tojo una una

291
MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA PROVINSI SULAWESI TENGAH DWI SULISTIAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: azhari-syarief

Post on 24-Jul-2015

530 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tojo Una Una

MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS

PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA

PROVINSI SULAWESI TENGAH

DWI SULISTIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 2: Tojo Una Una
Page 3: Tojo Una Una

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2011

Dwi Sulistiawati NIM C261060031

Page 4: Tojo Una Una

ABSTRACT

DWI SULISTIAWATI. Model of Tourism-Fisheries Integration on Batudaka Islands Tojo Una-Una Regency Central Sulawesi Province. Under supervision of LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, and A. MASYAHORO.

Social and ecological characteristics are very important for small-island management and development. The objectives of the study are: 1) to analyze marine ecological character interactions and to estimate resource carrying capacity, and 2) to formulate tourism-fisheries integration on Batudaka islands. The DPSIR (drivers- pressures - states - impacts - responses) framework was used in scoping biodiversity management issues and problems. Data were analyzed using spatial analysis with GIS (Geographic Information System) approach, TEF (Touristic Ecological Footprint) and FEF (Fisheries Ecological Footprint), HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productivity), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis), supply-demand approach for economic valuaion and dynamic simulation using Stella software. Results of the study showed that the suitability index obtained on the category of tourism (diving, snorkeling) and fisheries (reef fishes, seagrass) were in accordance with the carrying capacity utilization of 23 195 tourists per year. Rate of marine fisheries exploitation was 0.04 ha/capita (local scale/Una-Una district), or 0.3 ha/capita (regional scale/Tojo Una-Una regency). This supported HANNP to higher regional level appealed by local level. The available CLSA strategies were alternative employment creation, proximity to capital source, new technological introduction, market, collectivity and solidarity action on society. Analysis of supply demand obtained a consumer surplus value of US$ 21 817 per individual per year and the region’s economic value of US$ 58 273. The model of tourism-fisheries integration indicated that ecological surplus can be maintained at the level of 5 917 tourists on the end simulation with surplus fisheries area, as sustainable indicator on tourism and fisheries activity.

Key words: tourism, fisheries, Batudaka islands, integration model

Page 5: Tojo Una Una

RINGKASAN

DWI SULISTIAWATI. Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing Oleh : LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, dan A. MASYAHORO.

Gugus Pulau Batudaka terletak di Kepulauan Togean Teluk Tomini yang ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Sumberdaya Alam dengan status Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya alam pulau-pulau kecil (PPK) yang dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi masyarakat. Meningkatnya aktivitas masyarakat seperti kegiatan wisata, dan perikanan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap ekosistem yang mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya PPK. Pengembangan Gugus Pulau Batudaka dapat dilakukan apabila penataan ruang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dilakukan dengan baik, yaitu memperhatikan karakteristik pulau kecil terkkait interaksi sifat ekologis perairan tehadap keterkaitan kesesuaian pemanfaatan ruang, daya dukung kawasan melalui integrasi wisata-perikanan, dan pengelolaan yang efektif, lestari serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Tujuan umum penelitian adalah mendesain pemanfaatan ruang kawasan berbasis sistem sosial ekologi secara berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah (1) Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan yang dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan, dan (2) Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka. Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008– Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah penelitian yakni kawasan pulau yang memiliki kegiatan pemanfaatan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka dengan 15 stasiun pengamatan biofisik dan pengambilan data sosial ekonomi 6 desa. Jenis data yang dikumpulkan yakni data biofisik kimia perairan, sosial ekonomi (wisatawan, nelayan dan masyarakat setempat) dan kelembagaan (institusi), serta data citra satelit. Data tersebut bersumber dari data primer (dilakukan dengan metode wawancara dan pengukuran/pengamatan langsung di lapangan dan laboratorium) dan sumber data sekunder dari instansi terkait. Penggalian isu dan permasalahan difokuskan pada pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses) untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem dan dampak berupa respon ekologi, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan untuk pengelolaan Gugus Pulau Batudaka. Ketiga respon tersebut dihitung dengan analisis kesesuaian pemanfaatan ruang (GIS) yang dapat memberikan gambaran dampak aktivitas utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan di Gugus Pulau Batudaka; Penilaian pemanfaatan wisata dan perikanan dalam hubungannya dengan kapasitas area di kawasan tersebut menggunakan pendekatan Ecological Footprint Analysis/EFA, HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis) serta valuasi ekonomi pemanfaatan gugus pulau yang diintegrasikan dengan optimasi model dinamik untuk kegiatan wisata dan perikanan secara berkelanjutan.

Page 6: Tojo Una Una

Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka meliputi faktor pengarah (driving force) yaitu aktivitas masyarakat maupun proses ekonomi yang menpengaruhi kualitas dan kuantitas ekosistem sepeti konsumsi, produksi, pemukiman, perpindahan penduduk. Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut, yakni polusi, limbah, ekstraksi sumberdaya alam, penggunaan lahan. State merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan akibat tekanan pada kondisi ekosistem, kesehatan masyarakat dan kondisi kehidupan atau dengan kata lain bagaimana kondisi perubahan ekosistem yang diakibatkan hasil aplikasi tekanan yang terjadi. Penilaian tekanan yang terjadi di Gugus Pulau Batudaka menggunakan kerangka DPSIR maka pada aspek ekologi ditekankan bahwa penyusunan tata ruang di kawasan tersebut harus sesuai dengan daya dukung, memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan sehingga dalam penyusunannya harus melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder yang memanfaatkan sumberdaya pesisir serta pada aspek kebijakan, arahan penyusunan tata ruang harus bersesuaian dengan pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis kesesuaian wisata dan daya dukung ekologis kawasan Gugus Pulau Batudaka masih layak untuk mendukung kegiatan wisata dengan kategori sangat sesuai (79 ha) untuk wisata selam, sangat sesuai (129 ha) untuk wisata snorkeling dan kategori sangat sesuai (845 ha) untuk penangkapan ikan karang dan kategori sesuai (2 858 ha) untuk kegiatan budidaya rumput laut serta dengan daya dukung sebanyak 21 817 wisatawan/tahun yang ditunjang pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala regional dan didukung hasil analisis HANNP untuk level regional lebih tinggi dibanding lokal. Hasil CLSA bahwa mata pencahariannya dikategorikan sebagai usaha sumberdaya perikanan (produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran), usaha pemanfaatan sumberdaya lainnya (pariwisata, penelitian) dan usaha pendukung lainnya (transportasi, indutri perdagangan, usaha penyedia konsumsi rumah tangga nelayan). Pengaruh aktivitas masyarakat terhadap ekosistem pesisir terutama terjadi perubahan pada ekosisitem terumbu karang akibat terjadinya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom dan bius). Kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan pengetahuan dan keterampilan serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata pencaharian serta modal, dengan pilihan insentif dari pemerintah. Strateginya yakni penciptaan lapangan kerja alternatif, mendekatkan dengan sumber modal, teknologi, pasar serta aksi solidaritas di masyarakat. Hasil valuasi ekonomi untuk wisata memperoleh nilai surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per individu per tahun dan nilai ekonomi kawasan wisata kawasan Gugus Pulau Batudaka sebesar US$ 58 273. Hasil simulasi integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka menunjukkan surplus ekologis (0.02 kali dari kapasitas area tangkapan) dapat menampung wisatawan sebanyak 5 917 wisatawan pada akhir tahun simulasi, didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus sebagai indikator keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan.

Kata Kunci: Wisata, Perikanan, Gugus Pulau Batudaka, Model Integrasi

vi

Page 7: Tojo Una Una

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 8: Tojo Una Una
Page 9: Tojo Una Una

MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS

PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA

PROVINSI SULAWESI TENGAH

DWI SULISTIAWATI

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 10: Tojo Una Una

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Dr. Sudirman Saad 2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri

Page 11: Tojo Una Una

Judul Disertasi : Model Integrasi Wisata–Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah

Nama : Dwi Sulistiawati

NRP : C261060031

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Dr. Ir. A. Masyahoro, M.Si. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 21 Maret 2011 Tanggal Lulus :

Page 12: Tojo Una Una
Page 13: Tojo Una Una

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga Disertasi yang berjudul “Model Integrasi Wisata-Perikanan di

Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah”

dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku

Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin dan Dr.Ir. A. Masyahoro,

M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan

dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai

penulisan Disertasi ini, juga kepada Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc,

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian

Tertutup, Dr. Sudirman Saad dan Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri selaku Penguji

Luar Komisi pada Ujian Terbuka, Ketua Program Studi SPL, Dosen dan

Mahasiswa Program Studi SPL yang telah memberikan masukan yang sangat

berarti bagi perbaikan Disertasi ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula

kepada Rektor Universitas Tadulako yang telah memberikan izin tugas belajar

dengan beasiswa BPPS Dikti, Lembaga Penelitian Universitas Tadulako yang

memfasilitasi dan membantu percepatan penyelesaian studi pascasarjana seluruh

staf pengajarnya di seluruh perguruan tinggi melalui pemberian bantuan dana

penelitian, Hibah Penelitian Dikti (Hibah Doktor dan Penelitian Strategis

Nasional), Pemda Provinsi Sulawesi Tengah, dan bantuan penulisan disertasi dari

Coremap II.

Penulis menyadari bahwa Disertasi penelitian ini masih banyak

kekurangannya, untuk itu penulis memohon masukan dari berbagai pihak.

Bogor, April 2011

Penulis

Page 14: Tojo Una Una
Page 15: Tojo Una Una

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palu Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 30 Agustus 1969 sebagai anak kedua dari pasangan H. Supandi Abd. Aziz dan H. Muznah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan Magister Pertanian di Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sejak tahun 1994. Bidang keilmuan yang penulis geluti adalah nutrisi ternak berbasis ikan dan bidang penelitian yang ditekuni sejak penulisan tesis sampai disertasi dan penelitian-penelitian hibah strategis, serta berbagai kegiatan di tingkat nasional difokuskan pada kajian nutrisi ikan dan manajemen sumberdaya pesisir dan lautan.

Karya ilmiah berjudul “Manajemen Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Kasus di Teluk Palu Sulawesi Tengah)” telah diterbitkan dalam Prosiding Konferensi Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia I yang diterbitkan oleh Masyarakat Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia (MKSPI) tahun 2007. Sebuah artikel berjudul “Penilaian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan Produktivitas Primer di Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah” Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial ekonomi Kelautan dan Perkanan, “Penilaian Integrasi Dampak Biodiversitas Laut (Kasus di Gugus Pulau Batudaka Provinsi Sulawesi Tengah)” pada Jurnal Mutiara. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.

Page 16: Tojo Una Una
Page 17: Tojo Una Una

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiv 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 8 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 8 1.5 Kebaruan (Novelty) ................................................................................... 9 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 11 2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK) ..................................... 11 2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil.................................... 13 2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil ............................................ 20 2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ............................ 27 2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) ...... 27 2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis) ................. 30 2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)

.......................................................................................................................... 32 2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) ......................................................................... 34 2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan ....................... 38 2.5 Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ............................. 41 2.6 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ......................... 44 2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah Konservasi ............................................................................................... 47 2.7.1 Wisata ...................................................................................................... 49 2.7.2 Perikanan ................................................................................................. 50 2.8 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 51 3 METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 55 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 55 3.2 Metode Penelitian .................................................................................... 55 3.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 55 3.3.1 Jenis Data ................................................................................................ 55 3.3.2 Metode Pengambilan Data ...................................................................... 57 3.4 Metode Analisis Data .............................................................................. 64 3.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses) ... 65 3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ........................................................... 65 3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis) ........................ 70 3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity) ................ 75 3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) ......................................................................... 76 3.4.6 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau .......................................... 76 3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan ................................................... 80 4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN ............................. 91 4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) ...... 92

Page 18: Tojo Una Una

4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers) ....................... 92 4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures) ..................................... 95 4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes) ........... 96 4.1.4 Dampak (Impact) ................................................................................... 101 4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options) ................................................... 106 4.2 Sistem Ekologi ....................................................................................... 109 4.2.1 Batas Sistem Ekologi ............................................................................. 109 4.2.2 Kondisi Morfologi ................................................................................. 115 4.2.3 Kondisi Iklim ......................................................................................... 118 4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan ................................................................ 119 4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan ........................................... 124 4.3.1 Sistem Sosial ......................................................................................... 124 4.3.2 Kegiatan Ekonomi ................................................................................. 126 4.3.3 Kelembagaan ......................................................................................... 134 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 137 5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ......................................................... 137 5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka .................. 137 5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil ............. 141 5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka

........................................................................................................................ 160 5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil ...................... 172 5.2.1 Daya Dukung Wisata ............................................................................. 172 5.2.2 Daya Dukung Perikanan ........................................................................ 176 5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production) . 180 5.3.1 Profil Metabolik ..................................................................................... 180 5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity) .............. 184 5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) ..................................................................................... 186 5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat ........... 186 5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka ............................................... 189 5.4.3 Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka ..... 200 5.4.4 Pemilihan Insentif .................................................................................. 205 5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian. ...................................... 206 5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau ........................................ 208 5.5.1 Wisata .................................................................................................... 208 5.5.2 Perikanan ............................................................................................... 217 5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau ......................................... 218 5.6.1 Sub Model Wisata ................................................................................. 219 5.6.2 Sub Model Perikanan ............................................................................ 222 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 233 6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 233 6.2 Saran ...................................................................................................... 233 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 235

xviii

Page 19: Tojo Una Una

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran model integrasi wisata-perikanan Gugus Pulau Batudaka 7 2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan pengelolaan

berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika 2009) .................... 16 3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk meng- evaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et al. 2000) .... 28 4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di kawasan

pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan Hanley 2001) .... 31 5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi Erb et

al. 2007) ............................................................................................................ 34 6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata pencaharian (DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008).................................................... 35 7 Kerangka makro pengembangan mata pencaharian alternatif (Ellison dan Allis 2001) ................................................................................... 36 8 Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001) ................................... 37 9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan Rinaldi 2002) .. 44 10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (Adrianto dan Matsuda 2004) ................................................................. 47 11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder 2005) ...................................................................................... 48 12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi ............................... 58 13 Kerangka sampling sosial ekonomi ................................................................. 63 14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka

.......................................................................................................................... 64 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka ........................................................................................................... 80 16 Causal loop daya dukung wisata ..................................................................... 82 17 Causal loop populasi ........................................................................................ 83 18 Causal loop produksi perikanan lokal.............................................................. 85 19 Causal loop produksi perikanan regional ........................................................ 85 20 Causal loop daya dukung perikanan ................................................................ 87 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ..... 88 22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan pengelolaan Gugus Pulau Batudaka ..................................................................................... 91 23 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif Tahun 2003-2008 di Kecamatan Una-Una .................................................................................... 93 24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 .................................... 98 25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010 .................................... 99 26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis Lab. Ilmu

Tanah UNTAD 2009) ..................................................................................... 112 27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab. Tojo Una-Una 2003-2009) ..................................................................................... 118 28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka .............................................. 121

Page 20: Tojo Una Una

29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean .............................................................. 127 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama ................................. 138 (b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama .................................... 138 31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu .......... 142 32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka ................................... 144 33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu... 146 34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka ............................ 148 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka ....................................... 149 36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka

........................................................................................................................ 151 37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu

........................................................................................................................ 153 38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka ... 155 39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau

Batudaka ......................................................................................................... 158 40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya

rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka ........................................................... 159 41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ....... 161 42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean

2007) ............................................................................................................... 164 43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean ........ 165 44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP

di Gugus Pulau Batudaka ................................................................................ 167 45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi

RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka ............................................................... 169 46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau

Batudaka ......................................................................................................... 171 47 Perbandingan EF wisatawan dan KS wisata .................................................. 175 48 Perbandingan EF perikanan dan KS perikanan .............................................. 179 49 HANPP perikanan lokal dan regional ............................................................ 185 50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda Touna Touna 2009) .................................................................................................... 188 51 Perubahan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam 10 tahun terakhir ...... 192 52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009) .................... 194 53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka ................................................ 202 54 Kurva penawaran wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ........................ 210 55 Kurva permintaan wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ....................... 212 56 Kondisi kesetimbangan pasar aktivitas wisata ............................................... 215 57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010)........................ 216 59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC .............................................. 221 60 Diagram alir sektor populasi .......................................................................... 222 61 Diagram alir sektor produksi .......................................................................... 224 62 Diagram alir sektor ecological footprint ........................................................ 226 63 Hasil simulasi EF perikanan ........................................................................... 227 64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ........................ 228 65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan..................................................... 228

xx

Page 21: Tojo Una Una

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Keterbatasan (limitation) yang ada di metode penelitian ................................... 9 2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau besar, dan benua ............................................................................................... 13 3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil .............................................................. 17 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang .................... 19 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem dan

jasa utama yang diperankan ............................................................................. 19 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan .............................................. 20 7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan ................................................................................... 51 8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu .................................... 53 9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian ....................................... 56 10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian ........................... 57 11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi ....................................................... 62 12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam ...................................... 67 13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling .............................. 67 14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang ............................................... 68 15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut .................................... 68 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka ...................... 74 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008 ............................... 75 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian .................................................. 90 19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka ............................................ 96 20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010 .................... 100 21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007 .................................... 102 22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per kecamatan (Rp) ................................................................................................................ 105 23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kerangka DPSIR ........................................................................ 108 24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%) ................................ 110 25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una ............................... 110 26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks

nilai penting pada tiap tingkatan pohon ........................................................ 113 27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka ........................ 114 28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa ............... 115 di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una–Una Tahun 2008 ................... 115 29 Pola angin di Kepulauan Togean ................................................................... 119 30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una .................. 120 31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009) ........... 124 32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut ........... 128 33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una ...................................................................................... 129 33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ...................... 130 34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean ...... 136

Page 22: Tojo Una Una

35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk pengamatan di 15 Stasiun Biofisik ................................................................. 137 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan Gugus Pulau Batudaka ............................................................................................... 139 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam .............................. 143 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling ....................... 145 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang .......... 150 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut ................................ 152 41 Luasan untuk kegiatan wisata ......................................................................... 156 42 Luasan untuk kegiatan perikanan ................................................................... 157 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan ........................................................ 160 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR .............. 163 Kepulauan Togean Tahun 2007 ...................................................................... 163 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean .......................................................................................... 163 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean .......................................................................................... 168 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan) ...................................................... 172 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan ....................................................... 173 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka

........................................................................................................................ 173 50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional ........................ 177 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus Pulau Batudaka dengan daerah lain ................................................................ 178 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una ... 180 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009 ................................................ 181 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2008 ..................................................................................... 181 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) 182 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional ........................................ 184 57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka ........................ 189 58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka ............................................... 190 59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka .................................................. 191 60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau Batudaka ......................................................................................................... 193 61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka ................................................ 195 62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka .......................................... 197 63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka ............................................... 199 64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka ..................................... 201 65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka ............................................. 203 66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka ....... 204 68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka..................... 209 66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus Pulau Batudaka ............................................................................................... 211 67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ...... 216 68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap .............................. 217

xxii

Page 23: Tojo Una Una

69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ............................................................................................. 218 70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun .............................. 220 71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk ........................ 223 72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi ........................................ 225 73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka ....... 225 74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF

perikanan ........................................................................................................ 226 75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi .... 229 domestik dan EF perikanan ............................................................................ 229 76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi ................................ 231

xxiii

Page 24: Tojo Una Una

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) ............................ 247 2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus Pulau

Batudaka ......................................................................................................... 249 3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka.... 250 4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau Batudaka

Kecamatan Una-Una ....................................................................................... 252 5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo Una-Una.... 253 6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una ....... 254 7 Hasil perhitungan analisis penawaran ............................................................ 256 8 Hasil perhitungan analisis permintaan ............................................................ 257 9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara di

Kabupaten Tojo Una-Una ............................................................................... 259 10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan asal

begara Tahun 2006-2009 ................................................................................ 259 11 Hasil identifikasi responden wisatawan ........................................................ 260 12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat

tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal) ........................................ 262 13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat

tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional) .............................. 263 14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka

........................................................................................................................ 264 15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka .. 265 

Page 25: Tojo Una Una

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gugus Pulau Batudaka dengan luas daratan sebesar 30 075 ha dan perairan

sebesar 61 038 ha (4 mil dari pantai), secara administrasi termasuk wilayah

Kecamatan Una-Una dengan jumlah penduduk 13 106 jiwa (BPS Touna 2009),

terletak di Kepulauan Togean Teluk Tomini. Gugus Pulau Batudaka merupakan

bagian Kawasan Pelestarian Sumberdaya Alam dengan status Taman Nasional

Kepulauan Togean (TNKT) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui

Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober

2004 yakni seluas 362 605 ha sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi

Taman Nasional.

Manfaat yang telah diperoleh dari kawasan ini selain sebagai obyek

wisata, juga merupakan tempat/areal pemancingan tradisional etnis Bajo sejak

dulu. Hal ini berkaitan dengan tradisi bapongka, yaitu suatu pola penangkapan

ikan yang dilakukan secara berkelompok (beberapa keluarga) yang memerlukan

waktu sekitar dua bulan menjajaki terumbu karang yang satu ke terumbu karang

lainnya hingga kembali lagi ke terumbu karang semula (Damanik et al. 2006).

Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka

Kecamatan Una-Una pada sektor perikanan masih dilakukan dalam skala kecil,

mereka masih sangat mengandalkan kekuatan unit ekonomi keluarga dan

penggunaan peralatan tangkap tradisional (misalnya : pancing, jaring, bubu).

Jenis biota seperti teripang, lobster, penyu dan ikan hiu merupakan obyek

penangkapan nelayan-nelayan setempat. Penangkapan ikan karang semakin

marak dilakukan saat diperkenalkannya perdagangan ikan karang hidup untuk

keperluan ekspor. Pengusaha ikan hidup pertama kali masuk di Kepulauan Togean

sekitar tahun 1992, dan sedikitnya terdapat 4 perusahaan perdagangan ikan hidup

yang beroperasi di Kepulauan Togean (CII 2006). Pada Tahun 2009 ekspor ikan

hidup Kecamatan Una-Una sekitar 500 kg/bulan (DKP Kec. Una-Una 2010).

Berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomis (ekspor) juga

merupakan aset yang potensial dari perikanan karang. Berdasaran hasil penelitian

yang dilakukan Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) pada tahun 2003-2004 di

Page 26: Tojo Una Una

2

daerah Pagimana dan Bualemo (Kab. Banggai) sebagai pusat pendaratan ikan

karang dari sekitar Kepulauan Togean, diperoleh jenis dominan yang tertangkap

pancing adalah ikan kakap dan ikan kerapu, masing-masing sekitar 7% dan 13%

dari total pendaratan; gurita/suntung batu merupakan target penangkapan lain dan

memberi kontribusi sekitar 17%. Ikan karang yang paling dominan tertangkap

dikelompokan dengan nama ’daging putih’ (Lethrinidae) sebesar 34% dari total

hasil tangkapan. Selain itu, terdapat ikan lolosi (Caesio erithrogaster) yang cukup

banyak didaratkan (kira-kira 15%), namun jenis ini diduga merupakan hasil

tangkapan secara ilegal (pengeboman atau pembiusan) (BRPL 2005).

Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar pada sektor

pariwisata khususnya bagi wisatawan mancanegara (wisman) yang ingin

menikmati pemandangan bawah laut. Sejak 20 tahun lalu, Kepulauan Togean

telah didatangi oleh wisman, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90-

an. Sejak saat itu beberapa investor melihat Kepulauan Togean sebagai tempat

potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata, terutama penyediaan tempat

penginapan dan penyewaan peralatan selam Scuba Diving dan Snorkeling. Pada

Tahun 2003, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Kepulauan

Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional (CII 2006).

Beberapa atraksi wisata alam, seperti pembuatan jalur tracking di hutan

Malenge serta pembuatan jembatan kayu menyusuri hutan bakau di Desa

Lembanato. Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, tahun 1999 JET

(Jaringan Ekowisata Togean) dianugerahi British Airways Award untuk kategori

Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Data kunjungan wisatawan manca

negara (wisman) yang mengunjungi Kepulauan Togean pada tahun 1995 hanya

1 500 orang dan meningkat menjadi 5 000 orang tahun 1996, tahun 1999 sekitar

8 000 orang dengan lama menginap 5-10 hari. Kunjungan wisatawan menurun

tajam lebih dari 80% pada tahun 2000 ketika terjadi kerusuhan Poso, namun

meningkat kembali pada tahun 2004 (Disbudpar Kab. Touna 2006). Data tahun

2005 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Togean berjumlah 5 000

orang (Kasim 2007). Selanjutnya dinyatakan bahwa lama tinggal wisman 4-7

hari dengan rata-rata pengeluaran Rp. 79 190/hari serta sumber informasi

Page 27: Tojo Una Una

3

diperoleh dari iklan, teman dan pameran (masing-masing sebesar 63%, 21% dan

17%).

Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) merupakan Taman Nasional

yang tergolong baru dalam pengelolaannya masih menghadapi banyak tantangan

utamanya yang bersumber dari konflik kepentingan para pihak dalam kegiatan di

antaranya penangkapan ikan, pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan area

wisata. Konflik kepentingan kawasan wisata, budidaya perikanan, budidaya

kerang mutiara dan area pemancingan juga merupakan hal yang perlu

mendapatkan pemecahan, disamping efek lain dari kegiatan-kegiatan tersebut

misalnya polusi, dari buangan limbah rumah tangga (padat dan cair). Laapo

(2010) melaporkan Selat Batudaka telah tercemar ringan yang terkait dengan

meningkatnya aktivitas masyarakat termasuk wisata dan kegiatan pemanfaatan

lain (perikanan dan transportasi).

Penangkapan ikan dengan cara yang merusak seperti dengan

menggunakan bahan peledak (bom), peracunan dengan menggunakan sianida dan

pengambilan hasil laut dengan pembiusan menggunakan kompresor sangat

mengancam kehidupan dan sumberdaya perairan taman nasional karena berakibat

rusaknya habitat (terumbu karang dan mangrove) dan sumberdayanya sendiri

(ikan dan invertebrata). Ancaman di daratan cenderung terus meningkat, tekanan

terhadap hutan tropis dataran rendah dan hutan bakau untuk memenuhi kebutuhan

areal pemukiman, perkebunan/ pertanian, infrastruktur dan kebutuhan kayu

pertukangan maupun kayu bakar.

Pengelolaan kawasan ini dapat dikatakan kurang optimal, dimana sejak

ditetapkannya sebagai TNKT hingga saat ini belum ada zonasi kawasan yang jelas

dalam pengelolaannya. Dalam perkembangannya kemudian, kawasan ini

ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka

melalui Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah

Nasional pada tanggal 10 Maret 2008. Kebijakan pengelolaan kawasan tersebut

pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan, yaitu

pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir dan laut untuk meningkatkan

kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta

untuk tetap menjaga kelestarian kawasan tersebut. Sampai saat ini,

Page 28: Tojo Una Una

4

pengelolaannya belum dilakukan secara efektif yaitu hampir semua kawasan

muncul fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, dan eksploitatif.

Pengurangan luas hutan, konversi hutan mangrove, perusakan habitat terumbu

karang, menurunnya kualitas obyek wisata laut serta penangkapan hasil laut

secara berlebih (overfishing) juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial

penduduk.

Pengelolaan Kepulauan Togean yang kurang efektif tersebut didorong oleh

bererapa faktor seperti kurangnya kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu

dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga berbagai kepentingan sektor

dunia usaha maupun masyarakat setempat. Sebelum menjadi Taman Nasional,

kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut sebagian besar

berada pada pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una (Touna). Sebagai kabupaten

baru, pemda Kabupaten Touna memiliki kepentingan sangat besar terhadap

Kepulauan Togean, baik bagi pertumbuhan ekonomi kawasan maupun

pembangunan kualitas hidup penduduk setempat (Manaf 2007). Semua pihak

yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang

berwenang. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang

sering berbeda sehingga muncul gap atau pun tumpang tindih dalam

pelaksanaannya di lapangan. Kebijakan pemanfaatan dan penyelesaian masalah

yang selama ini dilakukan secara sektoral dan parsial yaitu setiap instansi

menyusun perencanaan sendiri sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya sehingga

kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat dan

lingkungannya. Perbedaan tersebut memicu konflik pemanfaatan dan kewenangan

termasuk aspek penegakan hukum, yang belum mampu menjamin pemanfaatan

jasa lingkungan secara berkelanjutan sesuai tingkat kebutuhan pihak-pihak

(stakeholders) yang berkepentingan.

Mengingat luasnya Kepulauan Togean dan pertimbangan pemanfaatan

ruang untuk kegiatan pariwisata, perikanan, pemukiman terpadat dan sentra

ekonomi berada di Gugus Pulau Batudaka maka wilayah penelitian dibatasi di

kawasan tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian

Page 29: Tojo Una Una

5

Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo

Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah.

1.2 Perumusan Masalah

Secara alami kawasan pesisir Gugus Pulau Batudaka memiliki ekosistem

antara lain terumbu karang, mangrove, dan padang lamun Ketiga komponen

ekosistem tersebut pada saat ini mengalami penurunan daya dukung seperti

rusaknya ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut yang diakibatkan oleh

aktivitas penangkapan ikan sebagian nelayan dengan menggunakan bahan peledak

(CII 2005) yang sangat mengancam perkembangbiakkan dan pertumbuhan

terumbu karang termasuk biota ikan. Ancaman lain adalah banyaknya pohon

mangrove yang ditebang untuk lahan pertanian (kelapa dan coklat) oleh penduduk

setempat dan pemukiman (Wallace 1999). Pembukaan lahan ini memberikan

kontribusi terhadap abrasi pantai, yang pada gilirannya akan mengakibatkan

terbentuknya deposit sedimen yang dapat menyebabkan kerusakan bahkan

kematian terumbu karang dan padang lamun.

Zamani et al. (2007) melaporkan bahwa secara spasial luasan terumbu

karang di Kepulauan Togean dari hasil klasifikasi citra tahun 2001 dibandingkan

hasil klasifikasi citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luasan

karang dari 11 064 ha pada tahun 2001 turun menjadi 9 768 ha pada tahun 2007

atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu karang sebesar 1 296 ha

(11.72%). Perbandingan hasil pengamatan MRAP pada tahun 1998 dengan hasil

survey lapang pada tahun 2007 dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept

Transect), penurunan luas ini tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan

persentase penutupan terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan.

Luasan mangrove dari 5 323 ha pada tahun 2001 turun menjadi 5 051 ha

pada tahun 2007, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar

272 ha (5.1% dari luas pada tahun 2001). Ekosistem padang lamun di Kepulauan

Togean relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan ekosistem karang maupun

ekosistem mangrove, pada tahun 2001 seluas 281 ha dan pada tahun 2007 terjadi

penurunan menjadi 190 ha. atau selama 6 tahun terjadi penurunan sebesar 92 ha

(32.6%). Penurunan ini mengakibatkan berbagai dampak baik fisik seperti abrasi

Page 30: Tojo Una Una

6

dan sedimentasi, maupun dampak biologi seperti hilangnya zonasi mangrove dan

habitat fauna mangrove. Selain itu, tangkap lebih terhadap penyu, kimah,

teripang, ikan napoleon juga terjadi dan semuanya diperuntukkan bagi

kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial penduduk. Namun, beberapa lokasi

obyek wisata memiliki kualitas dan kuantitas terumbu karang yang baik dibanding

kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan (Zamani et al. 2007).

Kebijakan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean khususnya di

Gugus Pulau Batudaka yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil yang

nyata terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dari sisi sosial ekonomi kegiatan

wisata bahari karena kurangnya melibatkan masyarakat. Penetapan kawasan ini

menjadi taman nasional juga menimbulkan keresahan masyarakat saat ini.

Disamping itu, masih banyak terjadi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang

sifatnya merusak. Hal ini menunjukkan ketidakberhasilan TNKT, pemerintah

setempat dan masyarakat lokal dalam menangani berbagai permasalahan

pengelolaan kawasan baik dalam penetapan zonasi maupun pemanfaatannya

untuk berbagai kegiatan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok yang perlu dijawab yaitu :

1 Bagaimana interaksi sifat ekologis perairan tehadap keterkaitan kesesuaian

pemanfaatan ruang serta berapa besar daya dukung lingkungan di zona

pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata dan perikanan;

2 Bagaimana pengelolaan yang efektif dan lestari dalam pemanfaatan untuk

wisata dan perikanan yang terintegrasi secara spasial di kawasan tersebut.

Adapun kerangka pemikiran integrasi wisata-perikanan dalam pengelolaan Gugus

Pulau Batudaka tertera pada Gambar 1.

Page 31: Tojo Una Una

7

Gambar 1 Kerangka pemikiran model integrasi wisata-perikanan Gugus Pulau Batudaka

Sistem Sosial Ekologi Gugus Pulau Batudaka

Permasalahan : - Interaksi ekologis terhadap keterkaitan kesesuaian pemanfaatan ruang dan daya dukung lingkungan antara wisata dan perikanan? - Pengelolaan lestari?

Sesuai

Sistem Sosial Ekologi

Valuasi ekonomi : - Wisata - Perikanan

Kesesuaian ruang (GIS)

Daya dukung (EFA)

Pemanfaatan Ruang OptimalKebijakan PPK Berkelanjutan

Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka

No (-)

Fee

dbac

k A

naly

sis

Pendekatan DPSIR : Analisis faktor-faktor penyebab tekanan terhadap ekosistem

di Gugus Pulau Batudaka

Pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka (Wisata, Perikanan dan lainnya)

Potensi Sumberdaya dan Sosial Ekonomi PPK

Analisis Sosial (CLSA, HANPPP)

Pengelolaan PPK

Verifikasi dan Validasi

No (-)

Model Dinamik

Yes (+)

Sesuai

Yes (+)

Page 32: Tojo Una Una

8

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah mendesain pemanfaatan ruang kawasan

Gugus Pulau Batudaka berbasis sistem sosial ekologi secara berkelanjutan.

Tujuan khusus penelitian :

1 Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya

dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau Batudaka yang

dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan;

2 Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial

di Gugus Pulau Batudaka.

Manfaat penelitian adalah :

1 Tersedianya data dan informasi tentang kesesuaian pemanfaatan ruang

untuk kegiatan wisata dan perikanan sesuai daya dukung lingkungan di

Gugus Pulau Batudaka;

2 Sebagai salah satu acuan bagi pengambil kebijakan dalam perumusan dan

pengimplementasian pengelolaan PPK di Kepulauan Togean;

3 Sebagai salah satu contoh pendekatan aplikasi model integrasi wisata-

perikanan dalam pengelolaan PPK di Indonesia. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah :

1 Penelitian difokuskan pada pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–

States–Impacts–Responses) untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor

penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem dan kesesuaian

pemanfaatan ruang (GIS) yang memberikan gambaran dampak aktivitas

utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan di Gugus

Pulau Batudaka;

2 Penilaian intensitas penggunaan wisata dan perikanan dalam hubungannya

dengan kapasitas area di kawasan tersebut menggunakan pendekatan

Ecological Footprint Analysis/EFA, HANPP (Human Appropriation of

Net Primary Production), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis)

serta valuasi ekonomi pemanfaatan Gugus Pulau yang diintegrasikan

dengan optimasi model dinamik untuk kegiatan wisata dan perikanan

secara berkelanjutan.

Page 33: Tojo Una Una

9

1.5 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan dari penelitian berdasarkan kerangka pendekatan sistem sosial

ekologi dengan mengintegrasikan faktor metabolisme sosial yang

direpresentasikan berdasarkan daya dukung ekologis (EF, HANPP) dan analisis

temporal kesesuaian menghasilkan adaptif zoning bagi pemanfaatan wisata dan

perikanan sebagai alat bantu desain tata letak pemilihan kawasan wisata,

perikanan di PPK.

Inti dari kerangka pemikiran-analisis (Core of Analytical Framework)

yakni pendekatan sistem sosial ekologi menggunakan DPSIR untuk penggalian

isu dan permasalahan pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka yang dijabarkan

melalui respon sosial, ekonomi, dan ekologi menggunakan metode analisis yang

sesuai, maka keterbatasan (limitation) dalam penelitian tertera pada tabel berikut. Tabel 1 Keterbatasan (limitation) yang ada di metode penelitian No. Metode Keterbatasan 1 DPSIR Tidak semua unsur yang difokuskan pada masalah

penelitian dapat tercakup dengan cepat dan mudah, terutama semua komponen masyarakat tidak dapat duduk bersama yang berimplikasi pada kebutuhan maupun penurunan respon (sosial, ekonomi, dan ekologi).

2 Kesesuaian pemanfaatan (GIS)

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya rumput laut memerlukan analisis temporal yang lebih detail berkaitan waktu pemeliharaan.

3 TEF, FEF Ketersediaan data sekunder untuk wisata dan perikanan yang terbatas.

4 HANPP Data produksi ikan di kawasan studi 5 CLSA Implementasi pengembangan mata pencaharian

masyarakat berbasis insentif 6 Valuasi ekonomi Ketersediaan data primer dan sekunder untuk wisata,

perikanan 7 Analisis dinamik Kelambatan waktu (delay time) pertumbuhan populasi

penduduk dan ikan tidak dipertimbangkan dalam model karena hal tersebut merupakan kajian tersendiri;

Page 34: Tojo Una Una

10

Page 35: Tojo Una Una

11

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK)

Secara umum pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil adalah

kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi

ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara

sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pulau kecil adalah

pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan

ekosistemnya.

Secara ekologis pulau kecil terpisah dari pulau induk (mainland island),

memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil sehingga bersifat insular, memiliki

sejumlah biota endemik, keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai

ekonomis tinggi. Pulau kecil memiliki daerah tangkapan air (water catchment

area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sedimen akan

langsung masuk ke laut. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat bersifat

khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP 2001).

Ada tiga kriteria tentang batasan PPK yaitu : 1) batasan fisik pulau (luas

pulau), 2) batasan ekologis, proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan 3)

keunikan budaya. Selain kriteria tersebut, indikasi besar-kecilnya pulau terlihat

dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri 1998).

Bengen dan Retraubun (2006) menggolongkan pulau berdasarkan proses

geologinya :

1. Pulau Benua (Continental Island), terbentuk sebagai bagian dari benua dan

setelah itu terpisah dari daratan utama, tipe batuan kaya akan silika. Biota

yang terdapat dalam tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama;

2. Pulau Vulkanik (Volcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi

yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan

dari ini adalah basalt, silika (kadar rendah);

3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) terbentuk oleh terumbu

karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika

Page 36: Tojo Una Una

12

proses ini berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut

berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan;

4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dengan ketinggian

daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan

terhadap bencana alam, seperti angin taufan dan tsunami;

5. Pulau Atol (Atolls) adalah pulau karang yang berbentuk cincin, umumnya

adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang

berbentuk fringing reef kemudian menjadi barrier reef dan akhirnya

menjadi pulau atol.

Hehanusa (1993) membuat klasifikasi PPK di Indonesia berdasarkan

morfologi dan genesis pulau yaitu : (1) Pulau Berbukit dan, (2) Pulau Datar.

Pulau Berbukit terdiri atas : Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras

Terangkat, Pulau Petabah (monadnock) dan Pulau Gabungan. Pulau Datar terdiri

atas : Pulau Aluvium, Pulau Koral dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan

lebih kecil dari 50 km2. Ongkosongo (1998) lebih menekankan pada proses

pembentukan pulau tersebut, yaitu:

1 Penurunan muka laut, contohnya, P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di

Kepulauan Riau;

2 Kenaikan muka laut, contohnya Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun

Kecil, juga di Kepulauan Riau;

3 Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya P. Christmas, P. Nias

4 Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya Kepulauan Hawai;

5 Amblesan daratan, contohnya P. Digul;

6 Erosi, contohnya P. Popole di Jawa Barat;

7 Sedimentasi contohnya : pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis;

8 Volkanisme, contohnya P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua;

9 Biologi, biota terumbu karang dan asosiasinya, contoh di Kep. Seribu;

10 Biologi, Biota lain (mangrove, lamun dan lain-lain), contohnya P. Karang

Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan;

11 Pengangkatan Daratan, contohnya P. Manui di Sulawesi Tengah;

12 Buatan Manusia, contohnya Lapangan Udara Kansai Osaka Jepang;

13 Kombinasi berbagai proses, contohnya P. Rupat.

Page 37: Tojo Una Una

13

Karakteristik PPK yang dibandingkan dengan pulau besar dan benua

berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi, dan ekonomi (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau besar, dan benua

Pulau Kecil Pulau Besar Benua Karakteristik Geografis

Jauh dari benua Dekat dari benua Area sangat besar Dikelilingi oleh laut luas Dikelilingi sebagian oleh

laut yang sempit

Suhu udara bervariasi

Area kecil Area besar Iklim musiman Suhu udara stabil Suhu udara agak bervariasi Iklim sering berbeda dengan

pulau besar terdekat Iklim mirip benua terdekat

Karakteristik Geologi Umumnya karang atau

vulkanik Sedimen atau

metamorphosis Sedimen atau metamorfosis

Sedikit mineral penting beberapa mineral penting beberapa mineral penting Tanahnya porous/ permeabel Beragam tanahnya Beragam tanahnya

Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati

teresterial rendah, namun memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi

Keanekaragaman hayati sedang

Keanekaragaman hayati tinggi

Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan

Pergantian spesies agak rendah

Pergantian spesies biasanya rendah

Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

Karakteristik Ekonomi Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya daratan agak

luas Sumberdaya daratan luas

Sumberdaya laut lebih penting

Sumberdaya laut lebih penting

Sumberdaya laut sering tidak penting

Jauh dari pasar Lebih dekat pasar Pasar relatif mudah Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006)

2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil

Menurut Briguglio (1995) karakteristik PPK yang unik yaitu berukuran

kecil, terisolasi, ketergantungan, rentan dan secara ekonomi hal ini tidak

menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan sumberdaya,

ketergantungan kisaran diversifikasi produk, keterbatasan mempengaruhi

perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan pengembangan skala

Page 38: Tojo Una Una

14

ekonomi. Faktor isolasi akan mengakibatkan tingginya biaya transpor per unit

serta ketidakpastian suplai, namun beberapa pulau yang telah dikembangkan

untuk pariwisata seperti di Kepulauan Maldive, Fiji, Karibia, keterbatasan tersebut

dapat diatasi secara ekonomi (Ghina 2003). Maldive yang telah berkembang

sebagai negara pariwisata bahari dikunjungi sekitar 500 000 turis setiap tahunnya.

Kepulauan Karibia mampu mengembangkan pariwisata bahari berbasis pulau-

pulau kecil dengan kontribusi 12% bagi PDB dari kunjungan 100 juta turis setiap

tahunnya. Pulau kecil Newfoundland (Kanada), dan Texel (Belanda),

dikembangkan sebagai sumber energi berbasis tenaga matahari dan angin,

budidaya perikanan dan pertanian, serta pariwisata.

PPK cenderung rentan terhadap bencana alam. Sifat rentan dimaksudkan

karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility). Ghina (2003)

merangkum dari berbagai sumber mengenai karakteristik pengelolaan PPK

berdasarkan sifat kerentanannya yaitu karena keterpencilan, ukuran fisik kecil,

kerapuhan dan keunikan ekologis, pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan

kepadatan tinggi, sumber alam yang terbatas terutama daratannya, ketergantungan

tinggi pada sumberdaya laut, peka dan mudah terekspose akibat bencana alam,

peka terhadap naiknya permukaan air laut dan perubahan iklim. Karakteristik

lainnya yakni pasar domestik kecil, ketergantungan barang ekspor dan impor yang

tinggi, ketidak-mampuan untuk mempengaruhi harga internasional, tingginya

biaya/unit pengangkutan, marginal, ketidakpastian persediaan barang, harus

menyimpan sejumlah besar barang, kerentanan perdagangan : ketergantungan

tinggi pada pajak perdagangan, industri domestik yang rentan, ketergantungan

pada pilihan/preferensi perdagangan, pembatasan pada kompetisi domestik,

berbagai kesulitan dalam menarik investasi langsung dari luar, peluang investasi

dan jasa komunikasi terbatas, permasalahan administrasi pemerintahan,

ketergantungan pada keuangan eksternal. Kaly et al. (2004) menambahkan bahwa

faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan tersebut karena bencana alam,

masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan

ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya.

Prinsip utama pembangunan PPK secara terpadu dan berkelanjutan, harus

mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Kay dan Alder 2005).

Page 39: Tojo Una Una

15

Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika PPK yang merupakan suatu

sistem dinamis saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam

sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran,

untuk itu diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan PPK.

Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social Ecological System (SES)

(Adrianto dan Aziz 2006). Pemikiran alternatif yang memberikan penjelasan

bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem sangat

diperlukan. Arus pemikiran utama ecological economics (EE) yang berkaitan

dengan nilai lebih (surplus value) dalam konteks keterbatasan ekosistem yakni

memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan waktu yang

lebih panjang antara sistem alam dan sistem ekonomi. Komitmen normatif dari

arus pemikikan utama EE adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat

yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat

berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya

maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Paradigma SES membicarakan unit

ekosistem seperti wilayah pesisir PPK, ekosistem mangroves, terumbu karang dan

lainnya berasosiasi dengan struktur dan proses sosial yang ada di mana aspek

sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan.

Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan PPK dapat dinyatakan

sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang

mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, untuk bersama-sama

untuk melindungi fungsi sistem alam untuk secara terus menerus menghasilkan

jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa

membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya

alam maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem tersebut

dan berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini dapat

dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog)–

Adam Smith (ekonom). kolaboratif, dalam suatu area geografik dengan

multifaktor eksternal/internal yang terkait indikator kunci pengelolaan pendekatan

ekosistem adalah membangun keberlanjutan keseimbangan ekologis dan sosio-

ekonomi. Pendekatan ini menjadi prinsip dasar pemandu dalam strategi

perencanaan untuk wilayah Pesisir PPK. Pemangku kepentingan terlibat secara

Page 40: Tojo Una Una

16

kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan bermanfaat dan dapat

mengerti dan memprediksi adaptasi pengelolaan ke depan (Nganro dan Suantika

2009). Pemilihan pendekatan ekosistem ini berdasarkan kompleksitas sebagai

proses interaksi, interkoneksi, jejaring, dinamik dan adaptif. Perubahan

paradigma tersebut tertera pada Gambar 2.

Gambar 2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan

pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika 2009)

Pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil dengan ’Konsep Ekosistem’ adalah

lebih tepat dewasa ini digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan

sumberdaya alam di Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif

lebih luas, integratif, mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup,

ruang, wilayah, kawasan dan lain-lain, secara saintifik terukur dan terprediksi, dan

telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia dan negara-negara lain

anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development

States/SIDS (Bass and Dalal-Clayton 1995). Informasi ekologis dalam Tabel 3

menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial)

dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif

karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan dari

dampak degradasi akibat aktivitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut

Zona Ekonomi Eksklusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas

perairan dangkal.

Page 41: Tojo Una Una

17

Tabel 3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil

Sub-wilayah

Penjelasan Potensi Kemampuan Jasa Ekosistem

Pemanfaatan Jasa Ekosistem

Ancaman

1) Pantai berpasir

di pantai terbuka, jauh dari muara sungai (estuari)

tempat bersarang penyu

rekreasi konservasi perusakan habitat, tambang pasir, tumpahan minyak

2) Pantai berbatu

terbuka kena ombak Kaya biodiversitas Rekreasi Erosi pantai

3) Terumbu karang

di perairan jernih, perairan dangkal, kedalaman 200 m; sangat peka kekeruhan, kenaikan suhu, pencemaran, sedimentasi; Jika terumbu karang hidup sehat meluas, pertanda banyak ikan tuna.

sangat produktif, tempat berbiak, berlindung ikan kerapu, tuna, kakap, udang, penyu, biota laut lain, rumput laut

Konservasi, pariwisata, perikanan perlindungan pantai, pulau- pulau kecil dari gelombang besar dan kenaikan muka laut

tangkapan ikan berlebih, racun ikan, pemboman, penambangan karang, erosi dari penggundulan vegetasi di darat

4) Padang lamun rumput laut

terdapat di antara terumbu karang dan mangrove (bakau)

sangat produktif, tempat berbiak, tumbuh, berlindung ikan, udang, kepiting dan biota laut lain, kaya nutrisi alami

sumber makanan, farmasi, kosmetik, industri biotek, dan sumber energi biofuel.

Tangkapan ikan berlebih, perusakan karang dan mangrove, pencemaran minyak, sedimentasi

5) Pantai berlumpur

terdapat di sekitar muara sungai (estuari), atau delta

produktivitas biologis tinggi, kaya siklus nutrisi.

Konservasi perusakan habitat, pencemaran minyak.

6) Estuari/ Delta

pertemuan air tawar dan laut (perairan payau)

sangat produktif, kaya nutrisi, berbiak ikan, udang, kepiting,

jalur pelayaran, akuakultur, perikanan tradisionil

sampah, pencemaran banjir, sedimentasi

7)Mangrove (hutan bakau)

terdapat di sekitar muara sungai, tempat berlumpur, bau sulfur, perangkap debris sampah, kaya nutrisi, pencegah erosi, pelindung pantai

kaya udang, kepiting, udang; tempat beberapa mamalia, reptil, burung; produksi primer sangat tinggi

sumber kayu untuk konstruksi, reklamasi lahan, akuakultur, pariwisata, industri biotek dan perlindungan bentuk pantai

tumpahan minyak, pestisida-pupuk dari pertanian, pembabatan kayu mangrove, pembukaan tambak berlebihan

8) Hutan rawa pasang surut

sepenuhnya mangrove atau didominasi tumbuhan nipah

siklus nutrisi tinggi, tempat makan ikan, udang, kepiting saat pasang naik, perangkap sedimen

sumber kayu, rumah tradisional, reklamasi lahan basah, tempat akuakultur dan sumber gula atau bioethanol

tumpahan minyak pestisida-pupuk berlebih dari pertanian, pembabatan nipah/bakau

9) Laguna agak tertutup, sedikit terbuka, jalan masuk dari laut dapat berubah-ubah

produktivitas ikan, udang, kepiting, tempat berbiak secara alami biota laut lain

pariwisata, navigasi, tangkap ikan, budidaya.

pencemaran

10) Pulau- Pulau Kecil

Terdiri dari gosong karang, pulau karang muncul, atol, vulkanik; pulau benua; ukuran luas kurang dari 2 000 km2. Jumlah seluruh Indonesia > 17 000 ragam pulau-pulau.

masing-masing pulau dianggap mempunyai ekosistem unik.

pariwisata, pemukiman, stasiun pengamat, pertanian subsisten, marikultur sumber bioindustri masa depan, termasuk biofood & biofuel.

air tanah minim, intrusi air laut; limbah; penduduk padat; Penebangan vegetasi, pemanasan global, lenyapnya pulau- pulau kecil akibat kenaikan muka laut 15-19 mm/tahun.

Sumber : Bass dan Dalal-Clayton (1995)

Page 42: Tojo Una Una

18

Keberadaan ekosistem yang sehat pasti akan menghasilkan jasa-jasa

ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen-komponen jasa

yang diperlukan untuk kehidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir.

Jasa-jasa ekosistem tersebut dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan

kegiatan ekonomi masyarakat. Jasa-jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh

masyarakat (Millennium Ecosystem Assessment 2005), meliputi: (1) Keamanan

dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan tercukupi; akses

terpenuhi untuk memperoleh sumberdaya hayati laut; aman dari bencana karena

lingkungan disekitarnya tidak rusak; (2) Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi

untuk berkehidupan, misalnya mata pencaharian mudah karena ikan melimpah;

makanan bergizi terpenuhi; pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan

barang-barang yang diperlukan; (3) Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat,

sehat, mudah mendapatkan air dan udara bersih; (4) Hubungan sosial baik, saling

menghormati dan mempunyai kemampuan saling membantu satu dengan lainnya.

Holling (1986) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan sumberdaya

alam saat ini adalah semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial yang

menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang semakin tinggi.

Pesisir dan pulau kecil merupakan sebuah sistem dimana aspek ekologi dan aspek

sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem yang terintegrasi. Kedua

aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah dimana keduanya bersifat non-

linier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al. 2002).

Pengelolaan pesisir dan PPK sebagaimana dengan pengelolaan

sumberdaya lain umumnya masih didasarkan pada asumsi adanya daya dukung

ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan secara terus

menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya. Gunderson et al.

(1995) menyatakan bahwa simplifikasi lansekap darat dan laut untuk produksi

sumberdaya tertentu dalam jangka pendek memang dapat menyuplai kebutuhan

pasar, tetapi dengan pengorbanan penurunan diversitas umumnya pengelola

sumberdaya berupaya untuk mengontrol proses perubahan pada lansekap tersebut

untuk menstabilisasi output dari ekosistem dan mempertahankan pola konsumsi

manusia (Holling dan Meffe 1996).

Page 43: Tojo Una Una

19

Pentingnya keberadaan ekosistem terumbu karang bagi manusia dapat

dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya.

Adapun produk barang dan jasa yang menghasilkan manfaat/ nilai ekonomi

(Tabel 4).

Tabel 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang

Barang dan Jasa Fungsi EkologisSumberdaya terbarui Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material

dasar lainnya (seperti rumput laut), bahan souvenir dan perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan akuarium

Penambangan terumbu karang Pasir untuk bangunan dan jalan Jasa struktur fisik Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung

pertumbuhan mangrove dan lamun, pembangkitan pasir karang

Jasa biotik (di dalam ekosistem) Merawat habitat, pustaka genetik dan biodiversitas, regulasi fungsi dan proses ekosistem, merawat daya lentur kehidupan

Jasa biotik (antar ekosistem) Mendukung kehidupan ”mobile link’, ekspor produksi organik seperti jaring makanan (food web) pelagis

Jasa bio-geo-kimia Fiksasi Nitrogen, Kontrol neraca CO2/Ca, asimilasi limbah Jasa informasi Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim Jasa sosial dan budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi

artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat, dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji

Sumber : diadopsi dari Moberg dan Folke (1999)

Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

seperti yang diinformasikan oleh Costanza et al. (1997) tentang perkiraan kasar

“Global Economic Values of Annual Ecosystem Services” tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem dan jasa utama yang diperankan

Tipe Ekosistem Nilai per Ha

(US$/tahun) Nilai Global (milyar $/tahun)

Jasa Utama

Estuari 22 832 4 100 Siklus nutrient Rawa 19 580 3 231 Suplai air dan gangguannya Padang lamun 19 004 3 801 Siklus nutrien, makanan Mangrove/intertidal 9 990 1 649 Penanganan lembah dan gangguannya Danau, Sungai 8 498 1 700 Regulasi air Terumbu Karang 6 075 375 Wisata Hutan Tropis 2 007 3 813 Regulasi iklim, Siklus nutrien, material

kasar Pesisir 1 610 4 283 Siklus nutrient Hutan subtropics 302 894 Regulasi iklim, siklus nutrient Laut terbuka 252 8 381 Siklus nutrient Padang rumput 232 906 Penanganan limbahLahan tanaman 92 128 Makanan Padang pasir - - 1 925 Juta Ha Tundra - - 74.3 Juta Ha Kutub - - 1 640 Juta Ha Urban - - 332 Juta Ha Sumber : Costanza et al. (1997)

Page 44: Tojo Una Una

20

Tabel 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan Komoditi Potensi

(Ribu Ton/tahun) Perkiraan Nilai

(US$ Juta/tahun) Perikanan Tangkap Laut 5 006 15 101 Tangkap Perairan Umum 356 1 068 Budidaya Laut (Mariculture) 46 700 46 700 Budidaya Tambak 1 000 10 000 Budidaya Air Tawar 1 039 5 195 Industri Biotek Laut - 4 000 Total Nilai 82 064 Sumber : Adrianto dan Wahyudin (2007)

Berdasarkan data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di

Indonesia sekitar 85 700 ha. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut

pada ekosistem ini mencapai US$ 520.6 Juta per-tahun. Terumbu karang di

Perairan Nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14 542 km2; barrier reefs

(50 223 km2); oceanic platform reefs (1 402 km2) dan atolls (19 540 km2). Pada

World Ocean Conference (WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan

Nusantara (terutama di Wilayah Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the

World, karena terdapat biodiversitas karang 500-600 spesies yang terbesar di

dunia sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat produktivitas ikan tuna

dunia. Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya

laut (rumput laut, ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24.5 juta ha (DKP

2002). Jika ditaksir kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al.

(1997), maka dapat diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan

tersebut (as coastal shelf) adalah sekitar US$ 39.4 Milyar per tahun (Nganro dan

Suantika 2009).

2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil

Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa untuk pengembangan pulau kecil

diperlukan pengelolaan yang terintegrasi untuk mencapai pembangunan yang

berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti,

skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, sosial-

ekonomi dan budaya, sosial politik dan kelembagaan. Prasyarat dalam dimensi

ekologi :

Page 45: Tojo Una Una

21

1 Aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta

perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat

penting;

2 Kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan

dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi lokal;

3 Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas

regenerasi.

Dimensi sosial ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan

kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya dalam kerangka kapasitas regenerasi

ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin

pengikutsertaan luas dari masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap

pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung

jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan kepulauan kecil dengan

undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana

setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya. Instansi ini perlu menjabarkan

tingkatan kompensasi masalah lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam,

serta mempunyai kemampuan untuk berkerjasama dengan pihak luar (Cincin-Sain

et al. 2002).

Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) telah menetapkan kebijakan

mencakup 3 (tiga) aspek penting sebagai implementasi pengelolaan pulau kecil

dan wilayah pesisir secara terpadu, yaitu :

1 Kebijakan tentang hak-hak atas tanah dan wilayah perairan pulau kecil. Aspek

yang paling penting dalam kebijakan ini adalah bahwa untuk PPK dan wilayah

perairannya yang dikuasai/dimiliki/ diusahakan oleh masyarakat hukum adat,

maka kegiatan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum

adat itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap kerjasama pengelolaan pulau-pulau

kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada

kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung

lingkungan dan kelestarian sumberdaya.

2 Kebijakan pemanfaatan ruang pulau kecil. Dalam pemanfaatan ruang pulau

faktor penting yang perlu diperhatikan di antaranya adalah :

Page 46: Tojo Una Una

22

a Tingkat kerentanan terhadap bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan

ekologi,

b Ketersediaan sarana prasarana, kawasan konservasi, endemisme flora dan

fauna termasuk didalamnya yang terancam punah,

c Karakter sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat lokal,

d Tata guna lahan dan pemintakatan (zonasi) laut,

e Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus sebanding dengan skala

ekonominya agar dapat diperoleh tingkat efisiensi yang optimal.

3 Kebijakan pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir. Beberapa aspek penting

dalam pengelolaan PPK yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah :

keseimbangan/stabilitas lingkungan, keterpaduan kegiatan antar wilayah darat

dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem dan efisiensi pemanfaatan

sumberdaya. Selain itu, pemerintah harus menjamin bahwa pantai dan perairan

pulau-pulau kecil merupakan akses yang terbuka bagi masyarakat. Pengelolaan

PPK yang dilakukan oleh pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat

lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kamitraan lainnya secara

aktif dan memberikan keleluasaan aksesibilitas terhadap PPK tersebut.

Secara umum, pengelolaan pembangunan harus mengacu pada kaídah

pembangunan yang berkelanjutan. Beller (1990) menyatakan bahwa

pembangunan berkelanjutan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar

jumlah penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk

energi dan air, serta lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya.

Salah satu upaya awal untuk mendorong dan mempertahankan dinamika

pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan laut adalah melalui

pengelolaan kawasan yang mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan

pemanfaatan yang tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan yang

dimilikinya. Konsep daya dukung lingkungan yang paling mendasar adalah

menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya

dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu

ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut.

Daya dukung merupakan satu sistem manajemen diarahkan pada pemeliharaan

atau restorasi dari ekologis dan kondisi sosial yang bisa diterima, disesuaikan

Page 47: Tojo Una Una

23

dengan sasaran manajemen area dimana tak satu pun sistem diarahkan pada

manipulasi dari taraf penggunaannya (Hall dan Lew 1998), serta berkaitan dengan

wisata maka daya dukung wisata adalah jumlah maksimum orang yang

berkunjung pada satu tujuan wisata dalam waktu yang sama tanpa merusak

lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial (WTO 1992).

Pembangunan merupakan suatu proses terjadinya perubahan dalam

meningkatkan taraf kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

sumberdaya alam tersebut. Perubahan–perubahan yang terjadi dalam suatu

sumberdaya suatu kawasan, baik yang diakibatkan oleh aktivitas manusia,

maupun yang terjadi secara alami (natural process) merupakan wujud dinamika

adanya proses kehidupan di kawasan tersebut yang berdampak kepada kestabilan

pada semua ekosistem kehidupan. Perencanaan pembangunan pada suatu kawasan

pesisir harus didasari dengan konsep–konsep model kajian yang strategis dan

efektif untuk menjamin keberlanjutan melalui pendekatan sistem ekologi,

ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir. Pembangunan berkelanjutan

menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada

akhir abad 20 yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu integritas lingkungan,

efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder 2005). Konsep

pengelolaan wilayah pesisir di dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan

antara pembangunan dan konservasi.

Menurut The Encyclopedia Americana, konservasi diartikan sebagai

manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin

pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa konservasi didefinisikan sebagai

manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi

sekarang dan generasi yang akan datang.

Kawasan pelestarian alam untuk kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini memiliki 2 (dua) bentuk

kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman

Page 48: Tojo Una Una

24

Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam laut

yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan

untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan

pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan

parawisata dan rekreasi alam.

IUCN (1994) menyatakan kawasan dilindungi (protected area) adalah

suatu areal, baik darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi

perlindungan, pemeliharaan keanekaragaman hayati, budaya yang terkait dengan

sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau

upaya-upaya efektif lainnya. Marine protected area (MPA) pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National

Monument di Florida seluas 18 850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir,

menjadi pendorong bagi pembentukan MPA berikutnya. The Fort Jefferson

National Monument telah mendapat perhatian khusus pada The World Congress

on National Park tahun 1962. Selanjutnya, pada tahun 1982 kesatuan kerja dari

MPA meliputi perpaduan antara wilayah laut, pesisir dan perairan tawar di

daratan. MPA memiliki perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan

dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,

yaitu: konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan Marine

Management Area (MMA) atau Area Terkelola Laut (IUCN 1991).

Pengelolaan MPA mendapat perhatian khusus pada The World Congress on

National Park and Protected Area yang ke-4 tahun 1992 di Caracas, yang

tertuang dalam Action 3.5 meliputi: (1) Menggolongkan daerah pesisir-laut

sebagai perlindungan alam di berbagai wilayah yang telah memberi sumbangan

pada sistem global; (2) Melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan

memastikan keberhasilan pengelolaan perlindungan alam daratan dan laut; (3)

Mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan MPA secara terpadu

(IUCN 1994). Pada prinsipnya MPA berperan untuk memenuhi tujuan dari World

Conservation Strategy, yaitu memadukan aktivitas konvervasi dengan non-

konservasi secara simultan, sehingga dapat meningkatkan manfaat dari pengguna.

Aktivitas konservasi bertujuan untuk : (1) memelihara proses ekologis dan

Page 49: Tojo Una Una

25

melindungi sistem penyangga kehidupan, (2) mempertahankan/pengawetan

keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan secara lestari

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan aktivitas non-konservasi

digunakan sebagai obyek penelitian, sarana pendidikan tentang flora-fauna dan

ekosistemnya, sarana dan parasarana wisata alam. Tujuan pengembangan MPA

adalah melakukan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara

berkelanjutan, terutama yang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya perikanan

dan mengurangi dampak perubahan global climate (iklim dunia).

Konservasi wilayah pesisir dan PPK menurut UU Nomor 27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah upaya perlindungan,

pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK serta ekosistemnya

untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya

pesisir dan PPK dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan

keanekaragamanya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah

kawasan pesisir dan PPK dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk

mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK secara berkelanjutan.

Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan

dilakukan dengan menyeimbangkan prinsip-prinsip perlindungan, pelestarian dan

kepentingan pemanfaatan secara tepat dalam konteks sesuai dengan kondisi sosial,

budaya dan ekonomi masyarakat setempat, terutama masyarakat setempat yang

telah memiliki akses turun-temurun terhadap kawasan konservasi tersebut.

Bentuk-bentuk pengembangan konservasi di Indonesia dilakukan dengan

pendekatan wilayah berupa konsep pengembangan Kawasan Konservasi Laut

(KKL) skala besar, KKL skala kecil, KKL daerah dan konsep MMA. Pengelolaan

kawasan konservasi laut skala besar, seyogyanya dikelola dengan melibatkan

seluruh pihak yang berkepentingan, atau pengelolaan bersama/pendekatan co-

management. Menurut CIT (2004), manajemen adaptif adalah suatu proses

formal “pembelajaran dari yang dikerjakan”, dimana aktivitas manajemen yang

dirancang sebagai percobaan untuk menguji perbedaan asumsi manajemen dan

hipotesis. Adaptive Co-Management (ACM) adalah suatu pendekatan kolaboratif

ke manajemen adaptif yang melibatkan pemerintah, penasehat dan perencana

yang dengan tegas dalam penetapan isu, pengembangan rencana dan luaran

Page 50: Tojo Una Una

26

manajemen. ACM bermakna sebagai hak tanggung-jawab, penetapan pihak yang

terkait untuk belajar dalam suatu masa melalui tindakan sedemikian sehingga

mereka dapat memodifikasi keputusan masa depan (“bagian yang adaptif”).

Menurut Kay dan Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan

dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, merupakan suatu

sarana yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk

disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik.

Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah sebagai pembagian kawasan

(lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam

untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna

memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (Dahuri et al. 2003).

Pekerjaan penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena

bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Beberapa aspek yang harus

dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik),

sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem

pengelolaannya, kawasan taman nasional ditata dalam sistem zonasi, yaitu

pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti

zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada

prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola

jenis-jenis kegiatan manusia di dalam taman nasional laut, sehingga dapat saling

mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat

di sekitar taman nasional tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi laut skala

kecil melalui pendekatan partisipatif (community-based), dalam hal ini masyarakat

harus dilibatkan mulai dari identifikasi isu dan masalah sampai pada evaluasi dan

monitoring.

Persoalan sumberdaya dan lingkungan pada dasarnya terletak pada

kenyataan manusia dapat melalui sebuah proses pembelajaran (learning process)

secara evolusioner antar waktu sehingga manusia melakukan kegiatan ekonomi

pada level terbaik pada suatu waktu sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Sistem manusia dan sistem alam pada dasarnya adalah proses berubahnya postulat

dunia kosong (empty world) ke Postulat dunia penuh (full world). Postulat dunia

kosong yakni dunia relatif kosong dari manusia dan infrastruktur, sedangkan

Page 51: Tojo Una Una

27

sumberdaya alam dan aset sosial berlimpah, atau dengan kata lain dunia dengan

jumlah penduduk dan artefak yang sedikit namun penuh dengan sumberdaya alam

sehingga fokus pembangunan pada pertumbuhan dan ekspansi, kompetisi bebas,

siklus limbah terbuka (open waste cycles). Postulat dunia penuh berkaitan dengan

kebutuhan manusia untuk perbaikan kualitas hubungan antara unsur

pembangunan, aliansi kerjasama dan aliran tertutup daur limbah (recycled “closed

loop” waste flows) (Costanza 2001; Adrianto 2005)

Perubahan dari postulat dunia kosong ke dunia penuh menggambarkan

bahwa pertumbuhan eonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik ekonomi

menuju kondisi stabil (steady state ekonomi) (Costanza 2009). Arus pemikiran

utama pembangunan ekonomi saat ini seringkali dipisahkan dari kenyataan lain

yang muncul dari sistem alam. Pentingnya perhatian pada sistem alam menjadi

alasan yang kuat bagi kebutuhan analisis dan pengelolaan lingkungan yang

inovatif (Adrianto 2005).

2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)

Elliot et al. (2002) menyatakan penunjukan kawasan konservasi

menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dalam hal pemanfaatannya.

Berkaitan dengan pemantauan dan pengaturan keberlanjutan pengelolaan,

diperlukan tools untuk menilai tingkat tekanan terhadap ekosistem yang

diakibatkan oleh aktivitas manusia pada lingkungan dengan menggunakan model

DPSIR/Drivers – Pressures – States – Impacts – Responses. Model ini

diperkenalkan oleh European Environment Agency (EEA) yaitu konsep hubungan

sebab akibat berdasarkan indikator lingkungan dengan menggunakan kategori

berbeda (RIVM 1995). Model DPSIR bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek

atau parameter-parameter kunci pada suatu sistem dan memantau tingkat

keberlanjutan dari pengelolaan (Bowen dan Riley 2003). Selanjutnya dinyatakan

bahwa DPSIR merupakan suatu kerangka kerja untuk menentukan indikator-

indikator tekanan pembangunan oleh manusia yaitu mengamati perubahan-

perubahan pada faktor sosial, ekonomi dan lingkungan pada suatu periode waktu

tertentu. Isu-isu utama yang dipadukan dengan indikator pembangunan wilayah

pesisir diukur dalam ukuran skala yakni skala spasial dan temporal. Isu-isu spasial

Page 52: Tojo Una Una

28

berkaitan dengan kondisi geografis atau luasan area yang di dalamnya termasuk

perkembangan individu, rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, nasional,

regional maupun secara global. Isu-isu temporal adalah berkaitan dengan

perubahan berdasarkan waktu pada saat indikator-indikator yang ada dipantau

berdasarkan suatu interval waktu.

Model DPSIR ini dapat digunakan untuk permasalahan pengelolaan

biodiversity yang kompleks akibat dari kerusakan habitat/menurunnya spesies

yang berhubungan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam skala ruang

dan waktu. Penekanan ini juga memberikan gambaran penting hubungan antara

perubahan ekosistem dan dampak perubahannya terhadap kondisi kesejahteraan

masyarakat (Turner et al. 2000). Perubahan indikator lingkungan yang relevan

terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et

al. 2000)

Model DPSIR ini dikembangkan untuk mengevaluasi masalah kerentanan

di pulau kecil berdasarkan dengan tujuan, dimulai dengan definisi dan identifikasi

tujuan sebagai indikator yang dibutuhkan. Berhubungan kerentanan penilaian,

tujuan yang ada dapat mengurangi kerentanan alami yang ada. Langkah-langkah

berikut merupakan pengembangan dari indikator kerentanan :

Page 53: Tojo Una Una

29

1 Ruang lingkup, berupa analisis yang menyangkut target sistem indikator,

kebutuhan, persepsi, dan kapasitas untuk memahami dan menginterpretasikan

hasil tersebut dibutukan ruang dan wilayah serta batasan waktu.

2 Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan,

ekonomi, masyarakat); tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran

ekonomi); sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan); isu (polusi

industri, tingkat pengangguran); sebab akibat (kondisi-kondisi, tekanan,

reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada;

3 Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah,

ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data;

4 Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria

pemilihan;

5 Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya

6 Evaluasi pelaksanaan indikator berkaitan dengan langkah-langkah sebelumnya

(Bowen dan Riley 2003).

Melalui penggunaan model DPSIR dimungkinkan untuk pemahaman

mengenai suatu dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem dalam pengelolaan

wilayah pesisir, yakni : 1) alasan mengapa dampak itu terjadi; 2) alternatif

kemungkinan terjadinya tekanan oleh faktor-faktor pengarah (drivers) pada suatu

lingkungan pesisir seperti hal-hal yang dikaitkan dengan berbagai parameter

penilaian; 3) kebijakan-kebijakan politis apa yang harus dilakukan oleh

pemerintah daerah berkaitan dengan kondisi dan tingkat kerentanan lingkungan

yang dipengaruhinya. Setiap parameter yang telah dikelompokkan sebagai

drivers oleh peneliti ditentukan oleh kesesuaian dan kapasitas lingkungan yang

ada. Pengembangan resiliensi/daya lenting sistem sosial ekologi merupakan kunci

bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes dan Seixas 2005). Resiliensi

berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang

menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial, serta

mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya

(Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated Coastal

Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini.

Page 54: Tojo Una Una

30

2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis)

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya

dukung lingkungan untuk keberlanjutannya. Banyak pendekatan yang dapat

digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya

alam. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Analisis Ruang

Ekologis (Ecological Footprint Analysis) yang menunjukkan pemanfaatan

sumberdaya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, untuk

menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong

populasi dunia yang dinyatakan dalam satuan hektar. Konsep ecological footprint

pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees pada tahun 1996 dalam

bukunya yang berjudul Our Ecological Footprint: reducing Human Impact on the

Earth, dijelaskan bahwa setiap manusia memerlukan lahan untuk konsumsi

pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, dan

infrastruktur lainnya, dan untuk kebutuhan energi (energy footprint), maka harus

ada lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jumlah footprint tersebut yang

disebut ecological footprint diri kita (Lyndhurst 2003). Indikator Ecological

footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa

besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi

keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan

teknologi (Wackernegel dan Rees 1996).

Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung

berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil

tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic

level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008).

Kebutuhan ruang ekologis adalah perbandingan Primary Productivity

Requirements/PPR dengan produktivitas primer sistem perairan (Pauly dan

Christensen 1995).

Menurut Moffat (2000) salah satu model ekologi-ekonomi yang dapat

digunakan untuk menganalisis sebuah sektor dalam kerangka pembangunan

kawasan pesisir secara berkelanjutan ini adalah pendekatan dinamika sistem

(system dynamics) yang diiniasi oleh Forrester Tahun 1961 (Forrester 1994)

Pendekatan tersebut menitikberatkan pada pemodelan perilaku antar variabel

Page 55: Tojo Una Una

31

(variable behavior) dalam sebuah sistem yang dalam studi ini adalah sistem

pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan pulau kecil. Salah satu

pendekatan dinamika sistem dalam kerangka pembangunan kawasan pesisir dan

pulau kecil berkelanjutan adalah pendekatan model ECCO/Enhanced Carrying

Capacity Option (Moffat dan Hanley 2001). Model ini memfokuskan diri pada

identifikasi beberapa ukuran keberlanjutan yang kemudian digabungkan dengan

kerangka model ekonomi makro.

Dalam konteks pembangunan sumberdaya pesisir dan PPK, model ECCO

lebih cocok karena konsep daya dukung tidak dapat dilepaskan sebagai input

balance bagi pembangunan sektor ini. Pengembangan kawasan pesisir dan PPK

harus mempertimbangkan faktor ketersediaan sumberdaya dan kelayakan

ekologis. Kerangka pemodelan dinamika sistem untuk pengembangan sektor

perikanan dan kelautan dalam konteks model ECCO tertera pada Gambar 4.

Gambar 4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di

kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan Hanley 2001)

Gambar diatas memperlihatkan bahwa optimasi pemanfaatan sumberdaya

ke-n di kawasan pesisir dan PPK harus mempertimbangkan 4 (empat) variabel

utama yaitu :

Page 56: Tojo Una Una

32

(1) populasi;

(2) sumberdaya alam (dapat pulih dan yang tidak dapat pulih);

(3) kegiatan ekonomi (investasi dan perdagangan), dan

(4) kondisi lingkungan (indeks polusi).

Sementara itu, terkait dengan pembangunan pesisir dan PPK melalui UU No. 27

Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemerintah telah

mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan

berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu

dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih

kepentingan berikut :

(1) konservasi;

(2) pendidikan dan pelatihan;

(3) penelitian dan pengembangan;

(4) budidaya laut;

(5) pariwisata;

(6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;

(7) pertanian organik, dan/atau;

(8) peternakan.

Dalam konteks ini, pengembangan kawasan pesisir dan pulau kecil sebagai

kawasan pariwisata dan perikanan merupakan salah satu pilihan utama bagi

pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau kecil. 2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)

Perkembangan ilmiah yang terintegrasi berkaitan dengan interaksi sistem

ekologi dan sosial yang kompleks antara manusia dan lingkungan melalui

kombinasi lingkungan dan ilmu-ilmu sosial (Haberl et al. 2001; Berkes dan Folke

2002). Masyarakat sebagai penggabungan struktur alami dan sistem berbudaya,

merupakan suatu unit sosial berfungsi untuk reproduksi suatu populasi manusia,

baik secara fisik maupun budaya, di dalam suatu wilayah sehingga terkait

dengan kedua sistem tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui

pemanfaatan sumberdaya alam (Fischer-Kowalski 2001).

Aplikasi dari konsep metabolisme biologi ke sistem sosial tergantung pada

keberlanjutan material dan energi dalam rangka pemeliharaaan struktur

Page 57: Tojo Una Una

33

internalnya (Fischer-Kowalski dan Haberl 1993; Ayres dan Ayres 2002). Haberl

et al. (2001); Fischer-Kowalski et al. (2001); memandang metabolisme sosial

sebagai sistem ekonomi berkaitan dengan aliran material dan energi yang diubah

dalam bentuk nilai barang dan jasa yang dikonsumsi manusia, menghasilkan

limbah, panas dan emisi lain yang dibuang ke lingkungan. Proses aliran material

dan energi dimetabolisme dalam sistem alam. Dampaknya terhadap lingkungan

dapat diukur besarannya melalui kebutuhan sejumlah material dari dan kembali ke

lingkungannya (EUROSTAT 2000).

“Profil Metabolik” suatu daerah atau negara-negara dewasa ini disajikan

dalam bentuk statistik berupa MEFA (Material and Energy Flow Accounting) dan

HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), perubahan tata guna

lahan, waktu tenaga kerja dan ketersediaan air, kondisi geografi, tingkat

pembangunan, pertambahan penduduk, ketersedian teknologi, kebijakan dan

regulasi lingkungan merupakan bentuk profil metabolik masyarakat (Martinez-

Alier 2008). Profil metabolik suatu daerah dapat digambarkan secara statistik

melalui pendekatan HANPP berupa perkembangan ekonomi, geografi, kepadatan

penduduk, hubungan eksternal komersil, perubahan teknologi dan peraturan

lingkungan yang menjelaskan profil metabolik spesifik, hal ini berhubungan

antara masing-masing profil metabolik dan konflik ekologi pada skala yang

berbeda (lokal, regional, nasional dan internasional) (Martines-Alier 2005).

Pendekatan HANPP digunakan untuk menilai dampak manusia terhadap fungsi

ekosistem yaitu tekanan tata guna lahan dan jasa ekosistem (produksi dan jasa

pendukung). Masyarakat sebagai kombinasi dari struktur alam dan budaya,

merupakan unit sosial yang berfungsi reproduksi manusia baik secara fisik

maupun budaya. Metabolisme sosial merupakan proses yang kompleks yang

secara fungsional dari berbagai macam aktivitas manusia (Fischer-Kowalski et al.

2001).

Secara rasional, tata guna lahan sejauh ini memberikan pengaruh secara

global terhadap perubahan siklus biogeokimia sehingga diperlukan identifikasi

aktivitas manusia dan jumlah dampak yang ditimbulkan pada ekosistem dan

menganalisisnya sebagai faktor penggerak/ drivers sosial ekonomi (Erb et al.

2009). Sistem sosial ekologi untuk pulau-pulau kecil tertera pada Gambar 5.

Page 58: Tojo Una Una

34

Gambar 5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi

Erb et al. 2007)

Karakterisitik sistem sosial ekologi PPK dapat dipelajari dengan

mengetahui investasi sistem sosial ke sistem ekologi dan sebaliknya seberapa

besar jasa sistem ekologi memberikan manfaat pada sistem sosial yang terkait

dengan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir PPK berdasarkan

karakteristik dan daya dukungnya sehingga pengembangan setiap kawasan PPK

disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan kawasan pengembangan.

2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood

System Analysis-CLSA)

Konsep Coastal Livelihood Analysis/ CLA dikembangkan dalam rangka

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dimana aspek sistem alam (ekosistem)

dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan, yaitu CLA merupakan sebuah

pendekatan untuk strategi identifikasi mata pencaharian alternatif bagi

masyarakat pesisir terkait dengan tujuan umum pengelolaan pesisir dan laut untuk

keberlanjutan sistem sumberdaya itu sendiri (Adrianto 2005). Secara etimologis,

makna ’livelihood’ meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan

fisik/buatan), aktivitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh

Page 59: Tojo Una Una

35

kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama mendikte hasil yang

diperoleh oleh individu maupun keluarga (Saragih et al. 2007). Pendekatan

CLSA tersebut tertera pada Gambar 6.

Gambar 6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata pencaharian (DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008)

Gambar di atas menunjukkan bahwa identifikasi kerentanan merupakan

aspek penting dalam kerangka CLSA dimana masyarakat pesisir biasanya rentan

terhadap kerusakan sumberdaya. Hubungan antara manusia, sumberdaya alam,

keuangan dan kapital sosial merupakan hubungan timbal balik yang tidak dapat

terpisahkan. CLSA merupakan upaya mengurangi pemanfaatan sumberdaya

pesisir dan laut yang memberikan alternatif tambahan pendapatan sekaligus

mejaga kelestarian sumberdaya alam. Dalam konteks ini, menurut Ellison dan

Allis (2001) kerangka makro dari pengembangan masyarakat pesisir terkait

dengan identifikasi mata pencaharian alternatif disajikan pada Gambar 7.

Page 60: Tojo Una Una

36

G

L

sistem

Step

kondis

sosial

merup

bersam

diiden

Step 2

pesisir

langsu

dilaku

memp

maupu

Step 3

yang h

Gambar 7

Langkah-lan

m insentif (E

1 : Mengum

si sumberda

ekonomi m

pakan salah s

maan interak

ntifikasi.

2 : Mengana

r dan laut,

ung berkontr

ukan. Pada

pengaruhi (d

un ekonomi.

3 : Mengide

harus dilakuk

Kerangka m (Allison da

ngkah penen

Emerton 2001

mpulkan inf

aya alam.

masyarakat pe

satu faktor p

ksi antara m

alisis pengar

melalui ide

ribusi terha

saat yang b

driven factor

entifikasi ke

kan pada tah

makro pengen Allis 2001

ntuan mata

1), terdiri ata

formasi tent

Dalam taha

esisir dan ko

penting yang

masyarakat pe

ruh masyara

entifikasi ak

adap kerusak

bersamaan d

rs) aktivitas

ebutuhan ma

hap ini. Perta

embangan m1)

pencaharian

as 5 (lima tah

tang mata p

ap ini, infor

ondisi sumb

g harus diku

esisir dan su

akat pesisir t

ktivitas masy

kan sumber

dilakukan pu

s tersebut, b

asyarakat pe

ama adalah i

ata pencahar

n masyaraka

hap) yaitu:

pencaharian

rmasi tentan

berdaya alam

umpulkan da

umberdaya a

terhadap kon

yarakat pes

daya pesisir

ula identifik

baik dalam

esisir. Ada d

identifikasi k

rian alternati

at berbasis

masyarakat

ng kondisi k

m pesisir dan

n pada saat

alam (ekosis

ndisi sumber

isir yang se

r dan laut p

kasi faktor

perspektif s

dua aspek u

kebutuhan si

if

pada

t dan

kunci

n laut

yang

stem)

rdaya

ecara

perlu

yang

sosial

utama

istem

Page 61: Tojo Una Una

37

insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi

sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif

dalam konservasi sumberdaya pesisr dan lautan.

Step 4 : Memilih sistem insentif yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya

berbasis masyarakat. Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem

insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi

dan kebutuhan masyarakat pesisir seperti yang telah dilakukan pada tahap

sebelumnya.

Step 5 : Implementasi sistem insentif mata pencaharian terpilih (Gambar 8).

Pemilihan faktor insentif menjadi faktor penting, dimana harus disesuaikan

dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir.

Gambar 8 Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001)

Mata pencaharian alternatif dapat dikembangkan dengan langkah berikut

(DKP 2006) yaitu : 1) Menganalisis kegiatan ekonomi seluruh masyarakat

(menurut jenis kelamin, umur, pendidikan, ketrampilan, pendapatan, besarnya

keluarga, preferensi, pilihan) untuk menilai kebutuhan mereka; 2)

Mengidentifikasi berbagai program pemulihan pendapatan (perseorangan dan per

Step 1. Mengumpulkan informasi tentang karakteristik mata pencaharian masyarakat dan kondisi SDA

Step 2. Menganalisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya alam

Step 3. Identifikasi sistem insentif terkait dengan pengembangan mata pencaharian masyarakat

Step 4. Memilih sistem insentif ekonomi yang tepat untuk konservasi berbasis masyarakat

Step 5.Implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat berbasis insentif

Page 62: Tojo Una Una

38

kelompok) melalui konsultasi dengan pengusaha dan analisis kelayakan pasar dan

keruangan: 3) Menguji program pelatihan dan pengembangan pendapatan dengan

masyarakat terpilih atas dasar percobaan; 4) Merumuskan kerangka pengawasan

kelembagaan dan anggaran; 5). Memacu pemasaran produk di dalam dan di luar

tempat relokasi; 6) Mengevaluasi program dan memberi bantuan teknis tambahan.

2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan

Model secara terminologi penelitian operasional diartikan sebagai suatu

perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1999).

Model memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan

timbal balik (sebab akibat). Suatu model merupakan seperangkat anggapan

(asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami

dunia nyata yang memiliki sifat beragam sehingga mempelajari sistem sangat

diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variabel)

penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam

sistem tersebut. Pengelompokkan model yakni berupa model ikonik seperti yang

berdimensi dua (foto, peta, cetak biru), atau tiga dimensi (prototip mesin, alat),

model analog (kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi statistik, diagram alir),

dan model simbolik seperti persamaan (equation). Kenyataannya suatu model

dapat bersifat statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang

peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu, sedangkan model

dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model.

Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam

pemecahan suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi

yang aktual ke dalam konsep dan stukturisasi model. Tahapan dalam membangun

model simulasi komputer menurut Djojomartono (1993) adalah 1) Identifikasi dan

defenisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang

bersifat dinamik atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan

pemecahan dan mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah

tersebut. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan

ruang lingkup sistem; 2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan

yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas

pengaruh–pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Struktur dan

Page 63: Tojo Una Una

39

kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya

akan mempengaruhi efektivitas model; 3) Formulasi model. Tahap ini biasanya

model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan ke dalam

komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok

pada tahap formulasi model; 4) Simulasi model. Tahap simulasi komputer

digunakan untuk menyatakan dan menentukan bagaimana semua peubah dalam

sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan ini perlu menetapkan periode waktu

simulasi; 5) Evaluasi model. Berbagai uji dilakukan terhadap model yang telah

dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa

konsistensi logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau

lebih jauh menguji secara statistik parameter–parameter yang digunakan dalam

simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi; 6)

Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi model

dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan.

Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek

relevan dari sistem yang dibangun (Forrester 1994; Grant et al. 1997) untuk model

integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka dengan tahapan berikut ini.

1 Penetapan tujuan, dimulai pertanyaan yang ingin dijawab dalam pemodelan.

Bagaimana skenario pemanfaatan ruang berdasarkan keterkaitan antara

kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung kawasan melalui integrasi wisata dan

perikanan.

2 Batasan sistem yang dibangun

Sistem yang dibangun berdasarkan kesesuaian pemanfaatan ruang dan daya

dukung secara ekologis untuk wisata dan perikanan.

3 Pengelompokan komponen yang dibatasi

Komponen sistem dikelompokkan menjadi tujuh kategori komponen sistem

yaitu :

- Variabel Keadaan (State Variables)

Variabel ini mencerminkan titik akumulasi materi di dalam sistem seperti

populasi penduduk, populasi wisatawan, total footprint, biomassa ikan.

- Variabel Pendorong (Driving Variables)

Page 64: Tojo Una Una

40

Variabel pendorong mempengaruhi tetapi tidak dipengaruhi oleh bagian lainnya

dari sistem integrasi wisata-perikanan yakni laju pertumbuhan intrinsik

- Konstanta (Constants)

Konstanta adalah nilai numerik yang menerangkan ciri suatu sistem yang tidak

berubah atau yang dapat digambarkan tidak berubah dibawah semua kondisi

yang disimulasikan oleh model seperti yield factor (YF), laju (kelahiran,

kematian, emigrasi, imigrasi).

- Variabel Pembantu (Auxiliary Variables)

Variabel ini muncul sebagai bagian perhitungan yang menentukan tingkat alih

materi atau nilai variabel yang lain, dan mencerminkan konsep yang

menunjukkan secara eksplisit di dalam model. Variabel pembantu mungkin juga

menggambarkan suatu produk akhir dari perhitungan seperti biocapacity (BC),

komponen footprint (built-up, energy, food and fibre), fraksi tangkapan, rasio

biomassa ikan, produksi lokal/regional per area.

- Alih Materi dan Informasi (Material and Information Transfers)

Sebuah alih materi mencerminkan peralihan secara fisik materi selama periode

tertentu : (1) antara dua variabel keadaan, (2) antara sebuah sumber (source) dan

variabel keadaan, atau (3) antara variabel keadaan dengan sebuah muara (sink).

Misalnya menghitung ecological footprint pada sub-model wisata (alih materi

biocapacity dari jumlah wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ke ecological

footprint) atau menghitung produksi lokal/regional pada sub-model perikanan

(alih materi individu dari biomassa ikan di daerah penangkapan lokal/regional

ke produksi lokal/regional).

- Sumber dan Muara (Sources and Sinks)

Sumber dan muara menggambarkan masing-masing adalah titik asal mula

(awal) dan titik akhir alih materi masuk dan keluar dari sistem.

4 Identifikasi hubungan antar komponen

Tahapan dari perumusan model konseptual mencakup identifikasi hubungan

antar komponen sistem yang sedang dipelajari sebagai dasar pemahaman

analisis sistem yang lebih luas.

Page 65: Tojo Una Una

41

5 Penggambaran model konseptual

Penggambaran model konseptual pada umumnya berupa bentuk diagram

kotak dan panah. Diagram model konseptual juga menyediakan sebuah kerangka

kerja yang membantu kuantifikasi berikutnya dari model tersebut karena

persamaan dapat dikaitkan secara langsung terhadap bagian tertentu dari model

konseptual. Model konseptual tersebut dapat digunakan sebagai landasan

kebijakan, perubahan struktur, dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis

sistem dinamik bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun

sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran

sistem yang terjadi akibat adanya perubahan di dalam sistem itu sendiri, sehingga

didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal.

2.5 Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu

Wisata (tourism) merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara

temporer dari tempat biasa mereka menetap/bekerja ke tempat luar guna

mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau ditempat tujuan (Holloway dan

Plant 1989 dalam Yulianda 2007). Dalam perkembangannya sekitar tahun 1980-

an, konsep ekowisata dipopulerkan sebagai perjalanan wisata berbasis pada alam

yang mengandung dimensi learning dan pesan pembangunan berkelanjutan

(Weaver 2001), sedangkan menurut UU Nomor 10 tahun 2009 Tentang

Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan

rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata

yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Kegiatan wisata yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut sebagai

obyek wisata disebut wisata bahari. Wisata bahari merupakan aktivitas berkenaan

dengan rekreasi yang melibatkan jalan/cara perjalanan seseorang dari suatu

tempat kediaman ke tempat lain dengan fokus lingkungan laut (Orams 1999).

Sesungguhnya wisata bahari merupakan kegiatan yang memadukan antara dua

sistem yang kompleks yaitu sistem pariwisata (didominasi oleh sistem kegiatan

manusia) dan ekosistem alam laut. Berbagai kegiatan wisata bahari yang

umumnya dilakukan wisatawan di antaranya adalah, berenang, berselancar,

snorkeling, diving, beachcombing, berdayung. Menurut Wong (1998) terdapat

Page 66: Tojo Una Una

42

delapan macam pola wisata bahari dan empat pola di antaranya, yaitu “Beach-

huts/bungalows”, “Beach hotels”, “Island-resort”, dan “Coastal-resort” adalah

lazim dijumpai di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pemahaman tentang pengembangan wisata bahari berada di dalam lingkup

pengembangan usaha wisata tirta, seperti yang dijelaskan di dalam pasal 14 UU

No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yakni usaha wisata tirta merupakan

usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan

sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan

laut, pantai, sungai dan waduk. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun

2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman

Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, bahwa Wisata alam

adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan

secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan

keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya,

dan taman wisata alam.

Pariwisata berbasis pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi potensi yang

sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat kekayaan sumberdaya dan

keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di dunia, serta keindahan alam pulau-

pulau kecil tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata,

khususnya pariwisata bahari. Ekowisata (eco-tourism) sebagai kegiatan wisata

yang bertanggung jawab yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam, yang

dilakukan pada skala kecil untuk pengunjung wisata (Wood 2002). Ekowisata

PPK (Bengen dan Retraubun 2006) berpijak pada :

(1) Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan;

(2) Pengelolaan berkelanjutan pada perlindungan sumberdaya alam, lingkungan;

(3) Kolaborasi antara pemangku kepentingan (stakeholders)

Gunn (1993) mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan

berhasil bila secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1)

mempertahankan kelestarian lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4)

meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar

kawasan dan zona pengembangannya.

Page 67: Tojo Una Una

43

Atas dasar karakteristik PPK, maka arahan peruntukan dan pemanfaatan

pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002):

(1) Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang

ditimbulkan tidak menyebar dan mencapai kawasan perikanan.

(2) Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan

mencapai kawasan lindung.

(3) Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata perlu lancar.

(4) Pembangunan sarana dan prasarana periwisata tidak mengubah kondisi

pantai, dan daya dukung PPK yang ada, sehingga proses erosi atau

sedimentasi dapat dihindari.

Davis dan Tisdell (1996) mengemukakan bahwa daya dukung (Carrying

Capacity) di dalam tourism didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang

dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem dan

pada saat yang sama dan tidak mengurangi kepuasan kunjungan. Penentuan daya

dukung pada tourism dapat dibedakan dua macam yaitu (1) melihat kemampuan

fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak negatif

timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis

mengalami penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari tingkah

laku (behaviour) turis itu sendiri (behavioral component) (Savariades 2000).

Selain daya dukung sumberdaya, dituntut pula perubahan perilaku manusia untuk

mengeksploitasi sumberdaya yang ada dalam pemenuhan kebutuhannya karena

semua faktor tergantung pada perbedaan pola dan dinamika konsumsi

masyarakat, infrastruktur, teknologi (Seidl dan Tisdell 1999).

Casagrandi dan Rinaldi (2002) menggunakan model wisata minimal yang

sederhana karena tidak dapat mewakili sistem spesifik tertentu secara detil, namun

model ini berisi fitur-fitur utama dari beberapa sistem. Model ini menunjukkan

suatu lokasi generik dan hanya memiliki tiga variabel yaitu: wisatawan,T(t) yang

berada dalam suatu area pada waktu t, kualitas lingkungan alam E(t) dan modal

C(t) yang ditujukan sebagai struktur untuk aktivitas wisatawan. C(t) menunjukkan

asset nyata (berupa investasi) dan tidak digabung dengan jasa pelayanan yang

disediakan bagi wisatawan (Gambar 9).

Page 68: Tojo Una Una

44

Gambar 9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan

Rinaldi 2002)

Model pengembangan wisata yang optimal (Gambar 9) dengan

mempertimbangkan tiga aspek yaitu lingkungan (Environmental/E), sosial

(Tourist/T) dan ekonomi (Capital/C), dimana wisatawan (T) dan fasilitas wisata

(memberikan dampak negatif bagi kualitas lingkungan (E). Pengaruh positif

kualitas lingkungan dan fasilitas wisata dapat menarik wisatawan serta dapat

menumbuhkan investasi penyediaan fasilitas baru bagi pengunjung yang

berhubungan dengan keuntungan kegiatan wisata.

2.6 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu

Sejak Food and Agricultural Organization (FAO) menerbitkan “Code of

Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF)/ Kode Etik Perikanan yang

Bertanggung Jawab pada tahun 1995 maka telah terjadi pergeseran paradigma

tentang pendekatan pengelolaan perikanan, yang sebelumnya menggunakan

pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga

sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. FAO menyebutkan bahwa

meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam

pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam

pendekatan ini, sehingga diperlukan melakukan penelitian pendekatan ekosistem

dalam pengelolaan perikanan baik secara konsep maupun teknis. Pengelolaan

sumberdaya perikanan dapat didefinisikan sebuah proses yang terpadu antara

pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan

konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya, serta

perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakan hukum dari

Page 69: Tojo Una Una

45

aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk

menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan

perikanan yang lainnya (FAO 1995).

Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus

yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi

perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan.

Pasal 6 ayat (4), disebutkan bahwa "Keputusan - keputusan yang mengenai

konservasi dan pengelolaan perikanan haruslah didasarkan atas bukti - bukti dan

informasi ilmiah terbaik yang tersedia, disamping juga perlu mempertimbangkan

pengetahuan tradisional mengenai sumberdaya dan habitatnya, serta faktor -

faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi yang relevan".

Integrasi perikanan kedalam pengelolaan pesisir untuk membantu

pencapaian pemanfaatan sumberdaya pesisir yang makin langka secara rasional

khususnya ditujukan pada masalah tentang bagaimana sektor perikanan dapat

diintegrasikan ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi antara

perikanan dan sektor lain dapat diperhitungkan dalam membuat kebijakan dan

penerapan pengelolaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir.

FAO (1996) telah membuat panduan (Article 10 in CCRF) untuk menjelaskan

pentingnya perikanan yang bertanggung jawab. Artikel 10 berhubungan dengan

Integrasi Fisheries ke dalam Coastal Management untuk membantu pencapaian

pemanfaatan sumberdaya yang makin langka. Secara khusus, dengan

mengarahkan pada permasalahan bagaimana sektor perikanan dapat terintegrasi

ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi-interaksi antara

sektor perikanan dan sektor-sektor lain dapat dipertimbangkan di dalam penetapan

kebijakan dan prakteknya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

Potensi sumberdaya dan jasa lingkungan yang prospektif untuk

dikembangkan di kawasan PPK adalah pariwisata dan sumberdaya perikanan

(Bengen dan Retraubun 2006) yang paling banyak berhubungan dengan ekosistem

karang. Adanya jenis-jenis ikan yang hidup di ekosistem karang merupakan daya

tarik yang sangat kuat bagi manusia, baik untuk kegiatan penelitian (scientific

interest), untuk penyelaman (wisata bahari) ataupun untuk diambil untuk

dikonsumsi dan dijadikan ikan hias akuarium. Berdasarkan penelitian Pusat

Page 70: Tojo Una Una

46

Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000 bahwa

kondisi terumbu karang Indonesia saat ini 41.8% dalam keadaan rusak; 28.3%

dalam keadaan sedang; 23.7% dalam kondisi baik, dan hanya 6.2% masih dalam

keadaan sangat baik (DKP 2004). Kondisi terumbu karang berhubungan erat

dengan keberadaan ikan karang di suatu perairan. Semakin rusak kondisi terumbu

karang di perairan Indonesia dapat berdampak kemerosotan terhadap produksi

ikan karang di Indonesia. Diperkirakan dari 12 000 jenis ikan laut sebanyak 7 000

spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai

(Subani dan Barus 1989). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan

demersal merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan

utamanya adalah plankton, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan

tergantung kepada faktor-faktor lingkungan perairannya.

Sumberdaya ikan demersal termasuk jenis-jenis ikan sidentari yang

banyak terdapat di perairan pantai (inshore), baik perairan yang bersubstrat pasir,

berbatu dan berlumpur. Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Indonesia

sampai saat ini masih berkisar pada usaha perikanan rakyat berskala kecil (small

scale fisheries) dan penggunaan alat tangkap yang masih sangat sederhana.

Lazimnya perikanan model ini dikenal dengan istilah perikanan artisanal (Eidman

1991). Produksi perikanan demersal yang merupakan bagian dari usaha perikanan

skala kecil sebagian besar didistribusikan pada pasar lokal (local market) dan

pasar regional (regional market). Potensi perikanan demersal tersebut dapat

memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah, maka

pemanfaatannya harus dikendalikan dengan tetap mempertahankan kelangsungan

sumberdaya ikan dalam jangka panjang melalui tindakan antisipasi terhadap

tekanan penangkapan.

Kondisi riil sumberdaya perikanan tangkap hubungannya dengan tingkat

pemanfaatan yang terjadi dapat dianalisis dalam bentuk CPUE yaitu hubungan

antara hasil tangkapan (kg) per upaya tangkap (trip) dari masing-masing jenis ikan

yang akan menghasilkan parameter biologi (konstanta laju pertumbuhan intrinsik

dari ikan = r), teknologi penangkapan (konstanta kemampuan tangkap dari alat =

q), lingkungan (kemampuan daya dukung dari perairan = K), estimasi upaya

tangkap optimum, sediaan ikan, pertumbuhan, dan produksi hasil tangkapan

Page 71: Tojo Una Una

47

sebagai pembanding. Hasil penelitian Laapo et al. (2007) menunnjukkan bahwa

penentuan besarnya potensi lestari sumberdaya ikan karang dan upaya

penangkapan optimum di perairan Tojo Una-Una untuk menentukan nilai

parameter biologi, teknologi, dan lingkungan menggunakan pedekatan Model

Equilibrium Schaefer sebagai model yang paling baik dibandingkan dengan yang

lain.

Perilaku variabel populasi dan produktivitas perikanan dapat dianalisis

dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, untuk mengestimasi tingkat

pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan di kawasan pesisir PPK. Pendekatan

dinamik untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan tetera pada Gambar 10.

Gambar 10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (Adrianto dan Matsuda 2004)

Pendekatan sistem dinamik EF perikanan dibangun dari tiga sub ststem

yaitu populasi, sektor hasil perikanan dan konsumsi nyata. Submodel populasi

dihitung berdasarkan model verhulst, Submodel sektor hasil perikanan

berdasarkan model logistik Gompertz dan Submodel konsumsi nyata berdasarkan

Haberl (2001).

2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah

Konservasi

Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan

sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu

yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan

Sistem Dinamik Produktivitas Hasil

Sistem Dinamik Konsumsi

Sistem Dinamik Populasi

Sistem Dinamik Ecological Footprint Perikanan

Page 72: Tojo Una Una

48

pengelolaan wilayah pesisir : pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai,

pendidikan dan kesehatan, namun contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah

pesisir sebagai target. Fokus utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir

adalah pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri yakni inti dari konsep

pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif,

lingkungan, ekonomi, dan terintegrasi dengan sistem sosial. Selanjutnya konsep

pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan

antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan

prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan (Gambar 11)

ketergantungan waktu dan keadilan sosial (Kay and Alder, 2005).

Gambar 11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder 2005)

Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma utama dalam khasanah

dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20. Young pada tahun 1992

memperkenalkan sejumlah tema yang mendasari konsep berkelanjutan, yakni

integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder

2005). Prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir :

1. Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan

keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke

depan melalui analisis biaya manfaat;

2. Isu lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan seperti konservasi

keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan

keputusan;

3. Kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang

sangat diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan.

Kata integrasi menjadi begitu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Beberapa kelompok integrasi yang harus dilakukan di dalam pengelolaan wilayah

Page 73: Tojo Una Una

49

pesisir (Cicin-Sain 2002) adalah : integrasi antar sektor di wilayah pesisir,

integrasi antar kawasan perairan dan daratan di dalam zonasi pesisir, integrasi

antar pengelola tingkat pemerintahan, integrasi antar negara, dan integrasi antar

berbagai disiplin.

Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem

pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan

secara internal antara kebijakan dan program aksi, antara proyek dan program,

tetapi juga menjamin keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan.

Berdasarkan jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis keterpaduan, yaitu

keterpaduan sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan (Chua 1993).

Keterpaduan sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal

sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola

pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini

menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi,

sosial dan ekonomi ditangani secara cukup, sertan membutuhkan berbagai

ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan

pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan

sasarannya, mengupayakan tidak terjadinya duplikasi antar lembaga yang terlibat,

tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan

pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari

keterpaduan fungsional. Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin

konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan

pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir

adalah mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam

rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Kebijakan dan strategi

penyuluhan pesisir harus dapat mengadopsi perubahan yang terjadi di wilayah

pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional.

2.7.1 Wisata

Pendekatan pembangunan wisata berkelanjutan dengan memelihara

sumberdaya alam, budaya dan sumberdaya lain untuk satu penggunaan

berkepanjangan di masa mendatang, namun masih bermanfaat bagi generasi

Page 74: Tojo Una Una

50

sekarang. Pendekatan ini adalah penting karena pembangunan wisata bergantung

kepada atraksi dan aktivitas terkait ke lingkungan alami, warisan bersejarah dan

pola budaya dari daerah tersebut. Apabila sumberdaya alam ini terdegradasi atau

punah, maka daerah wisata tersebut tidak menarik bagi wisatawan dan pariwisata

tidak akan berhasil. Satu hal yang penting dari manfaat wisata adalah bila

dikembangkan melalui konsep keberlanjutan ini dapat membantu dan membayar

biaya konservasi dari satu kawasan sumberdaya alam dan budaya tersebut (WTO

1994). Perencanaan wisata dan implementasi yang tidak konsisten dilakukan

dapat mengakibatkan perkembangan wisata akan ‘menghancurkan’ sumberdaya

dan menjadi tidak berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan membuat industri

wisata sadar akan pentingnya menyatukan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan pada perencanaan dan bertambahnya kunjungan yang terus menerus

seharusnya tidak lagi menjadi kriteria utama untuk pengembangan wisata. Hal

penting yang diperlukan adalah pendekatan pengembangan wisata yang integratif

yang bertujuan memproteksi lingkungan, menjamin bahwa wisata menguntungkan

penduduk lokal dan membantu pelestrian warisan budaya di negara tujuan wisata

(WTO 2000). Kode etik tersebut meliputi ketentuan yang mencakup aturan bagi

daerah tujuan wisata, pemerintah, penyelenggara tour, pengembang, biro

perjalanan, pekerja dan bagi para wisatawan. Industri wisata yang berkelanjutan

yaitu menggunakan sumberdaya alam yang berkelanjutan, penurunan konsumsi

berlebihan dan sampah, mempertahankan keberagaman, integrasi wisata ke dalam

perencanaan, ekonomi pendukung, pelibatan komunitas lokal, konsultasi

pemegang saham dan masyarakat, pelatihan staf, tanggung jawab pemasaran

wisata dan pelaksanaan penelitian (Farsari dan Prastacos 2001). 2.7.2 Perikanan

Pengelolaan sumberdaya dan partisipasi masyarakat di PPK memberikan

dampak yang baik dengan melibatkan masyarakat, seperti pengalaman

pengelolaan pada Pulau Pohnpei di Micronesia, dengan konsep integrasi

pengelolaan kawasan pesisir harus menyesuaikan dengan kondisi-kondisi geografi

dan sosial di PPK. Pengelolaan dan perencanaan PPK sebagai fokus strategi

dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam usaha perencanaan yang

mengacu pada tiga dimensi: spatial-ecological, structural-political dan

Page 75: Tojo Una Una

51

processural-temporal. Dimensi spatial-ecological berdasarkan pertimbangan

geografi mengingat PPK mempunyai ukuran kecil, konsep yang holistik suatu

kawasan pesisir semua pulau-pulau yang terfokus mengenai ruang (Dahl 1997).

Keterpaduan dalam pengelolaan daerah konservasi dapat didekati dengan

pemodelan sistem secara spasial, sehingga diperlukan penataan dan penempatan

setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara tepat dan akurat

berdasarkan potensi dan kemampuan lahan pesisir (Kusumastanto 2004). Sebagai

contoh, pengembangan strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung

penguatan progran mata pencaharian alternatif pada kegiatan perikanan

berkelanjutan (Smith et al 2005) tertera pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan No.

Strategi mata pencaharian

Fungsi mata pencaharan perikanan

1 Bertahan/survival Subsisten (produksi makanan dan pendapatan) Nutrisi (protein, mikronutrien, vitamin) 2 Diversifikasi semi subsisten Konsumsi sendiri-nutrisi dan keamanan pangan Tenaga kerja dalam pertanian Sumber keruangan Diversifikasi untuk :

- Tenaga kerja dan konsumsi rokok - pengurangan resiko - strategi perlawanan terhadap schok 3 Spesialisasi sebagai nelayan Pasar (produksi dan pendapatan)

Akumulasi 4 Akumulasi diversifikasi Akumulasi Retensi dari strategi akumulasi diversifikasi Rekreasi Sumber : Smith et al (2005)

2.8 Penelitian Terdahulu

Kajian pemanfaatan wisata-perikanan di kawasan pulau-pulau kecil

banyak dilakukan dengan mengacu pada konsep pendekatan ekosistem (Bass dan

Dalal-Clayton 1995). Pengelolaan dan pembangunan PPK dilakukan dengan

pendekatan yang bersifat spesifik lokasi (site spesifik) sesuai dengan karakteristik

masing-masing PPK tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu,

sustainability/ keberlanjutan pengelolaan PPK merupakan suatu konsep

pengelolaan yang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam berdasarkan

sifat strong sustainability maupun weak sustainability. Keberlanjutan berdasarkan

Page 76: Tojo Una Una

52

weak sustainability merupakan konsep dasar aset/modal ekonomi (mesin, lahan,

tenaga kerja, dan pengetahuan) dan aset alam (sumberdaya alam dan lingkungan)

sebagai total aset, aset buatan sebagai bagian dari aset alam. Strong sustainability

memuat tiap jenis aset secara terpisah, menilai keberlanjutan terhadap daya

dukung sumberdaya alam, melindungi ekosistem kritis (Ayres et al. 2000; Bergh

2000). Beberapa kajian dengan konsep strong sustainability yang relevan dengan

penelitian ini tertera pada Tabel 8.

Page 77: Tojo Una Una

53

Tabel 8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu

No. Peneliti Pendekatan Penelitian

Isu dan Permasalahan

Kesesuaian Pemanfaatan

Daya Dukung Ekologi

Daya Dukung Sosial

Daya Dukung Ekonomi

Tinjauan

1 Manafi (2010)

Ekologi-Ekonomi

Deskriptif GIS, LIT (sekunder)

Air Tawar, Yulianda et al. (2009)

Deskriptif TEV Optimasi pemanfaatan ruang secara spasial untuk pariwisata dan perikanan (ecovalue space)

2 Kasnir (2010)

Ekologi-Sosial

Deskriptif GIS, LIT Yulianda et al. (2009)

Deskriptif Valuasi Ekonomi

Optimasi pemanfaatan ruang secara spasial untuk minawisata bahari menggunakan Linier Goal programming/ LGP dan Multi Dimension Scale/MDS)

3 Laapo (2010)

Ekologi-Ekonomi

Deskriptif GIS, LIT Yulianda et al. (2009), Indeks Pencemaran

Deskriptif Valuasi Ekonomi

Optimasi pengelolaan ekowisata menggunakan LGP, MDS, dan analisis dinamik dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya ekowisata (fee konservasi), kegiatan ekowisata berbasis terumbu karang, mangrove dan budaya (diversifikasi kegiatan ekowisata dan peningkatan harga produk ekowisata bahari), peningkatan kenyamanan, partisipasi masyarakat lokal, peningkatan penyediaan infrastruktur penunjang, pembatasan dan distribusi kunjungan wisman pada lokasi dan waktu tertentu.

4 Sulistiawati (2011)

SES DPSIR GIS, LIT Temporal

EFA (TEF, FEF)

HANPP, CLSA

Valuasi Ekonomi

Integrasi pemanfaatan ruang secara spasial dan temporal untuk wisata- perikanan

Page 78: Tojo Una Una

54

Page 79: Tojo Una Una

55

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008 –

Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-

Una Provinsi Sulawesi Tengah.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian dirancang menggunakan pendekatan sistem sosial ekologi

(SSE) berdasarkan integrasi pengetahuan untuk menilai sistem dinamis yang

terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam (Erb et al. 2008)

dalam implementasi pengelolaan Gugus Pulau Batudaka. Identifikasi

permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses), untuk mengetahui

keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem

sehingga dapat digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya

oleh manusia dan aktivitas (wisata dan perikanan) menghasilkan limbah di

kawasan Gugus Pulau Batudaka. Penilaian terhadap tekanan ekosistem dianalisis

berdasarkan pada pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekosistem yang

berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya (Turner et al. 2000).

Penelitian diarahkan untuk memperoleh data kondisi saat ini dan data optimal

pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. 3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Jenis Data

3.3.1.1 Data Biofisik

Data biofisik yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan

data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode observasi dan

pengukuran secara langsung di lapangan terhadap objek penelitian, sedangkan

data sekunder dikumpulkan dengan cara penelusuran berbagai literatur dan

pustaka pada instansi terkait sesuai materi yang dikaji (Tabel 9).

Page 80: Tojo Una Una

56

Tabel 9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian Komponen Biofisik Metode Pengumpulan

Data Sumber Data Alat/bahan yang

digunakan Komponen Biologi Tutupan Komunitas karang (%)

LIT/Line Intercept Transect

Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Citra Landsat

Fin, Masker, Snorkel, GPS

Jenis Terumbu Karang (Genus)

English et al. (1994) Insitu, Bappeda, BKSDA, CII

Fin, Masker, Snorkel, GPS

Jenis Ikan Karang (Genus) Visual Sensus Ikan Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian

Fin, Masker, Snorkel, GPS

Mangrove (Spesies) Transek Kuadran Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian

Meteran, GPS, Daftar Isian

Lamun Transek Kuadran Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian

Meteran, GPS, Daftar Isian

Komponen Fisik-kimia Tipe pantai Observasi Insitu Meteran, GPS,

Daftar Isian Penutupan lahan pantai Observasi Insitu Meteran, GPS,

Daftar Isian Keterlindungan dari arus, angin dan gelombang

Observasi Insitu GPS, Daftar Isian

Ketersediaan air tawar Observasi Insitu Meteran, GPS, Daftar Isian

Material dasar perairan (fraksi substrat, %)

Observasi Insitu, analisis Lab. GPS, Daftar Isian, kantong plastik

Kedalaman perairan (m) Observasi Insitu, Peta Bathimetri Tali, pemberat Meteran, GPS, Daftar Isian

Pasang surut (cm) Observasi Insitu, Laporan Papan Berskala, Daftar Isian

Arus (cm/detik) Observasi Insitu, Bappeda Current-meter, drift float, GPS, Daftar Isian

Suhu 0C Observasi Insitu Thermometer GPS, Daftar Isian

Kecerahan perairan (cm) Observasi Insitu Sechhi Disk, GPS, Daftar Isian

Salinitas (‰) Observasi Insitu Refraktometer, , GPS, Daftar Isian

pH Observasi Insitu pH meter, GPS, Daftar Isian

Oksigen terlarut/DO (dissolved Oxygen (ppm)

Observasi Insitu DO meter, GPS, Daftar Isian

Page 81: Tojo Una Una

57

3.3.1.2 Data Sosial Ekonomi

Pengumpulan data primer sosial ekonomi yang dilakukan melalui

wawancara terhadap stakeholders yang terkait dengan materi penelitian. Data

sekunder diperoleh melalui penelurusan penelitian yang bersumber dari

Dinas/Instansi/Lembaga terkait tertera pada Tabel 10. Tabel 10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian Komponen Sosek Metode

Pengumpulan Data* Sumber Data Alat/bahan yang

digunakan Komponen Sosial Kependudukan Pustaka BPS Kab. Touna

Mata pencaharian Wawancara Bappeda dan BPS Kab. Touna

Kuesioner

Kunjungan Wisatawan Wawancara, pustaka Disbudpar kabupaten dan provinsi, pengelola wisata

Kuesioner

Daerah penangkapan Ikan (fishing ground)

Survey, wawancara nelayan, masyarakat Kuesioner

Komponen Ekonomi Biaya operasional wisata Kunjungan wisatawan

Wawancara Wawancara

Pengelola Wisata Pengelola Wisata

Kuesioner Kuesioner

Data wisatawan

Wawancara, pustaka

Pengelola Wisata, Disbudpar kabupaten dan provinsi

Biaya operasional penangkapan

wawancara

Nelayan, masyarakat

Kuesioner

Harga ikan Data produksi ikan

Survey, wawancara Wawancara, Pustaka

Nelayan, masyarakat, DKP UPTD kecamaan, kabupaten dan provinsi

Kuesioner Kuesioner

Keterangan : * Moleong (2005) 3.3.2 Metode Pengambilan Data

3.3.2.1 Metode pengambilan Contoh Biofisik

Lokasi pengambilan data komponen fisik-kimia perairan ada 15 (lima

belas) stasiun pengamatan (Gambar 12) dan yang ditentukan secara sengaja

(purposive sampling) dengan pertimbangan lokasi stasiun penelitian adalah yang

mempunyai keterwakilan pemanfaatan wisata dan perikanan berdasarkan

Page 82: Tojo Una Una

58

Gambar 12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi

Page 83: Tojo Una Una

59

pengamatan pada empat titik waktu yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),

musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim

timur (Agustus 2009).

Pengamatan terumbu karang dan ikan dilakukan pada stasiun 6, 8 dan 10,

selain dengan pertimbangan keterwakilan pemanfaatan tersebut, juga berdasarkan

gambaran kondisi dan penyebaran terumbu karang dari hasil pengolahan citra

awal. Kebutuhan data primer biofisik untuk ekosistem terumbu karang dilakukan

secara horisontal (sejajar garis pantai) menggunakan Line Intercept Transect 100

m dari reef flat sampai reef slope berdasarkan kedalaman 3 m dan 10 m

(Supriharyono 2007), persentase tutupan, keanekaragaman jenis dan keseragaman

(English et al. 1997). Demikian pula pengamatan ikan karang ditentukan dengan

metode Sensus Visual Ikan Karang (Coral Reef Fish Visual Census) (English et

al. 1997).

Pengumpulan data biofisik pada ekosistem mangrove pada stasiun 2, 3, 12,

13 dan Umpagi (Desa Bomba). Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan

transek kuadran dengan cara menarik garis lurus dari arah laut tegak lurus garis

pantai sepanjang zonasi hutan mangrove (Bengen 2001; Fachrul 2007). Pada

setiap transek kemudian diletakkan secara acak petak-petak sampel (plot)

berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x10 m2 untuk kelompok pohon (diameter >

10 cm) yang ditempatkan di sepanjang garis transek, jarak antar kuadran

ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi.

Kelompok tiang (diameter 2-10 cm) diambil pada petak berukuran 5x5 m2.

Kelompok semai (diameter <2 cm) diambil pada petak 1x1 m2 yang ditempatkan

pada petak kelompok tiang. Pada setiap petak sampel dilakukan determinasi

setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan

ukuran lingkar batang setiap pohon mangrove yang ada, parameter lingkungan

(suhu, salinitas, DO dan pH), tipe substrat, dampak kegiatan manusia pada setiap

stasiun (Bengen 2001).

Identifikasi lamun pada stasiun 2, 5 dan Umpagi (Desa Bomba) ditentukan

dengan metode transek kuadran yang ditarik dari pantai menuju ke arah tubir pada

ekosistem lamun secara tegak lurus garis pantai sampai batas terumbu karang.

Pada masing-masing transek diletakkan plot berukuran 1 x 1 m2, jarak antar

Page 84: Tojo Una Una

60

plot 10 m dan antar transek berjarak 100 m (Fachrul 2007),dengan kriteria

berdasarkan KMNLH No. 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan

Penentuan Status Padang Lamun, untuk kondisi baik/kaya (dominan) dengan

penutupan >60%, rusak : kurang kaya/kurang sehat (sedang) dengan penutupan

30-59.9% dan miskin (sedikit) dengan penutupan <29.9%.

Komponen fisik-kimia yakni tipe pantai, penutupan lahan pantai,

keterlindungan dari arus dan gelombang, ketersedian air tawar, material dasar

perairan dilakukan dengan mengobservasi komponen tersebut di lokasi penelitian.

Fraksi substrat di lokasi mangrove diambil masing-masing sebanyak + 300 g pada

stasiun 2, 3, 12, 13 dan Umpagi (Desa Bomba) dan komposisi fraksi dianalisis di

laboratorium.

Pengukuran pasang surut dengan menggunakan tiang skala semi permanen

untuk memperoleh data perubahan elevasi muka air. Tiang skala ditempatkan di

daerah yang tetap tergenang air laut pada saat surut terendah. Pengamatan

dilakukan dengan pembacaan secara langsung ketinggian air pada tiang skala,

dicatat secara kontinyu setiap 1 jam selama 39 jam (metode Doodson) dan

minimal selama 15 hari untuk mengamati harmoni pasut (Ongkosongo 1989).

Pengukuran kecepatan arah arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan

dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) untuk arus permukaan dan

current meter untuk mengukur kecepatan arus kedalaman. Pengukuran kecepatan

dan arah arus ditempatkan di sekitar penempatan transek, diukur setiap jarak 10 m

(Richards 1998).

Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer

batang. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer

batang. dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang

menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan oC. Kecerahan adalah

ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu secchi

disk. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah antara pukul 09.00–

15.00 dan matahari tidak tertutup awan.

Prinsip kerja refraktometer adalah pembiasan cahaya dari larutan sampel

pada skala refraktometer yang menunjukkan nilai salinitas. Alat dikalibrasi dengan

menggunakan aquadest sebelum digunakan dengan cara pada meja objek diitetesi

Page 85: Tojo Una Una

61

aquadest, kemudian diamati pada skala lensa (tepat pada angka nol). Larutan sampel

(air laut) ditetesi pada meja objek dan dicatat nilai salinitas yang ditunjukkan pada

skala lensa. dalam satuan ‰.

Derajat keasaman/pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter. Alat

ini memiliki sensor, dengan cara sensor dimasukkan kedalam wadah berisi sampel

air laut. Selanjutnya pembacaan nilai pH yang terdapat pada layar. Pengukuran

oksigen terlarut di dalam air laut dilakukan dengan metoda elektrokimia yakni

elektroda yang terdiri dari katoda dan anoda yang terendam dalam larutan

elektrolit (larutan garam) menggunakan DO-meter. 3.3.2.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial Ekonomi

Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode

survei melalui teknik wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh

informasi mengenai kondisi wilayah penelitian dan persepsi atau sudut pandang

stakeholders yang terlibat langsung (responden) yang dianggap mempunyai

kemampuan dan mengerti permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan

sumberdaya pesisir di kawasan tersebut, yaitu dengan responden terdiri dari

kelompok wisatawan (lokal dan mancanegara), pengelola wisata, nelayan, tokoh

masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya. Pengumpulan data primer

dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan

sebelumnya. Prosedur pemilihan dan penentuan jumlah responden tertera pada

Gambar 13.

Responden untuk wisatawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu wisatawan

mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik atau nusantara (wisnus). Jumlah

Wisnus sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak 18 orang dan wisman

sebanyak 25 orang. Pemilihan responden wisatawan dilakukan pada beberapa

lokasi, dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah ada aktivitas wisata.

Pelaksanaannya secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa

saja yang kebetulan ada dan bersedia menjadi responden (Soeratno dan Arsyad

1993).

Jumlah desa di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una adalah 13 desa

dan lokasi pengambilan contoh sosial ekonomi ada 6 (enam) desa (Gambar 13)

yaitu Desa Wakai, Bambu, Siatu, Bomba, Malino dan Kulingkinari. Jumlah

Page 86: Tojo Una Una

62

contoh diambil dengan pertimbangan keterwakilan wilayah yaitu desa-desa yang

ada di Gugus Pulau Batudaka secara sengaja (purposive sampling) yang diambil

langsung untuk setiap kelompok responden sesuai dengan tujuan penelitian dan

berdasarkan kriteria tertentu (Adrianto 2007), yakni lokasi penelitian adalah desa

yang mempunyai potensi dalam pemanfaatan wisata dan perikanan serta

responden yang dipilih berdasarkan pertimbangan : responden dari unsur

masyarakat adalah penduduk dewasa yang sekurang-kurangnya telah menetap

selama 3 tahun dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut di Gugus Pulau

Batudaka. Responden terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, PNS, nelayan,

petani, pedagang. Pengusaha wisata/pemilik guesthouse sebanyak 4 orang .

Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat

dan nelayan adalah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Gugus Pulau Batudaka

Kecamatan Una-Una. Jumlah KK di 6 desa tersebut pada tahun 2008 (BPS Kec.

Una-Una 2009) sebanyak 1 637 KK dengan profesi sebagai nelayan sekitar 50%

atau 818 orang, maka berdasarkan perhitungan rumus jumlah sampel (responden)

dari persamaan Slovin (1960) yang diacu dalam Sevilla et al. (1993), yaitu :

21 Ne

Nn

.............................................................................................. (1)

di mana, n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persentase ketidaktelitian karena pengambilan contoh (10%) diperoleh jumlah sampel masyarakat sebanyak 94 orang (Tabel 11) dan 46 orang

nelayan. Tabel 11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi No. Desa Populasi Rumah Tangga Ukuran Sampel 1 Wakai 619 35 2 Bambu 330 19 3 Bomba 285 16 4 Kulingkinari 254 14 5 Malino 92 5 6 Siatu 93 5

Jumlah 1 637 94

Page 87: Tojo Una Una

63

Gambar 13 Kerangka sampling sosial ekonomi

Data Sosial Ekonomi

Pemanfaat Sumberdaya

Wisman Pengusaha Wisata Masyarakat

Pengambil Kebijakan

Nelayan

PEMDA

N6=8

Jenis Responden

N2=818 N1=1637 N3 N5= 4

Purposive sampling

n =25 n = 18 n = 94 n=46 n = 8

Random Sampling Sensus

n =12 n=231

Estimasi Proporsi Ukuran sampel

Pemilihan responden

Jumlah unit Responden

Wisnus

N4

n=4

Accidental Sampling

Page 88: Tojo Una Una

64

3.4 Metode Analisis Data

Secara umum analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap.

Tahap I, Deskriptif, dengan mengidentifikasi permasalahan menggunakan

pendekatan DPSIR sehingga terpetakannya potensi dan pemanfaatan ruang untuk

wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. Tahap II, Kondisi pembatas

berdasarkan kelayakan pemanfaatan secara ekologi, ekonomi, sosial kelembagaan.

Tahap III, Kolaborasi kondisi pembatas (analisis kelayakan pemanfaatan ruang

dan daya dukung lingkungan) yang diintegrasikam dengan optimasi model

dinamik. Tahap IV, Implementasi strategi model integrasi wisata-perikanan di

Gugus Pulau Batudaka, dan tahapan penelitian tertera pada Gambar 14.

Mulai

Tahap I

Deskriptif

Tahap II

Kondisi Pembatas

Tahap III

Kolaborasi

Tahap IV

Implementasi

Gambar 14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka

Identifikasi PermasalahanPendekatan DPSIR

Analisis Kelayakan Pemanfaatan : - Ekologi (Ecological Footprint análysis) - Sosial/kelembagaan (HANPP dan CLSA) - Valuasi Ekonomi

Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS)

Dynamic Modelling (Stella)

Perumusan Model Integrasi

Verifikasi dan Validasi Model

Selesai

Wisata Perikanan

I N P U T

PROSES

O U T P U T

Page 89: Tojo Una Una

65

3.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses)

Pendekatan DPSIR untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab

terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk menilai

intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas (wisata dan

perikanan) di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Penilaian tekanan terhadap

ekosistem dianalisis berdasarkan pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi

ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya berdasarkan

indikator ruang meliputi bentang alam, tata guna air, dan biodiversity (Turner et

al. 2000).

3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan

Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun

pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu

Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis/PCA) (Bengen

2000). Analisis ini bermanfaat untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke

dalam variabel baru berukuran sederhana dan berguna untuk menduga suatu

fenomena sekaligus melihat hubungan antar variabel karakteristik perairan.

Melalui analisis tersebut diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai

gambaran setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang

dianggap memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain

kecerahan, salinitas, suhu, pH, dan DO. Analisis PCA dalam penelitian ini

menggunakan software XLSTAT 2010.

Penentuan kesesuaian pemanfaatan di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan

Geographic Information System (GIS) menggunakan ArcGIS ver. 9.2. Secara

umum terdapat empat tahapan analisis kesesuaian pemanfaatan yang dilakukan,

yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3)

pembobotan dan pengharkatan, dan (4) analisis spasial untuk kesesuaian wisata

dan perikanan.

(1) Penyusunan peta kawasan Gugus Pulau Batudaka

Penyusunan peta Gugus Pulau Batudaka menggunakan : (1) Data citra

Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper (ETM+) tanggal 17 Oktober 2000, dan 12

April 2007 dari BTIC Biotrop, 13 Juli 2000, 16 Juli 2001, 13 Desember 2009, 19

Maret 2010 dan 13 Oktober 2010 (http://glovis.usgs.gov/) (2) Peta Rupabumi

Page 90: Tojo Una Una

66

Indonesia 1:50.000 wilayah Gugus Pulau Batudaka Lembar 2215-13~14, 2215-

41~42 Tahun 1992 dari Bakosurtanal; (3) Peta informasi bathimetri 1:75.000

perairan Pulau-Pulau Togian-Dishidros Tahun 2008; (4) Data Landuse diperoleh

dari pengolahan citra tersebut yang membagi wilayah studi dalam kelas

penggunaan lahan untuk pemukiman, terumbu karang, mangrove, padang lamun;

(4) Pemanfaatan kegiatan mengacu pada zonasi kawasan yang dirinci dalam

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna 2007).

Proses pengolahan citra Landsat TM untuk pemetaan terumbu karang,

mangrove, lamun dengan menggunakan model transformasi Lyzenga (1978)

menggunakan software ER Mapper versi 7.0. Klasifikasi penutup lahan dilakukan

dengan cara interpretasi visual yaitu dengan cara mendelineasi kenampakan-

kenampakan yang sama ke dalam satu kelas penggunaan atau penutup lahan

dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah ada. Penyusunan peta

kawasan dengan melakukan query terhadap data GIS dengan menggunakan

prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui.

(2) Membuat matriks kesesuaian tiap kegiatan yang ada

Penyususnan matriks kesesuaian setiap kegiatan wisata dan perikanan

selengkapnya diuraikan sebagai berikut. 3.4.2.1 Wisata

Identifikasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas

(parameter) setiap jenis kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata, yaitu:

1 Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati,

sehingga memberikan rasa relaksasi dan memulihkan semangat daya

produktivitasnya;

2 Memiliki keaslian panorama alamnya (pantai berpasir, terumbu karang, ikan

hias) dan keaslian budaya;

3 Keunikan ekosistemnya;

4 Di lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin

besar dan topografi dasar laut yang curam;

5 Tersedianya sarana dan prasarana (mudah dijangkau, baik melalui darat

maupun laut, dan kemungkinan pengembangan aksesibilitas cukup baik, dekat

dengan restoran, tempat penginapan, dan ketersediaan air bersih).

Page 91: Tojo Una Una

67

Pemanfataan ruang berdasarkan parameter biofisik untuk kegiatan wisata yakni

jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan

baik di atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan

laut/selam (scuba diving). Matrik kesesuaian kegiatan wisata di Gugus Pulau

Batudaka difokuskan pada kegiaatan wisata selam dan snorkeling, terinci pada

Tabel 12, dan 13. Tabel 12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam

No. Parameter Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1)

1 Kecerahan perairan (m) 25 >10 6-10 <6

2 Tutupan komunitas karang (%) 25 >75 50-75 <50

3 Jenis life form (unit) 15 >12 7-12 <7

4 Jenis ikan karang (Genus) 15 >100 50-100 <50 5 Kedalaman terumbu karang (m) 10 5-15 15-30 >30, <5 6 Kecepatan arus (cm/det)* 10 0-15 15-50 >50

Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007) * : dinamik berdasarkan musim

Tabel 13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling

No. Parameter Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1) 1 Kecerahan perairan (m) 20 <6 6-10 >10

2 Tutupan komunitas karang (%) 20 >75 50-75 <50

3 Jenis life form (unit) 15 >12 7-12 <7

4 Jenis ikan karang (genus) 15 >100 50-100 <50

5 Kedalaman terumbu karang (m) 10 1-5 5-10 >10

6 Lebar hamparan datar karang (m) 10 >500 50-500 <50

7 Kecepatan arus (cm/det)* 10 0-15 1-50 >50 Keterangan: S1 :Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007) * : dinamik berdasarkan musim 3.4.2.2 Perikanan

Kesesuaian ruang untuk perikanan tangkap dilakukan untuk spesies

tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting.

Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan ikan, diketahui bahwa spesies

ekonomis penting yang dominan di Gugus Pulau Batudaka adalah ikan lolosi, ikan

kakap dan rumput laut sehingga dibatasi untuk kesesuaian penangkapan ikan

karang dan budidaya rumput laut. Kriteria yang diperlukan untuk daerah kegiatan

perikanan dari aspek alokasi penetapan ruang terinci dalam Tabel 14 dan 15.

Page 92: Tojo Una Una

68

Tabel 14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang

No. Parameter Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1) 1 Kedalaman perairan (m) 20 > 5 3 - 5 < 3 2 Topografi dasar perairan 10 Curam landai-curam landai 3 Kecerahan perairan (m) 10 > 10 5 – 10 < 5 4 Perubahan cuaca 10 Jarang sedang sering 5 Kondisi terumbu karang 20 Baik sedang buruk 6 Pencemaran 10 tidak ada sedikit ada 7 Kelimpahan ikan target (ind/350 m2) 20 > 200 100 – 200 < 100

Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); modifikasi DKP (2006)

Tabel 15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut

No. Parameter Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1) 1 Kedalaman perairan (m) 20 3-15 2-3 atau >15-40 <2 atau >40 2 Material dasar perairan 15 karang berpasir pasir- pasir berlumpur lumpur 3 Kecerahan (m) 15 >10 5-10 < 5 4 DO (ppm) 10 >7 5-7 <5 5 Arus (cm/dt)* 20 21-30 11-<21 atau >30-45 <11 atau >45 6 Suhu (0C)* 10 28-30 25-28 atau 30-33 <25 atau >33 7 Salinitas (‰)* 10 30-32 25-<30 atau >32-35 <25 atau >35 8 pH* 10 8.2-8.7 7.0-8.2 atau 8.7-9 <7

Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); * : dinamik berdasarkan musim Modifikasi Wijaya (2007)

(3) Memberikan pembobotan dan pengharkatan

Pada tahap awal dilakukan pembobotan terhadap beberapa parameter yang

berpengaruh terhadap pengembangan wisata dan perikanan menggunakan matriks

pembobotan (Tabel 12-15). Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui

pendekatan Indeks Overlay Model (Bonham dan Carter 1994) yaitu :

n

jj

n

jjj

i

W

WS

S

1

1'

.........................………....…………………….......... (2)

di mana Si’ = Indeks kesesuaian dari kategori ke-i, i = 4 kategori; Sj = Skor parameter ke-j; Wj = Bobot parameter ke-j; n = Jumlah parameter Pembobotan dilakukan secara bertahap, di mana overlay dilakukan terlebih

dahulu pada parameter yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay

kembali dengan parameter yang berbobot lebih rendah dan seterusnya. Selain itu

setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor berdasarkan

Page 93: Tojo Una Una

69

tingkat kesesuaiannya dan hasilnya diperoleh ”nilai akhir” atau ”matriks atribut”

yang merupakan hasil perkalian antara bobot dengan skor kelas.

Kelas kesesuaian pada penelitian ini, dibagi kedalam 3 (tiga) kategori

berdasarkan FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu :

Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable).

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan

perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak

berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya

dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan.

Kategori (S2) : Sesuai (suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk

mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini

akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan.

Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala

kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-500. Range ini

selanjutnya dibagi dalam 3 kelas, sehingga pembagian nilai kesesuaian berikut ini.

Nilai 100-233 (N) = tidak sesuai

Nilai 234-367 (S2) = sesuai

Nilai 368-500 (S1) = sangat sesuai

(4) Melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian setiap kegiatan yang

ada di Gugus Pulau Batudaka

Tahapan dalam analisis spasial ini adalah setelah penyusunan matriks

kesesuaian berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, yang dilanjutkan

dengan kegiatan overlay. Proses pembobotan semua kegiatan berdasarkan

matriks kesesuaian di atas dilakukan untuk kondisi peralihan musim barat

(Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei

2009) dan musim timur (Agustus 2009), hal ini dilakukan agar hasil akhir dapat

mewakili kondisi musim. Hasil kesesuaian yang diperoleh dioverlay (tumpang

susun) untuk mendapatkan daerah kesesuaian pada kondisi musim tersebut serta

dioverlay dengan Rencana Zonasi Kawasan berdasarkan RDTR Kepulauan

Page 94: Tojo Una Una

70

Togean. Selanjutnya dilakukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi

kesesuaian lahan yang diperoleh, yakni :

(a) Keterlindungan perairan

Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan pemecah

ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan yang terlindung

pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan tenang;

(b) Wilayah konservasi atau jalur hijau pantai

Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam pesisir

lainnya yang perlu dilestarikan;

(c) Aksesibilitas

Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai.

Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

merekomendasikan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha wisata dan

perikanan serta pengembangan potensi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. 3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis)

Daya dukung pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka untuk

kawasan wisata dan perikanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan

Ecological Footprint Analysis (EFA). Daya dukung menjadi fokus perhitungan

EFA, agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi

populasi dan aktual kegiatan ekonominya. Secara teoritis, EFA bertujuan

mengekspresikan kesesuaian area yang produktif secara ekologi terhadap

kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan

(Haberl et al. 2001; Adrianto 2006). 3.4.3.1 Daya Dukung Wisata

EFA untuk aktivitas wisata atau Touristic Ecological Footprint (TEF) : …….....…….… (3) di mana : TEF= total footprint wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka (ha/orang/th) TEFb = jumlah agregat komponen built-up land TEFe = agregat fossil energy land; TEFc = agregat konsumsi food and fibre dari arable land/crop land; TEFp = agregat konsumsi food and fibre dari pasture land;, TEFf = agregat konsumsi food and fibre dari forest land; TEFs = agregat konsumsi food and fibre dari sea space.

sfpceb TEFTEFTEFTEFTEFTEFTEF

Page 95: Tojo Una Una

71

TEF dari perjalanan wisatawan dengan memanfaatkan sumberdaya dan

lahan Gugus Pulau Batudaka (built-up land), dibagi beberapa komponen yaitu

transportasi, akomodasi, dan aktivitas (Gossling et al. 2002; Li Peng dan Guihua

2007).

…………..………………..…….. (4) di mana : TEFb = footprint built-up land (ha/orang/tahun) TEFt = footprint transportasi (ha/orang/tahun) TEFa = footprint akomodasi (ha/orang/tahun) TEFea = footprint energi untuk akomodasi (ha/orang/tahun)

Komponen built-up land untuk transportasi adalah semua perjalanan yang

berhubungan dengan wisata yang menuju dan kembali dari Gugus Pulau

Batudaka, dengan mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan

pelabuhan). Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk

infrastruktur dalam proses perjalanan. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan

disebut Built-up land dari komponen transportasi, dihitung dengan membagi total

area perjalanan dengan jumlah kedatangan wisatawan (domestik, mancanegara)

(Disbudpar Sulteng 2008).

……………………………..…...……………..…...….. (5)

di mana TEFt = ecological footprint wisata komponen transportasi (ha/orang/th); tj = luasan area untuk infrastruktur jalan (ha) tp = luasan area untuk infrastruktur pelabuhan) (ha)

xi = jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th) Footprint perjalanan wisatawan untuk akomodasi terdiri dari area yang

diperlukan untuk akomodasi (guesthouse) dan fossil energy land. Total area

akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur

(guesthouse, homestay, dll). Total area diperoleh dengan mengalikan luas area

setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint dari

built-up land dari akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan

akomodasi dengan jumlah kedatangan wisatawan pada tahun 2007.

eaatb TEFTEFTEFTEF

i

p

i

jt x

t

x

tTEF

Page 96: Tojo Una Una

72

….......………………….………….…………. (6)

di mana TEFa = ecological footprint wisata komponen akomodasi (ha/orang/th); an = luasan area infrastruktur akomodasi (guesthouse, homestay) (ha),

xi = jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th)

Footprint energi dari komponen akomodasi dihitung dengan mengalikan

penggunaan energi (penerangan) tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse

kemudian dibagi dengan jumlah wisatawan.

Aktivitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan wisata

bawah laut, rekreasi pantai, olah raga dll. Dalam hal ini, Footprint aktivitas

wisatawan yang berhubungan dengan ruang laut (luas yang dibutuhkan untuk

wisatawan untuk selam/diving dan snorkeling) dan dianggap merupakan bagian

dari buil-up land. Luasan untuk kegiatan wisata tersebut di Gugus Pulau

Batudaka diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS.

Fossil energy land untuk menghitung penggunaan energi (penerangan).

Ketersedian energi dihitung berdasarkan data produksi listrik (PLN dan Non PLN)

di Kecamatan Una-Una yaitu sebesar 661 KWH (Bappeda Touna 2007),

selanjutnya dikonversi dalam satuan Joule atau sebesar 2.38 GJ/ha/tahun.

Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint

berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang

laut (sea space) dan padang rumput (pasture land) dihitung degan asumsi bahwa

kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi seharian di rumah (Li Peng dan

Guihua 2007), sehingga footprint sandang pangan dalam Living Planet Report

2008 (WWF 2008) dapat digunakan untuk menghitung data footprint nasional

yang dominan mengunjungi lokasi ini (Perancis, Belanda dan Indonesia). Jumlah

sumbangan rata-rata tahunan untuk konsumsi sandang dan pangan adalah 5 hari

yang merupakan rata-rata lama tinggal di Gugus Pulau Batudaka.

Kategori ruang yang berbeda terhadap total footprint dijumlahkan dengan

cara mengalikan area yang ada (hasil GIS) dengan equivalent factors, yang

menggambarkan produktivitas relatif rata-rata dunia (ha) dalam tipe lahan yang

berbeda. Equivalent factors dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity,

dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) (Gossling et al. 2002; WWF 2008).

i

n

nn

a x

aTEF

1

Page 97: Tojo Una Una

73

Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai

EF sama dengan nilai kapasitas biologis (biocapacity) dari sumberdaya alam yang

dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan

rumus BC (Lenzen dan Murray 2001) :

YFABC ii ......................................…………………………....….. (7)

di mana : BCi = biocapacity ruang ke-i yang diperlukan untuk wisata

Ai

= luas land cover ruang ke-i (ha);

YF = yield factor land cover.

Yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada

pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada setiap tipe land use

(Lenzen dan Murray 2001; WWF 2008). Selanjutnya daya dukung lingkungan

(CC/carrying capacity) dihitung dengan rumus :

i

ii EF

BCCC …………....………..………………………………….... (8)

di mana CCi = carrying capacity ke-i untuk wisata (orang) BCi = biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha) EFi = ecological footprint wisata ke-i (ha/orang) 3.4.3.2 Daya Dukung Perikanan

Pendekatan ecological footprint/EF secara statis (Moffat 2000) dengan

memperhitungkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity

Requirements/PPR) (Pauly dan Christensen 1995; Wada 1999 dalam Adrianto dan

Matsuda 2004). Secara teoritik, sistem perairan dibagi menjadi 6 yaitu : (1)

sistem perairan terbuka (Open Oceanic System), (2) Sistem Upwelling, (3)

Tropical Shelves, (4) Non Tropical Shelves, (5) Coastal and Coral System dan (6)

Freshwater System (sungai dan danau) (Pauly dan Christensen 1995).

Selanjutnya dinyatakan produktivitas primer (PP/ primary productivity) untuk

masing-masing sistem tersebut adalah : (1) 103, (2) 973, (3) 310, (4) 310, (5) 890

dan (6) 290 gC/m2/th. Kebutuhan produktivitas primer tiap jenis ikan dapat

dihitung berdasarkan tabel referensi tiap kelompok ikan berdasarkan rata-rata

trohpic level (TL) dari sistem perairan. Untuk Gugus Pulau Batudaka ada dua

sistem yaitu Tropical Shelves dan Coastal and Coral System. Tropik level untuk

kedua sistem tersebut tertera pada Tabel 16.

Page 98: Tojo Una Una

74

Tabel 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka Sistem Perairan Kelompok Spesies Tropic Level Tropical shelves Small Pelagics 2.8 Misc. teleosteans 3.5 Jack, Mackerel 3.3 Tuna, bonitos, bilifishes 4.0 Squids, cuttlefish, octopuses 3.2 Shrimps, prawn 2.7 Lobster, crabs, other 2.6 Sharks, rays, and chimaeras 3.6 Coastal and Coral System Bivalves and other mollusca 2.1 Misc. Marine fishes 2.8 Herrings, sardines and anchovies 3.2 Seaweeds 1.0 Jack, Mackerel 3.3 Diadromous Fishes 2.8 Shrimps, prawn 2.6 Turtles 2.4 Sumber : Pauly and Christensen (1995).

PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) yaitu :

)1(109

TLiii

CPPR ………..………………………..…..…………... (9)

di mana : PPRi = kebutuhan produksivitas primer spesies ikan ke-i; C = hasil tangkapan spesies ikan ke-i, C dibagi 9 sebagai konversi berat atom C (Wada 1999 dalam Adrianto dan Matsuda 2004); TL-i = rata-rata jumlah transfer tropic level produktivitas primer hasil tangkapan ke-i.

Estimasi EF sumberdaya perikanan secara statis dimulai dengan produksi utama

biomassa ikan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (Tabel 17) dan di

perairan Kabupaten Tojo Una-Una (Lampiran 1). Jika rata-rata efisiensi transfer

adalah 10% (Pauly dan Christensen 1995) maka ruang ekologis sistem perairan

untuk Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung dengan formula (Wada 1999 dalam

Adrianto and Matsuda 2004) sebagai berikut.

a

n

iia

a PP

PPREF

1 ……..…………………………………....………… (9)

di mana : EFa = ruang ekologis sistem perairan a; PPRia = kebutuhan produktivitas primer spesies i di sistem perairan a; PPa = produktivitas primer sistem perairan a; n = jumlah ikan

Page 99: Tojo Una Una

75

Tabel 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008

Nama Indonesia/lokal

Nama Inggris Nama Ilmiah

Volume (kg)* Sistem Trophic Level 2005 2006 2007 2008 Perairan

Kerapu sunu Grouper Plecrtopormus leopardus

4 346 5 348 4 229 3 461 2 2.8

Kakap Giant sea pearch/Baramundi

Lutjanus sp. 7 963 7 880 5 753 8 060 2 2.8

Tongkol Frigate mackerel Auxis sp. 15 200 12 000 12 600 15 060 1 4.0

Teri/lureh/ rono Commerson's anchovy (Anchovies)

Stolephorus commersonii (Stolephorus sp.)

6 850 7 700 6 685 4 500 1 2.8

Tenggiri

Spotted spanish mackerel (Indo-pasific king mackerel)

Scomberomorus guttatus

450 250 450 150 1 4.0

Ekor Kuning/lolosi

Redbely yellow tail fusilier

Caesio cuning 6 220 5 150 4 160 3 831 2 2.8

Teripang Sea cucumber Stichopus sp 2 070 839 624 1 319 2 2.4

Kepiting bakau Mud carb Scylla serata 80 175 145 185 2 2.6

Udang Barong Spiny lobster Penulirus sp 585 75 560 115 2 2.6

Gurita Octopuses Octopus 300 230 830 280 2 3.2 Sumber : * Data Primer Terolah, DKP Kec. Una-Una 2006-2009 Keterangan : 1) Tropical Shelves; 2) Coastal and Coral System

3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)

Analisis metabolisme sosial ekologis gugus pulau kecil dapat dilakukan

menggunakan pendekatan HANPP yang dikembangkan Haberl et al. (2004).

Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik

melalui pendekatan HANPP berupa pertambahan dan kepadatan penduduk,

produksi perikanan laut, serta tata guna ruang perairan. HANPP dapat

menggambarkan ekstraksi sumberdaya perikanan pada ekosistem di Gugus Pulau

Batudaka berdasarkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity

Requirements/ PPR). Formula HANPP :

ho PPRPPRHANPP ..................................................................... (10)

di mana : HANPP = Kebutuhan produktivitas primer untuk perikanan (kJ); PPRO = potensial kebutuhan produktivitas primer (kJ) diperoleh dari PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g); PPRh = produksi tiap spesies ikan (volume of landing, kg) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g) (Adrianto dan Matsuda 2004). Selanjutnya efisiensi tiap spesies ikan dapat dihitung dengan membandingkan

HANPP dengan PPRh.

Page 100: Tojo Una Una

76

3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood

System Analysis-CLSA)

Analisis sosial dan budaya dengan melibatkan masyarakat dilakukan

dengan metode pengkajian CLSA merupakan salah satu penilaian yang objektif dalam

menentukan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir (Adrianto, 2005).

Tahapan yang dilakukan adalah:

(1) Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi

sumberdaya alam;

(2) Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya

alam;

(3) Identifikasi kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka;

(4) Pemilihan insentif;

(5) Menyusun strategi pilihan mata pencaharian. 3.4.6 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau

Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil (PPK)

dimulai dari analisis supply merupakan identifikasi potensi dan kondisi

sumberdaya yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan

komunitas yang ada di dalamnya yang dilakukan penilaian ekonomi berbasis pada

teknik valuasi yang relevan untuk setiap sub-tipologi tersebut (Huttche et al.

2002; Adrianto 2005). Teknik penilaian ekonomi penelitian ini melalui

identifikasi manfaat dan biaya (benefit dan cost) kegiatan wisata dan perikanan. 3.4.6.1 Wisata

Manfaat objek wisata dan barang-barang lingkungan lainnya digunakan

pendekatan valuasi ekonomi objek wisata yakni Travel cost method (TCM). TCM

atau metode valuasi dengan biaya perjalanan merupakan salah satu teknik

penilaian yang secara konsep dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan

wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya

terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total

merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen

merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut (Kusumastanto2000).

Page 101: Tojo Una Una

77

Penawaran (supply) wisata pada dasarnya merupakan gambaran dari

kuantitas dan kualitas dari jasa yang ditawarkan oleh pihak pengelola wisata pada

tingkat harga tertentu. Jasa yang ditawarkan berupa atraksi wisata pada berbagai

tingkat harga, ditentukan oleh beberapa faktor seperti: harga atraksi wisata itu

sendiri; harga atraksi wisata yang lain; biaya pengelolaan dan tingkat teknologi

yang digunakan (Sukirno, 2002). Laju pertumbuhan penawaran produk wisata

akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang ditawarkan, sehingga untuk

menduga laju penawaran produk wisata atau mengestimasi kurva penawaran

produk wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka

pendek). Beberapa atribut yang mempengaruhi laju penawaran dapat diperoleh

melalui analisis regresi linear berganda menggunakan Excel dan kurva penawaran

dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Mapple 9.5.

Hubungan penawaran/derived supply kunjungan wisata diperoleh dengan

melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah

kunjungan Perhitungan penawaran wisata terkait dengan kegiatan pelayanan

wisata oleh perusahaan yang berkonsekuensi pada biaya produksi. Total biaya

(TC) yang dikeluarkan perusahaan wisata merupakan fungsi penawaran yang

nilainya tergantung dari jumlah kunjungan turis (V) atau secara matematis

dituliskan TC = f(V). Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi

hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling

berpengaruh dalam hal ini diantaranya adalah biaya konsumsi dan akomodasi (V1)

biaya pemeliharaan fasilitas wisata (V2) sebagai peubah bebas dan peubah tidak

bebasnya adalah Total cost (TC) yakni biaya operasional yang dikeluarkan

pengusaha untuk melayani wisatawan atas semua atraksi/produk wisata yang

disuguhkan, sehingga fungsi penawaran produk wisatanya adalah : TC = β0 + β1 Ln V1 + β2 (V2)

2 ............................................. (11) di mana : TC = Total biaya operasional pengusaha wisata (US$) V1 = Biaya konsumsi dan akomodasi (US$)

V2 = Biaya pemeliharaan setiap kunjungan wisatawan (US$) β0 = nilai variabel dari total biaya operasional β1 = nilai variabel dari biaya konsumsi dan akomodasi β2 = nilai variabel dari biaya pemeliharaan setiap kunjungan

Page 102: Tojo Una Una

78

Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau

jasa yang dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam

jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama atau ceteris

paribus. Permintaan wisata umumnya diapresiasikan dalam bentuk daftar volume

atau tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan.

Keinginan seseorang untuk melakukan rekreasi dipengaruhi oleh banyak faktor

seperti umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, waktu luang yang dimilikinya,

dan tempat tinggal (Sukirno 2000).

Analisis permintaan (demand) untuk wisata dapat digunakan pendekatan

Travel Cost Method (TCM) berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006). TCM

merupakan metode yang mengkaji biaya yang dikeluarkan tiap individu untuk

mendatangi tempat wisata di sekitar lokasi penelitian. Prinsip yang mendasari

adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke suatu area dianggap

sebagai ’harga’ akses area tersebut. Jarak merupakan faktor yang menentukan

biaya perjalanan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata. Pendekatana zonasi

dapat digunakan bila data mengenai jumlah pengunjung berdasarkan zona (jarak

ke kawasan wisata) tersedia. Namun, bila data jumlah pengunjung menurut zona

tidak tersedia maka dapat dilakukan pendekatan individu untuk menghitung

consumer surplus. Analisis biaya perjalanan yang digunakan di sini adalah

dengan pendekatan individu, dengan tahapan (Fauzi 2004; Adrianto 2006; Sobari

2007; Yudasmara 2010) :

(1) Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke

lokasi tersebut (seperti biaya perjalanan, pendapatan, jarak ke lokasi wisata,

umur, tingkat pendidikan ;

(2) Mengumpulkan data tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi

permintaan, dalam penelitian diperoleh biaya perjalanan, pendaatan, jarak ke

lokasi wisata merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kunjungan wisata;

(3) Menentukan derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada

variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Pada umumnya

peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki

pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh adalah biaya

perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D). Untuk model

Page 103: Tojo Una Una

79

zonasi, dilakukan regresi untuk masing-masing zona sehingga diperoleh

fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk masing-masing zona. Fungsi

permintaan atas kunjungan wisata untuk model zonasi adalah sebagai berikut :

iiii DYTCV lnlnlnln 3210 …………………….… (12)

di mana : Vi = trip kunjungan individu ke-i; TCi = biaya perjalanan individu ke-i; Yi = pendapatan individu ke-i; Di = jarak ke lokasi wisata dari lokasi asal individu ke-i; β0 = nilai parameter dari trip kunjungan; β1 = nilai parameter dari biaya perjalanan; β2 = nilai parameter dari pendapatan; β3 = nilai parameter dari jarak ke lokasi wisata; (4) Menghitung consumer surplus

Setelah mendapatkan kurva permintaan, selanjutnya dapat diperkirakan

manfaat ekonomi yang diperoleh dari kunjungan wisata. Manfaat ekonomi

tersebut diukur dari surplus konsumen wisatawan. Surplus konsumen adalah

perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang

dibayarkan konsumen, dihitung dengan langkah-langkah berikut :

(a) Masukkan rata-rata peubah bebas ke dalam persamaan (12);

(b) Selanjutnya CS dihitung dengan menggunakan formula di bawah ini :

1

_

iVCS

j ........................................................................................ (13)

di mana : CSi = consumer surplus individu ke-i;

Vi = jumlah kunjungan individu ke-i; β1 = nilai parameter dari total biaya perjalanan

(5) Menghitung total benefit (nilai rekreasi) lokasi wisata

Dalam model zonasi, maka Total Benefit (TB) diperoleh dengan

menjumlahkan benefit per zona dengan formula berikut :

n

ii TVCSTB

1 ....................................................... (14)

di mana : TB = total manfaat ekonomi lokasi wisata CSi = consumer surplus individu i TV = total kunjungan per tahun (diambil data sekunder) n = jumlah pengunjung

Page 104: Tojo Una Una

80

3.4.6.2 Perikanan

Manfaat dari kegiatan perikanan (Gordon 1954 dalam Ruslan 2005) di

Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung secara matematis :

TCTR ……....……..……………....................…...…......… (15) nnn XPYP ………..……....….…….……..…………...…….. (16)

di mana : π = keuntungan; TR = total revenue (penerimaan total); TC = total cost (biaya total); Pn = harga per satuan produk ikan (Rp/kg); Y = pendapatan dari total produksi ikan (kg); Xn = jumlah input yang digunakan (unit). 3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan

Struktur dasar dari model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau

Batudaka yang dibangun mekanismenya dimulai dari masukan, proses, keluaran

dan umpan balik. Mekanisme kerja berkelanjutan yang menunjukkan adanya

perubahan menurut waktu atau bersifat dinamis. Perubahan tersebut akan

menghasilkan petunjuk kerja model yang dapat diamati perilakunya. Adapun

struktur model dalam penelitian ini tertera pada Gambar 15.

Gambar 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka

SUB MODEL WISATA

SUB MODEL PERIKANAN

MODEL INTEGRASI OPTIMAL

ARAHAN KEBIJAKAN

EKOSISTEM

Page 105: Tojo Una Una

81

Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek

relevan dari sistem yang akan dibangun (Grant et al. 1997) dengan tahapan sebagai

berikut :

1 Penetapan tujuan, yaitu untuk megestimasi daya dukung lingkungan berbasis

ekologi kawasan terkait dengan dinamika kegiatan wisata dan perikanan.

2 Batasan sistem yang dibangun pada model integrasi wisata- perikanan adalah :

- Sub model wisata

- Sub model perikanan

Selanjutnya komponen-komponen yang didalam sub model tersebut ditentukan

dan dikelompokan sesuai fungsinya.

3 Identifikasi hubungan antar komponen. Secara kualitatif, struktur model yang

dibangun digambarkan dalam diagram alir (Causal loop diagram/CLD) untuk

memahami bagaimana proses, informasi dan strategi dari struktur sistem yang

dibangun (Gambar 16-20).

Secara kuantitatif, struktur model yang dibangun diuraikan masing-masing

sebagai berikut.

3.4.7.1 Sub Model Daya Dukung Wisata

Perumusan model wisata Gugus Pulau Batudaka pada kondisi ecological

footprint 10 tahun ke depan dan prediksi pertumbuhan jumlah wisatawan sebagai

dasar dalam membangun causal loop dan model dinamik yang diacu dari

Solarbesain (2009), yang merupakan pengembangan konsep dan hasil perhitungan

touristic ecological footprint (TEF) dan biocapacity secara manual (Lihat Sub

3.3.2) Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Gugus

Pulau ini dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya untuk mendukung

jumlah wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut. Causal loop

model konseptual dari TEF tertera pada Gambar 16.

Page 106: Tojo Una Una

82

Gambar 16 Causal loop daya dukung wisata 3.4.7.2 Sub Model Perikanan

Pendekatan secara konseptual untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan

di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang khas dimana

aliran cadangan sumberdaya ikan (flow of fish stock) menjadi faktor penting dalam

keberlanjutan kegiatan ini, sehingga dinamika sumberdaya perikanan menjadi titik

sentral bagi optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan ini, selain

faktor populasi dan degradasi lingkungan.

Sektor Populasi

Verhulst model untuk variabel populasi penduduk di Gugus Pulau

Batudaka diberikan sebagai berikut :

K

Nrr 10 ……….....………………...…………....….……………(16)

di mana r = laju pertumbuhan penduduk ro = laju pertumbuhan awal; N = jumlah populasi penduduk pada waktu tertentu (orang);

EFPenginapan

EFEnergi

AreaSelam

TotalTuris

EFJalan

EFPelabuhan

EF Built-Up

ExistingEnergy

Biocapacity

ExistingCropland

ExistingFishingGround

ExistingPasture

Land

ExistingBuilt-up

ExistingPasture

Land

Total EFWisata

+

+

+

+

+

+

+EF

SandangPangan

SeaSpace

ForestLand

PastureLand

ForestLand

+

- +

++

Jumlahenergi

KonsumsiEnergi

LamaWisata

EFAktivitas

AreaSnorkeling

Area W.Pantai

+

+

+

+

+ +

LuasPengnp

LuasPelab

LuasJalan

+

+

+

++

+

+

+

+

+

+

+

++

+

+

+

+

+

Page 107: Tojo Una Una

83

K = batas atas jumlah populasi (orang) Laju pertumbuhan populasi penduduk akan turun pada saat jumlah penduduk

(populasi) sebesar N dan akan sama dengan 0 ketika N = K, di mana parameter K

adalah batas atas dari pertumbuhan populasi. Dinamika populasi selanjutnya

dinyatakan secara formal sebagai berikut :

K

NNrrN

dt

dN10 .....................................................................(17)

Persamaan di atas memiliki solusi :

trt oeNKN

KNN

00

0 ................................................ (18)

di mana Nt = populasi pada saat t (orang);

N0 = populasi awal (orang);

K = populasi maksimal (orang); r

0 = pertumbuhan bersih populasi setelah mempertimbangkan fertility,

mortality, dan migration multiplier. Causal loop model konseptual dari sektor populasi tertera pada Gambar 17.

Gambar 17 Causal loop populasi

Sektor Produksi Perikanan

Dasar pemikiran untuk sektor produksi perikanan adalah seberapa besar

sumberdaya perikanan mendukung konsumsi dan kehidupan penduduk di gugus

Pulau Batudaka. Variabel terpenting dalam analisis dinamika perikanan adalah

variabel produksi perikanan (yields). Tidak seperti sumberdaya lainnya, cadangan

Kelahiran

Imigrasi

PopulasiPenduduk

Emigrasi

Kematian+

+

-

-

+

++

++

+ -

-

Page 108: Tojo Una Una

84

sumberdaya perikanan tidak dapat diestimasi secara langsung. Produktivitas

perikanan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan model kuantitatif .

Dalam literatur perikanan, terdapat 2 tipe model fungsional yang sering

digunakan dalam pendugaan produktivitas perikanan yaitu model logistik dan

model Gompertz (Tai et al. 2001). Model logistik diberikan sebagai berikut :

tt

t hK

XrX

dt

dX

1 .………..…………………..……...…….. (19)

sedangkan model Gompertz diformulasikan sebagai berikut :

tt

t hX

KrX

dt

dX

ln .....……………….……………..…….....….. (20)

di mana r = intrinsic growth rate, K = daya dukung lingkungan; ht = laju penangkapan (harvest rate) yang biasanya diasumsikan sebagai

ht = qEtXt, di mana q adalah koefisien tangkap (catchability coefficient), E adalah tingkat upaya tangkap (fishing effort), dan X adalah biomassa ikan.

Untuk menyelesaikan model di atas dan menduga parameter-parameter r, K dan q,

digunakan pendekatan model Schnute untuk menyusun persamaan surplus

produksi. Pendekatan Schnute tersebut adalah :

21

11 tt

ttt

T EEqCPUECPUE

Kq

rr

CPUE

CPUELn ..................... (21)

Dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, perilaku variabel

populasi dan produktivitas perikanan akan dianalisis untuk mengestimasi tingkat

pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan. Causal loop model konseptual dari

sub-sub model produksi perikanan skala lokal (Kecamatan Una-Una) dan regional

(Kabupaten Tojo Una-Una) tertera pada Gambar 18-19.

Page 109: Tojo Una Una

85

Gambar 18 Causal loop produksi perikanan lokal

Gambar 19 Causal loop produksi perikanan regional

Sektor Daya Dukung Perikanan

Model dasar daya dukung perikanan berdasarkan Ecological Footprint

dinamik dapat diformulasikan dengan persamaan :

lokij

ij

regij

ij

lokij

ijij Y

EX

Y

IM

Y

DEEF ...................................…..…….………… `(22)

di mana : EF

ij = ecological footprint perikanan di pulau ke-i (ha/orang);

DEij

= produksi domestik perikanan ke-i (kg/orang);

IMij

= produksi perikanan yang diimpor dari pulau lain (kg/ ha);

EXij

= produksi perikaan yang diekspor ke pulau lain (kg/ ha);

Ylok ij

= yield (produktivitas) perikanan lokal di pulau ke-i (kg/ha);

Yreg ij

= yield (produktivitas) perikanan regional di pulau ke-i (kg/ha).

ProduksiIkan lokalper area

FraksiTangkapan

Jumlaharmada

ProduksiIkanLokal

BiomassaIkan

KematianIkan

Pertumbuhan

MarjinalKoefisienTangkap

++

+

+

+

+

+-

-

-

-

++

Area lokal

+

ProduksiIkan lokalper reg

FraksiTangkapan

Jumlahtrip

Produksiikan reg

BiomassaIkan

KematianIkan

Pertumbuhan

MarjinalKoefisienTangkap

++

+

+

+

+

+-

-

-

-

++

Arearegional

+

Page 110: Tojo Una Una

86

Elemen dasar dari model tersebut dalam literatur Ecological Footprint

disebut konsumsi riil (Apparent Consumption) yang digunakan untuk mengukur

konsumsi sesungguhnya terhadap sumberdaya (Haberl 2001).

tttt EXIMDEAC ............................................................................ (23)

di mana : ACt = konsumsi riil (kg)

DEt = produksi domestik (kg) IMt = jumlah produksi perikanan yang diimpor pada tahun ke- t (kg) EXt = jumlah produksi perikanan yang diekspor pada tahun ke-t (kg)

Impor produk perikanan dapat diestimasi rumus seperti yang diuraikan

Adrianto dan Matsuda (2004) :

bPtCPCPIM tactpott ………………………....................… (24)

di mana IMt = estimasi impor ikan pada tahun ke-t (kg); CPpot = konsumsi ikan potensial pada tahun ke-t (kg/orang); CPact = konsumsi ikan aktual kapita pada tahun ke-t (kg/orang); Pt = populasi pada tahun ke-t (orang); t = waktu; b = koefisien penangkapan.

Adapun causal loop model konseptual dari sektor daya dukung perikanan tertera

pada Gambar 20.

Page 111: Tojo Una Una

87

Gambar 20 Causal loop daya dukung perikanan

3.4.7.3 Analisis Integrasi Wisata Perikanan

Integrasi Wisata-Perikanan digambarkan dalam diagram alir seperti yang

tertera pada Gambar 21.

AreaLokal

AreaRegional

ProduksiRegional

FaktorEkivalen

DataEkspor

EFPerikanan

DataImpor

ProduksiLokal

LajuKonsumsiDomestik

DataDomestik

Impor EF Total EF Ekspor EF-

+

++

+

+

+

+ +

+

+

+

-

Page 112: Tojo Una Una

88

Gambar 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka

EFPenginapan

EFEnergi

AreaSelam

TotalTuris

EFJalan

EFPelabuhan

EF Built-Up

ExistingEnergy

Biocapacity

ExistingCropland

ExistingFishingGround

ExistingPasture

Land

ExistingBuilt-up

ExistingPasture

Land

Total EFWisata

+

+

+

+

+

+

+EF

SandangPangan

SeaSpace

ForestLand

PastureLand

ForestLand

+

- +

++

Jumlahenergi

KonsumsiEnergi

LamaWisata

EFAktivitas

AreaSnorkeling

Area W.Pantai

+

+

+

+ +

LuasPengnp

LuasPelab

LuasJalan

+

+

+

++

+

+

+

+

+

+

+

++

+

+

Kelahiran

Imigrasi

PopulasiPenduduk

Emigrasi

Kematian+

+

-

-

+

+

++

+ -

ProduksiIkan lokalper area

AreaLokal

FraksiTangkapan

Jumlahtrip

ProduksiIkanLokal

BiomassaIkan

KematianIkan

Pertumbuhan

MarjinalKoefisienTangkap

++

+

+

+

+

+-

-

-

-

++

BiomassaIkan 2

ProduksiIkan

Regional

AreaRegional

Jumlaharmada

FraksiTangkapan

2

Produksi IkanRegional per

areaKoefisienTangkap

2

+

+

+

-

-

ProduksiRegional

FaktorEkivalen

DataEkspor

EFPerikanan

DataImpor

ProduksiLokal

LajuKonsumsiDomestik

DataDomestik

Impor EF Total EF Ekspor EF-

+

+

+

+ +

+

+

+

-

-

++

+

PetumbuhanMarginal 2

KematianIkan 2

+

+

+

+

-

+

-

+ +

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

Page 113: Tojo Una Una

89

3.4.7.4 Verifikasi dan Validasi Model

Prediksi alur proses dari pemanfaatan ruang Gugus Pulau Batudaka

dianalisis menggunakan software Stella®Research 8.0.2 untuk memperoleh model

optimal berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung. Tahapan

verifikasi model sebagai pembuktian bahwa model komputer yang telah disusun

pada tahap sebelumnya mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang

dikaji (Eriyatno 1999). Adapun tahapan yang dilakukan adalah tahap analisis

perilaku model dan evaluasi model. Pada tahap analisis perilaku model, model

simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana

semua peubah dalam model berperilaku terhadap waktu. Dalam model dinamik

ini, yang akan diamati secara cermat adalah bagaimana informasi dari peubah-

peubah model dalam sistem pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di

Gugus Pulau Batudaka berperilaku terhadap semua titik pada jalur waktu.

Informasi ini akan sangat berguna dalam proses pengujian atau evaluasi model

dan mengestimasi kualitas luaran (output) dari operasi model tersebut.

Pada tahap evaluasi model, berbagai uji harus dilakukan terhadap model

yang telah dibangun untuk mengevaluasi atau validasi suatu model. Keabsahan

suatu model dapat dilihat melalui proses secara iteratif berupa pengujian secara

berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Uji ini berkisar dari

memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan luaran model dengan data

pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter yang digunakan di

dalam simulasi model (Masyahoro et al. 2004).

Verifikasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan

cara yang benar, sedangkan validasi model untuk mengetahui apakah model yang

dibangun adalah model yang benar. Penentuan cara pengujian yang paling tepat

untuk memvalidasi suatu model dilakukan melalui pendekatan (1) berdasarkan

asumsi model, yakni pemeriksaan secara kritis atas asumsi-asumsi dasar yang

dibuat pada model yang dibangun, (2) berdasarkan model behavior, yakni hanya

menguji kesesuaian antara perilaku model dengan perilaku sistem nyata, (3)

berdasarkan asumsi dan perilaku model, yakni pemeriksaan asumsi, dan menguji

kesesuaian perilaku model dengan sistem nyata (Murthy et al. 1990).

Page 114: Tojo Una Una

90

Sintesis dari keseluruhan analisis berdasarkan kerangka pikir penelitian

tertera pada tabel berikut. Tabel 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian No. Tujuan Metode1 Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan

dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau Batudaka yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan

Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS) Analisis Kelayakan Pemanfaatan : - Ekologi (Ecological Footprint

análysis) - Sosial/kelembagaan (HANPP dan

CLSA) - Valuasi Ekonomi

2 Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka.

Analisis Dinamik

Page 115: Tojo Una Una

91

4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN Secara Geografis Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean terletak di

tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat

0021’-0035’LS dan 121˚35’-121˚58’BT Kepulauan Togean terdiri atas 4 wilayah

kecamatan yaitu Una Una, Togean, Walea Besar dan Walea kepulauan, dengan

jumlah desa keseluruhan mencapai 47 desa. Gugus Pulau Batudaka masuk dalam

wilayah administrasi Kecamatan Una-Una. Berdasarkan hasil Survei BRKP tahun

2007, Kecamatan Una-Una memiliki 254 pulau dan pulau yang besar adalah

Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una

Ekosistem pesisir dan laut merupakan penunjang bagi kelangsungan hidup

penduduk Gugus Pulau Batudaka. Kondisi ekosistem yang mulai terdegradasi di

beberapa wilayah perairan pesisir dan laut, baik sebagai akibat dari kegiatan

manusia maupun secara alami, memberikan kontribusi kehilangan (loss) dari rente

sumberdaya yang harusnya diterima oleh mayarakat. Indikator keberlanjutan

pengelolaan Gugus Pulau Batudaka mengacu pada penilaian dampak biodiversity

pada model DPSIR (Bin et al. 2009), secara lengkap tertera pada Gambar 22.

Gambar 22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan pengelolaan Gugus Pulau Batudaka

Populasipenduduk,Ekonomi

(permintaanwisaya,kegiatan

perikanan)

Dampaksosial,

ekonomi danekologi

Abrasi dansedimentasi,

polusi air,kehilangan

habitat,menurunnyakeanekaragaman hayati

Konversilahan

(pembukaanmangrove

untukpemukiman

dan tambak)sampah

domestik

Respon sosial,Respon ekonomi,Respon ekologi

FAKTORPENGGERAK/DRIVERS (D)

TEKANANLINGKUNGAN/

ENVIROMENTALPRESSURES (P)

PERUBAHAN KONDISILINGKUNGAN/

ENVIRONMENTALSTATES CHANGES(S)

DAMPAK/IMPACTS (I)

Pengurangan

Peng

uran

gan

Peningkatan

Pen

gu

ran

gan

Keb

utu

han

RESPONSES (R)

Page 116: Tojo Una Una

92

Kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka dipengaruhi oleh faktor

demografi maupun aktivitas ekonomi seperti permintaan wisata, kegiatan

perikanan mengakibatkan terjadinya tekanan berupa konversi lahan, peningkatan

sampah domestik dan polutan lainnya sehingga status lingkungan berubah dengan

terjadinya abrasi, sedimentasi, pengayaan nutrien perairan, kehilangan hábitat,

penurunan keanekaragaman hayati mangrove yang berdampak pada ekosistem

dan sosial ekonomi serta implikasi kebijakan sesuai arahan penyusunan tata ruang

wilayah pesisir PPK yakni aspek ekologi berdasarkan daya dukung lingkungan,

memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan, aspek sosial

ekonomi budaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)

Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi

ekosistem Gugus Pulau Batudaka berdasakan analisis DPSIR. Faktor pengarah

(driving force) yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu aktivitas masyarakat

maupun proses ekonomi yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas ekosistem

sepeti konsumsi, produksi, transportasi, pemukiman, perpindahan penduduk.

Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut adalah

pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk wisata maupun perikanan, penggunaan

lahan. State merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan

tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan

akibat tekanan pada kondisi ekosistem yang memberikan dampak sosial, ekonomi

dan ekologi. Response adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat

baik induvidual maupun secara kolektif untuk mengatasi dampak lingkungan,

mengoreksi kerusakan yang ada atau mengkonservasi sumberdaya alam, meliputi

penetapan peraturan, pengeluaran biaya penelitian, pendapat masyarakat dan

preferensi konsumen, perubahan strategi manajemen dan lain-lain (Pinter et al.

1999; Mattei 2007).

4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers)

4.1.1.1 Demografi Kependudukan

Faktor-faktor driver pada kawasan Gugus Pulau Batudaka antara lain

yang berkaitan dengan kondisi demografi kependudukan (pertumbuhan,

Page 117: Tojo Una Una

93

kepadatan dan tingkat ketergantungan penduduk) yang mempengaruhi hubungan

fungsional terhadap kerentanan ekosistem pesisir gugus pulau.

Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una dalam

periode Tahun 2001-2008 mengalami pertumbuhan sebesar 2% per tahun, yaitu

dari 11 325 jiwa pada Tahun 2001 menjadi 13 106 jiwa pada tahun 2008, terdiri

atas 3 547 rumah tangga dengan sebaran rata-rata per rumah tangga sebanyak 4

jiwa dengan kepadatan 44 jiwa/km2 (BPS Touna 2009). Sementara pertumbuhan

penduduk rata-rata di Kabupaten Tojo Una - Una berdasarkan hasil perhitungan

penduduk dari tahun 2001-2005 adalah 0.04 atau 4% per tahunnya dan

pertumbuhan penduduk menurut kecamatan yang berada di daratan Pulau

Sulawesi berkisar antara 4%-7% (Bappeda Touna 2007).

Penduduk Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebagian besar termasuk

dalam kelompok umur produktif (15-55 tahun) sebesar 60%, dan kelompok umur

muda (0-15 Tahun) 32% dan kelompok umur tua (>55 tahun) sebesar 8%, dengan

jumlah penduduk yang sementara bersekolah (SD-SMA) sebesar 23% (BPS

2009).

Gambar 23 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif Tahun 2003-2008 di Kecamatan Una-Una

Klasifikasi penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Una - Una

terbagi atas penduduk usia produktif terdiri atas kelompok usia 15-55 tahun dan

penduduk usia non produktif yang tergolong dalam usia 0-14 tahun dan 55 tahun

keatas (Gambar 23). Pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelompok umur

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Produktif

Non Produktif

Page 118: Tojo Una Una

94

memberikan gambaran mengenai tingkat ketergantungan penduduk usia non

produktif terhadap penduduk usia produktif pada Tahun 2008. Usia produktif di

Kecamatan Una-Una yaitu sejumlah 7 819 jiwa dengan jumlah usia non produktif

5 286 jiwa sehingga angka ketergantungannya mencapai 68%. Semakin besar

penduduk usia non produktif maka akan semakin besar pula tingkat

ketergantungan terhadap penduduk produktif dan sebaliknya. Besarnya kelompok

usia produktif ini merupakan faktor driver yang mempengaruhi kualitas ekosistem

di kawasan ini. 4.1.1.2 Permintaan Wisata

Berdasarkan analisis pasar wisata Sulawesi Tengah tahun 2008 bahwa

50% kunjungan wisatawan mancangara (wisman) menurut minat wisata adalah

wisata selam, dan obyek wisata selam yang dikunjungi sebesar 64% ke Kepulauan

Togean dengan pengunjung terbanyak yaitu 78% berasal dari Eropa (Jerman, dan

Italia) dan trend kunjungan tertinggi bulan Agustus-Desember dimana 60%

wisman memiliki lama tinggal 5–10 hari, 23% dengan lama tinggal 11-15 hari dan

9% memiliki lama tinggal >15 hari dengan minat terbesar karena kondisi alam,

laut dan menyelam. Peningkatan tersebut berkaitan dengan aktivitas liburan di

negara-negara Eropa (Disbudpar Prov. Sulteng 2009). Pintu kedatangan

wisatawan ke Gugus Batudaka Kepulauan Togean adalah dari Gorontalo,

Makassar, dan Balikpapan, dengan tipe perjalanan wisman adalah individual dan

bersama keluarga. Motif wisman sebagian besar adalah wisata selam ini

berkonsekuensi terhadap daerah yang mampu menyediakan pelayanan wisata

selam dam aksesibilitas ke obyek tersebut.

Pelayanan wisata selam di Gugus Pulau Batudaka disediakan oleh 2

pengusaha yaitu di Wakai Cottage (Desa Wakai) dan Retreat Island Cottage’s

(Pantai Tipae Desa Bomba), juga tersedia sarana penginapan di Desa Wakai dan

Desa Bomba (Pantai Tipae dan Pulau Poya). Aksesibilitas pencapaian menuju

tempat wisata ke kawasan ini dari Kota Ampana menuju Bomba (3-4 kali

seminggu), Wakai (4-5 kali seminggu), dan dari Gorontalo ke Wakai (sekali

seminggu). Kebutuhan wisman atau pasar dalam hal ini adalah daya tarik obyek

wisata beserta sarana penunjang merupakan faktor driver dalam pengelolaan

Gugus Pulau Batudaka.

Page 119: Tojo Una Una

95

4.1.1.3 Kegiatan Perikanan

Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka

masih dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini

kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti

pancing, jaring, dan bagan. Usaha budidaya perikanan di kawasan ini relatif

sedikit yaitu Karamba Jaring Tancap (ikan hidup seperti kerapu, napoleon ikan

karang lain karamba jaring apung (bandeng), budidaya rumput laut, dan teripang.

Usaha pembukaan tambak berkaitan dengan pencarian lahan berusaha, hal ini

merupakan faktor driver di kawasan ini.

Jumlah tenaga kerja (10 tahun keatas) pada Tahun 2008 sebanyak 78%

(1 266 orang) di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una bergerak di bidang

pertanian termasuk perikanan, dengan kepemilikan perahu motor sebanyak 369

buah dan perahu tidak bermotor 438 buah dengan alat tangkap berupa pancing

807 buah dan bagan 48 buah. Kegiatan perikanan tersebut juga memberikan

kontribusi terhadap kondisi ekosistem di Gugus Pulau Batudaka. 4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures)

Pressure atau tekanan pada lingkungan/ekosistem akibat faktor-faktor

pengarah/drivers tersebut yaitu perkembangan penduduk yang pesat

mengakibatkan kebutuhan lahan pemukiman dan lahan berusaha (perikanan dan

pertanian) juga semakin meningkat. Kebutuhan akan pemukiman dan

prasarananya seperti jalan mendorong pembukaan lahan mangrove di Desa

Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu. Pesatnya pertambahan

penduduk juga memberi tekanan yang besar pada upaya konservasi yang telah

dilakukan selama ini, seperti kesadaran masyarakat menangani sampah domestik

masih kurang, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan membuang sampah ke laut.

Dalam beberapa kasus masyarakat cenderung melakukan pemanfaatan

sumberdaya hayati dengan cara yang tidak ramah lingkungan, cara yang dipakai

cukup sederhana tapi efek kerusakan dan kehancuran eksosistem yang diakibatkan

sistem ini sangat besar, misalnya penggunaan bom dan racun dalam penangkapan

ikan maupun fauna lain yang dilindungi dan kemudian diselundupkan keluar

Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan

Page 120: Tojo Una Una

96

Togean. Selain tekanan karena penduduk dan kegiatan perikanan tersebut, adanya

aktivitas wisata pun memberikan kontribusi terhadap kualitas perairan

Indikator stress terhadap tekanan lingkungan yang terjadi di kawasan

Gugus Pulau Batudaka adalah a) konversi lahan, khususnya hutan mangrove

untuk pemukiman dan tambak, b) jumlah sampah domestik dan polutan lainnya

yang cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, aktivitas wisata

dan perikanan (terutama yang menggunakan perahu bermotor).

4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes)

Faktor status ekosistem berhubungan dengan kondisi perubahan kualitas

perairan, perubahan lingkungan pesisir berupa dampak fisik seperti abrasi dan

sedimetasi, polusi air/pengayaan nutrien perairan, kehilangan habitat dan

menurunnya biodiversity/ keanekaragaman hayati. Indikator referensi yang

berkaitan dengan status ekosistem di Gugus Pulau Batudaka yakni kualitas

perairan seperti yang tertera pada Tabel 19. Kondisi lingkungan perairan di Gugus

Pulau Batudaka relatif sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengukuran di

lapangan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan untuk kegiatan perikanan

dan pariwisata menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH)

No. 51 Tahun 2004. Tabel 19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka Parameter Baku Mutu KMNLH Kondisi/Status Keteragan

Wisata bahari Biota Laut pH 7.00-8.50 7.00-8.50 7.20-8.08* Sesuai Salinitas (‰) <34 <34 29.5-34.5* Sesuai DO (mg/L) >5 >5 6.41-8.16* Sesuai BOD (mg/L) 10 20 2.90-3.05** Sesuai PO4 (mg/L) 0.015 0.001*** 0.0070-0.0078** Sesuai NO3 (mg/L) 0.008 5.0*** 2.13-3.84** Sesuai

Keterangan : * Data Primer, semua stasiun biofisik (2009)

** Stasiun 5, 6, 7, Hasil Analisis Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian UNTAD (2009);

*** US EPA (1973)

Secara umum kondisi kualitas perairan di Gugus Pulau Batudaka masih

relatif baik sehingga memungkinkan untuk aktifitas kegiatan wisata dan

perikanan. Kandungan nitrat dalam suatu perairan menjadi indikator kesuburan

perairan tersebut. Dalam keadaan cukup oksigen terlarut (aerob), nitrogen dapat

Page 121: Tojo Una Una

97

diikat oleh organisme renik (bakteri) yang kemudian diubah menjadi nitrat

sehingga tingginya nitrat di perairan diduga karena banyaknya organisme renik

yang melakukan aktivitas tersebut sehingga menjadi subur. Kandungan nitrat di

perairan untuk lokasi budidaya rumput laut sebaiknya antara 0.1–0.7 mg/l (Aslan

1998), di luar kisaran tersebut maka nitrat menjadi pembatas pertumbuhan

fitoplankton. Kadar nitrat yang normal di perairan laut berkisar antara 0.01–50

mg/L (Brotowidjoyo et al. 1995).

Ditinjau dari indikator lingkungan, dari lima parameter kimia yang

digunakan (pH, Salinitas, BOD, Fosfat dan Nitrat), satu parameter yaitu nitrat

telah berada diatas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini dipengaruhi adanya aktivitas

masyarakat yang membuang sampah domestik ke laut maupun adanya pembukaan

lahan mengakibatkan peningkatan nitrat di perairan. Sumber amonia di perairan

adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen

anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan

organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh

mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendie 2004).

KMNLH (2004) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) nitrat untuk

wisata baharí dan biota laut, namun tidak memberikan NAB untuk karang. Hal ini

disebabkan nitrat merupakan nutrisi bagi organisme perairan, sehingga

diperkirakan tidak memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan

perkembangan karang. Indikator referensi perubahan lingkungan berupa dampak

fisik seperti abrasi dan sedimetasi serta kehilangan habitat dan menurunnya

keanekaragaman hayati, hal ini tergambar dari hasil Citra Landsat 7 ETM+ tahun

2000 dibandingkan dengan Tahun 2010 (Gambar 24-25). Selama kurun waktu

10 tahun di Gugus Pulau Batudaka terjadi peningkatan luasan mangrove, karang

hidup dan penurunan lamun (Tabel 20).

Page 122: Tojo Una Una

98

Gambar 24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000

Page 123: Tojo Una Una

99

Gambar 25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010

Page 124: Tojo Una Una

100

Tabel 20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010

Hasil Klasifikasi Tahun Perubahan

Luasan %

2000 2010

--------------------- (ha) --------------------- Karang Hidup 1 192 1 781 588 49 Karang Mati 1 112 1 761 649 58 Pecahan Karang 369 256 -113 -31 Lamun Kerapatan Rendah 231 193 -38 -16 Lamun Kerapatan Tinggi 267 112 -155 -58 Pasir 1 691 658 -1 033 -61 Tidak Teridentifikasi 487 441 -46 -9 Mangrove 1976 2031 55 3

Sumber : Hasil olahan data Primer (2011)

Luasan karang hidup di Gugus Pulau Batudaka dalam waktu 10 tahun

mengalami peningkatan 49% atau sekitar 5%/tahun. Peningkatan luasan karang

hidup dan karang mati juga diikuti penurunan pecahan karang. Hasil ini ditunjang

dengan pengamatan pada stasiun Karangan Timur Tahun 2009 memiliki tingkat

penutupan karang hidup rata-rata 59%, dan CEPI (Collaborative Environmental

Project in Indonesia) pada Tahun 2000 mengamati penutupan karang hidup pada

stasiun yang sama sekitar 50% (Allen et al. 2002). Peningkatan luasan karang

hidup ini juga ditemukan seperti pada kawasan lain yakni adanya indikasi

pertumbuhan dan perkembangan koloni karang muda dari berbagai spesies,

terutama Acropora berbentuk ACT (Acropora tabulate) dengan rataan diameter

koloni 10-30 cm/th yang rusak akibat pemanfaatan di TWAL 17 Pulau Riung

NTT (Sahetapi dan Manuputty 2003).

Luasan lamun menurun sekitar 16-58% atau sekitar 2-6%/tahun. Hal yang

sama ditunjukkan dengan hasil analisis spasial pada luas ekosistem padang lamun

di Kepulauan Togean pada tahun 2001 dan tahun 2007 terjadi penurunan sekitar

5.5%/tahun (Zamani et al. 2007).

Luasan mangrove meningkat 3% atau sekitar 0.3%/tahun, walaupun hasil

penelitian Zamani et al. (2007) menunjukkan penurunan luasan mangrove sekitar

1%/tahun (Citra Tahun 2001 dan 2007) di kawasan Kepulauan Togean.

Pembukaan areal mangrove di Gugus Pulau Batudaka di Desa Taningkola dan

Luangon Desa Bambu sekitar tahun 2000. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai

Page 125: Tojo Una Una

101

dampak fisik seperti abrasi pantai pada daerah yang lebih terbuka (di Taningkola)

dan sedimentasi akibat penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal

perkebunan (Taningkola, dan Bambu), maupun dampak biologi seperti

berkurangnya frekuensi, densitas dan dominasi mangrove yang terjadi di Luangon

(Desa Bambu). Adhiasto (2001) melaporkan mangrove di Desa Bambu

didominasi oleh tegakan Bruguiera gymnorrhyza dengan frekuensi mencapai

100%, namun dengan adanya pembukaan tambak di Desa Bambu dan

pemukiman di Desa Taningkola menyebabkan zonasi tersebut terbuka dan terjadi

perubahan zonasi karena zonasi yang terbuka tersebut akan ditumbuhi semak dan

anak pohon dari Genus Rhizophora. Berdasarkan Laporan Pemantauan Ekosistem

wilayah pesisir Teluk Tomini Tahun 2008 bahwa status kerusakan lingkungan laut

Kecamatan Una-Una cenderung masih baik dan terlindungi, namun ekosistem

mangrove yang rusak sebagian besar diakibatkan alih fungsi lahan mangrove

menjadi tambak tradisional, pewarna jaring, kayu bakar, perkebunan campuran

(kelapa, palawija), lahan pemukiman baru, sebagian kecil disebabkan oleh proses

alam seperti abrasi, banjir. 4.1.4 Dampak (Impact)

Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau Batudaka

konsekuensinya berdampak pada kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan

produktivitas, kesehatan, kenyamanan dan perubahan nilai kondisi yang ada.

Indikator dampak akibat tekanan akivitas pembangunan di kawasan tersebut

dikelompokkan sebagai dampak terhadap ekosistem dan sosial ekonomi. 4.1.4.1 Dampak Ekosistem

Pendekatan sistem secara keseluruhan terhadap integrasi ekosistem yang

berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsi ekosistem pesisir Gugus Pulau

baik kualitatif maupun kuantitatif. Integrasi ekosistem berdasarkan indikator

ruang meliputi Lanscape, wáter regim dan biodiversity (Turner et al. 2000).

(1) Bentang Alam/Landscape

Struktur wilayah Gugus Pulau Batudaka dengan topografi dataran adalah

datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang berbukit yaitu 28% daratan,

51% bagian berbukit dan 21% pegunungan. Komposisi penggunaan lahan di Kec.

Page 126: Tojo Una Una

102

Una-Una pada Tahun 2007 (Tabel 21) dengan penggunaan lahan terbesar untuk

konversi hutan produksi dan perkebunan. Kawasan permukiman relatif rendah

mengingat jumlah penduduk yang kecil dengan tingkat pertumbuhan penduduk

2%/tahun. Kecenderungan di kawasan ini terjadi pembukaan lahan tidak

produktif untuk perkebunan, pembukaan mangrove untuk permukiman dan jalan

di Desa Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu. Tabel 21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007

Guna Lahan Luasan (Ha) %

Dermaga 0.42 0.00 Hutan Lindung 3 985.92 10.79 Hutan Produksi Terbatas 17.52 0.05 Hutan Produksi Tetap 3 604.28 9.76 Hutan Produksi yang dapat dikonversi 9 533.46 25.82 Kawasan Pantai 27.18 0.07 Kawasan Perkebunan 8 015.94 21.71 Kawasan Permukiman 206.15 0.56 Kawasan Pertanian Lahan Kering 2 662.50 7.21 Lahan Terbuka 141.58 0.38 Rawa 1 456.70 3.95 Semak Belukar 2 473.65 6.70 Sungai 810.57 2.20 Terumbu Karang 3 988.21 10.80 Total 36 924.08 100.00

Sumber : RTRW Kab. Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007) Peningkatan jumlah penduduk mendorong masyarakat untuk membuka

ruang untuk pemukiman dan untuk usaha (wisata dan perikanan). Hal ini

mengakibakan perubahan struktur tata guna lahan daratan termasuk pantai dan

laut dalam arti terjadi pengurangan luasan hutan dan kawasan mangrove.

Perubahan ini menunjukkan bahwa tekanan demografis dan ekonomis telah

berdampak pada perubahan tata guna lahan baik struktur lanscape, komposisi

maupun fungsi di Kawasan Gugus Pulau Batudaka.

(2) Tata guna Air/Wáter Regime

Struktur rejim air berkaitan dengan hidrologi (pergerakan, distribusi dan

kualitas air di muka bumi). Daerah Gugus Pulau Batudaka dihubungkan dengan

perairan laut dan PPK dengan kedalaman 0–200 m. Secara keseluruhan daratan

dan perairan kawasan ini merupakan satu kesatuan dari Kepulauan Togean.

Page 127: Tojo Una Una

103

Pulau Batudaka memiliki 3 sungai yaitu Sungai Taningkola (panjangnya 1 km),

Sungai Tinompo (1 km) dan Sungai Malintang (3 km), yang berasal dari dua

gunung yaitu Gunung Pina’at (100 m) dan Gunung Papoko (92 m). Tekstur

tanah di Gugus Pulau Batudaka termasuk sedang sampai kasar dengan drainase

cukup baik. Peningkatan pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap

peningkatan konsumsi air. Sumber air bersih di Gugus Pulau Batudaka berasal

dari mata air, air sungai maupun sumur gali untuk memenuhi kebutuhan air di 13

desa yang ada di daerah tersebut. Berkurangnya debit air di Desa Kulingkinari

dan Molowagu akibat mesin pompa rusak, sehingga kebutuhan air bersih menjadi

terbatas, terutama bagi penduduk pulau kecil lainnya yang tidak memiliki sumber

air tawar seperti pulau Taufan menjadi lebih jauh untuk memperoleh air.

Komposisi rejim air berkaitan dengan biogeokimia air yaitu berhubungan

dengan siklus nutrien di bumi dimana proses ekosistem dan fungsinya

berhubungan dengan barang dan jasa yang dapat diukur dalam nilai ekonomi

(pada bagian Analisis Valuasi Ekonomi).

(3) Biodiversity

Struktur Biodiversity/keanekaragaman hayati berhubungan dengan struktur

rantai makanan. Pengurangan salah satu tingkatan trofik level dapat

mempengaruhi keseimbangan dalam rantai makanan. Komposisi keanekaragaman

hayati berhubungan dengan spesies kunci dan payungnya. Gugus Pulau Batudaka

memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, baik di laut maupun darat.

Pengamatan terumbu karang (Data primer 2009) dan hasil penelitian Zamani et

al. (2007) di Gugus Pulau Batudaka ditemukan 8 genus terumbu karang. Hasil

Marine Rapid Assessment Program (MRAP) di Kepulauan Togean, yang

dilakukan oleh CII bekerjasama dengan Lembaga Oceanografi LIPI dan

Universitas Hasanuddin, tahun 1998 lalu berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262

spesies karang yang tergolong kedalam 19 familia pada 25 stasiun terumbu karang

yang tersebar di Kepulauan Togean. Hasil MRAP juga mencatat adanya jenis

karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 3 titik pengamatan

terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian Wallace

et al.(1998) dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan

tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean.

Page 128: Tojo Una Una

104

Pengamatan jenis ikan terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka

ditemukan sebanyak 17 genus (Data Primer 2009), sedangkan Zamani et al.

(2007) menemukan sebanyak 21 famili dan 112 spesies ikan, untuk Kepulauan

Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia. Jenis

Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp diduga kuat merupakan endemik yang

hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555 spesies

moluska dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 cephalopoda, 2

scaphopoda dan 4 spesies chiton.

Menurut data BKSDA (2006) luas hutan mangrove Kepulauan Togean

diperkirakan sekitar 4 800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti

Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi, khusus Gugus

Pulau Batudaka sekitar 2 031 ha (Data Primer 2010). Survey oleh CII dan

Yayasan Pijak tahun 2001 mengidentifikasi 33 spesies mangrove di Kepulauan

Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14

spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut

dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Fauna yang teridentifikasi hidup

di hutan mangrove sedikitnya 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu

golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3

genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20).

Fungsi keanekaragaman hayati berkaitan dengan transfer energi antara

trofik level. Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Gugus Pulau Batudaka

selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan

ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakatnya.

Meski memiliki luasan yang tidak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki

fungsi penting bagi Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan pulau-pulau

kecil. Berdasarkan indikator ruang terhadap integrasi ekosistem maka tekanan

aktivitas manusia akan memberikan dampak terhadap sistem alam Gugus Pulau

Batudaka yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Kurangnya

kesadaran masyarakat akan mempengaruhi ekosistem alamiah gugus pulau, juga

berkaitan dengan pembangunan berwawasan lingkungan yakni kerentanan

ekosistem akan menurun sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat.

Page 129: Tojo Una Una

105

4.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi

Salah satu indikator yang menjelaskan mengenai kondisi perekonomian

suatu daerah adalah PDRB. PDRB merupakan dasar penyusunan nilai tambah

yang mampu diciptakan akibat timbulnya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu

wilayah tertentu dan besarannya menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam

mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. PDRB

perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-

masing penduduk akibat adanya aktivitas produksi. Indikator ini menggambarkan

tingkat kemakmuran suatu daerah, makin tinggi PDRB perkapita makin tinggi

kemakmuran penduduk daerah tersebut. Kecamatan Una-Una menyumbangkan

PDRB sebesar 7.12% terhadap Kabupaten Tojo Una-Una per tahunnya (Tabel

22), yang terbesar berasal dari lapangan usaha pertanian (43.56%) sedangkan

sektor perikanan hanya menyumbang sebesar 3.2%, jasa-jasa (16.96%) dan

perdagangan, hotel, restauran (12.73%) (BPS Touna 2009).

Tabel 22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per kecamatan (Rp)

No. Lapangan

Usaha 2000 2001 2002 2003 20041 Tojo 2 973 664 3 282 062 3 498 024 3 801 114 4 144 0712 Tojo Barat 2 996 271 3 298 613 3 506 848 3 804 176 4 137 688 3 Ulu Bongka 1 991 688 2 202 589 2 394 815 2 602 356 2 828 9834 Ampana Tete 2 899 271 3 312 788 3 639 922 3 963 233 4 308 3295 Ampana Kota 2 819 113 3 226 923 3 695 014 4 001 559 4 388 4726 Una Una 1 290 901 1 397 453 1 498 624 1 623 390 1 762 1297 Togean 1 368 178 1 368 178 1 368 178 1 368 178 1 368 1788 Walea Kepulauan 1 581 096 1 851 096 1 581 096 1 581 096 1 581 096

PDRB Kabupaten 17920 182 19939702 21 182 521 22745102 24 518 946Sumber : BPS Touna (2005)

Aktivitas penduduk dan pembangunan di wilayah daratan dapat menekan

fungsi ekosistem melalui pembuangan limbah domestik dan kebutuhan lahan

untuk pemanfaatan penduduk sehingga akan mempengaruhi kualitas perairan dan

ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka baik langsung maupun tidak langsung

seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan

berbagai upaya untuk menentukan batas optimasi penggunaan lahan aktivitas

ekonomi yang tidak berdampak buruk pada ekosistem pulau-pulau kecil.

Page 130: Tojo Una Una

106

Berdasarkan optimasi tersebut dapat dirancang berbagai strategi yang berpihak

pada konservasi dan keberlanjutan pembangunan di Gugus Pulau Batudaka.

Kondisi ekosistem baik akan menghasilkan produktivitas yang baik pula

dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan

pendapatan per kapita masyarakat menyebabkan kerentanan ekosistem meningkat

atau menurun, hal ini tergantung pada kebijakan lingkungan yang

diimplementasikan, kerentanan akan menurun apabila kebijakan pro pada

konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil. Pengembangan kelenturan (resilience)

ekososio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes

dan Seixas 2005). Kelenturan berhubungan dengan gabungan dinamika sistem

manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor

lingkungan dan sosial serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas

dinamika yang ada di dalamnya (Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan

konsep ICM (integrated coastal management) yang merupakan paradigma

pengelolaan yang digunakan saat ini. 4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options)

Kebijakan yang dipilih berkaitan dengan pembangunan di Gugus Pulau

Batudaka antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembangunan yang

melibatkan masyarakat. Gugus Pulau Batudaka secara administrasi masuk

wilayah Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), dan merupakan

wilayah Taman Nasional Pulau Togean dengan implementasi kebijakan mengacu

pada RTRW Kabupaten Touna (Bappeda Touna 2007) dan dituangkan dalam

RDTR Kepulauan Togean maupun Peraturan Daerah Kawasan Kepulauan Togean

(BKSDA 2006) yang mengatur perwilayahan pembangunan berwawasan

lingkungan.

Implementasi kebijakan tersebut hanya bersifat simbolik apabila pelibatan

masyarakat secara menyeluruh tidak terlaksana dengan baik. Hal ini

menimbulkan konflik yang berkepanjangan seiring dengan pemanfaatan

sumberdaya alam Gugus Pulau Batudaka. Mengingat, sebelumnya terjadi konflik

masyarakat dengan pengusaha budidaya mutiara, disusul dengan dengan

ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Taman Nasional, walaupun sampai

sekarang belum ada penetapan zonasi, masyarakat setempat beranggapan adanya

Page 131: Tojo Una Una

107

TNKT maka hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam menjadi

terbatas/dilarang seperti hasil tangkapan lola/kimah dan teripang akan dibuang ke

laut oleh pihak keamanan bila diambil dari zona terlarang TNKT, juga masyarakat

kesulitan memperoleh izin untuk memanfaatkan rotan maupun kayu untuk rumah.

Di sisi lain, Pemerintahan Daerah dengan kewenangannya berdasarkan UU No. 32

Tahun 2004 untuk mengelola sumberdaya alam meliputi eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengeloaan kekayaan laut. Kesemua permasalahan tersebut dapat

diatasi apabila semua pihak terkait duduk bersama untuk memikirkan arah

pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut. Pentingnya pelibatan

masyarakat yang merupakan aktor dan obyek pembangunan, mengingat sampai

saat ini masyarakat Gugus Pulau Batudaka masih menerapkan kearifan lokalnya

dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kearifan lokal tersebut dapat dijadikan

acuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga konflik yang terjadi dapat

diatasi dan ekosistem alami dapat terjaga.

Berdasarkan kerangka DPSIR diatas, pada aspek ekologi ditekankan

bahwa penyusunan tata ruang wilayah pesisir pulau-pulau kecil di kawasan Gugus

Pulau Batudaka harus sesuai dengan daya dukung lingkungan serta

memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan. Aspek sosial

ekonomi budaya, pembuatan tata ruang diharapkan dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sehingga dalam penyusunannya melibatkan partisipasi

masyarakat dan stakeholder yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan

sumberdaya pesisir. Aspek kebijakan, arahan penyusunan tata ruang harus

bersesuaian dengan pembangunan pemerintah.

Aplikasi kerangka DPSIR terhadap faktor-faktor pengarah (Driving

forces), tekanan dan konflik penggunaan area laut kawasan Gugus Pulau Batudaka

secara detail diuraikan pada Tabel 23, yakni beberapa kelompok memanfaatkan

daerah ini (masyarakat, pengusaha wisata dan perikanan) serta terdapat

kepentingan pemerintah berupa respon dalam mengelola kawasan ini.

Page 132: Tojo Una Una

108

Tabel 23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kerangka DPSIR

Indikator Penyebab/Akibat Deskripsi dan Hubungan Fungsional terhadap kerentanan ekosistem

Faktor Penggerak (Drivers)

Demografi Pertumbuhan, kepadatan dan tingkat ketergantungan penduduk yang tinggi sebagai faktor pengarah/ drivers. Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah penduduk ↑, perluasan pembukaan lahan usaha dan kebutuhan lahan pemukiman

Permintaan Wisata kebutuhan wisman atau pasar dalam hal daya tarik obyek wisata beserta sarana penunjang

Kegiatan Perikanan Kerentanan ↑ sejalan dengan kebutuhan lahan untuk pertambakan dan aktivitas penangkapan ikan

Tekanan (Pressures)

Konversi Lahan Pembukaan hutan mangrove untuk pemukiman dan tambak. Kerentanan ↑ sejalan dengan kebutuhan lahan permukiman dan usaha pertambakan

Sampah Domestik dan polutan lainnya

Peningkatan sampah domestik dan polutan lainnya akibat peningkatan penduduk dan aktivitas wisata dan perikanan. Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah sampah dan polutan yang meningkat

Keadaan (States)

Abrasi dan Sedimentasi

Penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal perkebunan menyebabkan sedimentasi berakibat ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang rusak/berkurang dan pada daerah yang terbuka terjadi abrasi pantai. Kerentanan ↑ sejalan dengan usaha perluasan pembukaan lahan

Polusi air/ pengayaan nutrien perairan

Sedimentasi berlebihan dan sampah (padat maupun cair) berkontribusi akibat aktivitas manusia pengayaan nutrien perairan. Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah polutan yang meningkat

Kehilangan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati

Penebangan mangrove menyebabkan zonasi terbuka, sehingga tumbuh semak dan tanaman lainnya. Kerentanan ↑ sejalan dengan usaha pembukaan lahan

Dampak (Impacts)

Dampak Ekosistem Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau Batudaka berdampak pada kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan produktivitas, kesehatan, kenyamanan dan perubahan nilai kondisi yang ada

Dampak Sosial Ekonomi

Peningkatan pendapatan per kapita setiap tahunnya. Kerentanan ↑atau ↓, tergantung pada kebijakan lingkungan yang diimplementasikan

Tanggapan (Responses)

Rencana Tata Ruang Wilayah

Kerentanan ↓ jika kebijakan dilaksanakan dengan baik Kerentanan ↓ atau ↑ tergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan ekosistem

Pembangunan melibatkan masyarakat

Kerentanan ↓ jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan PPK yang berkelanjutan

Keterangan : ↑ meningkat, ↓ menurun Sumber : Data Primer (2009)

Page 133: Tojo Una Una

109

4.2 Sistem Ekologi

4.2.1 Batas Sistem Ekologi

Luas wilayah Gugus Pulau Batudaka menurut desa sebesar 298.07 km2

(BPS Touna 2009). Gugus Pulau Batudaka memiliki berbagai tipe ekosistem baik

di darat maupun di laut, mulai dari hutan dataran rendah (low-land forest), hutan

bakau (mangrove), padang lamun (sea grass bed), pantai berbatu (rocky beach)

serta terumbu karang (coral reefs). Pulau Batudaka memiliki pantai dengan

tebing-tebing karang yang lebih panjang dibanding Pulau Togean, terutama di

bagian tengah dan barat. Vegetasi di Pulau Batudaka umumnya didominasi oleh

pohon kelapa (Cocus nucifera), semak dan mangrove. Pohon kelapa (Cocus

nucifera) banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan vegetasi yang

dominan di pulau ini. Selain itu juga terdapat kayu besi (Intsia bijuga), Garuga

floribunda, Sterculia macrocarpa, Dysoxylum aliaceum, beberapa jenis

Sapotaceae dan ditemukan satu jenis yang langka yaitu Kibatalia macgregori,

yang hanya terdapat di Pulau Sebuyan Philiphina. Hal ini berbeda dengan Pulau

Togean yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, uru (elmerrillia ovalis), aren

(Arengga pinnata), siuri (Koodersiodendron pinnatum) (Sidiyasa 2000).

4.2.1.1 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu potensi laut yang

dimiliki oleh Gugus Pulau Batudaka. Perkembangan terumbu karang di Gugus

Pulau Batudaka mengalami pengaruh oseanografi dimana terumbu karang

terkonsentrasi di sekeliling pulau. Rataan terumbu karang yang terhampar

panjangnya hingga mencapai +1500 meter dari garis pantai hingga tubir terumbu.

Terumbu karang memiliki tipe terumbu tepi atau terumbu pantai, dan karang

tumbuh pada kedalaman 1-10 meter, Pertumbuhan terumbu tersebut di bagian

barat 50 meter (sementara makin ke timur makin dalam sampai 100 meter).

Rataan terumbu (reef flat) dibentuk oleh terumbu hidup ditemukan di beberapa

tempat dan hampir tidak pernah melebihi 200 meter dari garis pantai (BKSDA

2006). Selanjutnya merupakan hamparan teras pasir halus yang dihuni oleh

organisme penggali pasir (infauna) dan lamun (Sea Grass). Pada keadaan surut

terendah, karang-karang di rataan terumbu dan di daerah tubir terekspose di udara

dan terkena terikan matahari langsung sehingga menyebabkan sebagian karang

Page 134: Tojo Una Una

110

mengalami kematian, walaupun sebagian besar dapat beradaptasi dengan kondisi

seperti ini.

Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 24) terdiri dari

berbagai jenis, antara lain karang batu (hard coral/HC), karang lunak (soft

coral/SC), serta sponges dan algae. Terumbu karang di sekitar Gugus Pulau

Batudaka memiliki tingkat penutupan karang hidup rata-rata 73% (HC: 52-80%,

SC; 3-14%). Hal ini menunjukkan terumbu karangnya dalam kondisi sedang dan

didominasi oleh jenis karang arcopora dan non-acropora dengan bentuk

pertumbuhan (live form) dominan branching dan masif.

Tabel 24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%)

Lokasi Stasiun HC SC SP ALG/OT

R DC S

14 (Tambangoni) 79.83+5.67 3.17+0.50 0 0 1.17+0.52 10.83+0.87 5.00+0.87 6 (Taufan Selatan) 77.00+1.67 14.33+1.33 0 0 0 8.33+2.00 0.33+0.10 15 (Karangan Timur) 52.33+3.61 6.33+0.42 0 0 0 41.33+1.41 0 Sumber : Data Primer (2009) Keterangan : HC = Hard Coral R = Rubble SC = Soft Coral DC = Dead Coral SP = Sponge S = Sand ALG/OT = Algae/Other

Pengamatan terhadap ikan karang pada tiga stasiun ditemukan sebanyak

8-17 genus yang didominasi genus Lutjanus dan Pterocaesio. Keanekaragaman

jenis-jenis ikan karang tinggi pada perairan Tambangoni dan Taufan. Hal ini

disebabkan jenis terumbu karang pada daerah tersebut masih tinggi (Tambangoni

80% HC, 3% SC; Taufan 77% HC dan 14% SC) dan belum banyak ditemukan

kerusakan yang berarti akibat aktivitas manusia. Berdasarkan hasil survei MRAP

2001 ditemukan 4 lokasi terbaik kondisi terumbu karang di Gugus Pulau

Batudaka Kecamatan Una-Una dengan jumlah spesies ikan karang yang tinggi

seperti tertera pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una

Lokasi Spesies

Terumbu KarangSpesies Ikan Kondisi

Southern Batudaka Island 83 216 Baik Western Batudaka Island 62 208 Baik Northern-east side Una Una Island 69 161 Sedang Pasir Tengah Atoll 84 202 Sedang

Sumber : MRAP (2001) dalam Zamani et al. (2007)

Page 135: Tojo Una Una

111

Eksistensi terumbu karang di perairan Gugus Pulau Batudaka Kepulauan

Togean telah berasosiasi dengan banyak organisme penting dan bernilai ekonomis

tinggi seperti berbagai jenis kima (Tridacna spp), kerang kepala kambing (Cassis

cornuta), dan teripang (Holothurian). Tridacna spp terutama jenis yang berukuran

besar seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kima air (T. derasa), kima cina

(Hippopus porcellanus), dan kima sisik (T. Scuamosa) merupakan species laut

yang langka atau terancam punah dan termasuk species yang dilindungi

(endangered species IUCN; Apendiks I dan II CITES; UU No. 5 Tahun 1990).

Selain itu, beberapa jenis karang bernilai ekonomis untuk biota hiasan aquarium

(aquarium ornament) banyak ditemui di lokasi ini, antara lain Lobophyllia,

Goniopora, Pectinia, Euphyllia, Plerogyra dan Physogyra (Bappeda Touna

2007).

4.2.1.2 Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang tumbuh subur

menyebar tidak merata di seluruh pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Keberadaan

hutan bakau terutama ditemui di pantai yang mempunyai topografi dangkal dan

terlindung sedangkan di pantai-pantai curam yang berdinding batu tidak

ditumbuhi mangrove. Mangrove dapat ditemui mulai dari pantai utara bagian

utara dan selatan pulau Batudaka dengan ketebalan mangrove mencapai 500 m.

Vegetasi ini didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu

tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung

atau berpasir. Jenis tekstur substrat di ekosistem mangrove Gugus Pulau Batudaka

pada keseluruhan pengamatan adalah lempung berpasir dan lempung liat berdebu

dengan komponen fraksi substrat terdiri dari liat, debu, pasir halus dan pasir kasar.

Komponen fraksi substrak pada stasiun mangrove tertera pada Gambar 26.

Page 136: Tojo Una Una

112

Gambar 26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis

Lab. Ilmu Tanah UNTAD 2009)

Hasil analisis terhadap substrat berdasarkan kelas tekstur tanah

(Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001) menunjukkan bahwa kandungan lumpur

diperoleh persentase tertinggi pada stasiun pengamatan di Luangon/Desa Bambu

dan Taningkola bertekstur lempung liat berdebu yang didominasi fraksi liat dan

debu berkisar diatas 90%, Stasiun Sope (Desa Una-Una) dan Umpagi (Desa

Bomba) mempunyai tekstur lempung berpasir yang didominasi pasir yang

berkisar diatas 50%. Mangrove dapat tumbuh pada substrat berpasir, berkerikil,

koral maupun tanah gambut (Kusmana et al. 2005). Stasiun Sope dan Umpagi

didominasi Rhizopora spp disusul Bruguiera spp, hal ini sesuai dengan Yulianda

et al (2009) pertumbuhan komunitas vegetasi. mangrove umumnya mengikuti

pola zonasi yaitu yang paling dekat laut dengan subtrak berpasir sering ditumbuhi

avicennia spp yang berasosiasi dengan Sonneratia yang tumbuh pada lumpur dan

lebih ke arah darat (Stasiun Luangon dan Taningola) didominasi Rhizopora spp

disusul Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Brower et al. (1990) menyatakan

bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang

tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing

spesies relatif merata, dengan kata lain, apabila suatu komunitas hanya terdiri dari

sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas

tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Hasil identifikasi mangrove di

Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 26.

0

10

20

30

40

50

60

70

Umpagi Taningkola Sope Luangon

Pasir Kasar

Pasir Halus

Debu

Liat

Page 137: Tojo Una Una

113

Tabel 26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting pada tiap tingkatan pohon

Spesies Magrove Jumlah Tegakan Kerapatan Relatif (%) Frekuensi Relatif (%) Dominasi Relatif (%) Indeks Nilai Penting Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Pohon Anakan Semai

Taningkola Rhizopora apiculata 15 11 88 62.50 40.74 47.06 37.50 37.50 37.50 34.67 16.07 134.67 94.31 84.56 Avicennia alba 2 7 16 8.33 25.93 8.56 25.00 25.00 25.00 29.23 43.09 62.56 94.02 33.56 Bruguiera gymnorrhiza 7 9 83 29.17 33.33 44.39 37.50 37.50 37.50 36.11 40.84 102.77 111.67 81.89

Jumlah 24 27 187 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00 Sope Rhizopora apiculata 10 17 121 58.82 58.62 69.14 50.00 50.00 50.00 38.41 46.74 147.24 155.37 119.14 Bruguiera gymnorrhiza 7 12 54 41.18 41.38 30.86 50.00 50.00 50.00 61.59 53.26 152.76 144.63 80.86

Jumlah 17 29 175 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00 Luangon Rhizopora apiculata 4 8 25 23.53 21.05 21.74 23.08 21.43 18.75 17.76 10.26 64.37 52.74 40.49 Rhizopora mucronata 5 9 12 29.41 23.68 10.43 23.08 21.43 18.75 14.26 13.71 66.75 58.82 29.18 Bruguiera gymnorrhiza 4 10 52 23.53 26.32 45.22 23.08 21.43 18.75 26.69 9.92 73.29 57.66 63.97 Xylocarpus granatum 1 5 8 5.88 13.16 6.96 7.69 14.29 18.75 11.97 9.86 25.55 37.30 25.71 Soneratia alba 1 2 6 5.88 5.26 5.22 7.69 7.14 6.25 7.82 21.69 21.39 34.10 11.47 Lumnitzera littorea 1 2 4 5.88 5.26 3.48 7.69 7.14 6.25 10.40 14.80 23.97 27.20 9.73 Aegiceras corniculatum 1 2 8 5.88 5.26 6.96 7.69 7.14 12.50 11.11 19.76 24.68 32.17 19.46

Jumlah 17 38 115 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00 Umpagi Rhyzophora apiculata 13 16 34 50.00 47.06 40.96 27.27 30.00 27.27 17.21 29.97 94.48 107.03 68.24 Rhyzophora mucronata 8 12 25 30.77 35.29 30.12 27.27 30.00 27.27 13.95 27.55 72.00 92.85 57.39 Bruguiera gymnoriza 3 4 15 11.54 11.76 18.07 27.27 20.00 27.27 36.85 29.00 75.66 60.76 45.35 Avicennia alba 1 0 6 3.85 0.00 7.23 9.09 10.00 9.09 13.33 0.00 26.26 10.00 16.32 Xylocarpus granatum 1 2 3 3.85 5.88 3.61 9.09 10.00 9.09 18.66 13.48 31.60 29.36 12.71

Jumlah 26 34 83 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00 Sumber : Data Primer (2009)

Page 138: Tojo Una Una

114

Tabel 26 menunjukkan bahwa pada stasiun Taningkola (terdapat 3 jenis

mangrove) dan Sope (2 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling

tinggi untuk jenis Rhizopora apiculata disusul Bruguiera gymnorrhiza, sedangkan

Stasiun Luangon (7 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling tinggi

untuk jenis Bruguiera gymnorrhiza disusul Rhizopora mucronata dan Rhizopora

apiculata. Kondisi ini menggambarkan bahwa untuk kategori jenis Rhizopora

apiculata, Rhizopora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza memberikan

pengaruh atau peranan yang sangat besar dalam komunitas mangrove di kawasan

Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh CII

(Conservation International for Indonesia), ditemukan 33 spesies mangrove di

Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove)

dan 14 spesies mangrove ikutan (asociate mangrove). Semua jenis mangrove

tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia (Adhiasto 2001). 4.2.1.3 Padang Lamun

Ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean relatif sedikit bila

dibandingkan dengan ekosistem karang maupun ekosistem mangrove. Jenis dan

kelimpahan lamun tersebut tertera pada Tabel 27.

Tabel 27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka

No Jenis-jenis Nama Pulau/lokasi Stasiun

P.Batudaka* P.Poya** Umpagi** Sope**

1 Enhalus acoroides (Pama) +++ +++ +++ +++

2 Thalassia hemprichii ++ - + +

3 Halophila ovalis + ++ + ++

4 Cymodocea serrulata +++ +++ +++ +++

5 Halodule uninervis ++ - - ++

Keterangan : * = RTRW Kabupaten Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007) ** = Data Primer (2009) : - = Tidak ditemukan; + = Ada, sedikit; ++ = Ada, sedang; +++ = Ada,dominan Terdapat 5 (lima) jenis lamun, yaitu: Thallasia hemprichii, Enhalus

acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Dari

ke-5 jenis lamun yang terdapat di sekitar perairan Gugus Pulau Batudaka, jenis

lamun Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata merupakan jenis yang dominan.

Hasil analisis spasial CII menunjukkan luas ekosistem padang lamun di

Kepulauan Togean pada tahun 2001 seluas 281.3 ha dan pada tahun 2007 terjadi

Page 139: Tojo Una Una

115

penurunan menjadi 189.69 ha, atau dalam kurun waktu 6 tahun terjadi penurunan

sebesar 91.61 ha (32.57%). Kawasan yang mengalami penurunan luas padang

lamun adalah Pulau Malenge dan perairan di sebelah barat Pulau Batudaka.

Kawasan yang mengalami penurunan luas padang lamun ini ternyata juga

merupakan kawasan yang mengalami penurunan luas terumbu karang. 4.2.2 Kondisi Morfologi

Gugus Pulau Batudaka masuk dalam wilayah di Kecamatan Una-Una

dengan luas daratan 298.08 km2 dan ketinggian 0-85 meter dari permukaan air

laut. Topografi dataran adalah datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang

berbukit. Bagian wilayah yang datar berada di sekitar pantai, sedangkan ke arah

daratan atau jauh dari pantai kondisi topografi berombak dan sedikit bagian

berbukit. Tekstur tanah sedang sampai kasar dengan drainase cukup baik. Kondisi

tanah termasuk subur karena berbagai macam tanaman dapat tumbuh di daerah

ini. Persentase bentuk permukaan tanah serta ketinggian desa di Kecamatan Una-

Una tertera pada Tabel 28. Tabel 28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una–Una Tahun 2008

No. Desa Persentase Bentuk Permukaan Tanah Ketinggian

Permukaan Laut (m) Dataran Perbukitan Pegunungan

1 Kulingkinari - 35 65 2 2 Molowagu 10 60 30 85 3 Bomba 5 75 20 10 4 Tumbulawa 15 80 5 10 5 Taningkola 80 15 5 8 6 Bambu 10 80 10 15 7 Una – Una 20 40 40 3 8 Lembanya 70 30 - 4 9 Wakai 45 35 20 3 10 Tanjung Pude 50 35 15 3 11 Malino - 75 25 75 12 Siatu 50 50 - 5 13 Kambutu 10 55 35 3

Kecamatan Una-Una 28.08 51.15 20.80 3 Sumber : BPS Touna (2009)

Litologi pulau Batudaka (BKSDA 2006) terdiri atas :

(1) Batu gamping terumbu koral dan klastik (Ql), batu gamping terumbu ini

berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir

Page 140: Tojo Una Una

116

sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral dan cangkang

moluska.

(2) Konglomerat, batu pasir, batu lempung dan lensa batu gamping (Tmpb) yang

terubah kuat dan lensa-lensa batu gamping.

Geologi Pulau Batudaka mempunyai jenis litologi yang didapat berdasarkan hasil

Grab Sample di sepanjang lokasi pengamatan Pulau Una Una adalah : pecahan

karang dan sedikit pasir halus berwarna coklat muda berisi pecahan karang.

Material yang ada diduga berasal dari hasil proses pelapukan serta erosi batuan

yang ada di permukaan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, hempasan

gelombang dan material-material yang tertransportasi oleh media air melalui

sungai-sungai yang mengalir sampai ke laut.

Struktur geologi yang berkembang pada daerah ini adalah struktur lipatan

monoklin. Geomorfologinya terdiri dari 4 satuan geomorfologi dengan 5

subsatuan geomorfologi, dengan penjelasan sebagai berikut:

(1) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Struktural (S) dengan subsatuan

Geomorfologi Blok Pegunungan, lereng tidak teratur, pipih, runcing, pola

memanjang (S1). Subsatuan ini terdapat di bagian Timur dengan penyebaran

berarah Barat laut-Tenggara. Lahan ini mempunyai morfologi, topografi

pegunungan, dengan pinggir tajam dan banyak dilalui oleh sistem patahan

atau kelurusan dan berkesan terkotak-kotak dengan lereng curam sampai

terjal. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah : konglomerat, batupasir,

batu lempung dan lensa batu gamping yang terubah kuat dan lensa-lensa batu

gamping. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 15 hingga 30%

dengan beda tinggi antara 50 sampai dengan 150 m. Ketinggian (elevasi)

subsatuan ini berkisar antara 25 hingga 100 m di atas permukaan laut.

(2) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Kars (K) dengan Subsatuan

Geomorfologi Perbukitan Kars, dengan puncak membulat (K2). Subsatuan

ini penyebarannya hampir diseluruh Pulau Batudaka, lahan ini mempunyai

morfologi perbukitan (hillock), dengan puncak membundar (kubah), dengan

topografi rendah, Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batugamping

klastik, batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami

pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar

Page 141: Tojo Una Una

117

oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan

berkisar antara 0 hingga 2% dengan beda tinggi antara 25 sampai dengan 150

m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 100 m di atas

permukaan laut.

(3) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Fluvial (F) dengan Subsatuan

Geomorfologi Dataran Banjir (F16). Subsatuan ini terletak di bagian Utara

penyebarannya setempat memanjang timur laut–Barat daya di sepanjang

pesisir pantai. Bentuk lahan morfologi ini merupakan terbentuknya dataran

banjir terdiri dari proses fluvial, yakni adanya luapan sungai pada musim

penghujan dan menggenangi daerah sekitar yang lebih rendah dalam beberapa

hal tergantung intensitas dan lamanya hari hujan. Litologi yang menempati

satuan ini adalah: batu batu gamping terumbu koral dan klastik batu gamping

terumbu ini berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan,

berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral

dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0

hingga 2% dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 10 m. Ketinggian

(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 4 m di atas permukaan laut.

(4) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Marine (M) dengan 2 Sub satuan

yaitu: Subsatuan Geomorfologi Terumbu karang (M1). Subsatuan ini

terdapat di bagian Selatan penyebarannya di sekitar pesisir pantai. Bentuk

lahan seperti ini mempunyai ciri pengenal karang lunak, masih berada di

bawah muka air laut, dengan berbagai macam tipe serta pola tumbuh. Litologi

yang mendominasi satuan ini adalah : batugamping terumbu dan batugamping

klastik. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0 hingga 2%

dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 1 m. Ketinggian (elevasi)

subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 5 m di atas permukaan laut. Subsatuan

Geomorfologi Pulau Karang (M3). Subsatuan ini terdapat di bagian Utara

dan Selatan penyebarannya dekat dengan pantai dan membentuk pulau-pulau

kecil. Bentuk lahan seperti ini merupakan pulau yang terbentuk karena

munculnya karang ke atas permukaan akibat pengangkatan atau muka air laut

turun setelah masa Meosin, sehingga mencapai keadaan seperti saat ini,

akibat air yang turun maka karang menjadi mati dan lapuk sehingga menjadi

Page 142: Tojo Una Una

118

pulau. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batu gamping klastik,

batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami

pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar

oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan

berkisar antara 0-20% dengan beda tinggi antara 0-30 m. Ketinggian

(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0-25 m di atas permukaan laut

(BKSDA 2006). 4.2.3 Kondisi Iklim

Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean beriklim laut tropis dengan sifat

iklim musiman dipengaruhi oleh dua musim yang tetap, yakni musim barat dan

musim timur. Musim kemarau terjadi antara bulan Agustus dan November,

sedangkan musim hujan terjadi sekitar Desember dan Juli. Daerah sekitar Teluk

Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung

selama 3 bulan. Temperatur berkisar antara 17-32oC, kelembaban udara antara

74-82% dan kecepatan angin berkisar 3-6 knot (BRPL 2005).

Gambar 27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab. Tojo Una-Una 2003-2009)

Berdasarkan data Stasiun Pengamatan Gunung Colo di Wakai Tahun

2002-2008, hari hujan tertinggi di Kecamatan Una-Una terjadi pada bulan Maret

yaitu selama 11 hari, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi antara bulan Maret-

Agustus dan Desember-Januari. Curah hujan berkisar 52-398 mm/bulan.

Berdasarkan klasifikasi Koppen, kawasan Kepulauan Togean termasuk tipe iklim

Cur

ahH

uja

n(m

m)

76

11 10 10

87

8

6

3

6

9

0

100

200

300

400

500

0

2

4

6

8

10

12

Hari  Hujan 

Bulan

Hari hujan

curah hujan (mm)

Page 143: Tojo Una Una

119

Alpha, sedang menurut klasifikasi Schmidt-Fergusson termasuk tipe A, yaitu

hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kurang curah hujan.

Arah angin secara umum dari Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean

akan mengikuti musim yang ada di Indonesia, yaitu musim Barat dan musim

Timur. Kecepatan angin paling rendah terjadi pada bulan November-Desember

yang mencapai 4.3 knot dengan arah rata-rata 330º. Kecepatan angin musiman

terjadi pada bulan Juli-Agustus dengan arah 270º (Tabel 29)

Tabel 29 Pola angin di Kepulauan Togean

Bulan Pola Angin Suhu Jan Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 2 m/d (angin utara) 28.0º C Feb Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.5º C Mar Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.0º C April Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.0º C Mei Angin bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.5º C Juni Angin bergerak ke arah barat dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.5º C Juli Angin bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan rata-rata 4 m/d 28.5º C Agt Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d (angin selatan) 28.5º C Sep Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.0º C Okt Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.5º C Nov Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 2 m/d 28.0º C Des Angin bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan rata-rata 1 m/d 28.5º C

Sumber : Bappeda Touna (2007) .

4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan

4.2.4.1 Arus

Kecepatan arus maksimum di perairan pesisir Gugus Pulau Batudaka

terjadi pada sisi selatan pulau yang berbatasan langsung dengan daratan utama

Sulawesi. Besarnya kecepatan arus di sisi pulau ini disebabkan massa air yang

bergerak melalui selat di antara Kepulauan Togean dengan daratan Sulawesi.

Laut Sulawesi merupakan salah satu perairan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)

yaitu arus yang bergerak melintasi perairan Indonesia akibat perbedaan tinggi

muka laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Arus ini berasal dari

Samudera Pasifik dan kecepatannya sangat dipengaruhi sistem arus ekuatorial

akibat hembusan angin Pasat Timur Laut di Samudera Pasifik. Musim timur

terjadi bulan Juni–Agustus dan arus permukaan bergerak dari arah laut seram

menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini.

Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung bergerak ke arah Barat Daya

dengan kisaran sudut 85o-350o. Arus ini bergerak dengan kecepatan rata-rata

Page 144: Tojo Una Una

120

0.654 meter/detik. Secara umum pola dan kecepatan arus tahunan yang terjadi di

perairan sekitar Kepulauan Togean antara 20 cm/detik hingga 50 cm/detik. Pola

arus di perairan ini selain dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, juga dipengaruhi

oleh pola arus utama di perairan laut Sulawesi (Bappeda 2007). Karakteristik arus di

Pulau Batudaka tertera pada Tabel 30. Tabel 30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una

No. Waktu Stasiun

Karakteristik Arus Waktu Kec. (m/dtk) Arah (o)

1

08:00 00'06.3" 0.794 235 11:05 00'07.4" 0.676 250

2

08:35 00'09.4" 0.532 230 11:40 00'11.0" 0.455 350

3

09:00 00'06.5" 0.769 260 12:00 00'07.6" 0.658 85

4

10:00 00'07.0" 0.714 175 13:00 00'08.0" 0.625 210

Kecepatan Rata-Rata = 0.654 Sumber : Bappeda Touna (2007)

4.2.4.2 Gelombang

Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak

lurus permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang

laut disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke

perairan, menyebabkan riak-riak, alun/bukit, dan berubah menjadi gelombang.

Gelombang di perairan Gugus Pulau Batudaka Teluk Tomini secara umum

tingginya berkisar 1-2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Pebruari), Musim

peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei) dan musim peralihan Timur ke Barat

(September-Nopember) tinggi gelombang maksimum sekitar 1.5 meter,

sedangkan tinggi gelombang pada Musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2

meter (BRKP 2004). 4.2.4.3 Pasang Surut

Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya permukaan air laut

secara periodik karena adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan

dan matahari. Pasut dapat terjadi sehari sekali (pasut tunggal) atau diurnal, dua

kali sehari (pasut ganda) atau semi-diurnal dan pasut yang berlaku keduanya atau

Page 145: Tojo Una Una

121

dikenal pasut campuran, dapat berupa pasut campuran dominasi ganda dan

dominasi tunggal (Pariwono 1997).

Gambar 28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka

Secara umum, berdasarkan data DISHIDROS-AL dan pengamatan

fluktuasi pasang surut pantai Gugus Pulau Batudaka memiliki tipe pasang surut

campuran yang cenderung bersifat harian ganda (mixed prevailing semi diurnal).

Dalam satu hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut. Sifat khas dari naik

turunnya permukaan air laut ini terjadi dua kali sehari sehingga terdapat dua

periode pasang tinggi dan dua periode pasang rendah. Pasang dengan tinggi

maksimum terjadi pada bulan baru dan bulan penuh, sedangkan pasang dengan

tinggi minimum terjadi pada waktu perempatan bulan pertama dan perempatan

bulan ketiga. Tunggang pasang surut (tidal range) di Pulau Batudaka mencapai

maksimum 1.6 m dan perairan Kepulauan Togean mencapai 2.1 m. Pasang surut

dengan tipe sedemikian memiliki periode gelombang pasut sekitar 12 jam (BRKP

2004; Bappeda Touna 2007).

4.2.4.4 Kecerahan

Menurut Effendie (2004) kecerahan adalah ukuran transparansi perairan

yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal

dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan

hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan

dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

1 30 59 88 117 146 175 204 233 262 291 320 349 378 407 436 465 494 523 552 581 610 639 668 697 726

Nilai Pasut (m

eter)

Jam

Page 146: Tojo Una Una

122

Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam

perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang

memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan

kekeruhan (Nybakken 1988).

Kecerahan perairan Gugus Pulau Batudaka mencapai nilai 2-16 m, artinya

sampai kedalaman 2-16 m di bawah permukaan air laut objek/benda masih bisa

dilihat dengan mata telanjang secara langsung. Nilai kecerahan sangat rendah di

stasiun Luangon dan selat Batudaka mempunyai nilai terendah dan stasiun lain

memiliki nilai tingkat kecerahan hingga 100%. 4.2.4.5 Suhu Perairan

Pengamatan suhu perairan di Gugus Pulau Batudaka antara 30-310C. Suhu

Rata-rata di Gugus Pulau Batudaka adalah 30.80C. Berdasarkan RTRW

Kabupaten Tojo Una-Una, suhu perairan Kepulauan Togean berkisar antara 28-

310C dengan suhu rata-rata 29.550C. Kisaran suhu tersebut dalam kisaran yang

normal untuk perairan dan sesuai untuk kehidupan biota air.

Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi

penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu

sekitar 20C. Pola perubahan suhu secara vertikal di 16 stasiun relatif sama. Hasil

penyelaman di lapang menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak

ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (Zamani et al. 2007). 4.2.4.6 Salinitas Perairan

Salinitas merupakan konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas

menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi

menjadi oksida, semua bromide dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan

organik telah diokasidasi (Effendie 2004). Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat

dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Perairan laut Gugus Pulau Batudaka

relatif sedikit masukan air sungai yaitu hanya terdapat 2 sungai yakni Sungai

Taningkola yang panjangnya sekitar 1 km dan Sungai Malintang + 3 km (BPS 2009).

Salinitas perairan di lokasi pengamatan berkisar antara 29.5-34.5‰ dengan rata-

rata 32.08‰.

Page 147: Tojo Una Una

123

Hasil penelitian BRPL tahun 2004, menunjukkan bahwa salinitas di

perairan Togean pada musim timur bervariasi antara 33.90-35.00‰. Umumnya

salinitas di bagian utara lebih rendah dibandingkan dengan bagian selatan perairan

Togean. Secara spasial terlihat perbedaan, umumnya salinitas di wilayah yang

lebih dekat dengan muara sungai lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain,

dengan perbedaan salinitas sekitar 0.3‰. Pola distribusi vertikal salinitas

menunjukkan bahwa salinitas semakin meningkat dengan meningkatnya

kedalaman dimana pada kedalaman sekitar 40 meter mengalami peningkatan

sekitar 0.3‰ (Zamani et al. 2007).

4.2.4.7 Derajat Keasaman/pH

Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk

mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan

memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat

menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 yang dapat

membahayakan kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia

umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.0–8.5. pH perairan Gugus

Pulau Batudaka berkisar antara 7–8 dengan nilai rata-rata 7.76. Tidak terlihat

perbedaan pH yang signifikan antara lokasi pengamatan dan kisaran pH perairan

tersebut tergolong normal untuk biota air. 4.2.4.8 Oksigen Terlarut(DO/Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan

hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen

terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses

respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut

(disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan

akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut

(Levina 1984). Menurunnya kadar O2 terlarut dapat mengurangi efisiensi

pengambilan O2 oleh biota laut yang dapat menurunkan kemampuan biota

tersebut untuk hidup normal dalam lingkungannya. Kadar O2 terlarut di perairan

Indonesia berkisar antara 4.5 dan 7.0 ppm.

Page 148: Tojo Una Una

124

Nilai oksigen terlarut perairan Gugus Pulau Batudaka antara 6-8 mg/l

dengan rata-rata 7.21 mg/l. Menurut Suseno (1974) perairan yang mengandung

oksigen terlarut 5.0 ppm pada suhu 20-30oC, dapat dikatakan sebagai perairan

yang cukup baik untuk kehidupan biota laut.

4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan

4.3.1 Sistem Sosial

4.3.1.1 Demografi

Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka termasuk Pulau Una-Una pada

Tahun 2008 seluas 38 797.13 ha mencapai 13 106 jiwa terdiri atas 3 459 rumah

tangga dengan sebaran rata-rata rumah tangga sebanyak 4 jiwa dengan kepadatan

43 jiwa/km2 atau 0.43 jiwa/ha (BPS Touna 2009). Berdasarkan Tabel 23, jumlah

penduduk Kecamatan Una-Una dalam periode tahun 2001-2008 mengalami

pertumbuhan 2% per tahun (Tabel 31).

Tabel 31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009) No. Parameter Nilai Unit

1 Jumlah Penduduk 2008 13 106 Jiwa 2 Kepadatan Penduduk 42 Jiwa/km2 3 Rumah Tangga (RT) 3 547 RT 4 Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 Jiwa/RT 5 Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104 6 Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif

terhadap Usia Produktif) 68 %

7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2 %/Tahun Keterangan : Hasil analisis (2010) 4.3.1.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan di lokasi penelitian kondisinya relatif kurang baik

yaitu ditunjukkan dengan tingginya penduduk tidak tamat SD serta rendahnya

yang berpendidikan Perguruan tinggi. Penduduk Kepulauan Togean yang tamat

SD 39.86%, SLTP 14.45%, SLTA 8.0% dan Perguruan Tinggi 0.38% (Dinas

Perikanan dan Kelautan 2004). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan

pendidikan di Kecamatan Una-Una telah dibangun gedung Sekolah Dasar,

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU).

Kecamatan Una-Una memiliki fasilitas TK sebanyak 2 unit, SD 19 unit, SMP 1

Page 149: Tojo Una Una

125

unit dan SMU/SMK 1 unit. Dari 13 106 jiwa penduduk di Kecamatan Una-Una,

sebanyak 10 255 orang merupakan tenaga kerja berusia di atas 10 tahun dan

1 156 orang tenaga kerja di luar sektor pertanian (BPS Touna 2009). 4.3.1.3 Pengetahuan Lokal

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka yang

menggunakan kearifan tradisional yaitu menyangkut pengetahuan atau

pemahaman masyarakat adat kebiasaan tentang manusia dan bagaimana relasi

yang baik di antara manusia dengan alam serta di antara semua penghuni

komunitas ekologi. Penduduk gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una

memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bajo, Bobongko, Togian,

Kaili, Bare’e, Taa, Gorontalo, dan Bugis. Masyarakat Bajo dan Bobongko lebih

menyebar tapi umumnya terkonsentrasi pada beberapa desa tertentu. Desa-desa

Bajo antara lain terdapat di Pulau Salaka, Siatu, Taufan, Kulingkinari; sementara

etnis Bobongko menetap di Tumbulawa dan tersebar di beberapa desa lainnya.

Etnik Bobongko telah mulai memeluk agama Kristen dan Islam. Adat-istiadat

yang dijadikan norma dalam pergaulan adalah adat Bobongko yang sudah mulai

mendapatkan pengaruh dari kepercayaan yang baru terutama nilai-nilai agama

Kristen dan Islam, sehingga tradisi upacara selalu dikaitkan dengan agama

walaupun nilai budaya kepercayaan leluhur masih dapat ditemukan dalam tradisi

Bobongko terutama dalam pesta panen dan upacara perkawinan dan kematian

(Bappeda Touna 2007). Selain itu, masyarakat di kawasan ini bersifat terbuka

dalam menerima budaya lain misalnya penduduk dari etnik Togean mengenakan

pakaian dari suku Jawa pada prosesi pernikahannya. Namun, budaya yang

bertentangan dengan agama Islam, masyarakat setempat lebih bersifat preventif,

seperti dengan semakin meningkatnya wisatawan mancanegara yang datang dan

berbusana terbuka membuat masyarakat meminta pengelola wisata untuk

memindahkan lokasi cottage yang terletak pada jalur masuk pelayaran menuju

Desa Bomba ke lokasi lain (Pulau Poya).

Masyarakat kawasan ini, ini masih memiliki sistem pemanfaatan SDA

yang diperoleh secara turun-temurun dengan menerapkan beberapa aturan serta

praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan berdampak

positif terhadap kelestarian alam. Masyarakat Bajo juga biasa melakukan

Page 150: Tojo Una Una

126

bapongka, yaitu suatu kegiatan melaut yang dilakukan secara berkelompok.

Mereka biasanya pergi untuk beberapa hari (atau minggu) untuk mengumpulkan

hasil laut yaitu beberapa jenis ikan yang terkait dengan ekosistem terumbu karang

seperti Lolosi (Caesio sp) dan juga teripang.

Pengetahuan lokal lainnya yang diyakini suku bajo adalah melarang

masyarakatnya melakukan penangkapan terhadap “Tuturuga” (penyu) dan tidak

boleh semena-mena terhadap jenis ikan tertentu seperti paus dan lumba-lumba.

Hal ini berkaitan dengan anggapan mereka tentang “penunggu laut”, bahwa bila

menangkap Tuturuga atau mengganggu paus dan lumba-lumba akan

mendatangkan penyakit. Selain itu, kepercayaan masyarakat akan adanya mahluk

halus yang mendiami hutan bakau disebut dengan “pongko lolap” memberikan

pengaruh untuk tidak berlama-lama di dalam hutan. Tempat tersebut dijadikan

tempat keramat oleh masyarakat. Kepercayaan ini mulai memudar ketika adanya

pendatang yang mengenalkan chainsaw dan menebang wilayah yang

dikeramatkan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih berani untuk masuk ke

wilayah hutan bakau (Adhiasto 2001).

4.3.2 Kegiatan Ekonomi

Pemanfaatan sumberdaya alam laut di Gugus Pulau Batudaka memberikan

nilai ekonomi yang paling besar pada sektor perikanan maupun pariwisata

dibandingkan sektor pertanian dan perkebunan. Kontribusi perikanan yang

menonjol berasal dari perdagangan ikan hidup (khususnya jenis kakap dan

kerapu), teripang, ikan-ikan pelagis, ikan teri, dan ikan garam. Di sektor

pariwisata, kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar khususnya bagi

wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut, ataupun jungle

trecking.

Infrastruktur ekonomi yaitu sarana yang dapat mendukung berlangsungnya

kegiatan perekonomian di wilayah Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una

yang dapat menunjang perkembangan perekonomian wilayah baik dalam lingkup

lokal maupun regional. Sarana ekonomi ini berupa fasilitas perdagangan dan jasa.

Jenis fasilitas perdagangan yang terdapat di Kecamatan Una-Una yaitu

pasar, toko, warung dan kios. Fasilitas perdagangan menyebar di seluruh desa di

kecamatan Una -Una dengan jumlah bervariasi. Aktivitas pasar dilakukan di Desa

Page 151: Tojo Una Una

127

Wakai Setiap hari serta untuk desa Kulingkinari, bomba dan bambu merupakan

pasar mingguan. Fasilitas jasa yang terdapat di Kecamatan Una-Una adalah

bengkel, servis radio, tukang jahit, tukang kayu/batu, dan salon. Jumlah tertinggi

dari masing-masing fasilitas tersebut yaitu jumlah bengkel 10 unit, servis radio 5

unit, tukang jahit 16 unit, tukang kayu/batu 187 unit, dan salon 1 unit.

Transportasi udara dapat melalui pintu masuk dari Makassar, Balikpapan,

dan Manado lewat Gorontalo, Palu, dan Luwuk (Gambar 29), yang dilanjutkan

melalui darat menuju Ampana. Aksessibilitas ke Gugus Pulau Batudaka hanya

dapat dilakukan dengan trasportasi laut (dari Ampana, Poso, Parigi, Gorontalo,

Manado) menggunakan kapal penumpang. Lama perjalanan dari Ampana ke

Kecamatan Wakai yaitu ± 5 jam dan menggunakan speedboat dengan waktu

tempuh akan lebih pendek yaitu ± 2 jam. Wisatawan yang berkunjung ke

Kepulauan Togean umumnya melalui Pelabuhan Parigi (jaraknya + 90 mil),

Ampana (+ 48 mil) dan Gorontalo (+ 83 mil). Selain itu, ada pula Kapal Perintis

Pelni Sangiang satu bulan sekali ke Wakai dengan rute Gorontalo-Wakai-Poso-

Wakai-Gorontalo-Ternate dst (Tabel 32).

Airport

Airport

Airport

Airport

Airport

MANADOGORONTALO

PALU

MAKASSAR

LUWUK

TOGEAN

POSOAMPANA

MAUTONG

KETERANGAN :

UDARA

DARAT

LAUT

KOTA

KEPULAUAN TOGEAN

1 JAM1 JAM 10 MENIT

1 JAM 25 MENIT

1 JAM 35 MENIT

+ 83 Mill

+ 70 Mill

+ 48 Mill

+ 130 Mill

+ 120 Mill

PARIGI

+ 90 Mill

307 km79 km

161 km

60 km

425 km379 km

300 km

Gambar 29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean

Page 152: Tojo Una Una

128

Tabel 32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut

Dari-Ke Armada/Kapal Waktu Gorontalo-Wakai-Ampana Ampana-Wakai-Gorontalo

Puspitasari Hari Kamis, Minggu 10.00 di Wakai Hari Senin, 10.00 Wita dari Ampana

Gorontalo-Wakai-Ampana Ampana-Wakai-Gorontalo

Tuna Tomini

Rabu, Sabtu, 09.00 Wita di Wakai Hari Kamis, Minggu 10.00 Wita

Ampana-Wakai

Lumba-lumba Duta Samudera

Selasa,Sabtu Hari Senin, Rabu, Sabtu10.00 Wita

Ampana-Bomba Nusantara I, IISurya Indah Karya Mandiri

Hari Minggu, Selasa, Kamis 09.30 Wita

Wakai- Ampana Lumba-lumbaDuta Samudera

Bomba- Ampana Nusantara I, IISurya Indah Karya Mandiri

Hari Senin, Rabu, Sabtu08.30-09.00 Wita

Kulingkinari- Ampana

Nusantara I, II Surya Indah Karya Mandiri

Hari Senin, Rabu, Sabtu 09.00-10.00 Wita

Ampana-Kandala-Lindo-Kambutu-Bambu-dst

Arjuna

Hari Senin, Rabu, Sabtu Hari Selasa, Kamis, Minggu

Sumber : Data Primer (2010)

4.3.2.1 Wisata

Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar di sektor pariwisata,

khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut. Sejak

lebih dari 20 tahun lalu Kepulauan Togean telah didatangi oleh wisatawan

mancanegara, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90-an. Kebanyakan

dari mereka adalah wisatawan lepas (backpacker) yang datang ke Indonesia tanpa

melalui Biro Perjalanan Wisata (BPW), sehingga beberapa investor mulai melirik

Togean sebagai tempat potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata,

terutama penyediaan tempat penginapan dan penyewaan peralatan SCUBA Diving

dan snorkeling.

Page 153: Tojo Una Una

129

Atraksi wisata bahari (snorkeling dan diving) dan menikmati indahnya

pasir putih di Gugus Pulau Batudaka yaitu di Pulau Taufan, Pantai Capatana

(Desa Kulingkinari), Pantai Tipae, Pulau Poya (Desa Bomba), Pulau Tangkubi

dan Pasir putih Lindo (Desa Tumbulawa) serta Pantai Bambu (Desa Bambu), juga

memiliki potensi wisata lainnya seperti tracking dan Pengamatan Burung Allo (bird

watching) di Tumbulawa, air terjun Tanimpo di Desa Una-Una, seni budaya dan

masyarakat adat yang dapat dinikmati di Gugus Pulau Batudaka (Disbudpar

Touna 2006).

Sarana dan prasarana pariwisata di Gugus Pulau Batudaka bertujuan untuk

memberikan pelayanan dalam mendukung sektor perekonomian daerah dan untuk

menarik kunjungan wisata ke daerah-daerah tujuan wisata berupa tersedianya

sarana dan prasarana penunjang pariwisata antara lain akomodasi yang berupa

perhotelan serta aksesibilitas pencapaian menuju tempat wisata. Akomodasi yang

tersedia di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33.

Tabel 33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una

Akomodasi Tahun Berdiri

Lokasi

- Reatreat Cottage’s - Poyalisa Bungalows - Wakai Cottage’s - Wakuna Cottage’s - Penginapan Surya - Penginapan Sederhana - Penginapan Taurus

1990an1990an 1990an 1990 1990 1990 2003

- Pulau Tipae, Desa Bomba 15 kamar - Pulau Poyalisa, Desa Bomba 5 kamar - Desa Wakai 10 kamar - Desa Wakai 10 kamar - Desa Wakai, 5 kamar - Desa Wakai 5 kamar - Desa Wakai, Sempiniti 5 kamar

Sumber : Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una (2006), Data Primer (2010)

Identifikasi Wisatawan. Jumlah responden wisatawan mancanegara

sebanyak 25 orang dan wisatawan domestik 18 orang. Gambaran profil wisatawan

yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33.

Gugus Pulau Batudaka (Wakai, Pulau Poya, Pantai Tipae) merupakan

tujuan utama bagi wisatawan domestik sedangkan bagi wisatawan mancanegara

daerah tersebut bukan sebagai tujuan utama. Kunjungan wisatawan mancanegara

ke daerah ini merupakan persinggahan dari kunjungan utama mereka di kawasan

wisata lain atau juga merupakan bagian dari paket wisata untuk menikmati

seluruh wisata yang ada di Pulau Sulawesi. Adanya kenyataan ini berarti kawasan

Page 154: Tojo Una Una

130

ini merupakan kawasan wisata yang mulai diminati oleh wisatawan mancanegara,

sehingga untuk ke depan perlu adanya peningkatan dalam promosi agar dapat

menjadi tujuan utama dari kunjungan wisatawan yang berkunjung. Tabel 33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka Parameter Wisatawan

Domestik (orang) Wisatawan

Mancanegara (orang) Persentase

Tujuan Wisata -Utama 8 5 18.60 -Persinggahan 10 20 81.40 Tujuan Kunjungan -Berwisata 7 22 64.29 -Penelitian/Pend 8 2 28.57 -Tugas instansi 2 0 4.76 -Lain-lain 1 0 2.38 Frekuensi Kunjungan -Pertama kali 8 17 60.47 -Kedua kali 4 6 23.26 -Ketiga kali 4 2 11.63 -Lebih dari tiga kali 2 0 4.65 Pekerjaan -Pelajar/mhsw 1 4 11.63 -PNS 4 0 9.30 -Swasta 9 14 53.49 -Wiraswasta 4 7 25.58 Sumber Informasi -Biro perjalanan 0 9 20.93 -Media cetak TV/Radio 12 0 27.91 -Teman 4 15 44.19 -Internet 2 1 6.98 Aktivitas Wisata -Menikmati pemandangan alam 9 6 34.88 -Diving 6 10 37.21 -Snorkeling 3 9 27.91

Sumber : Analisis Data (2010)

Sumber informasi wisata ke kawasan ini bagi para wisatawan domestik

umumnya mengetahuinya dari media cetak, TV/Radio, sedangkan bagi wisatawan

mancanegara, umumnya mengetahui dari Teman, biro-biro perjalanan melalui

paket-paket wisata, dan ada juga yang dari internet. Motivasi kunjungan bagi

wisatawan untuk berwisata ke daerah ini yang terutama adalah karena potensi

alamnya (39.53%) serta lingkungan yang sepi dan alami (60.47%), sedangkan

faktor yang paling menarik dari kawasan ini menurut wisatawan adalah karena

alam dan terumbu karangnya (100%). Untuk faktor yang lain seperti masyarakat

dan makanan, menurut wisatawan tidak ada kekhasan tersendiri, jadi serupa

Page 155: Tojo Una Una

131

dengan daerah lain. Sementara fasilitas penginapan justru dirasa kurang memadai

bagi wisatawan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

Persentase jenis pekerjaan wisatawan yang terbesar adalah sebagai

pegawai swasta/wiraswasta, baik pada wisatawan domestik maupun wisatawan

mancanegara. Kondisi ini dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat yang

bermatapencaharian sebagai pegawai swasta/wiraswasta, secara keuangan

memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berwisata di daerah tersebut,

disamping kebutuhan untuk bersantai dari rutinitas pekerjaan yang dijalani.

Aktivitas wisatawan yang terbanyak adalah berperahu, biasanya

wisatawan berperahu untuk menyeberang ke pulau-pulau kecil atau juga untuk

berkeliling menikmati pemandangan di sekitar perairan gugusan pulau-pulau kecil

yang ada di lokasi penelitian (35%), aktivitas menyelam (37%) dan snorkeling

(28%). Aktivitas wisata snorkeling dan diving, secara umum lebih banyak

dilakukan oleh wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Hal

ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah dibutuhkan

ketrampilan khusus untuk melakukan kedua aktivitas wisata tersebut, disamping

itu juga biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Contohnya, untuk melakukan satu

kali dive atau penyelaman selama 45 menit dikenakan biaya sebesar US$ 25 dan

malam hari US$ 31, snorkeling selama 6 jam US$ 20 ke Pulau Taufan, atau ke

Atol Pasir Tengah. Kurangnya permintaan wisatawan ke kawasan ini dapat

disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah kurangnya sarana dan prasarana

wisata, kurangnya promosi dalam menawarkan obyek wisata yang ada di kawasan

ini. Hal ini diungkapkan oleh Douglass (1970) permintaan wisata di alam terbuka

dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, tingkat pendapatan, kondisi

masyarakat, ketersediaan waktu, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang

ditawarkan kepada pengunjung.

4.3.2.2 Perikanan

Sentra perikanan di Gugus Pulau Batudaka terdapat di Wakai.

Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka masih

dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini

kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti

pancing dan jaring. Jumlah alat penangkap ikan pada tahun 2008 yaitu bagan

Page 156: Tojo Una Una

132

sebanyak 48 unit dan pancing sebanyak 807 unit dengan kapal penangkap ikan

berupa perahu motor sebanyak 369 unit dan perahu tidak bermotor 438 unit BPS

(2009). Usaha pengangkapan ikan di lokasi penelitian menggunakan alat tangkap

berikut ini.

(1) Pancing

Alat ini digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan karang khususnya ikan

kerapu dan ikan ekor kuning. Ikan kerapu yang tertangkap berukuran 1-2

ekor/kg dengan harga jual Rp. 25 000/kg. Operasi penangkapan ikan

dilakukan pada siang hari dengan daerah penangkapan (fishing ground)

berjarak 3-4 mil dari pantai dengan hasil yang diperoleh 7-10 ekor/trip.

Nelayan pancing menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang

ada di Gugus Pulau Batudaka sebelum dijual ke pedagang besar di Ampana,

Poso maupun Palu.

(2) Jaring

Alat tangkap ini digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kembung,

tongkol dan cakalang dengan hasil tangkapan 15-30 keranjang/trip, kemudian

dijual seharga Rp. 5 000/ikat untuk pasar lokal (1 ikat 6-8 ekor, tiap keranjang

5-8 ikat). Pengoperasian alat tangkap ini pada siang menjelang malam hari.

Daerah pemasaran umumnya Ampana dan untuk konsumsi lokal.

(3) Bagan

Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil, dengan

operasi penangkapan dilakukan pada malam hari. Hasil tangkapan yang diperoleh

rata-rata 4-7 keranjang/trip. Bagan yang ada di Gugus Pulau Batudaka adalah

bagan dua perahu dengan panjang perahu 4–6 m. Daerah penangkapannya sekitar

3–4 mil dari pemukiman nelayan dan biasanya melakukan penangkapan pada

daerah yang perairannya tenang. Tangkapan semua jenis ikan teri saat turoh

(malam dalam satu bulan di mana bulan tidak muncul di langit/bulan gelap, atau

pada malam tersebut, ikan teri biasanya naik. Nelayan yang beroperasi di Gugus

Pulau Batudaka rata-rata mendapatkan 20–30 kg ikan teri basah dari berbagai

ukuran dalam sekali operasi sepanjang turoh. Hasil itu belum dihitung pendapatan

dari tangkapan ikan jenis lain, seperti temba jawa (Decapterus sp), katombo

(Carangidae) dan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Page 157: Tojo Una Una

133

Beberapa jenis ikan banyak ditangkap di sekitar perairan Gugus Pulau

Batudaka antara lain ikan kakap, cakalang, kerapu sunu, ketombo, layang, lolosi

dan lain-lain. Jenis biota seperti teripang, lobster, dan gurita juga merupakan

obyek penangkapan nelayan-nelayan setempat. Aktivitas perekonomian lainnya

adalah penangkapan ikan pelagis, yang sudah dilakukan dalam 15 tahun terakhir

oleh masyarakat di kawasan ini. Penangkapan ikan pelagis dilakukan dengan

menggunakan rakit yang diikat jangkar dan diletakkan di laut dalam (istilah

daerah “rompong”). Jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan antara lain

tuna, layang dan cakalang.

Nelayan di Gugus Pulau Batudaka berasal dari suku Bajo, Ta’a, Togian,

Bugis, Babongko, Gorontalo, Bare’e dan Saluan. Tingkat pendidikan nelayan

tersebut sebagian besar lulusan SD dengan kemampuan keterampilan sebagai

nelayan diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka atau nelayan lain

yang sudah berpengalaman melakukan penangkapan ikan, yakni menyelam untuk

menangkap ikan karang dan mutiara sampai kedalaman 30 m tanpa alat selam

yang memadai.

Pengembangan usaha budidaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka

masih terbatas dan relatif sedikit penduduk yang memiliki usaha tersebut, yaitu :

(1) Budidaya Karamba Jaring Apung (KJA)

Usaha ini dimiliki sebagian penduduk yang bekerja pada pemilik modal besar

untuk mengembangkan usahanya, usaha ini hanya digunakan untuk

penampungan ikan hidup yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti ikan

kerapu dan ikan napoleon. Setelah ikan terkumpul baru dijual kepada

pengusaha yang melakukan penangkaran lebih besar. Selain itu, ada juga

budidaya ikan kerapu bebek yang semula dilakukan oleh Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Poso di Desa Taningkola. Budidaya kerapu dikelola

dalam bentuk keramba-keramba, perdesa masing-masing memiliki 2 unit

keramba. Pengelolaan budidaya ini dilakukan oleh perorangan dengan hasil

produksi 2 ton per bulan.

(2) Budidaya kerang mutiara

Usaha ini dikembangkan oleh PT. Tamatsu dengan melibatkan beberapa

tenaga kerja lokal. Kegiatan budidaya mutiara berada di perairan yang cukup

Page 158: Tojo Una Una

134

tenang, namun adanya konflik dengan masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa

karena merasa akses terhadap lokasi pemancingan tradisional mereka tertutup

oleh areal budidaya maka usaha ini pindah ke daerah lain.

(3) Budidaya rumput laut

Terdapat di Desa Tumbulawa, Taningkola, Kulingkinari, Wakai dan Desa

Siatu. Budidaya rumput laut di Desa Taningkola memiliki kawasan budidaya

seluas 10 ha dengan hasil produksi ±10 ton pada bulan kering yang dikelola

secara tradisional oleh masyarakat setempat. Di Desa Siatu luas kawasan

budidaya yaitu 2 ha dengan produksi ±2 ha, sedangkan budidaya rumput laut

di Desa Wakai produksinya mencapai 15 ton per bulan dengan luas kawasan

budidaya 20 ha. /

(4) Budidaya Teripang.

Budidaya teripang saat ini terdapat di Desa Bomba, Desa Taningkola dan

Desa Tumbulawa. Pengelolaan budidaya teripang tersebut diusahakan oleh

masyarakat sekitar dengan cara tradisional. Bibit yang digunakan diperoleh

dari alam yaitu sekitar 500 kg/bulan pada masing-masing desa. Pemerintah

memberikan bantuan untuk pengelolaan budidaya teripang semi intensif.

4.3.3 Kelembagaan

4.3.3.1 Pemerintahan

Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten yang baru dimekarkan

dari Kabupaten Poso sesuai Undang-undang No 32 Tahun 2003 pada Tanggal 18

Desember 2003. Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang

(RDTR) Kepulauan Togean 2008-2027 yang dibuat oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Tojo Una-Una dan juga berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah RI

No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una terdiri atas wilayah kepulauan dan

daratan yang terdiri atas 8 kecamatan, 6 kelurahan dan 118 desa (termasuk desa

persiapan). Secara Administratif Kepulauan Togean terdiri dari 4 wilayah

kecamatan, yaitu Una- Una (ibu kota Wakai), Togean (Lebiti) Walea Kepulauan

(Popolii), dan Walea Besar (Pasokan) dengan jumlah desa keseluruhan mencapai

43 desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa. Secara administratif

Kecamatan Una-Una terdiri dari 13 desa definitif. Desa-desa ini tersebar di

Page 159: Tojo Una Una

135

beberapa pulau seperti Batudaka, Una-Una dan Salaka yang semuanya masih

dalam Kepulauan Togean. Masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala

desa yang dibantu oleh seorang sekretaris desa dan beberapa orang perangkat

desa. Pemerintahan Kecamatan Una-Una dipusatkan di Pulau Batudaka yaitu

dengan ibukota kecamatan di Wakai.

4.3.3.2 Kronologi Pembentukan Taman Nasional Kepulauan Togean

Usulan Kepulauan Togean menjadi kawasan konservasi telah dimulai

sejak tahun 1989 ketika Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi

kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 100 000 hektar kawasan laut

Kepulauan Togean ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut. Dokumen lain dari

tahun 1989 sampai 2008 dari berbagai usulan kawasan ini tertera pada Tabel 34.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi

Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan di Kepulauan

Togean dibagi menjadi Hutan Lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi

yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Gubernur

Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 2004 mengusulkan kepada Menteri

Kehutanan untuk penetapan kawasan Kepulauan Togean, seluas 411 373 ha di

Kepulauan Togean Sebagai Taman Wisata Laut, kemudian juga didukung

pernyataan Bupati Tojo Una Una, Sulawesi Tengah 27 Pebruari 2004. Berkaitan

dengan usulan tersebut, tim khusus terdiri gabungan antar instansi yaitu Badan

Planologi Kehutanan (BAPLAN), Puslitbang Kehutanan, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan

Conservation International Indonesia, datang ke Kepulauan Togean untuk

mengadakan peninjauan lapangan dan merekomendasikan Kepulauan Togean

sebagai Taman Nasional Laut.

Pada tanggal 19 Oktober 2004 telah ditetapkan sebagai Taman Nasional

melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004. Pada

tanggal 10 Maret 2008 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun

2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional, Taman Nasional Kepulauan Togean

tidak ada lagi dan arahan kawasan lindung yang tertuang dalam Lampiran PP

tersebut sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka.

Walaupun Kabupaten Tojo Una-Una telah memiliki RTRW Kabupaten dan

Page 160: Tojo Una Una

136

RDTR Kepulauan Togean, sampai saat ini zonasi tata ruang TNKT belum ada,

karena masih adanya konflik antara masyarakat, LSM, TNKT dan Pemerintahan

Daerah Setempat.

Tabel 34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean

TAHUN DASAR KEBIJAKAN STATUS

1989

Surat Gubernur Sulawesi Tengah no. 503/391/DINHUT/89 tanggal 30 Agustus 1989 kepada Menteri Kehutanan RI merekomendasikan kawasan Kepulauan Togean Seluas 100.000 hektar Taman Wisata Laut (TWL)

Taman Wisata Alam Laut (Usulan)

RePPProT mencantumkan Kepulauan Togean sebagai Suaka Margasatwa yang mencakup seluruh kawasan (darat dan laut)

Suaka Margasatwa (Usulan)

1990 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No. 188.14/0840/Dephut/90 tanggal 10 Pebruari 1990 tentang Penunjukkan Sementara Kepulauan Togean seluas 100.000 sebagai Taman Wisata Alam

Taman Wisata Alam Laut (Penunjukkan sementara)

1992 Laporan Kantor Kementerian Negara Kependuduka dan Lingkungan Hidup Tahun 1992 (Country Study on Biological Diversity) yang mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Laut seluas 100.000 hektar.

Cagar Alam Laut (Usulan)

1993 BAPPENAS dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia tahun 1993 mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Multiguna.

Cagar Alam Multiguna (Usulan)

1997 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No. 556/138/DIPARDA/1997 tanggal 18 Marer 1997 tentang Penetapan Obyek/Kawasan Daya Tarik Wisata di Provinsi Sulawesi Tengah, pada salah satu point lampirannya menunjuk Taman Laut Kepulauan Togean sebagai obyek/kawasan daya tarik wisata bahari.

Taman Laut Kepulauan Togean (Penetapan sebagai obyek Wisata Bahari di Sulawesi Tengah)

2003 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI mencanangkan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional

Daerah tujuan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional (Pencanangan)

2004

Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No. 556/38/Dishut/GST tanggal 21 Pebruari 2003 tentang usul penetapan Taman Wisata Laut (TWL) Kepulauan Togean seluas 411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah.

Taman Wisata Laut (usulan)

Surat Bupati Tojo Una-Una No. 558.1/0144/B-TU perihal dukungan atas Usulan Taman Wisata Laut Kepulauan Togean

Taman Wisata Laut (Dukungan pada usulan Gubernur)

Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No. 556/38/DISHUT tanggal 14 Oktober 2004 tentang usulan penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas 411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah.55

Taman Nasional (Perubahan atas usulan Taman Wisata Laut)

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi dan penunjukkan kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat dikonversi, dan wilayah perairan laut Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas + 362.605 ha sebagai Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean.

Taman Nasional Kepulauan Togean (Penunjukkan)

2008* Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 tanggal 10 Maret 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka

Sumber : CII (2006), * PPRI (2008)

Page 161: Tojo Una Una

137

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan

5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka

Identifikasi kesesuaian kegiatan wisata dan perikanan menggunakan

analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Melalui analisis

tersebut (Lampiran 2) diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran

setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap

memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan,

salinitas, suhu, pH, dan DO yaitu diperoleh ragam sumbu utama hingga kedua

mencapai 77.18%. Hal ini berarti 77.18% dari data hasil analisis dapat

diterangkan hingga sumbu kedua dan memiliki akar ciri (eigenvalue) secara

berurutan adalah 2.8002, dan 1.0587 (Tabel 35).

Tabel 35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk pengamatan di 15 Stasiun Biofisik

Hasil analisis kontribusi variabel diperoleh total ragam sebesar 77% pada

dua sumbu utama yaitu sumbu 1 dan sumbu 2, dengan ragam masing-masing

sebesar 56%, dan 21% (Gambar 30). Korelasi antara variabel dengan sumbu

utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau

representasi dari variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh

dekatnya variabel tersebut terhadap sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan

sumbu utama semakin besar pula korelasi dan interpretasi dari setiap variabel

tersebut dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama. Pada sumbu 1

memperlihatkan adanya korelasi kuat positif terhadap variabel suhu, pH, dan dan

DO, sedangkan variabel kecerahan, salinitas berkorelasi negatif terhadap sumbu

utama. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ke-15 stasiun pengamatan

dapat tertera pada Tabel 36.

Eigenvalues Komponen Utama

Sumbu 1 Sumbu 2Nilai Eigen (akar ciri) 2.8002 1.0587Ragam 0.5600 0.2117Kumulatif 0.5600 0.7718

Page 162: Tojo Una Una

138

(a)

(b) Gambar 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama

(b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama .

Kecerahan

S

T

pH

DO

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5

--ax

is 2

(2

1% )

-->

-- axis 1 (56% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 2 (77% )

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Kecerahan

S

T

pH

DO

‐2

‐1,5

‐1

‐0,5

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

‐4 ‐2 0 2 4

‐‐axe 2 (21% ) ‐‐>

‐‐ axe 1 (56% ) ‐‐>

Biplot on axes 1 and 2 (77% )

Page 163: Tojo Una Una

139

Tabel 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan Gugus Pulau Batudaka

Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i Kecerahan -0.6931 0.6016Salinitas -0.7229 -0.4572Temperatur (suhu) 0.8657 0.1371pH 0.7130 0.4689DO 0.7346 -0.4990

Tabel 36 memperlihatkan bahwa suhu, pH dan DO berkorelasi positif

dengan faktor utama (karakteristik lingkungan perairan) dan berkurangnya

kecerahan (69.31%) dan salinitas (72.29%) akan mempengaruhi kualitas perairan

bagi kegiatan wisata dan perikanan di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Hasil

analisis ini menunjukkan basis faktor karakteristik lingkungan perairan yang

mempengaruhi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan

perikanan.

Hasil pengukuran kualitas air pada 15 stasiun pengamatan, menunjukkan

bahwa tingkat kecerahan berfluktuatif berkisar 2.04-16.05m, salinitas berkisar

33.88-31.38 ppt, suhu antara 30.49-31.26ºC, pH berada pada kisaran 7.51-7.70,

dan pada oksigen terlarut berkisar 6.82-7.31 ppm. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tinggi pada stasiun 4, 6, 7 dan 15. Ini

disebabkan substratnya umumnya berpasir sehingga padatan terlarut dan

tersuspensi mudah mengendap, Tingginya tingkat salinitas pada 15 stasiun ini

disebabkan lokasi penelitian umumnya hanya memiliki sungai-sungai dengan

debit air yang kecil dan curah hujan yang minimal sehingga kurang pengenceran

air laut dan terjadi penguapan yang tinggi. Suhu dan pH tidak berfluktuasi

disebabkan pada umumnya perairan ini memiliki intensitas cahaya matahari yang

tinggi, dengan laut yang rata-rata dalam maka hanya lapisan permukaan saja yang

lebih banyak terkena sinar matahari. Oksigen terlarut menunjukkan nilai yang

relatif hampir sama dan dalam kisaran yang layak. Secara keseluruhan

menunjukkan kisaran parameter kualitas air pada lokasi penelitian adalah optimal.

Variabel suhu dengan salinitas dan kecerahan memiliki korelasi negatif,

hal ini disebabkan kenaikan salinitas perairan tidak mempengaruhi suhu perairan.

Pada lokasi penelitian rata-rata nilai suhu tertinggi 31oC terdapat pada Stasiun

Page 164: Tojo Una Una

140

1-6, 9-13 dan 15, sedangkan terendah 30oC terletak pada Stasiun 7, 8 dan 14.

Kecenderungan lokasi yang memiliki suhu yang lebih tinggi disebabkan kondisi

cuaca pada saat pengukuran lebih terik dan sebaliknya pada lokasi dengan

kecenderungan nilai suhu yang rendah. Kondisi cuaca pada daerah Gugus Pulau

Batudaka sangat fluktuatif, khususnya pada saat memasuki musim pancaroba.

Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan bahwa perubahan suhu perairan

dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau iklim, sedangkan perubahan salinitas

dipengaruhi oleh angin muson yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hasil

identifikasi komponen utama untuk kegiatan wisata, penangkapan ikan karang,

dan budidaya rumput laut di kawasan ini diperoleh bahwa daerah bagian Utara,

Barat dan Selatan Pulau Batudaka lebih dicirikan dengan salinitas yang lebih

tinggi, bagian terlindungi pulau lain dicirikan salinitas yang rendah, dan parameter

fisik-kimia lainnya (pH, oksigen terlarut, suhu dan kecerahan) tidak menjadi

faktor pembatas tersebut, kecuali kegiatan perikanan dimana variabel kecerahan

dan suhu dipengaruhi oleh cuaca dapat mempengaruhi budidaya tersebut terutama

pada musim hujan. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan

untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu

dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak

langsung yakni dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat

mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Di Indonesia, suhu

udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28.2-34.60C dan

pada malam hari suhu berkisar antara 12.8-30.00C. Keadaan suhu tersebut

tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya

beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara di sekitarnya. Secara umum,

suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya

perikanan (Cholik et al, 2005).

Kisaran nilai rata-rata salinitas tertinggi 32-34 ppm terdapat pada Stasiun

2, 4, 7, 8, 9, 14 dan 15, sebaliknya kisaran nilai terendah 29-31 ppm terdapat di

Stasiun 1, 3, 5, 6, 10, 11, 12 dan 13. Daerah dengan kisaran salinitas yang tinggi

umumnya terdapat pada daerah yang terletak jauh dari daratan induk dan berada

pada daerah yang tidak terlindung dari pengaruh gelombang dan arus yang masuk

Page 165: Tojo Una Una

141

ke Teluk Tomini, sebaliknya kisaran salinitas yang rendah cenderung lebih dekat

dengan daratan Pulau Batudaka. Hal ini disebabkan daerah tersebut masih

mendapat pengaruh dari aliran Sungai Taningkola dan Sungai Malintang terutama

pada musim hujan, serta lokasi tersebut lebih terlindung dengan adanya pulau

sebagai penghalang (khususnya stasiun 10, 11 dan 12).

Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses

respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi

pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1% dari seluruh intensitas

cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi

sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi

secara harian dan musiman (Effendie 2003). Kecerahan merupakan ukuran

transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi

disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi

oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta

ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan

sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendie 2003). Untuk budidaya

perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KMLH 2004). 5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil

Analisis kesesuaian lahan diarahkan pada peruntukan kawasan wisata

bahari (selam dan snorkeling), perikanan tangkap yang dominan (ikan karang),

pengembangan budidaya rumput laut. Selain karakteristik lingkungan perairan

(suhu, pH, DO, kecerahan, salinitas) juga kedalaman, arus, kemiringan pantai dan

substrak dasar perairan menjadi pembatas dalam penentuan kesesuaian

berdasarkan matrik kesesuaian kegiatan wisata-perikanan di Gugus Pulau

Batudaka. 5.1.2.1 Wisata Selam

Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi

Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis

kesesuaian lokasi untuk wisata selam berdasarkan pengamatan pada empat titik

waktu (Gambar 31) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat

(Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus

Page 166: Tojo Una Una

142

Gambar 31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu

Page 167: Tojo Una Una

143

2009). Hasil overlay tersebut diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau

Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk wisata selam, yaitu dari total luas

sebesar 61 038 ha, maka 62-78 ha (sekitar 0.11%) digolongkan sangat sesuai, 893-

927 ha (1.49%) dikategorikan sesuai, dan 60 047-60 067 ha (98.39%)

dikategorikan tidak sesuai (Tabel 37). Rendahnya luasan kategori kelas sesuai

(S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori

tersebut. Pembatas ini terutama adalah kecepatan arus yang memenuhi syarat

wisata selam di perairan kawasan ini sehingga memberikan luasan yang berbeda

tiap musimnya. Tabel 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam

Bulan Luasan (ha)

Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Oktober 63 927 60 048 Desember 63 916 60 059 Mei 77 894 60 067 Agustus 78 911 60 049

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal pemanfaatan wisata selam menghasilkan luasan dengan

kategori sesuai yang tidak jauh berbeda selama setahun. Hal ini berarti kawasan

Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata selam dapat dilakukan sepanjang

tahun. Hasil analisis spasial (Gambar 32) diperoleh ruang yang sesuai untuk

wisata selam, dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecerahan cukup

optimal yaitu lebih dari 10 m. Tutupan komunitas karang diatas 75%, life form

lebih dari 12 jenis ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus

yaitu berkisar antara 0–15 cm/dtk dan kedalaman cukup memadai yakni berkisar

yakni berkisar 6–15 m. Lokasi penyelaman dengan kategori baik di Barrier Reef

(Barat P. Batudaka), moderat antara lain di Atol Pasir Tengah, Goa-Goa, Taufan,

Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan kategori jelek di Donut Reef/ Sebelah selatan

Selat Batudaka (Yusuf dan Allen 2001). Secara rinci kondisi karakteristik spot

penyelaman tersebut tertera pada Lampiran 3.

Page 168: Tojo Una Una

144

Gambar 32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka

Page 169: Tojo Una Una

145

5.1.2.2 Wisata Snorkeling

Hasil overlay untuk wisata snorkeling berdasarkan pengamatan pada

empat titik waktu (Gambar 33) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),

musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim

timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan berdasarkan kesesuaian

lokasi untuk Wisata tersebut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 73-627

ha (sekitar 0.42%) digolongkan sangat sesuai, 983-1516 ha (2.22%) sesuai, dan 59

384-59 479 ha (97.36%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 38). Rendahnya luasan

kategori kelas sangat sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak

memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor

kondisi kedalaman yang memenuhi syarat wisata snorkeling, lebar hamparan datar

dan kondisi terumbu karang, di perairan Gugus Pulau Batudaka. Tabel 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling

Bulan Luasan (ha)

Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai Oktober 627 983 59 427 Desember 180 1 448 59 409 Mei 74 1 485 59 479 Agustus 137 1 516 59 385 Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal terhadap kegiatan wisata snorkeling menunjukkan

bahwa luasan dengan kategori sesuai pada musim peralihan timur (Bulan Mei)

paling rendah dibandingkan musim lainnya dan cenderung mulai musim barat

sampai musim timur (Nopember-Agustus) luasannya lebih rendah dibanding

musim peralihan barat (September-Oktober). Rendahnya luasan kategori sesuai

pada Bulan Mei, selain dipengaruhi oleh arus, yakni arus pada kedalaman 5 m

pada bulan Mei (Stasiun 6, 8 dan 10) sebesar 0.53-0.76 m/detik, ditunjang dengan

curah hujan yang tinggi pada bulan April-Mei (BPS 2009). Hal ini berarti perlu

pengaturan jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling untuk

kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata tersebut, disamping

alternatif lain yang dapat ditawarkan yakni menikmati atraksi-atraksi lain seperti

rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat

burung khas Sulawesi.

Page 170: Tojo Una Una

146

Gambar 33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu

Page 171: Tojo Una Una

147

Hasil analisis spasial diperoleh ruang yang sesuai untuk snorkeling,

dicirikan dengan kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m, tutupan

komunitas karang di atas 75%, life form lebih dari 12 jenis, ikan karang lebih dari

100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0-15 cm/dtk,

kedalaman cukup memadai yaitu berkisar antara 0-5 m dan lebar hamparan datar

karang diatas 500 m. Luasan yang berbeda untuk kegiatan snorkeling kategori

sesuai pada masing-masing musim sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus yaitu

pada musim timur sampai musim barat memiliki arus yang cukup kuat. Pola arus

di perairan Gugus Pulau Batudaka selain dipengaruhi oleh pasut, juga dipengaruhi

oleh arus utama di perairan Teluk Tomini. Pada musim timur, arus permukaan

datang dari arah timur/tenggara (laut Seram) mengalir ke arah barat (bagian

dalam teluk), sebaliknya pada musim barat, dari barat ke timur. Hasil

pengukuran kecepatan arus permukaan pada stasiun biofisik di Gugus Pulau

Batudaka sebesar 0-0.3 m/detik. Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung

bergerak ke arah Barat Daya dengan kisaran sudut 85o-350o. Arus ini bergerak

dengan kecepatan rata-rata 0.654 m/detik (Bapedda Touna 2007). Menurut Wong

(1991) parameter arus dalam kegiatan wisata bahari sangat penting karena

pergerakan air laut secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan

bagi penyelam dan perenang.

Kecerahan perairan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam

kegiatan wisata snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan

yang tinggi untuk melihat keindahan bawah laut sehingga semakin cerah suatu

perairan maka keindahan yang dapat dinikmati wisatawan juga akan semakin

tinggi. Persentase penutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang,

kedalaman dan lebar hamparan dasar karang juga menjadi hal penting karena

merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Secara umum, kondisi karang,

ikan laut hias di dasar laut sangat indah dan masih alami, hanya beberapa lokasi

(seperti di Sebelah Timur P. Taufan) yang karangnya rusak akibat pengeboman

oleh manusia. Kesesuaian kawasan untuk kegiatan snorkeling terdapat hampir di

semua pesisir Pulau Batudaka (Gambar 34) dan sebaran kondisi penutupan

terumbu karang tertera pada Gambar 35.

Page 172: Tojo Una Una

148

Gambar 34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka

Page 173: Tojo Una Una

149

Gambar 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka

Lokasi Snorkeling dengan kategori sangat baik di Barrier Reef (Barat P.

Batudaka), P. Tambangoni, Taufan Selatan, kategori baik pada Taufan Barat,

Taufan Timut, Atoll Pasir Tengah, Atoll Goa-Goa, Karangan Barat, Karangan

Timur, kategori sedang antara lain di P. Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan

Donut Reef (sebelah timur P. Batudaka).

5.1.2.3 Kesesuaian Penangkapan Ikan Karang

Hasil overlay untuk penangkapan ikan karang yang tertangkap di Gugus

Pulau Batudaka sama berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu yakni

peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan

musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Kesesuaian lokasi

untuk penangkapan ikan karang di wilayah Gugus Pulau Batudaka dari total luas

perairan sebesar 61 038 ha, maka 407 ha (sekitar 0.67%) digolongkan sangat

-

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Per

sen

tase

Tu

tup

an

Stasiun

HC

SC

SP

R

DC

S

Page 174: Tojo Una Una

150

sesuai, 40 493 ha (66.34%) dikategorikan sesuai, dan 20 138 ha (32.99%)

dikategorikan tidak sesuai (Tabel 39). Tabel 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang No. Kelas Kesesuaian Luas (ha)

1 Sangat Sesuai 407 2 Sesuai 40 493 3 Tidak Sesuai 20 138 Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal terhadap penangkapan ikan karang menunjukkan tidak

ada perbedaan waktu untuk kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat melakukan

penangkapan sepanjang tahun (Gambar 36). Luasan kategori kelas sangat sesuai

(S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai

kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman >5 m,

topografi dasar perairan landai, kecerahan perairan >10 m, Jarang terjadi

perubahan cuaca, kondisi terumbu karang baik, tidak ada pencemaran dan

kelimpakan ikan target >200 individu/350 m2. Lokasi penangkapan ikan karang

dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka.

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di suatu wilayah pesisir

dan termasuk ekosistem dominan yang terdapat sebuah pulau kecil. Semakin

rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak

kemerosotan terhadap produksi ikan karang. Keberadaan ekosistem terumbu

karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya

adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan bagi

nelayan. Penurunan nilai tutupan karang menyebabkan suatu pengurangan yang

drastis pada ikan karang yaitu menurunkan keanekaragaman ikan sekitar 15%

baik di area tertutup maupun terbuka bagi penangkapan ikan (open to fishing)

sehingga diindikasikan bahwa terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan

persentasi tutupan karang yang menjamin keberadaan ikan karang dan mendukung

keanekaragaman ikan karang (Jones et al. 2004).

Page 175: Tojo Una Una

151

Gambar 36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka

Page 176: Tojo Una Una

152

5.1.2.4 Kesesuaian Budidaya Rumput Laut

Hasil overlay untuk budidaya rumput laut berdasarkan pengamatan pada

empat titik waktu (Gambar 37) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),

musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim

timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau Batudaka

berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas

sebesar 61 038 ha, maka tidak ada ruang yang digolongkan sangat sesuai (0%), 9

537-16 013 ha (9.42%) dikategorikan sesuai, dan 45 024-51 500 ha (90.58%)

dikategorikan tidak sesuai (Tabel 40). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1)

dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori

tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman 3-15 m, arus 21-30

cm/detik, rumput laut dapat hidup baik pada dasar perairan yang stabil yang terdiri

dari potongan karang mati bercampur dengan pasir karang, kecerahan 80-100%,

suhu perairan berkisar 28-300C, salinitas 30-32 ‰ dan pH 8.2-8.7.

Tabel 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut

Bulan Luasan (ha)

Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai Oktober - 7 499 53 538 Desember - 4 513 56 524 Mei - - 61 038 Agustus - 5 242 55 796 Sumber : Analisis Data (2010) Analisis temporal untuk kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut

menunjukkan kawasan Gugus Pulau Batudaka tidak ada yang sangat sesuai untuk

kegiatan ini, namun kegiatan budidaya rumput laut dapat dilakukan mulai musim

timur sampai musim barat, pada peralihan musim timur (Maret-Mei) dapat

melakukan penanaman rumput laut untuk bibit saja. Budidaya rumput laut tidak

dilakukan jika kondisi cuaca dan lingkungan yang tidak mendukung misalnya

pada musim barat di mana curah hujan tinggi dan angin yang bergerak kencang

sehingga mengakibatkan gelombang yang tinggi. Gelombang yang tinggi akan

menyebabkan tempat budidaya rumput laut menjadi tidak aman karena tali-tali

pengikat rumput laut putus dan thallus rumput laut patah .

Iklim di kawasan ini dipengaruhi oleh musim (Barat, Timur dan peralihan

kedua musim tersebut), yakni perubahan cuaca setiap tahunnya yang dipengaruhi

Page 177: Tojo Una Una

153

Gambar 37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu

Page 178: Tojo Una Una

154

oleh angin. Pada musim angin, menyebabkan gelombang besar sehingga

membantasi pergerakan masyarakat dalam beraktivitas. Kondisi arus yang cukup

kuat kurang menguntungkan secara teknis bagi kegiatan budidaya rumput laut.

Kemiringan pantai dari sisi Timur-Selatan Pulau Batudaka lebih curam

dibandingkan dengan bagian utara pulau tersebut bagian barat dimana tidak ada

pulau-pulau penghalang. Hal ini mempengaruhi besarnya arus dan gelombang

yang masuk ke Teluk Tomini, yang penting dalam menentukan zona kesesuaian

untuk rumput laut. Lokasi budidaya rumput laut harus terlindung dari arus

(pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat, apabila hal ini terjadi

maka arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman ini. Lokasi

budidaya rumput laut dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi

Gugus Pulau Batudaka. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan

berhasil tidaknya suatu usaha budidaya, yakni yang sesuai dengan ekobiologi

(persyaratan tumbuh) rumput laut.

Kawasan sesuai (S2) dapat dilakukan kegiatan budidaya rumput laut di

kawasan ini dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang cukup berarti

untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara berkelanjutan. Faktor

pembatas tersebut adalah : (i) lokasi pada perairan dengan kondisi pergerakan arus

dan gelombang pada musim tertentu (barat, timur maupun peralihan kedua musim

tersebut) bersifat ekstrim, sehingga pada peralihan musim timur tidak dapat

dilakukan usaha budidaya tersebut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak cukup

mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat, (iii)

lokasi yang cukup jauh dari pemukiman, sehingga memerlukan tambahan biaya

untuk pengangkutan.

Faktor ekologi lainnya yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut,

adalah: (1) Kedalaman air, pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air

minimal 50 cm, supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena

sinar matahari secara langsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi; (2) Salinitas

perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34‰ dengan nilai optimum 32‰ untuk itu

Page 179: Tojo Una Una

155

Gambar 38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka

Page 180: Tojo Una Una

156

hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika 1985); rumput laut dapat

mentolerir salinitas antara 25.5-34.5 ‰ (De Castro dan Guanzon, 1993); (3) Suhu

air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30°C (Zatnika 1985); (4)

Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1.5 m (Zatnika 1985); (7)

Keasaman (pH), Kisaran pH antara 7-9; (6) Aman dari predator dan competitor,

lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput laut,

seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya, sehingga kerusakan tanaman

dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya pemeliharaan dan

perlindungan terhadap hama tanaman; dan (7) Untuk keamanan dan keberlanjutan

budidaya maka lokasi yang dipilih bukan merupakan tempat yang menjadi jalur

pelayaran (Anggadiredja 2006).

Lokasi budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka (Gambar 38)

berdasarkan empat waktu (musim barat, peralihan timur, timur dan peralihan

barat) dengan kategori sesuai bersyarat, sehingga dalam pengusahaan budidaya

rumput laut harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

rumput laut dan pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan lainnya agar usaha ini

berhasil. Namun demikian, pembatas utama dalam usaha rumput laut di Gugus

Pulau Batudaka adalah kecepatan arus. Rumput laut membutuhkan kecepatan

arus yang tinggi (20-30 cm/detik), sedangkan kecepatan arus aktual di kawasan ini

sebesar 0-30 cm/detik sehingga mempengaruhi lokasi yang sesuai untuk kegiatan

tersebut.

5.1.2.5 Kawasan Wisata

Hasil overlay kegiatan wisata (selam dan snorkling) di Gugus Pulau

Batudaka tertera pada Tabel 41 dan Gambar 39. Tabel 41 Luasan untuk kegiatan wisata

No Kegiatan Wisata Luas (ha)

1 Selam 539 2 Snorkeling 3 892 3 Selam-Snorkeling 688 Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan wisata snorkeling

menempati ruang yang lebih besar dibanding selam dan sekitar 688 ha yang dapat

Page 181: Tojo Una Una

157

dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut sangat

dipengaruhi kondisi sumberdaya alam terutama tutupan karang, jenis life form

karang, jenis ikan karang dan parameter fisik seperti kecerahan, kedalaman,

kecepatan arus.

Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan wisata di Gugus pulau

Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan

kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata. Hal

yang perlu dilakukan adalah meningkatkan atraksi yang ditawarkan pada

wisatawan seperti menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur,

olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi. 5.1.2.6 Kawasan Perikanan

Hasil overlay kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya

rumput laut) untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 42 dan Gambar 40.

Tabel 42 Luasan untuk kegiatan perikanan

No Kegiatan Perikanan Luas (ha)

1 Penangkapan ikan karang 3209 2 Budidaya rumput laut 38 3 Penangkapan ikan karang-Budidaya rumput laut 2824 Sumber : Analisis Data (2010) Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan penangkapan ikan

karang menempati ruang yang lebih besar dibanding rumput laut dan sekitar 2 824

ha yang dapat dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut

sangat dipengaruhi kondisi terumbu karang, kelimpahan ikan target, pencemaran

dan parameter fisik lainnya. Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan

penangkapan ikan karang di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang

tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan

keamanan dalam kegiatan penangkapan. Pada musim peralihan timur tidak

direkomendasian untuk melakukan kegiatan produksi budidaya rumput laut

mengingat besarnya faktor pembatas dalam usaha tersebut.

Page 182: Tojo Una Una

158

Gambar 39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau Batudaka

Page 183: Tojo Una Una

159

Gambar 40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka

Page 184: Tojo Una Una

160

5.1.2.7 Kawasan Wisata-Perikanan

Hasil overlay kegiatan wisata-perikanan untuk Gugus Pulau Batudaka

tertera pada Tabel 43 dan Gambar 41.

Tabel 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan

No Kegiatan Luas (ha)

1 Selam 30 2 Snorkeling 196 3 Wisata-ikan karang 688 4 Ikan karang 2 021 5 Rumput laut 38 6 Perikanan (ikan karang-rumput laut) 2 173 7 Selam-ikan karang 509 8 Snorkeling ikan karang 753 9 Snorkeling-rumput laut 2 10 Snorkeling-perikanan 2 942 Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial seperti tabel diatas, terlihat bahwa pemanfataan ruang

bersama untuk kegiatan wisata-perikanan terutama untuk selam-snorkeling-

penangkapan ikan karang. Hal tersebut karena ketiga kegiatan tersebut

memanfaatkan ekosistem terumbu karang yang ada di Gugus Pulau Batudaka.

Pemanfaatan ruang tersebut sangat penting berkaitan dengan penataan lokasi

pemanfaatan kawasan berdasarkan daya dukung dan kapasitas kawasan sehingga

diharapkan kegiatan yang ada baik wisata dan perikanan dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka

Gugus Pulau Batudaka masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan

Togean (TNKT) dan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-

II/2006 disebutkan bahwa zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan

taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat, terdiri atas : Zona Inti, Zona Rimba, Zona

Perlindungan Bahari untuk wilayah perairan; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara

lain : Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, Zona Religi, budaya dan sejarah serta

Zona Khusus.

Page 185: Tojo Una Una

161

Gambar 41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka

Page 186: Tojo Una Una

162

Arahan zonasi kawasan konservasi Gugus Pulau Batudaka yang terdapat

dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna

2007 (Gambar 42) dan secara rinci untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada

Gambar 43 dengan peruntukkan zonasi tersebut, meliputi :

a Zona Inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas

beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber

plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang

budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 489 ha di daratan dan 639 ha di

perairan laut.

b Zona Rimba dan Perlindungan Bahari untuk kegiatan pengawetan dan

pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan

penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan

menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Luasan Zona Rimba sebesar

6 900 ha dan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8 679 ha

c Zona Pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa

lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang

pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar

177 ha di daratan dan 1 074 ha di perairan laut.

d Zona Tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh

masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Zona ini memiliki luas sebesar 15 558

ha di daratan dan 4 058 ha di perairan laut.

e Zona Rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak

menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona ini memiliki

luas sebesar 637 ha di daratan dan 4 454 ha di perairan laut.

f Zona Khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal

di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan

sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari

berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona ini

memiliki luas sebesar 370 ha (Tabel 44).

Page 187: Tojo Una Una

163

Tabel 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean Tahun 2007

Zona Luasan (ha) Luasan di Darat

(ha) Luasan di Perairan

(ha) Zona Inti 1 128 489 639 Zona Khusus 370 370 0 Zona Pemanfaatan 1 251 177 1 074Zona Perlindungan Bahari 8 679 0 8 679 Zona Rehabilitasi 5 091 637 4 454 Zona Rimba 6 900 6 830 70Zona Tradisional 19 616 15 558 4 058

Total 43 036 24 061 18 975 Sumber : Analisis Data (2010) Pengelolaan zonasi dilakukan dengan memperhatikan berbagai

pemanfaatan berdasarkan tujuan dan sasaran perlindungan seperti yang

dirumuskan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Togean/RDTRKP

Tahun 2007 yakni kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dikembangkan di

kawasan tersebut. Berdasarkan analiss kesesuaian pemanfaatan spasial di Gugus

Pulau Batudaka maka dilakukan rezonasi pemanfaatan wisata dan perikanan

(overlay pemanfatan wisata (Selam dan Snorkeling), kegiatan perikanan

(penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut), wisata-perikanan dengan

rencana zonasi RDTRKP) tertera pada Tabel 45 dan Gambar 44-46. Tabel 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean

No Zona Luas (ha)

Kesesuaian Wisata

Luas (ha)

Kesesuaian Perikanan

Luas (ha)

1 Zona Inti 639 - - - -- - - - - - - -

2 Zona Pemanfaatan

1 051

Selam 0.2 Ikan Karang 855.7Snorkeling 20.4 Rumput Laut 0.0 Selam-Snorkeling 2.0 I Karang-Rumput L 44.7

3 Zona Perlindungan Bahari 8 679

Selam - Ikan Karang - Snorkeling - Rumput Laut - Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L -

4 Zona Rehabilitasi

4 454

Selam - Ikan Karang - Snorkeling - Rumput Laut - Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L -

5 Zona Tradisional

4 058

Selam - Ikan Karang 758.1 Snorkeling - Rumput Laut 0.0 Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L 862.4

Kesesuaian Pemanfaatan

Selam 102.5 Ikan Karang 460.2 Snorkeling 276.0 Rumput Laut 19.0 Selam-Snorkeling 91.3 I Karang-Rumput L -

Total 18 881 492.5 3,000.3 Sumber : Analisis Data (2010)

Page 188: Tojo Una Una

164

Gambar 42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean 2007)

Page 189: Tojo Una Una

165

Gambar 43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean

Page 190: Tojo Una Una

166

Zona inti Gugus Pulau Batudaka untuk perairannya seluas 639 ha dengan

kegiatan yang boleh dilakukan di dalam Zona Inti hanyalah kegiatan penelitian,

pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya

(Peraturan Menteri Kehutanan No. P 56/Menhut-II /2006). Berdasarkan PP

No.60/Tahun 2007) untuk mencegah kehilangan sumberdaya laut yang lebih

parah, maka ditempuh upaya perlindungan (konservasi) yaitu dengan menyisihkan

lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis hewan maupun

tumbuhan, keunikan dan gejala alam, beserta ekosistemnya menjadi beberapa

zona antara lain zona inti (daerah larang ambil), yakni zona dengan lokasi tersebut

tidak dapat lagi dimanfaatkan secara umum, karena zona ini menjadi lokasi

ekologis yang mensuplai energi dan plasma nutfah ke wilayah sekitarnya. Upaya

ini selain melindungi sumberdaya yang masih tersisa, juga memberikan

kesempatan bagi ekosistem untuk pulih dari kerusakan.

Luasan Zona Pemanfaatan sebesar 1 051 ha dengan kegiatan wisata seluas

22.6 ha (2.15% Zona Pemanfaatan) dan kegiatan perikanan seluas 900.4 ha

(85.67% Zona Pemanfaatan). Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini yakni

pengusahaan pariwisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan,

penelitian, pendidikan, wisata alam dan kegiatan dengan memanfaatkan zona ini

secara optimal dengan cara-cara yang legal, misalnya untuk kegiatan budidaya

laut, kegiatan penangkapan ikan, dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan.

Luasan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8679 ha. Kegiatan yang dapat

dilakukan yaitu pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan

penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas. Luasan Zona Rehabilitasi

sebesar 4 454 ha. Zona ini berfungsi untuk mengembalikan ekosistem kawasan

yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Alokasi

penentuan Zona Rehabilitasi selain mempertimbangkan ekosistem yang

direhabilitasi, juga melibatkan partisipasi masyarakat.

Luasan Zona Tradisional sebesar 4 058 ha yang sesuai dengan kegiatan

perikanan seluas 1 621 ha (39.93% Zona Tradisional). Kegiatan pemanfaatan

potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan

yang berlaku. Hasil overlay kesesuaian pemanfaatan wisata-perikanan dengan

zonasi RDTR Kepulauan Togean untuk kegiatan perikanan (penangkapan ikan

Page 191: Tojo Una Una

167

Gambar 44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka

Page 192: Tojo Una Una

168

karang dan budidaya rumput laut) mempunyai proporsi paling besar dibanding wisata

dalam pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 46 dan Gambar 48).

Tabel 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean Zona Luasan Zona (%) Wisata (%) Perikanan (%) Inti 100.00 0 0 Pemanfaatan 12.18 2.15 85.67 Perlindungan Bahari 100.00 0 0 Rehabilitasi 100.00 0 0 Tradisional 60.07 0 39.93 Sumber : Analisis Data (2011)

Rencana zonasi RDTRKP kurang tersosialisasi dengan baik, sehingga umumnya

masyarakat Gugus Pulau Batudaka tidak mengetahui adanya pembagian zona-zona tersebut

khususnya di kawasan perairannya. Bedasarkan hasil analisis diatas, zonasi dalam

RDTRKP perlu dilakukan kajian ulang, khususnya untuk zona rehabilitasi sesuai fungsinya

untuk mengembalikan fungsi ekosistem secara alami, namun sebagian besar merupakan

wilayah yang dekat pemukiman, alur pelayaran, daerah penangkapan tradisional, dan

dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Arahan Rencana pengelolaan zonasi wilayah pesisir

Kepulauan Togean mencakup tahapan kebijakan pengaturan (Bappeda Touna 2007)

sebagai berikut :

1 Pemanfaatan dan pengusahaan zonasi wilayah perairan pesisir dilaksanakan melalui

pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin

pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan

masing-masing instansi terkait.

2 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau

zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

3 Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan,

pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat,

kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan ekologi,

keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau

Page 193: Tojo Una Una

169

Gambar 45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka

Page 194: Tojo Una Una

170

induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga zonasi ini dapat

diakomodir pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una.

Terumbu karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan dalam melakukan

aktivitas wisata bahari, terutama menyelam dan snorkeling, serta merupakan lokasi

penangkapan ikan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan analisis kesesuaian maupun

secara aktual, kegiatan wisata dan perikanan maka harus menjadi perhatian dalam

rangka pengelolaaan zonasi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. Melalui peta hasil

zonasi ini dapat diperkirakan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan pada zona-zona

tersebut terutama dalam rangka mengembangkan wilayah Gugus Pulau Batudaka.

Pemanfaatan yang ada saat ini belum mengakomodasi bentuk pengendalian

pemanfaatan ruang sesuai zonasi, yakni pada zona-zona yang seharusnya membutuhkan

pengendalian justru dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, perikanan, dan beberapa areal

mangrove yang terkonversi menjadi pemukiman, dan tambak. Hal tersebut sangat

berbahaya untuk waktu mendatang apabila tidak segera dilakukan pengendalian

pemanfaatan ruang terutama untuk zona-zona yang seharusnya menjadi daerah

konservasi/ perlindungan laut. Jika merujuk pada hasil analisis, perlu dilakukan upaya

pengendalian pemanfaatan ruang sehingga bahaya yang mungkin terjadi di waktu yang

akan datang dapat diatasi sedini mungkin. Selanjutnya untuk lebih memperdalam materi

zonasi perlu dilakukan konsultasi publik, yakni masyarakat berperan dalam melakukan

evaluasi terhadap hasil zonasi dari analisis yang telah dilakukan pada daerah yang

bermasalah dengan pemanfaatan ruang pesisir PPK.

Penggunaan ruang/wilayah yang multiuse menimbulkan kompetisi, konflik, dan

perbedaan kepentingan, sehingga dengan penzonasian yang berfungsi untuk

menclusterkan kegiatan yang sesuai dan memisahkan yang tidak sesuai. Pengalokasian

ruang laut belum menjadi kebijakan dalam perencanaan pembangunan, dan penzonaan

ini didasarkan aktivitas dan fungsi-fungsinya. Pemanfaatan yang direkomendasikan oleh

RDTR Kepulauan Togean kurang memperhatikan kesesuaian lahan dalam pemanfaatan

ruang wilayah pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Dengan melihat hasil komparasi ini

sebaiknya perlu dilakukan revisi RDTR Kepulauan Togean dengan beberapa

pertimbangan terutama terkait dengan perlindungan dan daya dukung lingkungan di

pesisir Gugus Pulau Batudaka.

Page 195: Tojo Una Una

171

Gambar 46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka

Page 196: Tojo Una Una

172

5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil

Analisis daya dukung ini menggunakan Ecological Footprint Analysis,

ditujukan untuk pengembangan wisata dan perikanan dengan memanfaatkan

sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Batudaka secara lestari berdasarkan luas

total kawasan yang sesuai untuk kegiatan tersebut. Analisis Tapak Ekologis

merupakan konsep untuk mencermati pengaruh (impact) manusia terhadap cadangan

kekayaan dan kemampuan dukung bumi (terutama SDA yang terbarukan) yang masih

tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya

(Wackernagel 2001). Biocapaciy/BC digunakan untuk melihat seberapa besar

pengaruh manusia maupun sekelompok manusia terhadap kapasitas kekayaan

sumberdaya alam terbarukan di bumi atau disebut juga areal potensial secara ekologis

di Gugus Pulau Batudaka. . 5.2.1 Daya Dukung Wisata

Total ecological footprint/EF tiap wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau

Batudaka terdiri dari jumlah agregat komponen built-up land, fosil energy land, food

dan fibre consumption (meliputi pasture land, arable land, forest land dan sea space)

dengan rata-rata waktu tinggal selama 5 hari. Asal wisatawan terbesar yang

berkunjung di Gugus Pulau Batudaka pada Tahun 2008 berasal dari Indonesia,

Perancis dan Belanda. Komponen dari EF tersebut tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan)

Kategori ha/cap/tahun Persentase (%) Jalan 0.00122 6.18 Pelabuhan 0.00003 0.14 Akomodasi 0.00008 0.39 Aktivitas 0.01847 93.29

Total Footprint 0.01980 100.00 Sumber : Analisis Data (2011) Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa rata-rata pemanfaatan lahan untuk

wisata sebesar 185 m2 tiap wisatawan/tahun. Hal ini berarti built-up land yang

dihasilkan oleh aktivitas wisata sebesar 93.29%, artinya sumberdaya dan ruang untuk

Page 197: Tojo Una Una

173

aktivitas wisatawan yang sedikit tiap tahunnya sehingga permintaan built-up

perkapita menjadi besar. Footprint dari komponen food and fibre consumption

sebesar 3 007 m2 yang dimanfaatkan setiap wisatawan untuk konsumsi sandang dan

pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 48). Tabel 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan

Asal Wisatawan Cropland Pasture Forest Fishing Ground

(ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th) Indonesia 0.0379 0.0000 0.0182 0.0800Perancis 0.0970 0.1280 0.0591 0.0850Belanda 0.0924 -0.0120 0.0583 0.0000Rata – rata 0.0758 0.0387 0.0452 0.0550Area dalam satuan global 0.1992 0.0193 0.0601 0.022

Total EF sandang dan pangan 0.3007 Sumber : Analisis Data (2011) Footprint konsumsi sandang dan pangan dengan rata-rata kunjungan

wisatawan selama 5 hari adalah 0.3007 ha atau 3 007 m2 lahan yang dimanfaatkan

untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka.

Secara ringkas keenam komponen utama ruang produktif dalam perhitungan EF

tertera pada Tabel 49. Tabel 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka

Tipe Komponen

Eqivalen Faktor (gha/ha)

Footprint (ha/cap/th)

Area dalam Ruang global (gha/cap/th)

Existing area (ha) YF

Biocapacity (ha)

Biocapacity (gha)

Energy Land 1.33 0.0001 0.0001 2.38 1.30 3.09 4.11Built-up land 2.64 0.0198 0.0523 19.54 1.00 19.54 51.60Cropland 2.64 0.0758 0.2000 453.28 1.70 770.58 2034.34pasture land 0.50 0.0387 0.0193 173.30 2.20 381.26 190.63forest land 1.33 0.0452 0.0601 1839.60 1.30 2391.47 3180.66Seaspace 0.40 0.0550 0.0220 2610.00 0.60 1566.00 626.40Total EF tiap wisatawan 0.2345 0.3538 5098.10 5131.96 6087.74Total EF semua wisatawan 2 498.38 3 769.63 0.48 0.57 Daya Dukung 21 887 Sumber : Analisis Data (2011)

Hasil perhitungan EF menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan wisatawan ke

Gugus Pulau Batudaka memerlukan 0.23 ha lahan atau sekitar 2 345 m2 untuk

Page 198: Tojo Una Una

174

keperluan sumberdaya bagi wisatawan ke daerah tersebut dan dilihat dari sudut

pandang global, maka perjalanan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan lebih dari

0.48 ha rata-rata ruang dunia untuk keperluan sumberdaya. Perhitungan Biocapacity

menunjukkan bahwa komponen forest land memberikan kontribusi yang sangat besar

bagi ketersediaan lahan produktif Gugus Pulau Batudaka sebesar 2 391 ha, sedangkan

komponen energy land memberikan kontribusi yang sangat kecil 3.09 ha. Hal ini

disebabkan wilayah daratan lebih luas dibandingkan terumbu karangnya dan

kecilnya ketersediaan energi berhubungan dengan jumlah penduduk yang relatif

sedikit di wilayah tersebut. BC untuk tiap wisatawan secara lokal 0.48 ha/kapita dan

0.57 gha/kapita, berdasarkan laporan WWF (2009) BC yang tersedia untuk Indonesia

sebesar 1.4 gha/kapita dan secara global 2.1 gha/kapita,dengan demikian kondisi BC

Gugus Pulau Batudaka sekitar sepertiga kali BC nasional dan global, kondisi kegiatan

wisata di Gugus Pulau Batudaka mengalami yang disebut sebagai ecological reserve

artinya area produktif secara biologi atau area potensial secara ekologis masih cukup

untuk menampung jumlah wisatawan yang datang berwisata.

Pendekatan TEF ini menghasilkan jumlah wisatawan minimal berdasarkan

perhitungan input-output sumberdaya (kebutuhan akan sumberdaya di pulau) baik di

lahan daratan dan perairan per tahun dengan dengan rata – rata lama kunjungan

wisata 5 hari, dan bila penyebaran wisatawan berdasarkan musim puncak kedatangan

wisatawan (Disbudpar 2008) maka Gugus Pulau Batudaka pada bulan Agustus dapat

menampung sekitar 1 933 orang/bulan, namun fasilitas akomodasi yang ada hanya

dapat menampung sekitar 200 orang/bulan. Jika menggunakan pendekatan kehati-

hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya, maka pendekatan

TEF yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata di Gugus Pulau

Batudaka dikaitkan dengan penentuan kebijakan pengelolaan, banyaknya wisatawan

yang diperkenankan mengunjungi kawasan Gugus Pulau Batudaka setiap tahun harus

mengacu pada hasil pendekatan TEF.

Daya dukung (CC) pada tourism dapat dibedakan dua cara yaitu (1) melihat

kemampuan fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak

negatif timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis

Page 199: Tojo Una Una

m

(

4

a

0

T

h

s

y

E

d

f

C

t

s

mengalami p

(behaviour)

47, disajikan

analisis GIS

Tota

0.2345 ha/k

Tahun 2009

ha. Bila di

selam, snork

yakni sebesa

EF wisata le

dimana sum

fungsi eko

Capacity/TC

tanpa menim

saat yang sam

penurunan a

turis itu sen

n gambaran

(KS).

Gambar 4

l Ef tiap wi

apita. Jika j

9 sebanyak 6

ibandingkan

keling dan r

ar 277 ha ma

ebih kecil da

mberdaya me

ologisnya. D

CC) didefini

mbulkan dam

ma dan tidak

akibat keterb

ndiri (behavio

luasan EF w

47 Perbandi

isatawan ya

jumlah turis

628 orang (D

dengan lua

rekreasi pant

aka kondisi i

ari luasan wis

emiliki kesem

Daya duku

sikan sebag

mpak tidak

k mengurang

batasan kapa

oral compon

wisatawan d

ingan EF wi

ang mengunj

s yang meng

Disbudpar 2

asan wisata

tai di Gugus

ini disebut u

sata kategori

mpatan untu

ung di da

ai maksimum

dapat pulih

gi kepuasan

asitas yang

nent) (Savari

dengan luasa

isatawan dan

jungi Gugus

gunjungi Gu

2010) maka

dengan kate

s Pulau Batu

undershoot a

i sesuai sehi

uk memperb

alam wisata

m jumlah tu

dari ekosis

kunjungan (

muncul dar

iades 2000).

an kesesuaia

n KS wisata

s Pulau Bat

ugus Pulau B

luasan EF s

egori sesuai

udaka (hasil

artinya pema

ingga ada rua

aiki dan me

a (Touri

uris yang da

stem/lingkun

(Davis and T

1

ri tingkah la

. Pada Gamb

an wisata ha

tudaka sebes

Batudaka pa

sebesar 138.

i untuk wisa

l analisis GI

anfaatan rua

ang dan wak

empertahank

ism Carryi

apat ditoleran

ngan dan pa

Tisdell 1996)

75

aku

bar

asil

sar

ada

95

ata

IS)

ang

ktu

kan

ing

nsi

ada

).

Page 200: Tojo Una Una

176

5.2.2 Daya Dukung Perikanan

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya dukung

lingkungan untuk keberlanjutannya. Penilaian keberlanjutan dari kegiatan

pemanfaatan sumberdaya alam dapat digunakan Analisis Ruang Ekologis (Ecological

Footprint Analysis/EFA), merupakan suatu konsep daya dukung yang menjelaskan

hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas

lahan yang tersedia/biocapacity (Adrianto dan Matsuda 2004). Pendekatan ini dapat

diketahui berapa maksimal penggunaan sumberdaya dengan luas lahan yang tersedia

sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006).

Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung

berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil

tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic level

berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Indikator

Ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab

seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi

keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan

teknologi (Wackernegel 1996). Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu

ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut

(Adrianto dan Matsuda 2004).

Produksi biomassa ikan di Gugus Batudaka Kecamatan Una-Una di dominasi

oleh ikan tongkol, ikan lolosi dan ikan kakap (Tabel 14), sementara di Kabupaten

Tojo Una-Una didominasi ikan tongkol, ikan kembung, ikan layar, ikan selar dan

ikan teri (Lampiran 1) Hasil perhitungan untuk indikator EF sistem perikanan di

Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (EF Lokal) dan Kabupaten Tojo Una-

Una (EF Regional) untuk periode 2005-2008 (Tabel 50) dan dan pehitungannya

dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

Page 201: Tojo Una Una

177

Tabel 50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional Karakteristik 2005 2006 2007 2008

Kecamatan Una-Una PPR Coastal and Coral System (kg)) 1 794 782 1 419 475 1 513 960 1 726 988PPR Tropical Shelves (kg 132 131 131 672 101 287 109 591Jumlah Penduduk (jiwa) 12 287 12476 12811 13 106EF (km2/kapita) 0.05 0.04 0.04 0.04Kebutuhan ruang (km2) 5 938 4 727 4 998 5 694

Cakupan (kali) 20 16 17 19Kabupaten Tojo Una-Una PPR Coastal and Coral System (ton) 116 196 108 625 148 920 155 573PPR Tropical Shelves (ton) 20 706 19 406 117 74.0 17 665Jumlah Penduduk (jiwa) 125 691 126 918 129 708 131 283EF (km2/kapita) 0.3 0.3 0.4 0.4Kebutuhan ruang (km2) 3 981 3 722 4 936 5 217

Cakupan (kali) 70 65 86 91Keterangan : Luas Kecamatan Una-Una 298 km2, Kabupaten Una-Una 5 722 km2 Sumber : Analisis data (2010)

EF lokal rata-rata sebesar 0.04 ha/kapita atau membutuhkan area seluas

53.39 ha atau sekitar 19 kali luas daratan Kecamatan Una-Una, sementara EF

regional sebesar 0.3 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 4 464.02 ha atau sekitar

78 kali luas daratan Kabupaten Tojo Una-Una. Rendahnya kebutuhan ruang lokal

disebabkan kecilnya jumlah produksi perikanan Kecamatan Una-Una, hal ini

berhubunan erat dengan alat tangkap yang digunakan hanya berupa pancing, jarring

ingsang, bubu dan bagan, sedangkan untuk alat tangkap yang digunakan di

Kabupaten Tojo Una-Una lebih beragam.

Produksi perikanan/jumlah tangkapan, populasi penduduk sangat

mempengaruhi besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi kegiatan perikanan.

Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk perikanan

di Gugus Pulau Batudaka, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan ruang perairan sekitar

53.39 ha dengan pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu

sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 4 464.02 ha dengan pemanfaatan wilayah

Page 202: Tojo Una Una

178

perairan untuk perikanan sekitar 0.3 ha/kapita untuk skala regional. Hal ini

menunjukkan bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk

kegiatan pemanfaatan perikanan dan merupakan indikator keberlanjutan bagi

kegiatan perikanan di kawasan tersebut.

Tabel 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus Pulau Batudaka dengan daerah lain

Negara/Daerah/Pulau EF untuk Perikanan Kebutuhan Area Sumberdaya Global(a) 0.30 2.3 x 106 Hongkong (b) 0.20 14 220 km2 Guernsey UK(c) 1.41 84 000 km2 Japan (d) 1.90 - Yoron Islands Japan (e) 0.014 87 168 km2 Gugus Pulau Batudaka 0.0004 5 339 km2

Kabupaten Tojo Una-Una 0.003 446 402 km2 sumber : a) WWF (2002) ; b) Warren-Rhodes and Koenig (2001); c) Chambers et al. (2000); d) Wada (1999); e) Adrianto and Matsuda (2004)

Dibandingkan dengan daerah lain, EF perikanan Gugus Pulau Batudaka

Kecamatan Una-Una maupun Kabupaten Tojo Una-Una lebih kecil dibanding

Hongkong (0.2 km2/kapita), Guernsey UK (1.41 km2/kapita) maupun Yoron Island

Japan (0.014 km2/kapita). Tabel 49 mempresentasikan perbandingan EE untuk

perikanan lokal mapun regional dengan beberapa daerah lain di dunia. EF merupakan

penilaian total wilayah bioproduktif yang dibutuhkan untuk keberlanjutan di bumi

yang menggambarkan aktivitas manusia dengan menghitung tiga fungsi ekosistem

meliputi suplai sumberdaya, absorbs limbah dan ruang untuk infrastruktur (Haberl et

al. 2004). Pada Gambar 48, disajikan gambaran luasan EF perikanan dengan luasan

kesesuaian penangkapan ikan karang hasil analisis GIS (KS)

Page 203: Tojo Una Una

P

2

d

(

p

p

m

P

b

o

l

d

e

l

EF p

Pulau Batud

2009) maka

dengan kate

(hasil analisi

pemanfaatan

penangkapan

memiliki ke

Pengelolaan

beberapa fa

oseanografi,

lainnya. Hal

dalam mene

ekosistem s

lahan.

Gambar 48

perikanan lo

daka Kecama

luasan EF p

egori sesuai

is GIS) yakn

n ruang EF

n ikan kar

esempatan un

n wilayah pe

aktor antara

, memiliki k

l tersebut me

entukan prio

setempat dan

8 Perbandin

okal sebesar

atan Una-Un

perikanan s

untuk pena

ni sebesar 84

F perikanan

ang sehingg

ntuk mempe

esisir dan pu

a lain kon

arateristik su

erupakan ba

oritas peman

n kemampu

ngan EF peri

r 0.04 ha/ka

na pada Tah

sebesar 5.5 h

angkapan ik

45 ha maka k

lebih keci

ga ada rua

erbaiki dan

ulau-pulau k

ndisi wilaya

umberdaya y

ahan pertimb

nfaatan sum

uan daya du

ikanan dan K

apita. Jika

hun 2009 seb

ha. Bila dib

kan karang d

kondisi ini d

l dari luasa

ang dan wa

mempertaha

kecil sangat

ah yang d

yang berbed

bangan bagi

mberdaya yan

ukung lingk

KS perikanan

jumlah pen

banyak 1310

bandingkan

di Gugus Pu

disebut under

an kategori

aktu dimana

ankan fungs

penting, dis

dipengaruhi

da antara satu

para pengam

ng sesuai d

kungan serta

1

n

nduduk Gug

06 orang (BP

dengan luas

ulau Batuda

rshoot artin

sesuai unt

a sumberda

si ekologisny

sebabkan ol

oleh kond

u dengan ya

mbil kebijak

dengan kond

a kemampu

79

gus

PS

san

aka

nya

tuk

aya

ya.

leh

disi

ang

kan

disi

uan

Page 204: Tojo Una Una

180

5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)

5.3.1 Profil Metabolik

Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara

statistik melalui pertambahan dan kepadatan penduduk (Tabel 52). Tabel 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una

Parameter Lokal Regional Unit

Jumlah Penduduk 2008 13 106 131 283 Jiwa Kepadatan Penduduk 2008 42 23 Jiwa/km2 Rumah Tangga (RT) 2008 3 547 33 872 RT Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 4 Jiwa/RT Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104 104 Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif terhadap Usia Produktif)

67.60 70.24 %

Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2.0 2.39 %/Tahun Tingkat Kelahiran penduduk Tahun 2008 0.013 0.0086 Tingkat Kematian Penduduk Tahun 2008 0.005 0.0034 Sumber : BPS (2002-2009)

Hasil registrasi penduduk tahun 2001-2008, penduduk Kecamatan Una-Una

peningkatan 2%/tahun, sedangkan Kabupaten Tojo Una -Una mengalami peningkatan

2.39% setiap tahunnya, dengan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih rendah

dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Salah satu pendorong tingginya

pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang cukup signifikan, sebagian

besar adalah pendatang yang mencari nafkah di daerah ini.

Produksi hasil tangkapan nelayan di laut tidak terlepas daripada keadaan alam,

yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan melimpah pada

musim puncak dan pada musim panceklik, dimana keadaan alam ditandai dengan

angin kencang (musim timur dan barat) hasil tangkapan menurun bahkan tidak sedikit

nelayan tidak mendapatkan hasil. Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat

tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una (Tabel 53). Berdasarkan

jumlah alat tangkap yang ada di kecamatan Una-Una maka estimasi produksi

perikanan pada Tahun 2009 sebesar 1 698.67 ton (DKP Kecamatan Una-Una 2010).

Page 205: Tojo Una Una

181

Produksi perikanan laut Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebesar 1 123 ton

(BPS Touna 2009), sedangkan menurut Bappeda Touna (2009) sebesar 1 759.68 ton. Tabel 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009 No Alat Tangkap Jumlah

(unit) Trip/tahun Laju Tangkap rata-

rata (kg/trip) Estimasi Produksi

rata-rata (ton/tahun) 1 Pancing 317 96 10 304.32 2 Jaring Ingsang 211 120 50 1266.00 3 Bagan 11 96 100 105.60 4 Bubu 158 48 3 22.75 Sumber : DKP UPTD Kecamatan Una-Una (2010)

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan masih tergolong

sederhana dan didominasi penggunaan perahu tanpa motor sehingga berdampak pada

hasil penangkapan yang tidak maksimal. Pada tingkat regional dimana hasil

tangkapan nelayan tidak semua didaratkan ke TPI-TPI Kabupaten Tojo Una-Una

namun lebih banyak didaratkan ke TPI di Gorontalo, Poso maupun Pagimana

Kabupaten Luwuk. Jumlah TPI di Kabupaten Tojo Una-Una sebanyak 3 buah yang

bertempat di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Tojo dan Kecamatan Walea

Kepulauan tetapi dari ketiga TPI tersebut belum ada yang difungsikan secara

maksimal. Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo

Una-Una tertera pada Tabel 54.

Tabel 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2008

NO Kecamatan Perairan Umum Perairan Kolam Budidaya Tambak

Perikanan Laut

Luas (Ha)

Produksi (Ton)

Luas (Ha)

Produksi (Ton)

Luas (Ha)

Produksi (Kg)

Produksi (Ton)

1 Tojo Barat 0 0 0 0 4.10 400 6 383

2 Tojo 5.10 0 7.50 0.60 120.00 1 300 1 901

3 Ulubongka 0 0 13.02 0.40 0 0 953

4 Ampana Tete 0.70 0 3 0.30 0 0 2 817

5 Ampana Kota 0 0 19.15 1.20 0 0 55 099

6 Una-una 10.40 1.40 0 0 20.90 2 800 1 123

7 Togean 0 0 0 0 0 0 2 083

8 Walea Kepulauan 0 0 0 0 0 0 852

9 Walea Besar 0 0 0 0 0 0 558

Kab. Tojo Unauna 16.20 1.40 42.67 2.50 145.00 4 500 71 773 Sumber: BPS (2009)

Page 206: Tojo Una Una

182

Produksi perikanan laut terbesar terdapat di Kecamatan Ampana Kota yaitu

sebesar 55 099 ton, yang disusul oleh Kecamatan Tojo Barat yaitu sebesar 6 383 ton,

artinya sebagian besar hasil tangkapan nelayan dari kecamatan kepulauan di Teluk

Tomini didaratkan di kecamatan tersebut. Kecamatan Una-Una memberikan

kontribusi sebesar 1.56% dari seluruh produksi perikanan laut di Kabupaten Tojo

Una-Una.

Jenis ikan dominan yang dtangkap nelayan pada kedalaman kurang dari atau

sama dengan 10 m adalah kelompok ikan demersal dan ikan karang, sedangkan pada

kedalaman lebih dari 10 m, jenis ikan dominan yang ditangkap adalah kelompok

pelagis dan beberapa jenis ikan pada kelompok ikan demersal dan Karang.

Berdasarkan jumlah hasil tangkapan ikan, jumlah tangkapan tertinggi per tahun

diperoleh nelayan di wilayah pulau yang mengoperasikan alat tangkap purse seine

dan bagan yakni untuk jenis ikan pelagis kecil, sedangkan jumlah tangkapan terendah

diperoleh nelayan yang mengoperasikan alat tangkap bubu dan pancing ulur untuk

ikan karang dan demersal. Produksi ikan yang tertangkap di Kabupaten Tojo Una-

Una tertera pada Lampiran 2. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal tersebut tertera

pada Tabel 55. Tabel 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) NO JENIS IKAN TAHUN

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1 Bawal Hitam 1.36 1.20 1.20 1.80 8.00 10.00 1.282 Bawal Putih 1.20 1.00 1.00 2.80 13.50 11.50 0.923 Kakap 56.80 49.50 52.50 15.10 26.70 23.60 48.244 Kakap merah 53.76 46.80 49.80 16.10 34.70 41.00 44.735 Kerapu Sunu 73.44 63.90 67.90 101.60 464.20 507.00 62.546 Kurisi 8.40 7.30 8.30 5.80 22.10 15.60 7.507 Sunglir 18.56 16.20 17.20 7.90 24.00 15.00 15.468 Tenggiri 23.36 20.30 21.30 22.40 96.00 50.00 19.149 Tenggiri Papan 20.24 17.60 18.60 8.90 28.20 15.00 16.66

Sumber : DKP Prov Sulteng (2010) Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu sunu dan

kakap merupakan jenis yang dominan penting dengan kecenderungan yang fluktuatif

dari tahun ke tahun.

Page 207: Tojo Una Una

183

Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada perairan Kabupaten

Tojo Una-Una meliputi total jam dan hari kerja melaut, jumlah trip per bulan dan per

tahun, jumlah hasil tangkapan per trip dan dalam tahun. Jumlah jam kerja melaut

pada setiap trip melaut berkisar antara 7-24 jam kerja, sedangkan hari kerja melaut

yang diperlukan pada setiap trip penangkapan ikan berkisar 1.0-2 hari. Trip

penangkapan ikan sepanjang tahun selalu berbeda di setiap musim, namun antara

nelayan di pesisir dengan pulau hampir tidak ada perbedaan dalam jumlah jam dan

hari melaut. Musim penangkapan ikan di wilayah penelitian terbagi atas dua musim

yakni musim puncak dan paceklik. Musim puncak (surplus ikan) umumnya

berlangsung selama 8-10 bulan (September/Oktober sampai April/Mei). Jumlah trip

penangkapan ikan tertinggi pada musim puncak dilakukan oleh unit usaha purse seine

yakni 25 trip per bulan. Musim paceklik (kekurangan ikan) umumnya berlangsung

selama 2-4 bulan (Mei/Juni sampai Agustus/September). Jumlah trip penangkapan

ikan pada musim paceklik pada setiap unit usaha penangkapan yakni berkisar antara

2-12 trip per bulan. Trip terendah terjadi pada unit usaha Bagan antara 2 - 5 trip per

bulan (Laapo et al. 2006). Tinggi rendahnya jumlah trip penangkapan ikan, selain

dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh

harga ikan, hari kerja melaut, sarana penangkapan dan ketersediaan tenaga kerja

melaut. Jam dan hari kerja melaut yang lebih lama menyebabkan jumlah trip per

bulan dan tahun menjadi lebih kecil jumlahnya.

Pada kondisi iklim dan cuaca yang tidak kondusif dan tidak menentu, hasil

tangkapan menurun, nelayan lebih memilih untuk tidak melaut oleh karena biaya

yang dikeluarkan akan lebih besar daripada hasil penjualan ikan. Pada kondisi yang

sama, harga ikan mengalami peningkatan, sehingga ada insentif bagi nelayan untuk

melaut terutama bagi nelayan yang mengusahakan alat tangkap dengan wilayah

perairan maksimum 4 mil. Ketersediaan sarana penangkapan, tenaga kerja melaut

dan sarana penunjang berpengaruh pada peningkatan aktivitas dan mobilitas melaut

secara intensif.

Page 208: Tojo Una Una

184

5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)

Tiga langkah dalam menghitung HANPP perikanan atau disebut pula sebagai

Exosomatic energy di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (tingkat lokal) dan

Kabupaten Una-Una (tingkat regional) yaitu (1) menghitung potensi kebutuhan

produktivitas primer (2) Produktivitas aktual (produksi tiap spesies ikan (volume of

landing) (DKP Prov. Sulteng 2005-2008); (3) kandungan energi tiap spesies ikan

(Adrianto 2004), perhitungannya secara lengkap tertera pada Lampiran 5. Hasil

analisis HANPP tersebut tertera pada Tabel 56 dan Gambar 50. Tabel 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional

Tahun Produksi

Aktual/NPP PPR (kJ) HANPP (kJ)

Colonizing Efficiency

Rasio HANPP

NPP Lokal (kJ) (kJ) (kJ) (%) 2005 159 367 245 9 010 184 221 8 850 816 976 1.80 55.54 2006 141 073 720 7 146 220 211 7 005 146 491 2.01 49.66 2007 132 943 895 7 570 285 074 7 437 341 179 1.79 55.94 2008 138 459 890 8 559 664 732 8 421 204 842 1.64 60.82 Rata-rata

142 961 188 8 071 588 559 7 928 627 372 1.81 55.49

Regional (MJ) (MJ) (MJ) (%) 2005 31 623 085 1 164 740 859 1 133 117 774 2.79 35.83 2006 33 942 042 1 251 164 735 1 217 222 693 2.79 35.86 2007 31 815 755 1 338 174 994 1 306 359 239 2.44 41.06 2008 36 261 576 2 183 193 633 2 146 932 057 1.69 59.21 Rata-rata

33 410 614 1 484 318 555 1 450 907 941 2.43 42.99

Sumber : Data Primer Terolah (2010)

Hasil perhitungan exosomatic energy pada tingkat lokal (kecamatan) bahwa

rata-rata exosomatic energy perikanan dari Tahun 2005-2008 sebesar 7.93x109 kJ

dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 1.81 dan rasio HANPP-NPP

sebesar 55.50, sedangkan tingkat regional sebesar 1.45x1012 kJ dengan efisiensi

koloni ikan yang tertangkap sebesar 2.43 dan rasio HANPP-NPP sebesar 42.99.

Hasil ini menunjukkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primer yang

merupakan sebuah proses energi dari luar pelaku sebagai penggabungan faktor

manusia dan alam untuk nelayan lokal mempunyai nilai efisiensi yang rendah, artinya

Page 209: Tojo Una Una

185

mereka memerlukan energi yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan

produktivitas primernya dibandingkan nelayan regional. Pada ekosistem global, rasio

HANPP dengan NPP potensial sekitar 40 di seluruh dunia (Martines-Alier 2005);

HANPP menghitung secara luas dominasi manusia atau kolonisasi sosial ekonomi

dari suatu ekosistem, tingginya rasio tersebut menggambarkan dominasi manusia

terhadap ekosistem dimana pengurangan produktivitas aktual (NPP) yang besar

sebagai indikasi kurang efisiennya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Haberl

et al. 2004). Perbandingan HANPP lokal dan regional tertera pada Gambar 49.

Gambar 49 HANPP perikanan lokal dan regional

HANPP perikanan besarnya tergantung dari banyak hasil tangkapan tiap jenis

ikan dan kandungan energi tiap energi ikan. Gambar diatas mengindikasikan secara

proporsional bila dibandingkan kebutuhan produktivitas primer potensial (NPPo)

dengan HANPP maka untuk tingkat regional lebih tinggi dibandingkan tingkat lokal,

sehingga pengaturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya lebih ditekankan pada

penentuan alokasi sumberdaya, peningkatan SDM perikanan, peningkatan teknologi,

pengaturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin

keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan yang

lainnya sesuai yang diamanatkan dalam CCRF atau Kode Etik Perikanan yang

Bertanggung (FAO 1995).

Page 210: Tojo Una Una

186

5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System

Analysis-CLSA)

Analisis keberlanjutan Mata Pencaharian bagi masyarakat Pesisir dikenal pula

sebagai Mata Pencaharian Alternatif (MPA) merupakan usaha pengganti yang

mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan

masyarakat. Pengembangan MPA berkelanjutan memegang peranan penting dalam

menjamin kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka.

Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial di

dalam upayanya mengembangkan kehidupannya disebut sebagai aset kapital yakni:

modal alam, manusia, keuangan, fisik, dan sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat

bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok modal total tersebut. Lima bentuk

modal ini tidak memiliki karakteristik yang sama. Modal alami merupakan elemen-

elemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lain-lain.

Aset-aset yang terjadi secara alami ini bisa diperbaharui. Modal manusia merupakan

faktor yang sangat penting, karena manusia sekaligus merupakan objek dan subjek

pembangunan. Modal keuangan adalah media pertukaran dan dengan demikian ini

merupakan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal fisik adalah aset buatan manusia seperti

perumahan, jalan, dan bentuk modal fisik lainnya atau modal keras yang membentuk

lingkungan. Modal sosial adalah produktif yang memungkinkan pencapaian tujuan

tertentu yang tidak mungkin dicapai tanpa itu. Dalam kerangka Sustainable Livelihood,

modal sosial memerlukan jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan dengan

manusia (Coleman 1990). 5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat

Sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Gugus Pulau

Batudaka cukup beragam sehingga wilayah ini menjadi sumber penciptaan usaha

wisata dan perikanan yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut, secara garis besar

di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable

recources) seperti sumberdaya perikanan baik tangkap maupun budidaya, (b)

sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable recources) seperti tambang, (c) jasa-jasa

lingkungan seperti wisata dan transportasi.

Page 211: Tojo Una Una

187

(1) Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menggunakan teknologi untuk

mendapatkan sumberdaya ikan laut. Berdasarkan tujuan penangkapannya maka

perikanan tangkap dapat dibagi menjadi kegiatan penangkapan sumberdaya ikan

pelagis dan ikan demersal (termasuk ikan karang). Perikanan laut baik tangkap

maupun budidaya di pesisir dan laut adalah jenis pengusahaan sumberdaya dan

mejadi sumber penghidupan masyarakat. Permintaan sumberdaya ikan hidup,

terutama ikan demersal dari pasar internasional memicu meningkatkan aktivitas

pemanfaatan melalui teknologi budidaya. Selain aspek ekonomi, kegiatan ini juga

bermanfaat untuk melestarikan sumberdaya perikanan.

Kawasan ini merupakan salah satu wilayah sumber penangkapan yang kaya

akan keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan-ikan karang, karena kawasan ini

merupakan wilayah coral reef triangle dengan biodiversity terumbu karang terbesar

di dunia. Potensi perairan kawasan ini masih cukup besar utuk penyediaan bahan

baku industri perikanan, baik yang dikonsumsi di dalam negeri maupun yang

diekspor ke luar negeri. Potensi perikanan terdiri dari berbagai jenis produk

penangkapan ikan laut, budidaya pantai dan ikan tambak. Penangkapan ikan laut

sebagian besar berupa ikan cakalang, tongkol, kakap, lolosi, kerapu, teri, teripang,

gurita, dan beberapa jenis ikan kering.

Penduduk Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sebanyak 82%

merupakan keluarga pertanian dan keluarga yang bekerja di subsektor perikanan laut

(nelayan pengusaha dan buruh) sebanyak 95.23% (Bappeda 2009), secara rinci dapat

dilihat pada Gambar 50.

(2) Perikanan Budidaya

Luas daratan Gugus Pulau Batudaka sekiar 300.75 km2 dan luas perairannya

61.038 ha, dimana pantai-pantainya (termasuk perairan pesisir) dapat digunakan

untuk kegiatan dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti budidaya

perikanan di perairan dangkal/marikultur (budidaya alga : rumput laut, budidaya

kerang-kerangan, teripang, sistem karamba baik jarring tancap (KJT), Jaring Apung

Page 212: Tojo Una Una

188

(KJA) : umumnya ikan karang), penangkapan perikanan pantai (bagan, bubu dan

lain-lain), serta kegiatan lain seperti pariwisata, transportasi.

Gambar 50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda Touna 2009)

(3) Jasa-Jasa Lingkungan

Potensi jasa-jasa lingkungan Pesisir dan laut kawasan Gugus Pulau Batudaka

antara lain wisata bahari, jasa transportasi dan pelayaran laut.

Jenis mata pencaharian masyarakat Gugus Pulau Batudaka secara umum terkait

dengan sektor perikanan dan kelautan secara langsung terkait dengan keberadaan

sumberdaya alamnya dan usaha lain yang masih terkait dengan sumberdaya pesisir

dan laut adalah usaha jasa pariwisata dan transportasi (Tabel 57). Jenis usaha atau

mata pencaharian utama yang digeluti masyarakat di Gugus Pulau Batudaka pada

dasarnya dapat digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu (1) nelayan penangkap ikan, (2)

pedagang atau pengumpul, (3) pengusahaan pelayaran, dan (4) usaha pemenuhan

kebutuhan rumah tangga nelayan. Merujuk pada pengertian CLSA, maka analisis

peluang dan potensi usaha yang dilakukan adalah jenis usaha di luar dari mata

pencaharian utama masyarakat yang dapat memberikan pendapatan alternatif

masyarakat.

Nelayan pengusaha

83%

Nelayan Buruh12%

tambak0.12%

budidaya laut2%

karamba3%

Page 213: Tojo Una Una

189

Tabel 57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka Kategori Usaha Jenis Usaha Usaha Sumberdaya Perikanan Produksi Penangkapan ikan (berbagai jenis alat tangkap)

Budidaya Perikanan : Budidaya ikan karang Rumput laut Teripang Mutiara Bandeng Ikan air tawar

Pengolahan Pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan) Distribusi Penampungan ikan segar dan ikan hidup

Usaha angkutan hasil perikanan Pemasaran Pedagang Perantara

Pedagang ekspor Pemasaran produk hasil olahan

Usaha Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya Pariwisata Penyedia sarana wisata (penginapan, rumah makan, transportasi dan

peralatan bantu wisata) Jasa pandu wisata Jasa konservasi dan Pelestarian SD

Penelitian Kegiatan penelitian dalam pemanfaatan SD Usaha pendukung Lainnya Transportasi Usaha transportasi umum bagi penduduk pulau Industri & perdagangan sarana produksi prikanan

Pengrajin perahu Alat penangkapan ikan

Usaha penyedia Konsumsi Rumah Tangga Nelayan

Warung serba ada (kelontong), warung makan, jasa telekomunikasi

5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya

Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka

Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi

sumberdaya alam di Gugus Pulau Batudaka merupakan faktor penting sebagai

kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir

dan laut untuk menilai interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam

(ekosistem). Tahapan selanjutnya dalam CLSA adalah analisis pengaruh masyarakat

pesisir melalui identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung

berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut dalam perspektif sosial

maupun ekonomi. Analisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya di

Gugus Pulau Batudaka secara lengkap tertera pada Tabel 58.

Page 214: Tojo Una Una

190

Tabel 58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka

Aset kapital (AK) Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu Kisaran Skor

Alam 14 15 16 14 17 11 0-24 Manusia 19 18 18 14 14 12 0-33 Sosial 9 10 10 10 10 9 0-27 Keuangan 8 6 7 7 6 6 0-15 Buatan 22 14 16 13 13 12 0-33 Jumlah 72 63 67 58 60 50 0-120

Sumber : Analisis Data (2011) 5.4.2.1 Aset Alam

Sumberdaya alam merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya

dukung dan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat. Sumberdaya alam juga

meliputi keuntungan strategis dari suatu kondisi geografis khususnya kawasan pesisir,

selain sentra penghasil ikan, juga menarik sebagai obyek wisata yang membawa

pengaruh bagi pendapatan masyarakat sekitarnya. Sumberdaya alam sangat besar

manfaat dan penting keberadaannya bagi masyarakat yang penghidupannya

bergantung pada alam seperti; petani, nelayan, pengumpul hasil hutan. Sumberdaya

alam sangat erat kaitannya dengan konteks kerentanan, banyak bencana alam yang

merusak penghidupan masyarakat merupakan proses alam seperti; banjir, gempa,

tsunami. perubahan cuaca serta musim, yang mempengaruhi produktvitas alam.

Berdasarkan Tabel 59 menunjukkan bahwa Desa Siatu memiliki skor aset alam yang

rendah dibandingkan desa-desa lainnya. Rendahnya skor aset alam mencerminkan

buruknya kondisi sumberdaya alam, kondisi ini mempengaruhi penentuan

perkembangan sistem sosial ekonomi suatu komunitas masyarakat yang mayoritas

mengantungkan kehidupan di sektor pertanian dan perikanan yang memiliki tingkat

ketergantungan tinggi dengan sumberdaya alam. Skor yang tinggi diperoleh Desa

Malino yang berarti bahwa sumberdaya alam yang tersedia mempunyai produktivitas

yang tinggi dalam menunjang penghidupan masyarakatnya.

Page 215: Tojo Una Una

191

Tabel 59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset Alam Skor Kisaran

Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu

1 Ekosistem pesisir 1 2 2 2 2 2 0-32 Oceanografi 2 2 2 1 2 2 0-33 Pantai 1 2 2 2 2 1 0-34 Air bersih 2 2 2 1 3 1 0-3

5 Lahan (pekarangan, Perkebunan) 2 2 2 2 2 1 0-3

6 Pertanian 2 2 2 2 2 1 0-37 Perikanan 2 2 2 2 2 2 0-38 Peternakan 2 1 2 2 2 1 0-3

Jumlah 14 15 16 14 17 11 0-24Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2010)

Hasil observasi dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussions)

yang melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif di Gugus pulau Batudaka

diperoleh gambaran tentang seluruh komponen asat alam di lokasi penelitian,

meliputi : (1) ekosistem pesisir, (2) oceanografi, (3) pantai, (4) air bersih, (5) lahan

(pekarangan dan perkebunan), (6) pertanian, (7) perikanan, (8) peternakan.

Kondisi aset alam sangat menentukan keberlanjutan penghidupan masyarakat

di Gugus Pulau Batudaka. Skor kurang dari 16 dari asset alam perlu mendapat

perhatian khusus karena berhubungan dengan daya dukung dan nilai manfaat bagi

penghidupan masyarakat. Indikasi kerusakan aset alam ditunjukkan dengan : (1)

perubahan ekosistem pesisir secara alami maupun akibat aktivitas manusia.

Responden menyatakan sebesar 86.47% berhubungan dengan sumberdaya alam di

Gugus Pulau Batudaka (mangrove, lamun, terumbu karang, pantai sungai, laut

maupun pulau-pulau kecil/PPK) dan kondisi sumberdaya tersebut sebesar 16.26%

mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Perubahan sumberdaya Gugus Pulau

Batudaka dalam waktu 10 tahun terakhir sebesar 11.7% (Gambar 51) dengan

perubahan tersebut terutama terjadi pada terumbu karang.

Page 216: Tojo Una Una

192

G

hasil l

Pulau

untuk

pembo

umum

mendo 5.4.2.2

manus

dalam

untuk

kemam

secara

sumbe

pendid

pendid

berusa

pengh

kurang

Gambar 51

Aktivitas y

laut dengan m

Batudaka a

daerah seb

oman di pe

m masih baik

orong pembu

2 Aset Man

Aset manu

sia (Dharma

m penghidup

mengolah

mpuan untuk

a optimal, s

erdaya lainn

dikan dan ke

Indikator

dikan (fisik

aha) dan ke

idupan serta

g, hal ini ter

010203040

Perubahan sterakhir

yang merus

menggunaka

aktivitas ter

elah barat P

sisir Desa B

k, namun keb

ukaan lahan

nusia

usia berupa

awan 2006)

pan, pengeta

empat as

k mengemba

sekaligus pe

nya. Faktor p

esehatan (Tab

sumberdaya

dan sosial

esehatan ya

a mencapai

rcermin dari

sumberdaya

ak terumbu

an bom dan

sebut dalam

Pulau Batud

Bambu. Ek

butuhan akan

mangrove u

kemampuan

. Sumberd

ahuan dan k

set penghid

angkan strat

erilaku man

penting yang

bel 60).

a manusia d

seperti kete

ang memun

tujuan pen

i ketersediaa

Gugus Pulau

karang teru

bius. Untuk

m 5 tahun te

daka pada B

kosistem ma

n pemukima

untuk tambak

n, keteramp

daya manusi

kemampuan

dupan lainn

egi pemanfa

nusia sanga

g menentuk

di Gugus Pu

erampilan, p

ngkinkan se

nghidupan m

an sarana da

u Batudaka

utama diseb

k daerah di

erakhir telah

Bulan Maret

angrove, lam

an dan prasar

k di Luangon

pilan dan ka

ia adalah ko

n yang dim

nya. Manu

aatan tiap-tia

t mempeng

an kondisi a

ulau Batuda

pengetahuan,

seorang me

mereka. In

an prasarana

dalam 10 tah

babkan peng

sebelah utar

h berkurang

t-April 2010

mun, sungai

rananya sepe

n Desa Bamb

apasitas sum

omponen te

milikinya diip

sia juga m

ap jenis sum

garuhi keber

aset manusi

aka melipu

, kemampua

elaksanakan

ndikator fisi

a untuk tingk

hun

gambilan

ra Gugus

g namun

0 terjadi

i, secara

erti jalan

bu.

mberdaya

erpenting

perlukan

memiliki

mberdaya

rlanjutan

a adalah

uti aspek

an untuk

strategi

k relatif

kat SMP

Page 217: Tojo Una Una

193

terdapat di Desa Wakai dan Bambu, untuk SMA hanya ada di Desa Wakai. Hal ini

mempengaruhi secara langsung terhadap pendidikan masyarakat. Indikator sosial

untuk pendidikan menunjukkan cenderung lemah terlihat dari kesadaran dan

partisipasi yang kurang dalam pendidikan. Hasil analisis terhadap 94 responden

diperoleh struktur umur adalah >30 sebesar 20%, 30-40 tahun sebesar 33%, 41-50

tahun sebesar 24% dan >50 tahun sebesar 22% dengan rataan tingkat pendidikan

yang diperoleh adalah 7.22 tahun setara dengan kelas 1 SMP atau lulus SD. Hal ini

berarti bahwa responden memiliki produktivitas masih tinggi karena berada dalam

struktur usia produktif dengan taraf pendidikan yang rendah yaitu lulusan SD.

Tabel 60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset manusia Skor Kisaran

Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu

1 Pendidikan a Fisik

a1 Sarana Prasarana 2 2 1 1 1 1 0-3a2 Biaya Sekolah 2 2 2 2 2 2 0-3b Sosial

b1 Kesadaran 2 1 2 1 1 1 0-3b2 Partisipasi 1 1 1 1 2 1 0-3b3 Pendidian masyarakat 1 1 1 1 1 1 0-3b4 Ketrampilan berusaha 2 2 2 1 1 1 0-32 Kesehatan a Sarana Prasarana 2 2 2 2 1 1 0-3b Tenaga Ahli 2 1 2 1 0 0 0-3c Pelayanan 2 2 2 1 1 1 0-3d Kesadaran masyarakat 1 2 1 1 2 1 0-3e Partisipasi masyarakat 2 2 2 2 2 2 0-3

Jumlah 19 18 18 14 14 12 0-33Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik; Analisis Data (2010) Dalam hal ketrampilan berusaha, menunjukkan kemampuan yang cukup baik

untuk Desa Wakai, Bambu dan Bomba. Hal ini dilihat dari industri yang berkembang

di wilayah ini yakni industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Gambar 52) berupa

usaha pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan), pengrajin perahu,

pembuatan atap rumah, gula merah dan makanan.

Page 218: Tojo Una Una

194

Gambar 52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009)

Aset manusia dari aspek kesehatan yang teridentifikasi meliputi : (1) Sarana

dan prasarana, (2) Tenaga ahli, (3) Pelayanan, (4) Kesadaran masyarakat, (5)

Partisipasi masyarakat. Pada tahun 2008 terdapat 1 unit puskesmas di Desa Wakai, 1

unit puskesmas pembantu (Pustu) di Desa Kulingkinari dan Bomba dan unit pos KB

telah ada di semua desa. Tenaga dokter (1 orang) hanya terdapat di Desa Wakai,

mantri/bidan ada di Desa Bambu, Bomba dan Kulingkinari serta dukun bayi telah ada

di semua desa. Terkait dengan sarana dan prasarana serta tenaga ahli di bidang

kesehatan dapat menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan sangat kurang

terutama di Desa Kulingkinari, Malino dan Siatu.

Potensi manusia baik yang diperoleh sebagai hasil pengembangan diri,

melalui pendidikan maupun potensi yang terkait dengan kualitas kesehatan, daya

tahan, kecerdasan dan faktor-faktor genetis lainnya merupakan bagian dari

sumberdaya yang tak ternilai. Di tingkat rumah tangga, ukuran sumberdaya manusia

meliputi jumlah dan mutu tenaga kerja yang ada. Tingkat sumberdaya manusia di tiap

keluarga bervariasi sesuai tingkat keterampilan, pendidikan, kepemimpinan dan

kondisi kesehatan. Dalam hal partisipasi masyarakat terhadap kesehatan di semua

desa temasuk dalam kategori sedang/cukup sedangkan kesadaran masyarakat

terhadap kesehatan masih buruk/kurang. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran

masyarakat menangani sampah domestik dengan kebiasaan membuang sampah ke

laut, tingginya kasus meninggal akibat diare Selain itu, juga kegiatan penangkapan

ikan dengan menyelam pada kedalamam 20-30 m tanpa peralatan yang memadai

0

10

20

30

40

50

60

Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu

Industri kecil

Kerajinan RT

Page 219: Tojo Una Una

195

menyebabkan pemuda ataupu kepala keluarga yang merupakan tulang punggung

rumah tangga tersebut mengalami kelumpuhan. 5.4.2.3 Aset Sosial

Aset sosial yang dimaksudkan dalam pendekatan CLSA adalah sumberdaya

sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan

penghidupan mereka, yang umumnya bersifat intangible tidak mudah untuk diukur

karena berkaitan dengan perubahan struktur dan proses, namun memiliki nilai

manfaat bagi masyarakat. Kondisi aset sosial terebut tertera pada Tabel 61.

Tabel 61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka

No Aset Sosial Skor Kisaran

Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu

1 Sistem pengelolaan SDP 1 2 2 2 2 1 0-3

2 Lembaga Sosial 2 2 2 2 2 2 0-33 Jaringan Sosial 2 2 2 2 2 2 0-34 Adat budaya 2 2 2 2 2 2 0-35 Tingkat Konflik 2 2 2 2 2 2 0-3

9 10 10 10 10 9 0-15Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2011) Aset sosial yang teridentifikasi, meliputi (1) sistem pengelolaan sumberdaya

pesisir, (2) lembaga sosial, (3) jaringan sosial, (4) adat dan budaya dan (5) tingkat

konflik. Secara keseluruhan aset sosial di Gugus Pulau Batudaka hampir sama. Di

antara aset-aset kapital, aset sosial merupakan aset yang paling berkaitan dengan

perubahan struktur dan proses. Aset sosial memiliki nilai manfaat bagi penghidupan

masyarakat, namun perlu juga diwaspadai kemungkinan negatif yang dapat

berkembang, atau dampak yang mungkin dirasakan oleh sekelompok orang. Ikatan

dan relasi sosial yang ada mungkin didasarkan pada hubungan hirarkis yang sangat

ketat, dan mungkin pula membatasi atau menghalangi seseorang untuk berupaya

keluar dari kemiskinan. Aset sosial dapat terganggu oleh intervensi dari luar, yang

memaksakan kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan relasi dan ikatan sosial

Page 220: Tojo Una Una

196

yang telah terbina sebelumnya dalam masyarakat. Intervensi dari luar dapat berupa

tekanan kekuatan atau kekuasaan untuk memaksakan kepentingan, atau motif

ekonomi tertentu yang mengakibatkan konflik dalam masyarakat dani bentuk-bentuk

kekerasan terjadi dalam situasi semacam itu. Pemanfaatan ruang perairan bagi

masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa dengan adanya usaha budidaya mutiara yang

menutup akses terhadap areal pemancingan tradisional, maka konflik yang terjadi

memaksa perusahaan tersebut memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain.

Masyarakat memiliki kemampuan untuk menumbuhkan atau memperbaiki

asset sosial. Hubungan yang baik di antara masyarakat dapat memperkuatnya,

sebaliknya sumberdaya sosial dapat menurun apabila anggota masyarakat mulai

mengabaikan peran dan fungsinya atau tidak mentaati aturan. Aset sosial

membutuhkan hubungan timbal balik terus menerus dan pengembangan aset sosial

dapat dilakukan melalui penguatan lembaga-lembaga lokal, baik melalui

pengembangan kapasitas maupun mendorong perubahan lingkungan yang kondusif.

Selain mempunyai nilai-niai tersendiri, aset sosial sangat diperlukan oleh masyarakat

miskin pada situasi dan kondisi tertentu, misal: membantu menopang penghidupan

mereka pada saat salah satu tulang punggung keluarga meninggal, memberikan

perlindungan pada saat situasi tidak aman atau tidak stabil, atau dapat pula

menggantikan atau menutupi kekurangan sumberdaya yang dimiliki keluarga miskin.

Gotong royong membangun rumah misalnya, dapat menutupi kekurangan tenaga atau

keahlian tertentu yang tidak dimiliki keluarga miskin. 5.4.2.4 Aset Keuangan

Aset keuangan/finansial berhubungan dengan sumber-sumber keuangan yang

dapat digunakan dan dimanfaatkan masyarakat dalam mencapai tujuan penghidupan

masyarakat Gugus Pulau Batudaka, meliputi (1) Lembaga keuangan informal. (2)

Lembaga keuangan formal, (3) pendapatan, (4) tabungan, dan (5) proyek bantuan.

Kondisi asset keuangan di Gugus Pulau Batudaka tertera pada tabel berikut.

Page 221: Tojo Una Una

197

Tabel 62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset Keuangan Skor

Kisaran Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu

1 Lembaga Keuangan Informal

2 1 2 2 1 1 0-3

2 Lembaga Keuangan Formal 1 0 0 0 0 0 0-3

3 Pendapatan 2 2 2 2 2 2 0-34 Tabungan 1 1 1 1 1 1 0-35 Proyek Bantuan 2 2 2 2 2 2 0-3

8 6 7 7 6 6 0-15Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2011)

Lembaga keuangan formal bank tidak ada di daerah ini dan terdapat 1 unit

koperasi di Desa Wakai. Lembaga keuangan non formalnya, umumnya dapat

ditemukan di tiap desa, yakni masyarakat perorangan yang memiliki kemampuan

modal lebih, sehingga masyarakat lain yang memerlukan modal untuk melaut dapat

meminjam dan memberikan hasil tangkapannya sebagai pengembalian hutangnya.

Penghasilan rata-rata responden sebesar Rp. 1 945 745/bulan, dengan penghasilan <1

juta sebesar 4%, 1-2 juta sebesar 73%, dan >3 juta sebesar 3%. Hal ini

menggambarkan penghidupan masyarakat di Gugus Pulau Batudaka cukup baik,

ditunjang dari sumberdaya alamnya baik dari hasil laut maupun hasil perkebunan

(kelapa).

Aset keuangan merupakan sumberdaya yang paling fleksibel, dapat ditukar

dengan berbagai kemudahan sesuai sistem yang berlaku, juga dapat digunakan secara

langsung untuk memenuhi kebutuhan penghidupan. Aset keuangan dapat berupa (1)

cadangan atau persediaan; meliputi sumber keuangan berupa tabungan, deposito, atau

barang bergerak yang mudah diuangkan, yang bersumber dari milik pribadi, juga

termasuk sumber keuangan yang disediakan oleh bank atau lembaga perkreditan. (2)

Aliran dana teratur; sumberdana ini meliputi uang pensiun, gaji, bantuan dari negara,

kiriman dari kerabat yang merantau. Aset keuangan bersifat serbaguna, namun tidak

dapat memecahkan persoalan kemiskinan secara otomatis. Ada kemungkinan

Page 222: Tojo Una Una

198

masyarakat tidak dapat memanfaatkannya karena beberapa hal; masyarakat yang

tidak memiliki cukup pengetahuan dan keahlian, sementara untuk meningkatkan

keterampilan dan keahlian mereka juga dibutuhkan uang yang tidak sedikit, atau

mungkin masyarakat terhambat oleh struktur dan kebijakan yang kurang

menguntungkan, pasar tidak berkembang, sehingga usaha kecil mati atau merugi.

Hal semacam itu perlu menjadi pertimbangan dalam merencanakan bentuk dukungan

keuangan bagi masyarakat. Pilihan bentuk tabungan juga perlu dipertimbangkan,

mungkin masyarakat kurang cocok dengan tabungan konvensional, atau mereka lebih

cocok menabung dalam bentuk barang atau ternak misalnya. 5.4.2.5 Aset Buatan/fisik

Aset buatan merupakan infrastruktur fisik penopang pembangunan berupa

prasarana dasar dan fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung proses

penghidupan masyarakat. Prasarana yang dimaksud meliputi pengembangan

lingkungan fisik yang membantu masyarakat dalam melaksanakan tugas kehidupan

lebih produktif. Prasarana umumnya merupakan fasilitas umum yang digunakan

tanpa dipungut biaya langsung, terkecuali prasarana tertentu seperti listrik.

Kekurangan prasarana tertentu dapat dijadikan salah satu ukuran kemiskinan.

Kelangkaan akses terhadap fasilitas air bersih dan energi sangat merugikan kesehatan

manusia. Selain itu, masyarakat akan disibukan dengan kegiatan yang tidak produktif

seperti mencari kayu bakar atau sumber air bersih, yang dapat menghalangi

masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan serta kesempatan

untuk meningkatkan penghasilan. Kondisi asset buatan di Gugus Pulau Batudaka

tertera pada Tabel 63.

Ketersediaan dermaga dan pasar di Gugus Pulau Batudaka termasuk kategori

sedang/cukup, namun untuk jalan dan jembatan masih kurang. Kebutuhan air bersih

masih kurang, khususnya Desa Kulingkinari kebutuhan air bersih diperoleh dari desa

tetangganya (Bomba, Malino). Jaringan listrik (PLN dan Non PLN) yang menyala

mulai jam 6 sore sampai jam 12 malam, dengan jaringan telepon tersedia di Desa

Wakai yang dapat menjangkau beberapa desa di sekitarnya. Tempat beribadah

Page 223: Tojo Una Una

199

seperti masjid, gereja telah tersedia di desa-desa yang ada pemeluk agama tersebut,

juga rumah permanen. Analisis terhadap responden adalah 22% memiliki kondisi

rumah baik, sedang 63%, dan kurang baik 14% dengan kriteria semi permanen dan

tidak memiliki MCK. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan sumberdaya di

Gugus Pulau Batudaka cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Tabel 63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset Buatan Skor Kisaran

Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu

1 Dermaga 3 2 2 2 2 2 0-3 2 Jalan 1 1 1 1 1 1 0-3 3 Air bersih 3 2 2 1 2 2 0-3 4 MCK 2 1 2 1 1 1 0-3 5 Pasar 2 2 2 2 2 1 0-3 6 Jembatan 2 1 1 1 0 1 0-3 7 PPI 0 0 0 0 0 0 0-3

8 Jaringan Listrik 2 1 2 2 1 1 0-3

9 Jaringan Telepon 3 0 0 0 0 0 0-3

10 Rumah Permanen 2 2 2 1 2 1 0-3

11 Tempat Ibadah 2 2 2 2 2 2 0-3

22 14 16 13 13 12 0-33 Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2010)

Peningkatan kualitas penghidupan masyarakat memerlukan pendekatan

penghidupan berkelanjutan, yakni menekankan pentingnya penyediaan dan akses

terhadap sarana/prasarana sehingga masyarakat memanfaatkannya untuk mencapai

tujuan penghidupan mereka. Penyediaan barang atau alat produksi secara langsung

dapat menimbulkan masalah, antara lain disebabkan oleh beberapa alasan;

menimbulkan ketergantungan dan menggangu mekanisme pasar, mengganggu

perhatian terhadap pentingnya perubahan struktur dan proses, serta berpeluang terjadi

salah sasaran atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Page 224: Tojo Una Una

200

5.4.3 Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka

Secara umum respon yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Gugus Pulau

Batudaka terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan dimana hampir seluruh

masyarakat melakukan respon membuat kelompok nelayan, menangkap lebih jauh

dari kondisi yang ada sebelumnya karena sumberdaya yang mulai menurun,

kemudian keinginan melakukan perbaikan lingkungan, walaupun ini hanya

merupakan harapan yang belum diikuti dengan berbagai tindakan nyata dari mereka

sendiri, namun paling tidak harapan ini menjadi bahan arahan kebijakan bagi

pemerintah daerahnya. Hampir seluruh responden menyatakan perlunya menjaga

kelestarian lingkungan pesisir dan laut untuk kelanjutan pencaharian mereka.

Masyarakat Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sekitar 50%

berprofesi sebagai nelayan sekaligus petani, 7% PNS dan tenaga kerja di luar

pertanian, 2% usaha jasa dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga nelayan, 23%

siswa dan 18% sisanya kelompok usia dini dan lanjut usia (BPS Kecamatan Una-

Una 2009). Kondisi perairan yang fluktuatif, menyebabkan sebagian besar

masyarakat memiliki pekerjaan ganda, terutama memanfaatkan sumberdaya laut

maupun daratan. Kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah

bagaimana meningkatkan taraf hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan

pengetahuan dan keterampilan serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata

pencaharian serta modal.

Budidaya perikanan telah banyak disosialisasikan pemerintah, namun banyak

kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya sehingga beberapa anggota masyarakat

yang telah membudidayakan komoditas tersebut tidak berlanjut. Budidaya teripang

belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pemeliharaan/pembesaran ikan dalam

kolong rumah banyak diusahakan masyarakat sebelum dijual ke pedagang

penggumpul. Pemeliharaan bandeng di danau asin (Pulau Taufan), maupun ikan air

tawar (Patoyan) memberikan prospek yang baik dimasa mendatang. Demikian pula

budidaya rumput laut, untuk Desa Siatu, Bomba, Wakai, belum memberikan hasil

yang menggembirkan. Namun, daerah lain seperti Tumbulawa, Kulingkinari,

Page 225: Tojo Una Una

201

Taningkola cukup berhasil usaha budidaya ini, dan mereka membutuhkan sentuhan

teknologi dalam rangka meningkatkan nilai tambah rumput laut.

Skor aset kapital secara umum adalah kurang optimal, hal ini terkait berbagai

kondisi yang bersifat alami dan secara langsung mempengaruhi kinerja aktivitas

masyarakat, yang tercermin pada kesempatan, kesulitan, penghargaan ekonomi dan

sosial, serta dampak lingkungan dari seluruh aktivitas masyarakatnya (Tabel 64). Tabel 64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka

Aktivitas Kesempatan KesulitanPenghargaan Dampak

Lingkungan Ekonomi Sosial

Rumah Tangga xxx xxx xx xx - Ekonomi-Produktif x xxx xx xx -- Sosial-Politik xx xx xx xx - Ibadah xxx x 0 xxx 0 Rekreasi xx x xx xx - Konservasi xxx xxx x xxx xxx

Keterangan : -- : sangat buruk, - : buruk, 0 : tidak ada, x : rendah, xx : sedang, xxx : tinggi, xxxx : sangat tinggi Sumber : Analisis Data (2010) Kondisi aset penghidupan masyarakat Gugus Pulau Batudaka (aset kapital)

secara keseluruhan tertera pada Gambar 53. Kekuatan aset kapital Desa Wakai paling

besar, diikuti Desa Bomba, Bambu, Malino, Kulingkinari dan yang terendah Desa

Siatu. Penguasaan/pemilikan/akses terhadap asset kapital terbatas menyebabkan

masyarakat Desa Siatu harus mencari cara untuk memperoleh dan memaksimalkan

penggabungan aset-aset yang benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif

guna mempertahankan hidup.karena kepemilikan sumber daya alam yang juga lebih

sedikit, akses pada sumberdaya finansial dan infrastruktur yang kecil dan juga sosial

kapital yang kecil.

Page 226: Tojo Una Una

202

Gambar 53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka

05

10152025Alam

Manusia

SosialKeuangan

Buatan

Wakai

05

101520Alam

Manusia

SosialKeuangan

Buatan

Bambu

05101520Alam

Manusia

SosialKeuangan

Buatan

Bomba

05

101520Alam

Manusia

SosialKeuangan

Buatan

Kulingkinari

05101520Alam

Manusia

SosialKeuangan

Buatan

Malino

0

5

10

15Alam

Manusia

SosialKeuangan

Buatan

Siatu

Page 227: Tojo Una Una

203

Kesempatan yang paling luas adalah aktivitas rumah tangga, ibadah dan

konservasi, namun memiliki tingkat kesulitan yang tinggi terkait faktor alam seperti

(letak geografis yang jauh dari pusat fasilitas seperti pabrik es, PPI, pasar). Kesulitan

yang tinggi juga terjadi pada aktivitas ekonomi produktif yakni pada pertanian,

wisata, dan perikanan tangkap karena kelangkaan lapangan pekerjaan atau sedikitnya

kesempatan kerja. Kesadaran yang tinggi untuk aktivitas konservasi walaupun

memperoleh penghargaan ekonomi yang rendah, secara keseluruhan kondisi ini,

masyarakat dapat memperoleh insentif sesuai konstelasi CLSA (Adrianto 2005).

Dinamika aset alam sebagai Coastal Livelihood System dalam kurun waktu 20

tahun tertera pada Tabel 65. Tabel 65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka

No. Faktor kunci Tahun

1995 2000 2005 2010 1 Hutan bakau xxx xxx xx xx 2 Hutan Alam xxx xx xx xx 3 Jumlah rumah x xx xx xx 4 Air Bersih xx xx xx xx 5 Areal Pertanian x xx xx xxx 6 Tangkapan Ikan laut xxx xxx xxx xxx 7 Abrasi x x x xx 8 Hasil Pertanian xx xx xxx xx 9 Tambak 0 x x x 10 Kelapa xxx xxx xxx xx

Keterangan : 0 = tidak ada/habis, x = sedikit, xx = sedang, xxx = banyak Sumber : Analisis Data (2010)

Proses interaksi sistem alam dan sosial terakumulasi pada dinamika

perubahan aset alam. Sistem alam pesisir Gugus Pulau Batudaka menyediakan

berbagai barang dan jasa, yang mendukung perkembangan sistem sosial, juga

membatasi ataupun menghancurkan perkembangan sistem sosial ekologi dalam

bentuk berbagai tekanan (Tabel 66) .

Tekanan alam yang teridentifikasi di Gugus Pulau Batudaka adalah (1) abrasi,

(2) sedimentasi, (3) musim, dan (4) Badai. Tekanan tersebut mempengaruhi

Page 228: Tojo Una Una

204

penghidupan masyarakat yang menimbulkan dampak/resiko berupa kehilangan asset,

pekerjaan, pendapatan, meningkatkan biaya operasional penangkapan dan

ketidakpastian berusaha. Kerentanan dalam masyarakat merupakan hal yang

dianggap mengganggu atau dapat merugikan penghidupan mereka, berkaitan dengan

“sense of problem” yang penting untuk diketahui, khususnya pada konteks

masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk mengantisipasi perubahan,

atau pada konteks masyarakat sangat rentan dan membutuhkan dukungan.

Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas

dan upaya dalam mensikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih

tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman

masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin

terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi

penghidupan masyarakat. Tabel 66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka No Tekanan Alam Kelompok Rentan Dampak/Resiko 1 Abrasi Pemilik pinggir pantai Kehilangan asset secara permanen 2

Sedimentasi

Petambak Nelayan Petani Nelayan

Kehilangan pekerjaan Kehilangan pendapatan Kehilangan pendapatan

3 Musim Nelayan

Meningkatkan ketidakpastian Meningkatkan resiko penangkapan Meningkatkan biaya operasional Kehilangan pendapatan

4 Badai Semua

Meningkatkan ketidakpastian Meningkatkan biaya operasional Kehilangan pendapatan Kehilangan asset hingga nyawa

Sumber : Analisis Data (2010)

Pada situasi-situasi tertentu mungkin masyarakat sangat bergantung pada

dukungan dari pemerintah. Pemahaman ambang batas kemampuan masyarakat

Page 229: Tojo Una Una

205

menghadapi perubahan sangat diperlukan, terutama bagi pihak-pihak terkait untuk

meningkatkan sensitifitas mereka terhadap ancaman atau gangguan yang dialami

masyarakat, yaitu kapan dukungan atau bantuan langsung perlu diberikan sehingga

pemilihan insentif menjadi tepat guna. 5.4.4 Pemilihan insentif

Pilihan insentif bagi masyarakat Gugus Pulau Batudaka hampir seluruhnya

mengharapkan dari pemerintah, sehingga pengembangan mata pencaharian alternatif

ini diarahkan untuk mengalihkan profesi nelayan atau sebagai tambahan pendapatan.

Berbagai program, proyek dan kegiatan pemerintah telah dilakukan untuk

mengentaskan kemiskinan. Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program

yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan

produktivitas dan daerah ini juga memperolehnya. Pada tahun 2009, Kecamatan

Una-Una memperoleh 25 unit motor tempel 5.5 PK yang didistribusikan pada 5 desa.

Program motorisasi ini membawa dampak positif, dilihat dari bertambahnya jumlah

perahu bermotor di Gugus Pulau Batudaka. Saat ini bila ada program pemerintah

untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada rencana investasi oleh

nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan nelayan.

Demikian pula di bidang pariwisata, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Provinsi telah melakukan berbagai program terkait dalam pengembangan pariwisata

di kawasan Kepulauan Togean.

Mulai tahun 2006, Pemerintah meresmikan Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri dengan tujuan meningkatkan keberdayaan dan

kemandirian masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan dan perluasan

kesempatan kerja. PNPM bukan program yang baru, namun merupakan wadah bagi

terintegrasinya program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis

pemberdayaan masyarakat dan diperluas secara nasional. Untuk tahun 2007, dua

program diintegrasikan, yaitu Program Pengembangan Kecamatan dan PNPM

Mandiri merupakan instrumen program untuk pencapaian Millenium Development

Goals (MDGs). Program Pengembangan Kecamatan merupakan salah satu upaya

Page 230: Tojo Una Una

206

Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah.

Program diimplementasikan melalui pengelolaan di tingkat kecamatan dalam bentuk

pemberian dana bergulir untuk usaha ekonomi produktif dan penyediaan prasarana

dan sarana yang menunjang kegiatan ekonomi, yang kesemuanya itu diarahkan

sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building investment).

Program pemberdayaan masyarakat ini berada di bawah binaan Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri (Depdagri) (Hadi

2009). Kecamatan Una-una tahun 2010 memperoleh Rp 3 milyar dengan pembiayaan

program berasal dari Pemerintah Pusat (APBN), Pemerintah Daerah (APBD), dan

swadaya masyarakat. Hall (2001) menyatakan bahwa salah satu strategi pengelolaan

wisata pesisir berkelanjutan yakni dengan pemberlakuan insentif keuangan (financial

incentives) seperti pajak, harga, subsidi, dan bantuan yang diperuntukkan bagi

pembangunan infrastruktur wisata dan pemberdayaan masyarakat lokal.

5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian.

Strategi pilihan mata pencaharian dapat dilakukan melalui :

(1) Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga

melalui diversifikasi pendapatan nelayan untuk dikembangkan, yang diarahkan

bukan saja untuk nelayan tetapi juga untuk anggota keluarganya, khususnya istri

atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya. Pengembangan mata

pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang perikanan, seperti pengolahan,

pemasaran, atau budidaya ikan, juga diarahkan ke kegiatan non-perikanan;

(2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada

penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism).

Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat sulit untuk

memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian serta

resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank menyediakan modal bagi

bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang disertai dengan status nelayan

yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat mereka sulit

Page 231: Tojo Una Una

207

untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti

perlu adanya collateral, insurance dan equity;

(3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan

berdaya guna. Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan,

pada umumnya masih bersifat tradisional, maka produktivitas rendah. Upaya

meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari

teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Dengan

mempertimbangkan sifat dan karakteristik masyarakat;

(4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, Pasar adalah faktor penarik dan bisa

menjadi salah kendala utama bila pasar tidak berkembang, maka membuka akses

pasar adalah cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka

usaha sangat terhambat perkembangannya. Pengembangan pasar bagi produk-

produk yang dihasilkan masyarakat pesisir maka upaya yang dilakukan adalah

mendekatkan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar khususnya

eksportir komoditas perikanan, untuk mendapatkan jaminan pasar dan harga,

pembinaan terhadap masyarakat terutama dalam hal kualitas barang bisa

dilaksanakan, serta bantuan modal bagi pengembangan usaha. Meskipun

hubungan seperti ini sudah ada, secara umum boleh dikatakan bahwa masyarakat

masih menghadapi pasar yang tidak sempurna strukturnya, monopoli ketika

masyarakat membeli faktor produksi serta monopsoni ketika masyarakat menjual

produk yang dihasilkan. Struktur pasar yang tidak menguntungkan masyarakat ini

disebabkan karena informasi yang kurang mengenai harga, komoditas, kualitas,

kuantitas serta kontinyutas produk. Kelangkaan informasi ini begitu rupa

sehingga umumnya masyarakat hanya menghasilkan produk-produk yang serupa

sehingga akhirnya membuat kelebihan pemasokan dan kejatuhan harga;

(5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima

pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, keinginan,

kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat

(Nikijuluw 2001).

Page 232: Tojo Una Una

208

Strategi lain, pembelajaran dari keberhasilan alternatif mata pencaharian di

Aceh, yaitu 1) diperlukan fasilitator/petugas penyuluh lapang (dengan pengetahuan

teknis yang memadai) yang tinggal bersama masyarakat binaannya sehingga

permasalahan teknis dalam pengusahaan alternatif mata pencaharian; 2)

penggabungan pemberian modal usaha (misal untuk budidaya perikanan) yang

dikaitkan dengan kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) dipandang sangat

mendidik sehinga masyarakat merasa ikut memiliki/bertanggung jawab akan hasil

rehabilitasinya; 3) pemberian berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan

tentang teknik rehabilitasi, budidaya perikanan maupun alternatif usaha lainnya; 4)

kegiatan rehabilitasi (melalui pemulihan ekosistem mangrove) akan dapat melindungi

pemukiman dari bencana badai maupun air pasang dan memulihkan sumber mata

pencaharian masyarakat pesisir (Wetland 2009). Budidaya rumput laut merupakan

mata pencaharian alternatif yang berkembang di masyarakat Gugus Pulau Batudaka

dan untuk daerah Lindo Desa Tumbulawa, kegiatan ini telah menjadi mata

pencaharian utama, karena telah merasakan hasil yang lebih baik dibandingkan usaha

penangkapan ikan dan secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. 5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau

Analisis supply dapat digunakan untuk valuasi nilai ekonomi sumberdaya

pesisir pulau-pulau kecil (PPK) melalui identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya

yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di

dalamnya berbasis pada teknik valuasi sesuai tipe-tipe tersebut. 5.5.1 Wisata

5.5.1.1 Analisis Penawaran Wisata

Suatu penawaran akan melukiskan jumlah maksimum yang siap disediakan

pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu. Laju pertumbuhan

penawaran produk wisata akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang

ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran wisata atau mengestimasi kurva

penawaran wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka

pendek). Fungsi penawaran produk wisata yang diperoleh dengan meregresikan

Page 233: Tojo Una Una

209

peubah terikat biaya operasional pengusaha wisata (TC/total cost) terhadap peubah

bebas biaya konsumsi dan akomodasi (V1), serta biaya pemeliharaan (V2). (Tabel 68).

Tabel 68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka

Nama Usaha Q (orang)

TC (US) Konsumsi/V1

(US$) Pemeliharaan/V2

(US$) Wakai Cottoge 420 103700 76000 26700Poya Cottage 704 78000 58750 19250Island Retreat 428 157000 117500 38500Penginapan Surya 290 58625 41125 17500Uraian Keterangan

R dan R2

F-hit dan significance F Konstanta Nilai variabel biaya konsumsi dan akomodasi Nilai variabel biaya pemeliharan Jumlah sampel (n)

0.9998 dan 0.9996 13896 dan 0.0006 0.4870 0.7233 0.2874 4

Sumber : Analisis Data (2011) Model penawaran wisata tersebut diperoleh dengan menggunakan pendekatan

logaritma natural sebagai berikut:

Ln TC = 0.4870 + 0.7233 LnV1 + 0.2874 LnV2 Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana

ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara biaya operasional usaha

wisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung

13 896 > F tabel 9.55 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih besar

daripada F tabel berarti menolak H0 (H0 : β1 = β2 = βi = 0), yang berarti menerima H1

(H1 : minimal ada satu βi ≠ 0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas dalam fungsi

penawaran tersebut yang berpengaruh nyata terhadap biaya operasional usaha wisata.

Selain itu, nilai koefisien determinasi (R2) juga menunjukkan nilai sebesar 0,9996,

berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya konsumsi dan akomodasi,

pemeliharaan) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas, yaitu total biaya

operasional pengusaha wisata sebesar 99.96%. Hasil regresi yang didapatkan dapat

Page 234: Tojo Una Una

210

diguna

Gugus

Batuda

wisata

pada

pengu

dan ak

biaya

mengg

sumbu

pada k

operas

P Total B

(TC

akan untuk

s Pulau Bat

aka tertera p

Gambar 54 Kurva di a

a dengan Q

sumbu Y

usaha akan d

komodasi se

operasional

gambarkan

u X akan me

kurva di at

sional pengu

Biaya C)

membangun

tudaka. Ku

pada Gambar

` Kurva pen

atas membe

pada sumbu

pada waktu

dipresentasik

erta pemelih

l yang dike

biaya oper

empengaruhi

as tergamba

usaha wisata

n kurva pen

urva penawa

r 54 berikut

nawaran wisa

erikan penje

u X dengan

u tertentu,

kan oleh tin

haraan fasili

eluarkan pe

rasional pen

i nilai dari h

ar terus me

a sampai ko

(Biaya

nawaran da

aran produk

ini.

ata di kawas

lasan tentan

tingkatan ha

artinya seti

ngkatan harg

itas wisata.

engusaha ju

gusaha deng

harga P yang

ningkat seir

ondisi terten

Operasional

ari kegiatan

k wisata kaw

an Gugus Pu

ng biaya ope

arga yang di

iap besaran

ga tertentu d

Semakin ti

uga meningk

gan besaran

g berada pad

ring dengan

ntu, sehingga

l)

wisata di

wasan Gugu

ulau Batudak

erasional pe

inotasikan d

n biaya ope

dari biaya k

inggi harga

kat. Kurva

n nilai terten

da sumbu Y

n peningkata

a untuk men

kawasan

us Pulau

ka

engusaha

dengan P

erasional

konsumsi

P maka

tersebut

ntu pada

. Nilai P

an biaya

ngetahui

Page 235: Tojo Una Una

211

posisi dimana harga diinginkan oleh pasar atau kecocokan harga yang ditawarkan

pihak pengelola wisata maka harus diketahui tingkatan permintaan dari wisatawan

agar terjadi harga keseimbangan pasar (price equilibrium).

5.5.1.2 Analisis Permintaan Wisata

Metode yang digunakan untuk menghitung biaya perjalanan adalah melalui

individual travel cost method/TCM. Hasil analisis permintaan wisata di kawasan

Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean melalui metode TCM dengan menghitung

biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di

kawasan ini. Fungsi permintaan wisata yang diperoleh dengan meregresikan peubah

terikat biaya perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D) dengan

jumlah kunjungan (V) (Tabel 66), kemudian digunakan untuk membangun kurva

permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai

manfaat wisata kawasan ini. Tabel 66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus Pulau Batudaka

Negara Jumlah

KunjunganBiaya Perjalanan (US$)

Pendapatan (US$)

Jarak (km)

Italia 77 1049 30400 12554Prancis 80 1041 33200 13480Belanda 61 942 38500 13264Spanyol 23 986 30100 12491Jerman 34 972 34200 12890Swiss 17 1036 41100 13113Inggris 18 1116 35100 13644Belgia 17 959 35300 13296USA 15 1056 45800 17304Lokal 458 267 3700 515Uraian Keterangan R dan R2 0.8639 dan 0.7464 F-hit dan significance F 5.8861 dan 0.0321 Konstanta 26.2728 Nilai variabel biaya perjalanan -3.4082 Nilai variabel pendapatan -1.0981 Nilai variabel jarak 1.2707 Jumlah sampel (n) 10

Sumber : Analisis Data (2011)

Page 236: Tojo Una Una

212

berasa

1 041

jiwa d

perjala

untuk

kedata

Batuda

diband

memp

survei

biaya

minat

Batuda

Gamb

dengan

mence

tersebu

P (harg

Berdasarka

al dan Peran

per orang, s

dengan biaya

anan wisataw

berwisata. H

angan wisata

aka ketiga p

dingkan den

pengaruhi ora

, motivasi k

perjalanan y

wisatawan u

aka tertera p

ar 55 Kurv

Tingkat ku

n seberapa s

erminkan tin

ut. Fungsi p

ga)

an hasil yan

ncis sebesar

sedangkan ju

a perjalanan

wan suatu n

Hal ini dapat

awan yang

paling banya

ngan wisataw

ang dalam b

kunjungan w

yang murah,

untuk berku

pada Gambar

va permintaa

unjungan wi

sering seoran

ngkat kepua

permintaan w

g diperoleh,

80 jiwa den

umlah wisat

rata-rata seb

negara, seben

t dilihat dari

berasal dari

ak, padahal

wan dari neg

berwisata, sa

wisatawan un

namun keun

unjung. Kurv

r 55.

n wisata di k

isatawan ke

ng wisatawan

asan dan tin

wisatawan ke

(jumlah w

, terlihat bah

ngan rata-rat

tawan terend

besar US$ 1

narnya buka

data wisata

i negara ters

biaya perja

gara lain. Ar

alah satunya

ntuk berwisa

nikan alam y

va permintaa

kawasan Gug

kawasan G

n berkunjun

ngkat kesuk

e kawasan G

wisatawan)

hwa jumlah

ta biaya perj

dah berasal d

056 per ora

an merupaka

awan asal Pe

sebut ke kaw

lanan indivi

rtinya ada f

a adalah mot

ata ke kawas

yang ditawa

an wisata ka

gus Pulau B

Gugus Pulau

g ke lokasi t

kaan wisataw

Gugus Pulau

wisatawan,

jalanan sebe

dari USA se

ang. Tinggin

an penghalan

rancis, yakn

wasan Gugu

idunya palin

faktor lain y

tivasi. Menu

san ini bukan

arkan mempe

awasan Gugu

atudaka

Batudaka b

tersebut. Hal

wan terhada

u Batudaka d

tertinggi

esar US$

besar 15

nya biaya

ng orang

ni jumlah

us Pulau

ng tinggi

yang ikut

urut hasil

n karena

engaruhi

us Pulau

berkaitan

l ini juga

ap lokasi

diperoleh

Page 237: Tojo Una Una

213

dengan meregresikan peubah terikat jumlah kunjungan (Q) terhadap peubah bebas

biaya perjalanan (TC), pendapatan invidividu (I) dan jarak (D) dengan menggunakan

pendekatan logaritma natural, maka diperoleh model permintaan sebagai berikut:

LnQ = 26.2728 – 3.4082 LnTC – 1.0981 LnY + 1.2707D Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui

sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara tingkat

kunjungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F

hitung 5.88 > F tabel 4.76 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih

besar daripada F tabel berarti menolak H0 (H0 : β1 = β2 = βi = 0), yang berarti

menerima H1 (H1 : minimal ada satu βi ≠ 0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas

dalam fungsi permintaan tersebut yang berpengaruh nyata terhadap jumlah

kunjungan. Selain itu, nilai koefisien determinasi (R2) juga menunjukkan nilai sebesar

0.7464, berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya perjalanan,

pendapatan invidividu dan jarak) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas,

yaitu jumlah kunjungan sebesar 74.64%. Model permintaan yang diperoleh juga

dapat menunjukkan hubungan yang berlawanan antara jumlah kunjungan dan biaya

perjalanan. Berdasarkan hasil perhitungan regresi di atas, nilai terhadap permintaan

sebesar -3.4082 dapat diartikan apabila terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar

0.05 atau 5% maka akan menurunkan tingkat kunjungan sebesar 3.41%. Tanda

negatif menunjukkan bahwa pada fungsi permintaan tersebut terdapat hubungan

terbalik antara biaya perjalanan dengan tingkat kunjungan. Apabila terjadi kenaikan

biaya perjalanan menuju kawasan Gugus Pulau Batudaka, maka akan menyebabkan

penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan

hukum permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas

maka semakin rendah tingkat permintaannya. Yoeti (1997) berpendapat, bahwa

salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga. Kenyataan ini juga

sesuai dengan pendapat Gaspersz (2000) tentang hukum permintaan (law of demand)

yang menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila

harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga

Page 238: Tojo Una Una

214

meningkat (dengan asumsi nilai-nilai dari peubah lain yang mempengaruhi

permintaan produk tersebut dianggap konstan atau ceteris paribus.

Hasil regresi yang didapatkan dapat digunakan untuk membangun kurva

permintaan dan menentukan surplus konsumen dari kegiatan ekowisata bahari di

kawasan Gugus Pulau Batudaka. Surplus konsumen pada penelitian ini merupakan

selisih antara tingkat kesediaan membayar dari wisatawan dengan biaya atau harga

yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan dalam menikmati jasa alam

(Yudasmara 2010) berupa obyek wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Tingkat

kepuasan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat dilihat dari intensitas

kunjungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin sering seorang wisatawan

berkunjung ke kawasan ekowisata Gugus Pulau Batudaka mencerminkan semakin

puas terhadap lokasi wisata tersebut.

Pada kurva permintaan jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan

Gugus Pulau Batudaka yang dinotasikan dengan Q pada sumbu X dengan tingkatan

harga yang dinotasikan dengan P pada sumbu Y pada waktu tertentu, namun

penjelasan kurva permintaan berbeda dengan penawaran dimana semakin rendah nilai

harga yang ditawarkan maka jumlah wisatawan akan semakin meningkat atau

sebaliknya semakin tinggi harga yang ditawarkan maka jumlah kunjungan wisatawan

semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada kurva di atas, dimana harga pada

tingkat sekitar 910 nilai Q = 0 (tidak ada wisatawan yang datang) sedangkan bila

harga berada pada level 300 maka nilai Q sekitar ± 1 400 orang. Selain itu, dari kurva

permintaan diperoleh hasil perhitungan surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per

individu per tahun atau Rp 207 223 500 per individu per tahun dengan nilai tukar

rupiah terhadap dollar sebesar Rp 9 500. Nilai surplus konsumen didapatkan nilai

ekonomi kawasan ekowisata kawasan Gugus Pulau Batudaka yang diperoleh

berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung tahun 2007 adalah sebesar US$

58 273 atau Rp. 553 593 500. Nilai ekonomi ini merupakan nilai riil pemanfaatan

ekowisata di kawasan ini dan nilai tersebut akan meningkat bila jumlah wisatawan

yang berkunjung ke kawasan ini bertambah banyak. Hal ini dapat terjadi apabila

potensi dan kondisi daya tarik wisata yang ada di kawasan ini dapat dipertahankan,

Page 239: Tojo Una Una

d

m

p

a

k

h

k

d

s

k

b

m

p

m

disertai den

manajemenn

Setel

perpotongan

aktivitas wis

Kurv

keseimbanga

harga (P) 37

konsumen s

didapatkan

sebesar US$

kawasan saa

berkunjung

menambah j

pada kondis

mampu dita

P (harga)

ngan pening

nya.

lah hasil ku

n kedua kur

sata di kawa

Gambar 5

va keseimb

an aktivitas

70 dan nilai Q

sebesar US$

juga nilai e

$ 58 273. N

at ini dan n

ke kawasan

jumlah kunj

si keseimban

ampung oleh

gkatan sara

urva penawa

rva tersebut,

san Gugus P

6 Kondisi k

bangan di

wisata di ka

Q (jumlah w

$ 21 813 p

ekonomi ka

Nilai ekonom

nilai tersebu

n ini bertam

jungan wisa

ngan baru se

h kawasan

(jum

ana prasaran

aran dan per

, untuk men

Pulau Batuda

kesetimbanga

atas mem

awasan Gug

wisatawan) s

per individu

awasan wisa

mi ini merup

ut akan men

mbah banyak

atawan meng

ebesar 640 o

atau batas

mlah wisataw

na penduku

rmintaan dip

ngetahui kon

aka (Gambar

an pasar akti

mberikan p

gus Pulau Ba

ebesar 640 o

per tahun.

ata kawasan

pakan nilai r

ningkat bila

k atau masi

gingat jumla

orang, jumla

daya dukun

wan)

ung wisata

peroleh mak

ndisi keseim

r 56).

ivitas wisata

penjelasan,

atudaka bera

orang denga

Nilai surp

n Gugus Pu

riil pemanfa

a jumlah wi

ih ada kese

ah kunjung

ah wisatawa

ng kawasan

2

dan kualit

ka dapat dic

mbangan pas

a

bahwa tit

ada pada lev

an nilai surpl

lus konsum

ulau Batuda

aatan wisata

isatawan ya

empatan unt

gan wisataw

an yang mas

Gugus Pul

15

tas

ari

sar

tik

vel

lus

men

aka

di

ang

tuk

wan

sih

lau

Page 240: Tojo Una Una

216

Batudaka adalah sebesar 21 887 orang. Kondisi keseimbangan pasar wisata tertera

pada Tabel 67.

Tabel 67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka No Parameter Nilai Satuan 1 Harga 370 US$ 2 Jumlah wisatawan7 640 Orang 3 Surplus Konsumen 21 813 US$ 4 Nilai ekonomi 58 273 US$ Sumber : Analisis Data (2011).

Gugus Pulau Batudaka memiliki karakteristik obyek wisata yang spesifik,

dimana peminatnya juga terbatas pada wisatawan yang mempunyai ketertarikan

tersendiri terhadap obyek wisata berupa panorama alam yang ditawarkan di kawasan

ini dengan atraksi yang dominan berupa selam dan snorkeling. Jumlah kunjungan

wisatawan berdasarkan asal negara dari tahun 2006-2009 tertera pada Gambar 57.

Gambar 57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010)

Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengelola penginapan yang ada di

lokasi penelitian, biasanya jumlah wisatawan mancanegara yang cukup banyak terjadi

pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut merupakan masa

libur musim panas bagi wisatawan yang berasal dari negara-negara Eropa, dan juga

masa libur musim dingin bagi wisatawan yang berasal dari Australia dan New

Zealand, sedangkan pada bulan-bulan yang lainnya, permintaan rata-rata per-hari

hanya sekitar lima sampai sepuluh orang saja.

0

50

100

150

200

250

300

Prancis

Belanda

Jerm

an

Spanyol 

Inggris

Italia

Belgia

Swiss

USA

Australia

Slovenia

Austria

Chech

Kanada

swed

ia2009

2008

2007

2006

Page 241: Tojo Una Una

217

5.5.2 Perikanan

Jenis-jenis ikan yang tertangkap di Gugus Pulau Batudaka antara lain ikan

tongkol, tenggiri, teri, ekor kuning, kerapu, kakap, dan beberapa jenis ikan lainnya.

Adapun jenis ikan yang dihitung nilai produktivitasnya dalam penelitian ini adalah

ikan kerapu karena ikan tersebut memiliki habitat menetap di terumbu karang,

bernilai ekonomis tinggi, disamping dukungan ketersediaan data sekundernya.

Besaran jumlah hasil tangkapan ikan kerapu hampir tidak tergantung kepada musim,

kecuali pada musim-musim dimana terjadi gelombang besar (musim barat) nelayan

sedikit mengurangi aktivitas penangkapannya. Harga ikan kerapu pada bulan

Pebruari 2009-Pebruari 2010 sebesar Rp 25 000/kg. Hasil valuasi ekonomi ikan

kerapu tertera pada Tabel 68. Tabel 68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap No Variabel Pancing J. Insang Bubu 1 Produksi/trip/tahun 2 017 2 193 175 2 Pendapatan/trip/tahun 50 427 500 54 812 500 4 385 000 3 Tenaga Kerja 2 2 2 4 Trip (hari) 1 1 1 5 Trip/tahun 96 120 48 6 BBM/unit 3 4 2 7 BBM/tahun/unit 288 480 96 8 Harga BBM/tahun 2 016 000 3 360 000 672 000 9 Umpan (kg/tahun) 73 10 Harga umpan 365 000 11 Biaya/trip 47 575 48 000 34 000 12 Pendapatan bersih 43 479 267 45 692 500 2 081 000

Sumber : Analisis Data (2010)

Berdasarkan Tabel diatas, pendapatan bersih nelayan yang menggunakan alat

tangkap jaring ingsang dan pancing lebih tinggi dibanding bubu, masing-masing

sebesar Rp. 3 623 273/bulan (pancing), Rp. 3 808 125/bulan (jaring ingsang), Rp.

173 416/bulan (bubu). Nelayan di Gugus Pulau Batudaka umumnya menggunakan

kombinasi alat tangkap tersebut, seperti pancing-bubu sehingga tidak diperhitngkan

penggunaan umpan pada alat tangkap bubu.

Page 242: Tojo Una Una

218

5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau

Skenario pengelolaan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ditujukan

untuk arahan kebijakan dari model integrasi optimal berdasarkan kondisi saat ini.

Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun model integrasi wisata-

perikanan secara lengkap tertera pada Tabel 69.

Tabel 69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka Submodel dan parameter Nilai Dugaan Keterangan Sub Model Wisata 1. Jumlah wisatawan 3000 Disbudpar Prov. (2008) 2. Yield Factor (YF) Built-up 1.00

Lenzen dan Murray (2001); WWF (2008)

Cropland 1.70 Energy 1.30 Fishery 0.60

Forest 1.30 Pasture 2.20 3. Komponen :

Hasil analisis manual komponen TEF, luasan area dari hasil analisis GIS

- Foot Built-up : luas jalan, 18.36 pelabuhan, 0.43 penginapan 1.16 -Foot aktivitas : luas area selam, 18.70

snorkeling, 129.40 rekreasi pantai 68.69

- Foot energy : jumlah energi 2.38 - Food &Fibre : cropland, 4532.85

pasture, 1733.00 forest, 18395.95 Sea space 2610.00

4. Lama wisata 5 Hasil analisis kuesioner wisatawan (2010)

Sub model Perikanan Sektor populasi 1. Jumlah penduduk (jiwa) 13 500 Hasil proyeksi tahun 2010 2. Laju kelahiran 0.012

Hasil analisis berdasarkan BPS Touna (2004-2009)

3. Laju kematian 0.003 4. Laju imigrasi 0.029 5. Laju emigrasi 0.014

Sektor Produksi (lokal dan regional) 1. Biomassa ikan (X) Lokal 137.911 Hasil analisis, rumus (20)

Regional 12 864 2. Laju pertumbuhan intrinsik (r) Lokal 0.365

Hasil analisis rumus (21) Regional 0.043

3. Koefisien tangkap (q) Lokal 0.00001 Regional 0.00002

4. Daya dukung (K) Lokal 14.28 Regional 2103

Page 243: Tojo Una Una

219

Tentukan persamaan TEF, BC

Sesuai ? TEF = BC

Data : -Jumlah wisatawan -Luasan jalan, pelabuhan (GIS) -Luasan tata guna lahan (GIS) -Akomodasi wisata -Produksi listrik

Sesuai

Hitung : -Agregrat kmponen footprint -Biocapacity

Cetak : Pemanfaatan optimal TEF = BC

Submodel dan parameter Nilai Dugaan Keterangan

Sektor Footprint perikanan 1. Data ekspor 5.58

Hasil analisis rumus (29) 2. Data impor 17.28 3. Data konsumsi domestik 300.56 4. Faktor ekivalen laut (YF) 0.06 Lenzen dan Murray (2001) 5. Luas perairan regional 338 575 Hasil analisis GIS 6. Luas perairan lokal 61 052 Hasil analisis GIS 7. Total EF perikanan 0.34 Hasil analisis FEF, rumus (9)

5.6.1 Sub Model Wisata

Keberlanjutan aktifitas wisata di Gugus Pulau Batudaka membutuhkan ruang

dan sumberdaya dimana prediksi wisatawan yang datang setiap tahunnya untuk

keperluan alokasi ruang dan sumberdaya agar dapat dilakukan pengelolaan secara

efektif. Diagram alir TEF (Touristic ecological Footprint) tertera pada Gambar 58.

Gambar 58 Diagram alir TEF

Tidak

Ya

Mulai

Tidak

Selesai

Page 244: Tojo Una Una

220

Tabel 70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun

Tahun

Jumlah Wisatawan

(orang) EF Total

(ha/tahun)Biocapacity Total (ha)

EF tiap wisatawan

(ha/kapita/tahun)

Biocapacity wisatawan

(ha) 2010 3 000 759 5 132 0.25 1.71 2011 7 372 1 698 5 132 0.23 0.70 2012 10 806 2 435 5 132 0.23 0.47 2013 13 503 3 014 5 132 0.22 0.38 2014 15 620 3 469 5 132 0.22 0.33 2015 17 283 3 826 5 132 0.22 0.30 2016 18 589 4 106 5 132 0.22 0.28 2017 19 615 4 327 5 132 0.22 0.26 2018 20 420 4 500 5 132 0.22 0.25 2019 21 052 4 635 5 132 0.22 0.24

Final 21 549

Total BC dan EF pada tabel diatas dari keseluruhan wisatawan dan untuk

wisatawan per tahun (kapita/ha/tahun) yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka

dengan jumlah wisatawan awal sebanyak 3 000 orang pada tahun 2010 dan kondisi

ruang ekologis (BC) sekitar 5 132 ha, maka pada tahun pertama Gugus Pulau

Batudaka dapat menampung 7 372 orang dengan lahan yang dibutuhkan sebesar

1 698 ha dengan kebutuhan lahan untuk setiap wistawan (per kapita) 0.23 ha. Sampai

tahun kedua peningkatan jumlah wisatawan cenderung tinggi disebabkan oleh

luasnya lahan produktif masih tersedia. Pada tahun selanjutnya, wisatawan yang

dapat ditampung di Gugus Pulau Batudaka terjadi sedikit peningkatan dan cenderung

stabil sehingga pemanfaatan lahan untuk tiap wisatawan juga tidak mengalami

perubahan yang signifikan. Peningkatan wisatawan yang berkunjung di Gugus Pulau

Batudaka akan meningkatkan total luas lahan yang dimanfaatkan sebagai akibat dari

konsumsi yang dilakukan, namun tidak sampai melebihi BC. Model dinamik dari

penjelasan diatas tertera pada Gambar 59.

Peningkatan jumlah wisatawan berhubungan dengan konsumsi terhadap

sumberdaya di Gugus Pulau Batudaka dan secara langsung mempengaruhi

peningkatan EF total, namun perubahan EF total tersebut tiap tahunnya sangat kecil.

Hal ini dapat dilihat dari EF per kapita tiap wisatawan yang cenderung tetap dan

Page 245: Tojo Una Una

221

masih dibawah BC. Hasil perhitungan manual EF total minimal dapat menampung

jumlah wisatawan sebesar 21 887 orang, sedangkan perhitungan model dinamik

jumlah wisatawan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, Gugus Pulau Batudaka

dapat menampung sekitar 21 549 orang. TEF merupakan pendekatan yang digunakan

dalam menghitung kemapuan kawasan dalam menampung jumlah wisatawan di

gugus Pulau Batudakan berdasarkan biocapacity yang tersedia dan konsumsi terhadap

sumberdaya dalam satuan luas area baik di lahan daratan dan perairan per tahun untuk

rata-rata lama kunjungan 5 hari.

Gambar 59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC

BC merupakan daya dukung ruang secara ekologis untuk menunjang tingkat

konsumsi dari wisatawan terhadap suberdya yang ada di Gugus Pulau Batudaka.

Pertambahan jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan tersebut setiap tahun

akan diikuti peningkatan EF dari pulau tersebut karena permintaan akan ruang.

Kondisi BC yang konstan, maka jumlah wisatawan setiap tahun akan bertambah

secara eksponensial hingga mencapai relatif konstan karena EF masih berada

dibawah BC dan bila EF melampaui BC menandakan kegiatan wisata tidak

berkelanjutan (unsustainable). Hal ini berarti Gugus Pulau Batudaka masih dapat

menerima kehadiran wisatawan dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang

lama.

Page 246: Tojo Una Una

222

5.6.2 Sub Model Perikanan

Sub model perikanan tersusun atas : sektor populasi, sektor produksi, dan

sektor ecological footprint. Diagram alir sub model perikanan tertera pada Gambar

60-62.

5.6.2.1 Sektor Populasi

Sumber daya manusia adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk

yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografi,

sosial dan ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan.

Karakteristik demografi merupakan aspek kuantitatif sumberdaya manusia yang dapat

digunakan untuk menggambarkan jumlah dan pertumbuhan penduduk, penyebaran

dan komposisi penduduk. Parameter yang digunakan sub model populasi diestimasi

menggunakan data populasi pada Tabel 71.

Gambar 60 Diagram alir sektor populasi

Page 247: Tojo Una Una

223

Tabel 71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk

No Desa Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1 Kulingkinari 910 945 924 930 987

2 Molowagu 1021 1.253 1.235 1.239 1197

3 Bomba 738 811 829 834 736

4 Tumbulawa 988 998 992 1.057 1214

5 Taningkola 1329 1. 386 1.375 1.371 1069

6 Bambu 1389 1.116 1.187 1.229 1268

7 Una-Una 1447 1.455 1.146 1.447 1370

8 Lembanya 459 489 513 510 572

9 Wakai 1989 2.232 2.324 2.355 2765

10 Tanjung Pude 385 388 397 572 592

11 Malino 286 345 381 364 379

12 Siatu 373 391 398 410 422

13 Kambutu 449 473 475 493 535

Jumlah 11763 12287 12476 12811 13106

Lahir 131 103 143 185 170

Mati 9 48 30 36 71

Emigrasi 533 237 365 331 333

Imigrasi 393 86 192 110 92

Laju kelahiran 0.0117

0.0031

0.0290

0.0143

Laju Kematian

Laju Emigrasi

Laju Imigrasi

Sumber :BPS (2004-2009), Analisis Data (2011) 5.6.2.2 Sektor Produksi

Estimasi kemampuan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam menopang

kehidupan penduduknya, khususnya sumberdaya perikanan terbarui, dalam hal ini

produkivitas berhubungan dengan stok ikan yang dipengaruhi faktor alam dan

manusia (Adrianto dan Matsuda 2004). Perhitungan stok ikan di perairan Gugus

Pulau Batudaka (lokal) dan perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)

membutuhkan data series (tahun 2007-2009) baik produksi ikan maupun data upaya

penangkapan (DKP Kec. Una-Una 2010; DKP Prov Sulteng 2010) yang dikumpulkan

selama penelitian sehingga diperoleh nilai perkiraan jumlah produksi dan jumlah

Page 248: Tojo Una Una

224

upaya penangkapan ikan. Estimasi potensi sumberdaya ikan hasil tangkapan lokal dan

regional dilakukan dengan cara menganalisis data total hasil tangkapan dan upaya

penangkapan ikan, serta perhitungannya terdapat pada Lampiran 11 dan 12. Adapun

diagram alir produksi lokal dan regional tertera pada Gambar 63.

Gambar 61 Diagram alir sektor produksi Berdasarkan data hasil tangkap per unit usaha/CPUE dengan menggunakan

model Schunete dapat diestimasi parameter sektor produksi dan biomassa ikan

(Lampiran 12 dan 13) dihitung dengan model fungsi pertumbuhan ikan dari

Gompertz (Tabel 72).

Page 249: Tojo Una Una

225

Tabel 72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi Parameter Produksi Lokal Produksi Regional Laju pertumbuhan intrinsik (r) 0.365 0.043Koefisien tangkap (q) 0.00001 0.00002Daya dukung (K) 90 469 kg 1 071 tonBiomassa ikan (X) 137 911 kg 12 863 tonSumber : Analisis Data (2011) 5.6.2.3 Sektor Ecological Footprint

Pada sektor ini, ecological footprint perikanan sebagai stok dan sebagai

variabel adalah konsumsi domestik, konsumsi ekspor dan konsumsi impor. Menurut

Folke (1996) pengertian konsumsi disini adalah total suplai atau produksi dari

konsumsi manusia dan limbah yang dihasilkan. Berdasarkan data dari BPS yaitu

jumlah penduduk dan ekspor ikan, dan konsumsi ikan per kapita dari DKP, namun

karena data impor tidak tersedia, maka dapat diestimasi menggunakan rumus ikan

impor (rumus 35), sehingga konsumsi riil dapat dihitung (Tabel 73). Diagram alir

sektor ecological footprint tertera pada Gambar 63.

Tabel 73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka

Tahun Konsumsi Aktual Loka11

(ton) Penduduk

Konsumsi Potensial1 (ton)

Estimasi impor2

(ton)

Estimasi Impor konsumsi dari hasil tangkap3 (ton)

Expor4 (ton)

Konsumsi Riil (ton)

2001 245 11325 253.68 9.06 11.51 2.53 254

2002 255 11346 256.87 1.59 2.02 0.10 257

2003 241 11710 264.65 24.01 30.49 10.70 260

2004 261 11592 261.75 0.46 0.59 4.80 257

2005 294 12287 301.03 6.76 8.58 7.80 295

2006 312 12476 323.63 11.35 14.42 5.70 321

2007 333 12811 362.30 29.21 37.10 4.04 366

2008 370 13206 395.92 26.15 33.21 9.00 394

Rata-Rata 288.90 12094.13 302.48 13.57 17.24 5.58 300.56 Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010) 2 IMt = (Konsumsi potensial – Konsumsi Akttual) x Penduduk tahun t 3 Koefisien tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002) 4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)

Page 250: Tojo Una Una

226

Gambar 62 Diagram alir sektor ecological footprint

Hasil simulasi ecological footprint perikanan yakni populasi penduduk,

produktivitas tangkapan ikan dan EF perikanan tertera pada Tabel 74 dan Gambar 65. Tabel 74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF

perikanan

Tahun Jumlah

penduduk Produksi

lokal (ton) Produksi

regional (ton)konsumsi

domestik (ton) EF Perikanan (ha/kapita/th)

2010 13 500 307 4 545 0.02 0.02

2011 13 824 291 4 070 0.02 0.02

2012 14 156 277 3 645 0.02 0.02

2013 14 496 265 3 265 0.02 0.02

2014 14 843 254 2 925 0.02 0.03

2015 15 200 245 2 621 0.02 0.03

2016 15 565 236 2 349 0.02 0.03

2017 15 938 229 2 105 0.02 0.03

2018 16 321 222 1 887 0.02 0.03

2019 16 712 216 1 692 0.02 0.03

Final 17 113 0.03 Sumber : Hasil analisis (2011)

Page 251: Tojo Una Una

227

Gambar 63 Hasil simulasi EF perikanan

Hasil simulasi (Gambar 63) terlihat bahwa populasi penduduk di Gugus

Pulau Batudaka cenderung meningkat berdasarkan input (kelahiran dan emigrasi)

dan output (kematian dan imigrasi). Pada awal tahun simulasi, jumlah total penduduk

sekitar 13 500 jiwa dan pada 10 tahun kemudian menjadi 17 113 jiwa. Hasil simulasi

peningkatan jumlah penduduk diiringi penurunan laju konsumsi domestik dan sektor

produksi (lokal dan regional). 5.6.2.4 Penggambaran model konseptual

Model konseptual wisata-perikanan digambarkan dalam model dinamik

lengkap yang tertera pada Gambar 64 dan tren hasil simulasi tertera pada Gambar 65,

serta proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, konsumsi domestik

dan EF perikanan pada Tabel 75.

Page 252: Tojo Una Una

228

Gambar 64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka

Gambar 65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan

Jml Wisatawan

Total BC haEF ha\cap\th

BC Energy ha

BC Buit up

BC Cropland

BC Pasture

BC Forest

BC sea space

YF Fishery

Exist sea area ha

YF Forest

exist f orest area ha

YF Pasture

exist pasture area ha

YF Cropland

Exist Crop area ha

Exist Builtup ha

YF Built up

Exist area ha

YF Energy

Foot Food & Fibre

cropland\ha\kap\thSea space ha\kap\th

f orest ha\kap\th

Pasture ha\kap\th

Lama wisata

f oot Energy ha\kap\th

kons Energy GJ\kap

Jml Energy GJ\ha\th

Foot Aktiv itas

Luas Area Div eLuas Area Snork

Luas Wst Pantai

Foot Penginapan

Foot Builtup ha\kap\thFoot Jalan

Luas Jalan ha

Luas Pelab

Foot Pelabuhan

Luas Penginapan ha

Total EF

Impor EF

Ekspor EF

Produksi Lokal

Konsumsi Domestik EF

Areal lokal

Data Ekspor

data domestik

data impor

produkai regional

Areal Regional

f aktor ekiv alen laut

EF Perikanan

Jml Penduduk

kelahiiranKematian

ImigrasiLaju Kelahiran

Laju imigrasi

Laju Kematian

Emigrasi

Laju Emigrasi

Biomassa Ikan

Pertumbhan Marginalproduksi

Regional

Kematian 2

Laju pertmbuhan Intrinsik

Fraksi Kematian

Normal

Fraksi Tangkapan

Produksi Regional

per area

Area Fishing Ground

Regional

Koef isien Tangkap

Jumlah Trip

Rasio Biomassa Ikan

Day a DUkung

Biomassa Ikan 2

Pertumbhan Marginal 2produksi Lokal

Kematian 3

Laju pertmbuhan Intrinsik 2

Fraksi Kematian

Normal 2

Fraksi Tangkapan 2

Produksi lokal

per area

Area Fishing Ground

Lokal

Koef isien Tangkap 2

Jumlah Trip 2

Rasio Biomassa Ikan 2

Day a DUkung 2

Page 253: Tojo Una Una

229

Tabel 75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi domestik dan EF perikanan

Tahun Jumlah

wisatawan EF wisata (ha/tahun)

Jumlah Penduduk

Laju KonsumsiDomestik

(ton)

EF perikanan (ha/th)

2010 3 000 4 177 13 500 0.02 0.022011 3 955 4 336 13 824 0.02 0.022012 4 751 4 518 14 156 0.02 0.022013 5 365 4 691 14 496 0.02 0.022014 5 805 4 844 14 843 0.02 0.032015 6 094 4 975 15 200 0.02 0.032016 6 251 5 086 15 564 0.02 0.032017 6 296 5 181 15 938 0.02 0.032018 6 247 5 262 16 321 0.02 0.032019 6 117 5 332 16 712 0.02 0.03

Final 5 917 17 113 0.03Sumber : Hasil analisis (2011)

Hasil simulasi menunjukkan peningkatan penduduk dengan masuknya

wisatawan di Gugus Pulau Batudaka dengan penurunan laju konsumsi domestik yang

konstan. Integrasi EF wisata dan perikanan pada awal tahun simulasi, estimasi EF

perikanan atau kebutuhan sumberdaya perikanan membutuhkan area seluas 0.02

ha/tahun yang meningkat menjadi 0.03 ha/tahun pada akhir tahun simulasi. Dengan

asumsi produktivitas area laut hanya sebesar 8.2% (Pauly dan Christensen 1995;

Wackernagel and Rees 1996; Warren-Rhodes dan Koenig 2001) atau 214 ha, maka

konsumsi ikan di Gugus Pulau Batudaka mengalami surplus pada akhir tahun

simulasi dengan kebutuhan area sebesar 0.03 kali kebutuhan area laut produktif.

Hasil dinamik integrasi EF ini menunjukkan keberlajutan surplus ekologis

(0.03 kali dari kapasitas area tangkapan). Hal ini sejalan dengan perhitungan EF

secara statis bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk

kegiatan pemanfaatan perikanan yakni pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan

yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala

regional. Hal ini menunjukkan bahwa Gugus Pulau Batudaka dapat menampung

wisatawan sebanyak maksimal 6 247 wisatawan pada tahun ke-7 dan pada akhir

Page 254: Tojo Una Una

230

tahun simulasi menjadi 5 917 wisatawan dengan sumberdaya yang ada dan

didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus, sebagai indikator

keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan di kawasan tersebut.

Hasil simulasi integrasi wisata-perikanan pada akhir tahun tersebut

menghasilkan jumlah kunjungan wisatawan dan populasi penduduk pada akhir tahun

simulasi sebesar 23 030 kapita/tahun (4 326 wisatawan/tahun) dengan tren penurunan

wisatawan seiring dengan peningkatan populasi penduduk setelah tahun ke-7

simulasi. Penggunaan pendekatan kehati-hatian (precusionary approach) dalam

penggunaan sumberdaya yakni lahan potensial yang tersedia di Gugus Pulau

Batudaka (ruang untuk wisata 0.93 ha/tahun dan perikanan 0.03 ha/tahun), maka bila

dikaitkan dengan kebijakan pengelolaan dengan jumlah kunjungan wisatawan yang

belum melampai daya dukung kawasan maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah

promosi dan meningkatkan atraksi wisata. 5.6.2.5 Verifikasi dan Validasi Model

Verifikasi dan validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun

dengan cara yang benar dan sah sebagai perwakilan dunia nyata (Murthy et al. 1990).

Uji verifikasi dan validasi pada model integrasi wisata-perikanan dilakukan terhadap

struktur model integrasinya. Model dinamik kinerja integrasi wisata-perikanan

mengadopsi teori sistem penilaian kinerja pemanfaatan ruang untuk wisata

(Solarbesain 2009) dan perikanan (Adrianto dan Matsuda 2004) yang telah dikaji

secara akademis merupakan model yang dibuat melalui pengembangan dari beberapa

model sistem penilaian pemanfaatan ruang perairan secara spasial dan temporal

(Moffat 2000; Warren-Rhodes dan Koenig 2001; Adrianto dan Matsuda 2004). Oleh

karena itu validasi teoritis untuk model sistem penilaian kinerja pada penelitian ini

berdasarkan rujukan teoritis yang digunakannya.

Simulasi model ini bertujuan untuk memprediksi pemanfaatan ruang wisata

perikanan berdasarkan nilai variabel keadaan (state variable) stok dari data primer

dan sekunder. Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil

analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data

Page 255: Tojo Una Una

231

pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang

digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisman dan jumlah penduduk.

Persyaratan statistik yang diuji adalah nilai β (intercept), besaran koefisien

determinasi (R2), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji

validasi model disajikan pada Tabel 76.

Tabel 76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi

No. Jenis persyaratan statistik Nilai hasil analisis dinamik

Nilai hasil analisis data lapangan

Intercept R2 Rataan Y predik

Intercept R2 Rataan Y predik

1. Jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y)

- 5 821 0.6565 5 436 - 11 688 0.9057 2 767

2. Jumlah penduduk dan wisman (X) terhadap EF wisata (Y)

3 061 0.8869 4 840 342 0.9401 3 396

Tabel 76 menunjukkan bahwa baik persyaratan nilai intercept maupun rata-rata

nilai prediksi level (kunjungan wisman dan EF wisata) umumnya menunjukkan nilai

yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R2) jumlah penduduk (X)

terhadap kunjungan wisman (Y) dari analisis data analisis dinamik lebih rendah

dibanding data lapangan. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data kunjungan

wisman` (Lampiran 9) menunjukan bahwa pada kondisi ril lapangan, variasi nilai

kunjungan wisman dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang tidak dimasukan dalam

model ini. Nilai intercept yang diperoleh relatif sama yakni tanda negatif untuk

hubungan jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y) dan tanda positif

untuk jumlah penduduk dan wisman (X) terhadap EF wisata (Y) untuk seluruh

dimensi sehingga hasil analisis dalam penelitian ini dianggap valid. Model dinamik

integrasi wisata-perikanan yang dibuat mampu untuk melakukan sebuah proses

simulasi sebagai kajian model dunia abstrak mengikuti dari perilaku realitas dunia

nyata yang dikaji sehingga model dinamik integrasi wisata-perikanan tersebut telah

memenuhi prosedur verifikasi dan validasi model.

Page 256: Tojo Una Una

232

Page 257: Tojo Una Una

233

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka hal-hal yang dijadikan sebagai

kesimpulan dalam penelitian ini adalah:

1 Pemanfaatan sumberdaya untuk wisata (selam, snorkeling) dan perikanan

(budidaya rumput laut) dilakukan berdasarkan kesesuaian temporal karena

kesesuaian ruangnya yang bersifat dinamik. Integrasi wisata-perikanan di

Gugus Pulau Batudaka dapat menampung sebanyak 21 887 wisatawan/tahun

yang memanfaatkan ruang untuk perikanan sebesar 0.04 ha/kapita (skala

lokal) dan 0.3 ha/kapita (skala regional) dan didukung hasil analisis HANNP,

CLSA dan valuasi ekonomi sehingga Gugus Pulau Batudaka dapat

dikembangkan menjadi kawasan wisata dan perikanan.

2 Keberlanjutan sistem sosial ekologi di kawasan ini dapat menampung

wisatawan rata-rata setiap tahun sebanyak 4 326 orang yang memanfaatkan

ruang untuk wisata (0.93 ha/tahun) dan ruang untuk perikanan (0.3 ha/tahun).

6.2 Saran

Saran untuk keberlanjutan pengelolaan kawasan ini adalah :

1 Perlu adanya perubahan zonasi di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan

kebutuhan masyarakat, kesesuaian ruang dan daya dukung kawasan.

2 Pengembangan Gugus Pulau Batudaka sebagai kawasan wisata dengan

menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam

pengelolaan sumberdaya, maka untuk meningkatkan jumlah kunjungan

wistawan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi obyek wisata saat

ini (wisata selam, dan snorkeling) yang didukung oleh ketersediaan

infrastruktur penunjang melalui peningkatan atraksi wisata dan kegiatan

promosi.  

Page 258: Tojo Una Una

234

Page 259: Tojo Una Una

235

DAFTAR PUSTAKA

Adhiasto. 2001. Laporan penelitian mangrove di Kepulauan Togean. Conservation International Indonesia – Yayasan Pijak. Palu.

Adrianto, L. 2004. Reformasi pemikiran ekonomi : perlunya reintegrasi ilmu alam dengan ilmu ekonomi. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=4 (Diakses 18 Mei 2007)

Adrianto L, and Y. Matsuda 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima University. Japan.

Adrianto, l., 2005. Konsep dan pengertian ekonomi sumberdaya pesisir dan Laut. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Adrianto L. 2005. Analisis Sosial Ekonomi dalam Strategi Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Laut: Sebuah Pendekatan (Coastal Livelihood Analysis). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Adrianto, L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Working Paper. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor.

Adrianto, L and N. Aziz. 2006. Valuing the social-ecological interactions in coastal zone management : a lesson learned from the case of economic valuation of mangrove ecosystem in Barru Sub-District, South Sulawesi Province. Seminar in Social-Ecological System Analysis. 12 June 2006. ZMT, Bremen University, Bremen.

Adrianto, L. 2007. Teknik pengambilan data untuk Contingent Valuation Method. Modul yang disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi. Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL, Bogor.

Adrianto, L dan Y. Wahyudin, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan. Makalah Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007.

Allison, E.H., and F. Ellis, 2001. The livelihoods approach and management of small-scale fisheries. Marine Policy, 25 (5):377-388

Anggadiredja, J.T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Aslan, L.M., 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta. Ayres, R.U. and L.W. Ayres, 2002. Handbook of Industrial Ecology. Cheltenham,

UK and Lyme, US. Edward Elgar. Ayres, R.U., JC.J.M van den Bergh, 2000. Weak versus strong sustainability :

economic, natural science and consilience. Environmental Ethichs, forthcoming.

Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana.

Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean. Ampana.

Page 260: Tojo Una Una

236

Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una. 2009. Survei sosial ekonomi daerah Kabupaten Tojo Una-Una (SUSEDA) 2009. Bappeda & PM Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana.

Barton, D.N. 1994. Economic factors and valuation of tropical coastal resources. University of Bergen, Norway.

Bass, S and B. Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable Development: Strategic Issues and Experience. Environmental Planning Issues, 8:35-42

Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

Bengen, D.G., 2002. Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan lingkungan pulau-pulau kecil. Laporan Akhir Kerjasama antara Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.

Bengen, D.G. dan A.S.W. Retraubun, 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor, Indonesia.

Bergh, J.C. and J.M. van den, 2001. Themes, Approaches, and differences with environmental economics. Ecological Economics : rev version. p 1-38

Berkes, F and C. Folke, 2002. Back to The Future : Ecosystem Dynamic and Local knowledge. In Panarchy understanding transformations in Human and Ntaural system. (Gunderson and Holling eds). Island Press, Washington- Cavelo-London. p 121-146

Berkes. F, and C.S.Seixas, 2005. Building resilience in lagoon social-ecological systems: a local-level perspective. Ecosys. 8:967-974

Berkes, F., 2007. Understanding uncertainty and reducing vulnerability : lessons from resilience thinking. Springer Science Nat Hazards. 41:283–295

Beller, W., 1990. How to sustain a small island. In : Beller, W., P. d”Alaya dan P. Hein (eds.) : Sustainable developtment and environmental management of small islands. Man and Biosphere Series : Vol 5 UNESCO and Parthenon Group, Paris. p:15-22

Bin, C., H. Hao, Y. Weiwei, Z. Senlin, W. Jinkeng, J. Jinlong, 2009. “Marine biodiversity conservation based on integrated coastal zone management (ICZM) a case study in Quanzhou Bay, Fujian, China”. Ocean & Coastal Management 52:612–619

BKSDA-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah, 2006. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Kepulauan Togean 2005-2030. BKSDA Sulteng Dirjen Perlindungan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, Palu.

BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Poso, 2004. Kabupaten Poso dalam Angka 2003. Poso.

Page 261: Tojo Una Una

237

BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004. Laporan Tahunan. Ampana.

BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004-2008. Kecamatan Una-Una dalam Angka. Ampana.

BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2009. Kabupaten Tojo Una-Una dalam Angka 2008. Ampana.

BRPL-Balai Riset Perikanan Laut, 2005. Teluk Tomini: ekologi, potensi sumberdaya, profil perikanan dan biologi beberapa komoditi yang penting. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta.

Briguglio, L., 1995. Small island state and their economic vurnerabilities. World Development 23:1615-1623.

BRKP-Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2004. Profil sumberdaya kelautan dan perikanan Teluk Tomini. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta

Bonham GF, and Carter, 1994. Geographic information system for geoscientist; modeling with GIS. Pergamon. Ottawa, Ontario, Canada.

Bowen, R.E. and C. Riley, 2003. Socio-economic indicators and integrated coastal management. Ocean & Coastal Management 46:299–312.

Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, dan E. Mubyarto, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air, Liberty, Yogyakarta.

Brower, J., Z. Jerold and C. Von Ende, 1990. Field laboratory and method for general ecology. 3th ed. W.m.C. Brow Publishers, USA.

Casagrandi, R. and S. Rinaldi. 2002. A Theoretical approach to tourism sustainability. Conservation. Ecology, 6 (1):13-21.

Chambers, N., C. Simmons and M. Wackernagel, 2000. Sharing nature’s interest : ecological footprint as an indicator of sustainability. Earthscan Publicaton, London.

Cholik, F., 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central Research Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta.

Chua, T. E., 1992. Integrative Framework and Methods for Coastal Area Management. ICLARM, Manila.

Chua, T.E., 1993. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management. Ocean & Coastal Management. ELsevier Science Publishers Ltd, England Printed in Northern Ireland.

Cicin-Sain, B., P. Bernal, V. Vandeweerd, S. Belfiore and K. Goldstein, 2002. A guide to oceans, coasts and islands at the World Summit on sustainable development. Integrated Management from Hilltops to Oceans. World Summit on Sustainable Development Johannesburg, South Africa August 26-September 4.

CII-Conservation International for Indonesia, 2005. Konservasi berbasis masyarakat melalui daerah perlindungan laut di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Palu.

CII-Conservation International for Indonesia, 2006. Laporan monitoring dan evaluasi kondisi biologi daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Kabalutan dan Teluk Kilat Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Palu

Page 262: Tojo Una Una

238

CIT-Coast Information Team, 2004. Ecosystem Based Management Planning Handbook. Cortex Consultants Inc., 3A–1218 Langley St. Victoria.

Clark, C. W., 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto Canada.

Clark, J. and D. Carney, 2008. Sustainable Livelihoods Approaches – What have we learnt?: A review of DFID’s experience with Sustainable Livelihoods. ESRC Research Seminar Paper, London.

Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida

Costanza, R., 2001. Vision, values, valuation, and the need for an ecological economics. BioScience 51 (6):459-468

Costanza, R., 2009. A new development model or a “full world” Development 52 (3):369–376

Dahl, C., 1997. Integrated coastal resources management and community participation in a small isl setting. Ocean & Coastal Management, 36 (1-3):23-45

Dahuri, R., 1998. Pendekatan ekonomi-ekologi pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP (USAID), PKSPL-IPB, Bogor. Hal : B32-B34.

Dahuri, R J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2003. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Dahuri, R., 2003. “Keanekaragaman hayati laut” aset pembangunan Indonesia berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Daniel, M., 2003. Metode penelitian sosial ekonomi. Dilengkapi beberapa alat analisa dan penuntun penggunaan. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Damanik, R., B. Prasetyamartati dan A. Satria, 2006. Menuju konservasi laut yang pro rakyat dan pro lingkungan. WALHI, Jakarta.

Davis D, and C. Tisdell, 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity in marine protected areas. Ocean and coastal Management, 26 (1):19-40.

Dharmawan, A.H., 2006. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Klasik dan Kontemporer. Makalah. Apresiasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung Prima Tani”, Hotel Jaya-Raya, Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.

Disbudpar-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tojo Una-Una, 2006. Informasi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana.

DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001. Pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Ditjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Jakarta.

DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004. Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. DKP Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Jakarta.

DKP-Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, 2006. Studi Pengembangan mata pencaharian alternatif. DKP Pemkab Selayar-Coremap II Kab. Selayar.

Page 263: Tojo Una Una

239

DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, 2005. Profil investasi perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana.

DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah, 2010. Laporan statistik tangkap 2003-2009. Palu.

DKP Unit Pelaksana Teknis Kecamatan Una-Una, 2010. Laporan data potensi perikanan tangkap dan produksi kelautan dan perikanan. Wakai.

Djojomartono, M., 1993. Pengantar Umum Analisis Sistem. Pelatihan Analisis Sistem dan Informasi Pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Eidman, E., 1991. Pengaruh hukum adat terhadap sistem bagi hasil perikanan : Kasus di Muara Angke. Tesis. IPB, Bogor.

Effendie, I., 2003. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Elliot, G., B. Mitchell, B. Wiltshire, A. Manan and S. Wismer, 2000. Community

participation in marine protected area management : Wakatobi National Park, Sulawesi, Indonesia. Coastal Management, 29:295–316

Emmerton L., 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN. English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine

Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Erb, K-H., V. Gaube, F. Krausmann, C. Plutzar, A. Bondeau, H. Haberl, 2007. A

comprehensive global 5min resolution land-use dataset for the year 2000 consistent with national census data. Journal of Land Use Science 2 (3):191-224

Erb, K-H., E., F. Krausmann, V. Gaube, S. Gingrich, A. Bondeau, M. Fischer-Kowalski and H. Haberl, 2009. Analyzing the global human appropriation of net primary production-processes, trajectories, implications. An introduction. Ecological Economics 69:250–259

Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor.

Ewing, B., S. Goldfinger, M. Wackernagel, M. Stechbart, S. M. Rizk, A. Reed, and Justin Kitzes, 2008. The Ecological Footprint ATLAS 2008. Global Footprint Network, Oakland.

EUROSTAT, 2000. Towards environmental pressure indicator for the EU. Office for Official Publications of the European Communities, Luxembourg.

Fachrul, M.F., 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara, Jakarta. FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1995. Code of

conduct for fisheries. Rome. FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1996. Integration of

fisheries into coastal area management. Fishery Development Planning Service, Fisheries Department. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 3. Rome.

Fauzi, A., 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 264: Tojo Una Una

240

Ferdaña, Z. and M.W. Beck, 2007. Putting life into ecosystem-based management theory : a planning application using spatial information on marine biodiversity and fisheries. Proceedings of Coastal Zone 07 July 22 to 26, 2007 Portland, Oregon.

Farsari, Y., and P. Prastacos, 2001. Sustainable tourism indicators for Mediterranean established destinations. Tourism Today, 1 (1):103-121

Fischer-Kowalski, M. and H. Haberl, 1993: Metabolism and Colonization. Modes of Production and the Physical Exchange between Societies and Nature. In: Innovation -The European Journal of Social Sciences 6 (4):415-442

Fischer-Kowalski, M., C. Amann, Beyond IPAT and K. Curves, 2001. globalization as a vital factor in analysing the environmental impact of socio-economic metabolism, Population and Environment, 23 (1):42-50

Folke, C., Carpenter, S.R., Walker, B.H., Scheffer, M., Elmqvist, T., Gunderson, L.H., Holling, C.S., 2002. Regime shifts, resilience and biodiversity in ecosystem management. Annual Review in Ecology, Evolution and Systematics 35:557–581

Forrester, JW., 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR. System Dinamic Review, 10 (2):254-256

Gaspersz, V., 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ghina, F., 2003. Sustainable development in small islan developing : The case of the Maldvies. Environment, Development and Sustainability 5:139–165

Gossling, S., C. B. Hansson, O. Horstmeier, and S. Saggel, 2002. Ecological footprint analysis as a tool to assess tourism sustainability. Ecological Economics 43: 199-211

Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Marin, 1997. Ecology and natural resource management system analysis and simulation. John Willey & Sons Inc, New York, Singapore, Toronto.

Gulland, J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure Gulland, J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure.

Gunderson L. H., C. S. Holling, and S. S. Light, 1995. Barriers and bridges to the renewal of ecosystems and institutions. Columbia University Press, New York.

Gunn, C.A., 1993. Tourism planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher.

Hall, M.C., and A. A. Lew (eds.), 1998: Sustainable Tourism: A Geographical Perspective. Harlow: Longman.

Hall, M.C., 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier? Ocean & Coastal Management, 44:601–618

Hardjowigeno, S., Widiatmaka, A.S., Yogaswara, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor

Page 265: Tojo Una Una

241

Haberl, H., E. Karl-Heinz, F. Krausmann. 2001. How to calculate and interpret ecological footprints for long periods of time : the case of Austria 1926-1995. Ecological Economics 38:25-45

Haberl, H., M. Wackernagel, F. Krausmann, Erb. K-H, C. Monfreda. 2004. Ecological footprints and human appropriation of net primary production: a comparison. Land Use Policy 21:279–288

Hehanusa, P.E., 1993. Morphogenetic classification of small islands as a basic for water resources planning in indonesia, Prog. Reg. Work, on Small Island Hydrology. UNESCO-ROSTSEA, RIWRD-LIPI and Batam Industrial Development Authority, Jakarta.

Holling, C.S., 1986. The resilience of terrestrial ecosystems: local surprise and global change. In : Clark, WC, Munn RE (eds) Sustainable development of the biosphere. Cambridge University Press, Cambridge.

Holling, C. S., and G. K. Meffe, 1996. Command and control and the pathology of natural resource management. Conservation Biology 10:328-337

Holling, C.S., 2001. Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4:390-405

Hutabarat A, F. Yulianda, A. Fahrudin, S. Harteti, dan Kusharjani, 2009. Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Edisi I Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency, Bogor.

IUCN-International Union fo The Conservation`of Nature, 1991. Caring for the earth : a strategy for sustainable living. IUCN, UNEP and WWF (United Nation Environment Programme and World Wide Fund for Nature) Gland and Cambridge.

IUCN-Internacional Union fo The Conservation`of Nature, 1994. United Nation list of national park and protected area. Switzerland : IUCN Gland and Cambridge.

Jones, GP, I.M. Mark, S. Maya dan V.E. Janelle, 2004. Coral Decline Threatens Fish Biodiversity in Marine Reserves. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 101(21):8251–8253

Kay, R., and J. Alder, 2005. Coastal planning and management. E & FN Spon, London and New York.

Kaly, U.L., C.R. Pratt and J. Mitchell, 2004. The environmental vulnerability index (EVI) 2004. SOPAC Technical Report 384.

Kasim, H., 2007. Analisis pengaruh mutu layanan kepariwisataan terhadap loyalitas wisatawan di kawasan Kepulauan Togean. Tesis. Program pascasarjana Universitas Tadulako. Palu.

Kasnir, M., 2010. Penatakelolaan minawisata bahari di Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi dan Hamzah, 2005. Teknik Rehabiliasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Kusumastanto, T., 2004. Konsep pengelolaan pesisir dan laut pasca tsunami Aceh. Paper disampaikan pada Working Group for Aceh recovery, IPB.

Page 266: Tojo Una Una

242

Laapo A., A. Masyahoro, dan J. Nilawati, 2007. Estimasi potensi ekonomi sumberdaya perikanan tangkap di perairan kab. Tojo Una-Una. Jurnal Agroland 14(2):140-144

Laapo, A., 2010. Optimasi pengelolaan ekowisata bahari pulau-pulau kecil (Kasus gugus pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Lenzen M, and S.A.Murray, 2001. A modified ecological footprint method and its application to Australia. Ecol. Econ. 37:229-255

Levina, HG., 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as Ecological Indicator, Academic Press London.

Li Peng and Y. Guihua, 2007. Ecological footprint study on tourism itinerary products in Shangri-La, Yunnan Province, China. Acta Ecologica Sinica 27 (7):2954-2963

LP3L-Lembaga Pengkajian Pengembangan Pesisir dan Laut Talinti, 2004. Selayang pandang “gambaran umum” Kepulauan Togean. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu.

Lyndhurst, B., 2003. London’s ecological footprint a review. GLA Economics. Greater London Authority, London.

Lyzenga, D.R., 1978. Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth and Bottom Features. Applied Optics, 17:379-383

Manaf, F., 2007. Kebijakan lahirnya TNKT dinilai tak populis. http://www.alamsulawesi.net/news.php?hal=1&id=173 (Diakses 25 Januari 2008)

Mennecke, B.E., 2000. Understanding the Role of Geographic Information Technologies in Business: Applications and Research Directions. Journal of Geographic Information and Decision Analysis, 1 (1):44-68

Manafi, M.R., 2010. Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Martinez-Alier, J., 2005. Social metabolism and ecological distribution conflicts. Australian New Zealand Society for Ecological Economics, Massey University, Palmerston North.

Martinez-Alier, J., 2008. Social Metabolism and pattern material use Mexico, South America and Spain. Thesis. ICTA, UAB Barcelona.

Masyahoro, A., I. Jaya, dan D. Manurung, 2004. Aplikasi model surplus produksi dalam pendugaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Parigi Moutong, Teluk Tomini. Agroland 11 (3):289-297

Mattei, F.E.E., 2007. Capacity Building Workshop on Problem Analysis and Creative System Modelling. Yaella Depietri, Alessandra Sgobbi, NetSyMod

MEA, 2005. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005. www.millenniumassessment.org (Diakses 25 Januari 2008)

MPP-EAS, 1999. Manual on economic instrumen for coastal and marine resource management. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas, Quezon City

Page 267: Tojo Una Una

243

Moberg, F., and C. Folke, 1999. Ecological good and services of coral reef ecosistems. Ecological Economic. 29:215-233

Moffat, I., 2000. Ecological footprint and sustainable development. Ecological Economic 32 (3):359-362

Moffat, I., N. Hanley, and M.D. Wilson, 2001. Measuring and modeling sustainable development. New York: Parthenon.

Moleong, L.J., 2005. Metodologi penelitian kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Murthy, D.N.P., N.W. Page, and E.Y.Rodin, 1990. Mathematical Modelling. Pergamon Press, New York.

Nugroho, I., 2004. Ecotourism. Buku Ajar. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Widyagama, Malang.

Nganro, N.R. dan G. Suantika, 2009. Urgensi Ecosystem Approach dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan, 24-25 Juli 2009. Makalah Round Table Discussion Majelis Guru Besar - ITB, Bandung.

Nybakken, J., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo Okey, T.A., S. Banks, A.F. Born, R.H. Bustamante, M. Calvopiña, G.J. Edgar, E. Espinoza, J.M. Fariña, L.E. Garske, G.K. Recke, S. Salazar, S. Shepherd, V. Toral-Granda, P. Wallem, 2004. A trophic model of a Galápagos subtidal rocky reef for evaluating fisheries and conservation strategies. Ecological Modelling 172:383–401

Nikijuluw, V.W.H., 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir, Hotel Permata, Bogor, 29 Oktober 2001. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

Niu, X., R. Ma, T. Ali, and R. Li, 2005. Integration of Mobile GIS and Wireless Technology for Coastal Management and Decision-Making Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 71(4):453–459

Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarso, 1989. Pasang-Surut. P3O-LIPI. Jakarta Ongkosongo, O.S.R., 1998. Permasalahan dan pengelolaan pulau-pulau kecil.

Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7 -10 Desember 1998. Kerjasama DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP, PKSPL-IPB, Bogor.

Orams, M.B., 1999. Marine tourism, development, impacts and management. London. Routledge.

Ostrom, E., W. Reid, J. Rockström, H. Savenije and U. Svedin, 2002. Resilience and sustainable development : building adaptive capacity in a world of transformations. Scientific Background Paper on Resilience for the process of the World Summit on Sustainable Development. The Environmental Advisory Council to the Swedish Government.

Page 268: Tojo Una Una

244

Pariwono, J.I., 1997. Dinamika Perairan Pantai di Daerah Laut dan perikanan (pesisir) Mangrove. Makalah. Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.

Patterson, T., T.Gulden, K. Cousin, dan E. Kraev, 2004. Integrating Environmental, Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica. Ecological Modeling 175:121-136

Pauly, D. and V. Christensen, 1995. Primary production required to sustain global fisheries. Nature 374:255-257

Pinter, L., D.R. Cressman, and K. Zahedi, 1999. Capacity Building fot Integrated Environmental assessment and Reporting: Trainning Manual. UNEP, IISD and Ecologistics International Ltd.

Rais, J., B. Sulistiyo, S. Diamar T. Gunawan, M. Sumampouw, T.A. Soeprapto, I. Suhardi, A. Karsidi dan M.S. Widodo, 2004. Menata ruang laut terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Richards, P.R., 1998 Manual of Standard Operating Procedures for Hydrometric Surveys in British Columbia Resources Inventory Committee. BC-Canada

RIVM, 1995 A General Strategy for Integrated Environmental Assessment at the European Environmental Agency. Bilthoven.

Ruslan, D., 2005. Model analisis ekonomi dan optimasi pengusahaan sumberdaya perikanan. Jurnal Sistem Teknik Industri 6 (3):48-53

Sahetapy, D., dan J. Manupputy, 2003. Komposisi, kemiripan dan status terumbu karang Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 17 Pulau Riung di pesisir utara Flores Tengah, Nusa tenggara Timur. Ichthyos 2 (2):83-88

Saragih, S., J. Lassa, dan A. Ramli, 2007. Kerangka penghidupan berkelanjutan-sustainable livelihood framework. Hivos Aceh Program, Banda Aceh.

Saveriades A., 2000. Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Journal of Tourism Management, 21:147-156

Seidl, I., and C. Tisdell, 1999. Carrying capacity reconsidered: from Malthus’ population theory to cultural carrying capacity. Ecological Economics, 31:395–408

Sevilla, C.G., PG. Twila, R.P. Bella and U.G. Gabriel, 1993. Pengantar metode penelitian (terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta.

Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations. Sidiyasa, K., 2000. Laporan survey vegetasi dan tumbuhan di Kepulauan Togean,

Sulawesi Tengah. Wanariset Samboja (tidak dipublikasikan). Smith, L.E.D., S.N. Khoa and K. Lorenzen, 2005. Livelihood functions of inland

fisheries: policy implications in developing countries. Water Policy 7:359–383

Sobari, M.P., 2007. Teknik pengambilan data untuk Travel Cost Method. Modul kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi, Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL.

Page 269: Tojo Una Una

245

Soeratno dan L. Arsyad, 1993. Metodelogi penelitian untuk ekonomi dan bisnis. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta.

Solarbesain, S., 2009. Pengelolaan sumberdaya pulau kecil untuk ekowisata bahari berbasis kesesuaian dan daya dukung (Studi kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku) Tesis. IPB, Bogor.

Subani W, dan H.R. Barus, 1989. Alat Penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia. Ed Khusus Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Sukirno, S., 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Ketiga. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Supriharyono, 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Djambatan, Jakarta. Sunarto, 1998. Perencanaan dan Pengembangan Wisata Sungai, Danau dan Pantai.

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tai, Y. Z., M.N. Kusairi, Ishak H.A., R.A. Mustapha and Y. Matsuda, 2001. Valuing

fisheries resources Change in The Straits of Malacca : Resources accounting approach. Working Paper. University of Putra Malaysia, Kuala Lumpur.

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K. Moosa, 1997. The ecology of Indoneia seas. Part 1-2. Periplus Editions, Singapore.

Turner, R.K. and W.N. Adger, 1995. Coastal zone resources assessment guidelines. LOICZ Reports & Studies No. 4. Manila.

Turner, R.K., R. Brouwer, S. Georgiou and I. J. Bateman, 2000. Ecosystem functions and services : an integrated framework and case study for environmental evaluation. The Centre for Social and Economic Research on the Global Environment (CSERGE),UK.

Yoeti, O,A., 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Yudasmara, G.A., 2010. Model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Disertasi. IPB, Bogor.

Yulianda, F., 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah. Seminar Sains 21 Pebruari 2007. Departemen MSP FPIK IPB, Bogor

Yulianda, F., A. Fachrudin, A.A. Hutabarat dan Kusharjani. 2009. Ekologi Ekosistem Perairan. Pusdiklat Kehutanan-DEPHUT RI, SECAM-Korea International Cooperation Agency, Bogor.

Yusuf, S and G.R. Allen, 2001. Condition of Coral Reefs in the Togean and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia. In : A Marine Rapid Assessment of the Togean and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia (G.R. Allen and S.A. McKenna (eds.). Conservation International Center for Applied Biodiversity Science Department of Conservation Biology, Washington.

US EPA-United States Environmental Protection Agency, 1973. Water quality criteria 1992. EPA R3-73-033

Vallega A., 2001. Sustainable ocean governance – a geographical perspective. (Ocean Management and Policy Series). Routledge. London

Wallace, C.C., 1999. The Togian Islands: coral reefs with a unique coral fauna and an hypothesised Tethys Sea signature. Coral Reefs 18:162

Page 270: Tojo Una Una

246

WALHI, 2006. CO-Management : memanipulasi legitimasi rakyat atas sumberdaya pesisir dan laut (Diakses 25 Januari 2008) http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/0603_comanajemen_ps/

Wackernagel, M., and W. Rees, 1996. Our ecological footprint. Reducing human impact on the earth. Gabriola Island, BC: New Society Publishers.

Wackernagel, M., and D. Yount, 2000. Footprint for sustainability : the next steps. Environmental Development an Sustainability 2:21-42

Wackernagel, M., 2001. Using ecological footprint analysis for problem formulation, policy development and communications. Advancing sustainable resource management. Oakland, USA www.rprogress.org (Diakses 25 Januari 2008)

Warren-Rhodes, K., and A. Koenig, 2001. Ecosystem appropriation by Hong Kong and its implication for sustainable development. Ecological Economic 39: 347-359

Weaver, D.B., 2001. Ecotourism as mass tourism: contradiction or reality? Hotel and Restaurant Administration Quarterly 42 (2):104-112

Wetlands, 2009. Menghijaukan tambak-tambak di Aceh dengan mangrove: menyelamatkan pesisir. Green Coast for nature and people after tsunami. Http://www.wetland.or.id (Diakses 2 Januari 2010)

Wijaya, N.I., 2007. Analisis kesesuaian lahan dan pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Tesis. IPB, Bogor.

Wong, P.P., 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia : relevance and lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal manag. 38:89-109

Wong, P.P., 1991. Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education Series 13, Manila.

Wood, E.M., 2002. Ecotourism Principles, Practices and Policies for Sustainability. United Nations environment Programme, Paris.

WTO-World Tourism Organization, 1992. Guidelines : Development of National Park and perotected area. Madrid.

WTO-World Tourism Organization, 1994. National and Regional Tourism Planning: Methodologies and Case Studies, World Tourism Organisation, Madrid.

WWF, 2008. Guidebook to the national footprint accounts 2008. Global Footprint Network, Oakland.

Zamani, N.P., Jonson L. Gaol, H. Madduppa, R.E. Arhatin, K.S. Putra, M. Khazali, K. Anwar, dan L. Zulkah, 2007. Profil sumberdaya pesisir Kepulauan Togean. Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah, Taman Nasional Kepulauan Togean.

Zatnika, A., 1985. Uji Coba Budidaya Rumput Laut di Nusa Dua Bali. Laporan Penelitian. BPPT. Jakarta.

Page 271: Tojo Una Una

247

Lampiran 1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)

No Nama

Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah SA

2005 2006 2007 2008

1 Cumi Squid (Common squid) Loligo spp 1 3.2 14.10 13.16 13.10 53.50

2 Gurita Octopuses Octopus 1 3.2 10.30 9.31 9.30 4.90

3 Kepiting bakau Mud carb Scylla serata 2 2.4 2.50 2.52 2.50 2.00

4 Udang Barong Spiny Lobster Penulirus spp 1 2.6 0.40 0.42 0.40 0.40

5 Teripang Sea cucumber Stichopus spp 2 2.4 36.90 35.07 34.90 1.50

6 Alu – Alu Obtuse barracuda (Great barracuda) Sphyraena spp (Sphyraena barracuda) 2 2.8 19.10 20.80 18.10 0.00

7 Bawal Hitam Black pomfret Formio niger (Parastromateus niger) 2 2.8 1.20 1.36 1.20 10.00

8 Bawal Putih White pomfret (Silver pomfret) Pampus argenteus 2 2.8 1.00 1.20 1.00 11.50

9 Belanak Mangrove mullets (Blue-spot mullet, Blue-tail mullet)

Mugil cephalus (Valamugil seheli) 2 2.8 4.40 5.04 4.40 0.00

10 Biji Nangka Yellow-stripe goatfish) Mullidae (Upeneus vittatus) 2 2.8 11.50 12.08 10.50 0.00

11 Cakalang Skipjack tuna, Striped tuna Katsuwonus pelamis 1 4.0 510.70 548.64 477.70 3000.00

12 Cucut Dog fish, shark Carcharhinida,Scyliohinidae, 1 2.8 10.10 10.48 9.10 9.05

13 Daun Bambu Queen fishes Chorinemus spp 2 2.8 12.70 13.44 11.70 0.00

14 Ekor Kuning Redbely Yellowtail Fusilier Caesio cuning 2 2.8 200.60 215.44 187.60 30.00

15 Gerot – Gerot Bloched grunt (Saddle grunt, Spotted javelinfish)

Pomadasys spp (Pomadasys maculatus) 2 2.8 3.80 4.64 3.80 0.00

16 Golok – Golok Wolf herring (Dorab wolf-herring) Chirocentrus dorab 2 2.8 9.40 9.68 8.40 0.00

17 Gulamah Silver pennah croaker (Croaker) Pennahia argentata (Nibea albiflora) 2 2.8 5.20 6.00 5.20 0.00

18 Ikan lain All fishes other than those listed above or below

1 2.8 221 237.76 207.00 2200.00

19 Ikan Terbang Flying fishes Cypselurus spp 1 2.8 5.50 6.32 5.50 35.00

20 Julung – Julung Garfish and Hallfbeaks Thylosurus spp and Hemirhamphuss spp 2 2.8 574.30 616.00 536.30 12.20

21 Kakap Giant sea pearch/Baramundi Lutjanus sp. 1 2.8 52.50 56.80 49.50 23.60

22 Kembung Striped mackerel (Short-bodied mackerel) Restrelliger brachysoma 1 2.8 700.20 751.36 654.20 1000.00

23 Kerapu Grouper Epinephelus spp 2 2.8 67.90 73.44 63.90 507.00

Page 272: Tojo Una Una

248

No Nama

Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah SA

2005 2006 2007 2008

24 Kerong – Kerong

Banded grunter (Jarbua terapon, Largescale terapon)

Therapon spp (Terapon jarbua, Terapon Theraps) 2 2.8 0.00 0.00 0.00 120.00

25 Kurisi Treadfin bream (Ornate threadfin bream) Nemipterus nematophorus (Nemimterus hexodon) 2 2.8 8.30 8.40 7.30 15.60

26 Kuwe Great trevally, Dusky jack (Bigeye trevally) Caranx sexfasciatus 2 2.8 51.10 55.20 48.10 0.00

27 Layang Layang scad (Shortfin scad) Decapterus macrosoma 1 2.8 1163.70 1249.28 1087.70 700.00

28 Layur Hairtail Trichiurus savala 1 2.8 4.40 5.12 4.40 0.00

29 Lemuru Indonesia oil sardine (Bali sardinella) Sardinella longiceps (Sardinella Lemuru) 2 3.2 18.80 20.40 17.80 17.30

30 Lencam Orangestriped emperor (Emperors) Lethrinus spp 2 2.8 10.30 10.64 9.30 0.00

31 Madidihang Yellowfin tuna Thunnus albacares 1 4.0 0.00 0.00 504.00 0.00

32 Manyung Giant sea catfish Arius thalassinus 2 2.8 3.50 4.00 3.50 0.00

33 Merah/ Bambangan

Blood snaper (Red snappers) Lutjanus sanguineus 2 2.8 49.80 53.76 46.80 41.00

34 Nomei Bombay duck Harpodon nahereus 2 2.8 5.90 6.72 5.90 0.00

35 Pari Sting ray Gymnara sp 1 3.5 3.70 4.24 3.70 3.32

36 Peperek Splended pony fish Leiognatidae 2 2.8 21.70 23.76 20.70 0.00

37 Selar Yellowstripe trevally (Yellowstripe scad) Selaroides leptolepis 1 2.8 1189.70 1276.88 1111.70 40.00

38 Sunglir rainbow runner Elegatis bipinnulatus 2 2.8 17.20 18.56 16.20 15.00

39 Swanggi Big eyes Priacanthus spp 2 2.8 17.40 18.80 16.40 0.00

40 Tembang Fringescalle sardine Sardinella fimbriata 1 3.2 470.20 504.56 439.20 400.00

41 Tenggiri Spotted spanish mackerel (Indo-pasific king mackerel)

Scomberomorus guttatus 1 4.0 39.90 43.56 37.90 65.00

42 Teri Commerson's anchovy (Anchovies) Stolephorus commersonii (Stolephorus spp) 1 2.8 791.80 849.68 739.80 300.00

43 Tetengkek Hardtail scad (Torpedo scad) Megalaspis cordyla 2 2.8 21.30 23.36 20.30 0.00

44 Tongkol Frigate mackerel Auxis sp 1 4.0 980.70 1052.88 916.70 612.00

45 Tuna Tunas Thunnus spp 1 4.0 429.40 461.04 401.40 400.00 Keterangan : SA = Sistem Akuatik, 1 = Tropical Shelves; 2= Coastal and Coral System

Page 273: Tojo Una Una

249

Lampiran 2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus Pulau Batudaka

Kecerahan S T pH DO Kecerahan 1 0.2510 -0.5007 -0.2216 -0.6466 S 0.2510 1 -0.6041 -0.5304 -0.3080 T -0.5007 -0.6041 1 0.5867 0.4851 pH -0.2216 -0.5304 0.5867 1 0.3248 DO -0.6466 -0.3080 0.4851 0.3248 1

Eigenvalues dan eigenvectors (berdasarkan matrik korelasi) :

Eigenvalues 1 2 3 4 5 Value 2.8002 1.0587 0.4759 0.3788 0.2864 % of variability 0.5600 0.2117 0.0952 0.0758 0.0573 Cumulative % 0.5600 0.7718 0.8670 0.9427 1.0000

Vectors : 1 2 3 4 5 Kecerahan -0.4142 0.5847 0.1216 0.4097 0.5513 S -0.4320 -0.4444 0.6529 -0.3482 0.2615 T 0.5173 0.1333 -0.1079 -0.5201 0.6576 pH 0.4261 0.4558 0.7149 -0.0069 -0.3157 DO 0.4390 -0.4850 0.1905 0.6636 0.3090

Korelasi antara variabel dengan komponen utama : faktor 1 faktor 2 faktor 3 faktor 4 faktor 5

Kecerahan -0.6931 0.6016 0.0839 0.2521 0.2950 S -0.7229 -0.4572 0.4504 -0.2143 0.1399 T 0.8657 0.1371 -0.0744 -0.3201 0.3519 pH 0.7130 0.4689 0.4932 -0.0043 -0.1689 DO 0.7346 -0.4990 0.1314 0.4084 0.1654 Stasiun (Coordinates of observations )` pada sumbu utama :

Stasiun Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 3 Sumbu 4 Sumbu 5 1 2.1352 0.1809 0.2509 -0.5436 -0.1957 2 -0.8091 -0.9748 0.5287 -0.2677 0.6906 3 1.2200 -0.3866 0.4822 0.2200 0.1796 4 -1.6646 0.7703 0.7753 -0.2278 0.0722 5 0.4942 1.3067 0.6831 -0.6661 -0.6277 6 -0.4044 2.4132 -0.1232 0.2857 -0.1671 7 -1.4002 0.4207 -0.2326 1.4361 0.6268 8 -1.0685 -0.8047 -0.7070 1.0259 -1.0731 9 -1.0234 0.0444 -1.4929 -0.7271 0.8756

10 3.6475 0.5870 -0.9944 0.1596 -0.1978 11 1.4083 -1.1250 -0.4044 -0.2287 0.0479 12 1.3719 -1.5325 0.3684 0.0317 0.1247 13 0.4886 -0.3490 1.1667 0.5963 0.2392 14 -2.8703 -1.1600 -0.1938 -0.6246 -0.8968 15 -1.5252 0.6096 -0.1069 -0.4696 0.3018

Page 274: Tojo Una Una

250

Lampiran 3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka Lokasi Karakteristik Nilai Atoll Pasir Tengah

Waktu dan durasi penyelaman 730 jam, 80 menit Rataan kedalaman, jarak pandang 3 -36 m, 10-15 m Suhu dan arus 310C , Tenang Diskripsi Lokasi Lingkungan atoll dengan slop kemiringan bagian luar yang curam, tutupan karang

58% pada 4-5 m, 57% 9-12 m, 56% 18-21 m Status moderat (RCI 186.76)

Barier-Barat Batudaka

Waktu dan durasi penyelaman 1100 jam, 70 menit Rataan kedalaman, jarak pandang 3 -50 m, + 10 m Suhu dan arus 30-310C, Tenang Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang luar dengan tutupan karang 62% pada 4-5 m, 33% 11-

12 m, 17% 18-21 m, peningkatan coralline algae dan sponge di bawah kedalaman 10 m

Status Baik (RCI 199.25) Capatana Selatan

Waktu dan durasi penyelaman 1545, 70 menit Rataan kedalaman, jarak pandang 1-35 m, 10 m Suhu dan arus 30-310C, Tenang Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian

dalam laguna, tutupan karang 65% pada 5-6 m, 57% 9-10 m, 65% 18-21 m Status Moderat (RCI 168)

Capatana Waktu dan durasi penyelaman 1030 jam, 70 menit Rataan kedalaman, jarak pandang 3-40 m, 10-15 m Suhu dan arus 30-320C, Tenang Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian

dalam laguna, tutupan karang 55% pada 5-7 m, 47% 13-15 m, 50% pada 20 m Status Moderat (RCI 178)

Page 275: Tojo Una Una

251

Lokasi Karakteristik Nilai Lindo Waktu dan durasi penyelaman 745 jam, 70 menit

Rataan kedalaman 1 – 23 m, 5 – 7 m Suhu 310C, Tenang Deskripsi lokasi Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang

38% pada 4-5 m, 26% 13-14 m, 0% dibawah 20 m Status Moderat (RCI 174,36)

Bambu Waktu dan durasi penyelaman 1345 jam, 70 menit Rataan kedalaman 3-26 m, 7-10 mSuhu 31-330C, Tenang Deskripsi lokasi Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang

35% pada 5-6 m, 37% 10-12 m, 54% 20-23 m Status Moderat (RCI 173.46)

Selat Batudaka luar bagian selatan

Waktu dan durasi penyelaman 1430 jam, 80 menit Rataan kedalaman, jarak pandang 3-23 m, 7 - 8 m Suhu dan arus 31-320C, Tenang Diskripsi lokasi Terumbu karang tepi yang dominan karang mati pada lapisan bawah dengan tutupan

karang 33% pada 5-6 m, 29% 10-11 m, 25% 20-21 m Status Jelek (RCI 142.42)

Keterangan : RCI = Reef Condition Index Sumber : Yusuf and Allen (2001)

Page 276: Tojo Una Una

252

Lampiran 4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una

Sistem Aquatik PPR (kg) Primary

productivity (kgC/m2/tahun)

Ecological Footprint (m2/tahun)

Ecological Footprint

(m2/kapita)

Ecological Footprint

(km2/kapita) Tahun 2005

Tropical Shelves 1 794 82.43 0.31

5,789,620.73 471.20

0.000471

Coastal and Coral 132 130.78 0.89

148,461.55 12.08

0.000012

Total

5,938,082.28 483.28

0.000483

Area yang dibutuhkan (km2)

5,938.08

Cakupan (kali)

19.92

Tahun 2006

Tropical Shelves 1 419 475.06 0.31 4 578 951.79 367.02

0.000367

Coastal and Coral 131 671.55 0.89 147 945.56 11.86

0.000012

Total 4 726 897.35 378.88

0.000379

Area yang dibutuhkan (km2) 4 726.90

Cakupan (kali)

15.86

Tahun 2007

Tropical Shelves 1 513 959.46 0.31 4 883 740.19 381.21

0.000381

Coastal and Coral 101 287.19 0.89 113 805.83 8.88

0.000009

Total 4 997 546.02 390.10

0.000390

Area yang dibutuhkan (km2)

4,997.55

Cakupan (kali)

16.77

Tahun 2008

Tropical Shelves 1 726 987.57 0.31 5 570 927.64 425.07

0.000425

Coastal and Coral 109 590.75 0.89 123 135.68 9.40

0.000009

Total 5 694 063.32 434.46

0.000434

Area yang dibutuhkan (km2)

5,694.06

Cakupan (kali)

19.10

Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m2/tahun) b. Jumlah penduduk Kecamatan Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009) c. Konversi 1 m2 = 0.000001 km2 d. Luas Kecamatan Una-Una 298 km2

Page 277: Tojo Una Una

253

Lampiran 5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo Una- Una Sistem Aquatik PPR (kg) Primary

productivity (kgC/m2/tahun)

Ecological Footprint (m2/tahun)

Ecological Footprint

(m2/kapita)

Ecological Footprint

(km2/kapita) Tahun 2005 Tropical Shelves 116 195 563.9 0.31 374 824 399.7 2 982.11 0.00298 Coastal and Coral 20 705 749.1 0.89 23 264 886.6 185.10 0.00019 Total 398 089 286.3 3 167.21 0.00317 Area yang dibutuhkan (km2)

398 089.29

Cakupan (kali) 69.57 Tahun 2006 Tropical Shelves 108 624 881.3 0.31 350 402 843.0 2 760.86 0.00276 Coastal and Coral 19 405 960.6 0.89 21 804 450.1 171.80 0.00017 Total 372 207 293.0 2 932.66 0.00293 Area yang dibutuhkan (km2)

372 207.29

Cakupan (kali) 65.05 Tahun 2007 Tropical Shelves 148 920 086.4 0.31 480 387 375.3 3 703.61 0.00370 Coastal and Coral 11 773 995.4 0.89 13 229 208.5 101.99 0.00010 Total 493 616 583.7 3 805.60 0.00381 Area yang dibutuhkan (km2)

493 616.58

Cakupan (kali) 86.27 Tahun 2008 Tropical Shelves 155 573 115.8 0.31 501 848 760.6 3 822.65 0.00382 Coastal and Coral 17 664 515.1 0.89 19 847 769.8 151.18 0.00015 Total 521 696 530.4 3 973.83 0.00397 Area yang dibutuhkan (km2)

521 696.53

Cakupan (kali) 91.17 Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m2/tahun) b. Jumlah penduduk Kabupaten Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009) c. Konversi 1 m2 = 0.000001 km2 d. Luas Kabupaten Una-Una 5 722 km2

Page 278: Tojo Una Una

254

Lampiran 6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una

Nama Ikan Trophic Level

Volume of Landing PPR Energi * (kJ/100 g)

Harvest PPR HANPP

(kg) (kg) (kJ) (kJ) (kJ)

Kerapu sunu 2.8 4,229 29,644.48 335 14,165,475.00 99,309,005.44 85,143,530.44

Kakap 2.8 5,753 40,332.20 335 19,272,550.00 135,112,855.22 115,840,305.22

Tongkol 4.0 12,600 1,400,000.00 477 60,102,000.00 6,678,000,000.00 6,617,898,000.00

Teri/lureh/rono 2.8 6,685 46,866.11 335 22,394,750.00 157,001,466.56 134,606,716.56

Tenggiri 4.0 450 50,000.00 791 3,559,500.00 395,500,000.00 391,940,500.00

Ekor Kuning/lolosi 2.8 4,160 29,164.25 142 5,907,200.00 41,413,235.84 35,506,035.84

Teripang 2.4 624 1,741.57 318 1,984,320.00 5,538,207.20 3,553,887.20

Kepiting 2.6 145 641.39 414 600,300.00 2,655,374.83 2,055,074.83

Udang Barong 2.6 560 2,477.11 414 2,318,400.00 10,255,240.71 7,936,840.71

Gurita 3.2 830 14,616.24 318 2,639,400.00 46,479,634.36 43,840,234.36

Tahun 2005 Jumlah

1,615,483.35 132,943,895.00 7,571,265,020.15 7,438,321,125.15

Kerapu sunu 2.8 5,348 37,492.89 335 17,915,800.00 125,601,173.25 107,685,373.25

Kakap 2.8 7,880 55,243.82 335 26,398,000.00 185,066,799.77 158,668,799.77

Tongkol 4.0 12,000 1,333,333.33 477 57,240,000.00 6,360,000,000.00 6,302,760,000.00

Teri/lureh/rono 2.8 7,700 53,981.91 335 25,795,000.00 180,839,385.57 155,044,385.57

Tenggiri 4.0 250 27,777.78 791 1,977,500.00 219,722,222.22 217,744,722.22

Ekor Kuning/lolosi 2.8 5,150 36,104.78 142 7,313,000.00 51,268,789.56 43,955,789.56

Teripang 2.4 839 2,341.64 318 2,668,020.00 7,446,403.60 4,778,383.60

Kepiting 2.6 175 774.10 414 724,500.00 3,204,762.72 2,480,262.72

Udang Barong 2.6 75 331.76 414 310,500.00 1,373,469.74 1,062,969.74

Gurita 3.2 230 4,050.28 318 731,400.00 12,879,898.68 12,148,498.68

Tahun 2006 Jumlah

1,551,432.28 141,073,720.00 7,147,402,905.10 7,006,329,185.10

Page 279: Tojo Una Una

255

Nama Ikan Trophic Level

Volume of Landing PPR Energi * (kJ/100 g)

Harvest PPR HANPP

(kg) (kg) (kJ) (kJ) (kJ)

Kerapu sunu 2.8 4,229 29,644.48 335 14,165,475.00 99,309,005.44 85,143,530.44

Kakap 2.8 5,753 40,332.20 335 19,272,550.00 135,112,855.22 115,840,305.22

Tongkol 4.0 12,600 1,400,000.00 477 60,102,000.00 6,678,000,000.00 6,617,898,000.00

Teri/lureh/rono 2.8 6,685 46,866.11 335 22,394,750.00 157,001,466.56 134,606,716.56

Tenggiri 4.0 450 50,000.00 791 3,559,500.00 395,500,000.00 391,940,500.00

Ekor Kuning/lolosi 2.8 4,160 29,164.25 142 5,907,200.00 41,413,235.84 35,506,035.84

Teripang 2.4 624 1,741.57 318 1,984,320.00 5,538,207.20 3,553,887.20

Kepiting 2.6 145 641.39 414 600,300.00 2,655,374.83 2,055,074.83

Udang Barong 2.6 560 2,477.11 414 2,318,400.00 10,255,240.71 7,936,840.71

Gurita 3.2 830 14,616.24 318 2,639,400.00 46,479,634.36 43,840,234.36

Tahun 2007 Jumlah

1,615,483.35 132,943,895.00 7,571,265,020.15 7,438,321,125.15

Kerapu sunu 2.8 3,461 24,263.82 335 11,594,350.00 81,283,780.97 69,689,430.97

Kakap 2.8 8,060 56,505.74 335 27,001,000.00 189,294,213.98 162,293,213.98

Tongkol 4.0 15,060 1,673,333.33 477 71,836,200.00 7,981,800,000.00 7,909,963,800.00

Teri/lureh/rono 2.8 4,500 31,547.87 335 15,075,000.00 105,685,355.20 90,610,355.20

Tenggiri 4.0 150 16,666.67 791 1,186,500.00 131,833,333.33 130,646,833.33

Ekor Kuning/lolosi 2.8 3,831 26,857.75 142 5,440,020.00 38,138,006.37 32,697,986.37

Teripang 2.4 1,319 3,681.31 318 4,194,420.00 11,706,562.98 7,512,142.98

Kepiting 2.6 185 818.33 414 765,900.00 3,387,892.02 2,621,992.02

Udang Barong 2.6 115 508.69 414 476,100.00 2,105,986.93 1,629,886.93

Gurita 3.2 280 4,930.78 318 890,400.00 15,679,876.65 14,789,476.65

Tahun 2008 Jumlah

1,839,114.28 138,459,890.00 8,560,915,008.44 8,422,455,118.44

Keterangan : * Adrianto (2004)

Page 280: Tojo Una Una

Lampi > TC:

> Sup

> plo

iran 7 Hasil

:=d0+d1*Q

pply:=dif

ot(Supply

l perhitungan

Q+d2*Q^2

ff(TC,Q)

y,Q=0..2

n analisis pen

;

;

000);

nawaran

256

Page 281: Tojo Una Una

L

>

>

>

>

Lampiran 8

:> lna:=b

> a:=exp(

> b:=b1;

> demand:

> plot(de

Hasil perhi

b0+b2*rat

(lna);

:=(Q/a)^(

emand,Q=0

itungan anal

ta_ln(X2)

(1/b);

0..10000

lisis permint

)+b3*rata

);

aan

a_ln(X3);

;

2

57

Page 282: Tojo Una Una

258

> U:=

> P:=

> C:=

> CS:

> Nil

D:> p

> dem

> sol

=int(dema

=(Vrata/a

=P*Vrata;

:=U-C;

lai_Ekono

plot({dem

mand=Supp

lve(deman

mand,Q=0.

a)^(1/b)

;

omi:=CS*

mand,Supp

ply;

nd=Suppl

.Vrata);

;

N/L;

ply},Q=0.

y,Q);

..2000);

Page 283: Tojo Una Una

259

Lampiran 9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara di Kabupaten Tojo Una-Una

Tahun Jumlah Wisatawan Jumlah

Nusantara Mancanegara

2000 5 315 923 6 239 2001 11 484 2 540 11 748 2002 17 314 1 650 17 479 2003 12 860 3 040 15 900 2004 49 418 2 715 52 133 2005 84 291 2 125 86 416 2006 86 109 2 243 88 352 2007 100 213 3 122 103 335

Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2008)

Lampiran 10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan asal begara Tahun 2006-2009

Asal Negara 2006 2007 2008 2009 jumlahPrancis 32 48 80 76 236Belanda 29 32 61 17 139Jerman 8 26 34 59 127Spanyol 13 10 23 86 132Inggris 5 13 18 20 56Italia 8 9 17 205 239Belgia 5 12 17 6 40Swiss 7 10 17 56 90USA 7 8 15 9 39Australia 3 7 10 12 32Slovenia 4 4 8 12 28Austria 3 4 7 4 18Chech 2 5 7 4 18Kanada 4 2 6 10 22Swedia 1 2 3 11 17Polandia 2 0 2 1 5Lainnya 1 28 29 40 98

Jumlah 134 220 354 628 1336Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2010)

Page 284: Tojo Una Una

260

Lampiran 11 Hasil identifikasi responden wisatawan Jumlah responden wisatawan ke lokasi wisata Gugus Pulau Batudaka

Wisatawan Jumlah wisatawan ke lokasi wisata (orang) Jumlah (orang)

Persentase (%) Wakai

Pulau Poyalisa (Bomba)

Pulau Tipae (Bomba)

Domestik 8 4 6 18 41.86Mancanegara 10 6 9 25 58.14Jumlah (orang) 18 10 15 43 Persentase (%) 41.86 23.26 34.88 100.00Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan tujuan wisata

Tujuan Wisata Wisatawan Domestik

Wisatawan Mancanegara

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Tujuan utama 8 0 8 18.60 Persinggahan 10 25 35 81.40 Total 18 25 43 100.00 Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan tujuan kunjungan

Tujuan kunjungan Wisatawan Domestik

Wisatawan Mancanegara

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Berwisata 7 22 27 64.29 Penelitian/Pend 8 2 12 28.57 Tugas instansi 2 0 2 4.76 Lain-lain 1 1 1 2.38 Total 18 25 42 100.00 Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan frekwensi kunjungan

Frekwensi kunjungan

Wisatawan Domestik

Wisatawan Mancanegara

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Pertama kali 8 18 26 60.47 Kedua kali 4 6 10 23.26 Ketiga kali 4 1 5 11.63 Lebih dari tiga kali 2 0 2 4.65 Total 18 25 43 100.00 Sumber : Analisis Data (2010).

Page 285: Tojo Una Una

261

Wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan

Jenis Pekerjaan Wisatawan Domestik

Wisatawan Mancanegara

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Pelajar/ Mahasiswa 1 4 5 11.63 Swasta 4 0 4 9.30 PNS 9 14 23 53.49 Wiraswasta 4 7 11 25.58 Total 18 25 43 100.00 Sumber : Analisis Data (2010). Wisatawan berdasarkan sumber informasi wisata

Sumber Informasi Wisatawan Domestik

Wisatawan Mancanegara

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Biro perjalanan 0 9 9 20.93 Media TV/cetak 12 0 12 27.91 Teman 4 15 19 44.19 Internet 2 1 3 6.98 Total 18 25 43 100.00 Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan aktivitas wisata

Jenis Aktivitas Wisata

Wisatawan Domestik

Wisatawan Mancanegara

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Menikmati pemandangan alam

9 6 15 34.88

Diving 6 10 16 37.21 Snorkeling 3 9 12 27.91 Total 18 25 43 100.00 Sumber : Analisis Data (2010). Wisatawan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin

Sumber : Analisis Data (2010).

Kelompok umur (tahun)

Laki-Laki (orang)

Wanita (orang)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

0-15 1 0 1 2.33 15-30 0 3 3 6.98 30-45 7 5 12 27.91 45-60 5 9 14 32.56 >60 9 4 13 30.23

Total 22 21 43 100.00

Page 286: Tojo Una Una

262

Lampiran 12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal)

Tahun Pancing Jaring Insang Bubu

Catch (kg)

Effort (trip)

CPUE Catch (kg)

Effort (trip)

CPUE Catch (kg)

Effort (trip)

CPUE

2005 17 085 11 426 1.50

21 357 4 857

4.40 4 271 2 798

1.53

2006 15 859 11 582 1.37

19 824 4 852

4.09 3 965 2 810

1.41

2007 14 414 11 050 1.30

18 018 4 699

3.83 3 604 2 853

1.26

2008 14 464 11 321 1.28

18 080 4 942

3.66 3 616 2 908

1.24

2009 15 528 12 109 1.28

19 410 5 072

3.83 3 882 2 605

1.49

Total 77 351 57 488 6.73 96 689

24 422 19.80 19 338 13 974 6.93

Rataan 15 470 11 498 1.35 19 338

4 884

3.96 3 868 2 795

1.39

Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar

Tahun FPI Standardisasi

Pancing Jaring. Insang Bubu C.Total (kg) Effort (trip) CPUE

2005 1 2.94

1.02 42 714 28 565 1.50

2006 1 2.98

1.03 39 647

28 955

1.37

2007 1 2.94

0.97 36 036

27 625

1.30

2008 1 2.86

0.97 36 161

28 303

1.28

2009 1 2.98

1.16 38 820

30 273

1.28

Total 5 14.71

5.15 193 377 143 720

6.73

Rataan 1 2.94

1.03 38 675

28 744

1.35

Page 287: Tojo Una Una

263

Lampiran 13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)

Tahun Pancing Jaring Insang Bubu

Catch (ton)

Effort (trip)

CPUE Catch (ton)

Effort (trip)

CPUE Catch (ton)

Effort (trip)

CPUE

2003 2 484 7 044 0.3527 4 969 71 450 0.0695 828.14 21 643 0.0383 2004 2 186 6 903 0.3167 4 373 76 341 0.0573 728.80 24 143 0.0302 2005 2 313 7 659 0.3020 4 626 82 414 0.0561 770.99 24 689 0.0312 2006 2 338 7 040 0.3321 4 676 85 622 0.0546 779.30 28 643 0.0272

2007 2 731 7 490 0.3646 5 461 88 302 0.0618 910.20 27 543 0.0330 2008 2 600 8 235 0.3157 5 199 90 509 0.0574 866.50 29 453 0.0294 2009 1 905 8 926 0.2135 3 811 92 425 0.0412 635.16 24 353 0.0261 Total 16 557 53 297 2.1972 33 115 587 063 0.3981 5519 180 467 0.2154

Rataan 2 365 7 614 0.3139 4 731 83 866 0.0569 788.44 25 781 0.0308

Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar

Tahun FPI Standardisasi

Pancing Jaring. Insang Bubu C.Total (ton) Effort (trip) CPUE

2003 1 0.1972 0.1085 8 281 23 482

0.3527

2004 1 0.1808 0.0953 7 288 23 010

0.3167

2005 1 0.1859 0.1034 7 710 25 529

0.3020

2006 1 0.1644 0.0819 7 793 23 467

0.3321

2007 1 0.1696 0.0906 9 102 24 967

0.3646

2008 1 0.1820 0.0932 8 665 27 450

0.3157

2009 1 0.1932 0.1222 6 352 29 753

0.2135

Total 7 1.2731 0.6952 55 191 177 657

2.1972

Rataan 1 0.1819 0.0993 7 884 25 380

0.3139

Page 288: Tojo Una Una

264

Lampiran 14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka

Tahun Konsumsi Aktual Loka11

(ton) Penduduk

Konsumsi potensial1 (kg/kapita)

Konsumsi Potensial (ton)

Estimasi impor2 (ton)

Estimasi Impor konsumsi dari hasil tangkap3 (ton)

Expor4 (ton)

Konsumsi Nyata (ton)

2001 245 11325 22.40 253.68 9.06 11.51 2.53 2542002 255 11346 22.64 256.87 1.59 2.02 0.10 2572003 241 11710 22.60 264.65 24.01 30.49 10.70 2602004 261 11592 22.58 261.75 0.46 0.59 4.80 2572005 294 12287 24.50 301.03 6.76 8.58 7.80 2952006 312 12476 25.94 323.63 11.35 14.42 5.70 3212007 333 12811 28.28 362.30 29.21 37.10 4.04 3662008 370 13106 29.98 395.92 26.15 33.21 9.00 394Rata-Rata 288.90 12081.63 24.87 302.48 13.57 17.24 5.58 300.56

Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010) 2 IMt = (Kons pot – Kons Akt) x Penduduk tahun t 3 Koef tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002) 4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)

Page 289: Tojo Una Una

265

Lampiran 15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka Sector Wisata Jml_Wisatawan(t) = Jml_Wisatawan(t - dt) + (Total_BC_ha - EF_ha\cap\th) * dtINIT Jml_Wisatawan = 3000 INFLOWS: Total_BC_ha = BC_Buit_up+BC_Cropland+BC_Energy_ha+BC_Forest+BC_Pasture+BC_sea_space OUTFLOWS: EF_ha\cap\th = (Foot_Builtup_ha\kap\th+Foot_Food_&_Fibre+foot_Energy_ha\kap\th)*Jml_Wisatawan BC_Buit_up = Exist_Builtup_ha*YF_Built_up BC_Cropland = Exist_Crop_area_ha*YF_Cropland_ BC_Energy_ha = Exist_area_ha*YF_Energy BC_Forest = exist_forest_area_ha*YF_Forest BC_Pasture = exist_pasture_area_ha*YF_Pasture BC_sea_space = Exist_sea_area_ha*YF_Fishery cropland\ha\kap\th = 0.0758 Exist_area_ha = 2.38 Exist_Builtup_ha = 19.54 Exist_Crop_area_ha = 453.28 exist_forest_area_ha = 1839.6 exist_pasture_area_ha = 173.3 Exist_sea_area_ha = 2610 Foot_Aktivitas = (Luas_Area_Dive/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)+(Luas_Area_Snork/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)+(Luas_Wst_Pantai/Jml_Wisatawan/Lama_wisata) Foot_Builtup_ha\kap\th = Foot_Aktivitas+Foot_Jalan+Foot_Pelabuhan+Foot_Penginapan foot_Energy_ha\kap\th = kons_Energy_GJ\kap/Jml_Energy_GJ\ha\th Foot_Food_&_Fibre = cropland\ha\kap\th+forest_ha\kap\th+Pasture_ha\kap\th+Sea_space_ha\kap\th Foot_Jalan = Luas_Jalan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata Foot_Pelabuhan = Luas_Pelab/Jml_Wisatawan/Lama_wisata Foot_Penginapan = Luas_Penginapan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata forest_ha\kap\th = 0.0452 Jml_Energy_GJ\ha\th = 2.38 kons_Energy_GJ\kap = 667/Jml_Wisatawan/Lama_wisata Lama_wisata = 5

Page 290: Tojo Una Una

266

Luas_Area_Dive = 78.7 Luas_Area_Snork = 129.4 Luas_Jalan_ha = 18.36 Luas_Pelab = 0.43 Luas_Penginapan_ha = 1.16 Luas_Wst_Pantai = 68.55 Pasture_ha\kap\th = 0.0387 Sea_space_ha\kap\th = 0.0550 YF_Built_up = 1 YF_Cropland_ = 1.7 YF_Energy = 1.3 YF_Fishery = 0.6 YF_Forest = 1.3 YF_Pasture = 2.2 Total_EF(t) = Total_EF(t - dt) + (Impor_EF + Konsumsi_Domestik_EF - Ekspor_EF) * dtINIT Total_EF = 0.34 INFLOWS: Impor_EF = produkai_regional/Jml_Penduduk+data_impor/Jml_Penduduk Konsumsi_Domestik_EF = (Produksi_Lokal_+data_domestik)/(Jml_Penduduk+(Jml_Wisatawan)*(Lama_wisata/365)) OUTFLOWS: Ekspor_EF = Data_Ekspor/Jml_Penduduk Areal_lokal = 61052 Areal__Regional = 338575 data_domestik = 300.56 Data_Ekspor = 5.58 data_impor = 17.24 EF_Perikanan = Total_EF*faktor_ekivalen__laut faktor_ekivalen__laut = 0.06 produkai_regional = Produksi_Regional_per_area/Areal__Regional Produksi_Lokal_ = Produksi_lokal__per_area/Areal_lokal Jml_Penduduk(t) = Jml_Penduduk(t - dt) + (kelahiiran + Emigrasi - Imigrasi - Kematian) * dtINIT Jml_Penduduk = 13500 INFLOWS: kelahiiran = Jml_Penduduk*Laju_Kelahiran Emigrasi = Jml_Penduduk*Laju_Emigrasi+((Jml_Wisatawan*(Lama_wisata/365)/Jml_Penduduk)) OUTFLOWS: Imigrasi = Jml_Penduduk*Laju_imigrasi

Page 291: Tojo Una Una

267

Kematian = Jml_Penduduk*Laju_Kematian Laju_Emigrasi = 0.029 Laju_imigrasi = 0.014 Laju_Kelahiran = 0.012 Laju_Kematian = 0.003 Biomassa_Ikan_2(t) = Biomassa_Ikan_2(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal_2 - Kematian_3 - produksi_Lokal) * dtINIT Biomassa_Ikan_2 = 3.38 INFLOWS: Pertumbhan_Marginal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 OUTFLOWS: Kematian_3 = Fraksi_Kematian__Normal_2*Rasio_Biomassa_Ikan_2 produksi_Lokal = Biomassa_Ikan_2*Fraksi_Tangkapan_2 Area_Fishing_Ground__Lokal = 61052 Daya_DUkung_2 = 0.501 Fraksi_Kematian__Normal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 Fraksi_Tangkapan_2 = Jumlah_Trip_2*Koefisien_Tangkap_2 Jumlah_Trip_2 = 424 Koefisien_Tangkap_2 = 0.005 Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 = 0.308 Produksi_lokal__per_area = produksi_Lokal/Area_Fishing_Ground__Lokal Rasio_Biomassa_Ikan_2 = Daya_DUkung_2*Pertumbhan_Marginal_2 Biomassa_Ikan(t) = Biomassa_Ikan(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal - Kematian_2 - produksi__Regional) * dtINIT Biomassa_Ikan = 23452 INFLOWS: Pertumbhan_Marginal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik OUTFLOWS: Kematian_2 = Fraksi_Kematian__Normal*Rasio_Biomassa_Ikan produksi__Regional = Biomassa_Ikan*Fraksi_Tangkapan Area_Fishing_Ground__Regional = 338575 Daya_DUkung = 7906 Fraksi_Kematian__Normal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik Fraksi_Tangkapan = Jumlah_Trip*Koefisien_Tangkap Jumlah_Trip = 399849 Koefisien_Tangkap = 0.00000084 Laju_pertmbuhan_Intrinsik = 0.088 Produksi_Regional_per_area = produksi__Regional/Area_Fishing_Ground__Regional Rasio_Biomassa_Ikan = Daya_DUkung*Pertumbhan_Marginal