tinjauan pustaka terbaru

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberikan vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunogloulin non spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari kematian. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteri, tetanus, hepatitis A dan B. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Tujuannya adalah memberikan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.

Upload: putri-ajeng-ayu-larasati

Post on 30-Jun-2015

518 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: tinjauan pustaka terbaru

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan

istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberikan vaksin (antigen) yang dapat merangsang

pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam dalam tubuh. Imunitas secara

pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non

spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari

plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu.

Imunogloulin non spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga

memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari

kematian. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum

terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya

penyakit difteri, tetanus, hepatitis A dan B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada

suatu antigen berasal dari suatu patogen. Tujuannya adalah memberikan “infeksi ringan”

yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila

terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena

tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk

tersebut.

Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu :

Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.

Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.

Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang

daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alamiah.

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif

terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi

penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan

pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh,

Page 2: tinjauan pustaka terbaru

bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang

diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin.

Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen

seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung

lebih lama karena adanya memori imunologik.

2.2 Tujuan Imunisasi

Mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan

penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok

masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada

imunisasi cacar variola.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi imunisasi

2.3.1 Karakteristik Ibu

Penyebaran masalah kesehatan berbeda untuk tiap individu, kelompok dan masyarakat

dibedakan atas tiga macam yaitu : Ciri-ciri manusia/karakteristik, tempat dan waktu. Salah

satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia

atau karakteristik .Yang termasuk dalam unsur karakteristik manusia antara lain: umur, jenis

kelamin, pendidikan, status perkawinan,status sosial ekonomi,ras/etnik,dan agama.

Sedangkan dari segi tempat disebutkan penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh

keadaan geografis, keadaan penduduk dan keadaan pelayanan kesehatan. Selanjutnya

penyebaran masalah kesehatan menurut waktu dipengaruhi oleh kecepatan perjalanan

penyakit dan lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam masalah status

imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan faktor tempat,dalam hal ini

adalah jarak rumah dengan puskesmas/tempat pelayanan kesehatan.

a. Umur

Beberapa studi menemukan bahwa usia ibu, ras, pendidikan, dan status sosial ekonomi

berhubungan dengan cakupan imunisasi dan opini orang tua tentang vaksin berhubungan

dengan status imunisasi anak mereka.

Page 3: tinjauan pustaka terbaru

Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan

pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan

hasil yang sama dengan penelitian Lubis (1990;dalam Ali,Muhammad,2002).Penelitian

Salma Padri,dkk (2000) juga menemukan bahwa faktor utama yang berhubungan dengan

imunisasi campak adalah umur ibu (OR 2,53 95% CI: 1.21 -5.27). Selanjutnya hasil

penelitian Ibrahim D.P.(2001) menunjukkan bahwa karakteristik ibu yang erat hubungannya

dengan status imunisasi campak anak umur 9-36 bulan adalah: umur ibu yaitu umur ibu yang

dihitung sejak lahir sampai saat penelitian.

b. Pendidikan

Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin

tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan

semakin diperhitungkan. Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting.

Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.

Pemahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan ibu.

Semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin

membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan

keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengetahuan semakin bertambah

dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi

untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ibu yang

berpendidikan mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran

lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan di

sekolah.

c. Status Sosial Ekonomi

Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan status sosial

ekonomi pada umumnya dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu :a). Karena terdapatnya

perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah penyakit atau mendapatkan pelayanan

kesehatan, b). Karena terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku hidup yang

dimiliki.Status sosio ekonomi erat hubungannya dengan pekerjaan/jenisnya, pendapatan

keluarga, daerah tempat tinggal/geografis, kebiasaan hidup dan lain sebagainya

Page 4: tinjauan pustaka terbaru

Selanjutnya Depkes RI (2000) menyebutkan komponen pendukung ibu melakukan

imunisasi dasar pada bayi antara lain kemampuan individu menggunakan pelayanan

kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan, pengetahuan, sumber

pendapatan atau penghasilan.

2.3.2 Pengetahuan Ibu tentang Program Imunisasi

Tanggung jawab keluarga terutama para ibu terhadap imunisasi bayi/ balita sangat

memegang peranan penting sehingga akan diperoleh suatu manfaat terhadap keberhasilan

imunisasi serta peningkatan kesehatan anak. Pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi

oleh komponen-komponen pendorong yang menggambarkan faktor-faktor individu secara

tidak langsung berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan yang mencakup

beberapa faktor, terutama faktor pengetahuan ibu tentang kelengkapan status imunisasi dasar

bayi atau anak. Komponen pendukung antara lain kemampuan individu menggunakan

pelayanan kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan, pengetahuan,

sumber pendapatan atau penghasilan. (Depkes RI, 2000)

Faktor pengetahuan memegang peranan penting dalam menjaga kebersihan dan hidup

sehat. Dengan adanya pendidikan dan pengetahuan mendorong kemauan dan kemampuan

yang ditujukan terutama kepada para ibu sebagai anggota masyarakat memberikan dorongan

dan motivasi untuk menggunakan sarana pelayanan kesehatan.

Pengetahuan ibu dapat diperoleh dari pendidikan atau pengamatan serta informasi yang

didapat seseorang. Pengetahuan dapat menambah ilmu dari seseorang serta merupakan proses

dasar dari kehidupan manusia. Melalui pengetahuan, manusia dapat melakukan perubahan-

perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas yang

dilakukan para ibu seperti dalam pelaksanaan imunisasi bayi tidak lain adalah hasil yang

diperoleh dari pendidikan.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi terlaksananya kegiatan

pelaksanaan imunisasi anak/ bayi, baik itu pendidikan formal maupun non formal.

Anak mempunyai kesempatan lebih besar untuk tidak diimunisasi lengkap bagi yang

ibunya tinggal di perdesaan, berpendidikan rendah, kurang pengetahuan, tidak memiliki KMS

(Kartu Menuju Sehat), tidak punya akses ke media massa ( surat kabar/majalah, radio, TV),

Page 5: tinjauan pustaka terbaru

dan ayahnya berpendidikan SD ke bawah. Semakin banyak jumlah anak, semakin besar

kemungkinan seorang ibu tidak mengimunisasikan anaknya dengan lengkap. Semakin tinggi

tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat

pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan

berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan semakin

menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk

melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Hasil penelitian Ramli,M.R(1988) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh

terhadap kejadian drop out atau tidak lengkapnya status imunisasi bayi adalah : pengetahuan

ibu tentang imunisasi, faktor jumlah anak balita, faktor kepuasan ibu terhadap pelayanan

petugas imunisasi, faktor keterlibatan pamong dalam memotivasi ibu dan faktor jarak rumah

ke tempat pelayanan imunisasi.

Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan

sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang

kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang

tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan

kesehatan yang memadai tentang hal itu diberikan.Peran seorang ibu pada program imunisasi

sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk

kalangan tersebut.

2.4 Macam-macam Imunisasi

Macam-macam / jenis-jenis imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi pasif yang

merupakan kekebalan bawaan dari ibu terhadap penyakit dan imunisasi aktif di mana

kekebalannya harus didapat dari pemberian bibit penyakit lemah yang mudah dikalahkan

oleh kekebalan tubuh biasa guna membentuk antibodi terhadap penyakit yang sama baik yang

lemah maupun yang kuat.

Imunisasi Wajib (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.

Page 6: tinjauan pustaka terbaru

2.4.1 IMUNISASI BCG

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai

cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG

pada umur antara 0-12 bulan. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk

anak (>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada

insersio M. Deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini

mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (jaringan

lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu struktur otot setempat.

Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi

tuberkulosis, namun dapat mencegah komplikasinya, dan merupakan vaksin hidup, maka

tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat

steroid jangka panjang, atau menderita HIV). Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3

bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji

tuberkulin negatif.

Untuk pemberian imunisasi BCG pertama-tama bersihkan lengan dengan kapas air.

Letakkan jarum hampir sejajar dengan lengan anak dengan ujung jarum yang berlubang

menghadap keatas. Lalu suntikan 0,05 ml intra kutan, perhatikan apakah terdapat tahanan dan

benjolan kulit yang pucat dengan pori- pori yang khas diameter 4-6 mm. Suntikan diberikan

secara intrakutan, tetapi karena kulit bayi yang terlalu tipis suntikan terkadang terlalu dalam

(subkutan).

Terdapat 2 reaksi sesudah imunisasi BCG, yaitu :

1. Reaksi normal lokal

• 2 minggu indurasi, eritema, kemudian menjadi pustula

• 3-4 minggu pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)

• 8-12 minggu ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm.

2. Reaksi regional pada kelenjar

• Merupakan respon seluler pertahanan tubuh

Page 7: tinjauan pustaka terbaru

• Kadang terjadi di kelj axila dan servikal (normal BCG-it is)

• Timbul 2-6 bulan sesudah imunisasi

• Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)

• Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa pengobatan.

Setelah dilakukan penyuntikan BCG, bisa terjadi komplikasi, yaitu:

1. Abses di tempat suntikan

• Abses bersifat tenang (cold abses) tidak perlu terapi

• Oleh karena suntikan sub kutan

• Abses matang aspirasi

2. Limfadenitis supurativa

• Oleh karena suntikan sub kutan atau dosis tinggi

• Terjadi 2-6 bulan sesudah imunisasi

• Terapi tuberkulostatik mempercepat pengecilan.

Imunisasi BCG sebaiknya harus dilakukan kurang dari usia 2 bulan. Apabila

Imunisasi dilakukan pada bayi dengan usia >3 bulan harus dilakukan tes tuberkulin

(Mantoux). Tes ini untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan TBC. Dilakukan

dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD di daerah flexor lengan bawah secara intra

kutan.Pembacaan dilakukan setelah 48 – 72 jam penyuntikan. Lalu diukur besarnya diameter

indurasi di tempat suntikan. Apabila:

• < 5 mm : negatif

• 6-9 mm : meragukan

• >10 mm : positif

Page 8: tinjauan pustaka terbaru

Bila tes mantoux dinyatakan negatif, imunisasi dapat diberikan.

Kontraindikasi imunisasi BCG:

• Respon imunologik terganggu : infeksi HIV, def imun kongenital, leukemia, keganasan

• Respon imunologik tertekan: kortikosteroid, obat kanker, radiasi

• Kehamilan

2.4.2 IMUNISASI HEPATITIS B

Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi

hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan

melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Jadwal imunisasi hepatitis B

Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,

mengingat paling tidak 3,9 % ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko

penularan kepada bayinya sebesar 45%

Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu

saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval imunisasi

hepB-2 dengan hep-B 3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3

diberikan pada umur 3-6 bulan.

Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAg ibu saat

melahirkan yaitu 1. ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, 2. Ibu HbsAg

positif, atau 3. Ibu HbsAg negatif.

Cara pemberian :

Pada anak vaksin diberikan secara intramuskular di daerah pangkal lengan atas(m.

deltoid), sedangkan pada bayi didaerah paha. Imunisasi ini diberikan sedini mungkin

segera setelah bayi lahir. Imunisasi dasar diberikan 3 kali.

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB

Page 9: tinjauan pustaka terbaru

Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidak

memiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi

oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat

sementara, kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

2.4.3 IMUNISASI POLIO

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, 3

OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes oral

IPV (inactivated polio vaccine),in-aktif suntikan

Jadwal pemberian imunisasi Polio

Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk

mendpatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia

rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India,

Afganistan, Sudan)

Untuk imunisasi dasar (polio-2,3,4) diberikan pada umur 2,4,6 bulan, interval antara

dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu

Dosis

OPV diberikan 2 tetes peroral

IPV diberikan 0,5 ml, intramuskular

Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat

masuk sekolah (5-6 tahun)

Kontraindikasi :

Penyakit akut atau demam (suhu >38.50C ), vaksinasi harus ditunda

Muntah atau diare berat, vaksinasi ditunda

Page 10: tinjauan pustaka terbaru

Dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupun

suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum (termasuk kontak dengan pasien,

boleh diberikan IVP)

Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial

(limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya

terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia

Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak

Walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan

kepada ibu hamil pada 4 bulan pertama kehamilan, kecuali terdapat alasan mendesak

misalnya berpergian ke daerah endemis poliomielitis

VOP dapat diberikan bersama dengan vaksin activated dan virus hidup lainnya, tetapi

jangan bersama vaksin oral tifoid.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Setelah divaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan,

dan nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi yang lain, semua gejala yang timbul

setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.

Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien

(VAPP = vaccine associated polio paralytic) maupun yang kontak dengan virus yang

menjadi neurovirulen. (VDPV = vaccine derived polio virus)

Kasus VAPP terjadi kira-kira 1 kasus per 1 juta dosis pertama penggunaan OPV dan

setiap 2,5 juta dosis OPV lengkap yang diberikan.

Pada pemberian OPV, virus asal vaksin ini dapat bereplikasi di dalam usus manusia,

ekskersi melalui tinja biasanya selama 2-3 bulan. Pada saat replikasi tersebut mungkin

terjadi mutasi virus yang dikenal dengan reversion menyebabkan virus polio yang

sebelumnya sudah dilemahkan kembali berbentuk yang lebih neovirulen, yang kemudian

menyebabkan kelumpuhan layu kulit akut (VAPP). Disamping itu virus yang

neurovirulen tersebut dapat diekskresi melalui tinja mengakibatkan kelumpuhan orang

disekitarnya (VDPV). Defenisi WHO tentang VAPP ialah suatu lumpuh layu akut (AFP)

yang terjadi 4-30 hari setelah menerima OPV, atau 4-75 hari setelah kontak dengan

penerima OPV (terinfeksi oleh VDPV) dengan kelainan neurologi masih ada pada 60 hari

setelah onset, atau meninggal.

Terdapat 2 jenis virus vaksin yang menjadi neurovirulen dan di ekskresi (VDVP) yaitu

Page 11: tinjauan pustaka terbaru

cVDVP (circulating VDVP), virus yang dapat menyebabkan wabah merupakan

rekombinasi dengan entrovirus species C.

iVDVP (immune-deficiency VDVP), virus berasal dari pasien defisiensi imun

Pada saat ini di Indonesia masih menggunakan OPV yang ternyata mampu mengeliminasi

virus polio liar, namun sebagai konsekuensinya masih ada resiko terjadinya VAPP dan

menyebarnya VDVP. Untuk mengatasi ini dapat dipertimbangkan mengunkan vaksi IPV

(inactive polio vaccine), yang diberikan dengan cara suntikan.

Beberapa negara yang telah bebas polio, telah menggunakan vaksin IPV (inactived

poliovirus vaccine) yang merupakan virus polio hidup yang dimatikan, diberikan secara

subkutan atau intramuskular.

2.4.4 IMUNISASI DPT

DTwP (whole-cell pertusis) dan DtaP (acellular pertusis)

Saat ini telah ada vaksin DtaP (DTP dengan komponen acelluler pertusis) disamping

vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertusis) yang telah dipakai selama ini.

Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.

Jadwal imunisasi

Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan

sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu,

jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6

bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur

18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Dosis vaksinasi DTP

DTwP atau DtaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun

ulangan

Dosis vaksinasi DTP

DTwP atau DtaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar

maupun ulangan.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Page 12: tinjauan pustaka terbaru

Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena

selama ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin

pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin DT

(dosis dewasa) sering ditemukan lebih banyak daripada pemberian toksoid tetanus saja.

Namun kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan

berat. Untuk menekan kejadian ikutan akibat hiperreaktifitas terhadap toksoid difteri, telah

dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut yaitu: (1)

meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, (2)

menyerapkan toksoid kedalam garam aluminium dan (3) mengurangi jumlah toksoid

perinokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas.

Kejadian ikutan pasca imunisasi dari vaksin pertusis :

Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada kira-kira

separuh penerima DPT. Proporsi yang sama juga akan menderita demam ringan dan 1%

dapat menjadi hiperpireksia. Anak sering juga gelisah dan menangis terus-menerus selama

beberapa jam pasca suntikan. Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang (0,06%)

sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. Kejadian ikutan yang

paling serius adalah terjadinya ensefalopati akuta reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan

oleh pemberian vaksin pertusis

Saat ini dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin

pertussis baik whole cell maupun aselular, yaitu :

Riwayat anafilaksis

Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertussis sebelumnya

Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (percaution), sebelum pemberian

vaksin pertussis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat hiperpireksia,

keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam

dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudahnya.

Kejadian ikutan pasca imunisasi dari vaksin teanus terutama reaksi lokal sangat

dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi

vaksin itu

2.4.5 IMUNISASI CAMPAK

Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam 1 dosis 0,5 ml secara subkutan

dalam, pada umur 9 bulan.Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi

campak kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59

Page 13: tinjauan pustaka terbaru

bulan dan SD kelas 1-6. Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program

school based catch up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam

program BIAS. Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan

umur 6 tahun, ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan. Dosis 0,5 ml diberikan sub kutan

di lengan kiri.

Kontraindikasi

Indikasi kontra imunisasi campak berlaku bagi :

Mereka yang sedang menderita demamtinggi

Yang sedang memperoleh pengobatan imunosupresi

Orang hamil

Yang memiliki riwayat alergi

Sedang memperoleh pengobatan immunoglobulin atau bahan-bahanberasal dari darah.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada

seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari

virus yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun dengan digunakannya

vaksin campak yang dilemahkan. Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,5oC yang

terjadi pada 5-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan

berlangsung selama 2 hari. Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun

demikian peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.

Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan

berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan modified measles akibat

imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi

penyakit alami. Eraksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti

ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi. Landrigan dan Witte memperkirakan resiko

terjadinya kedua efek samping tersebut selama 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara

1 milyar dosis vaksin (tahun 1963-1971).

VAKSIN COMBO

Page 14: tinjauan pustaka terbaru

Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk

mencegah penyakit yang berbeda, misal DPT + hepatitis B +HiB atau Gabungan beberapa

antigen dari galur multipel yg berasal dari organisme penyakit yang sama, misal: OPV

Tujuan pemberian

• Jumlah suntikan kurang

• Jumlah kunjungan kurang

• Lebih praktis, compliance dan cakupan naik

• Penambahan program imunisasi baru mudah

• Imunisasi terlambat mudah dikejar

• Biaya lebih murah

Daya proteksi

Titer antibodi salah satu antigen lebih rendah namun masih diatas ambang protektif.

Efektivitasnya sama di berbagai jadwal imunisasi. Bisa terjadi kemampuan membuat antibodi

utk mengikat antigen berkurang. Dapat terjadi respon imun antigen kedua berubah.

Reaktogenitas yang ditentukan terutama oleh ajuvan tidak berbeda jauh. Nyeri berat lebih

sering terjadi pada vaksin kombo (Bogaerts, Belgia). Cakupan imunisasi menjadi lebih tinggi.

KIPI pada dosis vaksin ekstra tidak bertambah

COLD CHAIN (RANTAI DINGIN)

• Vaksin harus disimpan dalam keadaan dingin mulai dari pabrik sampai ke sasaran.

• Simpan vaksin di lemari es pada suhu yang tepat

• Pintu lemari es harus selalu tertutup dan terkkunsi

• Simpan termometer untuk memonitor lemari es.

• Taruh vaksin Polio, Campak, pada rak I dekat freezer.

Page 15: tinjauan pustaka terbaru

• Untuk membawa vaksin ke Posyandu harus menggunakan vaccine carrier/ termos yang

berisi es

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Operasional Pelayanan Imunisasi, Jakarta, 2000

Achmadi, Umar. Imunisasi, mengapa Perlu?. Penerbit Kompas. Jakarta. 2006

Ranuh, I, G, N, dkk. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Penerbit Badan Penerbit Ikatan dokter

Anak Indonesia. Jakarta. 2008

Tawi, Mirzal, Imunisasi dan Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta, 2008. http://

syehaceh.wordpress.com [21 November, 2010]

Page 16: tinjauan pustaka terbaru