tim kajian integrasi model makro - kemenkeu.go.id · melakukan formulasi berbagai kebijakan fiskal...

103
LAPORAN TIM KAJIAN INTEGRASI MODEL MAKRO KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO 2012

Upload: lyquynh

Post on 08-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LAPORAN

TIM KAJIAN INTEGRASI

MODEL MAKRO

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL

PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO 2012

1

Kajian Integrasi Model Makro

Tim Kajian Integrasi Model Makro

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro

2

Daftar Isi

Bab 1 Kebijakan Fiskal dan Model Ekonomi 3

Bab 2 Identifikasi Model Ekonomi di BKF 11

Bab 3 Model Proyeksi Asumsi Makro APBN 15

Bab 4 Model APBN 37

Bab 5 MODFI: Macro Model of MoF Indonesia 58

Bab 6 Model Computable General Equilibrium (CGE) 67

Bab 7 Langkah Integrasi dan Kegiatan 2012 91

Bab 8 Tindak Lanjut 99

Referensi 101

3

Bab 1

Kebijakan Fiskal dan Model Ekonomi

Badan Kebijakan Fiskal atau disingkat BKF merupakan salah satu unit eselon satu di

bawah Kementerian Keuangan. BKF dibentuk pada tahun 2006 sebagai hasil transformasi

dari kelembagaan di Kementerian Keuangan. BKF merupakan peningkatan tugas dari

organisasi sebelumnya yang lebih fokus pada aspek pengkajian yaitu Badan Pengkajian

Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (Bapekki) menjadi organisasi yang

bertugas untuk memformulasikan kebijakan pemerintah di bidang fiskal.

BKF mengemban misi di bidang kebijakan fiskal, yaitu:

1. menyajikan informasi dan pemantauan ekonomi dan sektor keuangan yang terkini;

2. mewujudkan rumusan kebijakan pendapatan Negara, APBN, serta ekonomi makro

yang dipercaya dengan didukung hasil kajian (research based policy);

3. mewujudkan pengelolaan risiko fiskal yang pasti dan terukur;

4. mewujudkan pelaksanaan kerjasama ekonomi dan keuangan internasional yang

memberikan manfaat bagi kebijakan fiskal dan perekonomian;

5. mewujudkan SDM yang profesional melalui peningkatan kompetensi dan disiplin

pegawai; dan

6. memutakhirkan instrumen kebijakan yang terkini dan aplikatif.

Dengan rumusan misi tersebut di atas BKF memiliki tugas pokok sebagai berikut:

1. Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal;

2. Pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal;

3. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal;

dan

4. Pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal.

BKF merumuskan misi organisasinya “menjadi unit terpercaya dalam perumusan

kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsif”. Harapannya BKF mampu menjadi

lembaga yang terpercaya karena dukungan kompentensi sumber daya manusia yang unggul

dan telah menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengorganisasiannya dalam

melakukan formulasi berbagai kebijakan fiskal baik yang memiliki dimensi jangka pendek

4

maupun jangka panjang yang direpresentasikan dalam susunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN).

Konsep umum Kebijakan Fiskal yang menjadi ruang lingkup tugas BKF dapat

dirangkum dalam gambaran skematik berikut:

Gambar 1.1: Konsep Umum Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal memiliki dimensi yang luas. Kalau didetailkan maka kebijakan

fiskal setidaknya memiliki tiga aspek utama, yaitu: (1) kebijakan yang terkait pendapatan

negara; (2) kebijakan yang terkait belanja negara; dan (3) kebijakan yang terkait

pembiayaan negara (below the line APBN). Masing-masing aspek tersebut pun memiliki

banyak sekali jenis kebijakan, misalnya untuk aspek pendapatan negara ada kebijakan

perpajakan, cukai, dan pendapatan negara bukan pajak; untuk aspek belanja negara ada

kebijakan alokasi belanja modal, subsidi dan lain-lain; dan untuk aspek pembiayaan ada

kebijakan utang luar negeri, kebijakan dividen BUMN, penyertaan modal negara (PMN)

dan lain-lain. Penyebutan beberapa kebijakan ini hanya sekedar untuk memberikan contoh

saja bahwa kebijakan fiskal itu beraneka ragam dan memiliki dimensi yang luas.

Menurut Musgrave dan Musgrave (1973) kebijakan fiskal memiliki tiga fungsi

utama, yaitu: (1) fungsi alokasi, dalam upaya penyediaan barang publik (public good); (2)

5

fungsi distribusi, dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin dan mengurangi

ketimpangan dalam masyarakat misalnya melalui instrumen subsidi, pajak progresif atau

skema pajak-transfer (tax transfer scheme); dan (3) fungsi stabilisasi, dalam upaya menjaga

kesinambungan pertumbuhan ekonomi, stabilisasi harga (inflasi), dan ketenagakerjaan

serta menjaga neraca perdagangan dan neraca pembayaran tetap sehat.

Dengan melihat nature kebijakan fiskal sebagaimana diuraikan di atas maka

kebijakan fiskal akan memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian nas. Hal ini

tercermin dari besaran APBN yang saat ini mencapai Rp1.500 triliun atau setara dengan

20% PDB Nasional.

1.1. Pembentukan Unit Pengelola Kebijakan Fiskal

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan

pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan

tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil

Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

Lebih lanjut dalam pasal 8 undang-undang tersebut juga ditegaskan beberapa tugas

Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal diantaranya adalah menyusun kebijakan fiskal

dan kerangka ekonomi makro, menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan

APBN. Tugas tersebut diemban oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai salah satu

unit eselon I di Kementerian Keuangan.

Dalam roadmap Departemen Keuangan1 Tahun 2005-2009 dijelaskan bahwa

perubahan organisasi Departemen Keuangan difokuskan pada kejelasan pembagian

kewenangan dalam pengelolaan keuangan Negara. Kewenangan dalam pengelolaan

keuangan negara pada Departemen Keuangan terbagi ke dalam 3 (tiga) area besar yaitu:

a. Kebijakan fiskal (fiscal policy), mencakup perumusan kerangka ekonomi makro dan

pokok-pokok kebijakan fiskal;

b. Perencanaan anggaran (budget planning), mencakup perencanaan, alokasi, dan

penyusunan APBN; dan

c. Pelaksanaan anggaran (budget execution), mencakup pelaksanaan dan

pertanggungjawaban APBN.

1 Pada tahun 2005 masih menggunakan nomenklatur Departemen Keuangan, belum Kementerian Keuangan

6

Gambar 1.2: Pembagian Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara

Sumber: Roadmap Depertaman Keuangan, 2005-2009

Sebelumnya adanya roadmap, fungsi kebijakan fiskal tersebar di beberapa unit

pelaksana, seperti fungsi kebijakan PNBP di DJAPK, fungsi kebijakan perpajakan di

Ditjen Pajak, fungsi kebijakan kepabeanan dan cukai di Ditjen BC, dan fungsi kebijakan

ekonomi dan keuangan daerah termasuk pajak dan restribusi daerah di Badan Pengkajian

Ekonomi Keuangan dan Kejasama Internasional (Bapekki). Sebagai organisasi terpadu,

Departemen Keuangan membentuk unit eselon I yaitu Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

untuk menyatukan fungsi kebijakan fiskal secara menyeluruh, termasuk kebijakan

ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, serta kebijakan PNBP, perpajakan, dan

kepabeanan dan cukai. Landasan hukum perubahan nama Bapekki menjadi Badan

Kebijakan Fiskal (BKF) adalah Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006. Keppres

tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang organisasi dan tata

kerja Departemen Keuangan dengan PMK Nomor: 100/PMK/2008.

7

Gambar 1.3: Proses Terbentuknya BKF

Sebelum Roadmap Sesudah Roadmap

Sumber: Roadmap Depertaman Keuangan, 2005-2009

1.2. Tugas dan Fungsi BKF

Seiring dengan kebutuhan organisasi, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK

Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Keuangan, peran

BKF diperluas dengan bertambahnya unit yang menangani kebijakan perubahan iklim.

Tugas utama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) adalah melaksanakan analisis di bidang

kebijakan fiskal. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BKF mempunyai fungsi:

a. penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal

b. pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal

c. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal

Dalam melaksanakan tugas analisis di bidang kebijakan fiskal, proses penyusunan

kebijakan dilaksanakan melalui mekanisme sebagai berikut:

(1) Setiap usulan rumusan kebijakan fiskal dari Direktorat Jenderal/Badan di lingkungan

Departemen Keuangan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Badan Kebijakan

Fiskal.

8

(2) Badan Kebijakan Fiskal atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis dan

merumuskan rekomendasi atas usulan rumusan kebijakan, dan tembusannya

disampaikan kepada Direktorat Jenderal/Badan terkait untuk mendapatkan

tanggapan, sebelum ditetapkan sebagai materi dalam Keputusan/Peraturan Menteri

Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan di bidang fiskal.

(3) Setiap usulan rumusan rekomendasi kebijakan fiskal dari Badan Kebijakan Fiskal

disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal/Badan terkait.

(4) Direktorat Jenderal/Badan terkait atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis

dan menyampaikan kepada Menteri Keuangan tanggapan atas usulan rumusan

rekomendasi kebijakan fiskal sebelum ditetapkan sebagai materi dalam

Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-

undangan di bidang fiskal.

Gambar 1.4: Triangle Proses Perumusan Kebijakan Fiskal

Sebagai unit yang mengemban tugas dalam analisis dibidang kebijakan fiskal, BKF

didukung unit eselon II yang merupakan miniatur Eselon I di Kementrian Keuangan

khususnya yang terkait dengan kebijakan fiskal yang tercermin dalam APBN.

Perumusan

Kelayakan

Perumusan Rekomendasi

Analisis

MENTERI KEUANGAN

BKF UNIT ESELON I - Koordinasi

- Evaluasi

9

Gambar 1.5: Struktur Badan Kebijakan Fiskal

Untuk melaksanakan fungsi BKF sebagai unit analisis kebijakan fiskal, masing-

masing unit eselon II dalam proses perumusan rekomendasi, analisis dan evaluasi

kebijakan fiskal didukung berbagai alat analisis yang sesuai dengan tugas masing-masing

fungsi unit. Dengan analisis yang memadai, proses perumusan, analisis dan evaluasi

kebijakan fiskal masing-masing unit dalam mendukung BKF sebagai unit analisis

kebijakan fiskal akan menjadi lebiuh kredible dan terpercaya. Alat analisis masing-masing

unit di BKF seperti dibahas dalam sub bab berikut.

10

1.3. Alat Analisis di BKF

Untuk mendukung analisis dan perumusan kebijakan fiskal diperlukan bantuan alat analisis

pemodelan ekonomi. Selama lima tahun terakhir, alat analisis dalam bentuk model

ekonomi telah bertumbuh cukup pesat untuk mendukung pelaksanaan tugas. Model-model

ini bertumbuh secara bottom up sesuai dengan bidang tugas masing-masing di level pusat.

Di satu sisi hal ini merupakan fenomena yang menggembirakan, namun di sisi yang lain

memerlukan tambahan perhatian agar supaya model-model yang tumbuh tersebut dapat

dimanfaatkan secara optimal.

Sejak akhir tahun 2011, dibentuklah embrio Tim Integrasi dan Pengembangan Model

BKF dan baru secara resmi bertugas mulai Januari 2012 untuk:

1. Mengidentifikasi model-model ekonomi yang telah dikembangkan unit-unit di BKF;

2. Melakukan integrasi model-model yang ada;

3. Melakukan pengembangan model; dan

4. Mengembangkan pola kerja terpadu.

11

Bab 2

Identifikasi Model Ekonomi di BKF

Model ekonomi bagi seorang analis kebijakan sama pentingnya seperti senjata bagi para

prajurit atau alat navigasi bagi para pengembara. Bisa dibayangkan betapa susahnya

seorang prajurit mengemban tugasnya dalam mengamankan negara dari berbagai ancaman,

akan tetapi nir perlengkapan persenjataan. Bagi seorang pengembara yang tidak dilengkapi

dengan seperangkat alat navigasi maka akan membuat mereka kehilangan arah, tersesat

dan terjebak dalam suatu kondisi ‘in the middle of nowhere’.

Model ekonomi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai simplifikasi atas

berbagai permasalahan yang kompleks, sehingga dapat diketahui strukturnya secara lebih

jelas, berbagai keterkaitan antarvariabelnya dan dapat diukur perubahan-perubahan di

dalamnya. Beberapa definisi lain lihat di BOX 2.1.

BOX 2.1: Beberapa Definisi Tentang Model Ekonomi

“A model is a simple description of a system which used for explaining how

something works or calculating what might happen, etc: a mathematical model for

determining the safe level of pesticides in food, a realistic model of evolution.”

(Hornby, 2000)

“A model is a formal framework for representing the basic features of a complex

system by a few central relationships. Models take the form of graphs, mathematical

equation, and computer programs.” (Samuelson and Nordhaus, 1998)

“A model or theory makes a series of simplification from which it deduces how

people will behave. It is a deliberate simplification of reality.” (Begg et al., 2000)

“An economic model is a simplified description of reality, designed to yield

hypotheses about economic behaviour that can be tested. An important feature of an

economic model is that it is necessarily subjective in design because there are no

objective measures of economic outcomes. Different economists will make different

judgments about what is needed to explain their interpretations of reality.”

(Ouliaris, 2011)

12

Proses simplifikasi ini perlu dilakukan untuk memudahkan proses komunikasi bagi

para stakeholder, utamanya untuk membangun semacam bridge communication antara

analis/peneliti dengan pengambil kebijakan. Dalam proses simplifikasi ini, ada peran

justifikasi yang dilakukan oleh modeller-nya, yang sering kali dipengaruhi oleh tingkat

pemahaman dan karakter seorang modeler. Penentuan asumsi, pemilihan variabel,

penentuan garis hubungan dan sebagainya sangat mungkin terbuka ruang ketidaktepatan.

Namun demikian, sebuah model tetaplah berguna sebagai alat bantu analisis. Tantangannya

ialah bagaimana untuk tetap menjaga atau meningkatkan kualitas model ekonomi sebagai

alat analisis yang andal.

Dalam dekade terakhir, sejalan dengan pertumbuhan peran dan fungsi BKF, model-

model ekonomi tumbuh pesat sebagai alat bantu yang vital dalam analisis dan formulasi

dan kebijakan fiskal. Model-model ekonomi ini tumbuh di setiap unit sesuai dengan bidang

tugas dan pekerjaannya. Misalnya, di Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM), tumbuh

Model Proyeksi Asumsi Makro, di Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF), tumbuh

Model Stresstest BUMN dan Model Dana Cadangan Risiko Fiskal, dan seterusnya. Dari

proses identifikasi yang dilakukan maka hasilnya dapat diikhtisarkan dalam Tabel 2.1.

Dalam proses identifikasi model ekonomi di BKF, selain ditemukan tumbuhnya

berbagai model ekonomi sebagai alat bantu, yang hal ini merupakan fenomena yang

menggembirakan, namun ditemukan juga beberapa fakta yang perlu dicatat untuk

dicarikan solusinya. Beberapa fakta tersebut, antara lain:

1. Terjadi overlapping antarmodel, misalnya pada Model Dana Cadangan Risiko Fiskal

dan Model Sensitivitas APBN. Kedua model ini sama-sama mengandalkan sensitivitas

variable ekonomi, namun karena pendekatan yang berbeda maka memberikan hasil

yang berbeda;

2. Antarmodel yang seharusnya terkait tetapi karena tumbuh di masing-masing Pusat

sesuai dengan kebutuhannya ternyata antarmodel ini belum saling mengait satu sama

lain. Misalnya, model proyeksi asumsi makro dan model lainnya. Seyogyanya model

yang lain tidak perlu melakukan proses forecasting atas variable ekonomi makro tetapi

cukup memanfaatkan hasil dari model proyeksi ini;

3. Terdapat beberapa model yang vakum karena para modelernya sedang menjalani tugas

studi lanjut atau mendapatkan penugasan di tempat yang lain. Contoh model yang

sebetulnya vital dan masih sangat relevan untuk digunakan, akan tetapi vakum ialah

Model MODFI;

13

4. Belum terdapat suatu mekanisme yang efektif untuk sharing data dan informasi

antarmodel. Salah satu konsekuensi dari kondisi ini ialah terjadinya duplikasi dalam

pengadaan data;

5. Konsekuensi atas beberapa model yang sifatnya ‘stand-alone’ ini, BKF belum mampu

memberikan jaminan atas hasil-hasil pemodelannya terhadap suatu isu yang

komprehensif, apakah hasilnya konsisten dan konvergen atau tidak. Hal ini membuka

kebutuhan perlunya integrasi atas model-model ekonomi yang sudah ada; dan

6. Terdapat beberapa area analisis yang belum ada model ekonomi sebagai alat bantunya,

sehingga dibutuhkan pengembangan model baru.

Tabel 2.1: Ikhtisar Model Ekonomi di BKF

Model Deskripsi Output Unit

Model

Proyeksi

Asumsi

Makro

Dikembangkan dari model NAFF (Australia);

terdiri atas beberapa model proyeksi asumsi

makro: PDB growth (expenditure/sectors),

inflation (monthly), oil price (ARIMA)

Angka proyeksi:

- Pertumbuhan ekonomi

- Ekspor-impor (BoP)

- Inflasi

- Harga minyak

PKEM

Model

Perpajakan

Terdiri atas: Monitoring Perpajakan, Target

Penerimaan Perpajakan, Dampak Kebijakan,

Potensi Penerimaan Perpajakan, dan Target

Penerimaan Perpajakan per Sektor

Proyeksi penerimaan pajak: PPh,

PPN, PBB, Pajak lainnya, Bea masuk,

Bea keluar.

PKAPBN

Model

Belanja

Konversi belanja APBN ke dalam IO; analisis

dampak belanja APBN

Dampak belanja APBN ke:

- output

- pendapatan

- tenaga kerja

- kemiskinan

PKAPBN

Model

Subsidi:

BBM dan

Listrik

- Perhitungan Subsidi BBM

- Harga Keekonomian BBM Bersubsidi

- Perhitungan Subsidi Listrik

Proyeksi:

- Subsidi BBM

- Subsidi Listrik

PKAPBN

Model

Risiko

Fiskal

Model sensitivitas asumsi makro terhadap

APBN; menghitung besaran alokasi cadangan

risiko fiskal

- Angka sensitivitas

- Estimasi kebutuhan alokasi

cadangan risiko fiskal

PPRF

Model

Stress test

BUMN

Sensitivitas variabel makro thd indikator risiko

fiskal dari BUMN:

- Kontribusi bersih BUMN terhadap APBN

- Utang bersih BUMN

- Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN

- Analisis skenario: baseline,

optimis, dan pesimis

- Hasil stress test atas: pertumbuhan

ekonomi, nilai tukar, harga

minyak, dan suku bunga

PPRF

Model

APBN

Model sensitivitas dan proyeksi komponen

APBN dalam format I-Account

Proyeksi I-Account APBN (Baseline)

atau pun policy measure

PKAPBN

MODFI Macro-micro simultaneous model; tiga blok

persamaan: pemerintah, sektor riil, dan harga

Dampak perubahan ekonomi - makro

atau sektoral (9 sektor) ke APBN atau

sebaliknya

-

Model

CGE

Model CGE di BKF:

- AGEFIS/AGEFIS-E (berbasis SAM 2005)

- INDOFISCAL (SAM, IO, Susenas 2005)

Dampak berbagai kebijakan terhadap

variable makro, industri,

ketenagakerjaan, dan kemiskinan

-

14

Bagian berikutnya dari laporan ini akan menyajikan deskripsi masing-masing model

tersebut di atas secara lebih detail. Hal ini agar dapat diperoleh gambaran masing-masing

model itu dalam proses membantu tugas dan fungsi BKF dalam analisis dan formulasi

kebijakan fiskal. Setelah itu baru dijelaskan kegiatan Tim Integrasi dan Pengembangan

Model BKF selama periode tahun 2012 ini.

15

Bab 3

Model Proyeksi Asumsi Makro APBN

Dalam melakukan analisis dan perkiraan besaran-besaran asumsi, proses kerja tim

didasarkan pada berbagai informasi, indikator-indikator, serta perangkat model ekonomi

sebagai alat bantu utama untuk memberikan perkiraan arah pergerakan, besaran variabel

ekonomi yang cukup realistis serta dukungan penjelasan sebab akibat yang dapat

dipertanggung jawabkan. Namun dalam penentuan rekomendasi besaran asumsi, tidak

semata-mata menggunakan angka-angka yang dihasilkan oleh model, namun juga

disertakan pertimbangan-pertimbangan khusus yang mungkin tidak tertangkap oleh model

ekonomi dasar yang digunakan.

Pada prinsipnya, perangkat bantu analisis model ekonomi digunakan dalam proyeksi

dan rekomendasi masing-masing besaran asumsi dasar ekonomi makro. Namun dalam

prakteknya, tidak semua model yang telah disusun mampu memberikan perkiraan yang

cukup mendekati realita. Dalam kaitan ini, pendekatan-pendekatan lain yang dianggap

mampu memberikan hasil yang cukup baik juga akan digunakan. Lebih jauh lagi, perlu

terus dikembangkan model-model atau perangkat bantu analisa yang lebih akurat dalam

penentuan dan perkiraan besaran asumsi dasar ekonomi makro.

Di sisi lain, untuk penetapan asumsi-asumsi dasar harga minyak mentah Indonesia

dan lifting minyak mentah dan gas, lebih banyak didasarkan pada hasil diskusi dan

masukan dari unit lain, dalam hal ini Kementerian ESDM dan BP Migas. Hal tersebut

dilakukan mengingat bahwa besaran-besaran asumsi tersebut menjadi wewenang dan

tanggung jawab Kementerian ESDM dan BP Migas (di bulan November tahun 2012, BP

Migas dibubarkan).

3.1. Model Pertumbuhan Ekonomi

Dalam melakukan analisis dampak dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, tim asumsi

menggunakan model ekonomi berbasis struktur pendapatan nasional, yang telah dibangun

sejak tahun 2008 bersama dengan wakil-wakil dari Australian Treasury. Perangkat analisa

tersebut terus dievaluasi dan diperbaharui setiap tahun untuk tetap menjaga dan

meningkatkan akurasi perhitungan yang dihasilkan.

16

Perangkat analisis yang diberi nama NATACCS tersebut dibangun dengan

menggunakan program Microsoft excel serta Perangkat Statistik Ekonometrik E-Views.

NATACCS terdiri dari 4 blok utama yang saling terkait satu sama lain.

1) NATCEIC adalah file tempat penyimpanan data. File ini terhubung dengan database

CEIC untuk memperbaharui/meng-update data PDB kuartalan, sebagai input dalam

Eviews. Isi dari file NATCEIC ada 5 sheet yaitu (i) BPS GDPE, (ii) BPS GDPP, (iii)

Seas, (iv) Eviewsin, dan (v) Eviewsout

2) NATACCS-GDPE adalah file untuk melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari

sisi pengeluaran. Didalam file ini juga terdapat asumsi yang digunakan (misalnya

inflasi, nilai tukar, harga minyak dll). Isi dari file NATACCS GDPE ada 7 sheet yaitu

(i) asumsi, (ii) tabel ringkasan, (iii) PDB ringkasan, (iv) konsumsi, (v) investasi,

(vi) eksternal, dan (vii) tabel dan grafik

3) NATACCS-GDPP adalah file untuk melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari

sisi produksi atau sektoral. Sama seperti halnya NATCCS GDPE, didalam file ini juga

terdapat asumsi yang digunakan (misalnya inflasi, nilai tukar, harga minyak dll). Isi

dari file NATACCS GDPP ada sheet yaitu (i) asumsi, (ii) tabel ringkasan, (iii) PDB

ringkasan, (iv) Pertanian, (v) Pertambangan, (vi) Industri pengolahan, (vii) Listrik,

(viii) Perdagangan, (ix) Pengangkutan dan Komunikasi, (x) Keuangan, dan

(xi) Jasa

4) FORECASTING SPREADSHEET adalah file tempat melakukan proyeksi

pertumbuhan ekonomi dari beberapa alternatif model ekonometrika hasil pengolahan

dengan Eviews. File ini berisi sheet yaitu (i) ringkasan, (ii) data,

(iii) Eviews input, (iv) eviews output, (v) GDP model, (vi) GDPE models, dan (vii)

GDPP models.

A. Variabel dan Data Yang Digunakan

Model ini menggunakan beberapa variabel asumsi. Penetapan variabel asumsi ini

didasarkan pada alasan bahwa variabel ini digunakan sebagai asumsi makro dalam APBN

dan mudah diramalkan atau banyak pihak yang dapat meramalkan. Proyeksi dilakukan

dengan menggunakan beberapa model ekonometrika sebagai bahan perbandingan dan

akan dipilih model yang terbaik.

17

Variabel independen yang dipergunakan, yaitu (i) Major Trading Partner (MTP)

Growth, (ii) harga minyak mentah Indonesia (OILIDR), (iii) Indeks Harga Konsumen

(IHK atau CPI), dan (iv) kredit perbankan (CREIDR). Berikut penjelasan dari masing-

masing variabel yang digunakan :

1. Pertumbuhan ekonomi negara partner dagang utama atau Major Trading Partner

(MTP) Growth. Adalah angka indeks komposit pertumbuhan ekonomi negara-negara

partner dagang utama Indonesia. Dalam indeks MTP ini ada 13 negara partner dagang

utama Indonesia. Pemilihan negara partner dagang utama didasarkan pada besarnya

volume perdagangan negara tersebut dengan Indonesia. Periode yang dipergunakan

adalah kuartalan. Variabel ini bisa diartikan mewakili sektor eksternal (ekspor dan

impor).

2. Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Oil Price (ICP). ICP merupakan

basis harga minyak mentah yang digunakan sebagai asumsi dalam APBN. Sumber data

ICP adalah dari Kementerian ESDM. Variabel ini mewakili sektor industri manufaktur.

3. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) adalah suatu indeks

yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah

tangga (household). Persentase perubahan IHK merupakan tingkat inflasi suatu negara

dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan

kontrak lainnya. Variabel inflasi digunakan untuk mewakili pengeluaran konsumsi

masyarakat dan pemerintah. Semakin tinggi tingkat inflasi maka konsumsi akan

semakin rendah. Rendahnya konsumsi pada gilirannya akan membuat pertumbuhan

ekonomi menjadi lebih rendah.

4. Kredit perbankan. Variabel ini mewakili pengeluaran investasi. Semakin tinggi kredit

yang disalurkan semakin tinggi investasi yang terjadi.

Dalam model ini, untuk meramalkan pertumbuhan ekonomi digunakan metode

seasonally adjusted secara kuartalan atau q-to-q. Data seasonally adjusted adalah data

yang digunakan dalam metode statistik dengan menghilangkan atau menormalkan efek

musiman dari data tersebut. Dengan data seasonally adjusted dapat diketahui apakah

perekenomian Indonesia tumbuh lebih cepat atau lebih lambat setelah faktor-faktor

musiman dikeluarkan. Faktor musiman dimaksudkan misalnya masa panen di sektor

pertanian, penyerapan anggaran pemerintah di akhir tahun, konsumsi menjelang hari besar

keagamaan dan lainnya. Periode data yang digunakan adalah kuartalan mulai kuartal I

tahun 2000 (2000:Q1).

18

Untuk mengatasi data outlier atau data yang diluar polanya, maka digunakan dummy

pada tahun tersebut. Dalam model ini, dummy digunakan pada Q4-2000, Q3-2001, Q4-

2002, Q4-2003, Q4-2004, dan Q4-2010.

B. Spesikasi model pertumbuhan ekonomi (PDB) agregat :

Model pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah sebagai berikut :

dlogGDP = β0 + β1 D2000Q4 + β2 D2001Q3 + β3 D2002Q4 + β4D2003Q4 + β5

D2004Q4 + β6 D2010Q4 +β7 dlogMTP-1 + β8 dlogOILIDR-2 + β9

dlogCPI-2 + β10 dlogCREIDR-4 + β11 dlogGDP-1 + β12 dlogGDP-4

dimana:

MTP = Major Trading Partner atau pertumbuhan ekonomi negara partner

dagang utama Indonesia

OILIDR = harga minyak mentah Indonesia (ICP)

CPI = Consumer Price Index atau indeks harga konsumen (IHK)

CREIDR = kredit perbankan

GDP = pertumbuhan ekonomi

Premis modelnya adalah sebagai berikut:

Pertumbuhan ekonomi negara partner dagang utama Indonesia akan berdampak positif

bagi pertumbuhan ekonomi indoneisia

Kenaikan harga minyak dunia akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan

ekonomi

Inflasi yang tinggi akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi

Penyaluran kredit akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penjelasan model:

Variabel MTP yang digunakan merupakan lag 1 dan berpengaruh positif, atau diartikan

pertumbuhan ekonomi negara partner dagang utama satu kuartal sebelumnya akan

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara positif saat ini atau semakin

tinggi

Variabel OILIDR atau ICP yang digunakan merupakan lag 2 dan berpengaruh negatif

artinya harga minyak mentah Indonesia dua kuartal sebelumnya akan mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini secara negatif atau semakin rendah

19

Variabel CPI atau IHK yang digunakan merupakan lag 2 dan berpengaruh negatif yang

artinya kenaikan IHK atau inflasi yang terjadi dua kuartal sebelumnya akan

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi saat ini secara atau semakin rendah

Variabel CREIDR yang digunakan merupakan lag 4 dan berpengaruh secara positif,

artinya kredit perbankan yang disalurkan empat kuartal sebelumnya akan berpengaruh

terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini secara atau semakin tinggi

C. Hasil Model

Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan program Eviews, maka diperoleh

hasil sebagai berikut:

20

Penjelasan Hasil Model :

1) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada pertumbuhan negara-negara partner dagang

utama satu kuartal sebelumnya maka akan meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia

sebesar 0,23 persen (contoh: dari pertumbuhan PDB 6,00 persen menjadi 6,23 persen)

2) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) dua

kuartal sebelumnya maka pertumbuhan PDB Indonesia akan melambat sebesar 0,01

persen

3) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada indeks harga konsumen (IHK atau CPI) dua

kuartal sebelumnya maka pertumbuhan PDB Indonesia akan melambat sebesar 0,08

persen

4) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada penyaluran kredit perbankan empat kuartal

sebelumnya maka akan mendorong pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,01 persen.

3.2. Model Inflasi

A. Proses Pentapan Besaran Asumsi Inflasi

Sebagaimana telah diamatkan dalam RPJM 2010 - 2014, agenda pertama dalam program

pembangunan jangka menengah tahun 2010 – 2014 adalah Pembangunan Pembangunan

Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Program peningkatan kesejahteraan

dilakukan dengan mendorong sektor riil serta terus menjaga stabilitas ekonomi makro.

Dalam jangka menengah, melalui kebijakan Inflation Targeting Framework dan koordinasi

kebijakan makro antara Pemerintah, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah, laju inflasi

diarahkan untuk menurun secara bertahap dengan besaran sekitar 4 – 6 persen. Perkiraan

tersebut didasarkan dengan sasaran tingkat inflasi yang cukup rendah dan stabil tetapi tetap

memperhatikan pertumbuhan ekonomi.

Sasaran inflasi secara periodik ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan Menteri

Keuangan. Penetapan sasaran inflasi ini mengacu pada pasal 10, UU 6 tahun 2009 tentang

Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa penetapan sasaran inflasi, yang merupakan

tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, dilakukan oleh Pemerintah setelah

berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan

Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan

Menteri Keuangan (PMK).

21

Sasaran inflasi tahun 2010 – 2012 telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 5 % pada

tahun 2010 dan 2011, dan 4,5 % pada tahun 2012, dengan deviasi sebesar ±1%. Pada

tahun 2012, sebagai kesinambungan sasaran inflasi, telah ditetapkan sasaran inflasi tahun

2013, 2014, dan 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing

dengan deviasi ±1%.

Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan

masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat

diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil. Untuk mencapai sasaran inflasi yang telah

ditetapkan tersebut, Pemerintah dan Bank Indonesia melakukan koordinasi kebijakan

pengendalian inflasi, salah satunya melalui Tim Pengendalian Inflasi untuk membentuk

dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar sasaran inflasi yang telah ditetapkan

dapat sebagai acuan (anchor) baik bagi masyarakat, pelaku usaha, maupun pemerintah

sendiri khususnya dalam penyusunan APBN.

Dalam proses penetapan besaran asumsi inflasi dalam penyusunan APBN, nilai

(point) yang telah ditetapkan dalam sasaran inflasi tidak langsung digunakan sebagai angka

dalam asumsi, karena berbagai pertimbangan kondisi terkini baik kondisi global maupun

domestik. Angka sasaran inflasi tersebut disesuaikan dengan Adminitered Policy sesuai

dengan kebijakan yang akan dilaksanakan pemerintah serta pertimbangan ekonomi globak

dan domestik.

Secara grafis penetapan angka asumsi inflasi yang menjadi dasar dalam penyusunan

APBN adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1: Proses Penetapan Angka Asumsi Inflasi

22

B. Model Disagregasi Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi

permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya

cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri

terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur

pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam

dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah

tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks

makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya

atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku

ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin

dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat

menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah

minimum regional (UMR).

Dilihat dari disagregasinya, inflasi dapat dikelompokkan menjadi inflasi inti (core

inflation) yaitu yang dipengaruhi oleh fkator fundamental karena (i) interaksi permintaan –

penawaran, (ii) lingkungkungan eksternal seperti harga komoditas international, inflasi

mitra dagang, dan nilai tukar, serta (iii) ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

Sedangkan inflasi non inti terdiri dari inflasi karena harga yang diatur pemerintah

(Administered Prices) seperti kenaikan harga BBM, tariff listrik, tariff angkutan, cukai

rokok, dll; serta karena harga yang begejolak (Volatile Food) akibat dari adanya shocks

dalam kelompok bahan makanan seperti gagal panen, gangguan alam, gangguan hama

penyakit, dll.

Pada tahun 2010 gejolak harga kelompok bahan pangan menyebabkan inflasi IHK

mencapai 6,96 %. Nilai realisasi inflasi tersebut melampaui sasaran inflasi tahun 2010

yang telah ditetapkan pemerintah (batas atas sebesar 6 %), maupun angka asumsi inflasi

dalam APBN-P tahun 2010 yang ditetapkan sebesar 5,3 %.

Dilihat dari disagregasi inflasi, tidak tercapainya sasaran dan asumi inflasi tahun

2010 diakibatkan oleh tingginya inflasi pada komponen barang yang bergejolak (volatile

food) yang mencapai 17,7 persen. Secara umum, bobot masing-masing komponen

pembentuk inflasi IHK adalah 60 % untuk komponen inflasi inti, 20 % untuk komponen

harga yang diatur pemerintah, dan 20 % untuk barang bergejolak. Dengan inflasi barang

23

bergejolak mencapai 17,7 %, maka komponen ini telah memberikan andil terhadap inflasi

sebesar 3,54 persen.2

Komoditas beras sebagai makanan utama tercatat memberikan andil terbesar sebagai

pembentuk inflasi tahun 2010 dengan total andil inflasi sebesar 1,1 persen. Inflasi beras

terjadi pada bulan Januari sebesar 0,35%, Februari 0,13 %, Juli 0,26 %, Nopember 0,12 %

dan Desember 0,23 %. Sementara itu cabe merah memberikan andil inflasi sebesar 0,32

persen. Kedua komoditas utama ini menjadi sumber utama penyebab tingginya inflasi IHK

pada tahun 2010, khususnya dari komponen barang yang bergejolak (volatile food).

Dari komponen harga yang diatur pemerintah, pada bulan Juli 2010 terjadi kenaikan

tarif listrk sebesar 10 % yang mengakibatkan andil komponen harga yang diatur

pemerintah pada tahun 2010 sebesar 1 %. Komponen inflasi inti memberikan andil sesebar

2,5 %.

Pada tahun 2011, realisasi inflasi IHK sebesar 3,79 persen, nilai ini juga berada lebih

rendah (diluar sasaran yang telah ditetapkan pemerintah) dari batas bawah sebesar 4

persen. Rendahnya komponen harga yang diatur pemerintah (andil sebesar 0,4 persen)

serta stabilnya komponen barang bergejolak (andil sebesar 0,7 persen). Sementara itu,

komponen inti memberikan andil sebesar 2,7 persen.

Gambar 3.2: Andil Komponen Inflasi Tahun 2010 - 2012

2 Andil komponen inflasi = bobot komponen x kenaikan harga pada komponen tersebut. Sehingga inflasi

IHK dilihat dari disagregasi masing-masing komponennya merupakan penjumlahan dari andil ketiga komponen yakni, inti, harga diatur pemerintahg dan barang bergejolak.

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

2010 2011 2012

Inti Bergejolak Harga diatur Pemerintah

24

Inflasi tahun 2012 mempunyai pola yang hampir sama dengan tahun 2011, dimana

komponen harga yang diatur pemerintah dan komponen barang bergejolak relatif stabil

sehingga tidak memberikan tekanan pada inflasi IHK tahun 2012. Komponen inti seperti

yang terjadi pada tahun 2010, dan 2011, tidak mengalami gejolak yang berarti. Inflasi IHK

tahun 2012 berada di tingkat 4,3 persen. Angka inflasi tahun 2012 tersebut masuk dalam

rentang sasaran inflasi yang telah ditetapkan pemerintah, yakni berada pada kisaran

rentang 3,5 % sampai dengan 5,5 persen.

Gambar 3.3: Disagregasi Komponen Inflasi Tahun 2010 - 2012

Tahun IHK Core Adm Vol

2010 6.96 4.28 5.4 17.7

2011 3.79 4.34 2.78 3.37

2012 4.30 4.40 2.26 5.68

6.96

3.79 3.66

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

2010 2011 2012 (ytd okt)

Pro

sen

(%

)

Core

Adm

Vol

IHK

25

BOX 3.1.

Disagregasi inflasi IHK berdasarkan komponen yang terdiri dari komponen inti (core), harga yang

diatur pemerintah (administered prices) serta harga barang bergejolak (volatile food) selama

periode 2010 sampai dengan 2012, diperoleh persamaan :

Log_IHK = 0,0412 + 0,618 Log_Core + 0,155 Log_Adm + 0,206 Log_Vol (R2 Adj = 0,999)

(106,26) (16,53) (80,00)

Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa bobot komponen inti adalah yang paling tinggi,

mencapai 62 persen, diikuti oleh komponen harga bergejolak (21 persen) dan komponen harga

yang diatur pemerintah 16 persen. Pada kondisi normal/tanpa adanya shock, sasaran inflasi yang

telah ditetapkan pemerintah menjadi acuan dalam penentuan angka asumsi inflasi.

Gambar 3.4: Perkembangan Inflasi Bulanan (mtm)

Karena nilai sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah merupakan sasaran 3 tahun ke depan,

dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan terkini, terutama apabila ada kebijakan

pemerintah misalnya terkait dengan pengurangan subisidi BBM mamupun listrik, sehingga

berdampak pada kenaikan harga di pasaran.

Kenaikan harga tersebut menjadi shock dalam penghitungan angka asumsi inflasi di APBN yang

dimasukan sebagai andil tambahan inflasi. Penghitungan adalah sebagai berikut :

Andil tambahan = bobot komoditas inflasi x kenaikan harga komoditas

C. Evaluasi Model

Secara umum penentuan angka asumsi inflasi dalam mengacu pada dokumen sasaran

inflasi 2012 dan 2013 yang telah ditetapkan oleh pemerintah berupa RPJM 2010 - 2014

dan PMK Sasaran inflasi. Realisasi inflasi pada tahun 2010 tercatat sebesar 6,96 persen,

nilai ini melampaui batas tas sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 6 persen sebagai akibat

-0.50%

0.00%

0.50%

1.00%

1.50%

2.00%

Jan-1

0

Mar-1

0

May-1

0

Jul-1

0

Sep-1

0

No

v-10

Jan-1

1

Mar-1

1

May-1

1

Jul-1

1

Sep-1

1

No

v-11

Jan-1

2

Mar-1

2

May-1

2

Jul-1

2

Sep-1

2

Pro

sen

tase

Realisasi Prakiraan

26

dari tingginya fluktuasi komponen barang gejolak, khususnya beras dan cabe merah. Pada

tahun 2011, realisasi inflasi tercatat sebesar 3,79 persen, lebih rendah dari batas bawah

sasaran inflasi yakni sebesar 4 persen. Stabilnya barang bergejolak dan relatif tidak ada

kebijakan pemerintah mengakibatkan angka inflasi lebih rendah dari sasaran.

Pada tahun 2012, nilai asumsi inflasi dalam APBN sebesar 5,3 persen naik menjadi

6,8 persen pada APBN-P 2012. Kenaikan ini karena rencana mengurangan subsidi BBM

yang diprakirakan akan mengakibatkan kenaikan harga BBM dari Rp4.500 per liter

menjadi Rp6.000. Namun dalam realisasinya pengurangan subsidi BBM tersebut belum

mendapatkan persetujuan DPR, disisi lain pembahasan asumsi makro telah disetujui

dengan inflasi mencapai 6,8 persen karena pembahasan asumsi makro dilaksanakan

sebelum pembahasan belanja pemerintah yang didalamnya termasuk subsidi BBM.

Gambar 3.5: Sasaran dan Realisasi Inflasi

3.3. Model Nilai Tukar Rupiah

Peran nilai tukar dalam penyusunan APBN cukup penting mengingat fungsinya dalam

memperhitungkan baik besaran belanja maupun penerimaan. Di sisi penerimaan, berbagai

penerimaan perpajakan terkait dengan kegiatan perdagangan internasional membutuhkan

satu acuan konversi untuk mengukur besar pajak yang diperoleh dari kegiatan transaksi

perdagangan (eskpor dan impor) yang dilakukan dalam mata uang dolar AS. Acuan

konversi tersebut juga dibutuhkan untuk mengukur besaran penerimaan yang bersumber

6,96

3,794,3

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0

1

2

3

4

5

6

7

8

2010 2011 2012 2013 2014

PMK batas bawah

PMK batas atas

APBN

APBN-P

Realisasi

27

pada eksplorasi sumber daya alam (minyak dan gas) yang dihitung berdasarkan harga di

pasar internasional dalam mata uang dolar AS. Dengan prinsip yang sama, berbagai

pengeluaran subsidi energi dan juga pembayaran utang (pokok dan bunga) dalam bentuk

valas membutuhkan acuan konversi untuk perhitungan dalam nilai rupiah.

Mengingat pentingnya keakurasian proyeksi nilai tukar rupiah sebagai salah satu

asumsi ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan APBN, maka

diperlukan model proyeksi untuk menghasilkan perhitungan perkiraan rata-rata nilai tukar

rupiah yang akurat. Namun demikian, masih terdapat permasalahan dalam pembangunan

model yang memadai adalah belum adanya metodologi yang dapat memperkirakan besaran

nilai tukar secara presisi. Hal tersebut mengingat pergerakan nilai tukar sangat dipengaruhi

oleh mekanisme pasar, di mana banyak terdapat faktor di luar kendali Pemerintah. Untuk

itu, Tim kerja telah menggunakan metodologi perhitungan besaran angka asumsi nilai

tukar rupiah yang didasarkan pada perkiraan pergerakan nilai tukar rupiah di pasar uang,

prospek perekonomian domestik dan internasional, serta masukan dari berbagai

stakeholder.

Perkiraan nilai tukar rupiah untuk tahun 2012 mengacu pada besaran realisasi tahun

2011, dengan memperhitungkan prospek kondisi ekonomi domestik dan global ke depan,

besaran kewajiban pemerintah dan swasta yang akan jatuh tempo di tahun 2012 serta

pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya evaluasi dan

outlook nilai tukar rupiah selama tahun berjalan dilakukan dengan menggunakan

perhitungan dan simulasi terhadap data-data realisasi rata-rata tertimbang nilai tukar rupiah

pada periode 30, 60 dan 90 hari serta rata-rata 6 dan 12 bulan sebelumnya.

Besaran besaran yang diperoleh dari perhitungan rata rata bergerak (moving average)

merupakan angka-angka acuan dasar asumsi nilai tukar rupiah merupakan angka

pertimbangan yang cukup fleksibel untuk kemudian disesuaikan dengan expert judgment,

serta berbagai faktor dan prospek ke depan. Meskipun masih terdapat kelemahan atas

judgement yang masih memiliki probabilitas kesalahan, pendekatan ini dinilai cukup

efektif dan masih mampu memberi gambaran yang cukup baik dan mengimbangi

kekurangan dari model perkiraan yang sedang dikembangkan.

28

Gambar 3.6: Model Nilai Tukar Rupiah

Metodologi Perhitungan Asumsi Nilai Tukar

Secara umum penentuan besaran rata-rata nilai tukar rupiah mengacu pada dokumen yang

telah ditetapkan oleh pemerintah berupa RPJM 2010 - 2014 dan memperhatikan beberapa

faktor tersebut di atas. Realisasi rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2010 tercatat

sebesar Rp9.087 per dolar AS. Pada tahun 2011, realisasi rata-rata nilai tukar rupiah

tercatat sebesar Rp8.779 per dolar AS. Pada tahun 2012, besaran asumsi rata-rata nilai

tukar dalam APBN sebesar Rp8.800 per dolar AS naik menjadi Rp9.000 per dolar AS pada

APBN-P 2012. Pelemahan asumsi nilai tukar rupiah tersebut dilandasi perkembangan

kondisi perekonomian global yang belum menunjukkan perbaikan serta memperhatikan

rencana kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.

Tabel 3.1: Asumsi Nilai Tukar Rupiah

Item EOP Ave30D Ave60D Ave90D Ave6M Ave12M Asumsi

APBN 2012* 8823 8765.5 8648.8 8610.2 8600 8767.0 8800

APBN-P 2012** 9180 9165 9095.5 9100.1 9049.9 8825.1 9000

APBN 2013*** 9588 9566.4 9533.1 9507.6 9406.6 9228.2 9300

* Berdasarkan realisasi hingga kuartal III tahun 2011

** Berdasarkan realisasi hingga kuartal I tahun 2012

*** Berdasarkan realisasi hingga kartal III tahun 2012

Sesuai dengan pergerakan dan perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah seperti tertera

pada tabel 3.1 di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Data-data historis Rata-rata Tertimbang

30, 60 dan 90 hari Terakhir

1. Kebijakan APBN 2. Kondisi Inflasi Domestik 3. Asumsi Perkiraan Ekonomi Global dan

domestik 4. Tekanan supply-demand valas domestik

Asumsi Nilai Tukar Rupiah

Faktor Judgment

29

Penentuan Angka Asumsi Nilai Tukar Rupiah pada APBN 2012

Besaran asumsi Nilai Tukar Rupiah dalam APBN 2012 ditentukan sebesar Rp 8.800 per

dolar AS pada akhir kuartal ketiga tahun 2011. Penentuan besaran asumsi tersebut

didasarkan pada pada perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah dalam rentang 30, 60 dan

90 hari serta 6 dan 12 bulan sebelumnya, yang bergerak pada kisaran Rp8.600 s.d. Rp8.850

per dolar AS. Beberapa pertimbangan yang disertakan dalam penetuan antara lain adalah:

faktor negatif berupa trend nilai tukar rupiah yang menunjukkan kecenderungan melemah

(depresiasi) selama beberapa bulan terakhir; serta faktor positif berupa ekspektasi

pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2012.

Penentuan Angka Asumsi Nilai Tukar Rupiah pada APBN-P 2012

Pada kuartal pertama 2012, pemerintah telah mengajukan percepatan APBN-P 2012

mengingat pada saat itu rata-rata nilai tukar bergerak pada kisaran pada Rp8.800 s.d.

Rp9.200 per dolar AS. Beberapa faktor yang mendasari perubahan tersebut antara lain

adalah: (-) melambatnya perekonomian global serta perkembangan ekonomi global yang

belum menunjukkan pemulihan seperti yang diharapkan sebelumnya, sehingga

menimbulkan tekanan pada kinerja perdagangan internasional Indonesia; (-) kenaikan

harga minyak dunia yang semakin tinggi yang mendorong tekanan pada komoditas energi

dan bahan pangan di pasar domestik; (+) harapan pemulihan ekonomi global terjadi pada

semester kedua tahun 2012. Dengan beberapa sentimen negatif tersebut, nilai tukar rupiah

terus mengalami tekanan melemah hingga ke tingkat di atas Rp9.100 per dolar AS. Dengan

melihat perkembangan tersebut, maka asumsi nilai tukar dalam APBN-P 2012 diusulkan

untuk direvisi menjadi Rp9.000 per dolar AS, terdepresiasi dibandingkan dengan asumsi

nilai tukar dalam APBN 2012.

Penentuan Angka Asumsi Nilai Tukar Rupiah pada APBN 2013

Pada akhir kuartal ketiga 2012, Pemerintah kembali mengajukan usulan APBN 2013, dan

asumsi nilai tukar disepakati sebesar Rp9.300 per dolar AS. Penetapan angka tersebut,

selain memperhatikan sasaran RPJMN, dan potensi perkembangan ekonomi global dan

domestik ke depan, besaran nilai tukar didasarkan juga pada perkembangan nilai tukar

yang terjadi. Rata-rata nilai tukar bergerak pada kisaran antara Rp9.200 hingga Rp9.600

per dolar AS, dengan tren melemah yang terjadi sejak awal 2012. Namun, pemerintah

masih optimis dengan melihat beberapa faktor positif yang dapat menjadi pendorong

30

peningkatan nilai rupiah di tahun 2013. Hal itu mencakup (+) masih masuknya arus

investasi dan modal ke pasar dalam negeri; (+) masih terdapat harapan perbaikan ekonomi

di negara mitra dagang Indonesia; serta (+) meningkatkan daya saing ekspor Indonesia

seiring nilai tukar yang telah terdepresiasi jauh, dapat sehingga ke depan dapat terjadi

perbaikan kinerja perdagangan internasional yang memberikan dampak apresiasi ke

Rupiah.

Berdasarkan perkembangan tersebut, besaran asumsi nilai tukar yang diajukan adalah

lebih rendah dibanding asumsi 2012, namun potensi faktor faktor positif menyebabkan

asumsi depresiasi nilai tukar relatif lebih rendah dibanding yang terjadi. Dalam kaitan ini,

asumsi nilai tukar dalam APBN 2013 disepakati sebesar Rp 9.300 per dolar AS.

5.4. Model Suku Bunga - SPN 3 Bulan

Bank Indonesia sejak bulan November tahun 2010 telah menghentikan pelelangan

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 3 bulan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk

mengendalikan dana asing yang membanjiri instrumen SBI, kebijakan ini juga untuk

mengarahkan investor agar menanamkan dananya pada instrument berjangka waktu lebih

panjang. Bagi pemerintah, suku bunga rata rata SBI 3 bulan selama ini juga dijadikan

sebagai acuan (benchmark interest rate) dalam menentukan suku bunga Surat Utang

Negara (SUN) dengan suku bunga mengambang (variable rate). Sebagai konsekuensi dari

dihentikannya pelelangan SBI 3 bulan maka pemerintah harus menentukan instrument

surat utang lain dengan karakteristik sejenis seperti SBI 3 bulan yang bisa dijadikan acuan

untuk menentukan suku bunga.

Mengingat pentingnya keakurasian proyeksi tingkat suku bunga rata-rata SPN 3

bulan sebagai salah satu asumsi ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan

APBN, maka diperlukan model proyeksi untuk menghasilkan perhitungan perkiraan SPN 3

bulan yang akurat. Salah satu permasalahan dalam pembangunan model yang memadai

adalah kurangnya data series SPN 3 bulan yang tersedia mengingat instrumen tersebut baru

diterbitkan sejak Maret 2011. Dalam hal ini, angka asumsi suku bunga ditetapkan

berdasarkan perkiraan pergerakan suku bunga instrumen-instrumen di pasar modal,

prospek perekonomian, serta masukan dari berbagai stakeholder. Di tahun 2012, perkiraan

suku bunga mengacu pada besaran realisasi tahun 2011, dengan memperhitungkan prospek

kondisi ekonomi domestik dan global ke depan, serta pertimbangan-pertimbangan yang

31

telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya evaluasi dan outlook suku bunga SPN 3 bulan

selama tahun berjalan dilakukan dengan menggunakan perhitungan dan simulasi terhadap

data-data realisasi SPN 3 bulan sebelumnya.

Gambar 3.7: Model SPN 3 Bulan

Dalam perkembangannya, asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan masih dihitung

berdasarkan dengan perkiraan perkembangan rata-rata data historis dengan basis waktu 12

bulan terhitung mundur dari data terakhir yang digunakan. Angka pergerakan rata-rata

tersebut kemudian disesuaikan dengan pertimbangan aspek-aspek yang diperkirakan akan

terjadi pada masa yang akan datang. Adapun pertimbangan yang diberikan juga

memperhatikan bahwa instrumen SPN 3 Bulan merupakan instrumen yang fleksibel, yaitu

dapat disesuaikan dari jumlah penerbitan dan pembatasan atas penawaran yang masuk

sesuai dengan kebutuhan pembiayaan APBN. Penyesuaian angka ini merupakan angka

pertimbangan yang cukup fleksibel tergantung dari expert judgment. Meskipun masih

terdapat kelemahan atas judgement yang masih memiliki probabilitas kesalahan,

pendekatan ini dinilai cukup efektif mengingat data historis tingkat suku bunga SPN 3

Bulan yang masih pendek.

Dupont et. al. (1999) menjelaskan bahwa beberapa hal yang mempengaruhi

pergerakan treasury bill adalah demand, supply, economic conditions, monetary policy,

dan inflation. Untuk itu, aspek-aspek yang dipertimbangkan mempengaruhi pergerakan

dari SPN 3 Bulan yang adalah sebagai berikut:

1. Suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate. (monetary policy)

2. Posisi Kepemilikan Asing pada SUN (demand dan supply)

3. Kondisi Pembiayaan APBN (supply)

32

4. Inflasi Domestik (inflation)

5. Asumsi Perekonomian Global (economic conditions)

Faktor-faktor inilah yang menjadi kunci dalam penentuan angka penyesuaian dengan

proporsi masing-masing sesuai kondisi pada saat penghitungan angka asumsi.

Gambar 3.8: Perkembangan SPN 3 bulan

Tabel 3.2: Perkembangan Asumsi SPN 3 bulan

Sesuai dengan pergerakan dan perkembangan dari tingkat suku bunga SPN 3 Bulan seperti

tertera pada tabel 3.2 dapat dijelaskan sebagai berikut.

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

Mar

Ap

r

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Jul

Ags

Sep

Okt

Okt

No

v

No

v

Jan

Jan

Feb

Feb

Mar

Mar

Ap

r

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

No

v

2011 2012

Tingkat Suku Bunga

Rata-rata Tertimbang 12 Bulan Terakhir

Asumsi

Pemberlakuan Asumsi SPN 3 Bulan

Item Asumsi SPN 3 Bulan (%) Rata-rata Tertimbang

12 bulan terakhir Penyesuaian*

APBN-P 2011 5,6 4,78 0,8

APBN 2012** 6,0 4,81 1,2

APBN-P 2012*** 5,0 4,26 0,7

APBN 2013**** 5,0 3,54 1,5

*penyesuaian merupakan keputusan expert judgment

**dihitung pada bulan September 2011

*** dihitung pada bulan Februari 2012

**** dihitung pada bulan September 2012

33

Penentuan Angka Asumsi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan pada APBN 2012

Pada APBN 2012, asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan ditetapkan sebesar 6,0 persen,

lebih tinggi 0,4 persen dibandingkan asumsi pada APBN Perubahan 2011. Penetapan

angka ini dipertimbangkan berdasarkan pergerakan rata-rata tertimbang 12 bulan terakhir

yang sedikit mengalami peningkatan, dari 4,78 persen sedikit meningkat mencapai 4,81

persen. Meskipun peningkatan yang terjadi sangat tipis, namun aspek kondisi

perekonomian global, terutama Yunani dan Spanyol menjadi dasar utama untuk menaikkan

angka asumsi. Angka penyesuaian sebesar 0,8 persen mengakomodasi risiko atas potensi

sudden reversal yang dapat sewaktu-waktu terjadi akibat kekhawatiran pasar.

Penentuan Angka Asumsi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan pada APBN-P 2012

Angka asumsi ditetapkan berdasarkan dengan pergerakan tingkat suku bunga SPN 3 Bulan

pada 12 bulan terakhir. Penghitungan dilakukan pada periode bulan Maret 2011 sampai

dengan bulan Februari 2012. Periode ini didasarkan pada agenda APBN Perubahan 2012

yang pembahasannya dilakukan pada bulan Maret 2012.

Pergerakan rata-rata 12 bulan terakhir mengalami penurunan tajam sebesar 0,5 persen

dibandingkan dengan pada saat perhitungan APBN 2012. Hal ini yang mendasari bahwa

perlu adanya revisi atas angka asumsi yang telah ditetapkan sebesar 6,0 persen. Penetapan

angka asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan yang terlalu besar akan mengakibatkan

ketidakakuratan perhitungan APBN secara keseluruhan yang juga berdampak pada beban

anggaran. Penurunan angka asumsi ini juga tetap mempertimbangkan potensi risiko

sehingga dilakukan penyesuaian sebesar 0,7 persen. Penyesuaian ini dipertimbangkan oleh

adanya gejala-gejala resesi ekonomi Eropa dan Amerika yang masih terlihat. Penyesuaian

yang ditetapkan lebih rendah dibandingkan pada perhitungan APBN 2012 didasari pada

kondisi domestik yang stabil dan baik meskipun global masih dalam ketidakjelasan.

Dengan begitu, angka asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan ditetapkan sebesar 5,0

persen.

Penentuan Angka Asumsi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan pada APBN 2013

Dengan metode yang sama, tingkat suku bunga SPN 3 Bulan APBN 2013 ditetapkan

sebesar 5,0 persen. Meskipun penurunan rata-rata pergerakan suku bunga pada 12 bulan

terakhir jauh lebih besar yaitu sebesar 0,8 persen, namun Pemerintah tetap

mempertahankan angka asumsi pada posisi 5,0 persen. Angka penyesuaian yang ditetapkan

34

lebih besar, yaitu sebesar 1,5 persen. Angka penyesuaian yang lebih besar dipertimbangkan

berdasarkan potensi risiko atas kondisi perekonomian global yang masih mengalami

ketidakjelasan, terutama dampak resesi Eropa dan problematika fiskal Amerika. Angka

penyesuaian ini juga mengakomodasi atas perkembangan suku bunga SPN 3 Bulan

beberapa pelelangan terakhir yang sempat mengalami kenaikan di atas 3,0 persen. Hal ini

menjadi strategi antisipasi jika resesi global kian bertambah parah.

Memperhatikan keterbatasan yang ada, maka model perhitungan suku bunga SPN 3

bulan ini masih harus terus dikembangkan, misalnya dengan melakukan penelitian lebih

lanjut pergerakan suku bunga obligasi bertenor lain seperti obligasi bertenor 5 atau 10

tahun untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap terkait pergerakan suku bunga SPN

3 bulan. Keterbatasan data series suku bunga SPN 3 bulan masih merupakan kendala

utama dalam meningkatkan keakurasian perhitungan perkiraan suku bunga SPN 3 bulan ke

depan. Selain itu, karakteristik suku bunga SPN 3 bulan sebagai suatu tingkat bunga

kebijakan, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh kebijakan Kementerian Keuangan

(Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang) sehingga tidak hanya tergantung pada sentimen

dan pergerakan pasar, juga merupakan hambatan dalam meningkatkan tingkat akurasi

perhitungan suku bunga SPN 3 bulan.

5.5. Quarterly Provincial Gross Product Forecasting Model

Model ini dikembangkan sebagai inisiatif baru setelah diskusi pada kunjungan terakhir

Prof. Geoffrey J.D. Hewings (Illinois University) dan Prof. Euijune Kim (Seoul National

University) di Jakarta pada bulan Agustus 2012 dalam rangka Technical Assistance Asian

Development Bank (TA ADB) untuk membantu pengembangan model di BKF. Model ini

ialah model kedua yang mereka kembangkan selain Model Financial CGE Transportation

Network (FCGE-TN). Pengembangan model ini diharapkan dapat mengisi gap jarangnya

model dengan basis pendekatan regional, sementara isu-isu kebutuhan analisis di level

regional semakin banyak.

Model ini bertujuan untuk memproyeksi pertumbuhan ekonomi (GDP) dengan

pendekatan bottom up, yaitu dengan mendasarkan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi

setiap provinsi di Indonesia. Model ini menggunakan data panel spasial (spatial panel data)

yang terdiri atas data kuartalan PDRB 33 provinsi di Indonesia dari Q1-2005 sampai

dengan Q3-2012. Namun karena ketersediaan data untuk membangun trade-based spatial

35

weight matrix hanya ada untuk 30 provinsi maka model direduksi ke dalam 30 provinsi.

Data diperoleh dari World Bank Jakarta yang telah mulai membuat database Indonesia

berbasis provinsi dan kabupaten/kota.

Walaupun telah menghasilkan peramalan yang relatif baik tapi model ini masih

preliminary. Oleh karenanya masih diperlukan beberapa aktivitas untuk

penyempurnaannya. Model ini memiliki potensi untuk dikembangkan ke level

kabupaten/kota. Sampai saat ini pengembangan model masih dalam tahap penyempurnaan.

Direncanakan akan dapat diserahterimakan pada bulan Maret 2013.

Sekedar sebagai ilustrasi awal gambaran hasil forecasting-nya adalah sebagai

berikut:

Gambar 3.9: Actual and forecasted values for the GDP growth rate model with one

temporal lag

-.1

-.05

0

.05

0

.05

.1.1

5.2

0

.02

.04

.06

.08

.04

.05

.06

.07

.08

.02

.04

.06

.08

.1

.05

.06

.07

.08

.09

.05

.06

.07

.04

.06

.08

.1

.04

.06

.08

.04

.05

.06

.07

.04

.05

.06

.07

.03

.04

.05

.06

.07

.02

.04

.06

.08

.1

.02

.04

.06

.08

0

.02

.04

.06

.03

.04

.05

.06

.07

0

.05

.1

.04

.06

.08

.1

-.1

0.1

.2

.03

.04

.05

.06

.07

-.2

0.2

.4

.02

.04

.06

.08

0

.05

.1

0

.05

.1.1

5

.02

.04

.06

.08

.1

.05

.06

.07

.08

.02

.04

.06

.08

.1

.02

.04

.06

.08

.04

.06

.08

.1

-.05

0

.05

.1

0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 0 10 20 30 40

1254 1255 1256 1257 1258 1259

1261 1262 1263 1264 1265 1266

1267 1268 1269 1271 1272 1273

1274 1275 1276 1277 1279 1280

1281 1282 1283 1284 1285 1286

36

Gambar 3.10: Actual and forecasted values for the GDP growth rate model with two

temporal lags

Gambar 3.11: Actual, fitted and forecasted values for the GDP share model

37

Bab 4

Model APBN

Dalam rumpun model APBN terdapat beberapa model ekonomi, antara lain: (1) Model

Perpajakan; (2) Model Belanja; (3) Model Subsidi (BBM dan Listrik); dan (4) Model

Sensitivitas APBN. Model-model tersebut didedikasikan secara langsung sebagai tulang

punggung dalam proses penyusunan RAPBN versi Badan Kebijakan Fiskal. Dalam proses

ini, beberapa model ekonomi lainnya digunakan sebagai model pendukung. Untuk

memberi gambaran lebih detail masing-masing model tersebut di atas, berikut ini disajikan

deskripsi singkat masing-masing model.

4.1. Model Perpajakan

Model Perpajakan digunakan sebagai alat bantu untuk penentuan target penerimaan

perpajakan dalam RAPBN secara lebih akurat sesuai dengan kondisi ekonomi dan potensi

penerimaan yang sesungguhnya. Selain itu, model ini juga digunakan sebagai alat

monitoring penerimaan perpajakan dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan

dalam RAPBN-P dan pemantauan dini dalam rangka early warning system.

Model Perpajakan memiliki lima sub model yang diilustrasikan dalam Gambar 6.1

dan penjelasan untuk masing-masing sub model adalah sebagai berikut.

Gambar 4.1: Model Perpajakan

38

Model Monitoring Perpajakan

Merupakan model bulanan yang digunakan untuk: (1) melihat target bulanan penerimaan

perpajakan dalam setahun; (2) membandingkan antara target dan realisasi (early warning

system); (3) meng-up date target bulanan; dan (4) menetapkan perkiraan realisasi

penerimaan perpajakan hingga akhir tahun.

Gambar 4.2: Tampilan Hasil Model Monitoring Perpajakan

Model Target Penerimaan Perpajakan

Merupakan model tahunan untuk menetapkan target penerimaan perpajakan tahunan dalam

RAPBN dan target penerimaan perpajakan medium term (tiga tahun ke depan). Metode

estimasi untuk tiap-tiap komponen penerimaan perpajakan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.3: Metode Estimasi Pajak Nonmigas

Penerimaan

Perpajakan Baseline

Dasar Pengenaan Pajak

( Tax Base )

Elastisitas

Sensitivitas

-Pertumbuhan Ekonomi

-Inflasi

-Nilai Tukar

Beberapa Indikator

Ekonomi Makro

Pendapatan Nasional

Konsumsi Dalam Negeri

PDB Per Sektor

Kebijakan/Administrasi

Perpajakan

Target Penerimaan

Perpajakan

39

Gambar 4.4: Metode Estimasi Bea dan Cukai

Gambar 6.4: Metode Estimasi Penerimaan PBB Migas

Gambar 4.5: Metode Estimasi Bea Masuk

CUKAI = Produksi BKC 2011 X Tarif Full Spesifik

Proyeksi Kebijakan

BEA MASUK = Tarif X Dutiable Import X Kurs

Kebijakan Kebijakan & Proy. Asumsi

Bea Keluar = Volume X HPE X Tarif X Kurs

Proyeksi Kebijakan & Proy. Asumsi

Total PBB MIGAS

Nilai Produksi

Migas tahun lalu

Tarif PBB

Lifting X Harga X Kurs

tahun lalu

PBB Areal Migas PBB Produksi Migas

Tarif PBB

Luas lahan

onshore dan offshore

40

Gambar 4.6: Metode Estimasi Bea Keluar

Output atau tampilan hasil dari Model Target Penerimaan Pajak diilustrasikan dalam

Gambar 4.7.

Gambar 4.7: Hasil Perhitungan Model Proyeksi

APBN-P Real. % APBN-P Real. % APBN-P Real. % APBN-P Real. % APBN-P Real. % APBN-P Real. %

Penerimaan Perpajakan 352.0 347.0 98.6 425.1 409.2 96.3 492.0 491.0 99.8 609.2 658.7 108.1 652.0 619.9 95.1 743.3 744.4 100.1

Pajak Non Migas 264.9 263.4 99.4 333.0 315.0 94.6 395.2 381.4 96.5 480.9 494.1 102.7 528.4 494.5 93.6 606.1 590.5 97.4

Kepabeanan dan Cukai 49.8 48.5 97.4 53.3 51.0 95.6 59.5 65.6 110.3 74.7 87.6 117.3 74.6 75.4 101.1 81.8 95.0 116.1

PPh Migas 37.2 35.1 94.4 38.7 43.2 111.6 37.3 44.0 118.1 53.6 77.0 143.6 49.0 50.0 102.1 55.4 58.9 106.3

20102005 2006 2007 2008 2009

U r a i a n

41

Model Dampak Kebijakan

Model ini dipergunakan untuk mengestimasi dampak suatu kebijakan perpajakan terhadap

penerimaan perpajakan baik dampaknya berupa gain atau loss.

Model Potensi Penerimaan Perpajakan

Model ini digunakan untuk mengestimasi potensi penerimaan perpajakan. Sumber data

utama yang digunakan dalam model ini adalah: (1) Produk Domestik Bruto (PDB); (2)

Penghasilan rumah tangga di Indonesia (Susenas); (3) Tabel Input-Output (IO); dan (4)

Penghasilan laba usaha perusahaan di Indonesia (Kantor Kementrian BUMN dan

Bapepam). Bagaimana sumber data ini digunakan dan metode estimasinya dapat dijelaskan

dalam ilustrasi sebagai berikut:

Gambar 4.8: Alur Perhitungan Potensi PPh Orang Pribadi Progresif

Gambar 4.9: Alur Perhitungan Potensi PPh Orang Pribadi Final

Tax Base PPh OP Progresif

POTENSI PPh OP Progresif

Tarif PPh OP ProgresifX

PDB NominalTabel IO

% Upah Gaji

Upah Gaji Orang Pribadi (UGop)

Data SusenasRasio PU thd UGRT

Penghasilan Usaha Orang Pribadi (Puop)

Objek Pajak PPh OP Progresif

Data Susenas% penghasilan

> PTKP

Penghasilan OP > PTKP

Data SusenasRasio PKP

PKP OPData Susenas

Distribusi PKP per layer

Tax Base PPh OP Final

POTENSI PPh OP Final

Tarif PPh OP FinalX

Upah Gaji Orang Pribadi (UGop)

Data Susenas

Rasio total penghasilan WP OP thd UGRT

Data Susenas% penghasilan kepemilikan

thd total penghasilan

Objek Pajak PPhFinal

42

Gambar 4.10: Alur Perhitungan Potensi PPh Badan

Hasil estimasi model disajikan baik dalam jumlah total potensi maupun per potensi pajak

per klasifikasi tersebut di atas. Dari estimasi potensi ini dapat ditentukan besaran target

penerimaan pajak yang diharapkan.

Gambar 4.11: Hasil Perhitungan Potensi Penerimaan PPh

Tax Base PPhBadan

POTENSI PPh Badan

Tarif PPh BadanX

- +

Tabel IO% Surplus UsahaPDB Nominal

Surplus Usaha dari PDB

Tax Base PPh OP Final

PenghasilanUsaha OP

TahunPotensi Pajak

Progresif

Potensi

Pajak Final

Total Potensi

PPh OP

Potensi PPh

Badan

Total Potensi

PPh

Realisasi/Target

APBN

ITCR

(%)

2008 136,375.4 52,596.4 188,971.8 275,996.7 464,968.5 250,478.8 53.87%

2009 211,089.0 59,597.4 270,686.4 312,733.7 583,420.0 267,571.3 45.86%

2010 247,873.1 67,279.5 315,152.6 353,045.0 668,197.6 297,726.7 44.56%

2011 286,388.5 74,530.0 360,918.5 391,091.9 752,010.4 364,940.2 48.53%

2012 347,715.9 86,656.6 434,372.4 454,725.1 889,097.5 430,584.1 48.43%

2013 411,274.1 97,722.6 508,996.7 512,793.5 1,021,790.2 509,145.5 49.83%

43

Model Potensi Penerimaan Pajak Sektoral

Selain itu, diperlukan juga suatu model yang digunakan untuk mengestimasi potensi

penerimaan pajak secara sektoral. Pendekatan sektoral diharapkan selain memberikan

informasi lebih detail yang dibutuhkan dalam kebijakan fiskal juga memberikan informasi

pada kelompok usaha yang lebih homogen. Pada prinsipnya dalam model ini dicoba

diperhitungkan segala bentuk pengecualian baik di sisi objek, subjek maupun tariff yang

diatur dalam ketentuan perundangan perpajakan untuk setiap sektor ekonomi didalam

memperhitungkan potensi penerimaan perpajakannya.

Dengan membandingkan potensi dan realisasi penerimaan pajak pada tahun-tahun

yang telah lalu maka dapat diketahui tax gap. Informasi ini berguna untuk analisis dan

penentuan target optimalisasi penerimaan perpajakan.

4.2. Model Belanja

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal

yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian. Secara umum APBN menjabarkan

rencana kerja dan kebijakan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan,

mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki, mendistribusikan pendapatan dan

belanja melalui intervensi kebijakan serta upaya menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja

ekonomi. Oleh karena itu strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang sangat

penting dalam pengelolaan perekonomian nasional.

Mengingat peranan penting tersebut, dalam beberapa tahun terakhir strategi

kebijakan fiskal senantiasa diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkah-

langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat serta ketahanan fiskal yang

• Terdapat objek yg tidak dikenakan /dikecualikan dr pengenaan pajak

objek

• Terdapat subjek dalam sektor/daerah tertentu memperoleh fasilitas

subjek• Terdapat perbedaan

tarif seperti tidak dikenakan, dibebaskan, tarif 0% dan mendapatkan stimulus fiskal

tarif

44

berkelanjutan (fiscal sustainability) dengan tetap memberikan stimulus fiskal dalam batas-

batas kemampuan keuangan negara. Dalam hal ini kondisi keuangan negara (APBN) yang

sehat dan berkelanjutan merupakan salah satu jangkar pengaman bagi kinerja ekonomi

nasional yang lebih baik sekaligus merupakan tolok ukur utama dari kesehatan

perekonomian nasional.

Model belanja ini diharapkan mampu menjadi alat pendukung dalam analisis

penentuan alokasi belanja dan mengestimasi dampak ekonominya sekaligus. Model belanja

yang dikembangkan ini dengan:

1) Melakukan konversi alokasi sektoral belanja pusat tahun 2008 dan 2009 ke dalam 66

sektor model I-O secara otomatis

2) Penggunaan alokasi hasil konversi otomatis ke dalam struktur model I-O, baik dengan

pendekatan demand side maupun supply side, dan model ekonometrika untuk

menghitung dampak realokasi sektoral belanja pusat terhadap beberapa indikator: (a)

Output; (b) Pendapatan masyarakat; (c) Tenaga kerja; dan (d) Kemiskinan.

Kedua komponen hasil konversi dan data I-O dihimpun dalam aplikasi komputasi berbasis

pengolah angka dari Microsoft yaitu Microsoft Excel sebagai alat simulasi dari model

belanja ini.

Gambar 4.12: Kerangka Pikir Model Belanja

45

4.3. Model Subsidi

Model subsidi dipergunakan untuk memproyeksikan besaran balanja subsidi dalam APBN

yaitu untuk subsidi BBM dan subsidi listrik. Dalam model subsidi ini terdapat tiga sub

model, yaitu: (1) Model Perhitungan Subsidi BBM; (2) Model Harga Keekonomian BBM

Bersubsidi; dan (3) Model Perhitungan Subsidi Listrik.

Model Perhitungan Subsidi BBM

Perhitungan besaran subsidi BBM mengikuti formula sebagai berikut:

dimana:

– Harga jual eceran BBM merupakan harga jual eceran per liter BBM dalam negeri.

– Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan

Bermotor (PBBKB).

– PPN dengan besaran 10%

– PBBKB dengan besaran 5%

– Harga patokan BBM adalah harga yang dihitung berdasarkan MOPS ditambah biaya

distribusi dan margin.

– Harga patokan BBM = MOPS + α

– α adalah biaya distribusi + margin

– Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS) adalah harga transaksi jual beli pada bursa minyak

di Singapore

Gambar 4.12: Diagram Perhitungan Subsidi BBM

Subsidi BBM:

= [Harga Patokan BBM- (Harga jual eceran BBM - Pajak) ] x volume BBM

ICP

+ Delta MOPS

Premium

Minyak

Tanah

Minyak

Solar

Harga Jual

Eceran BBM

Konsumen

MOPS

Rumah

Tangga dan Usaha Kecil

Alpha (biaya

distribusi dan margin)

Premium

Minyak

Tanah

Minyak

Solar

Transportasi,

Pelayanan Umum, Usaha Kecil dan

Usaha Perikanan

Transportasi

dan Pelayanan Umum Usaha

Kecil dan Usaha

Perikanan

Harga Patokan

+

46

Model Harga Keekonomian BBM Bersubsidi

Model harga keekonomian BBM terdiri atas dua macam: (1) bulanan; dan (2) tahunan.

Rumusan untuk masing-masing perhitungannya adalah sebagai berikut:

dimana:

– MOPS t-1 MOPS bulan sebelumnya, MOPS = Mid of Platts Singapore (Harga

transaksi jual beli pada bursa minyak di Singapore)

– Alpha biaya distribusi + margin PT Pertamina dan SPBU

– Kurs Beli t kurs beli rupiah rata-rata bulan berjalan

– 159 konversi barel ke liter yaitu 1 barel = 159 liter

– Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan

Bermotor (PBBKB). PPN dengan besaran 10% dan PBBKB dengan besaran 5%.

Catatan:

– Delta MOPS selisih rata-rata realisasi MOPS dengan ICP

– ICP rata-rata asumsi ICP untuk 1 tahun

– Kurs Beli tahunan kurs beli rupiah rata-rata dalam 1 tahun

Model Subsidi Listrik

Perhitungan subsidi listrik mengikuti formula sebagai berikut:

dimana:

HJTL

(Harga Jual Tenaga

Listrik)

Harga yang digunakan dalam penjualan tenaga listrik PT PLN (Persero) kepada

pelanggan dengan berdasarkan Tarif Dasar Listrik sesuai Keppres No.104 Tahun

2003 Tentang HJTL Tahun 2004 yang disediakan oleh PLN

BPP (Biaya Pokok

Penyediaan Tenaga

Listrik)

Biaya penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) untuk melaksanakan

kegiatan operasi mulai dari pembangkitan, penyaluran (transmisi), sampai

dengan pendistribusian tenaga listrik ke pelanggan dibagi total kWh jual.

Dihitung berdasarkan formula

M (Margin) Margin yang digunakan dalam perhitungan besaran subsidi listrik untuk

menghasilkan angka subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN atau APBN-P

V (Volume penjualan

tenaga listrik)

Hasil penjualan tenaga listrik (kWh) dari masing-masing golongan tarif

Harga Ekonomi BBM Per Bulan = Harga Patokan BBM + (PPN + PBBKB)

Harga Patokan BBM = ((MOPS t-1 x (1 + Alpha) x Kurs Beli t ))/159

Harga Ekonomi BBM Per Tahun = Harga Patokan BBM + (PPN + PBBKB)Harga Patokan BBM = ((Delta MOPS + ICP) x (1 + Alpha) x Kurs Beli tahunan ))/159

Subsidi listrik = -[HJTL - BPP (1+m)] x VP

47

Proses perhitungan besaran subsidi listrik diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 4.12: Diagram Perhitungan Subsidi Listrik

4.4. Model Stresstest BUMN3

Kesinambungan fiskal memerlukan manajemen risiko. Risiko adalah kemungkinan

penyimpangan dari yang diperkirakan akan atau diharapkan terjadi. Manajemen risiko

fiskal terkait dengan pengelolaan dan pengendalian risiko tersebut agar dapat terjadi

kesinambungan fiskal seperti yang diharapkan. Dengan manajemen risiko diharapkan

dampak akibat terjadinya kejadian risiko dan/atau kebolehjadian terjadinya kejadian risiko

dapat diperkecil sehingga kesinambungan tersebut dapat terjaga.

Salah satu sumber risiko fiskal adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Eksposur keuangan negara terhadap BUMN adalah melalui kontribusinya terhadap

pemasukan atau pengeluaran keuangan negara maupun kewajiban kontinjen sehubungan

dengan pembayaran hutang BUMN atau pun penambahan modal negara di kemudian hari.

Pemasukan atau pengeluaran keuangan negara terkait BUMN dilakukan melalui

transaksi antar keduanya. Transaksi tersebut meliputi pemasukan pemerintah dari BUMN

melalui: pajak, dividen, royalti, dan pembayaran hutang kepada pemerintah. Pengeluaran

3 Disarikan dari Tim-PPRF (2010), Buku Uji Macrostress Terhadap Risiko Fiskal Yang Bersumber Dari Badan

Usaha Milik Negara.

Susut Jaringan

/Losses (%)

Neraca Energi

Listrik (kwh)

BPP PER SISI TEGANGAN

TT,TM,TR (RP/KWH)

FORMULA PERHITUNGAN

BIAYA POKOK PENYEDIAAN

(BPP) TENAGA LISTRIK

BEBAN USAHA & BEBAN

PINJAMAN (RP)

PENJUALAN ENERGI LISTRIK PER

GOL.TARIF (KWH)

PENDAPATAN PENJUALAN

ENERGI LISTRIK

PER GOL.TARIF (RP)

HARGA JUAL ENERGI

LISTRIK PER GOL.TARIF

(RP/KWH) SESUAI TDL

HARGA JUAL RATA2 PER

GOL.TARIF (RP/KWH)SUBSIDI PSO PER GOL.TARIF (RP/KWH)

PENJUALAN ENERGI LISTRIK PER

GOL.TARIF (RP/KWH)

SUBSIDI PSO PER GOL.TARIF (RP)

48

keuangan negara untuk BUMN melalui pinjaman (penerusan pinjaman maupun dari

Rekening Dana Investasi Pemerintah), subsidi, serta dukungan pemerintah terhadap

kecukupan modal BUMN. Kewajiban BUMN pada umumnya tidak dijamin oleh

pemerintah secara eksplisit kecuali pada kasus-kasus khusus seperti pinjaman untuk proyek

percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara 10,000MW. Meskipun

demikian, secara implisit kewajiban-kewajiban BUMN mendapat dukungan dari

pemerintah. Hubungan keuangan antara BUMN dan APBN secara diagramatik dapat

diikhtisarkan dalam Gambar 4.13.

Gambar 4.13: Hubungan keuangan antara BUMN dan APBN

Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kesinambungan fiskal melalui transaksi-

transaksi tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah faktor-

faktor risiko makro dan kedua adalah faktor-faktor risiko mikro. Faktor-faktor risiko makro

adalah faktor-faktor penyebab penyimpangan dari perkiraan atau harapan yang

mempengaruhi semua agen ekonomi dalam perekonomian. Perekonomian ini meliputi

ekonomi global maupun nasional. Sedangkan faktor-faktor risiko mikro adalah yang

faktor-faktor yang mempengaruhi industri dan suatu agen ekonomi secara spesifik.

Umumnya faktor yang mempengaruhi suatu industri disebut faktor risiko industri, namun

untuk laporan ini faktor tersebut dimasukkan dalam faktor risiko mikro.

APBN

A. Pendapatan Negara dan Hibah

I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

II. Hibah

B. Belanja Negara

Belanja Pemerintah Pusat

C. Keseimbangan Primer

D. Surplus/ Defisit anggaran

E. Pembiayaan

I. Pembiayaan Dalam Negeri

II. Pembiayaan Luar Negeri (neto)

BUMN

LABA/ RUGI

Pendapatan Usaha

Beban Usaha

Laba Usaha

Penghasilan/ Beban Lain-lain

Beban bunga dan keuangan

Laba sebelum pajak

Beban pajak

Laba bersih

NERACA

Aset

Kewajiban

Ekuitas

Dividen

Pembayaran pajak, setoran dividen, pembayaran pokok dan bunga pinjaman/SLA

Subsidi/PSO, pinjaman baru dalam negeri dan SLA, Penyertaan Modal Negara

KEWAJIBAN KONTINJENSI

Penjaminan Pemerintah terhadap pinjaman BUMN, kenaikan pembayaran subsidi kepada BUMN,

penurunan nilai modal pemerintah di BUMN

49

Kinerja BUMN dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko makro dan mikro tersebut. Hal

ini pada gilirannya mempengaruhi kinerja transaksi BUMN dengan pemerintah. Oleh

karena dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko terhadap kesinambungan fiskal

juga perlu dilakukan pula identifikasi faktor-faktor risiko yang mempengaruhi BUMN.

Identifikasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengukuran dampak dan probabilitas

terjadinya. Beberapa risiko yang diperkirakan sangat mempengaruhi kinerja, perlu

mendapatkan perhatian manajemen BUMN dan akhirnya otoritas fiskal. Budaya risiko

harus diterapkan di pemerintahan maupun BUMN untuk menjamin kesinambungan fiskal.

Gambar 4.14. menunjukkan transmisi faktor-faktor risiko tersebut kepada kesinambungan

fiskal melalui BUMN.

Gambar 4.14: Transmisi Faktor-faktor Risiko Kepada Kesinambungan Fiskal

Model Stresstest BUMN digunakan untuk analisis skenario, macro stress test dan

micro stress test terhadap transaksi antara pemerintah dengan BUMN serta kinerja

kesehatan BUMN. Skenario analisis yang dimaksud adalah skenario asumsi-asumsi faktor-

faktor risiko makro yang digunakan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Skenario ini terdiri dari tiga, yaitu skenario basis, optimis dan pesimis. Analisis akan

dilakukan terhadap pengaruh skenario-skenario tersebut terhadap kinerja transaksi antara

BUMN dengan pemerintah dan serta kesehatan BUMN.

Makrostress test dilakukan dengan memberikan kejutan atau shock akibat terjadinya

perubahan ekstrim suatu faktor makro. Faktor-faktor makro yang diperhitungkan pada

studi ini adalah : penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), kenaikan kurs

valuta asing, kenaikan harga minyak bumi, dan kenaikan suku bunga. Berdasarkan hasil uji

makrostress akan didapat faktor risiko makro yang paling perlu mendapatkan perhatian

PortofolioBUMN

Transaksi dgnPemerintah

Faktor-faktor risikoMakro

Faktor-faktor risikospesifik Industri

Faktor-faktor risikospesifik perusahaan

KesinambunganFiskal

50

oleh BUMN tertentu. Pengelolaan dan pengendaliannya akan menjadi prioritas bagi

manajemen BUMN tersebut.

Uji mikrostress dilakukan dengan memberikan kejutan atau shock akibat terjadinya

perubahan ekstrim suatu faktor mikro. Sebelum melakukan uji ini, pertama-tama dilakukan

identifikasi faktor-faktor risiko mikro yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja

perusahaan. Setelah itu dilakukan estimasi besaran ekstrim yang dapat terjadi. Dampaknya

terhadap kinerja transaksi antara BUMN tersebut dengan pemerintah akan dianalisis

kemudian. Berdasarkan hasil ini akan didapatkan gambaran mengenai besarnya dampak

faktor risiko tersebut sehingga memberikan masukan kepada manajemen BUMN untuk

melakukan pengelolaan dan pengendalian faktor-faktor risiko mikro tersebut. Transmisi

faktor-faktor risiko tersebut mempengaruhi kinerja transaksi dengan pemerintah maupun

kinerja perusahaan akan membantu perencanaan dan implementasi pengelolaan dan

pengendalian risiko tersebut.

Maksud dari studi ini adalah melakukan analisis skenario, uji makrostress dan uji

mikrostress terhadap kinerja transaksi antara BUMN dengan pemerintah serta kinerja

BUMN. Kinerja BUMN diukur menggunakan ukuran kesehatan BUMN yang ditetapkan

oleh Kementrian BUMN dan ukuran kemampuan membayar pinjaman serta prediksi

kebangkrutan. Gambar 4.15. menunjukkan struktur dari analisis dalam studi ini.

Gambar 4.15: Struktur Analisis Sebuah BUMN

Faktor-faktor risikoMakro

UjiMakrostress

Faktor-faktor risikoMikro

Transaksi dgnPemerintah

KinerjaBUMN

Skenario faktor-faktor makro

Skenario faktor-faktor mikro

BUMN A

UjiMikrostress

51

Skenario analisis dilakukan berdasarkan asumsi faktor-faktor makro dalam keadaan

basis, optimis dan pesimis. Asumsi-asumsi ini adalah yang digunakan dalam APBN.

Faktor-faktor makro ini akan mempengaruhi faktor-faktor risiko industri dan faktor-faktor

risiko spesifik perusahaan. Dengan demikian, apabila diidentifikasi, terdapat faktor-faktor

risiko mikro (industri dan spesifik perusahaan) yang mengikuti atau sinkron dengan

skenario faktor-faktor makro. Skenario analisis ini dilakukan secara simultan untuk faktor-

faktor makro dan faktor-faktor mikro, bila teridentifikasi. Sedangkan uji stress dilakukan

secara terpisah antara uji makrostress dan uji mikrostress. Uji mikrostress menggunakan

skenario basis dari faktor-faktor makro.

Eksposur keuangan negara dari BUMN adalah eksposur dari portofolio. Oleh karena

itu risiko spesifik dari suatu BUMN dapat dikurangi kontribusinya dengan adanya risiko

spesifik dari BUMN lain yang memiliki korelasi yang rendah. Oleh karena itu korelasi

antar risiko juga merupakan elemen penting dari analisis eksposur ini. Namun dalam studi

ini, korelasi antar risiko belum digunakan. Oleh karena itu, analisis agregat eksposur dari

BUMN hanya berkaitan dengan faktor-faktor risiko makro dan faktor-faktor risiko mikro

sejauh faktor-faktor risiko mikro tersebut merupakan fungsi dari faktor-faktor risiko

makro.

Jadi secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Model Stresstest BUMN digunakan untuk

menunjukkan sensitivitas variabel makro ekonomi terhadap indikator risiko fiskal BUMN

yaitu:

- Kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, yaitu selisih bersih antara aliran dana dari

APBN kepada BUMN dan sebaliknya, yang berdampak langsung terhadap APBN;

- Utang bersih BUMN, yaitu kemampuan likuiditas BUMN dalam memenuhi

kewajibannya; dan

- Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, yaitu tingkat pembiayaan yang dibutuhkan agar

BUMN terus tumbuh.

Model Stresstest risiko fiskal BUMN menyajikan dua hasil utama yaitu:

- Analisis skenario: baseline, optimis, dan pesimis; dan

- Hasil stress test atas variable ekonomi makro: pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, harga

minyak, dan suku bunga.

Pengujian dilakukan terhadap 22 sample BUMN yang dipilih dengan

mempertimbangkan keterwakilan sektor, kondisi keuangan dan kemampuan untuk

menggambarkan keseluruhan kondisi BUMN serta alasan kepraktisan.

52

Tabel 4.1: Daftar BUMN yang diuji

Struktur spreadsheet untuk tiap-tiap BUMN dalam Model Stresstest BUMN adalah

seperti pada gambar 4.16.

Gambar 4.16: Struktur Spreadsheet Model

Secara skematis Model Stresstest BUMN dan aplikasinya dapat digambarkan sebagai

berikut:

No BUMN No BUMN

1 PT Pertamina 12 PT Pelabuhan Indonesia II

2 PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk 13 PT Aneka Tambang, Tbk

3 PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk 14 PT Krakatau Steel

4 PT Bank Mandiri, Tbk 15 PT Perkebunan Nusantara IV

5 PT Perusahaan Gas Negara, Tbk 16 PT Timah, Tbk

6 PT Semen Gresik, Tbk 17 PT Wijaya Karya, Tbk

7 PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk 18 PT Perusahaan Listrik Negara

8 PT Pupuk Sriwidjaja 19 PT Kereta Api Indonesia

9 PT Asuransi Kesehatan Indonesia 20 Perum BULOG

10 PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja 21 PT PAL Indonesia

11 PT Garuda Indonesia 22 PT Pelayaran Nasional Indonesia

Skenario

Makroekonomi

Standard

Stress Test

Asumsi

Makroekonomi

Input Laporan

Keuangan 3 thn

Common Size

Lap. Keuangan

RKAP, RJPP,

FGD BUMN

Kebutuhan

Investasi

Rencana

Pendanaan

Proyeksi Lap.

Keuangan

Proy. Transaksi

dg Pemerintah

Output Arus kas bersih kepada

Keuangan Negara

Nilai hutang bersih

Perusahaan

Kebutuhan pendanaan bruto

Subsidi pemerintah

Laba bersih perusahaan

Worksheet ComSize

Worksheet

Asumsi

Worksheet

Asumsi

Worksheet Input

Worksheet

Asumsi

Worksheet Proyeksi

Worksheet PinjamanWorksheet Tran_Pem

Worksheet Output

Asumsi

Industri

Asumsi

Perusahaan

Worksheet

Asumsi

Worksheet

Asumsi

Kesehatan BUMN

Kemampuan membayar

pinjaman

Prediksi kebangkrutan

Uji

Microstress

Worksheet

Asumsi

53

Gambar 4.17: Skema Model Macrostress Test Risiko Fiskal BUMN

Gambar 4.18: Aplikasi Model Stress Test BUMN

54

4.5. Model Dana Cadangan Risiko Fiskal

Model Dana Cadangan Risiko Fiskal digunakan untuk membantu pemerintah dalam

melakukan estimasi besaran dana cadangan fiskal apabila terjadi deviasi asumsi

makroekonomi. Estimasi ini digunakan untuk alokasi dana cadangan risiko fiskal dalam

APBN, sebagai bantalan risiko memitigasi adanya deviasi atas penetapan asumsi variable

makroekonomi.

Kerangka umum model dana cadangan risiko fiskal digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.19: Kerangka Umum Model Dana Cadangan Risiko Fiskal

Dalam menentukan probabilitas keterjadian risiko deviasi asumsi APBN digunakan dua

pendekatan: (1) market consensus; dan (2) teknik ekonometrika.

Gambar 4.20: Pendekatan I – Market Consensus

Baseline(Asumsi Makro

APBN)

Forecasting Deviasi Risiko Fiskal

Probability

(1) market consensus

(2) teknikekonometrik

Eksposure

Kebutuhan Dana

Cadangan Risiko Fiskal

8

*) Berdasarkan Market Concensus Forecast per 31 Januari

2011 untuk Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Suku Bunga,

Nilai Tukar, dan Harga Minyak.

**) Lifting berdasarkan realisasi 2010.

VariabelSensitivitas(

triliun)

per Satuan

perubahan

Pertumbuhan Ekonomi (%) -5.2 1 Under

Inflasi (%) -5.2 1 Under

Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) -1.4 1 Over

Nilai Tukar (Rp/US$) -0.2 100 Depresiasi

ICP (US$ per barel) -0.2 1 Over

Produksi Minyak (MBCD) -3 10 Under

APBN 2012 Deviasi KetRisiko Fiskal

(Triliun)Probability Eksposure

Keb. Dana

Cadangan (triliun)

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.5 6.4 *)

0.1 Under (0.5) 43% (0.22) 0.22

Inflasi (%) 5.5 6.00 *)

0.5 Over 2.6 55% 1.42 (1.42)

Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) 6.0 7.0 *)

1.0 Over (1.4) 55% (0.76) 0.76

Nilai Tukar (Rp/US$) 9,200 8,663 *)

(537.0) Apresiasi 1.1 22% 0.24 (0.24)

ICP (US$ per barel) 80.0 98.6 *)

18.6 Over (3.7) 60% (2.23) 2.23

Produksi Minyak (MBCD) 970 953 **)

17.0 Under (5.1) 100% (5.10) 5.10

Jumlah (7.1) (6.66) 6.66

Dana Cadangan 2012 -

Selisih Kebutuhan dgn Pagu (6.66)

Coverage Ratio(%) -

Analisis Kebutuhan Dana Cadangan Risiko Perubahan Asumsi Makro (per 31 Januari 2011)

Variabel

2012

Moderate Scenario

*) Berdasarkan Market Concensus Forecast per 31 Januari 2011 untuk Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Suku Bunga, Nilai Tukar, dan Harga Minyak.

**) Lifting berdasarkan realisasi 2010

APBN-ESTIMASI

Market Consensus

=setuju/tot

responden

Prob * Risiko Fiskal

Kebutuhan

cadangan Dana

Sensitivitas*Deviasi

55

Penggunaan ekspektasi pelaku pasar (market consensus) di dalam estimasi kebutuhan dana

cadangan merupakan proxi untuk memperhitungkan elemen ketidakpastian/risiko di dalam

analisis risiko fiskal. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan karena ketidaktersediaan

market concensus untuk dua atau tiga tahun kedepan, sehingga diperlukan pendekatan lain.

Untuk digunakan pendekatan ekonometrika untuk mengestimasi volatilitas di masa yang

akan datang dengan menggunakan data historis (teknik GARCH dan simulasi Montecarlo).

Gambar 4.21: Probabilitas Deviasi Asumsi dan Realisasi

• Simulasi dilakukan pada data deviasi historis antara APBN terhadap realisasi;

• Deviasi = 0 menunjukkan kesesuaian antara APBN dengan realisasi;

• Rata-rata deviasi historis memiliki nilai fungsi distribusi kumulatif (cdf1) paling besar;

• Input realisasi memiliki nilai fungsi distribusi kumulatif (cdf2);

• Probabilitas input adalah rasio probabilitas input realisasi terhadap probabilitas terbesar

sesuai dengan data historis; dan

• Input realisasi yang sesuai dengan realisasi historis memiliki rasio probabilitas terbesar.

Aplikasi model dana cadangan risiko fiskal dengan pendekatan teknik ekonometrika

diilustrasikan sebagai berikut:

DEVIASI APBN - Real

-3 -2 -1 1 2 3

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Prob deviasi

Cdf 2

Cdf 1 =

56

Gambar 4.22: Menu Model Dana Cadangan Risiko Fiskal

Gambar 4.23: Fitur Input

Input data untuk simulasi Penjelasan Input

Skenario

• Penjelasan, Rentang CV Berdasarkan nilai

Perencanaan tahun bersangkutan

Rasio Probabilitas terjadinya INPUT

REALISASI

• Berdasarkan data Realiasasi th

bersangkutan

• Prob terbesar jika INPUT REALISASI =

data Realisasi

Probabilitas terjadinya INPUT REALISASI

• Prob terbesar jika INPUT REALISASI =

data Realisasi

Input Basis data untuk forecast

Metode Forecast dan Volatilitas

57

Gambar 4.24: Fitur Output

Kebutuhan Dana Cadangan

• Berdasarkan deviasi

INPUT REALISASI

terhadap Perencanaan

tahun bersangkutan

Ris Fiskal = Sensitifitas

* percentile

• Informasi Data yang digunakan

• Probabilitas terbesar pada angka realisasi

Rasio Probabilitas terjadinya Kebutuhan Cadangan

• Berdasarkan data Realiasasi th bersangkutan

• Prob terbesar jika INPUT REALISASI = data

Realisasi

• Dihitung berdasarkan PERCENTILE dari nilai

Risiko Fiskal

58

Bab 5

MODFI: Macro Model of MoF Indonesia4

Model MODFI merupakan model ekonomi makro permintaan dan penawaran agregat,

dengan basis data Neraca Nasional (National Accounts) dan data lainnya serta teori

ekonomi yang menjelaskan behavioral pelaku ekonomi dalam ekonomi pasar. Model ini

mengandung baik persamaan-persamaan di sisi permintaan maupun penawaran. Model

MODFI merupakan model ekonomi makro Departemen Keuangan (Depkeu) yang

digunakan untuk melakukan analisa dampak perekonomian terhadap anggaran pemerintah

atau sebaliknya, dampak anggaran pemerintah terhadap perekonomian. Model tersebut

merupakan model simultan yang dibangun menggunakan MSExcel, terorganisasi dalam

blok dan sheet.

Dalam penyusunan model ekonomi makro terdapat beberapa kriteria yang harus

dipenuhi, yakni: landasan teoritis, relevansi kebijakan, dan mudah untuk dipahami. Model

ekonomi makro dibangun sesuai dengan konteks ekonomi pasar yang menjelaskan perilaku

para pelaku pasar. Sebagai langkah awal, analisa regresi telah digunakan untuk

mengestimasi koefisien-koefisien model. Dalam mengestimasi persamaan, terdapat banyak

kriteria selain indikator-indikator statistik tradisional. Kriteria-kriteria tersebut adalah

kelayakan kualitatif dan kuantitatif dari persamaan, goodness of fit, besarnya residual, dan

kelayakan hasil simulasi. Dalam kasus tertentu, apabila tidak tersedia data tahunan (sebagai

contoh persamaan tenaga kerja), koefisien persamaan ditentukan melalui beberapa bentuk

analisa kalibrasi. Model ekonomi makro harus mengandung variabel instrumen kebijakan

yang dikendalikan oleh pembuat kebijakan dan variabel ekonomi penting, seperti

pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, transaksi pemerintah/defisit anggaran, dan transaksi

berjalan agar mempunyai relevansi kebijakan.

Agar mudah dipahami, model tersebut harus transparan dan terbuka secara

keseluruhan, baik mengenai persamaan-persamaan model maupun input model. Pada

akhirnya, perlu dicatat bahwa pengembangan model adalah proses pembelajaran, baik bagi

penyusun model maupun pengguna sehingga mereka dan seyogyanya belajar satu sama

4 Deskripsi lebih lengkap, silakan merujuk Tim MODFI (2005), Model Ekonomi Makro Departemen Keuangan

RI (MODFI) Edisi Revisi, Direktorat Kebijakan Ekonomi Makro DJAPK, Departemen Keuangan dan berbagai Seri Paper MODFI (Macro Model of MoF Indonesia), terakhir edisi Paper 22, Dec 2012.

59

lain. Semua hasil regresi didasarkan atas analisa parsial. Di dalam model, analisa parsial ini

digabungkan dalam suatu sistem persamaan. Sebagai bagian dari sistem, dampak yang

secara relatif moderat dari satu variabel terhadap lainnya dapat diperkuat oleh persamaan-

persamaan yang lain. Dengan demikian, penginterpretasian kinerja setiap persamaan secara

individual perlu dilakukan secara hati-hati. Pada akhirnya, sistem tersebut secara

keseluruhan dapat bekerja yang pada gilirannya sangat menentukan suksesnya suatu

model.

5.1. Struktur Model Ekonomi Makro

Model MODFI yang dibangun sebagai model analisa kebijakan terdiri dari empat blok

utama: blok pasar barang, blok pemerintah, blok moneter, dan blok eksternal.

Pada pasar barang, produksi ditentukan oleh permintaan. Total permintaan

didefinisikan sebagai penjumlahan dari konsumsi, investasi, perubahan stok, dan ekspor

dikurangi impor. Dalam jangka pendek, total permintaan dapat tidak seimbang dengan

penawarannya. Total penawaran didefinisikan sebagai fungsi produksi yang biasa

digunakan. Fungsi produksi yang digunakan adalah model Leontief dimana besaran stok

modal merupakan kendala. Selisih antara permintaan dan penawaran kemudian diukur

dengan tingkat kapasitas utilisasi (capacity utilization rate). Dengan demikian, capacity

utilization rate merupakan tolak ukur ketidakseimbangan (disequilibrium) pada pasar

barang.

Dalam model, setidaknya terdapat dua variabel yang mendorong ke arah penciptaan

equilibrium (lihat Gambar 5.1 di bawah) yaitu harga dan investasi. Sebagai contoh,

diasumsikan bahwa capacity utilization rate berada di atas tingkat yang stabil. Hal itu

berarti terdapat kelebihan permintaan dalam perekonomian. Pertama, hal tersebut akan

meningkatkan tekanan ke atas terhadap harga-harga, yang pada gilirannya akan

mengurangi permintaan. Kedua, hal itu juga akan mendorong investasi yang lebih tinggi,

yang pada gilirannya akan meningkatkan penawaran. Dalam jangka menengah, pasar

barang akan menuju ke arah equilibrium. Dengan demikian, perubahan harga-harga

mempunyai peranan yang sangat menentukan di dalam model, terutama terhadap sisi

permintaan. Oleh karena itu, melalui mekanisme harga ini, sisi permintaan telah

mempengaruhi tingkat pertumbuhan dalam jangka pendek. Selanjutnya dalam jangka

menengah harga-harga menjamin perkembangan ekonomi yang sustainable apabila

60

pertumbuhan total permintaan sejalan dengan pertumbuhan penawaran. Oleh karena itu,

dalam jangka menengah, sisi penawaran akan menentukan tingkat pertumbuhan.

Elemen kedua adalah dampak keuntungan atas investasi. Keuntungan yang diukur di

sini adalah tingkat pengembalian investasi neto (net rate of return on investment). Pada

dasarnya, keuntungan adalah faktor utama dalam investasi dalam jangka menengah. Oleh

karena itu, keuntungan pada gilirannya sangat menentukan perkembangan kapasitas

produksi dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam model ekonomi makro yang dikembangkan ini (MODFI), blok pemerintah

mempunyai uraian yang lebih rinci. Variabel dalam sisi penerimaan negara hampir

seluruhnya bersifat endogen. Penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak sangat

dipengaruhi oleh kinerja ekonomi secara keseluruhan. Beberapa variabel pada sisi

pengeluaran bersifat endogen seperti tingkat bunga dan belanja pegawai, sedangkan

variabel-variabel lainnya bersifat eksogen karena merupakan rencana kebijakan

pemerintah.

Tingkat bunga ditentukan dalam blok moneter. Tingkat bunga dispesifikasikan dalam

persamaan turunan (derived equation) dan menentukan keseimbangan pasar uang. Sejauh

ini, tingkat bunga luar negeri belum mempunyai peranan dalam model. Nilai tukar adalah

eksogen dan diperlakukan sebagai variabel instrumen. Jika diperlukan dalam aplikasi, nilai

tukar dapat dijadikan endogen dalam simulasi.

Pada pasar tenaga kerja, tingkat penyerapan tenaga kerja sangat ditentukan oleh

permintaan, dengan asumsi terdapat persediaan tenaga kerja yang berlebih pada sektor

informal. Sektor administrasi pemerintah mempengaruhi trend upah sektor swasta. Upah

sektor pemerintah mengikuti inflasi periode sebelumnya ditambah dengan peningkatan

upah riil secara konstan.

Hubungan berbagai variabel dalam model dapat diilustrasikan melalui diagram dan

dalam box di bawah. Arah panah dalam diagram hanya menunjukkan variabel-variabel dan

hubungan yang utama saja. Diagram tersebut dibagi dalam tiga kolom: pemerintah, sektor

riil, dan harga.

Model ekonomi makro yang dikembangkan mempunyai variabel-variabel

penerimaan dan pengeluaran pemerintah secara rinci, yang dalam diagram hanya

ditunjukkan dalam tiga bagian, pendapatan, belanja, dan defisit anggaran. Pengeluran

utama pemerintah, seperti konsumsi barang dan jasa, upah dan investasi merupakan

komponen dari produksi domestik bruto. Tingkat upah sektor pemerintah diasumsikan

61

lebih atau kurang mengikuti tingkat upah sektor swasta dan konsumsi barang pemerintah

mengikuti pertumbuhan PDB. Selanjutnya, pemerintah juga harus membayar suku bunga

utang pemerintah. Untuk menghindari agar arus bagan dari tingkat bunga ke arah

pembayaran bunga tidak terlalu panjang, dalam diagram model ini pembayaran bunga dari

pemerintah digambarkan sebagai penerimaan (negatif). Sementara itu, pajak tidak langsung

berdampak langsung pada harga, sedangkan pajak langsung yang merupakan fungsi

pendapatan masyarakat, berdampak tidak langsung pada harga setelah terlebih dahulu

mempengaruhi konsumsi dan investasi.

Dalam diagram, komponen dari produk domestik bruto (PDB) diidentifikasikan

berasal dari konsumsi swasta, investasi swasta, konsumsi pemerintah, investasi pemerintah,

ekspor dan impor. Pertumbuhan konsumsi seiring dengan pertumbuhan pendapatan riil

(dengan tingkat tabungan dari pendapatan keuntungan lebih tinggi dibanding pendapatan

upah). Sementara itu, persamaan investasi dijelaskan oleh perubahan tingkat keuntungan,

suku bunga, dan tingkat utilisasi. Pertumbuhan ekspor nonmigas dipengaruhi oleh

pertumbuhan perdagangan dunia dan tingkat daya saing (harga relatif barang-barang

ekspor terhadap impor). Pertumbuhan impor sejalan dengan pertumbuhan permintaan

akhir, yang ditimbang dengan intensitas impor serta daya saing (harga relatif barang impor

dan barang domestik).

Selain komponen PDB, arus dalam diagram juga menunjukkan berbagai hal dalam

sektor riil yang bukan merupakan komponen PDB, yaitu: (1) kapasitas produksi, (2) tingkat

utilisasi (rasio antara PDB real dan kapasitas produksi. Rasio utilisasi ini mempengaruhi

harga konsumsi, harga investasi, dan volume investasi), dan (3) jumlah penyerapan tenaga

kerja dalam setahun dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil. Diagram tersebut juga

menunjukkan produktivitas tenaga kerja yang mempengaruhi upah dan biaya produksi.

Kolom harga terdapat pada kolom 3 dalam diagram yang terdiri dari: (1) harga biaya

produksi dipengaruhi oleh biaya-biaya pada sektor formal yang mencakup antara lain upah,

harga impor, harga BBM, (2) harga konsumen dipengaruhi oleh harga biaya produksi,

perubahan dalam tingkat utilisasi, dan perubahan dalam pajak tidak langsung, (3) harga

ekspor dipengaruhi oleh biaya produksi dan harga kompetitor, (4) harga investasi sama

dengan harga konsumen tanpa pajak tidak langsung, (5) tingkat upah mengikuti trend

produktivitas tenaga kerja dan inflasi, (6) tingkat bunga nominal hampir eksogen, dan (7)

nilai tukar eksogen.

62

Gambar 5.1: Struktur Model Ekonomi Makro (MODFI)

63

BOX 5.1: Persamaan Behavioral dalam MODFI

64

5.2. Variabel Primer dan Sekunder, Sektor, dan Pasar dalam Model

Ekonomi Makro

Sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 5.2, variabel dalam model ekonomi makro

dibedakan antara variabel primer dan sekunder. Pembedaan ini tidak biasa dalam

pengembangan model, namun hal ini dilakukan mengingat pendekatan model ekonomi

makro yang dipakai yaitu merupakan kombinasi model data dan model peramalan. Hal ini

dimaksudkan untuk memaksimalkan kegunaan dari model.

Variabel primer dalam model merupakan variabel eksogen atau yang diturunkan dari

persamaan behavioral. Pembedaan ini hanya relevan jika dilakukan prediksi terhadap nilai

dimasa datang. Nilai-nilai variabel untuk masa lalu merupakan akumulasi data

perekonomian dari berbagai sumber. Data tersebut merupakan basis data untuk

memprediksi nilai yang akan datang, baik yang berdasarkan variabel eksogen maupun

variabel behavioral. Secara ringkas, nilai variabel primer dalam model sudah tertentu di

masa lalu, sementara nilai di masa datang dihasilkan atas dasar persamaan eksogen atau

behavioral.

Gambar 5.2: Variabel Ekonomi

Variabel sekunder dalam model diperoleh dengan menggunakan persamaan definisi.

Nilai-nilai tersebut secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan variabel primer.

65

Dalam model ekonomi makro ini yang dikembangkan adalah setelah variabel primer di

masa lalu dan estimasi untuk masa datang terisi, maka secara otomatis variabel sekunder

terisi. Jika model diubah dengan merubah variabel primernya, variabel sekunder akan

mengikuti sesuai dengan persamaan definisinya.

Dengan demikian, persamaan dalam model ini terdiri dari dua kelompok utama:

1. Variabel primer: persamaan semi behavioral dalam blok pemerintah pusat, persamaan

behavior, dan variabel eksogen.

2. Varibel sekunder: variabel definisi (variabel pembantu dan variabel output).

7.3. Koefisien-koefisien dalam Model MODFI

Koefisien-koefisien dalam model ekonomi makro didasarkan atas:

1. Hasil analisa regresi

2. Matrik struktur produksi kumulatif (cumulative production structure matrix)

3. Kelayakan berbagai analisa varian dan base line

4. Berbagai policy measures (langkah kebijakan yang diperkirakan akan diambil,

khususnya untuk koefisien dalam persamaan fiskal)

5. Properti model jangka panjang

6. Hasil kalibrasi dari nilai koefisien awal

7. Diskusi dengan para ahli dalam berbagai workshop.

7.4. Catatan

Model MODFI dikembangkan pertama kali pada tahun 2000 atas bantuan proyek Bank

Dunia (ASEM trust fund) dan technical assistance dari MMC Micromacro Consultants

BV, Netherlands. Pada bulan Maret 2001, model MODFI untuk pertama kali selesai

dikembangkan dan digunakan untuk mendukung Departemen Keuangan dalam: proyeksi

APBN, analisis kebijakan fiskal (khususnya perpajakan) dan untuk peramalan variabel

ekonomi makro. Setelah itu berbagai seri training untuk staff Kementerian Keuangan dan

penyempurnaan model dilakukan. Setiap progress pengembangan model dan kegiatan

training terdokumentasikan di dalam serial Paper MODFI. Hingga saat ini telah terdapat 22

seri paper MODFI, edisi yang terakhir yaitu Paper 22, Desember 2012 merupakan

dokumentasi hasil pengembangan dan training MODFI Modeller BKF di kantor MMC

Micromacro Consultants BV, Netherlands.

66

Dalam beberapa tahun terakhir Model MODFI sempat vakum ketika para modeller-

nya sedang menjalani studi lanjut. Pada tahun ini dicoba untuk direvitalisasikan kembali.

Hal ini antara lain dimotivasi oleh keunggulan yang dimiliki oleh Model MODFI sebagai

salah satu model utama yang perlu tetap dikembangkan untuk melayani tugas-tugas BKF.

Keunggulan itu antara lain:

1. Model MODFI merupakan tipikal model micro-macro simulation yang mampu

menghubungkan variabel-variabel mikro dan makro ekonomi;

2. Model MODFI dapat digunakan untuk keperluan peramalan (forecasting) maupun

analisis dampak (kebijakan APBN ke ekonomi atau sebaliknya).

3. Model MODFI memiliki klasifikasi APBN secara detail sebagaimana dalam klasifikasi

I-Account, sehingga mampu menggambarkan perubahan-perubahan baik yang bersifat

peramalan maupun analisis dampak secara utuh atau keseluruhan APBN;

4. Model MODFI memiliki potensi untuk dikembangkan fitur-fiturnya dengan

menambahkan blok atau model satelit yang terhubung dengan model induk MODFI,

misalnya model satelit untuk analisis kemiskinan;

5. Model MODFI dijalankan dengan aplikasi Excel sehingga relatif mudah untuk

dikaitkan dengan beberapa model BKF lainnya yang memiliki platform aplikasi yang

sama; dan

6. Model MODFI dikuasai dengan baik oleh beberapa modeller di BKF, walaupun

sebagian besarnya sudah menjadi staf senior sehingga mendesak diperlukan regenerasi;

67

Bab 6

Model Computable General Equilibrium (CGE)

Model Keseimbangan Umum atau Computable General Equilibrium (CGE) ialah suatu

persamaan simultan nonlinier yang mensimulasikan bekerjanya perekonomian dengan

mengakomodasi penyesuaian harga dan kuantitas sebagai penyeimbang pasar faktor

produksi maupun pasar komoditi (Lewis, 1991). Jika diuraikan maka dapat didefinisikan

bahwa model CGE memiliki pengertian sebagai berikut:

– CGE adalah sebuah model yang berbentuk persamaan-persamaan matematika

– Persamaan-persamaan dituliskan dituliskan berdasarkan teori ekonomi (mostly

microeconomic theory)

– Jadi kadang CGE disebut sebagai “sistem persamaan non-linear dengan n variable dan

n persamaan”

– Karena n nya banyak, maka perlu komputer untuk menyelesaikannya

– “.. in all cases where the repercussions of proposed policies are widespread, there is

no real alternative to CGE” (Arrow, 2005, p. 13).

Saat ini ada beberapa model CGE yang dapat digunakan untuk analisis dampak suatu

kebijakan kebijakan fiskal. Deskripsi tentang berbagai model CGE tersebut akan dijelaskan

satu per satu sebagai berikut.

6.1. Model AGEFIS5 dan AGEFIS-E

6

AGEFIS (Applied General Equilibrium model for FIScal Policy Analysis) merupakan

model computable general equilibrium (CGE) yang didesain secara khusus, tapi tidak

terbatas, untuk melakukan analisis berbagai aspek kebijakan fiskal di Indonesia. Model

CGE AGEFIS dibangun dalam rangka kerjasama capacity building untuk Badan Kebijakan

Fiskal (BKF), Departemen Keuangan, Republik Indonesia bersama dengan Center for

Economics and Development Studies (CEDS), Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran.

Model ini dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan BKF untuk menganalisa

dampak berbagai kebijakan fiskal terhadap perekonomian, juga dampak dari berbagai

shocks dalam perekonomian terhadap posisi fiskal.

5 Versi lengkap tentang Model AGEFIS silakan merujuk ke paper Yusuf et al. (2008)

6 Versi lengkap tentang Model AGEFIS-E silakan merujuk ke paper Yusuf et al. (2010)

68

Tidak seperti layaknya kebanyakan model‐model CGE Indonesia yang berbasis

GEMPACK dan menggunakan data tabel IO sebagai data dasar (misal INDORANI,

WAYANG, INDOCEEM, dll), AGEFIS menggunaan data SAM. Ini mutlak diperlukan

karena untuk memfokuskan pada aspek fiskal, table IO jauh dari mencukupi. Untuk

menganalisa aspek fiskal diperlukan arus transaksi darimana saja penerimaan pemerintah,

dan kemana saja aliran pengeluaran pemerintah. Informasi ini tidak tersedia dari tabel IO.

Oleh karena itu, satu‐satunya cara adalah membangun model yang murni berbasis data

SAM (Fully SAM-based CGE model).

Sepanjang pengetahuan penulis, sampai sejauh ini, AGEFIS adalah satu‐satunya

CGE model berbasis GEMPACK yang bersifat Fully SAM-Based di Indonesia. Walaupun

secara struktur Model AGEFIS, mirip dengan model‐model SAM‐based lain yang

umumnya menggunakan software GAMS, AGEFIS didesain interface‐nya untuk

memudahkan analisa‐analisa fiskal. Pengguna bisa melakukan shock‐shock exogenous

pada berbagai variable komponen anggaran pemerintah atau melihat dampaknya secara

mudah dan cepat untuk melihat dampak sebuah shock terhadap posisi fiskal.

Model AGEFIS masih jauh dari sempurna dan memerlukan berbagai modifikasi dan

ekstensi untuk menyempurnakan. Misalnya: jumlah sektor AGEFIS yang hanya 23

komoditi kurang memberi fleksibilitas dalam melakukan simulasi sektoral yang detail.

Selain itu juga belum ada link teoritis antara penerimaan pemerintah dengan pengeluaran

pemerintah untuk investasi (capital expenditure). Di masa yang akan datang

kelemahan‐kelemahan ini bisa diperbaiki.

Semantara itu, AGEFIS-E (E singkatan dari energy) ialah modifikasi dari Model

AGEFIS pertama, untuk melakukan analisis lanjut berbagai kebijakan terkait mitigasi

perubahan iklim (climate change) dari sektor energi. Model ini dikembangkan untuk

mengevaluasi berbagai skenario pengurangan emisi karbon dari sektor energi.

Secara singkat, beberapa modifikasi yang dilakukan atas Model AGEFIS adalah

sebagai berikut: (i) disagregasi secara lebih detail untuk beberapa sektor energi baik fosil

tau penghasil karbon maupun sumber energy terbarukan secara eksplisit; (ii) perubahan di

struktur produksi sehingga memungkinkan substitusi antar jenis eumber energy dan antar

energy dengan input lainnya (dalam hal ini input primer) dan dengan sektor energi

terbarukan dalam hal ini geothermal dan hydropower; (iii) disagregasi rumah tangga

kedalam klasifikasi urban poor, urban non poor, rural poor, dan rural non poor; dan (iv)

perlakuan emisi karbon dan pajak karbon secara eksplisit.

69

Struktur model AGEFIS-E dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut. Struktur

produksi terdiri dari 33 sektor berdasar fungsi produksi Leontief dari input antara

(intermediate input) dan nilai tambah (value added). Nilai tambah merupakan fungsi

Constant Elasticity of Substitution (CES) atas factor produksi primer: modal dan tenaga

kerja. Model AGEFIS-E memperluas sektor produksi yang memungkinkan untuk substitusi

energi (Lihat Gambar 6.1).

Gambar 6.1: Struktur Produksi Model CGE AGEFIS-E

Pilihan konsumsi antara barang impor dan domestic ditentukan dengan spesifikasi

Armington. Rumah tangga memaksimalkan fungsi utilitas Cobb-Douglas dengan kendala

anggaran. Rumah tangga menerima pendapatan dari kepemilikan factor produksi dan

70

transfer dari institusi lainnya (government, corporations, dan rest of the world). Pemerintah

memperoleh pendapatan bersumber pada pajak tidak langsung, pajak langsung,

kepemilikan factor produksi dan transfer dari institusi lainnya, seperti dari rest of the

world. Pemerintah membelanjakannya dalam bentuk konsumsi, subsidi dan transfer ke

institusi lainnya.

Model AGEFIS merupakan model comparative statics yang memiliki pilihan closure

yang cukup fleksibel, yaitu: (i) long-term closure, perekonomian dalam kondisi full

employment; modal dan tenaga kerja dapat bergerak bebas antarsektor; (ii) short-term

closure dengan karakter modal tetap dan agregat tenaga kerja yang berubah (terjadi

pengangguran); (iii) short-term closure dengan karakter kondisi full employment dan

modal tetap; dan (iv) beberapa kemungkinan closure lain dari sisi fiscal. Database

AGEFIS-E disusun dengan basis Social Accounting Matrix (SAM) 2005 dengan beberapa

pengembangan lanjut untuk features energy dengan bantuan Badan Pusat Statistik.

6.2. Model INDOFISCAL

Model CGE INDOFISCAL dikembangkan oleh Amir (2011) dalam disertasinya. Aspek

pemodelannya merupakan rumpun Model ORANI-G (2003) dan dikombinasikan dengan

fitur-fitur dari Model Applied General Equilibrium Model for Fiscal Policy Analysis

(AGEFIS) yang dikembangkan oleh Yusuf et al. (2008). Adopsi fitur AGEFIS digunakan

untuk mengakomodasi informasi-informasi penting dalam Social Accounting Matrix

(SAM) yang tidak dicakup dalam Tabel Input-Output (IO), khususnya yang terkait

transaksi antar institusi atau agen dalam perekonomian. AGEFIS merupakan model CGE

berbasis penuh SAM yang pertama kali di Indonesia dengan fokus target penggunaan

untuk alat analisis kebijakan fiscal. Model CGE dengan basis SAM memiliki informasi

yang lebih kaya khususnya dalam kemampuannya menyajikan informasi arus transaksi

pemerintah baik dari sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran. Tidak hanya arus transaksi

yang dilakukan oleh pemerintah namun juga rumah tangga, perusahaan dan rest of the

world.

Struktur teoritis dalam Model INDOFISCAL mengikuti Johansen approach, yaitu

persamaan-persamaannya disajikan dalam bentuk linearisasi persentasi perubahan bukan

dalam bentuk persamaan level. Pendekatan ini juga digunakan oleh kebanyakan model

CGE Australian style seperti ORANI (P.B. Dixon et al., 1982) and MONASH (Peter B.

71

Dixon and Rimmer, 2002). Dalam hal pengembangan kategori rumah tangga untuk

mampu menggambarkan pola distribusi pendapatan dan kemiskinan ke dalam model,

digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Yusuf (2007).

Struktur produksi

Struktur produksi model INDOFISCAL diilustrasikan seperti dalam Gambar 6.2. yaitu

mengikuti pendekatan beberapa model sebelumnya, antara lain: ORANI-G (Horridge,

2003), dan WAYANG (Wittwer, 1999). Industri di dalam model merupakan industry

dengan output komoditas tunggal; menggunakan input baik dari komoditas domestik

maupun impor, faktor produksi primer dan biaya lain-lain. Faktor produksi primer terdiri

atas modal dan 16 jenis tenaga kerja sebagaimana klasifikasi dalam SAM 2005.

Output dihasilkan dari tiga level proses. Pada level teratas, output produksi setiap

industri memerlukan intermediate input, faktor primer dan biaya lain-lain. Biaya lain-lain

terdisi atas semua pajak atau subsidi pada kegiatan produksi. Semua input ini mengikuti

fungsi fixed-proportion relationship menurut Leontief sebagaimana prinsip dalam Tabel

IO. Dengan fungsi persamaan ini, misalnya terdapat banyak tersedia intermediate input

bagi sutu industri, tidak berarti bahwa level produksi akan selalu meningkat. Hal ini

tergantung dari ketersediaan faktor produksi lainnya seperti input primer tenaga kerja atau

mesin untuk tetap menjaga bahwa semua input produksi dalam proporsi yang tetap sama.

Pada level yang lebih rendah, ada dua kelompok persamaan: komposisi domestik

atau impor dari intermediate input dan proporsi faktor produksi primer. Pertama,

permintaan intermediate input untuk setiap industry mengikuti fungsi minimisasi biaya

produksi melalui substitusi barang domestik dan impor menurut asumsi Armington

(Armington, 1969). Untuk meminimisasi biaya, produsen memilih untuk membeli bahan

baku baik dari pasar domestik atau impor yang memberikan harga yang termurah. Jika

harga bahan baku di pasar domestik meningkat dan menjadi lebih mahal secara relatif

maka produsen akan mengalihkan untuk membeli dari pasar impor. Proses substitusi ini

dipengaruhi oleh CES (Armington) parameter untuk menghasilkan respon yang realistis

atas perubahan harga. Kedua, minimisasi biaya permintaan atas faktor primer juga

menggunakan fungsi CES. Sama dengan prosedur dalam permintaan intermediate input,

produsen akan mensubstitusi input yang lebih mahal secara relatif (modal atau tenaga kerja

komposit) dengan yang relatif lebih murah.

72

Pada level paling bawah, terjadi minimisasi biaya permintaan terhadap tenaga kerja

komposit dengan fungsi CES terhadap kombinasi atas 16 jenis tenaga kerja. Jenis tenaga

kerja yang lebih murah akan mensubstitusi jenis tenaga kerja yang lebih mahal secara

relatif sedemikian rupa sehingga menghasilkan biaya tenaga kerja yang paling minimal.

Gambar 6.2: Struktur produksi Model INDOFISCAL

Sumber: Horridge (2003)

Permintaan investasi

Struktur permintaan akhir untuk investasi bagi industri sangat mirip dengan struktur

produksi kecuali bahwa untuk investasi tidak memerlukan faktor primer dan biaya lain-

lain. Modal diasumsikan dihasilkan dengan input baik dari domestik maupun impor.

Permintaan investasi diturunkan dari dua proses minimisasi biaya. Pada level pertama, total

biaya dari komoditas domestik dan impor diminimisasi dengan fungsi produksi CES. Pada

level kedua, diatasnya, total biaya atas kombinasi komoditas diminimasi dengan fungsi

produksi Leontief. Total nilai investasi untuk tiap industri ialah eksogen dan didefinisikan

dalam persamaan yang lain.

Imports

Output

Intermediate inputs (i to n)

Domestic

CES

Primary factors

Capital Labour Composite

Other costs

Leontief

CES

Labour 1 Labour 16

CES

. up to .

Key

Functional form

Inputs or Outputs

73

Household demands

Ada 200 rumat tangga di dalam model. Tiap rumah tangga memaksimalkan utilitasnya

dengan memilih komoditas yang dikonsumsi dalam batasan anggaran. Persamaan

maksimasi utilitas rumah tangga pada prinsipnya mirip dengan persamaan permintaan

investasi. Perbedaannya bahwa kombinasi komoditas menggunakan fungsi utilitas Klein-

Rubin yang merupakan linear expenditure system (LES).

Dalam fungsi ini, alokasi pengeluaran rumah tangga untuk mengkonsumsi kombinasi

komoditas yang dibedakan dalam dua jenis permintaan: ‘subsistence demand’ untuk

permintaan barang yang tidak dipengaruhi oleh harga dan ‘luxury demand’ untuk porsi

konsumsi atas komoditas yang dipengaruhi oleh harga (Horridge, 2003).

Fungsi utilitas rumah tangga hanya menjelaskan komposisi permintaan komoditas

oleh rumah tangga untuk memaksimalkan utilitasnya. Sementara total konsumsi rumah

tangga di perekonomian dihasilkan dari total pendapatan disposable yaitu pendapatan

keseluruhan rumah tangga dikurangi pajak penghasilannya. Lebih detail akan dijelaskan

dalam bagian pembahasan tentang institusi dalam model.

Permintaan ekspor

Terdiri atas dua kelompok permintaan: individual dan kolektif. Untuk ekspor individual,

permintaan luar negeri berbanding terbalik dengan harga komoditas tersebut. Untuk ekspor

kolektif, permintaan luar negeri berbanding terbalik dengan rata-rata harga untuk

keseluruhan komoditas kolektif yang diekspor.

Institusi

Terdapat empat institusi di dalam model: rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan rest of

the world (ROW). Rumah tangga merupakan sumber factor produksi, mendapatkan

penghasilan atas kepemilikan factor produksi (tenaga kerja dan modal). Penghasilan rumah

tangga juga berasal dari transfer dari pemerintah, perusahaan, luar negeri (ROW) dan dari

rumah tangga lainnya. Penghasilan rumah tangga dikurang pajak penghasilan merupakan

pendapatan disposable, dan pajak merupakan persentase atas penghasilan. Sebagian

pendapatan disposable dibelanjakan dan sisanya disimpan sebagai tabungan rumah tangga.

Pendapatan perusahaan terdiri atas penghasilan atas kepemilikan factor produksi

(modal) dikurangi pajak penghasilan badan, dan transfer dari institusi yang lain. Belanja

74

perusahaan berupa pembayaran atau transfer ke institusi yang lain. Saldonya merupakan

tabungan perusahaan.

Pendapatan pemerintah merupakan total penerimaan dari berbagai sumber

pendapatan, yaitu: (i) pajak tidak langsung; (ii) pendapatan dari ekspor; (iii) tariff impor;

(iv) pajak penghasilan (rumah tangga); (v) pajak penghasilan badan; (vi) transfer dari

ROW; dan (vii) pendapatan dari kepemilikan factor produksi. Belanja pemerintah terdiri

atas konsumsi barang dan jasa, dan transfer ke institusi lain baik domestik maupun luar

negeri. Belanja lain berupa subsidi baik subsidi atas komoditas maupun subsidi ke industry.

Pendapatan pemerintah dikurangi belanjanya merupakan saldo (surplus) anggaran.

Pada ROW, pendapatan luar negeri merupakan pendapatan dari kepemilikan faktor

produksi oleh ROW, pembayaran yang diterima dari impor komoditas dan transfer dari

institusi lainnya. Pengeluaran luar negeri terdiri atas belanja dari barang yang diekspor,

pembayaran untuk faktor produksi dan transfer ke institusi yang lain. Saldonya merupakan

tabungan luar negeri.

Closure

Dalam model CGE comparative static, reaksi perekonomian atas shock kebijakan hanya

dalam satu periode waktu, sehingga solusi yang berupa perubahan dalam beberapa waktu

atau periode tidak bisa dihasilkan. Tetapi dapat dihasilkan dalam dua periode: short-run

dan long-run. Dalam model ini, closure short-run dan long-run dibedakan oleh variable

eksogen di pasar faktor. Pada short-run, diasumsikan bahwa tidak cukup waktu untuk

melakukan penambahan modal (tidak ada investasi). Modal spesifik terhadap sector dan

fixed serta tidak bisa berpindah antarindustri. Rate of return modal berubah untuk

merefleksikan perubahan permintaan modal. Closure short-run juga mengasumsikan

bahwa waktu tidak memadai untuk melakukan penyesuaian kontraktual tenaga kerja. Maka

tingkat upah riil diasumsikan tetap/tidak berbah. Ini berarti bahwa ketenagakerjaan secara

agregat dapat berubah mengikuti perubahan di pasar tenaga kerja.

Di sisi lain, closure long-run, tingkat upah riil dibuat fleksibel untuk menjaga

ekonomi berada dalam kondisi full-employment. Tenaga kerja dapat berpindah antarsektor

dan antarjenis pekerjaan. Selain itu, modal dapat berubah dan bergerak antarsektor. Rate of

return modal pada level nasional dibuat tetap tetapi pada level sector dapat berubah sejalan

dengan pertumbuhan modal sektoral. Variabel eksogen untuk short-run dan long-run

adalah tariff pajak, impor, transfers antarinstitusi dan perubahan teknologi.

75

Dalam aplikasi kebijakan, simulasi juga dibedakan dalam dua kondisi: budget

neutrality untuk long-run dan non-budget neutrality untuk short-run. Dalam kondisi non-

budget neutrality, kebijakan kenaikan perpajakan akan menaikkan pendapatan Negara dari

pajak tahun berjalan, ketika pemerintah tetap menjaga level belanjanya (tidak berubah)

maka deficit anggaran akan menurun. Namun, dalam kondisi budget neutrality, tambahan

pendapatan perpajakan akan dialokasikan untuk meningkatkan belanja pemerintah secara

proporsional sehingga level deficit anggaran tidak berubah. Sebagai catatan bahwa model

CGE ini belum mengakomodasi perubahan anggaran pemerintah dari aspek keuangan. Hal

ini memungkinkan untuk model CGE financial (Financial CGE Model).

Database Model

Database model dikonsolidasikan dari tiga sumber data utama: (a) Table IO; (b) SAM; dan

(c) Susenas. Semua data merupakan publikasi BPS-Statistics Indonesia. Ada dua langkah

utama untuk mengkonsolidasi ketiga sumber data ini. Pertama, menambah klasifikasi

rumah tangga pada Tabel IO dan SAM dengan menggunakan informasi distribusi

pengeluaran berdasar data Susenas. Kedua, menggabungkan dan mengkonsolidasi data IO

dan SAM yang telah ditambahkan klasifikasi rumah tangganya. Dengan demikian database

model mampu mengakomodasi berbagai keunggulan informasi yang dimiliki oleh sumber

data utama ini. Proses konstruksi database secara sederhana dapat diilustrasikan

sebagaimana dalam Gambar 8.3. Saat ini model INDOFISCAL memiliki tiga benchmark

database: (1) Benchmark data 2005 dengan 24 sektor industry; (2) Benchmark data 2005

dengan 175 sektor industry; dan (3) Benchmark data 2008 dengan 66 sektor industri.

Penggunaan database ini disesuaikan dengan kebutuhan analisis kebijakan yang akan

disimulasikan.

Contoh Analisis dengan Model CGE INDOFISCAL

Beberapa analisis kebijakan yang pernah dilakukan dengan menggunakan model CGE

INDOFISCAL antara lain sebagai berikut:

3. Analisis dampak stimulus fiskal aspek perpajakan dalam mengantisipasi krisis tahun

2009 (Amir, 2012b; Amir et al., 2013);

4. Analisis dampak pengenaan pajak ekspor bijih mineral dan hasil tambang mentah 2012

(Amir, 2012a); dan

5. Analisis dampak kenaikan besaran PTKP 2012 (Amir and Hewings, 2013);

76

Gambar 6.3: Proses Konstruksi Database Model

Absorption Matrix

1 2 3 4 5 6

Producers Investors Household Export Government Change in

Inventories

Size I I H 1 1 1

Basic Flows

C x S

V1BAS V2BAS V3BAS V4BAS V5BAS V6BAS

Margins

C x S x M

V1MAR V2MAR V3MAR V4MAR V5MAR n/a

Taxes

C x S

V1TAX V2TAX V3TAX V4TAX V5TAX n/a

Labour

O

V1LAB

Capital

1

V1CAP

Production Tax

1

V1PTX C = Number of Commodities I = Number of Industries S = 2: Domestic, Imported,

Other Costs

1

OCT O = Number of Occupation Types H = Number of Household Categories M = Number of Commodities used as Margins

Production

Matrix Import Duty

Size I Size 1

C

MAKE

C

V0TAR

Kombinasi dan kompilasi fitur IO-SAM lainnya

Kombinasi Fitur Rumah Tangga IO-SAM termasuk : - links penghasilan RT dengan factor

income (upah dan gaji dan capital income)

- links konsumsi RT dengan permintaan RT

Perluasan Kategori RT IO household kategori

SUSENAS Modul Konsumsi dan Penghasilan

SurveI tentang karakteristik sosial-ekonomi Rumah Tangga termasuk penghasilan dan pengeluaran untuk berbagai komoditi.

Percentile expenditure dan income per capita for

rural dan urban areas

SAM (24 industri x 24 komoditas)

Matriks yang menggambarkan aliran uang antara pelaku dan sektor ekonomi : Rumah Tangga (10 kategori):

• konsumsi (domestik & impor) • faktor produksi : 16 tenaga kerja dan 1 capital • Pajak Perseorangan (PIT) • Transfer ke dan dari pelaku lainnya

Faktor produksi dari pelaku lainnya Transfer antar pelaku ekonomi : pemerintah,

perusahaan, dan ROW APBN : Pajak Perusahaan; Pajak Tidak Langsung;

Bea Masuk; Subsidi; Factor Income dan Konsumsi

Perluasan SAM kategori Rumah Tangga : (100 pedesaan + 100 perkotaan)

Penghasilan Rumah Tangga : Gaji dan Upah (16 jenis) Capital income Transfer dari : Rumah tangga (200),

pemerintah, perusahaan, dan ROW

Household Expenditure: Pajak Perseorangan/PIT (200 h.) Transfer ke : Rumah tangga (200), pemerintah,

perusahaan, dan ROW (24 domestik, 24 impor)

MODEL DATABASE Kombinasi IO dan SAM dengan kategori Rumah

Tangga yang diperluas

200 Rumah Tangga (100 pedesaan + 100 perkotaan)

Berdasarkan distribusi penghasilan dan pengeluaran

Komponen IO yang sangat diperlukan adalah produksi output dan komposisi harga

Komponen SAM yang sangat diperlukan adalah transaksi inkorporasi antar pelaku ekonomi

IO

77

6.3. Model CGE Berbasis Web7

Suatu model perekonomian dibangun dengan tujuan untuk memahami perilaku nyata

dalam suatu perekonomian. Dengan membangun suatu model yang tepat, ekonom dapat

mempelajari sebab dari suatu peristiwa ekonomi beserta dampaknya. Ada banyak model

perekonomian yang dapat digunakan, salah satunya adalah model Computable General

Equilibrium (CGE).

Model CGE dapat membantu kita untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang

kejadian dan interaksi yang terjadi dalam suatu perekonomian. Model CGE memodelkan

perekonomian secara keseluruhan, mulai dari pelaku/agen-agen yang terlibat dalam

perekonomian, beserta perilaku dan interaksinya dalam suatu perekonomian.

Gambar 6.4: Agen-agen yang terlibat dalam perekonomian beserta interaksinya

Sebagaimana gambar 6.4 diatas, ada berbagai pelaku/agen-agen yang terlibat dalam

suatu perekonomian sebagai contoh produsen, rumah tangga, dan pemerintah. Agen-agen

perekonomian tersebut mempunyai perilaku dan motifnya masing-masing serta saling

berinteraksi di dalam perekonomian. Misalkan produsen mempunyai periaku

7 Versi lengkap tentang Model CGE Berbasis Web silakan merujuk Laporan Hasil Kajian Tim-PKPN (2012) tentang Pembentukan Model Pengukuran Dampak Atas Pemberian Fasilitas/Insentif Perpajakan Pada Sektor Industri Nasional

78

memaksimalkan keuntungan, sedangkan pengguna barang/jasa mempunyai perilaku

memaksimalkan utilitas. Motif-motif inilah yang membentuk interaksi dari agen-agen

tersebut dalam perekonomian. Inilah yang dicoba untuk dimodelkan dalam model CGE.

Penggunaan Model CGE dalam bidang perekonomian telah meluas selama 25 tahun

terakhir (Burfisher, 2011). Penggunannya lebih detekankan untuk menganalisis dampak

dari suatu kebijakan terhadap perekonomian secara keseluruhan. Model CGE disusun

berdasarkan teori ekonomi makro dan mikro, teori keuangan, teori perdagangan dan teori-

teori perekonomian yang lain. Kelebihan model CGE antara lain:

- Sifatnya general equilibrium

- Analisis terhadap banyak sektor beserta keterkaitan antar sektor

- Adanya peran harga dalam supply dan demand

- Analisis short term dan long term

Namun demikian model ini memiliki kelemahan yaitu adanya kebutuhan data yang

besar dan kompleksitas dalam bahasa pemodelannya. Hal ini yang sering membuat orang

menjadi kesulitan dan akhirnya enggan memanfaatkan model tersebut.

Gambar 6.5: Bahasa Pemodelan Tablo pada Gempack

Model CGE biasanya terdiri dari ribuan baris bahasa pemodelan tablo seperti

dicontohkan pada gambar 6.5 diatas. Dari sini sudah terbayang kompleksitas yang akan

79

dihadapai dalam melakukan pemodelan CGE. Selain kompleksitas dari sisi pemodelan,

kelemahan lain dari model ini adalah susah mencerna hasil dari simulasinya sehingga

model ini sering disebut dengan istilah “Black Box”. Hal ini dikarenakan model ini

menghasilkan banyak angka output/variabel, sedangkan angka variable tersebut susah

ditelusuri darimana asalnya karena besarnya ukuran model.

Dari sini muncul suatu ide untuk melakukan suatu inovasi agar model ini dapat

dengan mudah dioperasionalkan dan dipahami oleh ekonom/penggunanya. Model harus

diracang ulang sedemikian rupa sehingga kerumitan yang ada pada model tidak tampak

lagi pada penggunanya. Solusi yang dicoba adalah dengan mengembangkan lebih lanjut

dan mengintegrasikan model CGE ke dalam aplikasi berbasis web.

Teknologi Web-Based

Aplikasi berbasis web (Web Based Application) adalah aplikasi yang dapat diakses melalui

web, baik itu jaringan internet maupun intranet. Aplikasi jenis ini dapat diakses melalui

web browser, itu artinya aplikasi ini dapat dijalankan dengan mudah dari manapun dan

kapanpun pada saat dibutuhkan. Karena kemudahannya tersebut, penggunaan aplikasi

berbasis web akhir-akhir ini semakin meluas baik di dalam organisasi privat maupun

pemerintah. Aplikasi berbasis web ini umumnya digunakan untuk merencanakan sekaligus

untuk mengelola sumber daya yang ada di dalam berbagai perusahaan/organisasi. Dewasa

ini aplikasi jenis ini populer dengan istilah cloud computing.

Pemanfaatan aplikasi berbasis web ini mulai berkembang di Kementerian keuangan

sejak lima tahun terakhir. Pemanfaatannya dapat kita lihat antara lain dapat ditemui dari

mulai aplikasi database pegawai sampai dengan Dashboard Bussines Inteligence

(BI)/Early Warning System (EWS) Kementerian Keuangan. Keunggulan aplikasi berbasis

web antara lain:

1. Dapat diakses dimanapun dan kapanpun pada saat dibutuhkan melalui web browser,

tanpa harus menginstall software di komputer

2. Dapat diakses secara bersama-sama oleh banyak pengguna (multi-users)

3. Dapat dijalankan di berbagai sistem operasi

4. Dapat diakses melalui banyak media seperti komputer, laptop, tablet, smartphone, dll

5. Aplikasi dapat di desain dan disesuaikan untuk berbagai jenis industri/keperluan

6. Dapat dilakukan pengaturan terhadap siapa saja yang bisa mengakses aplikasi, dan

sampai sejauh mana aksesnya

80

Sedangkan kelemahan dari aplikasi berbasis web adalah adanya ketergantungan

terhadap jaringan internet/intranet selama menjalankan aplikasi.

Gambar 6.6: Konsep Web-Based CGE yang dikembangkan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, aplikasi berbasis web dapat di desain dan

disesuaikan untuk berbagai jenis keperluan termasuk untuk keperluan analisis. Dengan

mengembangkan aplikasi berbasis web secara khusus dan mengintegrasikannya dengan

model CGE, diharapkan dapat membuat model CGE yang ada menjadi lebih efisien dan

efektif dalam melakukan analisis perekonomian. Efisien dan efektif disini dapat dartikan

bahwa model CGE menjadi lebih mudah dipahami dan lebih cepat dalam melakukan

simulasi dan analisis terhadap suatu kebijakan di bidang perekonomian.

Secara ilustratif, pembuatan web based CGE model dengan menggunakan model

CGE INDOFISCAL dengan database benchmark tahun 2008 adalah sebagaimana disajikan

dalam Gambar 6.7. sebagai berikut:

Web-Based CGE

81

Gambar 6.7: Ilustrasi Proses Kerja Web-based CGE Model

Proses pengembangan Web-Based CGE Model

Salah satu tugas utama Pusat Kebijakan Pendapatan Negara adalah untuk melaksanakan

analisis dan penyusunan kebijakan teknis di bidang kebijakan pendapatan negara. Tugas

dari PKPN tersebut mencakup analisis dampak dari berbagai kebijakan pendapatan negara

yang meliputi pajak, cukai, bea masuk, bea keluar, dll. Selain itu PKPN juga dituntut untuk

dapat melakukan analisis kebijakan tersebut dalam waktu yang cepat. Agar dapat

memenuhi berbagai tuntutan tugas ini dengan baik, maka PKPN harus dibekali dengan alat

analisis yang handal. Atas dasar inilah dipilih model CGE karena model tersebut sesuai

dengan karakteristik tuntutan pekerjaan di PKPN.

Namun demikian sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model CGE mempunyai

kelemahan yaitu model ini sangat kompleks dari sisi pemodelan, dan sifatnya yang “black

box”, sehingga dibutuhkan suatu inovasi agar model ini dapat dengan mudah

dioperasionalkan dan dipahami oleh ekonom/penggunanya. Atas dasar hal tersebutlah

maka dirancang suatu model Web-based CGE.

82

Gambar 6.8: Proses Pengembangan Web-Based CGE

Proses pengembangan Web-Based CGE menganut metodologi System Development

Live Cycle (SDLC) dimana pengembangan model dibagi menjadi empat tahapan utama

yaitu Planning & Analysis, Design, Implementation dan Testing. Adapun software yang

digunakan dalam pengembangan Web-Based CGE antara lain SAS, GAMS, Visual Studio,

dan beberapa software pendukung lainnya.

Pada tahapan pertama (Planning & Analysis), ditentukan tujuan pembangunan

model, model CGE yang digunakan, simulasi apa saja yang akan dilakukan, dan variable

apa saja yang akan dihasilkan. Dari sisi tujuannya, pembangunan model ini disesuaikan

dengan tuntutan tugas di PKPN yaitu mencakup analisis dampak dari berbagai kebijakan

yang terkait dengan pendapatan Negara yang meliputi PPN, cukai, bea masuk, bea keluar,

dan PPh. Sedangkan untuk Model CGE yang akan dikembangkan lebih lanjut, digunakan

model INDOFISCAL yang dikembangkan oleh Amir (2011) karena model tersebut sudah

dilengkapi dengan variabel-variabel fiskal yang telah desesuaikan dengan kebutuhan

analisis di BKF.

Pada tahapan kedua (Design), konsep model yang dibangun sudah mulai disusun ke

dalam suatu rancangan. Rancangan dapat berupa rancangan fitur-fitur apa saja yang ada di

dalam model, mulai dari tampilan simulasi sampai dengan tampilan report/laporan yang

akan dihasilkan. Untuk Tampilan simulasi dibagi menjadi empat tampilan utama simulasi

83

yaitu simulasi perubahan indirect tax (PPN/Cukai), simulasi perubahan tarif bea masuk,

simulasi perubahan tarif bea keluar, dan simulasi perubahan PPH Badan. Sedangkan untuk

tampilan report/laporan yang dihasilkan dalam model ini didesain menjadi lima

kategori/indikator utama, yaitu indikator Makro, Indikator Industri/sektoral, indikator

Perdagangan/Trade, Indikator Fiskal, dan Indikator Rumah Tangga (Household). Masing-

masing indikator tersebut terdiri dari berbagai variable yang menyusunnya sebagaimana

dapat dilihat pada Gambar 6.9.

Gambar 6.9: Indikator dan variabel yang dihasilkan oleh model dalam bentuk report

Pada tahapan ketiga (Implementation), model mulai dikembangkan sesuai desain

yang telah ditentukan. Pada tahapan ini dilakukan konstruksi dan integrasi Web-Based

CGE berdasarkan desain yang telah ditentukan. Tahapan ini adalah tahapan yang paling

menyita waktu karena memerlukan perancangan script/kode progam ASP dan integrasi

berbagai aplikasi dan database. Setelah model berjalan dengan sempurna, baru kemudian

model tersebut dipasang di server agar dapat dilakukan pengetesan oleh pengguna.

Pada tahapan keempat (Testing), dilakukan berbagai skenario/tes terhadap model.

Proses testing ini dilakukan untuk mendapatkan keyakinan bahwa model dapat bekerja

dengan sempurna/tanpa error, dan arah analisis yang dilakukan oleh model benar dan

sesuai dengan teori ekonomi. Setelah melewati keempat tahapan tersebut, maka model siap

dimanfaatkan untuk melakukan analisis di bidang pendapatan Negara.

Secara ilustratif, sederhananya apa yang kami lakukan dalam pengembangan

Aplikasi Web-based CGE Model adalah sbb:

1. Mengintegrasikan pengolahan data statistik yang besar (IO+SAM+Susenas) dan

bahasa pemodelan dalam Gempack Software, proses pengolahan dan transformasi data

84

oleh Software SAS agar mampu dibaca software web design ASP.net dan

menyajikannya dalam bentuk online.

2. Mentransformasi perintah-perintah untuk melakukan simulasi kebijakan yang

sebelumnya dalam bahasa Tablo yang rumit menjadi opsi-opsi yang user friendly di

desktop.

85

3. Menyajikan hasil simulasi kebijakan dalam grafik dan data excel yang siap saji.

4. Aplikasi Web-based CGE Model dapat diakses melalui jaringan kantor di alamat:

10.242.149.103. Untuk mendapatkan akses login dan password silakan menghubungi

[email protected] atau [email protected].

86

Karakteristik, Tantangan dan Peluang Pengembangan Model ke Depan

Web-Based CGE dibangun dengan tujuan menggabungkan kelebihan dari masing masing

Model CGE dan aplikasi berbasis web. Berikut adalah karakteristik dari model yang telah

dibangun:

• Menghindari ‘rumit’-nya model besar (CGE),

• Cepat - dalam simulasi typical policy

• Output yang generic; grafik dan excel

• Visualisasi atas dampak kebijakan yang lebih baik

• Dapat diakses dari manapun, kapanpun

• Sifatnya general equilibrium

• Adanya keterkaitan antar sektor

• Analisis short term dan long term

Perlu diperhatikan dalam penggunakan model ini, bahwa suatu model hanya sebuah

tool, sehingga hasil analisisnya harus tetap membutuhkan evaluasi dari para ahli

perekonomian (expert judgement) dan juga perlu dilakukan diskusi atas hasil analisis

tersebut.

Adapun untuk tantangan dan peluang pengembangan model ke depan masih sangat

terbuka, antara lain:

Model dapat dikembangkan ke dalam sektor-sektor yang lebih rinci sesuai kebutuhan

dan tujuan analisis

Peluang pengembangan variabel dan equation sangat terbuka

Peluang pengembangan menjadi model dinamik

Peluang pengembangan menjadi model inter-regional

Peluang optimalisisasi model, sehingga kecepatan pemrosesan model bisa lebih

maksimal

Pengembangan model adalah suatu proses iterasi yang berjalan terus menerus,

sehingga dengan evaluasi dan pengembangan yang terus berjalan dibarapkan model akan

semakin matang dan dapat melakukan analisis dengan lebih baik.

6.4. Model Financial CGE Transportation Network

Model Financial CGE Transportation Network (FCGE-TN) merupakan suatu model

integral yang mengkombinasikan sektor riil perekonomian dengan aspek keuangan dan

model aksesibilitas transportasi. Model ini memiliki keunggulan untuk diterapkan dalam

87

analisis dampak ekonomi atas belanja investasi di sektor transportasi dengan

mempertimbangkan berbagai pilihan alternatif sumber pendanaannya. Model ini

dikembangkan untuk memadukan interaksi antara real-side dan financial-side di dalam

perekonomian. Sektor produksi terdiri atas 9 sektor: agriculture, mining, manufacturing,

utility, construction, hotel and restaurant, transportation and communication, finance, and

other sectors. Terdapat 8 institusi ekonomi: households (Rural Low, rural high, Urban

Low and urban high), corporations, financial institutions (including the central bank),

government, and rest of the world. Blok real-side menggambarkan perilaku produsen dan

konsumen di dalam perekonomian mengikuti prinsip perubahan harga untuk market-

clearing, memaksimalkan laba perusahaan dan utilitas rumah tangga. Komoditas berasal

dari produksi domestic dan impor dan didistribusikan secara spasial untuk konsumsi

domestik dan ekspor. Harga komoditas diasumsikan untuk berubah mengikuti

keseimbangan antara permintaan dan penawaran baik dalam pasar factor produksi atau pun

pasar komoditas. Ukuran kemakmuran terdiri atas kemakmuran riil dan keuangan, dan

diklasifikasikan ke dalam instrument keuangan. Gambar 6.10 mengilustrasikan skema

struktur model FCGE-TN.

Gambar 6.10: Skema Struktur Model FCGE-TN

Source: Kim et al. (2012)

Struktur produksi dalam model terdiri atas dua level. Pada level atas, output tiap

industri dihasilkan oleh dua level fungsi produksi yang terpisah, value-added dan komposit

88

input antara, menurut fungsi Leontief yaitu output industri dihasilkan dalam proporsi tetap

antara valua added dan komposit input antara. Tenaga kerja diasumsikan homogen dan

dapat bergerak antarsektor, sementara stok kapital diasumsikan tetap dalam jangka pendek.

Permintaan tenaga kerja dihasilkan dari turunan pertama fungsi maksimasi value-added

produsen, dimana upah rata-rata merupakan hasil keseimbangan antara total permintaan

tenaga kerja dan total penawarannya. Input antara didapatkan dari koefisien input-output.

Value-added dihasilkan dari fungsi produksi atas input tenaga kerja dan kapital dengan

fungsi Hicks’ neutral dan factor eksternal seperti aksesibilitas. Aksesibilitas didefinisikan

sebagai representasi kedua faktor skala dan kedekatan populasi dan aktivitas ekonomi

sebagai proksi atas kualitas jasa transportasi dan potensi pembangunan. Hal ini diukur

sebagai jumlah tertimbang dari populasi atas 440 kabupaten/kota di Indonesia dalam

bentuk gravity-typed form (Kim et al., 2004). Waktu tempuh (travel time)

antarkabupaten/kota dikalibrasi dengan jarak terdekat antarkabupaten/kota dengan GIS,

suatu pendekatan di luar model.

Pada level kedua, pasar domestic diasumsikan sebagai price taker terhadap pasar

dunia. Oleh karena itu, perdagangan ke luar negeri mengikuti small-country assumption

dan pendekatan Armington. Substitusi tidak sempurna dimungkinkan antara produk

domestik dan impor pada sisi permintaan sebagaimana juga domestic produk dan ekspor

pada sisi penawaran.

Total permintaan barang dan jasa terdiri atas permintaan input antara, total konsumsi

rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi. Pendapatan rumah tangga terdiri atas

gaji, pendapatan dari kepemilikan modal dan transfer dari institusi lainnya. Rumah tangga

membayar biaya bunga dan sewa, transfer ke institusi lainnya termasuk pajak dan

menggunakan pendapatan disposabelnya untuk konsumsi dan tabungan. Perusahaan dan

institusi keuangan mendapatkan pendapatan capital dari investasi riil capital dan

pendapatan lainnya seperti pendapatan bunga, sewa dan dividen, serta transfer dari institusi

lainnya. Pengeluaran pemerintah terdiri atas belanja untuk konsumsi dan investasi, subsidi

kepada produsen dan rumah tangga, transfer ke institusi keuangan dan ROW, serta dalam

bentuk tabungan pemerintah. Sementara itu, sumber pendapatannya terdiri atas penerimaan

pajak, impor luar negeri dan kepemilikan pemerintah atas aset financial.

Model FCGE-TN memiliki spesifikasi pasar sector keuangan seperti: uang (deposits),

domestic bonds, equity dan real capital. Total kemakmuran (wealth) terdiri atas real wealth

dan financial wealth. Real wealth terdiri atas mesin-mesin dan bangunan; financial wealth

89

terdiri atas: government bonds, dan berbagai aset finansial seperti kepemilikan modal,

deposito (uang) dan obligasi swasta.

Gambar 6.11: Total Wealth Demand Structure

Total Wealth

Financial Wealth

Real Wealth (g1)

(1-g1)

Composite Financial

Wealth

National Bond

(1-g2)*(1-g1)

(g2)*(1-g1)

Model FCGE-TN ini menggunakan sumber data utama Financial Social Accounting

Matrix (FSAM) tahun 2005 dan beberapa sumber data pendukung lainnya terkait seperti:

data aksesibilitas, ketenagakerjaan dan populasi berdasarkan daerah kabupaten/kota dan

propinsi di Indonesia. Data FSAM 2005 merupakan prototype pengembangan FSAM

pertama kali di Indonesia, sebagai hasil kerja sama Bank Indonesia dan BPS. Karena

bersifat prototype maka klasifikasinya masih kurang detail. Selain itu, karena dibangun

‘based on project basis’ maka keberlanjutan ketersediaan data tersebut untuk

pengembangan model lebih lanjut juga perlu dipertimbangkan.

Tipikal kebijakan yang dapat dianalisis dengan menggunakan Model FCGE-TN

antara lain:

(1) analisis dampak pembangunan infrastruktur dengan berbagai skema pembiayaan,

(2) analisis dampak kebijakan sektor keuangan,

(3) analisis dampak sebagaimana model CGE yang lainnya akan tetapi dengan kekayaan

informasi sektor keuangannya.

Namun demikian data Finansial SAM 2005 yang dikembangkan oleh Bank Indonesia dan

BPS masih bersifat prototype sehingga informasi yang ada masih terlalu global. Sementara

dalam perspektif kebijakan diperlukan informasi yang relatif lebih detail. Model FCGE-TN

berpeluang untuk dikembangkan untuk memiliki kapasitas analisis yang lebih besar dengan

memanfaatkan data-data terutama Finansial SAM yang lebih detail untuk versi tahun yang

akan datang.

90

Model FCGE-TN ini dikembangkan dengan bantuan tenaga ahli yaitu: Prof. Geoffrey

JD Hewings dari Regional Economic Application Laboratory (REAL) Illinois University

(USA) dan Prof. Euijune Kim dari Seoul National University (SNU), Korea Selatan; dan

didukung pendanaannya oleh Asian Development Bank (ADB). Sampai saat ini Model

FCGE-TN masih dalam tahap penyempurnaan dan direncanakan akan tuntas pada bulan

Maret 2013.

6.5. Model CGE-GTAP

Model CGE-GTAP didedikasikan lebih banyak untuk analisis perdagangan internasional.

Hal ini didukung oleh GTAP database yang dikompilasikan dari berbagai Tabel IO di

dunia untuk menghasilkan data IO yang multi-countries. Database GTAP merupakan

database yang berisi data dan informasi perdagangan bilateral antarnegara secara lengkap

termasuk informasi keterkaitan transportasi dan proteksi. Database ini dikompilasi dari

table IO negara-negara di dunia. Database GTAP yang terbaru (versi 8, release Mei 2012)

menggunakan data dengan tahun benchmark 2004 dan 2007 dan terdiri atas data dari 129

negara dan 57 jenis komoditas.

Sampai saat ini kapasitas yang dimiliki di BKF baru merupakan model CGE GTAP

Standar, yang salah satu contoh aplikasinya ialah yang digunakan dalam policy paper oleh

(Amir et al., 2012) sebagai hasil studi yang dilakukan oleh Tim-PKRB (2012) dalam

melakukan evaluasi dampak Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership

Agreement (EPA) Indonesia dengan Negara mitra dan dampaknya bagi arus perdagangan

dan investasi. Informasi lebih lengkap terkait Model CGE GTAP dapat diperoleh di

www.gtap.agecon.purdue.edu.

91

Bab 7

Langkah Integrasi dan Kegiatan 2012

Setelah berhasil melakukan proses identifikasi model ekonomi di lingkungan Badan

Kebijakan Fiskal dan menemukan beberapa potensi pengembangan agar model ekonomi

dapat lebih efektif sebagai alat bantu yang digunakan dalam analisis dan formulasi

kebijakan fiskal. Langkah pertama yang dilakukan untuk merespon hal ini ialah dengan

membentuk suatu tim yang akan focus untuk menangani kegiatan pengembangan

pemodelan yang ada di BKF. Tim Integrasi dan Pengembangan Model BKF dibentuk

dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota yang telah berkecimpung dengan kegiatan

pemodelan di BKF. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran awal yang lebih utuh

terkait sejarah, latar belakang dan peran model ekonomi yang telah dikembangkan atau

dimanfaatkan dalam menunjang tugas. Lebih detail keanggotaan Tim ada di bagian akhir

laporan ini.

7.1. Langkah Integrasi

Setelah dibentuk, yang pertama dilakukan Tim ialah melakukan brainstorming untuk

bertukar pendapat dan menyamakan persepsi atas kondisi faktual yang terkait kegiatan

pemodelan, penugasan yang diberikan kepada Tim, dan prioritas serta target yang rasional

dari kegiatan Tim. Dari brainstorming ini mengemuka beberapa hal yang dijadikan sebagai

pola pendekatan untuk melakukan integrasi dan pengembangan model ekonomi di BKF,

yaitu:

(1) Bottom up approach, pengembangan model dilakukan dengan mempertimbangkan

kebutuhan dan aspirasi unit-unit (Pusat) yang ada di BKF. Walaupun dalam hal ini,

tetap dibuka ruang untuk pendekatan top-down, yaitu penugasan dari pimpinan terkait

kebutuhan suatu pemodelan tertentu;

(2) Sharing dan manajemen data, yaitu dibuat mekanisme untuk saling berbagai data dan

informasi antar unit di BKF, atau pun antar pengguna atau pengembang model. Data

dan informasi bisa berupa data mentah yang digunakan sebagai input suatu model atau

pun data hasil output pemodelan;

92

(3) Membuat link antarmodel, membuat jembatan penghubung antara model yang terkait.

Hal ini bisa dilakukan dengan proses sharing data, output suatu model menjadi input

bagi model yang lain, atau dengan membuat keterkaitan persamaan di dalam

pemodelannya. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk mengurangi redundansi (irisan)

dalam cakupan sebuah model, namun juga untuk mencari jalan kearah proses

menghasilkan analisis yang konsisten dan konvergen. Pendekatan ini merupakan

bagian krusial didalam proses integrasi model. Model-model ekonomi di BKF

umumnya digunakan sebagai alat bantu dalam proses analisis dan formulasi kebijakan

fiskal atau pun secara spesifik dalam proses penyusunan APBN (Gambar 7.1) yang

dilakukan dalam siklus tahunannya. Atau jika diilustrasikan dengan menggambarkan

hubungan antarmodel ekonomi sebagaimana dalam Gambar 7.2.

Gambar 7.1: Ilustrasi Model Ekonomi dalam Penyusunan APBN

93

Gambar 7.2: Ilustrasi Hubungan Antar-Model dalam Penyusunan APBN

(4) Revitalisasi model yang vakum tetapi masih dibutuhkan, misalnya yang dilakukan

dengan Model MODFI. Model ini memiliki kapasitas kegunaan yang relative lengkap,

tidak hanya dalam proses forecasting atau proyeksi akun APBN secara detail tetapi

juga untuk analisis dampak suatu kebijakan makro terhadap APBN atau sebaliknya.

Sehingga model ini memiliki potensi untuk dijadikan model induk bagi BKF.

Momentum revitalisasi sangat tepat mengingat para modelernya sudah kembali

bertugas di BKF setelah menyelesaikan tugas belajarnya;

(5) Membuat kerangka kerja Tim Model. Kerangka kerja Tim Model merupakan salah satu

yang cukup pelik untuk dihasilkan karena harus mempertimbangkan berbagai kondisi

dan mengakomodasi berbagai pertimbangan. Hal ini mengingat bahwa Tim Model

masih merupakan tugas baru dan melibatkan berbagai unit di BKF baik itu pejabat

struktural maupun peneliti. Sebagai draft awal, telah dihasilkan pola partisipasi Tim

Model dalam memanfaatkan model-model ekonomi dalam proses penyusunan APBN

sesuai dengan siklusnya (Gambar 7.3). Dengan pola ini diharapkan Tim Model tidak

hanya berpartisipasi untuk mendukung penyusunan APBN tetapi juga untuk

berinteraksi langsung dengan kebutuhan riil alat analisis yang idealnya dapat

94

digunakan. Interaksi ini penting untuk memahami kebutuhan pengembangan model,

baik penyempurnaan model yang telah ada atau pun pengembangan baru.

Gambar 7.3: Ilustrasi Kerangka Kerja Tim Model dalam Siklus APBN

7.2. Kegiatan Tim Integrasi Model 2012

Rangkaian kegiatan yang dilakukan Tim Integrasi Model selama periode tahun 2012

sebagai berikut:

1. Brainstroming awal Tim Integrasi Model

- dilaksanakan pada 18 Januari 2012 di Ruang Rapat PKEM

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model

- target kegiatan untuk brainstorming terkait kegiatan pemodelan ekonomi di BKF

dan kesamaan persepsi antaranggota Tim atas penugasan dari Kepala BKF.

2. Presentasi dan Demonstrasi Model (Konsinyering)

- dilaksanakan pada 9-10 Februari 2012 di Hotel Lumire, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model

95

- kegiatan berupa: (1) presentasi dan demonstrasi berbagai model ekonomi di BKF

oleh masing-masing penanggung jawab model; (2) presentasi kerangka pemodelan

di World Bank; dan (3) Elaborasi Keterkaitan Model dan Kerangka Model BKF.

3. Diskusi Link Antarmodel I: Subsidi (BBM dan Listrik) – Sensitivitas Makro APBN

(MOSIM) – Stresstest BUMN

- dilaksanakan pada 16 April 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model yang terkait dengan model-model

tersebut

- diskusi untuk mencari link antarmodel Subsidi (BBM dan Listrik) – Sensitivitas

Makro APBN (MOSIM) – Stresstest BUMN

4. Diskusi Link Antarmodel II: Proyeksi Asumsi Makro – Perpajakan

- dilaksanakan pada 24 April 2012 di Hotel Lumire, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model yang terkait dengan model-model

tersebut

- diskusi untuk mencari link antarmodel Proyeksi Asumsi Makro – Perpajakan

5. Pembuatan aplikasi sharing data untuk anggota Tim Model (Mei – Juni 2012)

6. Rapat koordinasi Tim Integrasi Model

- dilaksanakan pada 15 Juni 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model

- koordinasi dan diskusi tindak lanjut kegiatan integrasi model BKF

7. Workshop Tim Integrasi Model

- Tempat: Hotel Aryaduta

- Waktu: Rabu - Kamis, 1 - 2 Agustus 2012

- Agenda: (1) Lecture dari Prof Hewings tentang "Regional Perspective in the

Economic Development"; (2) Presentasi Kemajuan Pengembangan Financial CGE

Model - Model yg sedang dikembangkan oleh TA (Prof Hewings dan Prof Kim) (3)

Diskusi Tim Integrasi Model.

8. Rapat Tim Integrasi Model dengan Tim Asistensi BKF

- Tempat: Ruang Rapat BKF Lt 3

- Waktu: Selasa, 7 Agustus 2012

- Agenda: (1) Presentasi Konsep BKF Future Model oleh Tim kepada Kepala BKF;

(2) Diskusi Tim Integrasi Model dengan Tim Asistensi BKF

96

9. Rapat koordinasi atas model-model yang dapat digunakan dalam pembahasan RAPBN

2013

- dilaksanakan pada 28 Agustus 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta

- peserta adalah perwakilan Tim Integrasi Model yang mengelola model

bersangkutan

10. Identifikasi dan simulasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi RAPBN 2013

dengan menggunakan model-model di BKF (Rapat lanjutan)

- dilaksanakan pada 31 Agustus 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta

- peserta adalah Tim Integrasi Model

11. Kunjungan ke World Bank Office Jakarta oleh Hidayat Amir (Tim Integrasi Model)

pada 31 Agustus 2012 dalam rangka pengumpulan data-data ekonomi berbasis

kabupaten/kota dan propinsi sebagai bahan pengembangan Model Peramalan Berbasis

Regional (Quarterly Provincial GDP Forecasting Model).

12. Presentasi dan Demonstrasi Model dan Diskusi dalam Rangka Penyusunan RAPBN

2013 (Konsinyering)

- dilaksanakan pada 3-4 September 2012 di Swiss-Bel Hotel, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model

- kegiatan berupa presentasi dan demonstrasi hasil simulasi model ekonomi di BKF

oleh masing-masing penanggung jawab model atas faktor-faktor yang

mempengaruhi penyusunan RAPBN 2013 (pertumbuhan, inflasi, skenario belanja,

kemiskinan, pengangguran, dan analisis dampak untuk antisipasi atas beberapa

kebijakan fiskal potensial akan dilakukan oleh pemerintah).

13. Training Revitalisasi Model MODFI I

- dilaksanakan pada 7-14 September 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model plus beberapa staff BKF lainnya

- narasumber: Dr. Marein van Schaaijk, Direktur Micromacro Consultants NV

(MMC), Netherlands

- dengan support pendanaan dari ADB

14. Meeting dengan BKF Technical Assistant Modeling Team (Prof. Geoffrey J.D.

Hewings dan Prof. Euijune Kim)

- dilaksanakan pada 12-16 November 2012 di Seoul National University, Korea

Selatan dengan support pendanaan dari ADB

97

- Peserta: Hidayat Amir (Tim Integrasi Model), Prof. Geoffrey J.D. Hewings dan

Prof. Euijune Kim

- Kegiatan: pembahasan dan pengembangan Model Financial CGE–Transportation

Network dan Model Peramalan Berbasis Regional (Quarterly Provincial GDP

Forecasting Model).

15. Update Arah Pengembangan Model BKF dan Laporan Kegiatan 2012 (Konsinyering)

- dilaksanakan pada 5-6 November 2012 di Hotel Lumire, Jakarta

- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model

- kegiatan berupa: (1) diskusi update arah pengembangan model ekonomi BKF; (2)

pembahasan realisasi kegiatan 2012 dan penyusunan rencana kegiatan 2013; dan

(3) penyusunan dan penyelesaian laporan akhir kegiatan 2012.

16. Training Revitalisasi Model MODFI II

- dilaksanakan pada 12-21 Desember 2012 di Kantor MMC Netherlands

- peserta adalah: Kindy R. Syahrir, Heru Wibowo, dan Abdurrohman (Tim Integrasi

Model)

- narasumber: para expert di MMC

- dengan support pendanaan dari ADB

17. Mensupport TA ADB (Prof. Geoffrey J.D. Hewings dan Prof. Euijune Kim) dalam

proses pengembangan Model Financial CGE–Transportation Network dan Model

Peramalan Berbasis Regional (Quarterly Provincial GDP Forecasting Model) –

kegiatan sepanjang tahun 2012.

18. Melakukan pengembangan Model CGE Berbasis Web; pemanfaatan dan pendanaan

kegiatan oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) sebagai model yang

digunakan untuk analisis dampak kebijakan insentif perpajakan. Model CGE yang

digunakan sebagai basis awal ialah Model CGE INDOFISCAL – kegiatan sepanjang

tahun 2012.

7.3. Arah Pengembangan Model BKF

Melalui rangkaian diskusi yang cukup panjang semenjak Tim Integrasi Model ini terbentuk

maka gambaran Model BKF masa datang ialah sebagaimana dalam ilustrasi Gambar 7.4.

Gambaran ideal BKF Future Model ialah bukan gambaran yang statis tetapi ia dinamis

sesuai dengan dinamika yang hidup di BKF sebagai institusi pengelola kebijakan fiskal

98

atau sejalan dengan dinamika tuntutan kebijakan dalam pembangunan perekonomian

Indonesia.

Namun setidaknya gambaran yang jelas tentang BKF Future Model akan

memberikan panduan arah pengembangan model BKF menuju kondisi ideal, sesuai dengan

kebutuhan dan tingkat pemahaman saat ini. Dalam gambar 7.4 tersebut, intinya model yang

ada mampu berkomunikasi satu sama lain dengan pola kerja dan mekanisme kerja yang

baik dan efisien. Terhubung satu sama lain, tidak tumpang tindih, didukung oleh

manajemen data dan informasi yang baik dan saling melengkapi.

Gambar 7.3: Ilustrasi BKF Future Model

Model for Projection of

Macro Assumptions

Sensitivity APBN

Fiscal Risk Model

SOE Stress test Model

Policy Changes / New Policy

CGE Models

Proposed Budget

(RAPBN)BKF version

Econometrics – IO Model: forecast – sectors | Regional GDP Forecasting

Early Warning System – Crisis Management Protocols

Financing Model

Data an

d In

form

ation

Ma

nage

me

nt

MODFI

Revenue Model

Non-TaxTax Sectoral spending

ElectOil

Expenditure Model

99

Bab 8

Tindak Lanjut

Harapannya pengembangan model ini dapat men-support kebutuhan BKF untuk

menjadi institusi yang handal dalam analisis dan perumusan kebijakan fiskal, baik

kebijakan yang bersifat responsif maupun antisipatif. Kegiatan pengembangan model

sebagai alat pendukung tugas BKF juga diharapkan menjadi bagian integral dari BKF

sebagai institusi yang terus bertumbuh dan berkembang memenuhi tuntutan kebutuhan

zaman (learning organisation).

Perlu dicatat bahwa pekerjaan integrasi dan pengembangan model ekonomi

merupakan suatu kegiatan yang lengthy process. Tidak hanya memakan waktu yang lama

tetapi membutuhkan daya dukung sumber daya yang memadai dan kesabaran yang besar

untuk menekuni proses demi proses. Namun jika ada kemauan bersama bagi semua pihak

yang terlibat yang didasari oleh tuntutan kebutuhan yang nyata serta dukungan yang

memadai untuk terus konsisten dengan proses pengembangan model ini, maka kesemuanya

itu akan lebih menjamin terjadinya kemajuan yang signifikan dan besar.

Sampai dengan akhir tahun 2012 telah banyak kemajuan yang dihasilkan,

sebagaimana telah disampaikan dalam bagian sebelumnya. Dengan mempertimbangkan

berbagai kemajuan itu, beberapa kegiatan yang perlu ditindaklanjuti untuk periode yang

akan datang antara lain:

1. Penyempurnaan pengembangan Model Financial CGE Transportation Network

(FCGE-TN) oleh BKF Technical Assistant Modeling Team (Prof. Geoffrey J.D.

Hewings dan Prof. Euijune Kim), direncanakan akan selesai pada akhir Maret 2013.

2. Penyempurnaan pengembangan Model Provincial GDP Forecasting Model oleh BKF

Technical Assistant Modeling Team (Prof. Geoffrey J.D. Hewings dan Prof. Euijune

Kim), direncanakan akan selesai pada akhir Maret 2013.

3. Melanjutkan proses revitalisasi Model MODFI dengan transfer knowledge atau

workshop untuk menghasilkan modeller generasi baru (regenerasi) serta pengembangan

model yang ada dengan fitur-fitur tambahan yang diperlukan.

4. Melakukan update database setiap model untuk menjaga keandalan model ekonomi

yang ada.

100

5. Melakukan penyempurnaan Model CGE berbasis web serta penambahan model ke

dalam aplikasi tersebut, sehingga ada pilihan penggunaan model yang tepat sesuai

dengan kebutuhan analisisnya.

6. Merintis pengembangan model baru yang belum ada dalam skema BKF Future Model,

misal model analisis sisi pembiayaan APBN.

7. Mengembangkan data warehouse – data management yang andal, up to date dan

mudah diakses.

8. Mengembangkan Financial SAM berbasis data IO dan SAM terbaru (2010) untuk

menghasilkan fitur yang lebih detail. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kapasitas

analisis Model FCGE-TN yang telah dimulai pengembangannya.

9. Mengembangkan semacam pola hubungan yang definitif antara Tim Pengembangan

Model dengan unit pengguna di lingkungan BKF.

10. Mengembangkan semacam pola insentif untuk para pegawai di lingkungan BKF yang

bersedia untuk menekuni pekerjaan pemodelan ekonomi.

101

Referensi

Amir, H. (2011). Tax Policy, Growth, and Income Distribution in Indonesia: A Computable

General Equilibrium Analysis. Unpublished PhD Thesis, The University of Queensland,

Brisbane.

Amir, H. (2012a). Economic impact analysis of the 2012 Indonesia mineral-export tax policy: a

CGE approach. Paper presented at the 11th International Conference of the Japan

Economic Policy Association (JEPA), Nagoya Gakuin University, Japan, 20 – 21 October

2012.

Amir, H. (2012b). Impact of the 2009 Indonesia fiscal stimulus: a computable general equilibrium

analysis. Paper presented at the 11th Indonesian Regional Science Association (IRSA)

International Conference Banjarmasin, South Kalimantan, Indonesia, 9 – 11 July 2012.

Amir, H., et al. (2013). The Impact of the Indonesian Income Tax Reform: A CGE Analysis.

Economic Modelling, 31, 492-501.

Amir, H., and Hewings, G. J. (2013). Distributional Welfare Impact of the 2013 Adjustment of

Tax-Free Income Threshold in Indonesia: A CGE Simulation, submitted to the 21st

International Input-Output Conference, Kitakyushu, Japan, July 9 - 12, 2013.

Amir, H., et al. (2012). Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA),

dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi, Unpublished Policy Paper.

Armington, P. S. (1969). Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production.

IMF Staff Paper, 16(1), 159 - 178.

Arrow, K. J. (2005). Personal Reflections on Applied General Equilibrium Models. In T. J. Kehoe,

et al. (Eds.), Frontiers in Applied General Equilibrium Models. New York: Cambridge

University Press.

Begg, D., et al. (2000). Economics, 6th ed. London: McGraw-Hill Education.

Burfisher, M. E. (2011). Introduction to Computable General Equilibrium Models. New York:

Cambridge University Press.

Dixon, P. B., et al. (1982). ORANI: A Multisectoral Model of Australian Economy. Amsterdam:

North-Holland.

Dixon, P. B., and Rimmer, M. T. (2002). Dynamic General Equilibrium Modelling for Forecasting

and Policy: A Practical Guide and Documentation of MONASH. Amsterdam: North

Holland.

Hornby, A. S. (2000). Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 6th ed. London: Oxford University

Press.

Horridge, J. M. (2003). ORANI-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium

Model. Retrieved 22 April 2009, from http://www.monash.edu.au/policy/oranig.htm

Kim, E., et al. (2012). Highway Investments and Financing: a Financial CGE Model. Paper

presented at the 51th Anniversary Meeting of the Western Regional Science Association.

102

Kim, E., et al. (2004). An Application of and Integrated Transport Network-Multiregional CGE

Model: A Framework for the Economic Analysis of Highway Projects. Economic Systems

Research, 16(3), 235-258.

Lewis, J. D. (1991). A Computable General Equilibrium Model of Indonesia, Development

Discussion Paper No. 378. Harvard Institute for International Development: Harvard

University Press.

Musgrave, R. A., and Musgrave, P. B. (1973). Public Finance in Theory and Practice. London:

McGraw-Hill.

Ouliaris, S. (2011). Economic Models: Simulations of Reality. Retrieved 21 December 2012,

from http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/basics/models.htm

Samuelson, P. A., and Nordhaus, W. D. (1998). Economics, 16th ed. New York: Irwin/McGraw-

Hill.

Tim-MODFI. (2005). Model Ekonomi Makro Departemen Keuangan RI (MODFI) Edisi Revisi:

Direktorat Kebijakan Ekonomi Makro DJAPK, Departemen Keuangan.

Tim-PKPN. (2012). Pembentukan Model Pengukuran Dampak Atas Pemberian Fasilitas/Insentif

Perpajakan Pada Sektor Industri Nasional. Jakarta: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara -

BKF.

Tim-PKRB. (2012). Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA),

dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi. Jakarta: Badan Kebijakan

Fiskal.

Tim-PPRF. (2010). Buku Uji Macrostress Terhadap Risiko Fiskal Yang Bersumber Dari Badan

Usaha Milik Negara. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal.

Wittwer, G. (1999). WAYANG: a General Equilibrium Model Adapted for the Indonesian

Economy. Adelaide: Centre for International Economic Studies, University of Adelaide.

Yusuf, A. A. (2007). Constructing Indonesian Social Accounting Matrix for Distributional

Analysis in the CGE Modelling Framework. MPRA Paper No. 1730.

Yusuf, A. A., et al. (2008). AGEFIS: Applied General Equilibrium for FIScal Policy Analysis.

Working Papers in Economics and Development Studies (WoPEDS) 200807, Department

of Economics, Padjadjaran University.

Yusuf, A. A., et al. (2010). Scenarios for Climate Change Mitigation from the Energy Sector in

Indonesia: The Role of Fiscal Instruments. Working Papers in Economics and

Development Studies (WoPEDS) 201005, Department of Economics, Padjadjaran

University.