teori-teori etika profesi bisnis dan akuntan

Upload: sjifa-aulia

Post on 13-Oct-2015

313 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

download di ampundeh.wordpress.comKATA PENGANTARAssalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan berkatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Laporan ini merupakan laporan tertulis dari kelompok Etika Profesi Akuntansi Code of Conduct Jurusan Akuntansi 2011 Universitas Negeri Jakarta.Laporan ini ditujukan kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. sebagai Dosen Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi. Makalah ini membahas tentang teori-teori mengenai etika profesi akuntansi dan menjelaskan tenteng kasus yang terjadi yang berhubungan dengan teori etika profesi akuntansi.Pada kesempatan ini kami selaku mahasiswa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. selaku Dosen Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyempurnakan makalah ini.Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan penulis di masa yang akan datang. Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak.Wassalamualaikum Wr. Wb.Jakarta, 26 Februari 2014PenulisDAFTAR ISIKata PengantarDaftar IsiBAB 1 PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah1.3 Tujuan Penulisan1.4 Manfaat Penulisan1.5 Metode Penelitian1.6 Sistematika PenulisanBAB 2 PEMBAHASAN2.1 Etika Absolut Versus Etika Relatif2.2. Teori-teori Etika Utama 2.2.1. Teleologi: Utilitarianisme dan Konsekuensialisme –Analisis Dampak2.2.2. Etika Deontologi – Motivasi untuk Perilaku2.2.3. Keadilan dan Kewajaran – Memeriksa Saldo2.2.4. Etika Kebajikan – Meneliti Kebajikan yang Diharapkan2.2.5. Imajinasi Moral2.2.6. Teori Etika Teonom2.2.7. Egoisme2.3. Etika Abad ke-202.3.1. Arti Kata “Baik” Menurut George Edward Moore2.3.2. Tatanan Nilai Max Scheller2.3.3. Etika Situasi Joseph Fletcher2.3.4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch2.3.5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederick Skinner2.3.6. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas2.4. Praktik Pengambilan Keputusan Etis 2.4.1. Pemaparan Kasus2.4.2. Analisa KasusBAB 3 PENUTUP3.1 Kesimpulan3.2 SaranDaftar PustakaBAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang MasalahSuatu pengetahuan tentang sebuah objek baru dianggap sebagai disiplin ilmu bila pengetahuan tersebut telah dilengkapi dengan seperangkat teori tentang objek yang dikaji. Jadi teori merupakan tulang punggung suatu ilmu. Imu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang menjelaskan berbagai gejala alam dan sosial yang memungkinkan manusia melakukan serangkaina tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. (Suriasumantri, 2000).Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Berbagai teori etika meuncul karena adanya perbedaan perspektif dan penafsiran tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup umat manusia. Sifat teori dalam ilmu etika masih lebih banyak untuk menjelaskan sesuatu, belum sampai pada tahap untuk meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan atau perilaku.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan tujuan instruksi khusus Mata Kuliah Etika Profesi Akuntan, masalah yang dibahas adalah mengenai Teori-teori Etika. Adapun pokok bahasan lebih spesifik sebagai berikut:a) Kontribusi Filsuf dalam Bidang Etikab) Etika Abad ke-20c) Praktik Pengambilan Keputusan Etis1.3. Tujuan PenulisanTujuan penulisan ini dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan khusus:1.3.1

TRANSCRIPT

  • KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan

    berkatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Laporan ini

    merupakan laporan tertulis dari kelompok Etika Profesi Akuntansi Code of Conduct Jurusan

    Akuntansi 2011 Universitas Negeri Jakarta.

    Laporan ini ditujukan kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. sebagai Dosen

    Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi. Makalah ini membahas tentang teori-teori mengenai

    etika profesi akuntansi dan menjelaskan tenteng kasus yang terjadi yang berhubungan

    dengan teori etika profesi akuntansi.

    Pada kesempatan ini kami selaku mahasiswa menyampaikan ucapan terima kasih

    kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. selaku Dosen Mata Kuliah Etika Profesi

    Akuntansi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyempurnakan makalah

    ini.

    Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari

    sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

    para pembaca untuk perbaikan penulis di masa yang akan datang. Semoga laporan ini

    bermanfaat bagi semua pihak.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Jakarta, 26 Februari 2014

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    1.2 Rumusan Masalah

    1.3 Tujuan Penulisan

    1.4 Manfaat Penulisan

    1.5 Metode Penelitian

    1.6 Sistematika Penulisan

    BAB 2 PEMBAHASAN

    2.1 Etika Absolut Versus Etika Relatif

    2.2. Teori-teori Etika Utama

    2.2.1. Teleologi: Utilitarianisme dan Konsekuensialisme Analisis

    Dampak

    2.2.2. Etika Deontologi Motivasi untuk Perilaku

    2.2.3. Keadilan dan Kewajaran Memeriksa Saldo

    2.2.4. Etika Kebajikan Meneliti Kebajikan yang Diharapkan

    2.2.5. Imajinasi Moral

    2.2.6. Teori Etika Teonom

    2.2.7. Egoisme

    2.3. Etika Abad ke-20

    2.3.1. Arti Kata Baik Menurut George Edward Moore

    2.3.2. Tatanan Nilai Max Scheller

    2.3.3. Etika Situasi Joseph Fletcher

    2.3.4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch

    2.3.5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederick Skinner

    2.3.6. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas

    2.4. Praktik Pengambilan Keputusan Etis

  • 2.4.1. Pemaparan Kasus

    2.4.2. Analisa Kasus

    BAB 3 PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    3.2 Saran

    Daftar Pustaka

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Masalah

    Suatu pengetahuan tentang sebuah objek baru dianggap sebagai disiplin ilmu bila

    pengetahuan tersebut telah dilengkapi dengan seperangkat teori tentang objek yang dikaji.

    Jadi teori merupakan tulang punggung suatu ilmu. Imu pada dasarnya adalah kumpulan

    pengetahuan yang menjelaskan berbagai gejala alam dan sosial yang memungkinkan

    manusia melakukan serangkaina tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan

    penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah yang mencakup

    penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. (Suriasumantri,

    2000).

    Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat

    kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak

    baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu

    tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang

    berlainan. Berbagai teori etika meuncul karena adanya perbedaan perspektif dan penafsiran

    tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup umat manusia. Sifat teori dalam ilmu etika

    masih lebih banyak untuk menjelaskan sesuatu, belum sampai pada tahap untuk

    meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan atau perilaku.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan tujuan instruksi khusus Mata Kuliah Etika Profesi Akuntan, masalah

    yang dibahas adalah mengenai Teori-teori Etika. Adapun pokok bahasan lebih spesifik

    sebagai berikut:

    a) Kontribusi Filsuf dalam Bidang Etika

    b) Etika Abad ke-20

    c) Praktik Pengambilan Keputusan Etis

  • 1.3. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan khusus:

    1.3.1. Tujuan Umum

    a) Menjelaskan ketidaksamaan pandangan mengenai apakah etika bersifat

    absolut atau relatif.

    b) Menjelaskan berbagai teori etika yang berkembang

    c) Menjelaskan perbedaan antarteori etika yang ada

    d) Menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan

    teori-teori etika dalam lingkungan bisnis

    1.3.2. Tujuan Khusus

    Memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Akuntan sesuai silabus BAB 3: Etika

    Perilaku

    1.4. Manfaat Penulisan

    a) Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.

    b) Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya.

    c) Sebagai literatur untuk lebih memahami kegiatan akuntansi, khususnya

    dalam hal yang berhubungan dengan kewirausahaan

    1.5. Sistematika Penulisan

    Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah :

    BAB I PENDAHULUAN

    Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika penulisan, dan metodologi penelitian.

    BAB II PEMBAHASAN

    Berisi tentang : Pembahasan mengenai Teori-teori Etika dan perbedaan yang ada di dalamnya

    BAB III PENUTUP

    Berisi tentang : kesimpulan dan saran.

  • 1.6. Metodologi Penelitian

    Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah :

    a) Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan

    penulisan karya tulis ini

    b) Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari

    yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku.

  • BAB 2

    PEMBAHASAN

    2.1. Etika Absolut Versus Etika Relatif

    Sampai saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di antara para

    etikawan tentang apakah etika bersifat absolut atau relatif. Para penganut paham etika

    absolut dengan berbagai argumentasi yang masuk akal meyakini bahw ada prinsip-prinsip

    etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapan pun dan di mana pun. Sementara itu

    para penganut etika relatif dengan berbagai argumentasi juga membantah hal ini. Mereka

    justru mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku umum. Prinsip

    atau nilai moral yang ada dalam masyarakat berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda

    dan untuk situasi yang berbeda pula.

    Untuk memulai diksusi, Rachels (2004) memberikan contoh menarik mengenai

    keyakinan dua suku yang sangat berbeda yaitu suku Callatia di India dan orang-orang Yunani

    tentang perlakuan terhadap orang tua mereka saat meninggal dunia. Sebagai wujud rasa

    hormat kepada orang tua yang telah meninggal dunia, suku Callatia akan memakan jenazah

    orang tua mereka sedangkan orang-orang Yunani akan membakar jenazah orang tua

    mereka. Ini sekadar salah satu ilustrasi yang barangkali dapat dipakai untuk mendukung

    argumentasi para penganut etika realtif di mana kebudayaan yang berbeda kan

    menghasilkan kode moral yang berbeda pula. Di antara tokoh-tookoh berpengaruh yang

    mendukung paham etika relatif ini adalah Joseph Fletcher (dalam Suseno 2006) yang

    terkenal dengan teori etika situasionalnya. Ia menolak adanya norma-norma moral umum

    karena kewajiban moral selalu bergantung pada situasi konkret dan situasi konkret ini dalam

    kesehariannya tidak pernah sama.

    Tokoh berpengaruh pendukung paham etika absolut antara lain Immanuel Kant dan

    James Rachel. Rachel sendiri yang walaupun membuka pemikirannya dengan memberikan

    argumentasi bagi pendukung etika relatif melalu contoh ilustrasi perlakuan berbeda

    terhadap jenazah orang tua dari dua suku/bangsa berbeda, sebenarnya merupakan

  • pendukung etika absolut. Ia mengataka bahwa ada pokok teoritis yang umum di mana ada

    aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh semua masyarakat

    karena aturan-aturan itu penting untuk kelestarian masyarakat. Misalnya aturan melawan

    kebohongan dan pembunuhan hanyalah dua contoh yang masih berlaku dalam semua

    kebudayaan yang tetap hidup walaupun juga diakui bahwa dalam setiap aturan umum tentu

    saja ada pengecualiannya.

    2.2. Teori-teori Etika Utama

    2.2.1. Teleologi: Utilitarianisme dan Konsekuensialisme Analisis

    Dampak

    Teleologi memiliki sejarah panjang di antara filsafat empiris Inggris. John Locke

    (1632-1704), Jeremy Bentham (1748- 1832), James Mill (1773-1836), dan anaknya John

    Stuart Mill (1806-1873) semua melihat etika dari perspektif teleologi. Teleologi berasal dari

    kata Yunani telos, yang berarti akhir, konsekuensi, hasil; sehingga, teori-teori teleologi yang

    mempelajari etika perilaku dalam hal akibat atau konsekuensi dari keputusan etis. Teleologi

    cocok untuk banyak pelaku bisnis yang berorientasi hasil karena berfokus pada dampak dari

    pengambilan keputusan. Teleologi mengevaluasi keputusan sebaga baik atau buruk,

    diterima atau tidak diterima, dalam hal konsekuensi dari keputusan tersebut.

    Investor menilai investasi sebgai baik atau buruk, bermanfaat atau tidak,

    berdasarkan hasil yang diharapkan. Jika tingkat pengembalian aktualnya (actual return)

    berada di bawah harapan investor, maka investasi tersebut dianggap sebagai keputusan

    investasi yang buruk; jika tingkat pengembaliannya lebih besar daripada yang diharapkan,

    investasi tersebut dianggap sebagai keputusan investasi yang baik atau berharga.

    Pengambilan keputusan etis mengikuti pola yang serupa. Dengan cara yang sama dengan

    kebaikan atau keburukan, sebuah investasi dinilai berdasarkan hasil keputusan keuangan,

    etika kebaikan dan keburukan didasarkan pada konsekuensi dari keputusan etis. Keputusan

    etis adalah benar atau salah ketika keputusan tersebut menghasilkan hasil keputusan yang

    positif atau negatif. Keputusan yang baik secara etika memberikan hasil yang positif,

    sedangkan keputusan yang buruk secara etika memberikan hasil yang kurang positif atau

  • konsekuensi negatif. Namun demikian, konsekuensi dari suatu keputusan etis tidak akan

    beretika dengan sendirinya. Konsekuensinya adalah apa yang terjadi.

    Etikalitas dari pembuat keputusan dan keputusan tersebut telah ditetapkan

    berdasarkan nilai komparatif non-etika dari suatu tindakan atau konsekuensi. Jika keputusan

    mendatangkan hasil positif, seperti membantu seorang individu untuk mencapai realisasi

    diri, maka keputusan dikatakan benar secara etika. Hasil positif nilai non-etika lain termasuk

    kebahagiaan, kesenangan, kesehatan, kecantikan, dan pengetahuan. Sedangkan hasil

    negatif non-etika termasuk ketidakbahagiaan, kesengsaraan, penyakit, keburukan, dan

    kebodohan. Dengan kata lain, penilaian tentang benar dan salah, atau kebenaran etika

    hanya didasarkan pada apakah hal baik atau buruk terjadi atau tidak.

    Teleologi memiliki artikulasi yang jelas dalam utilitarianisme, yang paling nyata

    adalah dalam tulisan-tulisan Bentham dan J.S. Mill. Dalam utilitarianism, Mill menulis:

    Kredo yang diterima seperti landasan moral, utilitas, atau Prinsip Kebahagiaan Terbesar

    (greatest Happines Principle), menyatakan bahwa tindakan merupakan hal yang benar

    sesuai proporsinya jika cenderung untuk meningkatkan kebahagiaan, salah jika tindakan

    tersebut cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan. Kebahagiaan diharapkan

    mendatangkan kesenangan, dan ketiadaan rasa sakit; ketidakbahagiaan akan menimbulkan

    rasa sakit dan kesengsaraan.

    Utilitarianisme mendefinisikan kebaikan dan kejahatan dalam hal konsekuensi non-

    etika dari kesenangan dan rasa sakit. Tindakan yang benar secara etika adalah salah satu

    yang akan menghasilkan jumlah kesenangan terbesar atau jumlah rasa sakit terkecil. Hal ini

    adalah teori yang sangat sederhana. Tujuan hidup adalah untuk menjadi bahagia dan semua

    hal yang meningkatkan kebahagiaan baik secara etika karena cenderung menghasilkan

    kesenangan atau meirngankan rasa sakit dan penderitaan. Bagi utilitarian (penganut

    utilitarianisme), kesenangan dan rasa sakit dapat berupa fisik ataupun mental.

    Penanggulangan stres, kesedihan, dan penderitaan mental sama pentingnya dengan dengan

    mengurangi rasa sakit fisik dan ketidaknyamanan. Sebagai contoh, tingkat stres seorang

    karyawan mungkin meningkatbila penyelianya (supervisor) memintanya untuk

    menyelesaikan sebuah tugas, tetapi kmeudian menyediakan informasi yang sangat sedikit,

    waktu yang tidak cukup untuk menghasilkan laporan, dan tuntutan yang tidak realistis

    dalam hal kualitas laporan. Ketegangan yang meningkat tidak berkontribusi untuk

    kebahagiaannya secara umum atau kenyamanannya dalam menyelsaikan tugas. Bagi

  • seorang utilitarian, hal-hal yang berharga bagi mereka adalah pengalaman yang

    menyenangkan, dan pengalaman-pengalaman ini merupakan pengalaman yang baik hanya

    karena pengalaman tersebut menyenangkan. Akan tetapi, dalam kasus ini, menyelesaikan

    tugas bukan merupakan hal yang menyenangkan maupun baik jika dilihat dari sudut

    pandang karyawan. Hal itu tidak memberikan kontribusi pada utilitasnya atau

    kebhagiaannya secara umum.

    Mill dengan cepat menunjukkan bahwa kesenangan dan rasa sakit memiliki aspek

    kuantitatif dan kualitatif. Bentham mengambangkan kalkulus kesenangan dan rasa sakit

    berdasarkan intensitas, durasi, kepastian, keakraban, fekunditas, kemurnian, dan keluasan.

    Mill menambahkan bahwa sifat dari kesenangan atau penderitaan juga penting. Beberapa

    kesenangan lebih diinginkan daripada yang lain dan memerlukan usaha untuk mencapainya.

    Seorang atlet, misalnya, berlatih setiap hari untuk bertanding dalam Olimpiade.

    Pelatihannya mungkin sangat menyakitkan, tetapi atlet memfokuskan dirinya pada hadiah,

    yaitu memenangkan medali emas. Kesenangan kualitatif berdiri di podium melebihi jalan

    yang secara kuantitatif melelahkan dmei menjadi juara Olimpiade.

    Hedonisme berfokus pada individu, dan mencari jumlah terbesar kesenangan pribadi

    atau kebahagiaan pribadi. Epicurus (341-270 SM) menyatakan bahwa tujuan hidup adalah

    keamanan dan kesenangan abadi, sebuah kehidupan di mana rasa sakit diterima hanya jika

    rasa sakit itu menyebabkan kesenangan yang lebih besar, dan kesenangan akan ditolak jika

    kesenangan itu menyebabkan rasa sakit yang lebih besar. Utilitarianisme, sebaliknya,

    mengukur kesenangan dan rasa sakit bukan pada tingkat individu melainkan pada tingkat

    masyarakat. Rasa senang dari pembuat keputusan seperti semua orang yang mungkin dapat

    terpengaruh oleh keputusan tersebut, perlu dipertimbangkan. Namun, beban tambhan

    tidak harus diberikan kepada pengambil keputusan. kebahagiaan yang membentuk standar

    utilitarian tentang apa yang benar dalam perbuatan, bukan kebahagiaan pribadi si agen,

    tetapi kebahagiaan semua pihak. Seperti antara kebahagiaan sendiri dan kemudian

    kebahagiaan orang lain, utilitarianisme memgharuskan si agen untuk tidak memihak,

    menjadi penonton yang tidak berkepentingan dan murah hati. Seorang CEO yang

    membujuk dewan direksi agar memberinya bonus sebesar $100 juta dapat memperoleh

    kebahagiaan yang besar dari bonus, tetapi kalau ia tidak memperhitungkan dampak bonus

    tersebut pada semua karyawan lain di perusahaannya, rekan kelompok eksekutif lainnya,

    dan masyarakat secara keseluruhan, maka ia mengabaikan aspek etika dari keputusannya.

  • Jika menggunakan utilitarianisme, pembuat keputusan harus mengambil perspektif

    yang luas tentang siapa pun, dalam masyarakat, yang mungkin akan terpengaruh oleh

    pengambilan keputusan itu. kegagalan dalam pengambilan keputusan akan sangat mahal

    bagi perusahaan. Pertimbangkan kasus Shell Inggris dan pembongkaran terhadap

    kecurangan minyak Brent Spar. Brent Spar adalah platform penyimpanan dan pengisian

    tangki minyak yang terletak di Laut Utara. Dibangun pada tahun 1976, platform tersebut

    telah usang pada tahun 1991. Shell memutuskan bahwa alternatif terbaik untuk alasan

    ekonomi dan lingkungan adalah membiarkan platform tersebut tenggelam di Samudera

    Atlantik. Mereka mengajukan hal ini dan mendapat izin dari pemerintah Inggris untuk

    melakukannya. Namun, Shell gagal untuk mempertimbangkan dampak keputusan ini

    terhadap pemangku pentingan lainnya, termasuk masyarakat secara keseluruhan. Berawal

    pada Februari 1995, Green peace meluncurkan kampanye bersama untuk menghentikan

    penenggelaman platform tersebut. Meskipun Green peace melebih-lebihkan dampak

    lngkungan yang diakibatkan oleh tenggelamnya platform, kampanye mereka menyebabkan

    biaya yang sangat mahal untuk Shell; terjadi pemboikotan produk Shell di Eropa, dan

    kerusakan bebearapa stasiun di Jerman. Pada bulan Juni 1995, Shell menyetujui untuk tidak

    menenggelamkan platform tersebut, dan platform itu ditambatkan di Norwegia sampai

    dibangun kembali sebagai bagian dari terminal feri pada tahun 1999. Seluruh episode

    tersebut sangat mahal untuk Shell dan hal ini terjadi sebagaian karena perusahaan gagal

    untuk menyadari bahwa keputusan pembongkaran memberikan konsekuensi penting bagi

    pemangku kepentingan lain, di luar Shell Inggris dan pemerintah Inggris.

    Aspek kunci utilitarianisme adalah, pertama, etikalitas dinilai berdasarkan

    konsekuensi non-etika. Selanjutnya, keputusan etis harus berorientasi pada peningkatan

    kebahagiaan dan/atau mengurangi rasa sakit, di mana kebahagiaan dan rasa sakit

    berhubungan dengan seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk kebahagiaan atau rasa

    sakit pribadi pembuat keputusan. Akhirnya, para pengambil keputusan etis harus tidak

    memihak dan tidak memberi beban ekstra terhadap perasaan pribadi ketika menghitung

    keseluruhan kemungkinan bersih konsekuensi dari sebuah keputusan.

    Undang- Undang dan Peraturan Utilitarianisme

    Seiring waktu, utilitarianisme telah berkembang di sepanjang dua jalur utama, yaitu

    undang-undang utilitarianisme dan peraturan utilitarianisme. Jalur pertama, kadang-kadang

  • disebut sebagai konsekuensialisme, menganggap sebuah tindakan baik atau benar secara

    etika jika tindakan tersebut mungkin menghasilkan keseimbangan kebaikan yang lebih besar

    atas kejahatan. Suatu tindakan dianggap buruk atau salah secara etika jika tindakan tersebut

    mungkin menghasilkan hal yang sebaliknya. Peraturan utlitarianisme, di sisi lain,

    mengatakan bahwa kita harus mengikuti aturan yang mungkin akan menghasilkan

    keseimbangan kebaikan yang lebih besar atas kejahatan dan menghindari aturan yang

    mungkin akan menghasilkan sebaliknya.

    Anggapannya adalah terdapat kemungkinan, secara prinsip, untuk menghitung

    kesenangan atau rasa sakit bersih yang dihubungkan dengan keputusan. Bagi Mill,

    kebenaran aritmatika dapat diterapkan dalam penilaian kebahagiaan, seperti pada kuantits

    terukur lainnya. Pengembalian investasi dapat diukur; begitu pula kebahagiaan. Hal ini

    berarti bahwa pembuat keputusan harus menghitung, untuk setiap program alternatif

    tndakan , jumlah kesenangan yang sesuai untuk setiap orang yang mungkin akan

    terpengaruh oleh keputusan yang dibuat. Dengan cara yang serupa, jumlah

    ketidaksenangan atau sakit untuk setiap orang berdasarkan masing-masing alternatif juga

    perlu diukur. Kedua jumlah yang didapatkan kemudian dikurangkan dan tindakan yang

    benar secara etika adalah yang menghasilkan nilai bersih positif terbesar atau nilai negatif

    terkecil untuk kesenangan terhadap rasa sakit. Selanjutnya, menggunakan cara yang sama

    dengan investor yang bersikap acuh tak acuh terhadap dua investasi yang masing-masing

    mempunyai tingkat risiko dan hasil yang sama, masing-masing alternatif menjadi benar

    secara etika jika keduanya mempunyai skor aritmatika bersih yang sama dan masing-masing

    nilai lebih tinggi daripada skor alternatif lain manapun yang tersedia untuk pengambil

    keputusan.

    Peraturan utilitarianisme bagaimanapun lebih sederhana. Peraturan tersebut

    mengakui bajhwa pengambilan keputusan oleh manusia sering dipandu oleh aturan-aturan.

    Sebagai contoh, kebanyakan orang percaya bahwa lebih baik mengatakan hal yang

    sebenarnya (terus terang atau jujur) daripada berbohong. Meskipun terdapat pengecualian,

    mengatakan kebenaran adalah standar normal etika perilaku manusia. Jadi, penuntun untuk

    aturan utilitarian adalah: mengikuti aturan yang cenderung menghasilkanjumlah terbesar

    kesenangan terhadap rasa sakit untuk sejumlah besar prang yang mungkin akan

    terpengaruh oleh tindakan. Mengatakan kebenaran biasanya menghasilkan kesenangan

    terbesar bagi kebanyakan orang hampir di sepanjang waktu. Demikian pula, laporan

  • keuangan yang akurat, dapat dipercaya, sangat berguna bagi investor dan kreditor dalam

    pengambilan keputusan investasi dan kredit. Laporan keungan palsu tidak berguna karena

    menyababkan keputusan keuangan yang tidak benar. Aturan, laporan keuangan secara adil

    harus mencerminkan posisi keuangan perusahaan seharusnya menghasilkan jumlah lebih

    besar kebahagiaan bagi investor daripada alternatif laporan keuangan harus dipalsukan.

    Mengatakan kebenaran dan keterusterangan biasanya menghasilkan konsekuensi terbaik

    sehingga prinsip-prinsip ini harus diikuti.

    Sarana dan Tujuan Akhir

    Sebelum mengidentifikasikan beberapa masalah dengan utilitarianisme, kita harus

    memahami apa yang tidak termasuk dalam teori ini. Prinsip ini mempromosikan jumlah

    terbesar kebahagiaan untuk sejumlah besar orang tidak berarti bahwa akhirnya

    membenarkan sarana. Hal yang terakhir adalah teori politik bukan merupakan prinsip etika.

    Para pendukung utama dari filsafat politik ini adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), yang

    menulis Prince untuk Lorenzo Medici sebagai pedoman tentang bagaimana

    mempertahankan kekuasaan politik. Di dalamnya, ia menyarankan bahwa dalam tindakan

    manusia, dan terutama para pangeran, di mana tidak ada perbandingannya, tujuan akhir

    menghalalkan cara. Negara, sebagai kekuasaan yang berdaulat dapat melakukan keinginan

    apa pun, dan pangeran, sebagai pemimpin negara, dapat menggunakan strategi politik apa

    pun untk mempertahankan kekuasaan. Machiavelli sangat jelas menyatakan bahwa sikap

    bermuka dua, menggunakan dalih dan tipu daya merupakan cara yang dapat diterima bagi

    seorang pangeran untuk mempertahankan kontrol atas rakyat dan saingannya. Seorang

    pangeran, dan teutama seorang pangeran baru, tidak dapat mengamati semua hal-hal yang

    dianggap baik pada pria, karena sering diwajibkan, dalam rangka mempertahankan negara,

    untuk bertindak melawan keyakinan, terhadap kedermawanan, terhadap kemanusiaan, dan

    terhadap agama. Jelas, ini adalah teori politik dan yang yang dipertanyakan, tetapi bukan

    merupakan teori etika.

    Sayangnya, tujuan akhr menghalalkan cara sering dibawa ke luar konteks, dan

    digunakan secara tidak tepat sebagai teori etika. Dalam film swordfish, Gabriel, diperankan

    oleh John Travolta, menanyakan hal berikut kepada Stanley, dimainkan Hugh Jackman: Ini

    skenarionya. Kau memiliki kekuatan untuk menyembuhkan seluruh penyakit di dunia, tetapi

    harga untuk ini adalah bahwa kau harus membunuh seorang anak yang tidak bersalah,

  • bisakah kau membunuh anak itu, Stanley? Keputusan yang disebut itu tidak beretika

    karena itu menyinggung hak signifikan satu atau lebih individu; tetapi dengan menyusun

    pertanyaan seperti ini, Gabriel berusaha untuk memberikan pembenaran secara etika untuk

    sebuah pernyataan politik. Ia berusaha mengarahkan Stanley untuk mengatakan bahwa

    tindakan itu dibenarkan karena lebih banyak orang akan diselamatkan dengan

    mengorbankan satu orang. Hal ini merupakan merupakan contoh ekstrem, tetapi keputusan

    CEO sering memiliki dampak yang mendalam terhadap kehidupan orang lain. Limbah

    beracun, produk berbahaya dan kondisi kerja, polusi, serta masalah lingkungan lainnya

    sering dipertahankan atas dasar tujuan menghalalkan cara. Prinsip ini juga digunakan untuk

    membela kecurangan oleh mahasiswa, penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa CEO, dan

    pengkhianatan terhadap tanggung jawab perusahaan oleh beberapa dewan direksi.

    Namun demikian, aturan utilitarian akan mengatakan bahwa ada beberapa tingkatan

    tindakan yang secara nyata benar dan salah, tidak peduli konsekuensi tindakan tersebut

    baik atau buruk. Polusi dan produk berbahaya tidak meningkatkan kesejahteraan jangka

    panjang keseluruhan masyarakat. Pembunuhan anak-anak yang tidak bersalah, ekstraksi

    keuntungan berle bihan oeleh CEO yang oportunis, dan dewan yang mengabaikan kode etik

    perusahaan mereka bukan merupakan perilaku yang benar secara etika, apa pun

    konsekuensinya. Masing-masing itndakan ini salah karena jenis-jenis tindakan ini memiliki

    efek negatig yang jelas pada kebahagiaan umum masyarakat secara keseluruhan.

    Prinsip politik tujuan akhir menghalalkan cara bukan merupakan teori etika.

    Pertama, prinsip tersebut salah mengasumsikan bahwa cara dan tujuan setara secara etika,

    dan kedua, prinsip tersebut salah mengasumsikan bahwa hanya ada satu cara untuk

    mencapai tujuan akhir. Ambil kasus dua eksekutif yang berkolusiuntuk memalsukan

    serangkaian laporan keuangan. Salah satu eksekutif akan menerima bonus berdasarkan

    laporan laba bersih perusahaan. Eksekutif lainnya melakukan kecurangan untuk mencegah

    isu kebangkrutan bahwa jka perusahaan terus berjaya dalamm bisnis, maka staf akan

    memiliki pekerjaan, pelanggan akan dapat membeli produk perusahaan, dan pemasok

    masih dapat membuat penjualan bagi perusahaan. Cara yang dilakukan mereka berdua

    sama, mereka melakukan kecurangan laporan keuangan. Namun tujuan akhirnya berbeda:

    yang pertama adalah dari keegoisan ekonomi semata; yang lain adalah dari rasa kesetiaan

    yang sesat kepada berbagai pemangku kepentingan perusahaan. Sebagian besar akan

    melihat kedua individu ini berbeda meskipun melakukan cara yang sama untuk

  • mendapatkan hasil yang berbeda. Kedua motivasi atau tujuan akhir keegoisan ekonomi

    dan altruisme sesaat dan caranya yaitu penipuan tidak setara secara etika. Sebagaian

    besar akan melihat caranya salah, telah bersikap antipati untuk eksekutif yang satu dan

    mungkin beberapa simpati untuk eksekutif kedua.

    Hal yang lebih penting, tujuan menghalalkan cara sering menyiratkan bahwa hanya

    ada satu cara untuk mencapai tujuan akhir atau bahwa jika ada berbagai cara untuk

    mencapai akhir, maka semua sarana yang ada setara secara etika. Akan tetapi, bukan ini

    permasalahannya. Ada banyak cara untuk bepergian ke seluruh negeri tetapi biayanya

    bervariasi sesuai dengan moda transportasi. Cara-cara tersebut tidak setara. Serupa dengan

    hal itu, ada berbagai cara mencegah kebangkrutan untuk sementara, salah satunya adalah

    dengan melakukan kecurangan laporan keuangan. Namun, terdapat alternatif lainnya,

    termasuk pendanaan kembali. Meskipun pendanaan kembali dan kecurangan dapat

    memberikan tujuan akhir yang sama, kedua cara tersebut berbeda secara etika. Cara yang

    satu benar secara etika dan yang lain tidak. tugas manajerlah untuk dapat melihat

    perbedaan ini kemudian menggunakan imajinasi moralnya untuk mengidentifikasi cara

    alternatif agar mencapai tujuan akhir yang sama.

    Beberapa orang menyalahgunakan utilitarianisme dengan mengatakan tujuan

    menghalalkan cara. Namun ini adalah sebuah aplikasi yang tidak tepat dari teori etika. Bagi

    para utilitarian, tujuan akhir tidak pernah membenarkan sarana. Sebalimnya, agen moral

    harus mempertimbangkan konsekuensi sebuah keputusan dalam menciptakan kebahagiaan

    atau dalam hal peraturan bahwa jika diikuti mungkin akan menghasilkan kebahagiaan yang

    paling banyak untuk semua. Daya tarik keseluruhan utilitarianisme adalah bahwa hal ini

    tampak cukup sederhana sedangkan peetimbangan penuh dari semua konsekuensi

    merupakan hal jika menginginkan hasil yang komprehensif. Utilitarianisme menggunakan

    standar yang sederhana: sasaran etika perilaku adalah untuk mempromosikan kebahagiaan.

    Hal ini juga melihat ke depan; berkonsentrasi pada kebahagiaan masa depan mereka yang

    akan terpengaruh oleh keputusan. Utilitarianisme juga mengakui ketidak pastian masa

    depan sehingga berfokus pada kemungkinan konsekuensi. Akhirnya, teori ini sangat luas dan

    tidak mementingkan diri sendiri; alternatif etika yang terbaik adalah yang memberikan

    kesenangan terbesar bagi semua pihak. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa

    teori ini sesuai bagi pelaku bisnis. Manajer dibiasakan untuk membuat keputusan dalam

    kondisi yang tidak pasti, menilai kemungkinan konsekuensi untuk pemangku kepentingan

  • yang diidentifikasi dan kemudian memilih alternatif yang mungkin akan memiliki hasil bersih

    terbaik bagi semua pihak, namun demikian, teori ini bukannya tanpa masalah.

    Kelemahan dalam Utilitarianisme

    Utilitarianisme mengandaikan bahwa hal-hal sperti kebahgiaan, utilitas, kesenangan,

    sakit, dan penderitaan bisa diukur. Akuntan sangat pandai mengukur transaksi ekonomi,

    karena uang merupakan standar pengukuran yang sragam. Hampir semua transaksi eknomi

    dapat diukur dalam mata uang, misalnya, euro, dan semua orang tahu apa yang dapat dibeli

    dengan satuan euro. Namun tidak ada unit pengukuran umum untuk kebahagiaan, tidak

    pula kebahagiaan sesorang setara setara dengan kebahagiaan orang lain, sedangkan satu

    euro berarti sama untuk keduanya. Selain itu, uang adalah sebuah perwakilan yang tidak

    tepat untuk kebahagiaan. Uang tidak hanya tidak dapat membeli kebahagiaan, uang juga

    tidak dapat menangkap tingkat kebhagiaan yang dirasakan ketika duduk di tepi tepi danau

    favorit menyaksikan matahari terbenam pada malam musim panas yang hangat dan

    kesenangan dalam melihat senyum di wajah ibu yang menggendong bayinya yang baru lahir.

    Masalah lainnya meyangkut distribusi dan intensitas dari kebahagiaan. Prnsip

    utilitarian adlaah untuk menghasilkan sebanyak mungkin kebhagiaan dan untuk

    mendistribusikan kebahagiaan itu kepada sebanyak mungkin orang. Raphael menggunakan

    contoh pemberian sedekah. Anda dapat memebrikan masing-masing $50 kepada dua orang

    pensiunan yang kemudian adapat memebli dua baju hangat. Tau, anada dapat memberikan

    sedikit uang kepada 100 pensiunan untuk menikmati secangkir kopi atau teh. Intensitas

    kebahagiaan itu jelas lebih besar untuk dua pensiunan yang enerima sweater hangat.

    Namun banyak orang yang nyata terpengaruh oleh pendistribusian $1 sehingga semua

    pensiunan bisa membeli secangkir kopi. Alternatif mana yang harus anda pilih? Prinsip

    utilitarian terlalu samar untuk digunakan dalam hal ini. Haruskan CEO menaikkan upah

    sebesar 0,05 persen di seluruh bagian yang akan membuat semua akryawan sedikit lebih

    baikkk dan mungkin sedikit lebih bahagia, atau haruskah CEO menggandakan gaju dari tim

    manajemen puncak sehingga sangat meningkatkan kebahagiaan umum tujuh wakil

    presiden? Dengan asumsi aritmatika bersih kebhagiaan kedua pilihan adalah sama (terlepas

    dari bagaimana kebahagiaan dan ketidakbahagiaan karyawan diukur), apakah keduanya

    merupakan pilihan yang setara? Apakah tidak ada persepsi ketidakadilan pada pilihan

  • kedua? Utilitarianisme sering dapat terlihat dingin dan tidak berperasaaan seperti nasihat

    Machiavelli terhadap penggunaan kekuasaan politik.

    Masalah pengukuran lainnya adalah tentang ruang lingkup. Berapa banyak orang

    yang harus disertakan? Apakah hanya mereka yang masih hidup? Jika tidak, maka untuk

    berapa generasi yang kan datang? Pertimbangkan masalah pemanasan global dan polusi.

    Kebahagiaan jangka pendek generasi sekarang bisa berimbas pada penderitaan generasi

    mendatang. Apabila generasi mendatang harus disertakan, maka jumlah keseluruhan

    kebahagiaan harus meningkat sangat banyak untuk menjamin kebahagiaan menjadi tersedia

    untuk dialokasikan pada generasi sekarang dan generasi berikuntya. Selanjuntya adalah

    apakah wajtu kebahagiaan penting? Dengan asumsi ini bahwa nilai bersihnya sama terlepas

    dari urutan, apakah kebahagiaan hari ini dan rasa sakit hari esok sama dengan rasa sakit hari

    ini dan kebahagiaan hari esok? Apakah kita bersedia untuk membayar biaya bahan bakar

    yang sangat tinggi hari ini dan penderitaan yang terkait ekonomi sehingga akan terdapat

    cukup pasokan bahan bakar untuk generasi mendatang?

    Hal ini digambarkan dengan jelas oleh Al-Gore dalam buku dan videonya, An

    Inconvenient Truth, di mana ia menunjukkan bagaimana polusi menyebabkan pemanasan

    global, dan bahwa kita mencapai titik di mana peremajaan lingkungan kita mungkin tidak

    dapat dilakukan. Kesimpulan ini sama dengan yang dikembangkan oleh sebuah studi PBB

    pada akhir 1980-1n.

    Hak minoritas dapat dilanggar di bawah utilitarianisme. Dalam demokrasi, kehendak

    mayoritas berlaku pada Hari Pemilihan. Orang merasa nyaman dengan ini karena mereka

    yang kalah dalam satu pemilu selalu memiiliki kesempatan untuk partai mereka merebut

    kekuasaan di pemilu berikutnya. Hal ini tidak sesederhana pengambilan keputusan etis.

    Pertimbnagkan contoh berikut. Ada dua pilihan yang tersedia yang hanya akan

    memengaruhi empat orang. Tindakan yang satu akan menciptakan dua unit kebahagiaan

    untuk masing-masing empat orang. Alternatif lain akan membuat tigas unit kebahagiaan

    untuk tiga orang dan tidak ada kebahagiaan maupun ketidakbahagiaan bagi orang keempat.

    Alternatif kedua menghasilkan lebih banyak kebahagiaan (sembilan unit) dibandingkan

    dengan delapan unit pada pilihan pertama. Namun pada alternatif kedua, ada satu individu

    yang tidak menerima kebahagiaan. Dalam hal ini, tidak seperti dalam pemilihan, tidak ada

    menunggu kesempatan berikutnya untuk distribusi kebahagiaan yang dibagi oleh orang

    yang sama. Apakah adil bahwa satu individu tidak mendapatkan kesempatan untuk berbagi

  • dalam kebhagiaan manapun? Pembuatan keputusan etis berdasarkan utilitarianisme dapat

    dianggap sebagai tidak adil karena menguntungkan beberapa kelompkk pemangku

    kepentingan dengan mengorbankan kelompok pemangku kepentingan lainnya.

    Utilitarianisme mengabaikan motivasi dan berfokus hanya pada konsekuensi. Hal ini

    membuat banyak orang tidak puas. Pertimbangkan contoh sebelumnya dari dua eksekutif

    yang melakukan kecurangan atas serangkaian laporan keuangan. Motivasi kedua eksekutif

    sangat berbeda. Banyak orang akan menganggap bahwa mereka memiliki derajat yang

    berbeda dalam hal kesalahan etika, di mana eksekutif berbasis bonus bertindak lebih buruk

    dari yang berpaham altruis sesat. Namun demikian, utilitarianisme akan menilai keduanya

    lalai secara etika akrena konsekuensi dari keputusan mereka adalah sama, kecurangan

    dalam laporan leuangan. Hal ini adalah contoh dari mengatakan: Jalan menuju neraka

    ditaburi dengan niat baik. Utilitarianisme dengan sendirinya tidak cukup untuk

    menghasilkan keputusan etis yang komprehensif. Untuk mengatasi masalah ini, sebuah teori

    etika alternatif, deontologi, menilai etikalitas pada motivasi pembuat keputusan bukan pada

    konsekuensi dari keputusan tersebut.

    2.2.2. Etika Deontologi Motivasi untuk Perilaku

    Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang artinya tugas atau kewajiban.

    Deontologi berkaitan dengan tugas etika dan tanggung jawab seseorang. Deontologi

    mengevaluasi etikalitas perilaku berdasarkan motivasi pembuat keputusan, dan menurut

    prinsip deontologi, tindakan dapat dibenarkan secara etika meskipun tidak menghasilkan

    keuntungan bersih atas kebaikan terhadap kejahatan bagi para pengambil keputusan atau

    bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini membuatnya menjadi pelengkap untuk

    utilitarianisme karena tindakan yang memenuhi kedua teori dapat dikatakan memiliki

    sebuah kesempatan untuk menjadi beretika.

    Immanuel Kant (1724-1804) memberikan artikulasi yang jelas dari teori ini dalam

    risalahnya Groundwork of the Metaphysics of Moral. Bagi Kant, satu-satunya baik yang

    tanpa pengecualian hanyalah iktikad baik, iktikad untuk mengikuti alasan apa yang

    menentukan tanpa memedulikan konsekuensiinya pada diri sendiri. Ia juga berargumen

    bahwa konsep-konsep moral kita berasal dari alasan bukan dari pengalaman. Kebaikan akan

    termanifestasikan dengan sendirinya ketika bertindak untuk kepentingan tugas, di mana

    tugas menyiratkan pengakuan dan ketaatan pada hukum atau ajaran. Ia mengatakan dalam

  • situasi ini saya harus melakukan ini dan itu, atau dalam hal ini, akau harus menahan diri

    dari melakukan ini dan itu. Pernyataa bahwa saya harus melakukan ini atau bahwa hal ini

    tidak boleh saya lakukan merupakan hal yang benar-benar mengikat dan tidak ada

    pengecualian. Keinginan untuk melakukan hal di luar tugas merupakan suatu keunikan

    manusia. Segala sesuatu di alam bertindak menurut hukum alam tetapi hanya manusia yang

    dapat bertindak sesuai dengan gagasan tentang hukum, yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip

    rasional.

    Bagi Kant, tugas adalah standar yang menilai etika perilaku. Nilai moral hanya ada

    ketika sesorang bertindak berdasarkan rasa kewajiban. Anda akan bertindak dengan benar

    saat Anda mengikuti tugas dan kewajiban etika Anda, bukan karena tugas dan kewajiban

    tersebut menimbulkan konsekuensi yang baik, dan bukan karena hal-hal tersebut dapat

    meningkatkan kenikmatan atau kesenangan tetapi anda melakukannya demi tugas tersebut.

    Motif dari sebuah tugaslah yang memberikan nilai moral untuk tindakan. Tindakan lain yang

    mungkin didasarkan pada kepentingan pribadi atau pada pertimbangan untuk orang lain.

    Ketika Anda menghadapi pelanggan anda secara jujur karena anda ingin berbisnis dengan

    mereka lagi, anda bertindak di luar kepentingan pribadi bukan di luar tugas. Bertindak

    dengan cara ini mungkin patut dipuji tetapi tidak memiliki nilai moral. Menurut ahli

    deontologi, hanya saat anda bertindak melebihi tugas maka anda bertindak secara etis.

    Kami mengembangkan dua hukum untuk mengembangkan etikalitas. Pertama

    adalah Imperatif Kategoris (Categorical Imperative). Saya seharusnya tidak pernah

    bertindak kecuali saya juga bisa membuat maksim (maxim pernyataan ringkas yang

    mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia, ed.) saya menjadi

    hukum universal. Hal tersebut merupakan prinsip tertinggi moralitas. Prinsip tersebut

    menuntut bahwa anda seharusnya hanya bertindak dengan cara sebagaimana orang lain

    yang berada dalam situasi yang sama akan bertindak dengan cara yang sama. Hal ini

    merupakan perintah yang dipatuhi dan merupakan kategoris karena merupakan tak

    bersyarat dan mutlak. Prinip ini harus diikuti bahkan jika ketaatan bertentangan dengan apa

    yang anda pilih untuk dilakukan. Sebuah prinsip rasional atau hukum moral sedang

    ditetapkan untuk diikuti semua orang, termasuk Anda.

    Ada dua aspek dari imperatif kategoris. Pertama Kant menganggap bahwa hukum

    memerlukan suatu kewajiban dan ini berarti bahwa hukum etika memerlukan suatu

    kewajiban etika. Jadi setiap tindakan etika yang wajibdlakukan oleh seseorang harus sesuai

  • dengan hukum atau maksim etika. Hal ini berarti semua keputusan etika dan etika perilaku

    dapat dijelaskan dalam bentuk maksim etika yaitu dalam hal hukum yang harus ditaati.

    Bagian kedua dari imperatif ini adalah suatu tindakan benar secara etika jika dan hanya jika

    pepatah tersebut dapat diuniversalkan secara konsisten. Anda harus berekeinginan agar

    maksim anda diikuti oleh orang lain yang berada dalam situasi serupa bahkan jika anda akan

    terpengaruh secara personal karena individu lain mengikuti dan mematuhi maksim anda.

    Anda tidak boleh menjadikan diri anda sebagai pengecualian.

    Kant menggunakan contoh melanggar janji. Asumsikan anda ingin mengingkari janji.

    Apabila anda melakukannya, maka anda menjadikan maksim anda dapat diikuti oleh orang

    lain. Namun demikian apabila orang lain mengikuti maksim ini maka anda akan dapat

    dimanfaatkan ketika melanggar janji-janjinya kepada anda. Jadi tidak masuk akal untuk

    mengatakan bahwa semua orang harus menepati janji mereka kecuali Anda. Anda tidak

    dapat mengatakan bahwa anda diperbolehkan berbohong kepada investor anda tentang

    kualitas laporan keuangan perusahaan anda sementara pada saat yang sama juga

    mengatakan bahwa orang lain tidak diperbolehkan memalsukan laporan keuangan mereka

    karena anda mungkin kehilangan investasi anda jika anda tanpa sengaja bergantung pada

    laporan keuangan palsu mereka.

    Aturan kedua Kant adalah Imperatif Praktis (Practical Imperative) untuk

    berhubungan dengan orang lain. berlakulah dengan cara yang sama anda memperlakukan

    kemanusiaan baik dalam diri anda sendiri atau pada pribadi lainnya, tidak sesederhana cara

    tetapi selalu pada saat yang sama sebagai tujuan akhir. Bagi Kant, hukum memiliki aplikasi

    universal dan hukum moral berlaku untuk semua orang tanpa membedakan. Hal ini berarti

    bahwa setiap orang harus diberlakukan sama di bawah hukum moral. Dengan cara yang

    sama dengan anda sebagai tujuan akhirnya, seorang individu dengan nilai moral, begitu juga

    dengan orang lain. Mereka juga harus diperlakukan sebagai tujuan akhir dalam diri mereka

    sendiri sebagai individu dengan nilai moral. Oleh karena itu anda tidak dapat memanfaatkan

    mereka dengan cara yang mengabaikan nilai moral mereka, sama seperti anda tidak bisa

    mengabaikan kelayakan moral personal anda.

    Imperatif praktis tidak menyatakan bahwa anda tidak dapat memanfaatkan orang

    tetapi jika anda memperlakukan mereka sebagai sarana maka anda harus memperlakukan

    secara bersamaan sebagai tujuan akhir. Sebagai contoh, seorang akuntan profesioinal

    mepekerjakan mahasiswa akuntansi. Tarif per jam yang dibebankan kepada klien untuk

  • pekerjaan siswa lebih besar daripada tarif yang dibayarkan kepada siswa. Akuntan

    profesional menuai manfaat dari kerja siswa tersebut dan merupakan sarana untuk

    kesejahteraan keuangan akuntan. Apakah ini sebuah hubungan yang tidak etis?

    Sebuah hubungan majikan-budak pada zaman dahulu memperlakukan budak

    sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan akhir. Budak ini dianggap tidakmemiliki nilai moral,

    tidak memiiliki keinginan, dan tidak mampu membuat pilihan. Di sisi lain, hubungan

    majikan-karyawan yang sehat memperlakukan karyawan dengan rasa hormat dan martabat,

    baik sebagai sarana maupun tujuan akhir. Hubungan ini memgakui bahwa karyawan

    memiliki kekuatan untuk membuat pilihan dan keputusan, termasuk yang beretika, dan

    bahwa keputusan ini memiliki potensi untuk memngaruhi karyawan dan juga yang lainnya

    seperti klien, personel klien, dan majikan.

    Setiap orang berhak untuk mencapai tujuan pribadi mereka sendiri sepanjang

    mereka tidak melanggar imperatif praktis. Prinsip ini adalah Prinsip Kantian (Kantian

    Principle). Memperlakukan orang lain sebagai tujuan akhir mengakui bahwa kita semua

    bagian dari masyarakat, bagian dari komunitas moral. Dengan cara yang sama, jika saya

    bertindak positif terhadap tujuan saya sendiri, saya juga memiliki kewajiban untuk bertindak

    positif terhadap tujuan mereka. Jadi saya memperlakukan karyawan saya sebagai tujuan

    ketika saya membantu mereka memenuhi keinginan mereka (untuk belajar akuntansi dan

    mendapatkan pekerjaan) seraya menerima bahwa mereka juga mampu seperti saya dalam

    membuat keputusan etis yang mungkin berdampak pada masyarakat, pada komunitas

    moral kita.

    Kelemahan dalam Deontologi

    Sama seperti teori etika lainnya, deontologi memiliki masalah dan kelemahan.

    Masalah mendasar adalah bahwa imperatif kategoris tidak memberikan panduan yang jelas

    untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah jika dua atau lebih hukum moral

    mengalami konflik dan hanya satu yang dapat diikuti. Hukum moral mana yang diikuti?

    Dalam hal ini mungkin utilitarianisme menjadi teori yang lebih baik karena dapat

    mengevaluasi alternatif berdasarkan konsekuendinya. Sayangnya, dengan deontologi,

    konsekuensi menjadi tidak relevan. Satu-satunya hal yang penting adalah niat dari pembuat

    keputusan dan kepatuhan para pengambil keputusan untuk mematuhi imperatif kategoris

    seraya memperlakukan orang sebagai tujuan bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

  • Imperatif kategoris menetapkan standar yang sangat tinggi. Bagi banyak orang, itu

    adalah etika yang sangat sulit diikuti. Ada banyak contoh di mana orang tidak diperlakukan

    dengan hormat dan martabat di mana mereka hanya dilihat sebagai alat dalam siklus

    produki dan akan digunakan kemudian dibuang setelah kegunaannya hilang. Perusahaan

    telah diboikot pelanggan karena mempekerjakan tenaga kerja dengan upah yang rendah

    (sweatshop), pekerja di bawah umur (anak-anak), gagal untuk memberikan upah hidup ,

    atau untuk mengalihdayakan (outsourcing) menuju rezim represif. Merek pakaian Kathie

    Lee Gifford yang dijual oleh Wal-Mart mengalami konsekuensi serius pada tahun 1996

    ketika diketahui bahwa produk-produknya diproduksi oleh tenaga kerja yang dibayar

    dengan upah yang rendah. Begitu juga dengan Nike. Untuk hidup sesuai dengan ideal,

    Kantian berarti mengakui bahwa kita semua adalah bagian dari suatu komuntas moral yang

    menempatkan tugas di atas kebahagiaan dan kesejahteraan ekonomi. Bisnis mungkin sangat

    baik jika lebih banyak manajer mau mengikuti tugas etika mereka dn mengikutinya hanya

    karena tugas-tugas itu merupakan tugas etika mereka. Namun demikian, mengikuti tugas

    seseorang dapat mengakibatkan kosekuensi yang merugikan seperti alokasi sumber daya

    yang tidak adil. Dengan demikian banyak yang berpendapat bahwa bukan berfokus pada

    konsekuens dan niat atau motivasi, etika harus didasarkan pada prinsip keadilan dan

    kewajaran.

    2.2.3. Keadilan dan Kewajaran Memeriksa Saldo

    Filsuf Inggris David Hume (1711-1776) berpendapat bahwa kebutuhan akan keadilan

    terjadi karena dua alasan: orang tidak selalu bermanfaat dan terdapat sumber daya yang

    langka. Sesuai dengan tradisi empiris Inggris, Hume percaya bahwa masyarakat terbentuk

    melalui kepentingan pribadi. Oleh karena kita tidak mandiri, kita perlu bekerja asama

    dengan orang lain untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama (yaitu untuk

    mendapatkan dukungan para pemangku kepentingan). Namun demikian mengingat adanya

    keterbatasan sumber daya dan fakta bahwa beberapa (orang) bisa mendapatkan

    keuntungan dengan merugikan orang lain, perlu ada mekanisme untuk pembagian manfaat

    dan beban masyarakat dengan adil. Keadilan adalah mekanismenya. Hal tersebut

    mengandaikan bahwa orang memiliki klaim yang sah pada sumber daya yang langka dan

    mereka bisa menjelaskan atau membenarkan klaim mereka. Kemudian, ini adalah makna

    keadilan, untuk memberikan atau mengalokasikan manfaat dan beban berdasarkan alasan

  • rasional. Ada juga dua aspek keadilan yatu keadilan prosedural (proses untuk menentukan

    alokasi) dan keadilan distributif (alokasi yang sebenarnya).

    Keadilan Prosedural

    Keadilan prosedural berfokus pada bagaimana keadilan diberikan. Aspek utama dari

    sistem hukum yang adil adalah bahwa prosedurnya adil dan transparan. Hal ini berrarti

    bahwa setiap orang diperlakukan sama di depan hukum dan bahwa aturan-aturan yang

    memihak diterapkan secara sama. Preferensi tidak diberikan kepada satu orang berdasarkan

    karakteristik fisik (etnis, jenis kelamin, tinggi badan, atau warna rambut) maupun status

    sosial atau ekonomi (hukum diterapkan dengan cara yang sama untuk orang kaya dan

    miskin). Harus ada aplikasi yang konsisten dari hukum di dalam yurisdiksi hukum sepanjang

    waktu. Juga, keadilan harus dinilai berdasarkan fakta-fakta kasus ini. Hal ini berarti bahwa

    informasi yang digunakan untuk menilai berbagai klaim harus relevan, dapat dipercaya, dan

    diperoleh secara sah. Akhirnya ahrus ada hak untuk naik banding; dan orang yang

    kehilangan klaim harus mampu meminta otoritas yang lebih tinggi untuk meninjau kasus

    tersebut agar setiap potensi kekeliruan dikoreksi. Baik penilaian informasi yang digunakan

    untuk alokasi dan kemampuan untuk banding, bergantung pada transparansi dari proses.

    Hal ini merupakan karakteristik blind justice (keadilan yang tidak pandang bulu), di mana

    semua diperlakukan secara adil di hadapan hukum. Kedua belah pihak mengajukan klaim

    dan alasan mereka dan hakim memutuskan.

    Bagaimana hal ini berlaku untuk etika bisnis? Dalam lingkungan bisnis, keadilan

    prosedural biasanya tidak menjadi masalah penting. Sebagian besar organisasi memiliki

    prosedur operasi standar yang jelas dipahami oleh semua karyawan. Prosedur mungkin

    benar atau salah, tetapi karena prosedur tersebut merupakan standar, biasanya diterapkan

    secara konsisten. Dengan demikian, sebagian karyawan bersedia untuk membawa kasus

    mereka ke ombudsman atau pejabat senior atau bahkan subkomite dewan direksi dan

    membiarkan orang atau komite mengatur masalah ini. Begitu keputusan diambil, atau

    kebijakan baru dibuat, sebagian besar karyawan bersedia mematuhinya karena mereka

    merasa bahwa posisi alternatif mereka telah mendapat pemeriksaan yang adil.

    Keadilan Distributif

    Aristoteles (384-322 SM) mungkin menjadi orang pertama yang berpendapat

    bahwa suatu hal yang setara harus diperlakukan sama dan suatu hal yang tidak setara harus

  • diperlakukan berbeda sesuai dengan proporsi perbedaan relevan di antara mereka.

    Kemudian hal inilah yang merupakan keadilan yang proporsional; yang tidak adil adalah

    yang melanggar proporsi itu. Anggapannya adalah bahwa semua orang adalah sama.

    Namun demikian apabila seseorang ingin mengatakan bahwa dua orang tidak sama maka

    beban pembuktiannya adalah menunjukkan bahwa, dalam situasi ini, mereka tidak setara

    yang didasarkan pada kriteria yang relevan. Sebagai contoh, calon karyawan memakai kursi

    roda tetapi dinyatakan mampu melaksanakan tugas normal. Apakah tidak etis (adil) jika

    tidak mempekerjakan calon karywan itu apakah lebih etis untuk memberikan akses kursi

    roda ke tempat kerja/ contoh lain adlaah upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.

    Setelah bertahun-tahun berlakunya diskriminasi secara terang-terangan, undang-undang

    upah setara kini telah menjamin bahwa pria maupun wanita dibayar dengan upah yang

    sama untuk pekerjaan yang sama.

    Sebaliknya, apabila mereka tidak benar-benar sama maka mereka tidak harus

    diperlakukan sama. Perbedaan upah hanya diperbolehkan jika mereka didasarkan pada

    perbedaan nyata seperti pelatihan dan pengalaman, pendidikan, serta tingkat tanggung

    jawab yang berbeda. Seorang pengacara baru tidak dibayar sebanyak partner senior yang

    lebih berpengalaman dalam perusahaan. Meskipun mereka memiliki pelatihan formal

    sekolah hukum yang sama, mitra yang lebih tua memiliki pengalaman yang lebih baik untuk

    dijadikan bekal serta seharusnya mampu membuat keputusan lebih cepat, lebih baik, dan

    yang lebih akurat daripada junior yang kurang berpengalaman.

    Dalam keadaan distribusi terdapat kriteria utama untuk menentukan distribusi yang

    adil yaitu kebutuhan, kesetaraan aritmatika, dan prestasi. Sistem pajak di negara maju

    sebagian besar didasarkan pada kebutuhan. Keadilan distributif berbasis kebutuhan tidaklah

    umum dalam lingkungan bisnis. Namun demikian, hal itu akan menjadi logis untuk proses

    anggaran sebuah perusahaan, dimana harus didasarkan pada alokasi wajar sumber daya

    langka agar tidak ada risiko penghambat motivasidari para eksekutif dan karyawan pada

    disenfranchised unit.

    Dalam lingkungan bisnis kesetaraan aritmatika dapat dianggap dilanggar ketika

    sebuah perusahaan memiliki dua kelas saham yang mempunyai hak sama dengan dividen,

    tetapi hak suara tidak sama, sehingga terjadi ketidaksetaraan hak untuk mengendalikan hak

    aliran kas dua kelas saham tersebut. Banyak perusahaan di Jerman, kanada, Italia, Korea,

    dan Brasil memiliki saham kelas ganda, dimana hak aliran kas tidak memilki hak control yang

  • sama. Di Kanada, misalnya, saham kelas A biasanya memiliki sepuluh suara dan saham kelas

    B hanya memiliki satu suara. Dengan cara ini, pemegang saham dapat memiliki katakanlah

    54% dari hak kontorl melalui kepemilikan saham kelas A, sementara hanya 14% hak arus kas

    berdasarkan jumlah saham kelas A dan B yang beredar. Pemegang saham sejenis kelas A

    tersebut disebut pemegang saham pengendali minoritas, dan secara tidak adil mengambil

    keuntungan dari para pemegang saham lainnya. Pemegang saham minoritas selau bisa

    mengalahkan suara keberatan dari pemegang saham mayoritas.

    Metode lain dalam distribusi adalah berdasarkan prestasi. Hal ini berarti bahwa

    apabila salah satu individu berkontribusi lebih banyak pada proyek, maka individu tersebut

    harus menerima sebagian besar manfaat dari individu tersebut. Contohnya antara lain

    adalah upah berdasarkan prestasi dan pemegang saham preferen. Dalam contoh upah

    berdasarkan prestasi, karyawan yang berkontribusi lebih banyak untuk kesejahteraan

    perusahaan harus mendapat bagian dalam kemakmuran itu, seringkali dalam bentuk bonus.

    Sayangnya, rencana berdasarkan prestasi tersebut mendorong direktur, para eksekutif, dan

    karyawan untuk memalsukan peningkatan laba bersih agar mendapatkan bonus.

    Keadilan sebagai Kewajaran

    Salah satu masalah dalam mendistribusikan keadlilan adalah bahwa alokasi mungkin

    bisa tidak merata. Filsuf Amerika John Rawls (1921-2002) mencoba mengatasi

    permasalahan ini dengan mengembangkan teori keadilan sebagai kesetaraan. Dalam The

    Theory of Justice, ia menyajikan sebuah argument didasarkan pada posisi klasik kepentingan

    pribadi dan kemandirian. Prinsip-prinsip yang menentukan alokasi yang merata di antara

    para anggota masyarakat adalah prinsip-prinsip keadilan. Prinsip keadilan yang saya ambil

    untuk didefinisikan, kemudian, dengan peran prinsip-prinsip tersebut dalam menetapkan

    hak dan kewajiban dan dalam menentukan pembagian keuntungan sosial yang sesuai.

    (John Rawls, 1971)

    Rawls berpendapat bahwa pada keadaan awal hipotesis orang akan menyetujui dua

    prinsip, yaitu bakwa harus ada kesetaraan dalam pengalihan hak-hak dasar dan kewajiban

    serta bahwa kesetaraan sosial dan ekonomi harus bermanfaat bagi anggota masyarakat

    termiskin (Prinsip perbedaan Difference Principle) dan bahwa akses ke ketidaksetaraan ini

    harus terbuka unutk semua orang (fair equality of opportunity).

  • Dalam hal ini Rawls tidak setuju dengan ulilitarianisme karena prinsip tersebut

    mungkin menghitung dan menganggap siyuasi tidak adil dapat diterima. Ia memberikan

    contoh bahwa pemilik budak mungkin berpendapat bahwa mengingat struktur

    masyarakatnya, perbudakan adalah lembaga penting karena rasa sakit untuk budaj mungkin

    tidak lebih besar daripada utilitas yang berasal dari pemilik budak karena kenerdaan si

    budak. Namun, perbudakan adalah salah, bukan karena tidak adil, tetapi karena tidak

    setara.

    2.2.4. Etika Kebajikan Meneliti Kebajikan yang Diharapkan

    Dalam The Nicomachean Ethics, Aristoteles (384-322 SM) berpikir bahwa tujuan

    hidup adalah kebahagian atau kegiatan jiwa. Sekarang, kebajikan adalah karakter dari jiwa

    yang ditunjukkan hanya dalam tindakan sukarela, yaitu, dalam tindakan-tindakan yang

    dipilih secara bebas setelah musyawarah. Jadi, kita menjadi mulia karena sering melakukan

    tindakan kebajikan. Namun, Aristoteles juga merasa bahwa ada kebutuhan untuk

    pendidikan etika sehingga orang akan tahu tindakan apa yang berbudi luhur. Aristoteles

    berpikir bahwa kita dapat memahami dan mengidentifikasi kabajikan dengan mengatur

    karakteristik manusia pada tiga hal, dua hal diantaranya adalah menjadi jahat dan yang

    tengah menjadi baik. Menurutnya kebajikan adalah golden mean, yaitu jalan di antara

    posisi ekstrem yang akan bervariasi bergantung pada keadaan.

    Etika moralitas berfokus pada karakter moral dari pembuat keputusan daripada

    konsekuensi tindakan (utilitarianisme) atau motivasi dari pembuat keputusan (dentologi).

    Hal ini mengadopsi pendekatan yang lebih menyeluruh untuk memahami etika perilaku

    manusia. Hal ini mengakui bahwa ada banyak aspek dari kepribadian kita. Kepribadian kita

    memiliki banyak segi dan perilaku kita cukup kensisten. Meskipun kita semua memiliki

    banyak kebajika, dan serinh kali sama, kita menunjukannya dalam derajat yang berbeda-

    beda, meskipun situasinya sama. Dalam lingkungan bisnis, etika kebajikan mengabaikan

    gagasan bahwa eksekutif mengenakan dua topi, satu topi yang mewakili nilai-nilai pribadi

    dan yang lainnya mewakili nilai-nilai perusahaan, dan percaya bahwa eksekutif hanya bisa

    memakai satu topi pada satu waktu.

    Kelemahan Etika Kebajikan

  • Ada dua masalah yang berkaitan dengan etika kebajikan. Apa saja kebajikan yang

    harus dimiliki oleh pelaku bisnis, dan bagaimana kebajikan ditunjukkan dalam tempat kerja?

    Sebuah kunci kebajikan dalam bisnis adalah integritas. Integritas melibatkan sifat jujur dan

    terhormat. Hal tersebut berarti perusahaan harus konsisten dengan prinsip-prinsipnya

    dalam bertindak. Hal ini ditunjukkan dengan tidak mengorbankan nilai-nilai inti bahkan

    ketika ada tekanan kuat untuk melakukannya. Contohnya adalah pertimbangan kasus

    pengumpulan dana oleh organisasi nirlaba. Mereka tidak menerima sumbangan dari

    individu dan organisasi yang memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai inti

    perusahaan mereka.

    Ditingkat individu, masalah dengan etika kebajikan adalah bahwa kita tidak dapat

    menyusun daftar panjang dari kebajikan. Selanjutnya, kebajikan mungkin hanya terjadi pada

    satu waktu tertentu. Seorang akuntan public mungkin perlu keberanian saat menceritakan

    pada CEO bahwa kebijakan akuntansinya tidak mengakibatkan penyajian laporan keuangan

    perusahaannya menjadi wajar. Seorang CEO membutuhan keterusterangan dan kebenaran

    saat menjelaskan sebuah potensi permapingan pada karyawan perusahaan dan orang-orang

    yang hidup dalam masyarakat yang akan terpengaruh oleh penutupan pabrik. Banyak hal

    dalam daftar yang mungkin saling berkontradiksi dalam keadaan tertentu.

    2.2.5. Imajinasi Moral

    Siswa sekolah bisnis dilatih untuk menjadi manajer bisnis, dan manajer bisnis

    diharapkan dapat membantu keputusan yang sulit. Manajer harus kreatif dan berinovasi

    dalam solusi sehingga bisa membantu memecahkan masalah bisnis praktis. Mereka hgarus

    benar-benar kreatif ketika menyangkut masalah etika. Para manajer harus menggunakan

    imajinasi moral mereka untuk mementukan alternative etika yang sama-sama

    menguntungkan. Artinya, keputusan haruslah berdampak baik untuk individu, baik bagi

    perusahaan maupun bagi masyarakat.

    2.2.6. Teori Etika Teonom

    Pada dasarnya setiap teori etika yang ada memiliki kesamaan, kesamaan tersebut

    terletak pada kajian aspek moralitas, dimana moralitas hanya dikaji berdasarkan proses

  • penalaran manusia tanpa ada yang mengakui atau mengaitkannya dengan kekuatan tak

    terbatas (Tuhan). Dalam teori etikanya, walaupun Kant mencoba mengungkapkan bahwa

    ada kewajiban yang bersifat mutlak, namun ia mengatakan bahwa manusia harus

    mengikuto kewajiban moral tersebut demi kewajiban itu sendiri, bukan karena adanya

    tujuan, terlebih lagi karena hal-hal yang bersifat ilahi.

    Peschke S.V.D (2003) mengungkapkan keterbatasan akan teori-teori yang telah ada,

    dimana mereka tidak mengakui adanya kekuatan tak terbatas yaitu kekuatan Tuhan yang

    ada dibelakang semua hakikat keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu mereka keliru

    menafsirkan tujuan hidup manusia bukan hanya untuk memperoleh kebahagiaan yang

    bersifat duniawi saja.

    Teori etika otonom merupakan salah satu teori yang dilandasi oleh filsafat Kristen.

    Teori ini mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh

    kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap

    baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila

    tidak mengikuti aturan-aturan Allah sebagaimana telah dituangkan dalam kitab suci.

    Ada empat persamaan fundamental filsafat etika semua agama, yaitu:

    a. Semua agama mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertinggi selain tujuan

    hidup di dunia. Hindu menyebutnya moksa, Budha menyebutnya nirwana, Islam

    menyebutkan akhirat, dan Kristen menyebutnya surge. Semua mengakui adanya

    eksistensi nonduniawi yang menjadi tujuan akhir umat manusia.

    b. Semua agama mengakui adanya Tuhan dan semua agama mengakui adanya kekuatan

    tak terbatas yang mengatur alam semesta ini.

    c. Etika bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup manusia di dunia, tetapi

    juga sebagi salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir umat manusia.

    d. Semua agama memiliki ajaran moral yang bersumber dari kitab suci masing-masing.

    Ada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan bersifat mutlak yang dijumpai

    disemua agama, tetapi ada juga yang bersifat spesifik dan hanya ada pada agama

    tertentu saja.

    Setiap teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan

    untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant terletak

    pada adanya pengabaian tujuan mutlak walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban

    mutlak. Bila pemikiran etika hanya dikaitkan dengan tujuan manusia yang berorientasi

  • duniawi yang bersifat terbatas maka akan tampak bahwa ajaran moral etika tersebut akan

    selalu bersifat relatif. Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikaitkan

    dengan tujuan tertinggi manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat

    diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui

    tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.

    Terlepas dari manusia mengakui adanya Tuhan atau tidak, setiap manusia telah

    diberikan Tuhan potensi kecerdasan tak terbatas yang melampaui kecerdasan rasional.

    Tujuan tertinggi umat manusia hanya dapat dicapai apabila potensi kecerdasan tak terbatas

    ini dimanfaatkan.

    2.2.7. Egoisme

    Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme

    yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang

    menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri

    (selfish). menurut teori ini oreang boleh saja yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat

    luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada

    pada kenyataannya setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. jadi menurut teori ini,

    tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruism yaitu suatu tindakan yang peduli

    pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan

    kepentingan dirinya.

    Sedangkan egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri

    (self-interest). Perbedaan egoisme psikologis dengan egoisme etis adalah pada akibatnya

    terhadap orang lain. Tindakan berkutat diri ditandai dengan cirri mengabaikan atau

    merugikan kepentingan orabg lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu

    merugikan kepentingan orang lain. Paham egoisme psikologis dilandasi oleh keutamaan

    sehingga tidak dapat dikatan tindakan tersebut bersifat etis.

    Pokok-pokok pandangan egoisme etis diantaranya:

    a. Egoisme etis tidak mangatakan bahwa orang harus membela kepentingan sendiri

    maupun kepentingan orang lain.

    b. Egoisme etis hanya nerkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela

    kepentingan diri.

  • c. Menurut paham Egoisme etis, tindakan meolong orang lain dianggap sebagai tindakan

    untuk menolong diri sendiri karena mngkin saja kepentingan orang lain tersebut

    bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya

    juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.

    d. Inti dari paham Egoisme etis adalah bahwa jika ada tindakan yang menguntungkan

    orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat

    tindakan itu benar, yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa

    tindakan itu mrnguntungkan diri sendiri.

    Alasan yang mendukung teori Egoisme etis, antara lain:

    a. Argument bahwa alturisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. tindakan

    peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi diri sendiri.

    b. Pandangan tentang kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan

    moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip

    fundamental kepentingan diri.

    Alasan menentang teori Egoisme etis, diantaranya:

    a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan

    aturan moral karena dalam kenyataannya seringkali dijumpai kepentingan-kepentingan

    yang bertabrakan.

    b. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Misalnya, dalam satu keadaan di mana

    kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku berbeda dengan kepentingannya,

    agamanya, sukunya, atau negaranya, maka menurut paham ini tetntu yang diutamakan

    adalah kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku.

    2.3. Etika Abad ke-20

    Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai teori etika dan pemikiran moral yang

    terus berkembang, di bawah ini dijelaskan esensi dari beberapa pemikiran moral yang berpengaruh

    yang muncul pada abad ke-20 sebagai tambahan atas bebera[a paham/teori etika yang telah

    diuraikan sebelumnya. Ringkasan ini diambil dari buku Etika Abad Kedua puluh karangan Fransz

    Magnis-Suseno (2006).

    2.3.1. Arti Kata Baik Menurut George Edward Moore

  • Kata baik adalah kunci dari moralitas namun Moore merasa heran tidak satu pun etikawan

    yang berbicara tentang kata baik tersebut, sekan-akan hal itu sudah jelas dengan sendirinya.

    Menurut Moore, di sinilah letak permasalahannya sehingga terdapat kekacauan dalam menafsirkan

    kata baik tersebut. Ada banyak penafsiran tentang sesuatu yang dianggap bak. Sebagaimana telah

    diuraikan di depan, ada yang menafsirkan kata baik sebagai nikmat (kaum hedonis), memenuhi

    keinginan individu (etika egoisme, etika psikologis), memenuhi kepentingan orang banyak (etika

    utilitarianisme), memenuhi kehendak Allah (etika teonom), dan bahkan ada yang mengatakan kata

    baik tidak mempunyai arti. Ini tidak mengherankan karena menurut Moore untuk menghindari

    kekacauan definisi, seharusnya dimulai dengan pertanyaan paling mendasar: apakah kata baik dapat

    didefinisikan atau tidak? anggapan inti Moore sangat sederhana bahwa kata baik tidak dapat

    didefinisikan, sama seperti kata kuning yang tidak bisa didefinisikan lagi. Walaupun kita telah

    mengumpulkan berbagai fakta, benda, atau sesuatu yang berwarna kuning, fakta ini tetap tidak

    dapat dipakai untuk menyimpulkan definisi kuning itu sendiri. Alasannya karena kedua istilah itu

    kuning, baik, dan seperti banyak istilah lain mempunyai sifat primer. Suatu kata tidak dapat

    didefinisikan jika kata tersebut tidak lagi terdiri atas bagian-bagian sehingga tidak dapat dianalisis.

    Berdasarkan penjelasan ini, menurut Moore kata baik tidak dapat didefinisikan. Baik adalah baik,

    titik. Setiap usaha untuk mendefinsikannya akan selalu menimbulkan kerancuan.

    2.3.2. Tatanan Nilai Max Scheller

    Scheller sebenarnya membantah anggapan teori imperative category Immanuel Kant

    yang mengatakan bahwa hakikat moralitas terdiri atas kehendak untuk memnuhi kewajiban

    karena kewajiban itu sendiri. Kewajiban bukanlah unsur primer, melainkan mnegikuti apa

    yang bernilai. Manusia wajib memenuhi sesuatu untuk mencapai sesuatu yang baik dan

    yang baik itu adalah nilai. Jadi inti dari tindakan moral adalah tujuan merealisasikan nilai-

    nilai dan bukan asal memenuhi kewajiban saja.

    Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Material di sini buakn dalam arti ada kaitan

    dengan materi tetapi sebagai lawan dari kata formal. Kedua istilah ini sering diapakai dalam

    konteks ilmu hukum. Bersifat apriori artinya kebernilaian suatu nilai tersebut mendahului

    segala pengalaman. Misalnya untuk mengetahui suatu makanan enak atau tidak memang

    hanya dicoba dan diperoleh melalui pengalaman memakan langsung makanan tersebut.

    Akan tetapi jika sesuatu yang enak itu merupakan sesuatu yang sudah positif/pasti maka

    nilai tersebut dikatakan telah diketahui lebih dahulu tanpa dicoba (apriori).

  • Menurut Scheller ada empat gugus nilai yang masing-masing mandiri dan berbeda

    antara satu dengan yang lain, yaitu: (1) nilai-nilai sekitar enak dan tidak enak, (2) nilai-nilai

    vital, (3) nilai-nilai rohani murni, (4) nilai-nilai sekitar roh kudus.

    2.3.3. Etika Situasi Joseph Fletcher

    Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip-prinsip etika yang

    bersifat mutlak. Ia berpendapat bahwa setiap kebijakan moral selalu bergantung pada

    situasi konkret. Sesuatu ketika berada dalam situasi tertentu bisa jadi baik dan tepat tetapi

    ketika berada dalam situasi yang lain bisa jadi salah dan jelek. Norma-norma umum tidak

    pernah berlaku begitu saja karena norma-norma itu hanya mengikat apabila tuntutan

    situasi, hal-hal yang wajib dilakukan tidak dapat diketahui. Itulah sebabnya, moralitas hanya

    dapat dipahami dalam situasi konkret padahal, situasi konkret tidak selalu sama

    sehingga etika Fletcher sering disebut etika situasi.

    2.3.4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch

    Iris Murdoch mengamati bahwa teori-teori pasca-Kant yang memusatkan perhatiannya

    kepada kehendak bebas tidak mengenai sasaran. Menurut Murdoch, yang khas dari teori-

    teori etika pasca-Kant adalah bahwa nila-nilai moral dibuang dari dunia nyata. Teori

    Murdoch menyatakan bahwa bukan kemampuan otonom yang menciptakan nilai melainkan

    kemampuan untuk melihat dengan penuh kasiih dan adil. Hanya pandangan yang penuh

    kasih dan adil yang menghasilkan pengertian yang betul-betul benar.

    2.3.5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederick Skinner

    Teori Skinner mengenai pengelolaan keyakinan dimulai dari pengamatannya bahwa

    dalam ilmu fisik dan ilmu hayat, manusia telah mencapai kemajuan luar biasa dalam dua

    ribu terakhir. Akan tetapi anehnya untuk menemukan bagaimana manusia harusnya

    bertindak, ilmu etika sekarang ini tidak maju jauh dari apa yang dikemukakan oleh Plato dan

    Aristoteles. Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia

    tidak memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika tetapi sebuah teknologi

    kelakuan. Ia mengacu pada lmu kelakuan sederhana yang dikembangkan oleh Pavlov. Ide

    dasar Skinner adalah menemukan teknologi/cara untuk mengubah perilaku. Apabila kita

  • dapat merekayasa kondisi-kondisi kehidupan seseorang maka kita dapat merekayasa

    kelakuannya.

    Mengapa pengaruh lingkungan terhadap kelakuan manusia tidak diperhatikan?

    Menurut Skinner, hal tersebut karena filsafat dan ilmu-ilmu manusia lainnya hanya

    memfokuskan perhatiannya pada inner state (keadaaan batin manusia). Yang dimaksud

    dengan keadaan batin di sini adalah kesadaran manusia, pikiran, kehendak, perasaan,

    maksud, cita-cita, sasaran, dan tujuan-tujuannya, serta kehendak bebas dari dalam diri

    manusia itu sendiri. Intinya, inner state saja tidak cukup untuk mengubah tingkah laku. Perlu

    ada rekayasa atas kondisi-kondisi kehidupan yang berasal dari luar diri manusia itu untuk

    mengubah kelakuannya.

    2.3.6. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas

    Jonas mengamati bahwa walaupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah

    membawa kemajuan, tetapi kemajuan tersebut juga menimbulkan masalah baru berupa

    ancaman kelanjutan kehidupan umat manusia bahkan kelanjutan kehidupan di bumi. Etika

    tradisional hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam lingkungan dekat dan

    sesaat. Etika macam ini tidak dapat lagi menghadapi ancaman global kehidupan manusia

    dan smeua kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Jonas menekankan pentingnya dirancang

    etika baru yang berfokus pada tanggung jawab. Intinya adalah kewajiban manusia untuk

    bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa depan.

    2.4. Praktik Pengambilan Keputusan Etis

    2.4.1. Pemaparan Kasus

    Pos Indonesia Enggan Kerjasama dengan Banyak Bank

    Dalam kerjasama dengan pihak perbankan, PT Pos Indonesia memilih tidak ingin

    bekerjasama dengan

    banyak bank. Direktur

    Utama PT Pos

    Indonesia Budi

  • Setiawan mengatakan, untuk channeling, perseroan mengaku perseroan lebih senang

    bekerjasama secara optimal dengan satu bank saja.

    Budi menjelaskan dalam kerjasama dengan perbankan, perseroan

    mempertimbangkan target pasar yang disasar kedua belah pihak. Ini agar kedua belah pihak

    dapat bersama-sama mengembangkan segmen pasar tersebut. "Kami kerjasama dengan

    bank itu lebih ke market yang mau disasar. Market PT Pos hanya C dan D ke bawah. A dan B

    tidak, sehingga kita hanya bekerjasama dengan satu bank yang segmennya hampir sama

    dengan kita," kata Budi di Jakarta, Kamis (20/2/2014).

    Lebih lanjut Budi menjelaskan, Pos Indonesia tak mau bekerjasama dengan banyak

    bank. Dengan bekerjasama hanya dengan satu bank, pekerjaan dan pelayanan dapat lebih

    efektif dan optimal. "Tidak mau kerjasama dengan banyak bank. Toh market-nya juga sama

    Lebih baik satu tapi maksimal. Kalau kebanyakan nanti takut kanibalisme. Dengan satu bank,

    kita bisa sama-sama mengembangkan market dan apa yang bisa dioptimalkan layanan

    nasabah," jelasnya.

    Budi mengungkapkan, channeling merupakan salah satu pos perseroan dalam sektor

    jasa keuangan. Selain itu, layanan jasa keuangan Pos Indonesia meliputi Pos Pay yang

    melayani pembayaran tagihan seperti listrik, air, kredit pembiayaan dan sejenis, transfer

    uang dan remitansi, dan distribusi keuangan seperti misalnya dana pensiun. "Untuk

    bank channeling kami kerjasama dengan BTN. Salah satunya untuk menyalurkan kredit dan

    produk tabungan," jelas Budi.1

    2.4.2. Analisa Kasus

    Analisis PT Pos Indonesia

    Etikalitas dari keputusan kerja sama perbankan untuk produk keuangan dapat

    dianalisis menggunakan teori etika yang berbeda dengan kesimpulan yang bisa

    berbeda antarteori. Teori-teori etika membantu membingkai pertanyaan dan teori-

    teori tersebut membantu dalam menyoroti aspek kasus yang mungkin diabaikan jika

    kasus tersebut dianalsisi dalam istilah ekonomi murni. Teori-teori juga dapat

    membantu dalam menjelaskan dan membela pilihan yang akhirnya Anda pilih.

    1

    http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/20/1521581/Pos.Indonesia.Enggan.Kerjasama.dengan.Banyak.Bank (diakses hari Rabu, 26 Februari 2014)

  • Namun pada akhirnya Anda harus memiliki keberanian atas keyakinan Anda dan

    membuat pilihan itu.

    Utilitarianisme

    Utilitarianisme berpendapat bahwa alternatif etika terbaik adalah salah satu yang

    akan menghasilkan jumlah kesenangan berrsih terbesar kepada khalayak luas

    sebagai pemangku kepentingan relevan. Dalam hal ini, kesenangan dapat diukur

    dalam bentuk kepuasan pelanggan. PT Pos Indonesia sebagai perusahaan yang

    memiliki pertimbangan bisnis dalam setiap keputusannya memiliki beberapa pilihan

    dalam menawarkan produk keuangan kepada masyarakat umum sebagai konsumen

    mereka.

    Pilihan yang dapat diambil PT Pos Indonesia secara umum ada dua yaitu (1)

    bekerja sama dengan satu satu bank, (2) bekerja sama dengan banyak bank. Kedua

    pilihan tentu memiliki kemungkinan konsekuensi yang berbeda dalam hal kepuasan

    pelanggan. Ini tidak terlepas dari kriteria etis yang melatarbelakangi teori

    utilitarianisme yaitu memberi manfaat/kegunaan bagi banyak orang. Apabila bekerja

    sama hanya dengan satu bank, maka kemungkinan masyarakat yang terjangkau

    sangat terbatas sebab hanya mereka yang memiliki rekening di bank tersebut.

    Meskipun sekarang sudah ada layanan semacam ATM bersama atau transfer

    antarbank namun tetap saja akan berbeda apabila memakai bank yang menjadi

    tempat tabungan kita.

    Sedangkan bila PT Pos Indonesia mengambil pilihan bekerja sama dengan

    banyak bank sepertinya akan lebih banyak kalangan masyarakat yang akan

    terakomodasi. Itu berarti nilai kepuasan mayarakat cenderung meningkat

    dibandingkan bila hanya menggunakan satu bank. Namun perlu diingat bahwa

    utilitarianisme mengharuskan Anda memeriksa konsekuensi dari seluruh pemangku

    kepentingan (stakeholders) yang tepengaruh oleh pengambilan keputusan. Selain

    masyarakat umum selaku pengguna maka terdapat para manajer bank dan seluruh

    pegawai bank yang akan terpengaruh.

    Apabila PT Pos Indonesia bekerjasama dengan banyak Bank maka profit dan

    keuntungan operasional yang muncul tidak hanya diperoleh oleh satu Bank namun

    seluruh Bank yang melakukan kerjasama dengan PT Pos Indonesia. oleh karena itu

  • dari perspektif Utilitarian, sebaiknya PT Pos Indonesia bekerja sama dengan banyak

    bank dalam pelayanan produk keuangannya agar semakin besar kuantitas kepuasan

    para masyarakat.

    Deontologi

    Deontologi melihat pada motivasi pembuat keputusan dan bukan konsekuensi dari

    keputusan tersebut. Apakah bagi sebuah perusahaan untuk bekerja dengan optimal

    maka harus membatasi jumlah pihak yang bekerja sama? PT Pos Indonesia memilih

    hanya satu bank sebagai partner untuk memberikan pelayanan channeling, salah

    satu pos perseroan dalam sektor jasa keuangan seperti untuk menyalurkan kredit

    dan produk tabungan, dengan alasan ingin mengembangkan segmen pasar yang

    sama.

    Lebih lanjut, Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan mengatakan,

    dengan bekerjasama hanya dengan satu bank, pekerjaan dan pelayanan dapat lebih

    efektif dan optimal. Selain itu plihan ii juga untuk menghindari persaingan yang tidak

    sehat antarbank, atau dalam istilah Budi kanibalisme. Dari argumentasi Budi, PT Pos

    Indonesia telah mengambil keputusan yang terbaik dengan hanya memilih bekerja

    sama dengan satu bank. Sebab bila perusahaan tetap memilih banyak Bank untuk

    bekerja sama, dikhawatirkan pelayanan yang dilakukan justru kurang optimal dan

    merugikan perusahaan karena pendapatan yang menurun.

    Dari perspektif deontologi, maka memang seharusnya perusahaan hanya

    bekerja sama dengan satu Bank sembari bersama-sama mengembangkan segmen

    pasar tertentu sehingga kinerja PT Pos Indonesia dapat optimal. Perspektif

    deontologis tidak mementingkan konsekuensi. Hal yang penting adalah bahwa

    keputusan dibuat untuk alasan yang tepat. Fakta bahwa pelanggan mungkin saja

    merasa keberatan karena harus menggunakan satu Bank tertentu yang dipilih oleh

    PT Pos Indonesia menjadi tidak relevan.

    Keadilan dan Kewajaran

    Keadilan distributif berpendapat bahwa yang setara harus diperlakukan sama dan

    yang tidak setara harus diperlakukan tidak sama sesuai dengan ketidaksetaraan dan

    perbedaan yang relevan. Apakah semua Bank sama? Hal ini akan bergantung pada

  • dasar apa yang dipakai untuk menentukan perbedaan dan kesamaan antarbank.

    Apabila melihat dari struktur dan karakteristik operasionalnya maka tidak akan

    ditemukan perbedaan yang cukup signifikan antara satu bank dengan bank yang

    lainnya sehingga PT Pos Indonesia mungkin tidak perlu membatasi Bank yang

    dijadikan partner untuk produk channeling. Dengan kata lain, mereka harus

    diperlakukan sama. Hal ini berarti bahwa sebuah bisnis tidak ingin mengasingkan

    salah satu basis pelanggan dalam industri perbankan.

    Namun apabila dasar yang dipilih oleh PT Pos Indonesia adalah segmen dan

    target pasar maka sangat mungkin akan terdapat perbedaan antara satu bank

    dengan bank yang lain. Hal yang sama menjadi pertimbangan Dirut PT Pos Indonesia

    untuk bekerja sama dengan satu bank yang segmennya hampir sama dengan PT Pos

    Indonesia.

    Etika Kebajikan

    Etika kebijakan berfokus pada karakter moral dari pembuat keputusan. Nilai-nilai

    apakah yang diinginkan Direktur Utama Budi Setiawan untuk diproyeksikan oleh

    perusahaannya, dalam hal ini PT Pos Indonesia?

    Ditinjau dari keputusan perusahaan yang hanya bekerja sama dengan satu

    Bank saja, maka masyarakat mungkin saja menginterpretasikan aksi korporasi

    tersebut sebagai keegoisan dan pragmatisme bisnis PT Pos Indonesia yang semata-

    mata mengejar keuntungan bisnis. Padahal apabila PT Pos Indonesia mau menerima

    lebih banyak Bank sebagai partner penyaluran kredit dan produk tabungan maka

    lebih banyak kalangan masyarakat yang terakomodasi untuk mengakses layanan

    tersebut. Dengan kata lain, semakin banyak Bank yang bekerja sama dengan PT Pos

    Indonesia maka akan semakin banyak jumlah masyarakat yang tertolong dan

    semakin banyak pula Bank yang akan memperoleh keuntungan dari produk

    keuangan tersebut.

    Imajinasi Moral atau Taktik Perusahaan?

    Imajinasi moral berarti datang dengan sebuah solusi konservaif dan inovatif untuk

    suatu dilema etika. PT Pos Indonesia membutuhkan sebuah perbankan untuk bekerja

    sama dalam penyediaan produk channeling. Apakah membatasi hanya satu Bank

  • sebagai partner merupakan sebuah contoh imajinasi moral atau apakah itu hanya

    taktik pemasaran?

    Ditinjau dari pernyataan Dirut PT Pos Indonesia Budi Setiawan berikut

    "Tidak mau kerjasama dengan banyak bank. Toh market-nya juga sama Lebih baik

    satu tapi maksimal. Kalau kebanyakan nanti takut kanibalisme. Dengan satu bank,

    kita bisa sama-sama mengembangkan market dan apa yang bisa dioptimalkan

    layanan nasabah," maka keputusan yang diambil oleh PT Pos Indonesia adalah murni

    bisnis demi optimalisasi kinerja perusahaan.

  • BAB 3

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    Setelah mengulas berbagai filosofi, konsep mengenai nilai-nilai kebaikan, moral, dan etika serta mengupas pokok-pokok pikiran dari berbagai macam teori

    etika yang berkembang, maka dapat dirangkum beberapa hal sebagai berikut:

    a) Tampaknya saat ini telah muncul beragam paham/teori etika, di mana

    masing-masing teori mempunyai pendukung dan penentang yang cukup

    berpengaruh. Teori satu dipertentangkan dengan teori lainnya.

    b) Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan paradigma, pola

    pikir, atau pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia.

    c) Hampir semua teori etika yang ada didasarkan atas paradigma tidak utuh

    tentang hakikat manusia, artinya setiap teori hanya ditinjau dari proses

    penalaran berdasarkan potongan-potongan terpisah dan terbatas dalam

    melihat makna atau tujuan hidup manusia.

    d) Semua teori yang seolah-olah saling bertentangan tersebut sebenarnya tidak

    lah bertentangan . bila dilihat secara sepotong-potong memang terkesan ada

    pertentangan antara teori satu dengan yang lain. Namun bila dilihat dari

    suatu proses evolusi kesadaran diri, semua teori yang ada menjelaskan

    tahapan-tahapan moralitas sejalan dengan pertumbuhan tingkat kesadaran

    diri seseorang.

    3.2 Saran

    Dari diskusi yang telah kami lakukan maka ada beberapa hasil yang mampu

    disarankan mengenai etika dalam bisnis:

    a) Kita perlu memahami secara komprehensif mengenai berbagai teori etika

    yang ada untuk melakukan perbandingan sebab tidak ada teori yang paling

    benar sampai saat ini.

  • b) Memasukkan dan mempertahankan Mata Kuliah Etika Profesional Akuntan

    dalam kurikulum program studi akuntansi.

    c) Perlu bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Ikatan Akuntan Publik Indonesia

    (IAPI) selakau organ isasi profesi untuk mengembangkan penerapan etika ini

    dalam praktik pengambilan keputusan etis perusahaan

  • DAFTAR PUSTAKA

    Agoes, S. Dan C. Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi, Tantangan

    Membangun Manusia Seutuhnya. Salemba Empat, Jakarta.

    Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta