tersebut - universitas muhammadiyah kalimantan timur
TRANSCRIPT
OipindaidenganCamScanner
Unlverattaa lndone•la 73
6.2 Stigma Pelajar terbadap Onng dengan HIV dan AIDS
Berdasarkan hasil penelitian, stigma pelajar SMA terhadap HIV dan
AIDS tergolong tinggi, yaitu sebesar 53,2%. Jika ditelaah berdasarkan target UNAIDS pada tahun 2015 terkait dengan zero discrimination, angka ini masih sangat jauh dad target .. Di antara berbagai pertanyaan terkait stigma
terhadap ODHA, sebagian pelajar masih menganggap babwa HIV dan AIDS
menular melalui hubungan sosial, sebanyak 11,5% pelajar menyatakan
sangat setuju dan 31,3 % pelajar menyatakan setuju terkait pemyataan
bahwa makan bersama ODHA dapat menularkan virus HIV. Anggapan
tersebut dapat berujung pada persepsi negatif, rasa takut, rasa malu,
penolakan, clan mat. untuk melakukan diskriminasi terhadap ODHA.
Menurut Nyblade (2006), ketakutan untuk melakukan kontak dengan ODHA menjadi domain yang paling utama dari stigma. Dalam penelidan inl, rasa ta1rut terbentuk dalam rasa takut untuk berteman dengan orang yang terkena HIV dan AIDS maupun anggapan bahwa membeli makanan dari seseorang yang positif HIV itu adalah hal yang berbahaya.
6.1 Keterbatasan Pe·nelitian
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa peogaruh orang tua merupakan faktor yang par d _ .. _ _ . . . mg omman dalam hubungannya dengan stigma terhadap ODHA. Hai tersebut kurang sejalan dengan beberapa konsep dimana remaja biasanya · adikan _ _ _ . menJa · . sebayanya (peer group) sebagai role model dalam berperilaku.
Pengalaman bertemu ODHA dan keterpaparan inf ormasi merupakan
faktor yang membentuk sikap, namun daJam penelitian iru terbukti tidak ada hubungan, Hal tersebut dapat dikarenakan instrumen pengukuran
pengalaman dan juga keterpaparan inf ormasi yang mungkin kurang lengkap, Selain itu, ditengarai pula adanya recall bias dari responden, dimana. jangka
waktu yang ditanyakan cukup panjang,. yaitu selama 6 bulan terakhir,
BAD VJ
P.EMBAHASAN
OlpindaldenganCamScanner
UntveNltu lndone81
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa lebih dnri epnruh poJuj r
pada sekolah swasta (54,9%) memiUki stigma tcrhadap ODIIA. Ital ters but
dapat dikaitkan de.ngan kurikulum sekolah negeri, dimana muteri I IJV d n
AIDS telah masuk ke dalam kurikulum melalul pelajaran Diologi, . Pendidikan Jasrnani, 01ahraga, dan Kesehatan (Penjas Orkes), So lologi,
dan Bimbingan Konseling (BK). Sehingga, pclajar yang bcradu di c'kolah negeri, kemungkinan untuk menerima materi tersebut cukup 1inggi · .hing.gti
peng,etahuannya lebih komprehensif. Selain itu :pelajar yang ma ih berada di kelas sepuluh (X) juga memiliki stigma yang lebih tinggi (SS',S%) dibandingkan dengan kelas sebelas (XI), hal tersebut dapat dikw·enakan pelajar yang masih berada di kelas X kemungkinan belum rncndapatkan
materi HIV dan AJDS, dimana materi tersebut ·terdapat pada pelajara.n. kesehatan reproduksi yang merupakan mata ajar' di kelas Xl,
Pelajar yang duduk di kelas Ilmu sosial juga memiliki stigma yang Ieblh tinggi (56,6%) dibandingkan dengan kelas Mat.ernatikaIPA atau Bahasa. Pelajar yang duduk di kelas MatematikaIPA mendapatkan materi mengenai Biologi, dimana materi tersebut tidek diperoleh ol h pelajar di kelas llmu Sosial maupun kelas Bahasa. Sedangkan guru pada pelajaran BK atau Penjas Orkes terkadang tidak menjel.askan materi HIV dan AIDS, meskipun ada di dalam bulru Jembar kerja siswa. Sejalan dengan penelitlan yang
dilakukan oleh llvalita (2014),, melalui hasil kualita.tifnya diketahui bahwa
sebagian pelejar yang berada di kelas Ilmu Sosial mendapatkan informasi mengenai HIV dan. AIDS, rata .... rata materi terdapat pada pclaJaran Sosiologl, Penjas Orkes atau B~ namun guru tidak banyak menjelasknn dengan detail, t.erutama Peejas Orkes, karena merupakan mata pel~jamn yang sering melakukan p.raktikum di lapangan.
Namun, jika responden. didistribusikan berdasarkan sekolah berbasls agama atau umum, temyata sekolah wnum yang lebih unggi stigmanya dibandingkan .sekolab agama (56,5%). Hal ini culrup menarik mengingat sekolah berbasis agama biasanya lebib mengaoggap tabu terkait isu HIV dan AIDS, namun dalam penclitian ini, justru sekolah yang berbasis agama
mcmiUki stigma yang Jebih rendah dibandingkan dengan sekolah umum ..
74
OlplndaldenganCamScanner
gai k yan mcnakutkan dan patut djhindart tichk kompr · dan scr,ua.n nenizeWtuan Y - .adanya
aam.an misr.mliL Pelajar yan m HIV mcnul _ melalul ~ll.Um~ d uk bangku, mabo ~-- -~ wu1 ju
J bih mcmibh " benemao atau
.. HA .. M' i terkait ~, penularan,
l, dan ju pengungkapan
but ditengarai o b adanya · viru, HJ V itu hln
Iman, m t dalam mend'' bimi Hubtm ~ yan cukup kuat
1k0me,r,,i p eara .penularan
.__...,, ... ,..,. p I JJV dan AID._ 1~000:
2014). If ll uji tat'_ 'k Jel ih l&njut melaful uji kere , i menunjukkan .wa
temy ta u _ 1t i pen yan iii J hubun _ · p kuat d 11'
·~dgma adalah pm etahuan mengenai eara penularan, I. ii uJi nunjukkan bahw pen etahuan terkail can pcnuJaran memifiJci hubunE,ilJl yan cukup
:kwu dengan domain . (r • 0,26-0,50), yaitu takut tertuJar tema&' p O HA, n maJu, peoyalahan, dan
WUJ yang ikap tif lgma
O HA.
ter ol ·
rh d p OD.HA
J7'.;,J IIUJJ"~,UJgan IJLLl,l.ll'cM
'h J fol ln dlm r nwJj,1rk1 ;
rhak meru11arY.i1tbJ, r fo~ UJ Y' ni ~ma · n
75
DiplndaidenganCamScanner
Unlveraltas lndonesla
dan medianya IDC!jadi hal yang umum dalam pengetahuan remaja terkait lilV &AIDS .. seperti baln a pada · di · Pi t al ~ • remaja . Malaysia (Wong, Li , in.g, e · ., 2008), sehingga. berujung pada anggapan negatif tentang bagaimana
seseorang menjadj lertular HIV dan pada akhimya akan me.nganggap bahwa seseorang yang terkena mv adalah seorang pekerja seks (Wolt et.al., 2014).
Jika m libat petsentase pelajar meng,enai pengetahuaa dasar HN dan AIDS, sebagian besar pe1ajar belum bisa menibedakan HN dan AIDS (54,3%), mereka masih menganggap sama babwa seseorang yang HIV
sudah pasti AIDS, padabal belum tentu demikian, Seorang yang HIV masih bisa bemja layaknya orang normal dan masih produktif. Hal ini berimplikasi pada pengetahuan pelajar mengenai ciri fisik ODH~ dimana sebagian besar pelajar masih menganggap ODHA tidak bisa beraktivitas
dengan normal (60,90/o). Anggapan seperti ini yang akan membuat seseorang yang positif lilV teipersep,sikan sebagai orang yang Jemah, tidak boleb berbaur dengan orang. normal dao mengexc/ude kan mereka dari
ma.5Yarakal Target MDGs di Indonesia di tahun 2015 adalah 95%1 remaja usia 15-24
ta1nm memiliki pengetahuan komprehensif mv dan AIDS. Hal tersebut
agaknya sulit untnk tercapai. Di antara pertanyaan ABAT yang diajukan
daJam penelitian ini, yaitu meliputi perbedaan HIV dan AIDS, HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk, bersalaman, mandi/berenang bersama, clan terkait ciri fisik ODHA, belum ada. 9'5% pelajar yang bisa menjawab dengan benar semua pertaayaan tersebut, Komisi Penanggulangan AIDS Kota Surabaya pun memaparkan bahwa capaian ABAT pada tahun 2014 juga masih rendah, yaitu 20,06%. Perlu ada peningkatan pengetahuan dengan metode yang lebih komprehensif untuk bisa mengupgrade pengetahuan HIV dan AIDS remaja, mengingat remaja sangat rentan terhadap masalah keoakalan :remaja yang dapat berujung tertulamya HIV. Pemanfaatan kelompok seba.ya misa]oya, merupakan salah satu cara yang cukup efektif da1am menfogkatkan pengetahuan remaja,. namuo belum dijalankan secara maksimal, d.ikarenakan belwn merata dan minimoya dukungan sekolah,
7b
DiplndaidenganCamScanner
6..5 Hubunpn antara Peng,laman Bertemu ODHA dengan Stigma
terludap ODHA Berdasarkan basil penelitian, diketahui bahwa pengaJamao seseorang
bertemu dengan orang yang. menyandang mv dan AIDS tidak memiliki hubnngan yang signifikao dengan stigma terhadap OD~ Hasil ini tidak sejaJan dengan penclitian yang di1aJmlcan oleh Lifson, dkk. (2012) di
Ethiopia, bahwa seseorang yang secara personal tahu atau pemah bertemu
lilV AIDS
ha) ini tidak sejalan deagan teori pembentobn sikap dari
dan Schul1z (2005) dimana sikap dapat tm>entnk dari faktor
£CD~:tl.L sal.ah Sa1lm} adalah jcnis kelamin, Selain itu juga tidak sesuai aen.mm hasil penelitian. tcmit stigma mv dan AIDS pada pelajar di Surakmta (Sosodom, 2009)., dimana jenis kelamin mempakan fa.ktoT yang bcmnbungan secam signitibn dcngan stigma temadap ODHA. Tidak ada
perbedaan stigma di kaJaogan pelajar dapat terjadi karena saat ini sudah tipis
sebli batasan terhadap laki lali dan petempoan dalam mengaktualisasik
diri (cfek globalisasi), sehingga baik lakilaki maupun perempuan dapat
berpikir secara tcrbuka dan mengungkapkan setiap pendapat,, termastik
dalam mengakses informasi dan pcrgaulan, sehingga faktor dalam diri tidak lagi menjadi dominan dalam menentukan sikap, karena pengaruh luar yang
cukup besar dalam mcmbentuk sibp mereka,
.t , ad_p ODHA korelasi antara j ans
lan:~ ODffi Schingga ti _ _._- ada perbedann l .. -) i, flag) ini
rokan ·oleh o g _OJ3i) di Mab ia
i nasi nal yang menyatakan bah-. ra j nis .. bcdxu ~ kebcradaan stigma, baik Sligma diri (self
stigma IDasyarnkat (pub.lie stigma) terhadap orang dengan
n
Unlversltls lndonesla
dengan ODHA akan berpeJ _ . . . di · uang untuk tidak melakukan sugma di.ban. mg seseorang yang tidak pernah bertemu dengan ODHA.
Sebagian besar kegir tan · . LSM a semmar, baik yang. dilakukan oleh · maupun Dinas Kesehatan, scringkn1i menghadirkan ODIIA sebagru sosok yang akan melakukan t ti . . · esumonl, Seharusny pengalaman bertemu de·ngon ODHA merupakan hal yang sangat berkesan, karena ternyata apa yang
dibayangkan tidak selamanya sama seperti kenyataan. Banyak orang yang selalu membayangkan sosok ODHA adalah sosok yang kurus, kering, kulitnya bento/ ... bemol, clan menyeramkan. Namun, setelah bertemu
langsung, masih banyakjuga ODHA yang terlihat gemuk, sehat, dan bugar. Alasan m.engapa. pengalaman bertemu dengan ODHA ini tidak
signifikan dapat dikarenakan proporsi kelompok yang menstigma antara
yang pemah bertemu (.55%) dengan ODHA dan yang tidak pemah bertemu dengan ODHA (53%), tidak jauh berbeda angkanya Selain itu, frekuensi
pertemuan dengan ODHA yang tidak intensif dan jumlah pelajar yang
pemah bertemu juga masih minim (12,7%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar bertemu dengan ODHA dalam jangka waktu
sebulan sekali (58,0%), dimana jangka waktu tersebut termasuk jarang
bertemu, Berdasarkan teori yang dipaparkan oleh Oskamp dan Schultz
(2005), bahwa paparan yang terus menerus akan membentuk sikap
seseorang, Bila bertemu dengan ODHA jarang atau hanya sekali dan tidak
mengenal dengan baik, maka risiko adany.a stigma masih saja akan tinggi, Selain itu, pelajar paling banyak bertemu dengan ODHA di lingkungan
sekitar rumah (36,00/o). Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat
Surabaya Selatan merupakan daerah dengan angka prevalensi kasus mv yang tinggi, sehingga peluang seseorang untuk bertemu dengan ODHA juga cukup tinggi .. Sebagian pelajar juga menyatakan bertemu dengan ODHA di
sekolah mereka (4,0% ), dimana ini menjadi temuan bahwa lsu HJV dan AIDS [uga telah merambah Jee Iingkungan sekolah. Perlunya intervensi
stigma di sekolah menjadi peoting jika memang ditemukan ada ODHA di sekolah. Ha1 tersebut sebagai salah satu upaya pencegahan dan penanggu]angan di Iingkungan sekolah, sehingga ODHA tidak akan merasa
78
Unlveraltaa, lndoneal•
ODIIA
K t mnn an Inf o ll'l ,1 l'\"1•1).n, ,,1, t1•··rtl1 1 • , 1 ..,, • .. .. mu Ju tor dori lu tr yun t rhubun n den l ut lti mu t~rhnllu11 ODI IA~ D du urk m ha l1 ujl blvuriut, k l · 'I ' u infontn l 111 mm i hubun nn ynn ·1 nln un Jen on kc mdnan stl mn t hndn1 DllA dl kalnn ,1111 p luj,tr, tciopi sont nnnll ,1
multlvuri l Uluk ken h:rpop, t\ inrommsl tldak memiliki hubungtm
YI i 1lfiknn d n an "ti. mo t. rhudnp Q I IA. Kcterpnpnmn infommsi m ~n cnnl HIV dan AI emt knltnnnyn den nn fek dnri 111 dh konnmiko ·i mr 1. enurut .,kump dnn Schultz (2005), k t rpnpnrnn infonnusi darl m dio mos m u utuknn bogmmonn e eoran ekan membcntuk sikop tcrh dnp uatu ob] k, boik itu siknp posilif mnupun n g,n'tif. Namun fre uen i paparan yang kumng tldnk aknn cukup untnk membentuk slkap seseorang, Hal tersebut dnpot dij laskan oleh basil penelltlan dimana Irekuens] m ngaks s inf ormasl oleh mayorito pelejar (77 ,5%) yang dnpat
dikat· erlkanjarang, yuitu sebulen sekali, Hast I penelitinn ini .ejnlon dengnn hasll dnri p nelitinn Rostlni (2010)
yrutg menyatakan bahwa 1idak ada hubungan yang signi fiken antnm k. t rpaparan infonnosi dnri media dengan sikap petugas Puskcsrnas t rhadap ODHA. Studi kualitnlif dari penelitian te·rsebut juga menyataknn bahwa papnran dari media rnassa tidak m ncakup semua infonnnsi yong dibutuhkan terknit HIV dan AIDS s perti cara penularan, earn pencegahan, media penularan, pengobatnn. dan l.ain sebagainya Informasi yang tidak komprehensif tersebut tidak dapat dijadiknn sebagal sebuah pesan kesehatan
yang mampu memicu afeksi seseomng. Hal menarik lainnya dari penelitian ini adalah terknit media inforrnasi
yang dlakses oleh pelajar. Sebagian besar pelajnr (51,0%) mendapatkan informasi tedcait HIV dan AIDS dari internet. lnformasi. yang beredar di dunia maya tidak semua dapat dikonftrmasi kebenarnnnya, sehiogga
6 6 llubtm au ,amhn. t I 1: n·1 1uu, 11 lnfm 111a1 I den 1111 ~ti 11111 h rime 1111
. in kh mu di\\ 1\1 ~u I I ,. • 1 m ,~mmu upn n Ii u · ~uhm
ln 'Un n d m t 111l lutlt ,trm·lr-ol.
7tJ
OipindaldenganCamScanner
Univ .. ralt.n Indonesia
6. 7 Hubungan antara Keterlibatan Program dengan Sti;gma terbadap ODHA
Sebuah proses dalam membentuk suatu sikap tidak tedepas dari sebuah
proses. pembelajaran, Salah satu proses belajar adalah dengan terlibat dalam
suatu program atau kegiatan. Program terkait HIV dan AIDS sudah banyak
dilakukan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Keterlibatan seseorang dalam melakukan sesuatu hal tidak hanya akan meningkatkan pengetahuannya, me]ainkan juga sikapnya,
karena dengan terlibat dalam kegiatan, seseorang tersebut akan secara aktif
melakukan sesuatu terkait suatu obje~ Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan pe]ajar dengan program mv dan AIDS
berhubungan dengan stigma terhadap ODHA. Pelajar yang tidak mengikuti
kegiatan atau program HIV dan AIDS berpeluang lebih tinggi dalam melakukan stigma terbadap ODHA.
Hal serupa juga terjadi di Zambia dan juga di Yaman, dimana
penerapan intervensi program pend.idikan sebaya di sekolah menjadi salah
satu cara mengurangi stigma terhadap ODHA. Intervensi tersebut menghasilkan temuan bahwa siswa atau pelajar yang terlibat dalam program
HIV clan. AIDS. baik itu Peer .Educalor,. Youth Center, Outreach,
kemungkinannya culrup besar h· · 1 . _ ·· .r. asi · · , ag1 pe aJar untuk. memperoleh m1onn · yang salah terkait IIlV dan AIDS hin _ . "h ukup · · · se, · gga angka stigma mas1 c tinggi, Teknologi informas1• yan . . aki . . · b J·uga · - ,g sem n maJu membuat generasi aro · · ·. semakin cepat menangk··ap, ;_t';. • · . • d" buah · mronnasi apapun. Hal ini dapat menja 1 se ancaman, namun juga dapat menjadi sebuah peluang jika dikelola dengan baik untuk meningkatkan pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV dan AIDS. Pemanfaatan media sosial, blog, maupun website untuk melakukan promosi kesehatan perlu dilakukan dengan lebih dinarnis dan menarik
sehingga pelajar akan dengan mudah menerimanya .. Hal tersebut juga dapat dilakukan dengan langsung melibatkan remaja untuk menerima infonnasi clan menyebarkan sencliri inf ormasi yang mereka dapatkan melalui akun media sosial yang mereka miliki.
80
DiplndaidenganCamScanner
Unlversltaa lndoneela
6.8, Hubungan anfara Pcngarub Teman Sebaya dengan Stigma terbadap
ODHA Teman sebaya adalah salah satu faktor yang cukup dominan dalam
membentuk sebuah sikap, Teman sebaya merupaknn salah satu foktor yang mampu memperkenalkan maupun :mendukung pandangan baru, slkap baru, pola perilaku, gaya hidup, babkan sampai ke arah perilaku seksual (Oskamp dan Schultz, 2005). Dalam penelitian ini, terbukti bahwa pengaruh teman sebaya berhubungan dengan pembentukan stigma pada pelajnr SMA di Surabaya Selatan, Pelajar yang terpengaruh oleh sebayanya dalam berpendapat mengenai HJV dan AIDS berpeluang leblh besar dalam melakukan stigma atau penilaian negatif terhadap ODHA.
Hal tersebut didukung oleh penelitlan yang dilakuknn oleh Denison J .A et.al (2012) dan AlIryani et.al, (2011), dimana sekolah yang di dalamnya terdapat program pendidikan sebaya, akan membuat lingkungan sekolah
Ekstrakurikuler, maupun sesi di kelas k b 1 · ldak 'mnya u.,, n an mem uat pc nJnr ti J
meningk.at dalam hat p· enge•nL ·- t .• ik . (D lson ianuan, op1 s1 np dan perilakunya em • J.A .. ,. et.al., 20l2; Allryoni, et.al., 2011 ). Soso<loro (2009) juga mcnyntakWl bahwa pendidiknn terkait HlV dan AIDS poling cfcktif dapat dilnkuknn di sekolah ataupun melalui pcndidikan sebaya (peer educator).
Program terkait HIV dan AIDS memang sudah banyak diJakukan,
terutama di kota besar seperti Surabaya. Nrunun tidnk semua sckolnh juga
mendapatkan manfaa.t program, dengan kata lain program yang selama ini dilakukan belum mereta, Pe.merataan program akan lebih terasa bila LSM terlibat dalam kegiatan penjangkauan tersebut, Namun, jangkauan LSM pun terkadang juga tumpang tindih, atau hany.a SMA tertentu yang sanggup dijangkau. PerJu adanya koordinasi dan pelaporan satu atap yang memayungi kegiatan tersebut, Dinas Kesehatan dapat menggunakan fungsi koordinatif dari Komlsi Penanggulangan AIDS Kota daJam melakukan koordinasi dan pelaporan secara rutin, sehingga dapat diketahui SMA mana saja yang belum atau kurang mendapat paparan program dan melibatkan siswanya dalem program tersebut,
81
DipindaldenganCamScanner
Unfverattas lndonesla
6.9 Bnbun,gan antara Pengarub Gum dengan Stigma terhadap ODHA
Pengaruh guru dalam hal ini adalah sebagai reference group, dimana kelompok ini memilild sebuah standar dalam menerima dan mengukur satu sama lain, balk itu anggota kelompoknya atau bukan, Seorang pe]ajar,
seringkali terpengaruh oleh orang yang menjadi referensi atau panutan dalam berperilaku, Oleh karena pelajar lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, tidak menutup kemungkinan bahwa guru rnenjadi
.salah satu tokoh yang menjadi acuan dalam. bersikap .. Hasil dari penelitian
ini juga membuktikan bahwa pengaruh guru berhubungan secara signifikan dengan stigma terhadap ODHA. Jika guru menilai negatif terhadap ODHA, maka pelajar juga akan menilai .negatif. Mayoritas pelajar juga menyatakan
bahwa jika guru melaraog siswa untuk berteman atau mendekati ODHA,.
mereka akan menurutinya. Guru dianggap sebagai panutan di sekolah, Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa. sumber informasi yang paling sering didapatkan oleh pelajar adalah dari guru (70,5%). Hal ini berarti guru
memegang peranan penting dalam penyampaian infonnasi terkait HIV clan AIDS. Guru yang mampu menyampaikan. dengan benar, komprehensif clan positif dalam menyikapi isu IIlV clan AIDS pada pelajar dimungkinkan untuk meningk.atkan upaya pencegahan clan meminimalisir stigma yang ada. SejaJan dengan penelitian yang dilakukan oleb IlvaUta (2014), babwa guru
juga berperan dalam meningkatkan pengetahuan komprehensif siswa, Gum yang memiliki. persepsi dan sikap positif terbadap OD~ maka akan dapat
m.enekankan bagian penting dalam infonnesi terkait HIV dan AIDS, termasuk memberikao pengcrtian kepada siswa dalam menyikapi Isu HIV
lebih konservatif. Dcngan d · ·ki· - . _ • • - ., h · emu an, pelaJar yang ada di dalam sekola tersebut juga alcan terbentuk bukan hanya pengetahuannya tentang HIV dan AIDS, melainkan juga awarene d · :, .. _ . . . IV d ; · ~ ess an juga S1A<1p positif terhadap H an AlDS. Peran sebaya yang. dimuncullcan. dalam setiap kegi.atan
memungkinkan setiap siswa untuk selalu bergabung dengan kelompok yang positif. Kelompok sebaya yang. menebarkan nilai positif akan mempengaruhi teman di sekitamya.
82
OlpindaldenganCamScanner
Unlveraltn lndonnla
6.10 Hubungan ant ra Pengaruh Orang Tua ,de:ngan Stigma terhadap
ODHA Pengasuban orang tua merupakan "t.otal institusi" bagi setiap anak,
Meski.pun sang aoak. telah berada di sekolah untuk waktu lama sebagai seorang pelajar, sebenamya yang menjadi guru pertama .kali adalah orang tuanya. Oleh karena itU; sikap dari orang ma akan. menjadi panutan bagi
anaknya (Oskamp dan Schultz 2005) .. Berbagal hal dapat dipclajari secant
langsung oleh seorang .anak. dalam membcntuk sikapnya, namun ada
bebempa hal yangjuga tidak secam langsung dapat dipelajari dan ditemui
dan AIDS ~pa mempersepsi buruk kepada ODHA. Hal tersebut dil(arenakan. inf ormasi te kai· • - _ . r . t. HIV dan AIDS di media. ·tidaklab komprehensif clan mampu mem t _ _ • ua semua pesan penting secara utuh, sehlngga peran guru sangat penfing untuk memberikan informasi yang lebih lengkap ..
Berbagai teori mendukung basil ini, antara lain Oskamp dan Schultz (2005), yang menyatakan hahwa r, lab . · - ·- se ... o - · merupakan tempat kedua da1am membentuk sikap seorang anak selain pola pengasuhan orang tua, dimana
cara mengajar dan indoktrinas.i menjadi salah satu determinannya Selain
lni, penelitian lain yang dilakukan oleh Wolf etal., (2014) dalam studi
lrualitatifnya menemukan babwa guru memiJiki andil dalam sikap stigmatisasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS, baik stigma dalam diri siswa penderita maupun di. lingkungan sekolah. Sikap postitif guru dapat terbentuk jika guru memiliki pengetahuan dan kapasitas yang baik terkait infonnasi HIV dan AIDS, sehingga penting untuk dilalrukan peJatihan atau capacity building bagi guru. untuk meningka1kan kemampuan dan
ka.pasitasnya dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan mv&AIDS di sekolah, Ilvali.ta (2014) juka menyatakan babwa guru yang mendapatkan. pelatihan terkait mv dan AIDS akan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi untuk me·nyampaikan inf ormasi tersebut kepada
siswanya, sehingga pelatihan merupakan cara yang baik agar siswa
mendapatkan infonnasi HIV dan AIDS dari sumber yang. benar,
83
OipindaidenganCamScanner
U.ntveraltn lndon 1a1
6.11 F'aktor Internal dan Ekstemal ya.ng Berhu.bun:gan dengan Stigma terhadap ODHA di Kalangao Pelajar SMA dJ Surabaya Selatan
Terdapat de]apan (8) variabel yang. diteliti dalam penelitlan ini dan lima (S) diantaran.ya berhubungan secara signitikan dalam ana.lisis muluvariat, yaitu pengetahuan (p = 0,0001), keterlibatan program (p, = 0,01), pengaruh teman sebaya (p = 0,.0001 ), pengaruh guru (0 = 0,000 J ), dan pengaruh orang
tua (0,0001). Di antara kelima faktor tersebut, pengaruh orang tua
rnerupakan. falctor yang paling dominan dengan nilai Odds Ratio yang paling
besar, yaitu 6,050. Hal tersebut berarti bahwa pelajar yang. terpengaruh oleh pendapat neg,atif orang tua tentang HIV &AIDS memilild peluang untuk melakukan stigma terhadap ODHA sebesar 6,0S kafi lebih besar dibandingkan responden yang ·tidak terpengaruh,
Menurut Oskamp dan Schultz (2005), formasi sebuah sikap berawal dari sebuah titik: yang disebut sebagai zero point, artinya, seseorang yang
belum pemah melihat .suatu objek belum dapat memberikan penilaian atau
sikap, Dari titik tersebut dilakukan sebuah deterJnirum. untuk menentnkan apa saja faktor yang membentuk sebuah sikap .. Faktor tersebut berasal dari faktor internal dan ckstemal. Berdasarkan teori tersebut juga, penelitian ini mengkaji dan mcncmubn bahwa faktor internal yang berbubungan dengan
JafUffl kehidupan, ·perti n,~nnaJQn terh ... .r., k ad'[ _ an,..L,~ ,..... · ,uu.wp pc.rang, e _ _ J_an, pras ~· _1kap terhruJop perhedaan r dan lai'·n ba L _ ~ 0 .1 - - m emb·awa • samya. rang ua, . perun untuk mcmbentuk . ikap _ ran anak terhadap hal tersebut. Terdapat kc pakatnn umum dimann orang. tua ya.ng rnenckankan kepatuhan, kcdiB1plinan, clan hukuman fl ,jk cenderung akan membentuk anak dengan p· angk don. otorita.ci yang tinggi Adorno et.al.(l 9SO) dalam Oskamp dan Schultz (2005). 11'1! ii peneHtian ini sejalan dengan teori tersebut, yang
mcnunjuldcan bahwa pengaruh orang tua berhubungan secara signHikan
dengan tlgma tcrhadap ODHA. Pelajar yang menurut dan terpengaruh oleh
penilaian orang tuanya terhadap O.DHA, berpeluaog untuk melakukan s.tigma terhadap ODHA lebih tinggi dibandingkan pelajar yang tidak terpengaruh pendapat orang tuanya.
OlpindaidenganCamScanner
Unlversltas lndoneela
stigma adalah pengetahunn, sedangkan faktor eksternal adalah kcierlibatan dengan program HIV dan AIDS, pengaruh teman sebaya, pengaruh guru, dan juga pengnruh orang tua, Jika ditelaah berdasarkan formasi
pembentukan stigma tersebut, seorang pelajar yang pemah mendengar tentang HIV dan AIDS,. namun memiliki pengetahuan yang rendah, tidak
terlibat dengan program HIV dan AIDS, terpengaruh oleh pendapat negatif
teman sebaya, guru, dan juga orang tuanya, akan cenderung rnelakukan stigma.
Stigma merupakan sebuah proses. Pengalaman pertama terhadap sebuah objek belwn tentu menimbulkan suatu perasaan evaluatif Gerard dan Orive
( 1987) dalam Oskamp dan Schultz (2005) menekankan bahwa kunci dari terbentuknya sikap adalah ekspektasi atau harapan untuk berinteraksi dengan objek, sehingga perlu diterapkan suatu persiapan yang. didaJamnya dibutuhkan cognitive structure. Di dalamnya terdapat suatu hal yang disebut sebagai social cognitive, dimana proses tersebut merupakan suatu proses berpikir tentang orang lain, tentang diri sendiri, dan juga tentang situasi
sosial, seperti halnya seseorang mengerti dan memahami stimulus sosialnya. Proses ini juga diwarnai oleh adanya persepsipersepsi yang muncul
terbadap suatu objek. Berkenaan dengan suatu proses tersebut, stigma juga dianggap sebagai
sebuah stereotype yang negatif. Jika ditelaah berdasarkan teori terkait stereotype, maka stigma. terbentuk melalui empat tahapan (Hamilton, 1981a; Hilton dan von Hippe], 1996 dalam Oskamp dan Schultz, 2005): I. Explicit teaching, hal ini terjadi ketika seorang anak secara rutin
diberikan infonnasi stereotypic oleh orang tuanya sebagaimana mereka diajarkan tentang kehidupan. Contohnya adalah lrucing itu lucu,
penyakit HIV &AIDS adalah kutukan, menjadi miskin adalah hal buruk,
dan lain sebagainya. Ketika anak tersebut menjadi sedikit lebih dewasa, maka proses ini akan dipengaruhi oleh guru dan teman sebayanya. Dalam penelitian ini, terbukti bahwa memang ketiga faktor tersebut, orang tua, teman sebaya, dan juga guru, berhubungan dengan keberadaan stereotype, hanya saja, stereotype ini berbentuk negatif
85
OipindaidenganCamScanner
Unlv,reltl• :lndon 11
clipengaruhi oleh media n aa . lnfotmasi yWlrt, redar padn m din massa mmnpu membentnk k.ognitif _lfllll thin n memillkl persepsi olcan suatu objek. Dalam penelltian ini k t - npnmn ln Ii · rsn 1 ·
dari media massa tidak berhubungan s __ nm si nlflkan d "n , sti Tm l~
Tetapi, keterlibntnn program, s bagal sarana dalam pcnynmp lr informasi, merupaknn salah satu foktor ynn. rhubun tan · i· 11itik1m dengan stigma. Seornng pelajnr yang te.rpapar program t ntnn UV dm AIDS. leblh bersikap positift.erhndap HJV dan AIDS (tidak m n ti nm).
Hal tersebut berkaitnn dengnn infonnnsi dan penguatan ko nitif dnn juga afektif yan.g diberikan selsma pro mm bcrj Jan. Prose ini ju berkaitan dengan munculnya pengetahuan baru bagi sehingga dari rasa "tahu" ini akan muncul sebuah penllainn.
3. Rlusory correlation, merupakan sebuah proses dimnnn oran , , knn menganggap adanya hubwtgan antara sifut atau karakter ,( trait ) t entu dengan kelompok tertentu. Misalnyu, kelompok minorit c nderun disalahkon atas kejndjon buruk yang mcnycmng kaum mnyoritns, walaupun dalam kenyatannnya, belum tentu hnl terseb at terbuktt, Tid k selalu sifat tersebut berbcntuk negatif. nnmun stereotype ·ng mll berbentuk suatu sifat negatif Somo hnlnya dengan stJ r,mo t rhad p
lnnj\1tny yan 2. Incidental learning. m rupakan pros
terja.di membuat s scorang m njndiknn omne afnu ck ·l m k sebagai referensi, terutama ornng yan nt dlk . uml · 11 u dihargainya,
Unlv· ndo _ la
:meEKUWat pe!5dirjuao oi h para akademisi' dm praknsi.. Teroentnknya
.gma. ODHA mempakan sebuab proses yang benla.sar darl sebuah
pengaJam;m1 yang ,dapal. bertalrm lama Fakto yang menyebabkan stigma
~emn berasa1 da:ri penptahnan yang bisa menjadi predisposisi dari sua1D
map.. Ketedibatan daJam seboab ~· HIV clan. AIDS, Juga menja.di I • berlmbmigaD ,dengan stigma terbadap ODHA. P, 1ajar yang
temllJ:iD:~ ~~. ognitif dan .a6 - 0 ·, ya wm tersentulL Paktor penung
.. . adalah pengaroh gmu dan ·teman sebaya. Tidak dapat di.punP LM'l.Jlll..-llll- sekohh mempakan rmnah bdua bagi seorang pelaj.ar, sehingga
· - g · - - .. ~ acuan di seb>lab bisa menjadi referensi bagi pelajar
bersit __ a:p~, sepcrti guru dan teman sebaya. Di antma semu.a. faktor di ;, pengamh I ' g tua adalah yang palm.g domman .. Orang tua sebagai
Sikap dapat tf:'i'bc::rnnk karem dipelajarl. Pendapat tersebut telah banyak
..u.. seerang pelajar akan merasa snlit wttuk ereka wm bemantp, untu.t tidak bertemu a1m1
~~m ..................... -.I.I!!,,- atan tidak meriiank· ini juga mernpakan basil darl U,I,' ... "'~ di ams Sama dengan I - - ' -- omng yang .memberikan stereotype
dari - · __ - merasa takut dan menganggap bah1 -a
seseor ·~;mg mengidap · dan AIDS adalah mang,,ya.n.g tidak patut dijadikan
......... u.~c:i. dengan teman sebangkonya dan
....... u.· sangat menarik, maka pelajar tersebut mer:inwttkan dm .1_
U4U ualin -~ hegitu pun sebaliknJ a,
ereotype
_ __ g ...... iii~P orang
----,~~IIU' seperti }·ang I b "ingi'nkao
DipindaldenganCamScanner
Unlveraltae lndonesl1
variabel kunci yang ak-. , an. niembentuk sikap seornng anak karcna
pengasuhan orang tua adalah sekolah pertama b . p d . . . ag1 seornng anak,
a a umumnya,, 1:emaja ak· Iebih . _ . · an e 1 · bergantung dengun scbayanya
daripada dengan orang tua _ maupWl gurunya. Pada penclitian ini, justru
pengaruh orang tua yang l b ih de . . e 1 · omman dibandingknn dengan ternan sebayanya. Hal ini dapat dii l . k . . tJe as an melalw suatu konsep kcmandirian remaja, Menurut Steinberg (2002) t d ·· , . · · , er apat tmga kemandirian rema]a, ymtu: I. Kemandirian emosional (emotional autonomy)
Kemanclirian ini berarti bahwa remaja akan beranjak untuk melepaskan d"· · d · · . . · . · m an dukungan emosional orang tuanya dan mengamh kepada teman sebayanya, namun bukan berart.i memutuskan hubungan
dengan orang tua. Hanya saja, remaja memiliki rasa percaya alas
dukungan sebayanya dan tidak .membebankan masalah pada orang tuanya, misalnya melakukan curahan hati ( curhat) kepada temaa sebayanya atas masalahnya. Kemandirian ini terjadi pada masa awal re.maja, sekitar usia l 214 tahun.
2. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) Perkembangan kemandirian ini terjadi pada usia remaja
pertengahan (tS .. 17 tabun), dimana remaja mampu membuat keputusan
secara mandiri dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang,
Pada tahap ini, remaja bisa mengatur periJakunya. 3. Kemandirian nilai (value autonomy)
Kemandirian berarti mengambiJ prinsip pribadi daripada.
menggunakan prinsip orang lain, Da1am kemandirian nilai, remaja akan mampu berpikir secara abstrak terhadap hal yang terkait dengan isu moral, politik, clan agama, serta untuk menyalakan hat yang benar maupun ha1 yang salah sesuai dengan keyakinan pribadinya. Remaja yang mandiri pada tahap ini akan menjadi remaja yang berprinsip, Kemandirian ini akan terjadi pada rentang usia 182 I tahun atau pada
masa akhir remaja.
88
Unlversltas ln.doneala
ird, J,tn l llrut1 or; t · an _ ua memeg ng pcranan I ulln apal di ilk I n. ( n an p· ro,u, ) ke ,..,r• • • • · 1111.-n marwman rernaJa yang
I lur m1 tJ nn hm, "' kc I h _ _ _ .. P kcmandman nilal. J ecara emosional,
Jl permunolohr I r ma· tJ • _ __ • _ • _ , _ ~ yon bu1n d1kaitk.an dengan rmia suka
dun P J c a o.k m n oron. r . _ _ . g emaJa untuk le th menuruti sebayanya.
NamU1 ., minion tcrhadun 1 JJA b k . . r · er, nuan dengan ~ buah :i u moral,
oslal, d n _Ju n kc ba n rneru a1c h J . .. P an a yan cukup .ah trak bagi remaja al u p 1aJar, chm .o nilal dar1'1 or t - - • · · an :uanya Juga mru ih tertsnam untuk m nyatakan hal enar atau salah tcrhadap isu HJV&AIDS. Dalam penelitian ini pun may ritas ia pclajar berada di bawsh 17 tahun (73,4%), sehingga kcmaod.imm nilal secara teori juga belum terJ"adi" JJ 1 · · _ _ _ " _.1..., ... _ .... _ - - _ .• -i.a 1m yang mengarwlAclJJ. pc]ajar masih mcngikuti prinslp dan nilal dari orang tuanya,
rang tua memegang kendali penuh terhadap semua informasi anak scmcnjak seorang anek pertama kali dilahirkan. Orang tua pula yang mengajarkan mana hal yang balk dan mana yang buruk, Bayi yang baru Jahir tidak mungkin memiliki sikap. Itulah yang disebut sebagai keadaan zero. Orang tua lab yang menana.mkan nilai, persepsi, pandangan, dan sikap, Meski seiring bertambahnya usia sang anak, pengalaman dapat meniadi hal
penting yang membemuk sikapnya, tidak semua anak menjalani semua pengalaman yang diperlukan untuk semua si.kap terbadap semua objek di
dunia, Di sinilah pengaruh orang tua berperan besar, dimana anak akan mengikuti ap.a pendapat orang tuanya. Supratiwi dkk, (2011) menyatakan bahwa orang tua yang tidak otoriter, tidak akan Jangsung meni]ai negatif
terhadap suatu ha]. melainkan akan mengkomunikasikannya secara terbuka. Hal mi akan membuat anak cenderung lebih bersikap positif Pendapat
orang tua yang negatif terhadap suatu objek akan menibuat anak juga
bersikap .oegatif. Sehingga, orang tua yang menstigma ODHA akan
be.rujung pada anak yang juga akan menstigma.
89 r