teknik hidro edisi1kn

122
PENGARUH PANJANG DATA CURAH HUJAN PADA HITUNGAN HUJAN RENCANA Abd. Rakhim Nanda ABSTRAK Analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan bangunan-bangunan hidraulik masih merupakan bagian analisis yang sangat dominan, dan memerlukan penanganan yang cermat. Ukuran dan karakter bangunan irigasi sangat tergantung dari tujuan pembangunan dan informasi yang diperoleh dari analisis hidrologi. kualitas data sangat menentukan hasil analisa yang dibutuhkan. Panjang data yang tersedia juga mempunyai peranan yang cukup besar. Perbedaan panjang data yang dipergunakan dalam analisis memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan dengan kala-ulang tertentu. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan sejenis terjadi pula sebagai akibat kerapatan jaringan pengukuran hujan. Makin kecil kerapatan setasiun hujan, makin besar penyimpangannya (Sri Harto, 1986). Penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penyimpangan data terhadap panjang data yang digunakan pada hitungan hujan rencana pada kasus sungai Jeneberang. Tahapan Analisis data : Analisa Peta DAS(luas areal DAS/cathment area) dengan metode Aljabar, Thiessen dan Isohyet, analisis data curah hujan pada stasiun curah hujan dalam DAS Jeneberang yang nantinya menghasilkan Distribusi curah hujan wilayah dan curah hujan rencana, uji kesesuaian distribusi serta perhitungan curah hujan rencana dengan berbagai seri data. Hasil perhitungan curah hujan rencana pada kala ulang R 2 , R 5 , R 10 , R 25 , R 50 , R 100 persentase penyimpangan relative semakin mendekati titik 0 pada jumlah data 31 tahun hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang data yang digunakan untuk menghitung curah hujan rencana maka akan semakin baik hasil perhitungan yang diperoleh. Adapun penyimpangan relative yang 1 |Jurnal Teknik Hidro

Upload: muhammad-agusalim

Post on 21-Oct-2015

154 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teknik Hidro Edisi1kn

PENGARUH PANJANG DATA CURAH HUJAN

PADA HITUNGAN HUJAN RENCANA

Abd. Rakhim Nanda

ABSTRAK

Analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan bangunan-bangunan hidraulik masih merupakan bagian analisis yang sangat dominan, dan memerlukan penanganan yang cermat. Ukuran dan karakter bangunan irigasi sangat tergantung dari tujuan pembangunan dan informasi yang diperoleh dari analisis hidrologi. kualitas data sangat menentukan hasil analisa yang dibutuhkan. Panjang data yang tersedia juga mempunyai peranan yang cukup besar. Perbedaan panjang data yang dipergunakan dalam analisis memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan dengan kala-ulang tertentu. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan sejenis terjadi pula sebagai akibat kerapatan jaringan pengukuran hujan. Makin kecil kerapatan setasiun hujan, makin besar penyimpangannya (Sri Harto, 1986).

Penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penyimpangan data terhadap panjang data yang digunakan pada hitungan hujan rencana pada kasus sungai Jeneberang. Tahapan Analisis data : Analisa Peta DAS(luas areal DAS/cathment area) dengan metode Aljabar, Thiessen dan Isohyet, analisis data curah hujan pada stasiun curah hujan dalam DAS Jeneberang yang nantinya menghasilkan Distribusi curah hujan wilayah dan curah hujan rencana, uji kesesuaian distribusi serta perhitungan curah hujan rencana dengan berbagai seri data.

Hasil perhitungan curah hujan rencana pada kala ulang R2, R5, R10, R25, R50, R100

persentase penyimpangan relative semakin mendekati titik 0 pada jumlah data 31 tahun hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang data yang digunakan untuk menghitung curah hujan rencana maka akan semakin baik hasil perhitungan yang diperoleh. Adapun penyimpangan relative yang dihasilkan pada tiap kala ulang (R2, R5, R10, R25, R50, R100) dengan menggunakan serial data 31 tahun adalah : R2 = 4.422, R5 = 8.041, R10 = 8.375, R25 = 8.612, R50 = 8.619, R100 = 4.162.

Kata Kunci : Data Hidrologi, Penyimpangan, Serial Data, Curah hujan Wilayah, Curah hujan Rencana, Kala Ulang.

1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam pelaksanaan pekerjaan teknik sipil, khususnya dalam perancangan dan perancangan bangunan-bangunan air (hydraulic structures) analisis hidrologi masih merupakan bagian analisis yang sangat doininan, dan memerlukan penanganan yang cermat.

Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan bangunan-bangunan hidraulik. Ukuran dan karakter bangunan-bangunan tersebut sangat tergantung dan tujuan pembangunan dan informasi yang diperoleh dari analisis hidrologi. Faktor yang menjadi kelemahan umum dalam hidrologi di Indonesia antara lain:

1 |Jurnal Teknik Hidro

Page 2: Teknik Hidro Edisi1kn

1. Kualitas data yang tidak sebaik yang diharapkan, baik agihan waktu maupun ruangnya (temporal and spatial distribution),

2. Kesulitan memperoleh data yang dibutuhkan, yang di antaranya disebabkan karena pengelolaan yang kurang terkoordinasi antara beberapa instansi, dan

3. Rencana pengembangan daerah yang tidak selalu dapat diketahui sebelumnya, sehingga menyulitkan rencana pengembangan jaringan hidrologi, sehingga data tersebut tidak tersedia pada saat dibutuhkan.

Dengan melihat faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas data sangat menentukan hasil analisa yang dibutuhkan. Panjang data yang tersedia juga mempunyai peranan yang cukup besar. Sri Harto (1986) mendapatkan bahwa perbedaan panjang data yang dipergunakan dalam analisis memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan dengan kala-ulang tertentu. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan sejenis terjadi pula sebagai akibat kerapatan janingan pengukuran hujan. Makin kecil kerapatan setasiun hujan, makin besar penyimpangannya (Sri Harto, 1986).Dalam kaitan ini tidak dijumpai patokan yang jelas tentang berapa tinggi kerapatan setasiun hujan yang diperlukan serta berapa panjang data yang dipandang memadai.

1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari Penelitian ini adalah

untuk mengetahui seberapa besar pengaruh panjang data yang digunakan pada hitungan hujan rencana. Adapun tujuannya adalah menampilkan hasil dari pengaruh panjang data terhadap perhitungan curah hujan rencana tersebut

1.3. Pokok Bahasan Dan Batasan Masalah

Pokok bahasan dari tugas ini yaitu menganalisa pengaruh penyimpangan data terhadap panjang data dengan studi kasus Sungai Jeneberang. Untuk menghindari uraian yang terlalu luas ruang lingkupya, maka penulis memberikan batasan masalah pada penelitian terhadap pengaruh yang diakibatkan oleh panjang data curah hujan.

2. KAJIAN PUSTAKA2.1 Pengertian DAS

DAS atau catchment, basin, watershed merupakan daerah dimana semua airnya mengalir kedalam suatu sungai yang dimaksud, daerah ini umumnya dibatasi oleh daerah topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan, batas ini tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian.

2.2 Peta TopografiPeta topografi merupakan peta

yang memuat semua keterangan tentang sesuatu wilayah tertentu, dari peta yang dimiliki ditetapkan titik-titik tertinggi disekeliling sungai utama (mainstream) yang dimaksudkan. Dan masing-masing titik tersebut dihubungkan satu dengan yang lainnya sehingga membetuk garis utuh yang bertemu ujung pangkalnya, garis tersebut merupakan batas DAS dititk control tertentu.

2.3. Siklus HidrologiIlmu hidrologi, yakni ilmu yang

mempelajari sirkulasi air itu. Jadi dapat dikatakan, hidrologi adalah ilmu untuk mempelajari:

1. Presipitasi (precipitation)

2 |Jurnal Teknik Hidro

Page 3: Teknik Hidro Edisi1kn

2. Evaporasi dan transpirasi (evaporation)

3. Aliran permukaan (surface stream flow) dan

4. `Air Tanah (ground water)7/hal.1

Gambar 2.1 Sirkulasi Hidrologi

2.3.1. Jaringan Pengukuran HujanMasalah yang bersangkutan

dalam penetapan jaringan stasiun hujan pada dasarnya adalah bahwa kedalam hujan (rainfall depth) pada suatu titik tertentu dengan mudah dapat diperoleh, namun luasan berlakunya kedalaman hujan itu tidak dapat diketahui secara pasti, demikian pula perubahan sesuai dengan waktu dan ruang (temporial and spatial variability) karena hal ini sangat penting dalam menganalisis, mengingat pada umumnya perubahan akan menjadi kecil untuk besaran yang tinggi, dan perubahan itu makin keci pula untuk jangka waktu pengamatan yang lebih besar

Jaringan stasiun hujan (rainfall network) harus mencakup kerapatan jaringan serta kemungkinan perputaran data, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan penetapan jaringan pengamatan hujan primer dan jaringan pengamatan hujan sekunder. Jaringan primer dimaksudkan untuk dipasangan dalam jangka waktu lama dan diamati

secara teratur dan ditempat yang dipilih dengan saksama sedangkan jaringan sekunder dimaksudkan untuk lebih mendapatkan variasi ruang hujan. Jaringan ini dapat ditentukan pada beberapa tempat yang dipilih, dan yang selanjutnya apabila telah dapat ditetapkan hubungannya dengan jaringan primer satasiun ini dapat dipindahkan ke lokasi lain.5/hal.27

2.3.2. Pengukuran HujanHujan merupakan masukan

komponen penting dalam proses hidrologi karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialih ragamkan menjadi aliran sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface run off), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran tanah.

Untuk memperoleh besaran hujan maka diperlukan sejumlah stasiun hujan yang dipasang sedemikian rupa sehingga dapat mewakili besaran hujan di DAS tersebut.

Untuk kepentingan praktis pengukuran kedalam hujan banyak dilakukan selama 24 jam, dengan cara ini berarti kedalam hujan yang diketahui adalah kedalam hujan total yang terjadi selama satu hari, berapa lama dan kapan terjadinya hujan tidak diketahui.5/hal 47

2. 4. Penyiapan Data dan Pengolahannya

2.4.1. Penyiapan DataUntuk mengetahui pengaruh

panjang data curah hujan pada hitungan hujan rencana, maka terlebih dahulu penyiapan data harus dilakukan, adapun data yang perlu dipersiapkan adalah Peta DAS.

Pengolahan data berupa Peta DAS dimaksudkan untuk menghitung luasan areal DAS (catchman area) lokasi obyek studi, untuk menghitung besaran DAS dapat ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini sangat lazim digunakan, yaitu :

3 |Jurnal Teknik Hidro

Page 4: Teknik Hidro Edisi1kn

1. Rata-rata Aljabar2. Poligon Thiessen3. Isoyet.Lepas dari kelebihan dan kelemahan

ketiga metode yang dari tiap metode mana yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat dengan mempertimbangkan tiga faktor berikut :Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS, Luas DAS dan Topografi DAS1.

Jaringan- jaringan pos penakar hujanJumlah pos

penakar hujan cukup

Metode isoyet, Thiessen atau rata-rata aljabar dapat dipakai

Jumlah pos penakar hujan

terbatas

Thiessen atau rata-rata aljabar dapat dipakai

Pos penakar hujan tunggal

Metode Hujan titik

Sumber: Sistem Darainase Perkotaan yang bekelanjutan hal. 31

2. Luas DASDAS Besar ( > 5000 km2) Metode isoyetDAS Sedang (500 s/d 5000 km2)

Metode Thiessen

DAS Kecil ( < 500 km2) Metode rata-rata aljabar

Sumber: Sistem Darainase Perkotaan yang bekelanjutan hal. 31

3. Topografi DASPegunungan Metode rata-rata aljabarDataran Metode Thiessen Bukit dan tidak beraturan

Metode isoyet

Sumber: Sistem Darainase Perkotaan yang bekelanjutan hal. 32

2.6.1. Pengolahan DataMenurut Sri Harto (1993) Dalam

praktek analisis frekuensi dijumpai lima

cara penyiapan data, dua di antaranya dianggap kurang dapat dipertanggungjawabkan (Gambar 2.2).1. Data hujan DAS diperoleh dengan

menghitung hujan rata-rata (dengan cara terbaik yang diketahui) setiap hari sepanjang data yang tersedia. Bila tersedia data 20 tahun, berarti hitungan rata-rata diulang sebanyak 20 x 365 = 7300 kali. Cara ini yang terbaik, akan tetapi waktu penyiapan data yang cukup panjang (Garis I).

2. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menggantikan cara pertama dilakukan seperti berikut ini :

a. Dalam satu tahun tertentu, untuk stasiun I dicari hujan maksimum tahunannya. Selanjutnya, dicari hujan harian pada stasiun-stasiun lain pada hari kejadian yang sama dalam tahun yang sama, dan kemudian dihitung hujan rata-rata DAS. Masih dalam tahun yang sama, dicari hujan maksimum tahunan untuk setasiun II. Untuk hari kejadian yang sama, hujan harian untuk setasiun-setasiun lain dicari dan dirata-ratakan. Demikian selanjutnya sehingga dalam tahun itu akan terdapat N buah data hujan rata-rata DAS.

b. Untuk tahun berikutnya cara yang sama dilakukan sampai seluruh data yang tersedia.

Dengan cara ini, bila tersedia T tahun data dan dalam DAS terdapat N buah setasiun hujan, maka setiap tahun akan terdapat N data hujan rata-rata DAS, dan seluruhnya terdapat T x N data. Hujan rata-rata yang diperoleh dengan cara ini dianggap sama (mendekati) hujan-hujan terbesar yang terjadi. Oleh sebab itu, hujan maksimum tahunan DAS tersebut sama dengan hujan maksimum yang diperoleh dengan hitungan di atas setiap tahun. Cara ini ternyata

4 |Jurnal Teknik Hidro

Page 5: Teknik Hidro Edisi1kn

memberikan hasil yang sangat dekat dengan cara yang dianjurkan dalam butir 1 (Garis II).

3. Cara kedua dengan menggunakan data pada salah satu setasiun (data maksimum) dan mengalikan data tersebut dengan koefisien reduksi. Hitungan ini berarti juga harus dilakukan dan diulang seperti cara yang disebutkan dalam butir I di atas (Garis III).

4. Cara penyiapan data lain adalah dengan mencari hujan-hujan maksimum harian setiap setasiun dalam satu tahun, kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan hujan DAS. Cara ini tidak dapat dijelaskan arti fisiknya, karena perata-rataan hujan dilakukan atas hujan masing-masing setasiun yang terjadi pada hari-hari yang berbeda. Hasilnya menyimpang sangat besar dibandingkan dengan cara pada butir 1, seperti terlihat dalam garis IV. (Cara ini sebaiknya tidak digunakan.)

5. Cara lain juga dijumpai, yaitu dengan analisis frekuensi data hujan setiap setasiun sepanjang data yang tersedia. Hasil analisis frekuensi tersebut selanjutnya dirata-ratakan sebagai hujan rata-rata DAS. Cara ini pun tidak dapat dijelaskan arti fisiknya, (sebaiknya tidak digunakan).

Dalam kaitan penyiapan data diatas hanya cara yang dibutukan dalam butir 1 dan 2 saja yang dianjurkan untuk digunakan. Apabila terpaksa, cara ketiga dapat digunakan dengan menggunakan faktor reduksi yang berlaku. Cara keempat dan kelima tidak dapat dianjurkan dalam pemakaian.5/hal 241

Gambar 2.2.Analisa Frekuensi dengan berbagai cara penyiapan data.

2. 5. Analisa Hidrologi2.5.1. Analisa Distribusi Curah Hujan

WilayahCurah hujan ini harus diperkirakan

dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Untuk mengetahui luas areal hujan setiap stasiun curah hujan digunakan metode Poligon Thiessen dengan rumus:

Rt =A1 xR1 + A2 xR2 + A3 xR3 + . . .. .. . .. .. .. . .. An . Rn

A1+A2+A3 …...................(2.1)

Dimana:- R1, R2, Rn. adalah curah hujan yang

tercatat di pos penakar hujan 1, 2,.., n- A1, A2, ......... An adalah luas areal

poligon 1, 2 …….n.- n adalah banyaknya pos penakar hujan

Gambar 2.3. Met, Poligon Thiessen

2.5.2. .Analisa Frekwensi Curah Hujan RencanaAnalisa frekwensi adalah analisa

berulangnya suatu peristiwa baik jumlah frekwensi persatuan waktu maupun periode ulangnya (return periode). Teori-teori yang mengemukakan persamaan distribusi curah hujan rencana dalam perencanaan teknis diantaranya distribusi

5 |Jurnal Teknik Hidro

Page 6: Teknik Hidro Edisi1kn

normal, Log normal, Gumbel, Log Pearson III dan lain lain.

Untuk mencari nilai ektrim yang mendekati kebenaran pada kesimpulan yang dibuat dari analisa hidrologi dari beberapa teori yang tersebut di atas, maka akan dipilih jenis distribusi dengan cara analisis parameter statistik, setelah diperoleh kemudian diuji kesesuaian distribusinya.2.5.3. Analisis Parameter Statistik

Prosedur Perhitungan Parameter statistik sebagai berikut:- Urutkan data dari besar ke kecil- Tentukan semua nilai variat X- Hitung harga rata-rata curah hujan

Maksimum (X)

Pemilihan distribusi tergantung pada kriteria yang ditunjukan pada table 2.1.Tabel 2.1. Kesimpulan memilih jenis

distribusi.

Jenis Sebaran Syarat

NormalCs = 0.00Ck = 3.00

Log NormalCs = 3 x CvCk > 0

GumbelCs = 1.1396Ck = 4.4002

Log Pearson IIITidak memenuhi sifat-sifat seperti pada ketiga distribusi

Bila tidak memenuhi yang dijelaskan pada tabel 2.1 diatas maka dapat digunakan distribusi Log Pearson III2.5.4. Uji Chi Kuadrat untuk data

berpasanganUji Chi Kuadrat untuk data

berpasangan adalah menguji kecocokan antara data pengukuran dan hipotesis, uji ini penting untuk menentukan apakah distribusi frekuensi hasil pengukuran berbeda secara nyata dengan frekuensi yang diharapkan menurut hipotesis. 2.6. Analisa Log Pearson Type III

Distribusi Log Pearson Type III banyak digunakan dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrim. Bentuk distribusi Log Pearson Type III merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson Type III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik.2.7. Distribusi Gumbel

Distribusi Tipe I Gumbel atau disebut juga dengan distribusi ekstrem tipe I (extreme type I distribution) umumnya digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir. 3. METODOLOGI PENELITIAN3.1. Lokasi Studi

Lokasi studi adalah daerah pengaliran sungai (DPS) Jeneberang terletak di kabupaten Gowa Sulawesi-Selatan yang berhulu di gunung Bawakaraeng dan bermuara di Selat Makassar di kelurahan Tanjung Merdeka.3.2. Topografi Daerah Aliran Sungai

(DAS)3.2.1.Kondisi Daerah Pengaliran Sungai

Keadaan daerah pengaliran dibagian hulu sebagian masih tertutup oleh hutan dan areal persawahan, kondisi tebing-tebing pada alur yang dalam sering longsor terutama Daerah Lengkese, Majannang, Parigi dan kearah hulu Sungai Jeneberang.

Bentuk sungai pada umumnya berbentuk V (didaerah pegunungan) dan cenderung melebar pada aliran sungai di daerah yang relatif datar dan umumnya keadaan topografi DAS Jeneberang sangat bervariasi dimulai dari topografi datar, berbukit-bukit hingga bergunung-gunung pembagian daerah dan elevasi 0 s/d 2871 M dpl

3.2.1. DAS (Daerah Aliran Sungai)

6 |Jurnal Teknik Hidro

Page 7: Teknik Hidro Edisi1kn

Keadaan profil Sungai Jeneberang yang tidak seragam di sepanjang ruas sungai hal ini menyebabkan kapasitas pengaliran yang tidak sama di beberapa tempat, namun berdasarkan laporan study kelayakan tahun 1980, kapasitas aliran sungai sekitar 1500 m3 / detik.

3.3. Curah HujanDaerah Aliran Sungai (DAS)

Jeneberang dan sekitarnya terdapat banyak stasiun penakar curah hujan, dalam pengumpulan data dari beberapa stasiun penakar curah hujan yang ada dalam DAS terdapat 10 stasiun yang memiliki data pencatatan curah hujan yang berfariasi tahun pencatatannya, diantaranya stasiun Malino, Mangempang, Senre, Tamalayang, Bunga Baji, Tanralili, Tete Batu, Maccini Baji, Barembeng, dan Kampili. Batas data yang ada dan tercatat secara terus menerus berfariasi hingga tahun 2007 dan letak pos-pos curah curah hujan dilihat pada tabel 3.2

Untuk melakukan pengujian ini dipilih 3 stasiun yang memiliki standar tahun pencatatan, masing-masing adalah :1. Sta pengamat curah hujan Malino2. Sta pengamat curah hujan Senre3. Sta pengamat crh hujan Tanralili

Tabel 3.2. Data Stasiun Curah Hujan pada DPS Jeneberang.

No Nama Stasiun

THN. Pengamatan

Ket

1 MALINO 1977 - 2006 Manual

2 SENRE 1975 - 2007 Manual

3 TANRALILI 1997 - 2007 Manual

3.4. Metode AnalisisDalam penelitian ini, analisa yang

digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata maksimum adalah rumus polygon thiessen, dan untuk mengitung curah hujan rencana digunakan rumus Log Pearson III, dan uji kesesuaian distribusi digunakan uji statistik, dengan pengelompokan

pembahasan dibagi beberapa kelompok, sebagai berikut:1. Kelompok pertama, pengumpulan data

berupa data curah hujan dan data peta topografi.

2. Kelompok kedua, perhitungan curah hujan rata-rata areal dengan menggunakan rumus rata-rata polygon thiessen.

3. Kelompok ketiga, perhitungan curah hujan rencana dengan menggunakan metode terpilih.

4. Kelompok keempat Menguji kesesuaian distribusi dengan menggunakan Uji Statistik.

5. Kelompok kelima, Menghitung curah hujan rencana untuk berbagai serial (panjang data) dengan metode terpilih.

6. Kelompok keenam, membuat grafik hubungan antara jumlah data dengan Curah hujan rencana dilanjutkan dengan analisis trend grafik.

7. Menyusun kesimpulan untuk hasil akhir.

4. PEMBAHASAN MASALAH4.1. Curah Hujan

4.1.1. Distribusi Curah Hujan Wilayah1. Metode Poligon Thiessen

Rt =A1 x R1 + A2 R2 + A3 R3 + . .. .. .. . .. .. . .. . AnRn

A1+A+2+A3

Diketahui : Luas Total Das= 569 KM2

Luas Pengaruh sta. Malino= 382 KM2

Luas Pengaruh Sta. Senre = 15 KM2

Luas pengaruh Sta. Kampili=172 KM2

Rt =(382 x 181) + (15 x 80) + (172 x 70 )382+15+172

=(382 x 181) + (15 x 80) + (172 x 70 )382+15+172

= 69142 + 1200 + 1204569

= 144 . 804 mm

7 |Jurnal Teknik Hidro

Page 8: Teknik Hidro Edisi1kn

Tabel 4 - 1. Curah Hujan Maksimum yang Terjadi Pada Kisaran Hari yang Sama

Sumber : Hasil Perhitungan

4.1.2. Curah Hujan RencanaUntuk perhitungan curah hujan

rencana dengan frekuensi periode perulangan (return period) R2, R5, R10, R25, R50, R100, R200, R100 tahun digunakan metode metode yang lazim digunakan yaitu Metode Gumbel, Log Pearson Tipe III dan Log Normal namun sebelum menggunakan metode-metode tersebut sebelumnya harus dilakukan uji kesesuaian distribusi. Dalam perhitungan curah hujan maksimum rencana digunakan 3 (tiga) stasiun pencatat curah hujan harian, dengan periode pencatatan 31

tahun. Di mana data–data pada perhitungan curah hujan maksimum rencana berikut ini, sudah dianggap cukup dan memberikan angka-angka probabilitas yang diandalkan.

4.2. Uji Kesesuaian DistribusiData Hidrologi yang dipakai untuk

mengestimasi curah hujan rancangan ataupun debit andalan dengan menggunakan analisa frekuensi belum tentu sesuai dengan distribusi yang dipilih, untuk itu perlu dilakukan uji kesesuaian.

a. Uji Parameter StatistikDari table 4.1 curah hujan rata-rata

maksimum DPS Jeneberang yang diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil kemudian dihitung dengan menggunakan parameter statistic sebagai berikut (Tabel 4-2) :

Dari rangkaian data yang sudah diurut dari urutan yang terbesar sampai yang terkecil, maka rumus yang digunakan dalam perhitungan selanjutnya adalah sebagai berikut:

Harga rata-rata (X)

=

1n∑i = 1

n

X i =1

31x 3269 .974 = 105 . 482

Standar Deviasi (S)

= √∑i−1

n (Xi − X )2

n − 1= 46740.174

31 -1=

39.472.Koef. Fariasi ( Cv)

= S

X__

= 39. 472105. 482

=

0.374Tabel: 4 - 2 Analisa Parameter

Statistik Curah Hujan Rata-rata Maksimum DaerahAliran Sungai (DAS) Jeneberang

No

Tahun

XiData Observasi

(mm) Xi - X (Xi - X)2 (Xi - X)3 (Xi - X)4

1 2 3 4 5 6 7

1 1976 242.964137.48

218901.32

62598593.91

0357260132.63

7

8 |Jurnal Teknik Hidro

No Tahun Curah Hujan Max1 2 3

1 1976 144.804 2 1977 127.607 1 2 3

23 1998 72.19 24 1999 94.73 25 2000 46.81

Page 9: Teknik Hidro Edisi1kn

2 1977 163.745 58.263 3394.540 197775.042 11522905.001

3 1978 154.022 48.539 2356.081 114362.964 5551119.007

4 1979 148.460 42.978 1847.123 79385.956 3411862.920

5 1980 144.804 39.322 1546.224 60800.718 2390809.317

6 1981 128.028 22.546 508.312 11460.305 258381.589

7 1982 127.918 22.436 503.352 11292.951 253363.030

8 1983 125.293 19.811 392.463 7774.949 154026.957

9 1984 124.985 19.503 380.379 7418.638 144687.901

10 1985 121.535 16.053 257.693 4136.698 66405.652

11 1986 113.378 7.896 62.349 492.322 3887.457

12 1987 111.955 6.472 41.892 271.141 1754.935

13 1988 103.547 -1.935 3.743 -7.243 14.013

14 1989 103.173 -2.309 5.333 -12.315 28.439

15 1990 100.559 -4.924 24.241 -119.350 587.619

16 1991 98.732 -6.750 45.564 -307.557 2076.035

17 1992 94.728-

10.754 115.659 -1243.858 13377.065

18 1993 93.336-

12.146 147.529 -1791.907 21764.770

19 1994 93.002-

12.481 155.766 -1944.054 24263.000

20 1995 92.625-

12.857 165.304 -2125.315 27325.262

21 1996 92.597-

12.885 166.028 -2139.292 27565.139

22 1997 89.794-

15.688 246.117 -3861.122 60573.791

23 1998 88.939-

16.543 273.678 -4527.511 74899.574

24 1999 84.300-

21.182 448.679 -9503.930 201312.594

25 2000 78.662-

26.820 719.318 -19292.180 517418.239

26 2001 70.504-

34.978 1223.491 -42795.808 1496930.514

27 2002 67.818-

37.664 1418.599 -53430.529 2012423.121

28 2003 60.754-

44.728 2000.569 -89480.862 4002274.536

29 2004 58.946-

46.537 2165.658-

100782.404 4690073.153

30 2005 47.523-

57.959 3359.254-

194699.236 11284586.821

31 2006 43.322-

62.160 3863.911-

240182.102 14929806.801

Jumlah3269.94

7  46740.17

42325519.02

0420406636.89

1

X Rata-rata 105.482        

Sumber : Hasil Perhitungan

Koefesien Kemencengan (Cs)

=

n(n−1 )⋅(n−2 )⋅S3

x ∑i−1

n

(X 1−X 3 )3

=

31

(31−1 )⋅(31−2 )⋅39 .4723x 2325519 .020

= 1.3474.Koef, Kurtosis (Ck)

=

1n

x ∑i−1

n

(X 1−X 3)4

S4=

=

131

x 420406636 .891

39 . 4724= 5.587

Berdasarkan perhitungan analis parameter statistik maka diperoleh data-data sebagai berikut:Rata-rata (X) = 105. 4829Jumlah Data (n) = 31.000Standar Deviasi (S) = 39.472Koef. Kepencengan(Cs) = 1.347Koef. Kortusis (Ck) = 5.587Koef. Variasi (Cv) = 0.374

Dengan melihat data tersebut maka dapat disimpulkan metode yang akan dilakukan untuk perhitungan curah hujan rencana selanjutnya.

Tabel 4 – 3. Kesimpulan pemilihan jenis Distribusi

Jenis Sebaran Syarat Hasil Perhitungan Kesimpulan

Normal Cs = 0.00   Cs = 1.347Tidak dipilih

  Ck = 3.00   Ck = 5.587    

Log Normal Cs = 3 x Cv Cs = 1.223  Tidak dipilih

    Ck > 0   Ck > 5.587    

Gumbel   Cs = 1.1396 Cs = 1.347  Tidak dipilih

    Ck = 4.4002 Ck = 5.587    

Log Pearson III Tidak memenuhi sifat-sifat seperti pada Dipilih    ketiga distribusi      

Sumber : Hasil perhitungan

b. Uji Smirnov Kolmogorof.Pengujian ini dilakukan dengan

membandingkan probabilitas tiap data, antara sebaran empitis dan sebaran teoritis yang dinyatakan dalam delta. Harga delta terbesar (Delta Maks) dibandingkan dengan delta kritis (dari table lampiran 2) dengan tingkat keyakinan tertentu. Distribusi dianggap sesuai jika delta max < delta kritis.

9 |Jurnal Teknik Hidro

Page 10: Teknik Hidro Edisi1kn

Hasil perhitungan diatas dari table lampiran 3 Maka diperoleh nilai sebagai berikut:o Dengan derajat kepercayaan 5 % atau

0.05 maka didapat cr = 0.354 atau 35.4 %

o Harga Delta hitung = 1.72 % atau 1.725. Dengan delta hitung (hit) Cr = 0.017 dan Delta Cr ( Cr) = 0.354 berarti hit < Cr, jadi Metode Log Pearson dapat digunakan.

C. Uji Chi – Kuadrat Uji ini didasakan pada perbedaan

nilai ordinat teoritis dan empiris dari masing-masing data. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesa tersebut benar sesuai dengan distribusi teoritis yang dipilih, sehingga dapat digunakan digunakan untuk proses perhitungan selanjutnya.

Harga Delta hitung = 1.72 % atau 0.0172. Dengan delta hitung (hit) Cr = 0.017 dan Delta Cr ( Cr) = 0.354 berarti hit < Cr, jadi Metode Log Pearson dapat digunakan.

4.3. Perhitungan Curah Hujan Rencana

Dengan Berbagai Serial DataBerdasarkan hasil pengujian

distribusi maka distribusi yang terpilih adalah distribusi Log Pearson Type III dan akan digunakan dalam menghitung curah hujan rencana dengan berbagai serial data. Dalam perhitungan selanjutnya serial data yang digunakan adalah 31 tahun, data tersebut akan dipenggal menjadi 6 bagian yaitu serial data 5 tahunan, serial data 10 tahunan, serial data 15 tahunan, serial data 20 tahunan, serial data 25 tahunan dan serial data 31 tahunan.

Penyelesaian :1. Standar deviasi

S=√ Σ (log Xi−log X )2

n−1 =√ 0.01675−1 = 0.0647

2. Koefesien Kemencengan

Cs =

Σ ( log Xi−log X )3

(n−1 )⋅(n−2 )⋅S3=

0 .00003520

(31−1 )⋅(31−2 )⋅0 , 1233= 0.0542

Dari tabel Distribusi Log Pearson III (lampiran 1) didapat nilai Cs negatif :

2 Tahun = -0.017 5 tahun = 0.8360 10 tahun = 1.2920 25 tahun = 1.6730 10 tahun = 1.2920 25 tahun = 1.6730

50 tahun = 2.0170100 tahun = 2.4000

Untuk hasil perhitungan curah hujan rencana selanjutnya dapat dilihat pada pada table 4 – 7a sampai table 49 berikut:

log Xt = log Xi + G x SlogXt =2.07772+ -0.0170 x 0.0647 Xt = 2.0766 Anti log Xt = 119.2945

Misalnya untuk R2 dengan panjang data curah hujan 5 tahun , maka:

n =

H31 − Hx

H31

x 100

Dimana : H31 = 2491.24 Hx = 768.297

=

2491 .24 − 768. 297768 .297

x 100

= 30.840

10 |Jurnal Teknik Hidro

Page 11: Teknik Hidro Edisi1kn

Tabel 4–6 Contoh Perhitungan Curah Hujan Rencana dengan menggunakan 5 tahun Serial Data. Untuk perhitungan metode Log Pearson Type III

No Kala P Xi Log Xi (log Xi - Log X)2

(log Xi - Log X)3  Ulang ( % ) ( mm)  

1 6.00 16.67 102.4

4 2.010

5 0.0

045 -0.0003044

2 3.00 33.33 103.1

7 2.013

6 0.0

041 -0.0002640

3 2.00 50.00 125.2

9 2.097

9 0.0

004 0.0000082

4 1.50 66.67 127.6

1 2.105

9 0.0

008 0.0000223

5 1.20 83.33 144.8

0 2.160

8 0.0

069 0.0005730

Jumlah 603.31 10.3886 0.0

167 0.00003520  Rata - rata ( log X) = 2.07772  Jumlah data ( n ) = 5

 Standar Deviasi ( S ) = 0.0647

  Koef. Kepencengan ( Cs ) = 0.0542 No. Kala Ulang     G log Xt Xt  (tahun)       (mm)

1   2   -0.0170 2.0766

119.2945

2   5   0.8360 2.1318

135.4576

3   10   1.2920 2.1613

144.9785

4   25   1.6730 2.1860

153.4446

5   50   2.0170 2.2082

161.5124

6   100   2.4000 2.2330

170.9949

Sumber : Kasil Perhitungan

0

10

20

30

40

50

60

0 5 10 15 20 25 30 35

Jumlah Data (Tahun)

Delt

a / P

en

yim

pan

gan

(%

)

R2

R5

R10

R25

R50

R100

Power (R2)

Power (R5)

Power (R10)

Power (R25)

Power (R50)

Power (R100)

R2

R5

R10

R25R50

R100

Gambar 3 – 4 . Grafik penyimpangan kedalaman hujan akibat panjang data

11 |Jurnal Teknik Hidro

Page 12: Teknik Hidro Edisi1kn

4.4. Perhitungan Penyimpangan Relatif

Setelah dilakukan perhitungan curah hujan rencana dengan menggunakan berbagai serial data curah hujan maka dilakukan perhitungan penyimpangan relative dengan cara sebagai berikut

Untuk menghitung curah hujan rencana ( Xt ), dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Dengan rumus yang sama maka perhitungan untuk masing-masing penyimpangan relative dapat di tentukan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada table 4 – 13.

Tabel 4 – 13 Persentase besarnya penyimpangan relatif yang diakibatkan pengaruh panjang data

No Panja

ng Data

Kala Ulang

R2 R5 R10 R25 R50 R100

1 5 30.840 52.6

64 53.8

38 55.2

99 56.6

00 27.

2 10 25.797 6.0

14 5.4

15 4.8

02 4.4

00 28.

3 15 17.547 5.6

69 5.1

04 4.5

27 4.1

48 16.

4 20 12.746 11.6

69 10.5

06 9.3

18 8.5

37 13.

5 25 8.649 15.9

42 16.7

61 17.4

42 17.6

67 8.

6 31 4.422 8.0

41 8.3

75 8.6

12 8.6

49 4.

Sumber : Hasil Perhitungan

Setelah dilakukan perhitungan penyimpangan relative maka dilakukan pengujian dengan menggunakan trend grafik sehingga hasil yang didapatkan adalah sebagaimana ditunjukan pada gambar 4-3.

Dari hasil perhitungan diatas maka dapat dilakukan analisa sebagai berikut:1. Semakin panjang serial data

curah hujan yang digunakan untuk mengitung curah hujan rencana maka akan semakin kecil penyimpangan yang terjadi tiap kala ulang R2, R5, R10, R25, R50, R100.

2. Penyimpangan relative paling besar terjadi saat perhitungan curah hujan dengan kala ulang R50 dengan menggunakan panjang data 5 tahun.

3. Penggunaan serial data 31 tahun menunjukkan penyimpangan yang relative kecil pata tiap kala ulang R2, R5, R10, R25, R50, R100.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin panjang data yang digunakan maka akan semakin kecil penyimpangan relative yang terjadi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan

Dari hasil perhitungan diatas ditemukan penyimpangan relative pada tiap kala ulang sebagai berikut:1. Untuk kala ulang R2

penyimpangan relative terjadi paling besar adalah pada saat menghitung curah hujan rencana dengan menggunakan data sebanyak 5 tahun, yaitu sebesar 30.840 %, sedangkan ketika menghitung curah hujan rencana dengan menggunakan yang lebih panjang, penyimpangan terlihat relative bertabah kecil sehingga ketika menggunakan serial data yang lebih panjang (31 tahun) maka penyimpangan terjadi sebesar 4.422 %

2. Fenomena seperti yang terjadi pada perhitungan curah hujan rencana pada kala ulang R2 diatas terjadi juga pada perhitungan curarah hujan rencara pada kala ulang yang lain R5 penyimpangan tertinggi adalah 52.644% dan penyimpangan terendah adalah 8.041% , R10 penyimpangan tertinggi adalah 53.838% dan penyimpangan terendah adalah 8.375%, R25 penyimpangan tertinggi adalah 55.299% dan

12 |Jurnal Teknik Hidro

Page 13: Teknik Hidro Edisi1kn

penyimpangan terendah adalah 8.612%, R50 penyimpangan tertinggi adalah 56.600% dan penyimpangan terendah adalah 8.649%, R100 penyimpangan tertinggi adalah 27.903% dan penyimpangan terendah adalah 4.162%

3. Pada semua perhitungan curah hujan rencana pada kala ulang R2, R5, R10, R25, R50, R100

persentase penyimpangan relative semakin mendekati titik 0 pada jumlah data 31 tahun hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang data yang digunakan untuk menghitung curah hujan rencana maka akan semakin baik hasil perhitungan yang diperoleh. Adapun penyimpangan relative yang dihasilkan pada tiap kala ulang (R2, R5, R10, R25, R50, R100) dengan menggunakan serial data 31 tahun adalah : R2 = 4.422, R5

= 8.041, R10 = 8.375, R25 = 8.612, R50 = 8.619, R100 = 4.162.

5.2. Saran1. Diharapkan untuk

menghasilkan perhitungan curah hujan yang memberikan suatu perbedaan penyimpangan yang kecil antara beberapa periode kala ulang maka sebaiknya menggunakan serial data curah hujan yang panjang.

2. Diharapkan dalam menghitung curah hujan rencana dianjurkan untuk tidak menggunakan data kurang dari 10 tahun untuk periode ulang R5, R10, R25, R50, R100

DAFTAR PUSTAKA

E.M. Wilson 1993, Hidrolika Teknik, ITB Bandung

Iman Sunarkah, 1980, Hidrologi untuk Bangunan Air, Idea Dharma, Bandung

Joyce Marta W. Ir, Wanny Adidarma, Ir Dipl.H. 1982, Mengenal Dasar-dasar Hidrologi, Nova, Bandung.

Ray K. Linsley, JR., Max A. Kohler, Joseph L. H. Paulhus, Yandi Hermawan 1996, Hisdrologi untuk Insinyur, Erlangga Jakarta

Soewarno 1995, Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid I, Nova Bandung.

Soewarno 1995, Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 2, Nova Bandung.

13 |Jurnal Teknik Hidro

Page 14: Teknik Hidro Edisi1kn

Sriharto. BR, 1993, Analisa hidrologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Suyono Sudarsono,1976, Hidrologi Untuk Pengairan, PT. Pradya Paramitha, Jakarta

Suripin 2003, Sistim Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, ANDI Yokyakarta

Pengaruh Bentuk Pilar Jembatan Terhadap Potensi GerusanOleh : Muhammad Yunus Ali

ABSTRAK

Sebagai sarana transportasi yang sangat penting, faktor keamanan jembatan harus diperhatikan. Salah satu penyebab runtuhnya jembatan adalah berkurangnya daya dukung pondasi pada pilar jembatan yang mengalami penggerusan.

Pembangunan jembatan dengan adanya pilar-pilar dan tembok pangkal jembatan yang dipasang melintasi sungai pada kenyataannya mempengaruhi karakteristik aliran disekitar pilar dan pangkal jembatan sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya penggerusan disekitar pilar jembatan maupun pada tembok pangkal jembatan. Gerusan yang terjadi merupakan akibat dari adanya sistem pusaran disekitar pilar jembatan.Sistem pusaran yang terjadi berbeda-beda tergantung dari bentuk pilar jembatan, sehingga kedalaman gerusan dan pola gerusan yang terjadi akan berbeda.

Dalam penelitian ini parameter yang diukur adalah debit, kecepatan aliran, kedalaman aliran dan kedalaman gerusan. Penelitian inii menggunakan debit Q1 dan Q2

dengan lama pengaliran masing-masing T1 dan T2. Pengukuran kecepatan aliran dan kedalaman aliran dilakukan setelah debit pada pintu segitiga konstant. Setelah pengaliran berlangsung dalam selang waktu yang telah ditentukan, pengaliran dihentikan lalu dlakukan pengukuran topografi dasar saluran untuk mengetahui kedalaman gerusan yang terjadi disekitar pilar jembatan.

Dari persamaan Breusers, Elliot dan Lacey dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan Elliot dkk, lebih mendekati dengan menggunakan pilar ujung segi empat, pilar ujung bulat dan pilar ujung segitiga. Hasil percobaan dan hasil

14 |Jurnal Teknik Hidro

Page 15: Teknik Hidro Edisi1kn

hitungan dengan menggunakan rumus empiris memperlihatkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan percobaan ini menggunakan saluran tanah.

Influence of Bridge’s Pillars Shape To Scouring PotencyBy : Muhammad Yunus Ali

ABSTRACT

Bridge as one of the transportation facility, should be ensured to have sufficient safety factor.Collapse of bridges may be caused by foundation strength degradationdue to scouring at pillars.

Construction of pillars and abutments croos a river would influence flow characteristics a round the pillars ang abutments.This would cause scouring as the consequence of whirl poll system a round the pillars and abutments. The type, of whirl pool system depends on the pillars shapes, so the depth and pattern of scoring would be different.

In this research following parameters were measured namely discharge,flow velocity, depth of flow and the depht scouring. The research used discharge Q1 and Q2

with length of the flow are T1 and T2 each. The flow velocity and the depth of flow were measured after the discharge at the triangle gate was constant. After the prescribed flow duration, the flow was stopped and the depth of scoring was measured.

From equation of Breusers, Elliot and Lacey with the result of research hidicated that the equation of Elliot and friends, was more approach by using ends of square pillar, round and triangle end of pillars. The results of experiment and the results calculation by busing the empirical formula showed the results not so far differ with this experiment by busing land ground channel.

1.PENDAHULUANSeiring dengan perkembangan

peradaban manusia, transportasi sungai tidak saja melalui arus sungai hilir mudik, tetapi juga melintas sungai dari tebing satu ke tebing yang lainnya. Kalau pada jaman dahulu penyeberangan sungai itu menggunakan rakit, perahu atau kapal, tetapii dengan perkembangan ilmu dan teknologi dapat menggunakan jembatan sebagai salah satu fasilitas transportasi. Sekarang ini, transportasi persilangan sungai menggunakan fasilitas jembatan yang merupakan suatu standar yang berfungsi memberikan fasilitas lalu lintas bagi pejalan kaki, kendaraan bermotor dan kereta api. Sebagai sarana transportasi yang sangat penting, maka keamanan jembatan harus diperhatikan. Salah satu penyebab runtuhnya jembatan adalah akibat berkurangnya daya dukung fondasi pada

pilar jembatan yang mengalamii penggerusan.

Sungai-sungai di Indonesia terutama di daerah hulu, sangat sensitif terhadap terjadinya degradasi. Selain itu akibat kehadiran pilar-pilar jembatan di dalam tubuh sungai akan mempengaruhi pola aliran, sehingga terjadi kontraksi aliran pada bagian penampang dan peningkatan turbulensi aliran di sekitar pilar.

Dalam bidang Teknik Sipil digunakan metode eksperimental untuk mengkaji berbagai macam fenomena, baik fenomena fisik saluran, fenomena pengaliran maupun fenomena akibat adanya bangunan pilar di saluran. Dengan metode eksperimental tersebut beberapa akibat yang akan terjadi dapat dianalisa dengan baik, yang ditunjang dengan hasil pengamatan dan kajian secara fisik yang akan di kembangkan berdasarkan metode analsis.

15 |Jurnal Teknik Hidro

Page 16: Teknik Hidro Edisi1kn

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian terhadap saluran terbuka dari tanah yang diatasnya dibangun pilar, melalui kajian tes model fisik di laboratorium. Dalam teknik sungai yang penting adalah pengaruh pengaliran yang dapat berakibat buruk karena dibangunnya suatu bangunan silangan pada sungai berupa jembatan dan cara menanggulanginya. Akibat buruk tersebut terutama terjadinya penggerusan (scouring) di sekeliling tiang jembatan dan tembok pangkal jembatan.

Penggerusan (Scouring) adalah adanya sistem pusaran (Vortex system) yang terjadi di sekitar jembatan atau pada pangkal jembatan.

Pengaruh penggerusan itu akan membawa butiran-butiran tanah ke arah hilir. Apabila penggerusan mencapai pondasi, daya dukung tanah pondasi semakin berkurang, tiang jembatan maupun pangkal jembatan akan turun dan akan mengakibatkan jembatan ambruk. Oleh karena itu bahaya penggerusan bagi terancamnya tiang dan pangkal jembatan harus diperhitungkan.

Gerusan yang terjadi disekitar pilar jembatan merupakan akibat dari adanya sistem pusaran (vortex system) yang terjadi disekitar pilar. Sistem-sistem pusaran ini merupakan mekanisme dasar dari penggerusan setempat. Ada beberapa pendapat yang dikemukan oleh para ahli antara lain : Roper, Schneider dan Shen (1967) mengemukakan bahwa sistem ini tergantung pada bentuk pilar dan aliran bebas. Struktur-struktur pusaran air terdiri dari sebagian atau seluruhnya dari tiga sistem dasar, yaitu :a. Sistem pusaran sepatu kuda

(Horseshoe-Vortex Sistem).b. Sistem pusaran baling-baling (Wake-

Vortex sistem).c. Sistem pusaran menggulung

(Trailin-Vortex Sistem). Posey (1949), Moore dan Masch (1963) menyelidiki sistem pusaran

baling-baling. Dimana lubang-lubang penggerusan yang besar mungkin dihasilkan dihilir pilar waktu sistem pusaran sepatu kuda tidak terbentuk atau pada percobaan yang tidak terkontrol secara memadai. Sistem pusaran baling-baling berlaku seolah-olah seperti sebuah “Vacuum cleaner” dalam memindahkan material-material pada lapisan dasar yang kemudian dibawa ke hilir oleh pusaran-pusaran air yang mengalir dari pilar. Shen Schneider dan Karaki (1966) setelah percobaannya menyimpulkan bahwa untuk pilar berujung tajam tidak terjadi sistem pusaran sepatu kuda yang kuat melainkan terjadi sistem baling-baling yang menghasilkan lubang-lubang penggerusan yang luas dan berkembang ke arah hilir. Melville (1975) berpendapat bahwa pusaran sepatu kuda mulanya kecil dan lemah kemudian pusaran itu bertambah besar baik ukuran maupun kekuatannya sewaktu aliran ekstra mencapai komponen kecepatan aliran vertical ke bawah. Sehingga kekuatan aliran ke bawah akan meningkat dan terbentuklah lubang penggerusan. Aliran ke bawah itu berlaku seperti pancaran air vertikal yang menggerus dasar saluran. Setelah lubang penggerusan terbentuk diagram tegangan geser dan intesitas turbulensinya pada lapisan dasar dari lubang penggerusan tetap sama selama perkembangan selanjutnya membentuk ruang penggerusan. Besarnya berkurang sewaktu kedalaman lubang bertambah, jadi tingkat penggerusan berkurang. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penggerusana. Sifat-sifat fluida : percepatan gravitasi

(g), kerapatan fluida (ρ), kekentalan kinematik (v).

b. Sifat-sifat aliran: kecepatan rata-rata (ū), kedalaman aliran mula-mula (do), kekasaran saluran (k).

c. Sifat-sifat dasar saluran: kerapatan sedimen (ρs), kohesitas bahan,distribusi butir. bentuk butir.

16 |Jurnal Teknik Hidro

Page 17: Teknik Hidro Edisi1kn

d. Sifat-sifat pilar jembatan: bentuk pilar, dimensi pilar, kondisi permukaan pilar.

Jumlah parameter-parameter ini sangat banyak dan sulit untuk disatukan misalnya : distribusi butir, bentuk butir, dan kohesivitas bahan-bahan dasar saluran. Sehingga dalamnya penggerusan (ds) bergantung pada. ds = f ( ρ, v, g, D, ρs, do, ū, b, sf, α )….

(1)

2.METODOLOGI PENELITIAN2.1.Definisi Operasional

Sesuai dengan ruang lingkup permasalahan, bentuk pilar jembatan terhadap potensi terjadinya gerusan, maka parameter-parameter yang diukur adalah: Kecepatan (V), Debit (Q) dan Kedalaman aliran (d)

Sedangkan variabel lain yang dipakai sebagai variabel terikat yakni lebar saluran 0,50 meter, viskositas kinematis berdasarkan dengan suhu ruangan, nilai n Manning untuk saluran tanah 0.025, serta kemiringan saluran diasumsikan adalah konstan.

Spesifikasi model pilar-pilar jembatan pada prototype dengan lebar sampai rata-rata 100.00 meter adalah:

a. Pilar persegi panjang :- Lebar : 2.00 meter

- Panjang : 12.00 meter

- Tinggi : 20.00 meter

b. Pilar persegi yang ujungnya setengah bulat. :

- Lebar : 2.00 meter - Panjang : 12.00 meter - Panjang sblm ujungnya bulat :

8.00 meter - Tinggi : 20.00 meter

c. Pilar persegi yang ujungnya segitiga

- Lebar : 2.00 meter

- Panjang : 12.00 meter

- Panjang sblm ujung segitiga : 8.00 meter

- Tinggi : 20.00 meter

Bentuk sesungguhnya dari bangunan yang diselidiki di sebut prototype, dengan model biasa lebih besar, sama besar atau yang biasa dilakukan adalah lebih kecil dari prototype.

Hubungan antara model dan prototype dipengaruhi oleh hukum-hukum sifat sebangun hidrolis. Sifat sebangun ini memperhatikan beberapa aspek, yaitu sebangun geometric, sebangun kinematik, dan sebangun dinamik. Perbandingan antara prototype dan model disebut skala model.

- Skala panjang ( nι )

nι =

LpLm =

PanjangPanjang

padapada

prototypemod el

- Skala luas (nA)

nA =

A p

Am = (Panjangxlebar )p

(Panjangxlebar )m = nL2

- Skala tinggi (nh)

nh=

hp

h m =

TinggiTinggi

padapada

propotypemod el

-Skala volume (nV)

nV =

V P

V m =

VolumeVolume

propotypemod el = nL

3

Tabel 1. Skala Besaran-Besaran

No. Besaran Notasi Rumus Skala

Untuk nι = 100, nL=100,

17 |Jurnal Teknik Hidro

Page 18: Teknik Hidro Edisi1kn

Nh = n

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Kecepatan Aliran

Debit

Waktu Aliran

Volume

Kekasaran

Diameter Pasir

Gaya

Energi

Percepatan

V

Cs

t

V

k

d

G

E

g

nV = nh1/2

nQ = nL2.

nh: nt

nt = nh

nV = nL . nh

nk = 1

nd = 1

nG = nh3

nE = 1

ng = 1

nV = 7. 071

nQ = 10.000

nt = 7. 071

nV = 10. 000

nk = 1

nd = 1

nG = 125. 000

nE = 1

ng = 1

2.2.Material

Bahan material yang digunakan adalah pasir yang berasal dari sungai, yang telah di saring dengan porsentase gradasi butiran d50 = 0.42 mm, d90 = 0.84mm. Adapun jumlah pasir yang di gunakan 1.5 m3

2.3.Prosedur Penelitian

Aliran pada suatu saluran yang diberi halangan pilar akan mengalami

perubahan aliran, sehingga menyebabkan pusaran-pusaran air dalam skala besar atau sistem pusaran yang terjadi di sekitar pilar jembatan. Sistem-sistem pusaran ini merupakan mekanisme dasar dari penggerusan setempat.

Keseimbangan penggerusan terjadi bila kedalaman penggerusan di depan pilar besarnya tetap, karena aliran vertikal ke bawah tidak mampu lagi mengangkut butir-butir material dasar saluran.

3.ANALISIS DAN PEMBAHASAN3.1.Debit Aliran

Pengukuran besarnya debit dalam penelitian ini di lakukan dengan menggunakan pintu Thomson (peluap segitiga). Hasil pengukuran tinggi muka air (H) di atas mercu segitiga ditransformasikan pada perhitungan debit Q dengan menggunakan persamaan : Q = 1.42 H5/2

Tabel 2.Debit aliran

No.Tinggi air diatas Puncak Segi Tiga

H (m)

Debit Aliran (Q)M3/dt m

1.2.

0.1650.170

0.01570.0169

15.7 x 1016.9 x 10

3.2.Perhitungan Bilangan Froude

Jenis aliran yang terjadi dalam proses pengaliran dalam flume dapat dijabarkan berdasarkan bilangan froude sebagai berikut :

F =

V

√gH

3.3.Perhitungan Koefisien Tahanan Aliran

Koefisien tahanan aliran di refleksikan dengan koefisien Chezy. Koefisien ini menggambarkan tingkat kekasaran dari saluuran. Perhitungan koefisien Chezy ini di lakukan dengan menggunakn formula Van Rjn dan Strickler.Perhitungan dengan formula Van Rijn

C1 = 18 log (12 h

ks )Di mana ks : 3 . d90 (untuk dasar saluran pasir)Perhitungan dengan formula Strickler

C2 = 25 ( R

ks )1/6

Di gunakan Chezy rata-rata dari formula di atas

3.4.Perhitungan Tegangan Geser Dasar dan Tegangan Geser kritis

Perhitungan geser dasar (τ b) dan tegangan geser kritis (τ c) dengan menggunakan formula Van Rijn di

peroleh seperti yang di sajikan pada beberapa tahapan perhitungan di urutkan seperti di bawah ini :

τ b = ρg . u

−2

/C2

18 |Jurnal Teknik Hidro

Page 19: Teknik Hidro Edisi1kn

τ c = θ cr (ρs-ρ) . g .d50

di mana : θcr = 0,14 (D*)-0,64

D* = [ (5−1 )g

V 2 ]1/2

d50

Pengukuran suhu air pada percobaan menunjukkan suhu 28.5 0C dengan viskasitas kinematik 0.995 x 10 –

6 m2/dt. Perhitungan tegangan geser

dasar (τ b ) dan tegangan geser kritis (

τ c

) berdasarkan data pada saluran menunjukkan hasil bahwa tegangan geser dasar saluran lebih besar dari pada

tegangan geser kritisnya (τ b >

τ c ), hal ini menunjukkan bahwa terjadi angkutan sedimen. Perhitungan tegangan geser dasar dan tegangan geser kritis dapat di lihat pada tabel 9, 10 dan 11.

19 |Jurnal Teknik Hidro

Page 20: Teknik Hidro Edisi1kn

Dalam penelitian ini kondisi aliran dalam keadaan subkritis yaitu

bilangan froude Fr < 1untuk Debit Q1 dan Q2 dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 3 Hasil Perhitungan Bilangan Froude Untuk Pilar Segi Empat

Tunggal

NoDebit (Q)

Kecepatan (V) (m/dt)

Kedalaman (H)(m)

Lebar Sal (b)

Luas (A)(m2)

Fr

m3/dt V1 V2 H1 H2 m A1 A2 -1.

2.

15.7x10-3

16.9x10-3

0.3488

0.3085

0.3045

0.3252

9x10-2

11x10-2

8.6x10-2

10.4x10-2

0.5

0.5

0.045

0.055

0.043

0.052

0.3516

0.3093

Tabel 4 Hasil Perhitungan Bilangan Froude untuk Pilar Ujung Bulat

Tunggal

NoDebit (Q)

Kecepatan (V) (m/dt)

Kedalaman (H)(m)

Lebar Sal (b)

Luas (A)(m2)

Fr

m3/dt V1 V2 H1 H2 m A1 A2 -

1.2.

15.7x10-3

16.9x10-3

0.27490.2818

0.2994

0.2940

11.5x10-2

12x10-2

10.8x10-2

11.5x10-20.50.5

0.05750.06

0.0540.0575

0.27460.2682

Tabel 5 Hasil Perhitungan Bilangan Froude untuk Pilar Ujung Segitiga

Tunggal

NoDebit (Q)

Kecepatan (V) (m/dt)

Kedalaman (H)(m)

Lebar Sal (b)

Luas (A)(m2)

Fr

m3/dt V1 V2 H1 H2 M A1 A2 -

1.2.

15.7x10-3

16.9x10-30.26190.2705

0.28090.2889

12,0x10-2

12.5x10-611.2x10-2

11.7x10-20.50.5

0.060.0625

0.0560.0585

0.25440.2567

Tabel 6 Hasil Perhitungan Koefisien Chezy Pilar Segi Empat Tanggul

No.Q

m3/dthm

D90

MRm

C1

m1/2/dtC2

m1/2/dtC

m1/2/dt1.2.

15.7x10-3

16.9x10-38.8x10-2

10.7x10-20.84x10-3

0.84x10-30.06490.0749

47.2048.73

42.9644.00

45.0846.37

Tabel 7 Hasil Perhitungan Koefisien Chezy Pilar Ujung Bulat Tanggul

No.Q

m3/dthm

D90

MRm

C1

m1/2/dtC2

m1/2/dtC

m1/2/dt1.2.

15.7x10-3

16.9x10-311.15x10-2

11.75x10-20.84x10-3

0.84x10-30.07710.0799

49.2949.46

44.2144.48

46.7546.97

Tabel 8 Hasl Perhitungan Koefisien Chezy Pilar Ujung Segi Tiga Tanggul

Jurnal Teknik Hidro 20

Page 21: Teknik Hidro Edisi1kn

No.Q

m3/dthm

D90

MRm

C1

m1/2/dtC2

m1/2/dtC

m1/2/dt1.2.

15.7x10-3

16.9x10-311.6x10-2

12.1x10-20.84x10-3

0.84x10-30.07920.0815

49.3649.69

44.2144.62

46.7947.16

Tabel 9 Perhitungan Tegangan geser dasar τb dan Tegangan geser kritis τc untuk Pilar Persegi empat Tunggal

T (jam)

ū (m/s)

h (m) R−

(m)C−

(m1/2/s)U* (m/s) D* θcr

U*c

(m/s)τc

(N/m2)τb

(N/m2)Ket

1.5.

0.35710.3168

8.8x10-2

10.7x10-20.06490.0749

45.0846.37

0.000620.00046

10.33

10.33

0.03140.0314

0.44060.4406

0.19410.1941

0.61560.4579

τb > τc

τb > τc

Tabel .10 Perhitungan Tegangan Geser dasar τ b dan Tegangan Geser Kritis

τ c untuk Pilar Ujung Bulat TunggalT (jam)

ū (m/s) h (m) R−

(m) C−

(m1/2/s) U* (m/s) D* θcr U*c (m/s) τc (N/m2) τb (N/m2) Ket

1.5.

0.28710.2879

11.15x10-

2

10.7x10-2

0.07710.0799

46.7546.97

0.000370.00037

10.3310.33

0.03140.0314

0.44060.4406

0.19410.1941

0.37000.3686

τb > τc

τb > τc

Tabel 11 Perhitungan tegangan geser dasar τb dan tegangan geser kritis τc untuk Pilar Ujung segitiga Tunggal

T (jam) ū (m/s) h (m) R−

(m)C−

(m1/2/s) U* (m/s) D* θcr U*c (m/s) τc (N/m2) τb (N/m2) Ket

1.5.

0.27140.2797

11.6x10-2

12.1x10-20.07920.0815

46.7947.16

0.000330.00035

10.3310.33

0.03140.0314

0.44060.4406

0.19410.1941

0.33010.3600

τb > τc

τb > τc

Jurnal Teknik Hidro 21

Page 22: Teknik Hidro Edisi1kn

B. Kajian Fisik

1. Analisis Data dan Hasil perhitungan

Analisis pada penelitian ini menggunakan persamaan para peneliti terdahulu

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 12 Hasil Perhitungan dan Hasil Percobaan Pada Pilar Tunggal Dengan Q1

Bentuk

Pilar

D0

M

Q

m/dt

U

m/dt

Hasil Percobaan dan Hasil Hitungan

Kedelaman Gerusan (Ds) m

Percobaan Breusers Elliot LaceyUjung

segiempat8.8x10-2 5.687x10-3 0.1294 0.059 0.1090 0.1309 0.2272

Ujung bulat 11.55x10-2 5.687x10-3 0.1021

0.0520.0673 0.0673 0.2272

Ujungsegi tiga

11.6x10-2 5.687x10-3 0.0982 0.048 0.0536 0.0022 0.2272

Tabel 13 Hasil Perhitungan dan Hasil Percobaan Pada Pilar Tunggal dengan Q2

BentukPilar

D0

mQ

m/dtU

m/dt

Hasil Percobaan dan Hasil Hitungan Kedalaman Gerusan (Ds) m

Percobaan Breusers ElliottLacey

Ujung segiempat

10.7x10-2 8.634x10-3 0.3230 0.079 0.0934 0.1121 0.2319

Ujung bulat 11.75x10-2 5.687x10-3 0.1471

0.0620.0654 0.0654 0.2319

Ujung segi tiga

12.1x10-2 8.634x10-3 0.2857 0.056 0.0649 0.0027 0.2319

D0 = h−

= Kedalaman aliran

Gambar 1 Perbandingan Hasil Percobaan Dengan Pendekatan Beberapa Rumus Empiris Dengan Q1

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa dengan debit 15.7 x 10-3 m3/dt dengan waktu 60 menit hasil percobaan dan pendekatan rumus

empiris hasilnya 0.059 m (pecobaan), 0.1090 m

(Breusers), 0.1309 m (Elliot) dan 0.2272 m (Lacey) untuk pilar persegi empat. Pilar ujung bulat 0.052 m

Jurnal Teknik Hidro 20

Percobaan Breusers Elliott Lacey

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

segi empat

bulat

segitiga

Rumus Pendekatan

Ked

alam

an G

erus

an (

ds)

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

segi empat

bulat

segitiga

Hasil Rumus Pendekatan

Ke

da

lam

an

Ge

rus

an

(d

s)

Page 23: Teknik Hidro Edisi1kn

(percobaan), 0.0673 m (Breusers), 0.0673 m (Elliot) dan 0.2272 m (Lacey). Pilar ujung segi tiga 0.048 m (percobaan), 0.0536 m (Breusers), 0.0022 m (Elliot) dan 0.2272 m (Lacey).Sedangkan dari gambar grafik menunjukkan bahwa kedalaman penggerusan tidak berbeda jauh dengan hasil percobaan dengan rumus empiris.

Gambar 2 Perbandingan Hasil Percobaan Dengan Pendekatan Beberapa Rumus Empiris Dengan Q2

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa dengan debit 16.9 x 10-3 m3/dt dengan waktu 300 menit hasil percobaan dan pendekatan rumus empiris hasilnya 0.079 m (pecobaan), 0.0934 m (Breusers), 0.1121 m (Elliot) dan 0.2319 m (Lacey) untuk pilar persegi empat. Pilar ujung bulat 0.062 m (percobaan), 0.0654 m (Breusers), 0.0654 m (Elliot) dan 0.2319 m (Lacey). Pilar ujung segi tiga 0.056 m (percobaan), 0.0649 m (Breusers), 0.0027 m (Elliot) dan 0.2319 m (Lacey).Sedangkan dari gambar grafik menunjukkan bahwa kedalaman penggerusan tidak berbeda jauh dengan hasil percobaan dengan rumus empiris.Hasil yang paling mendekati dengan menggunakan rumus Elliot dan kedalaman gerusan yang lebih dalam menggunakan pilar ujung segi empat dibandingkan dengan pilar ujung bulat dan pilar ujung segi tiga.Hasil rumus empiris yang lain tidak berbeda jauh

dengan hasil percobaan dan ini diakibatkan dalam percobaan menggunakan saluran tanah.

2. Pembahasan

Pada umumnya bentuk gerusan yang terjadi disekitar pilar menyebar mengelilingi pilar. Untuk pilar ujung bulat gerusannya kurang menyesuaikan keadaan aliran sedangkan pilar ujung segi empat gerusan lebih dalam dibandingkan pilar-pilar yang lain.

Kedalaman gerusan yang terjadi berdasarkan hasil percobaan memperlihatkan bahwa pilar segi empat = 0.0590 m, pilar ujung bulat = 0.0420 m dan pilar ujung segi tiga = 0.0500 m dengan debit = 15.7 x 10 –3 m 3/dt . Debit = 16.9 x 10 –3 m3/dt dengan kedalaman gerusan untuk pilar ujung segi empat = 0.0790 m, pilar ujung bulat = 0.0620 dan pilar ujung segi tiga = 0.0700 m.

Kehadiran suatu pilar ditengah saluran merupakan suatu penghalang bagi aliran air sehingga menimbulkan perubahan arus dan perubahan gerakan permukaan gelombang serta olakan disekitar pilar dan juga mempesempit penampang saluran. Dengan makin besarnya diameter pilar semakin besar pula gerakan permukaan gelombnag maupun olakan yang menimbulkan terganggunya kestabilan material dasar.

Hasil percobaan memper-lihatkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan perhitungan teoritis berdasarkan rumus empiris. Perbedaan hasill yang terjadi diakibatkan karena dalam percobaan ini menggunakan saluran tanah. 4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1.Simpulan

Dari pembahasan hasil penelitian yang diuraikan maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil perhitungan bilangan Froude terlihat bahwa pada

Jurnal Teknik Hidro 21

Percobaan Breusers Elliott Lacey

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

segi empat

bulat

segitiga

Rumus Pendekatan

Ked

alam

an G

erus

an (

ds)

Page 24: Teknik Hidro Edisi1kn

saat sebelum dan sesudah ada bangunan pilar menunjukkan kondisi aliran berada dalam keadaan subkritis ( Fr < 1).

2. Perhitungan tegangan geser dasar (τ b ) dan tegangan geser kritis (

τ c ) menunjukkan hasil bahwa tegangan geser dasar saluran (τb) lebih besar dari tegangan geser kritisnya (τc), hal ini menunjukkan bahwa terjadi angkutan sedimen.

3. Kedalaman gerusan yang terjadi berdasarkan hasil percobaan memperlihatkan bahwa pilar segi empat = 0.0590 m, pilar ujung bulat = 0.0420 m dan pilar ujung segi tiga = 0.0500 m dengan debit = 15.70 x 10 –3 m 3/dt . Debit = 16.90 x 10 –3 m3/dt dengan kedalaman gerusan untuk pilar ujung segi empat = 0.0790 m, pilar ujung bulat = 0.0620 dan pilar ujung segi tiga = 0.0700 m.Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa persamaan Elliott dkk, lebih mendekati dengan menggunakan pilar ujung segi empat, pilar ujung bulat dan pilar ujung segitiga. Hasil percobaan dan hasil hitungan dengan menggunakan rumus empiris memperlihatkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan percobaan ini menggunakan saluran tanah.

4.2. Saran1. Dalam penelitian ini pengukuran tidak

dapat berlangsung sampai pada pengamatan kondisi aliran yang seimbang (eqilibrium) karena keterbarasan laboratorium. Baik dari segi alat (pompa) dan sumber air. Penelitian ini maksimum hanya berlangsung 12 jam. Olehnya itu kamii menyarankan agar penelitian selanjutnya lebih sempurna maka fasilitas laboratorium yang ada perlu dilengkapi dan ddibenahi lebih baik.

2. Angkutan sedimen dan kecepatan rata-rata dalam penelitian ini belum mencapai kondisi keseimbangan

karena perubahan kecepatan masih cukup besra untuk selang waktu yang terjadi, hal ini berarti bahwa angkutan sedimen masih akan terjadi.

3. Peneltian model saluran dan muara perlu di kembangkan untuk mendapatkan pola sedimentasi dan topografi dasar pada muara yang menyebabkan pendangkalan.

4. Jika pada penelitian model saluran diinginkan variasi debit untuk memperoleh variasi kecepatan, maka sebaiknya model saluran dibuatbeberapa yang sama. Karena kalau di gunakan satu saluran saja untuk pemberian debit yang berbeda maka akan sulit mengembalikan keadaan saluran pada kondisi awal.

DAFTAR PUSTAKA

Angraeni, (1997), Hidrolika Saluran Terbuka, Citra Media, Surabaya.

Breusers H.N.C.,Nicollet.G. and Shen .H.W, 1977, Local Scour Around Cylindrical Piers, Journal of Hidroulics Research, IAHR Vol.15 No.3.

Baker C.J, 1981, New Design Equation for Scour Arcund Brigde Piers, Journal of Hydraulics Division, ASCE Vol.107 No.HY 4 April.

Chow, Ven Te, E.V. Nensi Rosalina, (1997), Hidrolika saluran terbuka, Erlangga, Jakarta.

Gregory, K.J, (1977), River Channel Changes, John Wileys and Son.

Jansen, P. Ph, Bendegon L. Van, (1979), Principles of River Engineering, Pitman Publiahing Ltd.

Oehadijono, (1993), Dasar-Dasar Teknik Sungai, Universitas Hasanuddin.

Raju. R, Pangaribuan Y.P, (1986), Aliran Melalui Saluran Terbuka (Terjemahan ), Erlangga, Jakarta.

Soekarno Indratmo, Legowo, Sri, dkk, (1996), Penggerusan Lokal di Sekitar Pilar Jembatan dan

Jurnal Teknik Hidro 22

Page 25: Teknik Hidro Edisi1kn

Sistem Proteksinya, PIT XIII HATHI, Medan.

Suprijanto, Heri, Priyantoro, Dwi, dkk, (2001), Uji Model Fisik Dasar Bergerak Dengan Skala Distorsi pada Bangunan Pilar dan Pangkal Jembatan di Belokan Sungai, PIT XIII HATHI, Malang.

Shen.H.W.V.R,Schneider and Karaki.S, 1966a, Mechanies of Local Scour, Colarado State University.

Triatmodjo, Bambang, (1996), Hidrolika I dan II, Beta Offset, Yogyakarta.

Triatmodjo, Bambang, (1993), Mekanika Fluida,Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik,UGM, Yogyakarta.

Yahi, M. Selin, (971), Theory of Hidraulic Models, Mc. Millan Press Ltd.

Yuwono, Nur, (1994), Perencanaan Model Hidraulik, Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.

Analisa Angkutan Sedimen Sungai Bulu TimorengKabupaten Sidrap

N e n n y

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah sedimen rate yang terangkut akibat perilaku aliran sungai pada sungai Bulu Timoreng Kabupaten Sidrap.Untuk menentukan besarnya angkutan sedimen pada periode tertentu digunakan beberapa pendekatan. Untuk sedimen melayang (suspended load) digunakan pendekatan Lengkung Debit, yakni hubungan antara debit air (Qw) dengan debit sediment melayang (Qs). Untuk Sedimen Dasar ( Bed Load), pendekatan yang digunakan adalah Meyer – Peter & Muller dan Einstein . Dari beberapa pendekatan yang digunakan untuk menghitung Suspended Load dan Bed Load yang paling mendekati perhitungan yang berdasarkan data lapangan adalah Einstein. Besarnya total angkutan sedimen selama 25 tahun adalah 2.643,96 ton, untuk susoended load adalah 331,06 ton dan bed load adalah 2.312,9 ton. Besarnya angkutan sedimen yang terjadi tiap tahun rata-rata 105,76 ton.

1. PENDAHULUANSungai Bulu Timoreng terletak

36 meter diatas permukaan laut

tepatnya berada di Desa Bulu Timoreng kecamatan Pancarijang kabupaten Sidenreng Rappang atau

Jurnal Teknik Hidro 23

Page 26: Teknik Hidro Edisi1kn

lebih dikenal dengan kota Sidrap, berjarak 45 km. dari kota kabupaten, dan 160 km. kearah utara dari kota makassar.

Secara garis besar tekstur dan kondisi topografi daerah disekitar sungai Bulu Timoreng bisa dikategorikan sebagai daerah datar. Di daerah hulu dari pada sungai ini memiliki kemiringan lereng 0.001 s/d 0.004. Ketinggian topografi disekitar daerah ini adalah ± 56 m

Secara fisiografi sungai Bulu Timoreng ini masuk pada daerah pengaliran sungai (DPS) Rappang. Sungai ini berhulu di kabupaten Enrekang dengan nama sungai Salo karaja. Sungai Karaja ini mengalir dari utara ke selatan sampai melewati desa Bulu Timoreng, kemudian bermuara pada sungai Rappang. Panjang sungai utama dari desa Bulu Timoreng sampai ke ujung hilir adalah ± 30 km. dengan lebar ± 10 m. Berdasarkan klasifikasi sungai, maka sungai Bulu Timoreng termasuk jenis sungai pegunungan, mengingat sumber air atau daerah hulunya mengalir dari celah-celah gunung. Karena bentuk dari pada sungai tersebut bisa dikatakan sejajar, maka sungai Bulu Timoreng adalah sungai yang bertipe cabang pohon.

Sungai Bulu Timoreng merupakan salah satu sungai yang memiliki potensi yang sangat besar terhadap kebutuhan mahluk hidup disekitarnya. Namun berdasarkan data yang ada, sungai Bulu Timoreng termasuk salah satu sungai yang membutuhkan perawatan intensif. Dengan adanya beberapa gejala yang muncul seperti pendangkalan di bagian hilir serta terhambatnya pengaliran. Dibagian hulu pada sungai Bulu Timoreng akan terlihat kandungan sedimen yang cukup tinggi, sehingga pada saat musim hujan tiba, air yang mengalir menampakkan kekeruhan

dan terjadi endapan pada daerah hilirnya. Ini mengakibatkan adanya tingkat produksi volume sedimen yang cukup besar. Endapan yang terbentuk tersebut menjadi lebih banyak tertampung dan melebihi tinggi dataran sekitarnya, sehingga mengakibatkan pengaliran air pada suatu alur sungai berpindah mencari dataran yang elevasinya lebih rendah. Dengan demikian bentuk dari dasar sungai, senantiasa berubah-ubah oleh adanya proses sedimentasi sehingga mengakibatkan sungai tidak berfungsi sesuai dengan eksistensinya.

Dalam penulisan ini yang menjadi pokok permasalah adalah membahas jumlah sediment total yang terjadi pada setiap tahun selama periode tertentu, yaitu untuk 25 tahun ditinjau dari penampang sungai. Pendekatan secara empiris yang digunakan adalah dengan menggunakan beberapa metode pendekatan, antara lain :

Untuk menghitung sediment melayang menggunakan pendekatan lengkung debit, yakni hubungan debit air (Qw) dengan debit sediment melayang (Qs), harga Qs diperoleh dari konsentrasi sediment (Cs) dari hasil pengambilan contoh air di lapangan yang telah dianalisa di laboratorium.

Untuk menghitung besarnya sediment dasar pada sungai Bulu Timoreng menngunakan dua pendekatan, yakni pendekatan Meyer Peter Muller dan Einstein

2. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Pengertian Erosi dan Sedimen

Tanah dapat tererosi, terlepas dari lokasinya oleh aksi angina, air, gaya grafitasi (tanah longsor) dan aktifitas manusia. Erosi oleh air dapat dianggap dimulai oleh pelepasan partikel-partikel tanah

Jurnal Teknik Hidro 24

Page 27: Teknik Hidro Edisi1kn

oleh hempasan percikan air hujan. Energi kinetic dari butiran air hujan yang jatuh dapat memercikan partikel tanah ke udara. Pada tanah yang datar, partikel-partikel tersebut disebabkan lebih kurang secara merata kesegala jurusan, tetapi pada tanah yang miring terjadi suatu pengangkutan ke bawah searah lereng. Apabila terjadi aliran permukaan , sebahagian partikel-partikel yang jatuh akan terbawa dalam air yang mengalir dan bahkan bergerak lebih jauh ke bawah sebelum berhenti di atas permukaan tanah. Aliran permukaan bersifat laminar dan tidak mampu untuk melepaskan partikel-partikel tanah dari kesatuannya, tetapi dapat menggerakkan partikel-partikel tanah yang sudah terlepas di permukaan .

Sedimentasi adalah proses pengendapan bahan-bahan yang terangkut oleh air di alur sungai, waduk atau bendungan, danau dan muara sungai sebagai akibat terjadinya erosi yang berasal dari berbagai pola penggunaan lahan dibagian hulu DAS/sub DAS. Selain diakibatkan oleh erosi, sedimentasi juga dipengaruhi oleh kemiringan lereng, luas daerah tangkapan air, jaringan sungai, dan ukuran bahan yang terangkut. Sedimen dapat pula berasal dari erosi yang terjadi pada luar sungai. Sedimen terangkut oleh aliran sungai pada saat debitnya meningkat dari bagian hulu dan kemudian diendapkan pada alur sungai yang landai atau pada alur sungai yang melebar, ketika debitnya mengecildan kandungan beban dalam aliran mengecil, maka sediment yang mengendap tersebut secara berangsur-angsur terbawa hanyut lagi dan dasar sungai akan berangsur turun kembali.

2.2.Perhitungan Sedimen Melayang

Perhitungan sediment melayang dengan metode lengkung debit, yaitu pengambilan contoh air di lapangan kemudian dianalisa di laboratorium untuk mengetahui besarnya konsentrasi sediment yang terangkut. Dari hasil analisa contoh air di laboratorium , maka besarnya debit sediment setiap hari dapat dihitung sebagai berikut :

Qs = Qw x C x kDimana : Qs = debit sediment (ton/hr.)

Qw = Debit air (m3/dt.) C = Konsentrasi sediment (mg./ltr.) k = Faktor konversi Jika data air dalam m3/dt., berat 1 m3 adalah 1 ton dan waktu yang diperlukan adalah 24 jam, maka koefisien k dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

k=86 . 000 det/ hrx 1 ton /m3

1 . 000.000=0 . 0864

Sedangkan kadar konsentrasi (C) dapat diperoleh dengan mengendapkan material yang terkandung dalam air atau dengan cara menyaring, sehingga dengan jalan ini konsentrasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

C=1.000V

(b−a )1 .000 (ml /ltr .)

Dimana : V = Volume sample sediment (gr)

a = Berat cawan berisi sediment (gr)

b = Berat cawan kosong (gr)

Sedangkan debit sungai rata-rata dapat diketahui dengan membuat lengkung debit yang merupakan grafik yang menunjukkan hubungan antara debit sungai (Qw) dengan tinggi muka air (H) pada lokasi penampang sungai. Dalam grafik debit (Qw) ditempatkan pada

Jurnal Teknik Hidro 25

Page 28: Teknik Hidro Edisi1kn

skala mendatar sedangkan tinggi muka air (H) pada skala tegak. Persamaan lengkung debit yang digunakan adalah:

Qw = m . Hn

Dimana : Qw = debit air (m3/dt.)

H = Tinggi muka air (m)m,n = Konstanta

Untuk menentukan besarnya konstanta m dan n, maka persamaan tersebut merupakan persamaan eksponensial diubah menjadi persamaan linear dengan transformasi logaritma sebagai berikut :Log Qw = Log m + n Log H, jika dimisalkan log Qw = Y ; log m = a ; N log H = bX

Maka persamaan menjadi Y = a + bXDimana konstanta a dan b dapat dihitung dengan persamaan :

b=∑ Xi . Yi− {(∑ Xi) (∑Yi) }/n

∑ Xi2−(∑ Xi )2 /na=Y−b X

Dimana : Xi = data X yang ke I ( Data

Tinggi muka air, H) Yi = data Y yang ke I (Data Debit

sungai, Qw) i = 1,2,3,….n

X =

∑ Yi

n , n = banyaknya data

Y =

∑ Yi

nSedangkan tingkat hubungan

antara debit sediment dan debit (Qw) dapat dinyatakan dengan koefisien korelasi yang secara matematis menggambarkan penyebaran titik-titik disekitar persamaan tersebut, Koefisien korelasi dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

r=∑ ( Xi . Yi )− {(∑ Xi) (∑ Yi) }/n

√ [∑ Xi2−{(∑ Xi)2}/n] [∑Yi2−{(∑ Yi)2}/n]Hubungan antara debit

sediment dan debit (Qw) mempunyai nilai korelasi maksimum 1,0, semakin tinggi tingkat hubungan itu maka koefisien korelasinya mendekati 1.

Selanjutnya dibuat lengkung sediment yang merupakan kurva hubungan antara debit air (Qw) dengan debit sediment (Qs), secara umum persamaan lengkung sediment sebagai berikut :

Qs = m . Qwn

Untuk menentukan besarnya konstanta m dan n maka persamaan eksponensial diubah menjadi persamaan linear dengan transformasi logaritma dari persamaan tersebut, sehingga :

Log Qs = Log m + n log QwDimisalkan : log Qs = Y ;

Log m = a ; n log Qw = b X

Maka persamaan diubah menjadi Y

= a + bXPersamaan tersebut merupakan persamaan garis lurus sehingga konstanta a dan b dapat dihitung dengan persamaan :

b=∑ Xi . Yi− {(∑ Xi) (∑Yi) }/n

∑ Xi2−(∑ Xi )2 /na=Y−b X

Dimana : Xi = data X yang ke I (data debit , Qw)

Yi = data Y yang ke I (data debit sediment, Qs )

i = 1,2,3,….n

X =

∑ Yi

n , n = banyaknya data

Jurnal Teknik Hidro 26

Page 29: Teknik Hidro Edisi1kn

Y =

∑ Yi

nSedangkan tingkat hubungan antara debit sediment dan debit sungai dapat dinyatakan dengan koefisien korelasi yang secara matematis menggambarkan penyebaran titik-titik disekitar persamaan tersebut. Koefisien korelasi dapat dihitung dengan persamaan berikut :

r=∑ ( Xi .Yi )− {(∑ Xi) (∑ Yi) }/n

√ [∑ Xi2−{(∑ Xi)2}/n] [∑Yi2−{(∑ Yi)2}/n]Hubungan antara debit sediment dengan debit sungai ini mempunyai nilai korelasi maksimum 1 dan semakin tinggi tingkat hubungan itu maka koefisien korelasinya 1.

2.3.Perhitungan Sedimen DasarPerhitungan sediment dasar dengan menggunakan Pendekatan MPM (Meyer Peter Muller)

ρ wR (n '/ n)3 /2s( ρs−ρw ) d50

=0 .047+0 .25 ( ρwg )

2/3qb2/ 3 1

( ρs− ρw )d50

Dimana : qb = Debit muatan sediment dasar

(Kg/dt./m)

ρw , ρs = Berat jenis air dan partikel (kg/m3)

d50 = Ukuran diameter butiran (mm)

g = Gaya grafitasi, 9.81 m/dt.2

R = Jari-jari hidrolis (m)n’ = Koef. Kekasaran untuk

dasar ratan = Koef. Kekasaran aktual

Intensitas aliran dihitung dengan rumus :

ψ= ρs−ρwρw

xd50

R( n 'n )

3/2

S

Intesitas angkutan muatan sediment dasar

φ=qbρs ( ρw

ρs− ρwx

1gd

503 )

1/2

Muatan sediment dasar per unit lebar :

φ=qbρs ( ρw

ρs− ρwx

1gd

503 )

1/2

Debit muatan sediment dasar untuk seluruh lebar dasar aliran :

Qb = qb x BDimana :

Qb = Debit muatan sediment dasar (kg/dt.)

B = Lebar dasar (m)

Perhitungan Sedimen Dasar dengan pendekatan EinsteinIntesitas muatan sediment dasar :

φ=qbρs ( ρw

ρs− ρwx

1gd3 )

1/2

f (ψ )= ρwρs−ρw

xd

SR 'R’ adalah jari-jari hidrolis yang menampung muatan sediment dasarS adalah kemiringan dasar sungai.

R '=R ( n 'n )

3 /2

Dari pendekatan Einstein

ψ= ρs−ρwρw

xd 35

R( n 'n )

3/2S

3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1.Menentukan Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit AirSebelum membuat lengkung debit,

terlebih dahulu ditarik garis lurus yang menunjukkan hubungan antara tinggi muka air (H) dengan debit air (Qw) yang digambarkan pada grafik logaritma.

Dalam membuat lengkung debit digunakan persamaan Qw = a(H)b yang kemudian diubah menjadi persamaan

Jurnal Teknik Hidro 27

Page 30: Teknik Hidro Edisi1kn

linear dengan transformasi logaritma sebagai berikut : Log Qw = Log a + b Log H ; Log Qw = Y, Log a = a, b Log H = bXDari persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan garis lurus, yaitu :

Y=a+b X ;

X=∑ Xi

n ; Y=

∑Yi

n

Y=∑Yi

n=−11. 997156

=−0 .076

Konstanta a dan b dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

b=∑ Xi . Yi− {(∑ Xi) (∑Yi) }/n

∑ Xi2−(∑ Xi )2 /n =6 .839−{(−30 .900 ) (−11. 997 ) }/156

9 .815−(−30 . 900 )2 /156=1 . 208

Jadi a =

Y−b X=−0.076−1 .208 (−0 .198 )=0 .162Maka konstanta a dan b dimasukkan dalam persamaan berikut :

Log Qw = 0.162 + 1.208.H Qw = 1.453 (H)1.208

Untuk mengetahui rumus empiris diatas apakah mendekati kebenaran, maka dicari nilai korelasi (r) , sebagai berikut :

r=∑ ( Xi . Yi )− {(∑ Xi) (∑ Yi) }/n

√ [∑ Xi2−{(∑ Xi)2}/n] [∑Yi2−{(∑ Yi)2}/n]r=

6 .839− {(−30 .900 ) (−11.997 ) }/156

√ [9 .815−{(−30 .900 )2 }/156 ] [27 . 866 {(−11.997 )2}/156 ]=0 .925

Dari hasil perhitungan lengkung debit dengan analisa regresi linear dibuatkan grafik hubungan debit sungai (Qw) dgn tinggi muka air (H)3.2.Perhitungan Debit Rata-Rata Bulanan

Untuk menghitung debit rata-rata bulanan sungai Bulu Timoreng digunakan data tinggi muka air yang

tercatat dari tahun 1980 – 2004, dan besarnya debit rata-rata bulanan dihitung dengan persamaan : Qw = 1.453(H)1.208

Hasil perhitungan debit rata-rata bulanan dapat dilihat pada table dibawah ini.3.3.Menentukan Hubungan Debit Sungai dengan Debit Sedimen

Dari hasil analisa contoh air di laboratorium, maka besarnya debit sediment melayang dapat diketahui dengan menggunakan persamaan : Qs = Qw x C x KPerhitungan debit sediment : Qw = 0.34 m3/dt. ; C = 41 mg/lt.

Qs = 0.34 x 41 x 0.0864 = 1,204 ton/hr.Dari hasil perhitungan dibuat hubungan antara debit sungai (Qw) dengan debit sediment melayang (Qs) dengan menggunakan persamaan lengkung sediment yang merupakan persamaan eksponensial : Qs = m . Qwn

Diubah menjadi persamaan linear : Log Qs = Log m + n Log Qw

Dari persamaan diatas diubah menjadi persamaan garis lurus, yaitu :

X=∑ Xi

n=−1 .36461

=−0 . 022;

Y=∑Yi

n=

29.23461

=0 .479

Konstanta a dan b dapat dihitung dengan persamaan :

b=∑ Xi . Yi− {(∑ Xi) (∑Yi) }/n

∑ Xi2−(∑ Xi )2 /n

=

21 .316−{(−1 .364 ) (28 .542 ) } /61

16 . 166−(−1 . 364 )2 /61 = 1.361Jadi a =

Y=b . X=0 . 479−1. 361(−0. 022 )=0 .509Maka konstanta a dan b dimasukkan dalam persamaan :

Log Qs = 0.51124 + 1.361 Qw ---Qs = 3.231 (Qw)1.361

Jurnal Teknik Hidro 28

Page 31: Teknik Hidro Edisi1kn

Untuk mengetahui rumus empiris apakah mendekati kebenaran, maka terlebih dahulu dicari nilai korelasi (r) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

r=∑ ( Xi . Yi )− {(∑ Xi) (∑ Yi) }/n

√ [∑ Xi2−{(∑ Xi)2}/n] [∑Yi2−{(∑ Yi)2}/n]

=

23 . 08024 . 180

=0 .954

Perhitungan lengkung sediment dengan analisa regresi linear dapat dilihat pada table 1.dibawah iniGrafik Hub. Sedimen Melayang (Qs) dengan debit sungai (Qw) Hasil Analisa Regresi Tahun 1980-2004.

3.5.Perhitungan sediment dasar (bed Load) dengan Pendekatan Meyer Peter dan Muller

V=1n

R2/3 S1/2

;

0 .220=1n(0 .233 )2/3( 0.0000346 )1/2

; n = 0.0197Kekasaran dasar alur sungai (n’) :

n '=(D90)

1/6

26 ; n '=

(4 . 7 )1/6

26=0 . 0157

Ψ = -556.27 ; Ф = 0.086Tabel 1. Perhitungan Debit Sedimen

Melayang (Qs) Tahunan

No Tahun Sedimen Melayang (Qs)(ton.Thn.)

123456789101112131415

198019811982198319841985198619871988198919901991199219931994

24.7624.6616.1029.3424.4214.5820.7914.0617.0113.729.1412.312.585.473.60

16171819202122232425

1995199619971998199920002001200220032004

10.175.135.2123.014.584.137.9710.868.7618.69

Total 331.06Rata2

13.24

Untuk menghitung muatan sediment

dasar persatuan lebar adalah :

0 .086= qb2 .65 (1000

2650−1000x

19 .81 x 0 .0032x 109 )

1/2

; qb = 0.000166 kg/dt./m

Laju sediment dasar pada penampang

sungai tahun 1980

Qb = qb x B = 0.000166 x 14.00 = 0.002

kg/dt./m = 23.10-6 ton/dt.

Untuk perhitungan selanjutnya dapat

dilihat pada table di bawah ini.

Perhitungan Sedimen Dasar dengan Pendekatan Einstein

ψ=2650−10001000

x2 .90 x 10−3

0 .233(0 .983)3/2 3 x10−4=5 .0

Dari grafik Einstein, hubungan antara Ф dan Ψ adalah = 0.0900, dengan demikian debit muatan sediment dasar per unit lebar adalah : qb = 0.000135.Debit sediment dasar seluruh penampang adalah :

Qb = qb x B = 0.000135 x 14.00 = 189 x 10-6 t/dt.Untuk tahun selanjutnya dapat dilihat pada table 2 hasil perhitungan sediment dasar dengan pendekatan Einstein.

Jurnal Teknik Hidro 29

Page 32: Teknik Hidro Edisi1kn

Tabel2. Hasil perhitungan Angkutan Sedimen Total

No Metode Total Sedimen Melayang

(ton)1 Lengkung Debit

(data pengukuran Langsung)

331.06

Pendekatan Total Sedimen Dasar (ton)

1 Mayer-Peter dan Muller

1621.9

2 Einstein 2312.9

Besarnya angkutan sediment total sungai Bulu Timoreng Kabupaten Sidrap selama 25 tahun adalah : Qs + Qd = 331.06 ton + 2312.9 ton = 2643.96 ton, sedangkan pertahunnya adalah 105.76 ton.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian permasalahan dan hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka untuk analisa angkutan sediment di daerah pengaliran sungai Bulu Timoreng dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :1. Dari beberapa metode yang

digunakan dalam perhitungan sediment pada sungai Bulu Timoreng kabupaten Sidrap, metode yang mendekati dengan data lapangan adalah metode Einstein.

2. Jumlah angkutan sediment total yang terjadi pada sungai Bulu Timoreng selama 25 tahun adalah sebesar 2643.96 ton, yang terdiri dari jumlah angkutan sediment melayang sebesar 331.06 ton dan angkutan sediment dasar sebesar

2312.9 ton. Besarnya angkutan sediment yang terjadi tiap tahun adalah 105.76 ton.

3. Terjadinya erosi secara bertahap merupakan factor utama penyebab adanya adanya proses sedimentasi, sehingga tanah yang labil akan menimbulkan gejala longsoran secara berangsur-angsur pula.

5. DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Kartasapoetra, G.Ir. dan Mulmulyani Sutedjo,Ir. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Edisi ke-2. Bina Aksara. Jakarta.

Marthe, Joyce W,Ir.1982 Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi, Nova. Bandung.

Mardjikoem,Pragnjono, Ir.Prof. 1987. Angkutan Sedimen. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Soewarno, 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai. Nova,Bandung.

Sosrodarsono,Suyono,Ir.Dr.1984. Perbaikan dan Pengaturan Sungai, PT.Pradya Masateru Tominaga Paramita. Jakarta.

Sosrodarsono,Suyono,Ir.Dr.1984. Hidrologi untuk Pengairan, PT. Prandya Kensaku Takeda Paramita. Jakarta.

Soemarto,C.D.Ir. 1989. Hidrologi Teknik, Usaha Nasional. Jakarta.

Soemarto,C.D.Ir.1995.Hidrologi Teknik, Edisi ke-2, Erlangga,Jakarta.

Yang,Chid Ted,1996. Sediment Transport (Theory and Practice), International Edition.

Jurnal Teknik Hidro 30

Page 33: Teknik Hidro Edisi1kn

Analisis Kualitas Air Baku IPA V Somba Opu Pasca Longsor

ABSTRAK

Arsyuni Ali Mustary : Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan air pada prasarana pengolahan air, khususnya pengolahan air baku yang dibatasi pada tingkat kualitas air baku, faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi dan dampaknya terhadap kualitas air baku.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian explanatori yang membandingkan data-data sebelum longsor dan sesudah longsor. Analisis laboratorium (Balai Laboratorium Kesehatan, BLK) Prop. Sul-Sel.

Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan kualitas air baku pasca longsor diakibatkan oleh volume sediment yang tertahan pada bendungan dan distribusi sedimen layang (suspended solid) yang masuk ke intake IPA. Volume sediment yang tertampung pada waduk sebelum longsor (1997-2004) 21,580,000 m3 dengan tingkat kekeruhan rata-rata 21,103 NTU, sedangkan pasca longsor (2004-2005) volumenya mencapai 23,770,000 m3 dengan tingkat kekeruhan rata-rata, 1213,9 NTU, Penanganan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait baik yang bersifat teknis maupun non teknis sehingga dapat mengurangi laju sedimentasi masuk ke bendungan, dengan harapan dari penanganan ini bisa mengembalikan laju sedimentasi seperti sebelum longsor pada kisaran 3,082,857 m3/tahun, dengan demikian pengolahan air bakupun dapat dilakukan dengan metode yang lebih murah.Kata Kunci : Air Baku, Sedimen, Kualitas Air

I. Latar Belakang

Bencana longsor yang terjadi di

Gunung Bawakaraeng yang merupakan

peristiwa longsor yang berskala besar

dan dikategorikan sebagai bencana

Nasional dan dunia, menyisakan

berbagai permasalahan pelik yang tak

mudah dipecahkan. Visualisasi udara

menunjukkan bahwa kondisi hulu

Jeneberang pasca longsor menunjukkan

kisaran material longsor yang menutupi

salah satu hulu Jeneberang sepanjang 8

km. Diperkirakan endapan lumpur pada

lembah tersebut mencapai ketebalan 100

– 200 m dengan lebar ± 400 m dan

volume longsor diperkirakan 230 – 300

juta m3 (Induk Pelaksana Keg. Praswil

S. Jeneberang Dep. PU).

Peristiwa longsor Bawakaraeng

ini banyak menimbulkan kerusakan pada

sejumlah infrastruktur bahkan implikasi

longsoran tersebut berpotensi

menimbulkan masalah serius

berkelanjutan yang antara lain ; yang

langsung dirasakan oleh masyarakat

adalah menurunnya kualitas dan

kuantitas air baku yang sangat

mempengaruhi kualitas dan kuantitas air

bersih yang di konsumsi masyarakat

pengguna air.

Jurnal Teknik Hidro 31

Page 34: Teknik Hidro Edisi1kn

Pengaruh kualitas dan kuantitas

air baku pada sebuah Waduk sangat

terkait dengan keadaan di daerah hulu

sungai sebagai sumber air baku.

Kejadian longsor Bawakaraeng pada

hulu sungai Jeneberang juga sudah

memperlihatkan pengaruhnya yang

semakin serius, bahkan sudah sangat

mempengaruhi kinerja dan fungsi-fungsi

utama Bendungan Bili-bili itu sendiri.

Bendungan Bili-bili yang

fungsi utamanya adalah menampung air

sebagai pasokan air baku untuk berbagai

tujuan, tentunya sudah semakin menurun

kualitas dan kuantitasnya akibat

terbawanya dan terendapnya sediment

pada tubuh bendungan yang sudah tidak

terkendali lagi pasca longsor

Bawakaraeng, diperkirakan volume

sedimen sampai tahun 2004 sudah

mencapai ± 21 juta m3 dari volume

tampungan mati (Dead Storage) yang

direncanakan 29 Juta m3 dengan alokasi

air baku rencana sebesar 35 juta m3

(Induk Pelaksana Kegiatan Praswil

Sungai Jeneberang Dep. PU).

IPA V Somba Opu yang

merupakan Instalasi Pengolahan Air

Minum yang dimiliki Kota Makassar

adalah instalasi pengolahan air minum

yang mengambil air baku (intake) dari

bendungan Bili-bili, IPA ini dibangun

pada tahun 2000 berlokasi di

Batangkaluku Kabupaten Gowa untuk

memenuhi kebutuhan air bersih Kota

Makassar yang meningkat dari tahun

ketahun.

Pada tulisan ini di kemukakan

analisis kualitas air baku yang diolah

oleh IPA V Somba Opu dari Bendungan

Bili-bili pasca longsor, dengan

membandingkan kualitas dan kuantitas

air baku sebelum longsor dan pasca

longsor, selanjutnya dianalisis lagi

sejauh mana tingkat kerusakan kualitas

air baku pasca longsor. Untuk itu

beberapa penelitian dilakukan, dengan

mengumpulkan dan mengadakan

percobaan-percobaan hasil pengujian air

baku pasca longsor untuk mengetahui

tingkat kualitas air baku air baku IPA V

SombaOpu.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang,

maka rumusan masalahnya adalah:

1. Seberapa rendah kualitas air baku

Bendungan Bilibili sebagai

sumber air baku IPA V

SombaOpu pasca longsor?

2. Faktor-faktor apa yang

mempengaruhi kualitas air baku

pasca longsor?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah

untuk:

Jurnal Teknik Hidro 32

Page 35: Teknik Hidro Edisi1kn

1.Menganalisis tingkat kualitas air

baku Bendungan Bilibili

sebagai sumber air baku IPA

V SombaOpu pasca longsor.

2.Mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas air

baku pasca longsor.

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang

diharapkan dari hasil penelitian ini

antara lain adalah :

1. Sebagai suatu upaya

mengetahui kualitas air baku

PDAM IPA V Somba Opu.

2. Sebagai bahan informasi bagi

PDAM dalam pengelolaan air

baku.

3. Sebagai bahan informasi bagi

stakeholder dalam upaya

penanganan dampak longsor

terhadap kualitas air baku.

2. TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan Air

Air merupakan komponen

lingkungan yang sangat penting bagi

kehidupan manusia, maupun mahluk

hidup lainnya, tanpa air manusia tidak

bisa hidup bahkan kehidupan di dunia

tidak dapat berlangsung. Namun

demikian air dapat menjadi malapetaka

bilamana tidak tersedia dalam kondisi

yang benar baik dalam segi kuantitas

maupun kualitas (Achmadi, 2001).

Air memiliki berbagai fungsi

yang berkaitan dengan kebutuhan

manusia, baik untuk keperluan sehari-

hari maupun untuk proses produksi.

Dalam lingkup kehidupan manusia

peranan air mencakup tiga hal yang

berkaitan dengan kesehatan manusia,

yaitu konsumsi minimal untuk

kelangsungan hidup secara fisik,

kesehatan dan kenyamanan. Bila

kepentingan untuk fisik dan kesehatan

terpenuhi, maka fungsi untuk

peningkatan kenyamanan tumbuh

sejalan dengan cara hidup.

1. Sumber Air Baku

Air baku adalah air yang dapat

berasal dari sumber air permukaan,

cekungan air tanah atau air hujan yang

memenuhi baku mutu tertentu sebagai

air baku untuk air minum (P.P RI.No.16

Tahun 2005 Tentang Pengembangan

Sistem Penyediaan Air Minum).

Jurnal Teknik Hidro 33

Page 36: Teknik Hidro Edisi1kn

Sumber-sumber air baku dapat

beasal dari mata air, sumber air

permukaan (yang antara lain dari sungai,

danau, bendungan/ waduk dan lain-lain),

atau air dalam tanah (Departemen

Pekerjaan Umum, 1998).

Sumber Air Permukaan yang merupakan

sumber air terbanyak digunakan di

Indonesia, yang termasuk dalam

kelompok ini antara lain sungai, danau,

waduk dan lain-lain. Air permukaan ini

pada umumnya mengandung benda-

benda melayang (suspended) dan

larutan-larutan yang pada umumnya

sudah tercemar. Dengan demikian maka

air baku yang berasal dari permukaan,

sebelum dipergunakan sebagai air

minum terlebih dahulu harus melalui

tahap pengolahan secara lengkap.

Air permukaan yang berasal dari

sungai dapat mengalir terus sepanjang

tahun atau ditampung pada musim hujan

kemudian digunakan pada musim

kering. Air yang berasal dari kolam atau

danau mempunyai kualitas yang lebih

baik dibandingkan dengan air yang

berasal dari sungai. Hal ini disebabkan

karena secara alamiah kotoran didalam

air tersebut sudah mengendap.

Tergantung pada keadaannya, air dapat

diambil pada bagian yang lebih dalam,

dimana suhu air rata-rata rendah dan

plankton yang hidup lebih jarang.

Berdasarkan Persyaratan

Teknis Perencanaan Air Minum

Perkotaan, (NSPM Kimpraswil

2002),potensi jenis sumber air yang

dapat dimanfaatkan ditinjau dari segi

kemudahan mendapatkannya atas dasar

pertimbangan terhadap :

a. Pengolahan yang ekonomis

b. Kontinuitas yang tidak

ekstrim sehingga kebutuhan

air baku tetap dapat

dipenuhi pada musim

kemarau (surut)

c. Jarak yang ekonomis,

sumber air berada pada

jarak yang tidak

menyulitkan untuk

dijangkau.

d. Urutan prioritas alternative

sumber air adalah :1) mata

air, 2) air tanah, 3) air

danau, 4) air sungai dan 5)

air hujan.

2. Pemeriksaan Air

Benda-benda yang terdapat dan

larut di dalam air dapat diketahui dengan

melakukan pemeriksaan terhadap air

tersebut. Pemeriksaan air ini bukan saja

dilakukan pada air baku tetapi juga

untuk air yang sudah dijernihkan.

Dengan pemeriksaan pada air baku

maka dapatlah ditentukan proses apa

saja yang diperlukan untuk

Jurnal Teknik Hidro 34

Page 37: Teknik Hidro Edisi1kn

menjernihkan air tersebut. Sebaliknya

pada air yang sudah dijernihkan, dengan

adanya pemeriksaan tersebut dapat

diyakini apakah proses yang

dikehendaki sudah berlangsung dengan

sempurna atau belum. Secara garis

besar, pemeriksaan air dimaksudkan

untuk :

a. Memeriksa besarnya kandungan

mineral didalam air

b. Menetapkan tingkat kejernihan air

dan dengan demikian dapatlah

diketahui sumber atau penyebab

kekeruhan

c. Menetapkan tingkat pencemaran

baik kimiawi maupun bakteriologi

d. Menetapkan zat-zat yang

mengakibatkan rasa air tidak

normal

e. Menetapkan kotoran-kotoran

berbentuk zat organik

Pemeriksaan air dibagi dalam tiga

kategori, masing-masing :

a. Pemeriksaan Fisika, meliputi;

pemeriksaan suhu, warna, bau dan

kekeruhan

b. pemeriksaan Kimia, meliputi;

jumlah zat padat (total Solid),

klorida, kesadahan, derajat

keasaman (pH) logam dan subtansi

kimia, nitrogen dan bagian-

bagiannya.

c. Pemeriksaan Mikrobiologi,

meliputi ; pemeriksaan bakteriologi

dan biologik.

3. Sistem Produksi Instalasi

Pengolahan Air (IPA)

Sistem produksi adalah suatu

bagian sistem air bersih yang berfungsi

untuk pengambilan air baku dan

memproduksi air bersih melalui suatu

sistem pengolahan sehingga memenuhi

kriteria yang ditetapkan (kualitas dan

kuantitasnya). Adapun komponen-

komponen dari unit produksi terdiri dari

bangunan pengambilan air baku,

transmisi air baku, bangunan

pengolahan, bangunan mekanikal dan

elektrikal, transmisi air bersih dan

reservoir.

Instalasi pengolahan air

khususnya untuk perpipaan sangat

tergantung dari sumber air tersedia yang

akan diolah sebagai air minum namun

secara umum instalasi pengolahan air

perpipaan dapat dibagi dua yaitu :

a. Pengolahan lengkap (full

treatment)

Untuk unit pengolahan lengkap

dapat diuraikan menjadi beberapa

komponen sebagai berikut :

a. Komponen pengambilan/

pengumpul ; Pada tahap ini

termasuk di dalamnya bangunan

Jurnal Teknik Hidro 35

Page 38: Teknik Hidro Edisi1kn

intake, saluran dan sistem

pemompaan intake.

b. Komponen penjernihan air ;Proses

penjernihan air antaranya adalah

pre-sedimentasi, koagulasi dan

flokulasi, sedimentasi dan filtrasi.

c. Komponen pengangkut; Pada tahap

ini termasuk diantaranya pipa

transmisi dengan saluran terbuka

atau tertutup.

d. Kompopnen distribusi; Yang

termasuk di dalam komponen ini

adalah sistem pencabangan

sambungan rumah, valve, meter.

e. Komponen pelayanan, diantaranya

adalah sistem percabangan

sambungan rumah, gate valve dan

meter air.

Secara rinci bangunan unit

pengolahan ini dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a. Bangunan Pengambilan Air Baku;

Bangunan ini dibangun untuk

menyadap air baku, yang berasal

dari sumber air sebagai bahan baku

untuk keperluan air bersih. Bentuk

dan jenis pengambilan air baku

bervariasi, tergantung dari jenis air

baku yang diserap.

b. Pipa transmisi Air Baku; Pipa

transmisi air baku dalah pipa yang

dipergunakan untuk mengalirkan

air baku dari bangunan

pengambilan ke unit pengolahan.

Sistem pengaliran air pada pipa ini

dapat dilakukan secara gravitasi

jika kondisi topografi

memungkinkan, tetapi biasa juga

dengan sistem pemompaan bila

tinggi pada lokasi unit pengolahan

lebih tinggi dari pada elevasi lokasi

bangunan pengambilan air baku.

c. Bak Pengendap; Bak pengendap

dibutuhkan jika tingkat kekeruhan

air sangat tinggi, banyak

mengandung lumpur dan pasir dan

kandungan partikelnya lebih besar

dari 30 gram/ lt. Penempatannya

sebelum proses koagulan.

d. Bangunan Pengolahan; Bangunan

pengolahan air adalah bangunan

yang mengolah air baku menjadi air

minum atau air bersih. Bentuk dan

jenis bangunan pengolahan ini juga

bervariasi tergantung pada

kapasitas air serta sistem

pengolahannya.

e. Koagulasi dan Flukator; Koagulasi

dan flukator dibutuhkan apabila air

baku tidak lunak (sadah), banyak

mengandung besi dab mangan,

kekeruhan yang tinggi (koloid),

alkali tinggi dan kandungan organik

tinggi. Umumnya pembubuhan

koagulan dilakukan pada aliran

turbulensi.

f. Bak Sedimentasi; Merupakan

bangunan untuk menghilangkan

Jurnal Teknik Hidro 36

Page 39: Teknik Hidro Edisi1kn

partikel-partikel pengeruh dengan

cara pengendapan. Untuk dimensi

dan jumlah bak sedimentasi

diperhitungkan berdasarkan hasil

tes laboratorium terhadap

kemampuan dan kecepatan

mengendap dari flok-flok yang

terbentuk. Penempatannya antara

flokulator dan filter.

g. Filter; Adalah bangunan atau sarana

untuk menghilangkan partikel-

partikel pengeruh dalam air dengan

cara penyaringan. Merupakan

system pengolahan yang lengkap

dan paket dimana jenis filternya

tergantung pada jenis dan

pengolahan serta kandungan

partikelnya.

h. Reservoir Air Bersih; Reservoir

yaitu bangunan penampung air

yang telah diolah di instalasi

pengolahan air yang berfungsi

untuk menyeimbangkan antara

debit produksi dan debit pemakaian

air yang berfluktuasi selama 24

jam. Reservoir terdiri dari dua

bentuk yaitu reservoir bahan tanah

(ground reservoir) dan menara air

(elevated tank).

b. Pengolahan tidak lengkap (partial

treatment)

Pengolahan tidak lengkap adalah

pengolahan air dengan fungsi tertentu

saja, misalnya;

a. Pengolahan air untuk menghilangkan

kadar besi dan mangan

b. Pengolahan air untuk menurunkan

kesadahan

c. Pengolahan air untuk menghilangkan

warna

Metode-metode yang digunakan

untuk pengolahan air berkaitan dengan

pencemaran-pencemaran yang ada

dalam persediaan air tertentu.

Pencemaran-pencemaran utama yang

paling diperhatikan yang ada

hubungannya dengan faktor estetika dan

kesehatan (Lindley, 1979) adalah :

1) bakteri patogen,

2) kekeruhan dan bahan-bahan

terapung,

3) warna,

4) rasa dan bau,

5) senyawa-senyawa organik,

6) kesadahan

B. Parameter Kualitas Air Baku

Parameter kualitas Air Baku

merujuk pada Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan hidup,

Pencemaran Lingkungan yang diartikan

sebagai masuknya atau dimasukkannya

mahluk hidup, zat, energi dan/atau

komponen lain ke dalam lingkungan

dan/atau berubahnya tatanan lingkungan

oleh kegiatan manusia atau oleh proses

alam sehingga kualitas lingkungan turun

sampai ke tingkat tertentu yang

Jurnal Teknik Hidro 37

Page 40: Teknik Hidro Edisi1kn

menyebabkan lingkungan menjadi

kurang/ tidak berfungsi lagi sesuai

dengan peruntukannya.

Baku Mutu lingkungan diartikan

sebagai batas atau kadar makhluk hidup,

zat energi atau komponen lain yang ada

atau harus ada dan /atau unsur pencemar

yang ditenggang adanya dalam

lingkungan tertentu sesuai dengan

peruntukkannya. Berdasarkan pengertian

diatas dapat disimpulkan bahwa Baku

Mutu Lingkungan merupakan tolok ukur

acuan penilaian kesesuaian lingkungan

dengan peruntukkannya serta sebagai

acuan pengawasan masuknya bahan

pencemar ke dalam lingkungan.

Didalam pengolahan lingkungan keairan

telah ditetapkan Baku Mutu Sumber Air

ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah RI

No. 82 Tahun 2001 tentang Standar

Kualitas Air Nasional untuk

Manajemen Kualitas Air (National

water Quality Standard for Water

Quality Management).

Baku Mutu Sumber Air merupakan

karakteristik kualitas air yang

disyaratkan bagi sumber air (sungai,

saluran dan danau/waduk) yang disusun

dengan mempertimbangkan

pemanfaatan sumber air tersebut,

kemampuan mengencerkan dan

membersihkan diri terhadap beban

pencemar (self purification) dan faktor

ekonomis.

Baku Mutu Sumber Air

dituangkan pada Peraturan Pemerintah

tentang Pengendalian Pencemaran Air

secara nasional ditetapkan pada Tahun

1990 melalui Peraturan Pemerintah No.

20 tentang Pengendalian Pencemaran

Air. Pada pasal 7 PP 20 Tahun 1990

tersebut penggolongan air menurut

peruntukannya ditetapkan sebagi

berikut:

a. Gol A : Air yang dapat digunakan

sebagai air minum secara

langsung tanpa pengolahan

terlebih dahulu.

b. Gol B : Air yang dapat digunakan

sebagai air baku air minum

melalui suatu pengolahan.

c. Gol C : Air yang dapat digunakan

untuk keperluan perikanan

dan peternakan.

d. GolD : Air yang dapat dipergunakan

untuk keperluan pertanian,

dan dapat dimanfaatkan

untuk perkotaan, industri,

pembangkit listrik tenaga

air.

Penerapan Baku Mutu Air di

daerah dilaksanakan berdasarkan

Keputusan Gubernur Kepala Daerah

setempat dengan mengacu kepada

peraturan yang ada di tingkat nasional

dan sektoral. Beberapa Baku Mutu

Sumber Air diterapkan di daerah.

Selanjutnya Pemerintah Daerah

Jurnal Teknik Hidro 38

Page 41: Teknik Hidro Edisi1kn

menetapkan peruntukan sumber air di

wilayah masing-masing sesuai dengan

pemanfaatannya. Baku Mutu Sumber

Air yang telah ditetapkan peruntukannya

pada dasarnya mengikuti kriteria

kualitas air pada PP 20 Tahun 1990,

yang dibagi menjadi 4 (empat) golongan

A, B, C dan D menurut pemanfaatannya

seperti telah dijelaskan diatas.

2. METODE PENELITIAN3.1. Pendekatan dan Jenis

PenelitianPenelitian ini merupakan

penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif didasarkan pada data kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dilakukan melalui survei dan observasi yang dilanjutkan dengan analisis dan interpretasi.

3.2. Lokasi dan Waktu PenelitianLokasi pertama penelitian ini

dilaksanakan di Bendungan BiliBili Kabupaten Gowa, dan Lokasi PDAM, IPA V Somba Opu, tepatnya di , Kelurahan ParangLoe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa dan lokasi kedua Kelurahan Batangkaluku, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa provensi Sulawesi Selatan, waktu penelitian akan dilaksanakan selama dua bulan.

3.3. Jenis dan Sumber DataData primer diperoleh dari

observasi dan eksperimen. Data diperoleh melalui pencatatan dan pengamatan fenomena yang diselidiki baik pada variabel murni maupun variabel dengan perlakuan tertentu.

Data sekunder merupakan data tentang kualitas air di intake bendungan maupun pengolahan air baku diolah dari historical data sebelum Longsor sejak tahun 2002 sampai dengan sesudah longsor Mei 2006 dari Unit PWS Jeneberang PU Wilayah dan dari perusahaan pengolahan air minum (PDAM Kota Makassar).

Data pendukung lainnya adalah data distribusi sedimen layang pada Bendungan Bili-bili pasca longsor dan dari bahan pustaka, informan (key person), maupun instansi terkait untuk melengkapi data yang tersedia.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Ditinjau dari cara pengumpulan data, teknik pengumpulan data bervariasi sesuai sifat data yang dikehendaki sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilakukan satu atau dua metode sekaligus (Arikunto, 1998: dan marzuki, 2000). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan pada penelitian ini terdiri atas:1. Metode observasi, pengamatan,

pengetesan, dan pengukuran dilakukan baik dilapangan maupun laboratorium terhadap obyek penelitian untuk memperoleh data kualitas air baku.

2. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tertulis atau data gambar menyangkut keadaan bendungan Bili-bili dan IPA V SombaOpu. Instrumen yang digunakan adalah daftar periksa (check list) berupa

Jurnal Teknik Hidro 39

Page 42: Teknik Hidro Edisi1kn

variabel yang akan dikumpulkan datanya.

3. Metode wawancara dilakukan dengan informan penelitian (key persons) untuk melengkapi data dan keterangan data yang dibutuhkan instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara (interview guide) yang telah disusun dalam pertanyaan penelitian (reseach questions).

3.5. Populasi dan SampelBerdasarkan wilayah sumber

data sebagai subjek penelitian maka penelitian yang dilakukan merupakan kombinasi antara penelitian populasi dan penelitian sampel (Marzuki, 1998).

Untuk rumusan masalah pertama populasi penelitian adalah air baku yang akan masuk ke intake IPA V Somba Opu (data kualitas) dan sampelnya adalah air yang diambil secara sengaja (purposing sampling) untuk mengetahui kualitas air baku sebelum masuk ke pengolahan, selain itu populasi penelitian juga diperoleh dari data-data kualitas air yang diolah pada laboratorium IPA V Somba Opu antara tahun 2001 sampai tahun 2006. Untuk data penunjang adalah data-data hasil produksi dan data distribusi sedimen layang pasca longsor, populasi penelitian dari hasil produksi adalah data-data produksi air baku PDAM Kota Makassar dari tahun 2001 sampai 2006 dan sampelnya adalah data produksi air baku sebelum longsor yaitu data tahun 2003 dan sesudah longsor yaitu data tahun 2004 sampai 2006 pada IPA V Somba Opu.

Populasi penelitian untuk rumusan masalah kedua adalah data

kekeruhan air baku setelah kejadian longsor tahun 2004 sampai 2006, sampel diambil dari data kekeruhan maksimum setelah longsor dan data kekeruhan air baku setelah diadakan penanganan Wilayah Sungai jeneberang antara tahun 2005-2006.

3.6. Metode Analisis DataData yang diperoleh yang

terdiri dari time series data atau historical data dan cross section data dari analisis laboratorium dianalisis sesuai dengan jenis/ kelompok data yang diperoleh.

Analisis dari rumusan masalah yang pertama dan kedua dimana data yang diperoleh merupakan hasil observasi, interview dan data sekunder, pendekatan analisis dilakukan dengan metode induktif yang bertitik tolak dari data tersebut diadakan analisis optimasi berdasarkan opsi penanganan sedimen pasca longsor dan pengaruhnya terhadap kualitas air baku, sehingga diperoleh kesimpulan metode penanganan yang efektif untuk meningkatkan kualitas air baku IPA V Somba Opu.

3.7. Defenisi OperasionalDefenisi operasional disusun

sebagai pengarahan penelitian sehingga dapat dilaksanakan secara sistematik dan terarah sekaligus sebagai batasan aspek penelitian berdasarkan rumusan masalah, maka disusun penjelasan konsep defenisi operasional sebagai berikut:1. Kapasitas waduk adalah daya

tampung waduk/ bendungan yang diukur berdasarkan volume total waduk dikurangi volume total

Jurnal Teknik Hidro 40

Page 43: Teknik Hidro Edisi1kn

sedimen pada ukuran rasio m3/tahun.

2. Endapan sedimen merupakan tampungan sedimen yang terdapat pada waduk/bendungan pada ukuran rasio m3/tahun.

3. Kualitas Air Baku adalah kondisi air baku sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 20 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Pada pasal 7 PP 20 Tahun 1990 tersebut penggolongan air menurut peruntukannya

4. Pemeriksaan Fisika, meliputi; pemeriksaan suhu, warna, bau, jumlah zat terlarut dan kekeruhan pada ukuran rasio oC, TCU (True Colour Units), tidak berbau/ berbau, mg/l dan NTU (Nephelometrik Turbidity Units).

5. Pemeriksaan Kimia, meliputi 3 bagian yaitu; kimia anorganik, organik, Mikrobiologik dan radio aktivitas pada ukuran rasio mg/l, ml dan Bq/l (Bq : Bequerel).

4. Pembahasan Hasil Analisis

4.1. Sedimentasi Sedimentasi berlebihan yang

diakibatkan oleh kejadian longsor Bawakaraeng bukan hanya terjadi pada tubuh bendungan akan tetapi juga terjadi pada hasil pengolahan (by Product) air baku yang diolah oleh IPA V Somba Opu yang diakibatkan oleh banyaknya sediment yang terikut dari pengambilan air baku dan pemakaian koagulan yang lebih banyak sehingga untuk jangka waktu yang lama akan merusak lingkungan di sekitar IPA.

Untuk kualitas air yang terdapat pada bendungan sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal, yaitu :a. Temperaturb. Kekeruhanc. Distribusi sedimen layang

(Suspended Solid)Ketiga unsur tersebut ditengarai merupakan zat dasar yang membawa berbagai zat masuk ke intake IPA Somba Opu.

Hasil pengukuran perbandingan antara kedua lokasi dapat dilihat pada tabel 4.11, dimana jumlah sediment yang keluar dari bendungan pada tahun 2004 sebesar 500,000,00 m3 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 1,300,000,00 m3, air baku yang dihasilkan keluar adalah 34,668,211 m3 dan 32,318,377 m3 pada tahun 2004 dan 2005.

Sedangkan hasil pengukuran Air baku yang masuk pada IPA Somba Opu pada tahun 2004 adalah 29,220,403 m3 dan tahun 2005 sebesar 21,202,900 m3. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kehilangan air sepanjang perjalanan pada tahun 2004 sebesar 5,447,808 m3 dan pada tahun 2005 sebesar 11,115,477 m3.

Tabel 4.7a. Perbandingan hasil Pengukuran sedimen dan air Baku pada Outflow (Bendungan) dan Inflow

(IPA Somba Opu) 2004-2005

Hasil Pengukuran

Out Flow (Bendungan)Inflow (IPA Somba

Opu)

2004 2005 2004 2005

Sedimen (m3)

500,000.00 1,300,000.00 -  - 

Air Baku (m3)

34,668,211 32,318,377 29,220,403 21,202,900

Jurnal Teknik Hidro 41

Page 44: Teknik Hidro Edisi1kn

( Sumber Data : Hasil perhitungan data Primer dan Sekunder, PDAM dan JICA 2006)

Hasil dari semua estimasi maupun observasi data menggambarkan bahwa penanganan untuk tingkat kualitas air baku yang paling diprioritaskan adalah menghambat laju sediment masuk reservoir bendungan, karena dengan cara inilah maka reduksi dampak longsor terhadap kualitas air baku IPA V Somba Opu dapat efektif dilakukan.

4.2. Kualitas Air BakuTingkat Kualitas Air baku

dapat di gambarkan dari hasil percobaan laboratorium terhadap sampel yang diambil pada Tanggal 21 Agustus 2006, pukul 15.02 dengan kedalaman sampel 10 meter dari Muka Air, dengan jumlah 2 (dua) sampel dalam 2 (dua) jarak yang berbeda, pertama adalah sampel (I) dengan jarak 5 meter dari intake, sampel (II) dengan jarak 20 meter dari intake IPA Somba Opu. Adapun hasil dari test tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut ini .

Hasil pengamatan dan pengambilan sample pada air bendungan menunjukkan bahwa, dari hasil uji Kimia memiliki nilai rata-rata jauh di bawah batas maksimum yang dibolehkan, misalnya pada kandungan Mangan (MN), Nitrat dan Nitrit yang memiliki hasil dibawah batas deteksi, ini menunjukkan bahwa kandungan ketiga unsur tersebut hampir tidak ditemukan pada sampel. Sedangkan pada percobaan untuk mengetahui kandungan Besi (Fe), Kesadahan

(CaCO3), Clorida (Cl), Sulfat (SO4), COD dan Zat Organik hasilnya menunjukkan nilai dibawah batas maksimum syarat air kualitas B, begitu juga untuk uji pH nilai dari kedua sampel masih berada dalam nilai pH yang disyaratkan yakni 6 – 9, dengan hasil uji sampel (I) dengan pH 7,48 dan sampel (II) dengan pH 7,5. Sedangkan untuk hasil uji kandungan BOD untuk sampel (I) dan (II) adalah 7,1 mg/L, melewati batas maksimum untuk air kualitas A dan B, yang hanya mensyaratkan nilai kandungan BOD maksimum 2 sampai 3 mg/L.

Pada hasil uji Mikrobiologi menunjukkan bahwa kandungan coli tinja tidak ditemukan dalam sampel, sedangkan total koliform yang terdapat pada kedua sampel, sampel (I) 120 MPN/ 100 ml dan sampel (II) 9 MPN/ 100 ml hasil ini jauh dibawah batas maksimum yang disyaratkan untuk kualitas air kelas A dengan batas maksimum 1000 MPN/ 100 ml dan kelas B dengan batas maksimum 2000 MPN/ 100 ml.

Dari hasil uji air baku pada reservoir ini menunjukkan bahwa air baku tersebut masih dalam tingkat kualitas yang layak untuk bisa diolah ditinjau dari sifat Kimia dan Mikrobiologi, akan tetapi jika ditinjau dari sifat Fisik yakni pada tingkat kekeruhan menunjukkan situasi yang sebaliknya, hasilnya melampaui batas maksimum untuk jenis air golongan A dan B yang mensyaratkan batas maksimum kekeruhan pada nilai 25 NTU sedangkan hasil pengujian tingkat kekeruhan untuk sampel (I). 80,6 NTU dan sampel (II) sebesar 74,5 NTU.

Jurnal Teknik Hidro 42

Page 45: Teknik Hidro Edisi1kn

Dari hasil ini menunjukkan bawa tingkat kualitas air baku yang ada pada reservoir bendungan memiliki kadar Kekeruhan (Turbidity) yang sangat tinggi dan kandungan BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang cukup besar dan melampaui batas maksimum yang disyaratkan untuk air kualitas B.

Meskipun demikian, dari hasil pemeriksaan ini belum bisa disimpulkan bahwa tingkat pencemaran Waduk Bili-bili sudah berkurang mengingat pada hasil percobaan-percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa waktu pengambilan sampel (Bulan Agustus) masuk pada musim kemarau (antara Bulan Juli s/d Bulan Nopember) sehingga hasil dari percobaan kualitas air (parameter kekeruhan) masuk pada nilai terendah. Akan tetapi jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2000 - 2005 maka terdapat perbedaan mencolok seperti yang terlihat pada Tabel 4.8, perbandingan nilai kualitas air baku pada bendungan pada bulan Agustus 2000 – 2006 dibawah ini.

Tabel 4.8 . Perbandingan Nilai Kualitas Air Baku pada bulan

Agustus 2000-2006

No Parameter

Nilai rata-rata Hasil percobaan pada bulan Agustus pertahun

2000 2001 2002 2003

2004 (terjadi Longsor

)

2005

1Kekeruhan (NTU)

2.17 2.4 7.36 3.05 629 135

2Temperatur Air (oC)

_ _ _ _ 30,5 30,7

3Suspended Solid (mg/l)

7,7 _ _ _ 1,340 232.4 _

( Sumber Data : Hasil perhitungan data Primer dan Sekunder JICA 2006)

Dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan menurun dari bulan Agustus tahun sebelumnya yakni dari 627 NTU tahun 2004, 135 NTU tahun 2005 dan menurun lagi sampai pada level 80,6 NTU pada tahun 2006 sekarang ini.

Dari data hasil pengukuran kualitas air pada kedua lokasi penelitian yakni pada reservoir bendungan dan reservoir IPA Somba Opu pada tahun-tahun sebelum longsor (2000 – 2003) dan tahun – tahun sesudah longsor (2004 – 2006) bisa dilihat pada tabel 4. 9, menunjukkan tingkat kualitas yang sangat berbeda misalnya, tingkat kekeruhan pada reservoir bendungan sebelum longsor memiliki tingkat kekeruhan antara 2,17 NTU sampai dengan 63,31 NTU atau rata-rata 3,75 NTU / tahun setelah longsor tingkat kekeruhan meningkat dari 629 NTU sampai 1399 NTU atau rata-rata 281.533 NTU / tahun,

Tingkat kekeruhan pada IPA Somba Opu juga memiliki kecendrungan yang sama yakni, sebelum longsor rata-rata tingkat kekeruhan 35.089 NTU / tahun tapi setelah longsor meningkat menjadi rata-rata 1085.722 NTU / tahun, dengan kisaran sebelum longsor antara 9.746 NTU sampai dengan 63.309 NTU setelah longsor berada pada kisaran 829.33 NTU sampai 1398.5 NTU. Tabel perbandingan hasil pengukuran kualitas air ini dapat dilihat pada tabel 4. 10.

Dari Tabel 4.10 tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat Kekeruhan di Reservoir Waduk Bili-

Jurnal Teknik Hidro 43

Page 46: Teknik Hidro Edisi1kn

bili lebih rendah dari kekeruhan yang terjadi pada Reservoir IPA V Somba Opu, fenomena ini mungkin perlu penelitian lebih lanjut karena sangat berkaitan dengan letak lubang intake IPA V Somba Opu di Bendungan Bili-bili.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan5.1.1. Hasil estimasi Sediment dan

pada Bendungan Bili-bili dan IPA V Somba Opu

a. Perkiraan volume total Sediment yang tertampung pada bendungan sebelum longsor (1997-2004) 21,580,000 m3 atau 13,470,000 m3 /tahun, sedangkan sesudah longsor (2004-2005) mencapai total volume sediment 45,350,000 m3/tahun atau 23,770,000 m3/ tahun, ini berarti terjadi percepatan laju sediment sebesar hampir 90 % dari periode sebelumnya.

b. Perkiraan volume sediment yang keluar (outflow) dari bendungan tahun 2004 adalah 500,000 m3, tahun 2005 sebesar 1,300,000 m3 sedangkan perkiraan volume sediment yang masuk pada IPA (Inflow) pada tahun 2004 sebesar 421,429 m3 dan pada tahun 2005 sebesar 452,882 m3. Sedangkan hasil pengukuran Air baku yang masuk pada IPA Somba Opu pada tahun 2004 adalah 29,220,403 m3

dan tahun 2005 sebesar 21,202,900 m3. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kehilangan air sepanjang perjalanan pada tahun 2004 sebesar 5,447,808 m3 dan pada

tahun 2005 sebesar 11,115,477 m3.

5.1.2. Hasil estimasi penurunan Kualitas air baku pasca longso

a. Penurunan kualitas air baku yang masuk pada IPA V Somba Opu bergerak seiring dengan tingginya tingkat kekeruhan yang terjadi, hasil data sebelum longsor tahun (2002-2003) memiliki kekeruhan rata-rata 45 NTU pertahun, namun pasca longsor (2004-2005) angka ini meningkat drastis lebih dari 25 kalilipat dari sebelumnya pada angka 2579,04 NTU, begitupun produksi air bersih IPA turun hingga 7,58 % pasca longsor.

b. Penurunan kualitas air pada bendungan sampai pengambilan sampel bulan Agustus 2006 dari dua jenis pemeriksaan (total 3 pemeriksaan) yakni, KIMIA dan MIKROBIOLOGI menunjukkan bahwa rata-rata masih dibawah ambang batas maksimum yang diizinkan untuk mutu air Kualitas B, kecuali pada pemeriksaan FISIKA untuk tingkat Kekeruhan jauh diatas ambang batas maksimum yang diizinkan untuk kedua sampel yakni 80,6 NTU dan 74,5 NTU, padahal batas maksimum adalah 25 NTU untuk Kualitas A dan B.

5.2. Saran - Saran5.2.1.Reduksi Dampak penurunan

Kualitas air baku pasca longsor

a. Untuk mengurangi dampak penurunan kualitas air yang masuk pada IPA V Somba Opu

Jurnal Teknik Hidro 44

Page 47: Teknik Hidro Edisi1kn

sebaiknya mempertimbangkan pengembangan yang telah direncanakan sebelumnya yaitu pembangunan IPA VI hal ini berkaitan dengan makin terbatasnya kapasitas IPA V Somba Opu dan meningkatnya biaya operasional pada pemakaian Koagulan.

b. Pengambilan air baku di Bendungan (intake) sebaiknya bisa menggunakan pompa Pontoon agar dapat mengambil air permukaan yang lebih bagus kualitasnya, atau membuat reservoir pengendapan sebelum air baku masuk ke IPA .

5.2.2. Reduksi hasil Sediment dan pada Bendungan Bili-bili dan IPA V Somba Opu

Penurunan hasil sediment pada bendungan hendaknya dimulai dari hulu ke hilir Sungai Jeneberang dengan metode struktural dan non struktural, secara struktural di lakukan dengan

Jurnal Teknik Hidro 45

Page 48: Teknik Hidro Edisi1kn

STUDI ANALISIS HIDROLIKA PENGENDALIAN BANJIR

SUNGAI WALANAE (30 KM) KABUPATEN SOPPENG

Amrullah Mansida1

ABSTRAK

Tulisan ini mencermati Studi Analisis Hidraulika Pengendalian Banjir Sungai WalanaE (30 km) Kab. Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Permasalahan yang muncul adalah terjadinya gerusan tebing, limpahan, genangan air, longsoran pada area bantaran dan perkampungan disekitarnya. Kapasitas Saluran Sungai di wilayah yang lebih datar dari dataran sering kali tidak cukup untuk mengalirkan aliran banjir yang umumnya mempunyai periode ulang 2 tahunan. Ketika aliran sungai mencapai tingkatan banjir maka aliran akan meluas ke sisi kiri atau ke sisi kanan sungai, dan menggenangi lahan sekitarnya yang lebih rendah dari tanggul tebing sungai. Metode digunakan dalam pengumpulan data dengan survey dan investigasi, interview dengan masyarakat setempat, kemudian data-data tersebut diidentifikasi sebagai data primer dan data sekunder untuk kemudian memudahkan dalam pengolahan dan menganalisis. Dari hasil perhitungan diperoleh hujan rencana periode 10 tahun = 131.69 mm, sedangkan banjir rencana periode 10 tahunan = 1075 m3/dt, 25 tahunan. Sementara untuk Kecepatan arus sungai WalananaE pada hulu 2.173 m/t dan pada bagian hilir 1.593 m/dt dan debit sungai pada bagian hulu 1867.585 m3/dt, dan pada bagian hilir 725.989 m3/dt. Dari hasil analisis hidraulika, diketahui bahwa kapasitas alur sungai yang ada masih belum mencukupi untuk mengalirkan banjir dengan kala ulang 10 tahun. Disamping kapasitas alur yang tidak mencukupi, banjir juga disebabkan oleh karena adanya alur sungai yang berkelok-kelok (meander).. Faktor penyebab banjir antara lain Iklim, pengaruh fisiografi, sedimen, Kapasitas alur sungai, drainase genangan tidak memadai, pasang surut, sedangkan faktor banjir kerena tindakan manusia antara lain, perubahan kondisi DAS, Pemanfaatan bantaran sungai, kawasan kumuh, drainase lahan dll. Alternatif Pola Pengendalian banjir antara lain metode struktur dan metode non struktur.

1 .PENDAHULUAN1.1. LATAR BELAKANG

Banjir merupakan permasalahan umum yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia, terutama di daerah padat penduduk misalnya di kawasan perkotaan. Oleh karena itu kerugian yang ditimbulkannya besar, baik dari segi materi maupun kerugian jiwa, maka sudah selayaknya permasalahan banjir perlu mendapatkan perhatian yang serius dan merupakan permasalahan kita semua. Dengan anggapan bahwa, permasalahan banjir merupakan masalah umum, sudah

semestinya dari berbagai pihak perlu memperhatikan hal-hal yang dapat mengakibatkan banjir dan sedini mungkin diantisipasi, untuk memperkecil kerugian yang ditimbulkan.

Sungai Walanae merupakan salah satu sungai lintas kabupaten antara Kabupaten Bone, Soppeng, dan Kabupten Wajo yang berhilir pada Sungai Cenranae selanjutnya bermuara ke Teluk Bone. Sungai Walanae merupakan sungai bermeander dengan lebar sungai bervariasi antara 70 hingga 120 m. Sungai tersebut mempunyai panjang 69

46 Jurnal Teknik Hidro

Page 49: Teknik Hidro Edisi1kn

km dengan luas DAS 7380 Km2. DAS Walanae berada pada posisi antara 3° 20' – 5° 10' LS dan 119° 15' – 120° 20' BT.

Banjir besar yang terjadi setiap tahun mengakibatkan kerusakan sarana fasilitas umum, kebun dan daerah pemukiman. Hal ini lebih diperburuk lagi dengan adanya gerusan aliran sungai yang menimbulkan kerusakan tebing sungai yang mengancam fasilitas-fasilitas penting yang ada di sekitarnya dan merupakan salah satu daerah yang membutuhkan perhatian khusus pemerintah pusat, utamanya untuk Sungai Walanae yang setiap tahunnya mengancam kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Program pengendalian banjir membutuhkan dana yang besar untuk pembiayaan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pengamanan maupun pengendalian banjir. Disamping itu, masyarakat yang berada pada daerah rawan banjir setiap saat memerlukan rasa aman dari pengaruh akibat banjir. Dengan dana yang terbatas pengendalian banjir harus dilakukan seoptimal mungkin dan dilaksanakan menurut rencana dan prioritas yang baik.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN PERENCANAAN

Maksud pekerjaan adalah untuk mendapatkan data dan informasi yang tepat serta gambaran mengenai kondisi banjir pada sungai tersebut diatas.

Tujuan dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah mengedalikan banjir yang terjadi di ruas sungai Walanae berdasarkan data-data yang diperoleh yang dijadikan dasar dalam perencanaan maupun pada saat pelaksanaan fisik serta membuat detail desain pada ruas sungai yang mempunyai prioritas tinggi, termasuk pentahapan pelaksanaan konstruksi sesuai urutan prioritas.

1.3. LOKASI DAN KEADAAN UMUM DAERAH PROYEK

Letak geografis Kabupaten Soppeng terletak pada koordinat 119o 42' 18'' – 120o 06' 13'' BT dan 4o 06' 00'' – 4o

32' 00'' LS. Sungai Walanae termasuk dalam SWS 05 – 06 Walanae – Cenranae yang terletak ± 220 km dari Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan dan ± 20 Km dari Kota Soppeng menuju ke arah Kabupaten Wajo.

Lokasi pekerjaan dimulai dari bagian hilir di perbatasan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo pada koordinat 119o 58' 10" BT dan 4o 16' 13" LS sepanjang 30 km ke arah hulu di Desa Barang pada koordinat 120o 0' 48" BT dan 4o 23' 29" LS.

Kabupaten Soppeng terdiri dari daerah dataran dan daerah perbukitan. Dataran luasnya ± 700 km2 berada pada ketinggian rata-rata ± 60 m diatas permukaan laut sedangkan daerah perbukitan luasnya ± 800 km2 berada pada ketinggian rata-rata ± 200 m diatas permukaan laut. Temperatur udara di Kabupaten Soppeng berkisar antara 24° sampai dengan 30°. Curah hujan rata-rata pada tahun 2003 adalah 146 mm.

Gambar 1.1. Lokasi Sungai Walanae (30 km)

1.4. LINGKUP PEKERJAAN

47 Jurnal Teknik Hidro

Page 50: Teknik Hidro Edisi1kn

Pengendalian Banjir Sungai Walanae Kabupaten Soppeng dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi yang tepat serta gambaran mengenai kondisi banjir pada sungai tersebut yang selanjutnya dijadikan dasar di dalam perencanaan maupun pada saat pelaksanaan fisik serta membuat detail desain pada ruas sungai yang mempunyai prioritas tinggi termasuk pentahapan pelaksanaan konstruksi sesuai urutan prioritas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka lingkup pekerjaan terdiri dari :

1.4.1. Survey dan Investigasi1. Melakukan pengukuran rencana

trase tanggul banjir dan lokasi perbaikan sungai.

2. Referensi tinggi titik pengukuran didasarkan pada tinggi muka air laut rata-rata berdasarkan titik referensi BAKOSURTANAL.

3. Melakukan pengumpulan data hidroklimatologi berupa data : Iklim Curah hujan Probabilitas tinggi muka air

sungai Elevasi muka air (minimum,

maksimum atau normal)4. Identifikasi lokasi bahan timbunan

(borrow area) dan lokasi pengambilan material lainnya (batu, pasir).

5. Pengambilan sampel butiran dasar (sedimen) dan analisa.

1.4.2. Studi dan Analisa1. Analisis debit dominan yang akan

mempengaruhi bentuk morfologi sungai dan digambarkan dalam bentuk kurva / trend.

2. Analisis terhadap sebab-sebab terjadinya banjir di daerah studi.

3. Analisis hidrologi, alur sungai (morfologi sungai) guna penentuan rencana / desain bangunan pengendali banjir.

4. Menyusun alternatif metode pengendalian banjir dengan memperhitungkan faktor teknis (ekonomi, kestabilan dan metode pelaksanaan serta estetika).

1.4.3. Inventarisasi dan Identifikasi1. Daerah-daerah kritis yang rawan

terhadap banjir.2. Mengidentifikasi lokasi

penempatan bangunan pengendali banjir, bangunan pelindung tebing yang tepat, rencana tanggul banjir dan normalisasi sungai serta gambaran awal keadaan fisik sungai maupun bangunan yang akan dibuat.

3. Bangunan-bangunan yang telah ada termasuk tanggul banjir pelindung tebing yang kritis, dan bangunan pengendali banjir yang masih perlu penanganan.

4. Studi maupun perencanaan yang sudah ada.

5. Menginventarisasi kerugian akibat banjir maupun prediksi banjir sesuai dengan debit rencana.

2. PENDEKATAN MASALAH

2.1. UMUM

Kondisi pertama adalah apabila terjadinya luapan sungai dan genangan banjir tidak atau belum menimbulkan kerugian terhadap kehidupan manusia, sehingga tidak perlu diadakan penanganan apapun. Adakalanya peristiwa tersebut malah menguntungkan bagi umat manusia, karena luapan air sungai yang mengandung sedimen / humus tersebut dapat mengisi rawa-rawa sehingga terjadi kolminasi dan sedimentasi yang tinggi justru dapat meningkatkan kesuburan tanah.

Kondisi kedua adalah apabila terjadinya luapan sungai dan genangan banjir menimbulkan gangguan dan kerugian bagi umat manusia. Dalam hal

48 Jurnal Teknik Hidro

Page 51: Teknik Hidro Edisi1kn

ini diperlukan upaya untuk mengurangi besarnya kerugian dan bencana yang ditimbulkan. Terjadinya gangguan dan kerugian adalah berkaitan dengan tumbuh dan berkembangnya segala aktivitas manusia di daerah dataran rendah yang pada umumnya merupakan dataran banjir suatu sungai. Daerah ini ditinjau dari letak geografisnya memang merupakan daerah yang rawan banjir dan genangan. Daerah dataran ini pada umumnya mempunyai tanah yang subur dan mempunyai daya tarik tinggi untuk berbagai kegiatan manusia, sehingga cepat berkembang menjadi kawasan perkotaan, permukiman, industri, pertanian, pertambakan dan kawasan budidaya lainnya.

Kedua permasalahan tersebut dapat diatasi dengan perencanaan penataan ruang yang baik, yang memperhatikan aspek-aspek pelestarian lingkungan. Upaya lain yang kiranya dapat dilaksanakan adalah melakukan pengaturan agar pembangunan bangunan di sungai oleh masyarakat, baik yang dilakukan di daerah hulu maupun di dataran rendah bersahabat dengan lingkungan.

Sungai berdasarkan fungsinya, perIu dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusak terhadap lingkungan. Pengendalian daya rusak sungai ini berupa penanggulangan banjir yang merupakan salah satu usaha dalam rangka pengendalian banjir, sedangkan pengendalian banjir merupakan salah satu manfaat dari pengaturan sungai. Penanganan masalah banjir di suatu daerah adalah kegiatan pengendalian pada satu sistem sungai secara menyeluruh. Hal tersebut mengingat bahwa masalah yang terjadi di suatu daerah bisa merupakan akibat dari peristiwa dan kondisi di daerah lain. Demikian pula upaya penanganannya bisa dilakukan di luar daerah tersebut. Penanganan masalah banjir di suatu

daerah biasanya merupakan perpaduan antara penanganan sistem drainasi dan penanganan banjir akibat limpasan atau luapan air sungai. Penanganan masalah banjir bisa dilakukan secara teknis dan non teknis, dari kedua cara penanganan ini pelaksanaannya haruslah dilakukan secara terpadu dan menyeluruh guna mendapatkan hasil yang maksimal. Penanganan masalah banjir secara teknis dan non teknis akan diuraikan secara ringkas pada pembahasan di bawah ini.

Pelaksanaan penanggulangan banjir meliputi tiga aspek yaitu :1. Aspek mencegah dan mengurangi

kemungkinan terjadinya bencana banjir dalam rangka usaha pemeliharaan dan pelestarian fungsi sungai serta bangunan-bangunan pengendali banjir (saat sebelum terjadinya banjir)

2. Aspek menanggulangi banjir (flood fighting) dalam rangka usaha mencegah dan mengurangi akibat-akibat yang mungkin timbul karena terjadinya banjir (saat terjadinya banjir)

3. Aspek memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat banjir yang telah terjadi dalam rangka usaha untuk mengembalikan fungsi bangunan-bangunan pengendali seperti semula (setelah terjadinya banjir).

2.2.DESKRIPSI MASALAHDeskripsi masalah berdasarkan Master Plan Study on Integrated Development and Management of Walanae – Cendranae River Basin adalah sebagai berikut :

49 Jurnal Teknik Hidro

Page 52: Teknik Hidro Edisi1kn

Kapasitas Saluran Sungai di wilayah yang lebih datar dari dataran sering kali tidak cukup untuk mengalirkan aliran banjir yang umumnya mempunyai periode ulang 2 tahunan. Ketika aliran sungai mencapai tingkatan banjir maka aliran akan meluas ke sisi kiri atau ke sisi kanan sungai, an menggenangi lahan sekitarnya yang lebih rendah dari tanggul tebing sungai. Salah satu penggalan Sungai Walanae yang tidak cukup kapasitas alirannya adalah dimulai sekitar 6 km arah hilir dari jembatan Cabenge sampai ke pertemuan Sungai Cendranae.

Terdapat banyak rumah yang berdekatan dengan tebing sungai, karena masyarakat lebih suka untuk membangun rumah di tebing sungai, dimana akses ke transportasi sungai lebih mudah. Permukiman manusia yang dekat dengan tebing sungai ini sering kali menghalangi atau menjadi kendala bagi pelaksanaan pekerjaan perbaikan sungai.

Gambar 2.1. Jembatan Cabenge.

Gerusan pada tebing akibat arus sungai mengakibatkan sarana dan prasarana yang berada disekitarnya telah mengalami kerusakan. Kondisi yang terparah yaitu putusnya jalan di Desa Cabenge sebelah hulu Jembatan Cabenge dan jalan di Desa Rebo sebelah Hilir Jembatan Cabenge.

Gambar 2.2. Jalan putus di Desa Cabenge (a) dan Desa Rebo (b).

2.3 PENGENDALIAN BANJIR

2.3.1. Penyebab Banjir

Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya banjir. Secara umum penyebab terjadinya banjir dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia.

a. Penyebab Banjir Alami

Faktor-faktor yang merupakan penyebab terjadinya banjir alami adalah:

Iklim

Iklim tropis di Indonesia ditandai oelh 2 musim, yaitu musim penghujan, yang terjadi antara bulan Oktober sampai dnegan bulan Maret, dan musim kemarau, terjadi antara bulan April sampai dengan bulan September.

Pengaruh Fisiografi

Di daerah hulu, sungai-sungai biasanya mempunyai kemiringan yang terjal. Hujan yang lebat dan tingkat erosi yang besar biasanya terjadi di daerah ini. Kemiringan yang terjal dan curah hujan yang tinggi ini akan mengeakibatkan terjadinya aliran puncak yang besar.

Di daerah transisi antara pegunungan dan daerah pantai, kemiringan dasar sungai menjadi agak landai kerena adanya endapan sedimen; dan akibat pengendapan ini, aliran sungai terganggu sehingga menyebabkan banjir. Di daerah hilir sungai biasanya menunjukkan pola yang berbentuk meandering dan landai sehinggga akan menghambat aliran banjir dan memperlama terjadinya banjir.

Sedimen Sungai

Sedimen sungai dalam bentuk suspens atau angkutan dasar (bed load) yang

50 Jurnal Teknik Hidro

(a) (b)

Page 53: Teknik Hidro Edisi1kn

Pengendalian Banjir

Metode Struktur Metode Non Struktur

Perbaikan dan Pengaturan Sistem SungaiSist jaringan sungaiNormalisasi sungai

Perlindungan TanggulTanggul banjir

Sudetan (by pass)Floodway

Bangunan Pengendali BanjirBendungan (dam)

Kolam retensiPembuatan check dam (penangkap sedimen)

Bangunan pengurang kemiringan sungaiGroundsill

Retarding BasinPembuatan polder

Pengelolaan DASPengaturan tata Guna LahanPengendalian ErosiPengembangan kondisi Derah BanjirPenanganan daruratPeramalan Banjir

Peringatan Bahaya banjirAsuransiLaw Enforcement

mengakibatkan terjadinya peninggian dasar sungai dan berkurangnya kapasitas alur.

Kapasitas Alur

Pengurangan kapasitas alur pada sungai dapat sisebabkan oleh pengendapan yang berasal dari erosi DAS yang berlebihan.

Drainase di daerah genangan banjir yang tidak memadai

Drainase yang tidak baik dan memadai akan menghambat masuknya air gengan ke alur-alur sungai.

Pengaruh air pasang

Air pasang laut juga mempunyai efek yang berarti pada permasalahan banjir, terutama jika puncak banjir bersamaan dengan air pasang tinggi.

b. Penyebab Banjir karena Tindakan Manusia

Yang termasuk penyebab terjadinya banjir akibat tindakan manusia adalah:

Perubahan kondisi DAS

Perubahan DAS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota, dll, dapat memperburuk permasalahan banjir karena dapat memperbesar aliran banjir (limpasan).

Pemanfaatan Daerah Genangan Banjir

Pemanfaatan daerah perkotaan dan pedesaan pada daerah bekas rawa alam sepanjang sungai dapat menjadi penyebab terjadinya bajir,karena mengurangi daerah untuk tampungan banjir.

Kawasan kumuh

Perumahan kumuh sepanjang sungai dapat merupakan penghambat aliran.

Sampah

Pembuangan sampah dan kotoran lainnya yang ditimbun sembarangan di sungai menyebabkan terhambatnya lairan dan menaikkan elevasi muka air banjir.

Drainase lahan

Drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan

mengurangi kemampuan bantaran dala menampung debit air yang tinggi.

Jembatan dan bangunan sungai lainnya

Bangunan-bangunan persungaian dapat meningkatkan elevasi muka air banjir karena efek aliran balik dan hambatan aliran.Kerusakan bangunan pengendali banjir.

Kurangnya pemeliharaan bangunan akan mempercepat umur bangunan.

Perencanaan sistem pengendali banjir yang tidak sesuaiBeberapa tipe sistem pengendali banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir-banjir kecil sampai sedang, tetapi sebaliknya mungkin akan dapat menambah kerusakan selama banjir-banjir besar.

2.3.2. Alternatif Pengendalian Banjir

Upaya mengatasi masalah banjir bertujuan untuk mengurangi besarnya kerugian atau bencana yang disebabkan oleh terjadinya banjir dan tidak untuk menghilangkan masalah banjir secara mutlak. Sampai saat ini upaya menangani masalah banjir yang telah diketahui luas oleh masyarakat adalah upaya yang bersifat struktur atau fisik dengan bangunan-bangunan pengendali banjir.

Pada dasarnya kegiatan pengendalian banjir adalah suatu kegiatan yang meliputi aktifitas-aktifitas sebagai berikut ini, yaitu :

Mengenali besarnya debit banjir. Mengisolasi daerah genangan. Mengurangi tinggi elevasi muka

air banjir.Adapun pola pengendalian banjir dapat digambarkan berikut ini.

51 Jurnal Teknik Hidro

Page 54: Teknik Hidro Edisi1kn

Gambar 2.4. Pengendalian Banjir dengan Struktur dan Non Struktur.

3. PENGUMPULAN DATA3.1. UMUM

Salah satu aspek yang sangat penting dalam melakukan analisis adalah ketersediaan data. Secara umum, pengumpulan data dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu data sekunder dan data primer.Yang dimaksud data sekunder adalah segala informasi yang diperoleh secara tidak langsung atau diperoleh dari pihak lain. Data sekunder dapat berupa catatan, hasil pengukuran, hasil analisis yang diperoleh dari suatu tim studi atau instansi, juga buku-buku laporan proyek dan peraturan kebjaksanaan daerah. Sedangkan data primer adalah data yangdikumpulkan secara langsung pada suatu tahap pekerjaan, yang meliputi hasil pengamatan, pencatatan, pengukuran, dan wawancara langsung pada sumber-sumber yang relevan. Realisasi untuk mendapatkan data tersebut adalah melalui survei/pengukuran lapangan.

3.2. DATA SEKUNDER

3.2.1 Data Jaringan Stasiun HidrologiStasiun hidrologi yang dimaksudkan

disini mencakup dua jenis stasiun, yaitu stasiun penakar hujan dan stasiun pencatat debit atau elevasi muka air sungai. Data jaringan ini digunakan untuk mengetahui letak titik data terhadap keseluruhan jaringan sehingga dapat diketahui daerah yang diwakili oleh data tersebut.

3.2.2 Data HujanData curah hujan yang tersedia di sini

adalah data curah hujan harian, bulanan dan harian maksimum tahunan. Data curah hujan tersebut diperoleh dari pos-pos penakar hujan yaitu : Pos Penakar Hujan Palatae ( 40 OP) Pos Penakar Hujan Camba(101 OP)

Pos Penakar Hujan Bengo (410 e) Pos Penakar Hujan Lalange Lajoa (29 OP)

Data ini digunakan untuk menganalisa high flow (debit banjir) dengan beberapa periode ulang. Dari analisa ini didapat besar debit banjir perencanaan (design flood) yang berguna sebagai keamanan konstruksi. Hasil akhir akan didapat muka air banjir maksimum. Adapun pada keempat pos penakar hujan tersebut tersedia data yang cukup lengkap dari tahun 1980 - 2004.

3.2.3 Data Debit Sungai

Data debit sungai dapat diketahui dari catatan elevasi muka air sungai, dengan menggunakan garis liku debit atau rumus debit (aliran) yang sesuai dengan kondisi setempat. Pada Sungai Walanae terdapat alat penakar muka air otomatis (AWLR) Cabenge dengan data yang tercatat dari tahun 1974 - 2004 dan Stasiun Ujung Lamuru dengan data yang tercatat dari tahun 1979 - 2004. Kemudian data debit yang digunakan pada perencanaan ini adalah data debit Stasiun Cabenge.

3.3. DATA PRIMER

Survei untuk mendapatkan data primer dimaksudkan untuk mencari/melengkapi data/informasi yang belum cukup diperoleh dari data sekunder dengan melakukan pengukuran/penyelidikan guna mendukung pekerjaan ini, sesuai dengan TOR, dengan ruang dan lingkup pekerjaan sebagaimana diuraikan pada Bab I. Adapun jenis kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan data primer ini adalah :

Inventasisasi permasalahan banjir Survei Topografi Survei Geologi/Mekanika tanah

3.3.1. Inventarisasi Permasalahan Banjir

Inventasisasi permasalahan banjir dimaksudkan untuk mengetahui karakterisitik

52 Jurnal Teknik Hidro

Page 55: Teknik Hidro Edisi1kn

banjir dan penyebab terjadinya banjir. Hasil kegiatan inventarisasi permasalahan banjir ini nantinya akan dipergunakan sebagai masukan dalam penyusunan sistem pengendalian banjir, penetapan jenis pekerjaan, dan perencanaan teknis pengendalian banjir.

4. ANALISIS HIDRAULIK

4.1 UmumUntuk keperluan setiap pekerjaan

perencanaan, andalan utama untuk analisis adalah ketersediaan data. Dalam hal ini data dapat dipisahkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu data sekunder dan data primer. Kualitas hasil perencanaan tidak terlepas dari kualitas data yang berhasil dikumpulkan selama masa perencanaan. Disamping tuntutan akan kualitas data yang prima, dari segi kuantitas harus pula dipenuhi.

4.1.1 Sistem Sungai

Berdasarkan ukuran dari sub-basin, ada 5 sub-basin yang mempengaruhi debit aliran Sungai Walanae, yaitu : Sub-basin Sanrego (W-3 = 229 km2) Sub-basin Minraleng(W-15=510 km2) Sub-basin Batupute (W-16 = 212 km2) Sub-basin Mario (W-20 = 509 km2) Sub- basin Malanroe (W-30 = 224 km2)

Curah hujan tahunan dari 2 sub-basin yang pertama berkisar antara 2000-3500 mm dan menurun menjadi 1400-2000 mm/thn di sub-basin Malanroe. Di curah hujan maksimum, debit Sungai Walanae di stasiun AWLR Cabenge tercatat 440-500 m3/dtk. Sungai Sanrego di bagian hulu dari Sungai Walanae menunjukkan pola aliran sungai yang relatif rata sepanjang tahun, dengan musim hujan dari bulan April-Juni. Musim kemarau dimulai dari bulan September-November. Menurut informasi dari penduduk setempat, debit sungai Sanrego sangat rendah dimusim kemarau sangat rendah sejak 3 tahun terakhir. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya 20 % dari total areal irigasi sekitar 6000 ha dapat diairi.

Di daerah tengah dari sistem Sungai Walanae, musim hujan dimulai dari bulan Januari, Februari dan dari Mei-Juli, dan musim kemarau dimulai daribulan Agustus-November. Jaringan irigasi Langkeme terletak di tengah daerah ini. Aliran air terendah di bangunan Bendung Sungai

Langkeme terjadi di bulan oktober 2002 sekitar 600 liter/detik dari debit observasi.

Di bagian hilir dari Sungai Walanae, musim hujan muncul di bulan Januari, Februari dan dari April-Juni, dengan debit maksimum dari bulan terakhir Januari sampai minggu pertama Februari. Nilai rerata minimum debit setengah bulanan di musim kemarau dimulai Agustus-Oktober dan menurun. Areal tangkap hujan sekitar 8000 ha terletak di bagian hilir pada kedua sisi tebing Sungai Walanae dimulai dari desa Cabenge di Soppeng sampai desa Sabbangparu di Wajo.

Areal tangkap hujan ini disarankan untuk dikembangkan menjadi sistem irigasi teknis, dan diairi dari Dam Walimpong. Saat ini, sekitar 400 ha dari areal tangkap hujan telah dikembangkan menjadi sistem irigasi pompa oleh masyarakat setempat dengan Sungai Walanae sebagai sumber airnya.

4.2 ANALISIS HIDRAULIKA

4.2.1. Umum

Banjir dengan kala ulang 20 tahun digunakan sebagai debit rencana, dimana banjir tersebut diperoleh dari hasil analisis hidrologi. Analisis hidraulika dilakukan untuk dua keadaan yaitu kondisi eksisting dan kondisi setelah dilakukan perencanaan 4.2.2. Muka Air Maksimum Existing

Analisis hidraulika dilakukan untuk mengetahui elevasi muka air banjir pada kondisi existing bilamana terjadi banjir dengan suatu kala ulang tertentu. Analisis hidraulika ini dilakukan untuk banjir kala ulang 10 tahun, dengan pertimbangan bahwa perencanaan (di Sungai Walanae) didasarkan pada banjir dengan kala ulang banjir yang tidak lebih dari 10 tahun.

4.2.3. Kapasitas AlurYang dimaksud dengan kapasitas alur

disini adalah kapasitas maksimum sungai untuk dapat mengalirkan debit air, tanpa air melimpas ke kanan atau ke kiri sungai.

Rumus yang digunakan dalam menghitung kapasitas alur adalah rumus Manning dengan nilai koefisien kekasaran = 0.3. Hasil perhitungan kapasitas alur kedua sungai tersebut dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Kapasitas Alur

53 Jurnal Teknik Hidro

Page 56: Teknik Hidro Edisi1kn

SungaiKec

(m/ dt)Debit

(m3/dt)Ket

Lokasi

S. Walanae huluS. Walanae hilir

2.1731.593

1867.585725.989

P 490P 2

Sumber : Hasil Perhitungan4.2.2 Analisis Sediment Transport

Total sedimen (Qs) adalah besarnya muatan sedimen melayang ditambah sedimen dasar (Qb). Pada pekerjaan ini besarnya sedimen dasar bulanan Qb (bed load) diperkirakan sebesar 20 % dari besarnya muatan sedimen melayang.Data tersebut diatas terdiri dari beberapa sampel dengan tahun pengambilan yang berbeda. Oleh karena itu pada tinggi muka air yang sama kemungkinan mempunyai debit yang berbeda. Ini bisa terjadi karena adanya perubahan kondisi tampang sungai atau perubahan catchment area setelah beberapa tahun lamanya.5. KESIMPULAN DAN SARAN5.1 KESIMPULAN

Upaya penanganan banjir Sungai Walanae sepanjang 30 km dirumuskan setelah melakukan beberapa tahapan pekerjaan, yang meliputi kajian terhadap studi terdahulu, pengumpulan data, analisis, serta diskusi dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait.

Dari hasil pengamatan lapangan, pengkajian dan analisis terhadap data dan laporan yang ada, serta masukan dari berbagai pihak, dapat disimpulkan hasil-hasil sebagai berikut: Dari hasil analisis hidraulika, diketahui

bahwa kapasitas alur sungai yang ada masih belum mencukupi untuk mengalirkan banjir dengan kala ulang 10 tahun.

Disamping kapasitas alur yang tidak mencukupi, banjir juga disebabkan oleh karena adanya alur sungai yang berkelok-kelok (meander).

Genangan banjir akibat curah hujan dimungkinkan masih tetap terjadi, namun dengan sistem pengendalian banjir yang direncanakan diharapkan luasan genangan banjir akan dapat jauh berkurang, dan tebing yang mengalami gerusan juga dapat terlindungi.

Untuk melaksanakan kegiatan

pengendalian banjir tersebut, perlu adanya perencanaan yang matang, terbentuk dalam suatu pola pengendalian yang berlaku menyeluruh dari hulu sampai muara sungai.

Sementara untuk Kecepatan arus sungai WalananaE pada hulu 2.173 m/t dan pada bagian hilir 1.593 m/dt dan debit sungai pada bagian hulu 1867.585 m3/dt, dan pada bagian hilir 725.989 m3/dt.

5.2 SARAN

Untuk mengantisipasi kejadian banjir pada waktu-waktu mendatang perlu adanya implementasi rencana-rencana yang telah dan/atau akan dirumuskan. Implementasi rencana-rencana pengendalian banjir di Sungai Walanae, memerlukan adanya monitoring sekaligus updating data untuk menyesuaikan pelaksanaan dengan perkembangan pembangunan.DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2003. Kabupaten Soppeng Dalam, Badan Statistik Kabupaten Soppeng, 2003.

C.D Soemarto. 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Hermawan, 2001. Rekayasa Hidrologi (Teori dan Contoh Penyelesaian Soal). Bahan Kuliah Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia Paulus. Makassar.

Kusdaryono, dkk. 1977. Design Flood, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta

Maryono. A, 2003, Pembangunan Sungai Dampak dan Restorasi Sungai, Magister Sistem Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

NIPPON KOEI Co., ltd. in association with PT. Pusat Pengembangan Agribisnis, PT. Tata Guna Patria, PT. Virama Karya, PT. Wiratman & Associates, and PT. Widya Graha Asana. Master Plan Study on Integrated Development and Management of Walanae River Basin, 2003.

Ning Chien, Zhaohui Wan, John S. McNown, 1999. Mechanics of Sediment Transport, American Society of Civil Engeneers, 1999.

Oehadijono, 1993. Dasar-dasar Teknik Sungai, Universitas Hasanuddin, 1993.

Robert J Kodoatie, Sugiyanto, 2002. Banjir, beberapa penyebab dan metode pengendaliannya dalam perspektif

54 Jurnal Teknik Hidro

Page 57: Teknik Hidro Edisi1kn

lingkungan, Pustaka Pelajar, Agustus 2002, Yogyakarta, Indonesia.

Suyono Sosrodarsono dan Masateru Tominaga, 1994. Perbaikan dan Pengaturan Sungai, 1976. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Siswoko. 1990. Pengendalian Banjir, Kursus Singkat Pengelolaan Sungai. PAU Ilmu Teknik UGM. Yogyakarta.

Soewarno. 1995. Aplikasi Metode Statistik untuk Analisi Data. Nova.

Sri Harto, Br. 1993. Analisis Hidrologi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Triatmodjo Bambang, 1996, Hidraulika II, Beta Offset, Yogyakarta.

Waluyo Hatmoko. 1994. Pengantar Pengembangan Sumber Daya Air.

METODE PENANGGULANGAN SEDIMEN PADAJARINGAN IRIGASI

(STUDI KASUS D.I. SALOMEKKO)

Nurnawaty

AbstrakBila air mengalir dalam suatu alur sungai atau saluran, maka aliran air tersebut mengakibatkan pengikisan pada lapisan permukaan, angkutan sedimen tersebut terbawa aliran masuk ke dalam saluran pengairan dan selanjutnya masuk ke dalam sawah

Akibat masuknya sedimen ke dalam saluran irigasi dapat menimbulkan beberapa pengaruh yang sangat merugikan antara lain : pengaruh terhadap kestabilan dan menurunnya air serta pengaruh terhadap eksploitasi dan pemeliharaan dari sarana jaringan irigasi.

Metode pengendalian sedimen pada jaringan irigasi digunakan : (1) Pemeliharaan Letak dan Posisi dan Bangunan Pengambilan, (2) Bangunan Pencegah sedimen (3) Bangunan Penangkap sedimen, (4) Bangunan Pembuang sedimen. Pemilihan metode analisis mengacu kepada Standar Nasional Indonesia yang berlaku dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan data dari daerah studi

Bangunan pengambilan sedimen : (a) pembilas bendung konvensional, (b) Ambang penahan sedimen (Skimming wall), (c) pembilas bawah (under slice)

Angkutan sedimen total pada sungai Salomekko dihitung dengan metode Ackers dan White diperoleh Qs = 525918,265 m3/tahun. Perubahan bangunan penguras konvensional menjadi bangunan pembilas bawah dengan kecepatan Vx = 2,23 m/det

Kata Kunci : Sedimen, angkutan sedimen, bangunan pengendali, pembilas bendung konvensional, skimming wall, under slice

1.PENDAHULUAN

Bila air mengalir dalam suatu alur sungai atau saluran, maka aliran air tersebut mengakibatkan pengikisan pada lapisan permukaan lumpur, kerikil atau

pasir bahkan bahan yang lebih besarpun dapat terangkut, bahan angkutan sedimen tersebut terbawa aliran masuk ke dalam saluran pengairan dan selanjutnya masuk ke dalam sawah.

55 Jurnal Teknik Hidro

Page 58: Teknik Hidro Edisi1kn

Akibat masuknya sedimen ke dalam saluran irigasi dapat menimbulkan beberapa pengaruh yang sangat merugikan antara lain : pengaruh terhadap kestabilan dan menurunnya air serta pengaruh terhadap eksploitasi dan pemeliharaan dari sarana jaringan irigasi.

TUJUAN PENELITIAN :Tujuan Penelitian adalah untuk

mengetahui sejauh mana Pengaruh yang ditimbulkan sedimen terhadap jaringan

Irigasi dan bagaimana cara penanggulangannya

LANDASAN TEORISedimen diartikan sebagai suatu material yang terpisah-pisah yang terangkut, melayang-layang atau mengendap oleh air. Secara umum sedimen digolongkan menurut

ukuran, berat jenis, bentuk, komposisi dan hal-hal lain, sedangkan pergerakan sedimen dalam air tergantung dari faktor-faktor, antara lain : kecepatan dan arah aliran, turbulensi aliran gradasi bahan sedimen dan beberapa hal yang menjadikan penggolongan sedimen.Pengaruh Sedimen Terhadap Jaringan antara lain :

1. Kestabilan dan Kapasitas Pengaliran Sedimen

Pada umumnya kecepatan aliran air yang terdapat pada saluran – saluran irigasi lebih kecil dari pada kecepatan aliran air sungai yang menjadi tempat pengambilannya. Akibatnya sedimen yang masuk terbawa aliran air sungai, lama kelamaan akan mengendap di saluran-saluran irigasi yang dapat menimbulkan gangguan pada dasar alur saluran dan kapasitas pengaliran air dari saluran tersebut.

Akibat berubahnya kestabilan saluran sering terjadi kelongsoran atau pengrusakan pada tebing-tebing saluran yang menyebabkan terjadinya pengendapan di tengah saluran, keadaan ini dapat menimbulkan : berhentinya penyampaian air untuk irigasi karena dipakai untuk membersihkan endapan, berkurangnya areal lahan yang diairi karena naiknya permukaan dasar saluran, kerusakan pada bangunan-bangunan di tepi saluran dan lain-lain.

2. Menurunnya Mutu Air

Dengan banyaknya beban angkutan sedimen berupa lumpur dan lempung maupun pasir, sebenarnya akan menambah kesuburan pada lahan pertanian, tetapi dalam hal ini pemasukan beban angkutan bahan sedimen harus dalam jumlah relatif kecil, karena jika terlalu besar akan menimbulkan penumpukan bahan sedimen yang dapat menyebabkan naiknya permukaan tanah.

3.Eksploitasi dan Pemeliharaan

Penggolongan Sedimen Berdasarkan :a. Mekanisme Pengangkutan 1. Sedimen dasar alur (bed load), Gerakan dari butiran yang bersentuhan dengan dasar alur secara menggelinding, meluncur dan meloncat-loncat.2. Sedimen layang (suspendeed load).

Batas yang jelas untuk membedakan keduanya ini sangat sukar sekali, tetapi Einstein memberikan perkiraan bahwa lapisan dasar alur(bed load) setebal 2 kali diameter butirannya

h – 2d h garis

batas 2d

Keterangan :2d : Tebal lapisan sedimen dasarh – 2d: tebal lapisan sedimen layang

56 Jurnal Teknik Hidro

Page 59: Teknik Hidro Edisi1kn

(untuk sedimen layang (suspended load) terletak di atas garis batas yaitu di atas lapisan sediment dasar alur)

Gambar 1. Pembagian lapisan pengangkutan

Penggolongan berdasar asal materialSesuai dengan asal dari material yang terangkut, angkutan sedimen dapat dibedakan sebagai berikut :1. Angkutan material dasar alur (bed

load transport)Asal angkutan material ini dari dasar

alur, yang mana bahwa angkutannya ditentukan oleh keadaan material dasar alur dan kondisi-kondisialiran airnya, Angkutan material dasar alur dapat berupa sedimen dasar alur ataupun sedimen melayang2. Wash Load

Angkutan dari butiran-butiran ini hampir atau tidak sama sekali mengandung butiran dari dasar alur, material angkutannya didatangkan dari sumber-sumber luar (erosi) atau tidak mempunyai hubungan langsung dengan keadaan setempat.

Wash load tidak penting untuk perubahan dasar sungai tetapi hanya berpengaruh terhadap sedimen pada waduk.

Dari dua sifat angkutan sedimen yang berbeda menimbulkan bentuk-bentuk aliran angkutan sedimen dan di dalam pendekatan hitungan debit, jumlah angkutan sedimen memberikan karakteristik angkutan sedimen yang berbeda.

Gaya yang menghambat gerak butiran adalah hanya sudut geser dari dalam material itu sendiri, dari sebenarnya kemiringan dasar sungai dapat dibedakan tipe aliran debris sebagai berikut :

Tabel 1. Tipe aliran berdasarkan kemiringan

NoKemiringan

DasarBentuk Aliran yang

terjadi1 20 % Terjadi aliran debris

2

3

50 %

80 %

Terjadi kelongsoran tebing dan aliran debrisTerjadi gerak jatuh batu

Rumus Tentang Pengangkutan SedimenMetode ACKERS dan WHITE

H={ n .Qβ .√I }

0,6

; untuk B > 10 H

U = Q / Aυ= A

√g . H . I

Dgr=D [g ( s−1 )v ]

1/3

Fgr=U

¿n ' . (U ¿ )1−n

√g . D (s−1 )

U ¿ '=U

5 ,64 log(10 HD )

Ggr = C(Fgr/A’ – 1)n

S = Ggr . U. D. (U/U*)n’

Dimana :U = kecepatan rata-rat (m/det)U* = kecepatan (m/det)H = kedalaman air (meter)B = Lebar saluran (meter)A = luas penampang (m2)g = kecepatan grafitasi (m/det2 =

9,81)n = koefisien Manning (n =

0,035)s = spesifik gravity = 2,65

V = kekentalan kinematik = T = 20OC = 1,01 . 10-6 m2/det

D = D50 = diameter butirDgr = ukuran butirFgr = sedimen mobility numberGgr = parameter angkutan

S = volume sedimen per satuan waktu per satuan lebar

C, A, n, m = parameter yang berhubungan dengan harga Dgr

57 Jurnal Teknik Hidro

Page 60: Teknik Hidro Edisi1kn

Untuk menentukan besarnya harga koefisien kekerasan tidak ada metode yang dapat akan tetapi tergantung kepada beberapa faktor antara lain : gesekan permukaan, perubahan bentuk dan ukuran dari potongan melintang, lekuk saluran dan lain-lain. Kesemuanya ini tetap berdasarkan untuk mendapatkan saluran yang stabil.

Lacey, mengatakan bahwa suatu saluran untuk dapat mencapai suatu keadaan yang stabil apabila terdapat suatu keseimbangan antara pengendapan dan pengrusakan dan keseimbangan dinamis dan gaya yang dihasilkan serta pemeliharaan bentuk dan kemiringan dasar saluran

Suatu saluran yang mana semua veriabel-variabelnya sama-sama bebas untuk menyimpang mempunyai kecenderungan untuk membentuk bagian semi – eliptis.

Dengan makin kasarnya sedimen yang terangkut dalam air makin rata bentuk kelebarannya demikian sebaliknya jika makin halus sedimen yang terbawa makin sempit kelebarannya .

METODOLOGI PENELITIANMetode Analisa

1. Analisa Hidrologi, curah hujan daerah studi dengan menggunakan metode :a. Log Pearson Type III

b. Gumbelc. Haspers2. Menghitung debit banjir rencana,

juga berpedoman pada data yang diperoleh di lokasi studi

3. Analisa sedimen, karena data yang ada kurang akurat, maka analisa sedimentasi di lokasi studi menggunakan rumus Ackers dan white.

4. Desain dan Hidrolis bangunan pembilas.Perhitungan hidrolis bangunan pembilas terutama pada perhitungan

kehilangan tinggi muka air di bagian bangunan sebagai berikut :

- kehilangan tinggi muka air akibat saringan

- kehilangan tinggi muka air akibat banjir.

Kedua bagian tersebut di atas menggu-nakan rumus D. Kirsmer

hs = C. Sin (t/d)4/3

sedangkan rumus Leviavsky :

Hp=υ √ 2 g . zq . .a

Fx

HASIL DAN PEMBAHASANMETODE PENGENDALIAN SEDIMEN

Pengurangan sedimen yang akan masuk ke dalam saluran sejauh mungkin harus dimulai dari bangunan pengambilan yang biasanya berada di sungai atau sebelumnya. Pengurangan sedimen ke dalam saluran dapat dilakukan bertahap tidak sekaligus sehubungan dengan sifat pergerakan dan besar diameter bahan angkutan sedimen yang harus dihindarkan.

Pada dasarnya usaha pengendalian sedimen pada bangunan pembilas dapat dibagi dua cara, yaitu :

1. Usaha pencegahan yaitu dengan melewatkan bahan angkutan sedimen melalui bangunan pencegah sedimen sehingga tidak dapat masuk terbawa ke pintu pengambilan.

2. Usaha membuang atau mengeluarkan bahan angkutan sedimen yang telah masuk ke dalam saluran.

Berbagai cara pengendalian sedimen dan usaha-usaha berkaitan diuraikan sebagai berikut :1. Pemeliharaan Letak dan Posisi

Bangunan PengambilanLokasi bendung dan bangunan

pengambilan terhadap sungai sangat berpengaruh terhadap pemasukan sedimen. Bangunan pengambilan sebaiknya diletakkan sedemikian sehingga ”mulus” atau di sisi sungai

58 Jurnal Teknik Hidro

Page 61: Teknik Hidro Edisi1kn

dimana aliran sungai lurus. Penempatan bangunan pengambil terutama diperlukan bilamana bangunan pengambil merupakan bangunan pengambil beban tanpa bendung. Maksudnya ialah agar bangunan pengambil selalu berada di dekat jalur terdalam air akan lancar masuk ke bangunan pengambil. Pada tikungan sungai, jalur terdalam pada umumnya berada diluar tikungan luar aliran.

Selain daripada itu ditikungan selalu terjadi aliran spiral atau aliran helicoidal yang mempunyai sifat mengerus dasar sungai ditikungan luar dan membawa hasil gerusan tikungan dalam. Jadi dalam hal ini ditempatkan bangunan pengambil di tikungan luar, angkutan sedimen dasar diarahkan keseberang tikungan. Dalam dan sedikit yang masuk bangunan pengambil. Tembok sayap di hulu bangunan pengambil bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga turbulensi air tinggi dan terjadinya pusaran-pusaran air dihindarkan. Turbulensi dan pusaran-pusaran akan menyebabkan konsentrasi sedimen dalam air lebih tinggi.

2. Bangunan Pencegah SedimenPrinsip kerja bangunan pencegah

sedimen adalah memisahkan dan menyadap air dari lapisan aliran sebelah atas yang kurang mengandung sedimen dengan gradasi kasar, sedangkan untuk lapisan sebelah bawah yang mengandung sedimen lebih banyak langsung dialihkan ke hilir bendung sehingga sedimen dapat dicegah untuk masuk ke dalam bangunan pengambil.

Berbagai jenis bangunan sedimen yang telah dibangun dan di bawah ini akan diberikan macam-macam bangunan pengambil sedimen.

a. Pembilas Bendung KonvensionalYang dimaksud adalah bagian-bagian

pada bendung dimana hulunya dapat

dihanyutkan ke hilir melalui pembilas tersebut. Fungsi dari pembilas bendung adalah mengurangi jumlah bahan angkutan sedimen yang masuk ke bangunan pengambil.

Gambar 2. Pembilas Bendung Konvensional

b. Ambang Penahan Sedimen (Skiming Wall)Untuk mencegah masuknya angkutan

sedimen dasar ke bangunan pengambil maka biaanya diusahakan bangunan mercu ambang bangunan pengambil ditempatkan berada jauh lebih tinggi dari dasar alur.

Tinggi mercu ambang sebaiknya ditempatkan di sekitar sepertiga dari tinggi air dihitung dari dasar dengan alasan bahwa konsentrasi pasir makin dekat ke permukaan makin kecil dan meloncat kurang lebih sepertiga tinggi air dari dasar.

Dengan mengambil tinggi ambang penahan sedimen kira-kira sepertiga tinggi air yang diharapkan angkutan sedimen layang juga yang berupa fraksi pasir tidak ikut masuk.

h

1/3 h

59 Jurnal Teknik Hidro

Page 62: Teknik Hidro Edisi1kn

c. Pembilas Bawah (Under slice)Sebagai tujuan utama, kontruksi ini

dipakai untuk mencegah sedimen dasar alur masuk ke bangunan pengambil, tetapi pembilas bawah ini dapat pula mengurangi jumlah sedimen terutama fraksi pasir dalam suspensi.

Sekat penguras

Lantai atas

Air yang mengalir sebelum masuk bangunan pengambil dibagi dua, lapisan air bagian bawah dan lapisan air bagian atas mengalir masuk kedalam bangunan pengambil. Kedua lapisan ini dipisahkan dengan konstruksi plat sebagai penutup atas pembilas. Dengan demikian angkutan sedimen dasar alur yang bergerak pada lapisan bawah aliran sebelum masuk kedalam bangunan pengambil terlebih dahulu tersedot kedalam pembilas bawah dan terbuang melalui pintu hilir pembilas bawah.

3. Bangunan Penangkap Sedimen (sedimen Trap)

Tujuan dari bangunan ini ialah untuk menghindari fraksi pasir yang berupa angkutan sedimen melayang yang berasal dari sungai dan masuk melalui bangunan pengambil mengalir ke saluran induk. Penangkap sedimen harus mempunyai ukuran dan bentuk tertentu sehingga dapat mengendapkan angkutan sedimen layang dengan baik dan hasil endapan ini nantinya dapat dibuang melalui pintu pembilas.

Sal. Bilas

GuideWallrendah

IntakeGambar 5. Penangkap Sedimen

4. Bangunan Pembuang SedimenBangunan ini dikenal dengan

nama Ejektor (sedimen ejektor) dengan tujuan menarik sedimen yang terkumpul dalam kolam pengendap dengan menggunakan sistem daya kuras.

Air Bersih

dibuang

Gambar 6. Pembuang SedimenSelain hal-hal yang telah diuraikan

diatas, masih banyak jenis-jenis bangunan untuk mengendalikan sedimen. Dan juga untuk mengurangi jumlah angkutan sedimen pengaruh cara eksploitasi pintu-pintu bendung, bangunan pengambil dan pengelak sedimen harus diperhatikan.

ANALISIS1. Perhitungan Debit Rencana (Design

Flood) dan Debit PembilasPerhitungan debit rencana di daerah

studi dari penelitian sebelumnya yang menggunakan metode Rasional Jepang

Q=α . r . A3,6

Dengan :Q = Debit banjir maksimum (m3/det)A = Koefisien limpasanr = Intensitas hujan selamawaktu

konsentrasi (mm/jam)A = Luas daerah aliran sungai /DAS

(km2)

Diperoleh : Q100 = 444,85 m3/det

60 Jurnal Teknik Hidro

Page 63: Teknik Hidro Edisi1kn

Sehingga debit rencana = 1,2 x Q100 = 112 x 444,85 = 533.82 m3/det

Untuk bangunan pembilas debit yang ideal adalah berkisar 15% hingga 20 % dari debit perencanaan untuk bendung. Maka dari itu debit rencana untuk pembilas bawah adalah :

Qb = 0,15 x 533,82 = 80,07 m3/det

2.Perhitungan SedimenPada perhitungan angkutan sedimen

total parameternya adalah sebagai berikut :

g = 9,81 m/detn = 0,035s = 2,65V = 1,01 x 10-6 m2/detD50= 7,5 x 10-3 m

Dengan menggunakan metode Ackers and White diperoleh hasil pada Tabel 1.

3. Desain dan Hidrolis Bangunan PembilasData dimensi bangunan sebagai pembilas lama : Q = 25,757 m3/det, n = 0,015, b = 1,5 mmaka :

hc=¿ [ α .. .Q2 ¿ ]¿¿

¿¿

Rc= hc .hh+2 hc

= 1 ,399 x1,5(1,5+2 x1 ,399 )

=0 ,488

Sc=n2 .g . hcRc4 /3 =0 , 0152 x 9 , 81 x 1 ,399

0 , 393=0 ,00786

Maka kemiringan dasar saluran pembilas bawah diambil i/iii dan tinggi air rencana diambil 1,770 m. Perhitungan kecepatan kritis yang menggerakkan butiran sedimen di pembilas bawahRumus Distribusi Kecepatan :

UcU∗c

=5 ,75 .Log ( RKs )+6

Dimana :

Uc = kecepatan kritisU*c = Kecepatan geser kritis

Untuk :

d = 0,303 (cm) ------ U*c = 8,99 d1/2

R = Jari-jari hidrolis

Ks = d65 = 16,8179 mm = 1,682 cmd = Diameter butir sedimen

Maka :Uc = 8,99 x 30,5 x 5,75 log (R/Ks) + 6

Hasil pehitungan hubungan antara kedalaman air h dengan Uc.

h (cm) R (cm) Uc (cm/det)

35 23,86 196,5670 36,21 212,78105 43,75 220,13140 48,84 224,41170 52,04 226,88

Dari hasil perhitungan di atas diambil perkiraan kecepatan kritis, 2,0 m/det untuk d= 30 mm,bila kecepatan lebih dari 2,0 m/det endapan akan terbawa aliran.

Pengaliran kecepatan kritis 2,0 m/det sesuai pula dengan grafik Hjulstrom. Kontrol kecepatan.

Pintu pembilas bawah dibuka keseluruhan

+ 144,50

+142,0

Vu=2 g . zqZq = beda tinggi muka air di depan bendung

dan akhir dan pembilas bawah.Kec. Vu = 2. 9,81 . 1,9 = 6,11 m/det

Pintu pembilas bawah dibuka setinggi 1 m

61 Jurnal Teknik Hidro

Page 64: Teknik Hidro Edisi1kn

Y = 1 m

Vx= υ .√2 g . zq . aFx

Dimana,Vx = kecepatan pembilas bawah

μ = Koefisien kontraksi a = Luas bukaan pintu

Fx = Luas basah pada pembilas bawah

Vx =

0 ,62 √2 . 9 ,81 . 1,9 . (1 . 1,5 )1,5 . 1,7 = 2,23 m

4.Perhitungan HidrolisPerhitungan hidrolis terutama akan

mencakup perhitungan kehilangan tinggi muka air bagan-bagian bangunan.

Kehilangan atau beda tinggi muka air meliputi:1. kehilangan tinggi muk air akibat

saringan2. kehilangan tinggi muka air akibat

pijarBesaran-besaran yang ditetapkan adalah:1. Debit air Q maksimum = 80, 07 m3/det2. Elevasi muka air di hulu bendung :

El .44, 353. Tinggi air pada hulu bendung 3,50 m

Kehilangan tinggi muka air akibat saringan.Menurut : D. Kirsmer

hs = C . Sin θ (t/d) 4/3

+44,35 hs 42,99

hs = Kehilangan tinggi air karena saringanC = Koefisien yang tergantung pada

bentuk penampang batang saringan = 2,42

θ = Sudut mirng prmasangan = 9 mm

d = jarak antara batang saringan = 30 mm V1 = Kecepatan di hulu

V1 =

80 , 0750 . 3,6

= 0 , 44 m /det

Sin 750 = 0,966

hs = 2,42* 0,966*( 930

)43 .

(0 , 44 )2

19 ,62 = 0,0048 mMaka; El. Muka air menjadi :

El . 43,00 – 0,0048 = 42,99 mDan ketinggian muka air :

43,99 – 39,50 = 3,49 mmKehilangan tinggi mukaair akibat adanya pilar Menurut Leliavsky

hp =

Va2

2gK 2 [( aA )

2

− 1] .................

(5-2)dimana :

hp = kehilangan tinggiVa = kecepatan air di muka pilar

a = luas bruto = h x B=3,49*50 =17,5 m2

K = untuk pilar bulat = 0,92A = luas lubang netto

Va =

80 , 0750 . 3 ,49

= 0 , 458 m /det

Hp =

0 ,4582

19 , 62 . 0 ,922[ (174 , 5

3 , 49 . 213 ,9)2 − 1 ]

= 0,014 m

Maka elevasi air menjadi Elevasi 42,99 – 0,014 = 42,97 mDan tinggi air = 3,49 – 0,14 = 3,476

m

KESIMPULAN

1. Total angkutan sedimen diperoleh : 525.918.265 m3/th

2. Untuk mendapatkan keseimbangan dalam angkutan sedimen sepanjang sungai perlu pengaturan pada daerah pengendapan

3. Perubahan bangunan penguras dari penguras konvensional menjadi bangunan pembilas bawah dapat

62 Jurnal Teknik Hidro

Page 65: Teknik Hidro Edisi1kn

mengurangi angkutan sedimen yang menumpuk di muka intake

DAFTAR PUSTAKAAnonymous, 1986, Pedoman dan

Kriteria Perencanaan Irigasi, DPU Direktorat Jenderal Pengairan, Bandung

Eruce Wither and Stanley wipond, 1974, Irrigation Design and Practice, London

Oehadijono Prof, 1993, Dasar-dasar Teknik Sungai (Principles River Engineering), Buku Pelajaran Universitas Hasanuddin

Soemarto CD, Ir, 1986, Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya Indonesia, Jakarta

Soewarno, 1991, Hidrologi Pengukuran dan Pengelolaan Data Aliran Sungai (Hidrometri), Penerbit Nova, Bandung.

Soenarno KSC, Ir, 1976, Perhitungan Bendung Tetap, Bandung

Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 1984, Pengaturan dan Perbaikan Sungai, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Ven Te Cho, PhD, 1989, Open Channel Hydrailics (Hidrolika Saluran Terbuka), Penerbit Erlangga.

PENERAPAN BEBERAPA METODE IRIGASI LOKAL PADA PERTANAMAN PALAWIJA

Ma’rupah

ABSTRAKPenerapan Beberapa Metode Irigasi Lokal dan Penggunaan Pupuk Kandang pada

Pertanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari efektifitas metode irigasi drip

dan penggunaan pupuk kandang dalam menunjang pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L) Merrill).

Percobaan pot dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin yang berlangsung mulai Juli sampai September 2005, sedangkan analisis beberapa sifat fisik dilaksanakan di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia.

Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan Pola Rancangan Petak Terpisah (RPT), pupuk kandang sebagai petak utama dan metode pemberian air sebagai anak petak, masing-masing terdiri dari tiga taraf sebagai berikut : Petak Utama, pupuk kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha, 25 ton/ha dan 50 ton/Ha. Anak petak, metode pemberian air secara manual, flow dan drip. Jadi diperoleh 9 kombinasi perlakuan, diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 27 pot percobaan. Parameter yang diamati yaitu jumlah daun, jumlah cabang, berat kering bagian atas dan bagian bawah, jumlah polong, berat kering biji per pot dan kadar air tanah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Metode irigasi Drip sangat efektif dalam mempertahankan kadar air tanah, (2) penerapan sistem irigasi drip pada tanah Alfisol tidak memerlukan penambahan pupuk kandang untuk meningkatkan produksi (berat biji kering), (3) pengaruh interaksi terbaik pada sistem irigasi drip dengan tanpa pemberian pupuk.

1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Permasalahan yang menyangkut pengelolaan sumber daya air sangat beragam dan semakin rumit, padahal air merupakan penunjang kehidupan yang sangat esensial.Dewasa ini Indonesia mulai menghadapi maswalah yang serius berkaitan dengan neraca penggunaan air tanah yang seimbang. Di

Indonesia terdapat kurang lebih 214 cekungan air tanah potensial , dengan kapasitas total diperkirakan 474.791 juta meter kubik per tahunnya . Sementara proyeksi kebutuhan air tanah untuk berbagai keperluan sampai tahun 2000 nantimencapai sekitar 97.916 juta meter kubik per tahunnya (Deny dalam Probo- Hadiwidjoyo, 1993).

Air sangat penting , maka dari pada itu dalam pemanfaatanya perlu digunakan

63 Jurnal Teknik Hidro

Page 66: Teknik Hidro Edisi1kn

seefisien mungkin. Terutama air irigasi yang dapat mengairi tanaman yang kapasitas airnya dapat dikontrol atau disesuaikan dengan tingkat kebutuhan tanaman.

Metode yang efektif untuk menghemat air irigasi yaitu metode irigasi lokal, dimana pembasahan lansung didaerah perakaran tanaman sehingga air irigasi dapat dipergunakan seefisien mungkin. Metode irigasi drip merupakan salah satu bagian dari irigasi lokal , di mana metode irigasi drip merupakan teknik pengairan dengan meneteskan air setetes demi setetes.Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan tanaman agar tetap optimal saat persediaan air terbatas .Prinsip pengairan ini sangat sederhana, dari sumber air (dapat berupa sungai, sumur artesis, danau atau kolam) yang letaknya di ketinggian tertentu, air di salurkan melalui sistem susunan selangt plastic ke setiap tanaman (Alwi dalam Norsasongko , 1993). Meskipun prinsipnya, penerapannya memerlukan sejumlah peralatan serta penelitian yang seksama mengenai jumlah air yang di distribusikan.

Masalah utama dalam sistem penerapan ini yaitu masih kurangnya sarana peralatan yang mampu mengontrol keluarnya sejumlah air yang di butuhkan tanaman secara kontinyu dan tidak berlebih.

Melihat pentingnya peranan air maka ketersediannya dalam tanah perlu di tingkatkan dan dilestarikan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan air dalam tanah adalah pemberian pupuk kandang. Menurut Saleh (1983 ) dalam Ahmad (1991 ), pupuk kandang mengandung bahan organic maka pemberiannya pada tanah berat dapat merubah struktur liat menjadi longsor dan porous sehingga tanah menjadi gembur. Dengan demikian ketersediaan air dalam tanah juga meningkat.

Kedelai termasuk tanaman yang tidak tahan kekeringan namun juga tidak tahan terhadap gangguan air. Yang baik untuk tanaman kedelai adalah air tanah dalam keadaan kapasitas lapang sejak tanaman tumbuh hingga polonh mengisi penuh, kemudian kering menjelang panen. Kekeringan pada saat pertumbuhan vegetatif mengakibatkan tanaman kedelai kerdil, kekeringan pada saat berbunga atau pengisian polong dapat menggagalkan panen (Sumarno, 1991).

Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, asalkan drainase air tanah baik dan ketersediaan air tanah cukup selama pertumbuhan .Pertumbuhan tanaman kedelai dapat optimal, bila tanah dapat mengandung banyak unsur hara, berstruktur gembur , bebas dari gulma serta dapat mengandung cukup air (Sumarno ,1991).

Berdasarkan uraian singkat di atas dirasa perlu melakukan penelitian tentang beberapa metode irigasi yang di kombinasikan dengan penggunaan pupuk kandang dan tanaman kedelai obyeknya.1.2. Hipotesis1. Metode irigasi drip lebih efektif dalam

mempertahankan kadar air tanah di banding metode irigasi flow dan manual.

2. Pupuk kandang dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air.

3. Perpaduan antara metode irigasi drip dan penggunaan pupuk kandang akan lebih meningkatkan produksi tanaman kedelai.

1.3. Tujuan dan KegunaanPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui

dan mempelajari efektifitas metode irigasi drip dan penggunaan pupuk kandang dalam menunjang pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai efeksitas metode irigasi drip dalam mempertahankan kadar air tanah dan diharapkan pula penelitian ini menjadi dasar atau itik tolak untuk melakukan penelitian selanjutnya.2. TINJAUAN PUSTAKA2.3. Irigasi Lokal

Irigasi lokal adalah pembasahan sebagian dari tanah dalam sebidang lahan, tetapi dapat di artikan lebih khusus lagi yaitu sebagai sistem pembasahan sebahagian dari tanah pada dasar tanaman (daerah perakaran tanaman) .

Hal yang terpenting dari irigasi lokal ini dan merupakan karakteristiknya yaitu lambat dan sedikitnya volume air yang di berikan pada daerah perakaran tanaman. Alat penyambung yang digunakan dalam sistem ini sebagai alat pendistribusi seperti :lubang-lubanh kecil/mulut, pipa, pipa semprot, micro tube, pipa-pipa penyerap, dst, apakah diatur diatas permukaan atau dibawah permukaan tanah (Varmeiren, 1980).2.4. Metode Pemberian Air Irigasi2.2.1.Irigasi Curah (Manual )

64 Jurnal Teknik Hidro

Page 67: Teknik Hidro Edisi1kn

Irigasi curah sangat sesuai bagi daerah yang tanahnya mempunyai laju infiltrasi yang tinggi dan topografi daerahnya tidak mungkin diratakan, sehingga tidak menguntungkan bila diterapkan irigasi permukaan. Dengan irigasi curah memungkinkan perubahan total lingkungan pertumbuhan melalui pembasahan tanah dan tajuk tanaman . Hal ini menyebabkan turunnya tempratur dan naiknya kelembaban nisbi disekitar tanaman sehingga tegangan air (Water stress )di dalam jaringan tanaman turun (Hakim, dkk, 1986).

2.2.2. Irigasi DripIrigasi drip disebut juga irigasi tetes

atau irigasicucuran yang terdiri dari jalur pipa yang ekstensif biasanya dengan diameter kecil yang memberikan air lansung tersaring ke tanah dekat tanaman. Selang pendistribusian utama, disambung dengan selang cabang yang dihubuingkan dengan beberapa pi[a penetes. Supaya air dapat menetes, di bagian pipa penetes yang yang berada di tempat dekat tanaman di pasang alat berlubang kecil /emitter (Alwi dalam Nursasonhgko, 1993 ).

Air irigasi dapat diberikan secara sangat efisien kepada pohon kecil dan ditanam dengan jarak yang lebar dimana air ditempatkan pada daerah akar tanpa membasahi tanah dimana tidak ada akar.Efisiensi pemakaiam air mendekati 100 % dan penghematan air dari 30 sanpai 50% dihasilkan bila dibandingkan dengan metode pemberian yang lain untuk tanaman dan kondisi y6ang sesuai untuk metode irigasi drip. Masalah serangan han=ma dan penyakit dapat dikurangi dan mengurangi pembasahanpermukaan ctelah sampai minimum. Lebih sedikit semak-semak dan lebih sedikit pengersan tanah , menurunnya pengolahan tanah .dengan demikian sedikit pemadatan tanah dan lebih sedikit gangguan pada waktu panan adalah keuntungan metode irigasi drip (Hansen, 1979 ) .

2.2.3. Irigasi FlowIrigasi flow merupakan cara

pemberian air dengan mengalirkan air lansung ke daerah perakaran tanaman dengan menggunakan pipa-pipa pendistribusi, metode irigasi ini hampir sama dengan metode irigasi drip tetapi cara pemberian airnya berbeda yaitu dengan mengalirkan dan metode irigasi drip diteteskan.2.3. Peran Pupuk Kandang

Peningkatan produksi tanaman palawija khususnya kedelai, pengolahan terhadap tanah sebagai media bagi pertumbuhan perlu diperhatikan.Menurut Soepardi (1983 ) , untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman perlu diperhatikan sifat fisik, kimia dan biologi dari tanah tersebut, karena sifat tanah ini sangat berpengaruh terhadap produksivitas dan penyediaan harga bagi tanaman.

Menurut Bennet (1939 ) dalam Sarief (1989 ), fungsi bahan organic antara lain dapat memperbaiki aerasi tanah dan mempertinggi kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah perakaran. Selanjutnya Syarief menyatakan bahwa peranan bahan organic terhadap sifat fisik tanah adalah menaikkan kemampuan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan daya tahan air tanah.

2.4. Kebutuhan Air Tanaman KedelaiProduksi nasional berfluktuasi dari

tahaun ke tahun sejalan dengan fluktuasi luas pertanaman. Merosotnya luas pertanaman dan panen antara lain adanya ketersediaan air yang tidak terjamin serta drainase tanah yang jelek, karena tanaman kedelai merupakan tanaman yang yang tidak tahan terhadap genangan air (Lamina, 1989). Kandungan air yang dikehendaki dan yang baik untuk tanaman kedelai adalah pada tingkat kadar air kapasitas lapang. Dijelaskan oleh Ahmad dalam Lamina (1989 ) bahwa akibat kekeringan selama pertumbuhan tanaman kedelai adalah :1. Kekeringan pada saat biji kedelai ditanam

dapat menghambat perkecambahan.2. Periode pertumbuhan aktif dapat

menghambat pertumbuhan dan muluruhnya daun- daun pada cabang bawah

3. Periode pembungaan akan mempertinggi derajat kerontokan bunga.

4. Periode pembentukan polong dapat menghambat pembentukan polong dan meluruhnya polong – polong yang baru terbentuk.

5. Periode pengisian polong akan mengurangi jumlah biji dan kepadatan ukuran biji.

Selama pertumbuhan tanaman kedelai membutuhkan sejumlah air. Kebutuhan air ini bervariasi menurut kondisi iklim, pengolahan tanah, jenis tanaman, lama

65 Jurnal Teknik Hidro

Page 68: Teknik Hidro Edisi1kn

musim tanam dan fase pertumbuhan tanaman (Faisal dalam Ahmad, 1991).

Jumlah dan waktu tersedianya air tanah sangat mempengaruhi keberhasilan pengusahaan tanaman kedelai. Kebutuhan air tanaman kedelai yang umur sedang (85 hari) ditetapkan oleh Abdulhay dan Sulaiman (1983) di Jawa Barat, dan oleh Doorenbos dan Pruit (1971) di Filipina seperti yang tercantum pada Tabel 1.

2.5. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Tanaman kedelai merupakan tanaman

semusim yang dapat tumbuh baik pada jenis tanah Alluvial, Regosol, Latopsol atau Andosol. Menurut Morris (1983) dalam Ahmad (1991), pertumbuhan tanamn kedelai kurang baik pada tanah pasir, ph tanah yang baik untuk pertumbuhan kedelai adalah 6 - 6,5 untuk Indonesia dianggap baik jika ph tanah 5,5 - 6 . Di samping ph, ketersediaan air selama pertumbuhan tanamn kedelai sangat menentukan hasil kedelai (Lamina, 1989 ).

Tabel.1 Kebutuhan Air pada Tanaman Kedelai Umur Sedang (85 hari ) pada Setiap Periode Tumbuh.

Stadium Tumbuh Periode Kebutuhan air(mm / periode)

Pertumbuhan AwalVegetatif AktifPembungaan –

pengisian polongPematangan biji

20103520

53 – 6253 – 62

124 – 14370 - 83

Sumber :Doorenbos dan Pruit (1971 ) dalam Ahmad

(1991)

2.6.Tanah AlfisolTanah Alfisol adalah tanah – tanah

dengan penimbunan liat di horizon bawah dan mempunyai kejunuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari permukaan laut. Liat yang tertimbun di horizon B ini berasal dari horizon di atasnya yang tercuci kebawah bersamaan dengan gerakan air (Hardjowigeno, 1989 ).

3. BAHAN DAN METODE3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Universitas Hasanuddin Tamalanrea Makassar pada Juli sampai September 2005.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini : benih kedelai, rhizogin, pupuk urea, TSP, KCL, pupuk kandang, sampel tanah Alfisol.

Alat – alat yang di gunakan : skop, ayakan, timbangan, selang plastic, pipa paralon, pot / ember, lem pipa, botol infuse, balaok kayu, penampang air, label dan alat tulis menulis.

3.3. MetodePercobaan ini menggunakan

Rancangan Acak Kelompok dengan pola Rancangan Petak Terpisah (RPT), sedang petak utama adalah pupuk kandang dimana perlakuannya meliputi : BO0 = tanpa pupuk kandang, BO1 = 87,5 g / pot (25ton /ha), BO2

=175 g / pot (50 ton/ ha).Sebagai anak petak adalah metode pemberian air yang terdiri dari : M = Manual , F = Flow , D = Drip.

Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah , dimana petak utama terdiri dari 3 perlakuan (BO0, BO1, BO2 ) dan petak terdiri dari 3 perlakuan ( M, F, D ) sehingga didapatkan 9 kombinasi perlakuan (Tabel 2 ), kombinasi perlakuan ini diulang 3 kali sehingga didapatkan 27 pot percobaan .

Tabel 2. Kombinasi PerlakuanDosis Pupuk

Metode Pemberian AirDrip Flow Manual

0 ton/ha25 ton/ha50 ton/ha

DBODBODBO

FBOFBOFBO

MBOMBOMBO

3.4. Pelaksanaan 3.4.1. Perakitan Alat

Disiapkan alat penampung yang berkapasitas 42 liter swebagai sumber air. Melalui pipa paralon yang panjangnya 2 m berdiameter 2,5 cm air dialirkan dari sumber utama (penampung). Pipa–pipa paralon (pendistribusi utama) disambungkan dengan selang plastic 0,5 mm ke botol pendistribusi ini nantinya mengalirkan air ke pipa penetes. Pipa penetes ini dilengkapi alat khusus yang dapat mengatur besar besar kecil tetesan air, kemudian pipa – pipa penetes ini dipasans di tempat–tempat dekat tanaman sehingga sumua tanaman mendapatkan jatah air yang sama sesuai perlakuannya. 3.4.2. Analisis Tanah Analisis tanah yang utama dilakukan hanya sifat fisik yang meliputi: kapilaritas, TPL, kapasitas lapang, kadar air permukaan tanah,

66 Jurnal Teknik Hidro

Page 69: Teknik Hidro Edisi1kn

kadar air tanah pada kedalaman 5 – 7 cm dari permukaan tanah dan tekstur tanah.

3.4.3. Persiapan MediaTanah Alfisol diambil dari lahan

secara komposit pada kedalaman 0 -30 cm dari permukaan tanah. Tanah kemudian diayak dan dicampur hingga homogen . Tiap- tiap pot diisi 7 kg tanah, kemudian pupuk kandang dicampur secara merata seminggu sebelum penanaman. Media siap ditanami.

3.4.4. Penanaman Penanaman dilakukan dengan cara

tugal, setiap pot diisi 4 biji, setelah tanaman tumbuh merata kemudian disisakan 2 tanaman tiap pot.

3.4.5. PenyiramanPenyiraman dilakukan sesuai dengan perlakukan masing – masing. Jumlah air yang diberikan untuk semua perlakuan adalah 200 ml / pot / hari.

3.4.6. Pemupukan Disamping pemberian pupuk kandang

juga diberikan pupuk buatan dengan dosis : 23 kg urea/ha, 69 kg TSP/Ha , 60 KCL/ha. Pupuk diberikan bersamaan dengan waktu penanaman yang dilakukan denagn cara tugal sedalam 5 cm dari permukaam tanah. 3.4.7. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman meliputi

penyiangan gulma dan pengendalian hama dan

penyakit. Penyiangan gulma dilakukan setiap

hari sedangkan pemberantasan hama dan

penyakit dilakukan setiap ada tanda – tanda

awal tanaman terserang hama dan penyakit

dengan menggunakan sevin 85 S.

3.4.7.Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap minggu, parameter yang diamati meliputi : jumlah daun, jumlah cabang, berat kering batang dan daun, berat kering akar, jumlah polong dan berat kering biji per pot.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil4.1.1.Kadar Air Media

Kadar air awal media setelah diberi perlakuan (Tabel 3) memperlihatkan pada perlakuan DBO 2 (Drip dengan 50 ton / ha pupuk kandang ) mempunyai kadar air tertinggi yaitu 58, 25 % dan kadar air terendah pada perlakuan MBO o (Manual dengan tanpa pemberian pupuk kandang )yaitu 32,69 %.

Tabel 3. Kadar Air Awal Media Setelah Diberi Perlakuan

Perlakuan KA Perlakuan KA Perlakuan KA

M BO0

M BO1

M BO2

32,69

36,98

44,71

FBO0

FBO1

FBO2

33,28

39,86

47,62

DBO0

DBO1

DBO2

35,21

45,50

58,25

Keterangan : Kadar Air diambil pada kedalaman 5 – 7 cm

dari permukaan tanah

Grafik kadar air bagian atas (permukaan media) memperlihatkan bahwa kadar air tertinggi dicapai pada DBO 2 (drip dengan pemberian pupuk kandang 50 ton/ha (Gambar 1).

Gambar 2 , yaitu grafik kadar air pada perlakuan drip dengan pemberian pupuk kandang 50 ton / ha dan pemberian 25 ton / ha dapat mempertahankan kadar air tanah (media) lebih stabil sepanjang pertumbuhan tanaman bila dibanding dengan metode pemberian air secara manual dan flow, dari grafik ini pula secara umum terlihat bahwa kadar air tertinggi di dapatkan pada metode pemberian air secara drip dan kadar air terendah terjadi pada metode pemberian air manual.

4.1.2.Jumlah Cabang

Sidik ragam jumlah cabang memperlihatkan bahwa pada berbagai tingkat pemberian pupuk kandang dan pada berbagai metode irigasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah cabang tanaman kedelai (Tabel L ampiran 2).

Tabel 4. Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk Kandang pada Beberapa Metode Irigasi Terhadap Jumlah Cabang

AnakPetak

Petak UtamaRata-rata

Boo Bo1 Bo2

MF

23

3,333

5,336,33

3,56b

4,11a

67 Jurnal Teknik Hidro

Page 70: Teknik Hidro Edisi1kn

D 2,67 5,33 7,67 5,22Rata-rata 2,56y 3,89y 6,44x

NP BNT0,01 pada Petak Utama = 2,024NP BNT0,01 pada Anak Utama = 1,35

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,01 menurut uji BNT.

Jumlah cabang tertinggi dicapai

pada perlakuan pemberian pupuk

kandang 50 ton / ha yang sangat nyata

meningkatkan rata – rata jumlah cabang

per pot yaitu dari 2,56 tanpa pemberian

pupuk kandang menjadi 6,44 dengan

pemberian pupuk kandang 50 ton / ha .

4.1.3. Jumlah Daun

Sidik ragam jumlah daun

memperlihatkan bahwa pada berbagai

tingkat pemberian pupuk kandang

memberikan pengaruh yang nyata

terhadap rata - rata jumlah daun tanaman

kedelai (Tabel Lampiran 4 )

Tabel 5 . Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Jumlah Daun

Perlakuan (ton / Ha)

Rata-rata NP BNT

Pupuk kandang(BO0)

Pupuk kandang25 (BO1)

Pupuk kandang50 (BO2)

15,6b

22,4a

24,2a

6,01

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT

Hasil uji BTN pada taraf 0,05

( Tabel 5) memperlihatkan tanpa

pemberian pupuk kandang (BO o )

berbeda nyata dengan pemberian pupuk

kandang 50 ton / ha dan 25 ton / ha , tetapi

pemberian pupuk kandang 50 ton / ha .

Tabel 5 memperlihatkan pula bahwa

dengan meningkatnya jumlah pemberian

pupuk kandang dari 0 – 50 ton / ha diikuti

pula oleh peningkan jumlah daun pada

tanaman kedelai, yaitu dari rata–rata

jumlah daun 15,6 menjadi 24,2.

4.1.4. Berat kering Batang dan

Daun

Sidik ragam berat kering batang dan

daun memperlihatkan bahwa berbagai

tingkat pemberian pupuk kandang

memberikan pengaruh yang sangat nyata

terhadap berat kering batang dan daun

per pot dan pada berbagai metode irigasi

berpengaruh nyata terhadap berat kering

batang dan daun tertinggi dicapai pada

perlakuan metode irigasi drip yang

dikombinasikan dengan pemberian

pupuk kandang 50 ton/ha (Tabel 6) dan

berat kering batang dan daun terendah

didapati pada perlakuan metode irigasi

manual dengan tanpa pemberian pupuk

kandang, yaitu : 9,693 g/pot (tertinggi)

dan 3,8 g/pot (terendah).

Hasil Uji BNT pada taraf 0,05 (Tabel 6

), memperlihatkan bahwa tanpa pemberian

pupuk kandang berbeda nyata dengan

pemberian pupuk kandang 25 ton/ha dan

pemberian pupuk kandang 50 ton/ha

terhadap berat kering batang dan daun.

Begitu pula dengan metode irigasi manual

68 Jurnal Teknik Hidro

Page 71: Teknik Hidro Edisi1kn

berbeda nyata dengan metode irigasi flow

dan metode irigasi drip, tetapi metode

irigasi flow tidak berbeda dengan metode

irigasi drip (tabel 6)

Tabel 6 . Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk Kandang pada Beberapa Metode Irigasi Terhadap Berat Kering Batang dan Daun .

AnakPetak

Petak UtamaRata-rata

Boo Bo1 Bo2

MFD

3,85,4365,183

6,1337,76,87

5,296,4279,693

Rata-rata 4,8b 6,9a 7,13a

NP BNT0,05 pada Petak Utama = 0,32NP BNT0,05 pada Anak Utama = 1,459

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT

4.1.5. Berat Kering Akar

Sidik ragam berat kering akar

memperlihatkan bahwa pada berbagai

tingkat pemberian pupuk kandang dan

metode irigasi memberikan pengaruh yang

sangat nyata terhadap berat kering akar

(Tabel Lampiran B).

Tabel 8 memperlihatkan pula bahwa

dengan metode irigasi yang berbeda

memberikan jumlah polong yang berbeda

pula, dimana rata – rata terbanyak

didapatkan pada metode irigasi drip yaitu

43,7 per pot dan jumlah polong terendah

di jumpai pada metode irigasi manual

yaitu 26, 8 per pot.

4.1.6. Berat Kering Biji

Sidik ragam berat kering biji

(Tabel Lampiran 12), memperlihatkan

bahwa pada berbagai metode irigasi

memberikan pengaruh yang sangat nyata

terhadap berat kering biji per pot.

Interaksi pengakuan antara metode

pemberian air dan tingkat pemberian

pupuk kandang memberikan pengaruh

yang nyata terhadap berat kering biji

kedelai per pot (Tabel Lampiran 12 ).

Tabel 8. Pengaruh Berbagai Tingkat Pemberian Pupuk Kandang Pada Beberapa Metode Irigasi terhadap Jumlah Polong Per Pot

Perlakuan Rata-rata NP BNT

ManualFlowDrip

26,8b

37a

43,7a

7,95

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,01 menurut uji BTN

Hasil uji BTN Pada taraf 0,05

(Tabel 9), memperlihatkan bahwa pada

metode irigasi manual perlakuan petek

utama tidak berbeda nyata terhadap berat

kering biji, kumudian pada metode irigasi

flow pemberian pupuk kandang 50 ton / ha

berbeda nyata dengan pemberian pupuk

kandang 25 ton / ha yang berbeda nyata

pula dengan perlakuan tanpa pemberian

pupuk kandang, terhadap berat kering biji

per pot. Pada metode irigasi drip

pemberian pupuk kandang 50 ton / ha

69 Jurnal Teknik Hidro

Page 72: Teknik Hidro Edisi1kn

berbeda nyata dengan pemberian pupuk

kandang 25 ton / ha dan berbeda nyata

pula dengan perlakuan tanpa pemberian

pupuk kandang terhadap berat kering biji

per pot, tetapi pemberian pupuk kandang

25 ton / ha tidak berbeda nyata dengan

tanpa pemberian pupuk kandang terhadap

berat kering biji per pot.

Tabel 9, juga memperlihatkan rata

– rata berat kering biji tertinggi yaitu 6,92

g / pot pada perlakuan pemberian pupuk

kandang 50 ton / ha dengan metode irigasi

drip dan tidak berbeda nyata dengan

perlakuan tanpa pemberian pupuk kandand

dengan metode irigasi flow yaitu 6,9 g /

pot dan tidak berbeda nyata pula dengan

perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang

dengan metode irigasi drip yaitu 5,91 g /

pot. Rata – rata berat kering biji terendah

terjadi perlakuan tanpa pemberian pupuk

kandang dengan metode irigasi manual

yaitu 3,26 g / pot , di mana tidak berbeda

nyata dengan pemberian pupuk kandang

25 ton / ha dan 50 ton / ha pada metode

irigasi manual.

Tabel 9 Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk Kandang pada Beberapa Metode IrigasI Terhadap Berat Biji Per Pot

AnakPetak

Petak UtamaRata-rata

Boo Bo1 Bo2

MFD

3,266,905,91

4,275,505,59

3,844,366,92

3,795,586,14

Rata-rata 5,39 5,12 5,04NP BNT0,05 Terhadap satu taraf PU = 1,44NP BNT0,05 terhadap semua taraf AP = 1,38

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada pada taraf 0,05 menurut uji BTN

4.2. Pembahasan4.2.1.Pengaruh Berbagai Metode Irigasi

dan Pengunaan Pupuk Kandang Terhadap Ketersediaan Air Tanah. Hasil analisis kadar air awal setelah

diberi perlakuan memperlihatkan bahwa

kadar air tertinggi terdapat metode irigasi

drip yaitu 58, 25 % dan kadar air

terendah pada metode irigasi manual

yaitu 32,69 % . Ini terjadi karena pada

metode irigasi drip air lansung diberikan

pada daerah perakaran sehingga

kemungkinan untuk teruapkan sangat

kecil. Pada metodse irigasi drip air

diberikan setetes demi setetes dalam

jangka waktu tertentu, tetapi mampu

menunjang pertumbuhan tanaman.

Karena air ini tidak teruaokan dan tidak

terdrainase. Sehingga dapat kita katakan

bahwa setiap tetes air yang kita teteskan

akan berubah menjadi lengas tanah yang

yang tersimpan dalam pori mikro dan

dapat lansung dapat diserap tanaman.Dan

pada metode irigasi manual air dicurah

klansung ke pot sehingga kemungkinan

untuk teruapkan besar, karena pada saat

air mencapai permukaan tanah tidak

semuanya lansung terinfiltrasi ke bawah

tetapi sebahagian akan menggenamg di

permukaan.Karena air yang tiba di

permukaan tanah akan memasuki tanah

dengan lambat , yaitu mula – mula air

70 Jurnal Teknik Hidro

Page 73: Teknik Hidro Edisi1kn

mendesak udara yang terdapat dalam

pori makro kemudian masuk ke pori

mikro setelah pori makrotelah terisi

penuh. Air yang terdapat dalam pori

mikro inilah yang kemudian menjadi

lengas tanah yang siap diserap oleh akar

– akar tanaman (Soepardi, 1983) . Pada

saat air di permukaan air inilah proses

penguapan ini terjadi sehingga kadar air

pada metode irigasi manual menjadi

rendah (Tabel 3)

Gambar 1 , menunjukkan kadar

airtertinggi dicapai pada perlakuan

metode irigasi manual dengan pemberian

pupuk kandang 50 ton / ha. Pada metode

irigasi manual dengan pemberian pupuk

kandang 50 ton / ha (KA tertinggi),

karena air di curah kepermukaan tanah

setiap harinya.Kemudian dengan adanya

pupuk kandang yang di campur secara

merata akan meningkatkan daya serap

dan daya pegan air oleh tanah. Dimana

kita ketahui bahwa sifat tahan Alfisol

yang mempinyai tekstur lengpung berliat

yang mempunyai kemampuan (kapasitas)

menahan air tinggi dan bila dicampur

dengan pupuk kandang maka humus

tanah menjadi bertambah , humus ini

nantinya akan berfungsi sebagai penahan

air sehingga tanah tidak cepat kering

karena humus memiliki daya memegang

air yang tinggi (Sahiban dalam Ahmad ,

1991). Pada metode pemberian air drip

dengan pupuk kandang 50 ton / ha (KA

terendah), karena air lansung diberikan

pada daerah perakaran sehingga

permukaan tanah menjadi kering akibat

terjadinya penguapan yang diistilahkan

dengan evavorasi. Keadaan ini

diperburuk dengan penambahan pupuk

kandang, dimana tanah menjadi gembur

dan total ruangan pori menjadi

bertambah. Hal ini mempercepat

terjadinya penguapan dipermukaan

tanah. Soepardi (1983) memperkuat hasil

percobaan ini dimana ia mengatakan

bahwa di dalam banyak

hal,mungkinbanyak air yang

terdapatdalam lapisan olah mengalami

pengurangan air melalui serapan akar.

Hasil analisa kapilaritas (Gambar

Lampiran 2) juga mendukung pernyataan

diatas dimana kapilaritas pada perlakuan

pemberian pupuk kandang kenaikan

tidak telalu tinggi (berjalan lambat),

sehingga tidak dapat menggantikan

degan cepat air yang hilang dipermukaan

tanah akibat penguapan.

Berbeda halnya dengan kadar air

bagian bawah (Gambar 2), dimana

metode pemberian air drip dengan

pemberian pupuk kandang 50 ton/ha

memperlihatkan (secara umum) KA

tertinggi dan kadar air terendah terjadi

pada metode pemberian air manual

dengan dengan tanpa pemberian pupuk

kandang. Kadar air tertinggi yaitu 48,6

%, ini tercapai pada metode irigasi drip

71 Jurnal Teknik Hidro

Page 74: Teknik Hidro Edisi1kn

dengan pemberian pupuk kandand 50

ton/ha . Dan ini terjadi karena pada

metode irigasi drip kehilangan air hanya

disebabkan oleh serepan akar, kehilangan

melalui penguapan dari lapisan bawah

dapat dikatakan tidak terjadi. Karena

hasil analisis kapilaritas (Gambar

Lampiran 2 ) memperlihatkan bahwa

dengan pemberian pupuk kandang daya

kapilaritas tanah menjadi lambat.

Kemudian Kang Biauw Tjawan dalam

Sarief (1989),

4.2.2.Perubahan Berbagai Metode Irigasi Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman KedelaiMetode irigasi drip berbeda nyata

dengan metode irigasi manual terhadap

jumlah cabang, berat kering batang dan

daun, berat kering akar, jumlah polong

danberat kering biji (Tabel 4, 6, 7, 8, dan

9), dan berbeda nyata dengan

metodeirigasi flow terhdap berat kering

batang dan daun dan berat kering akar

(Tabel 6 dan 7). Disini kita melihat bahwa

metode irigasi drip mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman

kedelai baik pada fase vegetatif maupun

pada fase generatif . Kekurangan air pada

media tumbuh tanaman kedelai secara

lansung atau tidak lansung akan

mempengaruhi semua proses metabolisme

dalam tanaman yang berakibat

berkurangnya pertumbuhan (Faisal dalam

Ahmad, 1991). Sebagaimana telah

dijelaskan padasub bab terdahulu bahwa

metode irigasi drip mampu menyediakan

kadar air tanah yang lebih stabil sepanjang

pertumbuhan tanaman, sehingga lebih

mampu mendukung semua proses –proses

metabpolisme yang terjadi di dalam

tanaman.

Metode irigasi manual berbeda nyata

dengan metode irighasi drip hampir dari

semua parameter yang diamati. Ini

menunjukkan bahwa tanaman kedelai

adalah tanaman yang sangat sensitive

terhadap kekurangan air. Karena

kekurangan air dapat mempengaruhi setiap

pertumbuhan tanaman termasuk anatomi,

morfologi, fisiologi dan biokimia.Menurut

Ritchie (1980 ) dalam Ahmad ( 1991 ) ,

proses – proses yang sensitive terhadap

kekurangan air adalah pembelahan sel,

kelayuan daun, percabangan, keguguran

daun, penyisian biji dan translokasi unsur

hara. Perkembangan akar dan daun lebih

sensitive terhadap kekurangan air

disbandingkan dengan fotosintesis.

Kekurangan air selama pertumbuhan

vegetatif akan mengurangi daun, dengan

demikian akan mengurangi basarnya tajuk,

sehingga akumulasi bahan kering kurang

(Ahmad, 1991). Selanjutnya Ahmad M.

Fagi dan Freddy (1985) dalam Lamina,

(1989) mengatakan bahwa akibat

kekeringan selama pertumbuhan tanaman

kedelai adalah : kekeringan pada saat

pembentukan polong dan meluruhnya

72 Jurnal Teknik Hidro

Page 75: Teknik Hidro Edisi1kn

polong – polong yang baru terbentuk, dan

pada periode pengisian polong akan

mengurangi jumlah biji dan kepadatan

ukuran biji.

4.2.3.Pengaruh Pemberian Pupuk

Kandang Terhadap Pertumbuhan

dan Produksi Tanaman Kedelai

Tingkat pemberian pupuk kandang

50 ton / ha berbeda nyata dengan tanpa

pemberian pupuk kandang (BO o )

terhadap jumlah cabang, jumlah daun,

berat kering batang dan daun, dan berat

kering akar (Tabel 4, 5, 6, 7). Hal ini

diduga karena pernambahan pupuk

kandang ke dalam tanah tidak hanya

menambah unsur hara tanaman tetapi yang

terpenting adalah peran pupuk kandang

dalam memperbaiki sifat fisik tanah.

Dimana aerasi dan drinase tanah menjadi

baik sehingga dapat meningkatkan proses

pernapasan akar tanaman, pengisapan

unsur hara yang cukup di dalam tanah

kemudian di barengi dengan penyerapan

unsur hara oleh akar yang aktif maka

pertumbuhan dan perkembangan tanaman

kedelai dapat dijamin. Hal ini sejalan

dengan teori yang dikemukakan oleh

Soejanto dan Hadmadi (1980), yang

menyatakan bahwa pupuk kandang

dipergunakan terutama untuk memperbaiki

sifat fisik tanah seperti memudahkan

penyerapan air, memperbaiki daya

mengikat air dan memberikan lingkungan

tumbuh yang baik bagi tanaman dan

perkembangan akar.

4.2.4. Pengaruh Interaksi Antara

Metode Irigasi dan Tingkat

Pemberian Pupuk Kandang

Terhadap Produksi Tanaman

Kedelai

Hasil sidik ragam (Tabel Laporan

12) memperlihatkan bahwa interaksi

antara metode irigasi dan tingkat

pemberian pupuk kandang hanya

berpengaruh nyata berat kering biji per

pot.

Rata – rata berat biji tertinggi

dicapai pada kombinasi perlakuan antara

metode irigasi drip dan pemberian pupuk

kandang 50 ton / ha yaitu 6,92 g / pot,

tetapi tidak berbeda nyata dengan rata –

rata berat kering biji dari kombinasi

perlakuan antara metode irigasi drip dan

tanpa penambahan pupuk kandang yaitu

sebesar 5,51 g / pot. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan menerarkan metode irigasi

drip pada tanah Alfisol tidak dibutuhkan

penambahan pupuk kandang dalam

meningkatkan produksi kedelai. Ini terjadi

karena tanah Alfisol telah memiliki

kemampuan memegang air tanah cukup

baik, selai itui struktur tanahnya yang

primatik sudah cukup gembur untuk

menunjang perkembangan dan pernapasan

akar tanaman serta pengisapan unsur hara

dan air dari tanah.. Adanya daya

73 Jurnal Teknik Hidro

Page 76: Teknik Hidro Edisi1kn

memegang air yang cukup baik pada tanah

Alfisol ini sangat menunjang pertumbuhan

tanaman kedelai mulai dari

perkecambahan hingga proses pengisian

polong. Dimana kita tahu bahwa tanaman

kedelai adalah tanaman yang tidak tahan

kekeringan, bila kekeringan terjadi pada

periode pengisian polong dapat

mengurangi jumlah biji dan kepadatan

ukuran biji (lamina, 1989). Hal inilah yang

menyebabkan tidak terjadi perbedaan yang

nyata antara perlakuan yang diberi pupuk

kandang dan perlakuan yang tidak diberi

pupuk kandang, karena faktor penentu

dalam pertumbuhan dan produksi tanaman

kedelai adalah ketersediaan air tanah yang

cukup stabil selama pertumbuhannya dan

ini dapat dipenuhi oleh metode irigasi drip

walau tanpa penambahan pupuk kandang.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan maka dapat ditarik

beberapa kesimpulan :

1. Metode irigasi drip sangat efektif dalam

mempertahankan kadar air tanah.

2. Penerapan metode irigasi drip pada

tanah Alvisol tidak memerlukan

penambahan pupuk kandang untuk

meningkatkan produksi (berat biji

kering).

3. Pengaruh interaksi terbaik pada metode

irigasi drip dan tanpa pemberian pupuk

kandang.

5.2. Saran-Saran

1. Diharapkan agar penelitian tentang

irigasi drip lebih intensif dilakukan

sehingga dapat diciptakan suatu alat

yang mampu meneteskan air secara

kontinyu dan tidak berlebih,

konstruksinya sederhana serta mudah

dioperasikan di lapangan.

2. Mengingat penelitian ini

menggunakan dosis pupuk kandang

cukup banyak, kami mengharapkan

media penelitian ini digunakan

kembali untuk penelitian selanjutnya

agar diperoleh manfaat tambahan

dari pupuk kandang.

DAFTAR PUSTAKAAhmad, f. 1991. Permasalahan dan

pengelolaan Air tanah Di Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.

Buckman, H.O. and N.C. Brady, 1974. The Nature and Properties of Soil, Diterjemahkan oleh Soegiman, 1992. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Franklin P. Gardner, R. Brent Pearce, Roger L. Mitchell, 1985. Physiology of Crok Plantas, Diterjemahkan oleh Herawati Susilo, 1991. Universitas Indonesia, Jakarta.

Hakim, N, M.Y. Nykpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Ban Hong, H.H. Bailey, 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas lampung.

74 Jurnal Teknik Hidro

Page 77: Teknik Hidro Edisi1kn

Hansen, V.E, dkk, 1979. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi Universitas Erlangga, Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. PT. Mediyatma Sarana Perkasa, Jakarta.

_____________, 1985. Genesa dan Klasifikasi Tanah. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Lamina, 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV. Simplex Jakarta.

Nursasongko, A. 1993. Drip Irigation Efektif Menghemat Air dan Pupuk. Trubus edisi April 1993 No. 281 Tahun XXIV.

Probo-Hadiwidjoyo, M.M. 1993. Perlu Dibuat Informasi Rinci Tentang Potensi Air Tanah. Kompas edisi Selasa Januari 1993.

Sarisf, S, 1989. Fisika – Kimia Tanah Pertanian. Pustaka Buana, Bandung.

Soedijanto dan Hadmadi, 1980. Pupuk Kandang dan Pupuk Hijau Kompos. Bumirestu, Jakarta

Soepardi, G, 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sosrosoedirdjo, S, 1981. Ilmu Pemupukan. CV. Yasaguna, Jakarta.

Sumarno, 1991. Kedelai dan Cara Budidayanya. CV Yasaguna, Jakarta.

Vermeiren, I, 1980. Localized Irrigation-desing, installation, operation, evaluation. Food and Agriculture Organization Of The United Nations, Rome.

75 Jurnal Teknik Hidro