tht referat tumor

198

Click here to load reader

Upload: geby-gebrilla

Post on 13-Aug-2015

221 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

mbfdhsfadnvcckshmnxcsajcnaxcladuigfyrgosfjdbcvogrvoadjbhfdgydubvosbfvhdfbvsdjvubvsbugsyhdvbjdvbudfhvuvbybdvsuhvuossdvbjbvjfvufd

TRANSCRIPT

Page 1: Tht Referat Tumor

BAB I

PENDAHULUAN

Tahun 2003, diperkirakan bahwa kanker kepala dan leher akan terdiri dari 2% -3% dari

seluruh kanker di Amerika Serikat dan untuk 1% -2% dari semua kematian kanker. Total ini

mencakup 19.400 kasus kanker rongga mulut, kanker laring 9.500 kasus dan 8.300 kasus kanker

faring. Kebanyakan pasien dengan kanker kepala dan leher (regional nodal kanker leher

memiliki penyakit metastasis pada saat diagnosis 43% dan metastasis dalam 10%.

Kanker kepala dan leher mencakup berbagai kelompok tumor biasa yang seringkali

agresif dalam perilaku biologis mereka. Selain itu, pasien dengan kanker kepala dan leher sering

berkembang menjadi tumor primer kedua. Tumor ini terjadi pada tingkat tahunan sebesar 3% -

7%, dan 50% -75% dari kanker baru seperti terjadi di saluran aerodigestive atas atau paru-paru.

Anatomi kepala dan leher adalah kompleks dan dibagi menjadi situs dan subsites.

Masing-masing tumor memiliki epidemiologi yang unik, anatomi, alam sejarah, dan pendekatan

terapeutik.

1

Page 2: Tht Referat Tumor

BAB II

ANATOMI TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

2.1 ANATOMI dan FISIOLOGI TELINGA

Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 1,2,3,5

2.1.1 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani. Telinga

luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri

dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S,

dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang

telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan

rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian

dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari

tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut,

kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi

kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat

lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga).

Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.

2

Page 3: Tht Referat Tumor

Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga 1,2,3

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :

Batas luar : Membran timpani

Batas depan : Tuba eustachius

Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)

Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.

Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )

Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis

horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap

bundar (round window) dan promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan

terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran

Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis

dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel

kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi

3

Page 4: Tht Referat Tumor

ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan

secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.

Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang

menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4

kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus

pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan

serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.

Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar

kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling

berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada

inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan

dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.

Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang

tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot

kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus,

inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang

disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga

tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang

menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar 2.2 : Membran Timpani 1,2,3

4

Page 5: Tht Referat Tumor

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba

auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane

tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan.

Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk

mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka

dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan

yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani.

2.1.3 Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan

vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut

holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk

lingkaran yang tidak lengkap.

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah

bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi

perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai

membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane

basalis. Pada membran ini terletak organ corti.

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria,

dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar

dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

5

Page 6: Tht Referat Tumor

Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam 1,2,3,5

Koklea

bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya

35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya. Sumbu

ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea

bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina

spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis membranasea.

Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian atas) dan skala

timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat ini dinamakan

helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani berakhir pada

fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea kearah perifer atas,

terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini,

terbentuk saluran yang dibatasi oleh:

1. membrane reissner bagian atas

2. lamina spiralis membranasea bagian bawah

3. dinding luar koklea

6

Page 7: Tht Referat Tumor

saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi

endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria vaskularis,

tempat terbentuknya endolimf.

Gambar 2.4 : Koklea 2,3

Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana basilaris

(lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari basis koklea

sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi

berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari

koklea.

GAMBAR 2.5 : Organ korti 2,3

Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria.

Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada alat

korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung

rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf.

Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions.

Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan penonjolan

pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.

7

Page 8: Tht Referat Tumor

Vestibulum

Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi perilimf.

Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan dengan

membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum,

terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-

gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus

utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu

lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini

dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu.

Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang

yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada utrikulus,

dinamakan macula utrikuli.

Kanalis semisirkularisanlis

Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu sama

lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam perilimf.

Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai

tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).

Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan

tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis

semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang

tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada

vestibulum sebagai krus komunis.

Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea.

Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis

membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-

sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.

Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis

yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai organ

yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat

menutup seluruh ampulla.

8

Page 9: Tht Referat Tumor

2.1.4 Fisiologi pendengaran 1,2,3,4,5

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam

bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut

menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang

pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan

perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah

diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga

perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan

membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,

sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi

pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area

39-40) di lobus temporalis.

Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran 1,4

9

Page 10: Tht Referat Tumor

2.2 ANATOMI dan FISIOLOGI HIDUNG

2.2.1 Anatomi hidung

Gambar 2.7 : Anatomi hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari

biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang

tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol

pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga

bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah

kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang

mudah digerakkan.6

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks

disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu

dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian

tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela

dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan

dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela

adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi

oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.6

10

Page 11: Tht Referat Tumor

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum

disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh

septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk

kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior

(koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,

disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan

rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.6

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang

terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah

konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema

dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema

merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus

media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.6

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih

luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus

frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal

sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan

meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan

medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai

prosesus unsinatus.6

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus

maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar

11

Page 12: Tht Referat Tumor

diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis

dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi

adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa

olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf

khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale

dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.6

Perdarahan hidung

Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:6

1. Arteri Etmoidalis anterior

2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis

eksterna.

Gambar 2.8 : Sistem Vaskularisasi Hidung

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung

posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri

fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,

arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus

12

Page 13: Tht Referat Tumor

kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh

truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernesus.

Persyarafan hidung

Gambar 2.9 :PersarafanHidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus

oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang

maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus

memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus

etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis

anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri

etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang

nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain

memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa

hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut

13

Page 14: Tht Referat Tumor

parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan

sedikit diatas ujung posterior konkha media.

Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.

2.2.2 Fisiologi hidung

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat

digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius

berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel

penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara

inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6

mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung

terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara,

(3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut

membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.7

2.2.3 Sistem Mukosiliar

2.2.3.1. Histologi mukosa6

Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.

Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari

palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina

propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.

Gambar2.10 :gambaranhistologimukosahidung

14

Page 15: Tht Referat Tumor

2.2.3.2 Epitel

Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada

vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis

semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia.

Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian

apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.

Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal

merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau

kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk

lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak

11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah

mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.

Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan

memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia

menutupi 2/3 posterior kavum nasi.

Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,

dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada

tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua

mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-

masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan

jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel.

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)

dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia

bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke).

Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah

menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi

berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber

energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase.

ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya.

15

Page 16: Tht Referat Tumor

Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang

diduga neksin.

Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan diameternya 0,1

μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia

atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah

tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia

merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini

membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian

mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding

dengan sel epitel gepeng.

2.2.3.3. Palut lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang

disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan

yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan

perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih

kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan

superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada

cairan perisiliar dibawahnya.

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan

berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian

besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini.

Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini

yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan

bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah,

gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.

Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut

lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang

dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya

pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial

yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura

1994).

16

Page 17: Tht Referat Tumor

2.2.3.4. Membrana basalis

Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah

lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril

retikulin.

2.2.3.5. Lamina propria

Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas

empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan

media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini

terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan

saraf.

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih

tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada

membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.

Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui

ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai

kepadatan sel goblet yang paling tinggi.

2.2.3.6 Transportasi mukosiliar

Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk

membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut

lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi

mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan

mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia

yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase),

dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan

imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.

Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu

serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus

gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang

terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah

posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi

17

Page 18: Tht Referat Tumor

mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini

tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus

mukosa dan menimbulkan penyakit.

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus

dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus

komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,

dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara

progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan

15 hingga 20 mm/menit.

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada

segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar

1 hingga 20 mm/menit.

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan

sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,

kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.

Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus

sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.

Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

2.2.3.7 Pemeriksaan fungsi mukosiliar

Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan

menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti

sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid

sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon,

bismuth trioxide.

Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah

dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak dipakai untuk

pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa

dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin.

Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di

belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara

periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai

18

Page 19: Tht Referat Tumor

sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai

waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna

dapat dilihat di orofaring.

Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu

transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu

transportasi mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata

adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol

adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria.

2.3 ANATOMI dan FISIOLOGI TENGGOROKAN

2.3.1 Anatomi Tenggorokan8

Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring

dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan

dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di

depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi

terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis.

Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi

bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.

Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal

prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk

olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah

belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan

terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan

cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar

submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot

lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher.

Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-

19

Page 20: Tht Referat Tumor

saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada

kelenjar parotis.

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu

kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit

dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus

setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui

koana,ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan

laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan

esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas

centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring

dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia

bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,

kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring

membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa

atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan

yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan

palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.

Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal

dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arcus

faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring posterior

disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian

posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.

2.3.1.1 Vaskularisasi.8

Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal

daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine

superior.

2.3.1.2 Persarafan8

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.

Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis.

Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar

20

Page 21: Tht Referat Tumor

untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang

n.glossofaringeus.

2.3.1.3 Kelenjar Getah Bening8

Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media dan inferior.

Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening

servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan

kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar

getah bening servikal dalam bawah.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

2.3.1.4. Nasofaring

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid

pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke,

yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi

mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui

oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena

jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. 9

Gambar 2.11. Anatomi faring dan struktur sekitarnya

2.3.1.5 Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya

adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra

servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil

palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen

sekum.9

21

Page 22: Tht Referat Tumor

a. Dinding Posterior Faring

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau

radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot

posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan

n.vagus.9

b. Fosa tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah

m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu

ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya

merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang

merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan

merupakan kapsul yang sebena-benarnya.9

c. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat

dengan kriptus didalamnya.9

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual

yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang

biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali

ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil

biasanya melekat pada dasar lidah.9

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut

kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam

kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa

makanan.9

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.

Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada

tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil

a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.9

22

Page 23: Tht Referat Tumor

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada

apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang

menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada

massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.9

Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat

meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.9

2.3.1.6 Laringofaring (hipofaring)9

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis

berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus

tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan)

dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi

laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas

anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra

servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat

muara esofagus.

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak

langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama

yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang

dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada

tiap sisi. Valekula disebut juga ³ kantong pil´ ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-

kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan

perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)

ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar

dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita

suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau

bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2 Nervus

laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini

penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan

laringoskopi langsung.

23

Page 24: Tht Referat Tumor

2.3.2 Fisiologi Tenggorokan

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk

artikulasi.8

Proses menelan

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring

secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya

bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah:

pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum

mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan

laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi.

Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui

orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus

dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan

otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan

melalui esofagus dan masuk ke lambung.9

Proses Berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.

Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.

Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan

m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring

superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole

ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh

tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam

mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama

m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan

ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.9

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada

pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan

dengan gerakan palatum.9

24

Page 25: Tht Referat Tumor

2.4 ANATOMI LEHER

2.4.1 ANATOMI LEHER

M.sternocleidomastoid membagi daerah leher menjadi 2 segitiga besar, yaitu :

1. Trigonum colli anterior, yang terdiri dari :

Tigonum sub mental

Trigonum digastrikus

Trigonum Karotis

Trigonum Muskulari

Batas-batas trigonum colli anterior adalah, anterior: garis tengah leher, superior:

symphisis mandibula dan posterior : sisi anterior m.sternocleidomastoid. trigonum ini

tertutup oleh kulit, fascia superfisialis, platysma dan fascia intermedia.

2. Trigonum colli posterior, yang terdiri dari :

Trigonum oksipitalis.

Trigonum supraklavikularis.

Batas-batas trigonum colli posterior yaitu anterior: sisi posterior m.sternocleidomastoi

, inferior : Klavicula dan posterior: sisi anterior M. Trapezius.

Lantai dari trigonum tertutup oleh lapisan prevertebra yang terdiri dari semispinalis

capitis, levator scapula dan scalenus medius. Trigonum ini berisi a.subklavia, v.jugularis

eksterna, pleksus brakialis dan cabang-cabang pleksus servikalis.

25

Page 26: Tht Referat Tumor

2.4.2 PERSARAFAN DAERAH LEHER

Terdapat 4 saraf superfisial yang berhubungan dengan tepi posterior m.sternocleidomastoid.

Saraf-saraf tersebut mempersarafi kulit di daerah yang bersangkutan. Saraf superfisial yang

dimaksud adalah :

1. N. Oksipitalis minor (C2)

2. N. Auricularis magnus (C2 dan C3)

3. N.Cutaneus anterior (cutaneus colli, C2 dan C3).

4. N.Supraklavikularis (C3 dan C4).

Keempat saraf ini berasal dari Nn Servikalis II, III dan IV dan terlindung di bawah otot. Dalam

perjalanan ekstra kranialnya, 4 nervi kranial terletak di daerah M. Digastricus.

Saraf-saraf cranial yang dimaksud:

1. N. Vagus, keluar melalui For. Jugularis, mensarafi : saluran pernafasan dan saluran

pencernaan .

2. N. Glossopharyngeus, keluar bersama N. Vagus , terletak diantara karotis interna dan

jugularis interna. Merupakan saraf motorik untuk M. Stylopharyngeus.

3. N. Asesorius, berasal dari cranial dan C5 atau C6. Merupakan motorik untuk M. SCM dan M.

Trapezius, sedangkan cabang cervicalnya merupakan sensorik.

4. N. Hypoglosus, keluar melalui cranial hypoglosus, merupakan motorik untuk lidah.

gambar 2.12: persarafan leher

26

Page 27: Tht Referat Tumor

2.4.3 VASKULARISASI

1. A. Karotis komunis.

Pembuluh darah yang sebelah kanan berasal dari A. Inominata sedangkan yang kiri berasal

dari Arkus Aorta, berjalan di belakang M. m.sternocleidomastoid. Pada level Thyroid

Notch melebar, disebut Bulbus Karotis, kemudian bercabang dua menjadi A. Karotis

eksterna dan A.Karotis interna .

Setelah percabangannya, arteri ini berjalan ke dalan kanalis karotikus ossis temporalis.

Memperdarahi otak dan mata. Di daerah leher tidak memberikan percabangan. Di bawah

M. Digastricus tertutup oleh m.sternocleidomastoid

2. A.Karotis eksterna.

Berjalan menuju collum mandibula. Memberikan 8 percabangan yang berdasarkan letaknya

terhadap M. Digastricus, adalah sbb :

diatas M. Digastricus memberi 3 percabangan :

1. A. Temporalis superfisialis.

2. A. Maxillaris interna.

3. A. Auricularis posterior.

dibawah M. Digastricus memberi 5 percabangan :

1. A. Thyroidea superior.

2. A. Linguaalis.

3. A. Pharyngealis ascendens.

4. A. Facialis.

5. Ramus Oksipitalis.

27

Page 28: Tht Referat Tumor

gambar 2.13 vaskularisasi leher

3. V. Jugularis eksterna.

Dimulai dari bawah telinga dan berasal dari gabungan V. Aurikularis posterior dan V. Facialis

posterior, terletak diantara platysma dan fascia superfisialis colli. Di daerah bawah leher

bergabung dengan V. Jugularis anterior dan V. Subklavia tranversa.

4. V. Jugularis interna.

Merupakan kelanjutan dari sinus tranversus, di sebelah atasnya terletak dibawah Gld.

Parotis dan sebagian besar dari vena ini terletak dibawah m.sternocleidomastoid. Di

bagian bawah terletak M. Infrahyoid.

Menerima/menampung darah dari :

Sinus petrosus inferior.

V.pharyngealis.

V. facialis.

V. Lingualis.

V. Thyroidea superior dan media.

28

Page 29: Tht Referat Tumor

2.4.4 OTOT-OTOT LEHER BAGIAN DEPAN

Otot-otot di bagian ventral leher terdiri dari :

1. M. Digastricus, terdiri dari venter anterior dan posterior. Berjalan dari os temporal ke arkus

mandibula, merupakan landmark yang penting di bagian atas leher. Kedua venternya

dipisahkan oleh tendon intermedius.

2. Mm infrahyoid, disebut juga sebagai STRAP muscles

Terdiri dari :

a. M. Sterno hyoid :

Origo pada manubrium sterni dan berinsersi di os. hyoid. Dekat origo terpisah, makin ke

atas makin bersatu dan didekat insersi bergabung dengan M. Omohyoid.

b. M. Omohyoid

Terdiri dari 2 venter (superior dan inferior). Mulai dari skapula dan lig. supraskapula

berjalan ke atas dan berakhir sebagai tendo intermedius.

c. M. Sternothyroid,

Merupakan landmark penting dalam pembedahan thyroid untuk menemukan

cleavage plane. Origo terletak di manubrium sterni dan berinsersi di lamina kartilago

thyroid, berjalan menutupi sebagian Gld. Thyroid. Kontraksinya menyebabkan laryng

bergerak ke bawah.

29

Page 30: Tht Referat Tumor

d. M. Thyrohyoid,

Berorigo di kartilago thyroid dan berinsersi di os hyoid. Menutupi membrana thyrohyoid,

kontraksinya menarik hyoid ke bawah, tetapi bila hyoid difiksir oleh otot suprahyoid,

kontraksinya akan mengangkat laryng.

gambar 2.14 otot-otot leher

2.4.5 KELENJAR ENDOKRIN

KELENJAR THYROID.

Merupakan kelenjar endokrin yang tidak mempunyai saluran keluar, sangat vaskuler, melekat ke

laryng oleh lig. suspensorium sehingga turut bergerak waktu menelan. Terdiri dari dua lobus

yang dihubungkan dengan isthmus, kadang-kadang pada isthmus terdapat lobus pyramidalis.

Masing-masing lobus terletak setinggi kartilago thyroid sampai cincin trachea ke-6. Ukuran

normal lebih kurang 2 x 2,5 x 0,75 in. Diperdarahi oleh A. Thyroidea superior dan inferior,

kadang-kadang terdapat A. Thyroidea ima di daerah inferior kelenjar.

Terdapat N. Recurrens yang terletak di sebelah dorso medial lobus, saraf ini perlu mendapat

perhatian khusus pada saat operasi kel. thyroid.

30

Page 31: Tht Referat Tumor

KELENJAR PARATHYROID.

Merupakan massa berwarna coklat kekuningan yang jumlahnya bervariasi antara 2-4 pasang,

terletak di posterior lobus lateralis thyroid dengan 3 kemungkinan posisi, yaitu :

di bawah A. Thyroidea inferior, anterior dari fascia pretrachea.

di atas arteri dan di dalam fascia pretrachea.

di dalam kelenjar thyroid.

Jaringan di leher dibungkus oleh 3 fasia, yaitu:

1. Fasia koli superfisialis membungkus: m. sternokleidomastoidues dan berlanjut ke garis

tengah leher untuk bertemu dengan fasia sisi lain.

2. Fasia koli media membungkus otot pretrakeal dan bertemu pula dengan fasia sisi yang lain di

garis tengah yang juga merupakan pertemuan dengan fasia koli superfisialis. Ke dorsal fasia

koli media membungkus a. karotis komunis, v. jugularis interna dan n. vagus menjadi satu.

31

Page 32: Tht Referat Tumor

3. Fasia koli profunda membungkus m. prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fasia koli

media. Perlukaan sebelah dalam fasia koli media berbahaya karena bila terjadi infeksi

hubungan langsung ke mediastinum.

2.4.6 KELENJAR GETAH BENING ( KGB )

Sistim aliran limfe leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang

atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe regional.

Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh.

Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman – kuman / bakteri – bakteri

yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel – sel tumor ganas (kanker). Disamping itu

bertugas pula untuk membentuk sel – sel limfosit darah tepi. Ukuran normal dari kelenjar getah

bening adalah < 1cm.

Berdasarkan letaknya kelenjar limfa dileher terdiri atas kelenjar preaurikuler,

retroaurikuler, submandibula, submental, juguler atas, juguler tengah, juguler bawah, segitiga

leher dorsal, dan supraklavikula.

Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan pada rangkaian

jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfe yang selalau terlibat dalam metastasis

tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian juguler interna, yang terbentang antara klavikula

sampai dasar tengkorak. Rangkaian juguler interna ini dibagi dalam kelompok superior, media

dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis

superfisial, retrofaring, paratrakela, spinal asesorius, sklaneus anterior dan supraklavikula.

Gambar 2.15.Anatomi limfa pada leher

Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal dari palatum

mole tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring. Juga

menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe retro faring, spinal asesorius, parotis,

servikalis superfisial dan kelenjar limfe submandibula.

32

Page 33: Tht Referat Tumor

Kelenjar jugularis interna media menerima aliran limfe yang berasal langsung dari

subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima

aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan kelenjar limfe

retrofaring bagian bawah.

Kelenjar jugularis interna inferior menerima aliran limfe yang berasal langsung dari

glandula tiroid, trakea, esofagus, baguan servikal,. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari

kelenjar limfe jugularis interna superior dan media dan kelenjar limfe paratrakeal.

Kelenjar limfe submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan

m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfe yang berasal dari

dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah

lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau

kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.

Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam

kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal kelenjar liur

submandibula,bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga

mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen

mengalirkan limfa kekelenjar jugularis interna superior.

33

Page 34: Tht Referat Tumor

Gambar 2.16.Regio kelenjar limfa leher

Kelenjar limfa servikalis superfisial, terletak disepanjang vena jugularis eksterna,

menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula,

kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar

limfa jugularis interna superior.

Kelenjar limfa retrofaring, terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai dari dasar

tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfe dari

nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa

ke limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior.

Kelenjar limfa paratrakeal menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian bawah,

hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan

limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior.

Kelenjar limfa spinal asesorius, terletak disepanjang saraf spinal asesorius, menerima

aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal, dan bagian belakang leher. Kelenjar

limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dan sinus paranasal. Pembuluh

eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa supraklavikula.

Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunktus jugularis dan

selanjutnya masuk keduktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dan untuk sisi sebelah kanan masuk

ke duktus limfatikus kanan atau langsung kesistim vena pada pertemuan vena jugularis interna

dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran limfe

dari kelenjar limfa supraklavikula.

34

Page 35: Tht Referat Tumor

Gambar 2.17.Sistim limfa pada leher dan insidensi metastasenya

Pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi keras seperti batu mengarah

kepada keganasan, padat seperti karet mengarah kepada limfoma, lunak megarah kepada proses

infeksi, fluktuatif mengarah telah terjadi abses. Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian

posterior terdapat pada infeksi rubel dan mononukleosis. Supraklavikula atau kelenjar getah

bening leher bagian belakang memiliki resiko keganasan lebih besar dari pada pembesaran

kelenjar getah bening bagian anterior.1

Pada pembesaran kelenjar getah bening oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral,

lunak dan dapat digerakkan. Bila infeksi oleh bakteri kelenjar biasanya nyeri pada penekanan,

baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan

suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan

terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan oleh keganasan maka tanda-tanda peradangan

tidak ada, konsistensi keras dan tidak dapat digerakkan. 1

BAB III

KEGANASAN DALAM THT-KL

3.1 Tumor Ganas Telinga

35

Page 36: Tht Referat Tumor

Epidemiologi

Tumor ganas telinga jarang ditemukan dengan perbandingan antara 1 : 5000 sampai 1 :

20000 dari pasien dengan kelainan telinga. Lodge dan kawan – kawan memperkirakan 0,006%

dari populasi. Mattick menemukan 10 kasus tumor ganas telinga dari 35000 kasus tumor yang

diselidikinya.9,10

Etiologi

Penyebab yang pasti belum jelas benar. Tersebut sebagai faktor penyebab antara lain

iritasi kronik seperti sinar matahari, infeksi kronik dan sebagainya. Faktor herediter dan usia juga

berperan penting.9,10

Patologi

Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya sebagai berikut:9,10

A. Tumor epitel

1. Tumor ganas epitel permukaan

a. Karsinoma sel skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor telinga yang paling sering ditemukan.

Predileksi utamanya adalah di liang telinga.Lewis mendapatkan 11 % dari tumor

ini telah bermetastasis ke kelenjar leher pada saat pertama kali pasien datang.

b. Karsinoma sel basal

c. Karsinoma sel basal merupakan karsinoma yang paling sering ditemukan di daun

telinga. Tumor ini bisa meluas dari daun telinga ke telinga tengah, mastoid dan

bagian skuamosa tulang temporal.

2. Tumor ganas epitel kelenjar

Adenokarsinoma

Adenokarsinoma dapat berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar serumen di liang

telinga ataupun merupakan penyebaran dari tumor parotis.

B. Tumor mesenkim

Sarkoma

36

Page 37: Tht Referat Tumor

Sarkoma merupakan tumor telinga yang jarang sekali terjadi, lebih sering

ditemukan pada usia muda. Tumor ini bersifat invasifsecara local, cepat

membesar, metastasis jauh melalui aliran darah dan aliran limfe, tetapi tidak

mengenai kelenjar limfe regional. 9,10

C. Tumor ganas yang asalnya susah diketahui

Melanoma maligna

Tumor ini bisa merupakan tumor primer di daun telinga, liang telinga ataupun di

telinga tengah. Pada kebanyakan pasien sudah ditemukan pembesaran kelenjar

limfe regional walaupun tumornya masih kecil.9,10

Pola Penyebaran

a. Telinga luar11.12

Karsinoma sel basal liang telinga luar biasanya mulai dari 1/3 luar liang telinga,

kemudian berkembang secara cepat ke perikondrium, akhirnya merusak kartilago

menyebar kea rah telinga tengah dan mastoid.Karsinoma sel skuamosa liang telinga luar

dapat tampak seperti massa polipoid berwarna merah. Tumor bisa berinvasi ke tulang

rawan atau tulang atau menembus membrane timpani ke telinga tengah, mastoid dan

kanalis fasialis.

Gambar 3.1 Massa berukuran 3,5 x 2,5 cm di daun telinga; secara histopatologi adalah

karsinoma sel basal5

37

Page 38: Tht Referat Tumor

b. Telinga tengah ( kavum timpani, mastoid dan tuba Eustachius )13,14

Berbagai jenis tumor jinak dan ganas, dapat berasal dari telinga tengah mastoid

dan daerah sekitarnya, terutama pada liang telinga. Tumor ini dapat dianggap primer,

menunujukkan asalnya dari tulang temporal, atau sekunder yang menunjukkan metastase

ke tulang temporal dari suatu tempat yang jauh, atau menginvasi telinga dari daerah

sekitarnya, biasanya kelenjar parotis.

Tumor Primer

Dari jenis tumor primer, tumor glomus jugularis timpanikum merupakan yang

paling lazim dan paling penting. Tumor berasal dari badan glomus dekat bulbus jugularis

pada dasar telinga tengah atau berasal dari penyebaran saraf di manapun dalam telinga

tengah. Secara histologist tumor serupa dengan tumor korpus karotis atau kemodektoma.

Suatu varian ganas telah dilaporkan namun sangat jarang. Dengan ekspansinya tumor

dapat merusak jaringan di sekitarnya dan menyebabkan gangguan pendengaran dan rasa

penuh pada telinga dan pada beberapa kasus dapat meluas ke basis cranium,

menimbulkan komplikasi saraf kranialis dan intrakranialis. Tumor ini sangat vascular,

dan seringkali dapat terlihat sebagai suatu massa keunguan di dasar telinga tengah lewat

membrane timpani yang semitransparan. Kepucatan yang timbul pada penekanan dengan

otoskop pnemotik di sebut tanda Brown. Tumor jinak lain termasuk neurofibroma saraf

fasialis, hemangioma dan osteoma.

Tumor ganas primer pada rongga telinga tengah antara lain : karsinoma sel

skuamosa, rabdomiosarkoma, karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma.Tumor

dapat pula meluas ke anterior lewat fisura – fisura menuju kelenjar parotis dan fossa

pterigomaxillaris.Tumor ganas telinga tengah yang paling umum pada dewasa adalah

karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma. Tumor ganas yang paling sering meluas

dari liang telinga ke telinga tengah adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor lain yang

berasal dari liang telnga dan meluas ke telinga tengah (lebih jarang) adalah karsinoma

kistik adenoid, melanoma maligna dan sel basal karsinoma yang ditelantarkan.

Tumor sekunder

38

Page 39: Tht Referat Tumor

Tumor yang berasal dari focus primer yang jauh dan bermetastasis ke telinga

tengah, mastoid dan tulang temporal termasuk adenokarsinoma prostat, karsinoma

payudara, hipernefroma atau karsinoma ginjal, karsinoma bronkus, saluran cerna dan

melanoma.

Disamping itu, telinga tengah dan mastoid dapat diinvasi oleh tumor dari daerah

sekitar seperti meningioma, neuroma akustik, glioma, neurilemoma, karsinoma kistik

adenoid dan mukoepidermoid dari kelenjar parotis dan kanker nasofaring yang meluas

hingga ke tuba Eustachius. Keganasan hematologis seperti limfoma maligna dan

leukemia sering menyebabkan tulang temporal hamper selalu memperlihatkan sumsum

tulang apeks petrosa dan juga menginfiltrasi telinga tengah dan tuba Eustachius,

menimbulkan gangguan pendengaran konduktif dan terbentuknya efusi. Pada leukemia

berat atau terminal dapat terjadi perdarahan telinga dalam yang menyebabkan tuli berat

mendadak dan gejala – gejala vestibular.

Gejala Klinis

Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran, dan

vertigo bila labirin vestibular terlibat. Saraf fasialis menjadi lumpuh bila tumor mengerosi

dinding kanalis posterior dan melibatkan saraf tersebut, namun dalam hal ini biasanya

terjadi pada akhir perjalanan penyakit.9,10

Tumor ganas daun telinga dapat berupa tumor superficial dengan atau tanpa ulserasi

tergantung jenis tumornya, sehingga mudah dideteksi secara dini. Tumor ganas liang telinga dan

telinga tengah sering terlambat diketahui oleh karena tidak cepat dapat terlihat dan gejalanya

seringkali hanya menyerupai penyakit infeksi oleh karena biasanya penyakit ini timbul pada

telinga yang sebelumnya telah menderita otitis media supuratif kronik. 9,10

Pada keadaan ini otorea yang biasanya purulen berubah menjadi hemorhargik. Nyeri

yang hebat bisa disebabkan oleh otitis eksterna atau otitis media, tetapi bila tumor ganas telinga

disertai nyeri hebat, sangat mungkin disebabkan oelh invasi tumor ke tulang. Paresis fasial

perifer sering terjadi di samping gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan.

Terkenanya n. IX, X, XI dan XII menandakan penyebaran ke basis fosa kranii media dan

menandakan penyakit yang incurable.

39

Page 40: Tht Referat Tumor

c. Telinga dalam15,16

Tumor terpenting dari sistem vestibular adalah schwannoma (acoustic neuroma).

Tumor ini tidak selalu menginvasi vestibulum, tapi dapat juga terjadi pada kasus

neurofibromatosis. Vestibular schwannoma sebagian besar berasal dari glial-

neurilemmal junction dari saraf kranial ke delapan, yang umumnya terletak di antara

meatus auditorius interna.Metastase tumor dapat terjadi ke telinga tengah, namun hal

tersebut jarang terjadi.

Klasifikasi

Klasifikasi tumor ganas telinga tidak ditemukan di dalam klasifikasi TNM dari UICC

tahun 1987. Goodwin membagi pasien berdasarkan penyebaran ke arah medial menjadi 3

golongan yang kelihatannya praktis untuk penggunaan klinik:9,10

1 .Golongan 1: tumor yang mengenai konka daun telinga dan / atau bagian tulang rawan

liang telinga.

2 .Golongan 2: tumor mengenai bagian superfisial tulang temporal yaitu bagian tulang dari

liang telinga dan korteks mastoid.

2. Golongan 3: tumor sudah mengenai struktur dalam tulang temporal, telinga tengah,

kanalis fasial, basis kranii atau sel mastoid. Ada atau tidaknya pembesaran kelenjar

limfe regional harus diperhatikan secara terpisah.

40

Page 41: Tht Referat Tumor

Gambar 3.2 Berbagai macam lesi telinga

Diagnosis

41

Page 42: Tht Referat Tumor

Bila mungkin secepatnya dilakukan biopsi dari liang telingaatau dari leher. Otitis eksterna

kronik yang menetap merupakan indikasi pasti untuk biopsi liang telinga.

Gambar 3.3 Morphea type dari karsinoma sel basal daun telinga21

Gambar 3.4 Adenoma telinga tengah21

Gambar 3.5 Vestibular Schwannoma21

Pemeriksaan radiologik memegang peranan yang sangat penting untuk melihat lokasi

tumor dan perluasannya dengan tepat. Tanpa bantuan gambaran radiologi rencana pembedahan

dan radioterapi tidak dapat dibuat dengan baik. Politomografi dan CT scan dengan bidang aksial

42

Page 43: Tht Referat Tumor

dan koronal akan dapat membantu diagnosis yang lebih dini dan lebih memperlihatkan perluasan

tumor. Tomogram lateral penting untuk memperlihatkan erosi dinding liang telinga.

Erosi di dinding tulang yang membatasi telinga tengah dapat dilihat pada potongan koronal

tomogram. Lokasi dan perluasan tumor ( jaringan lunak ) ke fosa infra temporal dapat dilihat

dengan CT Scan. Venojugulogram dan arteriografi a. karotis kadang – kadang diperlukan untuk

melihat apakah ada infiltrasi tumor ke sinus lateralis dan bulbus jugularis atau ke a. karotis

interna.Ada kalanya terutama bila ada infeksi penunjang, tumor dapat menimbulkan gejala

pengeluaran secret, khususnya secret berdarah.

CT scan

CT scan dengan kontras merupakan uji diagnostik yang paling bermanfaat.

Angiografi dan Venografi

Pada beberapa kasus perlu dilakukan angiografi dan venografi jugular retrograde untuk

menegakkan diagnosis dan menentukan suplai darah dan derajat tumor.

Pengobatan

Beberapa penulis menganjurkan terapi radiasi untuk tumor ganas telinga, tetapi kondritis

yang disebabkan oleh radiasi dan nekrosis tulang yang terkena radiasi sering kali merupakan

komplikasi yang serius yang sukar untuk diatasi. Disamping itu radiasi juga akan menimbulkan

kesulitan untuk menentukan batas perluasan tumor. Cara pengobatan terbaik menurut

kebanyakan ahli adalah terapi operatif dengan eksisi luas secara lengkap dan utuh (“intoto”). Bila

perlu dapat diiringi radioterapi.

Bila tumor ditemukan dini, pasien memiliki lebih banyak kesempatan untuk sembuh

dibandingkan bila tumor telah lanjut sehingga memerlukan reseksi tulang temporal, dengan

kemungkinan kelangsungan hidup lebih sempit. Rabdomiosarkoma menyerang anak – anak

kecil. Penyakit ini pernah dianggap fatal namun dalam tahun – tahun terakhir telah dilaporkan

kesembuhan dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.

Tindakan Operasi

43

Page 44: Tht Referat Tumor

Suatu diagnosis jaringan sudah tentu memerlukan eksplorasi bedah pada tempat tersebut

dan pembedahan merupakan bentuk pengobatan yang lebih disukai pada kebanyakan kasus. Bila

tumor luas sering terdapat indikasi gabungan pembedahan dan radioterapi.

Oleh karena kompleksnya teknik operasi dan letak tumor, serta sulitnya melakukan

rekonstruksi luka operasi, kadang – kadang reseksi yang adekuat dari luas operasi harus

dikompromikan.

1. Tumor ganas daun telinga

Tumor ganas yang masih terbatas pada daun telinga dapat diangkat dengan berbagai

macam cara insisi dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi daun telinga.

2. Tumor ganas liang telinga

Tindakan operasi tumor ganas liang telinga lebih rumit oleh karena letak anatominya yang

berdekatan dengan koklea dan labirin, n. VII serta kaput mandibula.

Tumor ganas liang telinga yang masih terbatas pada bagian membrane (1/3 luar)

memerlukan eksisi luas jaringan lunak diikuti dengan tandur kulit.Tumor ganas yang mengenai

bagian tulang liang telinga (2/3 dalam) memerlukan ekstirpasi luas mencakup seluruh liang

telinga beserta membrane timpani dengan memperhatikan usaha untuk mencegah trauma n. VII.

Teknik operasinya disebut reseksi partial tulang temporal.

Cara reseksi partial tulang temporal ialah dengan melakukan mastoidektomi simple untuk

mengidentifikasi n. VII. Kemudian mengangkat seluruh liang telinga dan membrane timpani

secara utuh. Untuk tindakan ini pendekatan dilakukan dari dua arah. Yang pertama di sebelah

atas liang telinga melalui epitimpanum dan ramus zigoma kearah rongga sendi

temporomandibula. Pendekatan kedua dilakukan dengan membuat lubang – lubang kecil di

sebelah depan kanalis fasialis dengan bor kecil ke arah resesus fasialis di kavum timpani untuk

mencegah paresis fasial waktu pengangkatan seluruh liang telinga secara luas. Sisa perlekatan

setelah kedua pendekatan operasi itu dilakukan dilepaskan dengan bantuan osteotom.

44

Page 45: Tht Referat Tumor

Jika pneumatisasi mastoid buruk maka dilakukan pengangkatan liang telinga sedikit demi sedikit

(“piecemeal removal”). Pasca operasi diberikan radiasi, terutama bila diduga ada sisa – sisa

tumor yang tertinggal.

3. Tumor ganas telinga tengah dan mastoid

Bila tumor ganas sudah mengenai telinga tengah dan tulang temporal maka dilakukan

reseksi tulang temporal subtotal. Pada operasi ini dilakukan pengangkatan seluruh tulang

temporal di sebeah lateral dari meatus akustikus internus, sehingga hanya apeks petrosus yang

tertinggal. Pendekatan dilakukan melalui tiga arah. Pendekatan dari arah superior dengan

membuang sebagian besar tulang skuamosa sehingga tampak dura di daerah itu, kemudian tulang

petrosus dicapai.10,11

Pendekatan dari arah posterior dengan melakukan insisi tulang pada garis vertical tepat di

belakang tulang mastoid untuk membebaskan sinus sigmoid dan sinus lateral. Pendekatan dari

arah anterior dilakukan dengan melakukan insisi pada prosessus zigomatikus, prosessus

kondiloideus mandibula, kemudian ke fosa glenoidea sehingga hampir mencapai a. karotis dan

tampak tuba Eustachius. Kemudian basis prosessus stiloideus dipotong. Jaringan dapat

dilepaskan dengan menempatkan pahat di sebelah medial alur digastrik lalu memotong tulang ke

arah atas.10,11

Bila tumor telah mencapai apeks petrosus, maka dapat dilakukan reseksi total tulang

temporal. Untuk membuang apeks petrosus diperlukan diseksi a. karotis dan melepaskan apeks

petrosus dari dasar tengkorak. Tindakan ini penuh risiko terjadinya trauma a. karotis dan

kebocoran cairan otak yang akan lebih sukar diatasi. Oleh karena tindakan ini mempunyai

komplikasi berbahaya yang tinggi sekali dan prognosisnya tidak lebih baik dari reseksi subtotal,

hanya sedikit ahli yang melakukannya. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa bila tumor telah

mengenai apeks petrosus maka tumor sudah tidak mungkin di operasi lagi.10,11

Radioterapi

45

Page 46: Tht Referat Tumor

Para radioterapis pada umumnya sependapat bahwa segala jenis radioterapi untuk

karsinoma yang telah menginvasi tulang sedikit sekali gunanya. Radioterapi pre – operatif

diindikasikan untuk tumor yang telah menyebar luas dimana telah terjadi penyebaran ke dura.

Dosis radiasi pre operatif tidak melebihi 4000 rad.10,11

Radioterapi pasca operatif diindikasikan untuk pasien yang telah menjalani operasi

sebelum tindakan reseksi tulang temporal. Juga untuk kasus yang pada saat operasi tidak jelas

batas tumornya sehingga tidak bisa terangkat semuanya ataupun pada tumor yang besar

walaupun tepi operasi dianggap bebas tumor. Pemberian radiasi dianjurkan 4 – 6 minggu setelah

tindakan operasi dengan dosis yang tidak melebihi 4500 rad.10,11

Radioterapi paliatif diberikan pada kasus yang sangat lanjut atau kasus yang kambuh

setelah tindakan operasi dengan tujuan untuk mengatasi otore yang banyak, nyeri dan

perdarahan. Tumor yang tidak lagi dapat direseksi memperlihatkan respon dengan

radioterapi.10,11

Komplikasi Operasi

Tindakan operasi sering kali harus meninggalkan defek yang luas yang memerlukan

tindakan rekonstruksi yang sulit. Nervus fasial dan telinga sering kali harus dikorbankan

sehingga pasca operasi terjadi paresis fasial dan tuli saraf yang menetap serta vertigo untuk

beberapa minggu.Komplikasi operasi yang paling serius adalah kebocoran cairan otak yang

dapat berlanjut ke arah terjadinya meningitis dan abses otak.15,17,20

Operasi tulang temporal banyak menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang hebat dapat

terjadi bila terdapat trauma pada sinus otak ataupun dari a. karotis interna. Bila terjadi

thrombosis a. karotis interna dapat terjadi hemiplegia.Infeksi pasca operasi sering kali terjadi

terutama akibat lamanya tindakan operasi.Tindakan operasi yang berat ini juga dapat

menimbulkan kematian. Conley mendapatkan angka kematian 27 % akibat tindakan operasi dan

komplikasi pasca operasi.15,17,20

Prognosis

46

Page 47: Tht Referat Tumor

Prognosis tumor ganas telinga masih buruk. Kemajuan dalam teknik operasi dan

radioterapi belum banyak memperbaiki prognosis.Angka bertahan hidup 5 tahun yang dilaporkan

oleh kebanyakan penyelidik ternyata masih rendah, Lewis 27 %, Conley dan Goodwin 41 %,

John 18 % serta Wang 48 %.

3.2 Tumor Ganas Hidung dan Sinus

Pendahuluan

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun

yang ganas. Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari seluruh

keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok

dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan

hidung dan sinus paranasal ini ± 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi

lagi yaitu 91,4%)), ± 24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus

sfenoid dan frontal hanya 1%. (4) Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering

ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1.

Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain: tembakau, infeksi,

imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji.

Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh

tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul

didaerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari

hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor

sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.

Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga

seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Gejala dan

tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri lokal,

pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis.(22)

47

Page 48: Tht Referat Tumor

Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung termasuk: pemeriksaan fisik,

pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes pencitraan, dan biopsi.

Etiologi

Adenokarsinoma rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk,

1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma sel

skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan program penyaringan

diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus

paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang menentukan. Pekerja nikel memiliki

peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan

berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun masa laten.

Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus berhubungan dengan

adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan malignansi termasuk pigmen krom,

radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker

hidung dan sinus paranasal.(23)

Histopatologi

Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang

berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Metastase ke nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden

metastase servikal pada presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata

bermetatase ke area servikal.

Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung

sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena. Metastasis ke kelenjar leher

jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan sistem limfa kecuali

bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan sistem limfatik.

Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena

metastasis jauh adalah hati dan paru.

Karsinoma Sel Skuamosa

Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus

maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. Sel skuamosa merupakan

48

Page 49: Tht Referat Tumor

sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat

70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer

yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-

laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir

merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke

setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat

pertama adalah melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam

nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi

bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang

dapat direseksi.

Adenokarsinoma

Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus

paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih

berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan

dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi

secara hisologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.

Melanoma maligna

Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker

yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh

melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5%

keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai

kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi

tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya

terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya

reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak

direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren,

penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan.

Keseluruhan prognosisnya buruk.

49

Page 50: Tht Referat Tumor

Estesioneuroblastoma

Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang

terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal.

Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan

apakah terdapat perluasan pada intrakranial.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi primer dan arah dan

perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala hidung berupa obstruksi dan

epistaksis. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala

orbita seperti proptosis dan epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis

cenderung muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul

terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis.

Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor antrum. Tumor didalam

rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara kebetulan melibatkan nervus

infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah, atau perdarahan secara alternatif

menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada pasien dewasa yang tidak hipertensif

membutuhkan investigasi radiologis, namun radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari

untuk memberi resolusi inflamasi apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih

lebih baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda dan

gejala pasti menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis.

Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor selalu terlihat

jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan tampaknya polip nasal normal terlihat;

dengan demikian penting untuk memeriksa secara histologis semua bahan yang diangkat dari

hidung. Penyebaran inferior melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke

dokter gigi baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala

akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan epifora

dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih

sering. Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba.

50

Page 51: Tht Referat Tumor

Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan

simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan

otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi

tuba eustachius. Penyebaran superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan

meningkatkan volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat.(24)

Diagnosis

Jarangnya tumor ini, yang merupakan < 1% dari keseluruhan malignansi (3% tumor kepala-

leher), berarti bahwa banyak dokter umum yang tidak akan melihat pasien dengan penyakit ini

sepanjang karir profesional ini. Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan kemiripan gejala

dengan kondisi peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran pernafasan atas

mengakibatkan kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum tumor meluas

melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang pertama kali terlihat dan

diagnosisnya adalah 6 bulan.

Harapan terbaik untuk diagnosis awal terletak pada penggunaan besar-besaran pencitraan CT

untuk penilaian rinosinusitis kronis dimana gambaran radiologis akan menunjukkan diagnosis

yang benar. Penggunaan pencitraan CT dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat dari

perluasan tumor, dan perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah selanjutnya.

Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi tumor.

Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganas

Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima oleh seluruh negara di

dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus paranasal karena susunan

anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali ditemukan sudah dalam stadium lanjut.

Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan terapi. Kedua, untuk

meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk

keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai

tumor ganas.

51

Page 52: Tht Referat Tumor

Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem TNM, yaitu T =

Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe regional yang terkena dan M =

Metastasis.

Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem TNM, tetapi selama ini

belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM

biasanya mengikuti penentuan stadium TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM

ini pernah diajukan pada rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan

tersebut dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan

satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang diajukan oleh

Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada

untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi

sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang.

GARIS OHNGREN

Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer yang melalui

kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur supero-

posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-anterior (= infrastruktur). Yang termasuk

suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior

dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai

prognosis yang jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

52

Page 53: Tht Referat Tumor

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:

Kategori T untuk karsinoma sinus maksila

T1      : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.

T2      : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum dan/atau

meatus medius.

T3      : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau

sinus etmoid anterior.

T4      : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina

kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila

atau temporal, dasar tengkorak.

Kategori N untuk karsinoma sinus maksila

N0      : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.

N1      : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau

kurang.

53

Page 54: Tht Referat Tumor

N2a    : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm

tetapi tidak lebih dari 6 cm.

N2b    : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6

cm.

N2c    : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar

tidak lebih dari 6 cm.

N3      : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.

Kategori M untuk karsinoma sinus maksila

Mx      : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0      : Tidak ada metastasis jauh.

M1      : Ada metastasis jauh.

Penentuan stadium karsinoma sinus maksila

Stadium I      : T1, N0, M0

Stadium II     : T2, N0, M0

Stadium III    : T3, N0, M0 atau T1, T2 atau T3, N1, M0

Stadium IV    : T4, N0 atau N1, M0 atau semua T, N2 atau N3, M0 atau semua T, semua N, M1

Penatalaksanaan

Yang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan diagnosis. Kedua

menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi.

54

Page 55: Tht Referat Tumor

Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi, sedangkan untuk

menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana terapi dibuat berdasarkan

diagnosis histopatologi dan stadium tumor.

Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium tumor bila

tumor ganas.

Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus

paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman

untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan penentuan

stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus

karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat

sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara

pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara

operasi, radioterapi dan kemoterapi.

Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah

kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah “inoperable” atau menolak

tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi.

Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai

kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu

untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih

mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian

tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau

operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi

paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-metastasis yang terjadi

atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu operasi.

Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus maksila

dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan

maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris

dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus

55

Page 56: Tht Referat Tumor

sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor

sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah “inoperable” dan hanya

diberikan penyinaran saja.

Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan maksila yang dibuang.

Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus dipersiapkan sebelum operasi dan langsung

dipasang pada waktu operasi karena kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit

diperbaiki kemudian. Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada

kebanyakan operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan wajah

dengan bedah plastik.

Gambar 3.6 Operasi maksilektomi

Jadi, untuk penanganan tumor ganas hidung dan sinus, diperlukan kerja sama yang baik antar

berbagai disiplin ilmu, yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli patologi, ahli bedah mata, ahli

bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.

56

Page 57: Tht Referat Tumor

3.3 Tumor Ganas Tenggorokan

3.3.1 KARSINOMA NASOFARING

EPIDEMIOLOGI

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun

demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500

kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000

penduduk.

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring, sehinggga

kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,

Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan

Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya adalah

karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan

bahan pengawet Nitrosamin.

Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin

Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di

Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka yang di

dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini

terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor THT RSCM,

pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa

lainnya.(26)

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di berbagai

negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum berhasil.

Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa

penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus

Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.

57

Page 58: Tht Referat Tumor

Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu

kelainan dalam jangka waktu yang lama.

Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk

mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan

mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah : (27)

1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator

penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland .

Juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang

difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.

2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa

udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia

dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-

rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.

3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat

menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon

dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak

tumbuhan- tumbuhan.

4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak adalah

bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu

Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.

5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa

nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

MANIFESTASI KLINIK

Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang

sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor

masih terbatas di rongga nasofaring.(28)

A. Gejala Dini :

Gejala telinga :

1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius

58

Page 59: Tht Referat Tumor

Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai

dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.

2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.

Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara

tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi

makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga

dengan akibat gangguan pendengaran.

Gambar 3.7 Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius, yang

bertanda panah adalah tumor

Gejala Hidung :

1. Mimisan

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat

terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-

ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga

berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh penjalaran

tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding pembuluh darah

daerah ini.

2. Sumbatan hidung

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam

rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-

kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

59

Page 60: Tht Referat Tumor

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,

karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya.

Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

B. Gejala Lanjut :

1. Pembesaran kelenjar limfe leher

Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya

di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri.

Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama

sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan

nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.

Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan

mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit

digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran

kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke

dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai

tuberkulosis kelenjar.

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.

Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga

tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan

menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen

laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga yang

sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak

bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh

ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika

penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari

nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai

akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta

gangguan penciuman.

60

Page 61: Tht Referat Tumor

Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke

selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena

tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral)

tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.

3. Gejala akibat metastasis

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai

organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.

Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu

stadium dengan prognosis sangat buruk.

PATOFISIOLOGI

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan

termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit

seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF

merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah fossa

Rosenmulleri dan tempat bermuara tuba eustachius. Banyak faktor yang diduga berhubungan

dengan KNF, yaitu:

1. adanya infeksi EBV,

2. Faktor lingkungan

61

Page 62: Tht Referat Tumor

3. Genetik

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi

virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit.

EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu

komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV

berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian

yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya

menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya

EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada

dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu

CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr

dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus

epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat

mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi

transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya

perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,

LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada

infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase

yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling

berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam

amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166

asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1

menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin

IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap

karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki

62

Page 63: Tht Referat Tumor

agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen

pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap

karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang

terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di

asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan

mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan

nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.

Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung

formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara

mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.(29)

HISTOPATOLOGI

Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosit,

sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosit

ini sangat erat, sehingga sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett (1965) membagi

mukosa nasofaring atas empat macam epitel :

1. Epitel selapis thorax bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium”

2. Epitel thorax berlapis “Stratified Columnar Epithelium”

3. Epitel thorax berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium”

4. Epitel thorax berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium”

60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding posterior

nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel

transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan thorax bersilia.

Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang

dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel adalah tempat yang

subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

63

Page 64: Tht Referat Tumor

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe

ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya

diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada

umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor

secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan

nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.(29)

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat

radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr. Sedangkan jenis dengan

keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-

Barr.(30)

STADIUM KANKER

Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002)

T = Tumor primer

T0 - Tidak tampak tumor.

Tis – Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.

T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain).

T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.

T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).

T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai

saraf-saraf otak.

TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Nodule

N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .

NX - Pembesaran kelenjar regional tidak dapat dinilai

N0 - Tidak ada pembesaran.

N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6 cm

atau lebih kecil.

64

Page 65: Tht Referat Tumor

N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih kecil.

N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah

ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”

N3A – Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.

N3B – Tumor ditemukan diluar “segitiga leher”

M = Metastasis

M = Metastesis jauh

M0 - Tidak ada metastesis jauh.

M1 – Terdapat Metastesis jauh .

- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0

- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

65

Page 66: Tht Referat Tumor

- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

66

Page 67: Tht Referat Tumor

- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

67

Page 68: Tht Referat Tumor

- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol

dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:

I. Anamnesis / pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

II. Pemeriksaan nasofaring

Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

III. Biopsi nasofaring

68

Page 69: Tht Referat Tumor

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan

diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan

bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),

biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor

nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan

diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang

dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian

dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat

tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan

melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih

belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan

kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

IV. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan

buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai

adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan

intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel

tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau

bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan

jelas.

69

Page 70: Tht Referat Tumor

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu

bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada

tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi

lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

V. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

a) Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerah nasofaring

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

b) C.T.Scan

Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah

jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan

terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan

sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke

jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam

70

Page 71: Tht Referat Tumor

mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah

kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring,

baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria

tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih

akurat dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada

tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.

VI. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.

VII. Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid

antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi

karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien

karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah

97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan

terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,

sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer

yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

PENATALAKSANAAN

1. Radioterapi(31)

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Definisi Terapi Radiasi :

Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat

menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.

71

Page 72: Tht Referat Tumor

Persyaratan Terapi Radiasi

Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya

menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

- Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi

- Tipe tumor yang radiosensitif

- Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya

- Dosis yang optimal.

- Jangka waktu radiasi tepat

- Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping

radiasi.

Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum

kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar

5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan

bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama

5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,

“megavoltage”orthovoltage”.

Sifat Terapi Radiasi

Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :

- Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional

- Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi

sel tumor

- Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.

- Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.

- Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor

sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..

- Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.

- Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat

mengakibatkan defek imun secara general.

72

Page 73: Tht Referat Tumor

Jenis Pemberian Terapi Radiasi

Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :

1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.

2. Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan atau

intracavitary barchytherapy.

1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :

- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening

- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening

- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi

- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection

3. Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :

- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu

banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.

- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor

- Pengobatan kasus kambuh.

2. Kemoterapi(32)

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada

keadaan kambuh.

Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat

pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.

Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active

single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih

meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang

resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis

obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.

73

Page 74: Tht Referat Tumor

Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala

Leher

Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika)

untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu

Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,

Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan

Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan

didaerah kepala dan leher.

Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring

Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I

dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma

nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma

nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.

Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan

(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)

merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika

mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan

duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih

sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.

Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell

Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel

bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja

pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus

sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat

pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific.

Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU,

obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat

sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific

antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA

74

Page 75: Tht Referat Tumor

sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase

S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).

Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah

timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak

sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen

lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.

Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi

Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya

bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis

dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang

berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :

1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai

contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk

sintesis timidin.

2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti

CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan

replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin

mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan

demikian menghambat produksi mRNA.

3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,

menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan

mitosis.

Cara Pemberian Kemoterapi

Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :

1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan

radiasi.

2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi

pada kasus karsinoma stadium lanjut.

3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau

radiasi

75

Page 76: Tht Referat Tumor

4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama

pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi

(leukemia dan limfoma).

Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua

yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).

Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat

mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya.

Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna.

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi

yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis.

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko

kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala

leher dibagi menjadi :

o neoadjuvant atau induction chemotherapy

o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy

o post definitive chemotherapy.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal

dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca

radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah

dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. (33)

Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus

yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan

cara lain.(33)

4. Imunoterapi

76

Page 77: Tht Referat Tumor

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan

imunoterapi.

PROGNOSIS

Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil

pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil

pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh

beberapa faktor, seperti :

- Stadium yang lebih lanjut.

- Usia lebih dari 40 tahun

- Laki-laki dari pada perempuan

- Ras Cina dari pada ras kulit putih

- Adanya pembesaran kelenjar leher

- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

- Adanya metastasis jauh

Tidak seperti keganasan kepala leher lainnya, KNF mempunyai resiko terjadinya

rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi kurang

dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF

perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai

berikut :

- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan

- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan

- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup

77

Page 78: Tht Referat Tumor

PENCEGAHAN

- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr

yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko

tinggi.

- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan

untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan

faktor penyebab.

- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang

akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

3.3.2 TUMOR HIPOFARING

EPIDEMIOLOGI

Di Belanda tiap tahun terdapat sekitar 100 kasus baru karsinoma hipofaring. Dan 75%

kasus terjadi di sinus piriformis dan terutama pada laki-laki diatas 60 tahun. Di Swedia dan

Inggris lebih menonjol karsinoma postericoidal dan terutama pada wanita usia pertengahan.(35)

FAKTOR RESIKO

Tumor Hipofaring seringkali ditemukan bersamaan dengan tumor lainnya pada mulut dan

tenggorokan dan biasa dikenal dengan kanker kepala dan leher. Tumor-tumor tersebut memiliki

beberapa faktor resiko yang sama, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Tembakau and alkohol

Merokok adalah faktor resiko terpenting untuk kanker kepala dan leher (termasuk kanker

pada hipofaring). Penggunaan produk berbahan dasar tembakau akan membuat perubahan

pada sel yang terpapar.36

Resiko meningkat pada area dimana terdapat lebih banyak perokok daripada non

perokoknya. Kanker tersebut jarang ditemukan pada orang yang tidak pernah merokok.37

78

Page 79: Tht Referat Tumor

Konsumsi alkohol juga meningkatkan resiko terkena kanker. Peminum berat memiliki

resiko yang lebih tinggi beberapa kali daripada yang bukan peminum. Orang yang

mengkonsumsi keduanya, tembakau dan alkohol memiliki resiko yang paling tinggi.

Mengkombinasikan kedua kebiasaan tersebut bukan menambah resiko, tetapi malah melipat

gandakannya.37

b. Nutrisi

Nutrisi yang kurang dapat meningkatkan resiko untuk mengalami kanker kepala dan

leher. Tidak mengkonsumsi cukup makanan yang mengandung vitamin B dan vitamin A

retinoids mengambil peranan dalam perkembangan tumor. 37

c. Lemahnya sistem imun

Tumor hipofaring kebanyakan ditemukan pada orang-orang yang memiliki sistem imun

yang lemah. Sistem imun yang lemah dapat disebabkan oleh beberapa penyakit yang muncul

setelah kelahiran, seperti acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), dan beberapa

pengobatan (seperti pengobatan yang diberikan setelah transplantasi sumsum tulang dan

transplantasi organ).37

d. Paparan di tempat kerja

Paparan yang lama dan sering terhadap debu kayu, uap cat, dan beberapa bahan kimia

yang digunakan pada pembuatan logam, minyak tanah, plastik, dan industri tekstil juga

dapat meningkatkan resiko terkena tumor hipofaring.37

e. Jenis kelamin

Tumor pada hipofaring empat kali lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Hal ini

karena dua faktor resiko utama, alkohol dan merokok, lebih sering dilakukan oleh pria.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan tersebut juga menjadi biasa dikalangan wanita,

sehingga resikonya pun menjadi meningkat.37

f. Usia

Tumor pada hipofaring biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berkembang,

sehingga sangat jarang ditemukan pada orang muda. Lebih dari setengah pasien dengan

kanker tersebut, usianya lebih dari 65 tahun ketika tumor tersebut pertama kali ditemukan.37

g. Ras

Tumor pada hipofaring lebih sering ditemukan diantara ras Afro-Amerika dan kulit putih

daripada Asia dan latin.37

79

Page 80: Tht Referat Tumor

MANIFESTASI KLINIS

Nyeri di tenggorok waktu menelan yang menyebar ke telinga homolateral, kenaikan

produksi lender di tenggorok dan suara serak. Metastasis homogen kadang-kadang terjadi tetapi

jarang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan pertama. Penderita ini biasanya berada dalam

keadaan umum buruk, akibat intake makanan yang kurang.35

Gejala yang umum yang diperlihatkan untuk pasien kanker hipofaring adalah odinophagia,

disfagia, dan otalgia. Disfagia pada pasien ini biasanya progresif dan kesulitan menelan cairan

yang padat menunjukkan suatu lesi yang lebih lanjut. Pasien juga mengeluhkan harus berulang

kali membersihkan tenggorokan atau sensasi seperti ada benda bulat yang menghalangi. Otalgia

persisten unilateral yang pada pemeriksaan otoskopi normal dilanjutkan dengan pemeriksaan

endoskopik dari hipofaring tersebut. Dyspnea dan suara serak, ditemukan pada stadium akhir

dari penyakit, mungkin disebabkan oleh invasi laring langsung atau keterlibatan yang berulang

dari saraf laring tersebut.35

Untuk karsinoma hipofaring paling sering ditemukan di sinus pisiformis. Tumor yang

terletak dibelakang krikoid sering mengitari lumen sehingga menimbulkan keluhan disfagia.

Pada umumnya tanda utama berupa trias yang terdiri atas nyeri, disfagia, dan penurunan berat

badan. Nyeri dapat ditemukan pada lokalisasi tumornya atau sebagai nyeri alih, yakni otalgia

ipsilateral. Tumor lanjut menyusup ke laring dan dapat menimbulkan kelumpuhan pita suara

yang mengakibatkan suara parau.38

Detil riwayat penyakit, ditinjau dari sistem yang menyeluruh, dan peninjauan kembali dari

riwayat merokok dan minum sangat penting dalam memutuskan rencana perawatan yang tepat.

Banyak pasien dengan kanker hipofaring akan memiliki komorbiditas paru atau jantung, yang

dapat mempengaruhi terapi mereka. Kekurangan gizi yang signifikan juga dapat terjadi karena

diet yang tidak memadai atau konsumsi alkohol yang berlebihan.35

Sebelum melakukan pemeriksaan kepala dan leher dengan rinci, banyak informasi dapat

diperoleh dari menilai status umum pasien. Adanya suara serak, dispnea ringan, atau adanya

tanda dari stridor laring memberikan informasi mengenai keadaan jalan napas. Status gizi yang

buruk dapat dilihat dari pakaian longgar, kulit pucat, kehilangan turgor, dan kondisi umum

pada kulit dan kuku.

Pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh wajib bagi semua pasien. Pemeriksaan

rongga mulut meliputi evaluasi gigi, karena banyak pasien membutuhkan perawatan gigi

80

Page 81: Tht Referat Tumor

definitif sebelum terapi radiasi. Rongga mulut juga harus diperiksa misalkan adanya leukoplakia

atau lesi primer. Evaluasi laring dan hipofaring dan kemudian dapat dilakukan dengan

pemeriksaan cermin tidak langsung(indirect mirror examination). Sinus piriformis atas, flip

aryepiglottic, dan arytenoids dapat dilihat juga. Puncak sinus pyriform, mungkin tertutup oleh

sekresi. Adanya edema dan eritema pada struktur ini menunjukkan keterlibatan tumor.

DIAGNOSIS

Jika telah ditemukan gejala dan tanda yang mengarahkan diagnose ke tumor hipofaring,

maka untuk menegakkan diagnosis perlu untuk melengkapi beberapa pemeriksaan berikut :

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap

Langkah pertama yang paling penting adalah mengumpulkan semua informasi yang

lengkap seperti keluhan, faktor resiko, riwayat keluarga, dan kondisi kesehatan pasien secara

keseluruhan.37

Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menemukan tanda yang membuktikan adanya kanker

dan penyakit penyerta lainnya. Selain itu juga dapat menentukan apakah sudah terjadi

penyebaran atau metastase melalui pemeriksaan kelenjar limfe pada leher.

Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah tidak begitu membantu untuk mendiagnosa tumor hipofaring. Namun

hal ini berguna untuk menilai fungsi hati dan ginjal, selain itu juga dapat menilai kondisi

kesehatan pasien secara keseluruhan.

Pemeriksaan leher dan kepala

Siapapun yang dicurigai memiliki tumor hipofaring, maka perlu untuk melakukan

pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada area kepala dan leher. Dalam hal ini, untuk

memeriksa laring dan hipofaring diperlukan cermin laring atau fiber-optik laryngoscope.

81

Page 82: Tht Referat Tumor

Gambar 3.8 Tumor hipofaring

Gambar 3.9 Tumor Hipofaring yang disertai obstruksi jalan nafas

Pasien dengan tumor hipofaring memiliki resiko tinggi untuk memiliki tumor lain di

region kepala dan leher, sehingga nasofaring, mulut, lidah dan leher harus diperhatikan

secara seksama untuk menemukan adanya bukti tumor.

Panendoscopy

Panendoskopi adalah prosedur yang mengkombinasikan laryngoscopy, esophagoscopy,

and bronchoscopy secara bersamaan. Pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk

memeriksa keseluruhan area yang meliputi laring dan hipofaring, termasuk esophagus dan

82

Page 83: Tht Referat Tumor

trakea. Prosedur ini biasanya dilakukan di ruang operasi dengan pasien dalam kondisi

anastesi umum.37

Jika tumor yang ditemukan cukup besar atau tampak seperti menyebar, maka perlu untuk

melihat kedalam esophagus dan trakea penitng untuk menentukan ukuran tumornya dan

seberapa jauh penyebarannya ke daerah sekitar. Dapat pula dilakukan pengambilan sebagian

jaringan tumor (biopsy) untuk pemeriksaan histopatologis.37

Pemeriksaan Radiologis

Ketika tumor terdeteksi melaui pemeriksaan, maka pemeriksaan radiologis sangat

berguna untuk menentukan ada tidaknya penyebaran tumor.

o Computed tomography scan (CT-Scan)

Tes ini dapat membantu untuk menetukan ukuran tumor, apakah tumor tumbuh

kedalam jaringan terdekat, dan apakah tumor tersebut telah menyebar ke kelenjar limfe di

leher.

o Magnetic resonance imaging

Magnetic resonance imaging (MRI) scans berbeda dengan X-ray, dimana MRI

menggunakan gelombang radio dan medan magnet yang kuat. Energi dari gelombang

radio diserap dan kemudian dilepaskan berdasarkan pola tertentu berdasarkan jaringan

dan penyakit tertentu. Komputer kemudian menerjemahkan pola tersebut menjadi gambar

bagian tubuh yang sangat detail. Tidak seperti CT-Scan yang hanya mampu melakukan

potongan cross-sectional, MRI mampu memproduksi potongan yang parallel dengan

panjang tubuh.37

MRI sering kali digunakan untuk memeriksa daerah leher. MRI sangat membantu

untuk menghasilkan gambar otak dan spinal cord dengan jelas. MRI kadang lebih

membantu ketimbang Ct-scan.

83

Page 84: Tht Referat Tumor

Gambar 4.0 Tumor Hipofaring tampak pada T1-weighted MRI

o Barium swallow

Adalah rangkaian pemeriksaan x-ray yang diambil ketika pasien meneguk cairan

berisi kontras. Barium dapat terlihat pada x-ray sebagai sesuatu yang lemapisi

tenggorokan. Hal ini berguna untuk melihat penampilan tenggorokan ketika menelan

sesuatu. Hal itu juga dapat menunjukkan bagaimana penampakan hipofaring dan serta

fungsinya dalam proses menelan.

o Positron emission tomography

Tes ini berguna untuk melihat kelompok sel tumor yang masih kecil. Juga dapat

membantu menentukan apakah tumor tersebut benign atau malignant. Seringkali

digunakan untuk melihat apakah sudah ada penyebaran ke kelenjar limfe atau kejaringan

lainnya.

KLASIFIKASI TUMOR

Klasifikasi ini didasarkan atas pembagian yang disebutkan dalam tiga lokalisasi (sinus

piriformis, daerah post krikoid, dan dinding belakang). Klasifikasi TNM 1992 dari UICC

adalah: 35,39,40,41

Tis : Tumor in situ

T1 : tumor terbatas pada salah satu bagian dari hipofaring dan ukurannya

84

Page 85: Tht Referat Tumor

kurang dari 2 cm pada sisi terbesarnya

T2 : tumor menginvasi lebih dari satu bagian dari satu bagian dari

hipofaring atau menginvasi daerah yang berdekatan dengannya, atau

berukuran 2 - 4 cm, tanpa terfiksir pada hemilaring.

T3 : ukuran tumor melebihi 4 cm, dengan atau tanpa fiksasi dari hemilaring

T4a : tumor menginvasi salah satu dari : kartilago tiroid atau krikoid, tulang

hyoid, kelenjar tiroid, esophagus, kompartement pusat jaringan lunak.

T4b : tumor menginvasi fasia prevertebral, pembungkus arteri karotis, atau

menginvasi struktur mediastinum.

N0 : tidak ada kelenjar yang mencurigakan yang palpable

N1 : satu metastasis ipsilateral < 3 cm

N2a : satu metastasis ipsilateral > 3 cm dan < 6 cm

N2b : metastasis ipsilateral multiple < 6 cm

N2c : metas2tasis bilateral atau kontralateral < 6 cm

N3 : Metastasis > 6 cm

Mx : metastasis jauh belum dapatg ditentukan

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : ada metastasis jauh

Staging Tumor Hipofaring40

Stage 0 Tis N0 M0

Stage I T1 N0 M0

Stage II T2 N0 M0

Stage III T1, T2 N1 M0

T3 N0,N1 M0

Stage IV A T1, T2, T3 N2 M0

T4a N0, N1, N2 M0

Stage IV B T4b Semua N M0

Semua T N3 M0

Stage IV C Semua T Semua N M1

85

Page 86: Tht Referat Tumor

Penemuan kanker hipofaring berdasarkan lokasi :

Lokasi NO I II III IV

Sinus pysiformis 63 11 10 24 18

Dinding posterior faring 30 5 15 8 2

Area post krikoid 4 3 1

PENGOBATAN

Sejak tahun 1980 terapi tumor ganas orofaring dan hipofaring telah berkembang dengan

baik. Selain terapi penyinaran juga sudah dimulai terapi bedah dan jika diperlukan dilakukan

tindakan rekontruksi.42

Pengobatan pasien dengan kanker hipofaring sangat kompleks dan memerlukan

pertimbangan beberapa faktor. Beberapa faktor, termasuk sejauh mana penyakit primer dan

status kelenjar getah bening leher serta status generalis pasien, pemeriksaan paru, dan

komorbiditas, harus dipertimbangkan. Pengobatan untuk stadium awal (T1 dan T2) dari semua

subsites dari hipofaring, terapi radiasi definitif adalah pilihan pengobatan yang utama. Operasi

laring juga dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mempunyai indikasi untuk dilakukan

operasi . Reseksi tumor yang adekuat, bagaimanapun, tidak boleh terganggu oleh prosedur yang

mencoba untuk mempertahankan laring. Untuk kanker hipofaring stadium lanjut (T3 dan T4),

reseksi pembedahan diikuti dengan terapi radiasi pascaoperasi tetap menjadi pilihan terapi

standar. 35

Terapi bedah dilakukan terhadap tumor-tumor pada semua stadium yang belum mempunyai

metastasis ke leher atau metastasis jauh. Pada tumor yang telah memberikan metastasis ke leher,

sebelum tindakan operasi tumor primer dilakukan tindakan diseksi leher radikal dan dilanjutkan

dengan penyinaran. Untuk tumor yang sudah bermetastasis jauh hanya diberikan terapi

sitostatika.42

Tumor N0 M0 N+ M0 N+ M+

T1 Operasi + sinar RND+operasi+sinar(+sitostatika) Sinar+sitostatika

T2 Operasi + sinar RND+operasi+sinar(+sitostatika) Sinar+sitostatika

T3 Operasi + sinar RND+operasi+sinar(+sitostatika) Sinar+sitostatika

86

Page 87: Tht Referat Tumor

(+sitostatika)

T4 Operasi + sinar

(+rekonstruksi)

RND+operasi+sinar(+rekontruksi

)

Sinar+sitostatika

PROGNOSIS

Sebagai kelompok, tingkat kelangsungan hidup keseluruhan penderita kanker hipofaring

berkisar dari 35% menjadi 40% Kraus dkk. secara retrospektif ditinjau 132 pasien yang

menjalani operasi dan terapi pasca operasi untuk kanker hipofaring dan dilaporkan kelangsungan

hidup secara keseluruhan dan bebas penyakit 5 tahun 30% dan 41%, masing-masing. Kim dkk.

menemukan suatu perbandingan dari 5 tahun kelangsungan hidup penyakit dan bebas dari

penyakit tersebut sebanyak 46,8% dan 47,4% masing-masing, dalam tinjauan retrospektif

mereka dari 73 pasien dengan kanker hipofaring. Adanya metastasis kelenjar getah bening

regional, bagaimanapun, akan memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap angka-angka

ini. Kraus et al. melaporkan bahwa kelangsungan hidup pasien selama 5 tahun adalah 54% pada

pasien dengan N1 N0 atau penyakit, tetapi menurun menjadi 20% pada pasien dengan penyakit

N2 atau N3.35

KOMPLIKASI

Secara umum, komplikasi yang terkait dengan operasi besar di bagian lain dari kanker

kepala dan leher juga berlaku untuk pasca operasi laryngopharyngectomy. Kebanyakan

komplikasi awal reseksi tumor hipofaring adalah hasil dari kebocoran di lokasi penutupan faring.

Status gizi preoperatif pasien, riwayat terapi radiasi sebelumnya, serta jenis pilihan rekonstruksi

semua dapat mempengaruhi perkembangan fistula faring. Faktor lain seperti penutupan yang

ketat yang disebabkan oleh mukosa yang tersedia tidak memadai atau adanya tumor di margin

reseksi juga akan mengarah pada pengembangan fistula faring. Infeksi, perdarahan, serta tidak

terhentinya luka kulit juga umum pada pasien ini berisiko tinggi.35

Obstruksi airway biasanya menjadi perhatian di awal periode pasca operasi pasien yang

trakeostomi. Perawatan yang baik dan suction yang rajin di tabung trakeostomi dapat mencegah

masalah ini. Komplikasi berikutnya yang dapat terjadi setelah operasi kanker hipofaring adalah

aspirasi, yang jika parah, dapat menyebabkan pneumonia. Rehabilitasi menelan di bawah

pengawasan fisioterapi adalah wajib bagi pasien. Kesulitan menelan juga dapat disebabkan dari

87

Page 88: Tht Referat Tumor

stenosis setelah rekonstruksi circumferential dan mungkin memerlukan pelebaran ulang pada

saat rawat jalan.35

3.3.3 TUMOR LARING

EPIDEMIOLOGI (43)

Kekerapan tumor ganas laring di beberapa tempat di dunia ini berbeda-beda. Di Amerika

Serikat pada tahun 1973 – 1976 dilaporkan 8,5 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk

laki-laki dan 1.3 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk perempuan. Pada akhir-akhir ini

tercatat insiden tumor ganas laring pada wanita meningkat. Ini dihubungkan dengan

meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

Di RSUP H. Adam Malik Medan, Februari 1995 – Juni 2003 dijumpai 97 kasus karsinoma laring

dengan perbandingan laki dan perempuan 8 : 1. Usia penderita berkisar antara 30 sampai 79

tahun. Dari Februari 1995 – Februari 2000, 28 orang diantaranya telah dilakukan operasi

laringektomi total.

ETIOLOGI (43)

Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang

berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol, sinar radio aktif,

polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko terjadinya tumor ganas laring

pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu.

HISTOPATOLOGI (43)

Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor ganas laring, dengan

derajat difrensiasi yang berbeda-beda. Jenis lain yang jarang kita jumpai adalah karsinoma

anaplastik, pseudosarkoma, adenokarsinoma dan sarkoma.

Karsinoma Verukosa. Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan

tetapi klinis ganas. Insidennya 1 – 2% dari seluruh tumor ganas laring, lebih banyak mengenai

pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar

sehingga dapat menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau

jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan kontraindikasi.

Prognosanya sangat baik.

Adenokarsinoma. Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring. Sering dari

kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glottis. Sering bermetastase ke

88

Page 89: Tht Referat Tumor

paru-paru dan hepar. two years survival rate-nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah

reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi pasca operasi.

Kondrosarkoma. Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid 70%, tiroid

20% dan aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40-60 tahun. Terapi yang dianjurkan adalah

laringektomi total.

KLASIFIKASI (43)

Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi dan stadium

tumor ganas laring terbagi atas :

1. Supraglotis (30-35%)

2. Glotis (60-65%)

3. Subglotis (1%)

Yang termasuk supraglotis adalah : permukaan posterior epiglotis yang terletak di sekitar

os hioid, lipatan ariepiglotik, aritenoid, epiglotis yang terletak di bawah os hioid, pita suara

palsu, ventrikel. Yang termasuk glottis adalah : pita suara asli, komisura anterior dan komisura

posterior. Yang termasuk subglotis adalah : dinding subglotis.

Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC :

1. Tumor primer (T)

Supra glottis :

T is: tumor insitu

T 0 : tidak jelas adanya tumor primer l

T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal

T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel

atau pita suara palsu satu sisi.

T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara

palsu

T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi

T 3 : tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid bagian

belakang, dinding medial dari sinus piriformis, dan arah rongga preepiglotis.

T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring. Menginfiltrasi orofaring

jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.

89

Page 90: Tht Referat Tumor

Glotis :

T is : tumor insitu

T 0 : tak jelas adanya tumor primer

T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan

pergerakan normal

T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli

T 1b : tumor mengenai kedua pita suara

T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun subglotis dengan

pergerakan pita suara normal atau terganggu.

T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara

T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring

Sub glotis :

T is : tumor insitu

T 0 : tak jelas adanya tumor primer

T 1 : tumor terbatas pada subglotis

T 1a : tumor terbatas pada satu sisi

T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi

T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli dengan

pergerakan normal atau terganggu

T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara

T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring.

2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)

Nx : kelenjar limfe tidak teraba

N0 : secara klinis kelenjar tidak teraba

N1 : secara klinis teraba satu kelenjar limfa dengan ukuran diameter 3cm homolateral

N2 : Teraba kelenjar limfa tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6cm

N2a : satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter lebih dari 3cm tapi tidak lebih dari 6cm

N2b : multipel kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6cm

N2c : metastasisbilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih dari 6cm

N3 : metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm

90

Page 91: Tht Referat Tumor

3. Metastasis jauh (M)

Mx : tidak terdapat/terdeteksi

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : terdapat metastasis jauh

4. Stadium

STADIUM TUMOR PRIMER KEL.LIMFA METASTASIS

Stadium 1 T1 N0 N0

Stadium 2 T2 N0 N0

Stadium 3 T3 N0 M0

T1/T2/T3 N1 M0

Stadium 4 T4 N0/N1 M0

T1/T2/T3/T4 N2/N3

T1/T2//T3/T4 N1/N2/N3 M1

GEJALA DAN TANDA (43)(44)

Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah :

Suara serak

Gejala utama karsinoma laring. Merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini

disebabkan karena ganguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh

besar kecilnya celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran,

dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara

baik disebabkan ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik,

terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-kadang

menyerang saraf. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, menganggu,

sumbang, dan nadanya lebih rendah dari biasanya. Kadang bisa afoni karena nyeri,

sumbatan jalan nafas, atau paralisis komplit.

Hubungan antara suara serak dengan tumor laring tergantung dari letak tumornya.

Apabila tumbuh di pita suara asli, maka serak merupakan gejala dini dan menetap. Pada

tumor subglotik dan supraglotik, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak muncul

sama sekali.

Sesak nafas dan stridor

91

Page 92: Tht Referat Tumor

Terjadi karena adanya sumbatan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau

sekret, maupun fiksasi pita suara. Adanya stridor dan dispnea adalah tanda prognosis

kurang baik.

Rasa nyeri di tenggorok

Keluhan bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam.

Disfagia

Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring, hipofaring, dan sinus

piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor ganas

postkrikoid. Adanya odinofagi menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai

struktur ekstra laring.

Batuk dan haemoptisis

Batuk jarang pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring

disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Sedangkan haemoptisis sering pada tumor

ganas glotik dan supraglotik.

Pembengkakan pada leher

Biasanya dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menu jukan tumor pada

stadium lanjut.

Nyeri alih telinga ipsilateral, halitosis, penurunan berat badan

Perluasan tumor ke luar laring atau metastasis jauh.

Nyeri tekan laring

Gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago

tiroid dan perikondrium

DIAGNOSIS (41)(50)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan THT rutin

3. lanringoskopi indirek dengan kaca laring

4. Laringoskopi direk dengan menggunakan laringoskop

5. Radiologi foto polos leher dan dada

6. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI

7. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti

92

Page 93: Tht Referat Tumor

DIAGNOSA BANDING

1. TBC laring

2. Sifilis laring

3. Tumor jinak laring.

4. Penyakit kronis laring

PENGOBATAN (46,47,43)

Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi

dan sitostatika, ataupun kombinasi.

I. PEMBEDAHAN

Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :

A. LARINGEKTOMI

1. Laringektomi parsial

Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak

memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.

2. Laringektomi total

Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis

dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.

B. DISEKSI LEHER RADIKAL

Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena kemungkinan

metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan

tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher

sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah

terdapat metastase jauh.

II. RADIOTERAPI

Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan T2 dengan

hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak

93

Page 94: Tht Referat Tumor

cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari

sampai dosis total 6000 – 7000 rad.

Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som, Wang, dkk,

untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh kerusakan maksimal dari

tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada jaringan yang melapisinya. Wang

dan Schulz memberikan 4500–5000 rad selama 4–6 minggu diikuti dengan laringektomi total.

III. KEMOTERAPI

Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliativ. Obat yang

diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2 dan 5 FU 800–1000 mg/m2.

IV. REHABILITASI

Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas

laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup :

“Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation”.

Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring menyebabkan cacat

pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita suara yang berada di

dalamnya, maka pasien menjadi afonia dan bernafas melalui stoma permanen di leher.

Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara, yakni semacam

vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula, ataupun dengan suara yang dihasilkan dari

esofagus melalui proses belajar.

Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini. Tetapi faktor

fisik dan psiko-sosial merupakan 2 faktor utama. Mungkin dengan adanya wadah perkumpulan

guna menghimpun pasien-pasien tuna laring guna menyokong aspek psikis dalam lingkup yang

luas dari pasien, baik sebelum maupun sesudah operasi. (45)

PROGNOSIS

Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga

ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium I 90 – 98%

stadium II 75 – 85%, stadium III 60 – 70% dan stadium IV 40 – 50%. Adanya metastase ke

kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%.

94

Page 95: Tht Referat Tumor

3.3.4 TUMOR TONSIL

Epidemiologi

Keganasan tonsil merupakan keganasan di Amerika Serikat dengan angka lebih dari

0,5% dari semua jenis keganasan setiap tahunnya. Lebih dari 8000 karsinoma orofaringeal

didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya.Sebuah badan patologi di Amerika

mempunyai data dari tahun 1945 – 1976 ada sekitar 70% lebih dari keganasan di wilayah ini

adalah karsinoma sel skuamosa.Karsinoma sel skuamosa menyerang 3 – 4 kali lebih sering

pada laki – laki dibandingkan wanita dan sebagian besar berkembang dalam dekade kelima

kehidupan. Limfoma tonsil adalah keganasan yang paling sering terjadi nomer dua.(48)

Etiologi

Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk

merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus

juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein – Barr( EBV ) merupakan

pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah

terbukti sebagai ancaman.

Beberapa studi telah mengidentifikasi indikasi kehadiran HPV pada sekitar 60% dari

karsinoma tonsil.

Bila tonsil termasuk dalam studi wilayah orofaring, maka faktor risiko meliputi :

- Diet rendah buah dan sayuran

- Infeksi HPV

- Merokok

- Alkohol2

HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel basal epitel dan

dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.Meskipun lebih

dari 100 strain yang telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 paling sering dikaitkan dengan

kanker. Kode genom virus untuk oncoproteins E6 dan E7, yang telah meningkatkan aktivitas

di strain yang bersifat onkogenik.Oncoprotein E6 menyebabkan degradasi tumor

suppressor p53. Oncoprotein E7 merupakan tumor suppressor retinoblastoma ( Rb ).

Hilangnya pRB menyebakan akumulasi p16, yang biasanya akan menghambat

perkembangan siklus sel melalui siklin D1 dan CDK4 / CDK6. Karena akumulasi ini, p16

dapat digunakan sebagai penanda aktivitas HPV.49

95

Page 96: Tht Referat Tumor

Patofisiologi

Karsinoma sel skuamosa tonsil mungkin terbatas pada fosa tonsil, tetapi perluasan

pada ke struktur yang berdekatan sering terjadi.Karsinoma umumnya menyebar sepanjang

sulkus glosotonsilar melibatkan dasar lidah.Selain itu, penyebaran sering melibatkan

palatum mole atau nasofaring.Fosa tonsil dibatasi oleh otot superior konstriktor yang

mungkin berisi penyebaran karsinoma.

Namun ketika otot konstriktor dilampaui, ini menjadi keuntungan tumor untuk

mengakses ke ruang parafaring.Ini melibatkan otot – otot pterigoid atau

mandibular.Penyebaran ke arah superior dari ruang parafaring bisa melibatkan dasar

tengkorak dan penyebaran ke arah inferior bisa melibatkan leher bagian lateral.Akhirnya

keterlibatan yang luas dalam ruang parafaring mungkin melibatkan arteri karotis.

Metastase ke daerah limfatik sering terjadi.Metastase ke leher sebanyak kurang lebih

65%.Karsinoma sel skuamosa tonsil juga dapat bermetastase ke kelenjar getah

beningretrofaring.Metastase jauh dari karsinoma sel skuamosa tonsil terjadi sekitar 15 –

30%. Lokasi yang paling umum adalah paru – paru, diikuti oleh hati dan kemudian tulang.50

Tumor Tonsil Ganas

1) Karsinoma Sel Skuamosa Tonsil

Karsinoma sel skuamosa tonsil menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari tonsil,

tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi. Tampilannya hampir sama dengan limfoma

dan hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah

karsinoma sel skuamosa. Tumor ini relatif sering terjadi terutama pada usia 50 dan 70.

Perbandingan laki – laki dan perempuan adalah 3 – 4 : 1 dan sering dikaitkan dengan perokok

dan peminum alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke serviks bilateral sebanyak

15%, sedangkan metastase jauh ditemukan sekitar 7%.48

96

Page 97: Tht Referat Tumor

Gambar 4.1.Karsinoma

Sel Skuamosa

a) Etiologi

Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel

skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini

ada indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun

virus Epstein – Barr( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada

karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti

sebagai ancaman.

HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel

basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel

skuamosa orofaring.(51)

b) Gambaran histologis

Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk.

Varian berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini

telah dijelaskan yaitu carcinomabasosquamos Nonkeratinizing carcinoma ( sel

transisional atau tipe sinonasal ), dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau

lymphoepithelioma type.

c) Manifestasi klinis

Pasien dengan karsinoma tonsil mungkin tampak dengan massa pada leher.

Hal ini karena karsinoma muncul jauh di dalam kriptus.Sebuah karsinoma sel

skuamosa mungkin berasal dari 1 atau lebih lokasi dari tonsil itu sendiri.Selain itu

tonsil juga dapat membesar dan menonjol ke dalam rongga mulut yang

97

Page 98: Tht Referat Tumor

menjadikan tanda pada penderita. Tonsil kaya akan kelenjar limfoid berlimpah yang

membantu akses neoplasma dan bermetastase ke kelenjar leher. Semua faktor itu

menjelaskan mengapa pasien datang dengan massa leher.

Pembesaran kelenjar getah bening dengan tumor primer yang tersembunyi

harus segera diperiksa lebih lanjut pada tonsilnya. Karsinoma sel skuamosa primer

tersembunyi yang bermanifestasi sebagai limfadenopati leher adalah masalah umum

yang dihadapi oleh ahli THT.

Sakit tenggorokan, sakit telinga, sensasi benda asing di tenggorokan dan

perdarahan semuanya mungkin terjadi. trismus adalah sebuah tanda yang

mengindikasikan keterlibatan parafaring. Jika massa leher tidak jelas pada

pemeriksaan biasa, palpasi mungkin diarahkan ke bagian belakang yang dapat

menunjukkan adanya limfadenopati servikal.

Jika tumor telah melibatkan dasar lidah, kelenjar kontra lateral mungkin sudah

terlibat. Tumor tonsil primer dapat tumbuh sepenuhnya di bawah permukaan. Oleh

karena itu, dokter harus dapat melihat apapun yang mencurigakan atau mungkin hanya

melihat sedikit peningkatan ukuran tonsil .

Tanda dan gejala berupa penurunan berat badan dan kelelahan bukan

merupakan hal yang umum pada tumor ini.(48)

d) Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium

Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk

mengetahui riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering

menyebabkan fungsi hati. Selain itu untuk mengetahui metabolisme hepar

terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain sebelumnya dan terakhir

metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi.

Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat

membawa risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca

operatif.

Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal

diperlukan untuk memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang

ditangani oleh ginjal.

98

Page 99: Tht Referat Tumor

Pembekuan dan koagulasi ( termasuk jumlah trombosit dan lain – lain ).

Kepala dan leher adalah salah satu daerah yang paling kaya akan vaskularisasi

dalam tubuh manusia. Perdarahan adalah salah satu masalah besar dalam operasi

tonsil

b. Radiologi

CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi

metastasis dan untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor.Hal ini penting

dalam staging tumor tonsil.

MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan

lunak. CT scan dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan metastasi

ke paru – paru dan karenanya harus menjadi modalitas pilihan, setidaknya pada

pasien berisiko tinggi ( stadium 4, T4, N2 atau N3 ataupun tumor yang timbul dari

orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.52

e) Prosedur diagnostik

Biopsi adalahsatu – satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil berupa

limfoma, karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk menangani

jaringan dengan tapat. Beberapa jaringan segar mungkin diperlukan untuk studi, yang

tergantung waktu dan memerlukan penanganan segera. Beberapa jaringan harus

dibekukan dalam nitrogen cair. Pertimbangan lain yang sangat penting adalah

kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal

ini memerlukan ahli bedah untuk mengambil biopsy yang mendalam sehingga

neoplasma tidak meleset.Mengingat kecenderungan lesi ini bisa menimbulkan

perdarahan yang merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap untuk

yang hal yang tak terduga.

Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk menilai

sepenuhnya tentang tumor.Hal ini sangat membantu ketika memilih antara pendekatan

bedah terbuka dan endoskopi.Bronkoskopi dan esofagoskopi digunakan untuk menilai

tumor primer yang mungkin hadir pada saat diagnosis.

99

Page 100: Tht Referat Tumor

Tes HPV merupakan rekomendasi National Comprehensive Cancer Network

( NCCN ) sebagai faktor prognosis. Quantitative reverse transcriptase pcr ( QRT –

PCR ) memungkinkan perhitungan jumlah relatif dari mRNA yang ada pada sampel.

HPV – 16 ini paling sering digunakan untuk memeriksa karsinoma orofaring.Hal ini

bersifar sensitif dan spesifik. P-16 dapat diuji sebagai biomarker untuk aktivitas HPV

E7.48

f) Staging

Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh pierre

denoy dari prancis tahun 1953, terdapat kesepakatan pertama kalinya pada Internatinal

Congress of Radiology tetang perluasan tumor, dalam sistim TNM dan disetujui

sebagai sistim dari Union International Centre le Cancer (UICC). Sehingga pada

tahun 1954, terbentuklah TNM Commite untuk pertama kalinya. Disamping itu di

Amerika sendiri diterima suatu sistim TNM lain yang disebut The AmaricanJoint

Committee On Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun 1959.

Sistem TNM ini digunakan untuk menentukan stadium tumor ganas sebelum

dilakukan terapi. Sistim TNM ini ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara

anatomi dengan pengertian :

T : Perluasan untuk tumor primer

N : Status terdapatnya kelenjar limfe regional

M : Ada atau tidak adanya metastasis jauh

Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya bersifat sama untuk seluruh

keganasan, kecuali untuk tumor ganas kelenjar liur dan tiroid. Klasifikasi stadium

terdapat sedikit kelemahan bagi tumor ganas asalnya, misalnya perluasan tumor ganas

dari rongga mulut ke orofaring atau sebaliknya, juga tumor ganas laring yang meluas

ke hipofaring atau sebaliknya.53

Tabel 4. Klasifikasi klinis TNM (1992)

T (tumor primer)

Tx

To

Tumor primer tidak dapat ditemukan

Tidak ada tumor primer

100

Page 101: Tht Referat Tumor

Tis

T1,T2,T3,T4

Karsinoma in situ

Besarnya tumor primer

N (kelenjar limfa regional)

Nx

No

N1,N2,N3

Tidak menemukan kelenjar limfe regional

Tidak ada metastasis kelenjar lemfe regional

Besarnya kelenjarlimfe regional

M (metastasi jauh)

Mx

Mo

M1

Tidak ditemukan metastasis jauh

Tidak ada metastasis jauh

Terdapat metastasis jauh

Tabel 5. Klasifikasi kelenjar limfe regional (UICC)

Nx Kelenjar limfe regional tidak ditemukan

No Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1 Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran < 3 cm

N2

N2a

N2b

N2c

Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukran >3cm - < 6cm, multipel,

pada satu sisi dan tidak >6cm atau bilateral /kontralateral juga

tidak lebih dari 6cm.

Metastasis pada satu sisi, tunggal, >3cm - <6cm

Metastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm

Metastasis bilateral/kontralateral, tidak lebih dari 6cm

N3 Metastasis ukuran lebih dari 6cm

Tabel 6.Stadium tumor ganas leher dan kepala (UICC & AJCC) kecuali tumor kelenjar

liur dan tiroid.

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T2 N0 M0

Stadium III T3 N0 M0

101

Page 102: Tht Referat Tumor

T1 atau T2 atau T3 N1 M0

Stadium IV T4 N0 atau N1 M0

Tiap T N2 atau N3 M0

Tiap T tiap N M1

2) Limfoma Tonsil

Limfoma sulit dibedakan dengan “ undifferentiated “ karsinoma dan limfoma

marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah

besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar ( dalamnormal saline, bukan dalam

larutan formaldehida ) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah

tonsilektomi lebih baik di periksa jaringannya.

Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil.

Limfoma tonsil biasanya ditandai dengan massa submukosa dan pembesaran asimetris

pada salah satu tonsil. Bila terdapat limfadenopati , maka pembesaran kelenjar getah

bening diamati pada sisi yang sama.

a) Definisi

Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul

dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan

proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-

sel dan derivatnya).

b) Epidemiologi

Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker

yang ada.Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini

merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma

hodgkin sering pada Usia 20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma non-

hodgin sering pada usia tua dengan puncak di atas 60 tahun.

c) Etiologi

102

Page 103: Tht Referat Tumor

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif.Penyebabnya tidak

diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan

pada limfoma Burkitt.Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan

non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

pengidap virus HIV.

d) Klasifikasi

Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik

dari kelenjar limfe yang terlibat.Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan non-

Hodgkin.

e) Gejala Klinis

(1) Pembengkakan kelenjar getah bening

Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher,

kelenjar ini multiple, tidak nyeri dan bebas. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat

tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus

digestivus atau pada organ-organ parenkim.

(2)Demam

(3)Gatal-gatal

(4) Keringat malam

(5) Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui

penyebabnya.

(6) Nafsu makan menurun.

(7) Daya kerja menurun

(8) Terkadang disertai sesak nafas

(9) Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)

(10) Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara

sentripetal dan relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada

limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetastasis

ke tempat yang jauh.

103

Page 104: Tht Referat Tumor

f) Diagnosis

Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler,

aksila dan inguinal.Mungkin lien dan hati teraba membesar.Pemeriksaan

laboratorium.Pemeriksaan darah yaitu hemogram dan trombosit. LED sering meninggi

dan kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis.Keterlibatan hati dapat diketahui

dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.

Gambar 4.2. Sel Reed Sternberg

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH/ FNAB), Ciri khas sitologi biopsi

aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit, pleomorfik dan adanya sel Reed-

Sternberg.Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti

satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter

sitologi Limfoma Hodgkin.

104

Page 105: Tht Referat Tumor

Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin

adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan

difus.Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi,

biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif.

Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran

klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.

Histopatologi biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga

identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma

Hodgkin ataupun limfoma non-Hodgkin.

(1) Limfoma Hodgkin

(a) Limfositik, berdifrensiasi baik

(b) Limfositik, berdiferensiasi buruk

(c) Sternberg Reed cell

(d) Limfositik histiositik

(e) Mixed cell

(2) Limfoma Non Hodgkin

(a) Limfositik predominan

(b) Mixed cell

(c) Limphositic deplecion

(d) Nodular sklerotik

g. Stadium

I Bila tumor terdapat pada satu kelompok KGBatau pada organ

ekstrlimfatik selama masih soliter

II Bila tumor didapat pada 2/> kelompok KGB pada pihak yang

sama dari pihak diagfragma/ bila terdapat pada 1 / lebih

kelompok KGB disertai tumor soliter ekstralimfatik, namun

masih dalam suatu pihak diagfragma

III Bila terkena KGB pada 2 pihak diagfragma, dan apabila ada

105

Page 106: Tht Referat Tumor

organ ekstraimfatik terkena, masih soliter

IV Bila penyakit ditemukan difuse pada 1 organ atau >

dengan/tanpa terserangnya KGB

h. Radiologi

1) Foto thoraks

2) Limfangiografi

3) USG

4) CT scan

i. Terapi

Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh

berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi.

Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk

diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.54 55

1) Radiasi

a) Untuk stadium I dan II secara mantel radikal

b) Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi

c) Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation

d) Untuk stadium IV secara total body irradiation

2) Kemoterapi untuk stadium III dan IV

Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca

radiasi.Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.

COP (Untuk limfoma non Hodgkin)

C :Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari I

O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I

P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tappering off

106

Page 107: Tht Referat Tumor

MOPP (untuk Limfoma Hodgkin)

M :Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8

O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII

P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV

P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV.54,55

1. Tatalaksana

Karsinoma biasanya mengenai daerah tonsil. Daerah ini meluas dari trigonum

retromolar termasuk arkus tonsila posterior dan anterior demikian juga dengan fosa

tonsilanya sendiri.Tumor yang meluas ke daerah inferior ke dasar lidah dan ke superior

pada palatum mole. Jika tumor kecil ( T1, T2, N0 ) mungkin diatasi dengan penyinaran,

sedangkan tumor yang besar ( T3 T4 ) memerlukan reseksi pembedahan, seringkali disertai

terapi radiasi sebelum dan pasca operasi. Lesi – lesi yang kecil dengan metastasis yang

dapat dipalpasi biasanya diatasi dengan reseksi pembedahan dan penutupan

primer.Reseksi ini dianggap sebagai tindakan gabungan. Flap lidah lateral, dahi, otot

kulit, atau servikal dapat menutup cacat yang besar.

Gambar 4.3. Lokasi

radioterapi

107

Page 108: Tht Referat Tumor

Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar getah

bening jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening tonsil. Karena

metastasis dini dari lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher biasanya termasuk

dalam tindakan bedah.56

Tabel 4.4 Penatalaksanaan

108

Page 109: Tht Referat Tumor

3.4 Tumor Ganas pada Leher

Setiap benjolan yang terdapat di leher harus dipikirkan akan kemungkinan suatu keganasan atau

metastasis dari tumor primer di tempat lain. Tumor leher dibagi atas tumor leher medial yang

dapat bersifat solid dan kistik; dan tumor leher lateral yang juga bersifat solid dan bersifat kistik.

Tumor leher --------------------------------------- 15% tiroid

85%

Tumor non tiroid ---------------------------------- 15% radang/bawaan

85%

Neoplasma ------------------------------------------- 15% benigna

85%

Maligna --------------------------------------------- 15% primer: - kelenjar liur

- limfoma

85%

Metastasis ------------------------------------------ 15% retroklavikula

85%

Leher

109

Page 110: Tht Referat Tumor

3.4.1 LIMFOMA NON HODGKIN

Definisi

Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer

jaringan limfoid yang bersifat padat. Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit yang

heterogen, tergantung dari gambaran klinik, imunofenotiping dan respons terhadap terapi.

Gambaran penyakit yang progresif lebih sering didapatkan pada anak dibanding dewasa.

Demikian pula gambaran histopatologik difus sering didapatkan pada anak (90%) daripada

gambaran noduler atau fotikuler pada dewasa.1 Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai

limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin,

khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi

imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi

ginjal dan jantung.(57,58,59)

Epidemiologi

Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak, hampir sepertiga

dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan susunan syaraf pusat. Angka kejadian

tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih

sering bila dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya

setiap tahun diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 persejuta anak di bawah usia 14 tahun.

Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.(57)

Gambaran Histologik

Anggapan pertama adalah bahwa status diferensiasi limfosit dapat dilihat dari ukuran dan

konfigurasi intinya, sel-sel limfoid yang kecil dan bulat dianggap sebagai sel-sel yang

berdiferensiasi baik, dan sel-sel limfoid kecil yang tidak beraturan bentuknya dianggap sebagai

limfosit yang berdiferensiasi buruk. Anggapan kedua adalah sel-sel limfoid besar dengan inti

vesikular dan mempunyai banyak sitoplasma yang biasanya berwarna pucat dianggap berasal

dari golongan monosit makrofag (histiosit).

Klasifikasi histopatologik sangat komplek dan tumpang tindih dengan klasifikasi yang lain

misalnya klasifikasi imunologik, sitogenetik maupun molekuler sehingga masih

110

Page 111: Tht Referat Tumor

membingungkan. Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari Rappaport (R), Kiel (K),

Lukes dan Collins, WHO, dan Working Formulation (WF) (tabel II.1).

Tabel 3.3.1 Klasifikasi histopatologik LNH pada anak.

Kiel Rappaport Working Formula

High grade

Limfoma Burkitt’s dan

bentuk lainnya

Difuse undifferentiated

(Burkitt’s & non burkitt’s)

High grade

Small non cleaved cell

Limfoblastik konvoluted

Limfoblastik non klasifikasi

Limfoblastik difus Limfoblastik

Imunoblastik

Sentroblastik

Histositik difus Imunoblastik sel besar

Intermediate grade

Difus sel besar

Limfoma non Hodgkin pada anak seringkali mempunyai gambaran yang difus dan

dimasukkan dalam 3 kategori gambaran histologik sebagai berikut:

1) Limfoblastik Burkitt’s (K) atau small non cleaved (WF)

2) Limfoblastik (WF) non Burkitt’s (K)

3) Imunoblastik dan sentroblastik (K) atau “large cell” (WF)

Dua kelompok yang pertama paling banyak ditemukan yaitu mencapai 70-90% dari kasus

yang terdiagnosis.

Imunofenotiping(57)

Dengan pemeriksaan ini akan lebih jauh dapat mengetahui tentang Limfoma Non Hodgkin,

khususnya dengan ditemukannya antibodi monoklonal yang dapat diidentifikasi adanya antigen

permukaan baik pada sel B maupun sel T juga pada tingkat pematangan sel. Antibodi tersebut

digolongkan dalam cluster differentiation (CD).

Dengan pemeriksaan tersebut di atas limfoma non Hodgkin pada anak dapat

dikelompokkan ke dalam 3 kelompok:

1) Proliferasi sel B yang ditandai dengan adanya imunoglobulin monoklonal di permukaan

sel.

2) Proliferasi sel T

3) Proliferasi non T-non B

111

Page 112: Tht Referat Tumor

Pembagian ini nampaknya hampir sama pada LLA.

Sitogenetik dan Biologi Molekuler(57)

Pemeriksaan sitogenetik dan biologi molekuler saat ini sangat berarti dalam membantu kita

mengetahui proses limfoma non Hodgkin lebih mendalam tetapi belum dapat dipergunakan

untuk tindakan terapi. Pada limfoma Burkitt’s sel tumor ditandai oleh adanya translokasi pada

lengan panjang kromosom 8, regio q 23-q 24 t (8;14) (q24;q32), beberapa versi lainnya t(2;8)

(p12;p24) dan t(8;2) (q24;q11).

Etiologi dan Patogenesis

Penyebab pasti limfoma non Hodgkin tidak diketahui, namun LNH dapat disebabkan oleh

abnomalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom dan infeksi virus. Translokasi kromosom

dan perubahan molekular sangat berperan penting dalam patogenesis limfoma, dan berhubungan

dengan histologi dan imunofenotiping. Translokasi t(14;18)(q32;q21) adalah translokasi

kromosomal abnormal yang paling sering dihubungkan dengan LNH. Beberapa infeksi virus

berperan dalam patogenesis LNH, seperti virus Epstein Barr yang merupakan penyebab paling

seringa pada limfoma Burkitt,limfoma pada pasien dengan imunocompremised dan penyakit

Hodgkin.(58,59)

Faktor resiko limfoma non Hodgkin

Terdapat beberapa faktor resiko yang diketahui berpengaruh pada LNH, walaupun demikian,

faktor-faktor resiko ini tidak diperhitungkan melebihi bagian kecil dari jumlah seluruh kasus

limfoma non Hodgkin. Pada kebanyakan pasien dengan limfoma non Hodgkin, tidak ada

penyebab penyakit yang dapat ditemukan. Lebih jauh lagi, banyak orang yang terpapar pada

salah satu faktor resiko yang diketahui tidak menderita limfoma non Hodgkin.(58)Beberapa faktor

resiko tersebut seperti infeksi, imunosupresi,dan faktor lingkungan.

Infeksi sebagai faktor risiko limfoma non Hodgkin

Beberapa infeksi virus telah memperlihatkan adanya hubungan dengan peningkatan limfoma non

Hodgkin. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuan virus dalam menginduksi stimulasi

antigen kronik dan disregulasi sitokin yang menyebabkan stimulasi, proliferasi, dan

limfomagenesis yang tidak terkontrol dari sel B dan sel T.(58)Beberapa virus tersebut antara lain:

112

Page 113: Tht Referat Tumor

Human immunodeficiency virus (HIV/AIDS)

Human T cell leukemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1)

Epstein-Barr virus (EBV)

Gambar 4.5. Ilustrasi Virus(58)

Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap limfoma non Hodgkin dari pada orang

lainnya. Munculnya limfoma non Hodgkin pada orang dengan HIV positif mengindikasikan

bahwa full-blown AIDS telah terjadi.

Meningkatnya risiko kemungkinan terjadi karena penekanan sistim kekebalan yang

disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS-yang berhubungan dengan limfoma non Hodgkin

memberikan gambaran tidak seperti umumnya atau timbul disisi yang tidak umum dibandingkan

dengan jenis limfoma non Hodgkin.

Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu

waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular.

Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan

bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi.

Human T-cell leukaemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1), aslinya berasal dari Jepang dan

Karibia, juga suatu penyebab yang sangat jarang dari limfoma non Hodgkin, terdapat suatu jarak

antara infeksi virus dan timbulnya penyakit.

Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan

dengan infeksi virus. Akan tetapi, infeksi dengan Helicobacter pylori, yang dapat menyebabkan

tukak lambung dan menyerang lambung, dihubungkan dengan bentuk limfoma yang jarang yang

dikenal sebagai limfoma MALT, yang biasanya timbul di lambung. Antibiotik untuk

mengeradikasi infeksi bakteri sering menyembuhkan kondisi ini, jika diberikan cukup dini.

113

Page 114: Tht Referat Tumor

Gambar 4.6 Ilustrasi Bakteri

(Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan dengan

infeksi virus)

Imunosupresi sebagai faktor risiko untuk limfoma non Hodgkin

Orang dengan imunosupresi, dimana sistim pertahanannya menurun, menghadapi peningkatan

risiko terserang limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin karena kontrol multiplikasi sel B

tergantung pada fungsi normal sel T. Jika fungsi sel T menjadi abnormal, seperti pada kasus

orang dengan imunosupresi, sel B dapat berlipat ganda melalui suatu cara yang tidak terkontrol,

meningkatkan peluang untuk terserang penyakit ini.

Salah satu sebab utama imunosupresi adalah obat yang diberikan untuk mencegah

penolakan dari organ yang ditransplantasikan atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang

mendapatkan transplantasi organ mempunyai peningkatan risiko menderita limfoma non

Hodgkin.(58,60)

Perjalanan alamiah penyakit

Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh

lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh sangat

lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak

terdeteksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti

ketika pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin

menemukan pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu

pemeriksaan, seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan

sesuatu yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma

non Hodgkin. Akan tetapi, beberapa pasien limfoma non Hodgkin indolen berobat ke dokter

karena gejalanya.

114

Page 115: Tht Referat Tumor

Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai

benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin

mempunyai gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Limfoma non Hodgkin indolen tumbuh

lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut

saat pertama terdiagnosis.(58)

Manifestasi Klinik

Limfoma non Hodgkin mempunyai gambaran klinis oleh massa abdominal dan intrathorakal

(massa mediastinum) yang sering kali disertai dengan adanya efusi pleura. Pada anak yang lebih

besar massa mediastinal ini seringkali (25-35%) ditemukan khususnya pada limfoma

limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol adalah nyeri, disfagia, sesak napas, pembengkakan

daerah leher, muka, dan sekitar leher akibat adanya obstruksi vena cava superior. Pembengkakan

kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas diafragma meliputi leher, supraklavikula atau

aksiler, tetapi jarang sekali retroperitoneal. Adanya pembesaran kelenjar limpa dan hati

menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang dan seringkali pasien menunjukkan gejala-

gejala leukemia limfoblastik akut, jarang sekali melibatkan gejala susunan saraf pusat, kadang-

kadang disertai pembesaran testis.(57,58,60)

Limfoma limfoblastik merupakan bentuk yang berkembang secara progresif, dengan

gejala yang timbul dalam waktu singkat kurang dari satu bulan. Gambaran laboratorium biasanya

masih dalam batas normal, dengan kadar LDH dan asam urat yang meningkat sebagai akibat

adanya tumor lisis maupun adanya nekrosis jaringan.(57)

Stadium Limfoma Non Hodgkin

Penentuan stadium sangat penting untuk diagnosis, adanya keterlibatan beberapa jaringan

limfoid serta implikasinya pada pengobatan. Penentuan stadium yang paling banyak digunakan

adalah dari St. Jude Childrens Research Hospital (Tabel II.2).(57)

Tabel 3.8.1 Skema Stadium LNH dari St.Jude Childrens Research Hospital.

I Tumor tunggal ekstranodal atau tumor di daerah tunggal nodal, kecuali di

daerah mediastinum atau abdomen

II Tumor tunggal (ekstranodal) dengan keterlibatan kelenjar regional pada satu

sisi diafragma pada dua atau lebih area nodul

115

Page 116: Tht Referat Tumor

Dua tumor (ekstranodal) dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar regional

Tumor lebih dari satu, tetapi masih satu sisi dengan diafragma

Tumor primer pada gastrointestinal (ileosaekal) dengan atau tanpa

keterlibatan kelenjar mesenterium

III Tumor lebih dari dua (ekstranodal) pada kedua sisi diafragma

Tumor dua atau lebih pada satu sisi diafragma

Tumor primer di daerah intrathorakal (mediastinal, pleura, timus)

Tumor meluas pada intraabdominal yang tidak dapat direseksi

Tumor pada paraspinal atau epidural

IV Tumor meluas dan penyebaran ke sumsum tulang atau susunan saraf pusat

Diagnosis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting, diagnosis ditegakkan dengan biopsi,

pemeriksaan sitologis cairan efusi maupun aspirasi sumsum tulang, bila dimungkinkan dengan

pemeriksaan imunologik dan sitogenik untuk membedakan antara sel B atau sel T. Kriteria untuk

masing-masing kelompok tersebut adalah : (57)

a) Limfoblastik sel B ditandai oleh:

Ditemukannya imunoglobulin monoklonal sel B pada permukaan sel dan pertanda sel

B lainnya misalnya: CD 19-24

Translokasi (8;14), t(2;8), atau t(8;22)

Gambaran histologis: Burkitt’s dan B limfoblastik (K) atau undifferentiated atau small

non cleaved (W)

Gambaran L3 pada klasifikasi F AB

Primernya ada di intra abdominal

b) Limfoblastik sel T ditandai oleh:

Petanda sel T positif (misal CD 3, 5-8)

Gambaran histologi: limfoblastik

Gambaran L1 atau L2 pada klasifikasi FAB

Reaksi positif dengan asam fosfat

116

Page 117: Tht Referat Tumor

Primer pada kelenjar timus

Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi

hati dan funsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen, bone scan.

Tata Laksana

Limfoma non Hodgkin khususnya limfoma limfoblastik sel T seringkali disertai dengan berbagai

komplikasi, untuk itu dibutuhkan pengelolaan secepatnya. Sebelum pengobatan dengan

kemoterapi harus diperhatikan terlebih dahulu problem jalan napas, pembuluh darah dan

gangguan metabolik yang ada.(57)

Pemberian alopurinol, hidrasi yang cukup, dan alkalinisasi urin perlu segera diberikan pada

pasien dengan tumor yang cukup luas untuk mencegah terjadinya nefropati akibat lisis tumor

yang seringkali terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.(57)Terapi yang dilakukan biasanya

melalui pendekatan multidisiplin.Terapi yang dapat dilakukan adalah: (58,60)

1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:

Pada prinsipnya simtomatik:

- Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP

(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)

- Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk

lokal dan paliatif.

Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy

2. Derajat Keganasan Menengah (DKM) / agresif limfoma:

-Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP

(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone)

- Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk

tujuan paliasi.

3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)

DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)

- Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

- Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:

a. Setelah siklus kemoterapi keempat

b. Setelah siklus pengobatan lengkap

117

Page 118: Tht Referat Tumor

Pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat didiagnosis pada stadium dini (stadium

I atau II). Ini disebabkan karena mereka umumnya menyadari pertumbuhan yang cepat dari

kelenjar getah bening yang terkena dan karenanya mengunjungi dokter dan cepat dirujuk untuk

pengobatan oleh dokter spesialis.(61)

Pengobatan yang biasa diberikan untuk pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif

stadium dini adalah beberapa jadwal kemoterapi, kombinasi, dengan lebih dari satu obat

kemoterapi yang diberikan, biasanya bersama dengan steroid, seperti prednisolon (contohnya,

CHOP). Di kebanyakan negara, diberikan antibodi monoklonal rituximab dalam kombinasi

dengan kemoterapi CHOP sebagai terapi standar. Antibodi monoklonal meningkatkan efektivitas

pengobatan bermakna, tanpa meningkatkan efek samping.(58,59,60)

Radioterapi terkadang diberikan setelah kemoterapi. Jarang kedua pengobatan diberikan

pada saat yang sama. Radioterapi ditujukan secara spesifik terhadap kelenjar getah bening yang

terkena. Pengobatan stadium dini (stadium I dan II) limfoma non Hodgkin agresif dapat

mencapai kesembuhan atau remisi pada sekitar 80% pasien. Beberapa pasien tidak memberikan

respon terhadap terapi standar. Pada pasien-pasien ini, dan pada mereka yang mengalami

kekambuhan, diperlukan pengobatan lebih lanjut.

Pasien yang didiagnosis dengan limfoma non Hodgkin agresif pada stadium lanjut

(stadium III atau IV) diberi kemoterapi kombinasi dengan ataupun tanpa antibodi monoklonal.

Meski demikian, kemoterapi kadang-kadang diberikan lebih lama daripada pada penyakit

stadium awal dan mungkin juga diberikan radioterapi. Secara keseluruhan, antara 40% dan 70%

pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat disembuhkan dengan pengobatan pertama. (58,59.60)

Prognosis

Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan limfoma

sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu yang lama dan

dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi agresif berisi doksorubisin

mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.(59,60)

118

Page 119: Tht Referat Tumor

3.4.2 LIMFOMA HODGKIN

Sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas etiologi maupun patologi penyakit

Hodgkin, namun diakui bahwa banyak di antara anak dengan penyakit Hodgkin yang mampu

bertahan hidup dalam beberapa tahun. Masih banyak kontroversi tentang tumor yang seringkali

terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.(57)

Definisi

Penyakit Hodgkin adalah kanker yang berawal dari sel-sel sistem imun. Penyakit Hodgkin

berawal saat sel limfosit yang biasanya adalah sel B (sel T sangat jarang) menjadi abnormal. Sel

limfosit yang abnormal tersebut dinamakan sel Reed Sternberg.(62)

Sel Reed Sternberg tersebut membelah untuk memperbanyak dirinya. Sel Reed Sternberg

yang terus membelah membentuk begitu banyak sel limfosit abnormal. Sel-sel abnormal ini

tidak mati saat waktunya tiba dan mereka juga tidak melindungi tubuh dari infeksi maupun

penyakit lainnya. Pembelahan sel abnormal yang terus menerus ini menyebabkan terbentuknya

massa dari jaringan yang disebut tumor. (62)

Jaringan limfatik banyak terdapat dalam banyak bagian tubuh, sehingga penyakit Hodgkin

dapat berawal dari mana saja. Biasanya penyakit Hodgkin pertama kali ditemukan pada nodus

limfatikus di atas diafragma, pada otot tipis yang memisahkan rongga thoraks dan rongga

abdomen. Tetapi penyakit Hodgkin mungkin juga dapat ditemukan di kumpulan nodus

limfatikus.(62)

Epidemiologi (57)

Angka kejadian penyakit Hodgkin mempunyai kurva bimodal yang khas baik pada laki-

laki maupun pada perempuan, dengan salah satu puncaknya pada usia 15-30 tahun yang diikuti

dengan puncak lainnya pada usia 45-55 tahun.

Di negara-negara industri umur puncak pertama dicapai pada umur 20 tahun dan puncak

kedua pada umur 50 tahun. Sementara di negara sedang berkembang seperti Indonesia, umur

puncak terjadi pada umur sebelum remaja.

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bentuk dari penyakit

Hodgkin, karakteristik ini mungkin menunjukkan adanya perbedaan kausa yang mendasarinya:

1) Bentuk yang ditemukan pada masa kanak-kanak, banyak ditemukan pada usia 14 tahun

atau lebih muda

119

Page 120: Tht Referat Tumor

2) Bentuk dewasa muda yang ditemukan pada umur 15 sampai 34 tahun

3) Bentuk dewasa yang ditemukan pada usia 55-74 tahun

Secara umum dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan.

Faktor Risiko

Beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor tertentu yang dapat meningkatkan kemungkinan

seseorang dapat mengidap penyakit Hodgkin’s: (62)

1) Virus tertentu

Terinfeksi virus Epstein Barr (EBV) atau human immunodeficiency virus (HIV) dapat

meningkatkan risiko penyakit Hodgkin. Bagaimanapun juga, limfoma tidak menular,

sehingga tidak mungkin mendapatkan limfoma dari orang lain.

2) Sistem imun lemah

Risiko mengidap penyakit Hodgkin meningkat dengan sistem imun yang lemah (seperti

keadaan sedang mengkonsumsi obat-obatan penekan imun pasca transplantasi organ).

3) Usia

Penyakit Hodgkin umumnya terdapat pada usia remaja dan dewasa muda berumur 15-

35 tahun, juga pada dewasa berumur ≥ 50 tahun.

4) Riwayat keluarga

Anggota keluarga khususnya kakak atau adik dari seseorang dengan penyakit Hodgkin

atau limfoma lainnya, dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengidap penyakit

Hodgkin.

Gambaran Patologik dan Klasifikasi

Ketepatan diagnosis hanya mungkin dilakukan dengan pemeriksaan patologi yang benar,

bahan pemeriksaan yang berasal dari biopsi jarum dan irisan beku segar pada jaringan kurang

dapat menggambarkan struktur dan stroma sel secara baik. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan

jaringan limfonodi secara mikroskopis dan ditemukan adanya sel Reed Sternberg yang spesifik.

Sel Reed Sternberg merupakan sel limfoid yang besar dengan banyak nukleus yang mengelilingi

nuklei sehingga memberikan gambaran seperti halo.1 Sel Reed Sternberg secara konsisten

menghasilkan antigen CD15 dan CD30. CD15 adalah marker dari sel granulosit, monosit, dan sel

T teraktifasi yang normalnya tidak dihasilkan oleh garis keturunan sel B. CD30 adalah marker

120

Page 121: Tht Referat Tumor

dari aktifasi limfosit yang dihasilkan oleh sel limfosit reaktif dan malignan dan pada awalnya

diidentifikasi sebagai antigen permukaan sel-sel Reed Sternberg.

Klasifikasi patologi yang diterima secara umum adalah klasifikasi dari Rye yang membagi

penyakit Hodgkin menjadi 4 subtipe: (57)

1) Limfositik predominan/LP

2) Sel campur/MC

3) Deplesi limfositik/LD

4) Nodul sklerosis/NS

Prognosis dari tiga yang pertama berhubungan dengan perbandingan antara sel limfosit

abnormal dengan sel normal.(57)

Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan limfoma

malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit Hodgkin ada

baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut.

Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler

sesuai keputusan simposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit

Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: (62)

1. Tipe Lymphocyte Predominant

Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit

yang dewasa, beberapa sel Reed Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda.

Prognosisnya baik.

2. Tipe Mixed Cellularity

Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil,

limfosit dan banyak didapatkan sel Reed Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas

dan mengenai organ ekstra nodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat

badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk.

3. Tipe Lymphocyte Depleted

Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed Sternberg banyak sekali

dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan

proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk.

4. Tipe Nodular Sclerosis

121

Page 122: Tht Referat Tumor

Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan

sel Reed Sternberg yang atipik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita

muda/remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.

Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan

Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-

NS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya.

Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak (LP-MC),

ada yang sedikit (LD-MC). Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus

perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam sistem limfatik.

Mungkin bahwa sel Reed Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat

neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon

hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu

yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non

limfatik.

Berdasarkan klasifikasi dari WHO penyakit Hodgkin dibagi menjadi 5 tipe, 4 tipe

merupakan tipe-tipe seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keempat tipe ini sering

disebut sebagai penyakit Hodgkin klasik, sedangkan tipe ke-5 adalah nodular lymphocyte

predominant Hodgkin’s disease (NLPHD).

5. Tipe Nodular lymphocyte predominant Hodgkin disease (NLPHD)

Nodular lymphocyte predominant Hodgkin disease (NLPHD) menyumbang 5% dari kasus

penyakit Hodgkin. Berbeda dengan subtipe histologis lain, sel Reed Sternberg yang khas

jarang atau bahkan tidak ada pada NLPHD. Sebaliknya yang paling banyak justru adalah

sel limfositik atau histiositik (L&H), atau yang sering disebut “sel popcorn” karena inti

mereka yang berbentuk menyerupai jagung meledak, yang terlihat sebagai latar belakang

sel-sel inflamasi, terutama sel limfosit yang jinak. Tidak seperti sel Reed Sternberg, sel

L&H positif untuk antigen sel B, seperti CD19 dan CD20, dan negatif untuk CD15 dan

CD30. (62)

Manifestasi Klinik

Pembesaran kelenjar limfe daerah servikal dan supraklavikular yang hilang timbul dan tidak

menimbulkan rasa nyeri (asimtomatik). Pada 80% anak dengan penyakit Hodgkin pembesaran

kelenjar leher yang menonjol, 60% diantaranya juga disertai pembesaran massa di mediastinal

122

Page 123: Tht Referat Tumor

yang akan menimbulkan gejala kompresi pada trakea dan bronkus. Pembesaran kelenjar juga

ditemukan di daerah inguinal, aksiler, dan supra diafragma meskipun jarang. Gejala konstitusi

yang menyertai diantaranya adalah demam, keringat malam hari, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan, ditemukan pada 40% pasien, sedangkan demam intermittent

diobservasi pada 35% kasus.

Gambaran laboratorium pada umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah leukositosis,

limfopenia, eosinofilia, dan monositosis. Gambaran laboratorium ini merupakan refleksi dari

aktifitas yang meningkat di sistem retikuloendotelial (misalnya meningkatnya laju endap darah,

kadar serum feritin, dan kadar serum tembaga) dipergunakan untuk mengevaluasi perjalanan

penyakit setelah terdiagnosis. Anemia yang timbul merupakan deplesi dari imobilisasi zat besi

yang terhambat ini menunjukkan adanya penyakit yang telah meluas. Anemia hemolitik pada

penyakit Hodgkin menggambarkan tes Coomb positif menunjukkan adanya retikulosis dan

normoblastik hiperplasia dari sumsum tulang. (57)

Stadium Penyakit Hodgkin

Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging: (61)

Clinical staging

Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.

Pathological staging

Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan

yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu:

hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.

Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai

konferensi Cotswald.

Tabel 4.6.1 Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald. (57,61)

Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur

limfoid (misal: limpa, timus, cincin Waldeyer).

Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi

diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip

angka, misal: II2, II3, dsb.

Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah

123

Page 124: Tht Referat Tumor

diafragma.

III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal

III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.

Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang

tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).

Gambar 4.7. Penentuan stadium penyakit Hodgkin.(61)

Penentuan stadium ini menggunakan klasifikasi AnnArbor yang berdasarkan anatomis.(57)

Tabel II.4.Staging menurut Ann Arbor berdasarkan anatomis.

I Pembesaran kelenjar limfe regional tunggal atau pembesaran organ ekstra limfatik

tunggal atau sesisi.

II Pembesaran kelenjar limfe regional dua atau lebih yang masih sesisi dengan

diafragma atau pembesaran organ ekstralimfatik satu sisi atau lebih yang masih

sesisi dengan diafragma

III Pembesaran kelenjar limfe pada kedua sisi diafragma disertai dengan pembesaran

limpa atau pembesaran organ ekstra limfatik sesisi atau kedua sisi

IV Pembesaran organ ekstra limfatik dengan atau tanpa pembesaran kelenjar limfe

124

Page 125: Tht Referat Tumor

Diagnosis

Untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin pada anak dibutuhkan beberapa tahap pemeriksaan

diantaranya adalah: (57)

a. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe dengan berbagai

ukuran.

b. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis sel, laju endap darah, tes fungsi hati dan

ginjal, kelenjar alkali fosfatase.

c. Biopsi kelenjar limfe

d. Foto polos dada maupun scanning

e. Scanning abdomen dan pelvis atau MRI

f. Limfogram

g. Laparatomi

h. Aspirasi sumsum tulang

i. Scanning tulang

Tidak semua tahap pemeriksaan dikerjakan untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin

pada anak tergantung dari kasus serta fasilitas yang ada.

1. Klinis (anamnesis)

Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun

lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan

gatal. (59,62)

2. Pemeriksaan Fisik

Palpasi pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri dapat ditemukan di leher terutama

supraklavikular (60-80%), aksiler (6-20%), dan yang paling jarang adalah di daerah inguinal (6-

20%) dengan konsistensi kenyal sepert karet. Mungkin lien dan hati teraba membesar.

Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin Waldeyer ikut

terlibat. Sindrom vena cava superior mungkin didapatkan pada pasien dengan masif limfa

adenopati mediastinal. (59,62)

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam

pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit, atau keterlibatan

organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya

125

Page 126: Tht Referat Tumor

mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan

penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau

meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada

pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. (62)

Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang

menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolut, limfositopenia absolut (<1000 sel per

millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan

evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator keparahan penyakit.

Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan

ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji

lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali,

lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum. (62)

4. Sitologi Biopsi Aspirasi

Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis limfadenopati untuk

identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening,

metastasis karsinoma dan limfoma malignum.

Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya

negatif palsu, dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan

tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka

pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.(59)

5. Histopatologi

Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga untuk identifikasi subtipe histopatologi

LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus

diperhatikan apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi

biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian

belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi

dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik lokal terhadap

arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan. (59)

6. Radiologi

Termasuk didalamnya: (59)

Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal

126

Page 127: Tht Referat Tumor

Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB di daerah iliaka dan pasca aortal

USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun

biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi

CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH

7. Laparatomi

Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka, para aortal dan

mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiologi seperti

USG dan CT-Scan ditambah sitologi biopsi aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat

dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.(59)

Diagnosis Banding

Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien

dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis

infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non

Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local.

Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara. (59)

Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada

pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel

kecil dan non sel kecil. Mediastinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat

mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit

abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan,

dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan

ini. Beberapa diagnosis banding lainnya sebagai berikut: (62)

Cytomegalovirus

Infectious Mononucleosis

Kanker paru

Lymphoma, Non-Hodgkin

Sarcoidosis

Serum Sickness

Syphilis

Systemic Lupus Erythematosus

Toxoplasmosis

127

Page 128: Tht Referat Tumor

Tuberculosis

Tatalaksana

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang baik perlu adanya pendekatan multidisiplin segera

setelah didiagnosis. Faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengobatan diantaranya adalah umur

pasien, psikologi, stadium penyakit dan gejala sisa pengobatan. Pengobatan yang diberikan

diharapkan mampu memberikan penyembuhan untuk jangka panjang, dengan disease free

survival (DFS) yang seimbang dengan risiko pengobatan yang paling rendah. Protokol

pengobatan pada anak saat ini hanya menggunakan kemoterapi saja kadang-kadang dengan

hanya memberikan dosis rendah radiasi pada daerah yang terbatas.

Obat-obatan yang sering digunakan diantaranya adalah nitrogen mustard, onkovin,

prednison, prokarbasin (MOPP), adriamisis, bleomisin, vinblastin, dekarbasin (ABVD),

siklofosfamid, onkovin, prokarbasin, prednison (COPP) dan banyak lagi protokol lainnya yang

digunakan.(57)

Prognosis

Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama dengan

pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan

mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain: (63)

1. Timbulnya keganasan kedua atau sekunder

2. Disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal

3. Penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian

antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)

4. Penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose

related

5. Pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan

128

Page 129: Tht Referat Tumor

BAB IV

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel atau mukosa dan

kripta yang  melapisi permukaan nasofaring.7,16  Di Indonesia maupun di Asia Tenggara, KNF

dilaporkan sebagai tumor paling sering ditemukan diantara keganasan di daerah kepala dan

leher.16,17 Di Indonesia, menempati urutan ke-4 diantara keganasan yang terdapat di seluruh

tubuh. Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data

patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976)

diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127

kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel atau

mukosa dan kripta yang  melapisi permukaan nasofaring.7,16  Di Indonesia maupun di Asia

Tenggara, KNF dilaporkan sebagai tumor paling sering ditemukan diantara keganasan di

daerah kepala dan leher.16,17 Di Indonesia, menempati urutan ke-4 diantara keganasan

yang terdapat di seluruh tubuh. Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)

penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi

anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh

tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.

BAB V

129

Page 130: Tht Referat Tumor

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat

Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala &

Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.

2. Anatomi fisiologi telinga. Available from : http://arispurnomo.com/anatomi-fisiologi-

telinga

3. Telinga : Pendengaran dan sistem vestibular. Available from :

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://

webschoolsolutions.com/patts/systems/ear.htm

4. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit

THT,hal.129.EGC,Jakarta.

5. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-

76.EGC,Jakarta

6. Anatomi dan fisiologi hidung. Available from :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf

7. Anatomi dan fisiologi system pernapasan. Available from :

http://fraxawant.wordpress.com/2008/07/16/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan/

8. Difteri. Available from http://www.scribd.com/doc/44244704/Refrat-Difteri-Sari

Difteri tonsil. Available from http://www.scribd.com/doc/36494895/difteri-tonsil

9. Adams, G. L. Penyakit Telinga Luar. In: Adams, G. L., Boies, L. R., Higler, P. A.,

Effendi, H. (Ed.). Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit EGC. 1997: 85 –

87

10. Lee, K. JHolsinger, F. C., Myers, J. N. Noninfectious Disorders of The

Ear. In: Lee, K. J. (Ed.). Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery

Eight Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2003:512-

531

11. Dhingra, P.L. Tumours of External Ear. In: Diseases of Ear, Nose and Throat. Fourth

Edition. Elsevier, Reed Elsevier India Private Limited. 2008: 104-106

130

Page 131: Tht Referat Tumor

12. Menner, A. L Disorders of the External Ear: Tumors of the External Ear. In: Menner,

A. L. A Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme. 2003:48-50

13. Vincek, V.,Mirzabeigi, M., Jewett, B. S., Goodwin, W J., 2005. Primary

Carcinosarcoma of the Helix of the Ear. Ear, Nose & Throat Journal, Vol. 84 page

712 . Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/209412681/fulltextPDF/138298ABFBA19E1657

/66?accountid=50257 [Diakses pada: 18 Oktober 2012]

14. Adams, G. L. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. In: Adams, G. L., Boies, L. R.,

Higler, P. A., Effendi, H. (Ed.). Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit

EGC. 1997: 116 – 117

15. Dhingra, P.L. Tumours of Middle Ear and Mastoid. In: Diseases of Ear, Nose and

Throat. Fourth Edition. Elsevier, Reed Elsevier India Private Limited. 2008: 107-109

16. Menner, A. L Disorders of the Middle Ear: Middle Ear Tumors. In: Menner, A. L. A

Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme. 2003:77-78

17. Dhingra, P.L. Acoustic Neuroma. In: Diseases of Ear, Nose and Throat. Fourth

Edition. Elsevier, Reed Elsevier India Private Limited. 2008: 110-112

18. Menner, A. L Auditory Disorders of the Inner Ear: Cerebellopontine Angle Tumors.

In: Menner, A. L. A Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme. 2003:108-109

19. Devaney K. O., Boschman, C. R., Willard, S. C., Ferlito, A., Rinaldo, A., 2005.

Tumours Of The External Ear And Temporal Bone. Lancet Oncology Journal,

Volume 6 page 411–420. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/200919622/fulltextPDF/138298ABFBA19E1657

/5?accountid=50257 [Diakses pada: 18 Oktober 2012].

20. Devaney K. O., Boschman, C. R., Willard, S. C., Ferlito, A., Rinaldo, A., 2005.

Tumours Of The External Ear And Temporal Bone. Lancet Oncology Journal,

Volume 6 page 411–420. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/200919622/fulltextPDF/138298ABFBA19E1657

/5?accountid=50257 [Diakses pada: 18 Oktober 2012].

21. Michaels, L. Malignant Neoplasms: Ear and Temporal Bone.In: Cardesa, A.,

Slootweg, P. J. (Eds.). Pathology of the Head and Neck. Berlin: Springer-Verlag.

Berlin Heidelberg. 2006: 236-260

131

Page 132: Tht Referat Tumor

22. Cody, DeSanto et al. 2000. Neoplasma of the Nasal Cavity inin Cummings –

Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York: Maple Vail Book

Manufacturing Group Mosby-YearBook.

23. Hosemann W. 2001. Role of Endoscopic Surgery in Tumor.In: Kennedy DW, Bolger

WE, Zinreich SJ. Diseases of TheSinuses, Diagnosis and Management. London:

Hamilton.

24. Roezin, A. et al. 2007. Tumor Hidung dalam : Soepardi E,Iskandar N, eds., Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: BP FK UI.

25. GC. 1999. Epidemiology of Cancer of The Nose and Paranasal Sinuses -Current

Concepts in Cummings –Otolaryngology - Head Neck Surgery 3 rd ed. New

York:Maple Vail Book Manufacturing Group Mosby-Year Book.

26. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.

1-20.

27. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.

Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.

391-6.

28. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill

Livingstone, 1989. h. 495-507.

29. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI, 1989.

30. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor

telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71-

84.

31. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :

Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.

32. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak

PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.

33. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.

1-20.

132

Page 133: Tht Referat Tumor

34. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.

Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.

391-6.

35. Baylei. Hipopharigeal cancer : Head and Neck Surgery. London : Singular Thomson

Learning. 2006

36. Oral cancer. [internet] 2010 cited 2011 june 13]. Available from :

http://www.tobaccofacts.info/oral_cancer.htm

37. Laryngeal and hipofaring cancer. [Internet]. 2010 [cited 2011 june 13]. Available

from : http://www.cancer.orgacsgroupsciddocuments/003108-pdf.html

38. Sjamsuhidajat R., Jong W.M,. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2005

39. Gede s. Onkologi klinik. Surabaya : Airlangga University. 2000

40. Wiley. TNM Classification of Malignant Tumours. Sixth Edition. New York : A John

Wiley & Sons. 2002

41. Rosen ST. Head and Neck Cancer. New York : Kluwer Academic Publisher. 2004

42. Soepardi EA, dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala &

leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

43. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007.

h. 194-198.

44. Weisman Robert A. Moe Kris S. Orloff Lisa A. Neoplasms Of The Larynx &

Laryngopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi-16.

Spain. BC Decker inc. 2003. h. 1255-1292.

45. Charous Steven J. Early Stage Head & Neck Cancer Surgery. Head and Neck Cancer.

United States of America. Kluwer Academic Publishers. 2004. h. 85-114.

46. Robin P E. Olofsson Jan. Tumourof The Larynx. Scott-Brown’s Otolaryngology.

Edisi-5. Britain. Penerbit Butterworths. 1987. h. 186-230.

47. Adams George L. Tumor-tumor Ganas Kepala dan Leher. Boies Buku Ajar Penyakit

THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 446-447.

48. http://emedicine.medscape.com/article/848034-overviewdiunduh tanggal 27 januari

2012 pkl.22.08 wib

133

Page 134: Tht Referat Tumor

49. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in

head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer

Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75

50. Chung TS, Stefani S. Distant metastases of carcinoma of tonsillar region: a study of

475 patients. J Surg Oncol. 1980;14(1):5-9

51. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in

head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer

Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75

52. Loh KS, Brown DH, Baker JT, Gilbert RW, Gullane PJ, Irish JC. A rational approach

to pulmonary screening in newly diagnosed head and neck cancer. Head Neck. Nov

2005;27(11):990-4.

53. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher edisi 6.2007. FKUI

54. Staf pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 2002. Jakarta : BINARUPA

AKSARA

55. De jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. 2002. Jakarta: EGC

56. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit buku

kedokteran EGC. Jakarta 1997

57. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar Hematologi

Onkologi. IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.

58. Ballentine JR. Non Hodgkin Lymphoma. Jan 20, 2012 (Cited May 17 th, 2012).

Available at http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview

59. Gillchrist G. Lymphoma. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Wisconsin:

Elsevier. 2007.h. 1701-6.

60. Hudson MM. Limfoma Non Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. 15 th ed.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.h. 1780-83.

61. Hudson MM. Penyakit Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. 15th ed.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2012.h. 1777-83.

62. Stoppler MC. Hodgkin Lymphoma. May 1st2011 (Cited May 17th,2012) .Available at

(http://www.medicinenet.com/Hodgkin’s disease/article.htm)

134

Page 135: Tht Referat Tumor

63. Alarcone P. Hodgkin Lymphoma.Oct 11,2011 (Cited May 17th,2012). Available at

http://emedicine.medscape.com/article/987101-overview#a0101

135