga.

4 Tangan terbuka dan digerakkan secara bergantian tangan kanan dan tangan kiri. Setelah gerakan marsantabi dibohi dilanjutkan dengan gerakan marnaek mijur huhut talak. Gerakan tangan yang terbuka digerakkan ke atas dan ke bawah bergantian antara tangan kanan dan tangan kiri.

Marnaek mijur huhut talak

Arti dari semua gerakan itu melambangkan sistem hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Arti dari setiap pergantian gerakan tangan itu adalah bahwa dalam suatu keadaan pesta

Universitas Sumatera Utara

Setelah gerakan ini berlangsung kemudian dilanjutkan gerakan lincah mangebang (diayun) ke bawah dan dilakukan bergantuan ke kiri dan ke kanan dan semua gerakan laki-laki menggerakkan jari-jarinya dengan cara merapatkan dan merenggangkan jari-jarinya yang disebut dengan mangguit-guit.

adat, posisi hula-hula bisa berubah jadi boru, sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam kehidupan masyarakatnya. Panortor pria gerakannya lincah dan bebas, karena pria harus gesit mencari nafkah untuk keluarga dan dalam kegiatan upacara adat.

Universitas Sumatera Utara

No Uraian Gerakan Foto Gerak Perempuan

Makna

1 Gerakan ini adalah gerakan memulai semua tortor. Sama dengan gerakan awal yang dilakukan laki-laki. Posisi tangan diletakkan di atas perut, tangan kanan di atas tangan kiri.

Tangan dibutuha Tangan dibutuha ini melambangkan hasangapon atau wibawa bagi penarinya, sedangkan mangurdot menggambarkan dalam kehidupan ini ‘adong hangoluan’ artinya dalam kehidupan suatu keluarga senantiasa ada siklus kehidupan yang terus-menerus.

2 Gerakan dilakukan perlahan bergerak ke atas dan ke bawah. Gerakan ini menggambarkan bahwa panortor dengan sopan sangat menghormati semua yang hadir dalam upacara tersebut.

Marsantabi diparateatean

(Mohon izin atau menghormat dengan posisi tangan didekatkan di hati atau dada). Parate-atean artinya bagian hati dan jantung manusia. Artinya meletakkan tangan di bagian parateatean merupakan bentuk penghormatan dan permohonan izin kepada seluruh yang hadir di tempat upacara. Perempuan yang melakukan gerakan ini

Universitas Sumatera Utara

menggambarkan bahwa wanita atau ibu adalah pemberi kehidupan kepada anak-anaknya melalui air susu ibunya.

3 Gerakan ini dilakukan setelah marsantabi diparateatean. Perlahan-lahan kedua telapak tangan dibuka dan tidak boleh lebih tinggi dari telinga.

Bungka tangan Gerakan ini menggambarkan kejujuran atau hati yang terbuka seorang istri kepada suaminya.

4 Gerakan ini setelah bungka tangan, perlahan-lahan kedua telapak tangan digerakkan ke arah bahu kemudian digerakkan ke kanan dan ke kiri.

Ampe di abara Gerakan ini menggambarkan tanggung jawab seorang istri lebih berat dari suami. Gerakan ke kiri dan ke kanan menunjukkan sikap mengalah seorang istri kepada suami. Karena suami adalah kepala keluarga yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya.

Universitas Sumatera Utara

5 Bersama-sama bergerak menuju ke depan. Perlahan-lahan kedua tangan digerakkan ke depan sampai menuju ke bawah, dan secara perlahan-lahan agak diayunkan ke kanan dan ke kiri.

Rap udur juruk tu jlo

Gerakan ini menggambarkan kesetiaan istri kepada suaminya rap udur (secara bersama-sama) dengan suaminya melangkah ke depan (juruk tu jolo) dalam pencapaian nilai kehidupan yang sesuai dengan adat dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.

Universitas Sumatera Utara

6 (Gerakan ini dilakukan setelah

rap udur juruk tu jolo) diayun beberapa saat, kemudian gerakan tangan diayun dan ditarik menuju pinggang bergantian dengan gerakan tangan kiri menuju arah pinggang. Gerakan tangan kanan diarahkan ke pinggang sebelah kiri dan gerakan tangan kiri diarahkan ke pinggang sebelah kanan. Gerakan ini dilakukan tiga kali, dimulai dengan gerakan tangan kanan, dilanjutkan gerakan tangan kiri, dan yang terakhir diakhiri dengan tangan kanan. Bentuk telapak tangan melengkung seperti ditekuk.

Margolom-golom masak

Gerakan ini menggambarkan seorang ibu yang sedang mengumpul harta (bekal kehidupan) yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan dalam unsur Dalihan Na Tolu yang merupakan hal yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Batak Tobayang disebut dengan hamoraon, hagabean dohot hasangapon (kekayaan, keturunan yang banyak dan terpandang).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

5.3 Aturan-aturan Dalam Gerakan Tortor

Tortor adalah sebuah ungkapan individual, kultur maupun keagamaan.

Empat gerak (posisi) tangan yang baku dalam Tortor Batak Toba, sesuai dengan

kedudukan penari (Panortor) dalam sistem kekerabatan dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba, Maneanea artinya meminta berkat (turut menanggung

beban), mamasu-masu artinya memberi berkat, mangido tua artinya meminta dan

menerima berkat dan manomba artinya menyembah dan meminta berkat.

Lumbantobing (1986) menjabarkan Tortor dibentuk dari gerakan

pangurdot, pangeal, pandenggal, siangkupna, dan hapunanna.

5.3.1 Pangurdot

Pangurdot ialah gerakan seluruh badan, dengan fokus geraknya berada

pada telapak kaki, tumit dan badan. Ujung telapak kaki bergerak ke atas, lalu

turun sesuai dengan irama gondang. Sedangkan bahu bergerak perlahan ke kiri

dan ke kanan. Semua gerakan badan dan anggota tubuh merupakan perpaduan

gerak dan irama gondang.

5.3.2 Pangeal

Pangeal ialah gerakan tubuh pada pinggang dan daun bahu (sasap). Kedua

anggota tubuh ini akan bergerak ke kiri dan ke kanan sesuai dengan irama

gondang. Gerakan ini terkait dengan gerakan pangurdot.

Universitas Sumatera Utara

5.3.3 Pandenggal

Pandenggal ialah gerakan gemulai anggota tubuh secara keseluruhan

berfokus pada gerakan lengan, telapak tangan dan jari tangan. Kedua telapak

tangan yang terbuka diangkat ke atas perlahan-lahan, lalu diturunkan ke bawah

secara gemulai. Kemudian kedua tangan bergerak ke depan dengan gerakan

setengah lingkaran, yang bertumpu di bawah dada. Bersamaan dengan gerakan itu

semua jari-jari tangan bergerak-gerak terbuka dan tertutup sejajar dengan bidang

telapak tangan.

5.3.4 Siangkup na (siakkup na)

Siakkup na ialah gerakan leher. Gerakannya seirama dengan gondang dan

urdot yang telah disebut di atas. Siakkup na, yang secara harfiah berarti

“tambahan”, bukan merupakan sekadar gerak selingan. Gerakan siakkup na adalah

wujud mengekspresikan jiwa tarian.

5.3.5 Hapunanna

Yang dimaksud dengan Hapunanna ialah ekspresi yang tampak dari wajah

panortor (penari). Dari wajah panortor dapat diketahui situasi kegembiraan atau

situasi duka cita. Ekspresi wajah dan jiwa tortor haruslah seirama, sehingga tortor

tersebut berkomunikasi kepada penonton yang hadir.

Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak (1997:289-290) mengatakan,

tortor terdiri dari: 1. Pangurdot. Yang termasuk pangurdot ialah bagian daun

kaki, tumit sampai bahu. 2. Pangeal. Yang termasuk pangeal ialah pinggang,

Universitas Sumatera Utara

punggung sampai daun bahu (sasap). 3. Pandenggal. Yang termasuk pandenggal

ialah tangan, daun tagan sampai jari tangan. 4. Siangkupna. Yang termasuk

siangkupna ialah leher. 5. Hapunanna. Yang dimaksud hapunanna ialah ekspresi

wajah saat manortor.

Badan tegak dan lurus mangurdot tanpa goyangan ke samping, bagaikan

alu menumbuk padi dalam lesung. Bila ada hentakan miring maka resiko padi

akan terburai keluar. Tangan menyembah dan mengait ke arah tubuh.

Menghormati semua pihak menghormati penciptanya dengan harapan mendapat

berkah atau manfaat pada dirinya. Tangan dibuka datar ke atas pundak.

Seandainya ada benda di atas tangan itu tidak akan jatuh. Dia memikul segala

tugas dan perannya tanpa goyah/sepenuh hati. Tangan melayang dari samping

menuju perut. Telapak tangan ditekuk, persis seperti mengumpulkan padi dalam

jemuran atau mengais/mengumpul beras di atas tampi. Ini disebut mangahit.

Segala kegiatan yang mendapatkan buah semuanya diarahkan kepada

dirinya dan menjadi bekal dalam kehidupan yang disebut paiogon yang

dikumpulkan dalam bakul-bakul bekal kehidupan sepanjang tahun. Gerakan pria

lebih liar dan bebas sesuai dengan cara kehidupannya sehari-hari lebih agresif

mencari uang atau nafkah.

Dalam aktivitas manortor setiap orang harus berdiri dengan sikap

sempurna (berdiri di atas kedua telapak kaki), pandangan rata ke depan, kemudian

mulailah bergerak manortor setelah sarune berbunyi dalam 1 x 8 hitungan. Jadi

ukuran waktu untuk mulai manortor bukan bunyi gondang/taganing atau ogung.

Universitas Sumatera Utara

Tortor memiliki pakem yang kuat dan menjadi pengamatan penting

mengenali perempuan maupun laki-laki dengan segala sikap dasar yang

diperlihatkan melalui tortor itu.

Menurut hasil wawancara dari beberapa pengetua adat, gerakan Tortor

pada laki-laki dan perempuan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi seperti:

− Simanjujung atau ulu, unang paundukhu, unang padirgakhu (artinya kepala

jangan terlalu tunduk ke bawah dan jangan terlalu mendongak ke atas). Tetapi

hal ini (tunduk kepala) diperlukan pada saat gerakan Tortor dalam posisi

menyembah.

− Simalolong (mata) panortor (penari) perempuan tidak boleh momar (liar dan

membelalak) supaya kelihatan hohom atau donda artinya sopan. Yang

diperbolehkan hanya melirik yang tujuannya adalah melihat supaya gerakan

seragam/tidak saling mendahului.

− Parnianggoan/igung (hidung) tidak boleh diangkat supaya tidak terkesan

sombong.

− Bohi (wajah) atau roman wajah harus minar marsaudara atau cerah dan enak

dipandang.

− Pamangan/baba (mulut) harus ditutup supaya sopan.

− Simanjojak/pat (kaki), untuk panortor perempuan harus rapat sedangkan kaki

panortor laki-laki agak renggang dan biasanya gerakannya seperti jalan di

tempat.

− Pamatang/badan harus tegak, tetapi pada saat melakukan gerakan, bergerak

sesuai gerakan tortor yang diinginkan atau diminta.

Universitas Sumatera Utara

− Simangido/tangan (tangan), untuk panortor laki-laki gerakannya lebih bebas,

sedangkan untuk panortor perempuan harus lebih sopan.

Universitas Sumatera Utara

5.4 Danskrip Tortor Dalam Pesta Horja

No Uraian Gerak Foto Gerak Laki-laki Gerak Perempuan Makna Iringan

1

Pembukaan diawali Tortor Mula-mula

Tangan dibutuha (diperut) kemudian dilanjutkan dengan posisi telapak tangan dirapatkan di depan dada seperti menyembah

Tangan dibutuha (diperut) kemudian dilanjutkan dengan posisi telapak tangan dirapatkan di depan dada seperti menyembah

Segala awal mula di dunia ini dimulai dan diawali dengan segala kebaikan

Gondang Mula-mula

2 Tortor Somba

Tangan diperut (dibutuha) kemudian dilanjutkan dengan menyatukan telapak tangan dengan posisi menyembah sampai dekat ke posisi dahi sambil berputar di tempat

Tangan diperut (dibutuha) kemudian dilanjutkan dengan menyatukan telapak tangan dengan posisi menyembah sampai dekat ke posisi dahi sambil berputar di tempat

Gerakan ini adalah bentuk penyembahan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta (Debata Mula Jadi Na Bolon), kepada seluruh hadirin (Situan natorop) juga kepada Hula-hula

Gondang Somba

Universitas Sumatera Utara

3 Tortor Mangaliat/ Siuk-siuk

Hula-hula

Boru

Dimulai dengan posisi tangan dibutuha (diperut) kemudian mulai ‘manortor’ dilanjutkan dengan gerakan berjalan berkeliling dari hula-hula berjalan sambil menyentuh ulos ke pundak (boru) peserta yang dilaluinya Kemudian dibalas pihak boru berjalan berkeliling menyembah hula-hulanya

Sama dengan gerakan laki-laki, apabila posisinya sebagai hula-hula berarti akan menyentuhkan ulos ke pundak setiap peserta yang dilaluinya Kemudian dibalas pihak boru berjalan berkeliling menyembah hula-hulanya

Hula-hula memberikan berkat kepada anggota keluarga yang dilaluinya sambil berjalan Dalam hal ini boru sangat menghormati hula-hulanya yang diyakini mampu memasu-masu (memberikan berkat)

Gondang Mangaliat

Universitas Sumatera Utara

4 Tortor Sibane-bane

Diawali tangan menutup di perut kemudian manortor di tempat

Diawali tangan menutup di perut kemudian manortor di tempat

Gerakan ini bermakna doa permohonan kedamaian dalam sesama keluarga, dan seluruh tamu undangan yang hadir

Gondang Sibane-bane

5 Tortor Saudara/ Parsaoran

Selalu dimulai menutup tangan di perut, kemudian dilanjutkan gerakan manortor. Gerakan ini lebih bebas, ada yang mengajak adik atau kakak (haha anggi) manortor, tetapi harus diperhatikan dengan siapa dia manortor

Selalu dimulai menutup tangan di perut, kemudian dilanjutkan gerakan manortor. Gerakan ini lebih bebas, ada yang mengajak adik atau kakak (haha anggi) manortor, tetapi harus diperhatikan dengan siapa dia manortor

Gerakan ini melambangkan semakin eratnya tali persaudaraan di antara keturunan yang melaksanakan upacara ini

Gondang Parsaoran/ Gondang Sondar

Universitas Sumatera Utara

6 Tortor Simonang-monang

Dimulai menutup tangan di perut dilanjutkan dengan gerakan manortor

Dimulai menutup tangan di perut dilanjutkan dengan gerakan manortor

Gerakan ini melambangkan permohonan kemenangan dengan gerakan lincah dan gembira

Gondang Simonang-monang

7 Tortor Hasahatan Sitio-tio

Diawali dengan tangan di perut mulai dengan manortor kemudian dalam hitungan 2 x 8 setelah sarune berbunyi kedua tangan memegangi ujung ulos (selendang) sambil menyerukan horas 3x

Diawali dengan tangan di perut mulai dengan manortor kemudian dalam hitungan 2 x 8 setelah sarune berbunyi kedua tangan memegangi ujung ulos (selendang) sambil menyerukan horas 3x

Gerakan ini melambangkan sampainya segala tujuan, harapan dan cita-cita dengan cerah, cemerlang tanpa kurang suatu apapun.

Universitas Sumatera Utara

5.5 Pola Lantai

a. Pola lantai dalam tortor hasuhuton

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 1 Mula-

mula Mula-mula

Tortor ini dilakukan sebelum tamu datang. Tortor merupakan awal pelaksanaan Horja dan disebut Mangido tuani gondang. Selalu dimulai dengan Gondang Mula-mula oleh paminta gondang, artinya segala awal mulai dunia ini adalah baik Tortor ini masih hanya dilakukan oleh hasuhuton atau tuan rumah sebagai penyelenggara pesta. Menghadap ke rumah hasuhuton. Pemain musik ditempatkan di sebelah kanan rumah hasuhuton

a = panggung tempat pargonsi b = rumah hasuhuton c = posisi panortor x = hasuhuton (tuan rumah laki-laki) + = anak dari hasuhuton = istri dari semua hasuhuton O = menantu (parumaen) dari hasuhuton = istri ‘boru’ (perempuan) Seluruh peserta menghadap ke rumah hasuhuton

O O O O

+ + + + x x x x x b a

c

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 2 Somba Somba

Posisi ini tetap di tempat menyembah kepada Tuhan dan sesama manusia (Debata Mula Jadi Na Bolon, hula-hula dohot siloloan natorop) masih tetap menghadap

Seluruh panortor (penari) menari di tempat dengan posisi tangan dan kepala menyembah dan berputar di tempat dalam posisi menyembah

3 Mangaliat/Siuk-siuk

Mangaliat/Siuk-siuk

Posisi ini melambangkan hubungan hormat menghormati boru kepada hula-hula dan sayang menyayangi dari hula-hula kepada boru. Dengan melihat posisi ini kita tahu bahwa semua peserta berada pada posisi mereka sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Berjalan melawan arah jarum jam, karena posisi hula-hula yang akan dihormati pada saat berkeliling di sebelah kiri lantai dan yang pertama harus dihormati itu adalah hula-hula

= Gerakan mangaliat (mengelilingi) dimulai dari anak hasuhuton berjalan menyembah orang tuanya selanjutnya diikuti para orang tua (bapak, ibu, dan menantu) berjalan terus berkeliling sampai kembali ke posisi semula

O O O O O

O O O O O

Universitas Sumatera Utara

(bapak dari pihak hasuhuton) kemudian sampai ke ibu, menantu, lalu boru) Dan yang pertama sekali berjalan itu adalah anak laki-laki dari hasuhuton kemudian diikuti hasuhuton (bapak) lalu diikuti ibu dan menantu (ina-ina) kemudian ke boru dan boru kembali balik menghormati hula-hulanya setelah boru tadi di sayang (disiuk)

4 Sibane-bane

Sibane-bane

Posisi ini menggambarkan permohonan kedamaian dan dilakukan penuh kegembiraan

Posisi manortor tetap di tempat tetapi gerakan yang dilakukan adalah marembas (mengayun-ayunkan tangan dan menghentak-hentakkan kaki).

O O O O O

Universitas Sumatera Utara

5 Saudara/ Parsaoran

Saudara/ Parsaoran

Posisi ini melambangkan persaudaraan yang erat di antara satu garis keturunan, yang satu sama lain saling bertegus sapa, memberi salam dan semakin mempererat hubungan kekerabatan

Tortor ini boleh dilakukan berpasangan, tetapi harus melihat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu, tanpa melanggar aturan adat

O

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 6 Simonang-

monang Simonang-monang

Posisi ini menggambarkan kegembiraan karena prinsip menang lawan teman, kalah dalam melawan musuh artinya tetap rendah hati dan baik kepada siapapun, dan menang dalam segala perkara

Tortor ini boleh dilakukan berpasangan juga dan boleh tetap di tempat manortor linear dan gembira

O O O O O

O

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 7 Hasahata

n/Sitio-tio Hasahatan/Sitio-tio

Setelah posisi Tortor Simonang-monang, maka panortor kembali ke posisi semula. Dalam tortor terakhir yang dilakukan adalah Tortor Hasahatan Sitio-tio. Sesuai namanya yang berarti segala keinginan kita telah sampai pada yang kita inginkan dan cerah bening segala sesuatu yang kita lakukan

Pada hitungan 2 atau 3 x 8 seluruh peserta memegangi ujung ulosnya dengan kedua tangan dan mengibaskannya seraya menyerukan horas… horas… horas…

O O O O

+ + + + x x x x x b

Universitas Sumatera Utara

b. Pola lantai dalam Tortor menyambut Hula-hula (tamu undangan)

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 1 Panomu-

nomuan/ elek-elek

Panomu-nomuan/ elek-elek

Posisi ini menggambarkan penyambutan hasuhuton tuan rumah kepada hula-hula atau tamu undangannya. Penyambutan ini menggambarkan penghormatan kepada para hula-hula dan tamu yang hadir. Masing-masing hasuhuton mempunyai hula-hula yang berbeda-beda. Jadi setiap hasuhuton menyambut hula-hulanya masing-masing

Hasuhuton (tuan rumah) mengambil posisi balik kanan/ membelakangi rumah hasuhuton. Rombongan hula-hula/tamu undangan yang datang tidak selamanya berpasangan d = posisi kelompok hasuhuton menyambut tamu/undangan dan menghadap ke arah tamu e = hula-hula/tamu undangan yang akan datang manortor menghadap hasuhuton yang menyambut = hula-hula/tamu undangan = istri hula-hula/tamu undangan

� x + O

� x x

� x x

� x + O

d

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 2 Mula-

mula Mula-mula

Posisi ini menggambarkan hasuhuton sangat menghormati hula-hulanya/tamu undangan datang membawa uang dan ulos yang ditempelkan pada sebatang bambu kecil. Ulos yang dibawa hula-hula diberikan kepada borunya masing-masing, uang itu disebut sebagai juhut nialap

d = hula-hula atau tamu undangan Posisi ini setelah tamu/undangan datang manortor

3 Somba Somba

Posisi ini menggambarkan seluruh yang hadir menyembah kepada Debata Mula Jadi Na Bolon dan minta izin kepada seluruh yang hadir Bentuk ini adalah sebuah penghormatan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta dan kepada semua yang hadir dalam pesta

Hasuhuton dan hula-hula/tamu undangan tetap berhadap-hadapan

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan

� � � �

� � � �

+ + + + + + x x x x x

d

� � � �

� � � �

+ + + + + + x x x x x

d

Universitas Sumatera Utara

4 Mangaliat/ Siuk-siuk

Mangaliat/ Siuk-siuk

Posisi ini menggambarkan saling menyayangi dan mengasihi di antara yang berkeluarga. Juga menggambarkan sikap hormat menghormati satu dengan yang lainnya. Hula-hula mendatangi hasuhuton (sebagai borunya) dengan menyentuhkan ulos yang dipakai dipundaknya kepada hasuhuton (borunya)

= Pola gerak mengelilingi atau melewati hasuhuton oleh hula-hula/tamu undangan

5 Sibane-bane

Sibane-bane

Tortor ini lebih lincah, karena artinya adalah memohon kedamaian dan dilakukan dengan gembira

Posisi seperti semula

� � � �

� � � �

+ + + + + + x x x x x

d

� � � �

� � � �

+ + + + + + x x x x x

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 6 Saudara/

Parsaoran Saudara/ Parsaoran

Posisi ini menggambarkan hubungan kekerabatan yang baik antara hula-hula dengan kelompok boru sebagai hasuhuton

Posisi mengambil pasangan masing-masing sesuai sistem kekerabatan yang tidak melanggar norma

O O O O

� � � �

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 7 Simonang-

monang Simonang-monang

Menang melawan teman dan kalah melawan musuh, menanamkan prinsip rendah hati dan baik kepada setiap orang dan menang dalam segala hal. Ditarikan dengan gembira

Boleh dilakukan berpasangan dan boleh tetap di posisi semula

O O O O

� � � �

� � � �

� � � �

d

Universitas Sumatera Utara

No Tortor Gondang Pola Lantai Makna Keterangan 8 Hasahata

n/ Sitio-tio

Hasahatan/ Sitio-tio

Sampai kepada tujuan dan cita-cita kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran segala keinginan tercapai tanpa kurang satu apapun

Kedua tangan memegangi ujung ulos dan menyerukan horas… horas… horas…

� � � �

� � � �

d

Universitas Sumatera Utara

5.6 Busana Tortor Dalam Pesta Horja

a. Busana untuk perempuan

No

Foto Pemakai Nama Busana Makna

1

- Hasuhuton boru-boru (tuan rumah perempuan)

- Boru ni hasuhuton boru-

boru (boru dari tuan rumah yang wanita)

Ulos sadum (selendang yang disandangkan pada kedua bahu dan dipakai 2 buah) Ulos sadum yang dipakai hanya 1 (satu) di selendangkan di sebelah kanan

Ulos sadum dipakai untuk mengikuti segala aktivitas manortor bagi perempuan saat ini, dan ini melambangkan motif ulos dikhususkan dipakai perempuan

Universitas Sumatera Utara

- Boru ni hasuhuton baoa

(boru dari tuan rumah yang pria)

2

Hasuhuton boru-boru (tuan rumah perempuan)

Mandar (sarung) Sarung ini boleh dari motif apa saja, bukan dari ulos. Kebanyakan sudah memakai sarung suji Palembang atau mandar tarutung

3

Hasuhuton boru-boru (tuan rumah perempuan)

Kebaya (baju yang dipakai perempuan)

Kalau dulu perempuan hanya memakai ulos untuk menutupi tubuhnya, namun setelah mengalami perkembangan, pakaian kebaya sudah menjadi tradisi bagi perempuan Batak Toba

Universitas Sumatera Utara

b. Busana untuk laki-laki

No

Foto Pemakai Nama Busana Makna

1

Hasuhuton baoa (tuan rumah pria)

Detar (penutup kepala) dibuat dari/dibentuk dari ulos mangiring. Sekarang dimodifikasi mirip penutup kepala orang Melayu. Dulu dipergunakan untuk menghindari panas dan hujan. Disebut juga sebagai tali-tali, pada awalnya diberikan kepada anak yang baru lahir supaya si anak diiringi beberapa anak berikutnya, dan dipakai juga untuk gendongan.

Melambangkan seorang pria, tetapi sekarang sebagai simbol bahwasanya yang memakai itu adalah suhut (tuan rumah penyelenggara pesta) dan yang memakai adalah pria

2

Hasuhuton baoa (tuan rumah pria yang belum pernah menikahkan anak laki-lakinya)

Ulos ragi hotang (selendang yang disandangkan di bahu pria)

Ulos ini dipakai pria yang sudah menikah karena ulos ini diterima dari mertua sebagai pertanda bahwa si pria sudah sah sebagai menantu

Universitas Sumatera Utara

3

Hasuhuton baoa (tuan rumah pria yang sudah pernah menikahkan anak laki-lakinya)

Ulos ragi idup (selendang yang disandingkan di bahu kanan pria)

Ulos ini dipakai pria yang sudah menikahkan anak laki-lakinya dan ulos ini diterima dari besan atau orang tua menantu perempuan

4

Hasuhuton baoa (tuan rumah pria)

Mandar (sarung yang biasa dipakai pria dalam pesta sebagai pelayan/parhobas, jika pada saat itu dia berkedudukan sebagai boru)

Mandar ini adalah pemberian orang tua perempuan kepada menantnya, supaya dalam marulaon atau pesta dapat dipakai/dililitkan di pinggangnya untuk melayani tamu/marhobas pada saat dia berkedudukan sebagai boru

5

Hasuhuton baoa (tuan rumah pria)

Setelan jas Kalau dulu orang Batak hanya memakai ulos dalam aktivitas manortor, tetapi sejak masuknya pengaruh kekristenan pakaian ditambahi celana panjang, jas kemeja dan dasi (tradisi barat)

Universitas Sumatera Utara

Motif dasar gerak tortor adalah sama dalam setiap pelaksanaan upacara

maupun pesta. Secara keseluruhan motif dasar ini tidak selalu dilakukan secara

teratur. Artinya pada setiap aktifitas manortor seluruh motif dasar gerak tortor ini

tidak selalu ditarikan. Bisa saja ditarikan pada tortor mangaliat/siuk-siuk sambil

berjalan berkeliling, pada tortor sibane-bane, tortor simonang-monang ataupun

tortor saudara/parsaoran. Sedangkan untuk tortor mula-mula, tortor somba,

tortor mangaliat dan tortor hasahatan/sitio-tio sudah ada gerakan yang pasti

dilakukan seperti kita lihat dalam gambar. Bentuk penyajian tortor pada dasarnya

mempunyai pola gerak yang sama dalam setiap bentuk upacara maupun pesta.

Penyajian tortor sipitu gondang tidak sama pada setiap upacara maupun pesta.

Dari tujuh gondang yang harus disajikan adalah tortor mula-mula, tortor somba,

tortor mangaliat dan tortor hasahatan/sitio-tio. Yang bisa berubah adalah bagian

tengah dari tujuh gondang yang dimainkan maupun yang ditarikan sesuai dengan

konteks upacara atau pesta yang dilaksanakan. Misalnya setelah tortor mangaliat

boleh diminta tortor hata sopisik, tortor marhusip, tortor debata sori, dan lain

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Penulis membuat kesimpulan untuk menjawab pokok-pokok permasalahan

dalam penelitian ini dan berdasarkan seluruh uraian yang telah dijabarkan tentang

Tortor dalam Pesta Horja pada kehidupan masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian

Struktur dan Makna.

Tortor adalah bentuk tarian yang dilakukan secara seremonial yang secara

nyata merupakan sebuah gerakan tarian dan secara totalitas mempunyai makna

yang luas dalam setiap gerakan dan menunjukkan bahwa Tortor menjadi media

komunikasi karena dalam melakukan aktivitas manortor dapat dilihat interaksi di

antara sesama manusia dan Penciptanya atau setiap yang terlibat dalam kegiatan

manortor dan juga interaksi di antara manusia dan Penciptanya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, bahwa penulis menemukan

Tortor dalam motif gerak dasarnya tidak berubah dari dahulu hingga sekarang.

Gerakan Tortor terkesan kaku dan motifnya hanya sedikit, tetapi mengandung

makna yang luas dan dalam bagi kehidupan masyarakat Batak Toba. Busana yang

digunakan mengalami perekembangan yang dulunya tidak memakai baju (hanya

ulos) tetapi saat ini sudah dimodifikasi dengan pakaian internasional (jas) dan

nasional (kebaya).

Gerakan dasar Tortor senantiasa ditarikan dalam setiap aktivitas

kehidupan adat masyarakat Batak Toba, meskipun pada beberapa kegiatan bentuk

Universitas Sumatera Utara

tarian atau tortor ini sudah banyak mengalami modifikasi hasil kreasi seniman-

seniman tari yang mengalami perkembangan akibat pembauran kehidupan

masyarakat Batak Tobadengan masyarakat lainnya, misalnya Jawa, Melayu, Karo,

Simalungun, Mandailing.

Gerak dasar Tortor tidak berubah sampai saat ini, meskipun penggunaan

Tortor ini sudah lebih banyak untuk pertunjukan atau konsumsi wisata. Hal ini

akibat pengaruh masuknya kekristenan ke tanah Batak yang telah membuat

batasan-batasan terhadap pemakaian maupun penggunaan alat musik tradisional

dan tari tradisional (Tortor dan Gondang Sabangunan) karena dianggap

berhubungan dengan hasipelebeguon atau kepercayaan animisme. Penggunaan

tortor dan Gondang Sabangunan masih utuh dilakukan aliran kepercayaan pada

masyarakat Batak Toba yaitu Parmalin.

Tortor dilakukan harus selalu sesuai dengan kedudukan dalam unsur

Dalihan Na Tolu. Karena di dalam Dalihan Na Tolu itu terdapat norma-norma

yang mengatur sistem kehidupan masyarakat Batak Toba.

Tortor dan Gondang Sabangunan adalah tarian dan musik yang tidak

terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pada saat gondang dimainkan, kemudian

bunyi sarune mengiringi dimulainya gerakan tortor. Tortor akan mengikuti setiap

kegiatan adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba di manapun berada di

seluruh belahan dunia ini.

Universitas Sumatera Utara

6.2 Saran

Pada zaman dahulu tortor dilakukan hanya untuk upacara yang sakral,

akan tetapi pada saat sekarang ini tortor sudah banyak dipergunakan dalam

kegiatan pertunjukan maupun konsumsi wisata. Otomatis bentuk kemasannya

sudah lebih diarahkan kepada nilai jual sampai tidak memperhitungkan nilai

keaslian maupun kesakralannya.

Penulis mengharapkan seluruh unsur yang terlibat dalam pengelolaan

pelestarian budaya lebih dapat memperhatikan nilai keaslian dari Tortor dan

Gondang Sabangunan tersebut. Jangan sampai unsur kesakralannya atau

keasliannya hilang akibat pengaruh kreasi dan modifikasi yang tidak terarah.

Kemudian gerakannya banyak yang terlalu dipaksanakan supaya kelihatan lebih

indah tanpa menghiraukan unsur natural yang terdapat pada tortor yang

sebenarnya. Juga kepada para seniman tari/tortor penulis berharap supaya gerak

tortor tetap diarahkan kepada gerakan yang sebenarnya meskipun sudah

dikreasikan.

Pemakaian kostum atau busana yang benar juga menjadi perhatian bagi

penulis, supaya seluruh anggota masyarakat Batak Toba tahu dengan benar

pemakaian ulos sesuai fungsinya masing-masing dalam pemakaiannya.

Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumber

informasi dan teknik bagaimana belajar Tortor yang sebenarnya menurut kaidah

adat Batak Toba dan tulisan ini dapat sebagai acuan dalam mempelajari Tortor

dan bagi yang memerlukannya.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2001. “Sumatera Utara dalam Angka.” Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Denzin, K. Norman dan Lincoln S. Yvona. 1994. Handbook of Qualitative

Research. Thousand Oaks, London dan New Delhi: Sage Publications. Dibia, Wayan I Widaryanto, FX Suanda. 2006. Tari Komunal. Lembaga

Pendidikan Seni Nusantara (LPSN). Jakarta. DJ. Gultom Raja Marpodang. 1987. Dalihan Na Tolu. Medan. Djelantik, A. A. M. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika

Instrumental. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Greetz, Hildred. 1986. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Terjemahan

Zainuddin A. Rahman. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI. Gultom, H. 1991. Penggalian Tulang Belulang Leluhur (Mangongkal holi).

Tinjauan Dari Segi Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hardjana, Suka. 2002. Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta:

Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hood, Mantle. 1982. The Ethnomusicologist. Ohio: The Kent State University

Press. Hutajulu, Ritha Ony. 1991. “Turisme Etnik: Dampak Turisme Terhadap Upacara

Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba.” Jurnal Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Hutasoit, M. 1976. “Buku Ende Dohot Uning-uningan Batak.” Unpublished

Article, Tarutung. Irwansyah, Harahap. 1990. “Analisis Komparatif Bentuk (Penggarapan) dan

Teknik Permainan dari sebuah Gondang yang disajikan oleh Tujuh Partaganing.” Skripsi S-1. Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

Jong, De S. 1970. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Keunang, J. 1990. Batak Toba dan Batak Mandailing Dalam Sejarah Lokal di

Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Djambatan. Lumbantobing, M. Andar. 1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak.

Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Manalu, I. 1983. Mengenal Batak. Medan: Kiara. Manik, Liberty. 1977. “Suku Batak dengan Gondang Bataknya.” Jurnal

Peninjauan. Lembaga Penelitian dan Studi D.G.I. 4.1. Jakarta. Marriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago. Evaston III:

Northwestern University Press. (Edisi terjemahan Drs. Muhammad Takari).

Nasution, S. 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars. Nelson, P.A, Treichler dan Grossberg L. 1992. Cultural Studies. New York:

Routledge. Pasaribu, Ben. 1986. “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks

Gondang Sabangunan.” Skripsi S1, Universitas Sumatera Utara. Medan. Pederson, Paul. 1970. Batak Blood and Protestan Soul. Grand Rapids, Mich:

William B. Eerdmans. Purba, Mauly. 1989. “Mangido Gondang di Dalam Penyajian Musik Gondang

Sabangunan Pada Masyarakat Batak Toba.” Unpublished Paper, Presented at The Conference of The Society for Indonesia Musicologist. Jakarta.

----------------. 1989. “Musical and Function Change in The Gondang Sabangunan

Tradition of The Protestant Toba Batak 1860s-1990s With Special Reference To The 1980s-1990s.” Unpublished Ph.D Thesis, Monash University. Melbourne.

Universitas Sumatera Utara

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Putro, Brahma. 1978. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber. Sach, Curt. 1962. The Wellsprings of Music’s. Netherlands: Da Capo Press. Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar. Schreiner, Lothar. 2002. Adat dan Injil. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Sedyawati, Edy. 1984. Tari Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya. Siahaan, Mangaraja Asal. t.t. Gondang Dohot Tortor Batak. Pematang Siantar:

Sjarif Saama. Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: CV. Napitupulu and Sons. --------------. 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta:

Penerbit Grafindo. Siahaan, Nalom and Pardede. H. 1975. Sejarah Perkembangan Marga-marga

Batak. Balige: Indra. Sihombing, T.M. 1997. Jambar Hata. Medan: Tulus Jaya. Simangunsong, Emmi. 2001. “Ensembel Gondang Sabangunan Batak Toba:

Perhubungan di Antara Muzik, Tortor dan Adat Dalihan Natolu.” Tesis Program Pasca Sarjana, Sastera Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang.

Sinaga, A. B. 1977. “Martutu Aek Sebagai Permandian Orang Batak:

Penghampiran Theologis.” Kertas Kerja dalam Lokakarya IRAPAS di Universitas HKBP Nomensen Pematang Siantar.

Sinaga, Anicetus B. 1981. “The Toba Batak High God.” Germany: St. Augustin. Sinaga, Richard. 1997. Leluhur Marga Batak, Dalam Sejarah, Silsilah dan

Legenda. Jakarta: Dian Utama.

Universitas Sumatera Utara

Sinaga, Sannur. 1997. “Mangalahat Horbo Sebagai Seni Pertunjukan untuk Konsumsi Wisata di Huta Bolon Desa Simanindo Kecamatan Simanindo.” Skripsi Sarjana (S-1), Universitas Sumatera Utara.

Situmorang, Billy H. Ruhut-ruhut Ni Adat Batak. Medan: Jl. Perjuangan No. 2. Suanda, Endo Sumaryono. 2005. Tari Tontonan. Jakarta: Lembaga Pendidikan

Seni Nusantara (LPSN). Sutrisno, Mudji Verhaak, Christ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta:

Kanisius. Webster’s, Merriam. 1994. “Collegiate Dictionary”.

Universitas Sumatera Utara