tingkat pertama. masalah tersebut merupakan bagian...

30
BAB I PEM^AHULUAN A. Latar Belakang. 1. Pendidikan Dasar 9 tahun dan permasalahannya. Undang-undang No. 2 Tahun 1989 menegaskan bahwa "pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat." Direncanakan pada permulaan Pelita VI nanti, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun akan mulai dilaksanakan, pada akhir Pelita V ini diharapkan SLTP telah mampu menam- pung 85 % lulusan SD atau yang sederajat. Sebagai sesuatu yang relatif baru, berbagai masalah akan siap menghadang pelaksanaannya. Agar pelaksanaannya nanti tidak menemui banyak masalah, berbagai kemungkinan masalah tersebut harus sudah diantisipasi sedini mungkin. Sal ah satu tantangan berat dalam pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, adalah rendahnya jumlah lulusan sekolah dasar Yang melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yang tidak terlepas dari beberapa persoalan pokok pendidikan di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Moch. Fakry Gaffar (1987:5) bahwa persoalan pokok yang dihadapi pendidikan

Upload: doankhuong

Post on 05-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

BAB I

PEM^AHULUAN

A. Latar Belakang.

1. Pendidikan Dasar 9 tahun dan permasalahannya.

Undang-undang No. 2 Tahun 1989 menegaskan bahwa

"pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9

(sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam)

tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan

yang sederajat."

Direncanakan pada permulaan Pelita VI nanti, wajib

belajar pendidikan dasar 9 tahun akan mulai dilaksanakan,

pada akhir Pelita V ini diharapkan SLTP telah mampu menam-

pung 85 % lulusan SD atau yang sederajat. Sebagai sesuatu

yang relatif baru, berbagai masalah akan siap menghadang

pelaksanaannya. Agar pelaksanaannya nanti tidak menemui

banyak masalah, berbagai kemungkinan masalah tersebut

harus sudah diantisipasi sedini mungkin.

Sal ah satu tantangan berat dalam pelaksanaan wajib

belajar 9 tahun, adalah rendahnya jumlah lulusan sekolah

dasar Yang melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan

tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yang

tidak terlepas dari beberapa persoalan pokok pendidikan di

Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Moch. Fakry Gaffar

(1987:5) bahwa persoalan pokok yang dihadapi pendidikan

Page 2: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

antara lain berkaitan dengan ;

"(1) jumlah populasi anak usia sekolah yangcukup besar dan jumlah populasi angkatan kerja yangmemerlukan pembinaan lebih lanjut untuk meningkat-kan produktivitasnya; (2) keterbatasan ekonomiuntuk memperluas kesempatan pendidikan dan untukmemngkatkan jenjang pendidikan angkatan kerja yangmemerlukan; (3) relevansi program pendidikan yangsesuai dengan tuntutan pembangunan baik ditinjaudari segi jenjang maupun jenisnya; dan (4) keseim-bangan antara tuntutan kualitas dan kuantitas,terutama jika dikaitkan dengan nilai ekonomikpendidikan".

Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

Coombs (1968) antara lain meliputi masalah efektivitas dan

efisiensi, masalah kuantitas dan kualitas, pemerataan

kesempatan serta permasalahan pokok pendidikan lainnya.

Latar belakang munculnya masalah-masalah tersebut

cukup banyak dan bervariasi, yang secara garis besarnya

dapat dibedakan sebagai hal yang bersumber pada faktor

internal dan faktor eksternal dari sistem pendidikan itu

sendiri. Penyebab yang bersifat eksternal yang lebih

menonjol diantaranya ialah faktor sosial ekonomik (lemah-

nya kemampuan ekonomi masyarakat), faktor sosial budaya

(rendahnya aspirasi serta tradisi yang kurang menunjang),

faktor sosial demografis (padatnya penduduk perkotaan dan

terpencilnya penduduk pedesaan) dan faktor iklim geografis

yang kurang menguntungkan (Vaizey, 1967; Bruner, 1970;

Levy, 1971; Pamantung, 1977; Abin, 1986). Adapun penyebab

yang bersifat internal antara lain mencakup hal-hal yang

bertalian dengan faktor hasil (output), antara lain ketat-

Page 3: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

'•*.

nya syarat kelulusan dan terbatasnya variasi jenjang dan

jalur program yang ditawarkan; faktor masukan dasar (raw-

input, heterogenitas karakteristik serta latar belakang

siswa); faktor masukan instrumental (terbatasnya sumber

belajar mengajar, seperti buku, guru, laboratorium serta

sarana fasilitas penunjang lainnya); faktor lingkungan

(kurangnya rasa keakraban dan keterlibatan dengan masyara

kat kampusnya); faktor proses (kelemahan manajerial sistem

pendidikannya) (Adams,1971; Hayes, 1974; Miller, 1973;

UNESCO, 1973; dan Abin, 1986).

Upaya penanggulangan yang ditujukan ke arah pemecahan

masalah eksternal telah dicoba. antara lain dengan dikem-

bangkannya pemikiran model perencanaan pembangunan bidang

pendidikan secara terpadu dengan sektor-sektor pembangun

an lainnya, terutama sektor ekonomi, seperti yang telah

dirintis oleh UNESCO (1973). Model-model perencanaan

dimaksud yang lebih bersifat operasional telah dikembang-

kan pula oleh Correa (Adams, 1973; Banghart dan Trull,

1973; Makagiansar, 1976; Setijadi, 1977; Abin, 1986).

Sedangkan upaya peningkatan relevansi hasil (pendidikan)

dengan tuntutan dan kebutuhan tenaga untuk pembangunan,

telah dirintis pula model-model sekolah yang program

pendidikannya mempunyai jalur dan jenjang yang bervariasi

(Santoso, 1973; Makagiansar, 1976; Setijadi, 1977; Abin,

1986). Sudah barang tentu diikuti pula oleh pembaharuan

struktur dan materi kurikulumnya, paket buku atau bahan

Page 4: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

4

pelajarannya, metode dan media mengajar belajarnya, serta

sistem evaluasi, bimbingan dan penyuluhannya, administrasi

dan manajemen institutionalnya (BP3K, 1973; UNESCO, 1973;

Setijadi, 1977; Abin, 1986). Dengan sendirinya komponen

personil kependidikannya juga mengalami pengembangan baik

melalui program pendidikan yang bersifat pra-jabatan,

dalam jabatan, maupun lanjutan (Tisna Amidjaja, 1979;

Abin, 1986; Sarwono, 1991).

Dalam beberapa hal Jawa Barat seringkali dijadikan

"barometer" keberhasilan pembangunan, termasuk pembangunan

di bidang pendidikan. Namun dalarn pembangunan pendidikan

dasar Jawa Barat mempunyai keunikan tersendiri, jika

ditelaah keadaan yang sebenarnya, belurn tentu seluruhnya

benar. Sebagai contoh; secara kuantitatif pendidikan

dasar di Jawa Barat ternyata berada di bawah pencapaian

secara nasional.

Sebagai gambaran, pada tahun 1990/1991 dari 5.448.113

anak usia 7-12 tahun, yang bersekolah di SD sebanyak

4.311.070 anak. Angka partisipasi murni (NER) yang dicapai

adalah 89,39 persen. Sedangkan secara nasional angka

partisipasi telah mencapai 99,6 persen. Pada tingkat SLTP,

dari 2.463.370 anak usia 13-15 tahun, yang bersekolah di

SLTP sebanyak 618.016 anak. Angka partisipasi murni (NER)

baru mencapai 25,09 persen. Padahal angka partisipasi

secara nasional telah mencapai 62,3 persen.

Page 5: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

Angka melanjutkan ke SLTP tahun 1990/1991 baru

mencapai 45,2 persen. Dari sekitar 635.936 lulusan SD

tahun 1989/1990 yang dapat diterima di kelas I SLTP' tahun

1990/1991 sebanyak 287.702 anak. Sedangkan angka melan

jutkan secara nasional telah mencapai 72,2 persen, dan

Kabupaten Bogor baru mencapai 46,9 persen, berarti angka

melanjutkan ke SLTP di Jawa Barat lebih rendah dari angka

melanjutkan secara nasional, bahkan dibandingkan dengan

seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Hal tersebut

antara lain dikemukakan oleh Mendikbud bahwa "Jawa Barat

rnenduduki peringkat pa1ing bawah pada daftar persentase

murid SD yang melanjutkan ke tingkat SLTP dari 27 provinsi

di Indonesia, sesuai dengan hasil pendataan perintisan

wajib belajar SLTP", yakni baru mencapai angka 52,7 %

(Pikiran Rakyat, 2 Mei 1992). Lebih lanjut Mendikbud mene-

gaskan bahwa ,-

"Kerendahan angka itu patut diselidiki lebihlanjut, seperti kemana mereka setelah lulus SD itu,penyelidikan itu perlu bagi perencanaan dan pelaksanaan lebih lanjut wajib belajar pendidikan dasar9 tahun, yang terdiri dari SD 6 tahun dan SLTP 3tahun."

Jika Jawa Barat mempunyai jumlah penduduk usia

pendidikan dasar (7-15 tahun) yang terbanyak diantara

provinsi yang ada di Indonesia, maka angka-angka di atas

menunjukkan "ketertinggalan" Jawa Barat dalam mengusahakan

perluasan dan pemerataan kesempatan belajar. Dan untuk

dapat mengejar ketertinggalan itu akan menyita banyak

Page 6: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

a

perhatian dan berbagai sumberdaya yang diperlukannya.

Beberapa pakar pendidikan menduga bahwa kemungkinan

penyebab rendahnya angka melanjutkan antara lain .- (1)

Toenlioe A.J.E. dalam Kompas, 14 Februai 1992 mengernukakan

paling sedikit ada dua ha 1 penyebab rendahnya jumlah

lulusan SD yang melanjutkan ke SMP. Kedua hal tersebut

adalah rendahnya kemampuan ekonomi orang tua, serta ren

dahnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan

SMP bagi anaknya; (2) Pendapat yang senada juga dikemuka-

kan oleh Prof. Abdul Kodir dalam Pikiran Rakyat, 21 Juni

1992, yakni rendahnya minat masyarakat untuk menyekolah-

kan. Banyak masyarakat yang masih senang melihat anaknya

bekerja bersama ketirnbang meneruskan pendidikan formal di

sekolah, disamping memang masih ada beberapa daerah yang

menghadapi masalah kurangnya daya tampung sekolah; (3)

Fuad Hasan dalam Pikiran Rakyat, 2 Mei 1992 mengernukakan

kemungkinan para lulusan SD/MI di Jawa Barat ini melanjut

kan pelajarannya pada pendidikan luar sekolah, seperti

kursus atau bentuk keterampilan kerja lainya. "Sebab

pendidikan luar sekolah di Pulau Jawa ini mernang kuat

sekali".

2. Pendidikan dan Pembangunan.

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masya

rakat Indonesia. Ini berarti bahwa pembangunan itu tidak

hanya mengejar kemajuan lahiriah saja; seperti sandang.

Page 7: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

7

pangan, kesehatan dan sebagainya; tetapi juga untuk

kemajuan batiniah, berupa pendidikan, rasa aman, bebas

mengeluarkan pendapat yang bertanggungjawab; juga perlu

adanya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara

keduanya.

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN.1988)

antara lain ditegaskan pula bahwa pendidikan nasional

bertujuan untuk "rneningkatkan kualitas manusia Indonesia".

Sedangkan pembangunan pendidikan merupakan bagian integral

dari upaya pengembangan sumberdaya manusia. Dalam hal ini

Moch. Fakry Gaffar (1987:2) mengernukakan bahwa .-

"Keberhasilan pembangunan itu sangat ditentukanoleh faktor manusia, dan manusia yang menentukankeberhasilan ini haruslah manusia yang mempunyaikemampuan membangun. Kemampuan membanqun ini hanyadapat dibina melalui pendidikan".

Oleh karena itu, sektor pendidikan dalam pembangunan

nasional kita menjadi salah satu sektor yang mendapat

prioritas yang cukup penting. Pendidikan bukan hanya

merupakan sektor yang harus dibangun, tetapi juga harus

turut mendukung pembangunan sektor lainnya.

Pembangunan pendidikan. Titik berat pembanguan pen

didikan diletakkan pada upaya peninakatan mutu pada setiap

jenjang dan jenis pendidikan. Selain itu ditekankan pula

pentingnya perluasan kesempatan belajar dan perintisan

waJlb belajar hinqqa sekolah lanjutan tingkat pertama atau

pendidikan dasar 9 tahun (Pidato kenegaraan Presiden

Page 8: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

8

Suharto, Tanggal 16 Agustus 1990). Kemudian pada pembukaan

rapat kerja nasional Depdikbud (28 Juli 1992) Presiden

menegaskan kembali bahwa "realisasi pelaksanaan wajib

belajar 9 tahun tidak dapat ditangguhkan lagi" (Pikiran

Rakyat, 29 Juli 1992).

Dalam pelita V ini telah dilontarkan gagasan bahwa

pengembangan manusia (human development) akan menjadi

fokus pembangunan, atau peningkatan kualitas manusia

Indonesia akan menjadi tujuan utama dalam era pembangunan

jangka panjang tahap kedua. Dan wahana yang paling strate-

gis untuk itu adalah pendidikan,

Menjelang berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka

Panjang yang pertama, sektor pendidikan telah menunjukkan

kemajuan yang cukup berarti. Keberhasilan yang cukup

menonjol misalnya, "berhasilnya pemerataan dan perluasan

kesempatan pendidikan sekolah dasar". Sejak pelita I

hingga akhir pelita IV saja jumlah murid SD telah mening-

kat dua kali lipat, sekolah memengah tingkat pertama tiga

kali, sekolah menengah tingkat atas menjadi lima kali dan

mahasiswa menjadi enam kali lipat dari jumlah semula

(H.A.R. Tilaar, 1991 : 1).

Pemerataan pendidikan. Upaya pemerataan dan perluasan

kesempatan belajar yang dilancarkan sejak pelita I hingga

pelita V sekarang ini menampakkan hasil yang paling menon

jol jika dilihat dari jumlah anggota masyarakat yang ter-

tampung dalam kegiatan pendidikan di sekolah.

Page 9: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

Bukti keberhasilan pemerataan pendidikan tersebut

antara lain terlihat dari laju pertu.mbuhan jumlah murid

sekolah dasar sampai pada perguruan tii

pada grafik 1-1 beriku.t. ini.

J

u

m

1

a

h

m

u

r

i

d

m

a

h

a

s

i

s

w

a

d

a

1

a

m

J

u

t

a

a

n

. ng g i, sep e r t i t amp a k

Grafik 1-1

PERKEMBANGAN JUMLAH MURID SD, SLTP, SLTADAN MAHASISWA TAHUN 79/80 - 88/89

Murid SD.

26,57 26,55 26,44 26,66 26,7324,70 25.80 _ -* *- *- * *

__-*-

28 ••

26 •-

24 ••

23,8822,55

.*-'

22 +21,17^

20 ••

7 -•

5 -•

4

3

2 +

3,412,98.*--

1,571,76

1,5

1,41,31,2

1,11,0o,9

o,8o,7

o,6 40,48 0,54o,5 + *- *o,4

Murid SLTP

6,136,45 6,45

5,67 it--''5,19 ^,-~'

4,76 .-*-' Murid SLm4,27,-*'

3,61^,*' 3>50 379^.3*92--*' 3,13,-^ *''

2,65 2,88 --*''2,02 2,28_-*: *'"^ $t— •"

" Mahasiswa

1,43 1,43

^ K1,28,-

1,05-"0,98 „•*'

0,82,-*''0,72 ,>*"'

0,60 „--*'•"'.-*•'''

SLMBER : Balitbang Dikbud, 1989

79'/80 80/81 81/82 82l/83 83/84 84*/85 85/86 86/87 87^88 88/89

Page 10: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

10

Pada tingkat SD, tahun 1979/80 tercatat 21,17 juta

murid dan tahun 1988/89 telah menjadi 26,73 juta murid.

Pada tingkat SLTP untuk kurun waktu yang sama, tercatat

kenaikan dari 2,89 juta murid menjadi 6,45 juta. Sedang-

kan pada tingkat SLTA tercatat kenaikan dari 1,57 juta

murid menjadi 3.92 juta dan pada tingkat perguruan tinggi

dari 0,48 juta menjadi 1,43 juta mahasiswa.

Laju pertumbuhan jumlah peserta didik tersebut

merupakan bukti keberhasilan pemerataan dan perluasan

kesempatan belajar, yang didukung oleh : (1) adanya

peningkatan kemampuan masyarakat dan pemerintah dalam

menyediakan berbagai sumberdaya pendidikan; (2) meningkat-

nya aspirasi masyarakat akan pendidikan,- dan (3) karena

laju pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi.

Pertumbuhan tersebut dicapai dengan kemauan yang

keras untuk menyisihkan sebagian dana pembangunan bagi

perluasan kesempatan belajar, untuk waktu yang akan datang

berbagai tantangan yang akan dihadapi akan semakin berat,

karena disamping kita harus tetap meningkatkan kuantitas,

kita harus memelihara yang ada, mengganti yang rusak, dan

meningkatkan program - dari wajib belajar 6 tahun menjadi

wajib belajar 9 tahun. Untuk itu diperlukan perhitungan-

perhitungan yang mantap, yang bukan hanya aspek kuantita-

tifnya saja, tetapi juga aspek kualitatifnya.

Page 11: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

11

3. Studi tentang penelusuran penyebab rendahnya anqkamelanjutkan SD ke SLTP.

Gejala rendahnya angka transisi (melanjutkan) dari

SD ke SLTP sangat mendesak untuk dikaji, karena kita

sedang melakukan berbagai persiapan menjelang pelaksanaan

wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang meliputi 6

tahun di SD dan 3 tahun di SLTP. Rendahnya angka transisi

tersebut nampak pada tabel 1-1 berikut ini.

Tabel 1-1

Prosentase angka transisi SD ke SLTPTahun 1987/1988 - 1990/1991

Di Jawa Barat

TahunIndikator 87/88 88/89 89/90 90/91

Kelas I SD 841.242 839.312 837.593 850 871Lulusan SD 617.242 646.845 633.142 635 936Kls.l SLTP 270.706 273.193 279.746 287.702

Prosentase 43,86 % 42.23 % 44,18 % 45,24 %

Sumber .- Data/Informasi DikbudPropinsi Jabar, 1991/1992.

Secara absolut baik lulusan SD maupun siswa baru

kelas I SLTP menunjukkan kenaikan yang berarti, namun

prosentase angka melanjutkannya hampir tetap tidak beran-

jak. Data tahun terakhir tersebut menunjukkan bahwa 75,09

persen dari anak yang masuk sekolah dasar dapat menyele-

saikan studinya hingga kelas VI (lulus), dan hanya 45,24

persen saja dari mereka yang lulus dapat melanjutkan ke

SLTP. Pada tahun 1969 hal yang sama menunjukkan bahwa

40,00 persen dari anak yang masuk SD di Indonesia dropout

sebelum mereka lulus, dan hanya sekitar 40,00 persen saja

Page 12: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

dari mereka yang lulus dapat mengecap pendidikan di kelas

I SMP (Britton,-1969). Keadaan itu menunjukkan bahwa upaya

mengurangi dropout pada tingkat SD selama ini dapat

dinilai berhasil, tetapi upaya menaikkan angka melanjutkan

(transisi) belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.

Ada indikasi bahwa (1) rendahnya angka melanjutkan

tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kurangnya daya tampung

SLTP; (2) keberhasilan pembangunan SD inpres juga diikuti

oleh adanya gejala sekolah kekurangan murid. Oleh karena

itu diperlukan adanya studi mengenai penelusuran penyebab

rendahnya angka melanjutkan SD ke SLTP, dengan tinjauan

sosio-antropologis, agar dapat dirumuskan rencana yang

mantap untuk pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun,

sehingga target yang diharapkan dapat dicapai dengan baik.

4. Perencanaan dan manajemen Pendidikan.

Pendidikan di Indonesia dewasa ini mempunyai ciri

yang masih sangat sentralistik, uniformistik dan biro-

kratik, sesuai dengan kecenderungan umum dalam perencana

an pembangunan nasional yang masih sangat sentralistik.

H.A.R. Tilaar (1990:5) mengernukakan bahwa "kecenderungan

ini pada awal masa pembangunan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang (RPJP) pertama memang masih dapat dibe-

narkan, apabila kita melihat pada keterbatasan sumber

dana, kemampuan dan pengalaman". Tetapi untuk RPJP kedua,

perencanaan pembangunan nasional harus berorientasi pada

Page 13: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

13

sistem perencanaan yang lebih terbuka dan fleksibel. Hal

ini berarti perlu adanya pergeseran dari perencanaan yang

birokratik dan sentralistik, ke arah perencanaan yang

lebih demokratis, yang memungkinkan lebih banyak peran

serta dan keterlibatan masyarakat serta aparat di daerah.

Pada Konvensi Nasional Pendidikan kedua di Medan

H.A.R. Tilaar ( 1992:15 ) juga mengungkapkan bahwa untuk

menjamin kekhasan yang ada, perlu memperhatikan tiga

pendekatan berikut: (1) sentralisasi dan desentralisasi;

(2) otonomi daerah; dan (3) pendidikan yang terpadu dengan

pembangunan daerah.

Pemerintah kini sedang berupaya untuk memperbaiki

dan meningkatkan mutu sistem penyelenggaraan pendidikan

nasional, sehingga menjadi suatu sistem yang lebih serasi

dan menunjang kepada program-program pembangunan nasional.

Perbaikan dan peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan

diarahkan pada pencapaian efektifitas, efisiensi, produk-

tivitas, dan relevansi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam hal tersebut Oteng Sutisna ( 1988:4 ) mengernu

kakan bahwa tujuan pembaruan pendidikan itu ialah tercip-

tanya suatu sistem pendidikan yang ,•

1) mampu melayani kebutuhan masyarakat sedangberkembang akan pendidikan dalam arti kuantita-tif, serta menjamin lahirnya para lulusan yangsecara kualitatif memenuhi harapan masyarakatbanyak (efektivitas dan produktivitas);

2) menyelenggarakan pendidikan yang dilihat darisegi program kurikuler serta materi dan jenis

Page 14: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

14

pengalaman belajar yang mengisinya, selarasdengan dunia pekerjaan yang akan dimasuki olehpara lulusan (reievansi);

3) mendayagunakan tenaga, dana, fasilitas danteknologi yang tersedia secara optimal bagitercapainya tujuan-tujuan pendidikan yang telahditetapkan (efisiensi).

Pembangunan pendidikan di Indonesia disamping harus

memenuhi program-program pembangunan akan tenaga kerja

terdidik baik, harus pula mampu menghadapi tantangan dari

kekuatan-kekuatan baru yang sedang muncul. Diantaranya

adalah pertumbuhan penduduk yang tergolong cukup tinggi

serta peningkatan dalam peningkatan aspirasi dan harapan

masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini membawa implikasi

berat bagi perluasan dan pemerataan kesempatan belajar

bagi seluruh penduduk. Pertumbuhan yang besar dalam jumlah

peserta didik, pendidik, dan fasilitas pendidikan lainnya

cenderung menambah kelambanan sistem pendidikan dalam

merespon kebutuhan-kebutuhan baru. Hal tersebut pada

gilirannya akan menuntut adanya usaha yang lebih besar dan

berat.

Penelusuran penyebab rendahnya angka melanjutkan

dari SD ke SLTP akan sangat berarti bagi pemantapan

rencana pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9

tahun. Jika telah dapat diketahui penyebabnya, diharapkan

dapat dirumuskan kebijaksanaan yang paling "memungkinkan",

baik ditinjau dari segi efektifitas, produktivitas, rele-

vansi maupun efisiensi penyelenggaraan program tersebut.

Page 15: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

Dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan pendi

dikan di Kabupaten Bogor atau hingga kecamatan-kecamatan

yang ada di bawahnya perlu lebih dimantapkan perencanaanya

sehingga menjamin tercapainya tujuan yang ditetapkan.

Pemantapan perencanaan tersebut dapat dilakukan melalui

perencanaan mikro yang alatnya antara lain ialah pemetaan

sekolah, yaitu rnenentukan alokasi dan lokasi sekolah

dengan tepat yang didasarkan atas masalah-masalah pendi

dikan, kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, dan geografi

daerah setempat. Karena itu pemetaan sekolah hendaknya

bersifat konseptual, karena di dalamnya telah memperhi-

tungkan berbagai faktor dan menjangkau jauh ke depansecara menyeluruh.

B. Permasalahan.

1. Identifikasi masalah.

Penelitian ini akan memfokuskan perhatian pada

masalah yang berkaitan dengan rendahnya tingkat melanjut

kan dari SD/MI ke SLTP di Kabupaten Bogor. Penelitian ini

akan mencoba mengungkapkan berbagai misteri yang menjadi

penyebab rendahnya angka melanjutkan tersebut, yang kaji-

annya meliputi tiga aspek utama, yaitu sosial, ekonomi,

dan pendidikan. Diduga bahwa penyebab rendahnya angka

melanjutkan tidak jauh berbeda dengan penyebab tingginya

angka dropout, keduanya merupakan indikator tidak melan-

jutkannya seorang anak pada tingkatan pendidikan yang

lebih tinggi dari yang telah ia capai.

Page 16: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

i6

Oleh karena itu penelitian ini juga berpedoman pada

saran yang diajukan oleh Levy (1971). Levy menyarankan

bahwa jika negara-negara yang sedang berkembang ingin

membuat kebijakan yang efektif untuk mengurangi tingkat

dropout dan meningkatkan efisiensi sistem sekolah mereka,

maka mereka harus memahami faktor sosial-ekonomik yang

dapat mempengaruhinya. Sebagaimana dikemukakan bahwa ;

"Thus, if the less developed countries are toadopt effective policies to reduce dropout ratesand thereby improve the efficiency of their schoolsystems, they must understand the socioeconomicfactors wich influence the dropout rate" (Levy •1971 ; 44).

Demikian pula faktor sosial politik dan faktor

pendidikan dapat juga mempengaruhi tingginya angka drop

out, dan memungkinkan pula menjadi penyebab rendahnya

angka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Beberapa isyu permasalahan sehubungan dengan masalah

rendahnya angka melanjutkan dari SD ke SLTP atau pada

jenjang pendidikan yang lebih tinggi, antara lain dapat

diungkapkan hal-hal sebagai berikut :

a. Rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Hal ini dapat

mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk

dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi. Orang tua lebih merasa tertolong

jika anaknya dapat membantu pekerjaannya, atau bekerja

untuk menunjang pendapatan keluarganya (Santoso, 1969;

Edward and Bruner, 1970; Levy, 1971; Beeby, 1979;

Page 17: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

17

Toenlie, 1992);

b. Sebagai akibat kemampuan ekonomik masyarakat yang

rendah, maka biaya pendidikan dinilai terlalu mahal dan

diluar jangkauan kemampuan masyarakat, sebagaian besar

masyarakat memandang bahwa pendidikan be 1urn menjadi

kebutuhan yang mendesak. Mereka menganggap bahwa

bersekolah hanya merupakan pemborosan semata;

c. Tumbuhnya daerah-daerah industri di pinggiran kota

telah banyak menyedot tenaga muda untuk bekerja upahan,

persaratan kerja dan pemberian upah yang tidak ber-

dasarkan tingkat pendidikan (ijazah), serta banyaknya

lulusan sekolah menengah yang "menganggur", telah

banyak mengikis keyakinan masyarakat akan pentingnya

melanjutkan pendidikan,-

d. Nilai ekonomik hasil pendidikan yang masih belum

seimbang dengan biaya pendidikan yang dikeluarkan

(Engkoswara, 1991);

e. Daya tampung SLTP yang ada kurang memadai;

f. Faktor geografis, dimana masih banyak daerah-daerah

yang sangat jauh dari lokasi sekolah, dengan sarana

transportasi yang belum memadai atau belum ada (Beeby,' 1979);

g. Angka melanjutkan ke SLTP di Kabupaten Bogor baru

mencapai 46,90 %, sedikit di atas angka melanjutkan

yang dicapai Jawa Barat yaitu 45,20 %, sedangkan secara

Page 18: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

IS

nasional telah mencapai 65,87 %. Hal ini tentu akan

memberatkan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun

yang meliputi enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga

tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, yang akan

dimulai pada awal pelita VI;

h. Terdapat kecenderungan melemahnya semangat siswa dan

orang tua murid untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih

tinggi (di atas SD), yang mungkin disebabkan oleh

kurangnya daya tampung, jauhnya lokasi sekolah,

mahalnya biaya melanjutkan. serta pengaruh negatif dari

pertumbuhan industri.

2. Rumusan Masalah.

Memperhatikan isyu permasalahan seperti telah dike-

mukakan di atas, rumusan masalah yang akan menjadi fokus

pembahasan dalam penelitian ini adalah : Faktor apa saja

i^ang menyebabkan rendahnva angka melanjutkan dari SD/MI ke

SLTP dan baqaimana impl ika_sinya bagi pemantapan rencana

pelaksanaan program wajib belajar SLTP dj_ Kabupaten Bogor?

Secara lebih rinci masalah-masalah khusus dirumuskan

dalam pertanyaan penelitian berikut ini .-

a. Penelusuran awal lulusan SD/MI tahun ajaran 1991/1992.

(1) Berapa banyak lulusan SD/MI tahun ajaran 1991/1992

dan bagaimana gambaran penyebarannya ?

(2) Berapa banyak lulusan SD/MI tahun ajaran 1991/1992

yang melanjutkan ke SLTP, jenis sekolah apa yang

Page 19: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

19

mereka masuki dan dimana lokasi sekolah yang mereka

pilih itu ?

(3) Berapa banyak lulusan SD/MI tahun ajaran 1991/1992

yang tidak melanjutkan studinya ke SLTP, apa yang

menjadi alasan umum mereka tidak dapat melanjutkan

tersebut, di wilayah mana mereka umumnya berada dan

selanjutnya akan kemana mereka itu ?

(4) Adakah perbedaan yang berarti mengenai kecende

rungan antar wilayah kecamatan atau antar zone

pengembangan wilayah berkaitan dengan faktor-faktor

yang terungkap melalui pertanyaan (1, 2, dan 3) di

atas ?

b. Indikator pendidikan yang menjadi kendala angka melanjutkan ke SLTP.

(1) Berapa besar perbandingan jumlah lulusan SD/MI

tahun 1991/1992 dengan daya tampung kelas I SLTP

tahun ajaran 1992/1993 ?

(2) Berapa besar jumlah SLTP yang dibutuhkan jika di-

bandingkan dengan jumlah SD/MI yang ada pada suatu

wilayah tertentu ?

(3) Bagaimana luas daerah jangkauan suatu SLTP dilihat

dari segi besarnya sekolah, luas wilayah, kondisi

geografis, jarak jangkauan dan sarana transportasi

umum ?

(4) Bagaimana gambaran umum biaya pendidikan lanjutan

di SLTP, terutama berkaitan dengan uang pendaf-

Page 20: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

20

taran, uang pangkal (yang harus dikeluarkan pada

awal tahun), uang BP3, dan besarnya SPP, baik pada

sekolah negeri maupun swasta ?

c. Penelusuran lanjutan mengenai penyebab lulusan SD/MItahun ajaran 1991/1992 tidak melanjutkan ke RjVTP^

(1) Bagaimana ungkapan lulusan SD/MI yang tidak melan

jutkan pendidikannya ke SLTP, adakah penyesalan

yang berarti, atau mereka menerima sebagai suatu

hal yang biasa, menurut mereka apa yang menyebabkan

mereka tidak dapat melanjutkan, bagaimana pandangan

mereka tentang sekolah lanjutan itu, dan bagaimana

harapan mereka sebenarnya ?

(2) Adakah perbedaan yang berarti mengenai hal-hal yang

terungkap melalui pertanyaan (1) ditinjau dari

perbedaan zone pengembangan wilayah dan ciri-ciri

wilayah tersebut ?

(3) Bagaimana ungkapan para orang tua murid yang anak

nya tidak melanjutkan studi ke SLTP. Apa alasan-

alasan yang mereka ungkapkan, bagaimana pandangan

mereka tentang sekolah lanjutan, apakah mereka

telah memahami kebijakan pemerintah mengenai wajib

belajar pendidikan dasar 9 tahun, dan bagaimana

persepsi mereka mengenai pendidikan lanjutan serta

pendidikan pada umumnya ?

(4) Berdasarkan hasil yang dapat diungkap melalui

pertanyaan (3), adakah perbedaan yang berarti

Page 21: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

mengenai makna ungkapan para orang tua yang anaknya

tidak melanjutkan studi ke SLTP ditinjau dari segi

perbedaan karakteristik wilayah, dan berdasarkan

perbedaan status solial mereka ?

(5) Bagaimana pendapat guru dan atau kepala sekolah

das.ar yang kebanyakan lulusan sekolahnya tidak

melanjutkan ke SLTP. Apakah karena faktor persaing-

an prestasi belajar yang tinggi atau karena alasan

lain ?

(6) Berdasarkan hasil yang terungkap melalui jawaban

pertanyaan (5), adakah perbedaan yang berarti bila

ditinjau dari karakteristik sekolah dan karakter

istik wilayah dimana sekolah tersebut berada ?

(7) Bagaimana pendapat kepala kandepdikbud kecamatan

dan atau penilik SD sebagai tokoh pendidikan dan

tokoh masyarakat di suatu wilayah mengenai kendala-

kendala yang menyebabkan rendahnya angka melan

jutkan ke SLTP ?

(8) Bagaimana pendapat masyarakat industri (pemakai

lulusan SD) mengenai peluang lulusan SD untuk

bekerja di pabrik atau perusahaannya, mengenai

kesejahteraan, kualitas unjuk kerja, kemampuan

merespon perintah, kedisiplinan mereka, serta

peluangnya untuk menempati jenjang pekerjaan yang

sama dengan lulusan sekolah yang lebih tinggi ?

(9) Bagaimana pendapat para pejebat pengambil (keputus-

Page 22: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

an/kebijakan) pada tingkat kabupaten dalam kaitannya

dengan masalah wajib belajar pendidikan dasar serta

implikasinya bagi pemantapan rencana pelaksanaan

wajib belajar pendidikan dasar di Kabupaten Bogor ?

d- Im&iikas_i dari qejala la)^ indikator (b) . dan penyebabi£± terhadap pemantapan rencana pelaksanaan wajib belajar SLTP di Kabupaten Bogor.

(1) Apakah diperlukan pembangunan unit gedung baru pada

suatu wilayah tertentu, jenis satuan pendidikan apa

yang perlu didirikan sesuai dengan rninat siswa dan

harapan orang tua ?

(2) Apakah diperlukan tarnbahan ruang kelas baru, sesuai

dengan data yang ada dan minat siswa dan harapan

orang tua terhadap sekolah tertentu di wilayahnya ?

(3) Pada suatu wilayah tertentu, apakah cocok digunakan

pola SMP terbuka ?

(4) Pada suatu wilayah tertentu, apakah cocok dibuka

atau disediakan pola Kejar Paket B ?

(5) Pada suatu wilayah tertentu, apakah cocok menggu-

nakan pola pengembangan madrasah tsanawiyah ?

(6) Pada suatu wilayah tertentu, apakah dapat digunakan

pola pengembangan pondok pesantren ? r

(7) Adakah pendekatan-pendekatan baru yang dapat mem-

bantu, dalam upaya penuntasan wajib belajar pendi

dikan dasar, sesuai dengan karakteristik wilayah

Kabupaten Bogor ?

Page 23: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan penelitian.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi

salah satu sarat bagi penyelesaian studi pada program

Magister Pendidikan. Penelitian diarahkan untuk dapat

menjawab pertanyaan utama mengenai faktor apa saja yang

menyebabkan rendahnya angka melanjutkan dari SD ke SLTP

dan bagaimana implikasinya bagi pemantapan rencana

pelaksanaan program wajar SLTP di Kabupaten Bogor.

Penelitian ini ditujukan untuk mencoba mengapli-

kasikan teori administrasi pendidikan, khususnya untuk

mengembangkan salah satu tahap dalam proses perencanaan

pendidikan, yaitu tahap "pre-planning", dengan jalan

mengungkapkan berbagai kemungkinan penyebab rendahnya

angka melanjutkan lulusan SD ke SLTP. Hal tersebut

dapat dimanfaatkan untuk pemantapan rencana pelaksanaan

wajib belajar SLTP di Kabupaten Bogor.

Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk .-

(1) mengadakan penelusuran awal tentang lulusan SD/MI

tahun ajaran 1991/1992, yakni untuk menjawab

pertanyaan berapa banyak mereka itu, berapa banyak

mereka yang melanjutkan, kemana mereka melanjutkan,

dimana dan berapa banyak mereka yang tidak

melanjutkan, kemana mereka yang tidak melanjutkan

itu, serta apakah terdapat perbedaan yang berarti

mengenai kecenderungan antar wilayah atau antar

Page 24: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

14

zone pengembangan wilayah berkaitan dengan faktor-

faktor tersebut;

(2) menganalisis beberapa indikator pendidikan yang

dapat menjelaskan kedudukan angka melanjutkan ke

Si/TP, antara lain berkaitan dengan perbandingan

banyaknya jumlah lulusan SD/MI tahun 1991/1992

dengan daya tampung kelas I SLTP tahun 1992/1993,

perbandingan jumlah SD/MI dengan SLTP yang ada dan

yang ideal bagi suatu wilayah, luas wilayah

jangkauan suatu SLTP, serta gambaran umum mengenai

biaya pendidikan lanjutan di SLTP.-

(3) mengungkapkan berbagai penyebab rendahnya angka

melanjutkan, khususnya penyebab lulusan SD/MI tahun

1991/1992 tidak melanjutkan ke SLTP. Hal tersebut

akan diungkapkan berdasarkan persepsi lulusan yang

tidak melanjutkan, orang tuanya, pendidik pada

sekolah-sekolah yang angka melanjutkannya rendah,

serta dari tokoh masyarakat yang menaruh perhatian

besar pada masalah ini;

(4) menganalisis gejala rendahnya angka melanjutkan,

indikator pendidikan yang berkaitan dengan angka

melanjutkan, dan berbagai penyebab mengapa mereka

tidak dapat melanjutkan. Hasil analisis tersebut

kemudian dimanfaatkan untuk pemantapan rencana

pelaksanaan program wajar SLTP di Kabupaten Bogor.

Page 25: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

2. Manfaat penelitian.

Secara teoritik penelitian diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi upaya pengembangan wawasan ilmu

administrasi pendidikan, khususnya dalam memanfaatkan

dan mengembangkan metodologi perencanaan pendidikan

yang sesuai dengan kebutuhan daerah.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi akselerasi pembangunan pendidikan yang

sesuai dengan kebutuhan daerah. khususnya bagi

pemantapan rencana pelaksanaan program wajib belajar

SLTP di Kabupaten Bogor, serta mempunyai nilai terapan

bagi perencanaan pengembangan pendidikan di daerah

lain.

Manfaat praktis ini antara lain berkaitan dengan

penyediaan kesempatan belajar yang seluas-1uasnya bagi

lulusan SD/MI atau yang sederajat untuk dapat mening

katkan pendidikannya ke SLTP. Hasil penelitian ini

dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan .-

(1) pembangunan unit gedung baru,- (2) tambahan ruang

kelas baru,- (3) penyelenggaraan pendidikan dengan pola

SMP Terbuka,- (4) penyelenggaraan pendidikan dengan pola

Kejar Paket B; (5) pola pengembangan Madrasah Tsanawi-

yah; (6) pola pengembangan pondok pesantren; atau (7)

pengembangan pola kursus-kursus lainnya.

Page 26: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

26

D. Kerangka Pemikiran.

Permasalahan di atas akan dikembangkan dan

dianalisis berdasarkan pola pikir seperti tampak padagambar l-l.

(a)

Gambar 1-1

Kerangka Pemikiran

Pengumpulan dan Pengolahan Data

: i r—i (b)

Gambaran angka melanjutkan ke SLTP di KabupatenBogor Tahun 1992/1993

Indikator pendidikan yangdapat menjadi kendala melanjutkan ke SLTP di Kabupaten Bogor

(c)

D i a g n o s i s

Penyebab rendahnya angka melanjutkan ke SLTP di Kabupaten Bogor me-nurut persepsi anak,orang tua.pen-didik & tokoh masyarakat/pendidik,

(d)

Implikasi gejala (a),indikator (b)dan hasil diagnosis '(c) terhadappemantapan rencana pelaksanaan wajib belajar SLTP di Kabupaten

Bogor

Dalam tahap awal penelitian ini akan dilakukan

(a) penelusuran terhadap lulusan SD/MI tahun 1991/1992,

yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang angka

melanjutkan ke SLTP di Kabupaten Bogor untuk tahun

1992/1993; (b) menghimpun dan mengolah data yang ber-

Page 27: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

£f

kaitan dengan indikator pendidikan, yang dapat menjadi

kendala melanjutkan pendidikan bagi lulusan SD/MI ke

SLTP di Kabupaten Bogor. Dengan memperhatikan kedua

faktor di atas akan dilakukan (c) penelusuran (diagnosis) penyebab lulusan SD/MI tahun 1991/1992 tidak

melanjutkan ke SLTP, baik menurut persepsi lulusan,

orang tua, pendidik, maupun tokoh masyarakat. Pada

bagian akhir penelitian ini akan dilakukan (d) anali-

sis berbagai implikasi dari gejala (a), indikator (b),

dan penyebab (c) terhadap pemantapan rencana pelaksa

naan wajib belajar SLTP di Kabupaten Bogor.

Pengungkapan latar belakang penyebab rendahnya

angka melanjutkan lulusan SD/MI ke SLTP akan sangat

bermanfaat untuk menjelaskan apakah betul angka melan

jutkan tersebut memang rendah. Jika betul, dimana saja

hal itu menunjukkan angka yang paling menonjol, dan apa

latar belakang utamanya. Dengan demikian kita dapat

mengambil langkah untuk memantapkan rencana pelaksanaan

wajib belajar SLTP.

E. Sistematika Penulisan Laporan.

Laporan penelitian ini berisi lima bagian dan

disusun dalam suatu sistimatika sebagai berikut:

Pendahuluan, berisi pembahasan mengenai (A) Latar

belakang masalah yang meliputi .- (1) Pendidikan dasar 9

tahun dan permasalahannya,- (2) Pendidikan dan Pemba

ngunan,- (3) Studi tentang- penelusuran rendahnya angka

Page 28: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

2ti

melanjutkan dari SD/MI ke SLTP; (4) .Perencanaan dan

Manajemen Pendidikan. (B) Permasalahan, yang meliputi .-

(1) Identifikasi masalah.- dan (2) Rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian. kerangka pemikiran dalam

penelitian ini, serta sistimatika penulisan laporan

penelitian yang dimuat dalam Bab I.

Tinjauan Pustaka, mengetengahkan pembahasan tentang

(A) Konsep dasar perencanaan pendidikan,- (B) Kajian

tentang pendidikan dasar; (C) Aspek-aspek sosial-

ekonomi dalam pendidikan; (D) Faktor-faktor yang

mempengaruhi kelanjutan pendidikan pendidikan anak;

(E) Pendekatan perencanaan mikro sebagai suatu alter-

natif gerakan wajib belajar SLTP; (F) Beberapa temuan

empirik mengenai dropout dan discontinuing dalam

pendidikan; (G) Intisari studi kepustakaan dan kait-

annya dengan masalah penelitian ini, diuraikan dalam

Bab II.

Prosedur penelitian, (1) berisi mengenai data yang

diperlukan; (2) populasi dan sampel; (3) metode peneli

tian yang digunakan,- (4) validitas penelitian; (5)

sumber dan teknik pengumpulan data,- tahap pelaksanaan

penelitian; dan (6) pedoman pengolahan atau analisis

data, dimuat dalam Bab III.

Hasil Penelitian, berisi deskripsi dan pembahasan hasil

penelitian yang meliputi (1) gambaran angka melanjutkan

Page 29: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

29

ke SLTP di Kabupaten Bogor tahun 92/93; .(2) gambaran

indikator pendidikan yang dapat mempengaruhi angka

melanjutkan ke SLTP di Kabupaten Bogor; (3) hasil

diagnosis penyebab rendahnya angka melanjutkan menurut

persepsi anak, orang tuan dan pendidik serta tokoh

masyarakat. Data-data tersebut pada akhirnya dijadikan

dasar bagi pemantapan rencana pelaksanaan program wajib

belajar SLTP di Kabupaten Bogor, yang disajikan dan

dibahas dalam Bab IV dan V.

Kesimpulan dan rekomendasi. yang disajikan berdasarkan

pokok permasalahan. kemudian direkomendasikan sesuai

dengan permasalahan yang timbul dan ditemukan selama

penelitian berlangsung, disajikan pada Bab VI.

Kerangka penulisan laporan penelitian ini jika

dirangkai dalam sebuah bagan maka tampak gambar 1-2

berikut ini.

Page 30: tingkat pertama. Masalah tersebut merupakan bagian yangrepository.upi.edu/1195/4/T_ADPEN_9032197_Chapter1.pdf · pendidikan". Masalah pendidikan yang senada, juga dikemukakan oleh

(1)

Gambar 1-2

SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN

PERMASALAHAN

TEORITIK(2)

>u

TINJAUAN PUSTAKA3EMPIRIK

(3)

PENELITIAN

(Pengumpulan & analisis data)

(4)

HASIL PENELITIAN

(5)

JL

TEMUAN, PEMBAHASAN DANIMPLIKASI HASIL PENELITIAN

(6)

KESIMPULAN DAN REKUMENDASI