tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · mengingat berbagai hal diatas, perencanaan menu harus...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan Gizi Rumah Sakit
Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan peripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan, antara
lain pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan gizi rawat inap dan
rawat jalan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan gizi pasien melalui makanan sesuai penyakit yang diderita (Almatsier
2004).
Pelayanan Gizi Rumah Sakit adalah pelayanan gizi yang menyesuaikan
dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status
metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses
penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat
berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Hal tersebut diakibatkan karena tidak
tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi
organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit dan
kekurangan gizi. Selain itu, masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya
dengan penyakit degeneratif (Depkes 2006).
Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap
yaitu pengkajian gizi, perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan
dan strategi, implementasi pelayanan gizi sesuai rencana, monitoring dan
evaluasi pelayanan gizi (Almatsier 2004).
Pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk mencapai pelayanan gizi
pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit untuk
mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien yang
dirawat dan berobat jalan (Waspadji et al. 2002).
Menurut Hartono (2000), untuk mencapai kondisi kesehatan pasien yang
optimal, maka rumah sakit umumnya akan menyediakan, (1) makanan dengan
kandungan gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit dan status
gizi masing-masing pasien, (2) makanan dengan tekstur dan konsistensi yang
sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien, (3)
makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang, (4) makanan yang bebas
unsur aditif yang berbahaya, dan (5) makanan dengan penampilan dan citarasa
yang menarik untuk menggugah selera makan pasien yang umumnya terganggu
oleh penyakit dan kondisi indera pengecap atau pembaunya.
Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah suatu rangkaian
kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan
kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal
melalui pemberian diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan,
pelaporan dan evaluasi. Dietetik klinik adalah pengaturan makanan bagi pasien
yang mengalami gangguan kesehatan. Pengaturan makan demikian, selain,
ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, juga ditunjukkan
untuk membantu pasien dalam penyembuhan penyakitnya, mengurangi atau
menghilangkan penderitaan dan gejala-gejala klinis yang terjadi akibat
penyakitnya (Effendi 2011).
Tujuan dari penyelenggaraan makanan makanan di rumah sakit
dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik
dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai
bagi klien atau konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006).
Perencanaan Menu
Menurut Uripi (1993), menu berasal dari bahasa Prancis “menute” yang
berarti daftar makanan yang disajikan kepada konsumen. Secara umum, menu
adalah sususan hidangan yang disajikan pada waktu akan makan. Dengan kata
lain, menu adalah rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang
disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk sekali makan, misalnya
susunan hidangan makan pagi, siang atau malam. Pola menu sehari yang
dianjurkan di Indonesia adalah makanan seimbang yang terdiri dari makanan
sumber zat tenaga yakni karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
Siklus menu pada umumnya direncanakan untuk waktu tertentu, misalnya
10 sampai dengan 15 hari. Menu yang dipergunakan untuk waktu tertentu
tersebut kemudian diulang kembali. Siklus menu tergantung tersedianya bahan
makanan. Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu
hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem
pengelolaan makanan di rumah sakit karena menu sangat berhubungan dengan
kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti
anggaran belanja, peralatan, penyediaan bahan makan dan sebagainya (Uripi
1993). Adapun fungsi dari perencanaan menu adalah:
1. Untuk memudahkan pelaksana dalam menjalankan tugasnya sehari-hari
2. Secara garis besar dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat
gizi yang essensial yang dibutuhkan tubuh
3. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur, sehingga dapat
menghindari kebosanan yang disebabkan pemakaian jenis bahan
makanan dan jenis makanan yang sering terulang
4. Menu dapat disusun sesuai dengan biaya yang tersedia sehingga
kekurangan uang belanja dapat dihindari atau harga makanan dapat
dikenadalikan
5. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin.
Dengan perencanaan menu yang matang bahan makanan kering dapat
dibeli sekaligus untuk beberapa minggu sehingga tenaga dan waktu
dapat dihemat
Mengingat berbagai hal diatas, perencanaan menu harus disesuaikan
dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan
aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, kombinasi yang dapat
diterima oleh penderita, persiapan dan penampilan makanan dan cara-cara
pelayanan.
Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan makanan merupakan kegiatan mengubah makanan mentah
menjadi makanan yang berkualitas tinggi melalui berbagai proses yang
berkaitan. Pengolahan makanan pada garis besarnya terdiri atas dua tahap,
yaitu persiapan bahan makanan dan pemasakan makanan. Proses pengolahan
sangat berkaitan dengan waktu penyajian, oleh karena itu penjadwalan mutlak
dilakukan. Produksi makanan harus diperhatikan untuk setiap item masakan,
sehingga persiapan dapat pula ditata. Jadwal disusun mulai persiapan bahan
makanan dan waktu penerimaan pada unit produksi. Jadwal produksi perlu
direncanakan dan diorganisisr dengan cara yang tepat. Penjadwalan tersebut
adalah mengenai persiapan bahan makanan, pengolahan, pemorsian dan
penyaluran bahan makanan.
Kegiatan persiapan meliputi persiapan bahan makanan dan persiapan
alat-alat yang akan digunakan untuk memasak makanan. Selain itu juga
dilakukan pengawasan terhadap porsi makanan yang akan disajikan. Persiapan
makanan disiapkan oleh bagian persiapan makanan, bahan-bahan yang
diperlukan disesuaikan dengan perencanaan menu yang telah ada. Waktu
persiapakan harus direncanakan secara tepat karena jika persiapan terlalu awal
atau terlalu lambat akan menimbulkan kerugian pada kualitas rasa dan
penampilan makanan. Persiapan alat mutlak dilakukan sebelum pengolahan
makanan dilakukan, karena peralatan yang dipakai pada proses pengolahan
sangat menunjang keberhasilan pengolahan makanan. Pada proses pengolahan
alat-alat tersebut harus dapat langsung dipergunakan pada proses pengolahan
makanan antara lain panci, penggorengan, baskom dan lainnya. Ada juga alat-
alat yang secara tidak langsung menunjang proses kegiatan pengolahan
makanan yaitu energi seperti bahan bakar, listrik atau gas.
Porsi yang digunakan rumah sakit adalah porsi standar. Porsi standar
yaitu porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi setiap orang sehari
dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi. Contoh dari standar porsi
makanan adalah:
- lauk hewani: daging 50 g, ayam 75 g, ikan 60 g
- lauk nabati: tempe dan tahu 50 g
- sayur berkisar 100-125 g pada sayuran mentah, sehingga setelah masak
menjadi sekitar 53-60 g
- buah misalnya pepaya 100 g
Pemasakan makanan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan
yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang telah ditentukan, dengan
penambahan bumbu menurut resep standar dalam rangka mewujudkan masakan
dengan citarasa tinggi. Beberapa prinsip dasar harus diterapkan dalam
pemasakan makanan yaitu bumbu harus mempunyai kualitas yang cukup tinggi
dan cara pemasakan yang harus tepat (Uripi 1993).
Pemorsian dan Pendistribusian Makanan
Setelah pengolahan bahan makanan selesai, makanan tersebut
kemudian dibagikan kedalam porsi sesuai diet yang dianjurkan, atau biasa
disebut proses pemorsian, kemudian mendistribusikannya kepada pasien.
Menurut Uripi (1993), pemorsian dilakukan oleh bagian pemorsian yang
dibedakan menjadi dua bagian yaitu pemorsian untuk makanan biasa dan
pemorsian makanan diet. Porsi makanan yang akan disajikan harus sesuai
dengan standar porsi yang berlaku.
Menurut Anderson et al (1982) terdapat dua tipe pembagian atau
pendistribusian makanan kepada pasien, yaitu sentralisasi dan desentralisasi.
Pada pembagian dengan cara sentralisasi, pembagian makanan pada tiap
nampan atau porsi bagi masing-masing pasien dilakukan terpusat di area
produksi makanan dan diantarkan ke ruang pasien dengan menggunakan kereta
makanan. Sedangkan, pembagian dengan cara desentralisasi dilakukan dengan
mengangkut makanan dari area produksi ke ruang pasien dalam jumlah besar.
Pembagian dalam nampan atau porsi untuk tiap pasien dilakukan di ruang
pasien oleh petugas makanan.
Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menujukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi
menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti
kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan
yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan
asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi/kekurangan ataupun
kelebihan asupan zat gizi. Kekurangan asupan suatu zat gizi dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi atau penyakit kurang gizi dan kelebihan akan
menyebabkan terjadinya efek samping. Pada keadaan ektrim, kekurangan atau
kelebihan zat gizi dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Penentuan
kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Meskipun demikian, berangkat dari prinsip
yang sama, yaitu penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan
orang sehat tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan
perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (WKNPG 2004).
Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi
dari konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Supariasa et al
(2001), kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor
tersebut antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas
fisik, dan faktor yang bersifat relatif seperti gangguan pencernaan, perbedaan
daya serap, tingkat penggunaan, serta perbedaan pengeluaran dan
penghancuran zat gizi dalam tubuh.
Konsumsi makanan dalam aspek gizi bertujuan untuk memperoleh
sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Tingkat konsumsi seseorang merupakan
persen angka konsumsi energi dan zat gizi yang diperoleh dari survei terhadap
angka kecukupan yang dianjurkan (Suhardjo et al 1988). Menurut Supariasa et al
(2001), survei konsumsi makanan dapat dilakukan dengan berbagai metode
diantaranya metode recall 24 jam dan metode penimbangan makanan (food
weighing method). Prinsip metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang
diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, jumlah makanan yang
dikonsumsi individu harus ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat
ukur rumah tangga (URT) untuk mendapatkan data kualitatif. Menurut Suhardjo
(1989), prinsip food weighing method yaitu mengukur secara langsung berat
setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Berat makanan yang dikonsumsi
didapatkan dari mengurangi berat makanan sebelum dimakan dengan berat
makanan yang tersisa setelah dimakan. Tingkat ketelitian metode ini paling tinggi
dibandingkan dengan metode lainnya dalam hal mengukur konsumsi pangan
secara kuantitatif.
Energi
Penentuan kebutuhan energi didasarkan pada energi basal (Resting
Metabolic Rate - RMR) ditambah sejumlah energi yang diperlukan untuk efek
tambahan metabolisme (Thermic Effect of Food - TEF), kegiatan (Thermic Effect
of Exercise - TEE) dan pertumbuhan (pada kelompok usia/fisiologis tertentu)
(WKNPG 2004).
Resting Metabolic Rate (RMR). Banyak juga peneliti yang menggunakan
Basal Metabolic Rate (BMR). Perbedaannya BMR dianjurkan diukur pagi hari,
bangun tidur, belum melakukan kegiatan dan telah berpuasa 10-12 jam. RMR
diukur dalam keadaan istirahat biasa dan dilakukan 4-5 jam setelah makan.
Thermic Effect of Food (TEF). Dahulu istilah yang digunakan adalah
specific dynamic action yaitu tambahan energi yang dibutuhkan untuk
metabolisme protein. Belakangan diketahui bahwa bukan hanya protein yang
mempunyai efek tambahan energi untuk metabolismenya, tetapi juga karbohidrat
dan lemak. TEF diperkirakan sekitar 10% dari energy expenditure. Glukosa bila
disimpan terlebih dahulu sebagai glikogen kehilangan energi sekitar 7%.
Pengubahan karbohidrat menjadi lemak memerlukan tambahan energi sebanyak
26%.
Thermic Effect of Exercise (TEE). Adalah energi yang dibutuhkan untuk
melakukan kegiatan. Pada umumnya kebutuhan energi untuk TEE sekitar 15-
30% dari RMR. Namun suatu kegiatan yang berat akan memerlukan energi yang
lebih banyak. Facultative thermogenesis merupakan kebutuhan energi sebagai
efek dari berbagai perubahan antara lain perubahan suhu, konsumsi makanan,
emosi, stress, dan lain-lain. Faktor lain yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas fisik
dan lain sebagainya.
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi dapat diperoleh dari
karbohidrat, protein dan lemak yang ada didalam bahan makanan. Kandungan
karbohidrat, protein dan lemak pada suatu bahan makanan menentukan nilai
energinya. Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4
Kal, lemak menghasilkan 9 Kal dan alkohol menghasilkan 7 Kal. Bahan makanan
yang merupakan sumber energi tinggi yaitu sumber lemak, seperti minyak dan
lemak serta kacang-kacangan. Selain itu, bahan makanan sumber karbohidrat
seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Kekurangan energi pada
orang dewasa dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan
jaringan tubuh. Kelebihan energi juga tidak baik karena kelebihannya akan
diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada
akhirnya, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh yang
merupakan resiko untuk menderita penyakit kronik dan memperpendek harapan
hidup (Almatsier 2002).
Protein
Penentuan kebutuhan protein biasanya ditentukan dengan metode
faktorial atau keseimbangan nitrogen. Metode faktorial dilakukan dengan
mengukur N yang keluar melalui feses, urin keringat, kuku, dan sebagainya bila
seseorang diberi diet “protein free”. Misal, hasil penelitian mengungkapkan
dengan cara faktorial kebutuhan N sekitar 54 mg/kgBB bila ditambah 2 SD
menjadi 70 mg N/kgBB. Karena nilai protein sama dengan Nx6,25 maka
kebutuhan protein sekitar 0,45 g/kgBB dengan catatan dari protein kualitas tinggi.
Kehilangan karena efisiensi, mutu protein diperkirakan sekitar 30% sehingga
kebutuhan protein menjadi 0,6 sampai 0,7 g/kgBB. Metode keseimbangan
nitrogen (Nitrogen Balance) dilakukan dengan mengukur nitrogen dari asupan
protein dibanding dengan nitrogen yang keluar melalui feses, urin, keringat. Bila
asupan lebih kecil dari yang keluar disebut N-balance negatif dan bila sama
maka asupan sama dengan kebutuhan. Untuk mengetahui N-balance positif atau
negatif maka percobaan dilakukan dengan pemberian berbagai tingkat protein.
Misalnya dengan pemberian 0,6 g/kgBB sampai 1 g/kgBB (WKNPG 2004).
Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur nitrogen
yang tidak dimiliki oleh karbohidrat atau lemak. Fungsi utama protein bagi tubuh
yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada.
Secara garis besar, fungsi protein yaitu alat pengangkut dan penyimpan, sebagai
enzim, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, membangun sel-sel jaringan
tubuh, pertahanan tubuh, pemberi tenaga, menjaga keseimbangan asam basa
cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf
(Nasoetion et al 1994).
Menurut Almatsier (2004), kebutuhan protein normal adalah 10-15% dari
kebutuhan energi total, atau 0,8 – 1 g/kg berat badan. Kebutuhan energi minimal
untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen adalah 0,4 – 0,5 g/kg berat
badan. Demam, operasi, sepsis, trauma dan luka dapat meningkatkan
katabolisme protein, sehingga meningkatkan kebutuhan protein sampai 1,5 – 2,0
g/kg berat badan. Sebagian besar pasien yang dirawat membutuhkan protein
sebesar 1,0 – 1,5 g/kg berat badan.
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Contoh sumber protein hewani yaitu telur, susu,
daging, ikan, unggas dan kerang. Sumber protein nabati contohnya kacang
kedelai dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu serta kacang-kacangan lain.
Kelebihan protein dapat menyebabkan obesitas karena umumnya makanan yang
tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan
asidosis, diare, dehidrasi, kenaikan amonia darah, kenaikan urea darah, dan
demam (Almatsier 2002).
Kekurangan protein dapat menyebabkan marasmus, kwarsiorkor atau
gabungan keduanya. Hal ini mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan
sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik.
Zat Besi
Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom,
dan enzim katalase serta peroksidase. Peranan zat besi pada umumnya
berkaitan dengan proses respirasi dalam sel (Karyadi & Muhilal 1990). Di
samping itu berbagai jenis enzim memerlukan besi sebagai faktor penguat. Di
dalam tubuh sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat
dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai
ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri. Zat besi lebih mudah diserap
dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme
autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa
usus. Pada kondisi besi yang baik, hanya sekitar 10 persen dari besi yang
terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi
defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut
(Sediaoetama 2008).
Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia. Pada penderita anemia,
jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang
dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan
kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia.
Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain
karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992).
Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri
(umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan
hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi
bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel
mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin
membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk
masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro,
sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri
hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi
ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik
yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1992).
Natrium dan Kalium
Tubuh manusia mengandung 1,8 g Na/Kg BB bebas lemak, dimana
sebagian besar terdapat dalam cairan ekstraseluler (Suhardjo & Kusharto 1992).
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Natrium berada dalam
kerangka tubuh sebanyak 35-40%. Sebagai kaiton utama cairan ekstraseluler,
natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut. Bila jumlah
natrium didalam sel meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam sel,
akibatnya sel akan membengkak. Hal ini menyebabkan pembengkakan atau
edema dalam jaringan tubuh (Almatsier 2002).
Sumber natrium adalah garam dapur, monosodium glutamat (MSG),
kecap dan makanan yang diawetkan dengan garam dapur. Makanan sehari-hari
biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena
itu, tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. Dinjurkan untuk
mengkonsumsi asupan garam kurang dari 6 g/hari yang setara dengan 110 mmol
natrium (2400 mg) (Karyadi 2002). Kelebihan natrium dapat menimbulkan
keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi
(Almatsier 2002). Penelitian melaporkan bahwa penurunan asupan natrium
sekitar 1,8 g/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmHg dan tekanan
darah diastolik 2 mmHg pada seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi dan
hanya penurunan lebih sedikit pada individu dengan tekanan darah normal.
Pengurangan asupan garam bukan saja dari garam dapur tetapi juga harus
menghindari makanan yang diasinkan, diawetkan, bumbu-bumbu yang banyak
mengandung garam dapur seperti terasi, kecap, petis, tauco atau juga camilan
(Karyadi 2002).
Natrium dan kalium sangat erat hubungannya dalam memenuhi fungsinya
didalam tubuh. Kedua elemen ini terutama berfungsi dalam keseimbangan air,
elektrolit (asam basa) didalam sel maupun didalam cairan ekstraseluler,
termasuk plasma darah. Natrium terutama terdapat didalam cairan ekstraseluler,
sedangkan natrium didalam cairan intraseluler. Natrium merupakan satu-satunya
elemen yang biasa dikonsumsi dalam bentuk garam yang sedikit-banyak murni,
yaitu garam dapur. Konsumsi garam ini rata-rata 15 gram seorang sehari. Di
daerah pegunungan yang terisolasi dan jauh dari pantai garam, natrium
digantikan oleh garam kalium yang didapat dari abu berbagai tumbuhan yang
dibakar (Sediaoetama 2008).
Di dalam tubuh terdapat natrium sebanyak 0,15% dari berat badan,
sedangkan kalium 0,35% atau terdapat sekitar 2 ½ kali lebih banyak
dibandingkan dengan natrium. Dalam cairan tubuh, natrium membentuk larutan
garam NaCl atau Na-carbonat. Ion Na+ berperan dalam menahan air didalam
tubuh, dalam proses mempertahankan tekanan osmosis cairan. Membran sel
bersifat semipermeabel terhadap natrium, tetapi K+ dapat lewat dengan bebas
melalui membran sel tersebut.
Fisiologi dan Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal adalah mengatur keseimbangan homeostatik dengan
respon terhadap cairan, elektrolit dan larutan organik. Ginjal yang normal dapat
melakukan fungsi tersebut pada berbagai fluktuasi diet sodium, air dan zat
terlarut lainnya. Tugas ini dilakukan dengan memfiltrasi darah terus menerus dan
perubahan dari filtrat (sekresi dan reabsorbsi) dalam filtrasi cairan. Ginjal
menerima 20% darah dari jantung yang memungkinkan penyaringan darah rata-
rata 1600 L/hari (Wilkens dan Juneja 2007).
Setiap ginjal terdiri atas sekitar 1 juta unit fungsi yang disebut nefron.
Nefron terdiri dari sebuah glomerulus yang melekat pada serangkaian tubulus,
yang dapat dibagi ke dalam segmen fungsional yang berbeda: tubula
terkonvolusi proksimal, lengkung Henle, tubulus distal dan duktus pengumpul.
Setiap nefron beroperasi secara independen menghasilkan kontribusi ke urin
akhir, meskipun semua dibawah kontrol serupa dan terkoordinasi. Namun, ketika
salah satu nefron hancur, nefron yang lengkap tidak lagi dapat berfungsi.
Glomerulus adalah massa bola kapiler yang dikelilingi oleh membran, kapsul
Bowman. Fungsi glomerulus adalah produksi sejumlah besar ultrafiltrat, termasuk
segmen mengikuti nefron untuk berubah. Ultrafiltrasi dalam glomerulus sangat
mirip dengan komposisi darah. Karena fungsi penghalang, glomerulus
menghambat sel darah dan molekul dengan berat molekul lebih besar dari 6500
dalton seperti protein. Ultrafiltrat produksi sebagian besar pasif dan didasarkan
pada tekanan perfusi yang diproduksi oleh hati dan disediakan oleh arteri ginjal.
Tubulus mengisap sebagian besar komponen yang membentuk ultrafiltrat.
Banyak dari proses ini aktif dan membutuhkan energi pengeluaran yang besar
dalam bentuk Adenosin Triphospat (ATP) (Wilkens dan Juneja 2007).
Ginjal memiliki kemampuan hampir tak terbatas untuk mengatur
homeostasis air. Kemampuan ginjal untuk membentuk gradien konsentrasi yang
besar antara bagian dalam dan luar korteks medula memungkinkan ginjal
mengekskresikan urin encer kira-kira 50 mOsm atau konsentrasi kira-kira 1200
mOsm. Mengingat beban zat terlarut tetap harian sekitar 600 mOsm (beban zat
terlarut mewakili produk akhir sampah dari metabolisme normal), ginjal dapat
membuang sedikitnya 500 ml urin terkonsentrasi atau kontrol sebanyak 12 L.
Kontrol ekskresi air diatur oleh vasopresin, atau dikenal sebagai hormon
antidiuretik, suatu hormon peptida kecil yang disekresikan oleh hipofisis
posterior. Kelebihan air pada tubuh, yang ditunjukkan oleh penurunan
osmolalitas, mengarah ke menutupnya semua sekresi vasopresin. Namun,
kebutuhan untuk menghemat natrium kadang-kadang menyebabkan suatu
pengorbanan dari kontrol homeostatik volume air. Mayoritas zat terlarut terdiri
dari limbah nitrogen, terutama produk akhir dari metabolisme protein. Urea
mendominasi dengan jumlah yang tergantung pada kandungan protein diet.
Asam urat, kreatinin dan amonia ada dalam jumlah kecil. Jika produk limbah
normal ini tidak dihapus dengan benar, maka akan terkumpul didalam darah,
mereka akan terkumpul dalam jumlah abnormal dalam darah, dikenal dengan
sebutan azotemia. Kemampuan ginjal untuk menghilangkan produk limbah
nitrogen dikenal sebagai fungsi ginjal; gagal ginjal merupakan ketidakmampuan
ginjal untuk mengekskresikan beban limbah harian (Wilkens dan Juneja 2007).
Menurut Sediaoetama (2008), ginjal berperan penting dalam
keseimbangan cairan. Darah didalam glomerulus disaring dan plasma masuk
kedalam cawan glomerulus sebagai ultrafiltrat. Komposisi ultrafiltrat ini sama
dengan komposisi plasma tanpa makromolekul (protein plasma), yang tidak
dapat menembus saringan. Berat jenis plasma tanpa makromolekul sama
dengan berat jenis ultrafiltrat, yaitu 1,010. Ultrafiltrat ini diubah menjadi urin yang
mempunya berat jenis 1,015-1,035. Glomerulus dapat menyaring plasma
sebanyak 150-200 liter dalam 24 jam, untuk menghasilkan urin sebanyak 1000-
1300 ml. Saluran nefron yang berfungsi mengkonsentrasikan ultrafiltrat menjadi
urin ini panjangnya 15 mm tubulus proximalis, 15 mm loop Henle dan 5 mm
tubulus distalis. Sepanjang saluran nefron ini, ion-ion dan zat-zat organik diserap
kembali. Bersama dengan penyerapan zat-zat itu, ikut pula diserap kembali
sejumlah air. Dibagian nefron proksimal, air diserap obligatori sebagai pelarut
zat-zat organik yang diserap kembali secara aktif, sedangkan dibagian distal,
penyerapan air dilakukan secara aktif menurut kebutuhan tubuh. Penyerapan air
dibagian nefron distal ini diatur atas pengaruh hormon antideuritik.
Diet Penyakit Ginjal
Metode penatalaksanaan dan rekomendasi zat gizi berubah-ubah sesuai
dengan berbagai stadium gagal ginjal. Ginjal normal mengeluarkan kelebihan
cairan dan produk sisa dari tubuh serta memelihara keseimbangan asam basa.
Ginjal juga mengatur tekanan darah, stimulasi produksi sel darah merah, dan
mengatur metabolisme kalsium dan fosfor. Sindrom nefrotik adalah disfungsi
kapiler glomerulus. Gejala-gejala yaitu urin kehilangan protein plasma, serum
albumin rendah, edema, dan meningkatnya lemak darah. Pada gagal ginjal akut,
nefron kehilangan fungsinya atau Glomerulus Filtration Rate (GFR) menurun
tiba-tiba. Gejalanya yaitu meningkatnya nitrogen urea darah, katabolisme,
keseimbangan nitrogen negatif, meningkatnya elektrolitis, asidosis,
meningkatnya tekanan darah, dan berlebihnya cairan. Sindrom nefrotik dan
gagal ginjal akut merupakan kondisi dapat pulih kembali (reversibel). Pada gagal
ginjal kronik, GFR menurun secara bertahap. Pada stadium awal, terjadi
penggantian dengan memperbesar nefron yang tersisa (Greene dan Thomas
2008).
Gejala serupa pada gagal ginjal akut terlihat ketika fungsi ginjal tersisa
75% dari fungsi normal. Ketika GFR berkurang 10% dari normal, pasien
dipertimbangkan terkena End Stage Renal Disease (ESRD). Dialisis merupakan
awal untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah berkurang. Elektrolit, cairan,
anemia, dan diet diawasi setiap bulan oleh ahli gizi. Sebagian pasien dengan
ESRD menerima transplantasi ginjal (Greene dan Thomas 2008).
Menurut Hartono (2002), diet ginjal terutama bertujuan untuk mengurangi
ekskresi zat-zat sisa metabolisme protein melalui diet rendah protein dengan
jumlah kalori yang memadai atau tinggi. Keseimbangan air, elektrolit dan pH
pada gagal ginjal diperbaiki melalui pengaturan asupan cairan dan diet rendah
mineral tertentu seperti kalium, natrium, magnesium, fosfor menurut keadaan
pasien serta hasil pemeriksaan laboratorium. Gangguan produksi zat seperti
eritropoietin dan kalsitrol diatasi dengan suplementasi zat-zat tersebut.
Sindroma Nefritik
Sindrom nefritik merupakan manifestasi klinis dari sekelompok penyakit
yang ditandai dengan peradangan pada lengkung glomerulus kapiler. Penyakit
ini juga disebut glumerulonefritis akut yang terjadi secara tiba-tiba; terjadinya
sesaat, dan dapat berkembang menjadi sindrom nefrotik kronik atau ESRD.
Manifestasi utama dari penyakit ini adalah hematuria (darah dalam urin),
konsekuensi dari inflamasi kapiler yang menyerang pertahanan glomerulus
terhadap sel darah. Sindrom ini juga ditandai oleh hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi streptococcal. Penyebab
lain termasuk penyakit ginjal utama seperti imunoglobulin A nefropati; nefritik
hereditari; dan penyakit kedua seperti systemic lupus erythematosus (SLE),
vaskulitis dan glumerulonefritis berhubungan dengan endokarditis, abses, atau
infeksi peritoneal (Wilkens dan Juneja 2007).
Penatalaksanaan glomerulusnefritis adalah mencoba memelihara status
gizi baik ketika penyakit berubah spontan. Pada pasien dengan sindrom nefritik,
membatasi konsumsi protein atau potasium tidak memberikan keuntungan
signifikan pada perkembangan uremia atau hiperkalemia. Ketika terjadi
hipertensi, hal tersebut sebagian besar berhubungan dengan kelebihan volume
ekstraseluler dan terancam dengan pembatasan sodium (Wilkens dan Juneja
2007).
Sindroma Nefrotik
Sindroma Nefrotik terdiri atas kelompok penyakit heterogen, manifestasi
yang umum berasal dari hilangnya pertahanan glomerulus terhadap protein.
Protein dalam jumlah besar hilang melalui urin sehingga berujung pada
hipoalbuminemia dengan konsekuensi edema, hiperkolesterolemia,
hiperkoagulabiliti, dan metabolisme tulang abnormal. Lebih dari 95% kasus
sindrom nefrotik berakar dari tiga penyakit sistemik (diabetes melitus, SLE dan
amiloidosis) dan empat penyakit utama ginjal: penyakit yang hanya dapat dilihat
dengan mikroskop elektron, nefropati membran, glumerulosklerosis dan
glumerulonefritis membranoproliferatif (Wilkens dan Juneja 2007).
Menurut Almatsier (2004), sindrom nefrotik atau nefrosis adalah
kumpulan manifestasi penyakit yang ditandai oleh ketidakmampuan ginjal untuk
memelihara keseimbangan nitrogen sebagai akibat meningkatnya permeabilitas
membran kapiler glumerolus. Gejala penyakit ini bersifat individual, sehingga diet
yang diberikan harus individual pula, dengan menyatakan banyak protein dan
natrium yang dibutuhkan dalam diet.
Tujuan utama dari terapi gizi medis adalah untuk mengelola gejala yang
berhubungan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia),
mengurangi resiko pengembangan kegagalan ginjal dan memelihara
penyimpanan zat gizi. Pasien dengan kekurangan protein yang parah secara
terus menerus memerlukan waktu perawatan yang lama serta diperlukan
pemantauan gizi secara hati-hati. Diet bertujuan memberikan energi dan protein
yang cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan
meningkatkan konsentrasi plasma albumin serta menghilangkan edema (Wilkens
dan Juneja 2007).
Diet protein untuk pasien sindrom nefrotik berubah-ubah. Awalnya, pasien
menerima diet tinggi protein (hingga 1,5 g/kgBB/hari) sebagai usaha untuk
meningkatkan serum albumin dan mencegah malnutrisi protein. Bagaimanapun,
penelitian menunjukkan bahwa penurunan asupan protein hingga 0,8 mg/kg/hari
dapat menurunkan proteinuria tanpa berpengaruh negatif terhadap serum
albumin. Untuk memungkinkan penggunaan optimal dari protein, 50 sampai 60%
protein harus berasal dari sumber nilai biologi tinggi (HBV) dan asupan energi
harus sekitar 35 Kal/kgBB/hari untuk dewasa dan 100 sampai 150 Kal/kgBB/hari
untuk anak-anak (Wilkens dan Juneja 2007).
Upaya untuk membatasi asupan natrium dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hipotensi, eksaserbasi koagulopati dan penurunan fungsi ginjal.
Oleh karena itu, pengendalian edema pada kelompok ini harus didasarkan
sampai batas waktu tertentu dan pembatasan natrium sekitar 3 g natrium per hari
(Wilkens dan Juneja 2007).
Gagal Ginjal Akut
Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)
Gagal ginjal akut merupakan keadaan akibat penurunan akut fungsi ginjal
sehingga terjadi penimbunan zat-zat yang seharusnya diekskresikan keluar oleh
ginjal. Penyebab gagal ginjal akut meliputi (1) aliran darah ginjal yang tidak
mencukupi, (2) infeksi akut ginjal (penyebab renal), (3) sumbatan aliran air seni
(penyebab postrenal) seperti pada batu ginjal atau penekukan ureter (saluran
yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih). Tindakan diet bertujuan
mengurangi beban kerja ginjal untuk mengekskresikan zat-zat sisa disamping
memberikan cukup kalori. Diet rendah protein untuk mengurangi eksresi zat sisa
harus memberikan cukup protein untuk perbaikan jaringan ginjal yang rusak
disamping untuk keperluan lain seperti pembentukan hormon, enzim dan antibodi
(Hartono 2004).
Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien
dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut
Zat Gizi Rekomendasi
Energi 30-35 Kal/kgBB
Protein 0,6-0,8 g/kgBB
Sodium 2 g/hari
Potasium 2 g/hari
Zat Besi Sesuai AKG Cairan Cairan yang dikeluarkan ditambah 500cc
Gagal Ginjal Kronik
Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)
Penyakit Ginjal Kronik adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun) disebabkan oleh
berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat
pulih kembali (irreversible). Gejala penyakit ini umumnya adalah tidak nafsu
makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah, edema pada kaki dan
tangan, serta uremia. Apabila nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 25
ml/menit, diberikan Diet Protein Rendah (Almatsier 2004).
Terapi diet membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronik.
Pemberian suplemen zat besi, asam folat, kalsium dan vitamin D mungkin
diperlukan. Pemberian suplemen vitamin dan mineral pada gagal ginjal kronik
harus mengacu kepada hasil laboratorium seperti kadar hemoglobin, kadar
kalium, natrium dan klorida. Pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, fokus terapi
gizi adalah untuk menghindari asupan elektrolit yang berlebih dari makanan
karena kadar elektrolit bisa meninggi akibat klirens ginjal yang menurun (Hartono
2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien
dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut.
Tabel 2 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik
Zat Gizi Rekomendasi
Energi 30-35 Kal/kgBB
Protein 0,6-0,8 g/kgBB
Sodium 2-4 g/hari
Potasium Tidak ada batasan
Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan
Transplantasi Ginjal
Transplantasi melibatkan implantasi bedah ginjal dari donor hidup, donor
hidup yang tidak ada hubungan atau donor meninggal. Penolakan terhadap
jaringan asing atau infeksi sekunder untuk terapi imunosupresif komplikasi utama
(Wilkens dan Juneja 2007). Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti dengan
cara mengganti ginjal yang sakit dengan ginjal donor. Setelah transplantasi
sering terjadi hiperkatabolisme protein, kegemukan, dan hiperlipidemia. Diet
pada bulan pertama setelah tranplantasi adalah energi cukup dengan protein
tinggi, setelah itu berubah menajdi energi dan protein cukup. Karena diet sangat
tergantung pada keadaan pasien, penyusunan diet dilakukan secara individual
(Almatsier 2004).
Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasca
transplantasi ginjal adalah sebagai berikut.
Tabel 3 Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal
Zat Gizi Rekomendasi
Energi 25-35 Kal/kgBB
Protein 1,0-1,5g/kgBB
Sodium 2-4 g/hari
Potasium Tidak ada batasan
Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan
Gagal Ginjal dengan Dialisis
Dialisis dilakukan terhadap pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat,
dimana ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme,
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memproduksi
hormon-hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan sisa metabolisme
menimbulkan gejala uremia. Dialisis dilakukan bila GFR atau hasil tes kliren
kreatinin < 15 ml/menit (Almatsier 2004).
Dialisis dapat dilakukan dengan cara hemodialisis atau dialisis peritoneal.
Cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis. Pada proses
hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialirkan melalui membran semipermeabel
dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga produk-produk sisa metabolisme
dapat dikeluarkan dari tubuh melalui difusi dan air melalui ultrafiltrasi.
Hemodialisis membutuhkan akses permanen ke aliran darah melalui fistula
pembedahan yang dibuat untuk menghubungkan arteri dan vena. Fistula sering
dibuat didekat pergelangan tangan, yaitu didekat pembuluh darah besar di
lengan bawah. Jika pembuluh darah pasien rapuh, dapat dilakukan
pencangkokan pembuluh darah tiruan. Jarum besar dimasukkan kedalam fistula
atau cangkok sebelum dialisis dimulai dan dilepas ketika dialisis selesai.
Umumnya, akses sementara melalui kateter subklavia sampai akses permanen
pasien dapat diciptakan, bagaimanapun, masalah infeksi pada kateter tidak
diinginkan. Hemodialisis biasanya membutuhkan perawatan 3 sampai 5 jam
sebanyak 3 kali seminggu, tetapi terapi yang baru dilaksanakan membutuhkan
waktu yang berubah-ubah. Pasien yang melakukan dialisis harian dirumah tipe
perawatan yang berlangsung 1,5 sampai 2,5 jam, sedangkan beberapa pasien
yang didialisis dirumah, menerima dialisis nokturnal 3 kali seminggu selama 8
jam. Diet protein dibutuhkan kurang lebih 1,2 g/kg, untuk menutupi kehilangan
protein ketika dialisis (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Greene dan Thomas
(2008), kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali
per minggu yaitu sebagai berikut.
Tabel 4 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis
Zat Gizi Rekomendasi
Energi 30-35 Kal/kgBB
Protein 1,2-1,4 g/kgBB
Sodium 2-3 g/hari
Potasium 2-3 g/hari
Zat besi Individual Cairan Individual
Menurut Greene dan Thomas (2008), dialisis peritonial adalah proses
pengeluaran sisa produk metabolisme melalui perfusi larutan steril dialisis
seluruh rongga peritonial. Metode dialisis ini dapat dilakukan dirumah. Pertukaran
dialisis dilakukan beberapa kali dalam sehari atau terus-menerus di malam hari
dengan bantuan mesin dialisis peritonial. Normalnya, diet yang diberikan adalah
diet rendah garam. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani
dialisis peritonial adalah sebagai berikut.
Tabel 5 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal
Zat Gizi Rekomendasi
Energi 25-35 Kal/kgBB
Protein 1,2-1,5 g/kgBB
Sodium 2-4 g/hari
Potasium 3-4 g/hari
Zat besi Individual Cairan Sesuai toleransi
Batu Ginjal (Nefrotiliasis)
Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi mineral atau garam dalam urin
mencapai nilai yang memungkinkan terbentuknya kristal, yang akan mengendap
pada tubulus ginjal atau ureter. Meningkatnya konsentrasi garam-garam ini
disebabkan adanya kelainan metabolisme atau pengaruh lingkungan. Sebagian
besar batu ginjal merupakan garam kalsium. Fosfat, oksalat, serta asam urat.
Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi pada
saluran kemih dan sering buang air kecil.
Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi
pada saluran kemih dan sering buang air kecil. Penyakit ini sering kambuh
kembali. Agar bisa dilakukan upaya penyembuhan yang tepat, hendaknya
dilakukan analisis terhadap jenis batu dan penyakit yang menjadi penyebabnya.
Syarat diet nefrolitiasis yaitu energi diberikan sesuai dengan kebutuhan, protein
sedang, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total, cairan diberikan tinggi, yaitu
2,5-3 liter/hari, setengahnya berasal dari minuman.
Pemberian Dukungan Gizi
Pemberian dukungan gizi bagi pasien rawat inap dapat berupa gizi
enteral (melalui gastrointestinal) dan gizi parenteral (melalui vena). Dukungan
gizi tersebut diberikan apabila supan zat gizi pasien dengan makanan tidak dapat
memenuhi kebutuhan (Dir.Jen.Yan.Medik 1999a).
Gizi Enteral
Gizi enteral merupakan terapi pemberian nutrien lewat saluran cerna
dengan menggunakan selang/kateter khusus (feeding tube). Cara pemberiannya
bisa melalui jalur hidung lambung (nasogastric route) atau hidung usus
(nasoduodenal atau nasojejunal route). Pemberian nutrien juga bisa dilakukan
secara bolus atau cara infus lewat pompa infus enteral. Pemberian zat gizi
enteral yang dini akan memberikan manfaat antara lain memperkecil respons
katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien,
mempertahankan integritas usus, mempertahankan integritas/respons
imunologis, lebih fisiologik dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus
pada waktu sakit. Pemberian zat gizi enteral yang tepat akan memberikan nutrien
kepada pasien dalam bentuk yang bisa digunakan oleh metabolisme tubuhnya
tanpa menimbulkan gangguan saluran cerna seperti kram usus atau diare
sementara biaya dan proses pembuatannya memungkinkan pemberian zat gizi
tersebut (Hartono 2004).
Pemberian gizi enteral bertujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi
keseluruhan (terapetik) pada pasien yang tidak dapat makan sama sekali dan
sebagai tambahan (suplementasi) pada pasien yang mampu makan dan minum
tetapi tidak mencukupi kebutuhannya. Indikasi pemberiannya yaitu adanya
gangguan kesadaran, gangguan menelan, koma, stroke, kekacauan sistem saraf
pusat, dan selera makan yang buruk. Gizi enteral dapat diberikan melalui mulut
(oral), pipa (sonde), dan enterostomi (esofagustomi, jenunostomi). Makanan
enteral terdiri atas formula rumah sakit dan formula komerisial. Formula rumah
sakit dibuat oleh rumah sakit dari berbagai bahan makanan yang dihaluskan.
Konsistensi, kandungan zay gizi dan osmoralitas formula rumah sakit berubah-
ubah pada saat pembuatannya. Formula komersial merupakan formula yang
telah siap digunakan bergantung pada kebutuhan zat gizi pasien, kebutuhan
cairan, fungsi gastrointestinal, restriksi zat gizi dan kebutuhan tambahan.
Pemberian gizi enteral memiliki kelebihan dibandingkan dengan gizi parenteral.
Keuntungannya yaitu bersifat fisiologis, lebih efektif, komplikasi kurang, energi
tinggi mudah tercapai, teknik pemasangannyamudah dan biayanya murah
(Dir.Jen.Yan.Medik 1999a).
Gizi Parenteral
Gizi parenteral dapat diberikan melalui vena perifer atau vena sentral
kepada pasien yang beresiko melnutrisi tetapi tidak mampu dan/atau tidak boleh
mendapatkan zat gizi melalui saluran cerna. Gizi parenteral disebut gizi
parenteral total jika seluruh kebutuhan zat gizi pasien diberikan lewat vena dan
disebut gizi parenteral parsial jika hanya sebagian kebutuhan zat gizi saja yang
diberikan lewat vena (Hartono 2000).
Pemberian gizi parenteral dapat dilakukan sebagai terapi gizi primer dan
terapi giai suplemental/suportif. Gizi parenteral sebagai terapi gizi primer
diberikan kepada pasien yang tidak mampu mempertahankan, mencerna atau
menyerap makanan. Gizi parenteral sebagai terapi gizi suplemental/suportif
diberikan pada pasien yang bisa makan atau mendapat gizi enteral tetapi tidak
mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Nutrisi parenteral tidak boleh diberikan
pada pasien dengan krisis hemodinamik atau kegagalan pernafasan yang
membutuhkan bantuan respirator (Hartono 2000).
Daya Terima Makanan
Menurut Nasoetion (1980) diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), daya
terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan
makanan melalui indera penglihat, pencium, pencicip, dan bahkan indera
pendengar. Namun demikian, faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya
penerimaan terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan
oleh makanan tersebut.
Menurut Lowe diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), hal pertama yang
dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihat, yaitu meliputi
warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan
sebagainya. Selain itu, dinilai penyajian makanan seperti pemilihan alat yang
digunakan, cara menyusun makanan di tempat saji, termasuk penghias hidangan
(Moehyi 1997). Pasien yang selera makannya kurang sebaiknya diberi hidangan
dalam porsi kecil (Beck 1994).
Untuk mengetahui daya terima makanan, dilakukan dengan uji hedonik
skala verbal. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat
atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam hal ini,
panelis mengemukakan tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik
atau kualitas yang dinilai pada skala hedonik yaitu suka, biasa, dan tidak suka
(Hardinsyah et al. 1989).
Warna Makanan
Betapapun lezatnya makanan, apabila penampilannya tidak menarik
waktu disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya
menjadi hilang. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan
makanan. Warna daging yang sudah berubah menjadi cokelat kehitaman, warna
sayuran yang sudah berubah menjadi pucat sewaktu disajikan akan menjadi
sangat tidak menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi
1992a).
Warna makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas,
tetapi dapat pula memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan
tanda kemasakan atau kerusakan (Sukarni & Kusno 1980). Penerimaan warna
suatu bahan makanan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan
aspek sosial masyarakat penerima (Winarno 1997).
Aroma Makanan
Aroma yang dikeluarkan oleh setiap masakan berbeda-beda. Demikian
pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula.
Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut.
Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan makanan yang
digoreng, dibakar, atau dipanggang akan menimbulkan aroma yang harum,
berbeda dengan makanan yang direbus, hampir-hampir tidak mengeluarkan
aroma yang merangsang, dalam hal ini disebabkan senyawa yang memancarkan
aroma sedap larut air (Moehyi 1992a). Umumnya aroma utama yang diterima
oleh hidung dan otak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997).
Rasa Makanan
Rasa merupakan suatu komponen flavour yang terpenting karena
mempunyai pengaruh yang dominan. Pada citarasa lebih banyak melibatkan
indera kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi empat rasa
utama, yaitu asin, manis, pahit dan asam. Masakan yang mempunyai variasi
keempat macam rasa tersebut lebih disukai daripada hanya mempunyai satu
macam rasa yang dominan (Winarno 1997).
Timbulnya respon tidak sama untuk rasa yang berbeda, respon terhadap
rasa asin lebih cepat dibandingkan respon terhadap rasa pahit. Rasa dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi
dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1997).
Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan citarasa
makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan
yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu
membangkitkan selera untuk memcicipi makanan itu, maka pada tahap
berikutnya citarasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap
indera pencium dan indera pengecap (Moehyi 1992a).
Tekstur Makanan
Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang
ditimbulkan oleh bahan tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian yang
dilakukan diketahui bahwa perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau
yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan
terhadap sel respirator olfaktori dan kelenjar air liur (Winarno 1997). Dengan
tesktur kita dapat mengartikan kualitas makanan dengan merasakan apakah
dengan jari, lidah, gigi atau langit-langit (tekak) (Sukarni & Kusno 1980).
Menurut Beck (1994), makanan yang diajikan rumah sakit harus dapat
dimakan dengan mudah, sebaiknya tidak membuat pasien berkutat dengan
daging yang alot atau bersusah payah memisahkan tulang-tulang ikan satu per
satu.
Suhu
Menurut Winarno (1997), suhu mempengaruhi sensitivitas rasa di lidah,
bila suhu tubuh 20oC atau diatas 30oC, sensitivitas rasa pada kuncup cecapan
rasa di lidah berkurang. Makanan sedap dengan suhu panas akan mampu
memancarkan aroma yang sedap, karena bau-bauan baru dapat dikenali bila
berbentuk uap dan molekul-molekul kompunen bau itu harus dapat merangsang
otak, namun makanan yang panas pun dapat merusak kepekaan kuncup
cecapan lidah. Makanan dingin akan membius kuncup cecapan hingga tidak
peka lagi.
Umumnya pada rumah sakit modern untuk mengurangi penurunan suhu
(saat dilakukan distribusi makanan pasien), maka kereta makanan dilengkapi
dengan alat pemanas (Moehyi 1990).
Kebersihan Alat Makan
Pengawasan sanitasi (kebersihan) tidak hanya ditujukan pada bahan
makanan, tetapi juga terhadap peralatan yang digunakan. Sanitasi peralatan
makan perlu diperhatikan, agar tidak ada sisa makanan yang tertinggal atau
menempel pada alat dan menjadi busuk sehingga merupakan tempat yang baik
bagi tumbuhnya bakteri-bakteri (Moehyi 1990). Selain itu, penggunaan alat yang
bersih dalam penyajian makanan akan berpengaruh terhadap sisa makanan,
apabila alat yang digunakan bersih ada kecenderungan makanan yag diberikan
habis dimakan (Noras 2000). Semua sendok garpu, piring dan baki yang dipakai
harus bersih (Beck 1994).
Hal yang juga perlu diperhatikan dalam penggunaan alat penyajian
makanan adalah harus sesuai dengan volume makanan yang disajikan, agar
tidak terlihat terlalu banyak atau terlalu sedikit (Noras 2000).
Uji Kesukaan (Uji Hedonik)
Uji kesukaan disebut juga uji hedonik, dilakukan apabila uji didesain untuk
memilih satu produk diantara produk lain secara langsung. Uji ini juga dapat
digunakan ketika peneliti ingin menentukan status afeksi sebuah produk,
misalnya seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk. Pada proses
penilaiannya, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
sebaliknya (ketidaksukaan) (Setyaningsih 2010).
Selain panelis mengemukaan tanggapan senang, suka atau
kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat
kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya, dalam hal “suka” dapat
mempunyai skala hedonik seperti: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan
agak suka. Sebaliknya, jika tanggapan itu “tidak suka” dapat mempunyai skala
hedonik seperti suka dan agak suka, terdapat tanggapannya yang disebut
sebagai netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (biasa). Skala
Hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang
dikehendaki. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan
angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini, dapat dilakukan
analisis secara parametrik (Setyaningsih 2010).