thoharoh & pembahasannya

24
Oleh : Ridwansyah THOHAROH & ADAB BUANG HAJAT

Upload: ridwansyah218

Post on 09-Aug-2015

52 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Oleh : Ridwansyah

THOHAROH & ADAB BUANG HAJAT

Defisini Thoharoh

Thoharoh menurut bahasa bersih dan suci.

Thoharoh hukumnya merupakan wajib berdasarkan Kitabullah dan as-Sunnah .

Thoharoh menurut istilah berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat. Lebih jauh lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati.

Dalil Al-Qur’an dan Sunnah

ب� ي�ح� الله� إ�ن�ب� ي�ح� و� اب�ي�ن� الت�و�

ر�ي�ن� ت�ط�ه� ال�م�

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

(Al-Baqarah : 222)

ال�ة الله ص� ب�ل� ي�ق� ال� . ا و�ر# ط�ه� #ب�غ�ي�ر�

المسلم ) (رواه

Artinya: “ Allah tidak menerima shalat

seseorang yang tidak dalam keadaan suci”. (H.R. Muslim)

Pembagian Thoharoh

Thoharoh

Thoharoh bathiniyah Thoharoh lahiriyah

Menyucikan jiwa dari dampak-dampak dosa dan maksiat dengan taubat yang sungguh-sungguh dari setiap dosa dan maksiat, juga menyucikan hati dari noda-noda syirik, dengki, curang, dan berbagai penyakit hati lainnya dengan keikhlasan, keyakinan dan mengharapkan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Bersuci dari kotoran dan hadats

Sarana Thoharoh

1. Air muthlaq yaitu air yang masih murni, yang belum tercampur dengan apapun yang dapat merubahnya, Contohnya : air sumur, air mata air, air lembah, air laut yang asin

2. Debu yang suci yaitu permukaan tanah yang suci berupa tanah, pasir, batu atau debu .

Definisi Hadats dan Najis

Hadats adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak sah melakukan ibadah tertentu seperti shalat

Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri (tubuh) manusia ataupun dari luar manusia; yang dapat menyebabkan tidak sahnya badan, pakaian, atau tempat untuk dipakai beribadah.

Macam-macam hadats

Hadats Kecil (Shughra):

1. Buang Air (baik dari dubur maupun qubul)

2. Buang Angin

3. Hilang Akal sepert Tidur, Pingsan, ataupun Gila.

4. Menyentuh wanita yang bukan mahram dengan sengaja dan dengan syahwat.

5. Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan telapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (baik miliknya sendiri ataupun orang lain)

Hadats Besar (Kubra)

1. Berhubungan kelamin walau tidak keluar mani

2. Mengeluarkan mani/sperma baik sengaja maupun tidak

3. Wanita yang selesai haid

4. Wanita yang baru melahirkan dan selesai masa nifasnya

5. Seseorang yang baru masuk islam

Macam-macam Najis

Najis Mukhaffafah

Najis yang ringan yaitu air seni anak lak -laki di bawah umur dua tahun

yang belum makan makanan kecuali air

susu ibunya saja

Cara menyucikannya cukup dengan

dipercikkan air saja pada bagian yang

terkena najis tersebut.

Najis Mughallazah

Najis yang berat yaitu anjing, babi

dan keturinan kedua-duanya

Cara menyucikannya

ialah dengan dicuci tujuh kali dengan air

mutlak dan salah satunya hendaklah dengan air tanah.

Najis Mutawassitah

Najis pertengahan yaitu selain najis mukhaffafah dan najis mughallazah

Cara menyucikannya jika ada ain, hendaklah dihilangkan ainnya itu dan segala sifatnya yaitu rasanya, baunya dan warnanya. Jika setelah dicuci didapati masih tidak hilang rasanya seperti kesat, hendaklah dicuci lagi hingga hilang rasa itu. Setelah itu jika tidak hilang juga, ia dimaafkan. Jika bau atau wama najis itu masih tidak hilang setelah dicuci dan digosok tiga kali, hukumnya adalah dimaafkan. Jika najis itu sudah tidak ada lagi ainnya dan tidak ada lagi sifatnya seperti air kencing yang sudah kering pada kain dan hilang sifatnya, cukuplah dengan dicucuri air pada tempat yang terkena najis itu (najis hukmi). Arak apabila telah menjadi cuka dengan sendirinya maka hukumnya suci dengan syarat tidak dimasukkan benda lain di dalam tempat pemeramannya.

Cara Thoharoh

• Istinja• Mencuci atau membasuh dengan air• Memercikkan Air• Menyamak

Thoharoh dari najis

• Wudhu• Tayamum• Mandi

Thoharoh dari

hadats

Adab Buang Hajat

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

- ف�ر� - س� ف�ى وسلم عليه الله صلى �ه� الل س�ول� ر� م�ع� �ا ن ج� خ�ر�از� - - �ر� �ب ال �ى �ت �أ ي � ال وسلم عليه الله صلى �ه� الل س�ول� ر� �ان� و�ك

�ر�ى ي � ف�ال �ب� �غ�ي �ت ي �ى ت ح�

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.” HR. Ibnu Majah no. 335. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

1. Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.

2. Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.

Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,

م�ن� �ه�ا �ن ف�إ �ه� الل �ر� ع�ائ ش� �ع�ظ3م� ي و�م�ن� �ك� ذ�ل�ق�ل�وب� ال �ق�و�ى ت

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)

3. Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.

Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

�ذ�ا إ آد�م� �ى �ن ب ات� و�ع�و�ر� �ج�ن3 ال �ن� �ع�ي أ �ن� �ي ب م�ا �ر� ت س��ه� الل � م �س� ب �ق�ول� ي �ن� أ �ء� �خ�ال ال �ح�د�ه�م� أ د�خ�ل�

“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”. HR. Tirmidzi no. 606, dari ‘Ali bin Abi Tholib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

وسلم – – عليه الله صلى الن�ب�ى� ك�ان�أ�ع�وذ� �ن�ى إ م� الل�ه� « ال� ق� ال�ء� ال�خ� ل� د�خ� �ذ�ا إ

ب�ائ�ث� ال�خ� و� ب�ث� ال�خ� م�ن� ب�ك�

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan) HR. Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375.

4. Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.

وسلم – – عليه الله صلى الن�ب�ى� ك�ان�ل�ه� ج� ت�ر� و� ت�ن�ع�ل�ه� ف�ى الت�ي�م�ن� ب�ه� ي�ع�ج�

ك�ل�ه� �ن�ه� أ ش� و�ف�ى ور�ه� و�ط�ه�

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap  perkara (yang baik-baik).” HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika.”

5. Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264.

Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.

Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam.

Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan??

6. Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.

Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

عليه - الله صلى �ه� الل س�ول� و�ر� م�ر� G ج�ال ر� �ن� أ�ه�- �ي ع�ل د� �ر� ي �م� ف�ل �م� ل ف�س� �ول� �ب ي وسلم

“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.” HR. Muslim no. 370.

7. Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.

Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

. ي�ا الل�ع�ان�ان� ا و�م� ال�وا ق� » الل�ع�ان�ي�ن� وا ات�ق�ط�ر�يق� ف�ى ل�ى ي�ت�خ� ال�ذ�ى « ال� ق� الل�ه� ول� س� ر�

م� ظ�ل�ه� ف�ى و�أ� الن�اس�

“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia. HR. Muslim no. 269.

8. Tidak buang hajat di air yang tergenang

Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

اء� ال�م� ف�ى ي�ب�ال� أ�ن� ن�ه�ى ن�ه�� أ

. اك�د� الر�

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.” HR. Muslim no. 281.

9. Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok)

1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan

2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar).

3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.

10. Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

- ك�ان� - وسلم عليه الله صلى الن�ب�ى� أ�ن�ان�ك� ر� غ�ف� « ال� ق� ال�غ�ائ�ط� م�ن� ج� ر� خ� إ�ذ�ا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).” HR. Abu Daud no. 30, At Tirmidzi no. 7, Ibnu Majah no. 300, Ad Darimi no. 680. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Dan Allah Lebih Mengetahui Yang Sebenar-benarnya