terakreditasi peringkat 2 no : 21/e/kpt/2018

76

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018
Page 2: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

Vol. 38 No. 2, Agustus 2020Jurnal Penelitian Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah di bidang anatomi, fisik mekanik, teknologi serat, komposit, biodeteriorasi dan pengawetan bahan berlignoselulosa, teknologi pengeringan hasil hutan, penggergajian dan pemesinan kayu, pengolahan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pengolahan kimia dan energi hasil hutan, ilmu kayu dan teknologi hasil hutan, keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Jurnal ini sudah diakreditasi oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan peringkat dua (Sinta 2) sejak tahun 2016 sampai 2020 sebagai jurnal ilmiah (Akreditasi No. 21/E/KPT/2018). Jurnal Penelitian Hasil Hutan dipublikasikan pertama pada tahun 1984, terbit empat nomor dalam satu volume (Maret, Juni, September, Desember). Mulai volume 36 tahun 2018, Jurnal Penelitian Hasil Hutan terbit tiga nomor dalam satu volume (Maret, Juli, November).

Journal of Forest Products Research is a scientific publication reporting research findings in the field of anatomy, physical and mechanical, fiber technology, composite, biodeterioration and preservation of lignocellulosic materials, forest products drying technology, wood sawing and machining, wood and non wood forest products processing, chemical and forest products energy processing, forest engineering and wood and non wood forest products harvesting. This journal has been accredited by The Ministry of Research, Technology and Higher Education as second grade scientific journal (Sinta 2) since 2016 to 2020 (Accreditation Number 21/E/KPT/2018). Journal of Forest Products Research was first published in 1984 and issued four numbers in one volume (March, June, September, December). Since 2018, volume 36, Journal of Forest Products Research publishes three numbers in one volume (March, July, November).

Pelindung (Condescendent) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil HutanDewan Redaksi (Editorial Boards) Ketua (Editor in chief ) : Prof. (R). Dr. Gustan Pari (P3HH-Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan)Anggota (Members) : 1. Prof. (R). Dulsalam (P3HH-Pemanenan Hasil Hutan Kayu) 2. Prof. (R). Dr. Adi Santoso (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan dan Bukan Kayu) 3. Prof. (R). Dr. Djarwanto (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan dan Bukan Kayu) 4. Prof. Dr. Lina Karlina Sari (IPB-Sifat Fisik Mekanik Kayu) 5. Ir. Jamal Balfas, M.Sc (P3HH-Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan Lainnya) 6. Dr. Krisdianto (P3HH-Ilmu Kayu dan Teknologi Hasil Hutan) 7. Prof (R) Dr. Ir. I. M. Sulastiningsih (P3HH-Komposit Lignoselulosa) 8. Dr. Ratih Damayanti (P3HH-Anatomi Tumbuhan) 9. Dr. Saptadi Darmawan (P3HH-Ilmu Kayu dan Teknologi Hasil Hutan) 10. Dr. Sukadaryati (P3HH-Keteknikan dan Pemanenan Hutan) 11. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si (P3HH-Ilmu Kayu dan Teknologi Hasil Hutan) 12. Dr. Wahyu Dwianto (LIPI-Biokomposit) 13. Dr. Ganis Lukmandaru (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 14. Dr. Andi Detti Yunianti (UNHAS-Struktur dan Kualitas Kayu) 15. Dr. Tati Herlina (UNPAD-Kimia) 16. Dr. Yuni Krisyuningsih Krisnandi (UI- Kimia) 17. Dr. Ragil Widyorini (UGM-Kima Kayu) 18. Dr. Anne Hadiyane (ITB-Hasil Hutan Bukan Kayu) 19. Dr. Syamsul Falah (IPB-Biofarmaka) 20. Dr. Moh Yani (IPB-Kimia dan Lingkungan) 21. Dr. Rita Kartikasari (IPB-Kimia Kayu)

Mitra Bestari (Peer Reviewers) : 1. Prof. (R). Dr. Subyakto (LIPI-Pengolahan Hasil Hutan) 2. Prof. (R). Dr. Sulaeman Yusuf (LIPI-Pengawetan Kayu) 3. Prof. Dr. Buchari (ITB-Pengolahan Kimia) 4. Prof. Dr. Yusuf Sudohadi (IPB-Biokomposit) 5. Prof. Dr. Sumi Hudiyono (UI-Biokimia) 6. Prof. Dr. Elias (IPB-Pemanenan Hasil Hutan) 7. Prof. Dr. T. A. Prayitno (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 8. Prof. Dr. Wasrin Syafii (IPB-Kimia Hasil Hutan) 9. Prof. Dr. Unang Supratman (UNPAD-Pengolahan Kimia) 10. Prof. Dr. Musrizal Muin (UNHAS-Teknologi Hasil Hutan) 11. Prof. Dr. Imam Wahyudi (IPB-Sifat dan Kualitas Kayu) 12. Prof. Dr. Armansyah Halomoan Tambunan (IPB-Teknik Mesin dan Biosistem) 13. Dr. Naresworo Nugroho (IPB-Keteknikan Kayu) 14. Dr. Wawan Hermawan (IPB-Rekayasa Mesin dan Biosistem) 15. Dr. Muhdi (USU-Pemanenan Hasil Hutan) 16. Dr. Juang Rata Matangaran (IPB-Pemanenan Hasil Hutan)Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat)Ketua (Chairman) : Dr. Wening Sri Wulandari, S.Hut., M.SiAnggota (Members) : 1. Aryani, S.Hut., M.Si 2. Deden Nurhayadi, S.Hut. 3. Sophia PujiastutiDiterbitkan oleh (Published by):Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan(Forest Products Research and Development Center)Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, IndonesiaTelepon (Phone) : (0251) 8633378Fax (Facsimile) : (0251) 8633413E-mail : [email protected]; [email protected] : www.forpro.orgJurnal elektronik (E-journal ) : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH Percetakan (Printing Company) : PT Penerbit IPB Press, Bogor

P-ISSN 0216 - 4329

TERAKREDITASI PERINGKAT 2NO: 21/E/KPT/2018

E-ISSN 2442 - 8957

Page 3: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

P-ISSN 0216–4329E-ISSN 2442–8957

TERAKREDITASI PERINGKAT 2NO : 21/E/KPT/2018

Vol. 38 No. 2, Juli 2020

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN(Ministry of Environment and Forestry)

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI(Research Development and Innovation Agency)

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN(Forest Products Research and Development Center)

BOGOR–INDONESIA

Page 4: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah mencermati naskah yang dimuat pada edisi Vol. 38 No. 2, Juli 2020:

1. Prof. Dr. Yusuf Sudohadi (Biokomposit - Fakultas Kehutanan, IPB)2. Dr. Muhdi (Pemanenan Hutan - Fakultas Kehutanan, USU)

Page 5: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

iii

P-ISSN 0216–4329E-ISSN 2442–8957

TERAKREDITASI PERINGKAT 2NO: 21/E/KPT/2018

Vol. 38 No. 2, Juli 2020

DAFTAR ISI (CONTENTS)

1. Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu

(The Influence of Drying on Color Changes, Thickness Shrinkages and Weight Loss of Four Bamboo Species)

Adik Bahanawan & Krisdianto .......................................................................................................... 69–80

2. Compatibility of Four Tropical Wood Species and Sago Stem to Cement and Properties of Mangium Cement Bonded Particleboard

(Kompatibilitas Empat Jenis Kayu Tropis dan Batang Sagu dengan Semen dan Sifat Papan Semen Kayu Mangium yang Dihasilkan )

Dede Hermawan, Ismail Budiman, Herman Siruru, Jessica Hendrik, & Gustan Pari .............. 81–90

3. Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol

(The Potency of Sea Pandanus (Pandanus tectorius) and Wheat Industries Waste in Cilegon as Raw Material for Bioethanol Synthesis )

AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin, Tuti Alawiyah, & Perliansyah ............................................................................................................. 91–104

4. Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Zero Waste and Environmentally Friendly Logging Trial on Natural Forestsin Central Kalimantan Province )Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati ..................................................................................................... 105–118

5. Physical and Chemical Properties of Local Honey from East Kalimantan (Sifat Fisis dan Kimia Madu Lokal Kalimantan Timur ) Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri ...................................................... 119–128

Page 6: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018
Page 7: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

v

P-ISSN 0216–4329E-ISSN 2442–8957 Vol. 38 No. 2, Juli 2020

Kata kunci yang digunakan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya

ABSTRAKUDC (OSDC) 630*847:812.111Adik Bahanawan (Pusat Penelitian Biomaterial, LIPI), Krisdianto (Sekretariat Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi)Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis BambuJ. Penelit. Has. Hut. Juli 2020, Vol. 38 No. 2, hlm. 69–80

Warna permukaan batang bambu berubah secara alami akibat kondisi di sekitarnya. Tulisan ini mempelajari perubahan warna permukaan bambu akibat pengeringan dalam ruangan (KU) dan dalam oven (KO). Perubahan warna empat jenis bambu yaitu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.), ater (Gigantochloa atter (Hassk) Kurz. ex. Munro), ampel kuning (Bambusa vulgaris var striata), dan wulung (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) dipelajari bersama dengan korelasinya terhadap kehilangan air. Pengukuran warna dilakukan menggunakan metode CIE-Lab sedangkan kehilangan air mengacu pada pengukuran susut tebal dan kehilangan berat selama KU dan KO. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kehilangan air dengan perubahan warna batang bambu. Kehilangan air bambu mayan, ater, dan wulung menunjukkan korelasi linier positif terhadap perubahan warna permukaan bambu, dimana semakin besar kehilangan air maka semakin besar pula nilai perubahan warnanya. Namun, pada bambu ampel kuning, semakin besar kehilangan air maka akan semakin kecil nilai perubahan warnanya (berkorelasi negatif). Hal ini disebabkan warna alami bambu ampel kuning pada kondisi segar tidak jauh berbeda dengan warna setelah pengeringan. Perlakuan pengeringan dalam ruangan, susut tebal terbesar adalah mayan = 46,03%; kehilangan berat terbesar adalah ampel kuning = 28,52%; dan perubahan warna (ΔE*) terbesar adalah ater = 15,51%. Perlakuan pengeringan dalam oven, susut tebal terbesar adalah mayan = 52,4%; kehilangan berat terbesar adalah ampel kuning = 31,19%; dan ΔE* terbesar adalah ater = 18,8%.Kata kunci: Bambu, kehilangan air, kehilangan berat, perubahan warna,

susut tebal

UDC (OSDC) 630*893:911Dede Hermawan, Jessica Hendrik (Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB), Ismail Budiman (Pusat Penelitian Biomaterial LIPI), Herman Siruru (Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Unpatti), & Gustan Pari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan)Kompatibilitas Empat Jenis Kayu Tropis dan Batang Sagu dengan Semen dan Sifat Papan Semen Kayu Mangium yang DihasilkanJ. Penelit. Has. Hut. Juli 2020, Vol. 38 No. 2, hlm. 81–90

Kualitas papan partikel semen tergantung dari kompatibilitas antara semen dengan partikel dari biomassa berlignoselulosanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kompatibilitas antara semen dengan partikel dari empat jenis kayu tropis yaitu kayu mangium (Acacia mangium Willd), jati (Tectona grandis Linn. F.), gelam (Melaleuca leucadendron (L.)), dadap (Erythrina variegata L.), dan batang sagu (Metroxylon sago Rottb.), sertamengetahuisifatfisisdanmekanisdaripapansemenkayumangiumyang dihasilkan dengan menambahkan magnesium klorida (MgCl2) sebagai akselerator pada berbagai kadar. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama berupa pengukuran suhu hidrasi dari campuran semen dengan partikel dari empat jenis kayu tropis, dan batang sagu, dengan menambahkan magnesium klorida (MgCl2) dengan variasi 0%; 2,5%; 5%, dan 7,5% berdasarkan berat semen. Dua jenis campuran dari penelitian tahap pertama digunakan pada tahap penelitian kedua, yaitu pembuatan papan semen. Pada tahap kedua ini dilakukan pembuatan papan semen dengan menggunakan perbandingan berat partikel mangium:semen:air sebesar 1:2,7:1.35. Papan dibuat dengan target kerapatan 1,2 g/cm3. Pengujian fisisdanmekanismengacupadastandarISO8335-1987.Hasilpenelitiansuhu hidrasi menunjukkan bahwa semua campuran diklasifikasikan kedalam kelas penghambatan rendah, kecuali untuk campuran semen dengan partikelmangiumtanpakatalisyangtermasukkedalamklasifikasiindekspenghambatan sedang. Sedangkan hasil pengujian yang dilakukan terhadap papan semen menunjukkan bahwa papan semen dari partikel kayu mangium dengan penambahan 5% MgCl2 memiliki nilai lebih baik jika dibandingkan dengan papan semen mangium tanpa penambahan katalis. Katakunci:Papansemen,pengujiansuhuhidrasi,sifatfisis,sifatmekanis

Page 8: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

vi

UDC (OSDC) 630*839.81Agus Malik Ibrahim, Agrin Febrian Pradana, Gagas Priyosakti, MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah(ProgramStudiKimia,Sekolah Tinggi Analis Kimia Cilegon)Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis BioetanolJ. Penelit. Has. Hut. Juli 2020, Vol. 38 No. 2, hlm. 91–104

Pemanfaatan bioetanol (E100) sebagai campuran bahan bakar minyak dipersyaratkan minimal sebanyak 20% terhadap kebutuhan total pada Januari 2025 seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015. Indonesia adalah negara yang memiliki banyak potensi bahan baku baru untuk pengembangan bioetanol sebagai energi terbarukan, salah satunya tanaman pandan laut (Pandanus tectorius) dan limbah industri pangan seperti industri gandum. Tanaman pandan laut banyak dijumpai di seluruh kepulauan Indonesia dan tersedia secara endemik, sedangkan limbah industri gandum tersedia di daerah industri seperti Provinsi Banten, yang selama ini belum termanfaatkan menjadi sumber bahan bakar nabati. Tujuan penelitian ini adalah mensintesis bioetanol dari daun pandan laut (Pandanus tectorius) dan limbah industri gandum. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan pengetahuan yang diperlukan dalam merencanakan pembuatan bioetanol. Tahapan penelitian dimulai dari proses preparasi bahan baku, uji proksimat, gelatinisasi dan likuifaksi, pra-sakarifikasi,fermentasi, destilasi dan analisis kuantitatif menggunakan instrumen. Hasil penelitian menunjukkan daun pandan laut memiliki potensi untuk sintesis bioetanoldenganjumlahrendemendanefisiensitertinggi(309mLdan0,62mL/g), sedangkan berdasarkan hasil analisis gas chromatography (GC), bioetanol yang memiliki kadar kemurnian tertinggi adalah dari limbah kulit ari biji gandum (bran) dengan kadar kemurnian 97,64%.Kata kunci: Biofuel, sumber daya alam, bran, pollard, Saccharomyces cerevisiae,

fermentasi

UDC (OSDC) 630*332.911Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati(Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan)Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan TengahJ. Penelit. Has. Hut. Juli 2020, Vol. 38 No. 2, hlm. 105–118

Selama lima tahun terakhir (2013–2017) terjadi kekurangan bahan baku kayu sebanyak ±23,2 juta m3/tahun sementara fakta di lapangan menunjukkan kegiatan pemanenan kayu masih boros dengan meninggalkan potensi limbah mencapai rata-rata 17% dari target jatah produksi tahunan sebesar 9,1 juta m3/tahun. Uji coba metode pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan (ZWL) ini merupakan pemantapan metode tree length logging. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi teknis terkaitdenganefisiensipemanfaatankayudanpotensi limbahkayu.Hasil uji coba menunjukkan bahwa metode pemanenan kayu berbasis ZWL dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu sebesar 9%, yaitu darirata-rata 82,9% menjadi rata-rata 91,9%, dan mengurangi potensi limbah pemanenan kayu Batang Bebas Cabang (BBC) dari rata-rata 12% (0,863 m3/pohon) menjadi 8,1% (0,418 m3/pohon). Selain itu, metode ZWL mampu menyelamatkan potensi limbah pemanenan dari Batang di Atas Cabang (BAC) antara 2,8–11,2% dengan rata-rata 6,4% (0,418 m3/pohon). Namun demikian, penerapan metode ZWL pada pemanenan kayu hutan alam secara ekologis tidak dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal yang mencapai 37,7% dibandingkan metode konvensional sebesar 38,8%. Potensi limbah pemanenan kayu baik BBC maupun BAC sebagian besar cacat (50,5–58,3%), sebagian masih baik (14,4–26,3%), sedangkan yang kondisinya pecah masih cukup tinggi (22,6–27,3%). Namun demikian, hingga saat ini, potensi limbah pemanenan kayu belum dimanfaatkan karena pertimbangan mahalnya pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), kegamangan penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019, dan belum terinformasikannya metode pemanenan kayu ZWL yang mampu meminimalisasir biaya pengeluaran limbah. Untuk mengurangi potensi limbah pemanenan kayu yang pecah dan rusaknya tegakan maka pihak manajemen perlu melakukan penyegaran teknik penebangan dan penyaradan untuk meningkatkan keterampilan operator chainsaw dan operator traktor sarad.Kata kunci: Pemanenan kayu, konvensional, zero waste, ramah lingkungan,

limbah pemanenan kayu

UDC (OSDC) 630*893:911Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri(Departemen Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur)Sifat Fisis dan Kimia Madu Lokal Kalimantan TimurJ. Penelit. Has. Hut. Juli 2020, Vol. 38 No. 2, hlm. 119–128

Sebagian besar produksi madu lokal di Kalimantan Timur dikelola secara tradisional sehingga kualitas madu, terutama secara fisik dankimia, tidak diketahui secara pasti. Analisis sifat fisis dan kimia madudapatmemberikanprofilkomposisiyanglengkapdanpetunjukberhargauntuk peningkatan kualitas dan produksi madu lokal Kalimantan Timur. Penelitian ini menganalisis dua madu lokal Kalimantan Timur dengan kombinasi metode gravimetri, volumetri, spektroskopi, spektrofotometri, dankromatografi.MaduAyangdihasilkanApis cerana berwarna kuning-jingga terang sementara madu B yang dihasilkan Apis dorsata berwarna kuning-jingga. Kedua madu memiliki kesegaran yang baik berdasarkan hasil uji Fiehe, masing-masing memiliki nilai intensitas warna berturut-turut 560±5,66 dan 947,5±27,58 mAu untuk madu A dan B. Analisis proksimat menunjukkan kadar air madu A dan B masing-masing 22,7 dan 25,8% b/b. Parameter analisis proksimat lain juga dilaporkan. Kadar fruktosa dan glukosa madu A adalah 30,65±2,35% b/b dan 30,08±0,58% b/b sementara madu B memberikan pola berbeda yakni fruktosa sebesar 28,06±1,04 dan glukosa yang lebih tinggi sebesar 32,74±1,13% b/b. Gula pereduksi dan gula total kedua sampel lebih tinggi dari 60% b/b dan kadar sukrosa madu A dan B adalah 2,8 dan 1,4% b/b yang menunjukkan tidak ada penambahan gula. Kadar vitamin C pada kedua madu sangat kecil sementara kadar fenolik madu A lebih rendah dari madu B. Madu B memiliki kadar Na, Ca, Fe and Zn lebih tinggi dari madu A. Penelitian ini melaporkan komposisi kimiawi madu lokal Kalimantan Timur secara lengkap dan sebagian komposisinya dapat memiliki nilai gizi yangsignifikan.Namun,peningkatankualitasmaduterkaitkadarairdangula pereduksi dibutuhkan untuk memenuhi SNI 8664:2018.Kata kunci: Warna, proksimat, karbohidrat, fenolik, vitamin C, mineral

Page 9: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

vii

P-ISSN 0216–4329E-ISSN 2442–8957 Vol. 38 No. 2, July 2020

Keywords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge

ABSTRACTUDC (OSDC) 630*847:812.111Adik Bahanawan (Research Center for Biomaterials - Indonesian Institute of Sciences), & Krisdianto (Research, Development and Innovation Agency)The Influence of Drying on Color Changes, Thickness Shrinkages and Weight Loss of Four Bamboo SpeciesJ. of Forest Products Research. July 2020, Vol. 38 No. 2, pp. 69–80

The surface color of bamboo stem changes naturally due to surrounding conditions. This paper studies the changes in bamboo surfaces color due to room temperature drying (KU) and oven drying (KO) at 60±2 °C. The color changes of four bamboo species: mayan (Gigantochloa robusta Kurz.), ater (Gigantochloa atter (Hassk) Kurz. Ex. Munro), ampel kuning (Bambusa vulgaris var. striata), and wulung (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) were studied together with their correlation to water loss. Color measurements were conducted based on CIE-Lab system, while water content related to weight loss and thickness shrinkage during KU and KO. The result showed that there was a close relationship between water loss and discolouration of bamboo culms. The water loss of mayan, ater, and wulung showed a positive linear correlation to change of bamboo surfaces color, where the higher water loss affect greater value of color change too. Oppositely, in ampel kuning, higher water loss, affect smaller color change value (negatively correlated). This was because the natural color of ampel kuning in fresh conditions is not much different from color after drying. KU treatments, biggest thickness shrinkage was mayan = 46.03%; biggest weight reduction was ampel kuning = 28.52%; and biggest color changes (ΔE*) was ater = 15.51%. KO treatments, biggest thickness shrinkage was mayan = 52.4%; biggest weight reduction was yellow ampel = 31.19%; and biggest color changes (ΔE*) was ater = 18.8%.Keywords: Bamboo, color changes, thickness shrinkage, water loss, weight loss

UDC (OSDC) 630*893:911Dede Hermawan, Jessica Hendrik (Department of Forest Product, Faculty of Forestry - Bogor Agricultural University), Ismail Budiman (Research Center for Biomaterials - Indonesian Institute of Sciences), Herman Siruru (Pattimura University), & Gustan Pari (Forest Product Research and Development Center)Compatibility of Four Tropical Wood Species and Sago Stem to Cement and Properties of Mangium Cement Bonded ParticleboardJ. of Forest Products Research. July 2020, Vol. 38 No. 2, pp. 81–90

The quality of the cement board depends on the compatibility between cement and particles from lignocellulosic biomass. The purpose of this study was to determine the compatibility between cement and particles from four tropical wood namely mangium (Acacia mangium Willd), teak (Tectona grandis Linn. F.), gelam (Melaleuca leucadendron (L.), dadap (Erythrina variegata L.), and sago stem (Metroxylon sago Rottb.), and to determine the physical and mechanical properties of the mangium cement board produced by adding magnesium chloride (MgCl2) as an accelerator. This research was conducted in two steps. The first step consisted of measuring the hydration temperature of a mixture of cement with particles from the four wood species and sago stems by adding magnesium chloride (MgCl2), with variations of 0%, 2.5%, 5%, and 7.5% based on the cement weight. Two types of mixtures from the first step were then used in the second step, namely the manufacture of cement board. The cement board was made using a weight ratio of mangium particles:cement:water of 1:2.7:1.35. The board is made with a target density of 1.2 g/cm3. Physical and mechanical testing refers to the ISO 8335-1987 standard. The results of the hydration temperature showed that all of the mixtures were classified into “low inhibition”, except for mixture between cement and mangium particles without a catalyst which was included in the classification of “moderate inhibition”. While the results of cement board tests indicate that the cement boards made from mangium wood particles with 5% MgCl2 addition had better properties compared to mangium cement boards without catalysts.Keywords: Cement board, hydration temperature test, physical properties, mechanical

properties

Page 10: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

viii

UDC (OSDC) 630*839.81Agus Malik Ibrahim, Agrin Febrian Pradana, Gagas Priyosakti, Miftahul Arifin, Tuti Alawiyah, & Perliansyah (Cilegon Chemistry Analyst College)(Pandanus tectorius) and Wheat Industries Waste in Cilegon as Raw Material for Bioethanol SynthesisJ. of Forest Products Research. July 2020, Vol. 38 No. 2, pp. 91–104

The minimum requirement of bioethanol utilization (E100) as a mixture of fuel oil is required as much as 20%, of the total needs in January 2025 as stated in the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources number 12 in 2015. Indonesia is a country that has many potential raw materials for the development of bioethanol as renewable energy, such as sea pandanus plants (Pandanus tectorius) and food industry wastes such as the wheat industry. Sea pandanus plants are commonly found throughout the Indonesian archipelago and are available endemically. While wheat industrial waste is available in industrial areas such as in Banten Province, which has so far not been utilized as a source of biofuels. The purpose of this research is to get bioethanol product from new sources based on natural materials and industrial waste. The stages of research began with raw materials preparation, proximate analysis, gelatinization, liquefaction, pre-saccharification, fermentation, distillation process, and quantitative analysis using instruments. The results showed that the sea pandanus leaf had the potential for bioethanol synthesis with the highest amount of recovery and efficiency were 309 mL and 0.62 mL/g respectively, whereas based on the results of gas chromatography (GC) analysis, the bioethanol product which had the highest purity was from wheat bran waste with a purity level of 97.64%.Keywords: Biofuel, natural resources, bran, pollard, Saccharomyces cerevisiae,

fermentation

UDC (OSDC) 630*332.911Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati(Forest Products Research and Development Center )Zero Waste and Environmentally Friendly Logging Trial on Natural Forestsin Central Kalimantan ProvinceJ. of Forest Products Research. July 2020, Vol. 38 No. 2, pp. 105–118

Over the last five years (2013−2017) there has been a deficit of ± 23.2 million m3 year of wood raw materials, while the facts in the field of timber harvesting are still wasteful with leaving logging waste reaching an average of 17% of the annual production quota target of 9.1 million m3/year. The trial of zero waste-based and environmentally timber harvesting method (ZWL) is important to strengthen the tree length logging methods. This research aimed to obtain data and technical information related to the efficiency of wood utilization and the potential of timber logging waste. The trial results showed that zero waste and environmentally timber harvesting methods could improve wood utilization efficiency by 9%, from an average of 82.9% to an average of 91.9%, and reduce the potential for clear bole (BBC) logging waste from an average of 12% (0.863 m3/ tree) to only 8.1% (0.418 m3/tree). In addition, it was able to save the potential of logging waste from stems above the branch (BAC) ranging from 2.8−11.2% with an average of 6.4% (0.418 m3/tree). However, ecologically it could not reduce damage to residual stands which reached 37.7% while conventional methods amounted to 38.8%. Potential logging waste both BBC and BAC were mostly defective (50.5−58.3%), and some were still good (14.4−26.3%) while those with broken conditions were still quite high (22.6–27.3% ). Until now, the potency of timber harvesting waste has not been utilized due to the consideration of the high cost of Non-Tax Government Income (PNBP) levies, uncertainty in the application of the Minister of Environment and Forestry Regulation Number: P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019, and the ZWL method has not been informed yet to minimize the cost of logging waste extraction. In order to reduce timber harvesting waste and residual stand damage, the forest management refresh logging and skidding techniques to improve the skills of the chainsaw and the tractor operators.Keywords: Timber harvesting, conventional, zero waste, environmentally friendly,

timber harvesting waste

UDC (OSDC) 630*893:911Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri(Department of Pharmacy, Faculty of Pharmacy, Nahdlatul Ulama University of East Kalimantan )Physical and Chemical Properties of Local Honey from East KalimantanJ. of Forest Products Research. July 2020, Vol. 38 No. 2, pp. 119–128

Most of the local honey production in East Kalimantan is managed traditionally, thus honey quality, particularly its physical and chemical properties, are unknown. However, the honey analysis provides a comprehensive composition profile and potentially gives hints to improve the quality of local honey from East Kalimantan. This research aimed to analyse the properties of two local honey from East Kalimantan. The methods used in this study were gravimetric, volumetric, spectroscopy, spectrophotometry, and chromatography. Honey A was produced by Apis cerana whereas Apis dorsata produced honey B. The color intensities were 560±5.66 and 947.5±27.58 mAu for honey A and B, respectively. Honey A and B a had moisture content of 22.7 and 25.8% w/w, respectively. Other proximate analysis parameters were also reported. Fructose and glucose content for honey A were 30.65±2.35% w/w and 30.08±0.58% w/w, while honey B gave different pattern with fructose at 28.06±1.04 and higher glucose instead at 32.74±1.13% w/w. Reducing sugar and total sugar for both samples were higher than 60% w/w while sucrose in honey A and B were 2.8 and 1.4% w/w respectively, thus indicating no adulteration. Vitamin C content measurement showed negligible result with total phenolic content of honey A was lower than honey B. Honey B had higher Na, Ca, Fe and Zn than those of honey A. This study reported thorough chemical composition of local honeys from East Kalimantan in which some could have significant nutritional value. However, quality improvement particularly on moisture and reducing sugar content is necessary to meet Indonesian National Standard 8664:2018.Keywords: Bamboo, particleboard, phenol formaldehyde, termite, waste

Page 11: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

doi : 10.20886/jphh.2020.38.2.69-80

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80p-ISSN: 0216-4329e-ISSN: 2442-8957Terakreditasi Peringkat 2, No: 21/E/KPT/2018

69

PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PERUBAHAN WARNA, PENYUSUTAN TEBAL, DAN PENGURANGAN BERAT

EMPAT JENIS BAMBU(The Influence of Drying on Color Changes, Thickness Shrinkages and Weight Loss

of Four Bamboo Species)

Adik Bahanawan1* & Krisdianto2

1Pusat Penelitian Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911, Telp. (021) 87914511

2Sekretariat Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Telp. (0251) 8631238, Faks. (0251) 7520005

*Email: [email protected]

Diterima 2 Oktober 2019, direvisi 20 Januari 2020, disetujui 21 Februari 2020

ABSTRACT

The surface color of bamboo stem changes naturally due to surrounding conditions. This paper studies the changes in bamboo surfaces color due to room temperature drying (KU) and oven drying (KO) at 60±2 °C. The color changes of four bamboo species: mayan (Gigantochloa robusta Kurz.), ater (Gigantochloa atter (Hassk) Kurz. Ex. Munro), ampel kuning (Bambusa vulgaris var. striata), and wulung (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) were studied together with their correlation to water loss. Color measurements were conducted based on CIE-Lab system, while water content related to weight loss and thickness shrinkage during KU and KO. The result showed that there was a close relationship between water loss and discolouration of bamboo culms. The water loss of mayan, ater, and wulung showed a positive linear correlation to change of bamboo surfaces color, where the higher water loss affect greater value of color change too. Oppositely, in ampel kuning, higher water loss, affect smaller color change value (negatively correlated). This was because the natural color of ampel kuning in fresh conditions is not much different from color after drying. KU treatments, biggest thickness shrinkage was mayan = 46.03%; biggest weight reduction was ampel kuning = 28.52%; and biggest color changes (ΔE*) was ater = 15.51%. KO treatments, biggest thickness shrinkage was mayan = 52.4%; biggest weight reduction was yellow ampel = 31.19%; and biggest color changes (ΔE*) was ater = 18.8%.

Keywords: Bamboo, color changes, thickness shrinkage, water loss, weight loss

ABSTRAK

Warna permukaan batang bambu berubah secara alami akibat kondisi di sekitarnya. Tulisan ini mempelajari perubahan warna permukaan bambu akibat pengeringan dalam ruangan (KU) dan dalam oven (KO). Perubahan warna empat jenis bambu yaitu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.), ater (Gigantochloa atter (Hassk) Kurz. ex. Munro), ampel kuning (Bambusa vulgaris var striata), dan wulung (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) dipelajari bersama dengan korelasinya terhadap kehilangan air. Pengukuran warna dilakukan menggunakan metode CIE-Lab sedangkan kehilangan air mengacu pada pengukuran susut tebal dan kehilangan berat selama KU dan KO. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kehilangan air dengan perubahan warna batang bambu. Kehilangan air bambu mayan, ater, dan wulung menunjukkan korelasi linier positif terhadap perubahan warna permukaan bambu, dimana semakin besar kehilangan air maka semakin besar pula nilai perubahan warnanya. Namun, pada bambu ampel kuning, semakin besar kehilangan air maka akan semakin kecil nilai perubahan warnanya (berkorelasi negatif). Hal ini

Page 12: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

70

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80

disebabkan warna alami bambu ampel kuning pada kondisi segar tidak jauh berbeda dengan warna setelah pengeringan. Perlakuan pengeringan dalam ruangan, susut tebal terbesar adalah mayan = 46,03%; kehilangan berat terbesar adalah ampel kuning = 28,52%; dan perubahan warna (ΔE*) terbesar adalah ater = 15,51%. Perlakuan pengeringan dalam oven, susut tebal terbesar adalah mayan = 52,4%; kehilangan berat terbesar adalah ampel kuning = 31,19%; dan ΔE* terbesar adalah ater = 18,8%.

Kata kunci: Bambu, kehilangan air, kehilangan berat, perubahan warna, susut tebal

PENDAHULUANI.

Bambu merupakan salah satu tumbuhan cepat tumbuh yang dikenal dengan istilah rumput raksasa (giant grass) (Dewanto, 2015), dengan rotasi tanaman relatif singkat yaitu antara 3–5 tahun (Mutia, Sugesty, Hardiani, Kardiansyah, & Risdianto, 2014). Bambu merupakan tumbuhan kosmopolit yaitu tumbuhan yang dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi cuaca dan habitat tempat tumbuh yang bervariasi (Arsad, 2015). Ketersediaan bambu yang melimpah di Indonesia menyebabkan jenis ini banyak digunakan sebagai material lignoselulosa alternatif pengganti kayu (Murda, Nawawi, Maulana, Maulana, Park, Febrianto, 2018). Bahanawan, Darmawan, Sufiandi, danDwianto (2018) menyampaikan beberapa manfaat bambu secara umum diantaranya sebagai bahan konstruksi, pulp, mebel, kain, dan sumber pangan. Dibandingkan dengan rotasi pohon penghasil kayu yang memerlukan waktu

pertumbuhan lama, maka bambu menjadi salah satu bahan alternatif substitusi kayu (Bahanawan, Darmawan, Pramasari, Amin, Adi, Lestari, Sudarmanto, Akbar, Subyakto, Dwianto , 2017). Secara taksonomi, bambu termasuk dalam suku Poaceae (Graminae) dan anak suku Bambusoideae (Damayanto, Mambrasar, & Hutabarat, 2016). Tanaman bambu termasuk dalam sumber daya terbarukan (Jasni, Damayanti, & Pari, 2017) dan merupakan material berlignoselulosa yang berpotensi untuk pengembangan produk lebih jauh (Jasni, Damayanti, & Sulastiningsih, 2017).

Bambu merupakan material unik dengan beragam sifat dan karakteristiknya. Salah satu karakteristik unik bambu adalah warna alami batang segarnya bermacam-macam sesuai dengan jenis bambunya seperti warna umum bambu hijau, hitam, kuning, dan beberapa jenis memiliki tambahancorakdankeunikanspesifikjenisnya.Warnaspesifikbambutersebutmenjadisalah satu daya tarik estetika bambu tersebut

a b c dGambar 1. (a) Bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.); (b) bambu ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.); (c) bambu ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland

(var. sriata); dan (d) bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja)Figure 1. (a) Mayan bamboo (Gigantochloa robusta Kurz.); (b) ater bamboo (Gigantochloa

atter (Hassk.) Kurz.); (c) ampel kuning bamboo (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata); and (d) wulung bamboo (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja)

Page 13: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

71

Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu(Adik Bahanawan & Krisdianto)

dan menjadi penciri jenis bambu. Warna khas batang bambu tersebut menambah kesan eksotis dalam produk bambunya seperti rumah bambu dan mebel bambu alami yang mempertahankan warna alami bambu. Secara alami, warna batang akan pudar seiring berjalannya waktu, terutama bila bambu terekspos secara langsung terhadap sinar matahari dan/atau suhu panas. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab pudarnya warna alami bambu adalah kehilangan air selama proses pengeringan. Hal ini diperjelas dengan hasil penelitian pada kayu, bambu yang juga merupakan bahan lignoselulosa mengalami degradasi warna akibat perlakuan fisis sepertiperlakuan panas (Evans, Haase, Shakri, Seman, & Kiguchi, 2015).

Sebagaimana kayu, bambu juga merupakan material yang memiliki sifat higroskopis (Manuhuwa, 2007). Sifat higroskopis bambu berarti bambu mampu menyerap dan/atau melepas air ke atmosfer tergantung dari kondisi lingkungannya. Sifat higroskopis bambu ini selayaknya pada kayu berperan dalam penurunan kualitas terutama perubahan warna. Hubungan perubahan warna dan penurunan kadar air pada bambu belum pernah dipelajari.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kehilangan air bambu terhadap penyusutan tebal, pengurangan berat, dan perubahan warna dari empat jenis bambu.

BAHAN DAN METODEII.

BahanA.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang empat jenis bambu dengan umur dewasa (sekitar 4 tahun) yaitu mayan (Gigantochloa

robusta Kurz.), ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz. ex Munro), ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland var. striata), dan wulung (Gigantochloa atroviolacea Widjaja). Bambusa dan Gigantochloa merupakan marga bambu asli Indonesia (Widjaja, Rahayuningsih, Rahajoe, Ubaidillah, Maryanto, Walujo, & Semiadi, 2014). Bambu ater juga dikenal dengan nama bambu legi (Marsoem et al., 2015) dan bambu temen (Abdullah, Karlina, Rahmatiya, Mudaim, Patimah & Fajrin, 2017). Bambu ampel kuning disebut juga dengan bambu kuning (Abdullah et al., 2017), sedangkan bambu wulung memiliki nama lain bambu hitam (Rulliaty et al., 2015). Keempat jenis bambu tersebut dipilih untuk mewakili warna bambu utama yaitu hijau, kuning, dan hitam. Mayan dan ater berwarna hijau, ampel kuning berwarna kuning, dan wulung berwarna hitam. Contoh uji bambu diperoleh dari koleksi kebun bambu Pusat Penelitian (P2) Biomaterial LIPI, kompleks Cibinong Science Center–Botanical Garden (CSC–BG), Cibinong, Kabupaten Bogor, tercatat pada koordinat 06°29’41,5’’ lintang selatan dan 106°51’11,7’’ bujur timur pada kompleks perkantoran P2 Biomaterial LIPI. Tegakan bambu pada habitat kebun percobaan ditampilkan pada Gambar 1.

MetodeB.

Sampel pengujian1.

Sampel pengujian berupa potongan batang bambu dalam bentuk cincin dengan panjang 5 cm (Gambar 2). Setiap jenis bambu dipersiapkan 15 ulangan. Contoh uji dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu contoh uji yang akan dikeringkan dalam ruangan tertutup di bawah

Gambar 2. Sampel batang bambu berbentuk cincin dengan panjang 5 cmFigure 2. Bamboo culm sample in 5 cm length

Page 14: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

72

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80

naungan (KU) dan perlakuan pengeringan dengan oven (KO). Perlakuan KU, contoh uji dikondisikan dalam ruangan laboratorium tertutup dengan suhu rerata 25° C tidak terpapar sinar matahari, sedangkan pengeringan dengan KO dilakukan menggunakan oven listrik dengan suhu 60±2° C. Contoh uji disimpan dalam dua kondisi tersebut selama 5 bulan dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober 2017.

Pengukuran penyusutan tebal dan 2. pengurangan berat

Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran susut tebal dan pengurangan berat (Gambar 3) pada batang. Pengukuran awal (kondisi segar) dilakukan pada bulan Mei 2017, sedangkan pengukuran akhir (KU dan KO) dilakukan pada bulan Oktober 2017. Pengukuran susut tebal menggunakan kaliper digital Mitutoyo sedangkan pengukuran pengurangan berat menggunakan timbangan digital Ohauss (Gambar 3). Penyusutan tebal dan pengurangan berat memperlihatkan kehilangan air yang akan dikorelasikan dengan hasil pengukuran nilai warna.

Pengukuran warna 3.

Nilai warna (E*) adalah pendeskripsian warna secara kuantitatif. Metode analisis warna menggunakan metode CIE-Lab yang dikembangkan oleh the Commission International de l’Eclairage (CIE) menggunakan parameter L*

(kecerahan), a* (merah-hijau), dan b* (kuning-biru) (Ozgenc, Hiziroglu, & Yildiz, 2012). Warna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah warna kulit bambu bagian luar. Pengukuran awal adalah saat kondisi segar, kemudian diukur pada dua kondisi perlakuan yaitu KU dan KO. Sama halnya dengan pengukuran susut tebal dan pengurangan berat, pengukuran awal (kondisi warna segar) dilakukan pada bulan Mei 2017 sedangkan pengukuran akhir (kondisi perlakuan KU dan KO) dilakukan pada bulan Oktober 2017. Hasil pengukuran warna awal dan akhir akan didapatkan nilai perubahan warna (∆E*). Nilai E* dan ∆E* diperoleh dari rumus:

E* = .........................................(1)

∆E* = ..............................(2)

Keterangan (Remarks): ∆E* = perubahan warna (Color changes); ∆L* = perubahan kecerahan (Lightness); ∆a* = perubahan merah-hijau (Red-greeness); ∆b* = perubahan kuning-biru (Yellow-blueness)

ΔE* bisa positif (+) atau negatif (-), namun nilai akhir ΔE* selalu positif. Warna batang bambu diukur dengan Colorimeter Konica Minolta CR-10 plus dengan spesifikasi sumberpencahayaan D65, sensor photodiode array, standar observer 10°. Pengambilan gambar warna batang bambu dilakukan dengan menggunakan Scanner Epson. Pengukuran warna tersaji pada Gambar 4 di bawah ini.

a bGambar 3. (a) Pengukuran susut tebal, (b) pengukuran berat

Figure 3. (a) Thickness shrinkage measurement, (b) weight measurement

Page 15: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

73

Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu(Adik Bahanawan & Krisdianto)

Analisis DataC.

Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap tiga paramater yaitu susut tebal, pengurangan berat, dan perubahan warna. Nilai susut tebal dan pengurangan berat baik pada perlakuan KU dan KO, akan dihubungkan dengan nilai ΔE* tiap-tiap jenis bambu. Nilai-nilai tersebut akan direratakan untuk memudahkan mengambil kesimpulan. Hipotesis yang dikemukakan adalah terdapat hubungan antara penyusutan tebal dan pengurangan berat dengan perubahan warna yang terjadi akibat perubahan komposisi kimia lebih rinci adalah kandungan airnya. Analisis regresi dan korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kehilangan air dengan perubahan warna pada dua kondisi perlakuan yaitu KU dan KO. Perhitungan statistik dilakukan dengan program statistik SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASANIII.

Penyusutan Tebal dan Pengurangan A. Berat

Susut tebal dan pengurangan berat sampel batang bambu merupakan akibat hilangnya sejumlah air dalam bambu akibat perlakuan KU dan KO selama lima bulan. Semua jenis bambu memperlihatkan nilai susut tebal dan pengurangan berat KO lebih besar daripada nilai susut tebal dan pengurangan berat selama KU. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan dalam oven lebih tinggi dari suhu pengeringan dalam ruangan laboratorium. Semakin besar kandungan air yang hilang dari dalam bambu ditunjukkan dengan semakin besar pula penyusutan tebal dan

pengurangan berat yang terjadi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widyorini, Khotimah, dan Prayitno (2014) yang menyebutkan bahwa laju penurunan kandungan air semakin besar seiring dengan bertambah tingginya suhu perlakuan panas. Panas inilah yang akan menyebabkan air keluar menguap dengan cepat. Laju penurunan kadar air bervariasi antarspesies bambu karena karakteristik jenisnya berbeda-beda. Hal ini diperjelas dengan hasil penelitian Basri dan Pari (2017) yang menyebutkan bahwa variasi jenis bambu berpengaruh nyata terhadap sifat penyusutannya. Penelitian lain pada kayu juga menyebutkan bahwa kayu yang diberi perlakuan panas akan mengalami penurunan berat kayu karena komponen ekstraktifnya berkurang akibat berkurangnya air dalam dinding sel dan terjadinya degradasi hemiselulosa (Esteves, Domingos, & Pereira, 2008).

Nilai penyusutan tebal terbesar secara keseluruhan adalah ampel kuning sedangkan penyusutan tebal terkecil adalah wulung. Hal ini berlaku pada semua jenis bambu dan pada kedua macam perlakuan, yaitu perlakuan KU dan KO. Disinyalir, ketebalan dinding sel tiap jenis bambu yang berbeda memberikan pengaruh terhadap mobilitas dan kondisi air yang terdapat dalam sel karena berhubungan dengan kemampuan yang berbeda-beda pula terhadap tekanan turgor (turgidisitas) tiap jenis bambu. Besaran nilai susut tebal perlakuan KU dan KO dari nilai terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah ampel kuning, mayan, ater, dan wulung. Kehilangan berat dari perlakuan KU dan KO dari nilai kehilangan berat terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah mayan, ater, ampel

Gambar 4. Pengukuran warna batang bambu menggunakan colorimeter Figure 4. Measurement of bamboo culm’s color using colorymeter

Page 16: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

74

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80

kuning, dan wulung. Hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan positif antara susut tebal dan pengurangan berat pada bambu mayan, ater, dan ampel kuning, kecuali bambu wulung. Nilai susut tebal dan kehilangan berat disajikan pada Tabel 1 dan 2 di bawah ini.

Susut tebal dan pengurangan berat semua jenis bambu pada perlakuan KO lebih besar daripada nilai susut tebal dan pengurangan berat semua jenis bambu perlakuan KU. Perlakuan dalam oven menggunakan suhu 60ºC akan lebih cepat menghilangkan kandungan air dalam batang bambu bila dibanding perlakuan dalam suhu ruangan dengan rerata suhu 25–30ºC. Kandungan air menurun seiring dengan bertambahnya suhu, dimana semakin tinggi suhu maka akan semakin tinggi kehilangan air dari dalam bambu. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin banyak air yang hilang dalam suatu materi, maka akan semakin besar pula susut tebal dan kehilangan berat suatu material.

Perubahan warna (∆E*)B.

Warna batang kondisi segar mayan dan ater adalah hijau, sedangkan ampel kuning adalah kuning, dan wulung adalah hitam. Kondisi segar tersebut secara kuantitatif dinilai dengan nilai warna (E*) dimana mayan sebesar 38,60; ater sebesar 36,46; ampel kuning sebesar 65,29; dan wulung sebesar 38,94. Perlakuan KU dan KO memperlihatkan semua jenis bambu mengalami perubahan warna dari kondisi segar ke kondisi perlakuan KU dan KO.

Sama seperti halnya dengan susut tebal dan kehilangan berat, perubahan warna merupakan akibat dari hilangnya sebagian air yang dikandung dari dalam bambu tersebut. Gambar 5 menunjukkan gambaran perubahan warna contoh uji bambu dalam kondisi segar hingga kondisi perlakuan KU dan KO. Secara lebih detail, nilai warna disajikan dalam nilai L*, a*, b*, E* dan ∆E* dalam Tabel 3. Nilai warna tersebut diukur setelah contoh uji mengalami perlakuan KU dan KO.

Tabel 1. Rerata susut tebal bambu akibat perlakuan dalam ruangan (KU) dan pengeringan dalam oven (KO)

Table 1. The average of thickness shrinkage of bamboo samples treated in room temperature (KU) and oven drying (KO)

No. Jenis bambu(Bamboo species)

Susut tebal(Thickness shrinkage, %)

Dalam ruangan(Room condition)

Dalam oven(Oven chamber)

1. Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) 18,99 24,752. Ater (Gigantochloa atter (Hassk.)

Kurz.) 9,48 11,44

3. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata) 28,52 31,19

4. Wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) 6,67 12,67

Tabel 2. Rerata kehilangan berat bambu akibat perlakuan dalam ruangan (KU) dan pengeringan dalam oven (KO)

Table 2. The average of weight loss of bamboo samples treated in room temperature (KU) and oven drying (KO)

No. Jenis bambu(Bamboo species)

Pengurangan berat (Weight loss, %)

Dalam ruangan(Room condition)

Dalam oven(Oven chamber)

1. Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) 46,03 52,402. Ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.) 32,74 41,953. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata) 37,48 45,594. Wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) 26,44 35,46

Page 17: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

75

Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu(Adik Bahanawan & Krisdianto)

Penyebab terjadinya perubahan warna disinyalir adalah teroksidasinya senyawa fenolat dengan udara diikuti terjadinya pembentukan senyawa gelap dari proses hidrolisis hemiselulosa (Widyorini, Khotimah & Prayitno, 2014). Penjelasan lainnya bahwa pada tumbuhan hijau dalam hal ini perubahan warna hijau menjadi kuning/kusam pada daun terjadi karena zat hijau daun (pigmen klorofil) melepaskanion Mg2+ berubah menjadi pigmen pheopitin (pheophytin). Diasumsikan, hal tersebut juga terjadi pada semua bagian tumbuhan yang memiliki pigmenklorofil seperti batangbambukarena pheopitin merupakan akseptor primer elektron pada proses fotosintesis dan terdapat pada semua klorofil (Kusmita, Puspitaningrum& Limantara, 2015). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batang bambu berwarna hijau berubah menjadi berwarna cokelat/kuning/kusamdisinyalirkarenaklorofilberubahmenjadi pheopitin.

Tabel 3 memperlihatkan nilai L*, a*, b*, E* akhir lebih besar dari nilai L*, a*, b*, E* awal. Hal ini berlaku untuk mayan, ater dan wulung pada perlakuan KU dan KO. Namun,

tidak demikian dengan ampel kuning. Hal ini dikarenakan adanya jenis-jenis bambu tertentu yang tidak menunjukkan perubahan signifikankarena memang dari awal warnanya sudah cerah seperti bambu ampel kuning ini atau dengan kata lain nilai E* kondisi segar ampel kuning lebih mirip dengan nilai E* perlakuan KO bila dibanding dengan nilai E* perlakuan KU. Hasil penelitian di atas juga memperlihatkan hasil dimana ∆E* perlakuan KO > ∆E* perlakuan KU untuk bambu mayan, ater, dan wulung. Khusus untuk bambu ampel kuning, tidak demikian dimana ∆E* perlakuan KO <∆E* sperlakuan KU. Berdasarkan klasifikasi pengaruh perbedaan

nilai ∆E* (Tabel 5), bambu mayan, ater, dan ampel kuning perlakuan KU dan KO memperlihatkan pengaruh perubahan warna yang besar karena nilai ∆E*>5. Namun, tidak demikian dengan wulung pada perlakuan KU dan KO, pengaruh perubahan warna kecil dimana nilai ∆E* berkisar antara 2–3,5 untuk perlakuan KU dan perbedaan cukupsignifikansetelahperlakuanKO(3,5–5).

A

C

B

D1 2 3

1 2 3

1 2 3

1 2 3

Gambar 5. Perubahan warna batang bambu dari kondisi segar (1); setelah dikeringkan dalam suhu ruangan (KU) (2); dikeringkan dalam oven (KO) (3) dari jenis bambu

mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) (A), ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.) (B), ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata) (C), dan wulung

(Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) (D)Figure 5. Color changes of bamboo from fresh condition (1); dried in room temperature (KU)

(2); dried in oven chamber (3) of mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) (A), ater (Gigantochloa atter (Hassk.) (B), ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata) (C) and

wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) (D)

Page 18: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

76

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80

Hubungan Susut Tebal dan C. Pengurangan Berat dengan ∆E*

Hasil pengukuran susut tebal dan pengurangan berat menunjukkan jumlah air yang hilang akibat perlakuan KU dan KO. Air yang hilang menjelaskan kandungan air yang terkandung dalam bambu berubah yaitu terjadi penurunan kandungan air tersebut. Boonstra, Van Acker, Tjeerdsma, dan Kegel (2007) menjelaskan bahwa penurunan kandungan air akibat proses kimia

dimana terjadi pengurangan gugus hidroksil akibat perlakuan panas. Todaro, Zuccaro, Marra, Basso, dan Scopa (2012) menjelaskan pula bahwa perlakuan hidrotermal dapat menyebabkan perubahan tingkat kecerahan yang lebih besar dibanding proses termal. Artinya, pengaruh keberadaan air secara signifikanmempengaruhiproses-proses kimia dalam perubahan warna terlebih bila dikombinasikan dengan perlakuan suhu panas (termal).

Tabel 4. Nilai warna L*, a*, b*, E* dan ∆E* berbagai jenis bambu dengan perlakuan pengeringan dalam oven (KO)

Table 4. Color values of L*, a*, b*, E* and ∆E* of bamboo species dried in oven chamber (KO)

No. Bambu(Bamboo)

Pengeringan dalam oven(Oven chamber drying)

ΔE*Mei(May)

Oktober(October)

L* a* b* E L* a* b* E*1. Mayan (Gigantochloa

robusta Kurz.) 36,70 1,64 12,94 38,95 44,11 11,37 23,38 51,20 16,08

2. Ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.) 33,99 -0,27 12,54 36,23 42,94 12,14 23,46 50,42 18,80

3. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata)

53,86 13,62 32,27 64,25 47,81 15,63 28,79 57,96 7,26

4. Wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) 34,37 9,43 12,50 37,77 34,81 11,61 16,31 40,15 4,41

Keterangan (Remarks): ∆E* = perubahan warna (color changes); ∆L* = perubahan kecerahan (lightness change); ∆a* = perubahan merah-hijau (red-greenes change); ∆b* = perubahan kuning-biru (yellow-blueness change)

Tabel 3. Nilai warna L*, a*, b*, E* dan ∆E* berbagai jenis bambu dengan perlakuan pengeringan dalam ruangan (KU)

Table 3. Color values of L*, a*, b*, E* and ∆E* of bamboo species dried in room temperature (KU)

No. Jenis bambu(Bamboo species)

Pengeringan di ruangan(Room temperature drying)

ΔE*Mei(May)

Oktober(October)

L* a* b* E* L* a* b* E*1. Mayan (Gigantochloa

robusta Kurz.) 35,78 1,66 13,40 38,24 46,64 5,79 18,39 50,46 12,64

2. Ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.) 34,64 -0,23 12,11 36,70 48,00 3,28 19,18 51,79 15,51

3. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland (var. sriata)

54,95 14,27 34,32 66,34 54,96 9,81 22,19 60,08 12,93

4. Wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) 36,06 9,20 14,97 40,11 38,02 9,44 15,63 42,18 2,09

Keterangan (Remarks): ∆E* = perubahan warna (color changes); ∆L* = perubahan kecerahan (lightness change); ∆a* = perubahan merah-hijau (red-greenes change); ∆b* = perubahan kuning-biru (yellow-blueness change)

Page 19: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

77

Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu(Adik Bahanawan & Krisdianto)

Krisdianto, Satiti, dan Supriadi (2018) menjelaskan bahwa warna yang juga tergabung dalam komposisi zat ekstraktif akan terdegradasi akibat hilangnya kadar air yang dikandung. Tabel 6 dan 7 berikut menjelaskan hasil rerata susut tebal dan pengurangan berat dibandingkan dengan nilai ∆E* tiap perlakuan KU dan KO. Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan nilai susut tebal dan pengurangan berat akibat perlakuan KO> perlakuan KU. Nilai susut tebal dan pengurangan tebal mayan, ater, dan wulung akibat perlakuan KU dan KO bersifat linier positif dimana semakin besar nilai susut tebal dan pengurangan berat, maka akan semakin besar pula nilai ∆E*. Namun, hal ini tidak berlaku pada ampel kuning yang menunjukkan linier negatif yaitu semakin besar nilai susut tebal dan pengurangan berat maka akan semakin kecil nilai ∆E*. Hal ini menjelaskan bahwa, warna awal akan menentukan berapa besar nilai ∆E*. Perlakuan KO pada ampel kuning

menyebabkan perubahan warna yang lebih mendekati warna dalam kondisi segar daripada perlakuan KU.

Perlakuan KO menyebabkan contoh uji mengeluarkan air yang dikandungnya lebih besar dari perlakuan KU sehingga kandungan air akan semakin menurun. Keluarnya air dari contoh uji bambu secara signifikan akanmenyebabkanperubahan warna pada permukaan bambu sehingga kandungan air dalam bambu berperan nyata dalam perubahan warna bambu.

Widyorini et al. (2014) yang melakukan penelitian tentang perubahan warna kayu mahoni mendapati bahwa suhu perlakuan panas memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna kayu mahoni, dimana semakin tinggi suhu yang diberikan maka akan semakin besar perubahan warna yang terjadi. Keluarnya air akan menyebabkan warna juga berubah, sehingga hal ini menjelaskan bahwa kandungan air berhubungan dengan warna.

Tabel 5. Klasifikasi perbedaan nilai warna (∆E*)Table 5. Classification of color differences value (∆E*)

No. Perbedaan warna(Color difference, ∆E* )

Pengaruh(Effect)

1. 0−1 Tidak terlihat perbedaan(No difference)

2. 1−2 Sangat kecil perbedaan yang dilihat oleh pengamat terlatih(Very small differences are seen by trained observers)

3. 2−3,5 Pengamat tidak terlatih dapat melihat perbedaan kecil(Untrained observers can see small differences)

4. 3,5−5 Perbedaan jelas(Clear differences)

5. >5,0 Perbedaan sangat jelas(The difference is very clear)

Sumber: Mokrzycki & Tatol (2011)

Tabel 6. Rerata susut tebal dan nilai perubahan ∆E*Table 6. The average of thickness shrinkage and color value changes ∆E*

No. Jenis bambu(Bamboo species)

Pengeringan dalam ruangan/KU(Drying in room temperature)

Pengeringan dalam oven/KO(Drying in oven chamber)

Susut tebal(Thickness

shrinkage, %)∆E*

Susut tebal(Thickness

shrinkage, %)∆E*

1. Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) 18,99 12,64 24,75 16,082. Ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.) 9,48 15,51 11,44 18,803. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schrader

ex Wendland (var. sriata) 28,52 12,93 31,19 7,26

4. Wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) 6,67 2,09 12,67 4,41

Page 20: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

78

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80

Korelasi Kehilangan Air dengan D. Perubahan Warna Bambu

Berdasarkan analisis sebelumnya, terdapat hubungan atau hubungan (korelasi) antara kehilangan air dengan perubahan warna bambu. Parameter yang digunakan untuk menilai hubungan antara kehilangan air dan perubahan warna bambu adalah susut tebal dan pengurangan berat. Parameter susut tebal, nilai korelasi (r2) terbesar terekam pada mayan perlakuan KU (r2=0,4212), sedangkan parameter pengurangan berat nilai terbesar r2 adalah mayan perlakuan KO (r2=0,6364). Secara garis besar, mayoritas nilai r2 pada penelitian ini adalah rendah karena <0,5. Banyak faktor yang menyebabkan warna bambu berubah, salah satunya adalah air yang hilang. Faktor-faktor tersebut berbeda kadarnya pada tiap-tiap jenis bambu.

KESIMPULAN IV.

KesimpulanA.

Kandungan air dalam bambu memiliki hubungan nyata dengan perubahan warna batang bambu. Kehilangan air akibat pengeringan alami dan buatan akan menyebabkan bambu berubah warna. Perlakuan pengeringan dalam oven (KO) menyebabkan nilai susut tebal dan pengurangan berat lebih besar daripada perlakuan pengeringan dalam ruangan (KU) pada seluruh jenis bambu. Mayan, ater, dan wulung menunjukkan pola semakin besar nilai penyusutan tebal dan pengurangan berat, menyebabkan perubahan nilai warna yang semakin besar.

Pada ampel kuning, semakin besar nilai penyusutan tebal dan pengurangan berat menyebabkan nilai perubahan warna yang semakin kecil. Hal ini disebabkan warna ampel kuning dalam kondisi segar tidak jauh berbeda dengan warna bambu setelah dikeringkan dalam oven (KO) daripada setelah dikeringkan dalam ruangan (KU). Perlakuan KU, susut tebal terbesar adalah mayan=46,03%; pengurangan berat terbesar adalah ampel kuning=28,52%; dan perubahan warna (ΔE*) terbesar adalah ater=15,51%. Perlakuan KO, susut tebal terbesar adalah mayan=52,4%%; pengurangan berat terbesar adalah ampel kuning=31,19%; dan ΔE* terbesar adalah ater= 18,8%.

SaranB.

Perlu dilakukan pengamatan lebih mendalam terkait kandungan air dan komposisi lainnya pada contoh uji kondisi segar dan kondisi setelah pengeringan menggunakan NIR (Near Infra-Red methods). NIR bisa digunakan untuk melihat komposisi dalam suatu bahan termasuk material bambu namun tidak untuk kadar prosentasenya. Pengukuran kadar prosentase komposisi suatu bahan juga harus dilakukan dengan pengukuran konvensional sesuai prosedur yang sudah ada dan umum digunakan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada program DIPA Tematik 2019, kelompok penelitian Modifikasi Kayu, Pusat PenelitianBiomaterial LIPI atas bantuan dananya dalam mendukung terlaksananya kegiatan penelitian ini.

Tabel 7. Rerata pengurangan berat dan nilai perubahan ∆E*Table 7. The average of weight loss and color value changes ∆E*

No. Jenis bambu(Bamboo species)

Pengeringan dalam ruangan/KU(Drying in room temperature)

Pengeringan dalam oven/KO(Drying in oven chamber)

Pengurangan berat

(Weight loss, %)∆E*

Pengurangan berat

(Weight loss, %)∆E*

1. Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) 46,03 12,64 52,40 16,082. Ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz.) 32,74 15,51 41,95 18,803. Ampel kuning (Bambusa vulgaris

Schrader ex Wendland (var. sriata) 37,48 12,93 45,59 7,26

4. Wulung (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) 26,44 2,09 35,46 4,41

Page 21: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

79

Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu(Adik Bahanawan & Krisdianto)

KONTRIBUSI PENULIS

Ide, desain, dan rancangan percobaan dilakukan oleh AB dan KS; percobaan dan perlakuan pengujian dilakukan oleh AB dan KS; pengumpulan data dan analisis data dilakukan oleh AB dan KS; penulisan manuskrip oleh ABdanKS;perbaikandanfinalisasimanuskripdilakukan oleh AB dan KS.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. H. D., Karlina, N., Rahmatiya, W., Mudaim, S., Patimah, & Fajrin, A. R. (2017). Physical and mechanical properties of fiveIndonesian bamboos. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 60(1), 1–5. doi: 10.1088/1755-1315/60/1/012014.

Arsad, E. (2015). Teknologi pengolahan dan manfaat bambu. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan, 7(1), 45–52. doi: 10.24111/jrihh.v7i1.856.

Abdullah, A. H. D., Karlina, N., Rahmatiya, W., Mudaim, S., Patimah, & Fajrin, A. R. (2017). Physical and mechanical properties of fiveIndonesian bamboos. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 60(1), 1–5. doi: 10.1088/1755-1315/60/1/012014.

Arsad, E. (2015). Teknologi pengolahan dan manfaat bambu. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan, 7(1), 45–52. doi: 10.24111/jrihh.v7i1.856.

Bahanawan, A., Darmawan, T., Pramasari, D. A., Amin, Y., Adi, D. S., Lestari, E., Sudarmanto, Akbar, F., Subyakto, Dwianto, W. (2017). Kajian sifat mekanik spesies bambu langka betung hitam (Dendrocalamus asper Black). Prosiding Seminar Lignoselulosa 2017, 22–29.

Bahanawan, A., Darmawan, T., Sufiandi, S., &Dwianto, W. (2018). Mengenal bambu sembilang (Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro). Prosiding Seminar Lignoselulosa 2018, 88–91.

Basri,E.,&Pari,R.(2017).Sifatfisisdanpengeringanlima jenis bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 35(1), 1–13. doi: 10.20886/jphh.2017.35.1.1-13.

Boonstra, M. J., Van Acker, J., Tjeerdsma, B. F., & Kegel, E. V. (2007). Strength properties of thermallymodifiedsoftwoodsanditsrelationto polymeric structural wood constituents. Annals of Forest Science, 64, 679–690. doi: 10.1051/forest: 2007048.

Damayanto, I. G. P., Mambrasar, Y. M., & Hutabarat, P. (2016). Bamboos (Poaceae: Bambusoideae) of Papua, Indonesia. Jurnal Biologi Papua, 8(2), 57–61.

Dewanto, B. P. (2015). Pengaruh Waktu Tebang Terhadap Kekuatan Lentur Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja). Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Esteves, B. M., Domingos, I. J., & Pereira, H. M. (2008). Pinewoodmodificationbyheat treatment inair. BioResources, 3(1), 142–154. doi: 10.15376/biores.3.1.142-154.

Evans, P. D., Haase, J. G., Shakri, A., Seman, B. M., & Kiguchi, M. (2015). The search for durable exterior clear coatings for wood. Coatings, 5, 830–864. https:/10.3390/coatings5040830.

Jasni, Damayanti, R., & Pari, R. (2017). Ketahanan alami jenis-jenis bambu yang tumbuh di Indonesia terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 35(4), 289–301. doi: 10.20886/jphh.2017. 35.3.289-301.

Jasni, J., Damayanti, R., & Sulastiningsih, I. M. (2017). Pengklasifikasian ketahanan 20 jenis bambuterhadap rayap kayu kering. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 35(3), 171–183. doi: 10.20886/jphh.2017. 35.3.171-183.

Krisdianto, K., Satiti, E. R., & Supriadi, A. (2018). Perubahan warna dan lapisan finishing limajenis kayu akibat pencuacaan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36(3), 205–210. doi: 10.20886/jphh.2018. 36.3.205-218.

Kusmita, L., Puspitaningrum, I., & Limantara, L. (2015).Identification,isolationandantioxidantactivity of pheophytin from green tea (Camellia sinensis ( L .) Kuntze). Procedia Chemistry, 14, 232–238. doi: 10.1016/j.proche.2015.03.033.

Page 22: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

80

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 69-80

Manuhuwa, E. (2007). Kadar air dan berat jenis pada posisi aksial dan radial kayu sukun (Arthocarpus communis, J.R dan G.Frest). Jurnal Agroforestri, 2(1), 49-55.

Marsoem, S. N., Setiaji, F., Kim, N. H., Sulistyo, J., Irawati, D., Nugroho, W. D., Andini, Y., Pertiwi, B. (2015). Fiber morphology and physical characteristics of Gigantochloa atter at three different ages and heights of culms for better utilization. Journal Korean Wood Science and Technology, 43(2), 145–155. doi: 10.5658/WOOD. 2015.43.2.145.

Mokrzycki, W. & Tatol, M. (2011). Color difference Delta E - A survey. Machine Graphics and Vision, 20(4), 383–411.

Murda, R. A., Nawawi, D. S., Maulana, S., Maulana, M. I., Park, S. H., & Febrianto, F. (2018). Perubahan kadar komponen kimia pada tiga jenis bambu akibat proses steam dan pembilasan. Jurnal Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 16(2), 102–114.

Mutia, T., Sugesty, S., Hardiani, H., Kardiansyah, T., & Risdianto, H. (2014). Potensi serat dan pulp bambu untuk komposit peredam suara. Jurnal Selulosa, 4(1), 25–36. doi: 10.25269/jsel.v4i01.54.

Ozgenc, O., Hiziroglu, S., & Yildiz, U. C. (2012). Weathering properties of wood species treated with different coating applications. BioResources, 7(4), 4875–4888. doi: 10.15376/biores.7.4.4875-4888.

Rulliaty, S., Nadjib, N., Muslich, M., Jasni, Sulastiningsih, I. M., Komaryati, S., Suprapti, S., Abdurrahman, Basri, E. (2015). Informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 10 jenis bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Todaro, L., Zuccaro, L., Marra, M., Basso, B., & Scopa, A. (2012). Steaming effects on selected wood properties of Turkey oak by spectral analysis. Wood Science and Technology, 46, 89–100. doi: 10.1007/s00226-010-0377-8.

Widjaja, E. A., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, J. S., Ubaidillah, R., Maryanto, I., Walujo, E. B., & Semiadi, G. (2014). Kekinian keanekaragaman hayati Indonesia 2014. Cibinong: LIPI Press.

Widyorini, R., Khotimah, K., & Prayitno, T. A. (2014). Pengaruh suhu dan metode perlakuan panas terhadapsifatfisikadankualitasfinishingkayumahoni. Jurnal Ilmu Kehutanan, 8(2), 65–74. doi: 10.22146/jik.10160.

Page 23: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

doi : 10.20886/jphh.2020.38.2.81-90

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 81-90p-ISSN: 0216-4329e-ISSN: 2442-8957Terakreditasi Peringkat 2, No: 21/E/KPT/2018

81

COMPATIBILITY OF FOUR TROPICAL WOOD SPECIES AND SAGO STEM TO CEMENT AND PROPERTIES OF MANGIUM CEMENT

BONDED PARTICLEBOARDKompatibilitas Empat Jenis Kayu Tropis dan Batang Sagu dengan Semen dan

Sifat Papan Semen Kayu Mangium yang Dihasilkan

Dede Hermawan1, Ismail Budiman2, Herman Siruru3, Jessica Hendrik1, & Gustan Pari4

1Department of Forest Product, Faculty of Forestry – Bogor Agricultural University Jl. Ulin, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680.

2Research Center for Biomaterials - Indonesian Institute of Sciences Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong, 16911

3Pattimura University, Ambon, Maluku Province Jl. Ir. M. Putuhena Kampus Poka, Ambon Maluku - Indonesia, 97233

4Forest Product Research and Development Center Jl. Gunung Batu 5 Bogor 16610

Email: [email protected]

Received May 2, 2019; Revisions December 6, 2019; Accept March 18, 2020

ABSTRACT

The quality of the cement board depends on the compatibility between cement and particles from lignocellulosic biomass. The purpose of this study was to determine the compatibility between cement and particles from four tropical wood namely mangium (Acacia mangium Willd), teak (Tectona grandis Linn. F.), gelam (Melaleuca leucadendron (L.), dadap (Erythrina variegata L.), and sago stem (Metroxylon sago Rottb.), and to determine the physical and mechanical properties of the mangium cement board produced by adding magnesium chloride (MgCl2) as an accelerator. This research was conducted in twosteps.Thefirststepconsistedof measuringthehydrationtemperatureof amixtureof cementwith particles from the four wood species and sago stems by adding magnesium chloride (MgCl2), with variations of 0%, 2.5%, 5%, and 7.5% based on the cement weight. Two types of mixtures fromthefirststepwerethenusedinthesecondstep,namelythemanufactureof cementboard.Thecement board was made using a weight ratio of mangium particles:cement:water of 1:2.7:1.35. The board is made with a target density of 1.2 g/cm3. Physical and mechanical testing refers to the ISO 8335-1987 standard. The results of the hydration temperature showed that all of the mixtures were classifiedinto“lowinhibition”,exceptformixturebetweencementandmangiumparticleswithouta catalystwhichwas included in the classificationof “moderate inhibition”.While the resultsof cement board tests indicate that the cement boards made from mangium wood particles with 5% MgCl2 addition had better properties compared to mangium cement boards without catalysts.

Keywords: Cement board, hydration temperature test, physical properties, mechanical properties

ABSTRAK

Kualitas papan partikel semen tergantung dari kompatibilitas antara semen dengan partikel dari biomassa berlignoselulosanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kompatibilitas antara semen dengan partikel dari empat jenis kayu tropis yaitu kayu mangium (Acacia mangium Willd), jati (Tectona grandis Linn. F.), gelam (Melaleuca leucadendron (L.)), dadap (Erythrina variegata L.), dan batang sagu (Metroxylon sagoRottb.),sertamengetahuisifatfisisdanmekanisdari

Page 24: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

82

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 81-90

papan semen kayu mangium yang dihasilkan dengan menambahkan magnesium klorida (MgCl2) sebagai akselerator pada berbagai kadar. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama berupa pengukuran suhu hidrasi dari campuran semen dengan partikel dari empat jenis kayu tropis, dan batang sagu, dengan menambahkan magnesium klorida (MgCl2) dengan variasi 0%; 2,5%; 5%, dan 7,5% berdasarkan berat semen. Dua jenis campuran dari penelitian tahap pertama digunakan pada tahap penelitian kedua, yaitu pembuatan papan semen. Pada tahap kedua ini dilakukan pembuatan papan semen dengan menggunakan perbandingan berat partikel mangium:semen:air sebesar 1:2,7:1.35. Papan dibuat dengan target kerapatan 1,2 g/cm3. Pengujian fisis danmekanismengacu pada standar ISO 8335-1987. Hasil penelitian suhu hidrasi menunjukkan bahwa semua campuran diklasifikasikan ke dalam kelas penghambatan rendah, kecuali untuk campuran semendengan partikelmangium tanpa katalis yang termasuk ke dalam klasifikasi indeks penghambatansedang. Sedangkan hasil pengujian yang dilakukan terhadap papan semen menunjukkan bahwa papan semen dari partikel kayu mangium dengan penambahan 5% MgCl2 memiliki nilai lebih baik jika dibandingkan dengan papan semen mangium tanpa penambahan katalis.

Kata kunci: Papan semen, pengujian suhu hidrasi, sifat fisis, sifat mekanis

INTRODUCTIONI.

The use of cement-bonded particleboard or cement board has been rapidly increased in many countries because of its excellent properties for building purpose. Cement board has high water, fire,termite,andfungalresistance,goodweatherability (Wei, Zhou, & Tomita, 2000) and acoustic insulation (Frybort, Mauritz, Teischinger, & Müller, 2008). Cement board is made of strands,particlesorfibersfromwoodorotherslignocellulosic biomass mixed with cement and small amounts of additives manufactured into panels used by construction or non-construction industries in the application such as a wall, roof sheathing,floor,fences,andsoundbarrier(Erakhrumen, Areghan, Ogunleye, Larinde, & Odeyale, 2008; Okino et al., 2004).

The compatibility between cement and particles of lignocellulosic biomass is a problem for cement board manufacturing. The compatibility is influenced by compounds contained inlignocellulosic biomass such as extractives and hemicellulose content. These extractives are generally composed of fatty acid, vanillic acid, carbohydrates, and inorganic materials (Kilic & Niemz, 2012). Hemicellulose and sugars as the chemical compounds of lignocellulosic biomass could decrease the compatibility and the strength of cementboardsignificantlyandgivesaneffectin decreasing compatibility between cement and lignocellulosic particles (Vaickelionis & Vaickelioniene, 2006). Na, Wang, Wang, & Lu

(2014) stated that the different components of wooden extractives cause a different inhibitory or retarding degree of cement hydration. The lower amount of inhibitory extractives diffuse into the cement paste is beneficial for the compatibilitybetween cement and lignocellulosic biomass.

Hofstrand, Moslemi, and Garcia (1984) developed an equation to calculate the inhibitory index (I) of a mixture of cement with wood particles. The inhibitory index of any species can be derived from the values of the maximum temperature of hydration, the maximum slope of the exothermic curve, and the hydration time needed to reach the maximum temperature of the inhibited cement when compared respectively with the values of the uninhibited cement. The compatibility of the mixture will be higher if the I-value is getting smaller. Conversely, the compatibility is lower when the I-value is greater. Sudin and Swamy (2006) conducted research using various treatments and additives. Results of their study stated that the use of additives such as MgCl2 and Al2(SO3)4 as an accelerator to the mixtures of cement and wood particles could shorten the setting time of wood-cement mixtures.

Previous research to estimate the compatibility or inhibitory index of a mixture of cement with lignocellulosic biomass was carried out using the approach of Hofstrand, Moslemi, and Garcia (1984). Some lignocellulosic biomass used in the measurement of the inhibitory index

Page 25: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

83

Compatibility of Four Tropical Wood Species and Sago Stem to Cement and Properties of Mangium Cement Bonded Particleboard(Dede Hermawan, Ismail Budiman, Herman Siruru, Jessica Hendrik, & Gustan Pari)

includes Chinese fir and poplar (Wang & Yu,2012), vegetable residues (Marques et al., 2016), and eight types of hardwood residues from Amazonia Brasil (Castro et al., 2018). This study aimed to determine the compatibility between cement with four tropical wood and sago trunks and to determine the effect of the catalyst MgCl2 at various levels to its compatibility (inhibition index value). Besides, this study also aimed to determine the physical and mechanical properties of the mangium (Acacia mangium Willd) wood-cement board without or with the addition of MgCl2 as a catalyst.

MATERIALS AND METHODS II.

Four tropical wood species, i.e. mangium, teak wood (Tectona grandis Linn. f.), gelam (Melaleuca leucadendron (L.)), and dadap (Erythrina variegata L.), and also the stem of sago (Metroxylon sagu Rottb.) were used in this study. The first stepof this study was cement hydration test using five kinds of particles. The hydration test wasperformed using MgCl2 as an accelerator with a variation of 0%, 2.5%, 5%, and 7.5% based on the cement weight. Portland cement-based on the Indonesian standard (SNI) was used as a binder.

The second step of this study was cement boards manufacture. The cement board was developed based on the results of the hydration test. The size of the board was 30 x 30 x 1.2 cm, with a targeted density of 1.2 g/cm3. The boards were kept for 21 days before tested. Physical and mechanical tests were conducted according to ISO 8335-1987, with four replicates samples for each testing.

Hydration TestA.

The hydration temperature was measured in an insulated box. The cement/lignocellulosic biomass ratio of 6.9:1.0 and a powder size of 20 pass/30 on a mesh (Hermawan, Subiyanto, & Kawai, 2001). MgCl2 was added to each mixture in the range of 0%-7.5% based on the cement weight. The mass water/cement ratios were 0.5. A thermocouple wire was inserted approximately at the center core of cement paste and connected to Graphtec midi LOGGER

GL220. All the experiments were conducted at room temperature. To calculate the inhibitory index (I) of each species, the following equation (Hofstrand, Moslemi, & Garcia, 1984) was applied:

I = 100[((t2 - t’2)/t’2)*((T’2 - T2)/T’2)*((S’2 - S2)/S’2)] .......(1)

Remarks (Keterangan): t2 = time to reach the maximum temperature of the inhibited cement (wood-cement-water mixture) (hours); t’2 = time to reach the maximum temperature of the uninhibited cement (cement-water mixture (hours); T2 = Maximum temperature of the inhibited cement (°C); T’2 = Maximum temperature of the uninhibited cement (°C); S2 = the maximum slope of the exothermic curve of the inhibited cement (°C/hours); S’2 = the maximum slope of the exothermic curve of the uninhibited cement (°C/hours) Inhibition index classification is divided into four grades, namely lowinhibition (I <10), moderate inhibition (10 <I <50), high inhibition (50 <I <100), and extreme inhibition (I> 100) (Okino et al., 2004).

Board ManufactureA.

In this study, the ratio between wood particles to cement was 1:2.7 based on the weight, and water was used 50% of cement weight. Magnesium chloride (MgCl2) at 5% of cement weight was added for all ratios. Wood particles were sprayed until the moisture content 100% and kept for 24 hours. The particles then were mixed with cement using a mortar mixer and added with the rest of the water left with or without MgCl2. The mixtures were hand-matt formed and cold-pressed for 24 hours. The size of the board was 30 cm x 30 cm x 1.2 cm, with a targeted density of 1.2 g/cm3. The boards were kept for 21 days before tested. Physical and mechanical tests were conducted according to ISO 8335-1987.

To test the effect of the addition of 5% MgCl2 catalyst to the properties of mangium wood cement board, a statistical analysis was carried out in the form of two samples T-test. Thesignificancelevelusedwas5%,whichmeansthat if the P-value of the comparison of the two cement boards was less than 5%, the addition of the catalyst had a significant effect on itsproperties. However, if the P-value was greater than 5%, then the addition of a catalyst had no significantimpactonitsproperties.

Page 26: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

84

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 81-90

Scanning Electron Microscope B. Observation

The test specimens were prepared for SEM observation by cutting small sections from the fractured surfaces of the bending test samples of cement-bonded particleboard with the addition of 5% MgCl2. The small samples were mounted on specimen stubs and then coated with gold for examination under SEM Zeiss EVO 50.

RESULT AND DISCUSSIONIII.

Hydration TestA.

Hydration temperature data was recorded for 24 hours using a thermocouple device. Based on the hydration temperature measurement data, an inhibition index value was calculated. The value of the inhibitory index is presented in Table 1.

Results showed that all of the mixtures of five tropicalwoodparticles-cementpastewith/without MgCl2 as acceleratorwere classified as

Table 1. Inhibitory index of four tropical wood species and sago stem particles with cement paste

Tabel 1. Indeks penghambatan partikel empat jenis kayu tropis dan batang sagu dengan pasta semen

Mixtures(Campuran)

Tmax (Suhu maksimum,

°C)

t max (Waktu untuk mencapai suhu maksimum, jam,

hours)

Inhibitory Index (Indeks

Penghambatan)

Classification(Pengkelasan)

Cement paste 43.7 11.317 Cement + mangium (Acacia mangium Willd) 34.4 23.883 19.830 ModerateCement + mangium + 2.5% MgCl2 43.0 10.950 -0.010 Low

Cement + mangium + 5% MgCl2 41.5 7.917 -0.032 LowCement + mangium + 7.5% MgCl2 41.6 6.330 0.292 LowCement + gelam (Melaleuca leucadendron (L.)) 39.0 12.767 0.556 LowCement + gelam + 2.5% MgCl2 42.3 9.500 -0.024 LowCement + gelam + 5% MgCl2 45.0 8.417 -0.225 LowCement + gelam + 7.5% MgCl2 41.4 7.483 0.096 LowCement + dadap (Erythrina variegata L.) 35.0 18.283 9.174 LowCement + dadap + 2.5% MgCl2 38.8 10.633 -0.284 LowCement + dadap + 5% MgCl2 40.5 8.700 -0.225 Low

Cement + dadap + 7.5% MgCl2 42.8 7.400 0.159 LowCement + sago (Metroxylon sago Rottb.) 33.5 13.820 4.132 LowCement + sago + 2.5% MgCl2 38.3 9.617 -0.665 LowCement + sago + 5% MgCl2 36.9 7.683 0.693 LowCement + sago + 7.5% MgCl2 37.8 5.667 -0.785 LowCement + teak wood (Tectona grandis Linn. F.) 38.8 22.167 7.158 LowCement + teak wood + 2.5% MgCl2 38.6 13.550 1.067 LowCement + teak wood + 5% MgCl2 38.8 9.867 -0.488 LowCement + teak wood + 7.5% MgCl2 37.5 7.933 -0.505 Low

“lowinhibition”,exceptforthemixturebetweenmangium wood particles-cement without MgCl2 (moderate inhibition). It means that almost all the mixtures have well compatibility (Okino et al., 2004). This can occur because mangium has a higher hemicellulose content compared to the other wood. High hemicellulose content can inhibit the bond between wood-forming material and cement (Snoeck et al., 2015). For example, mangium wood has a hemicellulose content about 11.27−36.14% (Amini et al., 2017), compared to teak wood which hemicellulose content of 8.4–26% (Gasparik et al., 2019).

Physical and Mechanical Properties of B. Cement-bonded Particleboard

The manufacture of cement-board was conducted to determine the correlation between inhibition index with physical and mechanical properties of cement-board. Cement-board made with consideration of the different inhibitory

Page 27: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

85

Compatibility of Four Tropical Wood Species and Sago Stem to Cement and Properties of Mangium Cement Bonded Particleboard(Dede Hermawan, Ismail Budiman, Herman Siruru, Jessica Hendrik, & Gustan Pari)

indexes from the mixtures of cement, wood particles, and catalyst. In this study, two types of cement boards were manufactured, namely cement board with and without the addition of 5% MgCl2. Mangium wood was chosen to be used in the manufacture of cement boards, to findoutthephysicalandmechanicalpropertiesof cement boards when using wood particles which have poor compatibility with higher MgCl2 as an accelerator. This was done to determine the quality of cement boards using wood with a moderate inhibition index. The physical properties of mangium bonded cement particleboards are listed in Table 2.

The boards with the addition of 5% MgCl2 showed the best performance for all physical properties. They had higher density, lower in moisture content, thickness swelling (TS), and water absorption (WA). The boards with the addition of MgCl2 have higher density if compared to the board without MgCl2, although almost all of the board have lower density compared to the targeted density (1.2 g/cm3). The values of density ranged from 0.85 to 1.31 g/cm3. The values of TS ranged from 0.75 to 1.78%. All of the boards both without MgCl2 and with the addition of 5% MgCl2fulfilthestandardof ISO 8335-1987 for TS (TS<2%). The values

of moisture content (MC) ranged from 7.53% to 9.29%. It showed that all of the MC’s values met the standard (MC < 12%). The values of water absorption ranged from 18.07% to 41.63 %. The boards with the addition of 5% MgCl2 has better water absorption performance. This happens because the addition of MgCl2 can accelerate the hydration process on the cement board, so that the cement board with the addition of MgCl2 can absorb less water, compared to the cement board without MgCl2.

Compared to cement boards made from Eucalyptus grandis wood with a density of 1.2 g/c3 and addition of 6% CaCl2 as catalyst (Lisboa et al., 2018), cement boards made from mangium wood with the addition of 5% MgCl2 catalyst have relatively similar TS and WA values. The TS value of mangium cement board with 5% MgCl2 addition (1.02%) is relatively similar compared to the TS value of eucalyptus cement board (1.5%). This is a similar thing for the WA values of the two board types which are not too different (18.82% for mangium cement board compared to 20% for eucalyptus cement board).

The mechanical properties of cement-bonded particleboard are listed in Table 3. The boards with the addition of MgCl2 show the best performance for MOR, MOE, IB, and SW.

Table 2. The physical properties of cement-bonded particleboard made from mangium wood

Tabel 2. Sifat fisis dari papan partikel semen yang terbuat dari kayu mangium

Mixtures(Campuran)

Density (Kerapatan, g/cm3)

Moisture content (Kadar air, %)

Water absorption (Daya serap air, %)

Thickness swelling (Pengembangan tebal, %)

Cement board without MgCl2 addition

0.93±0.06 8.44±0.48 36.37±4.70 1.34±0.35

Cement board with 5% MgCl2 addition

1.12±0.13 8.32±0.74 18.82±0.60 1.02±0.22

Table 3. The mechanical properties of cement-bonded particleboard made from mangium wood

Tabel 3. Sifat mekanis papan partikel semen yang terbuat dari kayu mangium

Mixtures(Campuran)

Modulus of Rupture(Modulus patah, MPa)

Modulus of Elasticity (Modulus

elastisitas, GPa)

Internal Bond(Daya rekat internal,

MPa)

Screw Withdrawal(Kuat pegang sekrup,

N)Cement bonded particleboard without MgCl2 addition

7.00±1.65 2.26±0.54 0.331±0.068 271.48±44.59

Cement bonded particleboard with 5% MgCl2 addition

9.18±1.02 3.06±0.30 0.779±0.148 487.42±68.34

Page 28: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

86

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 81-90

The values of modulus of rupture (MOR) ranged from 5.49 to 10.01 MPa. The boards with the addition of 5% MgCl2fulfillthestandardof MOR (MOR > 9MPa). The values of modulus of elasticity (MOE) ranged from 1.69 GPa to 3.40 GPa. The boards with the addition of 5% MgCl2 fulfil the standard of MOE (MOE> 3GPa). Furthermore, the values of an internal bond (IB) ranged from 0.26 MPa to 0.95 MPa, and the values of screw withdrawal (SW) ranged from 224.06 N to 571.10 N. There are also boards with the addition of 5% MgCl2 that fulfill thestandard for IB (IB > 0.5 MPa) and SW (SW > 300 N). MOR and MOE values of cement boards from mangium are smaller compared to cement boards from eucalyptus, which respectively have MOR and MOE values of 15 MPa and 7.5 GPa (Lisboa et al., 2018).

The improvement effect because the addition of 5% MgCl2 on the physical and mechanical properties of boards might be due to the proper alkalinity of MgCl2. The alkalinity of MgCl2 could not be expected to trigger the dissolution of the inhibitory extractives but rather to enhance the hydration reaction of cement and the substantial strength development of the board (Hermawan et al., 2001; Sudin & Swamy, 2006).

Statistical AnalysisC.

The statistical analysis of the physical and mechanical properties of cement boards with catalyst treatment is listed in Table 4. The addition of 5% MgCl2 provided significant effect forwater absorption, internal bond (IB) and screw withdrawal(SW),butnotsignificantformoisturecontent (MC), thickness swelling (TS), modulus of rupture (MOR), and modulus of elasticity (MOE)atasignificantlevelof 5%.

This shows that the addition of a 5% solution of MgCl2 catalyst to the cement board cannot significantly affect all of its propertiesatthe5%significancelevel.Forexample,usinga 5% MgCl2 catalyst on cement boards can significantly reduce WA value from 36.37%to 18.82%. As for TS, although the use of 5% MgCl2 catalyst can reduce TS from 1.34% to 1.02%,butstatisticallyatasignificancelevelof 5%isconsideredinsignificant.

SEM AnalysisD.

The bond that occurs between cement and wood particles can be objected using SEM. Figure 1 shows the fractured surface of a mangium cement board with the addition of 5% MgCl2 by SEM.

Figure 1a and 1b show that there was interference with cement hydration, but the formation of calcium silicate hydrate (CSH) and calcium carbonate (CC) did not occur. A mass of amorphous was found that did not develop the interlocking strength potential brought about by CSH and CC, although the cement-board met the standard for mechanical properties. Therefore, the mechanical interlocking process is probably an important mechanism contributing to mechanical strength.

CONCLUSIONIV.

All of the cement-wood/stem particle mixtures without and with MgCl2 as accelerator have good compatibility andclassifiedas “low inhibition”,except for the mixture between mangium wood particles-cement without MgCl2 (moderate inhibition). Cement-bonded particleboards have been successfully made using mangium wood. The cement board made with the addition of

Table 4. Statistical analysis of cement-bonded particleboard properties using two samples T-Test

Tabel 4. Hasil analisis statistik sifat papan semen menggunakan uji-T dua contoh uji

Moisture Content

(Kadar air)

Thickness Swelling(Pengembangan tebal)

Water Absorption

(Daya serap air)

Modulus of Rupture

(Modulus patah)

Modulus of Elasticity(Modulus elastisitas)

Internal Bond(Kuat rekat

internal)

Screw Witthdwawal

(Kuat pegang sekrup)

MgCl2 addition 0.791ns 0.206ns 0.005sig 0.074ns 0.059ns 0.005sig 0.003sig

Remarks (Keterangan):ns:notsignificantatasignificantlevelof 5%;sig:significantatasignificantlevelof 5%

Page 29: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

87

Compatibility of Four Tropical Wood Species and Sago Stem to Cement and Properties of Mangium Cement Bonded Particleboard(Dede Hermawan, Ismail Budiman, Herman Siruru, Jessica Hendrik, & Gustan Pari)

5% MgCl2 has better physical and mechanical properties if compared with the cement-board without MgCl2 and fulfilled the standard for allof the physical and mechanical properties. SEM analysis shows that there was interference with cement hydration, and the formation of calcium silicate hydrate and calcium carbonate did not occur, andprobablygivea significanteffectonthe mechanical properties.

AUTHOR CONTRIBUTIONS

DH, IB and GP conducted the ideas, designs and experimental designs; trials and test treatments are car ried out by IB, HS, and JES; DH and IB collected and analysed the data; DH, IB, HS, JES, and GP wrote the manuscript; DH, IB,andGPeditedandfinalizedthemanuscript.

REFERENCES

Amini, M. H. M., Rasat, M. S. M., Mohamed, M., Wahab, R., Ramle, N. H., Khalid, I., & Yunus, A. M. (2017). Chemical composition of small diameter wild Acacia mangium species. APRN Journal of Engineering and Applied Sciences, 12(8), 2698-2702.

Castro, V. G., Azambuja, R. da R., Bila, N. F., Parchen, C. F. A., Sassaki, G. I., & Iwakiri, S. (2018). Correlation between chemical composition of tropical hardwoods and wood–cement compatibility. Journal of Wood Chemistry and Technology, 38(1), 28–34. doi: 10.1080/02773813.2017.1355390.

Figure 1. Scanning electron microscopy photographs of fracture surface of mangium cement board with addition of 5% MgCl2, (a) 2000x magnification and (b) 3500x

magnification, CE, cement clinkerGambar 1. Foto pemindaian mikroskop elektron dari patahan permukaan papan semen kayu mangium dengan penambahan MgCl2 5%, (a) perbesaran 2000x dan (b) perbesaran 3500x,

CE, klinker semen

Erakhrumen, A. A., Areghan, S. E., Ogunleye, M. B., Larinde, S. L., & Odeyale, O. O. (2008). Selected physico-mechanical properties of cement-bonded particleboard made from pine (Pinus caribaea M.) sawdust-coir (Cocos nucifera L.) mixture. Scientific Research and Essays, 3(5), 197–203.

Frybort, S., Mauritz, R., Teischinger, A., & Müller, U. (2008). Cement bonded composites - A mechanical review. BioResources, 3(2), 602–626.

Gasparik, G., Gaff, M., Kacik, F., & Sikora, A. (2019). Color and chemical changes in teak (Tectona grandis L.f.) and meranti (Shorea spp.) wood after thermal treatment. BioResources, 14(2), 2667-2683.

Hermawan, D., Subiyanto, B., & Kawai, S. (2001). Manufacture and properties of oil palm frond cement-bonded board. Journal of Wood Science, 47, 208–213. doi: 10.1007/BF01171223.

Hermawan, D., Hata, T., Umemura, K., Kawai, S., Nagadomi, W., & Kuroki, Y. (2001). Rapid production of high-strength cement-bonded particleboard using gaseous or supercritical carbon dioxide. Journal of Wood Science, 47(4), 294–300. doi: 10.1007/BF00766716.

Hofstrand, A.D., Moslemi, A.A., & Garcia, J.F. (1984). Curing characteristics of wood particles from nine northern Rocky Mountain species mixed with Portland cement. Forest Products Journal, 2, 567-70.

Page 30: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

88

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 81-90

Kilic, A., & Niemz, P. (2012). Extractives in some tropical woods. European Journal of Wood and Wood Products, 70(1–3), 79–83. doi: 10.1007/s00107-010-0489-8.

Lisboa, F. J. N., Scatolino, M. V., de Paula Protásio, T., Júnior, J. B. G., Marconcini, J. M., & Mendes, L. M. (2018). Lignocellulosic materials for production of cement composites: Valorization of the alkali treated soybean pod and eucalyptus wood particles to obtain higher value-added products. Waste and Biomass Valorization, 11, 2235–2245. doi: 10.1007/ s12649-018-0488-2.

Marques, M. L., Luzardo, F. H. M., Velasco, F. G., González, L. N., Silva, E. J. da, & Lima, W. G. de. (2016). Compatibility of vegetable fiberswith portland cement and its relationship with the physical properties. Revista Brasileira de Engenharia Agrícola e Ambiental, 20(5), 466–472. doi: 10.1590/1807-1929/agriambi.v20n5p466-472.

Na, B., Wang, Z., Wang, H., & Lu, X. (2014). Wood-cement compatibility review. Wood Research, 59(5), 813–825.

Okino, E. Y. A., De Souza, M. R., Santana, M. A. E., Alves, M. V. D. S., De Sousa, M. E., & Teixeira, D. E. (2004). Cement-bonded wood particleboard with a mixture of eucalypt and rubberwood. Cement and Concrete Composites, 26(6), 729–734. doi: 10.1016/S0958-9465(03) 00061-1.

Snoeck, D., Smetryns, P., & Belie N. D. (2012). Improved multiple cracking and autogenous healing in cementitious materials by means of chemically-treatednaturalfibres.Biosystems Engineering, 139, 87-89. doi: 10.1016/j. biosystemseng.2015.08.007.

Sudin, R. & Swamy, N. (2006). Bamboo and wood fibre cement composites for sustainableinfrastructure regeneration. Journal of Materials Science, 41, 6917–6924. doi: 10.1007/s10853-006-0224-3.

Vaickelionis, G. & Vaickelioniene, R. (2006). Cement hydration in the presence of wood extractives and pozzolan mineral additives. Ceramics - Silikaty, 50(2), 115–122.

Wang, X. & Yu, Y. (2012). The compatibility of two common fast-growing species with portland cement. Journal of the Indian Academy of Wood Science, 9(2), 154–159. doi: 10.1007/s13196-012-0081-4.

Wei, Y. M., Zhou, Y. G., & Tomita, B. (2000). Study of hydration behavior of wood cement-based composite II: Effect of chemical additives on the hydration characteristics and strengths of wood-cement composites. Journal of Wood Science, 46(6), 444–451. doi: 10.1007/ BF00765802.

Page 31: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

89

Compatibility of Four Tropical Wood Species and Sago Stem to Cement and Properties of Mangium Cement Bonded Particleboard(Dede Hermawan, Ismail Budiman, Herman Siruru, Jessica Hendrik, & Gustan Pari)

APPENDIX 1. Two-Sample T-Test and CI: MC (%), MgCl2

Lampiran 1. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Kadar air (%), MgCl2

Two-sample T for MC (%)MgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 8.443 0.478 0.245 4 8.319 0.743 0.37

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: 0.12495% CI for difference: (-1.012; 1.260)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=0.28P-Value=

0.791 DF = 5

APPENDIX 2. Two-Sample T-Test and CI: TS (%), MgCl2

Lampiran 2. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Pengembangan tebal (%), MgCl2

Two-sample T for TS (%)MgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 1.339 0.354 0.185 4 1.025 0.218 0.11

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: 0.31495% CI for difference: (-0.263; 0.891)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=1.51P-Value=

0.206 DF = 4

APPENDIX 3. Two-Sample T-Test and CI: WA (%), MgCl2

Lampiran 3. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Daya serap air (%), MgCl2

Two-sample T for WA (%)MgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 36.37 4.70 2.45 4 18.816 0.600 0.30w

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: 17.5695% CI for difference: (10.01; 25.10)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=7.41P-Value=

0.005 DF = 3

APPENDIX 4. Two-Sample T-Test and CI: MOR (MPa), MgCl2

Lampiran 4. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Modulus patah (MPa), MgCl2

Two-sample T for MOR (MPa)MgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 7.00 1.65 0.825 4 9.18 1.02 0.51

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: -2.18295% CI for difference: (-4.671, 0.306)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=-2.25P-Value

= 0.074 DF = 5

APPENDIX 5. Two-Sample T-Test and CI: MOE (GPa), MgCl2

Lampiran 5. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Modulus modulus elastisitas (GPa), MgCl2

Two-sample T for MOE (GPa)MgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 2.257 0.538 0.275 4 3.061 0.299 0.15

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: -0.80495% CI for difference: (-1.658; 0.050)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=-2.61P-Value

= 0.059 DF = 4

APPENDIX 6. Two-Sample T-Test and CI: IB (MPa), MgCl2

Lampiran 6. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Kuat rekat internal (MPa), MgCl2

Two-sample T for IBMgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 0.3313 0.0680 0.0345 4 0.779 0.148 0.074

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: -0.447495% CI for difference: (-0.6730; -0.2217)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=-5.50P-Value

= 0.005 DF = 4

Page 32: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

90

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 81-90

APPENDIX 7. Two-Sample T-Test and CI: SW (N), MgCl2

Lampiran 7. Uji-T dua contoh uji dan selang kepercayaan: Kuat Pegang Sekrup (N), MgCl2

Two-sample T for SWMgCl2 N Mean StDev SE Mean

0 4 271.5 44.6 225 4 487.4 68.3 34

Difference=μ(0)-μ(5)Estimate for difference: -215.995% CI for difference: (-320.8; -111.1)T-Testof difference=0(vs≠):T-Value=-5.29P-Value

= 0.003 DF = 5

Page 33: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

doi : 10.20886/jphh.2020.38.2.91-104

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104p-ISSN: 0216-4329e-ISSN: 2442-8957Terakreditasi Peringkat 2, No: 21/E/KPT/2018

91

POTENSI TANAMAN PANDAN LAUT (Pandanus tectorius) DAN LIMBAH INDUSTRI GANDUM KOTA CILEGON SEBAGAI BAHAN

BAKU SINTESIS BIOETANOLThe Potency of Sea Pandanus (Pandanus tectorius) and Wheat Industries Waste

in Cilegon as Raw Material for Bioethanol Synthesis

Agus Malik Ibrahim, Agrin Febrian Pradana, Gagas Priyosakti, Miftahul Arifin, Tuti Alawiyah, & Perliansyah

Program Studi Kimia, Sekolah Tinggi Analis Kimia Cilegon Jl. Lingkar Selatan KM 1,7 Serang 42616

E-mail : [email protected]

Diterima 2 Oktober 2019, direvisi 20 Januari 2020, disetujui 21 Februari 2020

ABSTRACT

The minimum requirement of bioethanol utilization (E100) as a mixture of fuel oil is required as much as 20%, of the total needs in January 2025 as stated in the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources number 12 in 2015. Indonesia is a country that has many potential raw materials for the development of bioethanol as renewable energy, such as sea pandanus plants (Pandanus tectorius) and food industry wastes such as the wheat industry. Sea pandanus plants are commonly found throughout the Indonesian archipelago and are available endemically. While wheat industrial waste is available in industrial areas such as in Banten Province, which has so far not been utilized as a source of biofuels. The purpose of this research is to get bioethanol product from new sources based on natural materials and industrial waste. The stages of research began with raw materials preparation, proximate analysis, gelatinization, liquefaction, pre-saccharification, fermentation, distillation process, and quantitative analysis using instruments. The results showed that the sea pandanus leaf had the potential for bioethanol synthesis with the highest amount of recovery and efficiency were 309 mL and 0.62 mL/g respectively, whereas based on the results of gas chromatography (GC) analysis, the bioethanol product which had the highest purity was from wheat bran waste with a purity level of 97.64%.

Keywords: Biofuel, natural resources, bran, pollard, Saccharomyces cerevisiae, fermentation

ABSTRAK

Pemanfaatan bioetanol (E100) sebagai campuran bahan bakar minyak dipersyaratkan minimal sebanyak 20% terhadap kebutuhan total pada Januari 2025 seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015. Indonesia adalah negara yang memiliki banyak potensi bahan baku baru untuk pengembangan bioetanol sebagai energi terbarukan, salah satunya tanaman pandan laut (Pandanus tectorius) dan limbah industri pangan seperti industri gandum. Tanaman pandan laut banyak dijumpai di seluruh kepulauan Indonesia dan tersedia secara endemik, sedangkan limbah industri gandum tersedia di daerah industri seperti Provinsi Banten, yang selama ini belum termanfaatkan menjadi sumber bahan bakar nabati. Tujuan penelitian ini adalah mensintesis bioetanol dari daun pandan laut (Pandanus tectorius) dan limbah industri gandum. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan pengetahuan yang diperlukan dalam merencanakan pembuatan bioetanol. Tahapan penelitian dimulai dari proses preparasi bahan baku, ujiproksimat,gelatinisasidanlikuifaksi,pra-sakarifikasi,fermentasi,destilasidananalisiskuantitatif menggunakan instrumen. Hasil penelitian menunjukkan daun pandan laut memiliki potensi untuk

Page 34: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

92

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

sintesisbioetanoldenganjumlahrendemendanefisiensitertinggi(309mLdan0,62mL/g),sedangkanberdasarkan hasil analisis gas chromatography (GC), bioetanol yang memiliki kadar kemurnian tertinggi adalah dari limbah kulit ari biji gandum (bran) dengan kadar kemurnian 97,64%.

Kata kunci: Biofuel, sumber daya alam, bran, pollard, Saccharomyces cerevisiae, fermentasi

PENDAHULUANI.

Persediaan bahan bakar minyak berbasis fosil yang tidak terbarukan semakin menipis, sehingga diperlukan bahan bakar komplementer atau pengganti yang bersifat terbarukan. Salah satu bahan bakar nabati yang saat ini sedang digalakkan penggunaannya adalah bioetanol. Bioetanol adalah etanol (C2H5OH) yang diproduksi dari biomassa yang mengandung komponen pati, gula, atau selulosa, dan juga dari limbah biomassa. Bioetanol diproduksi dengan teknologi biokimia melalui proses hidrolisis dan fermentasi bahan baku, kemudian etanol yang dihasilkan dipisahkan kandungan airnya dengan proses destilasi dan dehidrasi (Hidayati et al., 2016). Penelitian sebelumnya mengenai sintesis bioetanol dari biomassa menghasilkan kadar kemurnian etanol yang masih relatif rendah. Hasil kadar bioetanol pada penelitian-penelitian sebelumnya sangat bervariasi mulai dari nilai di bawah 1% hingga di atas 80% karena sangat bergantung pada jenis dan karakteristik bahan yang digunakan.

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki banyak potensi bahan baku untuk pengembangan bioetanol sebagai energi terbarukan. Wujud dukungan pemerintah Indonesia dalam pengembangan bahan bakar berbasis biofuel tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 12 tahun 2015. Kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol (E100) sebagai campuran bahan bakar minyak dipersyaratkan sebanyak 20% terhadap kebutuhan total pada Januari 2015 (ESDM, 2015).

Potensi sumber daya tanaman pandan laut dan limbah gandum di Indonesia belum diketahui dan belum pernah dilaporkan, tetapi tanaman pandan laut (Pandanus tectorius) banyak dijumpai di seluruh kepulauan Indonesia dan tersedia secara endemik, sedangkan limbah industri gandum tersedia di daerah industri seperti di Provinsi Banten. Pandanus tectorius

adalah salah satu spesies pandan yang diakui sebagai spesies kompleks yang sangat bervariasi dan tersebar luas di daerah pesisir pantai Asia Tenggara. Buah pandan laut telah dilaporkan memiliki kandungan lignoselulosa berdasarkan tiga tingkat kematangan, yaitu belum matang, matang, dan lewat matang. Kandungan lignoselulosa pada bagian endosperm buah yang matang adalah hemiselulosa (26,5%), selulosa (16,5%), dan lignin (24,2%) (Abduh et al., 2017). Telah dilaporkan bahwa bagian mesokarp dari pandan kaya dengan karbohidrat (74%), protein (10%), dan β-karoten(1,6μg/g).Bijinyadilaporkan memiliki kandungan karbohidrat yang lebih rendah (25%) tetapi proteinnya lebih tinggi (15,4%), β-karoten (4,4 μg/g), dan jugamengandung lemak yang cukup besar (48,5%) (Kogoya et al., 2014).

Limbah industri gandum yang umumnya dikenal adalah limbah biji gandum dengan proporsi 2−3%, dedak gandum (pollard) dengan proporsi 13−17%, lembaga biji (germ) dengan proporsi 10−15%, dan limbah kulit luar gandum (bran) dengan proporsi 5-10%. Gandum merupakan tanaman “purba” yang lebih duludibudidayakan oleh manusia daripada padi dan jagung dan kini menjadi makanan pokok bagi penduduk di lebih dari 40 negara. Sebagaimana halnya padi dan jagung, gandum termasuk famili Poacea (Gramineae). Protein biji gandum terkonsentrasi pada bagian germ sekitar 23%, sedangkan lemak relatif tinggi sekitar 10%, walaupun proporsi dari biji utuh gandum hanya 2−3%. Proporsi endosperm pada biji utuh gandum 80−85%, tidak mengandung lemak, protein hanya 7%. Pada bagian ini kadar karbohidrat biji gandum sekitar 79%. Bagian dedak dengan proporsi 13−17% mengandung protein 16%, lemak 3%, dan karbohidrat sekitar 63% (Sumarno & Mejaya, 2016).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan spesifik untuk mendapatkan bioetanol daribahan baku baru berbasis bahan alam (tanaman pandan laut) dan limbah industri pangan

Page 35: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

93

Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol(AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah)

(limbah industri gandum). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan pengetahuan yang diperlukan dalam merencanakan pembuatan bioetanol berbasis tumbuhan dan limbah industri pangan.

BAHAN DAN METODEII.

Bahan dan AlatA.

Bahan baku tanaman pandan laut (Pandanus tectorius) berasal dari daerah pesisir pantai kota Cilegon dan Kabupaten Serang. Limbah industri gandum diperoleh dari industri pengolahan gandum yang berada di Kota Cilegon dan Kabupaten Serang. Bahan lain adalah enzim alfa amilase, enzim glukoamilase, Saccharomyces cereviceae, dan akuades. Peralatan yang digunakan meliputi timbangan analitik, oven/pemanas, peralatan gelas, perangkat soxhlet, moisture analyzer, dan perangkat destilasi. Analisis kadar gula menggunakan instrumen refraktometer. Analisis kuantitatif bioetanol menggunakan instrumen gas chromatography (GC) merk Shimadzu. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2018 hingga Agustus 2019 di Sekolah Tinggi Analis Kimia Cilegon.

Persiapan Bahan Baku dan Analisis B. Proksimat

Setiap jenis bahan baku diuji secara proksimat untuk mengetahui kadar metabolit primer pada setiap bahan. Analisis proksimat berupa uji kadar air menggunakan instrumen halogen moisture analyzer, kadar abu menggunakan metode gravimetri, kadar lemak menggunakan metode soxhlet, kadar protein menggunakan metode Kjeldahl, dan kadar karbohidrat menggunakan metode perhitungan carbohydrate by difference.

Prosedur pengujian kadar air berdasarkan metode AOAC tahun 2005 (Olagbemide & Ogunnusi, 2015). Instrumen moisture analyzer dihidupkan dan ditera. Sampel sebanyak 5 g ditempatkan dalam cawan aluminium di dalam instrumen, suhu pemanasan diatur pada 105 °C, kemudian ditutup dan ditunggu hingga hasil analisis kadar air ditampilkan.

Prosedur pengujian kadar abu menggunakan metode AOAC tahun 2005 (Olagbemide & Ogunnusi, 2015). Wadah dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100° C selama kurang lebih satu jam, lalu ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 2 g lalu dipanaskan dalam tanur dengan suhu 550 °C selama delapan jam hingga diperoleh abu. Wadah didinginkan kemudian ditimbang. Kadar abu sampel dihitung dengan rumus persentase selisih berat sebelum dan sesudah pemanasan.

Prosedur pengujian kadar lemak menggunakan metode Pearson tahun 1976 (Olagbemide & Ogunnusi, 2015). Sampel dihaluskan dan diambil sebanyak 2 g. Labu ekstraksi ditimbang berat kosongnya dan dipasang pada alat destilasi soxhlet dengan pelarut n-heksana selama empat jam. Residu dalam labu ekstraksi diaduk dan ektraksi dilanjutkan kembali selama dua jam dengan pelarut yang sama. Pelarut n-heksana yang telah mengandung ekstrak lemak diuapkan dengan pemanas air hingga agak pekat. Pengeringan diteruskan di dalam oven pada suhu 100° C hingga berat konstan. Kadar lemak dihitung menggunakan rumus persentase selisih berat labu sebelum dan setelah proses ekstraksi soxhlet.

Prosedur pengujian kadar protein menggunakan metode Pearson tahun 1976 (Olagbemide & Ogunnusi, 2015). Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan katalis K2SO4 sebanyak 1 g dan larutan H2SO4 pekat sebanyak 10 mL dan didestruksi dalam lemari asam hingga cairan tidak berwarna. Sampel kemudian diangkat dan didinginkan. Setelah dingin, sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan akuades sebanyak 50 mL, tiga tetes indikator PP dan larutan NaOH 40% hingga basa (warna biru pada kertas lakmus), dan ditambahkan batu didih secukupnya. Larutan HCl 0,1 N sebanyak 10 mL dan dua tetes indikator metal merah dimasukkan ke dalam gelas piala sebagai penampung. Sampel didestilasi hinggamenghasilkan filtrat sebanyak50 mL. Filtrat tersebut dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga berwarna kuning. Kadar protein didapat dengan menghitung nilai % N dan dikalikan faktor konversi 6,25.

Page 36: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

94

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

Gelatinisasi dan Likuifaksi C.

Preparasi bahan dimulai dengan setiap jenis bahan baku dicuci dengan air bersih, dihaluskan, dan diperas menggunakan kain kasa ukuran 300 mesh sebanyak dua kali untuk diambil airnya yang mengandung pati. Air hasil perasan diendapkan selama 3 hari sehingga pati akan mengendap di dasar wadah. Pati yang telah terbentuk dipisahkan dari air, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari, disaring, dan diayak sehingga diperoleh pati yang homogen.

Sebanyak 500 g pati dari setiap jenis bahan, masing-masing dicampur dengan 2,3 L aquades kemudian dipanaskan selama 30 menit pada suhu 75 °C di dalam panci disertai dengan pengadukan. Larutan pati yang semula encer akan berubah wujudnya menjadi seperti bubur kental. Bubur pati ditambahkan enzim α-amilase dengan volume enzim sebanyak 3 mL. Campuran dipanaskan selama 30 menit dan suhu dijaga 80−90 °C dengan pengadukan (Hargono & Suryanto, 2015).

Pra-sakarifikasi D.

Setelah proses likuifaksi selesai, larutan didinginkan hingga suhu 60 °C. Kemudian dilanjutkan dengan proses pra-sakarifikasidengan penambahkan enzim gluko-amilase dengan volume enzim sebanyak 3 mL pada masing masing jenis bahan baku. Proses ini berlangsung selama 1,5 jam pada suhu 60−62 °C. Selamaproses likuifaksidanpra-sakarifikasipHdiatur dalam range 4−5 dengan menggunakan larutan HCl 0,1 N dan larutan NaOH 0,1 N.

Larutan kemudian didinginkan selama 24 jam hingga mencapai suhu ruangan. Hasil dari proses pra-sakarifikasi kemudian diuji kadargula menggunakan refraktometer (Hargono & Suryanto, 2015).

Refraktometer merupakan alat untuk mengukur indeks bias cairan atau padatan dalam cairan dengan presentase padatan 0−95%. Cara kerja refraktometer didasarkan pada hukum Snellius yaitu sudut kritis yang dibentuk oleh cahaya yang datang akan menghasilkan kadar zat yang dianalisis. Satuan skala pembacaan adalah %brix (Misto & Mulyono, 2017).

Fermentasi E.

Ragi Saccharomyces cerevisiae ditambahkan ke dalam larutan substrat masing-masing jenis bahan baku dengan massa ragi sebanyak 20 g. Masing-masing campuran ditambahkan nutrien berupa NPK dan urea sebanyak 7 g/L. Proses fermentasi dilakukan pada suhu 25−30 °C selama enam hari dengan kisaran pH 4−5. Proses berlangsung secara anaerob. Hasil proses fermentasi disaring menggunakan kain saring untuk memisahkan endapan dengan larutan etanol-air (Hargono & Suryanto, 2015).

Destilasi dan AnalisisF.

Bioetanol hasil fermentasi dimurnikan dengan cara destilasi. Campuran etanol-air hasil fermentasi didestilasi pada suhu 80 °C selama 2−3 jam (Hanum et al., 2013). Bioetanol yang telah dimurnikan dianalisis secara kuantitatif menggunakan instrumen gas chromatography (GC)

Gambar 1. Buah dan daun pandan lautFigure 1. Fruit and leaf of sea pandanus

Page 37: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

95

Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol(AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah)

Shimadzu. Gas helium digunakan sebagai gas eluen dan rentang suhu yang digunakan untuk analisis dimulai dari 50°C sampai 150°C, dengan kenaikan suhu setiap 5°C.

HASIL DAN PEMBAHASANIII.

Karakteristik dan Hasil Analisis A. Proksimat Bahan Baku

Daun pandan laut berbentuk pita, kaku, hijau kebiruan dan berlilin, bertulang daun sejajar, dengan duri tempel pada tepi daun dan sisi bawah ibu tulang daun, berujung meruncing.

Buah pandan laut merupakan buah majemuk (terdiri dari banyak buah tunggal), sangat bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan warnanya (Prasaja et al., 2015). Bentuk buah dan daun pandan laut ditampilkan pada Gambar 1.

Limbah gandum berupa sisa material yang terbentuk dari pemrosesan biji gandum di industri. Bentukfisikbahanbran dan pollard ditampilkan pada Gambar 2.

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kadar metabolit primer dan sebagai uji penegasan bahwa bahan-bahan tersebut memiliki kadar karbohidrat yang dominan.

Gambar 2. Limbah bran dan pollard gandumFigure 2. Bran and pollard waste

Tabel 1. Hasil uji proksimat tanaman pandan laut dan limbah industri gandumTable 1. Results of proximate analysis of sea pandanus and wheat industry waste

Parameter Uji (Parameters)

Persentase (Percentage, %)Rata-rata

(Average, %)

Standar Deviasi (Standard Deviation)

Daun Pandan Laut (Sea Pandanus

Leaves)

Daging Buah Pandan Laut (Sea Pandanus Fruits)

Bran Pollard

Kadar protein (Protein content)

6,21 4,43 12,65 14,03 9,33 4,72

Kadar abu (Ash content)

4,74 5,81 4,59 3,50 4,66 0,95

Kadar air (Water content)

10,53 10,19 11,17 11,61 10,88 0,64

Kadar lemak (Lipid content)

8,56 7,73 3,50 2,95 5,69 2,87

Kadar karbohidrat (Carbohydrate content)

69,96 71,84 68,09 67,91 69,45 1,84

Total 100 100 100 100

Page 38: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

96

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

Hal tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan senyawa-senyawa golongan gula, yang nantinya pada proses fermentasi akan diubah menjadi etanol. Kadar karbohidrat memang menjadi yang paling dominan untuk semua jenis bahan. Kadar karbohidrat yang relatif rendah akan menghasilkan rendemen bioetanol yang rendah pula, karena monosakarida hasil pemecahan polisakarida juga semakin sedikit, sehingga senyawa substrat yang terlibat dalam proses fermentasi juga sedikit (Sumarno & Mejaya, 2016).

Hasil uji proksimat keempat jenis bahan baku yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 1. Nilai kadar air yang didapat relatif tidak terlalu besar dan tidak berbeda jauh antara keempat jenis bahan. Kadar air tertinggi didapat pada pollard (11,61%) dan yang terendah pada daging buah pandan laut (10,19%). Kadar

abu tertinggi diperoleh pada buah pandan laut (5,81%) dan yang terendah pada gandum pollard (3,50%).

Berdasarkan nilai standar deviasi yang didapat, hasil pengujian kadar protein memiliki nilai standar deviasi yang tinggi dikarenakan rentang data atau variasi yang didapat cukup besar. Data terkecil pada kadar protein adalah 4,43% sedangkan yang tertinggi 14,03%. Data hasil pengujian kadar lemak, kadar abu, dan kadar air relatif memiliki rentang data yang lebih sempit sehingga nilai standar deviasi yang didapat rendah.

Jumlah pati yang ditargetkan untuk setiap bahan baku adalah 500 g dan jumlah bahan baku menyesuaikan kebutuhan tersebut. Sehingga jumlah bahan baku harus ditambahkan jika belum diperoleh jumlah yang mendekati 500 g pati. Berdasarkan hasil preparasi pati, nilai efisiensi rendemen pati terbaik didapat pada

Tabel 2. Perbandingan efisiensi rendemen patiTable 2. Efficiency comparison of starch yield

Bahan (Materials)

Daun Pandan Laut (Sea Pandanus Leaves)

Buah Pandan Laut (Sea Pandanus Fruits) Bran Pollard

Jumlah bahan baku awal (Raw material quantity, kg)

14 4 1 1

Jumlah pati (Amount of starch, g)

499 496 492 499

Efisiensiberdasarkanrendemenpati dan berat bahan baku awal (Efficiency based on starch yield and raw material weight, g/kg)

36 124 492 499

Gambar 3. Hasil proses hidrolisis patiFigure 3. Results of starch hydrolysis process

Page 39: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

97

Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol(AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah)

bran dan pollard, sedangkan daun pandan laut dan daging buah pandan laut membutuhkan jumlah bahan baku yang jauh lebih banyak untuk mendapatkan jumlah mendekati 500 g pati. Rendemen pati yang didapat dari hasil preparasi bahan baku disajikan pada Tabel 2.

Mekanisme Reaksi Hidrolisis PatiB.

Pemrosesan khusus untuk buah pandan laut hanya memanfaatkan daging buahnya saja sementara bijinya tidak digunakan karena teksturnya sangat keras dan sulit untuk diolah. Diperoleh data bahwa dari berat total 32,5 kg buah pandan laut, berat bijinya mencapai 28,5 kg, dan berat daging buah 4 kg dapat menghasilkan pati seberat 1 kg. Jumlah yang relatif sedikit namun dimanfaaatkan sebaik mungkin, karena buah pandan laut ini berbuah sekali dalam setahun.

Secara garis besar, tahap hidrolisis pati adalah gelatinisasi, likuifaksi, dan sakarifikasi. Prinsiphidrolisis pati adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit monosakarida yaitu glukosa (C6H12O6). Gelatinisasi yaitu pemecahan pati yang berbentuk granular menjadi suspensi yang viscous.

Granular pati membengkak akibat peningkatan volume oleh air dan tidak dapat kembali lagi ke kondisi semula. Pemutusan ikatan pada karbohidrat menjadi glukosa dapat menggunakan beberapa metode hidrolisis diantaranya metode kimiawi (hidrolisis asam) atau enzimatik (Usmana et al., 2012). Hidrolisis

secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan hidrolisis asam, karena prosesnya lebihspesifik,kondisiprosesnyadapatdikontrol,biaya pemurnian lebih murah, dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Rahmayanti, 2010). Hasil hidrolisis pati pada buah pandan disajikan pada Gambar 3.

Enzim α-amilase berperan mengubah polisakarida menjadi monosakarida dengan cara memotong ikatan α-1,4 glikosidik pada molekul pati (karbohidrat) sehingga terbentuk molekul-molekul karbohidrat yang lebih pendek. Suhu optimum enzim α-amilase yaitu sekitar 80–90 °C. Hasil dari pemotongan enzim ini antara lain maltosa, maltotriosa, dan glukosa, sedangkan mekanisme reaksi pada enzim glukoamilase selain memotong ikatan α-1,4 glikosidik, enzim ini juga dapat memecah ikatan α-1,6 meskipun dengan frekuensi yang lebih rendah. Suhu optimum enzim glukoamilase berkisar 60–62 °C dan pH optimum 4–5, dengan hasil utama pemecahannya adalah glukosa. Glukoamilase adalah salah satu enzim kelas15yangberperandalamprosessakarifikasipati (Saini et al. 2017). Skema pemutusan ikatan glikosidik oleh enzim α-amilase dan glukoamilase ditampilkan pada Gambar 4.

Proses hidrolisis dipengaruhi beberapa faktor, antara lain jumlah kandungan karbohidrat pada bahan baku, pH operasi atau konsentrasi asam yang digunakan, waktu hidrolisis, suhu hidrolisis, dan katalisator (Sari & Ernawati, 2017). Selama

Gambar 4. Skema pemutusan ikatan glikosidik oleh enzim α-amilase dan glukoamilaseFigure 4. Scheme of chemical bond breaking by α-amylase and glucoamylase enzyme

Page 40: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

98

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

proses gelatinisasi, likuifaksi sampai proses sakarifikasi, perlu dilakukan pengadukan.Hal ini bertujuan untuk meningkatkan difusi sehingga transfer material menjadi meningkat dari permukaan partikel ke bulk solution (Hidayati et al., 2016).

Kadar Gula Hasil Hidrolisis Pati dan C. Mekanisme Reaksi Fermentasi

Kadar gula hasil proses hidrolisis pati dianalisis menggunakan instrumen refraktometer untuk melihat konsentrasi glukosa yang didapatkan, yang merupakan substrat untuk fermentasi alkohol. Proses analisis kadar gula menggunakan refraktometer disajikan pada Gambar 5.

Hasil analisis kadar gula sebelum proses fermentasi didapatkan bahwa bahan yang memiliki nilai rata-rata kadar gula tertinggi adalah bahan bran sebesar 7,35% brix, sedangkan yang terendah adalah daun pandan laut yaitu sebesar 2,74% brix. Secara umum untuk keempat jenis bahan, perbedaan ini disebabkan efektivitas enzim α-amilase dan glukoamilase dalam menghidrolisis pati dari bahan-bahan dasar tersebut. Semakin tinggi nilai kadar gula, maka

potensi keberhasilan fermentasi alkohol semakin besar, dengan kata lain potensi didapatkannya rendemen bioetanol dengan jumlah relatif banyak dan tingkat kemurnian yang tinggi juga semakin besar. Hasil analisis kadar gula secara lengkap menggunakan refraktometer disajikan pada Tabel 3.

Proses selanjutnya setelah didapatkan hasil analisis kadar gula yaitu fermentasi. Proses fermentasi pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses fermentasiFigure 6. Fermentation process

Gambar 5. Analisis kadar gula menggunakan refraktometerFigure 5. Sugar content analysis by refractometer

Tabel 3. Hasil analisis kadar gula menggunakan refraktometerTable 3. Results of sugar analysis by refractometer

Sampel(Samples)

Brix (%)Daun Pandan Laut

(Sea Pandanus Leaves)Buah Pandan Laut(Sea Pandanus Fruits) Bran Pollard

Data 1 2,8 3,0 7,6 5,9

Data 2 2,7 3,6 7,1 6,1

Rata-rata (Average) 2,7 3,3 7,3 6,0

Page 41: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

99

Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol(AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah)

Fermentasi dilakukan selama enam hari karena Saccharomyces cerevisiae memiliki keterbatasan untuk hidup pada kadar alkohol tertentu. Hal tersebut bertujuan agar diperoleh kadar etanol tinggi dan produksi gas tinggi tetapi tidak mengganggu pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae, yang dapat tumbuh pada kondisi pH 5–6 (Azizah et al., 2012). Hasil proses fermentasi adalah campuran etanol dan air. Proses destilasi setelah fermentasi selesai dilakukan bertujuan memisahkan air dan bioetanol yang masih tercampur. Bioetanol yang menjadi uap akibat pemanasan pada suhu sesuai titik didihnya akan mengalami pengembunan setelah melewati saluran pendingin/kondensor dan ditampung di labu erlenmeyer. Meskipun suhu proses destilasi dijaga sebaik mungkin, pada praktiknya ada senyawa-senyawa lain yang memiliki titik didih yang berdekatan

dengan etanol yang ikut menguap dan terbawa bersama etanol, menyebabkan tingkat kemurnian etanol berkurang.

Mekanisme reaksi fermentasi glukosa menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae berjalan melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) (Bayle, Akoka, Remaud, & Robins, 2015). Mekanisme reaksi tersebut memiliki kemiripan dengan mekanisme reaksi yang kita kenal sebagai proses glikolisis, dengan melibatkan enzim-enzim yang bekerja spesifik untuksenyawa-senyawa hasil penguraian glukosa. Glukosa memasuki sebagian besar sel oleh pembawa spesifik yang mengangkutnya daribagian luar sel ke dalam sitosol. Enzim glikolisis terletak di sitosol, terasosiasi sesama enzim atau terikat secara longgar dengan organel sel yang lain. Skema mekanisne reaksi Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) yang dijalani oleh Saccharomyces cerevisiae disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme reaksi fermentasi glukosa melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas Figure 7. Reaction mechanism of glucose fermentation by Embden-Meyerhof-Parnas pathway

Sumber (Source): (Bayle et al., 2015)

Page 42: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

100

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

Hasil rendemen akhir bioetanol diperoleh setelah hasil fermentasi selesai didestilasi. Rendemen bioetanol akhir dihitung dengan mengalikan volume hasil destilasi dengan persentase kadar etanol hasil analisis gas chromatography (GC). Rendemen bioetanol yang didapatkan dari bahan daun pandan laut sebanyak 309 mL, buah pandan laut sebanyak 38 mL, sementara bran dan pollard masing-masing 78 mL dan 27mL.Efisiensi hasil rendemen bioetanoldari keempat jenis bahan disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan perbandingan jumlah rendemen dannilaiefisiensi,daunpandanlautadalahyangtertinggi (309 mL dan 0,62 mL/g). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sintesis bioetanol dalam penelitian ini, meskipun dari jumlah awal pati yang sama, dipengaruhi kinerja enzim α-amilase dan glukoamilase pada proses hidrolisis pati. Selain hal itu meskipun jumlah ragi dan waktu fermentasi sama, tetapi kinerja Saccharomyces cerevisiae ketika proses fermentasi juga ikut menentukan, terlihat dari tidak liniernya kadar glukosa pada bahan

dalam satuan % brix terhadap jumlah rendemen bioetanol. Bran memiliki nilai kadar gula tertinggi, tetapi daun pandan laut yang kadar gulanya paling rendah dibandingkan bahan lain menghasilkan rendemen yang paling banyak.

Perbandingan tersebut hanya meninjau dari segi rendemen, sedangkan perbandingan kadar kemurnian bioetanol dibahas berdasarkan hasil uji kuantitatif.

Uji Kuantitatif BioetanolD.

Perbedaan kadar kemurnian bioetanol dari setiap jenis bahan diakibatkan dari perbedaan kinerja Saccharomyces cerevisiae ketika proses fermentasi. Senyawa selain etanol yang merupakan hasil samping mekanisme reaksi fermentasi atau zat pengotor (impurities) yang didapat, sebagian besar adalah senyawa-senyawa golongan alkohol (metanol, sekunder butil alkohol, propanol, butanol, pentanol) dan keton (aseton, metil etil keton, dan metil isobutil keton). Senyawa alkohol dan keton tersebut memiliki titik didih yang

Tabel 4. Perbandingan rendemen bioetanol dan efisiensi dari tanaman pandan laut dan limbah industri gandum

Table 4. Comparison of bioethanol recovery and efficiency of sea pandanus and wheat industry waste

Bahan (Materials) Daun Pandan Laut (Sea Pandanus Leaves)

Daging Buah Pandan Laut (Sea Pandanus Fruits) Bran Pollard

Kadar karbohidrat bahan(Carbohydrate content in materials, %)

69,9 71,8 68,1 67,9

Jumlah bahan baku awal(Raw material quantity, kg)

14,0 4,0 1,0 1,0

Jumlah pati (Amount of starch, g)

498,5 496,0 491,7 499,2

Kadar glukosa (Glucose content, % brix)

2,7 3,3 7,3 6,0

Hasil destilasi(Distillation yield, mL)

390,0 40,0 80,0 73,0

Kadar etanol berdasarkan GC (Ethanol content based on GC, mL)

79,3 95,0 97,6 37,3

Rendemen bioetanol (Bioethanol recovery, mL)*)

309,0 38,0 78,0 27,0

Efisiensiberdasarkanrendemenbioetanol dan jumlah pati (mL/g) (Efficiency based on bioethanol yield and starch amount, mL/g)

0,62 0,08 0,16 0,05

Keterangan (Remarks): *) Rendemen bioetanol akhir dihitung dengan mengalikan volume hasil destilasi dengan persentase kadar etanol hasil analisis gas chromatography (GC) (The final bioethanol recovery is calculated by multiplying the volume of the distillation results by the percentage of ethanol content from the gas chromatography (GC) analysis.)

Page 43: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

101

Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol(AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah)

berdekatan dengan titik didih etanol, sehingga besar kemungkinan untuk ikut terbawa sebagai destilat. Senyawa golongan asetat seperti etil asetat juga dimungkinkan terbentuk jika kondisi fermentasi tidak sepenuhnya anaerob atau masih terdapat sedikit oksigen (Bayle et al., 2015).

Hasil analisis GC bioetanol dari bahan daun pandan laut, pada puncak pertama muncul senyawa metanol pada waktu retensi 2,035% dan konsentrasi sebesar 16,24%. Pada puncak kedua didapat senyawa etanol pada waktu retensi 2,105% dan konsentrasi 79,27%. Puncak ketiga didapat senyawa sekunder butil alkohol dengan waktu retensi 2,382% dan konsentrasi 4,49%. Hasil analisis bioetanol buah pandan laut menunjukkan bahwa etanol yang dihasilkan dari hasil fermentasi selama enam hari dengan waktu retensi 4,084 menit dan luas area 5065749 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 95,03%. Kandungan zat pengotor lain yaitu metanol 3,15%, propanol 0,42%, iso butil alkohol 0,38%, etil asetat 0,18%, dan lain-lain.

Hasil analisis bioetanol limbah bran gandum pada waktu retensi 4,073 menit dan luas area 3.488.773 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 97,64%. Kandungan zat pengotor lain

yaitu metanol 0,33%, aseton 0,11%, metil-etil-keton 1,38%, dan senyawa lain dengan kadar yang kecil. Hasil analisis limbah pollard gandum pada waktu retensi 4,073 menit dan luas area 3.488.773 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 97,64%. Kandungan zat pengotor lain yaitu metanol 0,33%, aseton 0,11%, metil-etil-keton 1,38%, dan senyawa lain dengan kadar yang kecil. Rangkuman hasil analisis GC bioetanol dari keempat jenis bahan disajikan pada Tabel 5.

Berdasarkan senyawa-senyawa pengotor (impurities) yang berhasil dideteksi dari analisis GC, menunjukkan bahwa reaksi enzimatis baik pada proses hidrolisis maupun proses fermentasi yang dijalankan oleh Saccharomyces cerevisiae menghasilkan juga produk-produk samping dari tahapan-tahapan mekanisme reaksi yang ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 7. Senyawa metanol yang terdapat pada seluruh variasi sumber bioetanol dapat berasal dari reaksi oksidasi metana (Markowska & Michalkiewicz, 2009), hal ini dimungkinkan ketika hasil fermentasi menghasilkan metana dan selama proses sintesis berlangsung metana tersebut bereaksi dengan oksigen.

Tabel 5. Perbandingan kemurnian bioetanol dari tanaman pandan laut dan limbah industri gandum

Table 5. Comparison of bioethanol purity from sea pandanus and wheat industry waste

Senyawa(Compound)

Konsentrasi (Concentration, %)

Daun Pandan Laut(Sea Pandanus Leaves)

Daging Buah Pandan Laut(Sea Pandanus Fruits) Bran Pollard

Metanol (methanol)

16,2400 3,1476 0,3265 0,4378

Etanol (ethanol)

79,2700 95,0248 97,6411 37,2803

Etil asetat (ethyl acetate)

- 0,1793 0,1765 0,2919

2-butanol 4,4900 - - -n-propanol - 0,6010 - -i-butanol - 0,3798 0,0384 39,8125Aseton (acetone) - - 0,2197 19,4572Metil etil keton (methyl ethyl ketone)

- - 1,3814 2,7203

Metil isobutil keton (methyl isobutyl ketone)

- 0,1156 0,2164 -

Krisin (chrysine) - 0,3709 - -Total 100 100 100 100

Page 44: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

102

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

Senyawa etil asetat sebagai pengotor dapat terbentuk melalui tahapan yang dimulai dari reaksi glukosa hasil proses hidrolisis dengan enzim heksokinase menghasilkan xylulosa 5-fosfat. Senyawa produk tersebut bereaksi dengan enzim fosfoketolase menghasilkan asetil fosfat, dan asetil fosfat selanjutnya bereaksi dengan enzim asetat kinase menghasilkan senyawa golongan asetat (Boumba et al., 2008).

Senyawa aseton sebagai pengotor dapat terbentuk pada proses fermentasi setelah terbentuk senyawa piruvat. Piruvat akan bereaksi dengan enzim piruvat-ferredoksin oksidoreduktase menghasilkan asetil koenzim-A, yang akan bereaksi dengan enzim asetil-KoA-asetiltrasferase menghasilkan asetoasetil koenzim-A. Senyawa produk tersebut bereaksi dengan enzim asetoasetil-KoA-asetat koenzim A transferase menghasilkan asetoasetat, yang akan bereaksi dengan asetoasetate dekarboksilase menghasilkan aseton. Sedangkan butanol memiliki mekanisme awal yang sama dengan aseton sampai pada tahap terbentuknya asetoasetil koenzim-A, namun selanjutnya bereaksi dengan L(+)-b-hidroksibutiril-KoA dehidrogenase, krotonase dan butiril-KoA dehidrogenase menghasilkan butiril-KoA. Senyawa tersebut akan bereaksi dengan butiraldehid dehidrogenase menghasilkan butiraldehid, yang akan bereaksi dengan butanol dehidrogenase menghasilkan butanol (Boumba et al., 2008).

Senyawa metil etil keton dapat terbentuk sebagai hasil dari reaksi dehidrogenasi 2-butanol (Astashkina et al., 2016). Selain itu pengotor lain yaitu metil isobutil keton dapat terbentuk sebagai hasil reaksi kondensasi aldol dari aseton menghasilkan diaseton alkohol, yang selanjutnya mengalami dehidrasi menjadi metil oksida, kemudian hidrogenasi membentuk metil isobutil keton (Torres et al., 2007).

Kemurnian bioetanol pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya, dengan waktu fermentasi yang sama, yaitu selama enam hari. Penelitian sebelumnya antara lain jerami padi menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 0,24% dan kayu pohon dao sebesar 0,98% (Baharuddin et al., 2016). Kulit pisang kepok menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 86,22% (Wusnah et al., 2016). Kulit singkong menghasilkan kadar etanol sebesar 5,2% (Erna et al., 2016). Perbandingan tingkat kemurnian bioetanol dari perbedaan jenis bahan yang digunakan di dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 8.

KESIMPULAN DAN SARANIV.

KesimpulanA.

Berdasarkan perbandingan jumlah rendemen dannilaiefisiensi,daunpandanlautadalahbahanyang memiliki potensi untuk sintesis bioetanol dengan jumlahrendemendanefisiensi tertinggi

Keterangan (Remarks):

= daun pandan laut (Rea pandanus leaves) (A) = limbah bran (Bran waste) (C) = buah pandan laut (Sea pandanus fruit) (B) = limbah pollard (Pollard waste) (D)

Gambar 8. Perbandingan tingkat kemurnian bioetanol berdasarkan jenis bahanFigure 8. Comparation of bioethanol purity based on raw material types

Jenis bahan bioetanol (Bioethanol material types)

Pers

enta

se (P

ercen

tage)

A B C D

79,27%95,03% 97,64%

37,28%75%

0%

50%

25%

0%

Page 45: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

103

Potensi Tanaman Pandan Laut (Pandanus tectorius) dan Limbah Industri Gandum Kota Cilegon sebagai Bahan Baku Sintesis Bioetanol(AgusMalikIbrahim,AgrinFebrianPradana,GagasPriyosakti,MiftahulArifin,TutiAlawiyah,&Perliansyah)

(309 mL dan 0,62 mL/g). Kadar kemurnian bioetanol hasil analisis gas chromatography (GC) dari limbah bran gandum memiliki kadar kemurnian tertinggi sebesar 97,64%. Tingkat kemurnian bioetanol dari daun pandan laut, buah pandan laut, dan limbah pollard berturut-turut adalah 79,27%; 95,03%; dan 37,28%. Efisiensiberdasarkan rendemen bioetanol dan jumlah pati dari daun pandan laut, daging buah pandan laut, limbah bran, dan limbah pollard berturut-turut adalah 0,62 mL/g; 0,08 mL/g; 0,16 mL/g; dan 0,05 mL/g.

SaranB.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar ada penelitian lanjutan dengan menggunakan metode lain untuk sistesis bioetanol menggunakan bahan-bahan yang sama dengan penelitian ini, agar jumlah rendemen dan kadar kemurnian bioethanol dapat lebih luas dibandingkan. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai aplikasi bioetanol dari tanaman pandan laut (Pandanus tectorius) dan limbah industri gandum ini. Aplikasi dapat berupa pencampuran bioetanol dengan bahan bakar bensin, kemudian diuji coba pada mesin-mesin kendaraan berbahan bakar bensin.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) atas dana penelitian yang diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada LLDIKTI Wilayah IV yang memfasilitasi program hibah penelitian dosen pemula (PDP) periode 2018/2019.

KONTRIBUSI PENULIS

Ide, desain, dan rancangan percobaan dilakukan oleh AMI; percobaan dan perlakuan pengujian dilakukan oleh AMI, AFP, GP, MA, TA dan PR; pengumpulan data dan analisis data dilakukan oleh AMI dan AFP; penulisan manuskrip oleh AMI; perbaikan dan finalisasimanuskrip dilakukan oleh AMI.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M. Y., Manurung, R., Faustina, A., Affanda, E., & Siregar, I. R. H. (2017). Bioconversion of Pandanus tectoriususingblacksoldierfly larvaefor the production of edible oil and protein-rich biomass. Journal of Entomology and Zoology Studies, 5(1), 803–809.

Astashkina, A., Kolbysheva, Y., Nikiforova, A., & Bakibayev, A. (2016). Microbiological synthesis of methyl ethyl ketone. MATEC Web of Conferences, 85(01022), 1–9. doi: 10.1051/ matecconf/20168501022.

Azizah, N., Al-Baarri, A., & Mulyani, S. (2012). Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol, pH, dan produksi gas pada proses fermentasi bioetanol dari whey dengan substitusi kulit nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(2), 72–77.

Baharuddin, M., Sappewali, S., Karisma, K., & Fitriyani, J. (2016). Produksi bioetanol dari jerami padi (Oryza sativa L.) dan kulit pohon dao (Dracontamelon)melaluiprosesSakarifikasidanFermentasi Serentak (SFS). Chimica et Natura Acta, 4(1), 1. doi: 10.24198/cna.v4.n1.10441.

Bayle, K., Akoka, S., Remaud, G. S., & Robins, R. J. (2015). Non-statistical 13C distribution during carbon transfer from glucose to ethanol during fermentation is determined by the catabolic pathway exploited. Journal of Biological Chemistry, 290(7), 4118–4128. doi: 10.1074/jbc.M114. 621441.

Boumba, V. A., Ziavrou, K. S., & Vougiouklakis, T. (2008). Biochemical pathways generating post-mortem volatile compounds co-detected during forensic ethanol analyses. Forensic Science International, 174, 133–151. doi: 10.1016/ j.forsciint.2007.03.018

Erna, Said, I., & Abram, P. H. (2016). Bioetanol dari limbah kulit singkong (Manihot esculenta Crantz) melalui proses fermentasi. Jurnal Akademika Kimia, 5(3), 121–126.

Page 46: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

104

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 91-104

ESDM. (2015). Perubahan ketiga atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 (pp. 1–6).

Hanum, F., Pohan, N., Rambe, M., Primadony, R., & Ulyana, M. (2013). Pengaruh massa ragi dan waktu fermentasi terhadap bioetanol dari biji durian. Jurnal Teknik Kimia USU, 2(4), 49–54.

Hargono, & Suryanto. (2015). Rancang bangun alat distilasi satu tahap untuk memproduksi bioetanol grade teknis. Jurnal Politeknik Negeri Semarang, 10(1), 9–14.

Hidayati, R. N., Qudsi, P., & Wicakso, D. R. (2016). Hidrolisis enzimatis sampah buah-buahan menjadi glukosa sebagai bahan baku bioetanol. Konversi, 5(1), 18–21.

Kogoya,B.,Guritno,B.,Ariffin,&Suryanto,A.(2014).Bioactive components of pandan’s fruits from Jaya Wijaya. IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology (IOSR-JESTFT), 8(8), 1–8.

Markowska, A., & Michalkiewicz, B. (2009). Biosynthesis of methanol from methane by Methylosinus trichosporium OB3b. Versita Chemical Papers, 63(2), 105–110. doi: 10.2478/s11696-008-0100-5.

Misto, & Mulyono, T. (2017). Desain refraktometer prisma untuk pengukuran kadar gula berdasarkan perubahan sudut puncak secara terkomputerisasi. Prosiding SENSEI 2017, 1, 203–206.

Olagbemide, P. T., & Ogunnusi, T. A. (2015). Proximate analysis and chemical composition of cortinarius species. European Journal of Advanced Research in Biological and Life Sciences, 3(3), 1–9.

Prasaja, D., Muhadiono, & Hilwan, I. (2015). Etnobotani pandan (Pandanaceae) di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Berita Biologi, 14(2), 121–129.

Rahmayanti, D. (2010). Pemodelan dan optimasi hidrolisa pati menjadi glukosa dengan metode Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) [skripsi]. Universitas Diponegoro.

Saini, R., Saini, H. S., & Dahiya, A. (2017). Amylases: Characteristics and industrial applications. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, 6(4), 1865–1871.

Sari, N. K., & Ernawati, D. (2017). Teori dan aplikasi pembuatan bioethanol dari selulose (bambu). Surabaya: Jakad Media Publishing.

Sumarno, & Mejaya, M. J. (2016). Pertanaman dan Produksi Gandum di Dunia. Dalam Gandum: peluang pengembangan di Indonesia (pp. 1–14). Bogor: Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) Press.

Torres, G., Apesteguía, C. R., & Di Cosimo, J. I. (2007). One-step Methyl Isobutyl Ketone (MIBK) synthesis from 2-propanol: catalyst and reaction condition optimization. Applied Catalysis A: General, 317(2), 161–170. doi: 10.1016/j.apcata.2006.10.010.

Usmana, A. S., Rianda, S., & Novia. (2012). Pengaruh volume enzim dan waktu fermentasi terhadap kadar etanol (bahan baku tandan kosong kelapa sawit dengan pretreatment alkali). Jurnal Saintia Kimia, 18(2), 17–25.

Wusnah, Bahri, S., & Hartono, D. (2016). Proses Pembuatan Bioetanol dari kulit pisang kepok (Musa acuminata B.C) Secara Fermentasi. Jurnal Teknologi Kimia Unimal, 5(1), 57–65.

Page 47: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

doi : 10.20886/jphh.2020.38.2.105-118

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118p-ISSN: 0216-4329e-ISSN: 2442-8957Terakreditasi Peringkat 2, No: 21/E/KPT/2018

105

UJI COBA PENEBANGAN KAYU BERBASIS ZERO WASTE DAN RAMAH LINGKUNGAN PADA HUTAN ALAM DI PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH(Zero Waste and Environmentally Friendly Logging Trial on Natural Forests

in Central Kalimantan Province)

Soenarno*, Dulsalam, & Yuniawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610

Tlp. (0251) 8633378. Faks. (0251) 8633413 *Email: [email protected]

Diterima 26 Desember 2019, direvisi 19 Maret 2020, disetujui 22 Mei 2020

ABSTRACT

Over the last five years (2013−2017) there has been a deficit of ± 23.2 million m3 year of wood raw materials, while the facts in the field of timber harvesting are still wasteful with leaving logging waste reaching an average of 17% of the annual production quota target of 9.1 million m3/year. The trial of zero waste-based and environmentally timber harvesting method (ZWL) is important to strengthen the tree length logging methods. This research aimed to obtain data and technical information related to the efficiency of wood utilization and the potential of timber logging waste. The trial results showed that zero waste and environmentally timber harvesting methods could improve wood utilization efficiency by 9%, from an average of 82.9% to an average of 91.9%, and reduce the potential for clear bole (BBC) logging waste from an average of 12% (0.863 m3/ tree) to only 8.1% (0.418 m3/tree). In addition, it was able to save the potential of logging waste from stems above the branch (BAC) ranging from 2.8−11.2% with an average of 6.4% (0.418 m3/tree). However, ecologically it could not reduce damage to residual stands which reached 37.7% while conventional methods amounted to 38.8%. Potential logging waste both BBC and BAC were mostly defective (50.5−58.3%), and some were still good (14.4−26.3%) while those with broken conditions were still quite high (22.6-27.3% ). Until now, the potency of timber harvesting waste has not been utilized due to the consideration of the high cost of Non-Tax Government Income (PNBP) levies, uncertainty in the application of the Minister of Environment and Forestry Regulation Number: P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019, and the ZWL method has not been informed yet to minimize the cost of logging waste extraction. In order to reduce timber harvesting waste and residual stand damage, the forest management refresh logging and skidding techniques to improve the skills of the chainsaw and the tractor operators.

Keywords: Timber harvesting, conventional, zero waste, environmentally friendly, timber harvesting waste

ABSTRAK

Selama lima tahun terakhir (2013−2017) terjadi kekurangan bahan baku kayu sebanyak ±23,2 juta m3/tahun sementara fakta di lapangan menunjukkan kegiatan pemanenan kayu masih boros dengan meninggalkan potensi limbah mencapai rata-rata 17% dari target jatah produksi tahunan sebesar 9,1 juta m3/tahun. Uji coba metode pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan (ZWL) ini merupakan pemantapan metode tree length logging. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi teknis terkait dengan efisiensi pemanfaatan kayu dan potensi limbah kayu.Hasil uji coba menunjukkan bahwa metode pemanenan kayu berbasis ZWL dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu sebesar 9%, yaitu dari rata-rata 82,9% menjadi rata-rata 91,9%, dan

Page 48: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

106

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

mengurangi potensi limbah pemanenan kayu Batang Bebas Cabang (BBC) dari rata-rata 12% (0,863 m3/pohon) menjadi 8,1% (0,418 m3/pohon). Selain itu, metode ZWL mampu menyelamatkan potensi limbah pemanenan dari Batang di Atas Cabang (BAC) antara 2,8−11,2% dengan rata-rata 6,4% (0,418 m3/pohon). Namun demikian, penerapan metode ZWL pada pemanenan kayu hutan alam secara ekologis tidak dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal yang mencapai 37,7% dibandingkan metode konvensional sebesar 38,8%. Potensi limbah pemanenan kayu baik BBC maupun BAC sebagian besar cacat (50,5−58,3%), sebagian masih baik (14,4−26,3%), sedangkan yang kondisinya pecah masih cukup tinggi (22,6−27,3%). Namun demikian, hingga saat ini, potensi limbah pemanenan kayu belum dimanfaatkan karena pertimbangan mahalnya pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), kegamangan penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019, dan belum terinformasikannya metode pemanenan kayu ZWL yang mampu meminimalisasir biaya pengeluaran limbah. Untuk mengurangi potensi limbah pemanenan kayu yang pecah dan rusaknya tegakan maka pihak manajemen perlu melakukan penyegaran teknik penebangan dan penyaradan untuk meningkatkan keterampilan operator chainsaw dan operator traktor sarad.

Kata kunci: Pemanenan kayu, konvensional, zero waste, ramah lingkungan, limbah pemanenan kayu

PENDAHULUANI.

Kegiatan pemanenan kayu mempunyai peranan strategis dalam menentukan mutu produksi kayu bulat yang dihasilkan dan limbah pembalakan tetapi juga terhadap faktor ekploitasi (Soenarno, Dulsalam, & Endom, 2013). Kendatipun kegiatan pemanenan kayu telah dilakukan menggunakan teknologi pembalakan berdampak rendah Reduced Impact Logging (RIL) tetapi metode penebangan masih dilakukan secara konvensional (Ruslandi, 2013). Hal ini diakibatkan oleh kegiatan penebangan pohon khususnya pembagian batang masih sepenuhnya diserahkan kepada penebang (operator chainsaw) tanpa pendampingan tenaga teknis. Akibatnya volume kayu batang bebas cabang (BBC) yang dimanfaatkan tidak maksimal, terjadinya limbah pemanenan kayu, dan kerusakan tegakan tinggal. Besarnya volume limbah pemanenan kayu berkisar antara 12−25% (Idris, Dulsalam, Soenarno, & Sukanda, 2012; Soenarno et al., 2016), dan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal berkisar antara 17−40% (Elias, 2016; Eroǧlu, Öztürk, Sönmez, Tilki, & Akkuzu, 2009; Muhdi, Elias, Murdiyarso, & Matangaran, 2014; Soenarno, Endom, & Bustomi, 2017). Menurut Garldan dan Jackson (1997) dan Uusitalo, Kokko, dan Kivin (2004), dalam pemanenan hutan, penebangan, dan bucking yang benar akanmeningkatkan efisiensi, kualitas kayu, danpendapatan dari hasil penjualan kayu. Sedangkan

berdasarkan Akay et al. (2010), penerapan metode bucking yang tepat dapat meningkatkan volume sebanyak 4,18% dengan nilai tambah dari pohon yang ditebang sebesar 9,31%.

Di lain pihak, kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu selama kurun waktu 2013−2017 tersebut mencapai 60,3 juta m3, sedangkan kemampuan produksi kayu bulat hanya 37,1 juta m3 sehingga terjadi kekurangan bahan baku kayu sebanyak ±23,2 juta m3 (Soenarno, Sukadaryati, & Dulsalam, 2019). Meskipun produksi kayu bulat hutan alam hanya ±18% (Faizah, 2019) dibandingkan hutan tanaman, namun terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diperkirakan kontribusi kayu hutan alam lebih besar karena adanya retribusi Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), sedangkan kayu dari hutan tanaman hanya membayar PSDH yang nilai Harga Patokannya (HP) lebih mahal dibandingkan HP kayu hutan tanaman (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2014; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014). Kontribusi kayu hutan alam tersebut akan meningkat melalui penerapan metode pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan (ZWL). Secara teknis, metode ZWL ini merupakan pemantapan metode tree length logging. Tree length logging adalah pemanenan kayu sepanjang mungkin dimana dalam kegiatan penebangan dilakukan perencekan cabang (branching) dan penyaradan kayunya dilakukan

Page 49: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

107

Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati)

dengan mengikutsertakan limbah batang di atas cabang sampai diameter minimal 30 cm. Penerapan metode ZWL tersebut dilakukan pada hutan alam yang dikelola dengan sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan telah melaksanakan teknologi RIL. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi efisiensi pemanfaatan kayu, potensi limbahpemanenan kayu, dan derajat kerusakan tegakan tinggal guna mendukung peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam yang lestari.

BAHAN DAN METODE II.

Bahan A.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pohon yang siap ditebang dan siap disarad, sling untuk bundling kayu limbah, kapur, spidol, solar, minyak pelumas, tally sheet, dan kuisioner. Alat yang digunakan yaitu chainsaw, traktor penyarad kayu, meteran untuk mengukur diameter dan panjang pohon yang ditebang, stop watch untuk mengukur waktu, serta kamera digital.

Lokasi PenelitianB.

Penelitian dilakukan di tiga Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam (IUPHHK-HA) yaitu PT. A, PT. B, dan PT.C. Secara geografis PT. A terletak pada 111°55′–112°19′ BT dan 1°10′–1°56′ LS, sedangkan PT. B berada pada 0°50′16″–1°08′55″ LS dan 112°39′11″–113°35′00″ BT, dan PT. C terletak pada 00°52′30″–01°22′30″ LS dan 111°30′00″–112°07′30″ BT. Ketiga IUPHHK-HA tersebut terletak di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Seruyan dan KPHP Katingan Provinsi Kalimantan Tengah.

Metode PelaksanaanC.

Secara skematis, perbedaan metode ZWL dan metode penebangan konvensional (CV) sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Prosedur penelitian1.

Prosedur pelaksanaan penelitian di lapangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:a. Menentukan tiga unit IUPHHK-HA secara

purposive;

b. Pada tiap unit IUPHHK-HA, dipilih satu petak tebang yang selanjutnya dibuat sebanyak enam Petak Contoh Pengamatan (PCP) secara purposive dengan ukuran masing-masing 100 m × 100 m, yaitu di PT. A dan PT. C;

c. Tiga PCP untuk perlakuan metode pemanenan kayu berbasis ZWL dan ramah lingkungan, dan tiga PCP lainnya untuk metode pemanenan kayu konvensional seperti yang umum dilakukan di IUPHHK-HA setempat;

d. Pada IUPHHK-HA PT. B hanya dibuat empat PCP karena pertimbangan terbatasnya sisa areal penebangan pada akhir tahun rencana kerja tahunan (RKT), tetapi tetap mempertimbangkan keterwakilan keterampilan penebang dan penyarad kayu bulat;

e. Melakukan inventarisasi jumlah dan jenis pohon yang telah dipasang label ID barcode (calon pohon ditebang) dan tegakan berdiameter 20 cm dan 20 cm ke atas sebagai calon pohon inti berdasarkan peta Rencana Operasional Pemanenan Kayu (ROPK);

f. Melaksanakan penebangan, penyaradan, dan menghitung jumlah pohon yang rusak akibat penebangan dan penyaradan di dalam PCP;

g. Melakukan pengukuran volume kayu yang dimanfaatkan, mencatat kondisi limbah penebangan, dan kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan kayu.

Data yang dikumpulkan2.

Data yang dikumpulkan adalah volume kayu yang dimanfaatkan, volume dan kondisi limbah kayu dari Batang Bebas Cabang (BBC) dan Batang di Atas Cabang (BAC), jumlah tegakan berdiameter 20 cm yang rusak akibat penebangan dan penyaradan, waktu kerja penebangan, waktu kerja penyaradan, dan data sekunder lainnya yang diperlukan. a. Pengukuran volume dan karakteristik

sortimenPengukuran sortimen dari setiap pohon yang ditebang meliputi kayu yang dimanfaatkan dan limbah pemanenan kayu, diukur panjang, diameter pangkal dan ujung sortimen termasuk kondisinya, kemudian dicatat pada tally sheet. Limbah kayu yang diukur meliputi BBC dan BAC sampai minimum diameter ujung 30 cm denganpanjang≥1,3m.

Page 50: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

108

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

b. Pengukuran kerusakan tegakanDilakukan setelah kegiatan penebangan dan penyaradan selesai, meliputi pencatatan jumlah dan jenis tegakan tinggal untuk pohon komersil berdiameter 20 cm dan 20 cm ke atas yang rusak. Penentuan kerusakan tegakan tinggal menggunakan kriteria dalam Muhdi et al. (2014) yaitu: (l) Tipe kerusakan tajuk, bila <30% maka termasuk kerusakan ringan, 30−50% termasuk kerusakan sedang, dan >50% termasuk kerusakan berat; (2) Tipe kerusakan luka batang/kulit, bila luka batang/kulit <1/4 keliling dan 1,5 panjang termasuk kerusakan ringan, 1/4−

1/2 keliling termasuk kerusakan sedang, dan >1/2 keliling termasuk kerusakan berat; (3) Tipe kerusakan banir/akar rusak atau terpotong,

bila rusak <1/3 banir termasuk rusak ringan, 1/3−

1/2 banir/akar rusak termasuk kerusakan sedang, dan akar/banir rusak >1/2 termasuk kerusakan berat; (4) Tipe kerusakan batang pecah termasuk kerusakan berat; (5) Tipe kerusakan pohon patah termasuk kerusakan berat; dan (6) Tipe kerusakan pohon roboh termasuk tingkat kerusakan berat. Pohon dianggap rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan berdasarkan kriteria di atas.

c. Kualitas limbahLimbah pemanenan kayu adalah sortimen sisa pembagian batang sepanjang 1,3−2 m akibat kesalahan penebangan (Ruslandi, 2013; Soenarno, Endom & Suhartana, 2018). Limbah dinyatakan baik apabila tidak terdapat

Pemanenan kayu hutan alam (Natural forest timber harvesting)

Konvensional sebagai kontrol (Conventional as control)

Berbasis zero waste dan ramah lingkungan (Zero waste & environmental friendly method)

Penebangan (Felling)- Tidak terkontrol (Uncontrolled)- Tidak ada pemotongan cabang (no branching)

Penebangan (Felling)- Terkontrol (Controlled)- Pemotongan cabang di petak tebang (Branching/delimbing at felling site)

Pembagian batang (Bucking)- Pengujian dan pengukuran kayu oleh

penebang dipetak tebang (Scaling by a feller at felling site)

Penyaradan kayu (Log skidding)- Batang bebas cabang dan batang di atas

cabang (Clear bole and stems above branches)

Penyaradan kayu (Log skidding)

Pembagian batang (Bucking)- Setelah pengujian dan pengukuran oleh

GANIS PHPL-PKBR/CANHUT (After grading scaling by a GANIS PHPL-PKBR/CANHUT)

- Dilakukan di TPn (Conducted at landing port)

Batang bebas cabang (Clear hole)

Limbah kayu batang bebas cabang dan batang di atas

cabang (Wood waste of clear bole and above the branches)

TPn (Landing port)- Pemotongan batang cacat

(Cutting defective stem/trimming)

Gambar 1. Prosedur penelitianFigure 1. Research procedure

Page 51: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

109

Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati)

cacat berupa antara lain bengkok, busuk hati, lapuk, mata kayu (notch), berlubang/gerowong, dan pecah (Soenarno, 2014).

Analisis DataD.

Volume (isi) kayu bulat dihitung dengan menggunakan rumus empiris Badan Standardisasi Nasional (2011) sebagai berikut :

I = ¼ π × d2 × p10.000 atau I =

0,7854 × d2 × p10.000 ..........(1)

Keterangan (Remarks): I = Isi (volume) kayu bundar (m3); d = diameter kayu bundar (cm); p = diameter ujung (cm); p = panjang kayu bundar (m); π = 3,1416; ¼ π = 0,7854

Besarnya derajat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan dan kriterianya digunakan rumus menurut Elias (2008) sebagai berikut:

K = × 100% ...............................................(2)

Keterangan (Remarks): K = derajat kerusakan tegakan tinggal (%); = jumlah pohon berdiameter lebih besar dari 20 cm yang rusak akibat penebangan; = jumlah pohon berdiameter lebih besar dari 20 cm yang sehat sebelum penebangan.

Efisiensi pemanfaatan kayu dihitung dengan rumusDulsalam, Sukadaryati, dan Yuniawati (2018) sebagai berikut:

E = VhVm × 100% ...................................................(3)

Vh = Vm + Vlp + Vlu ........................................(4)

Keterangan (Remarks):E=efisiensipenebangan(%);Vm= volume kayu yang dimanfaatkan (m3/pohon); Vh = volume kayu yang diharapkan dapat dimanfaatkan, (m3); Vlp = Volume limbah pangkal (m3 ); Vlu = volume limbah ujung (m3).

Adapun derajat kerusakan tegakan berdasarkan persentase kerusakan pohon digunakan kriteria sebagai berikut (Elias, 2008):1. Tegakan tinggal disebut rusak ringan jika

kerusakan <25%, 2. Tegakan tinggal disebut rusak sedang jika

kerusakan 25−50%, dan3. Tegakan tinggal disebut rusak berat jika

kerusakan >50%. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan

kerusakan tegakan tinggal antara IUPHHK-HA dilakukan rancangan acak lengkap (completely randomiced design) dengan model umum (Wijaya, 2000):

Tabel 1. Realisasi jumlah pohon ditebangTable 1. Realization of the number of trees felled

IUPHHK-HA (Forest concessions)

PCP (Sample plots)

Jumlah pohon layak tebang (Number of trees felled)

Konvensional (Conventional)

Berbasis zero waste (Based on zero waste method)

Pohon berlabel (Trees labeled, IDbarcode)

Pohon ditebang (Trees felled)

Pohon berlabel (Trees labeled IDbarcode)

Pohon ditebang (Trees felled)

Pohon (Trees)

Pohon (Trees) (%) Pohon

(Trees)Pohon (Trees) (%)

PT A1 15 9 60 13 9 69,22 17 9 52,9 16 9 56,33 14 9 64,3 22 9 40,9

Rata-rata (Average) 15 9 59,1 17 9,0 55,5

PT B1 18 7 61,1 10 9 102 19 11 42,1 14 9 42,9

Rata-rata (Average) 19 9 51,6 12 9 26,5

PT C1 21 10 59,1 18 10 55,62 10 7 59,1 14 10 71,43 16 7 59,1 14 9 64,3

Rata-rata (Average) 16 8 59,1 15 10 63,8Rata-rata total (Grand average) 17 9 56,6 15 9 48,6

Keterangan (Remarks): Jumlah pohon contoh senyak 143 pohon (The number of sample trees is 143 trees)

Page 52: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

110

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

Yij=μ+τi + εij ....................................................(5)

Keterangan (Remarks): Yij = kerusakan tegakan pada petak ke-idanpengamatanke-j;μ=rata-ratakerusakantegakan; τi = pengaruh petak tebang ke-i; dan εij = pengaruh kesalahan baku pada petak tebang ke-i dan pengamatan ke-j.

Soenarno (2014b) menyatakan bahwa kualitas limbah pemanenan kayu dihitung berdasarkan jumlah volume limbah yang baik atau cacat atau pecah dibagi dengan total volume limbah, dinyatakan dalam satuan persen (%):

Kl (b/c/p) = Vtl

Vl(b/c/p) × 100% ...................................... (6)

Vtl= Vlb + Vlc + Vlp .............................................(7)

Keterangan (Remarks): Kl (b/c/p) = Kualitas limbah baik/cacat/pecah (%); V l (b/c/ p) = volume limbah kayu yang baik/cacat/pecah (m3/pohon); Vtl = volume total limbah pemanenan kayu (m3/pohon).

HASIL DAN PEMBAHASANIII.

PenebanganA.

Hasil pengamatan di lapangan yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pohon yang ditebang sebanyak 57% pada metode konvensional dan 49% pada metode berbasis zero waste dan ramah lingkungan (ZWL). Perbedaan jumlah pohon yang ditebang tersebut tidak disebabkan oleh perbedaan metode penebangan tetapi akibat dari kondisi kesehatan pohon yang telah dipasang label IDbarcode. Mengingat potensi pohon gerowong/cacat cukup besar berkisar 29,2−48,6% (Soenarno, Endom, & Dulsalam, 2016; Soenarno & Astana, 2018) maka dipandang perlu kajian lebih lanjut.

Pertimbangan yang masih krusial terkait hal ini bahwa sebenarnya pohon yang gerowong/cacat masih dapat diproduksi sebagai kayu bulat kecil (KBK). KBK adalah pengelompokkan kayu yang terdiri atas bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi satu atau beberapa bagian, dengan ukuran diameter kurang dari 30 cm atau kayu berdiameter 30 cm, atau lebih, yang direduksi karena diyakini memiliki cacat berupa busuk hati dan/atau gerowong lebih dari 40% (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Oleh karena itu, operator chainsaw sebaiknya mengecek lebih dahulu diameter lubang pohon yaitu dengan cara menusukkan rantai chainsaw dan mengukurnya. Cara ini memberikan informasi yang lebih pasti dibanding cara memukul-mukul batang pohon menggunakan parang.

Cara lain yang lebih baik, sebenarnya bisa dilakukan saat kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP), sehingga pohon yang benar-benar berlubang besar (>20 cm) tidak dipasang label IDBarcode. Saat ini, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) telah membuat prototipe alat deteksi gerowong mekanis “Algromek” (Gambar 2).Alat ini dibuat untuk mengatasi kelemahan alat deteksi gerowong di pasar yang harganya mahal, pemakaiannya tidak praktis, apalagi untuk dibawa survey lapangan yang membutuhkan waktu cukup lama berada di hutan.

Kinerja Pemanenan Kayu B.

Efisiensipemanfaatankayu1.

Hasil perhitungan efisiensi pemanfaatankayu metode pemanenan kayu ZWL disajikan padaTabel2.Daritabel2dapatdilihatefisiensi

A B

Gambar 2. Alat algromek (A) dan praktek penggunaannya (B)Figure 2. Algromek instrument (A) and the use of instrument it (B)

Page 53: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

111

Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati)

pemanfaatan kayu metode pemanenan ZWL berkisar antara 90,4−92,6% dengan rata-rata 91,9%, lebih besar dibandingkan metode konvensional sekitar 82,9%. Hal ini berarti metode pemanenan ZWL dapat meningkatkan efisiensipemanfaatansebesarrata-rata9%.Selainmeningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu,dengan metode ZWL akan diperoleh tambahan volume limbah kayu dari BAC. Peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu pada metodeZWL juga diperoleh dari perbedaan sistem pembagian batang. Pada teknik pemanenan ZWL, kegiatan pembagian batang (bucking) dilakukan setelah dilakukan pengujian dan pengukuran (grading scalling) oleh tenaga teknis bersertifikatpenguji kayu bulat rimba (GANIS-PKBR) atau perencanaan hutan (GANIS-CANHUT). Tetapi, pada metode konvensional pembagian batang dilakukan oleh operator chainsaw yang tidak memiliki kompetensi sebagai tenaga teknis GANIS-PKBR ataupun GANIS-CANHUT, akibatnya banyak mengakibatkan limbah pemanenan kayu di petak tebang.

Hasil uji statistik menggunakan program PASW versi 18 yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Fhitung = 8,977 lebih besar dari F0,05(1,15) = 4,54 sehingga Ho diterima yang berarti terdapat perbedaannyataefisiensipemanfaatankayuantarametode ZWL dengan metode konvensional. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan nyata

efisiensipemanfaatanantaraIUPHHK-HAyangmenerapkan metode ZWL dibandingkan dengan metode konvensional. Padahal, kompetensi operator chainsaw pada kedua metode pemanenan kayu relatif sama, yaitu pernah memperoleh pendidikan dan pelatihan teknik penebangan ramah lingkungan.

Potensi Limbah Batang Bebas Cabang 2. (BBC) dan Batang di Atas Cabang (BAC)

Rekapitulasi hasil pengukuran potensi limbah pemanenan kayu metode ZWL disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa potensi limbah BBC metode konvensional adalah 0,863 m3/pohon atau 12% lebih besar dibandingkan metode ZWL sebesar 0,526 m3/pohon atau 8,1%, tetapi masih lebih besar dibandingkan batas maksimal yang ditergetkan oleh teknologi RIL-C yaitu 5% (Ruslandi, 2013).

Kendatipun demikian, secara teknis metode ZWL dapat mengurangi limbah BBC sebesar ± 3,9%. Bahkan, dari uji coba metode ZWL diperoleh limbah BAC rata-rata 0,418 m3/pohon atau 6,4% terhadap volume BBC. Penelitian sebelumnya dengan metode tree length logging menunjukkan bahwa besarnya limbah pemanenan BBC rata-rata 7% dan limbah BAC sebesar 0,182 m3/pohon atau 2,68% terhadap total volume BBC (Idris & Soenarno, 2015). Dari Tabel 3 juga diketahui ada kecenderungan bahwa

Tabel 2. Analisis sidik ragam uji efisiensi pemanfaatan kayu antara metode ZWL dan konvensional

Table 2. Analysis of variance of test wood efficiency used between ZWL and conventional method

Sumber(Sources)

Jumlah kuadrat(Sum of square)

Derajat bebas(Degrees of freedom)

Rata-rata kuadrat(Mean of square)

Fhitung(FCalculated)

Nyata(Significantcy)

1. Model terkoreksi (Corrected model)

176,842a 3 58,947 3,666 0,044

2. Intercept 123345,94 1 123345,949 7670,61 0,0003. Metode pemanenan

kayu (Forest harvesting methods)

144,360 1 144,360 8,977 0,011

4. IUPHHK-HA (Forest concession)

32,482 2 16,241 1,010 0,393

5. Kesalahan (Error) 192,964 12 16,0806. Jumlah (Total) 128297,635 167. Jumlah terkoreksi

(Total correction) 369,806 15

Keterangan (Remarks): a. R kuadrat = 0,478 (R kuadrat terkoreksi = 0,348), (R square) = 0.478 (R square corrected) = 0.348)

Page 54: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

112

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

potensi limbah BAC metode ZWL lebih rendah dibandingkan metode konvensional. Selain itu, pada metode ZWL terdapat tambahan limbah batang BAC, sedangkan pada metode konvensional tidak ada limbah BAC karena ditinggal di dalam petak tebang bahkan juga limbah BBC. Menurunnya limbah BBC pada metode ZWL disebabkan kegiatan pembagian batang dilakukan di TPn setelah proses pengujian dan pengukuran (grading scaling) oleh GANIS-PKBR atau GANIS-CANHUT. Dengan demikian, secara legal standing limbah dari metode ZWL secara teknis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Hingga kini potensi limbah pemanenan kayu tersebut belum dimanfaatkan karena pemegang IUPHHK-HA masih ada keraguan terkait dengan

besaran retribusi Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Kendatipun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan telah diundangkan tetapi masih terjadi perbedaan pemahaman terhadap limbah pemanenan. Dalam peraturan tersebut limbah pemanenan didefinisikan semua jeniskayu sisa pembagian batang berupa tunggak, kayu cacat/busuk hati/gerowong dengan reduksi di atas 40%, cabang, dan ranting yang tertinggal di hutan (Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019). Apabila pengertian limbah pemanenan tersebut dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis

Tabel 3. Rekapitulasi potensi volume limbah kayu (m3/pohon)Table 3. Recapitulation of volume logging waste potency (m3/tree)

IUPHHK-HA (Forest Concessions)

PCP (Sample plots)

Potensi limbah kayu (Wood waste potency, m³/pohon)Metode konvensional (Conventional method)

Metode Zero waste dan ramah lingkungan (Zero waste and environmentally friendly method)

BBC1) (%) BBC1) (%) BAC2) (%)

PT A1 1,34 12,5 0,169 7,1 0,169 2,82 0,682 11,3 0,44 10,2 0,44 7,03 0,91 10,2 0,31 10,7 0,31 3,0

Rata-rata (Average) 0,977 11,4 0,306 8,7 0,306 3,7

PT B1 1,535 18,9 0,541 7,7 0,541 9,32 0,631 8,4 0,512 7,2 0,512 9,0

Rata-rata (Average) 1,083 13,9 0,5265 7,4 0,5265 9,2

PT C1 0,995 14,6 0,584 8,5 0,584 11,22 0,887 18,0 0,465 6,2 0,465 7,63 0,622 13,4 0,221 9,6 0,221 4,7

Rata-rata (Average) 0,835 15,3 0,423 7,9 0,423 7,9Total rata-rata (Grand average) 0,863 12,0 0,418 8,1 0,418 6,4

Keterangan (Remarks): 1). BBC = batang bebas cabang (Clear bole), 2). BAC = batang di atas cabang (Stemp above branch)

Serat tercabut/unusan (Barber chair)

Sumber (Source): Forestry Training Centre Incorporated (2010)

Gambar 5. Kesalahan membuat takik balas mengakibatkan pecah dolokFigure 5. False back cut and broken log

Page 55: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

113

Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati)

dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 68/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Harga Patokan dari Hasil Hutan untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan, Ganti Rugi Tegakan dan Penggantian Nilai Tegakan. Dalam dua peraturan tersebut belum diatur daftar tarif maupun besaran harga patokan (HP) limbah pemanenan.

Bervariasinya limbah pemanenan kayu baik pada metode konvensional maupun metode ZWL disebabkan antara lain:1. Pembuatan takik balas miring dan atau

lebih rendah dengan posisi alas takik rebah akibatnya terjadi serat tercabut (barber chair), seperti pada Gambar 5,

2. Mulut takik rebah terlalu sempit (<40º),3. Tidak dilakukan pemotongan banir untuk

mempermudah pembuatan takik rebah,4. Kebijakan manajemen yang mengakibatkan

penebang tidak melakukan pemotongan hingga ujung batang bebas cabang sepanjang mungkin karena akan mengakibatkan diameter rata-rata log < 50 cm,

5. Posisi penebangan yang selalu berdiri sehingga mengakibatkan tinggi tunggak melebihi yang dapat ditoleransi, yaitu antara 30−50 cm di atas pemukaan tanah (Elias, Applegate, Kartawinata, & Klassen, 2001; Ruslandi, 2013).

Ukuran takik rebah dan takik balas yang baik, seperti disajikan pada Gambar 6 (Forestry Training Centre Incorporated, 2010; Elias, Applegate, Kartawinata, & Klassen, 2001; Ruslandi, 2013).

Kualitas Limbah KayuC.

Rekapitulasi hasil pengukuran kualitas limbah pemanenan kayu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan pada metode konvensional besarnya limbah pemanenan kayu yang kondisinya baik berkisar antara 18,4−30,7% atau rata-rata 24,6% (0,313 m3/pohon), sedangkan pada metode ZWL berkisar 8,9−18,3% atau rata-rata 14,4% (0,007 m3/pohon). Hal ini menunjukkan bahwa metode ZWL dapat menyelamatkan potensi limbah berkualitas baik sebesar 10,2%. Astana, Soenarno, dan Endom (2015) menyatakan bahwa kondisi limbah berkualitas baik tersebut dapat diolah menjadi vinir atau kayu gergajian, sehingga memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi dibandingkan limbah yang cacat maupun pecah. Potensi limbah berkualitas baik pada metode konvensional rata-rata 26,3% (0,285 m3/pohon) dan pada metode ZWL rata-rata 14,4%.

Dari Tabel 5 tersebut juga terlihat bahwa limbah pemanenan kayu didominasi limbah cacat, dimana pada metode konvensional rata-rata sebesar 50,5% (0,521 m3/pohon) dan metode

Engsel (3 cm atau + 1/10 D)

Takik rebah (kedalaman + 1/5 D, sudut 30o–45o)

Arah rebah

Arah rebah

Engsel

Takik rebah

Takik balas (2,5–5 cm di atas takik rebah)

Sumber (Source): (Elias et al. (2001); Forestry Training Centre Incorporated (2010); Ruslandi (2013)

Gambar 6. Ukuran takik rebah dan takik balasFigure 6. Indercut and backcut sizes

Page 56: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

114

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

ZWL sebesar 58,3% (0,294 m3/pohon). Limbah pemanenan kayu yang pecah rata-rata 27% (0,354 m3/pohon) pada metode konvensional dan 27,3% (0,155 m3/pohon) pada metode ZWL. Banyaknya limbah yang pecah tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa operator chainsaw masih perlu ditingkatkan keterampilannya dalam menerapkan teknik penebangan yang benar. Hal ini disebabkan masih banyak faktor lain yang berpengaruh antaralainkondisitopografi,jumlahdanbentuk

banir pohon, dan pengalaman. Biasanya pada waktu pelatihan praktek penebangan tersebut belum mewakili kondisi faktor-faktor tersebut.

Kondisi limbah kayu cacat umumnya berupa mata kayu (notch) dan bengkok tetapi sebagian karena busuk hati, berlubang, dan mata buaya (Gambar 7). Hal ini diduga disebabkan areal penebangan merupakan areal bekas tebangan (logged over area/LOA) sehingga kondisi kesehatan dan morfologi pohon banyak yang kurang baik khususnya pada bagian ujung batang yang

Gambar 7. Limbah cacat (A = gerowong, B = mata buaya, C = mata kayu)Figure 7. Defect waste (A = hole, B = crocodile eye, C = notch)

Tabel 5. Kualitas limbah pemanenan kayuTable 5. Quality of wood logging waste

IUPHHK-HA (Forest concessions)

Potensi limbah kayu pemanenan (Potency of wood logging waste)

Kualitas (Quality)

Metode konvensional (Conventional method)

Metode zero waste dan ramah lingkungan (Zero waste and environmentally friendly method)

BBC (m3/pohon) (%)

BBC (m3/pohon) (%)

BAC (m3/pohon) (%)

PT ABaik (Good) 0,399 29,8 0,115 15,9 0,057 18,7

Cacat (Defect) 0,313 23,4 0,329 45,4 0,191 62,5Pecah (Broken) 0,628 46,9 0,280 38,7 0,057 18,8

Rata-rata (Average) 1,340 100,0 0,724 100,0 0,306 100,0

PT BBaik (Good) 0,199 18,4 0,038 8,9 0,179 34,0

Cacat (Defect) 0,789 72,9 0,371 86,9 0,288 54,6Pecah (Broken) 0,095 8,8 0,018 4,2 0,060 11,4

Rata-rata (Average) 1,083 100,0 0,427 100,0 0,527 100,0

PT CBaik (Good) 0,256 30,7 0,078 18,3 0,083 19,4

Cacat (Defect) 0,462 55,3 0,181 42,7 0,183 43,0Pecah (Broken) 0,117 14,0 0,166 39,1 0,160 37,5

Rata-rata (Average) 0,835 100,0 0,425 100,0 0,425 100,0

Total rata-rata (Grand average)

Baik (Good) 0,285 26,3 0,077 14,4 0,106 24,0Cacat (Defect) 0,521 50,5 0,294 58,3 0,221 53,4

Pecah (Broken) 0,280 23,2 0,155 27,3 0,092 22,6Keterangan (Remark): BBC= batang bebas cabang (Clear bole), BAC=batang di atas cabang (Stem above the branch)

Page 57: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

115

Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati)

memiliki banyak mata kayu dan bengkok, serta bagian pangkal batang yang busuk hati atau gerowong.

Untuk mengetahui perbedaan limbah kayu yang pecah akibat perbedaan metode pemanenan kayu dilakukan uji statistik yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 16,299 lebih besar dari F0,05 (1,5) = 6,61 atau Ho ditolak. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan nyata limbah kayu yang pecah akibat metode konvensional dan metode ZWL. Metode ZWL dapat mengurangi terjadinya kepecahan kayu akibat penebangan (Tabel 5). Mengingat keunggulan metode ZWL dipandang perlu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat mendorong agar para IUPHHK-HA dapat menerapkan metode ZWL. Dengan metode ZWL limbah pemanenan kayu tidak lagi berada di dalam petak tebang tetapi sudah di TPn.

Untuk mengetahui perbedaan limbah kayu yang pecah akibat perbedaan metode pemanenan kayu dilakukan uji statistik yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 16,299 lebih besar dari F0,05 (1,5) = 6,61 atau Ho ditolak. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan nyata limbah kayu yang pecah akibat metode konvensional dan metode ZWL. Metode ZWL dapat mengurangi terjadinya kepecahan kayu akibat penebangan (Tabel 5). Mengingat keunggulan metode ZWL dipandang perlu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat mendorong agar para IUPHHK-HA dapat

Tabel 6. Uji lanjut pengaruh metode pemanenan kayu terhadap tingkat kepecahan limbah pemanenan

Table 6. Test the effect of wood harvesting methods on broken harvesting waste Sumber(Sources)

Jumlah kuadrat(Sum of square)

Derajat bebas(Degree of fredom)

Rata-rata kuadrat(Mean of square)

Fhitung(Fcalculated.)

Nyata(Signicantcy)

Model terkoreksi(Corrected model)

347,016a 1 347,016 0,969 0,0381

Pengaruh(Effect)

5836,273 1 5836,273 16,299 0,016

Pemanenan(Harvesting)

347,016 1 347,016 0,969 0,381

Kesalahan baku(Error)

1432,303 4 358,076

Jumlah(Total)

7615,592 6

Jumlah terkoreksi(Total )

1779,319 5

Keterangan (Remarks): a. kuadrat = 0,195 (R kuadrat terkoreksi = -0,006), (R square) = 0. 195 (R square corrected = -0.006)

menerapkan metode ZWL. Dengan metode ZWL limbah pemanenan kayu tidak lagi berada di dalam petak tebang tetapi sudah di TPn.

Kerusakan Tegakan Tinggal D.

Rekapitulasi pengamatan derajat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat potensi tegakan berdiameter 50 cm ke atas berkisar antara 72−89 pohon/PCP tetapi yang ditebang rata-rata 9 pohon/PCP, sedangkan pada metode ZWL 84−89 pohon/PCP dengan pohon yang ditebang rata-rata 9 pohon/PCP. Hasil pengamatan di lapangan merupakan jumlah tegakan yang rusak pada metode konvensional rata-rata 14 pohon (21,3%) sedangkan pada metode ZWL sebanyak 14 pohon (19,7%). Hal ini berarti bahwa untuk menebang satu pohon menyebabkan sedikitnya 1−2 pohon lain mengalami kerusakan. Kegiatan penyaradan metode konvensional mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal rata-rata 17%, dan pada metode ZWL sebesar 18,4%. Kerusakan tegakan tinggal menggunakan metode ZWL tersebut lebih tinggi dibandingkan kerusakan tegakan di sepanjang jalan sarad metode tree length maupun long length yaitu berturut-turut 14,11% dan 8,79% tergantung kerapatan tegakan (Badraghi, Erler, & Hosseini, 2015).

Total kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan metode konvensional menjadi rata-rata 38,3% tidak berbeda dengan metode ZWL

Page 58: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

116

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

sebesar 37,7% atau termasuk kategori kerusakan tingkat sedang. Hasil penelitian tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian Soenarno, Endom, dan Bustomi (2018) yang menunjukkan besarnya derajat kerusakan kayu berkisar antara 19,37–34,9% dengan rata-rata 24,37% termasuk kategori kerusakan tegakan tingkat ringan. Menurut Elias (2016), tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan di hutan alam berkisar antara 17−40%. Terlepas dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa tiga IUPHHK-HA contoh belum maksimal dalam menerapkan teknologi RIL yang baik. Salah satu penyebabnya adalah tidak dipatuhinya ROPK sebagai panduan operasional di lapangan. Oleh karena itu, operator chainsaw dan operator traktor perlu dilakukan penyegaran teknis agar lebih memahami cara penebangan dan penyaradan yang efektif dan efisien. Selain itu diperlukankeberadaan pengawas yang lebih intensif untuk memberikan arahan teknis di lapangan.

KESIMPULAN IV.

KesimpulanA.

Metode pemanenan kayu ZWL dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu BBCdari rata-rata 82,9% menjadi rata-rata 91,9% atau mengurangi limbah BBC dari rata-rata 12% (0,863 m3/pohon) menjadi hanya 8,1% (0,418 m3/pohon). Keuntungan lain metode ZWL adalah mampu menyelamatkan limbah BAC rata-rata sebesar 6,4% (0,418 m3/pohon). Potensi limbah pemanenan kayu baik BBC maupun BAC sebagian besar cacat (50,5−58,3%), sebagian baik (14,4−26,3%), dan sebagian lagi kondisinya pecah (22,6−27,3%). Banyaknya kayu yang pecah dan tingginya kerusakan tegakan tinggal diakibatkan oleh penebang dan operator traktor yang kurang memahami teknik penebangan dan penyaradan serta lemahnya pengawasan di lapangan. Hingga saat ini, potensi limbah pemanenan kayu belum dimanfaatkan oleh pihak IUPHHK-KA karena pertimbangan mahalnya pungutan PNBP. Derajat

Tabel 7. Kerusakan tegakan akibat penebangan dan penyaradanTable 7. Residual forest stands damage entailed due to skidding operation

No Uraian (Description)

Metode konvensional (Conventional method)

Metode zero waste dan ramah lingkungan (Zero waste and environmentally friendly methods)

PT A PT B PT C Rata- rata (Average) PT A PT B PT C Rata-Rata

(Average)1. Potensi (Potency, >20 cm/ha) 72 72 79 74 84 84 89 85

2. Penebangan (Felling)a. Jumlah ditebang (Total tree felled,

pohon)9 9 9 9 9 9 9 9

b. Jumlah tegakan tinggal rusak (Total of residual stands damage, pohon)

9 18 11 13 13 19 10 14

c. Derajat kerusakan tegakan akibat penebangan (Degree of damage to the residual stand due to felling, %)

14,3 33,3 16,2 21,3 18,3 29,2 12,7 19,7

3. Penyaradan (Skidding)

a. Jumlah tegakan tinggal rusak (Total of residual stands damage, pohon)

11 12 12 11 13 15 15 14

b. Derajat kerusakan tegakan akibat penyaradan (Degree of damage to the residual stand due to skiding, %)

17,5 19,0 17,1 16,9 17,3 20,0 18,8 18,4

Total derajat kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu (Total of forest damages due to logging, %)

35,0 46,9 32,9 38,3 34,67 47,1 31,3 37,7

Page 59: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

117

Uji Coba Penebangan Kayu Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan pada Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Tengah(Soenarno, Dulsalam, & Yuniawati)

kerusakan tegakan tinggal menggunakan metode ZWL rata-rata sebesar 37,7%, tidak berbeda nyata dibandingkan dengan metode konvensional sebesar 38,3%.

RekomendasiB.

Manajemen IUPHHK-HA perlu melakukan penyegaran teknik penebangan dan penyaradan untuk meningkatkan keterampilan operator chainsaw dan operator traktor. Perlu sosialisasi metode pemanenan kayu ZWL dan pembahasan lebih lanjut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019 terkait dengan pemahaman limbah pemanenan kayu dan besaran tarif PNBP.

KONTRIBUSI PENULIS

Ide, desain, dan rancangan percobaan dilakukan oleh SN; percobaan dan perlakuan pengujian dilakukan oleh SN, YN, dan DL; pengumpulan data dan analisis data dilakukan oleh SN dan DL; penulisan manuskrip oleh SN; perbaikan dan finalisasi manuskrip dilakukanoleh SN dan YN.

DAFTAR PUSTAKA

Astana, S., Soenarno, & Endom, W. (2015). Potensi penerimaan negara bukan pajak dari limbah kayu pemanenan di hutan alam dan hutan tanaman. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 12(3), 227–243.

Badraghi, N., Erler, J., & Hosseini, S. A. O. (2015). Residual damage in different ground logging methods alongside skid trails and winching strips. Journal of Forest Science, 61(12), 526–534.

Dulsalam, Sukadaryati, & Yuniawati. (2018). Produktivitas, efisiensi danbiayapenebangansilvikultur intensif pada satu perusahaan di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36(1), 1–12.

Elias. (2008). Pembukaan wilayah hutan (Edisi I). Bogor: IPB Press.

Elias. (2016). Penerapan reduced impact logging dalam rangka reformasi eksploitasi hutan dan korupsi dalam pengelolaan hutan alam tropika Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Elias, Applegate, G., Kartawinata, K., & Klassen, A. (2001). Pedoman reduced impact logging Indonesia. Bogor: Center for International Forestry Research.

Eroǧlu, H., Öztürk, U. O., Sönmez, T., Tilki, F., & Akkuzu, E. (2009). The impacts of timber harvesting techniques on residual trees, seedlings, and timber products in natural oriental spruce forests. African Journal of Agricultural Research, 4(3), 220–224.

Faizah, N. (2019). Kuartal I / 2019 Produksi kayu bulat turun 1,5 juta meter kubik. Diunduh dari https:// ekonomi.bisnis.com/read/20190415/99/911822/kuartal-i2019-produksi-kayu-bulat-turun-15-juta-meter-kubik, pada tanggal 12 Maret 2019.

Forestry Training Centre Incorporated. (2010). Course in reduced impact logging: Chainsaw use, safety practices & directional tree felling techniques. Georgetown: Guyana Forestry Commission.

Garland, J., & Jackson, D. (1997). Felling and bucking techniques for woodland owners. Oregon: Oregon State University Extention Service.

Idris, M. M., Dulsalam, Soenarno, & Sukanda. (2012). Revisi faktor eksploitasi hutan untuk optimasi logging. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

Idris, M. M., & Soenarno. (2015). Penerapan metode tree length logging skala operasional di areal teknik silvikultur intensif (Studi kasus di PT Sarmiento Parakanca Timber Provinsi Kalimantan Timur). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33(1), 19–34.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (2014). Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.1/Menlhk/ Setjen/Kum.1 /1/2019 tentang izin usaha industri primer hasil hutan. Jakarta.

Page 60: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

118

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 105-118

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.43/Menlhk-II/2015 tentang penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Sekretariat Jenderal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2014). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 68/Menhut-II/2014 tentang penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan provisi sumber daya hutan, ganti rugi tegakan dan penggantian nilai tegakan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Muhdi, Elias, Murdiyarso, D., & Matangaran, J. R. (2014). Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu reduced impact logging dan konvensional di hutan alam tropika (Studi kasus di areal IUPHHK PT Inhutani II, Kalimantan Timur). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 19(3), 303–310.

Ruslandi. (2013). Penerapan pembalakan berdampak rendah-carbon (RIL-C). Jakarta: The Nature Conservancy.

Serin, H., Akay, A. E., & Pak, M. (2010). Estimating the effects of optimum bucking on the economic value of brutian pine (Pinus brutia) logs extracted in Mediterranean Region of Turkey. African Journal of Agricultural Research, 5(9), 916–921.

Soenarno, Endom, W., & Suhartana, S. (2018). Studi faktor pemanfaatan dan limbah pemanenan kayu di hutan alam Papua Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36(2), 67–84.

Soenarno. (2014a). Efisiensi pembalakan dankualitas limbah pembalakan di hutan tropika pegunungan: Studi kasus di IUPHHK-HA PT. Roda Mas Timber Kalimantan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(1), 45–61.

Soenarno. (2014b). Potensi dan karakteristik limbah pembalakan pada PT Kemakmuran Berkah Timber Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(2), 151–166.

Soenarno, & Astana, S. (2018). Lacak balak untuk verifikasi uji legalitas kayu pada pemanenankayu hutan alam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36(1), 47–58.

Soenarno, Dulsalam, & Endom, W. (2013). Faktor eksploitasi pada hutan produksi terbatas di IUPHHK-HA PT Kemakmuran Berkah Timber. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(2), 151-160.

Soenarno, Endom, W., Basari, Z., Suhartana, S., Dulsalam, & Yuniawati. (2016). Faktor eksploitasi hutan di Sub Region Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(4), 335–348.

Soenarno, Endom, W., & Bustomi, S. (2017). Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu pada hutan tropis berbukit di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 35(4), 273–288.

Soenarno, Endom, W., & Dulsalam. (2016). Faktor eksploitasi PT Kayu Tribuana Rama Kabupaten Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Soenarno, Sukadaryati, & Dulsalam. (2019). RPPI Teknik Pemanenan Hutan. Sintesis Hasil Penelitian. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi.

Standar Nasional Indonesia (SNI). (2011). Pengukuran dan tabel isi kayu bundar (SNI 7533-2011). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Uusitalo, J., Kokko, S., & Kivinen, V. P. (2004). The effect of two bucking methods on scots pine lumber quality. Silva Fennica, 38(3), 291–303.

Wijaya. (2000). Analisis statistik dengan program SPSS 10.0. Bandung: Alfabeta.

Page 61: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

doi : 10.20886/jphh.2020.38.2.119-128

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 119-128p-ISSN: 0216-4329e-ISSN: 2442-8957Terakreditasi Peringkat 2, No: 21/E/KPT/2018

119

PHYSICAL AND CHEMICAL PROPERTIES OF LOCAL HONEY FROM EAST KALIMANTAN

(Sifat Fisis dan Kimia Madu Lokal Kalimantan Timur)

Umul Karimah*, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri

Department of Pharmacy, Faculty of Pharmacy, Nahdlatul Ulama University of East Kalimantan Jl. KH Harun Nafsi, Samarinda, 75251, Phone: 0541 (7269413).

*Email: [email protected]

Diterima 4 November 2019, direvisi 3 April 2020, disetujui 21 Juni 2020

ABSTRACT

Most of the local honey production in East Kalimantan is managed traditionally, thus honey quality, particularly its physical and chemical properties, are unknown. However, the honey analysis providesacomprehensivecompositionprofileandpotentiallygiveshintstoimprovethequalityoflocal honey from East Kalimantan. This research aimed to analyse the properties of two local honey from East Kalimantan. The methods used in this study were gravimetric, volumetric, spectroscopy, spectrophotometry, and chromatography. Honey A was produced by Apis cerana whereas Apis dorsata produced honey B. The color intensities were 560±5.66 and 947.5±27.58 mAu for honey A and B, respectively. Honey A and B a had moisture content of 22.7 and 25.8% w/w, respectively. Other proximate analysis parameters were also reported. Fructose and glucose content for honey A were 30.65±2.35% w/w and 30.08±0.58% w/w, while honey B gave different pattern with fructose at 28.06±1.04 and higher glucose instead at 32.74±1.13% w/w. Reducing sugar and total sugar for both samples were higher than 60% w/w while sucrose in honey A and B were 2.8 and 1.4% w/w respectively, thus indicating no adulteration. Vitamin C content measurement showed negligible result with total phenolic content of honey A was lower than honey B. Honey B had higher Na, Ca, Fe and Zn than those of honey A. This study reported thorough chemical composition of local honeys fromEastKalimantan inwhich some could have significant nutritional value.However,quality improvement particularly on moisture and reducing sugar content is necessary to meet Indonesian National Standard 8664:2018.

Keywords: Color, proximate, carbohydrate, phenolic, vitamin C, minerals

ABSTRAK

Sebagian besar produksi madu lokal di Kalimantan Timur dikelola secara tradisional sehingga kualitas madu, terutama secara fisik dan kimia, tidak diketahui secara pasti. Analisis sifat fisis dan kimia madu dapat memberikan profil komposisi yang lengkap dan petunjuk berharga untuk peningkatan kualitas dan produksi madu lokal Kalimantan Timur. Penelitian ini menganalisis dua madu lokal Kalimantan Timur dengan kombinasi metode gravimetri, volumetri, spektroskopi, spektrofotometri, dan kromatografi. Madu A yang dihasilkan Apis cerana berwarna kuning-jingga terang sementara madu B yang dihasilkan Apis dorsata berwarna kuning-jingga. Kedua madu memiliki kesegaran yang baik berdasarkan hasil uji Fiehe, masing-masing memiliki nilai intensitas warna berturut-turut 560±5,66 dan 947,5±27,58 mAu untuk madu A dan B. Analisis proksimat menunjukkan kadar air madu A dan B masing-masing 22,7 dan 25,8% b/b. Parameter analisis proksimat lain juga dilaporkan. Kadar fruktosa dan glukosa madu A adalah 30,65±2,35% b/b dan 30,08±0,58% b/b sementara madu B memberikan pola berbeda yakni fruktosa sebesar 28,06±1,04 dan glukosa yang lebih tinggi sebesar 32,74±1,13% b/b. Gula

Page 62: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

120

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 119-128

pereduksi dan gula total kedua sampel lebih tinggi dari 60% b/b dan kadar sukrosa madu A dan B adalah 2,8 dan 1,4% b/b yang menunjukkan tidak ada penambahan gula. Kadar vitamin C pada kedua madu sangat kecil sementara kadar fenolik madu A lebih rendah dari madu B. Madu B memiliki kadar Na, Ca, Fe and Zn lebih tinggi dari madu A. Penelitian ini melaporkan komposisi kimiawi madu lokal Kalimantan Timur secara lengkap dan sebagian komposisinya dapat memiliki nilai gizi yang signifikan. Namun, peningkatan kualitas madu terkait kadar air dan gula pereduksi dibutuhkan untuk memenuhi SNI 8664:2018.

Kata kunci: Warna, proksimat, karbohidrat, fenolik, vitamin C, mineral

INTRODUCTIONI.

Honey is one of the most complicated carbohydrate present naturally (Soga, 2002). Indonesia produces local honey up to 1,500 tons annually (Muslim, 2014). Some regions which are well-known as a honey producer in Indonesia include Kalimantan, Sumatera, Sulawesi and Nusa Tenggara Islands. Natural honey gives a lotof healthbenefitandhasbeenpopularsinceEgypt civilization (Nayik, Shah, Muzaffar, Wani, Gull, Majid, & Bhat, 2014). Nowadays, people use honey for its nutrient and medication and industrial purposes (Buba, Gidado, & Shugaba, 2013).

The use of honey in Indonesia is common. The markets, recently, offer various types of honey, such as the pure ones, black honeys, and bitter honeys. With the presence of e-commerce, consumer could even purchase honey from other regions easily. The large demand along the year should be accompanied by efforts to improve honey quality.

The quality of honey is obviously determined from its physical and chemical properties. Various reports about local honey in Indonesia have been published, yet a comprehensive study of local honey from East Kalimantan is limited. Its complex composition would be the cause. Most local honey from East Kalimantan is produced traditionally, makes it’s chemical composition unrecorded, which leads to uncertain quality, and consequently the low price.

Though no honey has an identical composition, the physical and chemical analysis will provide thorough composition profileand direct improvement to meet national even international standard. This research reported the

actual physical and chemical properties of local kinds of honey from East Kalimantan including, color intensity, freshness, proximate analysis, carbohydrate profile, total phenolic, vitamin C,and mineral content.

MATERIAL AND METHODII.

Location and TimeA.

All determination was carried out at Laboratory of Pharmacy, University of Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur except for proximate and mineral analysis which were undergone at Center for Agro-Based Industry (CABI) Bogor. This research was undertaken from April to October 2019.

MaterialsB.

Honey samples were collected from two sources. Honey A was obtained in April 2019 from honey bee-hunter located at Bumi Harapan Village, Sepaku IV, Penajam Paser Utara Municipality. Honey B was purchased from a distributor in Balikpapan and also originated from Balikpapan region.

Reagents used in this study were fructose (Merck), glucose, maltose (Merck), resorcinol, CuSO4 (Merck), K-Na-Tartrate (Merck), sucrose, Na2CO3 (Merck), methylene blue, glucose oxidase reagent DiaSys, TLC silica gel 60 F254 plates (Merck), N*(1-naphtyl) ethylenediamine dihydrochloride (Merck), methanol (Merck), pyridine (JT Baker), butanol (Merck), ethanol (Merck), Folin-cioucalteau, gallic acid, 2,6-dichlorophenolindophenol (DCPIP) (Merck), metaphosphoric acid (Merck), and ascorbic acid (Merck).

Page 63: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

121

Physical and Chemical Properties of Local Honey from East Kalimantan(Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri)

MethodsC.

Color intensity 1.

Color intensity was measured using a method described by Beretta, Granata, Ferrero, Orioli, & Facino(2005)withslightmodification.Sampleswere filtered through a cloth and then diluted50%w/w in warm aqua dest (45-50°C). The honey solution thenwasfiltered, and theabsorbancesof thefiltratewerereadin450nmand720nm.The gap of the absorbance was then calculated and reported in mAu. All measurements were done in triplicate.

Fiehe’s test2.

Detection of honey freshness was conducted using Fiehe’s test (Kavapurayil, Karalam, & Chandran, 2014). Five grams of each honey sample was diluted in 10 mL ether and decanted, the step was repeated, and the filtrates wereleft dry in room temperature. A significantdrop of resorcinol was then added, and cherry red color is considered as a positive result of Hydroxymethylfurfural (HMF) presence.

Proximate analysis3.

Analysis of water content, ash, protein, fat, andcrudefiberwasconductedusinglaboratoryservice of Center for Agro-Based Industry (CABI) Bogor. CABI conducted water content analysis according to SNI 3545:2013 (Standar Nasional Indonesia, 2013) and the other parameters according to SNI-01-2891-1992 (Standar Nasional Indonesia, 1992).

Fructose content4.

Fructose content was measured using the resorcinol method according to AOAC (2000) (as cited in Buba et al., 2013). Briefly, sampleswere diluted 40 times in aqua dest. A hundred microlitre of sample was diluted with aqua dest to 2 mL, whereas 2 mL of 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; and 0.5 mg/mL fructose was prepared using 1 mg/mL fructose stock solution. Accurately 0.5 mL resorcinol and 3.5 mL concentrated HCl was added. The mixture was then heated in 80°C for 10 minutes and cooled in water for 5 minutes. Samples were then appropriately diluted, and the

absorbances were measured at 520 nm within 30 minutes. The measurement was done in triplicate.

Glucose content5.

Glucose content was determined using Glucose GOD FS Diasys according to manufacture’s instruction. Three grams of honey sample was diluted into 250 mL aqueous solution. Ten microlitres of each sample and standard glucose were mixed with 1000 μL reagent. Aqua destwas used as blank. The mixtures were left for 20 minutes in 20°C, and the absorbances were then read at 500 nm. The measurement was done in triplicate.

Reducing sugar and sucrose content6.

Reducing sugar and total sugar were determined using Lane-Eynon method, and sucrose content of honey was calculated indirectly. First, total reducing sugar content of honey was determined through titration with standardized copper sulphate solution using methylene blue as indicator. Secondly, honey samples were hydrolyzed with HCl, and total sugar content of honey was obtained with similar titration method. Finally, sucrose content was calculated from substracting total sugar with total reducing sugar multiplied with sucrose factor.

Oligosaccharides analysis7.

Oligosaccharides of honey were analyzed qualitatively using thin-layer chromatography method by Aso, Watanabe, and Yamao (1960) (as cited in Karimah, Anggowo, Falah, & Suryani, 2011).Briefly,a5%w/vhoneysolutionin50%v/v ethanol was prepared and eluted in TLC silica plate using pyridine: butanol: H2O (4:6:3) as eluent. TLC silica plate then was soaked in N*(1-napthyl) ethylenediamine dihydrochloride solution. Lastly, TLC silica plate was heated until spots appeared.

Total phenolic content8.

Phenolic compounds content was measured using gallic acid equivalence method as described in Kek, Chin, Yusof, Tan, & Chua (2014). Samples were diluted by 20% w/v in aqua dest. A

Page 64: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

122

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 119-128

set of gallic acid standard solution consisted of 50,100,150,200,and250μg/mLof gallicacidwere prepared. One hundred microlitres of each solution were mixed with 0.4 mL Folin-Ciocalteau reagent, 1 mL Na2CO3 7.5% w/v solution, and 3.5 mL H2O. All mixtures were incubated for two hours, and the absorbance was measured in 765 nm. The measurement was done in triplicate.

Vitamin C content9.

Vitamin C extraction and measurement were conducted using metaphosphoric acid and DCPIP solution (Ferreira, Aires, Barreira, & Estevinho, 2009). Five grams of each honey sample was diluted up to 25 mL with metaphosphoric acid 1% w/v solution. The solutions were incubated for 45minutesandthenfiltered.VitaminCstandardsolution of 200, 400, 600, 800 μg/mL wereprepared. Five hundred microlitres of sample and standard were mixed with 4.5 mL DCPIP solution. The absorbance of each mixture was read immediately after mixing at 515 nm. The measurement was done in triplicate.

Mineral analysis10.

Some primary mineral content in honey were measured. Analysis of potassium (K), sodium (Na), iron (Fe), zinc (Zn), calcium (Ca), and copper (Cu) was conducted using laboratory service of Center for Agro-Based Industry (CABI)Bogor.The analysis usedflame atomicabsorption spectroscopy (AOAC, 2005). The result was reported in mg/100g honey sample.

RESULTS AND DISCUSSIONIII.

Preliminary Examination of Honey A. Sample

According to the honey bee-hunter, honey harvest season starts in February until May during the dry season. Furthermore, the honey bee-

hunter stated that honey bees collect nectar from the acacia tree. This emphasizes the report that acacia tree (Acacia mangium) is considered to be a species with the highest important value index at Forest Area with Special Purpose (Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus, KHDTK) Rantai Kalimantan Selatan (Adalina, 2018).

Through amateur examination toward honey bee collected together with honey A, honey bee species is similar to Apis cerana. This species has a common name as Asian honey bee and indigenous to Asia. The presence of this species in Indonesia is known and varies in size with a smaller size for tropical races (Bradbear, 2009).

Honey B from Balikpapan is commercial honey and has obtained legal permission from Health Agency P-IRT No 1094471010.48X-XX, a halal label from LPPOM MUI 10120000360XXX, and registered brand IDM 000511XXX. From the label of the honey package, honey B is produced by Apis dorsata. This species is known as rock bee, the giant honey bee, or the cliff bee (Bradbear, 2009).

Early examination to color of honey samples showed that honey A and B appeared to have light amber and amber color, respectively. Through color intensity Abs450 measurement, color intensity of honey A and B were 560.0±5.66 and 947.5±27.58 mAu, respectively (Table 1). These values are similar in pattern with a report that honey from Apis cerana has lower color intensity than honey from Apis dorsata (Kek, Chin, Yusof, Tan, & Chua, 2017). The same report showed heterogeneous data because no significantdifference observed from various honey except for honey Kelulut with 990.3±380.0 and Manuka honey which has highest color intensity up to 7296.7±15.3 (Kek et al., 2017). There is a positive correlation between color intensity and phenolic compounds content (Ahmed et al., 2016; Kek et al., 2014) which indicates antioxidant potential as well (Khalil et al., 2012).

Table 1. Color intensity and Fiehe’s test of honey sample Tabel 1. Intensitas warna dan hasil uji Fiehe pada sampel madu

Samples (Sampel)

Color intensity (Intensitas warna, (Abs450-Abs720) mAU)

Fiehe’s test(Uji Fiehe)

Honey A(Madu A) 560.0±5.66 Negative

(Negatif)Honey B(Madu B) 947.5±27.58 Negative

(Negatif)

Page 65: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

123

Physical and Chemical Properties of Local Honey from East Kalimantan(Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri)

Hydroxymethylfurfural (HMF) content can be analyzed qualitatively through Fiehe’s test using resorcinol reagent. HMF can indicate old honey or the occurrence of contamination during extraction, processing, or storage (Kavapurayil et al., 2014). Fiehe’s test result of honey A and B showed a negative effect (Table 1), which indicate honey were fresh and still had good quality. Both honeys were analyzed within months after harvested. Though honey is well-known for its durability during prolonged storage, many types of researches used different storage method. Since storinghoney in lowtemperaturecan influencehoney quality significantly (Wulandari, 2017),it is best to store honey at room temperature in the airtight-sealed package and analyse honey soon after harvest.

Proximate AnalysisB.

Proximate analysis was conducted to determine moisture, ash, protein, fat and crude fiberparameter,andtheresultisshowninTable2. The moisture content of honey A and B were 22.7% and 25.8% w/w, respectively, and these values are consistent with typical moisture content for honey produced by Apis dorsata and Apis cerana (Kek et al., 2017; See, Manila-Fajardo, Fajardo, & Cervancia, 2011). However, these results are higher than Indonesian National Standard (SNI) Number 8664:2018 (Standar Nasional Indonesia, 2018) about honey quality particularly for moisture parameter which is 22% w/w and for international standard even lower at 20% w/w (Buba et al., 2013).

Moisture content of both samples are similar to some local Indonesian honey reported (Adalina, 2018; Evahelda, Pratama, Malahayati, & Santoso, 2017; Savitri, Hastuti, & Suedy, 2017) and Indian

honey which ranged from 22.6–26.2% w/w (Kavapurayil et al., 2014). The values obtained in this study were higher than rubber honey and rambutan honey from Indonesia (Harjo, Radiati, & Rosyidi, 2015), Nigerian honey (Buba et al., 2013), Algerian honey (Khalil et al., 2012), Saudi Arabia honey (Mohammed et al., 2017), and Pakistan honey (Ahmed et al., 2016).Moisture content is influenced by season

and geographical origin (Kavapurayil et al., 2014) which partially explains the reason why honey from tropical countries such as India and Indonesia may have higher moisture values and honey from the region with dry climate may have very low moisture as low as around 10% w/w. Low moisture content is essential to extend storage period of honey since it will inhibit fermentation and the growth of osmotolerant yeast (Ahmed et al., 2016) for example Zygosaccharomyces (Harjo et al., 2015). Honey with moisture higher than 19% with only one yeast spore per gram will spoil (White & Doner, 1980). Early harvesting also can cause high moisture content (Harjo et al., 2015). Based on the result, honey moisture content should be reduced, for example, through drying or determining the exact harvest time.

Darker honey has higher ash and nitrogen content. Ash content related to mineral composition, whereas nitrogenous compound in honey mostly is protein (White & Doner, 1980). Honey B was darker than honey A. Although the ash content of both kinds honey showed a similar result of 0.29% w/w, protein content reported seems to confirm that typicalcomparison. Still, this study showed ash content of both samples conform to Indonesian National Standard (SNI) Number 8664:2018 (Standar Nasional Indonesia, 2018) which is less than

Table 2. Proximate analysis of honey sample Tabel 2. Analisis proksimat sampel madu

Parameters(Parameter)

Unit(Satuan)

Honey A(Madu A)

Honey B(Madu B) SNI 8664:2018

Moisture (Kadar air) % 22.7 25.8 max. 22Ash (Kadar abu) % 0.29 0.29 max. 0.5Protein (Protein) % 0.43 1.07 -Fat (Lemak) % 0.37 0.20 -Crudefiber(Serat kasar) % 0.11 0.008 -

Page 66: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

124

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 119-128

0.5% w/w, and international standard which is less than 0.6% w/w (Buba et al., 2013). Protein and fat content have no particular international standard. Protein in honey consists of enzymes (White & Doner, 1980). Different enzymes work during the process of honey ripening such as diastase (amylase), invertase (saccharase or α-glucosidase), glucose oxidase, and catalase. The range of protein content reported here is similar to the report from Amabye (2017), which ranges from 0.46 to 1.04 gram/100 g honey.

Carbohydrate Analysis of Honey SampleC.

Carbohydrate analysis determined fructose, glucose, reducing sugar, total sugar, sucrose, and oligosaccharides content. All carbohydrate composition, except oligosaccharide, are shown in Table 3. Honey A and B had fructose content

of 30.65±2.35 g/100g and 28.59±1.04 g/100 g respectively. While fructose and glucose of honey A were similar, honey B had higher glucose content than its fructose. Although it is rare to find a honeywith higher glucose content thanfructose, the result of this study is similar to Ng & Reuter (2015).

Fructose and glucose content do not have international standard value, but their sum should be at least 60 g/100g (Buba et al., 2013), except honeydew honey with the lower standard at 45 g/100g (Ahmed et al., 2016). The reducing sugar contents of both samples did not conform to SNI 8664:2018 (Standar Nasional Indonesia, 2018)yet fulfilled the international standardof not less than 60% w/w. Measurement of total sugar resulted in sucrose content of honey A and B were 2.83% and 1.42% w/w respectively, which conformed to both SNI 8664:2018 and

Figure 1. TLC result of honey A and B showed monosaccharides and disaccharide spots yet oligosaccharide spot was not detected. F: fructose, G: glucose, M: maltose.

Gambar 1. Kromatogram madu A dan B menunjukkan totol monosakarida dan disakarida namun totol oligosakarida tidak terdeteksi. F: fruktosa, G: glukosa, M: maltosa

Table 3 Carbohydrate analysis of local honeys from East Kalimantan Tabel 3 Analisis karbohidrat madu lokal Kalimantan Timur

Carbohydrate parameters(Parameter karbohidrat)

Honey A(Madu A)

Honey B(Madu B)

SNI 8664:2018

International standard (Standar Internasional berdasarkan Buba

et al., (2013))Fructose

(Fruktosa, %b/b) 30.65±2.35 28.06±1.04 - Nofixedlimit(Tidak ada nilai khusus)

Glucose (Glukosa , %b/b) 30.08±0.58 32.74±1.13 - Nofixedlimit

(Tidak ada nilai khusus)Reducing sugar

(Gula pereduksi, %b/b) 60.48 63.86 Min. 65 Not less than 60 (Tidak kurang dari 60)

Total sugar(Gula total, %b/b) 63.45 65.35 - Nofixedlimit(Tidak ada nilai khusus)

Sucrose (Sukrosa, %/b) 2.83 1.42 Max. 5 Not >5 (Tidak lebih dari 5)

Page 67: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

125

Physical and Chemical Properties of Local Honey from East Kalimantan(Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri)

international standard (Table 3). These sucrose values indicated that local honey used in this study are considered natural. This study shows natural honey without adulteration are available for customers since so many honey are on the market without certainty about non-adulteration. Although it is stated that sucrose content larger than 5% w/w is an indication of sucrose adulteration, interestingly one study reported that even addition of sucrose sugar up to 100 L/colony could only result in 3.05 % sucrose content (Guler et al., 2017).

This study analyzed oligosaccharides qualitatively. Chromatogram showed streaked spot with distance comparable with standard monosaccharides and disaccharides, indicating very high content of respective carbohydrate (Figure 1). No spots indicating oligosaccharides was observed and this probably due to low oligosaccharides content which exceeds the detection limit of thin layer chromatography method.

Vitamin C and Total Phenolic ContentD.

This study reports that vitamin C or ascorbic acid content in both honeys were negligible and predicted the result as false positive. This is due to the extraction of ascorbic acid from honey

using metaphosphoric acid at 10% and 20% w/w gave similar result (Table 4). Unlike this report, many other previous reports stated that the content of ascorbic acid was 18.52-25.16 mg/100g (Buba et al., 2013), 126.78-147.28 mg/kg honey (Ahmed et al., 2016), and 0.19-3.70 mg/100g honey (Guler et al., 2017). Considering the meager result reported on those studies, this probably also came out from false positive due to linear regression calculation. Based on the value obtained, this study assumed that honey is not a source for vitamin C.

Phenolic compounds in honey include phenolic acids and flavonoid (Cianciosi etal., 2018). High level of pigments such as carotenoids andflavonoids darkenhoney colormoreover these two pigments involve in honey antioxidant potential (Ahmed et al., 2016). Total phenolic content of honey A and B were consecutively 42.00±0.79 mg GAE/100g and B 66.92±2.34 mg GAE/100 g (Table 4), and give a comparable result with typical phenolic content of honey produced by Apis genus (Kek et al., 2014). The highest phenolic content was from Kelulut honey produced by Trigona spp. with 105.88 mg GAE/100g (Kek et al., 2014). Honey B, as indicated with a darker color than honey A has proven to have higher phenolic content and

Table 4. Ascorbic acid and total phenolic content Tabel 4. Kandungan asam askorbat dan fenolik total

Samples (Sampel)

Ascorbic Acid content (g/100g) from extraction of honey at 10% b/b

(Kandungan asam askorbat dalam g/100 g dari ekstraksi madu pada kadar 10%b/b)

Ascorbic Acid content (g/100g) from extraction of honey at 20% b/b

(Kandungan asam askorbat dalam g/100 g dari ekstraksi madu pada kadar 20%b/b)

Total Phenolic content (mg GAE/100 g honey)

(Kandungan fenolik total (mg/GAE/100 g madu)

Honey A(Madu A) 0.0183±0.0040 0.0129±0.0037 42.00±0.79

Honey B(Madu B) 0.0326±0.0026 0.0307±0.0047 65.92±2.34

Remarks (Keterangan): GAE: Gallic acid equivalent (Ekuivalen asam galat)

Table 5 Some mineral contents of local honey from East Kalimantan Tabel 5 Kandungan beberapa mineral pada madu lokal dari Kalimantan Timur

Parameters (Parameter)

Unit(Satuan)

Honey A(Madu A)

Honey B(Madu B)

Sodium (Natrium, Na) mg/100g 3.76 6.55Potassium (Kalium, K) mg/100g 137 135Calcium (Kalsium, Ca) mg/100g 11.1 15.1Iron (Besi, Fe) mg/100g <0.0017 0.15Copper (Tembaga, Cu) mg/100g <0.0008 <0.0008Zinc (Seng, Zn) mg/100g <0.0004 0.09

Page 68: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

126

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 119-128

confirmthereportby(Keketal.,2014)aboutthepositive correlation between color intensity and phenolic content.

Mineral ContentE.

Mineral content of honey is related to ash content. Dark honey has higher ash (mineral) (White & Doner, 1980). From previous proximate analysis section, it is known that both honey have the same ash content of 0.29% w/w. However, mineral composition pattern of each honey regarding types of mineral measured in this study were different (Table 5). Overall, Honey B contained higher mineral than Honey A, particularly Na, Ca, Fe, and Zn. Beyond the minerals measured in this study, according to Ahmed et al. (2016),honeyalsocontainsignificantamount of magnesium.

CONCLUSIONIV.

A thorough examination of physical and chemical properties of local honey from East Kalimantan was conducted. Moisture and reducing sugar content were outside the range set in SNI 8664:2018; however, ash and sucrose content conformed to the standard. The carbohydrate analysis showed fructose and glucose content are comparable to the international standard, however, one sample showed a distinct pattern with its glucose content higher than fructose. Both samples had sucrose content less than 5%w/wandfulfilledbothSNI8664:2018andinternational standard, and considered natural. Local honey showed a negligible amount of vitamin C but a comparable amount of phenolic content typical for honey produced by Apis genus. Local kinds honeys had similar ash content but different pattern in mineral composition. Local honeys had good quality, but decreasing the water content and increasing reducing sugar content through drying or determining the correct harvest time is necessary to be able to meet the national standard of SNI 8664:2018.

ACKNOWLEDGEMENT

The authors would like to acknowledge the Ministry of Research, Technology, and Higher EducationforfinancialsupportthroughNational

Competitive Funding for Junior Researcher year 2019 Grant Number 117/SP2H/LT/DRPM/2019; 595/L11/KM/2019; 02.7/009/KP/LPPM/UNU-KT/IV/2019.

AUTHOR CONTRIBUTIONS

UK and RM conducted the ideas, designs, and experimental designs; trials and test treatments are carried out by UK and AA; UK and AA collected and analyzed the data; UK, RM, and AA wrote the manuscript; UK, RM, and AA editedandfinalizedthemanuscript.

REFERENCES

Adalina, Y. (2018). Analisis habitat koloni lebah hutan Apis dorsata dan kualitas madu yang dihasilkan dari Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rantau, Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 15(1), 25–40. doi: 10.20886/jphka.2018.15.1.25-40.

Ahmed, M., Shafiq, M. I., Khaleeq, A., Huma, R.,Qadir, M. A., Khalid, A., … Samad, A. (2016). Physiochemical, biochemical, minerals content analysis, and antioxidant potential of national and international honeys in Pakistan. Journal of Chemistry, 2016. doi: 10.1155/2016/8072305.

Amabye, T. (2017). Phytochemical and biochemical compostion of wild honey a case study in Estern zone areas in tigray Ethiopia. MOJ Food Processing & Technology, 4(3), 88–94. doi: 10.15406/mojfpt.2017.04.00094.

AOAC. (2005). Mineral in infant formula, enteral products, and pet foods. Official Methods of Analysis of AOAC International, 514(1985), 1–3.

Beretta, G., Granata, P., Ferrero, M., Orioli, M., & Facino, R. M. (2005). Standardization of antioxidant properties of honey by a combination of spectrophotometric/fluorimetricassaysandchemometrics.Analytica Chimica Acta, 533(2), 185–191. doi: 10.1016/j.aca.2004.11.010.

Bradbear, N. (2009). Bees and their role in forest livelihoods. A guide to the services provided by bees and the sustainable harvesting, processing and marketing of their products. FAO, Rome.

Page 69: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

127

Physical and Chemical Properties of Local Honey from East Kalimantan(Umul Karimah, Rika Melati, & Ayu Anita Sari Ratna Saputri)

Buba, F., Gidado, A., & Shugaba, A. (2013). Analysis of biochemical composition of honey samples from North-East Nigeria. Biochemistry & Analytical Biochemistry, 2(3), 1–7. doi: 10.4172/2161-1009.1000139.

Cianciosi, D., Forbes-Hernández, T. Y., Afrin, S., Gasparrini, M., Reboredo-Rodriguez, P., Manna, P. P., … Battino, M. (2018). Phenolic compounds in honey and their associated healthbenefits:Areview.Molecules, 23(9), 1–20. doi: 10.3390/molecules23092322.

Evahelda, E., Pratama, F., Malahayati, N., & Santoso, B.(2017).Sifatfisikdankimiamadudarinektarpohon karet di Kabupaten Bangka Tengah, Indonesia. Agritech, 37(4), 363–368.

Ferreira, I. C. F. R., Aires, E., Barreira, J. C. M., & Estevinho, L. M. (2009). Antioxidant activity of Portuguese honey samples: Different contributions of the entire honey and phenolic extract. Food Chemistry, 114(4), 1438–1443. doi: 10.1016/j.foodchem.2008.11.028.

Guler, A., Garipoglu, A. V., Onder, H., Biyik, S., Kocaokutgen, H., & Ekinci, D. (2017). Comparing biochemical properties of pure and adulterated honeys produced by feeding honeybees (Apis mellifera L.) colonies with different levels of industrial commercial sugars. Kafkas Universitesi Veteriner Fakultesi Dergisi, 23(2), 259–268. doi: 10.9775/kvfd.2016.16373.

Harjo, S., Radiati, L. E., & Rosyidi, D. (2015). Perbandingan madu karet dan madu rambutan berdasarkan kadar air, aktivtias enzim diastase dan hidroximetilfurfural (HMF). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, 10(1), 18–21. doi: 10.21776/ub.jitek.2015.010.01.3.

Karimah, U., Anggowo, Y. N., Falah, S., & Suryani, S. (2011). Isolasi oligosakarida madu lokal dan analisis aktivitas prebiotiknya. Jurnal Gizi Dan Pangan, 6(3), 217–224. doi: 10.25182/jgp.2011.6.3.217-224.

Kavapurayil, J., Karalam, S., & Chandran, R. (2014). Analysis of physicochemical, biochemical, and antibacterial properties of Indian honey samples with special reference to their non-conformity. Acta Alimentaria, 43(1), 9–18. doi: 10.1556/AAlim.43.2014.1.2.

Kek, S. P., Chin, N. L., Yusof, Y. A., Tan, S. W., & Chua, L. S. (2014). Total phenolic contents and colour intensity of Malaysian honeys from the Apis spp. and Trigona spp. bees. Agriculture and Agricultural Science Procedia 2, 2, 150–155. doi: 10.1016/j.aaspro.2014.11.022.

Kek, S. P., Chin, N. L., Yusof, Y. A., Tan, S. W., & Chua, L. S. (2017). Classification of entomologicalorigin of honey based on its physicochemical and antioxidant properties. International Journal of Food Properties, 20(3), S2723–S2738. doi: 10.1080/10942912.2017. 1359185.

Khalil, M. I., Moniruzzaman, M., Boukraâ, L., Benhanifia, M., Islam, M. A., Islam, M. N.,… Gan, S. H. (2012). Physicochemical and antioxidant properties of algerian honey. Molecules, 17(9), 11199–11215. doi: 10.3390/molecules170911199.

Mohammed, M. E. A., Alfifi, A., Aalmudawi, A.,Alfaifi,M.Y.,Elbehairi,S.E.I.,&Al-Bushnaq,H. A. (2017). Some physiochemical properties of acacia honey from different altitudes of the Asir region in southern Saudi Arabia. Czech Journal of Food Sciences, 35(4), 321–327. doi: 10.17221/428/2016-CJFS.

Muslim, T. (2014). Potensi madu hutan dan pengelolaannya di Indonesia, tumbuhan obat dari hutan: Konservasi, budi daya dan pemanfaatan. Proceedings Seminar Balitek KSDA. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam: Balikpapan. (pp. 67–69). Retrieved from https://www. researchgate.net/publication/303520794_Potensi_Madu_Hutan_Dan_Pengelolaannya_Di_Indonesia, on 23 June 2020.

Nayik, G. A., Shah, T. R., Muzaffar, K., Wani, S. A., Gull, A., Majid, I., & Bhat, F. M. (2014). Honey: itshistoryandreligioussignificance:areview.Universal Journal Pharmacy, 3(1), 5–8.

Ng, C. M., & Reuter, W. M. (2015). Analysis of sugars in honey using the Perkin Elmer Altus HPLC system with RI detection. Application note: Liquid Chromatography. Retrieved from Waltham: https://www.perkinelmer.com/lab-solutions/ resources/docs/APP_Analysis-of-Sugars-in-Honey-012101_01.pdf , on 23 August 2019.

Page 70: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

128

Penelitian Hasil Hutan Vol. 38 No. 2, Juli 2020: 119-128

Savitri, N. P. T., Hastuti, E. D., & Suedy, S. W. A. (2017). Kualitas madu lokal dari beberapa wilayah di Kabupaten Temanggung. Buletin Anatomi dan Fisiologi, 2(1), 58–66. doi: 10.14710/baf.2.1.2017.58-66.

See, M. A. D., Manila-Fajardo, A. C., Fajardo, A. C. J., & Cervancia, C. R. (2011). Physico-chemical characteristics of Philippine honey and their implications in the establishment of standard for tropical honeys. Journal of Apiculture, 26(1), 45–48.

Soga, T. (2002). Analysis of carbohydrates in food and beverages by HPLC and CE. Journal of Chromatography Library, 66, 483–502. doi: 10.1016/S0301-4770(02)80039-2.

Standar Nasional Indonesia (SNI). (1992). Cara uji gula (SNI 01-2891-1992). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia (SNI). (2013). Madu (SNI 3545-2013). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia (SNI). (2018). Madu (SNI 8664-2018). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

White, J. W., & Doner, L. W. (1980). Honey composition and properties. In Agriculture Handbook, 335, 82–91. Philadephia. Retrieved from https://beesource.com/ resources/usda/honey-composition-and-properties/, on 7 September 2019.

Wulandari, D. D. (2017). Analisa kualitas madu (keasaman, kadar air, dan kadar gula pereduksi) berdasarkan perbedaan suhu penyimpanan. Jurnal Kimia Riset, 2(1), 16–22. doi: 10.20473/jkr.v2i1.3768.

Page 71: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

1. Dewan redaksi jurnal menerima naskah ilmiah hasil penelitian atau hasil studi sesuai ruang lingkup Jurnal Penelitian Hasil Hutan yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain.

2. Dewan redaksi memiliki wewenang penuh untuk memeriksa, memberi saran perbaikan dan/atau menolak naskah apabila tidak memenuhi persyaratan. Penilaian naskah secara substantif dilakukan oleh dewan redaksi dan mitra bestari.

3. Naskah diserahkan secara daring melalui menu online submission yang telah disediakan dengan mendaftar sebagai pengguna dan melampirkan Surat Pernyataan Klirens Etik sesuai Perka LIPI 08/E/2013 yang dapat diunduh pada bagian Etika Publikasi.

4. Sekretariat Redaksi tidak melayani naskah yang dikirim melalui surat elektronik (email). Bagi yang membutuhkan petunjuk aplikasi Open Journal System (OJS) dapat melihat pada petunjuk penulis (guideline for authors).

5. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik menggunakan MS. Word, dua spasi pada kertas HVS A4 dengan marjin 3 cm dan huruf tipe Garamond berukuran 12 poin. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan, Gambar dan Tabel diletakkan bersama dengan teks tidak terpisah dari badan teks. Jumlah halaman maksimal 25 termasuk daftar pustaka dan lampiran (jika ada).

6. Naskah ditulis dengan ketentuan sebagai berikut :a. Judul, ditulis dalam bahasa Indonesia (huruf

kapital, ukuran 16, tebal, tegak) dan bahasa Inggris (huruf kapital pada awal kata, ukuran 14, tebal, miring), maksimal 15 kata.

b. Nama penulis, ditulis lengkap tanpa gelar, berurutan dengan ukuran huruf 12 dan masing-masing disertai nama dan alamat instansi dilengkapi nomor telepon, dan alamat surat elektronik penulis utama untuk korespondensi.

c. Abstrak, ditulis dalam satu paragraf, satu spasi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris masing-masing tidak lebih dari 250 kata, dilengkapi kata kunci (keywords) empat sampai enam kata atau frasa.

PEDOMAN BAGI PENULIS

1. EditorialboardsacceptscientificarticlesrelatedtoJournalof Forest Products Research scope. Manuscript must be original and it has not been published or being processed for any publications.

GUIDELINE FOR AUTHORS

2. Editorial boards are authorized to review the manuscript and possibly discard the manuscript when it does not meet scientificjournalrequirements.Substantively,manuscriptwill be reviewed and observed by relevant peer and internal reviewers.

3. The manuscript is submitted online via online submission menu, register as user, and attach ethical clearancestatementaccordingtoPerkaLIPI08/E/2013,whichcould be downloaded from Publication Ethic menu in journalwebsite.

4. Journal Secretariat will reject submission via email.Open Journal System (OJS) guideline is available in the guideline for authors.

5. Manuscript are written in Indonesian or English,inMS.Word onA4 size paper, double spaces,3 cmmargins, fontGaramond size 12. Insert page numberin every page. Figure and Table are wrapped in the text.Themanuscriptisnomorethan25pages,includesbibliography and appendices.

6. Manuscript is written as follows:a. TitleiswritteninIndonesian(capitalized,size16,bold)andEnglish(capitalatthebeginof everyword,size14,bold,italic)notexceeding15words.

b. Author’s full names are stated without mentioning academic title, in the right order, fontsize 12. Author’s intitutions and addressess are fully written under the author’s names. One main email addressisrequiredformainauthor’scorespondence.

c. Abstract is written in single paragraph, singlespace,written in Indonesian andEnglish, nomorethan 250 words and keywords are presented in four to six words or phrases.

Page 72: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

d. Pendahuluan, berisi latar belakang penelitian, disusun dalam beberapa paragraf dengan kalimat yang singkat, padat, dan jelas. Pada bagian akhir paragraf dituliskan tujuan penelitian.

e. Bahan dan Metode, berisi uraian bahan dan alat yang digunakan serta lokasi penelitian, metode/cara pengumpulan, dan analisis data.

f. Hasil dan Pembahasan, berisi interpretasi hasil penelitian yang diperoleh dan dikaitkan dengan hasil-hasil yang telah dilaporkan dalam bentuk teks, tabel maupun gambar.

g. Kesimpulan, memuat makna hasil penelitian, jawaban atas hipotesis dan/atau tujuan penelitian.

h. Ucapan Terima Kasih, berisi pernyataan terima kasih kepada seseorang, instansi atau lembaga yang telah mendukung pendanaan kegiatan penelitian dan/atau bantuan lainnya.

i. Kontribusi Penulis, dalam penulisan publikasi ilmiah secara bersama-sama (kolaboratif), perlu dicantumkan pembagian peran penulis dalam penyusunan naskah publikasi. Pencantuman kontribusi penulis dilakukan untuk menentukan peran penulis sebagai kontributor utama atau sebagai kontributor anggota. Kontribusi penulis ditulis berdasarkan lima langkah penulisan publikasi ilmiah, yaitu: ide, desain, dan rancangan percobaan; percobaan, dan perlakuan pengujian; pengumpulan data dan analisis data; penulisan manuskrip; dan perbaikan dan finalisasi manuskrip. Kontributor ditulis ditampilkan dalam dua huruf inisial kontributor penulis.

Contoh penulisan kontribusi penulis:

Penulis: Ahmad Yani (AY), Joko Sumartono (JS), dan Bambang Budi Purnomo (BP)

Kontribusi penulis:

Ide, desain, dan rancangan percobaan dilakukan oleh AY dan JS; percobaan dan perlakuan pengujian dilakukan oleh BP; pengumpulan data dan analisis data dilakukan oleh AY, JS, dan BP; penulisan manuskrip oleh AY dan JS; perbaikan dan finalisasi mansukrip dilakukan oleh AY dan BP.

d. Introduction contains background and problem statement which are written concisely and clearly paragraphs.Researchobjectiveisstatedclearlyintheparagraph.

e. Material and Method are clearly state related materialsandmethodsusedintheresearch,includinglocation, data collection procedures and dataanalysis.

f. Result and Discussion contains of research results and its interpretations. The results are presentedinfiguresortablesandtheyarediscussedinrelation to similar studies.

g. Conclusion contains research findings andanswering of to the hypotheses and/or research objectives.

h. Acknowledgements states grateful to individu or institutions who had supported the research and/or provided funding support.

i. Author Contributions incollaborativescientificwriting, it is necessary to include the author’s rolein preparing the publication’s manuscript. Inclusion of author contributions is essential to determine the role of the author as the primary contributor or a member contributor. Authors’ contributions are writtenbased on thefive steps of scientificwriting,namely: ideas, designs, and experimental designs;trial,andtreatmenttest;datacollectionandanalysis;manuscriptwriting;andeditingandfinalizationof the manuscript. Written contributors are displayed in two alphabets representing the author’s name.

Examples of writing author contributions:

Author:AhmadYani(AY),JokoSumartono(JS),and Bambang Budi Purnomo (BP)

Author Contributions:

AY and JS conducted the ideas, designs andexperimental designs; trials and test treatments arecarried out byBP;AY, JS, andBP collected andanalysedthedata;AYandJSwrotethemanuscript;AYandBPeditedandfinalizedthemanuscript.

Page 73: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

Penyitiran dalam teks (Citation in text)

Cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa (Iman & Handoko, 2011).

atau

Iman dan Handoko (2011) menyatakan bahwa cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa.

Artikel yang ditulis oleh 3 - 5 penulis (Article of 3 - 5 authors)

Di dalam teks seluruh penulis ditulis untuk pertama kali, kemudian ditulis ‘et al.’

contoh:

Arang aktif dapat dibuat dari bahan organik yang dapat dikarbonisasi seperti kulit kenari (Mariez, Torres, Guzman, & Maestri, 2006)

Mariez et al. (2006) menyebutkan bahwa bagian cangkang kulit kenari menghasilkan arang aktif kualitas paling baik.

Artikel yang ditulis oleh lebih dari 5 penulis (Article of more than 5 authors)

Di dalam teks ditulis nama penulis pertama diikuti ‘et al.’ pada kutipan pertama dan selanjutnya.

contoh:

Berbagai pustaka menyebutkan bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu berkisar 1–30%, tergantung beberapa faktor diantaranya kondisi pertumbuhan pohon dan musim pada saat pohon ditebang (Donegan et al., 2007)

Contoh format penulisan Daftar Pustaka (Reference list format)

1. Artikel dalam jurnal ilmiah, 1 penulis (Article in scientific journal 1 author)Endom, W. (2013). Produktivitas dan biaya alat hasil rekayasa dalam pengeluaran kayu jati di daerah

curam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(1), 63-74.

j. Daftar Pustaka, berisi kumpulan pustaka yang diacu dalam tubuh tulisan dengan komposisi pustaka primer minimal 80% dari seluruh pustaka. Pustaka diutamakan dari sumber yang sudah dipublikasikan dalam lima tahun terakhir. Format Daftar Pustaka mengacu pada “American Psychological Association (APA)” edisi keenam. Disarankan menggunakan aplikasi referensi seperti Mendeley atau End Note.

j. References contain bibliographies which have been cited in the text,minimum of 80% references arefromprimary sourcesandpublished in the lastfiveyears. The references are formatted in “American PsychologicalAssociation(APA)”,style6thedition.The use of referencing software such as Mendeley and EndNote is highly recommended.

Page 74: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018

2. Artikel dalam jurnal ilmiah, 2 - 5 penulis (Article in scientific journal, 2 - 5 authors)Kissinger, K., Evrizal, A.M.Z., Latifa, K., Darusman, H., & Iskandar, A. (2013). Penapisan senyawa fitokimia

dan pengujian antioksidan ekstrak daun pohon merapat (Combretocarpus rotundatus Miq.) dari hutan kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 9-18.

Li-bing Z., Mark, P.S., & Sussane, S.R. (2007). A phylogeny of Anisophylleaceae based on six nuclear and plastid loci: Ancient disjuctions and recent dispersal beetween South America, Africa and Asia. Molecular Phylogenetics & Evolution; Sept 2007, 44(3), 1057–1067. doi: 0.1016/jympev. 2007. 03.002.

3. Artikel dalam jurnal ilmiah, lebih dari 7 penulis (Article in scientific journal, more than 7 authors)

Vissing, K., Brink, M., Lonbro, S., Sorensen, H., Overgaard, K., Danborg, K., ... Aagaard, P. (2008) Muscle adaptations to polymetric vs. resistance training in untrained young men. Journal of Strength and Conditioning Research, 22(6), 1799-1810.

4. Buku teks, 1 - 5 penulis (Text book, 1 - 5 authors)Sudradjat, H.R. (2006). Memproduksibiodieseljarakpagar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Muslich, M., Wardani, M., Kalima, T., Rulliaty, S., & Hadjib, N. (2013). Atlas kayu Indonesia (Jilid IV). Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.

5. Prosiding (Proceeding)Dulsalam. (2012). Pemanenan kayu ramah lingkungan. Dalam G. Pari, A. Santoso, Dulsalam, J. Balfas, &

Krisdianto (Penyunt.), Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. (hal. 102 - 114).

6. Skripsi, Tesis, atau Disertasi (Thesis or Disertation)Widyati, E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi

lahan. (Disertasi). Program Pendidikan Doktor Institut Pertanian Bogor, Bogor.

7. Laporan penelitian (Research report)Djarwanto & Waluyo, T.K. (2013). Teknologi produksi ragi untuk pembuatan bioetanol. Laporan Hasil

Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

8. Artikel dari situs internet (Article from website)Massijaya, M.Y. (2008). Upaya penyelamatan industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut

ketersediaan bahan baku. Diakses dari http://www.fahutan.s5.com/sept/sept006.html, pada 17 Februari 2010.

9. Artikel dari situs internet, tanpa nama penulis gunakan nama institusi/organisasi (Article on the website, if no author, mention the institution/organization)

Departemen Kehutanan. (2008). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophylum inophylum L.) tahun 2005-2008. Diakses dari http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf, pada 7 Oktober 2011.

10. Pustaka dari Standar (Reference from standard)Standar Nasional Indonesia (SNI). (2013). Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu (SNI 797-2013). Badan

Standardisasi Nasional, Jakarta.

Page 75: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018
Page 76: TERAKREDITASI PERINGKAT 2 NO : 21/E/KPT/2018