tinjauan pustaka
DESCRIPTION
internaTRANSCRIPT
BAB I
Kasus 1
Identitas
• Nama : Ny. S
• Umur : 55 tahun
• Jenis kelamin : perempuan
• Alamat : Kemayoran, Jakarta Barat
• Tgl Masuk RS : 8 Juni 2015
Anamnesis :
KU : Sesak sejak 4 hari SMRS
RPS : Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 4 hari SMRS yang dirasakan
semakin hari semakin memberat, keluhan bertambah berat jika sedang
beraktivitas, dan lebih nyaman jika duduk dibanding berbaring. Sesak disertai
nyeri pada dada kiri, berkeringat malam dan bengkak pada kedua kaki. Pasien
juga mengeluh ada batuk sejak 4 hari SMRS, batuk kering, tidak ada demam,
mual maupun muntah, nafsu makan menurun, pasien mengaku ada penurunan
berat badan sekitar 5 kg dalam 3 bulan.
RPD : Penyakit DM (+)
Penyakit HT (+)
RPK : Tidak ada yang pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
DM , Hipertensi disangkal pada keluarga
RPO : Pasien berobat Hipertensi dengan Captopril dan penyakit DM lupa
nama obat
R. Alergi : Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap makanan
maupun obat-obatan.
R.Psikososial : Seorang ibu rumah tangga, aktif mengikuti kegiatan senam
jantung, senam diabetes dan Lansia
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda vital : Suhu: 36,7oC
Nadi: 84x/menit
RR : 18 x/menit
TD :140/100mmHg
Status Generalisata : Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil Isokor
Hidung : Septum Deviasi (-/-), Sekret (-/-), Epistaksis (-/-),
konka normal
Telinga : Normotia, Serumen (-/-), hiperemis (-/-).
Mulut : Bibir Pucat (-), Bibir Kering (-),Sianosis (-), Stomatitis (-),
Lidah Kotor (-), Tonsil ( T1 / T1 ), Faring Hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-).
Thoraks
Paru :
Inspeksi : Dada simetris (+), Retraksi Dinding Dada (-), Bagian yang
tertinggal saat inspirasi (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri (+)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus Cordis Terlihat di ICS V 2 jari lateral LMCS
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V 2 jari lateral LMCS
Perkusi : batas atas : ICS IV LPSS
batas kanan : ICS IV LMSD
batas kiri :ICS V LMCS
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II Murni (+), Mur-mur (-), Gallop (-)
Abdomen
– Inspeksi : Perut datar (+),
– Auskultasi : Bising Usus (+) 14 x/menit.
– Palpasi : Abdomen Supel, nyeri tekan epigastrium (-).
– Perkusi : Timpani pada keempatn kuadran abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas Atas :
• Akral : Hangat
• CRT : <2 detik
• edema : -/-
Ekstremitas Bawah :
• Akral : hangat
• CRT : <2 detik
• Edema : -/-
Tanggal Jam Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
8 Juni 2015 14.00 Hemoglobin 10 g/dL 11,7-15,5
Leukosit 4,61 Ribu/uL 4,3-10,4
Hematokrit 30 % 36-46
Trombosit 266 Ribu/uL 132-440
Eritrosit 3,52 10^6/
uL
4,2-5,4
MCV 85 fl 81-99
MCH 28 pg 27-32
MCHC 34 % 31-34
Eosinofil 2 % 2-4
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil
batang
4 % 3-5
Neutrofil
segmen
62 % 50-70
Limfosit 22 % 25-40
Monosit 10 % 2-8
LED 25 mm 0-20
Laboratorium
Tanggal Jam Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
8 Juni
2015
14.00 GDS 88 mg/ dL 70-200
SGOT 24 U/L 10- 31
SGPT 20 U/L 9- 36
Ureum
darah
62 mg/dl 10-50
kreatinin 2,6 mg/ dL <1,4
Natrium 136 mEq/L 135-147
Kalium 4,8 mEq/L 3,5- 5,0
Klorida 108 mEq/L 92-111
EKG :
Rontgen :
INTERPRETASI:
CTR± 67% membesar ke kiri
punggung jantung datar
aorta baik
sinus costophrenicus kanan
terselubung
infiltrat paru kanan tengah
ataubawah
paru kiri baik
kesan: Cardiomegali
DD/ Pericardial Effusion
Pleuropneumonia Dextra
Terapi
Candern 1x8
Omeprazol 2x1
Simvastatin 1x20
CPG 1x1
Aprazolam 1x 05
Aspilet 1x1
Nitrokaf 2x1
Amplodipin 2x 5
Lasix tab 1x1
Lasix Inj 1x2 amp
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom klinis
akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi
natrium dan air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti
ini dapat terjadi dalam paru atau sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung
pada apakah gagal jantungnya pada sisi kanan atau menyeluruh.
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya
ada jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal
jantung kongestif biasanya disertai dengan kegagalan pada jantung kiri dan
jantung kanan.
B. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung
dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien
jantung.Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat
pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan.3
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan
makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah
kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung
masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan
mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.3
C. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit
jantung kongenital maupun didapat.Mekanisme fisiologis yang menyebabkan
gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,
meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas
miokardium.Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal (preload)
meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir (afterload)
meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi
sistemik.Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium
dan kardiomiopati.3
Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung, terdapat faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan
jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu
pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis) dapat
menyebabkan gagal jantung.Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif
dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi
beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi
ventrikel.Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme
fisiologik atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas
terjadinya gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi
oleh berbagai gangguan patofisiologis.Penelitian terbaru menekankan pada
peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung.Jantung normal tidak
menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan menghasilkan TNF
dalam jumlah banyak. 3
Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui
berperan dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung.Kelainan yang
mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak
diketahui.Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan hantaran kalsium dalam
sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil. 4
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik
dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi
mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons
mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan
tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan
memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang
meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi
terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan.
Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan
penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang
mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal
jantung.
D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The
New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4
kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan
aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan
dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat. 5
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki gejala-
gejala dari gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi
khusus.
Istilah dalam Gagal Jantung
Perbedaan antara dua bentuk gagal jantung ini, dijelaskan dalam Gbr. 194-6,
berkaitan dengan abnormalitas utama ketidakmampuan untuk berkontraksi secara
normal dan mengeluarkan darah yang cukup (gagal sistolik) atau ketidakmampuan
untuk berelaksasi dan terisi secara normal (gagal diastoliy). Manifestasi klinis
gagal sistolik yang utama berkaitan dengan curah jantung yang inadekuat dengan
kelemahan, kelelahan, berkurangnya toleransi terhadap exercise, dan gejala lain
dari hipoperfusi, sedangkan dalam gagal diastolik, terutama berhubungan dengan
peningkatan tekanan pengisian. Pada banyak pasien, terutama yang mempunyai
hipertrofi ventrikel dan dilatasi, abnormalitas kontraksi dan relaksasi terjadi secara
bersamaan.
Gbr. 194-6
Gagal jantung diastolik mungkin disebabkan oleh meningkatnya resistensi
terhadap aliran masuk ventrikel dan berkurangnya kapasitas diastolik ventrikel
(perikarditis konstriktif dan restriktif, kardiomiopati hipertensif dan hipertrofik),
gangguan relaksasi ventrikel (iskemia miokard akut, kardiomiopati hipertrofik),
dan fibrosis miokard dan infiltrasi (dilatasi, iskemia kronik, dan kardiomopati
restriktif)
E. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.7
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.7
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron.Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.Aldosteron
akanmenyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium.Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung.6,7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP.C-type natriureticpeptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis
dan vasodilatasi minimal.Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja
antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan
reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide
pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya
sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai
terapi pada penderita gagal jantung.2,6
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary
arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.2,6
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel
kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal.Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi
sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
Gambar 1.Patofisiologi dan Simptomatologi CHF.
Menurut Buku ajar ilmu penyakit dalam FKUI , Peningkatan Beban Awal
Melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron aktivasi sistem renin
angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal,
meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan beban awal ini
akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hukum Starling.
Mekanisme pasti yang mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin
aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun, diperkirakan terdapat
sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik pada reseptor beta di
dalam aparatus jukstaglomerulus, respons reseptor makula densa terhadap
perubahan pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons baroreseptor terhadap
perubahan volume dan tekanan darah sirkulasi.
Apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung pada gagal jantung
akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
1. penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,
2. pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus,
3. interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk
menghasilkan angiotensin I,
4. konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
5. rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan
6. retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul
(Gbr. 33-5). Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah.
Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan
menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati,
sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik
akan meningkat pada gagal jantung berat, yang selanjutnya akan meningkatkan
absorpsi air pada duktus pengumpul.
Saat ini sedang diselidiki adanya peranan/faktor natriuretik atrium (atrial
natriuretik factor, ANF) pada gagal jantung. ANF adalah hormon yang disintesis
pada jaringan atrium. Peptida natriuretik tipe B (BNP) terutama disekresi melalui
ventrikel. Natriuretik peptida dilepaskan akibat meningkatnya tekanan atau
volume intrakardia dan menekan sistem renin-angio-tensin-aldosteron.
Konsentrasi peptida dalam plasma lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
normalnya pada penderita gagal jantung dan pada penderita gangguan jantung
yang tidak bergejala. Hormon memberikan efek diuretik dan natriuretik dan
merelak-sasi otot polos. Namun demikian, efek diuretik dan natriuretik
dipengaruhi faktor kompensatorik yang lebih kuat yang menyebabkan retensi
garam dan air serta vasokonstriksi.
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto
toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler.
1. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik dan karakteristik forward orbackward, left or right heart
failure. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart
Study :
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
2. Gejala Klinik
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
- Pemeriksaan darah lengkap
- Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium,
klorida, kolesterol total, LDL, HDL)
b. Elektrokardiogram
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat
menunjukkan bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia, namun
alam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal.
c. Radiologi
1) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui ukuran
dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru-paru.9 Pada
gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada
ruang-ruang di jantung, menghasilkan pembesaran pada
jantung.Pemeriksaan radiologi memberikan informasi berguna
mengenai ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis,
dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura, begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak
pada gejala pasien.
2) Computed Tomography
CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin dan
manajemen gagal jantung kongestif.9 Multichannel CT scan berguna
dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup, namun,
ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dapat
memberikan informasi yang sama tanpa mengekspos pasien untuk
radiasi pengion.9
3) Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari
evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau
diduga.Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer
dan sekunder dapat dinilai secara akurat.Ekokardiografi Doppler
mungkin memainkan peran berharga dalam menentukan fungsi
diastolik dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolik.9 Dua
dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk
menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac
output (fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian
ventrikel. Echocardiography juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis.Tingkat
kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan
positif palsu dan negatif palsu yang rendah.9
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara
farmakologis.Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik
ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi.
1. Non Farmakalogi :
a. Anjuran umum :
1) Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
2) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
b. Tindakan Umum :
1) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2) Hentikan rokok
3) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
4) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
2. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.14,15
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta
blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma
ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik
atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus
dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia
klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat
digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka
pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal.Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas.Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita
dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.13
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu,
takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria
serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi
syok kardiogenik.Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya
timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun
ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun
defek septum ventrikel pasca infark.13
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi
jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat
dilakukan.Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan
kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus.Base
excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya
asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk.
Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter. 13
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid,
sehingga harus dihindari bila memungkinkan.13
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,
nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen.Opiat juga menurunkan
preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.Dosis pemberian 2 – 3
mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta
gagal jantung.Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada
dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri
koroner.Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan
antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.Kekurangannya
adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 – 24 jam.13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi.Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan
gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit. 13
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan
vasodilator.Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang
dihasilkan ventrikel.Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian
intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju
jantung, meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis
pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
μg/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer.Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100
mmHg.Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi
jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.13
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada
pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta
yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis
umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis
2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.13
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung.Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone.Biasanya digunakan
untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat
terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone
intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt.
Dosis enoximone 0,25– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.Penderita dengan
syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi
penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa
digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu
dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1
μg/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.Bila penderita datang dengan
hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan
afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood
diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium
intravena(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda
kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload,
meningkatkan aliran darah koroner.Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi
sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi.13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular
assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung
berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan,
disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu
jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan
sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan
bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia
ventrikel.Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan
sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang
tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.
Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti
cepat capek (fatik), sesak napas (dyspnea in effort,
orthopnea),kardiomegali,peningkatan tekanan vena jugularis, asites,
hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi
bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel
kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas
yang hilang timbul tidak khas, sehingga hams ditopang oleh pemeriksaan foto
rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak
pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik).
ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai
optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau
SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belum memberikan hasil yang
memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal
menurun(ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang
daRI 3.5 meq/L)
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau
pada pasien dengan hipokalemia,dan ada beberapa studi yang
menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat Mi.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N
atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat
Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun
Pembedahan, pemasangan ICD (Intrff-Cardiac Defibrillator) sebagai alat
mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-
iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun
mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard,masih
terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat
ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan
penelitian lanjut.
H. Prognosis
Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :
Waktu timbulnya gagal jantung.
Timbul serangan akut atau menahun.
Derajat beratnya gagal jantung.
Penyebab primer.
Kelainan atau besarnya jantung yang menetap.
Keadaan paru.
Cepatnya pertolongan pertama.
Respons dan lamanya pemberian digitalisasi.
Seringnya gagal jantung kambuh.
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.
Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi
yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV
2. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVI
3. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan.Buku ajar kardiologi. jakarta : balai
penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 – 17,115 –
126.
4. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.
5. Oemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.
6. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Vol. Volume 2.
7. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA:
Lipincott Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.
8. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of
the adult patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams &
Wilkins 2009;.hal.275-287
9. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell
publishing 2006;hal. 10-11.
10. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
11. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the
older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
12. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.