terminologi dan penulisan resep

16
5 Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Resep 2.1.1. Definisi Resep Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus digunakan oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk menyediakan dan memberikan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter kepada seorang apoteker atau farmasis yang mengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau obat racikan kepada pasien. 2.1.2. Komponen Resep Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994), setiap negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang harus ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang boleh meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut. Namun, di dalam resep sebaiknya tercantum: 1. Nama, alamat, dan nomor telepon dokter. 2. Tanggal. 3. Nama dan kekuatan obat. 4. Dosis dan jumlah total obat. 5. Label: instruksi dan peringatan. 6. Nama, alamat, dan umur pasien. 7. Tanda tangan dokter. Menurut Jas (2008), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri dari enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura, Universitas Sumatera Utara

Upload: muhammad-syahruz-rachmansyah

Post on 03-Dec-2015

230 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

hsdh

TRANSCRIPT

Page 1: Terminologi Dan Penulisan Resep

5

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Resep

2.1.1. Definisi Resep

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan

sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus digunakan

oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut Kepmenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di

apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi

atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk menyediakan dan memberikan

obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang

dokter kepada seorang apoteker atau farmasis yang mengelola apotek untuk

memberikan obat jadi atau obat racikan kepada pasien.

2.1.2. Komponen Resep

Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994),

setiap negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang

harus ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang

boleh meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut.

Namun, di dalam resep sebaiknya tercantum:

1. Nama, alamat, dan nomor telepon dokter.

2. Tanggal.

3. Nama dan kekuatan obat.

4. Dosis dan jumlah total obat.

5. Label: instruksi dan peringatan.

6. Nama, alamat, dan umur pasien.

7. Tanda tangan dokter.

Menurut Jas (2008), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri

dari enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura,

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Terminologi Dan Penulisan Resep

6

Universitas Sumatera Utara

subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio

sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan

singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan pada

bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian

terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah ditandatangani oleh

dokter pada bagian subscriptio.

Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali

dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remedium cardinal), kemudian

obat penunjang obat utama (remedium adjuvantia), dan terakhir robansia yaitu

obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2008).

2.1.3. Rasionalitas Resep

Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan

logis. Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan,

tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga

harus aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi

pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam

susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian

obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan

antagonis (Jas, 2008).

Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah-

langkah yang rasional yaitu:

1. Buat diagnosis yang spesifik,

2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut,

3. Pilih tujuan terapi yang spesifik,

4. Pilih pengobatan,

5. Tentukan regimen dosis,

6. Rencanakan monitoring kerja obat dan tentukan titik akhir dari terapi,

7. Rencanakan program edukasi bagi pasien.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Terminologi Dan Penulisan Resep

7

Universitas Sumatera Utara

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008

tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih

Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar

penggunaan obat disebut rasional, yaitu:

1. Tepat Diagnosis: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai dengan diagnosis.

Pemilihan obat akan salah apabila diagnosis tidak ditetapkan dengan benar.

2. Tepat Indikasi Penyakit: Pilihan obat yang diberikan harus tepat untuk suatu

penyakit tertentu.

3. Tepat Pemilihan Obat: Pilihan obat yang diberikan harus memiliki efek terapi

sesuai dengan penyakit.

4. Tepat Dosis, Jumlah, Cara, Waktu dan Lama Pemberian Obat:

a. Tepat Dosis dan Jumlah: Dosis dan jumlah obat yang diberikan harus

cukup.

b. Tepat Cara Pemberian: Misalnya pada pemberian obat antasida, obat

seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru boleh ditelan dan pada

pemberian antibiotik, obat tidak boleh dicampur dengan susu karena akan

membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorpsi sehingga efektifitasnya

menurun.

c. Tepat Interval Waktu Pemberian: Cara pemberian obat sebaiknya

sederhana dan praktis agar mudah dipatuhi oleh pasien. Frekuensi

pemberian obat yang terlalu sering akan menurunkan tingkat kepatuhan

minum obat. Pemberian obat 3 kali sehari seharusnya diberikan dengan

interval pemberian obat setiap 8 jam.

d. Tepat Lama Pemberian: Lama pemberian obat harus sesuai dengan

penyakitnya. Misalnya, lama pemberian obat untuk penyakit tuberkulosis

minimal adalah 6 bulan dan lama pemberian kloramfenikol untuk demam

tifoid adalah 10-14 hari.

5. Tepat Penilaian Kondisi Pasien: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai

dengan kondisi pasien, yaitu kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan,

menyusui, lanjut usia atau bayi.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Terminologi Dan Penulisan Resep

8

Universitas Sumatera Utara

6. Waspada terhadap Efek Samping: Setiap obat dapat menimbulkan efek

samping pada dosis terapi, seperti timbul rasa mual, muntah, gatal-gatal, dan

lain lain.

7. Efektif, Aman, Mutu Terjamin, Tersedia Setiap Saat, dan Harga Terjangkau.

8. Tepat Tindak Lanjut (follow up): Apabila sakit berlanjut setelah pengobatan

sendiri telah dilakukan, pasien harus berkonsultasi ke dokter.

9. Tepat Penyerahan Obat (dispensing): Penyerahan obat kepada pasien harus

disertai dengan informasi yang tepat.

10. Pasien Patuh terhadap Perintah Pengobatan: Ketidakpatuhan pasien terjadi

pada keadaan-keadaan berikut ini:

a. Jenis sediaan obat yang beragam,

b. Jumlah obat yang terlalu banyak,

c. Frekuensi pemberian obat per hari yang terlalu sering,

d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa adanya informasi,

e. Pasien tidak memperoleh informasi yang cukup tentang cara menggunakan

obat,

f. Timbul suatu efek samping.

2.1.4. Kesalahan dalam Peresepan Obat

Menurut Carruthers et al. (2000), kesalahan yang dilakukan oleh dokter

dalam meresepkan obat umumnya berhubungan dengan:

1. Penulisan nama obat yang salah.

2. Penggunaan bentuk sediaan obat yang salah.

3. Penggunaan singkatan yang salah.

4. Kesalahan dalam menghitung dosis.

Beberapa tipe kesalahan dalam persepan obat yang umum ditemukan

menurut Katzung et al. (2009) yaitu kurangnya keterangan atau informasi di

dalam resep, penulisan yang buruk tentang dosis dan interval pemakaian obat,

serta peresepan obat tertentu yang tidak sesuai dengan keadaan pasien.

Kesalahan dalam meresepkan obat dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,

kesalahan dalam proses memutuskan obat apa yang akan diresepkan kepada

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Terminologi Dan Penulisan Resep

9

Universitas Sumatera Utara

pasien. Tipe kesalahan ini dapat berupa peresepan irasional, peresepan berlebih

atau peresepan kurang. Kedua, kesalahan dalam proses menulis resep. Tipe

kesalahan yang terjadi berupa salah menulis nama obat, dosis, rute, interval

pemberian, dan nama pasien (Aronson, 2009).

Menurut Tully et al. (2009), kesalahan dalam peresepan obat paling sering

terjadi karena kurangnya pengetahuan dokter tentang obat yang diresepkan atau

pasien yang akan menerima resep obat. Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi

akibat kurangnya pengalaman, kelelahan, stress, tingginya beban kerja dokter

yang meresepkan obat dan kurangnya komunikasi antara profesional kesehatan.

2.2. Apotek dan Apoteker

2.2.1. Definisi Apotek

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apotek adalah toko tempat

meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter. Menurut Kepmenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek merupakan suatu tempat tertentu

dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan

perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

2.2.2. Definisi Apoteker

Apotek dikelola oleh seorang apoteker, yaitu sarjana yang sudah lulus

pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Kepmenkes RI, 2004). Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, apoteker adalah seorang ahli dalam ilmu obat-obatan yang

memiliki wewenang untuk meracik dan menjual obat.

2.2.3. Pelayanan Apotek

Seorang apoteker harus melakukan beberapa pelayanan seperti yang telah

ditetapkan di dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang

standar pelayanan kefarmasian di apotek yaitu melakukan pelayanan resep,

promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Terminologi Dan Penulisan Resep

10

Universitas Sumatera Utara

Pelayanan resep yang dilakukan berupa skrining resep dan penyiapan obat.

Skrining tersebut meliputi tiga hal yaitu persyaratan administratif, kesesuaian

farmasetik, dan pertimbangan klinis. Pertama, persyaratan administratif yaitu:

1. Nama, Surat Izin Praktek (SIP), dan alamat dokter.

2. Tanggal penulisan resep.

3. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

5. Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang diminta.

6. Cara pemakaian yang jelas.

7. Informasi lainnya.

Kedua, aspek kesesuaian farmasetik yaitu berupa bentuk sediaan, dosis, potensi,

stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Dan yang terakhir adalah

pertimbangan klinis yaitu ada tidaknya alergi, efek samping, interaksi, serta

kesesuaian dalam dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain. Dalam promosi dan

edukasi, apoteker ikut membantu menyebarkan informasi berupa brosur/leaflet,

poster, penyuluhan dan lain-lain kepada masyarakat. Pelayanan residensial juga

dilakukan oleh apoteker dengan melakukan kunjungan ke rumah khususnya untuk

kelompok pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis (Kepmenkes RI,

2004).

2.3. Obat

2.3.1. Definisi Obat

Definisi obat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu bahan

untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan penyakit. Menurut Rang

et al. (2007), obat adalah suatu zat kimia yang strukturnya telah diketahui dan

bukan merupakan suatu nutrien atau bahan makanan esensial yang bila diberikan

pada makhluk hidup akan menimbulkan efek biologis.

Dalam Kepmenkes RI Nomor 193/Kab/B.VII/71 tentang pembungkusan

dan penandaan obat, definisi obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan

yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah,

mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Terminologi Dan Penulisan Resep

11

Universitas Sumatera Utara

luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk

memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1121/MENKES/SK/XII/2008 tentang

pedoman teknis pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan

kesehatan dasar, obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan

untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologis

dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi termasuk produk biologi.

2.3.2. Klasifikasi Obat

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008

tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih

Obat bagi Tenaga Kesehatan, obat dapat dibagi menjadi lima golongan yaitu:

1. Obat bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna

hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat

Rasional, 2008).

Gambar 2.1. Tanda Khusus Obat Bebas

Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan

Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga

Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Terminologi Dan Penulisan Resep

12

Universitas Sumatera Utara

2. Obat bebas terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi

masih dapat dijual atau dibeli secara bebas tanpa resep dokter, namun

penggunaannya harus memperhatikan informasi yang menyertai obat di dalam

kemasan. Tanda khusus berupa lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam

terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat

Rasional, 2008).

Gambar 2.2. Tanda Khusus Obat Bebas Terbatas

Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan

Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga

Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

3. Obat keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna

hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi terdapat pada kemasan dan

etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

Gambar 2.3. Tanda Khusus Obat Keras

Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan

Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga

Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Terminologi Dan Penulisan Resep

13

Universitas Sumatera Utara

4. Obat psikotropika

Obat psikotropika adalah obat bukan golongan narkotik yang berkhasiat

mempengaruhi susunan syaraf pusat dan dapat menimbulkan perubahan yang khas

pada aktivitas mental dan perilaku. Obat golongan ini hanya diperbolehkan untuk

dijual melalui resep dokter. Tanda khusus berupa huruf K dalam lingkaran merah

dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat

(Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

5. Obat narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan

kimia yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan

menimbulkan ketergantungan. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh dengan

resep dari dokter (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

Gambar 2.4. Tanda Khusus Obat Narkotika

Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan

Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga

Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

2.3.3. Bentuk Sediaan Obat

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008

tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih

Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada empat bentuk sediaan obat yaitu:

1. Sediaan Padat

a. Tablet: sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak, dalam

bentuk pipih, kedua permukaannya rata atau cembung dan mengandung

satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa zat tambahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Terminologi Dan Penulisan Resep

14

Universitas Sumatera Utara

i. Tablet Bersalut: tablet yang bersalut/berlapis dengan tujuan untuk

melindungi zat aktif dari udara, kelembaban, dan cahaya, menutupi

rasa dan bau, serta agar memiliki penampilan yang lebih baik.

ii. Tablet Effervescent: tablet yang dilarutkan dalam air terlebih dahulu

sebelum diminum. Tablet ini mengeluarkan gas CO2.

iii. Tablet Kunyah: tablet yang penggunaannya dikunyah dengan tujuan

memberikan rasa enak dan mudah ditelan.

iv. Tablet Hisap: tablet yang penggunaannya dihisap, tidak langsung

ditelan.

b. Kapsul: sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau

lunak yang dapat larut dalam air dan terbuat dari gelatin atau bahan lain

yang sesuai.

c. Pulvis/Puyer/Talk: campuran kering bahan obat yang dihaluskan untuk

digunakan sebagai obat dalam atau obat luar.

2. Sediaan Cair

a. Syrup: sediaan cair yang digunakan sebagai obat dalam (diminum).

b. Larutan obat luar: larutan yang digunakan hanya untuk penggunaan luar

(tidak diminum).

i. Cairan Tetes Hidung.

ii. Cairan Tetes Telinga.

iii. Cairan Tetes Mata.

iv. Cairan Obat Kumur.

v. Cairan Shampo.

vi. Lotion.

3. Sediaan Inhalasi: sediaan obat luar yang digunakan dengan cara dihisap

melalui hidung.

4. Sediaan Setengah Padat

a. Salep: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit atau mata.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Terminologi Dan Penulisan Resep

15

Universitas Sumatera Utara

b. Krim: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit dan kosmetik.

c. Gel: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit, anus dan vagina.

d. Aeorsol: sediaan setengah padat yang digunakan dengan cara semprot pada

hidung atau mulut.

e. Suppositoria: sediaan setengah padat berbentuk peluru digunakan untuk

anus.

f. Ovula: sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk

vagina.

2.4. Interaksi Obat

Ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain, maka

interaksi dapat dikatakan telah terjadi (Stockley, 2008). Interaksi tidak hanya

dapat terjadi antara obat dengan obat, tetapi juga dapat terjadi antara obat dengan

bahan makanan seperti susu, jus, alkohol, kafein dan sebagainya (Bushra et al.,

2010), serta antara obat dengan herba/tumbuh-tumbuhan (Fasinu et al., 2012).

Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan

kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya

seperti meningkatkan efek obat tersebut sampai menjadi efek toksik atau

sebaliknya menurunkan efek obat tersebut sehingga menghilangkan manfaat

terapinya pada pasien (Brunton et al., 2006).

Menurut Carruthers et al. (2000), interaksi antara obat dengan obat dapat

terjadi melalui tiga mekanisme yaitu secara farmasetik, farmakokinetik, dan

farmakodinamik. Menurut Katzung et al. (2009), beberapa mekanisme bagaimana

obat berinteraksi dapat dikategorikan menjadi interaksi pada proses

farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi), interaksi pada proses

farmakodinamik (efek aditif atau antagonis), dan interaksi kombinasi. Namun

secara umum, interaksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interaksi farmakokinetik

dan interaksi farmakodinamik.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Terminologi Dan Penulisan Resep

16

Universitas Sumatera Utara

2.4.1. Interaksi Farmakokinetik

Proses farmakokinetik merupakan proses dimana tubuh bekerja pada obat

yang masuk ke dalam tubuh (Brunton et al., 2006). Mekanisme interaksi

farmakokinetik dapat terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi obat (Rang et al., 2007).

2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi

Ketika suatu obat diberikan kepada pasien secara ektravaskuler, misalnya

secara peroral atau transdermal, obat akan diabsorbsi/diserap melewati membran

biologis, seperti dinding saluran pencernaan dan kulit, untuk mencapai sirkulasi

sistemik. Efek farmakologis obat umumnya tertunda apabila diberikan secara

ekstravaskuler karena obat perlu waktu untuk diabsorbsi ke sistem sirkulasi darah

(Dipiro et al., 2005).

Penyerapan obat pada saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh obat lain

yang mempunyai luar permukaan luas, berikatan atau kelasi, mengubah pH

lambung, mengubah pergerakan saluran pencernaan, atau mempengaruhi protein

transpor seperti glikoprotein-P dan transporter anion organik (Katzung et al.,

2009).

Penyerapan suatu obat pada saluran cerna dapat diperlambat oleh obat lain

yang dapat menghambat proses pengosongan lambung, misalnya atropin atau

opiat, atau dipercepat oleh obat lain yang dapat mempercepat proses pengosongan

lambung, misalnya metoklopramide (Rang et al., 2007).

Menurut Rang et al. (2007), interaksi farmasetik juga dapat terjadi ketika

obat pertama berinteraksi dengan obat kedua dalam usus sedemikian rupa

sehingga penyerapan obat kedua terhambat. Beberapa contoh obat yang

berinteraksi secara farmasetik yaitu:

1. Ion kalsium dan zat besi dapat membentuk suatu kompleks yang tidak dapat

larut (insoluble complex) dengan tetrasiklin sehingga menghambat

penyerapan tetrasiklin (Rang et al., 2007).

2. Kolestiramin, suatu resin yang mengikat empedu, dapat mencegah

penyerapan beberapa obat, misalnya warfarin dan digoksin dengan cara

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Terminologi Dan Penulisan Resep

17

Universitas Sumatera Utara

berikatan dengan obat tersebut jika diberikan secara bersamaan (Rang et al.,

2007).

3. Penambahan adrenalin/epinephrine pada suntikan anestesi lokal

menyebabkan vasokonstriksi yang dapat memperlambat penyerapan obat

anastesi tersebut sehingga efek lokal semakin panjang (Rang et al., 2007).

Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses absorbsi

dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Efek perubahan pada pH saluran cerna.

2. Adsorbsi, kelasi dan mekanisme pembentukan kompleks lainnya.

3. Perubahan pada pergerakan saluran cerna.

4. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.

5. Malabsorbsi akibat obat.

2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi

Sistem sirkulasi darah berperan sebagai sarana transportasi bagi obat untuk

mencapai tempatnya bekerja (Dipiro et al., 2005). Setelah obat diabsorbsi atau

telah mencapai sirkulasi darah, obat akan berdistribusi ke cairan interstisial dan

intraseluler. Laju pengiriman dan jumlah obat yang terdistribusi ke jaringan

dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah setempat, permeabilitas kapiler, dan

volume jaringan (Brunton et al., 2006).

Sebagian obat juga ada yang tetap berada dalam sirkulasi darah dan

berikatan dengan protein endogen seperti albumin atau glikoprotein. Ikatan ini

bersifat reversibel sehingga terbentuk keseimbangan antara obat yang berikatan

dengan protein dan obat yang tidak berikatan dengan protein (Dipiro et al., 2005).

Menurut Katzung et al. (2009), interaksi pada proses distribusi obat yang dapat

terjadi yaitu kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma, perpindahan dari

tempat ikatan pada jaringan, dan perubahan pada sawar jaringan lokal seperti

hambatan glikoprotein-P pada sawar darah otak.

Pergeseran obat dari tempat ikatannya (binding sites) dalam plasma atau

jaringan akan meningkatkan konsentrasi obat yang bebas/tidak terikat secara

transien, namun proses ini juga diikuti oleh peningkatan eliminasi obat, sehingga

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Terminologi Dan Penulisan Resep

18

Universitas Sumatera Utara

terbentuk suatu keadaan tetap (steady state) yang baru dimana konsentrasi obat

total dalam plasma berkurang tetapi konsentrasi obat yang bebas tetap sama

dengan konsentrasi awalnya sebelum berinteraksi dengan obat kedua. Jadi

interaksi obat pada proses distribusi jarang sekali penting secara klinis (Rang et

al., 2007).

Namun menurut Rang et al. (2007), ada beberapa konsekuensi interaksi ini

yang berpotensial penting secara klinis yaitu:

1. Toksisitas terjadi dari peningkatan transien konsentrasi obat yang bebas

sebelum kondisi tetap (steady state) yang baru tercapai.

2. Jika dosis diatur berdasarkan pengukuran konsentrasi plasma total, maka

harus diingat bahwa rentang konsentrasi terapetik target akan diubah oleh

pemberian yang bersamaan dengan obat penggeser (displacing drug).

3. Ketika obat penggeser (displacing drug) mengurangi eliminasi obat pertama

sehingga konsentrasi obat yang bebas meningkat tidak hanya secara akut

tetapi juga secara kronis pada kondisi tetap (steady state) yang baru dan

toksisitas yang berat mungkin terjadi.

Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses distribusi

dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Interaksi pada ikatan protein.

2. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.

2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme

Metabolisme obat atau disebut juga reaksi biotransformasi obat dibagi

menjadi dua yaitu reaksi fungsionalisasi (fase I) dan reaksi biosintesis atau

konjugasi (fase II). Pada reaksi fase I, obat mengalami proses hidrolisis yang

dapat menyebabkan hilangnya aktivitas farmakologis obat tersebut atau

sebaliknya meningkatkan aktivitas farmakologis seperti pada prodrug. Pada reaksi

fase II, obat yang telah mengalami reaksi fase I akan dikonjugasikan dengan asam

glukoronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat untuk membentuk senyawa

kovalen yang polar sehingga dapat dengan cepat diekskresikan melalui urin atau

feses (Brunton et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Terminologi Dan Penulisan Resep

19

Universitas Sumatera Utara

Beberapa organ seperti hati, dinding saluran pencernaan, dan paru-paru

memiliki enzim untuk melakukan proses metabolisme obat, namun pada umunya

metabolisme terjadi di organ hati. Proses ini dapat menghasilkan metabolit yang

inaktif atau sebaliknya memiliki efek farmakologis. Selain itu, pembuluh darah

juga memiliki enzim esterase yang dapat memutuskan ikatan ester pada molekul

obat sehingga obat menjadi inaktif (Dipiro et al., 2005).

Metabolisme suatu obat dapat distimulasi atau sebaliknya dihambat oleh

obat lain (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi

obat pada proses metabolisme dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Perubahan pada first-pass metabolism.

2. Induksi enzim.

3. Inhibisi enzim.

4. Faktor genetik.

5. Isoenzim sitokrom P450.

2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi

Menurut Brunton et al. (2006), obat dapat dieliminasi dalam bentuk yang

tidak berubah dari bentuk semulanya atau dalam bentuk metabolit yang telah

dikonversi. Organ-organ ekskresi lebih efisien mengeliminasi senyawa polar (larut

dalam air) daripada senyawa yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi,

kecuali organ paru-paru. Senyawa yang larut dalam lemak akan dikonversikan

menjadi senyawa polar agar dapat dieksresi.

Organ ginjal dapat mengekskresi obat melalui filtrasi glomerulus atau

dengan proses aktif melalui sekresi tubulus proksimal. Selain itu, obat juga

dieliminasi melalui empedu yang dihasilkan oleh organ hati atau diekspirasikan

melalui organ paru-paru. (Dipiro et al., 2005)

Menurut Katzung et al. (2009), ekskresi suatu obat dapat dipengaruhi oleh

obat lain yang dapat mengubah pH urin atau yang dapat menghambat transporter

pada tubulus ginjal. Mekanisme interaksi obat pada proses ekskresi, menurut

Stockley (2008), dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Perubahan pada pH urin.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Terminologi Dan Penulisan Resep

20

Universitas Sumatera Utara

2. Perubahan pada ekskresi aktif tubulus ginjal.

3. Perubahan pada aliran darah ginjal.

4. Ekskresi bilier dan entero-hepatic shunt.

2.4.2. Interaksi Farmakodinamik

Proses farmakodinamik merupakan proses dimana obat yang masuk bekerja

pada tubuh (Brunton et al., 2006). Menurut Dipiro et al. (2005), dalam

farmakodinamik dibahas hubungan antara konsentrasi obat dengan respon yang

diterima oleh pasien. Obat dapat menimbulkan efek langsung maupun reversibel

pada tingkat reseptor. Ketika molekul obat bertemu dengan reseptornya di

jaringan atau organ target, suatu kompleks obat-reseptor akan terbentuk dan

respon farmakologis akan terjadi. Obat dan reseptor tersebut berada dalam

kesetimbangan yang dinamis dengan kompleks obat-reseptor.

Ketika obat-obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan

secara bersamaan, respon aditif atau sinergis akan muncul namun bila obat-obat

tersebut memiliki efek farmakologis yang berlawanan maka respon salah satu obat

tersebut akan berkurang (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008),

mekanisme interaksi obat pada proses farmakodinamik dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu:

1. Interaksi aditif atau sinergis.

2. Interaksi antagonis atau berlawanan.

3. Interaksi pada uptake neurotransmiter atau obat.

Universitas Sumatera Utara