terjemahan jurnal studi kasus analisis kebijakan di lebanon
DESCRIPTION
terjemahTRANSCRIPT
Pembuatan Undang-Undang Praktik Keperawatan di Lebanon:
Studi Kasus Analisis Kebijakan
Fadi El-Jardali, Rawan Hammoud, Lina Younan, Helen Samaha Nuwayhid, Nadine Abdallah,
Mohammad Alameddine, Lama Bou-Karroum, dan Lana Salman
Abstrak
Latar Belakang: Keputusan-keputusan yang didasarkan pada bukti dapat memperkuat sisttem kesehatan, meningkatkan kesehatan, dan mengurangi kesenjangan kesehatan. Di samping apa yang sudah diterapkan di Beijing, Montreux, dan Bamako, berbagai literatur menunjukkan bahwa temuan penelitian tidak begitu digunakan dalam pembuatan suatu kebijakan, khususnya di daerah Mediterania Timur (EMR). Dengan memilih draf undang-undang praktik keperawatan sebagai objek studi kasus, analisis kebijakan ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang mendalam mengenai proses pembuatan kebijakan publik, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pembuatan kebijakan dan dan menilai kapan dan bagaimana temuan tersebut digunakan dalam proses ini.Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua fase, yaitu: pengumpulan dan analisis data serta validasi. Pada fase pertama, data dikumpulkan melalui wawancara terhadap informan kunci yang mencakup 17 stakeholder. Pada fase kedua, sebuah diskusi panel dilaksanakan untuk memvalidasi temuan, mengidentifikasi berbagai kesenjangan, dan mendapatkan pandangan dan umpan balik dari para panelis. Analisis tematik dilaksanakan dengan menggunakan panduan “Kerangka Kerja Segitiga Kebijakan” yang dikemukakan oleh Walt dan Gilson di mana tema-temanya dikategorikan ke dalam tema isi, aktor, proses, dan konteks.Hasil Penelitian: Temuan penelitian menunjukkan adanya hakikat kompleks dari pembuatan kebijakan di bidang kesehatan dan pendekatan yang tidak terstruktur dari sebuah pengambilan keputusan. Penelitian ini menguak hambatan-hambatan dalam proses penyusunan draf undang-undang keperawatan dan hambatan-hambatan mengenai penggunaan bukti dalam pengambilan keputusan. Beberapa temuan menunjukkan adanya resiko dalam penggunaan rekomendasi internasional tanpa melibatkan stakeholder dan tanpa mengakuntansi faktor-faktor kontekstual dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Temuan penelitian diinterpretasi dalam konteks lingkungan politik Lebanon dan permainan kekuatan di antara stakeholder dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kesamaan. Simpulan: Analisis kebijakan ini menyajikan temuan yang berguna bagi pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya serta mampu merevisi draf undang-undang keperawatan untuk mencapai alternatif yang efektif dan memungkinkan di Lebanon. Temuan penelitian ini relevan dengan konteks lokal dan regional di mana pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya dapat mengambil manfaat dari temuan tersebut dalam menyusun draf undang-undang, sedangkan dalam konteks global, organisasi-organisasi internasional dapat mempertimbangkan temuan studi lanjut ini ketika mengembangkan panduan dan rekomendasi yang bersifat global.
Kata Kunci: Pembuatan kebijakan berdasarkan bukti yang diinformasikan, Lebanon, Undang-undang keperawatan, Analisis kebijakan
Latar Belakang
Keputusan-keputusan yang didasarkan pada bukti dapat memperkuat sisttem
kesehatan, meningkatkan kesehatan, dan mengurangi kesenjangan kesehatan [1]. Upaya yang
dilakukan di Beijing, Montreux, dan Bamako menekankan bahwa pemerintah perlu mendukung
dan mendanai Penerjemahan Pengetahuan terhadap penerapan pembuatan kebijakan
berdasarkan bukti yang diinformasikan dengan membangun kepercayaan antara peneliti,
praktisi, dan pembuat kebijakan [2,3]. Terlepas dari upaya tersebut, literatur menunjukkan
bahwa bukti/temuan penelitian kurang begitu digunakan dalam pembuatan kebijakan,
khususnya di daerah Mediteranian Timur [4-6].
Sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebuah penelitian
dengan setting prioritas di Mediteranian Timur baru-baru ini mengungkap bahwa salah satu
kunci sistem kesehatan yang menjadi prioritas perhatian adalah berkaitan dengan kekurangan
sumber daya manusia di bidang kesehatan (HRH) khususnya tenaga keperawatan [7-8].
Kekurangan tenaga keperawatan terjadi dalam berbagai tingkatan, di antaranya adalah
kekurangan dari segi kuantitas (jumlah yang cukup) dan kualitas (kualifikasi yang baik dan
ruang lingkup praktik yang jelas) [9]. Kerumitan permasalahan dalam perawatan pasien
menjadikan kebutuhan tenaga keperawatan yang berkualifikasi meningkat, yaitu tenaga
keperawatan yang memiliki standar dan kebijakan pendidikan yang konsisten dan koheren [10-
12].
WHO, Dewan Keperawatan Internasional (ICN), dan Dewan Penasehat Keperawatan
EMR telah menyampaikan rekomendasi mengenai standar pendidikan dan kompetensi dalam
keperawatan global. Rekomendasi tersebut disusun untuk menstandarkan dan meningkatkan
kualitas keperawataan [13]. Namun, melaksanakan rekomendasi tersebut di Lebanon
membutuhkan perubahan dalam proses legislasi yang berkaitan dengan ruang lingkup praktik
keperawatan, syarat masuk, dan pendidikan. Laporan-laporan internasional tersebut memicu
dimulainya penyusunan draf undang-undang praktik keperawatan di Lebanon. Draf tersebut
telah dibahas oleh legislatif Lebanon selama 12 tahun dan belum juga disahkan.
Untuk mendapatkan pandangan mengenai proses pembuatan kebijakan, termasuk
penggunaan bukti, kami telah memilih draf undang-undang praktik keperawatan di Lebanon
sebagai objek kajian studi kasus. Draf undang-undang tersebut dipilih berdasarkan pentingnya
dan relevansi draf tersebut dalam skala nasional maupun regional, posisinya sebagai tantangan
kebijakan, dan adanya kesempatan untuk perubahan [14-16]. Studi kasus ini merupakan contoh
proses perkembangan politik yang mandek dan bertujuan untuk memperjelas proses
pembuatan kebijakan pada negara berkembang seperti Lebanon serta untuk
mendemonstrasikan interaksi yang rumit antara stakeholder nasional dan internasional. Analisis
kebijakan ini bertujuan untuk membangun pandangan yang lebih mendalam terhadap proses
pembuatan kebijakan, mengidentifikasi faktor yang memengaruhi pembuatan kebijakan, dan
menilai sejauh mana bukti digunakan dalam proses tersebut. Dengan memilih undang-undang
praktik keperawatan sebagai objek kajian, analisis kebijakan ini mengeksplorasi bagaimana dan
mengapa kebijakan tersebut dikembangkan, menarik simpulan atau pelajaran yang bermanfaat
bagi pengambilan keputusan berikutnya, dan menyediakan pandangan untuk menstrukturkan
proses pengambilan keputusan dan mengintegrasikan penggunaan bukti yang sistematis [17].
Latar Belakang Studi Kasus
Sistem Politik Lebanon
Sistem politik di Lebanon adalah sistem demokrasi parlementer yang terdiri dari tiga
kekuasaan: legislatif (diwakili oleh parlemen yang dipilih oleh rakyat), eksekutif, dan yudikatif.
Kebijakan publik dapat berupa undang-undang yang berasal dari legislatif atau dekrit yang
mengimplementasikan undang-undang yang disusun oleh eksekutif [18]. Sistem politik di
Lebanon melembagakan sektarianisme politik yang sangat mendalam dikarenakan posisi
penting di pemerintahan dan di parlemen dialokasikan oleh sekte [19-21]. Sejak tahun 2005,
terdapat polarisasi yang terus meningkat dalam masyarakat Lebanon. Ketidakstabilan di
Lebanon telah memburuk dikarenakan perselisihan politik, ancaman keamanan, dan yang
paling terkini adalah dikarenakan adanya krisis Suriah dan arus pengungsi yang terus menerus.
Kondisi tersebut menjadikan kelumpuhan pemerintahan, parlemen, dan sebagai akibatnya,
proses perkembangan kebijakan di Lebanon juga lumpuh.
Sistem Kesehatan di Lebanon
Sistem kesehatan di Lebanon memiliki karakteristik pluralistik dan terpecah dikarenakan
keterlibatan sektor swasta dalam penyampaian dan pendanaan layanan kesehatan [22].
Kementerian Kesehatan Masyarakat (MOPH) mendanai 43% penduduk Lebanon yang tidak
menerima asuransi lain melalui alokasi anggaran [23]. Sisanya diakomodasi oleh berbagai
skema pendanaan termasuk enam skema berbeda mengenai asuransi sosial berbasis
pekerjaan yang yang dikelola secara publik, salah satu yang terbesar adalah National Social
Security Fund yang mengakomodasi 23% dari populasi dan wajib bagi sektor formal (negeri dan
swasta). Skema lainnya misalnya asuransi swasta dan dana saling menguntungkan. Selain
berbagai skema financial tersebut, pengeluaran kesehatan tetap tinggi mencapai 44% [23].
Ketentuan mengenai layanan kesehatan sangat diprivatisasi. Sehubungan dengan asuransi
kesehatan primer, di antara 800 fasilitas di Lebanon, 186 pusat kesehatan dimiliki oleh jejaring
kesehatan primer yang didukung oleh MOPH dan menyampaikan paket dasar layanan
kesehatan pada masyarakat Lebanon [23]. Lebih dari separo pusat kesehatan primer dimiliki
oleh organisasi non pemerintah (51%), sementara sisanya dimiliki oleh MPOH, menteri Sosial,
dan daerah [23]. Guna proses hospitalisasi, 80% rumah sakit dimiliki oleh sektor swasta.
Sumber Daya Manusia untuk Kesehatan
Berkaitan dengan HRH, di Lebanon terjadi kelebihan ketersediaan dokter dan
kekurangan perawat. Rasio dokter terhadap total populasi adalah 248 dari 100.000 orang, di
mana jumlah tersebut merupakan yang paling tinggi di Mediterania Timur dan dekat dengan
gambaran yang disampaikan oleh US dan negara-negara OECD [24]. Kasus yang berlawanan
terjadi pada kepadatan perawat di Lebanon hanya 1,18 dari 1000 orang dibandingkan rasio
global 4,06 untuk setiap 1000 orang [25]. Lebanon berada pada peringkat kedelapan terbawah
berkaitan dengan ketersediaan perawat di Mediterania Timur [26]. Kepadatan fisikawa di
Lebanon dua kali kepadatan perawatnya [8]. Lebih jauh lagi, terdapat kesalahan penyebaran
perawat karena mayoritas mereka bekerja di daerah perkotaan seperti di Mount Lebanon (34%)
dan di Beirut (27%). Hal ini membuat kekurangan menjadi semakin terasa di desa-desa kecil
atau kota-kota pinggiran yang hanya 27,28%. Berdasarkan penghargaan Order of Nurses di
Lebanon (ONL), terdapat sekitar 11.621 perawat telah terdaftar di ONL [29]. Namun, jumlah
tersebut dapat bertambah sebagai akibat dari pemutakhiran data ONL. Perkiraan kasar
menyebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan perawat di Lebanon, dbutuhkan jumlah
perawat tiga kali lipat dari jumlah sekarang [29]. Permasalahan lain yang memengaruhi
ketersediaan perawat adalah tingginya angka migrasi (khususnya bagi perawat yang terdaftar),
rendahnya tingkat ketersediaan, dan kondisi kerja yang keras [30,31].
Untuk pendidikan keperawatan, ada banyak kesulitan, termasuk perbedaan tingkatan
masuk pada karir tersebut, kurangnya kejelasan ruang lingkup praktik, dan ada berbagai pihak
yang berwenang mengatur pendidikan dan praktik [10]. Di Lebanon, keperawatan diajarkan di
universitas yang memungkinkan mahasiswa memperoleh gelar sarjana [BS] di bidang
keperawatan. Sedangkan di sekolah kejuruan di bidang keperawatan, siswa dapat memeroleh
gelar sarjana teknik selama tiga tahun (BT), dan sebuah gelar kejuruan Technique Superior
(TS), program setahun setelah BT. Sekarang ini, kurang dari separuh (47%) perawat di
Lebanon memiliki gelar BS sementara sisanya (53%) merupakan lulusan sekolah kejuruan
(33% mempunyai ijazah TS dan 20% memiliki ijazah BT). Terdapat 106 sekolah kejuruan dan
19 universitas yang mengajar keperawatan di Lebanon (di luar banyaknya cabang) [27].
Sebagian besar universitas terletak di perkotaan (68%) sementara sebagian besar sekolah
kejuruan terletak di pedesaan (82%) [32]. Hingga hari ini, Lebanon kekurangan sistem nasional
yang terpadu dan bertanggung jawab pada proses monitoring, sertifikasi, dan akreditasi
pendidikan keperawatan [29].
Sejarah Kemajuan Draf Undang-Undang Praktik Keperawatan di Lebanon
Undang-undang keperawatan pertama kali dikenalkan di Lebanon pada tahun 1962
(Dekrit 9892) dan peraturan mengenai profesi keperawatan berada di bawah yurisdiksi
Kementerian Kesehatan Masyarakat (MOPH). Pada tahun 1979, MOPH melakukan pembaruan
undang-undang yang mengatur profesi keperawatan (Dekrit 1655) untuk mengklasifikasi dan
mendefinisikan peran dan ruang lingkup profesi perawat pada tingkatan yang berbeda dan pada
tahun 1982 dekrit tersebut diamandemen menjadi sebagai berikut [33]: perawat profesional
(dengan kualifikasi BS atau TS), perawat (dengan kualifikasi BT), dan asisten perawat (dengan
kualifikasi 1 atau 2 tahun training BP). Sejak tahun 1999, telah ada upaya untuk meningkatkan
undang-undang yang mengatur keperawatan dengan harapan memodernisasi dan
mereorganisasinya. Hal ini menghasilkan draf undang-undang yang bernama “Undang-Undang
Praktik Profesi Keperawatan” yang diharapkan mengganti Dekrit 1655 yang diadopsi tahun
1979. Draf undang-undang ini bertujuan untuk mengorganisasi dan meningkatkan profesi
keperawatan dengan cara meningkatkan dan menstandarkan persyaratan profesi keperawatan
dan mengganti tingkatan keperawatan. Perubahan ini akan memberikan kepada perawat di
Lebanon standar seperti di WHO dan ICN. Draf ini sudah dikembangkan dan dikaji selama 13
tahun, dan hingga hari ini, permasalahan ini belum terselesaikan dan belum disahkan. Gambar
1 menunjukkan kronologi kemajuan draf undang-undang praktik keperawatan.
Analisis kebijakan ini bertujuan untuk membangun pandangan yang mendalam dalam
proses pembuatan kebijakan, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pembuatan
kebijakan, dan menilai sejauh mana bukti digunakan dalam proses tersebut.
Metode
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus dan
dilaksanakan dalam dua tahap: pengumpulan dan analisis data dan validasi. Penelitian ini
dilaksanakan sejak Maret 2011 hingga Juni 2013. Penelitian ini dapat dikatakan maju dan
mundur karena penelitian tersebut mengevaluasi proses perkembangan kebijakan selama
jangka waktu yang panjang (13 tahun). Pada saat yang bersamaan, penelitian ini bertujuan
unutuk mendukung pembuatan kebijakan dan perubahan-perubahan di waktu yang akan
datang melalui analisis kebijakan karena rancangan undang-undang masih harus disahkan
[34].
Pada tahap pertama, data dikumpulkan melalui wawancara dengan narasumber-
narasumber utama yang mencakup 17 pemegang kepentingan, termasuk dua anggota
parlemen, dua menteri, empat dekan dari sekolah keperawatan di Lebanon, perwakilan
pemerintah dan gabungan perusahan, dan pembuat kebijakan kunci lainnya. Pertanyaan-
pertanyaan wawancara bertujuan untuk memberikan wawasan bagi proses pembuatan
kebijakan rancangan hukum praktek keperawatan berkaitan dengan peran para pemegang
kepentingan dan pembuat kebijakan, oknteks dimana rancangan undang-undang tersebut
dikembangkan, dan dalam taraf apa bukti diperlukan pada proses pembuatan kebijakan.
Narasumber-narasumber kunci dipilih dengan sengaja dan teknik snowballing diterapkan untuk
memastikan bahwa pemegang kepentingan lain yang terlibat dalam kebijakan tersebut juga ikut
termasuk. Wawancara semi struktural secara langsung dilaksanakan selama 45-60 menit.
Wawancara tersebut direkam secara digital setelah memperoleh persetujuan dari narasumber;
hanya empat narasumber yang menolak untuk direkam, dan tanggapan mereka kemudian
dicatat secara tertulis. Wawancara semi-struktural dikembangkan berdasarkan pada tinjauan
pustaka dan uji coba sebelum memulai penelitian. Wawancara yang direkam ditulis kata demi
kata. Wwancara dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab untuk memastikan keakuratan terjemahan.
Catatan wawancara ditinjau ulang secara terpisah oleh dua orang anggota tim peneliti dan
disandikan secara konsekuensi. Perselisihan pendapat diselesaikan baik dengan cara
konsensus maupun diskusi dengan peneliti utama hingga mencapai kesepakatan.
Pada tahap kedua, diskusi panel diselenggarakan di ONL untuk memvalidasi temuan,
mengidentifikasi celah-celah yang ada dan memperoleh informasi dan umpan balik dari para
panelis. Diskusi panel melibatkan 12 peserta termasuk perwakilan dari ONL dan para ahli
administrasi keperawatan dan para akademisi. Sebagian dari para peserta tersebut telah
terlibat sebelumnya dalam tahap interview penelitian ini.
Gambar 1 Sejarah kemajuan draf undang-undang praktik keperawatan di Lebanon
Temuan dipresentasikan pada para peserta untuk didiskusikan. Para panelis
memberikan pengalaman mereka dalam pengembangan rancangan undang-undang praktik
keperawatan, mengajukan langkah-langkah selanjutnya yang memungkinkan berkaitan dengan
perkembangan tersebut, dan mendiskusikan tantangan utama dalam proses pembuatan
kebijakan di Lebanon. Para peserta memvalidasi informasi yang berkaitan dengan proses
1962
Undang-undang keperawatan pertama yang menuntut pembentukan gabungan perawat disahkan
1979
Undang-undang pertama yang mengatur profesi keperawatan yang mengelompokkan para perawat menjadi perawat profesional (pemegang BS), perawat (pemegang BT), dan asisten perawat disahkan.
1982
Undang-undang keperawatan tahun 1979 diamandemen untuk menyatakan pemegang TS sebagai perawat profesional
1999
Program Keperawatan Nasional, di Kementrian Kesahatan Masyarakat mengambil inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang mengatur profesi keperawatan di Lebanon.
2000
Rancangan undang-undang keperawatan dipresentasikan dihadapan parlemen namun prosesnya terhenti.
2002
Pembentukan Gabungan Perawat di Lebanon.
2009
Rancangan perbaikan undang-undang dipersiapkan oleh Gabungan Perawat yang berkoodinasi dengan MOPH dan salah seorang perwakilan WHO terutama berdasarkan pada bukti regional dan internasional.Pertemuan para pemegang kepentingan dilaksanakan untuk mendiskusikan perbaikan Rancangan undang-undang diserahkan pada parlemen dan dipelajari dalam tiga komite parlemen
2011
Rancangan undang-undang disetujui oleh komite kesehatan umum dan terhenti di komite pendidikanMenteri pendidikan menyuruh komite hukum untuk berhenti mengerjakan undang-undang tersebut
2012
Sebuah dekrit dikeluarkan untuk mengurangi panjangnya masa studi diploma vokasional (TS) dan memulai program transfer dari diploma vokasional ke sarjana (BS)
2013
Masalah-masalah masih belum terselesaikan karena kurangnya follow-up rancangan undang-undang praktik keperawatan
pembuatan kebijakan yang dijalankan oleh rancangan undang-undangan tersebut dan
menyoroti rintangan-rintangan utama yang menghalangi perkembangannya. Diskusi panel yang
berlangsung selama 2 jam direkam dalam bentuk catatan.
Analisis tematik dilaksanakan. “Kerangka Segitiga Kebijakan” Walt dan Gibson
memberikan panduan dimana tema-tema dikategorikan menjadi isi, konteks, pelaku, dan
proses. Kerangka ini memudahkan analisis isi kebijakan, pelaku yang terlibat dalam pembuatan
keputusan, proses dimana kebijakan dimulai, dirumuskan, dan dikomunikasikan, dan faktor
kontekstual yang mempengaruhi kebijakan. Kerangka ini merupakan satu-satunya kerangka
yang berdasarkan pada ilmu politik dimana fokus utamanya yaitu menguji pengaruh terhadap
proses pembuatan kebijakan [35]. Kerangka analisis dapat digunakan secara mundur sehingga
memungkinkan pemahaman yang komprehensif terhadap proses pembuatan kebijakan dan
secara prospektif mendukung perencanaan dan penerapan kebijakan di masa yang akan
datang yang efektif. Kerangka lain yang memberikan panduan yaitu analisis pemegang
kepentingan yang ditawarkan oleh Roberts dkk [36], yang dikembangkan dari kerangka lain
seperti analisis kelompok yang berkepentingan oleh Lindblom [37] dan pemeriksaan proses dan
kompetisi birokrasi antar pemegang kepentingan oleh Downs [38]. Kerangka ini membantu
untuk mengidentifikasi kelompok dan individu terkait, menilai kekuatan, sumber daya, dan posisi
mereka dalam kebijakan, dan persepsi dan tanggapan mereka terhadap masalah kebijakan
tersebut [36]. Kerangka analisis pemegang kepentingan dikombinasikan dengan kerangka
segitiga kebijakan khususnya di bagian pelaku dan interpretasi hasil.
Aturan diskusi, panduan wawancara, dan formulir persetujuan untuk penelitian ini
ditinjau ulang dan disetujui oleh Dewan Peninjauan Kembali Institusi di American University of
Beirut sebelum pengumpulan data.
Hasil
Temuan kami disajikan berdasarkan kerangka segitiga kebijakan (Isi, Konteks, Pelaku, dan
Proses) [35].
Isi
Perubahan terperinci dari ancangan undang-undang praktik keperawatan memerlukan
peningkatan di setiap syarat-syarat kependidikan untuk para perawat dan reorganisasi tingkatan
keperawatan (Gambar 2). Rancangan undang-undang keperawatan menggolongkan profesi
perawat ke dalam tiga kategori baru: i) perawat spesialis: perawat dengan gelar master (MS) di
bidang keperawatan; ii) perawat umum: perawat dengan gelar sarjana keperawatan (BS); dan
iii) asisten perawat: perawat dengan gelar diploma keperawatan (BT).
Oleh sebab itu, rancangan undang-undang akan menghilangkan tingkat keperawatan
dengan masa studi hanya 1 atau 2 tahun. Rancangan undang-undang tersebut juga akan
berhenti mempertimbangkan lulusan diploma keperawatan sebagai perawat profesional dan
membatasi profesi peraat umum hanya untuk mereka yang memiliki gelar sarjana. Para peserta
menyatakan bahwa rancangan undang-undang praktik keperawatan tidak dapat diterapkan bagi
masa depan diploma keperawatan seperti yang ditentukan pada pelaksanaannya. Para peserta
juga menyoroti bagaimana rancangan undang-undang praktik keperawatan tersebuttidak
mempertimbangkan dampak undang-undang tersebut pada perawat-perawat dengan gelar
diploma keperawatan sekarang dan yang akan datang padahal perawat-perawat tersebut
hampir sepertiga (33%) dari tenaga perawat di Lebanon [27] dan di daerah-daerah pinggiran
yang tak terjangkau, mereka merupakan satu-satunya jenis perawat yang tersedia.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan bervariasi mengenai bagaimana undang-undang
ini akan diterapkan; beberapa peserta mengusulkan penghilangan gelar diploma dan yang lain
menyarankan program transfer dari diploma ke sarjana.
“Kita tidak dapat menghilangkan TS dan BT, namun kita dapat melatih mereka.” –
Seorang pembuat kebijakan
Konteks
Racangan undang-undang praktik keperawatan bertujuan untuk memodernisasi undang-
undang yang sudah bertahan selama 40 tahun hingga saat ini. Analsis konteks menunjukkan
mengungkapkan berbagai tema yang dikategorikan menjadi dua tema utama: faktor pendukung
dan hambatan.
Faktor pendukung
Keadaaan profesi perawat di Lebanon Para peserta percaya bahwa pada umumnya masalah
keperawatan di Lebanon adalah kurangnya perawat di banyak daerah. Gaji yang rendah,
keadaan tempat kerja yang buruk, dan gambaran kurang menyenangkan akan masyarakat
Lebanon merupakan sebagian faktor yang mengganggu profesi perawat di Lebanon dan
mendorong mereka untuk bermigrasi. Faktanya, penelitian telah menunjukkan bahwa para
perawat memilih untuk bermigrasi keluar dari Lebanon untuk menikmati lingkungan kerja yang
lebih mendukung, kebebasan dalam menentukan keputusan, perkembangan dan peningkatan
karir, gaji yang lebih baik, dan komitmen yang lebih besar terhadap mutu keperawatan [31].
Penelitian lain yang terbaru di antara para penyedia layanan kesehatan di pusat-pusat layanan
kesehatan utama di Lebanon mengungkapkan bahwa tiga alasan utama untuk berhenti sebagai
perawat adalah gaji yang rendah, kesempatan kerja yang lebih baik di luar negeri, dan
kurangnya pengembangan profesi [39]. Keadaan ini telah menuntun pada kekurangan tenaga
perawat yang oleh para peserta dianggap sebagai salah satu masalah yang paling besar dan
paling kompleks di Lebanon
BS
TS
Perawat spesialis
Pelamar harus memiliki gelar SMA atau diploma keperawatan
Menyelesaikan 3-4 tahun pendidikan universitas dan meraih sarjana keperawatan
Lolos ujian penempatan
Menyelesaikan 3 tahun program diploma setelah menyelesaikan BT
Teknik
BT
Asisten perawat
Perawat Menyelesaikan program diploma tiga tahun
Pelamar harus memiliki gelar Brevet (kelas 9)
1-2 tahun pelatihan di sekolah keperawatan atau di rumah sakit
Pelamar harus memiliki gelar Brevest (kelas 9)
BT
BS
MS Menyelesaikan gelar master keperawatan
Memiliki gelar sarjana
Pelamar harus memiliki gelar SMA atau diploma keperawatan
Menyelesaikan 3-4 tahun pendidikan universitas dan meraih sarjana keperawatan atau yang setara
Lolos ujian penempatan
Menyelesaikan 3 tahun program diploma
Pelamar harus memiliki gelar Brevest (kelas 9)
Perawat profesional
Perawat
Asisten perawat
Tingkat profesi keperawatan berdasarkan Undang-udnang keperawatan pada saat ini (undang-undang 1979 yang terakhir diperbarui tahun 1982)
Tingkat profesi keperawatan berdasarkan Rancangan perbaikan undang-undang
Gambar 2 Tingkat profesi keperawatan berdasarkan undang-undang praktik keperawatan pada saat ini dan rancangan undang-undang
Dorongan penyetaraan standar internasional Temuan menunjukkan bahwa laporan,
rekomendasi, dan standar internasional memainkan peran yang signifikan dalam memicu
perkembangan rancangan undang-undang praktik keperawatan. Perumusan rancangan
undang-undang ini didorong oleh standar keperawatan WHO dan ICN, dan keinginan untuk
mencapai MDGs di tahun 2015 untuk meningkatkan pendidikan keperawatan dari tingkat teknik
ke tingkat universitas.
Perbedaan pendidikan antara sekolah-sekolah keperawatan Faktor tambahan yang
menunjukkan kebutuhan untuk memodifikasi undang-undang praktik keperawatan adalah
status pendidikan keperawatan di Lebanon. Seluruh peserta menyadari kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan dengan memperkuat kurikulum dan mendorong
akreditasi. Sangat sedikit sekolah keperawatan yang terakreditasi oleh Kementrian Pendidikan
yang berdampak pada ketidaksesuaian antara berbagai sekolah keperawatan. Penerimaan
siswa di sekolah keperawatan yang rendah berdampak pada kurangnya jumlah pemegang
gelar keperawatan untuk memenuhi permintaan pasar. Rumah sakit universitas biasanya
mempekerjakan lulusan mereka (pemegang BS) meningggalkan lulusan diploma/teknik di
lembaga-lembaga umum dimana mereka dibayar lebih sedikit.
Perbedaan dalam pelaksanaan tingkat keperawatan Para peserta memberikan pandangan
berbeda dimana beberapa mengungkapkan bahwa ada beberapa variasi antara lulusan sarjana
dan lulusan teknik/diploma keperawatan. Perbedaan dalam pelaksanaan ini, dipersulit dengan
kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga pendidikan berakibat pada berkurangnya
kualitas layanan keperawatan di negara tersebut.
“Keadaan kacau antara sekolah teknik (diploma) swasta, negeri dan universitas.”
– Seorang Pemegang kepentingan
Meski begitu, beberapa peserta merasa bahwa lulusan diploma lebih praktis dan dapat
berinteraksi dengan pasien sementara mempertimbangkan lulusan universitas yang lebih
bersifat akademis. Yang lain menyebutkan bahwa meskipun kualitas pendidikannya berbeda,
lulusan diploma memberikan pelayanan yang berkualitas, dan bahwa baik lulusan diploma
maupun sarjana menunjukkan kemampuan yang serupa. Beberapa peserta menyatakan bahwa
meskipun pendidikan diploma tinggi memiliki masa tempuh studi yang sama dengan di
universitas, kualitas dan penerimaannya berbeda. Ditekankan pula bahwa sistem pada saat ini
tidak adil bagi lulusan diploma dimana mereka dibayar hampir 50% kurang dari lulusan
universitas.
Hambatan
Kesulitan financial pada rumah sakit
Salah satu faktor yang menghambat kemajuan draf undang-undang ini adalah situasi
financial dan kesulitan yang dialami oleh rumah sakit. Rendahnya gaji yang diberikan kepada
perawat dikaitkan dengan rendahnya tariff berobat dan terlambatnya penggantian dana oleh
asuransi. Terlihat bahwa pasien biasanya membayar layanan dokter, layanan tes laboratorium,
biaya kamar dan peralatan medis, serta resep obat-obatan, namun, tidak ada biaya untuk
layanan perawat. Hal ini menjadikan para perawat tidak mendapat hak finansialnya sehingga
mereka mereka merasa tidak dihargai.
“Pada hari di mana pasien mulai membayar biaya perawatan pada tagihan mereka,
anda akan melihat perubahan yang besar pada profesi tersebut karena perawat
akan lebih dihargai” (Peneliti)
Responden mengindikasikan bahwa situasi finansial seperti ini, ditambah dengan
penggantian dana perawatan yang buruk, membuat rumah sakit bertambah sulit untuk
memberikan gaji yang lebih tinggi bagi perawat lulusan perguruan tinggi sebagaimana
diusulkan dalam draf undang-undang keperawatan.
Disparitas siswa dalam mengakses program keperawatan
Responden menyebutkan bahwa banyak daerah pedesaan di Lebanon yang
kekurangan universitas dan institusi teknik merupakan satu-satunya pilihan yang ada. Hal
tersebut dikuatkan dengan fakta bahwa institusi teknik lebih terjangkau daripada universitas
swasta. Terdapat juga perbedaan pada program akademik dan kompetensi antara daerah
perkotaan dan pedesaan di Lebanon. Dengan demikian, suatu undang-undang keperawatan
yang membatasi praktik keperawatan harus berasal dari lulusan universitas akan memperparah
kondisi kekurangan dan salah penyaluran perawat di Lebanon.
Konteks Politik
Responden melaporkan bahwa lingkungan politik memengaruhi proses pembuatan
keputusan dan memperlama penundaan perkembangan draf ini. Beberapa responden
mengungkapkan bahwa undang-undang ini belum menjadi prioritas utama pemerintah, karena
pemerintah lebih memperhatikan permasalahan yang lain. Responden juga menyampaikan
bahwa koordinasi antarkementerian kurang baik dan situasi politik yang tidak stabil
menghambat proses kebijakan menjadi terhambat. Hal ini setidaknya menjelaskan mengapa
draf undang-undang tersebut hingga 12 tahun belum menemukan solusi sejak diajukan ke
parlemen.
Lebih jauh lagi, disebutkan pula bahwa kepentingan personal memengaruhi proses
pembuatan kebijakan sehingga menjadi favoritism.
“Di bawahnya (Kementerian Kesehatan rezim sebelumnya), upaya kita berhasil
karena beberapa hal: penasehatnya menikahi seorang perawat … Saya datang
ke beliau dan berbicara secara langsung … dan akhirnya penasehat tersebut
meyakinkan Pak Menteri.” (Peneliti)
Sektarianisme, kepentingan politik, dan tekanan politik juga dipandang memiliki
pengaruh dalam pembuatan kebijakan dan kompromi terhadap transparansi dalam proses
pengambilan keputusan.
“…di Lebanon semuanya dipengaruhi oleh permasalahan politik dan sectarian
serta tidak ada yang berpikir mengenai kesehatan dan keselamatan warga dan
jika terjadi hal buruk mereka sendiri yang menanggungnya.” (Pembuat
kebijakan)
“Beberapa anggota parlemen setuju dengan konsep panitia bersama, namun
beberapa anggota parlemen lainnya menolak ketika sampai pada pembahaan
pengurus harian. Mereka menolak dikarenakan adanya favoritisme dan
kepentingan orang per orang” (Pembuat kebijakan)
Walaupun sektarianisme tidak muncul sebagai pemegang peran kunci dalam berbagai
kejadian, responden menyebutkan bahwa beberapa stakeholder (seperti sekolah kejuruan)
didominasi oleh sekte tertentu (seperti sekte Shiite) yang menambah tekanan politik pada
masalah tersebut.
Responden menjelaskan bagaimana kepentingan ekonomi diterjemahkan menjadi posisi
politik sehingga berakibat pada kepentingan pembuat kebijakan mendasari undang-undang ini.
Sebagai contoh, beberapa responden merasa bahwa salah satu alasan oposisi menolak draf
tersebut adalah karena beberapa rumah sakit dimiliki oleh politisi dan pembuat kebijakan, dan
beberapa sekolah kejuruan dimiliki oleh asosiasi religius dengan agenda mereka sendiri. Tidak
ada kelompok yang memiliki keinginan untuk mengesahkan undang-undang yang akan
meminta mereka melepaskan pengaruh atau penerimaan financial. Namun, sedikit di antara
responden menyatakan bahwa mereka memiliki minat dalam undang-undang tersebut.
“Anda bisa selalu menyalahkan politik tetapi saya ragu bahwa alasan di
baliknya hanyalah bahwa orang-orangtidak mengetahui bagaimana proses
tersebut” (Stakeholder)
Kecenderungan kekuasaan pada bidang kesehatan
Aspek lain berkaitan dengan perumusan draf undang-undang keperawatan yang
berpotensi menghambatnya adalah kesenjangan antara dokter dan perawat. Literatur
mengindikasikan bahwa di kebanyakan negara Arab profesi kesehatan didominasi oleh pria,
padahal wanita mendominasi profesi keperawatan dan kebidanan yang dipandang “orientasi
wanita” dan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi. Kesalahan tersebut mengakibatkan
adanya image yang kurang baik bagi profesi perawat [40]. Kecenderungan tersebut juga
tampak pada legislatif dan mayoritas anggota parlemen yang mempelajari undang-undang
keperawatan, termasuk presidennya, merupakan dokter pria. Sedangkan terkait dengan
dampak yang mungkin timbul dengan disahkannya draf ini, responden mengemukakan jawaban
yang bervariasi. Ada yang berpendapat bahwa undang-undang ini hanya akan membuat dokter
merasa terganggu dengan kewenangan dan pendapatannya.
Aktor
Berkaitan dengan draf keperawatan ini, posisi responden bervariasi dari mendukung
hingga tidak setuju (Gambar 3). Selanjutnya, dua kelas aktor muncul (pendukung dan oposisi)
dan mereka membuat jejaring di mana individu yang berbeda dan kelompok dijadikan satu
untuk mencapai tujuan tertentu. Menganalisis individu dan kelompok ini akan merefleksikan
fenomena pembuatan keputusan bersama dan menggunakan sumber daya untuk mencapai
tujuan [34]. Persepsi merujuk pada bagaimana permasalahn dikarakterisasi, pilihan-pilihan
dideskripsikan, dan masalah dikerangkakan [36]. Ada akhir ini, analisis stakeholder memberikan
panduan menganalisis aktor yang fokus pada persepsi tema yang menghubungkan beberapa
poin kontroversial.
Argumen yang mendukung draf setidaknya berdasarkan tiga faktor: pengaruh postif
pada profesi keperawatan, meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit, dan kemungkinan
ganti dengan ijazah BS.
Pengaruh draf undang-undang profesi perawat
Berkaitan dengan dampak terhadap profesi perawat, pendukung draf berpendapat
bahwa dengan memastikan kualifikasi perawat minimal lulusan universitas, maka akan lebih
dihargai. Para pendukung draf juga mengkritisi sistem pendidikan perawat di Lebanon dengan
menyebutkan perbedaan kompetensi antara lulusan sekolah kejuruan dengan universitas serta
ketidakefektifan ujian pemerintah di sekoah teknik. Semua itu menurut mereka sudah cukup
menjadikan ide kualifikasi menjadi penting untuk menstandarkan kompetensi dan evaluasi. Para
pendukung juga berpendapat bahwa dengan meningkatkan kualitas perawat, maka juga akan
meningkatkan kesembuhan pasien.
Di lain pihak, oposisi berpendapat bahwa kekurangan perawat disebakan karena
semakin banyak orang yang bermigrasi. Oposisi juga berpendapat bahwa undang-undang
tersebut akan mengurangi nilai dan status lulusan sekolah kejuruan yang akhirnya mengurangi
jumlah mereka.
Gambar 3 Para pemegang kepentingan dan posisi mereka berkaitan dengan rancangan undang-undang praktik keperawatan
PenentangPendukung
Persatuan rumah sakit swasta
Institut Pendidikan Teknik
Persatuan Perawat
Persatuan Dokter
Kementrian Kesehatan
Kementrian Pendidikan
“Kami menghadapi kekurangan perawat dan undang-undang baru ini akan
meningkatkannya. Tidak ada yang akan pergi ke sekolah kejuruan untuk menjadi
asisten perawat” (Stakeholder)
Responden yang lain merasa bahwa undang-undang ini tidak mengena pada inti
masalah, yaitu kekuarangan perawat, dan ada kebutuhan penelitian yang lebih relevan pada
masalah kekurangan perawat.
“Penelitian yang dibutuhkan adalah yang menginformasikan bagaimana
meningkatkan jumlah perawat (bagaimana memecahkan masalah kekurangan
perawat) tanpa harus mengubah dari TS ke BS. Ketika kita mempunyai lulusan
BS yang cukup maka kita bisa menghapuskan TS tetapi kita belum mencapai
tahap itu sekarang” (Pembuat kebijakan)
Pilihan lain berdasarkan pendapat oposisi termasuk meningkatkan kurikulum program
teknik, pelatihan siswa kejuruan, dan melakukan akreditasi universitas dan institusi teknik untuk
mencapai standardisasi pendidikan keperawatan.
Kemungkinan Implementasi Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ketika tiba masanya pelaksanaan draf undang-undang keperawatan tersebut, beberapa
pendukung draf merasa bahwa draf sangat mungkin diimplementasikan melalui
mengembangkan program transfer antara TS dan BS sebagai fase transisi, dan ketergantungan
pada Universitas Lebanon (universitas negeri bebas biaya) sebagai tempat di mana program
pendidikan tersebut ditawarkan dan juga menawarkan bantuan financial terhadap mahasiswa
yang akan masuk perguruan tinggi swasta,
Namun, oposisi menyampaikan beberapa hambatan dalam implementasi draf seperti
ketidakterjangkauan pendidikan di institusi swasta, kurangnya akses siswa di pedesaan menuju
ke Universitas Lebanon, dan kurangnya kapasitas perguruan tinggi tersebut untuk menampung
mahasiswa keperawatan yang cukup sebagai respon terhadap permintaan pasar. Dengan
demikian, mereka memprediksi bahwa draf undang-undang tersebut akan menurunkan tingkat
pendaftaran mahasiswa keperawatan dan memperparah kondisi kekurangan perawat.
Sedangkan institusi teknis di banyak daerah di Lebanon menyediakan pendidkan keperawatan
yang terjangkau baik dari segi biaya maupun lokasi.
“…institut teknik seharusnya tidak ditutup melainkan ditingkatkan kualitas
pendidikannyakarena keberadaannya sangat krusial terutama di daerah
pedesaan di mana tidak tersedia universitas dan di sana dibituhkan banyak
perawat” (Peneliti)
Berkaitan dengan pertimbangan biaya, para pendukung draf percaya bahwa pendidikan
tinggi akan memberikan manfaat bagi rumah sakit untuk menyesuaikan dengan standar
akreditasi. Kualitas layanan kesehatan yang lebih baik ditandai dengan perbaikan efisiensi,
meningkatkan layanan terhadap pasien dan meminimalisasi biaya. Beberapa pihak rumah sakit
berpendapat bahwa mereka tidak mampu membiayai peningkatan gaji perawat pada standar
yang dibutuhkan jika kualifikasinya setara level universitas karena kesulitan financial yang
dihadapi kini. Bahkan walaupun meningkatkan tingkat pendidikan akan meningkatkan kualitas
layanan kesehatan, namun juga akan meningkatkan gaji dan biaya pasien pula.
Para pendukung draf mengkritik oposisi dengan mengklaim bahwa sebagian besar
teknik institut cukup terbuka terhadap alasan-alasan politik dan bukannya berbasis kebutuhan,
dan bahwa oposisi terhadap draf didasarkan pada alasan finansial, karena mereka tidak ingin
gelar mereka dihapus dan menderita kehilangan pendapatan.
Proses
Bagian ini menyajikan proses perkembangan rancangan undang-undang praktik keperawatan
dan temuan-temuan dikategorikan ke dalam beberapa sub tema meliputi: identifikasi masalah,
perumusan, negosiasi, dan penggunaan bukti dalam kebijakan.
Identifikasi masalah
Rancangan undang-undang praktik keperawatan dibawa ke hadapan parlemen pada tahun
2000 dan telah mengalami penundaan selama sekitar 13 tahun. Tindakan pada rancangan
undang-undang praktik keperawatan kembali dimulai dengan pembentukan ONL pada tahun
2002, yang telah dibentuk sebagai reaksi terhadap kebutuhan perawat akan lembaga yang
terorganisasi untuk meningkatkan citra mereka dan memberi mereka suara. Oleh sebab itu,
ONL memutuskan untuk mengambil langkah pemeriksaan kembali terhadap aturan yang
mengatur praktik keperawatan di Lebanon.
Temuan-temuan mengungkapkan bahwa rancangan undang-undang praktik keperawatan di
Lebanon didorong oleh standar internasional ICN dan rekomendasi WHO berkaitan dengan
pengelolaan profesi keperawatan. Kekurangan perawat di Lebanon dan anggapan buruknya
kualitas pelayanan keperawatan juga berperan dalam mengenali hal tersebut sebagai masalah
dan memulai rancangan undang-undang keperawatan. Satu faktor yang membantu membawa
masalah ini dalam agenda para pembuat kebijakan dalah fakta bahwa istri menteri kesehatan
merupakan seorang perawat dan ONL mampu untuk mempengaruhinya untuk meloloskan
rancangan undang-undang keperawatan ini.
Perumusan
Salah satu peserta yang terlibat dalam tahap perkembangan rancangan undang-undang
keperawatan menyebutkan bahwa ONL mengundang perwakilan dari sekolah keperawatan dari
universitas-universitas terkemuka di Lebanon untuk membantu mempersiapkan rancangan
Undang-undang Praktik Keperawatan. Seorang perwakilan dari WHO juga hadir untuk
memastikan bahwa rancangan undang-undang yang baru sejalan dengan dan sesuai standar
pelayanan WHO. Kelompok-kelompok berbeda di dalam ONL dibentuk untuk mengerjakan
kompetensi, kode etik dan program transfer dalam rancangan undang-undang keperawatan.
Untuk menghargai peran penelitian dalam perkembangan isi rancangan undang-undang
keperawatan ini, para peserta mengutip dari beberapa sumber termasuk laporan internasional
(WHO, ICN, dan Bank Dunia) dan informasi dari ONL. Di samping fakta bahwa banyak yang
mengatakan bahwa ada penggunaan bukti yang buruk, beberapa peserta bersikeras bahwa
rancangan unxdang-undang keperawatan berdasarkan pada bukti, khususnya karena
rancangan tersebut diprakarsai oleh para profesional yang mengerti pentingnya penelitian
dalam proses pembuatan kebijakan.
Meski begitu, bukti-bukti lokal pada umumnya terbatas pada angka-angka dan informasi
statistis dasar, dan beberapa peserta menunukkan jenis-jenis data khusus yang hilang.
“Kami memiliki data mengenai jumlah perawat yang lulus tapi kami tidak punya informasi dan
penelitian mengenai karir dan prestasi mereka.” – Seorang Pembuat kebijakan
Beberapa peserta menyarankan untuk memanfaatkan kontak pribadi di tengah-tengah
tidak adanya sumber yang terpercaya untuk memperoleh ifnormasi yang diperlukan sementara
mempertanyakan validitasnya.
Meskipun penelitian lokal yang akurat terbatas, beberapa menyatakan bahwa laporan
internasional tidak seharusnya dipertimbangkan sebagai bukti yang cukup karena tidak spesifik
dalam konteks Lebanon. Penentang rancangan ini yakin bahwa, meskipun standar internasional
utnuk keperawatan penting, pemeriksaan profesi ini dalam konteks lokal harus dilakukan
dengan pertimbangan yang setara.
Negosiasi
Setelah rancangan akhir selesai dipersiapkan, rancangan tersebut diserahkan pada
MOPH untuk revisi dan persetujuan. Pertemuan diadakan di MOPH dimana para pemegnag
kepentingan utama diundang untuk memperoleh informasi detail dan penjelasan tentang
rancangan dan memberikan tanggapan mereka terhadap rancangan tersebut. Mayoritas
tanggapan mereka positif, namun perwakilan dari Persatuan Rumah Sakit Swasta dan
Pendidikan Teknik dan vokasional mengungkapkan berbagai keberatan berkaitan dengan
undang-undang tersebut. Dalam pertemuan ini, rintangan-rintangan dalam pernerapan
disuarakan namun tidak ditujukan secara khusus pada pihak tertentu. Untuk menghormati
sirkulasi dokumen dan informasi yang berkaitan dengan draft, beberapa peserta menyarankan
untuk tidak diberikan kepada semua pihak.
Kekurangan bukti penelitian untuk mendukung rancangan undang-undang keperawatan
tersebut disebutkan sebagai salah satu alasan yang membuta komite hukum tidak lagi
mengerjakan draft tersebut.
“Tidak ada bukti yang diberikan oleh Persatuan Perawat atau Kementrian Kesehatan.
Mereka hanya menjawab secara verbal atas apa yang dipresentasikan oleh direktorat
pendidikan teknik dan vokasional.” – Seorang pembuat kebijakan.
Konflik tersebut terus dimunculkan di pertemuan komite perlemen dan pada akhirnya
melumpuhkan pekerjaan mereka dan menunda perkembangan undang-undang ini.
Penggunaan bukti dalam kebijakan
Seperti peran penelitian dalam memberikan informasi bagi pembuatan kebijakan di
Lebanon, beberapa peserta mengatakan bahwa bukti memiliki pengaruh minimal karena
kekuatan yang sangat besar dari kepentingan pribadi dan politik.
“Bergantung pada jendela kesempatan.” – Seorang Peneliti
“Di sini, politik menghalangi penggunaan ilmu pengetahuan.” – Seorang Pembuat
kebijakan
Banyak peserta mempertimbangkan bahwa peenlitian yang berkaiatan dengan kebijakan
di Lebanon diperlukan sebagai tambahan dalam dialog antara pembuat kebijakan dan
pemegang kepentingan untuk berunding mengenai masalah dan pemecahan yang mungkin
dilakukan.
“Kita tidak bisa terus-menerus mengambil keputusan dengan sembarangan.” – Seorang
Pemegang Kepentingan
Faktor lain yang menghalangi penggunaan bukti seperti yang disebutkan oleh peserta termasuk
tingkat pergantian menteri dan pembuat kebijakan yang tinggi yang menyebabkan komitmen
yang buruk untuk perencanaan strategis jangka panjang, dan keterbatasan dana penelitian
yang disediakan oleh pemerintah, berakibat pada ketergantungan terhadap dukungan finansial
internasional. Gambar 4 menjelaskan isi, pelaku, proses dan konteks berkaitan dengan
perumusan rancangan undang-undang keperawatan.
Gambar 4 Isi, Aktor/Pelaku, Proses, dan Konteks dalam perumusan draf undang-undang keperawatan [35]
Konteks
Pelaku
Pembuat kebijakan, parlemen
Kementrian Kesehatan Masyarakat dan Kementrian Pendidikan
Persatuan perawat
Universitas dan Institut teknik
Rumah sakit swasta
Faktor pendukung: Keadaan keperawatan di Lebanon Dorongan untuk penyetaraan standar
internasional Perbedaan pendidikan di antara sekolah-
sekolah keperawatan Perbedaan cara kerja tingkat perawat
yang berbedaHambatan:
Kesulitan finansial rumah sakit Perbedaan akses siswa ke pendidikan
keperawatan Konteks politis Ketimpangan kekuasaan di bidang
kedokteran
Rancangan yang diajukan
Peningkatan level pendidikan keperawatan dari level teknik ke universitas
Membatasi pendaftaran praktik keperawatan untuk pemegang gelar BS
Mengandalkan pada laporan internasional dan bukti lokal yang terbatas
Isi
Proses
Rancangan yang diajukan Kekuranagan perawat di Lebanon, standar
ICN, dan rekomnedasi WHO memicu upaya untuk meodifikasi undang-undang keperawatan
Perumusan draft UU oleh persatuan perawat dan perwakilan WHO berdasarkan laporan internasional dan bukti lokal yang terbatas
Diskusi draft UU dengan pemegang kepentingan
Diskusi draft UU dalam tiga komite parlemen menghasilkan konflik dan kontroversi
Penundaan pengerjaan rancangan UU oleh komite
Discussion
Temuan penelitian ini mengkaji kerumitan proses pembuatan kebijakan dan faktor-faktor
yang memengaruhinya. Analisis kebijakan ini mengungkapkan bahwa pengembangan
kebijakan yang sukses harus mempertimbangakn hambatan-hambatan dalam implementasi
pada fase formulasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa formulasi draf undang-undang
keperawatan dilakukan dilakukan dengan basis permasalahan yang kurang jelas, yaitu faktor-
faktor yang mendasarinya. Namun, perumusan sistem kesehatan dan permasalahan kebijakan
membutuhkan pengkajian pada masalah yang mendasarinya, pilihan-pilihan aksi, dan
permasalahan implementasi [41]. Ketidakpastian dalam perumusan masalah dan solusi yang
relevan merupakan akibat dari kesenjangan pengetahuan. Kesenjangan tersebut meliputi data
lokal pada pemenuhan kebutuhan perawat sekarang dan yang akan datang, akses terhadap
pendidikan keperawatan, dan banyak lagi yang lainnya. Hal ini menunjukkan kebutuhan bukti
spesifik berdasarkan konteks.
Penelitian ini juga mengungkap ketiadaan pendekatan pengambilan keputusan yang
terstruktur yang menggunakan temuan penelitian. Menariknya adalah bahwa terlepas dari
adanya kajian mengenai keperawatan di Lebanon yang memberikan informasi perkembangan
draf undang-undang keperawatan, temuan-temuan tersebut tidak digunakan dalam proses
pengambilan keputusan. Hal ini mengakibatkan kelemahan dalam menerjemahkan
pengetahuan dan tidaknya komunikasi yang efektif antara peneliti dan pembuat kebijakan.
Dapat diamati bahwa pembuat kebijakan jarang merujuk bukti-bukti yang dihasilkan di institusi
akademik dan pusat penelitian untuk menunjukkan kebutuhan pengetahuan mereka. Temuan
penelitian mengungkapkan kebutuhan untuk menunjukkan hubungan kelembagaan antara
pembuat kebijakan dengan peneliti. Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa hambatan
dalam menggunakan bukti penelitian dalam pembuatan kebijakan di Lebanon di antaranya
adalah pengaruh politik, kepentingan pribadi, kurangnya pendanaan penelitian, dan komitmen
yang buruk terhadap perencanaan strategi jangka panjang.
Berbagai hambatan yang terjadi dalam proses pengajuan draf undang-undang
keperawatan termasuk kesulitan finansial rumah sakit, kurangnya akses siswa terhadap
pendidikan keperawatan, dan kecenderungan otoritas tertentu di lingkungan medis. Hal ini
menyebabkan resistansi terhadap berbagai stakeholder yang ada dalam penyusunan draf
undang-undang keperawatan. Stakeholder diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapat
mereka mengenai berbagai hambatan dalam penyusunan draf tetapi hambatan yang
disuarakan tidak pernah dipertimbangkan untuk diselesaikan.
Berkaitan dengan stakeholder, mereka memiliki peran dan pengaruh masing-masing.
Para pendukung draf di antaranya adalah ONL, MOPH, Menteri Pendidikan, dan Dewan Dokter
yang membangun jejaring yang disebut “negara” dan asosiasi kesehatan. Kekuatan kelompok
ini dalam jejaring telah berubah dari berwujud menjadi tak berwujud dalam hal politik [36].
Sumber daya yang berwujud adalah kekuasaan finansial dari MOPH dan asuransi dari separuh
penduduk Lebanon serta HPH. Sedangkan sumber daya yang tidak berwujud di antaranya
adalah legitimasi dan visibility dari kelompok-kelompok tersebut.
Kekuatan dan Batasan
Penelitian ini memiliki lima kekuatan. Pertama, terhadap pengetahuan kami. Penelitian
ini merupakan penelitian pertama di Mediterania Timur yang secara dekat menginvestigasi
proses pembuatan kebijakan yang belum diratifikasi. Kedua, kerangka kerja segitiga kebijakan,
dalam kombinasinya dengan kerangka analisis stakeholder, membantu memberikan
pemahaman yang menyeluruh terhadap draf undang-undang keperawatan dengan
mengidentifikasi konten dan tujuan, aktor yang terlibat, proses perumusan, dan konteks
pengembangannya. Letiga, kami mewawancarai informan kunci yang terlibat dalam
pengembangan draf. Keempat, data yang dianalisis menggunakan proses triangulasi dengan
dua reviewer independen. Kelima, diskusi panel dilaksanakan setelah wawancara guna
memvalidasi temuan.
Penelitian ini juga memiliki batasan, di antaranya adalah bias temporal dan dalam
proses mengingat. Responden bisa jadi sulit mengingat kejadian yang telah lampau, oleh
karena itu diskusi panel dilakukan untuk memvalidasi temuan. Kedua, penelitian ini berkaitan
dengan permasalahan yang sensitive sehingga sulit untuk mendapatkan responden yang
bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Untuk memecahkan masalah ini, peneliti dengan hati-
hati menjelaskan pentingnya studi kasus ini. Batasan ketiga berkaitan dengan posisi peneliti.
Peneliti dapat dikategorikan sebagai “orang dalam” di pembuatan kebijakan sehingga
memungkinkan terjadi temuan yang bias, namun, kolaboran peneliti saling menjaga agar
temuan data divalidasi dengan baik. Keempat, agenda riset yang memungkinkan terjadi bias
interpretasi data, namun, agenda riset tidak dibuat oleh peneliti melainkan dibentuk sebagai
respon terhadap pembuat kebijakan sehingga bukan agenda personal peneliti. Kelima,
kerangka kerja penelitian yang dilaksanakan merupakan adaptasi dari dunia barat sedangkan
setting studi kasus di timur tengah. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi
data. Keenam, sejak draf diajukan hingga, dipastikan ada berbagai pemutakhiran data sehingga
harus selalu dilakukan pemutakhiran data.
Implikasi pada Kebijakan dan Penelitian
Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada tahap-tahap tertentu dalam mengubah
kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah. Tahapan tersebut termasuk melakukan
standardisasi program pendidikan keperawatan. Penelitian ini menguak hambatan-hambatan
dalam proses penyusunan draf undang-undang keperawatan dan hambatan-hambatan
mengenai penggunaan bukti dalam pengambilan keputusan.
Beberapa temuan menunjukkan adanya resiko dalam penggunaan rekomendasi
internasional tanpa melibatkan stakeholder dan tanpa mengakuntansi faktor-faktor kontekstual
dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Temuan penelitian diinterpretasi dalam
konteks lingkungan politik Lebanon dan permainan kekuatan di antara stakeholder dengan
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kesamaan.
Simpulan
Temuan penelitian mengungkapkan kerumitan hakikat pembuatan kebijakan, faktor-
faktor yang memengaruhinya, dan pendekatan tidak terstruktur dalam pengambilan keputusan.
Studi kasus analisis kebijakan ini mengungkapkan hambatan-hambatan dala pengembanagan
dan adopsi draf undang-undang keperawatan dengan menggunakan bukti dalam pembuatan
kebijakan. Temuan penelitian juga membuka resiko yang terlibat dalam menggunakan
rekomendasi internasional tanpa melibatkan stakeholder dan tanpa menghitung faktor-faktor
kontekstual, hambatan-hambatan dalam pelaksanaan, dan penerapan dalam konteks lokal.
Analisis kebijakan ini menyajikan temuan yang berguna bagi pembuat kebijakan dan
stakeholder lainnya serta mampu merevisi draf undang-undang keperawatan untuk mencapai
alternatif yang efektif dan memungkinkan di Lebanon. Temuan penelitian ini mejadi penting
setelah ONL meningkatkan upaya dalam menyusun kebijakan publik. Ditambah lagi, ONL
bekerja sama dengan organisasi lain seperti MOPH, MoE, dan Kementerian Ketenagakerjaan
memperhatikan masalah tenaga keperawatan dan kebijakan kesehatan lainnya. Temuan
penelitian ini relevan dengan konteks Lebanon dan regional di mana pembuat kebijakan dan
stakeholder lainnya dapat mengambil manfaat dari temuan tersebut dalam menyusun draf
undang-undang, sedangkan dalam konteks global, organisasi-organisasi internasional dapat
mempertimbangkan temuan studi lanjut ini ketika mengembangkan panduan dan rekomendasi.