tgs fesfsef

36
BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari Sering kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari beberapa orang yang mengalami stres, baik dalam kehidupan sosial maupun dilingkungan kerja. Pekerjaan yang terlalu sulit serta keadaan sekitar yang monoton juga akan dapat menyebabkan stres dalam bekerja di beberapa Perusahaan. Banyak orang yang tidak menyadari gejala timbulnya stres tersebut dalam kehidupannya padahal apabila kita mengetahui lebih awal mengenai gejala stres tersebut kita dapat mencegahnya. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan maksud agar terjaminnya keamanan dan kenyamanaan dalam bekerja. Apabila seseorang yang mengalami stres melakukan pekerjaan itu malah akan mengganggu kestabilan dalam bekerja. Masalah Stres kerja di dalam kehidupan organisasi Rumah sakit menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam

Upload: widianoviantii

Post on 10-Apr-2016

60 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

gzdgd dfgdf

TRANSCRIPT

Page 1: tgs fesfsef

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari Sering kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari

beberapa orang yang mengalami stres, baik dalam kehidupan sosial maupun

dilingkungan kerja. Pekerjaan yang terlalu sulit serta keadaan sekitar yang

monoton juga akan dapat menyebabkan stres dalam bekerja di beberapa

Perusahaan.

Banyak orang yang tidak menyadari gejala timbulnya stres tersebut dalam

kehidupannya padahal apabila kita mengetahui lebih awal mengenai gejala stres

tersebut kita dapat mencegahnya. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan maksud

agar terjaminnya keamanan dan kenyamanaan dalam bekerja. Apabila seseorang

yang mengalami stres melakukan pekerjaan itu malah akan mengganggu

kestabilan dalam bekerja.

Masalah Stres kerja di dalam kehidupan organisasi Rumah sakit menjadi gejala

yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam

pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous,

merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses

beriikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja

karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan

mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak

dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan

tidak mampu terlibat, dan kesulitan alam masalah tidur.

Page 2: tgs fesfsef

Banyak juga orang yang kurang menyadari gejala timbulnya stres tersebut

dalam kehidupannya padahal apabila kita mengetahui lebih dini mengenai gejala

stres tersebut kita dapat mencegahnya. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan

dengan maksud agar terjaminnya keamanan dan kenyamanaan dalam bekerja.

Apabila seseorang sedang yang mengalami stres dan melakukan pekerjaan itu,

maka akan mengganggu keamanan dan kenyamanaan dalam bekerja.

Untuk menjaga keamanan dan kenyamanaan kerja tersebut psikologi

seseorang juga harus stabil agar terjadi hubungan yang harmonis antara faktor

kejiwaan serta kondisi yang terjadi. Jadi kita harus memperhatikan secara lebih

baik lingkungan yang dapat mempengaruhi psikologi (kejiwaan) seseorang

sehingga stres dapat diminimalisir.

Namun tidak dapat disangkal bahwa stres dalam bekerja pasti akan terjadi

pada setiap individu karyawan. Mereka mengalami stres karena dipengaruhi dari

pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan tempat dimana karyawan tersebut

bekerja. Seseorang yang mengalami stres dalam bekerja tidak akan mampu

menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Peran perusahaan disini muncul untuk

memperhatikan setiap kondisi kejiwaan (stres) yang dialami oleh karyawannya.

Dalam hal ini perusahaan harus menanganinya dengan baik bagi karyawan

tersebut serta tidak mengurangi kinerja karyawannya.

Melihat masalah stres yang sering terjadi serta bagaimana penangannya

yang baik dalam makalah ini agar kita bisa mengetahui bagaimana stres dan

penanggulangannya serta pencegahan stres itu terutama dalam lingkungan kerja.

Secara lebih jelas mengenai stres dan stres kerja akan kami bahas pada berikutnya.

Page 3: tgs fesfsef

BAB II

HASIL

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunistiyo dan Faqihudin.yang menguji

model pengaruh stress kerja terhadap kepuasan kerja yang diperoleh melalui

persamaan regresi dengan diperoleh koefisien determinan (R2) sebesar 0,521. Hal

ini berarti kepuasan kerja karyawan Bank-bank milik Negara di Kota Tegal

dipengaruhi oleh variabel stress kerja. Tingkat stress yang rendah akan

mempengaruhi yang nyata pada tercapainya kepuasan kerja karyawan, yaitu

semakin tinggi tingkat stress yang dirasakan karyawan selama bekerja akan

memungkinkan tingginya keinginan untuk meninggalkan organisasi.

Pengaruh stres terhadap kepuasan kerja, hendaknya menjadi perhatian

tersendiri bagi manajemen sumber daya manusia pada Bank-bank Milik Negara di

Kota Tegal untuk meningkatkan kepuasan kerja pada setiap individu. Untuk itu,

perusahaan sebaiknya menekan semaksimal mungkin timbulnya stres kerja pada

karyawan dengan cara mengurangi beban kerja yang berlebihan misalnya dengan

membuat jam kerja yang jelas sebagai mendelegasikan setiap pekerjaan kepada

karyawan sesuai dengan proporsi yang sesuai. Selain itu, perusahaan juga

diharapkan mampu menekan timbulnya konflik dalam perusahaan, memperbaiki

pendapatan yang diterima karyawan serta memberikan perhatian terhadap

permasalahan yang dihadapi karyawan baik dalam perusahaan maupun dalam

kehidupan pribadinya.

Page 4: tgs fesfsef

Persaingan dan tuntutan profesionalitas yang semakin tinggi menimbulkan

banyaknya tekanan-tekanan yang harus dihadapi individu dalam lingkungan kerja.

Selain tekanan yang berasal dari lingkungan kerja, lingkungan perekonomian di

Indonesia yang belum stabil akibat badai krisis yang berkepanjangan juga sangat

potensial menimbulkan tekanan. Tekanan yang timbul dan berlangsung terus

menerus berpotensi menimbulkan kecemasan. Dampak yang sangat merugikan

dari adanya gangguan kecemasan yang sering dialami oleh masyarakat dan

angkatan kerja pada khususnya disebut stres. Stres merupakan hasil reaksi emosi

dan fisik akibat kegagalan individu beradaptasi pada lingkungan. Stres terhadap

kinerja dapat berperan positif dan juga berperan merusak, seperti dijelaskan pada

”hukum Yerkes Podson (1904) yang menyatakan hubungan antara stress dengan

kinerja seperti huruf U terbalik” (Mas’ud, 2002:20).

Higgins (dalam Umar, 1998: 259) berpendapat bahwa terdapat hubungan

langsung antara stres dan kinerja, sejumlah besar riset telah menyelidiki hubungan

stres kerja dengan kinerja disajikan dalam model stres – kinerja (hubungan U

terbalik) yakni hukum Yerkes Podson (Mas’ud, 2002:20). Pola U terbalik tersebut

menunjukkan hubungan tingkat stres (rendah-tinggi) dan kinerja (rendah-tinggi).

Bila tidak ada stres, tantangan kerja juga tidak ada dan kinerja cenderung

menurun. Sejalan dengan meningkatnya stres, kinerja cenderung naik, karena

stress membantu karyawan untuk mengarahkan segala sumber daya dalam

memenuhi kebutuhan kerja, adalah suatu rangsangan sehat yang mendorong para

karyawan untuk menanggapi tantangan pekerjaan. Akhirnya stres mencapai titik

stabil yang kira-kira sesuai dengan kemampuan prestasi karyawan. Selanjutnya,

Page 5: tgs fesfsef

bila stress menjadi terlalu besar, kinerja akan mulai menurun karena stres

mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan untuk

mengendalikannya. Akibat yang paling ekstrem adalah kinerja menjadi nol,

karyawan, menjadi tidak kuat lagi bekerja, putus asa, keluar atau menolak bekerja

untuk menghindari stres.

Pada prinsipnya penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban terhadap

rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dimana pada

intinya adalah untuk megetahui pengaruh stres kerja dan semangat kerja terhadap

kinerja, baik secara parsial maupun secara simultan.

Stres kerja yang terjadi bersumber dari tuntutan tugas/beban kerja yang

berlebihan, tekanan/keterdesakan waktu (Handoko, 1998:200) serta Gitosudarmo

dan Sudira (dalam Rachmawati, 2005:18), karyawan tidak dikoordinasikan

dengan baik, karekteristik tugas dari sudut prosedur kerja (Novitasari, 2003:80),

tidak adanya kesempatan untuk maju/pengembangan karir (under atau over

promotion) (Luthans, 2002:399) serta Sarafino, Sutherland dan Cooper (dalam

Smet, 1994:119), kurangnya dukungan pimpinan serta gaya kepemimpinan

(Gitosudarmo dan Sudira dalam Rachmawati, 2005:18) dan lain-lain.

Adapun simtom fisik yang menjadi faktor penunjang bagi variabel stress

kerja (X1), menghasilkan mean skor 1,76 yang berarti responden jarang

mengalami simtom fisik seperti tekanan darah tinggi, jantung yang berdebardebar,

pencernaan terganggu (maag, diare, sembelit). Dari bermacam-macam simtom

fisik, responden hanya merasa sering sakit kepala.

Page 6: tgs fesfsef

Hasil analisis statistik deskriptif, secara umum responden memberikan

tanggapan positif terhadap variabel stres kerja (X1) dan semangat kerja (X2)

kaitannya dengan kinerja karyawan (Y). variabel stres kerja (X1) menghasilkan

mean skor variabel 2,65 yang berarti tenaga kerja bagian produksi CV. Aneka

Ilmu Semarang mengalami stres kerja dalam usahanya untuk mencapai kinerja

yang diinginkan, hal ini ditandai dengan persepsi responden sehubungan dengan

penyebab stres yang ada diperusahaan seperti beban kerja, tekanan waktu, gaya

kepemimpinan serta gejala stres yang dirasakan oleh responden seperti bosan

terhadap pekerjaan, tidak sabar dan keletihan. Sedangkan semangat kerja (X2)

menghasilkan mean skor variabel 2,46 yang berarti semangat kerja diperlukan

dalam pencapaian kinerja, hal ini ditandai dengan tingkat kehadiran yang tinggi

serta adanya kerja sama sehingga mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan

seperti kemampuan memenuhi target, tanggung jawab terhadap pekerjaan,

penyelesaian tugas dengan baik dan lain-lain.

Dalam Dendas (2011) menyatakan bahwa Untuk menggambarkan sejauh

mana faktor lingkunganLingkungan hadir dalam unit sampel dan dianggap

penting / diinginkan oleh RNS staf; Tingkat dilaporkan staf RNS 'dari pekerjaan

yang berhubungan dengan stres, kontribusi yang dirasakan dari lingkungan fisik

untuk stress yang berhubungan dengan pekerjaan; dan hubungan antara tingkat

yang ada pada faktor lingkungan dan stress yang berhubungan dengan pekerjaan.

Stres kerja tidak mendukung lingkungan kerja rumah sakit yang dalam

penelitian dendas (2011) mengenai keperawatan yang dianggap sebagai faktor

yang berkontribusi terhadap kekurangan keperawatan kronis, masalah kesehatan

Page 7: tgs fesfsef

masyarakat yang signifikan yaitu stres, yang tidak mendukung lingkungan kerja

rumah sakit keperawatan dianggap sebagai faktor yang berkontribusi terhadap

kekurangan keperawatan kronis, masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.

maka disimpulkan bahwa stress yang berhubungan dengan pekerjaan yaitu

terhadap kesesuaian fungsional, lingkungan dan psikologi perawat sangat

berpengaruh terhadap stress kerja perawat di rumah sakit.

Sepenuhnya menyadari faktor lingkungan mungkin perlu untuk mencakup

atribut dalam baik fisik dan lingkungan sosial / organisasi. Sebagai contoh,

meskipun kebutuhan psikososial perawat untuk milik dan harga diri mungkin

ditingkatkan dengan alokasi ruang kerja pribadi lebih berdedikasi dalam

lingkungan fisik, tinggi-tingkat kebutuhan untuk berprestasi, makna, dan

pemenuhan mungkin lebih mudah diatasi melalui sosial / lingkungan organisasi.

Selain itu, kompleksitas dari domain kerja keperawatan mungkin memerlukan

bahwa pekerjaan teoritis dan penelitian di masa depan menjadi lebih terfokus

(dendas, 2011).

Hasil penelitian di Universitas departemen anestesiologi dan perawatan

kritis pada 1305-tempat tidur rumah sakit, Sebanyak 135 kuesioner self-pelaporan

yang digunakan untuk menilai data yang sosiodemografi, beban kerja, tuntutan

tugas, strategi stres menghadapi, kesehatan fisik, kesejahteraan emosional, dan

kondisi kerja, dibagikan. Dari jumlah tersebut, 89 kuesioner diisi dan

dikembalikan, untuk tingkat tanggapan 65,9%: 33 (37,1%) anestesi perempuan

dan 56 (62,9%) laki-laki ahli anestesi. Beban stres-tugas terkait dan kemungkinan

komunikasi dinilai berbeda oleh ahli anestesi laki-laki dan perempuan. Ahli

Page 8: tgs fesfsef

anestesi perempuan lebih sering dilaporkan tuntutan yang lebih tinggi konsentrasi

(P = 0,013) dan kemungkinan terbatas untuk mengontrol kerja (P = 0,009)

daripada rekan-rekan pria mereka. Bekerja di unit perawatan intensif (P = 0,001)

terutama menuntut dan memberatkan bagi ahli anestesi perempuan.

Evaluasi gabungan dari berbagai strategi stres menghadapi tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin. Umumnya, ahli

anestesi harus lebih percaya diri dalam kemampuan pribadi mereka sendiri dan

sumber daya dan sosial-khususnya keluarga-dukungan mereka di luar tempat

kerja, daripada di dukungan sosial dari rekan-rekan dan atasan. Kesimpulannya

Stres tugas-terkait dan kemungkinan komunikasi berbeda antara ahli anestesi pria

dan wanita di lembaga kami. Ahli anestesi perempuan merasa bahwa mereka

memiliki sedikit kontrol atas pekerjaan mereka.

Data ECI dikumpulkan dari 39 unit di 12 rumah sakit; kumpulan data final

ECI digunakan untuk analisis statistik yang terdiri dari 39 unit tersebut. Rata / SD

untuk ukuran total unit rekaman persegi adalah 16.782 / 6004 dengan kisaran dari

6,021-30,983 (n = 36; Data tidak diperoleh selama tiga unit). Seribu lima ratus

paket sepuluh (1.510) kuesioner NAEA dikirimkan ke manajer unit. Lima ratus

tiga puluh empat (534) kuesioner NAEA dikembalikan untuk tingkat respons

keseluruhan 35,4%. NAEA tingkat respons oleh rumah sakit berkisar antara

18,8% -52,5%. NAEA tingkat respons unit berkisar antara 12,5% -75%. Setelah

menghapus kuesioner NAEA dengan data yang hilang untuk keselarasan dan

WRS variabel, satu set data yang NAEA akhir yang mengandung 471 kasus

dihasilkan.

Page 9: tgs fesfsef

Penelitian menunjukkan hubungan antara kehadiran stres kerja dan

pengembangan poin burnout untuk berbagai kondisi stres sering terlihat dalam

profesi keperawatan. "Misalnya, kondisi stres lazim dalam pengaturan perawatan

kesehatan termasuk paparan kematian dan sekarat, konflik interpersonal, dan

polusi suara telah ditemukan untuk meningkatkan burnout antara perawat"

(Beckstead, 2002, hal. 785). Meskipun kelelahan adalah bentuk ekstrem dari stres

kerja, kehadiran burnout telah lama diakui sebagai masalah di daerah keperawatan

tertentu, khususnya perawatan intensif dan perawatan darurat unit, dan dapat

disampaikan dari satu perawat ke yang lain dengan kemampuan untuk

menginfeksi seluruh Unit (Bakker, Le Blanc, & Schaufeli, 2005).

Setelah studi awal instrumen yang dilakukan di Inggris, Penekanan Stres

pada Perawat (NSI) dipekerjakan oleh para peneliti di Selandia Baru dan Amerika

Serikat. Tanggapan umum untuk semua daerah termasuk kesulitan dalam

mengelola beban kerja, terutama dalam hal waktu, konflik antara staf, persiapan

yang tidak memadai untuk peran pekerjaan, dan berurusan dengan kematian dan

sekarat pasien. Perbedaan tanggapan termasuk kurangnya stres dicatat dalam

konflik antara rumah dan bekerja. NSI itu digunakan dalam studi oleh Flanagan

dan Flanagan (2002). Dalam penelitian ini, perawat yang bekerja di dalam sistem

pemasyarakatan diperiksa untuk setiap hubungan antara kepuasan kerja dan stres

kerja. Hasil mencatat tekanan waktu beban kerja, kurangnya pemahaman dan

dukungan dari atasan organisasi, dan prioritas yang bersaing sebagai sumber stres.

Flanagan dan Flanagan juga mencatat bersaing prioritas mungkin timbul ketika

perawat mengalami konflik atas kekuatan bersaing dari kebutuhan keamanan di

Page 10: tgs fesfsef

penjara, yang mereka memainkan peran integral, dan keinginan untuk

memberikan pelayanan kesehatan di lingkungan yang bebas dan terbuka.

Kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dapat menyebabkan ambiguitas

peran dan stres. Meskipun studi ini disurvei perawat yang terdaftar di lembaga

pemasyarakatan dan unit keperawatan bedah tidak medis, kesamaan antara

Flanagan dan Flanagan studi dan penelitian ini meliputi survei perawat terdaftar

bekerja di bawah keperawatan struktur administratif yang sama, kerja shift, dan

merawat pasien non-kritis sakit.

Page 11: tgs fesfsef

BAB III

PEMBAHASAN

Gibson et al (dalam Yulianti, 2000) mengemukakan bahwa stress kerja

dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres

sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus

merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus

memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk

memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai

konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.

Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari

interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang

tidaksekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil

interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu

untuk memberikan tanggapan.

Luthans (dalam Yulianti, 2000) mendefinisikan stres sebagai suatu

tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu

dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan Hngkungan, situasi atau

peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik

seseorang.

Penelitian Johan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa ahli anestesi di

lembaganya ingin jam kerja yang lebih pendek, jam kerja yang lebih fleksibel, dan

lebih banyak waktu luang. Ahli anestesi perempuan dan laki-laki kompleksitas

Page 12: tgs fesfsef

yang sama berpengalaman tuntutan dan variabilitas tugas, tapi ahli anestesi

perempuan lebih sering dilaporkan kemungkinan komunikasi terbatas dan

kemungkinan terbatas untuk kontrol atas pekerjaan mereka daripada rekan-rekan

pria mereka.

Dalam 20 tahun terakhir, pekerjaan anestesi memiliki berubah dalam

banyak aspek. Ahli anestesi tidak lagi hanya asisten ahli bedah 'untuk anestesi.

Anestesi independen menjalankan ICU dan menjadi lebih dan lebih terintegrasi

dalam mengorganisir perawatan perioperatif. Perbedaan gender dilaporkan dalam

hal variabel tertentu untuk diprediksi stres kerja dan kepuasan. Dalam perjanjian

dengan hasil Deckard et al, Temuan kami mengkonfirmasi bahwa beberapa

kemungkinan untuk mengontrol kerja pengaruh kepuasan kerja negatif dan

menyebabkan risiko lebih tinggi untuk mengembangkan kelelahan sindrom.

Temuan ini menggarisbawahi pentingnya membayar lebih memperhatikan kondisi

kerja, pada umumnya, dan bagi mereka dokter perempuan, pada khususnya.

Selain itu, fungsi sebuah program manajemen stres harus mencegah yang tidak

terkontrol peningkatan stres atau sakit karyawan.

Penelitian terbaru telah digariskan fisiologis negatif dan konsekuensi

psikologis kerja disfungsional stres. Dalam sebuah survei oleh Bergman et al,

somatik Gejala berkorelasi secara signifikan dengan kepuasan jumlah waktu yang

dihabiskan bekerja, kesehatan mental, pekerjaan kepuasan, beban kerja, gaya

hidup sehat, mengatasi kemampuan, dan dukungan dalam stres. Hasil Rossi dan

Lubbers sesuai dengan data kami menunjukkan fisiologis yang respon dalam

sistem muskuloskeletal yang paling gangguan stres lazim di anestesi pria dan

Page 13: tgs fesfsef

wanita. Berbeda dengan Carter-Snell et al, yang melaporkan peningkatan

prevalensi untuk stres-terkait gangguan seperti gangguan stres akut, penelitian

kami tidak mendeteksi tingkat meningkat.

Dalam penelitian johann pada tahun 2007 ini, gabungan evaluasi dari

berbagai koping strategi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

laki-laki dan ahli anestesi perempuan. Secara keseluruhan, ahli anestesi

menunjukkan lebih percaya diri dalam kemampuan pribadi mereka sendiri dan

sumber daya fisik dan intelektual untuk mengatasi beban dan tuntutan daripada

yang mereka lakukan di tempat kerja atau sumber daya mereka dukungan sosial

dari rekan-rekan atau atasan. Ini Temuan menggarisbawahi pentingnya pribadi

dan sosial sumber daya (misalnya, lebih banyak waktu luang, budidaya

persahabatan, dan hubungan keluarga) di satu sisi dan kebutuhan untuk membayar

lebih memperhatikan suasana kerja dengan atasan di lainnya. Sebagian besar

peserta dianggap jam kerja yang fleksibel dan lebih banyak waktu luang untuk

menjadi langkah penting untuk memperbaiki kualitas hidup untuk diri mereka

sendiri, teman-teman mereka, dan keluarga mereka. Faktor-faktor ini dianggap

sebagai sumber penting untuk mengatasi dengan stres.

Data kami menunjukkan bahwa mengenai kemitraan, laki-laki ahli anestesi

melaporkan kepuasan secara signifikan lebih besar dan kurang stres keluarga

daripada rekan-rekan perempuan mereka. Itu beban ganda dari pekerjaan dan

kehidupan pribadi, seperti yang dialami lebih sering oleh ahli anestesi perempuan,

mungkin menjadi alasan mengapa wanita, pertama, tampaknya mengakui

pembatasan kemungkinan untuk mengontrol pekerjaan dengan cara yang lebih

Page 14: tgs fesfsef

sensitif dan, kedua, lebih mungkin untuk bawahan kepentingan pribadi mereka di

tempat kerja dalam rangka untuk menghemat energi.

Kekuatan dari penelitian ini adalah yang relatif tinggi tingkat respon dan

penyelesaian bersamaan nya dari baterai tes untuk penilaian stres dan mekanisme

coping stres. Hasil penelitian kami, bagaimanapun, dibatasi oleh fakta bahwa

tidak ada pernyataan dapat dibuat tentang anestesi yang tidak berpartisipasi dalam

penelitian ini. Kita tidak bisa menentukan apakah mereka ahli anestesi yang

mengalami stres terbesar cukup terwakili dalam kelompok belajar. Itu sampel

tidak acak. Kondisi belajar mungkin khas rumah sakit universitas dan tidak

mencerminkan strategi mengatasi tergantung gender untuk stres kerja ahli anestesi

pada umumnya. Kondisi kerja dan subjektif persepsi kondisi kerja dapat berubah

dengan budaya nasional, budaya rumah sakit, dan budaya departemen, diantara

yang lain. Faktor pembaur seperti posisi dalam departemen terbatas pada status

spesialis dan di pelatihan spesialis. Prevalensi sebagian stressor dan mengatasi

variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasti tergantung tidak hanya

pada jenis kelamin tetapi juga usia, status perkawinan (Sebagai proxy untuk out-

of-the-job dukungan atau kurangnya dukungan), dan pengalaman profesional.

Beberapa atau semua faktor ini bisa telah berdampak pada banyak variabel

penelitian, untuk Misalnya, ahli anestesi trainee mungkin menganggap stres dan

masalah penanganan yang berhubungan dengan pekerjaan yang berbeda dari

spesialis, terlepas dari perbedaan gender. Penilaian objektif kondisi kerja sebagai

refleksi dari selfassessment subjektif tidak diterapkan. Selain itu, banyak beban

tambahan dari kehidupan keluarga tidak dinilai secara rinci.

Page 15: tgs fesfsef

Tujuan utama dari penelitian Kyoung pada tahun 2007 adalah untuk

mengidentifikasi efek dari dukungan sosial, interaksi dengan stressor kerja,

pencegahan stres psikologis di rumah sakit umum, berdasarkan dukungan

permintaan Karasek ini (DCD) Model. Dukungan sosial terdeteksi sebagai faktor

positif antar utama penyangga gejala depresi. Dukungan sosial juga terkait dengan

kontrol pekerjaan dan gejala depresi pada korelasi sederhana. Hanya model efek

utama dengan karakteristik umum secara signifikan diterima dalam analisis

regresi hirarkis (p = 04). Dukungan sosial yang tinggi dikaitkan dengan skor

gejala depresi yang rendah, yang berarti bahwa dukungan sosial memiliki

hubungan positif dengan kesehatan karyawan mental kesejahteraan. Model

dukungan kontrol permintaan didukung, namun, interaksi antara tuntutan kontrol,

kontrol, dan dukungan gagal didukung.

Suatu hubungan mungkin ada di antara stres yang dirasakan perawat

terdaftar dan Kehadiran dokter di tempat kerja rumah sakit. Seperti yang

ditunjukkan oleh penelitian Schein (1985), BUNDERSON et al. (2000), dan

Kaissi (2005), penggabungan ini perawat yang berbeda dan dokter sub-budaya

suku dapat menghambat hubungan kerja yang efektif dalam budaya rumah sakit

yang lebih besar. Peningkatan jumlah dokter di rumah sakit pendidikan

memberikan kesempatan tambahan untuk interaksi efektif antara dokter dan

perawat dan dapat memberikan budaya rumah sakit terukur yang berbeda dan

perbedaan relasional yang dirasakan stres keperawatan di rumah sakit

dibandingkan non-mengajar di mana ada dokter yang lebih sedikit.

Page 16: tgs fesfsef

Peterson dan Wilson (2002) mengusulkan variasi model ini di culturework-

mereka Model kesehatan stres kerja; mereka furthered gagasan pengaruh

organisasi pada stres karyawan. Dalam model ini, kemampuan karyawan untuk

mengendalikan lingkungan kerja mereka diperiksa dalam konteks budaya kerja

karyawan. Kesehatan organisasi tergantung pada pertandingan yang efektif antara

budaya organisasi, produktivitas kerja yang efektif dari karyawan, dan kualitas

hidup karyawan seperti yang dirasakan oleh karyawan. Budaya organisasi

diidentifikasi sebagai penyebab utama kesulitan yang berkaitan dengan otonomi

pekerja, desain pekerjaan, dan dukungan sosial. Jika budaya mempromosikan

suasana di mana keputusan yang tersisa untuk pemimpin organisasi dengan

formal, diakui secara sosial otoritas tapi sedikit pemahaman atau investasi dalam

operasi sehari-hari dari organisasi, karyawan akan memiliki sedikit insentif untuk

memikul tanggung jawab untuk membuat perubahan untuk meningkatkan kondisi

kerja dan pada akhirnya akan menurunkan sedikit kualitas kehidupan kerja.

Situasi ini menyediakan sumber stres bagi karyawan yang kini menghadapi

otoritas keputusan kecil untuk meningkatkan proses dan kondisi kerja dan dapat

membawa mayoritas.

Faktor tempat kerja merupakan salah satu faktor dalam stres kerja untuk

mengembangkan dan berkembang dalam lingkungan kerja. Cooper et al. (2001)

mencatat dalam bab ringkasan buku mereka, Stres Organisasi: Sebuah Tinjauan

dan Kritik Teori, Penelitian dan Aplikasi, dua isu tambahan perlu

dipertimbangkan ketika memeriksa dan memahami stres di tempat kerja. Yang

pertama adalah stres individu biasanya tidak dikembangkan dan dipelihara secara

Page 17: tgs fesfsef

terpisah tetapi sering berhubungan dengan stres lainnya. Kombinasi pengaruh ini

membuat sulit untuk menentukan apakah stres dipamerkan adalah tanggung jawab

salah satu faktor tertentu atau kompilasi banyak. Isu kedua adalah validitas dan

reliabilitas penelitian stres saat sebanyak literatur melibatkan dilaporkan sendiri,

data subjektif dan keterbatasan dengan jenis data. Tapi terlepas dari masalah ini,

bukti adanya stres kerja tetap mengesankan dan layak studi lanjutan.

stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau

yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam

pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu

manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang

besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan

merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya

atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja (Rahmawati, 2008).

Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres

dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik

dalam

pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam

pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi. Hurrel (Munandar, 2004).

Suprihanto dkk (2003) mengatakan bahwa dari sudut pandang organisasi,

manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stress yang

ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat

positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.

Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan

Page 18: tgs fesfsef

membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan

keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan

merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk

memberikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk

memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan

sebagai tekanan oleh si pekerja. 

Page 19: tgs fesfsef

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: stres adalah suatu keadaan

yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau

lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.

terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara

karakteristik kepribadian seseorang dengan karakteristik aspek-aspek

pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan dimana gejala-

gejala stress dapat dilihat dari watak, fisik, perilaku, emosional,

interpersonal seseorang yang mengalami perubahan dari biasanya. Dan

untuk mengatasi stress kita dapat menggunakan manajemen stress dengan

pendekatan yang disesuaikan dengan masalah yang kita hadapi. Dan stress

dapat menyebabkan dampak pada diri kita baik dampak negative maupun

positif yang dapat mempengaruhi bagaimana langkah kita kedepan untuk

lebih matang dalam bertindak dan tidak gegabah sehngga dapat menagani

masalah dengan bak. Yang dapat mengurangi dampak negative dari stress

dengan belajar dari pengalaman dan mencoba trik manajemen stress

tersebut.

4.2 Saran

1. Sebagai makhluk social maka kta tidak mungkin menghindar dari orang

lain karena kita pasti akan butuh mereka. Setelah membaca makalah ini

Page 20: tgs fesfsef

semoga kita dapat mengurangi terjadinya stress dan selalu mengambil

keputusan dengan tidak gegabah.

2. Berfikirlah dahulu sebelum bertindak sehingga tidak menimbulkan

suatu penyesalan yang menjadi stres berkepanjangan

Page 21: tgs fesfsef

DAFTAR PUSTAKA

Dendaas, N. (2011). Environmental congruence and work-related stress in acute

care hospital medical/surgical units: A descriptive, correlational study. Health

Environments Research & Design Journal, 5(1), 23–42.

Johann F. Kinzl MD. 2007. Work stress and gender-dependent coping strategies

in anesthesiologists at a university hospital. Elsevier Inc. All rights reserved.

Journal of Clinical Anesthesia

Kyoung-Ok Park. 2007. Social Support for Stress prevention in hospitas settings.

Journal of Departement of Health Education & Management, Ewha Womant

Univercity

Misimmi Sally. 2007. The Relationship Of Medical Surgical Registered Nurses’

Perceived Work Stress Levels And Organizational Culture In Teaching And Non-

Teaching Hospitals. Journal Dissertation kent State Univercity

Cooper, C., Dewe, P., & O’Driscoll, M. (2001). Organizational stress, a review

and critique o f theory, research, and applications. Thousand Oaks, CA: Sage.

Peterson, M., & Wilson, J. (2002). The culture-work-health model and work

stress. American Journal o f Health Behavior, 26, 16-24.

Schein, E. (1985). Organizational culture and leadership: A dynamic view. San

Francisco: Jossey-Bass.

Tammy A. Andreyko. (2010). Principal Leadership in The Acountability. Reseach

Report. University of Pittsburgh

Page 22: tgs fesfsef

Elizabeth A. 2001. Representation Of Work Stress In An Australian Public

Hospital. AAOHN Journal; Sep 2001; 49, 9; ProQuest Nursing & Allied Health

Source

Kenneth W. Hazell. 2010. Job Stress, Burnout, Job Satisfaction, And Intention To

Leave Among Registered Nurses Employed In Hospital Settings In The State Of

Florida. Doctoral Dissertation Defense In Lynn University

Karl Menoher Everett Jr. 1991. Stress, Burnout And Being: A Dasein Analysis Of

Nurses Seeking Authenticity And Health In Hospital Nurse Work. A Dissertation

Submitted To The Graduate Faculty In Partial Fulfillment Of The Requirements

For The Degree Of Doctor Of Public Administration

Elizabeth Anne McGibbon. 2004. Reformulating the Nature of Stress in Nurses’

Work in Pediatric Intensive Care: An Institutional Ethnography. A thesis

submitted iu conformity with the requirements for the degree of PhD in Nursing

Science University of Toronto

Mary Anne Lynch. 2007. Hospital Visitation Preferences And Perceived Stress In

Adults On Medical Units. A Thesis/Practicum Submitted To The Faculty Of

Graduate Studies Of The University Of Manitoba In Partial Fulfillment Of The

Requirement Of The Degree

A.S. Munandar, Bertina Sjabadhyni dan Rufus Patty Wutun. (2004). Peran

Budaya Organisasi dalam Peningkatan Unjuk Kerja Perusahaan. Depok :

Penerbit PIO Fakultas Psikologi UI.

Page 23: tgs fesfsef

Suprihanto John, dkk., (2003). Perilaku Organisasional . Yogyakarta : Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.

Rachmawati, Ike. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia . Penerbit CV Andi.

Yogyakarta