tek 0810 final

36
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edisi 08 – Agustus 2010 | Kedeputian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro & Keuangan Arah, Struktur dan Sumber Pembiayaan Industrialisasi di Indonesia Penyaluran Kredit untuk TKI Perbandingan Suku Bunga KUR, Bank Umum dan BPR Revitalisasi Industri Indonesia untuk Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi Mencari jalan keluar bagi industrialisasi

Upload: fantau

Post on 24-Jun-2015

611 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TEK 0810  final

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Edisi 08 – Agustus 2010 | Kedeputian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro & Keuangan

Arah, Struktur dan Sumber Pembiayaan Industrialisasi di Indonesia Penyaluran Kredit untuk TKI Perbandingan Suku Bunga KUR, Bank Umum dan BPR

Revitalisasi Industri Indonesia untuk Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi Mencari jalan keluar bagi industrialisasi

Page 2: TEK 0810  final

Agustus 2010

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Kedeputian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Asisten Deputi Urusan Analisa Kebijakan Makro Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Ged. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836

www.ekon.go.id

Page 3: TEK 0810  final

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Kedeputian Ekonomi Makro dan Keuangan

Edisi Agustus 2010

Tinjauan Ekonomi

Internasional Perkembangan Harga Komoditas Dunia 3 Key Indicators ADB 2010: Peningkatan Kelompok Kelas Menengah

Kawasan Asia 5

Domestik Utama: Mencari Jalan Keluar Bagi Industrialisasi Indonesia 6 Utama: Perkembangan Teori Ekonomi Pembangunan 9 Utama: Energi & Mineral Harus Berkorban Untuk Industrialisasi Nasional 12 Utama: Arah, Struktur & Sumber Pembiayaan Industrialisasi di Indonesia:

Bukti Ekonometrik dan Analisa Fakta 14 Penyaluran Kredit Untuk TKI 17 Inflasi & Gejolak Harga 18 Perkembangan Harga Komoditas Bahan Pokok 20 Perkembangan Ekspor Impor 21 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 23 Analisa Perkembangan Utang, SBN & SBI 23 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) 25 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 25 Analisa Nilai Tukar Petani 26

Tinjauan Keuangan Perkembangan Pasar Modal 27 Perbandingan SUku Bunga KUR, Bank Umum dan BPR 28 Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Agustus 2010 29

Sekilas Berita Internasional & Domestik 31 Liputan Economists Talk Edisi Keempat Agustus 2010 “Menggiatkan Potensi Anggaran untuk Pertumbuhan Ekonomi” 32 Bersama: Hendri Saparini (Pengamat Ekonomi ECONIT)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 1

Page 4: TEK 0810  final

OPINI

Joseph Schumpeter, ekonom Austria pada awal abad 20 mengembangkan teori siklus usaha Jean Sismondi dan Clement Juglar menjadi empat tahap: ekspansi, krisis, resesi dan pemulihan. Pemikiran ini mendasari tahap pertumbuhan industrialisasi dalam ekonomi pembangunan dari kondisi pra-industri menjadi tahap industri. Pengertian industrialisasi seringkali dipahami dalam arti sempit sebagai pembangunan pabrik-pabrik atau manufaktur ditandai oleh kontribusinya terhadap PDB semakin meningkat. Dalam makna yang lebih luas industrialisasi adalah transformasi sosial dan ekonomi, masyarakat semakin maju pengetahuan dan kemampuannya karena teknologi yang diabsorpsi ke dalam ekonomi melalui industrialisasi. Termasuk pertanian pun dapat mengalami industrialisasi bilamana teknologi mulai digunakan. Jadi, kenikmatan industrialisasi bagi perekonomian adalah terjadi peningkatan produktivitas dari faktor produksi baik modal maupun tenaga kerja karena teknologi yang diimplementasi. Negara industri umumnya adalah negara yang sudah dalam tahap negara maju, namun ada pula negara maju yang tidak sepenuhnya negara industri seperti Singapura jika dihitung dari besarnya pembangunan manufaktur atau pabrik. Pembangunan industri di Indonesia yang dimulai sejak Orde Baru dipercaya sebagai penarik gerbong perekonomian nasional. Sayangnya, ideologi pengembangan industri atas dasar ‘bagi kue’ agar terwujud gotong royong melalui trickle down effect ternyata justru menciptakan konglomerasi. Masyarakat tidak menerima manfaat apalagi mengalami transformasi sosial dari industrialisasi. Saat ini industri yang pernah merajai dunia seperti tekstil ibarat matahari kian terbenam (sunset) yang sulit mencari modal untuk memperbarui mesin. Demikian pula industri gula yang pernah menduduki juara 3 dunia hanya tertinggal rongsokan mesin-mesin tua bekas peninggalan kolonial. Industri tidak harus mengandalkan subsidi untuk kembali bangkit tetapi saat ini diperlukan ideologi dan kebijakan industri sebagai vitamin untuk kembali kuat menarik gerbong perekonomian. Tanpa rambu-rambu yang jelas dan arah pembangunan industri yang terstruktur, perjalanan industri semakin tersesat dan berakibat pula pada perkembangan ekonomi yang tak tentu arah. Indonesia dengan pasar konsumsi yang luas plus berada dalam kawasan yang strategis menjadi lahan yang menguntungkan untuk mengembangkan berbagai industri. Hanya saja perlu pemikiran yang cermat bagaimana industri-industri yang dikembangkan bekerja menjadi seperti ban berjalan dalam sebuah pabrik raksasa.

PDB Q2-2010, harga berlaku Rp. 1572.4 T

Pertumbuhan Ekonomi Q2-2010

6.2 % (yoy)

Inflasi, Agustus 2010 6.44% (yoy)

Tk. Pengangguran Feb 2010 7.41%

Tk. Kemiskinan Maret 2010 13.33%

Nilai Tukar (Rp/USD), 31 Agustus 2010

9,035

Cadangan Devisa $81.32 Milyar

Penerimaan Perpajakan Rp 264,1 triliun 44,5% dari target 2010

Ekspor Juli 2010 $12,492.4 Juta

Impor Juli 2010 $12,621.1 Juta

Nilai Tukar Petani Agustus 2010

101.82

IHPB Agustus 2010 174.86

Indikator Ekonomi Agustus 2010

Tim Penyusun Kedeputian Ekonomi Makro & Keuangan

Gedung Syafruddin Prawiranegara II Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur 2-4 Jakarta

Telepon 021-3521843 Fax. 021-3521836

Seluruh artikel merupakan hasil kajian Kedeputian Ekonomi Makro & Keuangan berdasarkan data dan informasi dari sumber dan

referensi terkait.Tinjauan berita merupakan ringkasan dari berbagai media sumber yang menjadi rujukan analisa. Seluruh

artikel melalui proses editing dan reviu.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 2

Karya Rodrigo, www.expresso.pt, dimodikasi

Gambar Sampul: Daniel Kurtzman, About.com dimodifikasi

Page 5: TEK 0810  final

Perkembangan Harga Komoditas Dunia

Komoditas Rata-rata Tahunan Rata-rata Triwulan Rata-rata Bulanan 2009 Jan-Aug

2010 Q1-2010 Q2-2010 Jun-10 Jul-10 Aug-10 Non Energi Kopi Arabika (c/kg) 317.1 393.9 353.7 320.2 420.9 448.0 466.5 Kopi Robusta (c/kg) 164.4 163.2 150.8 161 169.6 188.0 182.3 Minyak Kelapa ($/mt) 725 945 834 955 993 1,031 1,161 Maize ($/mt) 165.5 162.6 162.7 157.7 152.7 163.8 175.6 Rice, Thailand, 5% ($/mt) 555 482.2 535.3 452.4 440 441.8 452.8 Gandum, US, HRW (b/$/mt) 224.1 195.1 195.4 177.4 157.7 195.8 246.2 Gula (b/c/kg) 40.0 42.43 51.82 34.93 35.01 38.5 40.71 Emas ($/toz) 973 1,165 1109 1196 1233 1,193 1,216 Bijih besi (b/c/dmtu) 101 151.7 101 167 167 205 205 Nikel (b/$/mt) 14,655 21,029 19,959 22,476 19,389 19,518 21,413 Seng (b/c/kg) 166 210.4 228.9 202.6 174.3 184.4 204.5 Energi Batu bara ($/mt) 71.8 96.1 95.19 99.49 98.19 95.2 89.59 Minyak Mentah, average spot ($/bbl) 61.8 77.01 77.06 78.18 74.73 74.6 75.83 Gas, US ($/mmbtu) 3.9 4.67 5.15 4.32 4.79 4.6 4.31

Keterangan: a/ Included in the energy index (2000=100), b/=included in the non-energy index (2000=100), ¢=US cent, mt=metric ton, bbl=barrel, toz=troy oz, mmbtu=million British thermal units, dmtu=dry metric ton unit, kg=kilogram. Tabel 1 . Harga komoditas non energi naik 2,4% sedangkan harga komoditas energi turun 1,8% pada Juli 2010. (Sumber: DECPG, The World Bank).

TINJAUAN | EKONOMI | INTERNASIONAL

Perkembangan Harga Komoditas Dunia Harga komoditas energi, secara rata-rata, mengalami peningkatan sepanjang Januari hingga Agustus 2010 jika dibandingkan dengan harga rata-rata di sepanjang tahun 2009. Meskipun meningkat, tingkat harga rata-rata yang terjadi di tahun 2010 masih lebih rendah jika dibandingkan dengan harga rata-rata di tahun 2008. Kenaikan harga komoditas energi pada tahun 2008 dipicu oleh sejumlah faktor, diantaranya kekhawatiran kurangnya pasokan minyak akibat permasalahan geopolitik di kawasan Afrika dan Timur Tengah, tingginya permintaan dari negara berkembang dan Cina, gangguan suplai akibat badai di pantai AS, dan lemahnya dollar AS sebagai faktor nonfundamental akibat penurunan suku bunga fed. Harga rata-rata semua komoditas energi sepanjang Januari hingga Agustus 2010 meningkat sebesar 23,6% dibandingkan dengan tahun 2009. Peningkatan terjadi di semua harga komoditas energi yaitu batubara 33,8%; minyak mentah 24,7%; dan gas alam 18,2%. Penurunan harga di tahun 2009 dan lebih rendahnya posisi harga di sepanjang tahun 2010 dibandingkan dengan harga di tahun 2008, didorong oleh besarnya persediaan minyak bumi akibat turunnya permintaan disaat pelemahan ekonomi global akibat krisis.

Bahkan OPEC menurunkan output produksinya. Selanjutnya, di tahun 2010 terjadi peningkatan harga yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi Cina dan pulihnya konsumsi di Amerika. Namun, peningkatan harga cenderung stabil dan terkendali karena permintaan yang meningkat dapat dipenuhi dengan persediaan yang besar setelah krisis. Turunnya harga batubara dan gas alam di tahun 2009 juga dipengaruhi oleh pelemahan ekonomi global dan kemudian kembali meningkat di sepanjang tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi global.

Sama halnya dengan komoditas energi, harga komoditas non energi juga mengalami peningkatan hingga Agustus 2010 jika dibandingkan dengan harga rata-rata di tahun 2009, namun lebih rendah jika dibandingkan tahun 2008. Tingginya harga komoditas non energi tahun 2008 dipicu oleh kenaikan harga komoditas energi. Sedangkan penurunan harga di tahun 2009 didorong oleh pelemahan permintaan global setelah krisis dan prospek produksi yang membaik. Di tahun 2010, harga komoditas non energi kembali naik. Harga rata-rata semua komoditas non energi sepanjang Januari hingga Agustus 2010 meningkat sebesar 19,3% dibandingkan dengan tahun 2009.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 3

Page 6: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 4

Pada Agustus 2010, harga komoditas non energi kembali mengalami peningkatan sebesar 4,6% setelah pada bulan sebelumnya meningkat sebesar 2,4%. Harga komoditas pertanian naik 4,0% karena berkurangnya produksi akibat kondisi cuaca yang kurang mendukung. Harga gandum yang meningkat akibat kemarau panjang di Kanada dan Rusia turut mendorong naiknya harga jagung dan biji-bijian sebagai komoditas substitusi. Harga logam dasar juga meningkat 8,4% pada Agustus 2010 dikarenakan turunnya stok, keterbatasan pasokan dan meningkatnya permintaan dari luar Cina. Harga timah mengalami kenaikan terbesar yaitu sebesar 14% pada Agustus 2010 dikarenakan turunnya pasokan, tingginya permintaan dan penurunan produksi di Indonesia karena kondisi cuaca dan upaya pemerintah untuk mengurangi pertambangan ilegal. Harga sejumlah logam dan mineral lainnya juga meningkat, diantaranya emas 1,9%; nikel 9,7%; dan seng 10,9% dibandingkan dengan bulan Juli 2010.

Gambar 1. Harga komoditas pertanian dan logam dasar mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,0 dan 8,5 persen pada Agustus 2010. Peningkatan harga komoditas pertanian masih didorong oleh naiknya harga makanan dan minuman. (Sumber: DECPG, The World Bank).

0100200300400500600

Perkembangan Beberapa Harga Komoditas Dunia

2008 2009 Jan-Aug 2010

Gambar 2. Harga rata-rata komoditas energi dan non energi mengalami penurunan di tahun 2009 seiring melemahnya permintaan global akibat krisis. Di tahun 2010, harga kedua kelompok komoditas kembali meningkat didorong oleh pemulihan ekonomi global. (Sumber: DECPG, The World Bank).

8.863.95

96.177.01

158.5

4.67

0

50

100

150

200

250

300

Coal, Australia ($/mt)

Crude oil, avg, spot

($/bbl)

Natural gas Index

(2000=100)

Natural gas, US ($/mmbtu)

Perkembangan Harga Komoditas Energi

2008 2009 Jan-Aug 2010

Gambar 3. Harga rata-rata komoditas energi turun di tahun 2009 dengan produksi dan persediaan yang besar serta lemahnya permintaan akibat krisis. Dan meningkat lagi di tahun 2010 seiring pertumbuhan ekonomi Cina dan pulihnya konsumsi Amerika. (Sumber: DECPG, The World Bank).

050

100150200250300350400

Perkembangan Harga Komoditas Non Energi Dunia

Q2-2009

Q3-2009

Q4-2009

Q1-2010

Q2-2010

Gambar 4. Peningkatan harga rata-rata komoditas non energi didorong oleh peningkatan harga bahan mentah, logam dan mineral. (Sumber: DECPG, The World Bank).

Page 7: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 5

Key Indicators ADB 2010: Peningkatan Kelompok Kelas Menengah Kawasan Asia

Berdasarkan laporan ADB, sejak tahun 1990 hingga 2009, jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan. Populasi tumbuh pada tingkat yang stabil (1,3%) sepanjang tahun 2000 hingga 2008 dan sedikit menurun di tahun 2009 sebesar 1,2%. Kestabilan pertumbuhan populasi diikuti dengan terus meningkatnya PDB per kapita meskipun dengan laju pertumbuhan PDB per kapita yang agak menurun dari 7,8% di tahun 2007 menjadi 4,5% pada 2009. Angka kemiskinan di Indonesia pun mengalami penurunan. Porsi penduduk yang hidup dengan $2 per hari menurun dari 77,2% pada 1996 menjadi 54,6% pada 2005 dari total populasi. Pendapatan yang meningkat juga terlihat dari rasio 20% pendapatan tertinggi terhadap 20% pendapatan terendah yang meningkat dari 5,2% pada 1993 menjadi 6,2% pada 2007. Namun terjadi pelebaran kesenjangan pendapatan yang tercermin pada peningkatan gini coefficient dari 0,344 pada 1993 menjadi 0,376 pada 2007. Terjadi peningkatan jumlah dan perubahan komposisi kelompok penduduk berdasarkan konsumsi harian kelas menengah ($2-$20). Kelompok menengah ini meningkat cukup signifikan di sejumlah negara Asia selama 2 dekade terakhir dari sekitar 21% pada 1990 menjadi 56% pada 2008 dari total populasi. Peningkatan ini terjadi seiring meningkatnya pendapatan/pengeluaran rata-rata tahunan dari $721 miliar menjadi $3,3 triliun. Sedangkan jumlah penduduk yang masuk kedalam kelompok miskin mengalami penurunan dari 79% pada 1990 menjadi 43% pada 2008 dari total populasi. Artinya terjadi perpindahan dari kelompok miskin ke kelompok menengah. Di Indonesia sendiri terjadi peningkatan kelompok kelas menengah dari 25% pada 1999 menjadi 43% pada 2009 dari total populasi, dengan peningkatan yang hampir sama baik di desa maupun di kota (15% hingga 18%). Secara absolut terjadi peningkatan dua kali lipat selama sepuluh tahun dari 45 juta menjadi 93 juta (gambar 5) Namun, naiknya jumlah penduduk kelompok menengah ini belum diikuti dengan perbaikan beberapa kondisi sosial masyarakat diantaranya lebih dari 10% populasi penduduk masih mengkonsumsi makanan dibawah tingkat konsumsi minimum dan terjadi penurunan jumlah anak-anak yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Selain itu, muncul kekhawatirkan sebagian besar penduduk yang saat ini masuk dalam kelompok menengah kebawah ($2-$4) rentan untuk jatuh ke kelomopk miskin terutama setelah krisis 2008. Dari hasil survei kondisi Indonesia sebelum dan sesudah krisis 1997, diketahui bahwa penduduk kelas menengah ($2-$20) turun sebesar 4,8 juta atau sekitar 10%.

Ukuran Kelompok Kelas Menengah Indonesia

Gambar 5. Secara absolut terjadi peningkatan kelompok kelas menengah sebesar dua kali lipat selama sepuluh tahun dari 45 juta menjadi 93 juta Sumber: key indicators ADB 2010

Distribusi Populasi (%) Berdasarkan Pengeluaran Individu Per Hari (2005 $ PPP) Indonesia

Tabel 2. Terjadi peningkatan kelompok kelas menengah dengan peningkatan yang hampir sama baik di desa maupun di kota (15% hingga 18%). Sumber: key indicators ADB 2010

Page 8: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 6

TINJAUAN | EKONOMI | DOMESTIK

TINJAUAN UTAMA

Mencari Jalan Keluar bagi Industrialisasi Indonesia

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ine Minara Ruky, menyampaikan bahwa Indonesia telah menuju deindustrialisasi sebelum dapat mencapai industrialisasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi negatif. Hal tersebut dinyatakan dalam sebuah Forum Group Discussion tahun 2008 sebagaimana dikutip dari Global Justice Update, sebuah buletin globalisasi dan perdagangan bebas. Industrialisasi dalam Ilmu Ekonomi adalah sebuah perubahan yang mendorong semakin besar peranan dan kontribusi sektor industri dalam perekonomian. Indikator paling umum untuk melihat hal ini adalah dengan melihat seberapa besar perubahan struktur produksi dan sumbangan sektor industri dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang terdiri dari kontribusi semua sektor-sektor ekonomi dalam perekomian. Pemahaman lain dari industrialisasi adalah sebuah proses pembangunan ekonomi yang terintegrasi dan bukan proses linier. Industrialiasi merupakan transformasi dari kondisi pra-manufaktur menjadi manufaktur yang diikuti peralihan kondisi sosial, tidak hanya akumulasi pertambahan mesin dan teknologi. Kegagalan banyak negara mencapai tingkat industrialisasi karena perubahan hanya terjadi sampai pada tingkat penumpukan kapital dan tidak diikuti dengan perubahan sosial. Masalah utamanya, pengalaman sukses sebuah negara dalam proses industrialisasi tidak langsung dapat diterapkan pada negara lain karena perbedaan struktur sosial masyarakat. Menurut Prof. Ine Mangara telah terjadi kesalahan dalam memahami industrialisasi karena selama ini industrialisasi sering diartikan sebagai membangun industri. Konsep industrialisasi yang sebenarnya adalah perubahan sosial dan ekonomi, di mana terjadi transformasi masyarakat dari tahap pra industri ketika akumulasi modal per kapita masih rendah menuju ke tahap industrialisasi dengan modal per kapita semakin besar. Singkatnya, industrialisasi bukan hanya peralihan kondisi ekonomi saja melainkan diikuti dengan sebuah transformasi sosial. Perubahan sosial dan ekonomi yang terintegrasi itu sendiri berkaitan dengan peranan manfaat perkembangan teknologi, terutama pembangunan produksi energi skala besar dan produksi yang berhubungan dengan metalurgi (besi dan baja). Selain dengan rasio PDB, kemajuan industrialisasi suatu negara juga dapat diukur dari bagaimana kontribusi industri besi baja terhadap total industrinya. Utamanya, struktur industri yang semakin kuat akan ditandai dengan tingkat kontribusi industri besi baja yang semakin besar dari kontribusi industri lainnya terhadap total industrinya serta semakin besar penyediaan energi bagi industri yang sebanding dengan kebutuhannya.

Industrialisasi di Indonesia

Dalam 29 tahun terakhir kontribusi sektor industri terhadap PDB cukup besar dan menunjukkan peningkatan. Ada perubahan struktur ekonomi yang terjadi di mana sumbangan sektor industri semakin besar dalam pembentukan PDB (baik backward maupun forward linkage), sementara sumbangan sektor pertanian semakin kecil. Demikian yang disampaikan dalam Indonesia Critical Development Constraints yang dirilis oleh ADB Agustus lalu.

Apabila dilihat dari satu aspek makro itu saja maka cukup puas dikatakan Indonesia sudah mengalami industrialisasi. Aspek makro saja tidak cukup menyimpulkan kondisi industrialisasi tanpa melihat kondisi mikro bagaimana sesungguhnya kondisi sektor industri dan bagaimana dampaknya pada kondisi sektor lainnya, terutama pertanian. Kembali ke definisi yang benar, industrialisasi suatu negara dapat dikatakan berhasil jika di dalam masyarakat juga terjadi transformasi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri atau dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan tersier. Lebih lanjut, output negara yang diperdagangkan juga merupakan produk dengan nilai tambah yang semakin besar dan bukan lagi produk primer, sekedar melepaskan dari sumber daya alam.

“..pengalaman sukses sebuah negara dalam proses industrialisasi tidak langsung dapat diterapkan pada

negara lain karena perbedaan struktur sosial masyarakat..”

Page 9: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 7

Selama proses industrialisasi berlangsung, pendapatan perkapita masyarakat naik dan produktivitas meningkat. Karakteristik lain berlangsungnya proses industrialisasi adalah adanya migrasi penduduk pedesaan ke perkotaan akibat dua hal pokok (push dan pull factor). Pertama, adanya pergeseran aktivitas dari produksi rumah tangga ke manufaktur, sehingga permintaan tenaga kerja meningkat. Kedua, adanya peningkatan penggunaan alat-alat bermesin dalam pertanian yang menyebabkan aktivitas pertanian meningkat sementara permintaan tenaga kerja pertanian menurun. Industrialisasi yang berhasil perlu melihat bahwa di dalam masyarakat terjadi perubahan sikap yang berbeda dalam transaksi. Norma-norma tradisional yang masih kuat kadang kala menghambat transaksi yang efisien seperti batasan pekerja wanita di pabrik. Menurut tim peneliti Universitas Berkeley, Edward Miguel, Paul Gertler, David I. Levine, industrialisasi di Indonesia dimulai dari Repelita I sampai dengan Repelita V. Pada saat itu pembangunan ekonomi Indonesia dirancang menuju industrialisasi tanpa berupaya meninggalkan kontribusi sektor pertanian menuju swasembada pangan. Tim peneliti melihat bahwa desain industrialisasi di Indonesia adalah pemerintah sebagai motor pendorong kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan prinsip gotong-royong. Tindakan kolektif atau gotong royong tersebut akhirnya justru tidak mendorong pertumbuhan industri. Dalam prosesnya lebih menonjol kepentingan individu. Padahal industrialisasi di daerah sudah menjurus kepada pengurangan modal sosial. Sifat kelompok yang saling menolong dan gotong royong di dalam masyarakat tidak terbentuk. Industrialisasi yang dibangun dengan sistem bagi kue menghasilkan kerusakan sosial masyarakat (socially destructive). Sifat individu yang dominan justru membuka jurang perbedaan dan menuju ke kerusuhan sosial/masyarakat (social unrest) di Indonesia. Pengikisan kekuatan-kekuatan yang mempersatukan (cohesive forces) seperti gotong royong, yang sebelumnya berhasil mempersatukan penduduk desa, menghasilkan gejolak sosial yang dilatari dengan kesenjangan. Para pemilik industri yang mendapat fasilitas pemerintah lebih banyak menekan masyarakat dan berakhir dengan instabilitas sosial di Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 2008. Menurut Prof. Ine Minara industrialisasi yang berjalan dengan baik dapat memberi stimulasi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Saat ini, peningkatan peran sektor industri dan sektor lain dalam PDB diikuti dengan penurunan kontribusi dan produktivitas sektor pertanian. Ekspor Indonesia juga lebih banyak didominasi produk primer dengan nilai tambah yang rendah. Jika produktivitas pangan rendah dan kebutuhan pangan sendiri tidak dapat terpenuhi, dan harus disubstitusi dengan impor, justru akan berakhir dengan pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas. Pendapatan perkapita yang meningkat akibat dari industrialisasi digunakan untuk membiayai impor pertanian.

Catch Up versus Leapfrog Industrialisasi adalah sebuah proses jangka panjang dan tidak selalu berhasil dengan melalukan lompatan katak (leapfrog). Optimisme melakukan lompatan dalam industrialisasi tidak akan menghasilkan pondasi kuat yang dapat mendukung industri secara ekonomi dan sosial, seperti pendidikan, keterampilan, nilai-nilai yang berkembang, dan pola pikir masyarakat. Akumulasi kapital industrialisasi tidak akan diikuti dengan perubahan sosial masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang memadai. Terlebih lagi kebutuhan pangan terancam semakin mahal jika penurunan kontribusi pertanian semakin tajam dan berakibat kenaikan pendapatan per kapita karena dorongan industri justru tergerus dengan biaya pangan yang semakin mahal. Salah satu teori mengejar industrialisasi dapat dilakukan melalui pertumbuhan catch-up. Teori ini meyakini bahwa negara yang melakukan industrialisasi belakangan (latecomers) dapat mengejar tahap industrialisasi yang terjadi di negara yang lebih dahulu maju dengan meniru proses transformasi dan teknologi yang diterapkan. Salah satu rujukan global adalah pengalaman Jepang meniru Jerman dalam mengembangkan industrinya. Namun, teori tersebut juga mengungkapkan tidak ada jaminan untuk memperoleh tingkat keberhasilan yang sama bagi semua negara karena sangat bergantung pada pemenuhan syarat-syarat yang tidak mudah. Mengapa negara-negara latecomers dapat mengalami kegagalan industrialisasi seperti Indonesia? Ekonom industri Rusia, Alexander Gerschenkron menyatakan bahwa ada karakteristik latecomers atau negara menuju industrialisasi belakangan, yaitu: 1) Pertumbuhan ekonomi tinggi, 2) Orientasi output nasional pada barang-barang antara bukan barang-barang konsumsi, 3) Fokus pada pembangunan pabrik-pabrik skala besar, 4) Ketergantungan pada teknologi pinjaman dan pinjaman luar negeri, 5) Menempatkan pemerintah sebagai promotor pembangunan industri, 6) Belum ada ideologi yang dapat mendukung industrialisasi dan 7) Sektor pertanian mengalami tarde-off dan semakin berperan pasif. Sebagai contoh, Korea pada awal melakukan proses industrialisasi mulai meninggalkan sektor pertanian kemudian sadar dan balik mengelola sektor pertanian. Demikian pula dengan Taiwan sangat berhasil dari awal, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam proses transformasi dan pengembangan sektor pertanian terkait land reform sebagai prasyarat. Kegagalan catch-up industrialisasi seringkali disebabkan oleh tekanan yang lebih besar pada liberalisasi perdagangan dan kebijakan industri yang berorientasi pada kebijakan perdagangan bukan pada kebijakan industri. Hal ini disebabkan oleh prasyarat kondisi sosial yang belum terpenuhi. Padahal syarat untuk mengejar ketertinggalan tersebut membutuhkan kemampuan sosial yang cukup, dimana masyarakatnya harus cukup maju untuk menyesuaikan teknologi dari negara-negara maju.

“..industrialisasi yang berjalan dengan baik dapat memberi stimulasi pertumbuhan ekonomi secara

keseluruhan..”

Page 10: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 8

Potensi yang ada di dalam masyarakat belum dapat dimanfaatkan secara seimbang. Akibatnya yang terjadi adalah keadaan sebaliknya, yaitu suatu gejala de-industrialisasi. De-industrialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya peranan industri dalam ekonomi, yaitu kontribusi sektor industri dalam ekonomi dalam jangka panjang secara incremetal menurun. Dalam 3 tahun berturut-turut mulai dari tahun 2004 sampai 2009, Indonesia pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 6%, akan tetapi pertumbuhan industri cenderung menurun secara berkelanjutan hingga dibawah 6%. Pada saat krisis 1998, kontraksi sektor industri sangat hebat hingga 10,32 %. Kondisi tersebut kemudian membaik pada tahun 2002-2003 dan kembali menurun pada tahun berikutnya. Penyerapan tenaga kerja dari sektor industri juga menurun. Selama tahun 1980 – 2007 proporsi tenaga kerja terhadap total penyerapan tenaga kerja dari tahun ke tahun tidak terjadi peningkatan. Kalaupun terjadi hanya pada tahun-tahun tertentu saja Hal ini menunjukkan bahwa industri yang ada saat ini hanyalah industri padat modal dengan kemampuan menyerap tenaga kerja yang relatif kecil. Global Justice Update mengungkapkan data bahwa sebelum krisis 1998 melanda Indonesia, setiap 1% pertumbuhan PDB menyebabkan perubahan 0,43% dalam penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi setelah krisis ekonomi, setiap 1% peningkatan PDB hanya menghasilkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,2%. Ini berarti bahwa elastisitas PDB terhadap tenaga kerja semakin kecil yang mengindikasikan bahwa teknologi yang digunakan dalam proses produksi industri menggantikan tenaga kerja. Apabila teknologi produksi dalam industri tidak berubah maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat diharapkan dapat menyerap pengangguran yang besar. Re-industrialisasi untuk Mengatasi De-industrialisasi Saat ini sudah nampak bahwa industri Indonesia masih belum berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan atau mengalami de-industrialisasi. Bahkan de-industrialisasi di Indonesia adalah de-industrialisasi yang negatif. De-industrialisasi dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja dan output dapat diklasifikasikan sebagai de-industrialisasi positif atau negatif. Apabila kontribusi industri manufaktur kepada penyerapan tenaga kerja dan produksi output dalam keadaan menurun, tetapi tidak disertai dengan jatuhnya tingkat penyerapan tenaga kerja atau output manufaktur terkait dengan tingkat produktivitas yang tinggi, pertumbuhan, dan tingkat pengangguran maka disebut de-industrialisasi tersebut bersifat positif.

Sebaliknya, de-industrialisasi negatif ditandai dengan terjadinya penyerapan tenaga kerja yang menurun akibat perpindahan keluar tenaga kerja sebagian atau absolut dari sektor manufaktur dan diikuti pergeseran dari tenaga kerja sektor formal ke sektor informal. Menurut Lewis, industrialisasi yang berhasil juga diikuti oleh peningkatan produktivitas pekerja sektor pangan, perbaikan tingkat upah dan pendapatan perluasan pasar output industri. Gejala de-industrialisasi di Indonesia ditandai dengan, 1) penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja. Sektor industri paling sedikit menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor-sektor lain. Antara tahun 1980 hingga 2007, tenaga kerja Indonesia berusia di atas 10 tahun yang terserap oleh sektor ini, tidak lebih dari 13 juta orang, 2) laju pertumbuhan yang naik turun tidak berpola sejak 1980. Pencapaian tertinggi terjadi di tahun 2004 sebesar 6,38 persen, tapi tiga tahun berturut-turut setelah itu, angka pertumbuhannya terus merosot, 3) Sejak 2005, nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun. Analisis data sektoral di empat Tabel Input-Output Indonesia yang dilakukan Hayashi (2005), menunjukkan bahwa proporsi output industri pengolahan hasil pertanian (termasuk perikanan dan hasil hutan) dalam total output di antara tahun 1995-2000, semakin kecil, 4) Komposisi ekspor non-migas Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 juga menunjukkan kemunduran sektor industri. Jumlah ekspor hasil industri pengolahan yang berorientasi ekspor, semakin kecil. Dengan adanya data ini Prof. Ine Mangara berpendapat bahwa Indonesia justru menunjukkan ciri-ciri negara sedang dalam proses deindustrialisasi negatif sebelum berhasil mencapai industrialisasi. Ukuran keberhasilan industrialisasi lainnya yaitu ukuran sosial ekonomi. Indeks yang lebih baik untuk melihat hasil pembangunan dan kesejahteraan suatu bangsa adalah Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) atau Human Development Index (HDI). Refeksi dari dari HDI ini, Indonesia belum masuk kategori negara yang berhasil dalam industrialisasi dan secara rata-rata masih berada di bawah negara anggota ASEAN. Re-industrialisasi atau revitalisasi industri adalah sebuah solusi untuk keluar dari low equlibrium trap atau tingkat keseimbangan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. India berhasil memacu pertumbuhan hingga double digit dengan kondisi jumlah penduduk yang besar. Negara-negara di Asia Tenggara pada triwulan I dan II 2010 menanggung peluang pertumbuhan pesat dibandingkan kondisi tahun 2009, lebih tinggi akselerasinya dibandingkan dengan Indonesia. Bahkan Thailand yang diguncang prahara politik juga tetap dalam kondisi ekonomi yang stabil. Oleh karena itu, pembangunan industri adalah solusi bagi masalah ekonomi dan sosial. Pembangunan industri sebagai intermediasi proses pembangunan yang proses perubahannya memberi manfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Investasi dalam industrialisasi bukan hanya membangun pabrik-pabrik tetapi ada saling ketergantungan dan saling memperkuat antara pabrik-pabrik dan sektor-sektor yang dibangun.

“..Global Justice Update mengungkapkan bahwa sebelum krisis 1998 melanda Indonesia, setiap 1%

pertumbuhan PDB menyebabkan perubahan 0,43% dalam penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi setelah krisis

ekonomi, setiap 1% peningkatan PDB hanya mengasilkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,2%...”

Page 11: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 9

Ibarat sebuah pohon, studi ekonomi pembangunan (economic development) telah berkembang hingga ranting-ranting dengan perspektif pondasi mikroekonomi dari semula hanya sebatas pada analisis perkembangan ekonomi bangsa dalam mencari sebab dan bentuk dasar pembangunan seperti tujuan Adam Smith. Memasuki pemikiran modern, ekonomi pembangunan merupakan kombinasi ilmu sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan ideologi. Dengan terbitnya buku Schumperter yang berjudul Theory of Economic Development pada tahun 1911 dan kejadian great depression pada tahun 1930 di Amerika Serikat, perhatian terhadap studi ekonomi pembangunan sebagai long run economic cycle semakin berkembang. Studi empiris Colin Clark (1939) menyatakan bahwa sebagian besar peradaban manusia tidak berada dalam sistem ekonomi kapitalis yang maju semakin memperkuat perkembangan ekonomi pembangunan, khususnya di negara Industri. Artikel Rosenstein-Rodan (1943) dan Mandelbaum (1947) masih memberi perhatian perkembangan ekonomi di kawasan Eropa, namun beberapa waktu kemudian setelah perang dunia kedua, perhatian pembangunan ekonomi beralih ke kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pada mulanya teori ekonomi pembangunan beranggapan bahwa pembangunan (development) mempunyai pengertian identik dengan pertumbuhan (growth) dan industrialisasi karena pengaruh persepsi keadaan di kawasan negara-negara Eropa, sehingga Asia, Afrika dan Amerika Latin disebut sebagai underdeveloped countries. Pembedaan keadaan ekonomi dilihat dari sudut pandang progress industrialisasi. Lalu Gerschenkron (1953, 1962) dan Rostow (1960) memaparkan stage theory yang menyatakan bahwa semua negara melalui tahapan yang sama pembangunan ekonomi secara historis, artinya negara yang saat ini underdeveloped (third world) sedang berada pada tahap awal perkembangan sejarah sementara negara kawasan Eropa dan Amerika Utara (developed or first world) sudah berada di tahapan yang lebih maju. Dengan pemikiran tahapan tersebut, Chenery, Kuznets dan Adelman berargumen bahwa perbedaan kemajuan tetap terjadi sekalipun negara-negara melampaui tahapan linier. Mungkin saja underdeveloped countries mengejar (catch up) developed countries dengan lompatan beberapa tahapan. Perkembangan teori selanjutnya menganggap development sebagai pertumbuhan output (output growth). Kelompok Keynesian, Ragnar (1952) mengobservasi akumulasi kapital sebagai unsur penting dalam percepatan pembangunan. Sementara, Lewis (1954, 1955) yang terkenal dengan teori dual economy juga menekankan peran penting saving dalam pembangunan.

Selain itu, tahapan pembangunan industri harus jelas dan terukur, disertai kebijakan yang konsisten dengan dilandasi ideologi industri yang jelas. Ada panduan yang kongkrit mengenai keputusan terkait dengan cara apa diproduksi, di mana lokasinya, dan bagaimana distribusi hasilnya dan tidak sepenuhnya diserahkan pada keputusan pasar tetapi tidak juga di bawah kendali pemerintah. Diperlukan komposisi yang natural atas dasar kebutuhan dan kemampuan masyarakat domestik untuk mendukung proses industrialisasi. Sektor pendidikan juga harus mampu menjawab kebutuhan pekerja yang siap pakai. Proses re-industrialisasi tidak lepas dari koordinasi melalui peran negara dan memerlukan adanya kendali dari pemerintah pusat. Koneksitas dan sinergi antar wilayah dibangun dengan saluran komunikasi yang berimbang menjadi faktor penentu. Keseluruhan ini dilandasi dengan motivasi sosial ekonomi yang dominan untuk kesejahteraan dan tidak boleh dicampuri kepentingan politik praktis yang tidak selaras. Saat ini yang lebih diperlukan adalah kolaborasi yang strategis antara pemerintah di semua level dan semua sektor. Pasar tidak dapat meregulasi dirinya sendiri, sehingga intervensi pemerintah diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Peran negara tetap penting agar industrialisasi tidak terjebak pada mekanisme pasar tanpa ada pengaturan. Referensi : Global Justice Update, Tergusurnya Industri Nasional, Tahun

ke-6 Edisi 3 Desember 2008, Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta.

Asian Development Bank, Indonesia Critical Development Constraints – Country Diagnostic Studies, 2010, Asian Development Bank bersama dengan International Labor Organization dan Islamic Development Bank.

TINJAUAN UTAMA PERKEMBANGAN TEORI EKONOMI PEMBANGUNAN “Analisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam mengejar ketertinggalan”

“..proses reindustrialisasi memerlukan kolaborasi yang strategis antara pemerintah di semua level dan semua

sektor..”

Page 12: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 10

Kelompok Neoclassic, Solow dan Swan (1956) mencetuskan model pertumbuhan ekonomi yang juga menekankan pada akumulasi kapital sebagai daya dorong output growth. Sebelumnya, trio Case-Koopmans-Ramsey juga membangun model pertumbuhan dengan perubahan teknologi sebagai unsur penentu diluar model (exogenous). Dengan munculnya pemikiran daya dorong pertumbuhan dalam perkembangan teori ekonomi pembangunan, Rosenstein-Roan (1943) kembali menyatakan bahwa intervensi pemerintah dapat menciptakan kondisi increasing return to scale yang menjamin tingkat tabungan dan pertumbuhan yang lebih tinggi. Dari sini, Singer dan Myrdal (1957) mencetuskan doktrin balanced-growth dan cumulative causation theory yang menekankan peran serta pemerintah sebagai unsur kritikal dalam pembangunan ekonomi. Selain pembentukan kapital secara fisik, manusia sebagai kapital juga diyakini memberi pengaruh kuat dalam pembangunan ekonomi. Ini dimotori oleh Schultz yang observasinya fokus pada aspek-aspek sosial. Selanjutnya, Lewis dan Singer mengembangkan tesis Schultz dengan menyatakan bahwa pembangunan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan tingkat kelahiran berperan pada human capital improvement yang menjadi prasyarat pertumbuhan ekonomi. Sejak itu, aspek demografis menjadi perhatian penting dalam ekonomi pembangunan. Seers (1969) beranggapan pembangunan adalah sebuah fenomena sosial yang melibatkan lebih dari sekedar peningkatan output per kapita. Menurutnya, pembangunan juga merupakan upaya memberantas kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Seers berupaya meredefinisi ekonomi pembangunan dan opininya dikuatkan oleh Singer, Myrdal dan Adelman yang sudah lama terlibat penelitian ekonomi pembangunan. Sebelum Seers, teori ekonomi pembangunan hanya bersandarkan pada pemikiran tahapan pertumbuhan (stages) dan tidak menyentuh persoalan struktural. Seers mulai membuka pemikiran tentang problem struktur yang telah menyebabkan perbedaan tetap ada antara third world and first world countries. Pembangunan ekonomi bukan lagi sekedar melihat tahapan yang harus dilalui atau melihat unsur-unsur yang kritis sebagai pendorong pertumbuhan, namun harus juga melihat perbedaan struktur dalam negara pada akhirnya menghasilkan perbedaan pertumbuhan. Perbedaan yang tetap ada tersebut mendorong keinginan terikat dalam bentuk perdagangan antar negara yang berorientasi pada industrialisasi. Dari keadaan tersebut, Singer dan Prebisch menformulasikan teori ketergantungan dalam ekonomi pembangunan. Penelitian proses pembangunan ekonomi tidak berhenti pada perbedaan demografis, studi selanjutnya juga melihat proses transformasi itu sendiri. Artinya, demografi antar kawasan dipelajari sebagai problematika struktural yang dinamis, yaitu fokus pada tahapan-tahapan yang secara demografis dan struktural menentukan proses transformasi pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut diyakini mempunyai variasi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi berbeda antar kawasan. Proses transformasi dan variasi level pertumbuhan menimbulkan suatu ketergantungan.

Negara yang telah mencapai tahap lebih maju menjadi tempat ketergantungan oleh negara yang baru mencapai tahap pertumbuhan ekonomi lebih rendah. Ini sama halnya dengan hukum pascal dalam fluida, termodinamika dan tekanan, di mana suatu keadaan yang berbeda akan saling menyesuaikan hingga terjadi keseimbangan. Pemikiran yang mendasari catch up nantinya. Perbedaan struktural antar kawasan oleh Myrdal (1957) dianggap dapat membentuk economic advantage. Unsur lain seperti development gap, poverty, income distribution disparity, akses terhadap kesehatan dan nutrisi akhirnya dibuat parameternya dengan standar internasional oleh perserikatan bangsa-bangsa. Dengan begitu strata pertumbuhan ekonomi dapat terlihat jelas secara empiris. Ekonomi pembangunan lalu difokuskan dengan definisi-definisi kawasan menurut level pertumbuhan. Industrialisasi dianggap sebagai level pertumbuhan paling maju karena melibatkan teknologi dan kapital lebih intensif dibandingkan dengan tenaga kerja. Sementara, negara dengan ekonomi yang masih bergantung pada sumber daya alam dan intensif tenaga kerja dianggap berada pada level paling rendah. Alasan yang melandasi adalah tenaga kerja itu terikat oleh upah dan rentan terhadap pengangguran. Menurut Keynes, dengan upah dan harga yang rigid, pengangguran dapat terjadi sekalipun ekonomi tidak sedang resesi. Pengangguran menciptakan distribusi pendapatan tidak merata dan akses terhadap kebutuhan dasar tersumbat. Akibatnya, sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, teknologi yang semakin berkembang dapat meningkatkan produktivitas dan output ekonomi dapat didorong menjadi lebih cepat. Oleh karena itu karakteristik kawasan dengan acuan tahap industrialiasi menjadi konsep definisi kawasan, seperti Newly Industrializing Countries (NICs). Proses dalam tahap pembangunan dapat menjelaskan hubungan ketergantungan antara negara maju dengan negara yang lebih rendah tahapannya. Hubungan diwiujudkan dengan penciptaan pasar (utamanya pasar barang). Mekanisme proses pembangunan dengan konsep tahapan pembangunan diawali kondisi dimana suatu negara yang masih berada dalam tahap tradisional akan mengimpor produk dari negara maju untuk kebutuhan domestik. Lalu, negara tersebut mulai mengembangkan industrinya untuk memproduksi barang sebelumnya diimpor untuk export oriented ke negara-negara yang sudah lebih maju. Negara-negara yang sudah lebih maju melakukan transfer of knowledge industri produk yang mulai usang di negaranya ke negara yang lebih rendah tahap pertumbuhannya termasuk memberi dukungan investasi. Kebutuhan domestik produk di negara maju selanjutnya akan dipenuhi oleh negara yang memperoleh tarnsfer teknologi dan investasi sebagai spillover negara yang lebih maju. Demikian hubungan ketergantungan terjadi. Perhatian studi ekonomi pembangunan seketika tersedot oleh kawasan yang mengalami pertumbuhan ekonomi secara pesat (emerging) seperti East Asian. Pertumbuhan pesat semula diyakini karena pengaruh korporasi multinasional, misalnya ekspansi perdagangan antar negara, capital mobility dan foreign direct investment. Ini semakin memperkuat lahirnya teori dependensi.

Page 13: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 11

Helleiner menganggap faktor eksternal sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang pesat di East Asian. Namun, teori dependensi mulai luntur karena derasnya akumulasi kapital ternyata juga semakin memperkuat pondasi ekonomi domestik untuk tumbuh pesat dan menyurutkan ketergantungan dengan negara lain. Selain itu, moralitas (confucianism) juga diyakini turut berpengaruh pada kebangkitan ekonomi kawasan. Ini menjadi bukti bahwa struktur kawasan turut berperan dalam pembangunan. Namun, Balassa menyampaikan fakta bahwa Korea Selatan, Taiwan dan Singapura mengalami percepatan ekonomi melalui ekspor manufaktur karena kebanjiran permintaan pasar dunia. Jadi blessing diperoleh melalui kebijakan responsif terhadap lingkungan global bukan persoalan struktur maupun moralitas. Peran pasar didorong oleh pembentukan harga agar produk dapat diserap pasar dan negara memperoleh kapital untuk tumbuh. Esho (1997) menyatakan bahwa sebaiknya harga tidak mendistorsi mekanisme pasar melalui getting the price right, sementara kelompok revisionis (Pack dan Wetspahl 1986, Amsden 1989, Wade 1990) justru menghendaki distorsi harga dengan getting the price wrong untuk mengejar keunggulan komparatif dalam perdagangan global. Pemerintah berperan penting menciptakan pasar dan institusi yang mendukung pertumbuhan ekonomi menuju industrialisasi. Teori ekonomi pembangunan kembali dengan persoalan struktur. Variasi unsur-unsur ini diyakini turut andil memberi variasi pertumbuhan ekonomi negara meski berada dalam satu kawasan. Persoalan struktur lain dalam ekonomi pembangunan adalah pembentukan kemampuan (learning by doing model), badan birokrasi (Haggard, Deyo dan Vodel), otonomi wilayah (Robison, Rodan, Yeon-Ho dan Hewison), serta pendekatan institusional dan sistem korporasi. Sistem korporasi menjadi trend pertumbuhan ekonomi melatar-belakangi sukses Jepang dan Amerika Serikat dalam kemajuan industrinya. Greschenkron (1962) menolak paham struktur (counter-structuralism) dalam teori ekonomi pembangunan dan menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu negara underdeveloped dapat tumbuh lebih cepat dari negara developed. Boumol (1986) juga memberikan bukti empiris adanya catch up karena pengaruh akuisisi teknologi dari negara pioner (developed) oleh negara follower (underdeveloped). Seolah mendukung opini Chenery, Kuznets dan Adelman tentang short-cut stage, keduanya menyatakan bahwa akumulasi teknologi penting dalam pertumbuhan. Jepang dan Korea Selatan menjadi contoh bahwa catch up benar terjadi karena dorongan teknologi yang diimpor dari negara maju dan lebih murah biayanya dibanding menciptakan teknologi. Abramovitz (1986) diikuti Freeman dan Soete (1997) juga mendukung catch up negara follower terhadap negara pioner. Hanya saja, Abramovitz mengakui adanya faktor sosial dan progressnya selain manusia dan kapital fisik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, negara hanya mengalami ketertinggalan teknologi tapi bukan kapabilitas sosial.

Sedangkan Freeman dan Soete lebih mempermasalahkan short cut stage yang tidak terhalang oleh biaya impor teknologi tetapi justru oleh kesulitan asimilasi teknologi yang diadopsi. Tetapi, negara mempunyai peluang untuk short cut stages menurut Perez dan Soete (1988) karena adanya teknologi informasi, meskipun hambatan penyesuaian tetap dirasakan oleh negara-negara follower akibat batasan enterpreneurships seperti dinyatakan oleh Unger (1988). Hobday (1994, 1995) menolak bahwa catch up terjadi secara seketika. Penyesuaian ketertinggalan berlangsung secara bertahap dan akumulatif karena ada proses peningkatan kapasitas teknologi seperti yang dialami oleh Singapura. Jadi perhatian pertumbuhan ekonomi tidak hanya pada unsur yang mendorong tetapi juga pada prosesnya. Hal inilah yang menjadi studi Tunzelmann (1995) dengan mengamati sukses catch up di Korea Selatan dan Taiwan. Selain transfer teknologi, foreign direct investment (FDI) juga berperan dalam akumulasi proses transfer yang memungkinkan negara follower atau dikenal sebagai latecomer untuk catch up. FDI menjadi spillover dari negara maju kepada latecomers untuk membiayai transfer teknologi. Namun, Kokko (1994) menyangsikan spillover dapat secara efektif menciptakan transfer teknologi bagi sektor-sektor yang mempunyai diferensiasi produk dan economic of scale yang luas. Hobday (1995) sendiri tetap mendukung transfer teknologi sebagai pendorong catch up dari latecomers dengan membuat definisi latecomer itu sendiri dan fokus pada kemampuan untuk mengatasi external disadvantage. Kemampuan manajerial negara latecomer diakui turut menentukan suksesnya catch up. Ini menjadi bukti bahwa problem struktur tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam melihat pertumbuhan sekalipun semua negara menerapkan transfer teknologi yang sama. Gu dan Steinmueller (1996) melihat fakta Cina untuk menjelaskan pola akuisisi yang kuat dibentuk oleh batasan kelembagaan dan finansial. Diakui mereka bahwa tidak cukup dengan kapabilitas sosial, struktur negara ternyata juga mempunyai peranan. Teori ekonomi pembangunan modern akhirnya meletakkan fokus studi pada kondisi latecomers yang mempunyai keinginan untuk catch up terhadap leading countries. Tidak cukup hanya melihat proses catch up, keadaan inisial dari latecomers juga harus menjadi perhatian karena pada kenyataannya, sukses catch up tidak selalu sama di alami setiap negara sekalipun teknologi yang ditransfer sama seperti yang diungkap oleh Shin tentang the economics of latecomers. Mulanya, Abramovitz (1979, 1986) aktif menggagas hipotesis tentang latecomers, yaitu semakin terbelakang suatu negara akan semakin cepat pertumbuhan ekonominya. Kapasitas sosial seperti kompetensi dan pendidikan menjadi komponen penting dalam mendorong pembangunan. Namun Abramovitz sendiri mengaku sulit mengukur kapasitas sosial tersebut. Boumol (1986) juga Dowrick dan Gemmel (1991) kemudian memberikan solusi cara mengukur kapasitas sosial yang diestimasi dari tingkat pendidikan dan tingkat industrialisasi.

Page 14: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 12

Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor energi merupakan salah satu sektor yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa adanya pengelolaan yang baik atas sektor energi, ekonomi suatu bangsa bisa terpuruk ke dalam lubang krisis, apalagi di tengah ombang-ambing ekonomi global saat ini. Lebih jauh lagi, sektor migas berpotensi memberikan sumbangan terhadap perkembangan industri di Indonesia. Secara a priori, de-industrialisasi yang terjadi di Indonesia saat ini berkorespondensi dengan turunnya berbagai indikator makro sektor migas. Di Indonesia, produksi dan distribusi migas dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta. Sektor hulu sebagian besar dikuasai asing, sementara sektor hilir dikuasai oleh perusahaan-perusahaan nasional bersama perusahaan-persahaan asing. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi minyak mentah di Indonesia mengalami penurunan, sementara cost recovery yang dikeluarkan negara terus mengalami peningkatan. Sementara di sektor hilir produksi bahan bakar minyak mengalami penurunan. Kegiatan usaha produksi BBM yang sebagian besar masih dikendalikan Pertamina tidak diurus secara benar. Banyak kilang yang sudah tua, sementara tidak ada penambahan kilang yang baru. Rendahnya tingkat teknologi dan kurangnya inovasi dalam proses produksi ini pun akhirnya membuat Pertamina mengimpor minyak mentah dari Singapura ataupun Saudi Arabia. Dan di tengah fluktuasi harga minyak mentah dunia, kenaikan harga BBM pun akhirnya tak dapat dihindari dan semakin membebani masyarakat.

Selain kapasitas sosial, komponen lain yang menjadi perhatian studi modern adalah technology gap. Menurut teori ketergantungan, teknologi maju akan sulit dikuasai oleh latecomers. Tetapi, teori ini menjadi tidak valid karena fakta banyaknya negara berkembang yang mengalami kemajuan dengan menguasai teknologi maju setelah perang dunia. Perez dan Soete (1988) menganalisis keuntungan dan kerugian latecomers dalam mengadopsi teknologi leading countries sebagai net advantages. Sebelumnya, Hirsh (1965) dan Vernon (1966) telah menunjukkan adanya product life cycle yang menurut Perez dan Soete memberi kesempatan bagi latecomers untuk melakukan catch up, sehingga latecomers menjadi pihak yang diuntungkan dengan adanya perkembangan teknologi. Namun, opini ini lalu dikritik oleh kelompok neo-schumpeterian, Ernst dan O’Connor (1989). Gerschenkron akhirnya menyatakan hal penting lain kondisi latecomers, yaitu tentang prerequisite dan backwardness, di mana latecomers harus mampu menutup dan mengganti tahapan yang hilang dalam prerequisite proses pertumbuhan. Jika berhasil menutupi atau mengganti latecomers berpeluang untuk tumbuh cepat. Perbedaan level kapabilitas sosial antara dua latecomers hanya akan menentukan pola catch up dan tidak akan menentukan kesuksesan atau kegagalan dalam catch up. Analisis struktur dalam ekonomi pembangunan kembali menjadi perhatian, khususnya untuk menjelaskan catch up industrialization dari latecomers. Untuk itu, scholar dari Jepang, Suehiro menjelaskan perbandingan model Flying Geese dari Akamatsu dengan model product life cycle dari Vernon. Dalam hal catch up industrialization, List (1841) sudah menyampaikan adanya peranan intervensi pemerintah, kekuatan manufaktur dalam pembangunan ekonomi dan idologi nasionalis. Pandangan List ini lalu dibangkitkan kembali oleh Gerschenkron dengan hipotesisnya tentang advantages and disadvantages of backwardness. Di tengah-tengah perdebatan hipotesis Gerschenkron yang diketahui mengandung kesalahan kapabilitas sosial, Akamatsu (1962) menganalisis kausalitas yang terjadi pada latecomers yang mengalami perbedaan dalam tahapan pengembangan industri dan perdagangan, sehingga melahirkan teori flying geese pattern. Akamatsu mengantarkan konsep bahwa negara menjadi unit dasar untuk ilustrasi heterogenisasi dan homogenisasi perekonomian dunia dan spesifikasi industri yang terjadi untuk ilustrasi siklus dari impor, produksi kebutuhan domestik hingga tahap ekspor. Dari analisis Akamatsu ternyata siklus pengembangan industri suatu negara membentuk pola angsa terbang karena terjadi transfer teknologi leading countries. Akamatsu menunjukkan pertumbuhan industri dalam kurva impor, produksi dan ekspor kemudian mengalami diversifikasi dan meningkat dari barang konsumsi menjadi barang kapital. Akamatsu mengakui bahwa terdapat persamaan antara modelnya dengan model Vernon. Namun, model Akamatsu lebih mampu menjelaskan proses kausalitas yang terjadi di antara latecomers dalam melakukan transfer teknologi serta mampu menjelaskan hubungan dependensi antara latecomers dengan leading-nya dalam mendorong pengembangan proses industrialisasi suatu negara. Model flying geese ini juga menjelaskan kaitan erat proses spillover industrialiasi yang menjadi perdebatan dalam hipotesis Gerschenkron maupun Hobday.

Model flying geese Akamatsu dikembangkan oleh Kojima (2000) menjadi model Kojima I, II dan III. Model Kojima I melibatkan akumulasi faktor produksi barang kapital dan tenaga kerja yang menghasilkan variasi dalam pertumbuhan ekonomi. Tahap efisiensi dapat dicapai dengan faktor produksi yang telah dirasionalisasi pada tingkat produksi yang dianggap paling efisien. Model Kojima II menggambarkan proses tranformasi industri yang berorientasi perdagangan melalui dorongan FDI dari negara yang comparative disadvantage ke negara yang comparative advantage. Model Kojima III menjelaskan teori agreed specialization yang membuat parameter peningkatan perdagangan intra-industri dalam wilayah yang terintegrasi secara efektif. Dengan begitu, negara antar kawasan akan mengikatkan diri dalam kesepakatan untuk melakukan spesialisasi industri, sehingga kompetisi tidak akan mendistorsi pasar karena penurunan harga produk. Baik Akamatsu maupun Kojima semakin membuka tabir fenomena pesatnya pertumbuhan ekonomi di Asia dan keberhasilan catch up industrialization negara Asia langsung berdasarkan fakta keberhasilan. Studi ekonomi pembangunan tidak lagi berada di hamparan pondasi makroekonomi.

TINJAUAN UTAMA Energi dan Mineral Harus Berkorban untuk Industrialisasi Nasional

Page 15: TEK 0810  final

Berbagai upaya penjelasan atas rendahnya produktivitas Pertamina tersebut telah banyak diutarakan. Salah satunya adalah soal efisiensi, baik itu teknis, ataupun organisasional. Pertamina seringkali dinilai tidak efisien, termasuk juga hubungannya dengan negara. Padahal, dengan rata-rata biaya produksi minyak mentah yang sebenarnya masih tergolong rendah, seharusnya Pertamina bisa efisien. Akibat inefisiensi tersebut, banyak kesempatan teknis, maupun organisasional yang hilang sehingga negara pun mengalami kerugian yang cukup signifikan. Sementara pengelolaan mineral yang sebagian besar dilakukan oleh perusahaan asing hanyalah kegiatan yang eksploitatif bahan mentah untuk memasok kebutuhan ekspor. Berapa pun kekayaan mineral yang digali tidak akan banyak berkontribusi bagi penguatan ekonomi nasional. Pengelolaan kekayaan mineral melalui suatu mekanisme kontrak karya memperlihatkan suatu mekanisme eksploitasi sumber daya alam model kolonial. Perusahaan-perusahaan memperoleh hak konsesi, suatu hak menguasai wilayah dengan yang luas, dimana perusahaan memiliki hak penuh atas wilayah tersebut. Negara hanya menerima pendapatan dari pajak dan royalti dalam jumlah yang relatif kecil. Penerimaan royalti dari perusahaan tambang mineral di Indonesia tidak lebih tiga persen dari total penerimaan perusahaan. Sementara sisi lain perusahaan-perusahaan telah menerima insentif pajak yang besar berhubungan dengan impor barang modal yang dilakukan. Pada tingkat makro ekonomi, negara hanya akan memperoleh penerimaan uang sebagai devisa atas ekspor sumber daya alam ini, akan tetapi pada saat yang sama devisa tersebut akan mengalir kembali ke luar negeri dalam bentuk transfer keuntungan, biaya amortisasi dikarenakan barang modal sebagian besar berasal dari luar negeri, bunga dan pengiriman uang untuk pembelian barang-barang modal lainnya. Sektor migas dan mineral adalah dua sektor ekonomi yang menjadi kelebihan Indonsia dibandingkan dengan negara lain. Kebijakan dalam pengelolaan migas dan mineral harus diubah secara mendasar. Kegiatan usaha di sektor migas dan mineral harus berbeda sama sekali dengan usaha di sektor ini yang telah berlangsung hampir dua abad lamanya, dimana eksploitasi dan produksi migas dan mineral yang berorientasi keluar telah menyebabkan kedua sektor ini tidak memberi sumbangan yang berarti terhadap industrialisasi nasional dan pembentukan modal nasional. Selain itu eksploitasi kekayaan untuk mengejar pendapatan pajak, royalti dan bagi hasil telah meyebabkan distorsi yang luas pada lingkungan hidup. Bencana yang terjadi secara hebat di Indonesia sepanjang 10 tahun terakhir seperti banjir, longsor, kekeringan, bahkan gempa bumi tidak dapat dipisahkan dari semakin rusaknya sistem ekologi akibat eksploitasi mineral, migas dan juga hasil hutan tanpa perencanaan. Nilai ekonomis dengan memperhitungkan deplesi dan degradasi yang selama ini dihitung dalam PDB hijau menunjukkan nilai negatif karena kerusakan lingkungan lebih besar dibanding manfaat ekonomi yang diperoleh.

Sehingga eksploitasi dan produksi migas di masa depan dapat digunakan sebagai sumber penting dalam rangka membangun industrialisasi nasional. Eksploitasi tanpa batas yang ditujukan untuk ekspor dan kurang mengindahkan aspek keberlanjutan dan ketahanan ekonomi di masa depan adalah sesuatu yang sangat membahayakan dan harus dihentikan. Dengan demikian eksploitasi dan produksi kedua sumber ekonomi tersebut dapat dibatasi sesuai dengan besarnya kebutuhan yang diperlukan oleh usaha-usaha nasional dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitasnya.

Disarikan dari Salamuddin Daeng, Peneliti pada Institute for Global Justice, Mengakhiri Kemerdekaan melalui Industrialisasi Nasional

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 13

“..eksploitasi dan produksi energi dan mineral dapat dibatasi sesuai dengan besarnya kebutuhan yang

diperlukan oleh usaha-usaha nasional dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitasnya..”

Page 16: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 14

Salah satu elemen penting yang menyatakan suatu pembangunan ekonomi adalah proses industrialisasi, yaitu perubahan struktur produksi perekonomian yang sebelumnya bergantung pada barang primer menuju ke produksi barang manufaktur, sehingga diperoleh manfaat yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi dan tersedia jaminan kesejahteraan lebih baik. Jadi industrialisasi bukan sekedar transformasi ekonomi melainkan sebuah transformasi sosial. Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja komponen-komponen yang menjamin keberhasilan industrialisasi itu sendiri? Keberhasilan industrialisasi yang didorong oleh sistem korporasi multinasional (ekspansi perdagangan antar negara, capital mobility, dan foreign direct investment) melatarbelakangi pesatnya pertumbuhan ekonomi Jepang dan Amerika. Jepang menjadi bukti empiris dalam proses industrialisasi dan berhasil menyusul kemajuan industri negara-negara Eropa. Sejumlah hasil studi yang saling mendukung tentang industrialisasi telah dilakukan, diantaranya oleh Greschenkron (1962), Boumol (1986), Chenery, Kuznets dan Adelman, Abramovitz (1986), Freeman dan Soete (1997), Perez dan Soete (1988) yang menemukan adanya proses catch up bahwa negara underdeveloped dapat tumbuh lebih cepat dari negara developed dengan pengaruh akuisisi teknologi. Namun terdapat sejumlah persoalan yang turut menentukan kemajuan proses industrialisasi ini. Salah satunya adalah hambatan penyesuaian teknologi bagi negara follower karena batasan enterpreneurships untuk melakukan transfer teknologi. Tidak hanya persoalan dalam transfer teknologi, pembiayaan transfer teknologi juga menjadi persoalan bagi negara follower karena biaya impor dari negara maju untuk mendukung industrialisasi tidaklah murah. Adanya foreign direct investment (FDI) menjadi salah satu opsi pembiayaan transfer teknologi dalam rupa spillover dari negara maju kepada latecomers. Namun, Kokko (1994) menyangsikan bahwa spillover secara efektif dapat menciptakan transfer teknologi bagi sektor-sektor yang mempunyai diferensiasi produk dan economic of scale yang luas. Studi empiris lain adalah Gu dan Steinmueller (1996) yang melihat fakta Cina untuk menjelaskan pola akuisisi yang kuat dibentuk oleh batasan kelembagaan dan finansial. Diakui mereka bahwa tidak cukup dengan kapabilitas sosial, struktur negara ternyata juga mempunyai peranan. Namun demikian, Hirsh (1965) dan Vernon (1966) menunjukkan bahwa product life cycle memberi kesempatan bagi latecomers untuk melakukan catch up, sehingga latecomers menjadi pihak yang diuntungkan dengan adanya perkembangan teknologi.

TINJAUAN UTAMA Arah, Struktur dan Sumber Pembiayaan Industrialisasi di Indonesia: Bukti Ekonometrik dan Analisis Fakta

Proses industrialisasi tidak terjadi seketika. Penyesuaian ketertinggalan berlangsung secara bertahap dan akumulatif karena ada proses peningkatan kapasitas teknologi seperti yang dialami oleh Singapura. Perhatian pertumbuhan ekonomi tidak hanya pada unsur yang mendorong tetapi juga pada prosesnya. Hal yang sama terjadi di Korea Selatan dan Taiwan dalam keberhasilan catch up (Tunzelmann, 1995). Hasil studi Hayashi menjelaskan bahwa Jepang berhasil memperbaiki permasalahan mendasar perekonomian dengan reformasi modern yang berlangsung dalam jangka panjang sebelum mempercepat laju industrialisasi. Bagi Jepang tidak ada kemungkinan untuk roll-back ke tahap ekonomi pertanian, bila industrialisasi gagal dilakukan. Ini yang menjadi dorongan maju dan dalam beberapa studi diyakini terikat dalam confucionism Jepang. United Nation Industrial Development Organisation (UNIDO) menempatkan Indonesia dalam peringkat industrialisasi terbawah di antara negara-negara ASEAN, yaitu di peringkat 38 pada tahun 2002. Bahkan peringkat tersebut semakin merosot ke urutan 42 diukur menurut Competitive Industrial Performance Index (CIP) seperti yang dilaporkan dalam Industrial Development Report 2009.2 Indonesia telah menuju de-industrialisasi sebelum dapat mencapai industrialisasi.3 Ine Minara (2008) menyatakan bahwa telah terjadi penafsiran yang salah dalam konsep industrialisasi di Indonesia karena sering diartikan sebagai membangun industri dari pada proses perubahan sosial dan ekonomi. Lebih lanjut, tanda-tanda industrialisasi di Indonesia secara umum semakin meredup dan gagal mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu alasan yang mengemuka adalah sulitnya melakukan pembiayaan industri dan persoalan struktur yang tak kunjung selesai, sehingga lompatan industri yang terjadi tidak mampu didukung oleh pondasi sosial ekonominya dan industrialisasi mengalami kegagalan. Berbagai kebijakan deregulasi untuk mendorong industrialisasi telah dilakukan sejak tahun 1983 namun belum dapat menjamin terjadinya catch-up di Indonesia karena persoalan struktur yang belum tuntas. Secara konsep industrialisasi sudah memadai, namun berbeda dalam pelaksanaan dan pengelolaan keuntungan, sehingga tidak memberikan trickle down effect bagi kelas industri dibawahnya. Arah industrialisasi Indonesia belum menuju pada kemandirian (self reliance) yang terbukti dengan adanya subsidi dan proteksi dari pemerintah. Penurunan tarif bea masuk setidaknya menjadi ujian bagi daya saing industri domestik. Serbuan barang impor dengan harga yang jauh lebih murah telah meruntuhkan pasar domestik bagi produk industri Indonesia. Selain itu, transfer technology dari negara maju dengan mendirikan pabrikasi di Indonesia digunakan untuk mengisi pasar domestik dan tidak export-oriented. Keadaan ini baru diberikan oleh negara pioner yang melakukan transfer setelah pasar domestik mengalami kejenuhan. __________ Tempo Interaktif, 8 Maret 2005 http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/03/08/brk,20050308-43,id.html 2 UNINDO Industrial Development Report 2009, page 118. 3 Global Justice Update, Industrialisasi Apa dan Bagaimana Indonesia, Tahun ke-6 Edisi 3 Desember 2008.

Page 17: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 15

Ketidakmampuan pra-kondisi industrialisasi di Indonesia menjadi penyebab kegagalan untuk melakukan catch-up menjadi negara industri. Fakta ini tidak hanya diperkuat dengan adanya keruntuhan beberapa industri unggulan seperti Texmaco, IPTN, Krakatau Steel, namun juga peran industri yang semakin menurun dalam perekonomian. Kontribusi sektor industri dalam perekonomian jangka panjang menurun secara permanen. Pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2004-2006 mencapai rata-rata 6,7%, tetapi pertumbuhan industri terus menurun dibawah 6%. Konstraksi industri juga sangat tinggi pada saat terjadi krisis 1997, yaitu 10,32%. Pada periode 2002-2003 terjadi kenaikan dan kembali menurun dilihat dari konteks penyerapan tenaga kerja. Selama 1980-2007, proporsi tenaga kerja memberi kontribusi kurang dari 13% dibandingkan dengan total penyerapan sumber daya manusia dan tidak ada peningkatan kapasitas untuk semua sektor industri. Kondisi ini menjadi gambaran jelas bahwa hanya terdapat industri dengan intensitas kapital yang menyerap relatif sedikit sumber daya manusia. Sistem korporasi dalam mengelola sumber daya manusia juga memberikan gambaran yang berbeda atas kelangsungan usaha industri di Indonesia. Beberapa industri rokok dengan intensitas tenaga kerja lebih mampu bertahan dalam periode lama dibandingkan dengan industri tekstil yang juga banyak menyerap tenaga kerja. Keberhasilan industri rokok mampu mendatangkan pembentukan kapital domestik yang masif, namun kebanyakan terjadi peralihan kapital tersebut ke sektor properti, sehingga tidak mengarah pada industrialisasi. Beberapa sentra kawasan bisnis emas di Jakarta dikuasai oleh para pengusaha industri rokok, seperti kompleks Hotel Indonesia oleh Jarum. Bukti lain kegagalan pengelolaan berkah kemakmuran pertumbuhan industri Indonesia terjadi pada industri gula. Hampir seluruh pabrik gula berhenti beroperasi karena tidak ada pemeliharaan dan pembaharuan mesin. Untuk satu pabrik gula, Belanda membangun infrastruktur yang sangat besar, dari sistem rel kereta, kompleks perumahan, perbengkelan kereta dan mesin, pusat kesehatan dan pemeliharaan lingkungan. Keruntuhan industri gula menyisakan aset sedemikian besar terbengkalai. Pemerintah Indonesia lebih memilih impor gula yang diyakini memberikan harga gula lebih murah dari pada memproduksi gula. Kesalahan pemeliharaan industri telah membuat distortif harga dan tergerus oleh impor. Strategi substitusi impor gula telah menjadikan Indonesia mengalami de-industrialisasi gula yang menyisakan catatan emas dalam sejarah. Selain itu, sektor energi yang sebenarnya secara a priori mempunyai koherensi dengan industrialisasi karena memberikan pasokan energi yang cukup untuk industrialisasi juga tidak dapat mendukung proses industrialisasi. Sektor energi lebih bersifat export oriented. Keuntungan yang diperoleh pemerintah dengan kontrak bagi hasil juga tidak banyak memberikan keuntungan.

Saat ini Indonesia mengalami de-Industrialisasi yang ditandai dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Industri lebih sedikit menyerap tenaga kerja dibanding

sektor lain. Dari tahun 1980 hingga 2007, jumlah tenaga kerja di atas 10 tahun yang diserap sektor industri tidak lebih dari 13 juta.

2. Fluktuasi pertumbuhan industri tidak mempunyai pola sejak 1980. Puncak pertumbuhan terjadi pada tahun 2004 dengan 6,38%, namun kemudian menurun terus pada tiga tahun berikutnya.

3. Sejak tahun 2005, nilai tambah manufaktur pada PDB menurun. Menurut Hayashi (2005) hal ini menunjukkan bahwa proporsi industri pengolahan hasil pertanian (termasuk perikanan dan kehutanan) pada total output antara 1995-2005 semakin mengecil.

4. Komposisi ekspor komoditas non-migas dalam periode 2003-2007 menunjukkan gejala kemunduran pada sektor industri. Hayashi (2005) mencermati bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurun sejalan dengan peningkatan pengangguran memperkuat kesimpulan bahwa Indonesia mengalami de-industrialisasi.

Peningkatan pembentukan kapital akan memberikan lebih banyak kontribusi pada output produksi dan siklus pertumbuhan kesejahteraan ekonomi. Industrialisasi memerlukan akumulasi kapital, tidak hanya mencakup biaya-biaya produksi sektor industri yang menjadi komponen tranformasi, namun juga harus dapat menutup biaya proses transformasi itu sendiri yang menjamin terjadinya proses berkelanjutan, seperti menumbuhkan daya saing, migrasi kemampuan tenaga kerja, penciptaan pasar produk dan investasi. Penutupan pada biaya komponen transformasi hanya akan mengantar pada proses membangun industri tetapi tidak memberi peluang pertumbuhan yang berkelanjutan dari industri itu sendiri. Sebagai contoh, kredit investasi yang tertanam secara dominan untuk membiayai impor bahan baku yang terikat dengan nilai tukar akan habis terserap pada biaya spekulatif nilai tukar, sehingga kelangsungan industri menjadi terancam.

Page 18: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 16

Terkait dengan pembiayaan industrialisasi, dilakukan pengujian seberapa besar elastisitas sumber-sumber pembiayaan industri di Indonesia mendukung proses industrialisasi. Mengikuti model Justin Paul dan Ramanathan, beberapa variabel sumber pembiayaan dikelompokkan berdasarkan dua aspek dasar, yaitu investasi dan kredit. Pembentukan modal domestik bruto digunakan sebagai salah satu variabel sumber pembiayaan untuk menjelaskan apakah pembentukan kapital bruto di Indonesia mempunyai relevansi yang kuat terhadap proses industrialiasi dan menjadi salah satu sumber pembiayaan industrialisasi yang berpengaruh. Foreign Direct Investment (FDI) digunakan sebagai variabel sumber pembiayaan asing yang diyakini banyak memberikan kontribusi pada pertumbuhan domestik misalnya pembentukan kapital fisik, transfer teknologi, promosi produk, penetrasi pasar internasional, stimulus produktivitas, pembentukan tenaga kerja terampil, dan peningkatan daya saing. Instrumen utama pada pasar modal (capital issues in primary market) juga digunakan untuk merefleksikan keyakinan investor terhadap industrialisasi Indonesia. Dan yang terakhir adalah sumber pembiayaan melalui kredit perbankan. Sedangkan untuk mengetahui bagaimana peran sumber-sumber pembiayaan pada pertumbuhan industri, digunakan variabel indeks produksi industri (IIP) skala menengah dan besar sebagai variabel pertumbuhan industri. Dari hasil pengujian diketahui bahwa sumber-sumber pembiayaan erat kaitannya dengan pertumbuhan industrialisasi Indonesia (gambar 6 ), namun kontribusinya tidak signifikan. Sumber-sumber pembiayaan industri sangat terbatas dan tingkat kepercayaan bank untuk penyaluran kredit masih sangat rendah. FDI yang diyakini banyak studi dapat mendongkrak kemampuan untuk membiayai alih teknologi ternyata tidak signifikan untuk menumbuhkan industrialisasi di Indonesia dilihat dari pertumbuhan indeks produksi industri skala menengah dan besar. Demikian pula halnya dengan sumber pembiayaan lain, yaitu pembentukan modal domestik bruto, kredit bank dan pasar modal jika dilibatkan secara bersama untuk pertumbuhan industrialisasi. Pasar modal menjadi pilihan sumber pembiayaan paling dominan di antara sumber pembiayaan yang lain, sementara kredit bank menjadi signifikasi jika respon positif dari pasar modal pada pertumbuhan industri terjadi. Dan hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa krisis 1997 tidak memberikan perubahan struktur dasar relevansi pembiayaan dengan pertumbuhan industrialisasi bahkan indeks produksi industri menunjukkan trend positif setelah krisis.

100

110

120

130

140

IIP

1995 2000 2005 2010THN

Kasus di Indonesia memberi gambaran jelas bahwa intervensi yang terlalu kuat pada proses industrialisasi telah melemahkan daya saing dan kemandirian usaha. Di lain pihak, ketidakpedulian pemerintah untuk mengatur sumber pembiayaan yang transparan juga tidak berhasil mendorong industrialisasi. Pemisahan atau penggabungan departemen industri dan departemen perdagangan juga tidak memberi sinyal positif tumbuhnya industrialisasi. Tahap catch up hanya dilalui oleh industri rokok yang menerapkan sistem korporasi kekeluaragaan. Ini ditandai dengan animo besar dari Phillip Morris (Marlboro) untuk membeli saham Sampoerna. Salah satu pertimbangannya pasti karena industri tersebut sudah semakin efisien. Sementara, industri tekstil masih bergantung dengan sistem maklon (production contract) yang tidak pernah menaikkan derajat industri tekstil Indonesia lebih dari bisnis tukang jahit!

“..Sumber-sumber pembiayaan industri sangat terbatas dan tingkat kepercayaan bank untuk penyaluran kredit

masih sangat rendah..”

Gambar 6. Indeks produksi industri skala besar dan menengah setelah melalui penyesuaian tahun basis tahun 1993=100 menunjukkan tren positif setelah terjadi krisis 1997, Sumber: Departemen Perindustrian

Page 19: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 17

Penyaluran Kredit Untuk TKI

Jumlah TKI yang tercatat bekerja di luar negeri pada semester I-2010 sebesar 132,155 orang dengan komposisi sebanyak 81.87% di kawasan Asia Pasifik dan 18% kawasan timur tengah dan afrika dan kurang dari 1% di kawasan Amerika dan Eropa. Negara tujuan penempatan TKI terbesar adalah Malaysia sebesar 68,105 orang (51%) dan Arab Saudi sebesar 19.270 orang (14%) pada semester I-2010 dengan mayoritas perempuan dan bekerja di sektor informal. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan pahlawan devisa negara. Menimbang kontribusi tersebut dan berbagai permasalahan TKI di luar negeri, dalam Inpres I/2010 tentang Percepatan Pembangunan 2010 disebutkan bahwa salah satu program prioritas pemerintah adalah peningkatan pelayanan dan perlindungan TKI. Salah satu tindakannya adalah penyusunan skim pembiayaan kredit untuk TKI khususnya pada saat penempatan.

2006 2007 2008 2009 2010*)

Tahun

TOTAL (LHS) 680,000 696,746 748,825 271,115 132,155

TIMUR TGH & AFRIKA (LHS) 353,240 343,487 334,443 88,334 23,839

ASIA PASIFIK (LHS) 326,760 350,703 391,727 182,734 108,194

AMERIKA (RHS) 0 1,263 1,132 47 4

EROPA (RHS) 0 1,293 21,523 0 118

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

0100,000200,000300,000400,000500,000600,000700,000800,000

*) data semester ISumber: BNP2TKI

Penempatan TKI

Gambar 7. Pada Semester I-2010, jumlah penempatan TKI di kawasan Asia Pasifik terbesar yakni mencapai 81.87%

Penyaluran kredit pada saat pra penempatan TKI diperlukan untuk mengurangi resiko TKI dari lintah darat mengingat TKI tidak mampu menyediakan dana keberangkatan dan peran lembaga keuangan resmi seperti Bank (17%) dan koperasi (13%) sebagai sumber pendanaan masih kecil . Biaya yang diperlukan dalam proses penempatan TKI cukup besar dan berbeda-beda sesuai dengan kawasan tujuan penempatan. Berdasarkan survey TKI-BI, biaya proses penempatan TKI di kawasan timur tengah berkisar antara Rp. 10 juta-Rp. 12 juta. Komponen terbesar dari biaya ini adalah tiket pesawat yang bisa mencapai 40%-50% dan fee untuk sponsor (petugas lapangan) berkisar 25%-30%. Menurut, PPTKIS, fee sponsor biasanya digunakan untuk menutupi biaya perizinan baik yang legal maupun tidak legal dan uang saku untuk keluarga TKI. Khusus fee sponsor untuk calon TKI penempatan Asia Pasifik adalah lebih tinggi berkisar antara Rp.4 juta-Rp. 7 juta.

Uang sendiri

9%

Pinjaman Bank17%

Sponsor/Agen

14%Teman/Saudara/Tetan

gga9%

Rentenir18%

Koperasi13%

Pinjaman Lainnya

20%

Sumber Pendanaan Jika Pembiayaan Ditanggung oleh Calon TKI

Gambar 8. Sumber pendanaan jika pembiayaan ditanggung sendiri sebagian besar diperoleh dari pinjaman lainnya dan rentenir (Sumber: BI)

25%

3%

5%

16%

2%

7%

42%

Fee Sponsor

Tes Kesehatan

Asuransi, iuran asosiasi & …

Pelatihan

Dokumen Pendukung

Tiket

0% 10% 20% 30% 40% 50%Sumber: BI

Rata-rata Persentase Biaya Penempatan TKI Sektor Informal di Timur Tengah

Gambar 9. Berdasarkan survey TKI-BI, komponen terbesar dari biaya ini adalah tiket pesawat yang bisa mencapai 40%-50% dan fee untuk sponsor (petugas lapangan) berkisar 25%-30%.

Page 20: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 18

INFLASI DAN GEJOLAK HARGA

Inflasi bulan Agustus sebesar 0.76% atau 6.44% (yoy) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 122.67. Inflasi bulan Agustus 2010 menurun dibandingkan bulan sebelumnya tercatat sebesar 0.76% (mtm). Namun secara tahunan, tekanan inflasi masih menunjukkan peningkatan tercatat sebesar 6.44% (yoy). Inflasi Agustus didorong oleh tekanan dari komponen harga diatur pemerintah (administered price) sementara tekanan dari komponen barang bergejolak (volatile food) mereda. Komponen administered price mengalami inflasi tertinggi sebesar 2.09% (mtm) dengan sumbangan inflasi sebesar 0.37%, kemudian diikuti oleh komponen inti (core inflation) sebesar 0.52% (mtm) dengan sumbangan inflasi sebesar 0.32% dan komponen barang bergejolak (volatile food) sebesar 0.45% (mtm) dengan sumbangan inflasi sebesar 0.07%. Laju inflasi administered prices mengalami kenaikan terkait dengan kenaikan tarif dasar listrik. Penyesuaian tarif dasar listrik pada bulan Juli lalu tercatat pada penagihan listrik bulan Agustus 2010. Untuk komponen core inflation, tekanan terutama bersumber dari penyesuaian biaya pendidikan seiring dengan pola musiman tahun ajaran baru serta kenaikan tarif angkutan udara. Dari sisi eksternal, kenaikan inflasi inti didorong oleh peningkatan harga emas di pasar internasional. Tekanan komponen volatile food mulai mereda atau memberikan tekanan yang relatif minimal ditengah meningkatnya permintaan domestik di bulan puasa.

0.76

0.52

2.09

0.45

0.76

0.32 0.37

0.07

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Umum (Headline)

Core Inflation Administered Price

Volatile Food

Sumber: BPS

Inflasi Menurut Komponen, Agustus 2010

Inflasi (mtm)

Sumbangan

Gambar 10. Pada Agustus 2010, komponen terbesar penyumbang inflasi adalah administered price terkait dengan kenaikan tariff dasar listrik

Komponen pembiayaan lainnya dalam pra penempatan TKI adalah recruitment fee. Dari kegiatan penempatan TKI, PPTKIS memperoleh fee dari agen di luar negeri dengan besaran bervariasi sebagaimana tampak pada tabel 3. Dengan asumsi seluruh biaya proses rekrutmen dibebankan pada TKI, maka keuntungan yang diperoleh PPTKIS adalah sebesar recruitment fee yang diterimanya dari agen di luar negeri yakni berkisar Rp10 juta – Rp15 juta per TKI yang ditempatkan.

Kawasan Negara Recruitment Fee Informal Formal

Timur Tengah

Arab Saudi USD 1300 - 1400 / Rp13 - Rp14 juta

USD 250 - 1000 / Rp2.5 - Rp10 juta

Kuwait USD 1300 - 1400 / Rp13 - Rp14 juta

USD 250 - 1000 / Rp2.5 - Rp10 juta

Uni Emirat Arab

USD 1300 - 1400 / Rp13 - Rp14 juta

USD 250 - 1000 / Rp2.5 - Rp10 juta

Asia Pasifik

Hongkong HKD 9000 - 10000 / Rp10.6 - Rp11.8 juta

NA

Taiwan NT 30556 / Rp9.2 juta

NA

Singapura SGD 1300 -2000 / Rp7.9 - Rp12.2 juta

NA

Tabel 3 : Besarnya biaya recruitment fee tergantung dari masing-masing negara penempatan. Sumber : BNP2TKI

Komponen biaya yang cukup tinggi dalam pra penempatan TKI tersebut dan ketidakmampuan TKI serta minimnya akses untuk memperoleh pinjaman dari lembaga resmi seperti perbankan menyebabkan TKI menutup kekurangan biaya pemberangkatan dengan meminjam uang ke sponsor/calo atau bahkan rentenir. Sebelumnya, hanya sedikit bank yang telah melakukan pembiayaan kredit untuk TKI yang kemudian bank tersebut melakukan pemindahan utang TKI ke lembaga keuangan yang telah menjadi partner di negara penempatan. Pengalihan utang TKI ini ke lembaga keuangan di negara penempatan akan memperberat beban utang TKI, sebab lembaga keuangan asing tersebut akan mengenakan fee dari pengalihan utang TKI. Menimbang hal tersebut, pemerintah bekerja sama dengan perbankan akan mengambil peran dalam pembiayaan TKI yaitu perbankan tidak hanya sebagai jembatan antara TKI dengan lembaga keuangan di negara penempatan namun juga sebagai pihak yang mengatur pembayaran pinjaman TKI sampai tuntas dengan tidak mengalihkan utang TKI ke lembaga keuangan asing.Penyaluran kredit untuk TKI ini melalui kebijakan KUR untuk TKI yang mengikuti ketentuan KUR sebelumnya dengan standar operasional dan prosedur yang akan segera ditetapkan. Kerja sama penyaluran KUR untuk TKI diharapkan dapat semakin meningkatkan peran dan fungsi perbankan dalam penyelenggaraan penempatan serta perlindungan TKI.

Page 21: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 19

-10.00%

-5.00%

0.00%

5.00%

10.00%

15.00%

20.00%

Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug

2009 2010

Sumber : BPS

Perkembangan InflasiUmum (%yoy)

Core Inflation (%yoy)

Administered Price (%yoy)

Volatile Food (%yoy)

Gambar 11. Tekanan Inflasi Volatile Food mereda pada Agustus 2010 dibandingkan bulan sebelumnya

0.76

0.47

0.67

1.59

0.06

0.27

1.27

0.36

0.09

0.11

0.39

0.01

0.01

0.09

0.06

0 0.5 1 1.5 2

U m u m

Bahan Makanan

Makanan Jadi, minuman, Rokok & Tembakau

Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan bakar

Sandang

Kesehatan

Pendidikan, Rekreasi & Olah raga

Transpor dan Komunikasi & Jasa Keuangan

Sumber: BPS

Inflasi Menurut Kelompok Barang & JasaAgustus 2010

Sumbangan InflasiInflasi (mtm)

Gambar 12. Sumbangan terbesar inflasi Agustus 2010 adalah pada kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar

Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks tertinggi pada kelompok perumahan, air, listrik sebesar 1.59% seiring dengan kenaikan tarif dasar listrik yang baru tercatat pada penagihan listrik bulan Agustus 2010. Kemudian diikuti oleh kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga sebesar 1.27% seiring dengan pola musiman tahun ajaran baru, dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0.67%. 0.67%. Komoditas bahan pangan yang dominan memberikan sumbangan inflasi adalah beras sebesar 0. 20%, ikan segar 0.07%, daging ayam ras 0.03% dan daging sapi, cabai rawit dan minyak goreng sebesar 0.02%. Sedangkan komoditas bumbu-bumbuan seperti cabai merah, bawang merah, tomat dan bawang putih mengalami penurunan harga.

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

Jan Mar Mei Jul Sept Nov Jan Mar Mei Juli

2009 2010Sumber: Kementerian Perdagangan

Perkembangan Harga (Rp/Kg)

Daging ayam (LHS)

Cabe Merah (LHS)

Beras (RHS)

Gambar 13. Pada Agustus 2010, harga beras dan daging ayam melonjak yang mendorong kenaikan inflasi sedangkan harga cabai menurun

Pantauan atas 66 kota, seluruhnya mengalami inflasi pada Agustus 2010. Inflasi tertinggi terjadi di Gorontalo 3.75% dengan IHK 126.20 dan inflasi terendah terjadi di Mataram 0.05 % dengan IHK 129.02. Inflasi tinggi banyak terjadi di kota-kota luar Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Kenaikan harga di kota Pontianak didorong oleh kenaikan harga pada kelompok bahan makanan terkait dengan kenaikan harga dari komoditas bumbu-bumbuan sebesar 32% dan daging sebesar 10.2%. Untuk di Pulau Jawa, Probolinggo yang mengalami inflasi tertinggi sedangkan di Pulau Sumatra, kota Bengkulu yang mengalami inflasi tertinggi.

3.75

2.76

2.75

2.40

2.25

1.98

1.96

1.95

1.94

1.77

0.76

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00

Gorontalo

Tarakan

Palu

Ambon

Bone

Kendari

Bandar Lampung

Sukabumi

Ternate

Tanjung Pinang

Nasional

10 Kota Inflasi Tertinggi, Agustus 2010

Gambar 14. Pada Agustus 2010, kota-kota luar Pulau Sumatra dan Pulau Jawa mengalami inflasi yang cukup tinggi terutama Gorontalo yang mengalami inflasi tertinggi

Page 22: TEK 0810  final

PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS BAHAN POKOK Hingga minggu kedua September 2010, terjadi kenaikan harga pada komoditas minyak goreng curah, gula pasir, daging sapi, daging ayam, telur ayam, cabe merah, dan bawang merah. Sedangkan harga beras dan tepung terigu bergerak stabil dan cenderung turun pada minggu kedua September 2010. Meskipun harga beras internasional cenderung naik, harga beras (umum dan murah) terdorong turun melalui operasi pasar dan penyaluran raskin untuk bulan Agustus-September 2010 yang dilaksanakan dalam satu bulan. Penggabungan penyaluran raskin dalam satu bulan ini dilakukan pemerintah untuk menekan naiknya harga beras menjelang puasa dan lebaran. Harga tepung terigu domestik juga relatif stabil dan cenderung turun berada pada kisaran Rp 7.400 per kg meskipun harga tepung terigu internasional cenderung meningkat sejak Juli 2010.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 20

40004500500055006000650070007500800085009000(Rp/Kg)

Perkembangan Harga Beras Hingga Minggu II September 2010

Beras (Kg) Umum Beras (Kg) TermurahBeras (Kg) Thai 5% Beras (Kg) Thai 15%

Gambar 15. Pada Minggu ke-2 September, harga beras cenderung turun karena adanya operasi pasar dan penyaluran raskin untuk Agustus-September (Sumber: Kementerian Perdagangan)

010002000300040005000600070008000(Rp/Kg)

Perkembangan Harga Tepung Terigu Hingga Minggu II September 2010

Tepung terigu (Kg) KonsumenTepung terigu (Kg) Internasional

Gambar 16. Pada Minggu ke-2 September, harga tepung terigu domestik juga relatif stabil dan cenderung turun meskipun harga tepung terigu internasional cenderung meningkat. (Sumber: Kementerian Perdagangan)

Harga minyak goreng curah dan kemasan terus meningkat hingga minggu kedua September 2010 melanjutkan peningkatan harga di sepanjang bulan Agustus 2010. Harga minyak goreng kemasan yang meningkat di minggu pertama September 2010 didorong oleh peningkatan permintaan menjelang lebaran. Namun demikian, pergerakan harga minyak goreng cenderung stabil didorong oleh ketersediaan CPO yang tinggi di bulan Juli hingga September yang merupakan panen puncak CPO dalam siklus produksi kelapa sawit. Harga daging sapi, sejak Juli hingga September 2010, terus mengalami peningkatan. Peningkatan harga daging sapi ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan dan harga daging sapi di tingkat produsen menjelang lebaran, naiknya biaya potong dan distribusi.

8500

9000

9500

10000

10500

11000

11500

12000(Rp/Liter)

Perkembangan Harga Minyak Goreng Hingga Minggu II September 2010

Minyak Goreng (Liter) CurahMinyak Goreng (Liter) Kemasan

Gambar 17. Harga minyak goreng curah dan kemasan terus meningkat hingga minggu kedua September 2010 (Sumber: Kementerian Perdagangan)

01000020000300004000050000600007000080000(Rp/Kg)

Perkembangan Harga Daging Sapi Hingga Minggu II September 2010

Dg. Sapi (Kg) ProdusenDg. Sapi (Kg) Konsumen

Gambar 18. Harga daging sapi, sejak Juli hingga September 2010, terus mengalami peningkatan (Sumber: Kementerian Perdagangan)

Page 23: TEK 0810  final

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 21

Dibandingkan dengan Juli 2009, surplus neraca perdagangan pada Juli 2010 menurun sekitar 112,9%. Defisit neraca perdagangan ini diakibatkan oleh peningkatan impor yang lebih besar dibandingkan peningkatan ekspor. Kebutuhan gas domestik masih terus meningkat hingga Juli 2010 yang ditunjukkan dengan turunnya keseimbangan perdagangan gas dari US$846 juta pada Juni 2010 menjadi US$785 juta pada Juli 2010 yang artinya terjadi peningkatan impor gas. Untuk golongan barang nonmigas, pada bulan Juli 2010, terjadi peningkatan kebutuhan domestik yang cukup besar akan pesawat udara dan bagiannya sebesar 193,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini diperkirakan terjadi karena meningkatnya kebutuhan penerbangan dalam menghadapi lebaran. Peningkatan pada golongan pesawat udara dan bagiannya menjelang lebaran juga terjadi pada tahun 2009 sebesar 238,2%.

Nilai ekspor Indonesia pada bulan Juli 2010 mengalami peningkatan sebesar 1,32% dibandingkan dengan ekspor Juni 2010. Sementara bila dibandingkan dengan Juli 2009 mengalami peningkatan sebesar 29,00%. Secara kumulatif (Januari-Juli) nilai ekspor Indonesia hingga Juli 2010 mencapai US$85,01 miliar atau meningkat 42,26% dibanding periode yang sama tahun 2009. Peningkatan ekspor didorong oleh peningkatan ekspor nonmigas Juli 2010 sebesar 1,76% dibanding Juni 2010 atau 29,49% dibandingkan Juli 2009. Peningkatan ekspor nonmigas terbesar terjadi pada bijih, kerak dan abu logam sebesar US$220 juta, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada lemak & minyak hewan/nabati sebesar US$82,9 juta. Ekspor sedikit mengalami tekanan dari turunnya ekspor migas sebesar 1,09% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ekspor migas disebabkan oleh turunnya ekspor gas sebesar 5,75%, sedangkan ekspor minyak mentah dan hasil minyak meningkat masing-masing 4,15% dan 0,26% dibandingkan dengan Juni 2010. Menurut sektor, ekspor hasil industri dan pertanian masing-masing naik sebesar 34,10% dan 17,55%.

Nilai impor Indonesia pada bulan Juli 2010 meningkat sebesar 7,32 % dibandingkan dengan Juni 2010 dan jika dibandingkan dengan bulan Juli 2009 terjadi peningkatan sebesar 45,35 %.

Neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2010 mengalami penurunan sekitar 122,6% sehingga mencapai defisit dari US$570 juta menjadi minus US$129 juta jika dibandingkan dengan Juni 2010.

Harga gula pasir terus naik hingga minggu kedua September 2010 diakibatkan oleh pasokan gula pasir yang tidak mencukupi permintaan yang meningkat selama lebaran. Peningkatan permintaan tidak hanya terjadi di tingkat rumah tangga tetapi juga di kalangan industri makanan dan minuman. Meningkatnya permintaan gula di kalangan industri yang sebelumnya menggunakan gula rafinasi terjadi karena kenaikan harga gula internasional membuat pihak industri gula rafinasi sulit melakukan impor. Harga cabe merah yang sempat meningkat menjelang lebaran di awal September 2010, mulai bergerak turun paska lebaran. Sedangkan harga cabe rawit dan bawang merah masih mengalami peningkatan.

7500

8000

8500

9000

9500

10000

10500

(Rp/Kg)

Perkembangan Harga Gula Pasir Hingga Minggu II September 2010

Gula Pasir (Kg) KonsumenGula Pasir (Kg) Internasional

Gambar 19. Harga gula pasir terus naik hingga minggu kedua September 2010 diakibatkan oleh pasokan gula pasir yang tidak mencukupi permintaan yang meningkat selama lebaran. (Sumber: Kementerian Perdagangan)

50001000015000200002500030000350004000045000

(Rp/Kg)

Perkembangan Harga Cabe Rawit, Cabe Merah dan Bawang Merah Hingga Minggu II September 2010

Cabe Rawit (Kg) Cabe Merah (Kg)Bawang Merah (Kg)

Gambar 20. Harga cabe merah yang sempat meningkat menjelang lebaran di awal September 2010, mulai bergerak turun paska lebaran. Sedangkan harga cabe rawit dan bawang merah masih mengalami peningkatan. (Sumber: Kementerian Perdagangan)

Page 24: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 22

Perkembangan Ekspor Dan Impor Indonesia Januari-Juli 2010 (Juta US$)

11,575 11,20512,630 12,035

12,657 12,330 12,492

9,543 9,498

11,049 11,2369,980

11,76012,621

2,031 1,707 1,581 799

2,677

570-129

-2,000

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

2010

Ekspor Impor Neraca Perdagangan

Gambar 21. Pada Juli 2010, ekspor naik 1,32% dan impor naik 7% dibandingkan dengan Juni 2010. Neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$129 juta. (Sumber: BPS)

Sedangkan secara kumulatif, hingga Juli 2010 nilai impor mencapai US$75,56 miliar atau meningkat 50,93 % jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sama hal nya dengan ekspor, peningkatan impor pada bulan Juli 2010 didorong oleh peningkatan impor nonmigas sebesar 12,20 % dibandingkan dengan Juni 2010 atau 47,81 % dibandingkan Juli 2009. Nilai impor nonmigas terbesar adalah pada golongan barang mesin/peralatan mekanik yang mencapai US$1,94 miliar atau meningkat 14,48 % dibanding bulan sebelumnya. Namun, peningkatan impor nonmigas terbesar terjadi pada golongan pesawat udara dan bagiannya sebesar US$423 juta atau meningkat 193,4 % dari Juni 2010. Sama halnya dengan ekspor, peningkatan impor sedikit mengalami tekanan dari turunnya impor migas sebesar minus 11,79 %. Baik impor minyak mentah dan hasil minyak mengalami penurunan masing-masing sebesar 14,24 % dan 11,83 %. Sedangkan impor gas meningkat sebesar 13,29 % dibandingkan Juni 2010. Nilai impor menurut golongan penggunaan barang selama Januari-Juli 2010 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya mengalami peningkatan untuk semua golongan, yaitu impor barang konsumsi sebesar 54,28 %, bahan baku/penolong sebesar 53,87 %, dan barang modal sebesar 39,92 %.

Defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Singapura, Cina dan Jepang masih terus berlanjut dan semakin besar hingga Juli 2010, masing-masing mencapai US$194 juta, US$998 juta, US$349 juta. Sedangkan neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat masih berada pada posisi surplus. Defisitnya neraca perdagangan dengan Singapura, Cina dan Jepang disebabkan oleh pertumbuhan impor yang jauh lebih besar daripada ekspor. Bahkan ekspor Indonesia ke Cina dan Singapura pada Juni 2010 menurun sebesar 9,24 persen dan 12,99 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan ekspor ke Amerika salah satunya didorong oleh peningkatan ekspor CPO yang cukup besar. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat peningkatan ekspor CPO ke Amerika pada Juli 2010 mencapai 17.750 ribu ton, sedangkan pada Juni 2010 hanya 2000 ton. Peningkatan ekspor CPO juga terjadi dengan tujuan ekspor ke Bangladesh dan Eropa

12,330.1 12,492.4

1,901.5 1,880.7

10,428.6 10,611.7

0.0

2,000.0

4,000.0

6,000.0

8,000.0

10,000.0

12,000.0

14,000.0

Juni 2010 Juli 2010

(Juta US$)Ringkasan Perkembangan Ekspor

Total Ekspor Migas Nonmigas

1.32%

-1.09%

1.76%

11,760

12,621

2,390 2,108

9,37110,513

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

Juni 2010 Juli 2010

(Juta US$) Ringkasan Perkembangan Impor

Total Impor Migas Nonmigas

7.32%

-11.8%

12.2%

Gambar 22. Ringkasan perkembangan ekspor dan impor. (Sumber: BPS)

Page 25: TEK 0810  final

4.70-9.24

12.52-12.99

12.340.56

86.50

7.08

-20.00

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

Jepang Cina Amerika Singapura

(%)Perubahan Ekspor dan Impor Negara Mitra Dagang

Utama Juni-Juli 2010

% ∆ Ekspor % ∆ Impor

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 23

715 9241366 1280

909

1922 1715

1177

-194

-998

-349 102

-1500-1000-500

0500

1000150020002500

Singapura Cina Jepang Amerika Serikat

Juta US$

Posisi Ekspor-Impor Negara Mitra Dagang Utama Juli 2010

Ekspor Impor Neraca Perdagangan

Gambar 23. Neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit dengan beberapa negara mitra dagang utama, kecuali Amerika Serikat. Sumber: BPS

Gambar 24. Terjadi peningkatan impor yang cukup besar dengan Amerika pada Juli 2010 yaitu sebesar 86,5% (Sumber: BPS)

Pada Agustus 2010, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara rata-rata menguat sebesar 0.78% ke level Rp. 8972 per dolar AS dari Rp. 9049 pada bulan Juli 2010.

Selama Agustus 2010, mayoritas nilai tukar kawasan Asia menguat terhadap US$. Pada akhir bulan Agustus 2010, Rupiah ditutup ke level Rp 9.035/US$ atau melemah 0.95% dibandingkan penutupan bulan Juli 2010. Apresiasi rupiah selama Agustus 2010 disertai dengan volatilitas yang meningkat menjadi sebesar 0.28% (volatilitas Juni 2010 sebesar 0.19%). Meningkatnya volatilitas pergerakan rupiah antara lain dipengaruhi oleh kembali masuknya dana asing dalam jumlah yang cukup besar.

8800

8900

9000

9100

9200

9300

9400

9500 Rp/USD

Sumber : BI

Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Kurs Tengah Harian

Rata-Rata Bulanan

Gambar 25. Secara rata-rata, nilai tukar rupiah pada Agustus 2010 terapresiasi dan ditutup ke level Rp. 9.035/US$

ANALISA PERKEMBANGAN UTANG, SBN DAN SBI

Rasio utang luar negeri terhadap PDB akan diupayakan menurun menjadi 26% dari 28% pada APBN 2009. Oleh karena itu, sejak tahun 2005, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan defisit APBN, artinya porsi pinjaman luar negeri berkurang.

Dalam APBN-P 2010 telah ditetapkan defisit anggaran terhadap PDB sebesar 2.1% (meningkat dari tahun 2009 sebesar 1.6%).

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH

Kinerja perekonomian domestik yang positif dan imbal hasil yang masih tinggi menjadi daya tarik berinvestasi di instrumen domestik serta resiko perlambatan proses pemulihan ekonomi global menjadi faktor pendorong mengalirnya arus masuk investasi di Indonesia yang mampu mendorong kinerja nilai tukar rupiah selama Agustus 2010. Melemahnya perekonomian AS dan meningkatnya kekhawatiran di Eropa pasca penurunan credit rating Irlandia mendorong daya tarik berinvestasi di negara-negara Asia.

Page 26: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 24

41.8

42.24

55.01

0102030405060708090

050

100150200250300350400

Dec 2009

Jan 2010

Feb 2010

Mar 2010

Apr 2010

May 2010

Jun 2010

Jul 2010

Aug 2010

(Trillion IDR)Kepemilikan SBI

Bank Non-BankTOTAL Resident (RHS)Non Resident (RHS)

Indonesia masih menjadi negara tujuan investasi yang diminati oleh investor domestik maupun asing. Pada bulan Agustus 2010, total kepemilikan asing untuk SBI dan SBN masing-masing meningkat sebesar 15,14 persen dan 2,51 persen dibandingkan dengan Juli 2010. Peningkatan kepemilikan asing pada SBI (30,23%) lebih kecil daripada peningkatan kepemilikan domestik (41,79%) pada bulan Agustus 2010. Namun peningkatan kepemilikan asing pada SBN (3,35%) lebih besar daripada kepemilikan domestik (2,94%) jika dibandingkan dengan Juli 2010. Laju peningkatan kepemilikan pada SBN lebih besar daripada laju peningkatan kepemilikan pada SBI di bulan Agustus 2010 jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan terjadinya peralihan sebagian dana ke SBN dikarenakan dikuranginya kegiatan lelang SBI yang awalnya diadakan setiap minggu menjadi satu bulan sehingga terjadi pengalihan instrumen investasi. Berdasarkan informasi dari Kementerian Keuangan, sebagian besar kepemilikan asing merupakan investor jangka panjang (long term investor) yang memiliki SUN bertenor panjang – lebih dari 5 tahun. Walaupun hal tersebut menggambarkan tingkat kepercayaan kepada perekonomian domestik semakin meningkat, tetapi perlu dikendalikan secara baik dan tepat.

77%67%

61%57%

47%

39%35% 33% 28% 26%

2.5%

1.3%

1.7%

1.1%

0.5%

0.9%1.3%

0.1%

1.6%

0.0%

0.5%

1.0%

1.5%

2.0%

2.5%

3.0%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Aug'10 Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang, Kemenkeu

Pinjaman LN (LHS) SBN (LHS)Rasio Utang/PDB (LHS) Rasio Defisit/PDB (RHS)

Gambar 26. Rasio Utang dan Rasio Defisit Terhadap PDB, Porsi Pinjaman Luar Negeri dan SBN, rasio utang terhadap PDB semakin berkurang dan SBN menjadi intrumen utama pembiayaan

162.05 172.22 177.99

0

50

100

150

200

250

0100200300400500600700

Dec 2009

Jan 2010

Feb 2010

Mar 2010

Apr 2010

May 2010

Jun 2010

Jul 2010

Aug 2010

(Trillion IDR)Kepemilikan SBN

Bank Non-BankTOTAL Resident (RHS)Non Resident (RHS) Bank Indonesia*)

Gambar 27. Pada Agustus 2010, total SBI dan SBN naik, masing-masing sebesar 15,14% dan 2,51% dibandingkan Juli 2010. Kepemilikan asing pada SBI dan SBN terus meningkat hingga bulan Agustus 2010.

Dalam perkembangannya, porsi kepemilikan asing pada SBN meningkat dari sekitar Rp 100 triliun pada awal tahun 2009 menjadi sekitar Rp 177.99 triliun pada Agustus 2010. Faktor yang menarik investor adalah SBN relatif bebas resiko (risk free). Namun, besarnya pemilikan asing ini diyakini dapat mengganggu stabilitas ekonomi apabila sebagian besar dana tersebut ditarik tiba-tiba.

Investor SBN dari non bank dan asing terlihat semakin meningkat sedangkan kepemilikan bank berkurang. Nampak pula bahwa meskipun pinjaman luar negeri berkurang, kepemilikan SBN oleh asing memiliki tren yang meningkat. Selain dalam SBN, porsi kepemilikan asing dalam SBI juga meningkat. Utang luar negeri swasta juga tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan utang domestik swasta. Positifnya, peningkatan tren kepemilikan asing pada kedua instrumen berarti peningkatan kepercayaan terhadap kondisi ekonomi dan pasar uang Indonesia.

Page 27: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 25

INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR Indeks harga perdagangan besar (IHPB) pada bulan Agustus 2010 naik sebesar 0.57% (mtm) Kenaikan IHPB ini terbesar masih terjadi di sektor pertanian sebesar 1,38%. IHPB Bahan Baku, Barang Konsumsi, dan Barang Modal naik masing-masing 0,53%, 1,10%, dan 0,36%. Kelompok IHPB Bahan Bangunan atau Konstruksi pada Agustus 2010 naik sebesar 0,04% (mtm), antara lain disebabkan oleh penurunan harga batu split, aspal, semen, dan barang galian segala jenis. Sedangkan yang mengalami penurunan harga antara lain barang-barang dari logam dasar bukan besi, bahan bangunan dari logam dan kaca lembaran. (BPS)

INDEKS KEYAKINAN KONSUMEN

Indeks keyakinan konsumen (IKK) pada bulan Agustus 2010 menurun 1.7 poin menjadi 104.0 Survei BI menunjukkan tingkat keyakinan konsumen meskipun menurun dari bulan sebelumnya namun masih optimis. Penurunan tersebut disebabkan oleh persepsi konsumen semakin pesimis terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi ekonomi pada 6 bulan mendatang terkait dengan adanya kenaikan tariff dasar listrik dan meningkatnya harga beberapa komoditi bahan pokok yang dikhawatirkan dapat meningkatkan biaya hidup sehingga meningkatkan beban pengeluaran responden dan menyebabkan berkurangnya daya beli konsumen. Tingkat ekspektasi konsumen menurun namun masih berada di level optimis. Seiring dengan melemahnya kemampuan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya selama bulan Juli-Agustus 2010 akan semakin menambah tekanan terhadap perekonomian kedepan yang diindikasikan dengan menurunnya ekspektasi ekonomi 6 bulan mendatang.

Persepsi responden terhadap kondisi ekonomi saat ini mengalami penurunan menjadi semakin pesmis dibandingkan kondisi ekonomi bulan sebelumnya. Berkurangnya daya beli konsumen akibat meningkatnya pengeluaran konsumen untuk memenuhi kebutuhan komoditi bahan pokok selama bulan puasa dan menjelang lebaran mendorong konsumen untuk mengurangi atau menahan diri mengkonsumsi barang-barang tahan lama.

70

80

90

100

110

120

130

140

Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt

2009 2010

Optimis

Sumber : Survei Konsumen, BI

lndeks Keyakinan Konsumen(IKK)Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)Ekspektasi Konsumen (lEK)Pesimis

Gambar 29. Pada Agustus 2010, indeks keyakinan konsumen, tingkat ekspektasi konsumen dan persepsi akan kondisi ekonomi saat ini menurun berdasarkan survei konsumen Bank Indonesia

Ada beberapa kelemahan dari meningkatnya utang eksternal. Utang eksternal yang berlebihan akan berdampak pada kinerja transaksi berjalan (current account) khususnya akan meningkatkan defisit neraca pendapatan (income balance). Selain itu, pemilikan surat utang oleh investor asing dapat menghilangkan kesempatan pembayaran bunga kepada penduduk domestik dan pemungutan pajak atas pembayaran bunga. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan fiskal sustainability yang menekankan pada peningkatan besaran keseimbangan primer yang proporsional serta konsisten dengan orientasi jangka panjang. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pengendalian pemanfaatan pinjaman luar negeri untuk sektor dan investasi yang produktif. Kebijakan fiskal dapat mengakomodasi shocks dan menyesuaikan target utang sebagai pembiayaan defisit pada tingkat yang optimal.

81,317

010,00020,00030,00040,00050,00060,00070,00080,00090,000

Jan-

07

Apr-0

7

Jul-0

7

Oct-0

7

Jan-

08

Apr-0

8

Jul-0

8

Oct-0

8

Jan-

09

Apr-0

9

Jul-0

9

Oct-0

9

Jan-

10

Apr-1

0

Jul-1

0

Sumber: BI

Cadangan devisa (Juta USD)

Gambar 28. Cadangan devisa terus meningkat pada Agustus 2010

Page 28: TEK 0810  final

Kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan NTP sub sektor tanaman pangan yang naik sebesar 0.45% terutama pada kelompok palawija.

Nilai Tukar Petani Per Sub Sektor (2007=100)

Jul'10 Agust’10 % Perubahan

Tanaman Pangan 97.23 97.66 0.45 Hortikultura 110.97 109.61 -1.23 Tanaman Perkebunan Rakyat

103.03 102.90 -0.13

Peternakan 103.45 103.78 0.32 Perikanan 105.03 105.43 0.39 NTP Nasional 101.77 101.82 0.05

Sumber: BPS Tabel 4. Nilai tukar petani meningkat pada Juli 2010 yang didorong oleh sektor hortikultura

Nilai Tukar Petani (NTP) Agustus 2010 sebesar 101,82 atau naik 0,05% dibanding bulan sebelumnya.

Berdasarkan provinsi, kenaikan NTP tertinggi terjadi di provinsi DI Yogyakarta menjadi 114.55 atau mengalami kenaikan sebesar 1,23% yang disebabkan oleh kenaikan pada subsektor tanaman pangan khususnya komoditi kacang tanah yang naik 4.78%. Sedangkan provinsi yang mengalami penurunan NTP terbesar terjadi di NTP provinsi Kalimantan Tengah karena penurunan yang cukup signifikan pada subsektor Hortikultura khususnya komoditi Jeruk yang turun sebesar 33.33%

1.23%

1.04%

1.03%

0.87%

0.82%

0.05%

0.0% 0.5% 1.0% 1.5%

Yogyakarta

Kalimantan …

Maluku

Sumatera …

NTB

Nasional

Sumber: BPS

5 Provinsi % Perubahan NTP TertinggiAgustus 2010

Gambar 30. Pada Agustus 2010, kenaikan NTP tertinggi terjadi di provinsi DI Yogyakarta karena kenaikan harga kacang tanah sebesar 4.78%

Sejak awal tahun 2009, nilai tukar petani mengalami peningkatan dan relatif stabil sejak awal tahun 2010. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian dan di lain pihak indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian mengalami penurunan. Kenaikan nilai tukar petani dapat mencerminkan perbaikan kesejahteraan petani.

96.00

97.00

98.00

99.00

100.00

101.00

102.00

103.00

110.00

115.00

120.00

125.00

130.00

135.00

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun Jul

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun Jul

Aug

2009 2010

Sumber : BPS

Indeks harga yang diterima petani (LHS)Indeks harga yang dibayar petani (LHSNilai tukar petani (RHS)

Gambar 31. Nilai tukar petani meningkat sejak awal tahun 2009 yang mencerminkan terdapat perbaikan pada kesejahteraan petani. Kenaikan tersebut disebabkan adanya peningkatan pada indeks harga hasil produksi pertanian atau perbaikan penerimaan petani.

ANALISA NILAI TUKAR PETANI

NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani dipedesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani. NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga produsen dari hasil produksi petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik itu kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan menghasilkan produksi pertanian.

Untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan kinerja sektor pertanian, pemerintah telah melaksanakan program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang membantu petani dalam pembiayaan. Pemerintah juga telah menyiapkan institusi/kelembagaan untuk memudahkan dan memfasilitasi akses pembiayaan seperti KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), BDS (Business Development Service) dan Resi Gudang.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 26

Page 29: TEK 0810  final

TINJAUAN KEUANGAN

PERKEMBANGAN PASAR MODAL Kapitalisasi pasar saham mengalami peningkatan sebesar 1,24 % pada Agustus 2010 jika dibandingkan dengan bulan Juli 2010. Jumlah saham yang diperdagangkan mengalami peningkatan pada Agustus 2010 sebesar 4,42 %. Penerbitan obligasi pemerintah meningkat 2,93 % sedangkan korporasi turun 0,27 % pada bulan Agustus 2010 dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Volume transaksi perdagangan obligasi korporasi juga mengalami penurunan yang signifikan sebesar 48,77 % dibandingkan Juli 2010. Peningkatan perdagangan obligasi pemerintah menunjukkan meningkatnya kepercayaan pasar pada pengelolaan fiskal yang ditunjukkan oleh turunnya cost of fund bagi pemerintah.

Kurva Imbal Hasil (Yield Curve) SBN Rupiah

Gambar 32. Cost of fund pemerintah semakin rendah.(sumber: DJPU) Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, nilai penerbitan dan volume perdagangan obligasi korporasi tumbuh lebih besar dibandingkan obligasi pemerintah. Nilai penerbitan obligasi korporasi meningkat 29,95%, sedangkan obligasi pemerintah meningkat 14,27% dibandingkan Agustus 2009. Dan volume perdagangan obligasi korporasi meningkat 223,19%, sedangkan obligasi pemerintah hanya meningkat 103,04 % dibandingkan dengan Agustus 2009. Bahkan untuk perdagangan saham, terjadi penurunan nilai perdagangan sebesar 26,44%. Namun, besaran volume perdagangan investasi pada obligasi pemerintah masih lebih besar dibandingkan obligasi korporasi. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 27

PERKEMBANGAN PASAR MODAL PER 31 AGUSTUS 2010

Aug 2010

Jul 2010 %∆

Aug 2009 %∆

Saham 1 1 (1)/(2) 3 (1)/(3) Kapitalisasi Pasar (Rp triliun) 2571.47 2539.85 1.24 1847.63 39.18 Saham diperdagangkan (triliun unit) 1.75 1.68 4.42 1.42 23.24 Jumlah Emiten (korporasi) 409 408 0.25 401 2.00

Obligasi

Pemerintah (Rp triliun) 645.36 626.98 2.93 564.78 14.27 Korporasi (Rp triliun) 103.43 103.71 -0.27 79.59 29.95

Perdagangan

Saham (Rp triliun) 89.64 76.94 16.51 121.86 -26.44 Volume Obligasi Pemerintah (Rp triliun) 130.86 109.79 19.19 64.45 103.04 Volume Obligasi Korporasi (Rp triliun) 6.69 13.06 -48.77 2.07 223.19

Transaksi Asing

Beli (Rp triliun) 31.01 26.80 15.73 26.77 15.84

Jual (Rp triliun) 28.98 21.99 31.82 25.42 14.00

Net Pembelian (Rp triliun) 2.03 4.81 -57.81 1.35 50.37 Sumber: BEI

Tabel 5. Pada Agustus 2010, kapitalisasi pasar saham mengalami peningkatan sebesar 1.24% (mtm)

Bursa saham Indonesia terus meningkat dan menjadi salah satu bursa di Asia yang paling diminati oleh investor di Asia

Page 30: TEK 0810  final

Transaksi beli maupun jual oleh asing pada Agustus 2010 masing-masing mengalami peningkatan. Namun, net pembelian transaksi asing turun sebesar 57.81% dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan mencapai Rp 2.03 triliun. Turunnya net pembelian disebabkan oleh peningkatan transaksi jual oleh asing yang lebih besar daripada transaksi beli, masing-masing 31,82% dan 15,73% pada Agustus 2010. Peningkatan kapitalisasi pasar memberikan pengaruh pada meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Agustus 2010 sebesar 0,41% dibandingkan dengan Juli 2010 dengan level penutupan 3,081.884. Sektor pertanian menjadi pendorong terbesar naiknya IHSG dengan kenaikan indeks harga sektor pertanian sebesar 3,92% dibandingkan bulan sebelumnya, diikuti kenaikan indeks harga industri dasar sebesar 3,49%. Sedangkan indeks harga aneka industri dan perdagangan turun, masing-masing sebesar 2,94% dan 2,91%. Di antara bursa ASEAN, IHSG secara konsisten terus mengalami peningkatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa bursa Indonesia terus diminati oleh para investor dibandingkan bursa Singapura, Malaysia dan Thailand.

Perkembangan Indeks Harga Saham Bursa ASEAN

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 28

Gambar 33. IHSG terus meningkat diantara indeks harga bursa regional ASEAN melebihi STI (Singapura), KLSE (Malaysia) dan SETI (Thailand). (Sumber: Statistik Pasar Modal, Bapepam-LKB, Bloomberg)

Perbandingan Suku Bunga KUR, Bank Umum dan BPR Untuk mendorong UMKM, sejak tahun 2007 pemerintah bekerja sama dengan perbankan melaksanakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program KUR ini merupakan program penjaminan kredit kepada UMKM yang penjaminannya dijamin oleh pemerintah sebesar 70%. Berdasarkan kesepakatan bersama antara perbankan dan pemerintah, untuk mendorong perbankan menyalurkan KUR kepada UMKM bunga KUR ditetapkan berada diatas bunga kredit modal kerja dan kredit investasi Bank Umum namun dibawah kredit modal kerja dan kredit investasi BPR yakni sekitar 16%-24% yang kemudian menurun menjadi 14%-22%. Tingkat bunga KUR tersebut diperkirakan masih relatif terjangkau oleh UMKM. Dengan penjaminan kredit oleh pemerintah dan suku bunga yang relatif cukup tinggi diharapkan Perbankan meningkatkan penyaluran kreditnya kepada UMKM.

5

10

15

20

25

30

35

40

Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul

2008 2009 2010

*Data suku bunga KMK dan KI BPR hanya tersedia mulai Des 2008

KMK_BU KI_BU KUR_RitelKUR_Mikro KMK_BPR KI_BPRSUN_10Y

Gambar 34. Suku bunga KUR ritell semakin mendekati suku bunga kredit modal kerja bank umum dan suku bunga KUR mikro mendekati suku bunga kredit modal kerja BPR. Sumber : BI dan Menko Perekonomian

Seiring dengan penyesuaian kondisi ekonomi dan perkembangan KUR, suku bunga KUR diturunkan dari 16% menjadi 14% untuk KUR ritel dan 24% menjadi 22% untuk KUR mikro. Selisih suku bunga KUR Ritel dan kredit modal kerja Bank Umum menurun sedangkan selisih suku bunga KUR Mikro dan kredit modal kerja perbankan meningkat yang dapat mengurangi insentif perbankan untuk menyalurkan KUR sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Page 31: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 29

0.002.004.006.008.00

10.0012.0014.00

Jan

Mar

May Jul

Sep

Nov

Jan

Mar

May Jul

Sep

Nov

Jan

Mar

May Jul

2008 2009 2010

*data suku bunga KMK BPR hanya tersedia mulai Dec 2008

Selisih Suku Bunga KMK_BU & KUR RitelSelisih Suku Bunga KMK_BPR & KUR Mikro

Gambar 35. Selisih suku bunga KUR Ritel dan kredit modal kerja Bank Umum menurun sedangkan selisih suku bunga KUR Mikro dan kredit modal kerja perbankan meningkat. Sumber : BI dan Menko Perekonomian

PERKEMBANGAN PENYALURAN KREDIT USAHA RAKYAT

Dalam rangka mewujudkan program revitalisasi KUR, beberapa kementerian telah melakukan sosialisasi dan koordinasi program KUR tahun 2010 secara bertahap ke berbagai propinsi. Setelah sosialisasi ke Kalimantan Barat dan Bengkulu pada bulan Mei 2010, sosialisasi dilanjutkan ke Provinsi Bali pada awal Juni 2010. Konsep acara sosialisasi tersebut dibagi dalam 2 sesi, yakni koordinasi dan sosialisasi tim pelaksana dengan pemda atau instansi terkait dan sosialisasi Bank Pelaksana dengan calon debitur KUR.

Selain sosialisasi, Kementerian Koordinator Perekonomian juga telah melakukan Lokakarya KUR untuk membangun kerjasama antara kementerian teknis, pemerintah daerah, dan Perbankan dalam perluasan penyaluran KUR dan mewujudkan penyusunan dokumen Rencana Tindak Pendukung Penyaluran KUR. Lokakarya KUR dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2010 yang dihadiri oleh berbagai kementerian teknis, pemerintah daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah serta Perbankan. Dalam lokakarya KUR membahas pengembangan basis data calon debitur KUR, pengembangan kegiatan pendampingan calon debitur KUR, penguatan lembaga linkage dan fasilitas pengadaan calon debitur KUR. Mulai bulan ini bank pelaksana menerapkan penyaluran sesuai ketentuan baru dalam Amandemen III atas Nota Kesepahaman Bersama (MoU) tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada Usaha, Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi.

Pada bulan Agustus 2010, BPD yang telah menyalurkan KUR bertambah menjadi 13 bank seperti BPD Jatim, BPD Jabar-Banten, BPD Jateng, BPD Nagari, BPD DKI, BPD DIY, BPD NTB, BPD Kalbar, BPD Kalteng, BPD Kalsel, BPD Maluku, BPD Papua serta BPD Sulut. KUR yang telah disalurkan oleh 6 bank pelaksana yaitu BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin dan 12 BPD pada bulan Agustus 2010 mencapai Rp 24.8 triliun kepada 3,185,415debitur yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan rata-rata kredit sebesar Rp 7.80 juta per debitur dengan Non Performing Loan (NPL) untuk 6 bank pelaksana rata-rata 4,66%.

BANK

REALISASI PENYALURAN KUR

NPL (%) Plafon

(Rp Juta) Outstanding

(Rp Juta) Debitur Rata-rata

kredit (Rp Juta)

BNI 1,840,329

860,676

9,677

190.18

4.48

BRI (KUR Ritel) 5,443,695

2,869,268

42,500

128.09

5.77

BRI (KUR Mikro) 12,773,625

3,618,479

3,070,982

4.16

3.19

BANK MANDIRI 1,906,471

960,301

38,604

49.39

1.72

BTN 777,077

342,122

3,937

197.38

13.12

BUKOPIN 756,239

367,142

3,908

193.51

10.46

BANK SYARIAH MANDIRI

608,762

427,264

5,403

112.67

4.95

BANK NAGARI 25,589

24,737

659

38.83 -

BANK DKI 10,425

9,020

136

76.65 -

BANK JABAR BANTEN 316,182

298,843

3,164

99.93 -

BANK JATENG 177,318

168,577

3,007

58.97 -

BPD DIY 3,824

-

26

147.08 -

BANK JATIM 92,147

90,475

1,254

73.48 -

BANK NTB 21,599

18,836

275

78.54 -

BANK KALBAR 26,837

22,779

304

88.28 -

BANK KALTENG 10,944

10,500

242

45.22 -

BANK KALSEL 10,298

9,901

247

41.69 -

BANK SULUT 13,139

13,139

609

- -

BANK MALUKU 6,769

5,902

247

27.40 -

BANK PAPUA 14,787

14,190

234

63.19 -

TOTAL 24,836,054

10,132,153

3,185,415

7.80

4.66

TOTAL 6 BANK PELAKSANA

24,106,197

9,445,253

3,175,011

7.59

4.66

Total BPD 729,857

686,900

10,404

70.15 -

Sumber: Kedeputian I, Menko Perekonomian

*) NPL Bukopin masih menggunakan data Juli 2010

Tabel 6. REALISASI PENYALURAN KUR PER 31 AGUSTUS 2010

Page 32: TEK 0810  final

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 30

Provinsi yang paling banyak menyalurkan KUR banyak terdapat di pulau Jawa antara lain provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 3.84 triliun (15.5%) kepada 727,600 debitur. Kemudian diikuti oleh Jawa Timur sebesar Rp. 3.32 triliun (13.37%) kepada 562,006 debitur, Jawa Barat sebesar Rp. 3.15 triliun (12.67%) kepada 472,392 debitur. Ketiga provinsi tersebut merupakan provinsi penyalur KUR tertinggi. Untuk provinsi di Luar Pulau Jawa hanya provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan yang menyalurkan KUR lebih dari Rp. 1 triliun yakni masing-masing sebesar Rp 1.35 triliun kepada 134,543 debitur dan Rp. 1.29 triliun kepada 157,605 debitur.

Realisasi penyaluran KUR Januari-Agustus 2010 mencapai Rp. 7.65 triliun kepada 810,507 debitur. Rata-rata kredit Januari-Agustus sebesar Rp. 9.43 juta per debitur dengan NPL mencapai 4.92%.

Sektor ekonomi yang paling banyak dibiayai dengan penyaluran KUR, yaitu sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar Rp 17.03 trilliun (69%) dengan 2,573,243 debitur. Kemudian diikuti oleh sektor pertanian sebesar Rp. 3,71 triliun (15%) dengan 343.597 debitur. Perkembangan penyaluran KUR kepada sektor-sektor lain dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. REALISASI PENYALURAN KUR Menurut Sektor Ekonomi Per 31 AGUSTUS 2010

Sektor Ekonomi

Total Debitur

Plafon

(Rp Juta)

Outstanding

(Rp Juta) Pertanian 3,708,432 1,952,401 343,597 Pertambangan 12,873 7,791 276 Industri Pengolahan 575,614 268,940 45,609 Listrik, Gas & Air 6,062 5,095 83 Konstruksi 568,116 233,904 3,339 Perdagangan, restoran & Hotel 17,033,825 6,330,913 2,573,243

Pengangkutan, pergudangan & komunikasi

137,739 64,357 4,608

Jasa-jasa dunia usaha 792,704 375,392 50,651

Jasa-jasa sosial / masyarakat 377,591 151,488 51,867

Lain-lain 1,567,690 741,871 112,142 Jumlah 24,780,646 10,132,153 3,185,415

Sumber: Kedeputian 1, Menko Perekonomian *) data total plafon penyaluran KUR menurut bank pelaksana dan sektor berbeda dikarenakan data per sektor BNI belum lengkap

BANK

REALISASI PENYALURAN KUR

NPL (%) Plafon Outstanding

Debitur

Rata-rata Kredit

(Rp juta) (Rp juta) (Rp juta/debitur)

BNI 312,467

(11,011)

(1,890)

(165.33)

3.68

BRI KUR Ritel

2,018,191

399,542

13,509

149.40

5.11

BRI KUR Mikro

3,358,021

767,016

783,365

4.29

5.95

Mandiri 400,793

(76,912)

1,806

221.92

1.71

BTN 513,736

120,812

1,480

347.12

2.80

Bukopin 86,891

(37,599)

768

113.14

8.70

BSM 226,783

129,060

1,065

212.94

4.69

BPD 729,857

686,900

10,404

70.15

4.69

TOTAL 7,646,740

1,977,808

810,507

9.43

4.92

Sumber: Kedeputian 1, Menko Perekonomian

Tabel 8. REALISASI DAN NPL PENYALURAN KUR JANUARI-AGUSTUS 2010

Page 33: TEK 0810  final

Sekilas Berita Internasional & Domestik

TINJAUAN BERITA EKONOMI & KEUANGAN INTERNASIONAL Laporan World Economic Forum: Peringkat Daya Saing Indonesia Naik Berdasarkan Global Competitiveness Report periode 2010-2011, peringkat Indonesia sekarang berada di peringkat 44 dunia, dan peringkat 5 ASEAN. Peringkat daya saing Indonesia dalam laporan Global Competitiveness Report (GCR) periode 2010-2011 naik dari peringkat 55 menjadi 44. Laporan ini disampaikan dalam World Economic Forum di Tiongkok. Laporan GCR ini dilakukan setiap tahun dan melibatkan 144 negara maju dan berkembang. Untuk kawasan ASEAN, Indonesia menempati urutan kelima setelah Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand. GCR juga menilai ditengah banyak negara mengalami defisit anggaran yang cukup besar, Indonesia berhasil mengatasi masalah defisit dengan baik. Laporan ini bahkan mencatat perbaikan di hampir seluruh sektor yang terkait dengan ekonomi. Namun menurut Silmy Karim, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sebenarnya Indonesia mampu berada di peringkat yang lebih baik lagi jika pemerintah melakukan beberapa perbaikan terutama masalah infrastruktur karena penduduk Indonesia itu ada 250 juta. Dalam kesempatan berbeda, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui persoalan infrastruktur masih banyak yang harus diperbaiki. Saat ini menurut Menko, pemerintah dan DPR RI sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai pengadaan lahan untuk kepentingan umum. Menko berharap RUU tersebut dapat segera disahkan menjadi undang-undang. “Saya kira kalau kita sudah memiliki undang-undang itu, maka akan menambah kepercayaan investor dan menambah percepatan dalam pembangunan infrastruktur kita. Dua puluh delapan ruas jalan tol kita terhambat, salah satu faktor utamanya karena soal itu. Regulasi lain, saudara bisa lihat begitu banyak di bottle-necking process yang kita lakukan, tinggal konsistensi menjalankannya,” ungkap Menko Hatta. Tahun depan pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,5%. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, pemerintah mengaku butuh peningkatan investasi untuk menciptakan lapangan kerja sehingga kondisi infrastruktur menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Sumber: VOAnews.com

TINJAUAN BERITA EKONOMI & KEUANGAN DOMESTIK Cegah Lintah Darat, TKI Kini Bisa Ikut Ambil KUR Pemerintah beserta 6 bank peserta Kredit Usaha Rakyat (KUR) sepakat untuk ikut menyertakan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dalam program KUR. Ini bertujuan agar TKI tak terjebak oleh lintah darat. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir mengatakan, selama ini TKI seringkali terjebak dalam utang oleh lintah darat untuk membiayai perjalanan mereka ke luar negeri. "Untuk TKI selama ini di-cover lintah darat, jadi untuk meminimalisasi risiko, pemerintah mengambil alih. Kan untuk awalnya mereka ke luar negeri berat, untuk paspor dan visa, mereka bisa mengambil dari lintah darat," tuturnya di kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Kamis (16/9/2010). Skema KUR untuk TKI dijelaskan Sofyan adalah, plafon maksimal Rp 50 juta untuk TKI yang masih unskill. Lalu plafon maksimal Rp 60 juta untuk TKI yang berprofesi sebagai perawat dan pekerja teknis. "Ini tergantung lama pendidikan dan besaran gaji yang diterima. Jangka waktu pinjaman 12-36 bulan dan langsung dibayarkan melalui pemotongan gaji oleh perusahaan di sana lewat PJTKI yang langsung membayarkan ke bank," jelas Sofyan. Di tempat yang sama, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, KUR untuk TKI ini diberikan pemerintah untuk mempermudah pekerjaan TKI di luar negeri. Dalam skema KUR untuk TKI, pemerintah memberikan penjaminan 80% dari dana KUR ke bank-bank peserta KUR."Penjaminan untuk TKI ini penting karena tidak hanya mempermudah dalam upayanya bekerja di luar negeri, tapi bisa kita monitoring dan lebih terukur sehingga mengurangi bebannya," ujar Hatta. Hari ini pemerintah bersama bank peserta KUR melakukan penandatanganan MoU KUR yang isinya meningkatkan plafon KUR tanpa jaminan dari semula maksimal Rp 5 juta menjadi Rp 20 juta. Selain itu pemerintah juga meningkatkan jaminan KUR dari 70% menjadi 80% untuk pengusaha di sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan. Penadatanganan ini dihadiri Menteri Keuangan, Menteri Koperasi dan UKM, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian , Menteri Kehutanan, Deputi Senior BI Budi Rochadi, Perum Jamkrindo, PT Askrindo, PT BRI, Bank Mandiri, BNI, BTN, Bank Bukopin, dan BSM. Sumber: detikfinance.com

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 31

Page 34: TEK 0810  final

LIPUTAN DIALOG EKONOMI INTERAKTIF

“ECONOMISTS TALK” Edisi Keempat | Agustus 2010

Menggiatkan Potensi Anggaran untuk Pertumbuhan Ekonomi

Bersama: Hendri Saparini, Ph.D Pengamat Ekonomi ECONIT

Saat ini salah satu hal yang menjadi perhatian pemerintah adalah bagaimana menyiapkan APBN dan APBD yang sehat, berkeadilan dan berkesinambungan. Keterkaitan dan efektivitas antara APBN dan APBD juga menjadi perhatian pemerintah karena program kebijakan yang ada di pusat memiliki tujuan dan implementasi di tingkat daerah. Terdapat tiga isu strategis yang menjadi perhatian terkait APBN. Pertama, saat ini komposisi belanja negara terdiri dari belanja yang sifatnya mengikat dan wajib. Sekitar 97% penerimaan dalam negeri digunakan untuk 35% transfer daerah, 27% belanja barang dan pegawai, 20% subsidi dan 11% bunga utang, Kedua, adanya mandatory spending, diantaranya pengeluaran untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN, tunjangan untuk guru dan dosen, kewajiban penyediaan dana perimbangan sebesar 27%-30% dari belanja negara, penyediaan dana otonomi khusus sebesar 2% dari DAU nasional, dan pengeluaran untuk kesehatan sebesar 5% dari APBN. Ketiga, bagaimana strategi untuk menyusun APBN yang lebih baik dengan kapasitas fiskal yang terbatas untuk meningkatkan pertumbuhan. Hendri mengharapkan agar APBN menjadi lebih transparan, sehingga dapat ditelusuri pemanfaatan dana APBN untuk setiap kebijakan. Namun, transparansi bukan berarti melaksanakan amanah konstitusi. Ada banyak anggaran yang disusun terperinci, namun peran negara pada sektor tersebut sangatlah kurang. Hendri mencontohkan program PNPM yang dibentuk untuk menggerakkan ekonomi daerah. Namun dengan alokasi anggaran yang sudah mencapai Rp 13,9 triliun di tahun 2010, banyak kewenangan atau peran pemerintah pusat yang diserahkan ke daerah. Dari hasil penelitian, anggaran program PNPM yang terus meningkat, tidak dibarengi dengan tanda-tanda adanya keberlanjutan akan program tersebut. Sehingga, muncul berbagai penilaian yang kurang baik dari masyarakat bahwa meskipun anggaran sudah naik cukup besar dari Rp 380T pada tahun 2005 menjadi hampir Rp 950T pada tahun 2010 namun tidak ada perubahan yang dirasakan masyarakat. Yang terjadi justru infrastruktur pertanian tidak berkembang dan daya saing industri UKM merosot.

Economists Talk merupakan forum diskusi internal bulanan yang diselenggarakan oleh Kedeputian Bidang Koordinasi Makro Ekonomi dan Keuangan. Forum ini mengundang para ekonom nasional untuk

mengulas berbagai isu ekonomi dan keuangan yang hangat dibicarakan di tengah masyarakat. Dialog dilakukan secara santai dan interaktif

untuk menambah wawasan ekonomi dan keuangan di lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Materi paparan pembicara dapat diperoleh pada

Kedeputian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro & Keuangan (Asdep Urusan Kebijakan Makro)

Tujuan dari APBN adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan dalam memperoleh pendidikan tinggi, terbebas dari kemiskinan dan pengangguran. Hingga saat ini, sebagian masyarakat belum bisa mengakses pendidikan tinggi. Masih banyak jumlah penduduk miskin yang sebagian besar (64%) berada di desa. Hendri menegaskan bahwa ketika berbicara tentang masyarakat miskin, seharusnya fokus perhatian tidak hanya pada masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan (2.100 kalori). Bila kriteria tersebut yang digunakan, maka mudah saja untuk mengatasi kemiskinan dengan memberikan sejumlah makanan yang mencapai 2.100 kalori. Data kemiskinan yang dikeluarkan BPS adalah bukan berdasarkan nilai nominal pengeluaran melainkan konversi (kepemilikan halaman yang ditanami sayuran dan pencapaian 2.100 kalori). Padahal, banyak masyarakat yang mencapai 2.100 kalori namun tidak dapat mendapat akses pendidikan dan melakukan mobilisasi. Jumlah penduduk miskin bila menggunakan pendekatan raskin mencapai 70 juta orang dan bila menggunakan pendekatan Jamkesmas mencapai 76,4 juta orang. Data Bank Dunia (pengeluaran kurang dari 2 dollar AS per hari) menunjukkan angka kemiskinan yang lebih besar lagi yaitu mendekati 100 juta orang. Dari sisi pangan, 100 juta penduduk miskin ini sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Oleh sebab itu, Hendri mengingatkan jangan sampai ada kebijakan di APBN yang justru destruktif dengan program-program pengentasan kemiskinan. Perlu diperhatikan pula masyarakat yang mendekati miskin agar tidak jatuh kedalam kelompok miskin. Terdapat dua program yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah pangan yaitu operasi pasar dan subsidi atau pajak ditanggung pemerintah. Namun, kedua program ini hanyalah strategi setelah terjadi kenaikan harga. Dan nilai subsidi yang semakin besar dari tahun ke tahun ternyata tidak dapat mendorong penurunan harga. Hal ini disebabkan oleh subsidi yang ternyata diberikan kepada importir. Diharapkan dengan pemberian subsidi pada importir dapat menurunkan harga di tingkat konsumen, kenyataannya hal tersebut diluar kontrol pemerintah.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Agustus 2010 32

Page 35: TEK 0810  final
Page 36: TEK 0810  final

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Kedeputian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Ged. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 www.ekon.go.id