tinjauan pustaka
DESCRIPTION
Tinjauan pustakaTRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interrorgans tanpa memadang bentuk spesifik
serotypenya.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh weil pada tahun1886 yang membedakan
yang penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lainnya yang juga
menyebabkan ikterus. Bentuk beratnya dikenal sebagai weil’s disease. Gejala
leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis,
hepatitis, demam dengue, deman berdarah dengue dan demam virus lainnya.
Leptospirosis sering kali tidak terdiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik, dan
sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa
leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan
leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious
diseases
Penyakit ini dikenal dengam berbagai nama seperti : Autumnal fever, Conical
fever, Canine typhus, Cane cutter’s fever, Flood fever, haemorrhagic jaundice, Icteric
leptospirosis, Mud fever, Redwater of calves, Rice field fever, Stuttgard disease,
Swamp fever, Swineherd’s disease, Trench fever dan demam kemih tikus.
Etiologi
Penyebab utama dari penyakit ini adalah mikroorganisme spirochaeta, genus
leptospira, spesies leptospira interrorgans, famili treponemataceae. Ciri khas dari
mikroorganisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan
spiral yang cukup halus, lebarnya0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme ini sering
membengkak, membentuk kait. Terdapat gerak rotasi aktif, dilihat melalui
mikroskop lapangan gelap, tapi tidak ditemukan adanya flagela. Dalam
pertumbuhannya, organisme ini membutuhkan media dan kondisi yang khusus.
Spesies L. interrorgans dibagi menjadi beberapa serogroup dan serogroup ini terbagi
menjadi beberapa serova menurut antigennya, salah satunnya adalah L.
1
Icterohaemorrhaiae , resevoirnya adalah tikus, yang paling sering menginfeksi
manusia.
Epidemiologi
Leptospirosis tersebar diseluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika,
namun terbanyak terdapat pada daerah tropis. international leptospirosis society
menyatakan indonesia, yang wliyahnya terletak pada daerah tropis, sebagai negara
dengan insidens leptospirosis paling tinggi dan peringkat ketiga untuk mortalitas.
Di indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, dan beberapa daerah lainnya yang juga
ditemukannya penyakit ini. Pada kejadian Banjir besar di Jakarta tahun 2002,
dilaporkan 113 pasien leptospirosis dan 20 orang meninggal diantaranya.
Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda,
kucing, dan beberapa binatang pengerat. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira
hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari L.
Icterohaemorrhaiae, yang paling banyak menginfeksi manusia, didalam tubuh tikus
tersebut leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak
didalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus ikut mengalir dalam
filtrat urine.
Penularan
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang
telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi
terjadi melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh, gigitan
binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, ekspose yang lama pada genangan
air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh, bahkan melalui inhalasi droplet
infeksius ataupun minum air yang terkontaminasi.
Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah
beberapa kelompok pekerja, seperti petani, peternak, tukang potong hewan, dan
lainnya. Ataupun pada sekelompok orang yang melakukan aktivitas tertentu, seperti
berenang disungai, beburu, kegiatan dihutan, dan lainnya.
Patogenese
2
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi
kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi
melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang
mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1
atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah
dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang
paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler.
Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin
yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu
stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu
hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang
mengandung fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein
sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa
infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman
leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke
interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravascular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.
3
Conjungtival suffusion, konjugtiva menjadi basah dan mudah ditembus seperti oleh
darah, khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini
sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa
uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular.
Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik
berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta
mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan
meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam daarah. Kuman leptospira akan
dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin
otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.
Gambaran Histopatologi
Gambaran patologi leptospirosis ditandai dengan terjadinya vaskulitis,
kerusakan endotel, dan infiltrasi inflamasi yang terdiri dari sel monosit, sel plasma,
histosit dan netrifil. Gambaran histologi leptospirosis yang mencolok yaitu kerusakan
hati, ginjal, jantung dan paru.
a) Kerusakan hati akibat nekrosis sentrilobular yang disertai proliferasi sel kupffer.
Sering ditemukan adanya disosiasi sel-sel hati, degenerasi sitoplasma, inti sel-sel
parenkim mengecil dan infiltrasi mononukleus pada daerah portal.
b) Kerusakan ginjal lebih nyata dibandingkan dengan kerusakan hati, yaitu edema,
dan perdarajhan di medula. Adanya gambaran nefritis interstisial yang berlanjut
menjadi nekrosis tubulus pada kasus berat. Silinder protein, pigmen darah, eritrosit
dan sisa sel tubulus dapat ditemukan di medula tubulus.
c) Invasi otot rangka oleh kuman leptospira mengakibatkan timbulnya
pembengkakan, vakuolisasi miofibril, nekrosis fokal, infiltrasi histiosit, netrofil dan
sel plasma leptospira, misalnya pada otot gastroknemius.
d) Kerusakan pada jantung ditandai dengan petekie di endokardium dan epikardium,
serabut otot sembah, disertai vakuolisasi, degenerasi dan infiltrasi sel radang. Pada
beberapa kasus terjadi miokarditis toksik atau endokarditis akut.
e) Kerusakan pada paru bervariasi dari inflamasi intetstisial setempat disertai
eksravasasi hingga infiltrasi bronkopneumonik luas.
4
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dengan masa inkubasi berkisar antara 7 -12 hari dengan rerata 10
hari. Menurut tingkat keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan
berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinik dan penangannya, para ahli membagi
penyakit leptospirosis menjadi: leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
Leptospirosis anikterik :
Manifestasi klinik sebagian besar leptospirosis adalah anikterik, diperkirakan
mencapai 90 % dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Bila ditemukan satu
kasus leptospirosis berat, diperkirakan 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan.
Perjalanan penyakit leptospirosis antikterik maupun ikterik umumnya leptospiraa
bifasik karena mempunyai 2 fase / stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia
dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik.
Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:
Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; Nyeri kepala;
Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri kepala dapat berat, mirip
yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia; Nyeri otot
terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Nyeri
ini diduga akibat kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase akan meningkat, dan
pemeriksaan kreatinin fosfokinase dapat membantu diagnosis klinik leptospirosis.
Adanya canjungtival suffision dan nyeri tekan di daerah betis. Lemfodenopati,
splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan meskipun
jarang.
Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis
leptospiraaseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis. Pleiositosis,
adanya sel dalam jumlah lebih banyak dari normal dalam LCS, pada cairan
serebrospinal ditemukan pada 80 % pasien, meskipun hanya 50 % yang
menunjukkan tanda dan gejala klinik meningitis aseptik.
Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala
klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Manifestasi klinik
5
menyerupai penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan
keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis anikterik sebagai salah satu
diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik dan pasca banjir.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis
anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang
meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di cina.
Pada tes pembendungan dapat positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada
awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue.
Leptospirosis ikterik:
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak
jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun
dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status
imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim
transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah
pasien sembuh. Komplikasi yang terjadi pada leptospirosis merefleksikan
leptospirosis sebagai suatu penyakit multisistem. Leptospirosis sering menyebabkan
gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran
klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun
pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan. Kelainan timbul pada hari ke 3
sampai 9 perjalanan penyakit. Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah
patchy alveolar pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar
sampai efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus
perifer paru bagian bawah.
Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa
organ, perdarahan masih dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS)
merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-
pasien dengan leptospirosis ikterik. Penyebab kematian leptospirosis berat adalah
koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Faktor-
6
faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis
adalah oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru,
sesak nafas, leukositosis > 12.900 per mm3 , kelainan Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan repolarisasi, dan adanya infiltrasi pada foto pencitraan paru.
Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan,
gangguan kesadaran akibat uremia) dapat menunjukkan gambaran klinik yang mirip
dengan malaria falciparum berat ( demam, ikterik, gagal ginjal, manifestasi
perdarahan, kesadaran menurunakibat malaria serebral), haemorrhagic fever with
renal syndrome (HFRS) yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava
(demam, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, injeksi subkonjungtiva, kadang-
kadang ikterik, dan demam tifoid berat dengan komplikasi ganda (sindrom
septikemia, ikterik, azotemia, tendensi perdarahan, soporokoma).
Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 % pasien leptospirosis dalam 24 jam
pertaama dalam perawatan di rumah sakit, dan yang tersering adalah blok
artrioventrikular derajat I, dan fibrilasi atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada pasien leptospirosis leptospirosissaat masuk
rumah sakit, dan mayoritas pasien dengan hipotensi, dan mengalami gangguan fungsi
ginjal.
Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak. Hal ini mungkin diasebabkan
karena tidak terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada kasus berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai
penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru. Manifestasi klinis pada kasus ringan
adalah demam dan gastroenteritis.
Diagnosis klinis dan diagnosis banding
Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di beberapa rumah sakit
tidak sama, tergantung dari : jenis kuman leptospira, kekebalan seseorang, kondisi
lingkungan dan lain-lain.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data bepidemiologis
penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien.
7
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis
pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di
lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
B. Pemeriksaan fisik
Gejala klinik menonjol yaitu: ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffusion.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering
ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3
selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva
unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat
merah dan bercak-bercak.
Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan
hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku
kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesis hemoragi.
Diatesis hemoragi timbul akibat proses vaskulitis difus di kapiler disertai
hipoprotrombinemia dan trombositopenia, uji pembendungan dapat positif.
Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat terlihat
sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan ruam kulit. Ruam kulit dapat
berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun
setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.
C. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis dilakukan juga:
a. Pemeriksaan laboratorium umum
1. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal atau menurun,
hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat
mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan anikterik.
Morfologi darah tepi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran
ke kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masa pembekuan
8
umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal.
Masa protrombin memanjang pada sebag ian pasien namun dapat dikoreksi
dengan vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 per mm3 sampai 150.000
per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan gagal ginjal, dan
pertanda penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu 5000 per
mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia
hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium
lanjut perjalanan penyakit.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria dan peningkatan silinder
( hialin, granuler ataupun selular) pada fase dini kemudian menghilang
dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat
mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal
kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah dapat
dipakai sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi kadarnya makin
jelek prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL. Proses
perjalanan gagal ginjal berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian
akan terjadi anuri total. Ganguan ginjal pada pasien penyakit Weil ditemukan
proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut.
Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat dehidrasi,
hipotensi.
3. Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik.
Ikterik disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati
ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase (serum glutamic
oxalloacetic transaminase = SGOT dan serum glutamic pyruvate
transaminase = SGPT). Peningkatannya t idak pasti, dapat tetap normal
ataupun meningkat 2 – 3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus
yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna SGPT dan SGOT.
Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat.
Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata
9
mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai
peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.
b. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman
leptospira dapat secara langsung dengan mencari kuman leptospira atau
antigennya dan secara tidak melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman
leptospira dengan uji serologis :
1. Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah,
cairan prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya
antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin pada minggu ke dua , untuk diagnosis
definitif leptospirosis.
2. Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi
DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer
khusus untuk memperkuat semua strain patogen.
3. Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah,
cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke media,
kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar
4. Inokulasi hewan percobaan
5. Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide agglutination test
(MSAT)
Uji carik celup:
- LEPTO Dipstick
- LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Aglutinasi lateks Kering
(LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test
Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc – slide agglutination test
(PSAT)
Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
10
Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis (CIE)
Complement fixation Test (CFT)
Penegakkan diagnosis
Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan
laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan uji laboratorium.
Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring
yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif, bila:
1) Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi polimerase berantai
2) Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT
serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih,
atau IgM ELISA positif.
Diagnosis banding
Leptospirosis anikterik: influensa, demam dengue dan demam berdarah dengue,
infeksi virus hanta, demam kuning, riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria,
pielonefritis, meningitis aseptik, keracunan bahan kimia, keracunan makanan,
demam tifoid dan penyakit demam enterik l;ain, Fever of known origin (FUO),
serokonversi HIV primer, penyakit legioner, dan infeksi virus/bakteri lain
Leptospirosis ikterik: malaria falciparum berat, hepatitis virus, demam tifus dengan
komplokasi ganda, haemorrhagic fever with renal failure, demam berdarah virus lain
dengan komplikasi
Terapi
Kuman leptospira sensitif terhadap sebagian besar antibiotika, terkecuali vakomisin,
rafampisin dan mitronidasol.
Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan
mencakup aspek terapi kausatif, simtomatik dan suportif.
11
Terapi leptospirosis ringan :
1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya melebihi 38 C.
2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Pada leptospirosis ringan diberikan
terapi:
Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kali sehari, selama 7 hari, pada anak di atas 8
tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg) atau
Ampisilin 500 – 750 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral, atau
Amoksisilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral.
Terapi leptospirosis berat:
1. Pemberian antipiretik.
2. Pemberian Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, sehingga
asupan nutrisi berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan
keseimbangan nitrogen, dengan perhitungan:
Berat badan 0 – 10 kg: 100 kalori/kgBB/hari
Berat badan 20 – 30 kg: ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari
Berat badan 30 – 40 kg: ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari
Berat badan 40 – 50 kg: ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari
Berat badan 50 – 60 kg: ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari
Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis.
Protein yang cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5
gram/kgBB/ hari.. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan,
diberikan makanan secara parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis,
cukup kandungan nutrisinya)
3. Pemberian antibiotik :
Prokain penisilin 6 – 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari
intramuscular
Ampisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena atau
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena atau
12
Antibiotik pada anak:
- Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB; maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan
4 kali sehari intramuskular atau
- Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang
diberikan 2 kali sehari per oral.
4. Pananganan khusus:
a) Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera ditangani, karena
menyebabkan cardiac arrest; b). Asidosis metabolik; c). Hipertensi: perlu diberikan
anti hipertensi.; d). Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik; e).
Perdarahan diatasi dengan transfusi.
PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi
yang meliputi:
1) Intervensi sumber infeksi
Meningkatkan penangkapan tikus.
Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung
2) Intervensi pada jalur penularan
Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari
tikus.
Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang.
Menghindari pencemaran oleh tikus.
Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar
oleh tikus.
3) Intervensi pada pejamu manusia
Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis
Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.
Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Menjaga kebersihan lingkungan.
13