theobroma cacao l

79
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya kakao (Theobroma cacao L.) dewasa ini ditinjau dari penambahan luas areal di Indonesia terutama kakao rakyat sangat pesat, karena kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional setelah tanaman karet, kelapa sawit, kopi, dan teh. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama dalam penyediaan lapangan kerja baru, sumber pendapatan petani dan penghasil devisa bagi negara. Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah umur 3-4 tahun setelah ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu untuk keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan faktor bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah, oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu tinggi (Raharjo, 1999). Indonesia merupakan negara terbesar ketiga mengisi pasokan kakao dunia yang diperkirakan mencapai 20% bersama Negara Asia lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Papua New Guinea (UNCTAD, 2007; WCF, 2007 dalam Supartha, 2008) . Peningkatan luas areal pertanaman kakao belum diikuti oleh produktivitas dan mutu yang tinggi. Data Biro Pusat Statistik 1

Upload: vuminh

Post on 16-Dec-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Theobroma cacao L

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya kakao (Theobroma cacao L.) dewasa ini ditinjau dari

penambahan luas areal di Indonesia terutama kakao rakyat sangat pesat, karena

kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional setelah tanaman karet,

kelapa sawit, kopi, dan teh. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan

yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama

dalam penyediaan lapangan kerja baru, sumber pendapatan petani dan penghasil

devisa bagi negara.

Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah

umur 3-4 tahun setelah ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan

secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu

untuk keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan

faktor bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul

mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah,

oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu

tinggi (Raharjo, 1999).

Indonesia merupakan negara terbesar ketiga mengisi pasokan kakao

dunia yang diperkirakan mencapai 20% bersama Negara Asia lainnya seperti

Malaysia, Filipina, dan Papua New Guinea (UNCTAD, 2007; WCF, 2007 dalam

Supartha, 2008) . Peningkatan luas areal pertanaman kakao belum diikuti oleh

produktivitas dan mutu yang tinggi. Data Biro Pusat Statistik

1

Page 2: Theobroma cacao L

2

menunjukkan bahwa pada tahun 1983 luas areal tanaman kakao 59.928 ha, dengan

produksi sekitar 20.000 ton, dan pada tahun 1993 luas areal tanaman kakao

menjadi 535.000 ha dengan produksi mencapai 258.000 ton (Direktur Jenderal

Perkebunan, 1994). Produksi kakao saat ini 435.000 ton dengan produksi dari

perkebunan rakyat sekitar 87%. Produksi tertinggi yakni 67% diperoleh dari

wilayah sentra produksi kakao yang berpusat di daerah Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah ( Suhendi, 2007).

Provinsi Bali merupakan salah satu di antara daerah lain

penghasil kakao nasional yang juga memberi sumbangan rata-rata sekitar

5.968,11 ton setiap tahun mulai tahun 2003 (Dinas Perkebunan Provinsi Bali,

2009). Sumbangan tersebut terus meningkat pada tahun–tahun berikutnya

karena meningkatnya pertanaman kakao di Provinsi Bali. Luas areal

tanaman kakao di Provinsi Bali antara tahun 2007 sampai 2009 mengalami

peningkatan seperti tahun 2007 seluas 11.641 ha, tahun 2008 seluas 12.528 ha,

dan pada tahun 2009 mencapai luas 12.796 ha (Dinas Perkebunan Provinsi

Bali, 2009).

Meningkatnya luas areal tanaman kakao tidak diikuti oleh peningkatan

produksi kakao yaitu tahun 2007 yaitu 7.425,94 ton, tahun 2008 yaitu 6.745,51

ton, dan tahun 2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas Perkebunan Provinsi Bali, 2009).

Produksi kakao di Provinsi Bali pada tahun 2009 mengalami peningkatan, namun

peningkatan tersebut sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah

tanaman produktif, sementara laju produktivitas tanaman per hektar per tahun

cenderung menurun.

Page 3: Theobroma cacao L

3

Menurut Suhendi (2007) beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya

produktivitas kakao selain serangan hama dan penyakit, anomali iklim, tajuk

tanaman rusak, populasi tanaman berkurang, teknologi budidaya oleh petani yang

masih sederhana, penggunaan bahan tanam yang mutunya kurang baik juga

karena umur tanaman yang sudah cukup tua sehingga kurang produktif lagi. Rata-

rata usia tanaman kakao di Bali di atas 20 tahun (Dinas Perkebunan Provinsi

Bali, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao produktivitasnya

mulai menurun setelah umur 15 - 20 tahun. Tanaman tersebut umumnya memiliki

produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi produktivitasnya. Kondisi

ini berarti bahwa tanaman kakao yang sudah tua potensi produktivitasnya rendah,

sehingga perlu dilakukan rehabilitasi ( Zaenudin dan Baon, 2004).

Upaya rehabilitasi tanaman kakao dimaksudkan untuk memperbaiki

atau meningkatkan potensi produktivitas dan salah satunya dilakukan dengan

teknologi sambung samping (side grafting). Menurut Prastowo dkk. (2006)

sambung samping merupakan teknik perbaikan tanaman yang dilakukan dengan

cara menyisipkan batang atas (entres) dengan klon-klon yang dikehendaki sifat

unggulnya pada sisi batang bawah. Secara garis besar, tujuan perbaikan tanaman

adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu biji yang dihasilkan.

Sambung samping dapat juga digunakan untuk memperbaiki tanaman

yang rusak secara fisik, menambah jumlah klon dalam populasi tanaman,

mengganti klon, dan pemendekan tajuk tanaman. Jika dibandingkan dengan

sambung pucuk, maka sambung samping memiliki tingkat keberhasilan yang

Page 4: Theobroma cacao L

4

lebih tinggi karena batang bawah masih memiliki tajuk yang lengkap, sehingga

proses fotosintesis untuk menghasilkan zat-zat makanan dapat berlangsung

dengan baik (Agro Media, 2007).

Upaya yang telah dilakukan oleh petani selama ini untuk mengatasi

penurunan produksi tanaman kakao yang dipengaruhi umur tanaman yang sudah

tua adalah dengan melakukan peremajaan. Peremajaan dilakukan dengan cara

mengganti tanaman kakao yang tidak produktif (tua/rusak) dengan tanaman baru

secara keseluruhan atau bertahap dengan menggunakan bahan tanaman unggul .

Kegiatan ini dinilai kurang efektif karena membutuhkan waktu yang cukup lama

untuk memperoleh hasil, dilain pihak kebutuhan hidup sehari-hari petani terus

meningkat. Apabila permasalahan tersebut tidak segera ditangani, maka dapat

mengganggu kelangsungan produksi kakao sebab akan terjadi penurunan produksi

dari waktu kewaktu.

Prinsip dasar rehabilitasi dengan metode sambung samping adalah

penyatuan kambium dari entres dengan kambium batang bawah, di samping itu

pula penggunaan entres dari klon – klon unggul sangat dianjurkan karena diyakini

mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu hasil,

sehingga ketersediaan klon unggul mutlak diperlukan. Alternatif rehabilitasi

dengan menggunakan metode sambung samping dianggap cukup efektif karena

petani dengan mudah dapat melakukan sendiri serta waktu yang dibutuhkan

relatif singkat.

Suhendi ( 2007) mengatakan bahwa dibanding dengan okulasi tanaman

dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping mempunyai keunggulan

Page 5: Theobroma cacao L

5

antara lain: (a) areal tanaman kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif

singkat, (b) lebih murah dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibanding

cara tanam ulang (replanting), (c) batang atas hasil sambungan belum

berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat dipertahankan, (d) batang bawah

dapat berfungsi sebagai penaung yang bersifat sementara bagi batang atas yang

sedang tumbuh

Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menentukan kakao yang

akan direhabilitasi adalah mencari tanaman yang kurang produktif (umur diatas

20 tahun) dan secara teknis dapat dilakukan sambung samping, produktivitas

rendah namun masih mungkin untuk ditingkatkan, tidak terserang

organisme pengganggu tanaman (OPT) utama seperti hama penggerek buah kakao

(PBK), Helopeltis sp, busuk buah (Phythopthora palmivora), dan penyakit

Vascular streak dieback (VSD), serta batang bawah harus dalam kondisi sehat

dan tumbuh aktif (Deptan, 2009). Upaya untuk pengaktifan pertumbuhan batang

bawah ini dapat dilakukan lewat pengolahan tanah, pemupukan, pemangkasan,

dan kalau perlu dengan pengairan.

Kendala yang sering dihadapi ketika melakukan rehabilitasi tanaman

kakao dengan metode sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk

atau sumber entres dengan tempat atau kebun yang akan direhabilitasi,

sehingga dibutuhkan waktu yang agak lama mulai dari pengambilan entres

sampai dengan proses penyambungan. Selain itu pula jumlah tanaman kakao

yang akan disambung sering dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga tidak

bisa dilakukan penyambungan dalam waktu sehari dan entres yang belum

Page 6: Theobroma cacao L

6

tersambung harus disimpan untuk keesokan harinya baru dilakukan

penyambungan.

Keberhasilan usaha penyambungan tanaman kakao dipengaruhi

oleh beberapa faktor misalnya, kondisi tanaman dan lingkungan, tingkat kesehatan

batang bawah, kelembaban udara dan intensitas penyinaran serta

penggunaan klon-klon unggul yang dapat beradaptasi dengan iklim mikro

(Sunanto, 1994). Lama penyimpanan dan media penyimpanan batang atas

sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan

penyambungan (Djazuli, dkk. 1999). Waktu yang baik untuk melakukan

penyambungan adalah pada saat cuaca cerah, namun ada pula yang menyebutkan

bahwa penyambungan pada awal musim kemarau memberikan hasil yang

lebih baik dari pada musim hujan, tetapi hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut

(Zaubin dan Suryadi, 1999).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah

yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah :

1. Apakah interaksi antara jenis klon dan lama penyimpanan entres

berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung samping kakao?

2. Apakah jenis klon entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung

samping kakao?

3. Apakah lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap pertumbuhan

sambung samping kakao?

Page 7: Theobroma cacao L

7

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan interaksi antar jenis klon dan lama penyimpanan entres

terhadap pertumbuhan sambung samping kakao.

2. Mendapatkan pengaruh jenis klon entres terhadap pertumbuhan sambung

samping kakao.

3. Mendapatkan pengaruh lama penyimpanan entres terhadap pertumbuhan

sambung samping kakao.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan membantu

petani menemukan cara atau metode yang praktis, murah serta jenis klon dan

lama penyimpanan entres sebelum melakukan penyambungan sehingga tidak

merugikan patani dalam merehabilitasi tanaman kakao.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pemanfaatan teknologi sambung

samping dalam melakukan rehabilitasi tanaman kakao.

Page 8: Theobroma cacao L

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kakao

Kakao termasuk tanaman perkebunan berumur tahunan. Tanaman

tahunan ini dapat mulai berproduksi pada umur 3-4 tahun . Tanaman kakao

menghasilkan biji yang selanjutnya bisa diproses menjadi bubuk coklat.

Sistematik tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Ordo : Malvales

Famili : Sterculiaceae

Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.

Kakao merupakan tanaman perkebunan di lahan kering, dan jika di

usahakan secara baik dapat berproduksi tinggi serta menguntungkan secara

ekonomis. Sebagai salah satu tanaman yang dimanfaatkan bijinya, maka biji

kakao dapat dipergunakan untuk bahan pembuat minuman, campuran gula-gula

dan beberapa jenis makanan lainnya bahkan karena kandungan lemaknya

tinggi biji kakao dapat dibuat cacao butter/mentega kakao, sabun, parfum dan

obat-obatan.

Sunanto (1994) mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat banyak

jenis tanaman kakao, namun jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi

cokelat secara besar-besaran hanya tiga jenis, yaitu:

8

Page 9: Theobroma cacao L

9

1) Jenis Criollo, yang terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika

Selatan. Jenis ini menghasikan biji kakao yang mutunya sangat baik dan

dikenal sebagai kakao mulia. Jenis kakao ini terutama untuk blending dan

banyak dibutuhkan oleh pabrik-pabrik sebagai bahan pembuatan produk-

produk cokelat yang bermutu tinggi. Saat ini bahan tanam kakao mulia

banyak digunakan karena produksinya tinggi serta cepat sekali mengalami

fase generatif.

2) Jenis Forastero, banyak diusahakan diberbagai negara produsen cokelat dan

menghasilkan cokelat yang mutunya sedang atau bulk cacao, atau dikenal

juga sebagai ordinary cacao. Jenis Forastero sering juga disebut sebagai

kakao lindak. Kakao lindak memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik,

relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dibandingkan kakao

mulia. Endospermanya berwarna ungu tua dan berbentuk bulat sampai

gepeng, proses fermentasinya lebih lama dan rasanya lebih pahit dari pada

kakao mulia.

3) Jenis Trinitario, merupakan campuran atau hibrida dari jenis Criollo dan

Forastero secara alami, sehingga kakao ini sangat heterogen. Kakao jenis

Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cacao dan ada yang

termasuk bulk cacao. Jenis Trinitario antara lain hybride Djati Runggo (DR)

dan Uppertimazone Hybride (kakao lindak). Kakao ini memiliki keunggulan

pertumbuhannya cepat, berbuah setelah berumur 2 tahun, masa panen

sepanjang tahun, tahan terhadap penyakit VSD (Vascular streak dieback)

serta aspek agronominya mudah.

Page 10: Theobroma cacao L

10

2.1.1 Karakteristik tanaman kakao

2.1.1.1 Akar

Kakao adalah tanaman dengan surface root freeder, artinya sebagian

akar lateralnya (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada

kedalaman (jeluk) 0 – 30 cm. Menurut Himme (Smyth, 1960 dalam Puslit Kopi

dan Kakao 2004) 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26% pada jeluk

11- 20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk diatas

30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan akar lateral jauh dari luar proyeksi tajuk

tanaman, selain itu pada akar kakao terdapat cendawan mikoriza yang membantu

penyerapan unsur hara tertentu terutama unsur P. Tanaman kakao yang

dikembangkan secara vegetatif tidak memiliki akar tunggang, namun nantinya

akan membentuk dua akar yang menyerupai akar tunggang (Susanto, 1994).

2.1.1.2 Batang dan cabang

Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-

pohon yang tinggi, curah hujan tingi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta

kelembaban tinggi dan relatif tetap. Kondisi habitat seperti itu, tanaman kakao

akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit. Jika dibudidayakan di

kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur

12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0 meter (Hall, 1932 dalam Puslit Kopi dan

Kakao 2004). Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk

tunas vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas

ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah

pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan).

Page 11: Theobroma cacao L

11

2.1.1.3 Daun

Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat

dimosfirme artinya bersifat tumbuh ke dua arah. Pada tunas ortotrop, tangkai

daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm, sedangkan pada tunas plagiotrop panjang

tangkai daunnya hanya 2,5 cm (Hall, 1932, dalam Puslit Kopi dan Kakao, 2004).

Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus), ujung daun meruncing

(acuminatus), dan pangkal daun runcing (acatus). Susunan tulang daun menyirip

dan tulang daun menonjol kepermukaan bawah helai daun. Permukaan daun licin

dan mengkilap.

2.1.1.4 Bunga

Tanaman kakao berbunga sepanjang tahun dan tumbuh secara

berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada bunga tua, cabang-

cabang dan ranting-ranting (Sunanto, 1994). Tanaman kakao bersifat kauliflori,

artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang

dan cabang. Tempat bunga tersebut semakin lama semakin membesar

dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga ( cushion) (Puslit Kopi

dan Kakao, 2004).

2.1.1.5 Buah dan biji

Warna buah tanaman kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya

ada dua macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak

putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika

muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (orange). Kulit buah

memiliki 10 alur dalam dan dangkal silih berganti. Untuk jenis Criollo dan

Page 12: Theobroma cacao L

12

Trinitario alur buah nampak jelas, kulit tebal tetapi lunak dan permukaan kasar.

Sedangkan jenis Forastero umumnya permukaan halus atau rata dan kulit buah

tipis ( Susanto, 1994; Puslit Kopi dan Kakao, 2004).

2.1.2 Syarat tumbuh

Di daerah tempat asalnya (Amerika Selatan), tanaman kakao tumbuh

subur di hutan-hutan dataran rendah dan hidup dibawah naungan pohon-pohon

yang tinggi. Kesuburan tanah, kelembaban udara, suhu dan curah hujan

berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman kakao. Susanto (1994)

mengatakan bahwa kakao mempunyai persyaratan tumbuh sebagai berikut : curah

hujan 1.600 – 3.000 mm tahun-1 atau rata-rata optimalnya 1.500 mm tahun-1 yang

terbagi merata sepanjang tahun (tidak ada bulan kering), garis lintang 20° LS

samapai 20° LU, tinggi tempat 0 s/d 600 m dpl, suhu yang terbaik 24°C s/d 28°C

dan angin yang kuat (lebih dari 10 m detik-1) berpengruh jelek terhadap tanaman

kakao. Kecepatan angin yang baik bagi tanaman kakao adalah 2-5 m detik-1

karena dapat membantu penyerbukan, kemiringan tanah kurang dari 45% dan

tekstur tanah terdiri dari 50% pasir, 10% - 20% debu dan 30% - 40% lempung.

Tekstur tanah yang cocok bagi tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan

lempung liat berpasir.

2.2 Perbanyakan Tanaman Kakao

Tanaman kakao dapat diperbanyak dengan dua cara yaitu perbanyakan

secara generatif maupun vegetatif. Cara perbanyakan generatif dewasa ini sangat

jarang digunakan lagi dalam penyediaan bahan tanam untuk usaha perkebunan,

karena dengan cara ini akan menghasilkan tanaman dengan tipe pertumbuhan

Page 13: Theobroma cacao L

13

yang tidak seragam dan terjadi segregasi genetis (Prawoto dan Bambang, 1996).

Tujuan dari perbanyakan tanaman adalah untuk menghasilkan tanaman baru

sejenis yang sama unggul atau bahkan lebih. Caranya adalah dengan

menumbuhkan bagian-bagian tertentu dari tanaman induk yang memiliki sifat

unggul (Agro Media, 2007).

2.2.1 Teknik perbanyakan kakao secara generatif

Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan menanam biji yang

dihasilkan dari penyerbukan bunga jantan (serbuk sari) dan bunga betina (kepala

putik). Benih kakao termasuk golongan benih rekalsitran sehingga memerlukan

penanganan khusus (Puslit Kopi dan Kakao, 2004). Dikatakan benih rekalsitran

karena ketika masak fisiologi kadar airnya tinggi yakni lebih dari 40%, viabilitas

benih akan hilang dibawah ambang kadar air yang relatif tinggi yaitu lebih dari

25%, untuk tahan dalam penyimpanan memerlukan kadar air yang tinggi. Benih

kakao yang dikeluarkan dari buahnya tanpa disimpan dengan baik akan

berkecambah dalam waktu 3–4 hari dan dalam keadaan normal benih akan

kehilangan daya tumbuhnya 10– 15 hari (Soedarsono, 1976 ).

Keunggulan tanaman hasil perbanyakan secara generatif adalah sistem

perakarannya yang kuat dan rimbun, oleh karena itu sering dijadikan sebagai

batang bawah untuk okulasi atau sambungan. Selain itu, tanaman hasil

perbanyakan secara generatif juga digunakan untuk program penghijauan dilahan-

lahan kritis yang lebih mementingkan konservasi lahan dibandingkan dengan

produksi buahnya. Sementara itu ada beberapa kelemahan perbanyakan secara

generatif, yaitu sifat biji yang dihasilkan sering menyimpang dari sifat pohon

Page 14: Theobroma cacao L

14

induknya. Jika ditanam ratusan atau ribuan biji yang berasal dari satu pohon induk

yang sama akan menghasilkan banyak tanaman baru dengan sifat yang beragam.

Ada sifat yang sama atau bahkan lebih unggul dibandingkan dengan sifat pohon

induknya, namun ada juga yang sama sekali tidak membawa sifat unggul pohon

induk, bahkan lebih buruk sifatnya. Keragaman sifat dipengaruhi oleh mutasi gen

dari pohon induk jantan dan betina (Agro Media, 2007).

2.2.2 Teknik perbanyakan kakao secara vegetatif

Perbanyakan tanaman secara vegetatif akan menghasilkan populasi

tanaman homogen dalam sifat-sifat genetiknya. Perbanyakan secara vegetatif

dilakukan dengan menggunakan bagian-bagian tanaman seperti cabang, ranting,

pucuk, daun, umbi dan akar. Prinsipnya adalah merangsang tunas adventif yang

ada dibagian-bagian tersebut agar berkembang menjadi tanaman sempurna yang

memiliki akar, batang dan daun sekaligus. Perbanyakan secara vegetatif dapat

dilakukan dengan cara cangkok, rundukan, setek dan kultur jaringan (AgroMedia,

2007 ).

Perbanyakan vegetatif pada tanaman kakao dikenal tiga macam cara

yang lazim digunakan, yaitu okulasi (budding), sambung pucuk (top grafting) dan

sambung samping (side grafting), namun akhir-akhir ini dikembangkan juga

perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan (tissue culture) atau yang lebih

dikenal dengan istilah Somatik Embryogenesis (SE).

2.2.2.1 Okulasi (budding)

Penempelan atau okulasi (budding) adalah penggabungan dua bagian

tanaman yang berlainan sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan

Page 15: Theobroma cacao L

15

yang utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan

pada bekas luka sambungan atau tautannya. Bagian bawah (yang mempunyai

perakaran) yang menerima sambungan disebut batang bawah (rootstock atau

understock) atau sering disebut stock. Bagian tanaman yang ditempelkan atau

disebut batang atas, entres (scion) dan merupakan potongan satu mata tunas

(Prastowo dan Roshetko, 2006).

Rukmana (1997) mengemukakan bahwa hal yang penting untuk

diperhatikan dalam perbanyakan tanaman dengan okulasi adalah persyaratan

batang bawah dan batang atas. Batang bawah harus memenuhi persyaratan antara

lain: pertumbuhan dan perakarannya baik (kuat), tahan kekurangan dan kelebihan

air, memiliki pertumbuhan yang seimbang dengan batang atas dan tahan terhadap

hama dan penyakit. Persyaratan batang atas adalah berproduksi tinggi,

berpenampilan menarik, tahan terhadap hama dan penyakit dan digemari oleh

masyarakat luas. Syarat lain yang perlu diperhatikan pada waktu pengambilan

entres adalah kesuburan dan kesehatan pohon induk.

Peningkatkan kesuburan pohon induk, biasanya tiga minggu sebelum

pengambilan batang atas dilakukan pemupukan dengan pupuk NPK. Kesehatan

pohon induk ini penting karena dalam kondisi sakit, terutama penyakit sistemik

mudah sekali ditularkan pada bibit. Entres diambil setelah kulit kayu cabangnya

dengan mudah dapat dipisahkan dari kayunya (dikelupas). Bagian dalam kulit

kayu (kambium) akan tampak berair menandakan kambiumnya aktif, sehingga

bila mata tunasnya segera diokulasikan akan mempercepat pertautan dengan

batang bawah.

Page 16: Theobroma cacao L

16

Menurut Prawoto (1991) pada okulasi tanaman kakao telah dibuktikan

bahwa batang bawah juga mempengaruhi kadar unsur hara daun batang atas dan

kualitas hasilnya, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap mutu hasil biji. Syamsul

(2010) mengatakan bahwa penyambungan tanaman dari satu varietas atau dari

satu spesies memang dapat dilakukan tanpa mengalami kesukaran. Lain halnya

dengan okulasi yang dilakukan antar spesies biasanya sedikit mengalami

kesukaran karena antar batang atas dan batang bawah kadang-kadang terdapat

perbedaan fisiologis.

Okulasi dilakukan dengan metode okulasi fokert. Kulit batang bawah

disayat secara melintang dengan lebar 6-12 mm, kemudian dikupas ke arah bawah

dengan panjang 2-3 cm sehingga terbentuk lidah. Lidah kemudian dipotong

dengan menggunakan pisau okulasi dan disisakan seperempat bagian. Mata tunas

dari cabang entres disayat dengan kayunya sepanjang ± 2 cm. Selanjutnya mata

tunas disisipkan pada sayatan batang bawah, lalu diikat dengan tali plastik yang

telah disiapkan (Gambar 2.1). Pengikatan dimulai dari bagian bawah ke atas

(sistem genting bertingkat) agar pada waktu hujan atau penyiraman air tidak

masuk ke dalam okulasian. Setelah okulasi berumur dua minggu, tali plastik

dibuka. Mata tunas yang berwarna hijau menandakan bahwa okulasi berhasil

(hidup). Batang bawah kemudian dipotong dengan menyisakan dua helai daun.

Mata tunas yang berwarna coklat menandakan okulasi mengalami kegagalan.

Keberhasilan okulasi sangat tergantung pada kondisi batang bawah

dan jenis tali okulasi. Prastowo dan Roshetko (2006) mengatakan bahwa waktu

terbaik pelaksanaan okulasi adalah pada pagi hari, antara jam 07.00 - 11.00,

Page 17: Theobroma cacao L

17

karena saat tersebut tanaman sedang aktif berfotosintesis sehingga kambium

tanaman juga dalam kondisi aktif dan optimum, diatas jam 12.00 daun mulai

layu, tetapi ini bisa diatasi dengan menempel di tempat yang teduh sehingga

terhindar dari sinar matahari langsung (Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Gambar 2.1 Teknik Okulasi (gambar diambil dari penelitan Abdulrahman dkk, 2005)

2.2.2.2 Sambung pucuk (top grafting)

Menyambung (grafting) merupakan suatu usaha perbanyakan tanaman

dengan cara melukai atau menyayat kedua individu tanaman yang masih satu

species atau varietas dengan berbagai keunggulannya. Keduanya digabungkan

sehingga kambium mata tunas (entres) dan kambium batang bawah (understump)

Mata tempel

Batang bawah disayat hingga membentuk lidah

Mata tunas disisipkan pada sayatan batang bawah

Arah ikatan mulai dari bawah keatas Ikatan dibuka

setelah 2 minggu

Page 18: Theobroma cacao L

18

saling melekat satu sama lain dan semakin banyak bagian yang melekat sesama

kambium tersebut semakin besar kemungkinannya untuk tumbuh (Wudianto dan

Rini, 1987). Keberhasilan penyambungan sangat tergantung pada kualitas batang

bawah dan entres (Ditjenbun, 2006). Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada

sambung pucuk (Ditjenbun, 2006; Usman 2008) adalah:

a) batang bawah merupakan tanaman yang sehat, mempunyai perakaran yang

dalam dan berasal dari jenis unggul. Bila berasal biji, tanaman telah berumur

3-4 bulan;

b) batang atas diambil dari cabang atau tunas yang tumbuh ke atas (orthotrop);

c) entres diusahakan tidak terinfeksi penyakit, sebagai antisipasi bisa disemprot

dengan Dhitane M-45 (0.2%). Entres diusahakan dalam keadaan lembab,

sebaiknya setelah dipotong dibungkus dengan kertas koran basah dan

dimasukkan dalam kotak (box) yang bersih;

d) pemeliharan tanaman dan kondisi sambungan sangat diperlukan seperti

membungkus sambungan dan menjaga kelembabannya agar tanaman tidak

kekeringan. Tunas akan tumbuh setelah 7-10 hari dan penyambungan dinilai

berhasil apabila setelah 2 bulan hasil sambungan masih hidup dan tumbuh

dengan baik.

Proses sambung pucuk dapat dilakukan sebagai berikut: batang bawah

dipotong setinggi 20-25 cm di atas permukaan tanah. Gunakan silet, pisau okulasi

atau gunting setek yang tajam agar bentuk irisan menjadi rapi. Batang bawah

kemudian dibelah membujur sedalam 2-2,5 cm. Batang atas yang sudah disiapkan

dipotong, sehingga panjangnya antara 7,5-10 cm. Bagian pangkal disayat pada

Page 19: Theobroma cacao L

19

kedua sisinya sepanjang 2-2,5 cm, sehingg bentuk irisannya seperti mata kampak.

Selanjutnya batang atas dimasukkan ke dalam belahan batang bawah. Pengikatan

dengan tali plastik yang terbuat dari kantong plastik ½ kg selebar 1 cm. Kantong

plastik ini ditarik pelan-pelan, sehingga panjangnya menjadi 2-3 kali panjang

semula.Terbentuklah pita plastik yang tipis dan lemas.

Pada waktu memasukkan entres ke belahan batang bawah perlu

diperhatikan agar kambium entres bisa bersentuhan dengan kambium batang

bawah. Sambungan kemudian disungkup dengan kantong plastik bening dan

agar sungkup plastik tidak lepas bagian bawahnya perlu diikat.

Tujuan penyungkupan ini untuk mengurangi penguapan dan menjaga

kelembaban udara di sekitar sambungan agar tetap tinggi. Tanaman sambungan

kemudian ditempatkan di bawah naungan agar terlindung dari panasnya sinar

matahari. Biasanya 2-3 minggu kemudian sambungan yang berhasil akan tumbuh

tunas. Sambungan yang gagal akan berwarna hitam dan kering. Pada saat ini

sungkup plastiknya sudah bisa dibuka, tetapi pita pengikat sambungan baru boleh

dibuka 3-4 minggu kemudian. Selanjutnya tinggal merawat sampai bibit siap

dipindah ke kebun (Gambar 2.2).

Page 20: Theobroma cacao L

20

Gambar 2.2 Teknik Sambung Pucuk pada Tanaman Perkebunan (Gambar diambil dari Hamid, 1999)

2.2.2.3 Sambungan samping (side grafting)

Penyambungan tanaman merupakan cara yang paling efektif dan efisien

dalam proses perbanyakan tanaman secara vegetatif. Salah satu keunggulan

dilakukan sambung samping adalah bibit yang dihasilkan sifatnya akan sama

dengan sifat induknya (Suryadi dan Zaubin, 2000). Sambung samping pada

tanaman kakao dewasa adalah salah satu kegiatan penyambungan yang dilakukan

dengan menempel satu potong cabang (entres) sepanjang sekitar 15 cm, pada

batang utama (batang penanti) tanaman dewasa. Pertumbuhan tunas selanjutnya

dipengaruhi oleh cahaya matahari yang masuk kebawah tajuk. Tajuk yang lebih

rapat menyebabkan pertumbuhan tunasnya lebih lambat dibangdingkan dengan

tajuk yang sudah dijarangkan (Napitupulu dan Pamin, 1995).

Semula teknik okulasi tanaman dewasa menjadi anjuran utama dalam

upaya klonalisasi tanaman kakao di Malaysia (Bahaudin dkk, 1984), tetapi kini

sambung samping lebih dipilih oleh petani karena lebih mudah pelaksanaannya

Page 21: Theobroma cacao L

21

dan tanaman baru lebih cepat menghasilkan dibandingkan dengan teknik

okulasi (Prawoto, 1995).

Menutut Suhendi (2007) dibandingkan dengan okulasi tanaman

dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping mempunyai keunggulan

sebagai berikut: (a) areal pertanaan kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif

singkat, lebih murah, dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibandingkan

cara tanam ulang (replanting), (b) sementara batang atas belum berproduksi, hasil

buah dari batang bawah dapat dipertahankan, (c) batang bawah dapat berfungsi

sebagai penaung sementara bagi batang atas yang sedang tumbuh.

Syamsul (2010) mengatakan bahwa manfaat sambung samping pada

tanaman adalah memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil tanaman, dihasilkan

gabungan tanaman baru yang mempunyai keunggulan dari segi perakaran dan

produksinya, juga dapat mempercepat waktu berbunga dan berbuah,

menghasilkan tanaman yang sifat berbuahnya sama dengan induknya, peremajaan

tanpa menebang pohon tua, sehingga tidak memerlukan bibit baru dan menghemat

biaya eksploitasi.

Faktor-faktor penentu keberhasilan sambung samping (Anonim, 2009)

yaitu:

(a) kemampuan batang bawah (under stock) dan atas (entres) menyatu (uniting);

(b) penyambungan entris harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pembuluh

kambium dapat menyatu dengan batang bawah dengan baik, sehingga batang

bawah dapat menyuplai air dan bahan makanan sampai tunas baru keluar;

Page 22: Theobroma cacao L

22

(c) penyambungan dilakukan pada saat yang tepat, dalam arti batang atas pada

tahap fisiologi yang baik (sebaiknya pada saat dormansi), sedangkan batang

bawah pada masa pertumbuhan aktif;

(d) setelah proses penyambungan selesai, usahakan bekas luka tidak mengalami

insfeksi oleh penyakit dan jamur;

(e) tanaman dirawat dengan baik sehingga memungkinkan tunas hasil

penyambungan berkembang dengan sempurna.

Ditjenbun (2006) menyebutkan bahwa syarat-syarat keberhasilan

penyambungan perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: entres harus

diambil dari pohon yang telah diseleksi dan secara genetis harus serasi

(compatible); entres harus berada dalam kondisi fisiologis yang baik; sambungan

dari masing-masing bahan tanaman harus terpaut sempurna; tanaman hasil

penyambungan harus dipelihara dengan baik dalam jangka waktu tertentu.

2.3 Proses Fisiologi pada Penyatuan Penyambungan

Proses pembentukan pertautan sambungan dapat disamakan dengan

penyembuhan luka. Bila pangkal tanaman dibelah, maka jaringan yang luka

tersebut akan sembuh jika luka tersebut diikat dengan kuat. Keberhasilan

penyambungan suatu tanaman tergantung pada terbentuknya pertautan sambungan

itu, dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya hubungan kambium yang

rapat dari kedua batang yang disambungkan (Ashari, 1995). Adnance dan Brison

(1976, dalam Hamid, 2010) menjelaskan adanya pengikat yang erat akan

menahan bagian sambungan untuk tidak bergerak, sehingga kalus yang terbentuk

akan semakin jalin-menjalin dan terpadu dengan kuat. Jalinan kalus yang kuat

Page 23: Theobroma cacao L

23

semakin menguatkan pertautan sambungan yang terbentuk. Pada penyambungan

tanaman, pemotongan bagian tanaman menyebabkan jaringan parenkim

membentuk kalus. Kalus-kalus tersebut sangat berpengaruh pada proses pertautan

sambungan. Proses pembentukan kalus ini sangat dipengaruhi oleh kandungan

protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat pada jaringan parenkim karena

senyawa-senyawa tersebut merupakan sumber energi dalam membentuk kalus.

Batang bawah lebih berperan dalam membentuk kalus (Harmann, 1997,

dalam Anonim, 2010). Pembentukan kalus sangat dipengaruhi oleh umur

tanaman. Batang bawah yang lebih muda akan menghasilkan persentase

sambungan yang tumbuh lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang lebih

tua (Samekto dkk, 1995).

Mekanisme terjadinya proses pertautan antara batang atas dan batang

bawah adalah sebagai berikut: (1) lapisan kambium masing-masing sel tanaman

baik batang atas maupun batang bawah membentuk jaringan kalus berupa sel-sel

parenkim, (2) sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas masing-masing

saling kontak, menyatu dan selanjutnya membaur, (3) sel-sel parenkim yang

terbentuk akan terdiferensiasi membentuk kambiun sebagai lanjutan dari lapisan

kambium batang atas dan batang bawah yang lama, (4) dari lapisan kambium

akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang

bawah ke batang atas dan sebaliknya untuk hasil fotosintesis dapat berlangsung

kembali (Hartmann dkk,1997, dalam Barus, 2003). Menurut Hartmann dan

Kester (1978, dalam Ashari, 1994) proses pertautan somatis batang bawah dan

batang atas disajikan (Gambar 2.3, 2.4, 2.5, dan 2.6) dibawah ini :

Page 24: Theobroma cacao L

24

Gambar 2.3 Lapisan Kambium, Masing-masing Sel Baik Batang Atas dan Batang Bawah Membentuk Jaringan Kalus yang Berupa Sel Parensima

Gambar 2.4 Sel-sel Parensima dari Batang Atas dan Batang Bawah Masing-masing Mengadakan Kontak Langsung Saling Menyatu dan Membaur

Batang atas

kambium

Batang bawah

kambium

Page 25: Theobroma cacao L

25

Gambar 2.5

Sel Parensima Tertentu Mengadakan Diferensiasi Membentuk Kambium Sebagai Kelanjutan dari Lapisan Kambium Batang Atas dan Batang Bawah yang Sama

Gambar 2.6 Pembentukan Jaringan/Pembuluh Tanaman dari Kambium yang Baru Sehingga Proses Translokasi Hara dari Batang Bawah ke Batang Atas dan Sebaliknya Dapat Berlangsung Kembali.

Xilem baru

Floem baru

Page 26: Theobroma cacao L

26

2.3.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyambungan

Faktor yang berpengaruh terhadap penyambungan (Anonim, 2010)

dibagi menjadi tiga faktor:

1. Faktor tanaman

Kesehatan batang bawah yang akan digunakan sebagai bahan

perbanyakan perlu diperhatikan. Batang bawah yang kurang sehat, proses

pembentukan kambium pada bagian yang dilukai sering terhambat. Keadaan ini

akan sangat mempengaruhi keberhasilan penyambungan (Sugiyanto, 1995, dalam

Hamid, 2009). Pendapat ini didukung oleh Garner dan Chaudri (1976, dalam

Hamid, 2009) yang mengemukakan bahwa batang bawah berpengaruh kuat

dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga pemilihan tanaman

yang digunakan sebagai batang bawah sama pentingnya dengan pemilihan

varietas yang akan digunakan sebagai batang atas.

Berhasilnya pertemuan entris dan batang bawah bukanlah jaminan adanya

kompatibilitas pada tanaman hasil sambungan, sering terjadi perubahan pada

entris maupun pada tanaman hasil sambungan, misalnya pembengkakan pada

sambungan, pertumbuhan entris yang abnormal atau penyimpangan pertumbuhan

lainnya, dimana keadaan ini disebut inkompatibel. Kondisi ini dapat disebabkan

oleh perbedaan struktur antara batang atas dan batang bawah atau ketidakserasian

bentuk potongan pada sambungan (Rochiman dan Harjadi, 1973). Batang bawah

dan batang atas yang mampu menyokong pertautan dengan baik dan serasi

disebut kompatibel (Winarno, 1990).

Page 27: Theobroma cacao L

27

2. Faktor pelaksanaan

Faktor pelaksanaan memegang peranan penting dalam penyambungan.

Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) kecepatan penyambungan merupakan

pencegahan terbaik terhadap infeksi penyakit. Pemotongan yang bergelombang

dan tidak sama pada permukaan masing-masing batang yang disambungkan tidak

akan memberikan hasil yang memuaskan (Hartman dan Kester, 1976).

Kehalusan bentuk sayatan dari suatu bagian dengan bagian lain sangat penting

untuk mendapatkan kesesuaian posisi persentuhan cambium, disamping itu

ketrampilan dan keahlian dalam pelaksanaan penyambungan maupun penempelan

serta ketajaman alat-alat yang digunakan juga sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan pekerjaan tersebut (Winarno, 1990).

3. Faktor lingkungan

Cahaya matahari sangat kuat akan berpengaruh terutama pada saat

pelaksanaan penyambungan, oleh karena itu penyambungan dilakukan pada waktu

pagi hari atau sore hari. Penyambungan sebaiknya dilakukan pada musim

kemarau. Selain untuk menghindari kebusukan, pada musim kemarau batang

sedang aktif mengalami pertumbuhan serta entris yang tersedia cukup masak

(Sugiyanto, 1995, dalam Hamid, 2010).

2.4 Klon – klon Unggul pada Tanaman Kakao

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kakao Indonesia adalah

masih belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai kondisi lingkungan

setempat. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kakao adalah

Page 28: Theobroma cacao L

28

dengan perbaikan bahan tanam (Anonim, 2010). Pemuliaan tanaman melalui

pengujian klon, persilangan antar klon, pengujian keturunan serta pemilihan

individu pohon terpilih untuk menghasilkan klon baru merupakan cara untuk

mendapatkan bahan tanam unggul. Kegiatan tersebut dilakukan secara

berkesinambungan agar diperoleh bahan tanam unggul yang memiliki sifat

produksi tinggi dan cepat menghasilkan buah, kualitas atau mutu hasilnya sesuai

dengan keinginan konsumen dan toleran terhadap hama dan penyakit (Puslit Kopi

dan Kakao, 2004).

Langsa (2007) mengatakan bahwa penggunaan klon unggul harus

diyakini mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu

hasil, sehingga ketersediaan klon unggul mutlak diperlukan. Produk bahan tanam

unggul kakao yang berdaya hasil tinggi serta memiliki kualitas mutu hasil yang

sesuai dengan tuntutan produsen dan konsumen merupakan salah satu komponen

penting dalam menunjang pembangunan bisnis perkebunan kakao. Ketersediaan

dan penggunaan bahan tanam unggul tersebut akan mampu meningkatkan daya

saing produk kakao Indonesia di pasar internasional. Bahan tanam unggul baru

diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mutu hasil kakao. Upaya untuk

mendapatkan klon kakao yang mempunyai sifat produksi yang tinggi, stabil dan

beradaptasi baik, serta mempunyai beberapa sifat sekunder yang menguntungkan

mutlak diperlukan.

Terdapat beberapa klon kakao yang telah dilepas oleh Menteri

Pertanian sejak tahun 2006 yang lalu karena mempunyai produksi yang lebih

tinggi, mutu hasilnya baik, tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti

Page 29: Theobroma cacao L

29

penggerek buah kakao (PBK), Helopeltis sp, Vasculas steak diabeck (VSD)

adalah ICCRI 03, ICCRI 04, Sulawesi 1, Sulawesi 2. (Deptan, 2009). Rata-rata

potensi daya hasil dari masing-masing jenis kakao tersebut diatas adalah 1,5 –

2,9 ton ha-1 (Lampiran 1,2,3 dan 4).

Page 30: Theobroma cacao L

30

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat penting

peranannya dalam perkembangan perekonomian nasional. Peningkatan luas areal

pertanaman kakao di Indonesia belum diikuti dengan peningkatan produktivitas

dan mutu yang tinggi, hal ini terbukti dari produksi rata–rata kakao nasional

masih rendah yaitu 0,7 ton, ha-1, thn-1 (Prawoto, 2006).

Mawardi (2004) mengatakan bahwa tanaman kakao dapat diperbanyak

dengan benih atau secara klon yaitu okulasi (tempel) dan sambungan. Pertanaman

kakao yang diusahakan oleh petani pada umumnya berasal dari benih hibrida.

Pemakaian benih hibrida pada awal penanaman di kebun petani merupakan

pilihan yang tepat karena relatif muda dalam pelaksanaan pembibitan, lebih

mudah penyediaan benih dalam jumlah banyak, serta lebih mudah pengiriman

bahan tanam kakao dalam bentuk benih.

Pertanaman kakao asal benih hibrida yang telah diusahakan petani sejak

tahun 1970 mulai menunjukan keragaman yang kurang produktif karena umur

tanaman yang sudah tua (Zaenudin dan Baon, 2004). Lebih lanjut dikatakan

bahwa rendahnya produktivitas tanaman kakao pada umumnya karena teknologi

pembudidayaan oleh kebanyakan petani masih sederhana, penggunaan bahan

tanam yang mutunya kurang baik, serangan hama dan penyakit, tajuk tanaman

rusak, populasi tanaman berkurang juga karena umur tanaman kakao yang sudah

tua sehingga kurang produktif dan perlu diremajakan atau direhabilitasi.

30

Page 31: Theobroma cacao L

31

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao sudah tidak

produktif lagi bila umurnya sudah diatas 20 – 25 tahun. Tanaman tersebut

umumnya memiliki produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi

produktivitasnya (Suhendi, 2007). Iswanto (2001) mengatakan bahwa keadaan

pertanaman yang kurang produktif tersebut mendorong petani melakukan

rehabilitasi dan penanaman ulang. Petani lebih tertarik melakukan sambung

samping untuk merehabilitasi tanaman kakao yang kurang produktif atau sudah

tua dibandingkan dengan cara membongkar dan tanam ulang, karena dengan

sambung samping petani masih dapat memungut hasil buah kakao dan dapat

menikmati pembuahan kakao yang lebih cepat dari keberhasilan sambung

samping.

Rehabilitasi secara vegetatif menggunakan varietas (klon) unggul

dengan teknik sambung samping merupakan salah satu alternatif yang dianjurkan

sebagai upaya untuk meningkatkan produksi kakao di Indonesia (Langsa, 2007).

Meningkatnya permintaan klon unggul oleh petani kakao karena mempunyai

produksi yang tinggi, biji lebih besar, tahan terhadap hama penggerek buah

kakao (PBK) dan penyakit Vascular steak dieback (VSD), serta potensi daya hasil

dari klon–klon unggul bisa mencapai 2,9 ton-1 (Deptan, 2009). Penggunaan

klon unggul harus diyakini mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan

tanaman, produksi dan mutu hasil, sehingga ketersediaan klon unggul mutlak

diperlukan (Langsa, 2007).

Penggunaan beberapa klon unggul seperti ICCRI 03, ICCRI 04,

Sulawesi 1, dan Sulawesi 2 diharapkan mempunyai kemampuan yang berbeda –

Page 32: Theobroma cacao L

32

beda dalam pertumbuhan, hal ini karena kakao mempunyai keragaman genetik

serta kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang berbeda-beda

pula.

Teknik sambung samping pertama kali diterapkan oleh BAL estate

pada tahun 1991 dan 1992 untuk rehabilitasi pada kebun benih (Yow dan Lim,

1994, dalam Prawoto, 2006) dan telah dipraktekkan secara luas di Sabah

(Departemen of Agriculture Sabah, 1993 dalam Prawoto, 2006). Di Malaysia,

sambung samping dilakukan untuk menanggulangi hama pengerek buah kakao

(PBK) dengan cara mengganti klon-klon yang ada dengan klon-klon yang potensi

produksinya tinggi, baik pada tanaman muda maupun tua. Hasil menunjukkan

produktivitas kakao meningkat 2-4 kali dibandingkan dengan produktivitas

sebelumnya ( Sastrosoedarjo dkk, 1995).

Kendala yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman secara

sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk dengan kebun yang

akan direhabilitasi, sehingga dibutuhkan waktu beberapa hari mulai dari

pengambilan entres sampai penyambungan. Selain itu jumlah tanaman yang akan

disambung sering dalam jumlah yang banyak, sehingga tidak bisa disambung

dalam waktu sehari dan entres yang belum tersambung harus disimpan untuk

keesokan harinya.

Menurut Jawal dan Alwarudin ( 2006) lamanya penyimpanan entres

mempengaruhi keberhasilan sambung pucuk dan panjang tunas, yaitu semakin

lama entres disimpan semakin rendah tingkat keberhasilan sambung pucuk dan

semakin pendek tunas yang terbentuk. Interaksi antara lama penyimpanan entres

Page 33: Theobroma cacao L

33

dengan varietas berpengaruh terhadap persentase pecah tunas dan pembentukan

daun bibit sambung avokad. Diagram kerangka berpikir (Gambar 3.1)

Gambar 3.1 Diagram Kerangka Berpikir

Penggunaan klon unggul

Petani belum melakukan rehabilitasi kakao secara optimal

Penelitian sambung samping dengan menggunakan klon unggul dan waktu penyimpanan entris

Waktu penyimpanan entris

Pertumbuhan entris yang optimum

Rehabilitasi kakao menggunakan teknik sambung samping

Produktivitas kakao menurun

- Produksi tinggi - Tahan terhadap hama dan penyakit - Mudah beradaptasi dengan

lingkungan dalam proses penyatuhan entris dan batang bawah

-

- Kemampuan daya tumbuh - Kesegaran - Warna kulit - Kadar air

Page 34: Theobroma cacao L

34

3.2 Kerangka Konsep

Sambung samping (side grafting) merupakan teknik perbaikan tanaman

kakao yang dilakukan dengan cara menyisipkan batang atas dengan klon-klon

unggul yang dikehendaki sifat baiknya pada sisi batang bawah. Penggunaan klon-

klon unggul serta entres yang telah dipotong harus disimpan beberapa hari

sebelum dilakukan penyambungan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

entres yang akan disambung. Perlakuan pengunaan beberapa jenis klon dan lama

penyimpanan entres diduga saling berpengaruh, sehingga terdapat interaksi pada

kedua perlakuan tersebut.

Penggunaan klon unggul pada sambung samping kakao sangat

dianjurkan karena diharapkan mampu berproduksi tinggi, tahan terhadap hama

dan penyakit, lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan serta kemampuan untuk

menyesuaikan diri antar entris dengan batang bawah. Penggunaan klon unggul

diduga dapat mempercepat penyatuan batang atas dan batang bawah yaitu ditandai

dengan menutupnya luka pada sayatan sambungan dan berkembangnya entres

menjadi bagian utuh dari tanaman. Penutupan bekas sayatan akan membantu

meningkatkan kelembaban di daerah luka dan juga mencegah terjadinya dehidrasi

pada jaringan-jaringan disekitar sambungan. Penutupan juga bisa mencegah

terjadinya infeksi luka sayatan dan infeksi dari jamur dan pathogen lainnya.

Perbedaan lama penyimpanan entres juga dapat mempengaruhi

keberhasilan sambungan, pertumbuhan dan kesegaran entris yang akan

disambung. Entres yang baru diambil dari pohon induk tampak segar serta

warnanya hijau kecoklotan, namun jika waktu penyambungan dilakukan beberapa

Page 35: Theobroma cacao L

35

hari kemudian, maka warna entres tersebut menjadi coklat kehitaman serta

kulitnya mengkerut. Terjadinya perubahan warna dan mengkerutnya kulit entres

dipengaruhi oleh berkurangnya kadar air pada entres akibat transpirasi. Entres

yang disambung beberapa hari setelah diambil dari pohon induknya harus

diperlakukan secara khusus sehingga kesegaran, warna serta kadar air tetap

terpelihara.

3.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Interaksi antar jenis klon dan lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap

pertumbuhan sambung samping kakao.

2. Jenis klon entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung samping (side

grafting) kakao.

3. Lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung

samping kakao.

Page 36: Theobroma cacao L

36

Produksi kakao di Bali saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan

luas areal pertanaman kakao. Pada tahun 2007 produksi kakao di Bali 7.425,94

ton, tahun 2008 yaitu 6.745,51 ton dan tahun 2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas

Perkebunan Provinsi Bali, 2010).

Page 37: Theobroma cacao L

37

Kebutuhan kakao nasional dari tahun ke tahun terus meningkat seiring

meningkatnya permintaan pasar dunia. Meningkatnya permintaan kakao tersebut

tidak diimbangi oleh peningkatan produksi. Umur tanaman kakao yang sudah tua

merupakan salah satu penyebab yang berpengaruh terhadap rendahnya produksi.

Kondisi tersebut diatas juga dijumpai di lokasi penelitian Desa Angkah

Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan Provinsi Bali.

Penggunaan klon – klon unggul dan waktu penyambungan juga mampu

meningkatkan penyatuhan batang atas dan batang bawah, sehingga mempengaruhi

keberhasilan sambung samping.

Page 38: Theobroma cacao L

38

Tambanahan Kerangka konsep

Sejak dulu sampai sekarang petani di Desa Tonggolobibi masih tetap menggunakan bahan tanam yang bersumber dari sesama petani atau dari kebunnya sendiri, sehingga belum ditemukan petani yang menggunakan bahan tanam bermutu (klon unggul) dengan cara membeli dari penangkar bibit atau lembaga penelitian. Hal ini disebabkan karena di satu sisi bahan tanam berkualitas harganya relatif mahal dan agak sulit diperoleh, sementara di sisi lain petani dapat dengan mudah menggunakan bahan tanam yang bersumber dari kebunnya sendiri.

Rehabilitasi tanaman kakao dengan metode sambung samping menggunakan bahan

tanam unggul merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Saat ini momennya cukup tepat karena ada kecenderungan peningkatan minat petani kakao di Desa Tonggolobibi terhadap penggunaan bahan tanam klonal dalam upaya memperbaiki performa tanaman yang sudah tua untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil.

Teknologi sambung samping memerlukan entres yang cukup banyak. Oleh karena itu selain menggunakan entres dari kebun-kebun entres dengan klon-klon unggul yang telah diketahui, juga dapat memanfaatkan klon unggul lokal yang telah diketahui petani dengan terlebih dahulu melalui tindakan seleksi dan pemurnian.

Dibandingkan dengan okulasi tanaman dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping menunjukkan keunggulan berikut: Areal pertanaan kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif singkat. Lebih murah, dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibandingkan cara

tanam ulang (replanting) Sementara batang atas belum berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat

dipertahankan Batang bawah dapat berfungsi sebagai penaung sementara bagi batang atas

yang sedang tumbuh. PENGENDALIAN

Teknik ini dipilih dengan pertimbangan untuk memperbanyak tanaman yang sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara stek, perundukan, pemisahan, atau dengan cangkok. Menurut Ashari (1995), banyak jenis tanaman buah-buahan yangsukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara-cara tersebut, tetapi mudah dilakukan

Page 39: Theobroma cacao L

39

penyambungan, misalnya pada manggis, mangga, belimbing, jeruk dan durian. Alasan lain untuk melakukan grafting adalah: Ashari, S. 1995. Holtikultura. Aspek Budidaya. UI-Press. 485 hal.

Page 40: Theobroma cacao L

40

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan

Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan perlakuan yang disusun secara

faktorial. Perlakuan yang dicoba terdiri dari dua faktor yaitu :

Faktor Pertama adalah klon unggul sebagai batang atas (entres) yang terdiri dari:

KS1 : Klon Sulawesi 1

KS2 : Klon Sulawesi 2

KI1 : Klon ICCRI 03

KI2 : Klon ICCRI 04

K0 : Klon Lokal Bali

Faktor Kedua adalah lama penyimpanan entres:

H0 : Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 16 jam sejak pemotongan

H3 : Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 72 jam sejak pemotongan (3 hari)

H6 : Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 144 jam sejak pemotongan (6 hari)

Dalam percobaan ini terdapat 15 kombinasi perlakuan (KS1H0, KS1H3,

KS1H6, KS2H0, KS2H3, KS2H6, KI1H0, KI1H3, KI1H6, KI2H0, KI2H3, KI2H6,

K0H0,K0H3, dan K0H6), dan masing-masing diulang tiga kali. Setiap kombinasi

perlakuan terdiri dari tiga pohon, sehingga diperlukan 135 pohon batang bawah

untuk disambung. Denah tata letak tanaman dilapangan disajikan (Gambar 4.1).

36

Page 41: Theobroma cacao L

41

XXX

KI1H3

XXX

KS1H3

XXX

KS1H6

XXX

KI2H0

XXX

KS1H0

XXX

KS1H3

XXX

K0H6

XXX

KS2H3

XXX

K0H3

XXX

KI2H3

XXX

KI1H0

XXX

K0H3

XXX

KS1H6

XXX

KS2H0

XXX

K0H0

XXX

KS1H3

XXX

KI2H3

XXX

KI1H0

XXX

K0H0

XXX

KI2H6

XXX

KI1H6

XXX

K0H6

XXX

KS2H6

XXX

KI1H0

XXX

KI1H6

XXX

KS1H0

XXX

K0H0

XXX

KS2H0

XXX

KI1H0

XXX

K0H6

XXX

KI1H6

XXX

KS2H3

XXX

K0H3

XXX

KS2H6

XXX

KS2H0

XXX

KS1H6

XXX

KS2H6

XXX

KS1H3

XXX

KS1H0

XXX

KI1H3

XXX

KI2H3

XXX

KI2H6

XXX

KI2H6

XXX

KI1H3

XXX

KI2H0

II I III

Keterangan : I,II,III = Ulangan KS1 = Klon Sulawesi 1 KS2 = Klon Sulawesi 2 KI1 = Klon ICCRI 03 KI2 = Klon ICCRI 04 K0 = Klon Lokal Bali

H0 = Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 16 jam sejak pemotongan

H3 = Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 72 jam sejak pemotongan (3 hari)

H6 = Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 144 jam sejak pemotongan (6 hari)

XXX = Tanaman kakao yang akan disambung. Tiap perlakuan terdiri dari 3 tanaman.

Gambar 4.1 Denah Tata Letak Percobaan Dilapangan

U

Page 42: Theobroma cacao L

42

4.2 Tempat dan Waktu Percobaan

Percobaan ini dilaksanakan di kebun petani yang terletak di Banjar

Samsaman Kelod, Desa Angkah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten

Tabanan, Provinsi Bali. Ketinggian tempat percobaan adalah 120 meter diatas

permukaan laut (dpl). Pemilihan lokasi ini ditetapkan berdasarkan hasil survey

lokasi pada sentra-sentra produksi tanaman kakao yang rata-rata umur tanaman

kakao pada lokasi tersebut berkisar antara 15-20 tahun. Sumber klon untuk batang

atas (entres) diambil dari perkebunan milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao

Indonesia di Jember, Provinsi Jawa Timur dan klon unggul lokal Bali diambil dari

kebun petani di lokasi percobaan. Percobaan ini berlangsung dari bulan Januari

sampai dengan April 2011

4.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi : batang atas (entres) klon Sulawesi 1,

Sulawesi 2, ICCRI 03, ICRRI 04, klon unggul lokal Bali, tanaman batang bawah,

alkohol, plastik sungkup transparan, tali rafiah, label pengamatan, dan larutan

alkosorb. Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah: gunting pangkas,

pisau okulasi , penggaris, meteran, jangka sorong, kamera, dan alat tulis menulis.

4.4 Pelaksanaan Percobaan

4.4.1 Persiapan lahan

Lahan yang dipergunakan adalah kebun petani yang sudah ada tanaman

kakao dewasa umur 15 – 20 tahun. Areal dibagi menjadi tiga blok (ulangan),

dimana masing – masing ulangan terdapat 45 tanaman.

Page 43: Theobroma cacao L

43

4.4.2 Penyiapan batang bawah

Batang bawah yang digunakan adalah kakao dewasa umur 15 - 20

tahun, pertumbuhan baik, sehat dan sedang bertunas. Batang bawah yang akan

disambung terlebih dahulu dilakukan pemupukan, pemangkasan, penyiangan

gulma serta pengendalian hama dan penyakit.

4.4.3 Penyediaan batang atas (entres)

Entres diambil dari perkebunan milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao

Indonesia di Jember yang secara individu telah diseleksi terkecuali klon lokal

Bali. Penyediaan batang atas (entres) yang digunakan adalah entres dari klon

kakao lokal Bali, Sulawesi 1, Sulawesi 2, ICCRI 03 dan ICCRI 04. Batang atas

dipilih dari ranting yang baik, dan tidak terserang hama dan penyakit, bentuknya

lurus panjang sekitar 15 cm dan terdiri dari 4 - 5 mata tunas. Entres berupa cabang

plagiotrop berwarna hijau atau hijau kecoklatan dan sudah mengayu, dengan

ukuran diameter 0,75-1,0 cm.

4.4.4 Pengemasan entres

Entres yang telah diambil langsung disambung pada hari itu juga,

namun karena pada percobaan ini jarak antara kebun sumber entres dengan lokasi

penelitian cukup jauh dan terdapat perlakuan dimana entres disimpan beberapa

hari kemudian baru dilakukan penyambungan, maka entres dikemas terlebih

dahulu (Gambar 4.2) dengan cara sebagai berikut :

1. Potong entres sepanjang ± 45 cm, masukkan kedalam dos ukuran 45 cm x 20

cm x 23 cm berisi media yang dilapisi plastik.

Page 44: Theobroma cacao L

44

2. Media terdiri dari kertas koran yang telah dibasahi dengan air dan dicampur

dengan larutan alcosorb tiga g dan setelah itu dibungkus dengan plastik.

3. Bahan entres diatur sedemikian rupa sehingga setiap bahan tertutupi oleh kertas

koran yang telah dibasahi dengan air secukupnya dan setiap satu ikatan plastik

berisi 50 entris.

4. Entres yang akan disambung pada hari ke tiga dan ke enam dibungkus dengan

pelepah pisang dan plastik kemudian disimpan dalam ruangan yang sejuk

sehingga kesegaran entres tetap terjaga.

(1) Pengemasan entres

(3) Penyimpanan entres 3-6 hari

( 2) Pengepakan entres sebelum diangkut

(4) Media entres (kertas koran dan larutan alkosorb)

Gambar 4.2 Proses Pengemasan Entres Sebelum dan Selama Penyimpanan

Page 45: Theobroma cacao L

45

4.4.5 Pelaksanaan penyambungan

Tapak sambungan dibuat pada ketinggian 45 – 75 cm diatas permukaan

tanah, lalu kulit batang bawah disayat secara horizontal dengan panjang 4-6 cm

sampai menyentuh lapisan kambium (Gambar 4.3). Selanjutnya diatas sayatan

horizontal disayat/dikerat secara hati-hati sampai membentuk cekungan hingga

bertemu pada ujung dari sayatan horizontal, sehingga membentuk cekungan.

Bagian bawah cekungan disayat vertikal selebar 1,5 – 2,0 cm dan panjangnya ± 5

cm sampai menyentuh lapisan kayu/kambium. Selanjutnya kulit keratan diungkit

sedikit untuk mengetahui apakah batang tersebut mudah terkelupas/dibuka.

Tapak sambungan yang baik akan menunjukkan warna keputihan

apabila kulit tapak torehan dibuka. Kulit torehan ini ditutup kembali setelah

dibuka sementara menunggu entres disediakan. Entres yang telah disediakan

dipotong – potong dengan panjang ± 15 cm dan terdapat 3-4 mata tunas. Ujung

entres yang telah terpilih disayat sampai runcing menyerupai mata bajing dengan

panjang sayatan 4-5 cm. Entres yang telah disayat dimasukkan secara perlahan-

lahan kedalam tapak sambungan dengan membuka lidah torehan supaya bagian

potongan tidak rusak.

Sisi sayatan yang panjang pada entres harus menghadap ke arah kayu

tapak sambungan kemudian lidah kulit batang ditutup kembali. Setelah entres

dimasukkan ke dalam tapak sambungan lalu tapak sambung diikat kuat dengan

tali rafia pada titik pertautan sambungan sehingga sambungan tidak goyang.

Kemudian entres ditutup dengan plastik transparan dan diikat kuat dengan tali

Page 46: Theobroma cacao L

46

rafiah karena keberhasilan sambungan juga ditentukan oleh sejauh mana entres

terhindar dari penguapan berlebihan dan pastikan air hujan tidak akan masuk.

(1) Tapak sambung

(3) Entres disisip pada batang bawah

( 2) Entres di sayat membentuk mata bajing

(4) entres disungkup

Gambar 4.3 Proses Tahapan Sambung Samping pada Tanaman Kakao

Page 47: Theobroma cacao L

47

4.4.6 Pemeliharaan sambungan

Pemeliharaan batang bawah dan batang atas harus dilakukan secara

rutin dan intensif setelah penyambungan agar tunas dapat tumbuh sehat dan

normal. Tunas air yang tumbuh dari batang bawah dibuang, tajuk tanaman batang

bawah yang menaungi batang atas dipotong secara bertahap (disiwing),

pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara teratur (Gambar 4.4).

Ketika tunas muda hasil sambungan sudah mencapai 2-3 cm, maka

plastik sungkup dibuka sedikit, sedangkan tali pengikat pertautan tidak dilepas.

Dua bulan setelah penyambungan tali ikatan dapat dilepas, karena pada saat itu

entres sudah menyatu erat dengan batang bawah.

(1) Pencegahan hama dan penyakit

(2) Pembukaan sungkup

Gambar 4.4 Pemeliharaan Entres Sambung Samping

4.5 Pengamatan

Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data pertumbuhan entres

kakao setelah dilakukan penyambungan. Pengamatan terhadap variabel

pertumbuhan dilakukan pada tiga tanaman sampel pada masing - masing

Page 48: Theobroma cacao L

48

perlakuan kemudian dirata - ratakan. Pengamatan dilakukan secara non destruktif

setiap 15 hari sekali mulai sambungan entres berumur 45 sampai 75 hari setelah

penyambungan (hsp).

4.5.1 Variabel pengamatan

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah:

1. Persentase sambung hidup

Pengamatan dilakukan pada setiap sambungan hidup yang ditandai

tumbuhnya tunas pada entres ataupun pada entres yang belum bertunas yang

dicirikan dengan entres yang masih segar, hijau dan masih bertautan dengan

batang bawah. Pengamatan dilakukan pada umur 75 hsp. Persentase

sambung hidup (%) dihitung dengan menggunakan rumus :

a

P = X 100 % ..............................................................(1)

b

Dimana :

P = Persentase batang atas (entres) yang hidup a = Jumlah batang atas (entres) yang hidup b = Jumlah batang atas (entres) yang disambung

2. Jumlah tunas (pucuk)

Pengamatan dilakukan pada setiap sambungan yang hidup dan bertunas.

3. Panjang tunas (cm)

Panjang tunas diukur mulai dari dasar tunas sampai titik tumbuh dengan

menggunakan penggaris. Pengamatan dilakukan pada umur 45, 60, dan 75

hsp.

Page 49: Theobroma cacao L

49

4. Jumlah daun total tanaman (helai)

Jumlah daun yang diamati dengan cara menghitung seluruh helai daun yang

telah terbuka sempurna pada batang atas (entres). Pengamatan dilakukan pada

umur 45, 60, dan 75 hsp.

5. Diameter tunas entres (mm)

Diameter tunas diukur menggunakan jangka sorong, 5 cm dari bagian pangkal

tunas. Pengamatan dilakukan pada umur 45, 60, dan 75 hsp.

6. Luas daun tanaman (cm²)

Luas daun ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar daun maksimum,

kemudian dikalikan dengan konstanta (Hamid 2009). Pengamatan dilakukan

pada umur 45, 60, dan 75 hsp.

LD = P x L x k .............................................................................................(2)

Dimana:

LD : Luas daun P : Panjang daun (cm) L : Lebar daun maksimum (cm) k : Konstanta

Konstanta ditentukan berdasarkan metode planimetri yaitu luas helai

daun diukur diatas kertas milimeter blok, sedangkan panjang dan lebar daun

maksimum diukur menggunakan penggaris. Nilai konstanta dicari dengan cara

membagi luas daun sebenarnya pada kertas milimeter blok dengan panjang x lebar

daun maksimum.

Konstanta = Luas daun sebenarnya (di atas kertas milimeter blok) (cm2).......(3) Panjang x Lebar daun maksimum (cm2)

Page 50: Theobroma cacao L

50

4.6 Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis secara stastistik dengan analisis

varian (analisis sidik ragam) sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila

interaksi memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap variabel yang

diamati, maka dilanjutkan dengan uji beda rata-rata dengan uji jarak berganda

Duncan 5 %. Bila hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh nyata (P<0,05),

maka dilanjutkan uji beda rata-rata dengan uji BNT 5% (Gomes dan Gomes,

1995). Pada penelitian ini terdapat perlakuan yang datanya nilai nol, sehingga

data tersebut harus di transformasi dengan √x+½ sebelum dianalisis.

Hubungan antara lama penyimpanan entres dengan pertumbuhan entres

dianalisis dengan analisis regresi non linier sederhana dan hasil ditampilkan dalam

bentuk gambar (Petersen, 1994).

Page 51: Theobroma cacao L

51

BAB V

HASIL PENELITIAN

Selama percobaan berlangsung pertumbuhan entres hasil sambung

samping tanaman kakao tidak mengalami gangguan yang berarti baik oleh

serangan hama dan penyakit maupun gangguan lainnya. Pemeliharaan sambungan

seperti penyiangan gulma, pemangkasan tunas air, dan pengendalian hama dan

penyakit dilakukan secara teratur sehingga pertumbuhan entres tidak terganggu.

Data yang dianalisis pada penelitian ini adalah data yang telah

ditransformasi dengan √x+0,5 pada seluruh variabel pengamatan kecuali

persentase sambung hidup. Transformasi data dilakukan karena pada perlakuan

lama penyimpanan entres hari ke-6 (H6) terdapat data 0 (nol) pada ulangan I, II

dan III pada seluruh variabel pengamatan pertumbuhan antara lain: luas daun,

diameter tunas, jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas. Perlakuan yang

nilainya 0 (nol) tidak berarti entres hasil sambung samping pada kakao tersebut

mati. Entres tersebut masih hidup yang ditandai dengan warna entres masih hijau

dan telah terjadi pertautan (kompatibilitas) dengan batang bawah, tetapi belum

mengeluarkan tunas sehingga tidak dapat diamati pertumbuhan tunasnya.

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara

jenis klon dengan lama penyimpanan entres terhadap semua variabel yang diamati

baik pada pertumbuhan vegetatif maupun persentase sambung hidup (Tabel 5.1).

Perlakukan lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap

luas daun, jumlah daun, panjang tunas namum tidak berpengaruh nyata (P≥0,05)

terhadap diameter tunas dan panjang tunas. Perlakuan jenis klon tidak

47

Page 52: Theobroma cacao L

52

berpengaruh nyata (P≥0,05) terhadap pertumbuhan dan persentase sambung hidup

umtuk semua variebel pengamatan (Tabel 5.1).

Tabel 5.1 Signifikansi Pengaruh Jenis Klon (K) dan Lama Penyimpanan Entres (H) serta

Interaksinya (K x H) terhadap Variabel yang Diamati

No Variabel Perlakuan K H K x H

1

Prosentase sambung hidup

TN

**

TN 2 Luas daun

- 45 hsp - 60 hsp - 75 hsp

TN TN TN

** ** **

TN

TN TN

3 Diameter tunas

- 45 hsp - 60 hsp - 75 hsp

TN TN

TN

TN

TN

TN

TN

TN

TN

4 Jumlah daun

- 45 hsp - 60 hsp - 75 hsp

TN TN

TN

** ** **

TN TN TN

5 Panjang tunas

- 45 hsp - 60 hsp - 75 hsp

TN

TN TN

** ** **

TN

TN

TN

6 Jumlah tunas

- 45 hsp - 60 hsp - 75 hsp

TN

TN

TN

TN

TN

TN

TN

TN

TN

Keterangan : * = berpengaruh nyata (P<0,05), ** = berpengaruh sangat nyata (P<0,01),

TN = berpengaruh tidak nyata (P≥0,05)

Page 53: Theobroma cacao L

53

5.1 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres

5.1.1 Persentase sambung hidup umur 75 hsp

Hasil analisis statistika menunjukkan, bahwa persentase keberhasilan

sambung hidup untuk masing-masing jenis klon tidak berpengaruh nyata (Tabel

5.1), sedangkan lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap

persentasi sambung hidup. Persentase sambung hidup tertinggi yaitu 63,0%

dicapai pada klon Sulawesi 1, ICCRI 03, dan ICCRI 04, sedangkan terendah pada

klon Sulawesi 2 yaitu 44,4 (Tabel 5.2), namun tidak berbeda nyata antara satu

klon terhadap klon lainnya.

Persentase keberhasilan sambung samping paling tinggi dicapai pada

klon yang langsung disambung pada hari itu (H0) yaitu 73,33%, sedangkan

terendah pada perlakuan lama penyimpanan entres 6 hari (H6). Makin cepat entres

disambung maka ada kecendrungan makin tinggi persentase keberhasilan

sambung hidup.

Tabel 5.2 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entris terhadap Persentase

Sambung Hidup Umur 75 hsp

Perlakuan

Sambung hidup

Jenis Klon

--------------------------%---------------------------

Sulawesi 1 (KS1) 63,0 a 44,4 a 63,0 a 63,0 a 51,9 a

Sulawesi 2 (KS2) ICCRI 03 (KI1) ICCRI 04 (KI2) Lokal Bali (KO)

BNT 5 % 18,887 Lama Penyimpanan Entres Langsung disambung (H0) 73,33 a

62,22 a 35,56 b

Disimpan 3 hari (H3) Disimpan 6 hari (H6)

BNT 5 % 17,582 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel yang

sama adalah berbeda tidak nyata pada uji BNT 5 %

Page 54: Theobroma cacao L

54

5.1.2 Luas daun umur 45, 60, dan 75 hsp

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan

75 hsp perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap luas daun (Tabel

5.1), tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap luas

daun. Luas daun umur 75 hsp tertinggi diperoleh pada klon lokal Bali 102,20 cm2

dan terendah pada klon ICRRI 03 yaitu 60,20 cm2. Penyimpanan entres yang

semakin lama berpengaruh terhadap luas daun tanaman kakao dimana luas daun

tertinggi umur 75 hsp dicapai pada penyambungan langsung (H0) yaitu 107,85

cm2 dan terendah pada lama penyimpanan 6 hari (H6) (Tabel 5.3).

Tabel 5.3 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Luas

Daun Umur 45, 60, dan 75 hsp

Perlakuan Luas daun

45 hsp 60 hsp 75 hsp Jenis Klon

--------------------------cm2---------------------------

Sulawesi 1 (KS1) 47,90 (2,84)a 58,54 (2,58)a 75,39 (2,72)a Sulawesi 2 (KS2) 56,22 (2,63)a 70,71 (2,78)a 86,49 (2,92)a ICCRI 03 (KI1) 35,24 (2,56)a 47,92 (2,73)a 60,20 (2,86)a ICCRI 04 (KI2) 46,10 (2,53)a 59,54 (2,68)a 71,25 (2,80)a Lokal Bali (KO) 61,60 (2,66)a 85,15 (2,90)a 102,20 (3,05)a

BNT 5 % 0,467 0,506 0,541 Lama Penyimpanan Entres Langsung disambung (H0) 71,54 (2,95)a 90,44 (3,12)a 107,85 (3,35)a Disimpan 3 hari (H3) 61,51 (2,84)a 81,78 (3,04)a 102,26 (3,22)a Disimpan 6 hari (H6) 15,19 (1,84)b 20,89 (1,95)b 27,22 (2,06)b

BNT 5 % 0,544 0,590 0,631 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel

yang sama adalah berbeda tidak nyata pada uji BNT 5 % - Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka

yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½

Page 55: Theobroma cacao L

55

5.1.3 Diameter tunas umur 45, 60, dan 75 hsp

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan 75

hsp perlakuan jenis klon dan lama penyimpanan entres berpengaruh tidak nyata

terhadap diameter tunas (Tabel 5.1). Diameter tunas terbesar (1,0 cm) adalah

umur 75 hsp pada klon lokal Bali dan terendah klon Sulawesi 1, ICCRI 03, dan

ICCRI 04 masing-masing (0,8 cm) (Tabel 5.4). Penyimpanan entres yang

semakin lama berpengaruh terhadap diameter tunas tanaman kakao, dimana

diameter tunas entres yang langsung disambung (H0) menunjukkan pertumbuhan

paling besar adalah 1,06 cm, sedangkan terkecil pada penyimpanan entres enam

hari (H6).

Tabel 5.4 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Diameter

Tunas Umur 45, 60, dan 75 hsp

Perlakuan Diameter tunas

45 hsp 60 hsp 75 hsp Jenis Klon

----------------------------cm-------------------------

Sulawesi 1 (KS1) 0,5 (0,98) a 0,6 (1,04) a 0,8 (1,11) a Sulawesi 2 (KS2) 0,6 (1,03) a 0,7 (1,10) a 0,9 (1,16) a ICCRI 03 (KI1) 0,6 (1,03) a 0,7 (1,07) a 0,8 (1,11) a ICCRI 04 (KI2) 0,6 (1,05) a 0,7 (1,10) a 0,8 (1,13) a Lokal Bali (KO) 0,7 (1,10) a 0,8 (1,15) a 1,0 (1,20) a

BNT 5 % 0,102 0,109 0,120 Lama Penyimpanan Entres Langsung disambung (H0) 0,72 (1,10) a 0,88 (1,17) a 1,06 (1,25) a Disimpan 3 hari (H3) 0,70 (1,09) a 0,86 (1,16) a 1,02 (1,23) a Disimpan 6 hari (H6) 0,36 (0,92) a 0,42 (0,94) a 0,46 (0,96) a

BNT 5 % 0,119 0,127 0,140 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel

yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % - Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka

yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½

Page 56: Theobroma cacao L

56

5.1.4 Jumlah daun umur 45, 60, dan 75 hsp

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan 75

hsp perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun (Tabel

5.1), tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah

daun. Jumlah daun terbanyak dicapai pada klon ICCRI 03 dengan rata – rata 8,2

helai tan-1 (Tabel 5.5) .

Penyimpanan entres yang semakin lama berpengaruh terhadap jumlah

daun, dimana Jumlah daun tan-1 paling banyak terdapat pada perlakuan lama

penyimpanan entres yang langsung disambung (H0) dengan rata-rata 7,93 helai

tan-1 dan berbeda sangat nyata dengan penyimpanan entres 6 hari (H6).

Tabel 5.5 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Jumlah

Daun Umur 45, 60, dan 75 hsp

Perlakuan Jumlah daun

45 hsp 60 hsp 75 hsp Jenis Klon

-----------------------------helai-----------------------

Sulawesi 1 (KS1) 5,3 (2,23)a 5,3 (2,23)a 5,3 (2,23)a Sulawesi 2 (KS2) 5,1 (2,27)a 5,1 (2,27)a 5,1 (2,27)a ICCRI 03 (KI1) 8,2 (2,63)a 8,2 (2,63)a 8,2 (2,63)a ICCRI 04 (KI2) 5,7 (2,39)a 5,7 (2,39)a 5,7 (2,39)a Lokal Bali (KO) 4,9 (2,25)a 4,9 (2,25)a 4,9 (2,25)a

BNT 5 % 0,476 0,476 0,476 Lama Penyimpanan Entres Langsung disambung (H0) 7,93 (2,88)a 7,93 (2,88)a 7,93 (2,88)a Disimpan 3 hari (H3) 7,47 (2,79)a 7,47 (2,79)a 7,47 (2,79)a Disimpan 6 hari (H6) 2,13 (1,50)b 2,13 (1,50)b 2,13 (1,50)b

BNT 5 % 0,555 0,555 0,555 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel

yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % - Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka

yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½

Page 57: Theobroma cacao L

57

5.1.5 Panjang tunas 45, 60, dan 75 hsp

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa umur 45, 60, dan 75 hsp

perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap panjang tunas (Tabel 5.1),

tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas.

Panjang tunas entres umur 75 hsp terpanjang diperoleh pada klon ICCRI 03

dengan rata – rata 30,8 cm tan-1 (Tabel 5.6). Penyimpanan entres yang semakin

lama berpengaruh terhadap panjang tunas dimana panjang tunas (34,19 cm) umur

75 hsp terpanjang diperoleh pada perlakuan penyambungan langsung (H0) dan

terendah pada lama penyimpanan 6 hari (H6).

Tabel 5.6 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Panjang

Tunas Umur 45, 60, dan 75 hsp

Perlakuan Panjang tunas

45 hsp 60 hsp 75 hsp Jenis Klon

-----------------------cm-----------------------

Sulawesi 1 (KS1) 16,7 (1,99)a 20,5 (2,07)a 23,3 (2,13)a Sulawesi 2 (KS2) 20,3 (2,14)a 23,8 (2,22)a 26,7 (2,27)a ICCRI 03 (KI1) 23,3 (2,22)a 27,4 (2,30)a 30,8 (2,35)a ICCRI 04 (KI2) 21,4 (2,18)a 25,4 (2,26)a 28,4 (2,32)a Lokal Bali (KO) 14,6 (2,06)a 17,8 (2,15)a 20,7 (2,23)a

BNT 5 % 0,287 0,305 0,316 Lama Penyimpanan Entres Langsung disambung (H0) 25,32 (2,35)a 30,11 (2,44)a 34,19 (2,52)a Disimpan 3 hari (H3) 25,04 (2,34)a 29,87 (2,43)a 33,69 (2,50)a Disimpan 6 hari (H6) 7,48 (1,16)b 8,94 (1,73)b 10,08 (1,76)b

BNT 5 % 0,334 0,356 0,369 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel

yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % - Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka

yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½

Page 58: Theobroma cacao L

58

5.1.6 Jumlah tunas 45, 60, dan 75 hsp

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa umur 45, 60, dan 75 hsp

perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas, tetapi lama

penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata ( Tabel 5.1). Jumlah tunas

terbanyak terdapat pada klon ICCRI 03 dengan rata – rata 1,8 tunas tan-1 (Tabel

5.7). Jumlah tunas tan-1 sejak umur 45-75 hsp tidak bertambah pada semua jenis

klon.

Penyimpanan entres yang semakin lama berpengaruh terhadap jumlah

tunas tanaman kakao, dimana jumlah tunas tan-1 paling banyak (1,73 tunas) umur

75 hsp dicapai pada penyambungan langsung (H0) dan terendah pada lama

penyimpanan 6 hari (H6).

Tabel 5.7 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entris terhadap Jumlah

Tunas Umur 45, 60, dan 75 hsp

Perlakuan

Jumlah tunas 45 hsp 60 hsp 75 hsp

Jenis Klon

--------------------------batang------------------------

Sulawesi 1 (KS1) 1,2 (1,27)a 1,2 (1,27)a 1,2 (1,27)a Sulawesi 2 (KS2) 1,2 (1,29)a 1,2 (1,29)a 1,2 (1,29)a ICCRI 03 (KI1) 1,8 (1,36)a 1,8 (1,36)a 1,8 (1,36)a ICCRI 04 (KI2) 1,1 (1,25)a 1,1 (1,25)a 1,1 (1,25)a Lokal Bali (KO) 1,3 (1,34)a 1,3 (1,34)a 1,3 (1,34)a

BNT 5 % 0,200 0,200 0,200 Lama Penyimpanan Entres

Langsung disambung (H0) 1,73 (1,48)a 1,73 (1,48)a 1,73 (1,48)a Disimpan 3 hari (H3) 1,60 (1,43)a 1,60 (1,43)a 1,60 (1,43)a Disimpan 6 hari (H6) 0,67 (1,05)a 0,67 (1,05)a 0,67 (1,05)a

BNT 5 % 0,233 0,233 0,233 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel

yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % - Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka

yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½

Page 59: Theobroma cacao L

59

5.2 Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Pertumbuhan Tunas Entres

Hubungan antara lama penyimpanan entres dengan pertumbuhan

vegetatif kakao menunjukkan hubungan yang tidak linier. Hubungan antara lama

penyimpanan entres yang langsung disambung (H0), disimpan tiga hari (H3), dan

disimpan enam hari (H6) dengan pertumbuhan entres pada masing-masing

pengamatan luas daun, jumlah daun, diameter batang, diameter tunas dan panjang

tunas dinyatakan dengan persamaan regresi (Tabel 5.8) dan (Gambar 5.1, 5.2, 5.3,

5.4, dan 5.5)

Tabel 5.8

Regresi Hubungan antara Lama Penyimpanan (H) dengan Pertumbuhan Entres

Perameter Pertumbuhan Persamaan Regresi R2

(%) r Waktu Optimum (jam)

LD 45 Y= 2,949 + 0,112H - 0,04952H2 56,7 -0,683 27,14 DT 45 Y= 1,745 + 0,035H - 0,02056H2 8,5 -0,270 21,06 JD 45 Y= 3,003 + 0,165H - 0,06915H2 68,0 -0,743 28,70 PT 45 Y= 2,606 + 0,091H - 0,04092H2 56,3 -0,669 34,61 JT 45 Y= 2,023 + 0,053H - 0,02917H2 20,3 -0,417 21,84 Rata-rata 26,67 Keterangan : LD 45=luas daun 45 hsp, DT 45= diameter tunas 45 hsp, JD 45= jumlah daun 45 hsp,

PT45= panjang tunas 45 hsp, JT45= jumlah tunas 45 hsp, dan H= lama penyimpanan entres.

H

LUA

S D

AU

N 4

5

6543210

4 ,0

3 ,5

3 ,0

2 ,5

2 ,0

1 ,5

1 ,0

L D 4 5 = 2 ,9 4 9 + 0 ,1 1 2 0 H - 0 ,0 4 9 5 2 H 2

Gambar 5.1 Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Luas Daun

R2 = 56,7 % r = -0,683

0,04952H2

LD 45= Luas daun umur 45 hsp

H= Lama penyimpanan

Page 60: Theobroma cacao L

60

H

DIA

MET

ER T

UNA

S 45

6543210

3,5

3,0

2,5

2,0

1,5

1,0

DT 45 = 1,745 + 0,0351 H - 0,02056 H2

Gambar 5.2 Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Diameter Tunas

H

JUM

LAH

DA

UN 4

5

6543210

4,0

3,5

3,0

2,5

2,0

1,5

1,0

JD 45= 3,003 + 0,1654 H - 0,06915 H2

Gambar 5.3 Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Jumlah Daun

R2 = 8,5 % r = -0,270

0,02056H2

R2 = 68,0% r =-0,743

0,06915H2

DT 45= 1,745+0,0351H -

DT 45= Diameter tunas umur 45 hsp

H= Lama penyimpanan

JD 45= Jumlah daun umur 45 hsp

H= Lama penyimpanan

Page 61: Theobroma cacao L

61

H

PANJ

ANG

TUN

AS

45

6543210

3,5

3,0

2,5

2,0

1,5

1,0

PT 45 = 2,606 + 0,09126 H - 0,04092 H2

Gambar 5.4

Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Panjang Tunas

H

JUM

LAH

TUN

AS

45

6543210

3,5

3,0

2,5

2,0

1,5

1,0

JT 45 = 2,023 + 0,0531 H - 0,02917 H2

Gambar 5.5 Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Jumlah Tunas

R2 = 56,3% r = -0,669

0,04092H2

R2 = 20,3% r = -0,417

0,02917H2

PT 45= Panjang tunas umur 45 hsp

H= Lama penyimpanan

JT 45= Jumlah tunas umur 45 hsp

H= Lama penyimpanan

Page 62: Theobroma cacao L

62

BAB VI

PEMBAHASAN

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara

perlakuan jenis klon dengan lama penyimpanan entres terhadap semua variabel

yang diamati antara lain: persentase sambung hidup, luas daun, diameter tunas,

jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas (Tabel 5.1). Hal ini berarti masing-

masing perlakuan baik jenis klon maupun lama penyimpanan entres tidak saling

mempengaruhi sehingga tidak terjadi interaksi terhadap kedua perlakuan tersebut.

Perlakuan jenis klon tidak berbeda nyata terhadap persentase sambung

hidup (Tabel 5.2) dan beberapa variabel pertumbuhan antara lain: luas daun,

diameter tunas, jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas, sedangkan lama

penyimpanan entres 0, 3, dan 6 hari berbeda sangat nyata. Hal ini berarti antara

kelima jenis klon tersebut mempunyai pengaruh yang sama baik terhadap

pertumbuhan tunas sambung samping, walaupun pada klon ICRRI 03 cenderung

pertumbuhan lebih baik, disamping itu pula diduga karena entres diambil dari

jenis kakao yang sama (kakao mulia) sehingga mempunyai kemampuan yang

sama atau keragaman genetik yang homogen dalam pertumbuhan.

Persentase sambung hidup tertinggi dicapai klon Sulawesi 1, ICRRI 03,

dan ICRRI 04 masing –masing 60,3 % (Gambar 6.2). Hal ini diduga karena

terjadi pertautan yang lebih baik antara batang atas dan batang bawah serta

kemampuan yang lebih baik antara batang atas dan batang bawah untuk tumbuh

menjadi satu tanaman baru dan secara genetis serasi (kompatibel). Menurut

Ashari (1995) bahan tanam yang disambung akan menghasilkan persentase

58

Page 63: Theobroma cacao L

63

kompatibilitas yang tinggi apabila tanaman tersebut masih dalam satu spesies atau

satu klon. Apabila tanaman yang akan disambung mempunyai kekerabatan yang

agak jauh misalnya berbeda dalam level ordo biasanya kompatibilitasnya rendah.

Entres yang akan disambung harus selalu berada dalam kondisi fisiologis yang

baik, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan

sambung hidup (Ditjenbun, 2006).

Keberhasilan penyambungan juga dapat terjadi klon entres diambil dari

pohon induk yang sehat, sehingga mengandung nutrien yang cukup untuk

pembentukan kalus dan kambium baru. Selain itu klon entres yang cukup tua

mampu mengurangi kehilangan lengas yang berlebihan. Penelitian ini

menggunakan umur klon entres yang sama yang dicirikan dengan warna entres

hijau kecoklatan sehingga hasil persentase sambung hidup relatif sama.

Berhasilnya pertautan antara batang atas dan batang bawah bukanlah

jaminan adanya kompatibilitas pada tanaman hasil sambungan. Sering terjadi

perubahan pada entris maupun pada tanaman hasil sambungan, misalnya

pembengkakan pada sambungan, pertumbuhan entris yang abnormal atau

penyimpangan pertumbuhan lainnya, dimana keadaan ini disebut inkompatibel.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan struktur antara batang atas dan

batang bawah atau ketidakserasian bentuk potongan pada sambungan (Rochiman

dan Harjadi, 1973 dalam Gago, 1997). Winarno (1990) mengatakan bahwa,

batang atas dan batang bawah yang mampu menyokong pertautan dengan baik

dan serasi disebut kompatibel (Gambar 6.1).

Page 64: Theobroma cacao L

64

(1) Entres tumbuh normal (2) Entres tumbuh tidak normal

Gambar 6.1 Pertumbuhan Entres pada Lokasi Penelitian Umur 75 hsp

Faktor suhu juga diduga berpengaruh pada persentase sambung hidup.

Suhu udara berpengaruh terhadap pembentukan sel-sel parenkim penyusun

jaringan kalus yang terbentuk akibat adanya perlukaan (sayatan) . Suhu optimum

untuk pertumbuhan entres sambung samping 260-290C. Suhu lebih tinggi dari

290C menyebabkan pembentukan sel-sel parenkim berlebihan tetapi dinding

selnya tipis sehingga mudah rusak. Suhu di bawah 200C, pembentukan kalus

lambat dan suhu di bawah 150C kalus sama sekali tidak terbentuk (Puslit Kopi

dan Kakao, 2004).

Pada penelitian ini, tidak di lakukan pengukuran suhu di lokasi

penelitian, namun data suhu diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika yang terdekat dengan lokasi penelitian dan data dapat

dihitung mendekati data elevasi (Lampiran 5,6, dan 7). Suhu rata-rata di lokasi

penelitian (260-270C), hal ini menunjukkan bahwa suhu dilokasi penelitian cukup

optimum untuk pertumbuhan entres dan pembentukan sel-sel parenkim penyusun

Page 65: Theobroma cacao L

65

kalus pada tempat penyambungan, sehingga luka bekas sayatan cepat tertutup dan

translokasi fotosintat dari batang bawah ke batang atas juga dapat berlangsung

dengan baik.

Iklim mikro juga penting untuk terbentuknya pertautan. Pemberian

sungkup menyebabkan entres tetap dalam keadaan hijau segar dan terhindar dari

kekeringan, dengan demikian pembentukan kalus dan kambium dapat

berlangsung secara aktif sehingga memungkinkan terjadinya pertautan dan

pertumbuhan entres yang baik. Pengikatan dengan tali plastik yang cukup erat

pada bagian pertautan dapat berfungsi untuk merapatkan penyambungan,

sehingga terjadi persentuhan kambium yang cukup banyak antara batang atas dan

batang bawah.

Faktor penyakit juga diduga dapat mempengaruhi keberhasilan

penyambungan. Entres yang diambil dari pohon induk mungkin telah terserang

penyakit yang secara visual tidak diketahui sebelumnya. Penggunaan sungkup

dari kantong plastik yang menutupi entres secara rapat menyebabkan kelembaban

di dalamnya yang selalu tinggi sehingga entres terhindar dari kekeringan, tetapi

juga menjadi medium yang baik untuk perkembangan patogen.

Entres yang hidup pada penelitian ini dicirikan dengan entres yang telah

terjadi pertautan dengan batang bawah, masih segar, dan warna entres hijau.

Entres sambungan yang hidup belum bisa menunjukkan keberhasilan pertautan

antara batang atas dan batang bawah secara umum, karena entres yang hidup

sampai denga pengamatan 75 hsp belum mengeluarkan tunas pada bagian

batangnya.

Page 66: Theobroma cacao L

66

Gambar 6.2 Persentase sambung hidup klon pada umur 75 hsp

Lama penyimpanan entres memberi pengaruh berbeda sangat nyata

terhadap persentase sambung hidup (Gambar 6.3). Entres yang disambung

langsung (H0) dan disambung setelah disimpan tiga hari (H3) tidak berbeda nyata

terhadap sambung hidup, namun berbeda sangat nyata terhadap sambung hidup

setelah entres disimpan enam hari (H6). Ini berarti bahwa entres yang disambung

langsung tanpa disimpan dan yang disimpan tiga hari apabila disambung pada

kakao batang bawah dewasa memberikan tingkat keberhasilan yang sama dan

hanya berbeda kalau entresnya disimpan selama enam hari (H6) (Gambar 6.3).

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan vegetatif

tanaman kakao melalui sambung samping adalah kesegaran entres. Menurut

Palaciois dan Monteiro (2002, dalam Raharjo, 2007) kesegaran entres kakao perlu

dijaga untuk menjamin tingkat keberhasilan dalam penyetekan kakao.

sam

bung

hid

up (%

)

Jenis Klon

a

a

a

aaa

Page 67: Theobroma cacao L

67

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama entres disimpan berat segar

atau kadar air entres semakin menurun.

Hasil pengukuran berat segar entres setelah disimpan menunjukkan

penurunan berat segar dibandingkan berat segar pada awal penyimpanan.

Sebelum dilakukan penyambungan, rata-rata berat segar entres yaitu 7,44 g,

penyimpanan hari ke tiga 6,85 g, dan pada hari ke enam 6,64 g (Lampiran 8). Hal

ini menunjukkan bahwa kadar air pada entres terus berkurang selama entres di

simpan. Semakin lama entres kakao disimpan berat segar entres akan semakin

rendah. Menurunnya kadar air atau berat segar entres disebabkan selama

penyimpanan entres tetap terjadi transpirasi dan respirasi.

Upaya untuk mempertahankan kesegaran entres selama penyimpanan

dilakukan dengan cara menutup bekas potongan memakai parafin sehingga

mengurangi kehilangan air akibat penguapan dan kemudian entres dibungkus

dengan pelepah pisang. Penurunan kadar air masih tetap terjadi selama

penyimpanan diduga akibat penguapan secara perlahan. Dampak lain akibat

penurunan berat segar pada entres adalah tingkat kesegaran entres. Penyimpanan

entres selama enam hari talah mulai memperlihatkan gejala permukaan kulit agak

layu (Lampiran 8)

Penelitian pengaruh cara pengemasan dan lama penyimpanan yakni

tiga, enam dan sembilan hari terhadap pertumbuhan bibit kakao sambungan telah

dilakukan oleh Yudianto (2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama

penyimpanan berpengaruh terhadap persentase sambung hidup. Penyimpanan tiga

Page 68: Theobroma cacao L

68

hari memberikan persentase hidup tertinggi jika dibandingkan dengan

penyimpanan enam dan sembilan hari.

Demikian pula penelitian Iswahyudi (2002) mengatakan bahwa

penyimpanan yang lebih lama mempengaruhi kesegaran, warna dan berkurangnya

kadar air pada entres sehingga menurunkan viabilitas atau kemampuan hidup

entres saat disambung. Penurunan viabilitas merupakan perubahan fisik, fisiologis

dan biokimia yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya viabilitas bibit.

Menurut Abdul (1994) selama penyimpanan entres, tetap terjadi proses

transpirasi dan semakin lama proses transpirasi berlangsung maka semakin

banyak kadar air yang hilang sehingga persentase entres yang hidup semakin

menurun.

Penyimpanan entres yang lebih lama dapat mengakibatkan habisnya

cadangan makanan dan kadar air pada entres untuk proses metabolisme selama

penyimpanan. Hal ini disebabkan selama penyimpanan entres tetap melakukan

proses respirasi, semakin lama proses respirasi berlangsung semakin banyak

cadangan makanan yang digunakan sehingga persentase sambungan yang hidup

juga berkurang. Menurut Iswahyudi (2002) entres sebagai organisme hidup yang

dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya melakukan proses metabolisme

dan respirasi. Pada keadaan normal entres akan melakukan proses respirasi pada

tingkat yang tidak begitu membahayakan, tetapi dengan perubahan faktor

lingkungan akan dapat mengakibatkan perubahan respirasi dalam entres, ini

merupakan suatu proses pelepasan energi.

Page 69: Theobroma cacao L

69

Gambar 6.3

Persentase sambung hidup berdasarkan lama penyimpanan entres

Pertumbuhan tunas yang meliputi luas daun, diameter tunas, jumlah

daun, panjang tunas, dan jumlah tunas memberikan pengaruh yang tidak nyata

terhadap perlakuan jenis klon. Hal ini diduga masing – masing jenis klon

mempunyai pengaruh dan kemampuan yang sama baik terhadap pertumbuhan

tunas sambung samping.

Luas daun terbesar dicapai pada klon lokal Bali 102,20 cm2 75 hsp dan

terkecil pada klon ICRRI 03 (Tabel 5.3). Hal ini diduga sambungan yang telah

terbentuk dengan baik pada klon lokal Bali akan mempercepat transport nutrisi

dari batang bawah ke batang atas melalui proses fotosintesis, sehingga nutrisi

tersebut akan diubah menjadi energi dalam fotosintesis dan energi inilah yang

digunakan untuk pembelahan sel-sel meristem daun sehingga luas daun menjadi

meningkat. Selain energi, fotosintesis juga menghasilkan fotosintat yang

Sam

bung

hid

up (

%)

a

b

a

H0, H3 dan H6= Lama penyimpanan entres sebelum dilakukan penyambungan

Page 70: Theobroma cacao L

70

kemungkinan juga ditranslokasikan untuk pelebaran luas daun. Pembagian

asimilat atau fotosintat sangat penting pada masa pertumbuhan vegetatif maupun

reproduksi (Garner dan Perce.Rager, 1985 dalam Anonim, 2006). Demikian pula

diameter tunas 45, 60, dan 75 hsp pada klon lokal Bali paling besar (Tabel 5.4),

diduga klon lokal Bali lebih cepat terjadi pertautan antara batang atas dan batang

bawah. Menurut Rochman dan Harjadi (1973, dalam Anonim, 2006)

keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh berbagai hal, disamping batang atas

dan batang bawah juga dipengaruhi oleh hubungan sel-sel fungsional pada daerah

tempelan.

Panjang tunas, jumlah daun, dan jumlah 75 hsp tertinggi dicapai klon

ICRRI 03 (Tabel 5.5, 5.6, dan 5.7), hai ini diduga dipengaruhi oleh cepatnya

pertautan antara batang atas dan batang bawah sehingga aliran nutrisi berjalan

dengan lancar serta memudahkan aktifitas meristem apikal dapat berlangsung

dengan baik dan perkembangan tunas segera terjadi (Anonim, 2006). Hal ini

didukung Garner dan Chaundri (1976, dalam Anonim, 2006) mengemukakan

bahwa batang atas berpengaruh kuat dalam pertumbuhan dan perkembangan

tanaman.

Langsa (2007) tampilan suatu klon sangat dipengaruhi lingkungan

(kondisi tanah dan agroklimat), disamping managemen budidaya. Apabila

kondisi tanah, agroklimat, dan budidaya yang baik maka karakter klon yang

diinginkan tidak akan tampak secara maksimal. Penggunaan klon unggul lebih

diyakini mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi, mutu hasil

dan tolerans terhadap beberapa hama dan penyekit utama, sehingga ketersediaan

Page 71: Theobroma cacao L

71

klon unggul mutlak diperlukan, sedangkan pertumbuhan vegetatif pada klon –

klon mulia relatif sama.

Peran batang bawah pada proses pertautan sambung samping sangat

besar. Batang bawah dalam kondisi tumbuh aktif yang dapat menyebabkan

pertautan mudah terbentuk. Kandungan nutrisi pada batang bawah juga berperan

penting, karena untuk terjadinya pertautan batang bawah harus menyediakan

energi dan bahan pembangun yang cukup berupa karbohidrat, lemak, dan protein

sehingga jaringan kalus dan kambium dapat tumbuh dengan baik (Rochiman dan

Harjadi, 1973 dalam Gago, 1997).

Peranan hormon tumbuh endogen juga sangat berpengaruh dalam

mengaktifkan proses pertumbuhan. Menurut Heddy (1986) hormon tumbuh yang

terdiri dari auksin, giberelin, dan sitokinin mempunyai pengaruh kompetitif

terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman melalui pembelahan, pembesaran, dan

diferensiasi sel. Gardner, dkk (1991) mengatakan bahwa hormon auksin berperan

dalam memelihara fisiologi dan fungsi biokimia yang sedang berlangsung dan

mobilisasi hara ke pengguna asimilat yang lebih kuat disamping itu berperan

dalam diferensiasi sel. Giberelin berperan dalam perluasan daun dan pemanjangan

batang, sedangkan sitokinin berperan dalam merangsang pembelahan sel

Pertumbuhan entres yang disimpan 6 hari (H6) lebih rendah atau

berbeda sangat nyata bila dibandingkan dengan entres yang langsung disambung

(H0) dan yang disimpan 3 hari (H3). Entres yang langsung disambung

pertumbuhannya lebih baik jika dibandingkan dengan entres yang disimpan. Hal

ini menunjukkan kemampuan entres sambung samping kakao bertunas

Page 72: Theobroma cacao L

72

dipengaruhi oleh lama penyimpanan entres yaitu semakin lama entres disimpan

semakin turun kemampuan bertunasnya.

Penyimpanan lebih dari 3 (tiga) hari menyebabkan berkurangnya

kandungan air entres sehingga menghambat proses metabolisme yang terjadi pada

entres. Entres yang langsung disambung tanpa disimpan kandungan air dan

cadangan makanan pada entres masih tinggi. Entres yang langsung disambung

dengan viabilitas yang cukup mengakibatkan pertumbuhan entres tidak terhambat

serta berpengaruh terhadap pertumbuhan selanjutnya.

Abdul (1994 dalam Iswahyudi, 2002) menyatakan bahwa salah satu

gejala biokimia pada bibit selama mengalami viabilitas adalah perubahan

kandungan beberapa senyawa yang berfungsi sebagai sumber energi karena terjadi

perombakan senyawa makanan seperti lemak, karbohidrat menjadi senyawa

metabolik lainnya. Beberapa senyawa metabolik dapat mengakibatkan hilangnya

daya tumbuh sebab persediaan energi habis dalam bibit selama penyimpanan yang

lama. Pertumbuhan tunas seperti luas daun, panjang tunas, jumlah daun, diameter

tunas dan jumlah tunas sangat dipengaruhi oleh faktor genotip dan lingkungannya.

Pengaruh lama penyimpanan entres terhadap pertumbuhan luas daun,

panjang tunas, diameter tunas, jumlah daun, dan jumlah tunas sambung samping

kakao (Gambar. 5.1, 5.2, 5.3, 5.4, dan 5.5) menunjukkan pengaruh yang sangat

erat, sehingga semakin lama entres disimpan maka semakin rendah kemampuan

pertumbuhan pada masing-masing variabel pengamatan. Faktor genetik

mempunyai peranan yang sangat penting pada awal pertumbuhan entres (45 hsp),

namun selanjutnya faktor lingkungan seperti suhu, cahaya matahari, kelembaban,

Page 73: Theobroma cacao L

73

dan fisiologi baik dari batang bawah maupun batang atas berperan terhadap

pertumbuhan entres. Hasil analisis regresi (Tabel 5.8) diperoleh waktu optimum

penyimpanan entres adalah 26,67 jam, apabila entres disimpan lebih dari waktu

tersebut kemampuan pertumbuhannya mulai menurun.

Page 74: Theobroma cacao L

74

Page 75: Theobroma cacao L

75

Page 76: Theobroma cacao L

76

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Tidak terdapat interaksi antara jenis klon dan lama penyimpanan entres

terhadap pertumbuhan sambung samping (side grafting) kakao.

2. Sambung samping pada tanaman kakao dapat digunakan segala jenis klon dan

pertumbuhan vegetatifnya tidak dipengaruhi oleh jenis klon.

3. Lama penyimpanan entres selama enam hari sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan sambung samping kakao, semakin cepat entres disambung

semakin baik pertumbuhannya dan rata-rata waktu optimal pertumbuhan

entres adalah 26,67 jam

7.2 Saran 1. Penggunaan klon ICCRI 03 dianjurkan karena terdapat kecendrungan

pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dibandingkan dengan klon-klon

lainnya.

2. Pengukuran suhu dan kelembaban di tempat penelitian sangat penting

dilakukan karena pertumbuhan entres sambung samping sangat dipengaruhi

oleh keadaan suhu dan kelembaban

3. Pelaksanaan penyambungan sebaiknya tidak boleh lebih dari 26,67 jam

setelah entres di potong, sehingga pertumbuhan entres lebih optimal.

70

Page 77: Theobroma cacao L

77

Page 78: Theobroma cacao L

78

Page 79: Theobroma cacao L

79