terapi cairan pada hipovolemi
DESCRIPTION
terapi cairan pada hipovolemiTRANSCRIPT
Journal Review
Dampak Terapi Cairan Terhadap Mikrosirkulasi dan Oksigenasi
Jaringan pada Pasien Hipovolemi
Oleh :
Hana Amatillah
G99122054
Pembimbing : Mulyo Hadi Sudjito, dr., Sp.An, KAN
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
JOURNAL REVIEW:
Intensive Care Med:
Dampak Terapi Cairan Terhadap Mikrosirkulasi dan Oksigenasi Jaringan pada
Pasien Hipovolemi
Joachim Boldta) dan Can Ince b)
a) Department of Anesthesiology and Intensive Care Medicine, Klinikum der Stadt Ludwigshafen, Germany
b) Department of Intensive Care, Erasmus MC University Hospital, The Netherlands
Abstrak
Latar Belakang: Strategi penggatian cairan yang optimal bertujuan untuk
mengembalikan hemodinamika sistemik khususnya memperbaiki perfusi organ dan
mikrosirkulasi sehingga diperoleh oksigenasi jaringan yang adekuat. Tinjauan ini
menjelaskan patofisiologi dasar pada hipovolemia, mikrosirkulasi, dan oksigenasi
jaringan serta menjabarkan efek substitusi plasma terhadap mikroperfusi dan
oksigenasi terhadap kondisi klinis.
Metode: Tinjauan pustaka mengenai efek terapi cairan terhadap mikrosirkulasi dan
oksigenasi jaringan menggunakan pencarian PubMed sejak 1988 sampai 2009.
Hasil: Kami mengidentifikasi 14 artikel yang berkaitan dengan perbedaan efek
kristaloid dan koloid terhadap perfusi organ, mikrosirkulasi, dan oksigenasi jaringan
pada pasien. Hasil yang didapat divergen, namun terdapat tren umum bahwa koloid
lebih superior dibanding kristaloid dalam meningkatkan perfusi organ,
mikrosirkulasi, dan oksigenasi jaringan. Karena terbatasnya jumlah penelitian dan
perbedaan kondisi penelitian, metaanalisis mengenai efek strategi penggantian cairan
tidak dapat dilakukan.
Kesimpulan: Perbaikan mikrosirkulasi dengan penggantian cairan tampaknya
menjanjikan untuk menangani pasien dengan kondisi kritis. Pengetahuan yang
diperoleh dari eksperimen terhadap hewan uji haruslah dapat diterjemahkan ke dalam
kondisi klinis sehingga regimen cairan yang optimal untuk mengoreksi hipovolemia
dapat ditentukan. Teknik terbaru dalam memonitor mikrosirkulasi dapat digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut, walaupun validasi terhadap kondisi klinis tetap harus
dilakukan. Perbaikan mikroperfusi dan oksigenasi jaringan oleh terapi cairan terhadap
kondisi pasien juga harus dibuktikan oleh penelitian lebih lanjut.
Pendahuluan
Defisit volume sirkulasi dan mikrosirkulasi dapat terjadi pada pembedahan,
trauma, luka bakar, dan pasien dengan terapi intensif. Ketika perdarahan
menyebabkan defisit volume absolut, vasodilatasi yang dimediasi oleh substansi
vasoaktif justru menyebabkan defisit volume relatif. Hipovolemi juga dapat terjadi
sekunder akibat kehilangan cairan yang nyata oleh kerusakan berier endotel yang
disebabkan reaksi inflamasi, sehingga menyebabkan kebocoran kapiler dan
perpindahan cairan intravaskuler ke ruang interstisial. Penggantian volume
intravaskuler dapat dikatakan sebagai pondasi terapi pada kondisi kritis. Namun
hingga saat ini, diagnosis, pemilihan cairan, dan identifikasi target hemodinamik
masih kontroversial. Salah satu alasannya adalah bahwa secara tradisional resusitasi
cairan ditargetkan untuk mengoreksi makrosirkulasi, selain itu dampak fisologis dari
cairan resusitasi pada level mikrosirkulasi masih belum diketahui pasti. Tujuan utama
dari resusitasi cairan yang optimal adalah untuk mencapai perfusi adekuat tanpa
mengesampingkan transpor oksigen oleh hemodilusi yeng berlebihan. Sampai saat ini
belum jelas apakah perfusi yang adekuat dapat dicapai dengan mengoreksi
hipovolemia saja ataukah jenis cairan pengganti juga memiliki peran penting. Strategi
penggantian cairan yang ideal seharusnya tidak hanya mengoreksi hipovolemi dan
mengembalikan kestabilan hemodinamika saja, tetapi juga memperbaiki perfusi
mikroseluler dan oksigenasi jaringan.
Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk memberikan pertimbangan berdasarkan
penelitian terbaru mengenai efek terapi cairan terhadap mikrosirkulasi dan transpor
oksigen pada sel parenkim. Tinjauan pustaka ini akan lebih fokus membahas efek
dari berbagai cairan plasma pengganti yang sering digunakan terhadap perfusi organ,
mikrosirkulasi, dan oksigenasi jaringan.
Patofosiologi Hipovolemi Mikrosirkulasi
Hipovolemi menyebabkan perfusi yang tidak adekuat pada mikrosirkulasi
sehingga menyebabkan ketersediaan oksigen tidak mencukupi kebutuhan fosforilasi
oksidatif mitokondria. Weil dan Shubin mengklasifikasikan syok menjadi 4 kategori
utama: syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif, dan syok distributif.
Syok hipovolemik merupakan kondisi dimana terjadi penurunan volume sirkulasi.
Syok kardiogenik terjadi ketika jantung kehilangan kontraktilitasnya dan diikuti
dengan peningkatan tekanan dan volume pengisian. Syok obstruktif terjadi sebagai
akibat dari emboli pulmoner masif, tension pneumothoraks, atau tamponade
pericardial yang menyebabkan gangguan pengisian diastol dan peningkatan afterload.
Hipovolemi yang disebabkan syok distributif memiliki heterogenitas yang tinggi dan
bertarget pada mikrosirkulasi. Pendeteksiannya dengan mengukur hemodinamika
sistemik cukup rumit karena pirau mikrosirkulasi menyebabkan perubahan
mikrosirkulasi dan hipoksia dengan hemodinamik sistemik normal dan derivat
oksigen yang bervariasi. Syok distributif melibatkan defek di distribusi mikrovaskuler
yang menyebabkan penghantaran oksigen regional tidak adekuat. Syok distributif
terutama terjadi pada kondisi inflamasi atau infeksi seperti sepsis. Mediator-meditor
inflamasi dan hipoksemia menyebabkan distribusi aliran darah abnormal dan pirau
sehingga terjadi ketidakcocokan antara penghantaran oksigen dan kebutuhan oksigen
sel parenkim, yang kemudian menyebabkan hipoksemia heterogen dan disfungsi
organ.
Resusitasi cairan dapat menyebabkan perbaikan nyata pada sirkulasi sistemik
namun tidak pada oksigenasi regional, mikrosirkulasi, serta perfusi. Penelitian pada
hewan uji menunjukkan bahwa resusitasi cairan dapat memperbaiki aliran darah pada
usus dan kedua ginjal, namun membiarkan area lain dalam kondisi hipoksemia. Hal
ini menjadi penting karena penelitian klinik terbaru dalam memonitor mikrosirkulasi
menunjukkan adanya underresucitation meskipun variabel hemodinamik sistemik,
dan berhubungan dengan hasil efek samping pasien.
Hasil klinis dari sirkulasi yang adekuat ditentukan oleh berbagai komponen
mikrosirkulasi, diantaranya: sel darah merah, sel darah putih, sel endotel, dan sel otot
polos. Seluruhnya harus berfungsi secara harmoni untuk memastikan transpor
oksigen yang adekuat ke jaringan. Fungsi dari masing-masing sistem seluler dan
subseluler ini dipengaruhi oleh hipovolemia.
Pengaruh hipovolemi terhadap mikrosirkulasi termasuk disfungsi dari jalur
transduksi endotel oleh mediator-mediator inflamasi dan spesies oksigen reaktif,
perburukan fungsi sawar endotel, perubahan fungsi sel darah merah, dan peningkatan
adesi dan aktivasi leukosit. Salah satu maupun seluruh perubahan ini dapat berperan
bersama-sama dalam hilangnya densitas kapiler fungsional akibat abnormalitas
heterogen pada distribusi darah di jaringan mikrosirkulasi, peningkatan jarak difusi
oksigen dari lumen perfusi intrakapiler ke jaringan, hipoksemia jaringan, dan pada
akhirnya disfungsi organ.
Pemberian cairan untuk mengoreksi hipovolemia dapat memodulasi fungsi
mikrosirkulasi melalui berbagai mekanisme. Mekanisme terpenting adalah melalui
peningkatan aliran dengan memperbesar pengisian vaskuler, sehingga menghasilkan
tekanan paksa yang mendorong perfusi mikrosirkulasi. Cairan juga memodifikasi
hemoreologi dari darah dengan menurunkan viskositas, yang menambah dorongan
aliran darah. Terdapat perbedaan pengaruh jenis cairan terhadap vaskularisasi darah
tergantung dari komposisinya, mikrosirkulasi pun dapat diperbaiki atau malah
terganggu akibat pengaruh ini. Hemodilusi yang berlebihan dapat menyebabkan pirau
pada mikrosirkulasi dan merusak oksigenasi jaringan regional. Pengaruh ini dapat
berbeda tergantung sistem organnya.
Keseimbangan asam-basa telah diketahui dipengaruhi oleh pemberian cairan.
Perubahan status asam basa dapat mengganggu fungsi organ, misalnya ginjal. Cairan
saline tampaknya memiliki efek paling negatif terhadap mikrosirkulasi. Pemberian
infus saline dalam jumlah besar dapat meningkatkan konsentrasi klorida plasma dan
menyebabkan reduksi pada perbedaan ion kuat, sehinggat terjadi peningkatan ion
hidrogen bebas. Pengaruh ini dapat dicegah dengan menggunakan kristaloid yang
lebih seimbang (mirip cairan plasma).
Pelepasan mediator-mediator inflamasi sekunder oleh hipovolemia adalah
mekanisme penting lainnya yang berkontribusi pada disfungsi mikrosirkulasi. Srategi
penggantian volume cairan dapat memodulasi aktivasi sitokin, pembentukan spesies
oksigen reaktif, dan adesi leukosit pada endotel mikrosirkulasi. Cairan saline
nampaknya merupakan cairan yang paling pro-inflamasi, sementara beberapa koloid
(terutama yang larut dalam larutan seimbang) dapat lebih bermanfaat dalam
mengontrol proses inflamasi. Penelitian menggunakan mikroskopi intravital telah
membuktikan hal ini dengan memperlihatkan gambaran pengaruh perbedaan cairan
terhadap adesi leukosit pada permukaan organ mikrovaskuler. Dalam konteks ini
koloid menunjukkan manfaat yang lebih baik pada mikrosirkulasi dibanding
resusitasi saline. Penggunaan kristaloid sebagai pengganti volume cairan
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan kebocoran vaskuler sebagai akibat
pergesaran cairan ke ruang interstisial. Pengaruh negatifnya terhadap jalur transpor
oksigen terjadi sebagai hasil dari peningkatan jarak tempuh difusi dan buruknya
kelarutan oksigen pada larutan encer yang menyebabkan ketersediaan oksigen
berkurang dan gangguan respirasi seluler.
Glikokaliks merupakan suatu struktur serupa gel yang menghubungkan lumen
intrakapiler dengan sel-sel endotel. Disfungsi endotel dan perburukan mikrosirkulasi
akibat hipovolemi dan jejas reperfusi dapat menyebabkan hilangnya gikokaliks
endotel. Hilangnya sawar ini dapat menyebabkan adesi leukosit dan hilangnya fungsi
sawar endotel. Hal ini dapat menyebabkan perubahan hukum cairan starling dan
selanjutnya menyebabkan udem. Hilangnya kompartemen supraseluler mikrosirkulasi
ini mungkin dapat menjadi alasan rasional penting dalam penggunaan koloid. Di
antara berbagai koloid, starches menunjukkan pengaruh proteksi sawar glikokaliks
yang paling baik. Modifikasi-modifikasi pada aspek farmakologis dan molekuler
koloid dan pelarutnya dapat menghasilkan perlindungan tambahan pada glikokalis
dan tentunya pada mikrosirkulasi.
.