tinjauan pustaka tipes

7
BAB II TUNJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. 2.2 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut. 2.3 Patogenesis Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat

Upload: pakde-yashiki

Post on 28-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: tinjauan pustaka tipes

BAB II

TUNJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,

gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

2.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,

berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik

berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita

demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.

2.3 Patogenesis

Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian

melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan

limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-

organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali

ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar

limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut

dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh

endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan

disebabkan oleh kelainan pada usus.

2,4 Gejala Klinis

Masa inkubasi Demam tifoid 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala timbul secara

tiba-tiba atau berangsur angsur. Penderita demam tifoid merasa cepat lelah, malaise,

anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh. Pada minggu pertama

demam (suhu berkisar 39-400C), nyeri kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah,

konstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu kedua demam,

bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran.

Pada umumnya demam berangsur-angsur naik selama minggu pertama, demam

terutama pada sore hari dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga demam terus

Page 2: tinjauan pustaka tipes

menerus tinggi, kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian

antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai epiktasis.

Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih dan

pinggirnya hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan

lunak dan nyeri pada penekanan. Pada permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian

menjadi obstipasi.

2.5 Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk

mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah

pada hari 14 pertama setelah terinfeksi.

Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan

semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari

menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan

diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.

Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu

ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.

Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni

polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka

arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka

berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari

lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari

usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh

penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Pada beberapa kasus yang setelah terpapar

dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat.

Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman

ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan

seseorang serta daya tahan tubuh. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran

cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia.

2.6  Penatalaksanaan

            Management atau penatalaksanaan secara umum meliputi managemen

medikamentosa, managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang baik merupakan

Page 3: tinjauan pustaka tipes

aspek penting dalam pengobatan demam tifoid. Sampai saat ini masih dianut trilogi

penatalaksanaan demam tifoid, yaitu: 7

1.      Managemen Medikamentosa

A. Etiologik 10

Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau

kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga

adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

         Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali

pemberian, oral atau intravena, selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun. Pada

keadaan malnutrisi atau penyulit lain diberikan hingga 21 hari. Bilamana terdapat indikasi

kontra pemberian kloramfenikol

         Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol ampisilin dengan dosis 200

mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat,

selama 21 hari. Namun efeknya lebih rendah dibandingkan kloramfenikol

         Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,

oral/intravena selama 21 hari. Efeknya setara dengan kloramfenikol namun efek penurunan

demamnya lebih lambat.

         Kotrimoksasol dengan dosis

TMP 10 mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari yang diberikan terbagi dalam

2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Tabel 1. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi dan S paratyphi A11

S.typhi S.paratyphi A

Ceftriaxon 92,6 100

Kloramfenikol 94,1 100

Tetrasiklin 100 100

Trimetoprim-Sulfametoksazol 100 100

Ciprofloksasin 100 100

Levofloksasin 100 100

         Pada kasus berat, dapat diberi sefalosporin generasi 3

Ceftriakson dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dan diberikan 2 kali sehari selama 5-7 hari,

maksimal 4 mg/hari.

Cefotaxim dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari melalui 3-4 kali pemberian.

Page 4: tinjauan pustaka tipes

         Cefixim merupakan pilihan alternatif, terutama pada kasus leukosit < 2000/uL dengan

pemberian oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari.

         Kuinolon baik diberikan untuk tifoid namun tidak dianjurkan pemberiannya pada anak-anak.

         Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika

adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

Tabel 2 Pola Resistensi Salmonella typhi pada 61 Biakan Darah Kasus Demam Tifoid Anak Bagian IKA FKU1/RSCM, 1990-1994.1

Sensitif (%) Resisten (%) Intermediate (%)

Ampisilin 96,6 3,4 0

Amoksisilin 96 2 2

Kloramfenikol 91,8 3,3 4,9

Kotrimoksazol 93,2 6,8 0

Seftriakson 91,9 0 8,1

Sefotaksim 89,6 0 10,4

ciprofloksasin 92,3 2,6 5,1

Aztreonam 81,8 15,2 3,0

         Penggunaan Glukokortikosteroid

Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguan kesadaran

(delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal 3mg/kg IV,

selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian.

B. Suportif 

Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya

tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan

darah (bradikardi relatif).

Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang

dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih

dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan

ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun

perforasi intestinal.

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya

pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral

yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.