tinjauan pustaka ham
TRANSCRIPT
A. Pengertian Malpraktik Medis
Istilah malpraktek adalah isitilah yang umum tentang kesalahan yang dilakukan oleh
profesional dalam menjalankan profesinya dan merupakan terjemahan dari malpractice. Mal
berarti salah dan practice berarti praktek. Dengan demikian secara sederhana dapat diartikan
malpraktek adalah praktek yang salah atau praktek yang jelek. Sedangkan malpraktek medis:
medical practice dan secara lebih singkatan mala praxts: kesalahan profesi.3,4,5,6
World Medical Assosiation (WMA) pada tahun 1992 memberikan definisi tentang
malpraktek medis adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan
perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya kekurangan keterampilan atau
kelainan dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien. WMA
juga mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis merupakan malpraktek kedokteran.
Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya dan dapat terjadi disaat terjadinya
tindakan medis yang sudah sesuai standar tidak termasuk dalam pengertian malpraktek.
Pembuktian malpraktek dipengadilan tidaklah mudah, dimana hakim harusnya membutuhkan
atau sangat tergantung pada saksi ahli yang diambil dari peer group sesuai kompetensi dokter
yang tergugat.5,6
Namun demikian dari semua definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan malpraktek medis adalah antara lain:1,2,3
a) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga medis
b) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban
c) Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
B. Aspek Hukum Malpraktek Medik
Berdasarkan jenisnya, tindakan malpraktik medik terbagi kedalam dua bentuk
pertanggungjawaban. Pertama, pertanggungjawaban profesi kedokteran, yaitu pelanggaran
etika kedokteran etika kedokteran dan pelanggaran disiplin kedokteran. Kedua,
pertanggungjwaban hukum (malpraktik yuridis), yang terbagi dalam tiga komponen yaitu
malpraktik pidana ( criminal malpractice), malpraktek perdata ( sivil malpractice), dan
malpraktek administratif ( administrative malpractice ). Masing-masing kriteria
pertanggungjawaban hukum dan profesi kedokteran tersebut di atas mempunyai jalur
penyelesaian yang berbeda, dasar hukum yang berbeda dan ditangani oleh peradilan yang
berbeda pula.1,2,3,4,5,6
1) Malpraktik pidana ( criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalamicacat akibat
dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati, kurang cermat, dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien. Dalam malpraktik pidana dibagi kedalam dua bentuk,
yaitu malpraktik pidana karena kesengajaan ( intensional) dan malpraktik pidana karena
kelalaian atau kealpaan ( negligence).3,5,6
Moelyatno menegaskan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar
atau dibawah sepengetahuan pelaku dan melakukan tindakan tersebut yang dilanggar oleh
hukum. Sedangakan kelalaian terjadi karena kurangnya perhatian, kurang cermat, dan kuang
hati-hati dalam dalam melakukan perawatan atau pengobatan terhadap pasien, sehingga tanpa
disadari menyebabkan keadaan yang dilarang seperti luka, cacat, atau matinya pasien.
Kelalaian hakikatnya sama dengan kesengajaan, tetapi perbedaanya hanyalah dari sudut
tingkatnya saja. Derajat kesalahan kesengajaan lebih tinggi dari pada kesalahan kelalaian.3,5,6
Dalam KUHP, ada beberapa pasal yang dapat dikenakan terhdap dokter, namun hanya
pasal 359 dan pasal 360 yang lazim digunakan oleh Polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
untuk menuntut dokter atas dugaan tindakan malpraktik medik. Walaupun demikian selain
kedua pasal tersebut jarang sekali digunakan dalam setiap dakwaannya di pengadilan, karena
kedua pasal tersebut hampir dapat menampung semua tindakan medis yang merugikan
kesehatan pasienseperti luka dan matinya pihak pasien.3,5,6
2) Malpraktik Perdata ( Civil Malpractice)
Dalam KUHPdt ada tiga hal yang dapat dihubungkan tindakan malpraktik medik
yaitu pihak dokter yang melaksanakan perawatan atau pengobatan tidak sesuai dengan
perjanjian (wanprestasi) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan tindakan dokter
melanggar hukum ( onrechmatige daad), tindakan (zaakwaarneming).3,4,5,6
Wanprestasi dalam praktik medik hanya terjadi karena pelanggaran perjanjian oleh
pihak dokter terhdap hak pasien. Isi perjanjian dapat berupa:3,4,5,6
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatanya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaannya.
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatanya wajib dilakukan tetapi terhambat
melaksanaannya.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Kriteria wanprestasi dinyatakan dalam pasal 1243 KUHPdt yaitu tidak dipenuhinya
suatu perikatan, apa yang menjadi unsur tidak dipenuhinya suatu perikatan adalah tidak
melaksanakan klausula suatu perjanjian. Pada dasarnya, klausula perjanjian adalah tanggung
jawab melakukan sesuatu dan memberikan sesuatu.3
Kewujudan kerugian akibat wanprestasi hanyalah dalam bentuk kerugian material
saja yaitu kerugian yang bisa diukur dengan uang seperti biaya perawatan, biaya perjalanan,
dan biaya obat-obatan. Sedangkan kerugian imateriil, misalnya kehilangan harapan untk
sembuh, rasa penderitaan atau kesakitan yang berkepanjangan, hilangnya penglihatan dan
menyebabkan kematian tidak dapat dituntut berdasarkan wanprestasi, tetapi kerugian tersebut
dapat dituntut berdasarkan perbuatan melanggar hukum ( oncrechmatige daad) sebagaimana
pasal 1365 KUHPdt.3,4,5,6
8
Adapun, tindakan oncrechmatige daad harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a) Adanya perbuatan ( baik berbuat maupun tidak berbuat )
b) Perbuatan tersebut melanggar hukum ( tertulis ataupun tidaktertulis )
c) Ada kerugian
d) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
diderita
e) Adanya kesalahan
Dalam malpraktik medik, sulit membedakan tindakan wanprestasi dengan perbuatan
melawan hukum. Walaupun dasarnya jelas dan mudah diucapkan, kerugian akibat
wanprestasi merupakan akibat langsung dari pelanggaran kewajiban dalam suatu perikatan
hukum. Sedangkan kerugian dari perbuatan melanggar hukum adalah kerugian sebagai akibat
langsung dari perbuatanyang dapat disalahkan pada sipembuat atau mengandung sifat
melawan hukum yang tidak harus dalam suatu perikatan.3,4,5,6
Oleh karena itu, dalam peradilan kasus malpraktek medik tergantung pada alasan
gugatan pasien yaitu apakah gugatan tersebut berdasarkan wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum, karena pada prinsipnya keduanya sama yaitu gugatan terhadap
penyimpangan pelayanan medis yang dilakukan leh dokter. Dalam menjatuhkan hukuman
pun hakim akan menjatuhkan berdasarkan tuntutan penggugat ( ultra petitim patium). Namun
dalam gugatan melawan hukum, dasar pembuktian nya menjadi mudah apabila telah terbukti
adanya penyimpangan pelayanan medis yang mengandung unsur tindakan pidana, misalnya
dokter telah melanggar Pasal 359 dan 360 KUHP, maka pembuktian akan menjaadi sempurna
dengan mengajukan putusan pengadilan tersebut dalam gugatan perbuatan melawan hukum.
Penggugat hanya tinggalmembuktkan nilai kerugian yang diakibatkan oleh tindakan dokter
tersebut baik materiil maupun immateriil.3,4,5,6
Kemudian tentang tindakan zaakwarneming. Zaakwarneming adalah bentuk perikatan
9
hukum yang lahir karena undang-undang. Ketentuan tindakan zaakwaarneming diatur dalam
pasal 1354 KUHPdt yang menentukan bahwa “jika seseorang sukarela, mewakili urusan
orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat
dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang diwakili
kepentingan nya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia menanggung segala kewajiban yang
harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan
dengan tegas.3,4,5,6
Melihat ketentuan diatas, tindakan zaakwarneming tidak menyebabkan timbulnya
tindakan malpraktik medik, tetapi dalam melaksanakan kewajiban hukum yang timbul karena
zaakwrneming maka dapat menyebabkan tindakan malpraktek medik apabila terdapat
penyimpangan dalam memberikan pelayanan medis oleh dokter sehingga dapat menimbulkan
kerugian terhadap kesehatan pasien. Dalam keadaan darurat dokter boleh saja melakukan
tindakan medis sesuai dengan kebutuhan pasien, tanpa harus adanya persetujuan pasien,
namun apabila pasien sudah stabil atau sadar, maka dokter harus memberitahu kepada pasien
tentang tindakan medis yang telah dilakukan selama pasien pingsan dan tindakan medis
selanjutnya yang dibutuhkan oleh pasien. Dalam zaakwaneming disebutkan bahwa dokter
bertindak sebagai bapak yang baik terhadap pasien.3,4,5,6
3) Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis
Malpraktek sebagaimana disebutkan secara singkat diatas, merupakan perbuatan yang
melanggar kewajiban yang seharusnya dilakukan, yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam profesi. Standar profesi merupakan pengaturan terhadap cara
pelaksanaan tindakan medis sehingga tindakan tersebut sesuai tujuan yang diharapkan, jadi
merupakan ketentuan hukum administrasi yang harus ditaati oleh tenagamedis yang
bersangkutan. Kesalahan tindakan berarti pelanggaran terhadap ketentuan hukum
administrasi, dan karenanya dapat dikenakan tindakan administrasi oleh pihak pemerintah.5,6
4) Aspek Etika dalam Malpraktek Medik
Sebagaimana diketahui, pelayanan kesehatan selain diatur dengan ketentuan hukum,
juga diatur oleh ketentuan kode etik profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. Oleh karena
itu pelanggaran dalam pelayanan kesehatan termasuk malpraktel medis juga dikenakan
sanksi-sanksi, baik etik, hukum maupun keduanya. Perbedaannya adalah bahwa sanksi etik
dijatuhkan oleh organisasi profesi, sanksi administrasi oleh pemerintah, sanksi pidana oleh
pengadilan berdasarkan tuntutan kejaksaan, dan sanksi perdata berdasarkan gugatan pihak
yang dirugikan. Sanksi etik lebih bertujuan pada edukasi atau pembelajaran bukan sebagai
hukuman atau mengganti kerugian. Mengenai pelanggaran aspek etika, jalur etik tidak begitu
melihat kepada akibat atau kerugian yang ditimbulkan, karena etika lebih mengedepankan
kepada tindakan yang dilakukan sipelakudengan berpedoman kepada Kode Etik Profesi.
Untuk kalangan dokter pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).5,6
C. BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA
1) Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi
(pengadilan) dan non litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Kita semua dapat memahami bahwa
proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu.
Karena sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan
satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sementara itu
kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap
terlampau padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan
umum serta dianggap terlampau formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah
peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi
dimana-mana. Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak
efisien dan tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair).2,7,8
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di Indonesia yang diawali oleh lembaga
perdamaian (dading) yang diatur dalam pasal 130 HIR dan 154 Rbg, saat ini telah
berkembang dan muncul sebagai pilihan jalan keluar dari kondisi peradilan umum yang ada.
Dalam kepustakaan Hukum Lingkungan, APS mendeskripsikan berbagai bentuk mekanisme
penyelesaian sengketa lingkunganselain proses litigasi, antara lain: negosiasi, mediasi,
konsiliasi, pencari fakta, dan abitrase.8
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsultasi berarti pertukaran pikiran
untuk mendapatkan kesimpulan ( nasehat, saran dan sebagainya) yang sebaik-baiknya. Dalam
kaitannya dengan alternatif penyelesaian sengketa, konsultasi/konseling merupakan cara
penyelesaian sengketa atau beda pendapat diluar pengadilan yang menawarkan mediasi
jangka panjang (terkait dengan pengertian yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia di atas) yang dasarnya berhubungan dengan faktor psikologis dan perilaku.2,8
Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak ( kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau
organisasi) yang lain, atau dapat diartikan pula sebagai penyelesaian sengketa secara damai
melalui perundingan antara pihak yang bersengketa. Dalam proses negosiasi para pihak yang
bersengketa bertemu secara sukarela dan berusaha mencari penyelesaian dari permasalahan
yang ada dan meraih kesepakatan semua pihak secara konsensus.2,8
Negosiasi dapat dilakukan sendiri atau diwakilkan oleh orang lain seperti penasehat
hukum, atau pengacara. Salah satu manfaat negosiasi adalah para pihak dapat membuat
pendekatan setiap saat, dengan proses mediasi pendekatan dapat dilakukan oleh mediator.8
Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute resolution (ADR)
atau alternatif penyelesaian masalah. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Mediasi itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan
dengan menggunakan mediator yang telah mempunyai sertifikat mediator. Mediator adalah
pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan
sebuah penyelesaian.2,8
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa atau beda pendapat diluar pengadilan
yang hampir serupa dengan mediasi namun dengan potensi perbedaan pada keaktifan pihak
ketiga yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa. Melibatkan intervensi pihak ketiga
yang bersifat pasif atau hanya terbatas pada hal-hal prosedural. Namun pada umumnya para
konsiliator berperan serta lebih langsung dalam sengketa dibandingkan dengan mediator.2,7
Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma)
Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, telah terjadi perubahan
fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga
berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan
yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, sekarang
menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang
bertikai.2,7
2) Mediasi Dalam Sengketa Medis
Profesi kedokteran merupakan profesi tertua di dunia. Profesi kedokteran juga
merupakan profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan.
Hubungan dokter pasien pada dasarnya dilandasi kepercayaan. Walaupun masih memerlukan
kajian yang lebih spesifik, ketidakpercayaan kepada dokter ditandai dengan mempertanyakan
pengetahuan, kemampuan, perilaku dan manajemen pasien dari si dokter. Sebuah studi di
Amerika menunjukkan bahwa seringkali dokter dituntut pasien dengan hal-hal yang tidak
berhubungan sama sekali dengan kualitas perawatan kesehatan yang diberikan dokter.2,8
Perubahan terminologi dari pasien ke konsumen atau klien mentransformasi
perubahan konsep hubungan dokter pasien ke konsep hubungan “jasa pelayanan.” Ironisnya
seringkali hubungan itu tidak meletakkan kepentingan yang terbaik untuk pasien sebagai
kepentingan utama oleh karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengetahuan antara kedua
belah pihak. Perkembangan ketersediaan informasi kesehatan melalui berbagai media turut
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh dokter. Selain itu juga harus dipahami
bahwa ilmu kedokteran tidaklah menjanjikan hasil melainkan upaya maksimal yang dapat
dilakukan (inspanning verbintennis). Lebih jauh akibat pengaruh intelektual dekonstruksionis
yang akarnya terletak pada pengertian good dalam perspektif pasien mempengaruhi otonomi
profesi. Dahulu good atau benefit merupakan domain para ahli pengobatan (dokter) dalam
situasi paternalistik. Ternyata sejalan dengan perkembangan zaman pengertian good tetap
dalam kerangka “berbuat baik” dalam konteks dokter berubah menjadi benefit pasien dengan
mempertimbangkan keputusan dan harapan pasien itu sendiri.2,7,8
Dalam kasus sengketa medik sangat dimungkinkan untuk penyelesaian melalui
mediasi. Hal ini tertuang dalam perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
kesehatan menjadi No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, memerintahkan wajib melakukan
mediasi jika terjadi kesalahan atau kelalaian oleh tenaga kesehatan seperti pada pasal 29
sebelum ditempuh jalur hukum lainnya.8
Konsideran yang mendasari sehingga ditetapkannya Perma Nomor 01 Tahun 2008
adalah:
1. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan
murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
2. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah
satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian
sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)
3. Hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong
para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan negeri
4. Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang
mahkamah agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh
peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran
dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata,
dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.2,,7
Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, perlu dipahami tentang tiga
aspek mediasi yaitu:2,8
1. Aspek Urgensi/Motivasi
Urgensi dan motivasi mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi
damai dan tidak melanjutkan perkaranya ke pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal
yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan
musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara
pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit
untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini
beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya dapat menjadi cair apabila ada yang
mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang
berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menyaring persoalan
agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya
perdamaian antara mereka.
2. Aspek Prinsip
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008
yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur
penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut
Perma, hal itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke
pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal itu
terjadi risikonya akan fatal.
3. Aspek Substansi
Mediasi merupakan rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap perkara perdata
yang masuk ke pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara
sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk
melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk
memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya sungguh-sungguh yang harus
dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan
upaya pihakpihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri,
bukan kepentingan pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Dengan
demikian segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak
yang berperkara.
a) Tahapan Proses Mediasi
Ada dua belas langkah agar proses mediasi berhasil dengan baik yaitu:2,8
1. Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa
2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi
3. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang sengketa
4. Menyusun rencana mediasi
16
5. Membangun kepercayaan dan kerja sama di antara para pihak
6. Memulai sidang mediasi
7. Merumuskan masalah dan menyusun agenda
8. Mengungkapkan kepentingan yang tersembunyi
9. Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa
10. Menganalisis pilihan penyelesaian sengketa
11. Proses tawar menawar akhir
12. Mencapai kesepakatan formal
Ada dua jenis perundingan dalam proses mediasi yaitu positional based bargaining
dan interest best based bargaining. Positional based bargaining selalu dimulai dengan solusi.
Para pihak saling mengusulkan solusi dan saling tawar menawar sampai mereka menemukan
satu titik yang dapat diterima bagi keduanya. Sementara itu perundingan berdasarkan
kepentingan dimulai dengan mengembangkan dan menjaga hubungan. Para pihak mendidik
satu sama lain akan kebutuhan mereka dan bersama-sama menyelesaikan persoalan
berdasarkan kebutuhan/kepentingan. Pada strategi itu para perunding adalah pemecah
masalah. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan yang mencerminkan kebutuhan/
kepentingan para pihak, memisahkan antara orang dengan masalah, lunak terhadap orang dan
keras kepada masalah, kepercayaan dibangun atas dasar situasi dan kondisi, fokus pada
kepentingan dan bukan pada posisi, mencegah/ menghindari dari bottom line, membuat
pilihan semaksimal mungkin, mendiskusikan pilihan secara intensif, kesepakatan mengacu
pada keinginan bersama, menggunakan argumentasi dan alasan serta terbuka terhadap alasan
perunding lawan.2,8
Para ahli mediasi menganjurkan untuk menggunakan strategi perundingan
berdasarkan kepentingan, karena hasil akhir yang akan didapat oleh kedua belah pihak akan
maksimal. Perbedaan hasil akhir dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Strategi perundingan: a. berdasarkan posisi; b. berdasarkan kepentingan.
Kiat strategi perundingan berdasarkan kepentingan adalah people, interest, options,
criteria (PIOC). Pada people/ orang: pisahkan antara orang dan masalah, pusatkan pikiran
pada masalah bukan pada mitra tanding. Para perunding melihat diri mereka sebagai mitra
kerja yang harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah. Interest/ kepentingan: titik-
beratkan pada kepentingan bukan kebutuhan, bukan apa yang saya inginkan atau tidak
inginkan dan bukan mengapa saya inginkan atau tidak inginkan. Options/ pilihan: tidak
terpaku pada satu pemecahan masalah, perbanyak pilihan pemecahan masalah, hindari
pemikiran bahwa pemecahan masalah hanya urusan mitra runding, tentukan penyelesaian
pada pemecahan yang memuaskan para pihak. Criteria/kriteria: buat berdasarkan ukuran
objektif, nilai pasar, ukuran ilmiah, ukuran profesional dan hukum.2,
Agar proses mediasi dapat berjalan efektif diperlukan kemampuan
untuk dapat “memetakan” serta menganalisis bentuk konflik yang sedang
dihadapi dan mencoba untuk merancang pendekatan terefektif untuk
mengatasinya. Pada dasarnya konflik bersumber dari lima hal yaitu:
masalah hubungan, masalah data, masalah kepentingan, masalah
struktural dan perbedaan nilai. Moore9 menggambarkan siklus konflik
tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. 19
Gambar2. Circle of Conflict
Berdasarkan uraian di atas sebenarnya proses mediasi merupakan upaya yang tepat
dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali dalam proses pidana
murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan rahasia kedokteran, aborsi serta kelalaian
berat, keterangan palsu, penipuan dan lain-lain. Penyelesaian melalui jalur litigasi akan
merugikan kedua belah pihak. Apalagi cukup sukar untuk memenuhi empat kriteria
malpraktik medis, yaitu:2,8
1. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan
2. Adanya dereliction/breach of that duty (penyimpangan kewajiban);
3. Terjadinya damage
4. Terbuktinya direct causal relationship antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Efek positif lainnya dari proses mediasi adalah hubungan dokter pasien akan tetap
senantiasa terjaga dengan baik. Karena bagaimanapun kedua belah pihak memerlukan
kepentingan yang sama meskipun dalam konteks dan tanggung jawabnya masing-masing.
Meskipun demikian, mediasi memiliki kelemahan yaitu keterbatasan dukungan yuridis 20
terhadap proses dan hasilnya, termasuk terhadap eksekusi perjanjian penyelesaian sengketa
(perdamaian) yang dihasilkan. Proses dan keputusan yang dihasilkan tidak dapat begitu saja
dipaksakan. Kelemahan lain adalah dari Perma itu sendiri yaitu menurut tata urutan
perundang-undangan Indonesia Perma tidak bersifat wajib; mengikat, sehingga Perma hanya
dapat dijadikan pedoman. Perlu dibentuk undang-undang yang mengatur mediasi untuk
memberikan kepastian hukum.2,8
1. Astuti, E.K. 2007. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis. Makalah disajikan pada Seminar Malpraktek Kedokteran, Aspek Hukum dan Pencegahan, Semarang, 29 Juni.
2. Afandi, D. 2009. Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis. Majalah Kedokteran Indonesia, 59(5): 189-193.
3. Aristya, S.D.F. 2011. Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktek di Yogyakarta. Mimbar Hukum edisi khusus:1-237.
4. Riyadi, M. 2011. Hukum Kesehatan Keselamatan Pasien Adalah Hukum Yang Tertinggi agroti salos lex suprima (Tinjaun Yuridis Dalam Kajian Penelitian). Surabaya: Selasar Publishing. Hal:117-183
5. Hatta, M. 2008. Malprakek Medik di Indonesia Suatu Kajian Medikolegal. Jurnal Suloh, VI (3):175-256.
6. Lewoleba, K. K. 2008. Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan ( Malpraktek Medis ). Bina Widya,19 (3):181-187.
7. Febri, P. 2009. Pelaksanaan Mediasi dan Penerapannya dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Jakarta. FH UI
8. Junaidi, E. 2011. Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik. Rajawali Pers. Jakarta. Hal: 11- 43.