teori pemisahan agama dari politik

11
Pemisahan Agama Dari Politik Teori pemisahan agama dari politik (Sekularisme) merupakan sebuah kecenderungan dan pemikiran yang dikembangkan oleh pendukung dan pendakwah eliminasi atau peminggiran peran agama dalam ragam tingkatan kehidupan manusia. Di antaranya, politik, pemerintahan, pengetahuan, akhlak dan lain sebagainya. Berdasarkan teori ini, manusia dalam pancaran akal dan pengetahuan empiriknya sebagaimana ia mampu mengenal alam natural maka ia juga mampu menkonstruksi dan membuat aturan- aturan yang berhubungan dengan kebudayaan, politik, peradilan, perekonomian, perniagaan, etika, interaksi sosial. Pendeknya, apa saja yang berhubungan dengan urusan material dan spiritual kehidupannya—juga dalam pancaran akal dan pengetahuannya. Dan demikian seterusnya, manusia tidak lagi memerlukan intervensi agama dalam memenej dan mengatur kehidupannya. Kamus Oxford mendefinisikan Sekularisme sebagai berikut, “Keyakinan terhadap aturan-aturan, pelajaran, pendidikan dan lain sebagainya yang harus bersandar pada realitas-realitas ilmu, bukan mazhab (agama).” Keyakinan inilah yang telah menjadi dasar utama pemikiran pemisahan agama dari politik di belahan dunia Barat. Pada masa abad pertengahan (Medieval) dan setelahnya, ada beberapa faktor yang saling mendukung satu sama lain sehingga pemikiran ini mendominasi dan berkuasa pada kebudayaan Barat. Dari satu sisi, agama Kristen telah mengalami distorsi dan penyimpangan dengan konsep-konsep yang tidak memadai dan irasional, di samping kekuasaan diktator dan kebijakan yang mencekik para gerejawan; dari sisi lain, kontradiksi akal dan ilmu dengan ajaran-ajaran Injil telah menyebabkan munculnya kontradiksi telanjang antara agama dan modernitas. Sebuah kontradiksi yang berujung pada pemisahan dua domain pengetahuan dan agama. Sebagai konsekuensinya, agama termarjinalkan dari panggung seluruh domain kehidupan; domain yang hanya pengetahuan (sains) lah yang berlaku di dalamnya.

Upload: murpicantik

Post on 15-Jul-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

agama

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

Pemisahan Agama Dari PolitikTeori pemisahan agama dari politik (Sekularisme) merupakan sebuah kecenderungan

dan pemikiran yang dikembangkan oleh pendukung dan pendakwah eliminasi atau peminggiran peran agama dalam ragam tingkatan kehidupan manusia. Di antaranya, politik, pemerintahan, pengetahuan, akhlak dan lain sebagainya. Berdasarkan teori ini, manusia dalam pancaran akal dan pengetahuan empiriknya sebagaimana ia mampu mengenal alam natural maka ia juga mampu menkonstruksi dan membuat aturan-aturan yang berhubungan dengan kebudayaan, politik, peradilan, perekonomian, perniagaan, etika, interaksi sosial. Pendeknya, apa saja yang berhubungan dengan urusan material dan spiritual kehidupannya—juga dalam pancaran akal dan pengetahuannya. Dan demikian seterusnya, manusia tidak lagi memerlukan intervensi agama dalam memenej dan mengatur kehidupannya.

Kamus Oxford mendefinisikan Sekularisme sebagai berikut, “Keyakinan terhadap aturan-aturan, pelajaran, pendidikan dan lain sebagainya yang harus bersandar pada realitas-realitas ilmu, bukan mazhab (agama).” Keyakinan inilah yang telah menjadi dasar utama pemikiran pemisahan agama dari politik di belahan dunia Barat.

Pada masa abad pertengahan (Medieval) dan setelahnya, ada beberapa faktor yang saling mendukung satu sama lain sehingga pemikiran ini mendominasi dan berkuasa pada kebudayaan Barat. Dari satu sisi, agama Kristen telah mengalami distorsi dan penyimpangan dengan konsep-konsep yang tidak memadai dan irasional, di samping kekuasaan diktator dan kebijakan yang mencekik para gerejawan; dari sisi lain, kontradiksi akal dan ilmu dengan ajaran-ajaran Injil telah menyebabkan munculnya kontradiksi telanjang antara agama dan modernitas. Sebuah kontradiksi yang berujung pada pemisahan dua domain pengetahuan dan agama. Sebagai konsekuensinya, agama termarjinalkan dari panggung seluruh domain kehidupan; domain yang hanya pengetahuan (sains) lah yang berlaku di dalamnya.

Dalam dunia Islam, gagasan pemisahan agama dari politik mengemuka dari tiga kelompok masyarakat. Pertama dari sisi para penguasa tiran yang pada masa-masa pertama Islam ingin mengubah khilafah menjadi kesultanan. Misalnya tatkala Muawiyah pada tahun 47 Hijriah naik tahta khilafah dan ketika datang ke Irak, ia berkata, “Aku tidak memerangi kalian atas shalat dan puasa melainkan aku ingin berkuasa atas kalian dan aku telah mencapai maksudku.” (Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâgha, jil. 4, hal. 160.)

Setelah itu pemerintahannya atas masyarakat Islam pun benar-benar telah keluar dan terpisah dari agama, berubah menjadi kesultanan dan kerajaan. Raja-raja zalim pada setiap masa menggunakan strategi pemisahan politik dari agama dan memperkenalkan kedudukan ulama lebih mulia dari intervensi dalam urusan politik.

Kelompok kedua, para penjajah asing. Pukulan terbesar yang ditimpakan oleh kaum penjajah atas negeri-negeri Muslim dari sisi ajaran-ajaran Islam dan ulama agama yang menjadi pemimpin. Melalui budaya yang senantiasa dipropagandakan kaum penjajah atas negeri-negeri Islam, yang tak lain adalah penyebaran budaya pemisahan agama dari politik.

Page 2: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

Kelompok ketiga, kelompok Rausyan Fikr yang sakit, yang bermula dari orang-orang jebolan Barat dan berupaya menerapkan proses pemisahan agama dari politik dalam atmosfer Barat atas ranah kehidupan Islam dan lalai terhadap kenyataan bahwa Islam bukanlah Kristen. Kedua, apa yang disebut Kristen di dunia Barat abad pertengahan bukanlah agama Kristen murni. Ketiga, ulama Islam sekali-kali tidak pernah menjadi penguasa diktator dan pencekik. Mereka sama sekali tidak pernah memerangi pengetahuan. Sebaliknya, kapan saja kekuasaan jatuh di tangan ulama Islam maka masa itu justru adalah masa bersemi dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Secara umum, dalam menyanggah para pendukung Sekularisme tentang pemisahan agama dari politik, terdapat banyak argumen telah dijelaskan, yang tidak mungkin kita uraikan di sini satu persatu.

1. Mengembalikannya pada pelbagai proposisi, teks-teks dan literatur-literatur agama Islam.

2. Sirah dan metode Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.

Mencermati masalah ini akan menjelaskan dengan baik bahwa pemisahan agama dari panggung politik dalam Islam sama sekali tidak dibenarkan karena sebagian besar ajaran dan pengetahuan Islam mencakup masalah-masalah politik dan sosial.

Imam Khomeini dalam hal ini berkata, “Islam adalah agama politik dan memiliki unsur politik pada segala tingkatan dan posisinya. Hal ini akan menjadi jelas dan terang bagi siapa saja yang memikirkan hukum-hukum pemerintahan, politik, sosial dan perekonomian Islam. Karena itu, barang siapa yang beranggapan bahwa agama terpisah dari politik, maka sesungguhnya di samping ia tidak mengenal agama, berarti juga tidak mengenal politik.”

Dengan meninjau secara sekilas aturan-aturan Islam dan ayat-ayat al-Qur’an, maka akan menjadi jelas bahwa Islam adalah sebuah agama yang inklusif dan mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia (personal, sosial, duniawi, ukhrawi, material dan spiritual). Dan di samping menyeru manusia untuk beribadah dan bertauhid, Islam juga memiliki instruksi-instruksi moral yang bertalian dengan konstruksi-diri setiap orang. Demikian juga, memiliki perangkat hukum-hukum dan instruksi-instruksi dalam masalah pemerintahan, politik, perekonomian, sosial, peradilan, pengaturan secara benar hubungan internasional, hukum dan lain sebagainya. Islam memiliki aturan-aturan peradilan, hukum, hubungan sosial, masalah-masalah perekonomian, pendidikan dan lain sebagianya. Jelas bahwa implementasi dan penerapan hukum-hukum dan instruksi-instruksi seperti ini tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya kekuasaan. Pemerintahan agama dalam artian yang sebenarnya adalah sebuah pemerintahan yang mengatur masyarakat berdasarkan undang-undang Ilahi. Undang-undang yang berperan sebagai media bagi manusia untuk maju dan untuk mengembangkan pelbagai potensi kemanusiaannya mencapai kesempurnaan, serta menciptakan sebuah masyarakat saleh dan layak bagi umat. Sebagai kebalikannya, pemerintahan Islam, merupakan media untuk memerangi pelbagai kerusakan moral, sosial dan lain sebagainya.

Al-Qur’an dalam mendeskripsikan para insan Ilahi, menyatakan, “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]: 41)

Page 3: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

Sirah dan perikehidupan Rasulullah Saw menunjukkan agama tidak terpisah dari politik; karena Rasulullah Saw di samping membentuk pemerintahan, beliau juga menjalankan tugas eksekutif dan yudikatif pemerintahan. Amirul Mukminin As juga mendasarkan pemerintahan dengan keadilan dan pelaksanaan instruksi-instruksi Ilahi. Demikian juga, pemerintahan singkat Imam Hasan As, revolusi Imam Husain dan tidak legalnya pemerintahan-pemerintahan pada masa dari para Imam Maksum lainnya, semuanya merupakan penjelas fakta bahwa pembentukan pemerintahan merupakan salah satu prinsip agama Islam.

Terdapat banyak ayat dalam hal ini yang mendukung pembentukan pemerintahan:

1. “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil. Dan Kami menciptakan besi. Pada besi ini terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka memanfaatkannya)..” (QS. al-Hadid [57]: 25)

2. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.” (QS. al-Maidah [5]: 8)

3. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu.” (QS. an-Nahl [16]: 36)

4. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik kaum laki-laki, kaum wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu!” (QS. an-Nisa [4]: 75)

5. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.” (QS. an-Nisa [4]: 49)

Dan masih banyak ayat lainnya yang bercerita tentang kitab, mizan, besi dan pelbagai manfaat yang diberikannya; kesaksian pada keadilan, menjauhi thagut, perang di jalan Allah dan kaum mustadh’afin, menolong orang-orang susah, hijrah di jalan Allah dan lain sebagainya. Jelas bahwa kesemua ini termasuk dalam kategori sosial yang dititahkan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya. Namun uraian dan penafsiran masing-masing dari ayat ini dan proses penetapan kemestian pembentukan pemerintahan oleh para nabi dan pemimpin Ilahi, memerlukan pembahasan yang lumayan panjang dan tentu saja bukan di sini tempatnya untuk menjelaskan hal itu. Di sini, kami hanya akan menyinggung prinsip terpenting pemikiran-pemikiran politik yang terkait dengan pembentukan pemerintahan dan kaitan antara agama dan politik.

1. Penetapan supremasi wilayah dan kepemimpinan multi dimensional, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi adalah untuk Allah Swt, Rasulullah Saw dan para wali khususnya

Page 4: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

2. Penetapan imamah dan kepemimpinan politik-sosial bagi Rasulullah Saw, para Imam Maksum yang diangkat oleh Rasulullah Saw

3. Penetapan pemerintahan dan khilafah di muka bumi oleh sebagian nabi terdahulu seperti Nabi Daud As dan Nabi Sulaiman As.

4. Al-Qur’an memperkenalkan peradilan dan menyelesaikan sengketa di antara masyarakat sebagai salah satu tugas para nabi.

5. Seruan untuk bermusyawarah dan berkelompok.6. Berperang melawan kerusakan dan kehancuran, anti kezaliman dan penyeru keadilan

merupakan salah satu tugas utama orang-orang beriman.7. Penghormatan terhadap hak-hak manusia dan pemuliaan manusia merupakan salah

satu prinsip politik agama-agama Ilahi.8. Titah jihad dan berperang melawan para tiran, orang-orang yang menyombongkan

diri dan para durjana; juga perintah untuk mempersiapkan peralatan untuk membela diri.[13]

9. Kemuliaan dan keagungan hanya untuk Allah dan orang-orang beriman dan menafikan segala bentuk dominasi dan kehinaan.[14]

10. Mengurai dan menentukan hak-hak timbal-balik antara pemimpin dan rakyat.[15]11. Menetapkan kekuasaan dan pemerintahan untuk sebagian penguasa saleh dan adil,

seperti Thalut dan Dzul Qarnain.[16]12. Mengkhususkan hak-hak penting dan makro atas harta benda, bagi Pemimpin kaum

Muslimin dan pemerintahan Islam, untuk digunakan demi kemaslahatan masyarakat.

Dari apa yang telah diuraikan, menjadi jelas bahwa pemisahan agama dari politik tidak dapat dibenarkan dalam Islam dan bagian terbesar dari pengetahuan dan ajaran Islam mencakup masalah-masalah politik dan sosial. Sesuai dengan tuturan Imam Khomeini di antara kurang lebih 57, 58 kitab fikih hanya 7 atau 8 yang berkaitan dengan masalah ibadah. Selebihnya membahas masalah politik, sosial, peradilan dan hal-hal asasi lainnya.

Ali Abdurrazzaq yang merupakan salah seorang pendukung ajaran pemisahan agama dari politik dengan bersandar pada ayat-ayat seperti, “Katakanlah, “Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu; (tugasku hanyalah menyampaikan belaka).” (QS. al-An’am [6]: 66) atau ayat, “Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).” (QS. asy-Syura [42]: 48) mengklaim bahwa al-Qur’an telah menarik tugas-tugas yang lebih dari tanggung jawab agama dari pundak Rasulullah Saw. [18] Maksudnya adalah bahwa Rasulullah Saw tidak memiliki tanggung jawab politik yang dibebankan di pundaknya. Muhandis Bazargan[19] juga berkesimpulan sama dari ayat-ayat al-Qur’an ini. Dalam membantah klaim ini harus dikatakan bahwa kesimpulan yang diambil dari al-Qur’an ini bertitik-tolak dari pemahaman yang bersifat permukaan, atas kitab suci al-Qur’an. Ayat-ayat ini tidak membatasi tugas dan tanggung jawab Rasulullah Saw dalam masalah risalah dan tabligh (inzhâr) secara hakiki sehingga berseberangan dengan posisi-posisi Rasulullah Saw lainya. Kami sandarkan ucapan ini dengan merujuk pada indikasi ayat-ayat lainnya yang menetapkan posisi peradilan dan pemerintahan bagi Rasulullah Saw. Terdapat banyak ayat yang secara jelas membahas dan menegaskan hal ini. Untuk menghemat ruang dan waktu, kami akan menyebutkan hanya satu

Page 5: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

ayat, “al-nabi awla bil mu’minin min anfusihim”[20] Ayat ini memandang wujud Rasulullah Saw lebih layak mengatur dan mengurusi urusan kaum Muslimin. Secara pasti, keutamaan dalam mengurusi, mengatur dan menguasai adalah kredit poin bagi maqam kenabian Rasulullah Saw. Dinukil dari Imam Baqir As bahwa beliau dalam tafsir ayat tersebut bersabda, “Ayat ini berhubungan dengan masalah pemerintahan.”[21]

Dalam beberapa ayat al-Qur’an, Rasulullah Saw bertugas untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat, “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil. Dan Kami menciptakan besi. Pada besi ini terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka memanfaatkannya) dan (juga) supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) dan para rasul-Nya padahal ia tidak melihat-Nya.” (QS. al-Hadid [57]: 25).

Apakah manusia dapat menegakkan keadilan tanpa melakukan perbaikan di tengah masyarakat dan mengambil urusan pemerintahan? Demikian juga Allah Swt pada salah satu ayat al-Qur’an, menjelaskan tujuan pengutusan para nabi sebagai berikut, “Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman dengan izin-Nya kepada (hakikat) kebenaran yang telah mereka perselisihkan itu. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. al-Baqarah [2]: 213)

Pada ayat ini, masalah menyelesaikan pelbagai perselisihan di tengah masyarakat dikemukakan sebagai tujuan pengutusan para nabi. Apabila perselisihan di antara manusia merupakan sebuah hal yang natural dan pasti, maka menyelesaikan pelbagai perselisihan tersebut sudah barang tentu juga merupakan hal yang pasti untuk menciptakan tatanan dan keteraturan dalam masyarakat serta menghindar dari kondisi chaos dan anarki. Sebaliknya, memberikan wejangan, nasihat dan sekedar menjelaskan hukum-hukum agama tidak dapat menyelesaikan problematika sosial dan kemasyarakatan.

Karena itu, tidak seorang pun nabi yang memiliki syariat, diutus kecuali untuk memberikan berita gembira, memberikan peringatan dan juga mengemukakan masalah kekuasaan pemerintahan. Allah Swt dalam ayat ini tidak berfirman agar para nabi menyelesaikan segala perselisihan dalam masyarakat dengan media pengajaran (taklim) atau menyampaikan berita gembira dan memberikan peringatan (inzhar); Allah Swt justru berfirman agar “para nabi menyelesaikan pelbagai perselisihan dengan media hukum.” Karena menyelesaikan pelbagai perselisihan, tanpa hukum dan pemerintahan (hukumat) yang memiliki jaminan operasional pelaksanaan, tidak akan dapat dijalankan. Karena itu, setiap

Page 6: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

agama yang membawa syariat untuk manusia, tentu saja, membawa hukum-hukum personal dan sosial bersamanya. Hukum-hukum ini, akan bermanfaat dan berdaya-guna apabila dilaksanakan dan dijalankan. Pelaksanaan aturan-aturan dan hukum-hukum Ilahi juga, secara niscaya, memerlukan sebuah pemerintahan yang menjamin operasional pelaksanaan aturan-aturan dan hukum-hukum tersebut. Apabila tidak demikian maka secara asasi hukum-hukum agama tidak akan terlaksana atau apabila terlaksana dan dilakukan oleh semua orang, maka ujung-ujungnya masyarakat akan tergiring pada kondisi chaos dan anarki. Keberadaan aturan semata-mata tidak berpengaruh dalam masyarakat kecuali ada seseorang yang memiliki kemampuan, kecakapan, berhubungan dengan alam gaib, memikul tanggung jawab sebagai pengajar, penjaga dan pelaksana aturan-aturan tersebut.

Pertanyaan yang kini mengemuka: apabila menjadi seorang pemimpin politik dan pembentukan pemerintahan merupakan salah satu tugas utama para nabi, lantas mengapa sebagian nabi tidak memiliki pemerintahan?

Terdapat beberapa kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, pembentukan pemerintahan tidak dapat dilakukan apabila kondisi khusus yang dihadapi tidak kondusif bagi seorang nabi; seperti Rasulullah Saw yang tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahannya selama beberapa tahun pertama risalahnya. Kedua, boleh jadi pada masa nabi-nabi besar yang memikul tanggung jawab sebagai pemimpin umat sebagain nabi-nabi Ilahi lainnya berada di bawah kumpulan risalahnya, sekedar menjalankan fungsi tabligh hukum-hukum agama, dan tidak memiiliki hak untuk membentuk pemerintahan yang terpisah dan mandiri; seperti Nabi Luth yang kenabiannya berada di bawah himpunan kenabian Nabi Ibrahim As. Allah Swt berfirman, “Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku akan berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ankabut [29]: 26) dan hal ini tidak menimbulkan persoalan; karena kenabian orang-orang seperti ini merupakan pancaran sinar kenabian yang luas dari nabi besar yang menjadi pemimpin risalah di daerah dan masa mereka. Al-Qur’an secara lugas menjelaskan pengangkatan Nabi Ibrahim As dari sisi Allah Swt untuk jabatan imamah dan pemimpin umat, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 124)

Karena itu, tidak ada nabi tanpa pemerintahan; baik secara mandiri atau bergantung pada nabi lainnya; karena dua contoh yang telah disebutkan di atas, kehidupan politik dan sosial Nabi Luth, dalam lingkungannya sendiri diatur di bawah pemerintahan Nabi Ibrahim As.

Dengan demikian, kehadiran para nabi dalam panggung politik, sosial dan kepemimpinan social-politik disebutkan dalam bentuk afirmatif partikular (mujiba juz’iyyah) sebagaimana dalam al-Qur’an, “Kaayyin min nabiyyin qatala ma’ahu ribbiyuna katsira”[22] Terkait dengan Nabi Nuh As dan Nabi Isa As serta sebagian nabi Allah lainnya, tidak disebutkan secara lugas tentang pemerintahan dan politik dalam al-Qur’an. Tiadanya

Page 7: Teori Pemisahan Agama Dari Politik

kelugasan ini tidak dapat menjadi dalil atas tiadanya masalah pemerintahan; bahkan ayat-ayat seperti, “Wa rusulun lam naqsushum ‘alaika.”

Artinya bahwa sebagaimana sebagian para nabi Ilahi dalam sejarah manusia yang nama mereka tidak disebutkan dalam al-Qur’an, seluruh tipologi nabi-nabi yang disebutkan namanya juga tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Karena itu, pembentukan pemerintahan oleh para nabi Ilahi merupakan suatu hal yang pasti dan mereka (mengingat terpenuhinya syarat-syarat, fasilitas dan kemampuan) juga melakukan hal itu. Di samping itu, petunjuk selaksa ayat al-Qur’an, sirah Rasulullah Saw dalam membentuk pemerintahan dan sebagainya, juga menjadi bukti bahwa kesimpulan sekularis dari ayat-ayat al-Qur’an seperti ini tidak dapat dibenarkan.”