teja astawa catalog

44

Upload: gamaliel-budiharga

Post on 15-Mar-2016

228 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Teja Astawa Catalog is designed by Kotasis Kamar Desain 3x3x3

TRANSCRIPT

Page 1: Teja Astawa Catalog
Page 2: Teja Astawa Catalog
Page 3: Teja Astawa Catalog
Page 4: Teja Astawa Catalog

2

Menapaki tahun baru 2011 Tonyraka Art Gallery mempersem-bahkan pameran tunggal Teja Astawa, seniman muda asal Sanur Bali yang karya-karyanya menampilkan keunikan-keunikan visual. Representasi karyanya merupakan pengembangan dari bahasa rupa wayang yang idenya digali dari memori bawah sadarnya, berasal dari pengalaman masa kecil saat bermain-main dengan daun kamboja yang dibentuknya menjadi wayang. Pengalaman itu mengendap dan kemudian muncul melalui mekanisme yang spontan kepermukaan dalam imaji karya-karya seni lukisnya ketika Teja dewasa. Berdasarkan pengalaman tersebut Teja kini hadir merepresentasikan karya-karyanya dalam pameran yang bertajuk “Fragments of Subconscious Memory”, yang di dalamnya Teja juga menyisipkan hal-hal yang

Peng

anta

r

ganjil, nyeleneh dan sekaligus juga unik, dan hal-hal unik tersebut mampu menjadi daya tarik bagi karyanya.

Sebagai sebuah ruang bagi kreativitas seni rupa, adalah sebuah kebanggaan bagi kami dapat menghantarkan potensi yang terpendam dalam sosok seniman muda dengan kreativitas tinggi sehingga melahirkan karya-karya yang memiliki karakter dan kualitas estetis. Sebagai akhir kata kami mengucapkan terimakasih atas kerjasama yang baik kepada Teja Astawa, dan kurator Wayan Seriyoga Parta yang telah menemani proses kerja kreatif sang seniman dari awal persiapan hingga terlaksananya pameran ini.

Semoga representasi karya-karya Teja dalam pameran ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan seni rupa kontemporer. ---

oleh Ir. AA. Tony hArTAwAn

Page 5: Teja Astawa Catalog

3

As we take a step into the new year 2011, Tonyraka Art Gallery presents Teja Astawa Solo Exhibition, a young artist from Sanur, Bali whose artwork expresses visual uniqueness. His artwork representation is a development of wayang art language, the ideas of which are dug out of his childhood subconscious memories when he played with kamboja leaves that were shaped into wayang figures. The experience, established in his memories, reappears through spontaneous mechanism and becomes visible in images of his art of painting as he grows up. Based on the experience Teja is presenting his artwork in an exhibition entitled “Fragments of Subconscious Memory”, where in he includes strange, peculiar but at the same time unique objects, and actually it is the uniqueness that makes his artwork fascinating.

As a provider of an art creativity space, we proudly introduce a hidden potential of a highly creative young artist who has created artworks of highly characterized and aesthetic qualities. Finally, we would like to express our gratitude to Teja Astawa for his exceptional co-operation, and Wayan Seriyoga Parta, the curator who has accompanied the artist’s creative artwork process since the very first day of its preparation up to the execution of this exhibition.

Hopefully, Teja’s artwork representation in this exhibition may perhaps offer contribution to contemporary art development. ---

Fore

wordby Ir. AA. Tony hArTAwAn

Page 6: Teja Astawa Catalog

4

Proses kreasi dalam menciptakan karya seni distimulasi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengalaman pribadi seniman yang begitu membekas hingga menjadikannya sebagai inspirasi dan motivasi dalam berkarya. Dalam konteks penciptaan karya seni pengalaman itu kemudian mengalami proses internalisasi dan interpretasi dalam diri seorang seniman, untuk selanjutnya direkontruksi kembali ke dalam medium karya seni. Rekonstruksi tersebut berkaitan dengan proses reimagining yang pada tataran implementasinya dapat berbeda-

beda pada masing-masing seniman. Sama halnya dengan proses berkarya Teja Astawa seniman muda yang tumbuh di lingkungan pesisir Sanur Bali. Karya-karya Teja mengangkat pengalaman masa kecilnya ketika bermain dengan daun kamboja dan daun nangka yang kemudian dibuat berbagai bentuk-bentuk wayang. Bersama teman-temannya Teja kerap memainkan daun-daun tersebut dengan bebas sesuai interpretasinya dalam keriangan masa anak-anak.

Pengalaman tersebut begitu membekas dan mendapat ruang dalam kehidupan berkesenian Teja setelah dewasa, khususnya dalam media seni lukis. Teja

KurATor I wAyAn SerIyogA PArTA* Fr

agme

nts o

f Sub

cons

cious

Mem

ory

Page 7: Teja Astawa Catalog

5

pun merajut kembali rangkaian-rangkaian pengalamannya itu dengan menghadirkan kembali figur-figur wayang dalam karyanya. Untuk memulai proses rekonstruksi tersebut Teja melakukan penelitian lapangan dengan mengamati berbagai bentuk wayang dengan karakter simboliknya masing-masing.

Dalam menuangkan fragmen-fragmen wayang ke kanvas Teja tidak secara langsung menyisipkan cerita-cerita dalam pewayangan yang umumnya berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata. Teja tidak menampilkan tema yang secara langsung berasal dari cerita-cerita dalam epos besar tersebut, dia melepaskan keterkaitan

wayang dari narasi epik yang diperankannya, dan menjadikan wayang hanya sebagai media untuk memerankan lakon yang disampaikan sang Dalang. Dalam pewayangan ada pakem-pakem yang harus diperhatikan, mulai dari perwujudan bentuk, atribut dan karakter yang disematkan pada sosok wayang tersebut ditambah lagi dengan pakem cerita yang dilakonkan yang berkisar pada dua epos besar Ramayana dan Mahabarata.

Teja Astawa memilih membebaskan diri dari pakem-pakem tersebut, dengan membebaskan pengambaran wayang sesuai dengan imajinasinya. Sebagaimana kebebasan bermain-main

Page 8: Teja Astawa Catalog

6

dengan wayang-wayang daun saat masa kecilnya, Teja merekonstruksi kembali pengalaman tersebut dalam proses berkarya. Pengalaman-pengalaman tersebut telah mengendap dalam bawah sadarnya, sehingga harus dimunculkan lagi kepermukaan dan pengalaman tersebut sendiri telah mengalami penumpukan (overlapping) dengan pengalaman lainnya. Dalam proses menghadirkan kembali, Teja melakukan proses rekonstruksi, sehingga pengalaman-pengalaman itu hadir menjadi fragmen-fragmen yang dikomposisikan secara visual menjadi sebuah narasi. Narasi-narasi tersebut tidaklah memiliki setting cerita yang terstruktur seperti dalam cerita epik pewayangan, rangkaian cerita dalam karya Teja adalah rangkaian fragmen-fragmen narasi yang berdiri sendiri tidak mempunyai keterkaitan secara langsung.

Tentu sebelumnya Teja memikirkan sebuah ide tematik untuk karya-karyanya, namun ide tersebut terus berkembang seiring dengan proses berkarya, ada hal-hal spontan yang kemudian memasuki proses tersebut dan dimunculkan langsung dalam karya. Spontanitas ini menjadi faktor penting dari rangkaian fragmen-fragmen dalam karyanya yang kemudian menampilkan sebuah narasi. Narasi tersebut mempunyai tema-tema tertentu yang bukan merupakan sebuah rangkaian cerita utuh, narasi tersebut merupakan

Page 9: Teja Astawa Catalog

7

fragmen-fragmen cerita yang terputus, yang disatukan dalam bidang kanvas. Karya Teja menghadirkan cuplikan-cuplikan pengalaman bawah sadarnya yang kerap kali muncul secara spontan ketika dia berkarya. Proses kreativitas kekaryaan Teja merupakan letupan-letupan, impuls-impuls yang bersifat psikologis yang berasal dari bawah sadarnya.

Mekanisme narasi dalam karya Teja dekat dengan fragmen-fragmen yang kerap hadir dalam dunia mimpi. Rangkaian fragmen narasi dalam mimpi seperti dikatakan Freud sesungguhnya mempunyai sebuah struktur berupa rangkaian peristiwa yang kerap kali berulang secara metodis, namun dalam kenyataannya sangat sulit mengerti

rangkaian mimpi tersebut karena mengandung nilai-nilai yang berifat simbolik. Kesulitan tersebut dikarenakan mekanisme mimpi berkerja dalam dunia bawah sadar bukan dalam kesadaran, realitas mimpi berbeda dengan realitas dunia sadar. Seperti halnya kompleksitas narasi-narasi simbolik pada dunia mimpi, fragmen-fragmen narasi dalam karya Teja juga mengandung kompleksitas. Kompleksitas itu berasal dari metode spontanitas dalam proses berkarya Teja. Berbeda dengan mekanisme bawah sadar, fragmen-fragmen narasi dalam karya Teja justru dihadirkan dalam mekanisme alam kesadaran dan sebagian ide-idenya berasal dari memori bawah sadarnya.

Melalui mekanisme spontanitas tersebut memori-memori itu hadir dalam proses berkaryanya, seperti

Page 10: Teja Astawa Catalog

8

pada karya “Monkey Attack” 2010 secara garis besar Teja ingin membuat narasi tentang binatang Monyet yang sedang bersantai di pantai bahkan ada satu yang tengah memegang papan surfing. Tiba-tiba ada tanda ledakan dengan tulisan Bum seperti dalam ikonografi komik dan ada sesuatu yang terlempar dari kapal pengebom yang ada di laut pada latar belakang. Di sisi lain ada seekor monyet yang sedang berkomunikasi dengan seorang wanita di kolam renang. Jika diinterpretasi secara subyektif bisa saja fragmen monyet-monyet tersebut dikaitkan dengan peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II pada 2002 dan 2004 yang lalu. Ketika penulis konfirmasi ke Teja memang Bom yang muncul dalam karya tersebut muncul tiba-tiba dalam pikirannya tentang peristiwa Bom Bali beberapa tahun lalu, yang muncul secara spontan ketika dia tengah menyelesaikan karya tersebut. Namun Teja tidak sedang menggambarkan peristiwa Bom dan mengaitkan figur-figur monyet dan latar belakang pantai dengan kondisi tertentu dalam konteks pariwisata Bali. Teja juga menambahkan kehadiran kapal pengebom di laut, dalam karya ini pada dasarnya hanya menghadirkan

sebuah fragmen narasi tentang aktivitas binatang monyet. Tiba-tiba secara spontan muncul memori tentang Bom dan langsung dimasukkan dalam karya itu.

Metode spontanitas sebelumnya menjadi kecenderungan dalam proses berkarya seniman surealis, seperti dalam sastra misalnya sastrawan membuat puisi secara spontan dengan mengambil kata-kata dari serpihan Koran atau majalah yang dia temukan kemudian dirangkai menjadi sebuah puisi. Metode spontan itu juga yang menjadi kecenderungan dalam mekanisme kekaryaan Teja Astawa selama ini. Spontanitas ini melandasi kehadiran hal-hal yang nyeleneh, ganjil dan sekaligus menghadirkan keunikan dalam karya Teja.

Struktur visual dalam karya Teja terdiri dari rangkaian figur-figur manusia maupun binatang dalam suatu komposisi yang terlihat sedang memerankan tema narasi tertentu. Berupa rangkaian cerita tentang binatang dengan manusia

Page 11: Teja Astawa Catalog

9

dalam hal ini tokoh pewayangan yang tidak terlalu jelas identitasnya, karena Teja hanya menyisipkan ikonografi seperti atribut yang menyiratkan tokoh itu seorang raja atau dewa. Untuk dewa dalam karya wayang pada umumnya dikelilingi dengan sinar aura yang berupa rangkaian garis lengkung disekitar figur tersebut. Tema-tema tersebut ditampilkan dengan penekanan pada figur-figur atau objek-objek yang dibuat dalam ukuran relatif besar, dan disela-sela rangkaian objek utama tersebut terdapat objek-objek kecil yang sering sekali tidak ada hubungan langsung dengan objek utama.

Dalam karya “Sang Gembala” 2010 objek utamanya adalah laki-laki yang duduk di atas sedang mengembala sapi-sapinya, serta figur perempuan berambut panjang yang bersimpuh di atas meja seperti sedang memberi makan anak-anak burung. Tiba-tiba di bagian belakang ada sebuah gunung yang di atasnya tersangkut sebuah mobil, begitu juga dalam karya “Pengaduan Binatang” 2010 yang menceritakan seekor macan sedang berhadapan dengan figur raja atau dewa. Pada bagian belakang terdapat mobil yang sedang tenggelam di air yang digambarkan dengan warna putih dengan garis-garis lurus horizontal. Begitu juga dalam karya “Memohon Perlindungan (Dewi Penjaga Hutan)” 2010 yang menggambarkan dua ekor macan sedang bertemu dengan seorang dewi, pada bagian latar berwarna biru yang menyiratkan air terdapat sebuah perahu boat yang sedang dinaiki seseorang melaju dengan kencang. Masih banyak lagi objek-objek kecil seperti itu yang dapat ditemui dalam karya-karya Teja, dimana sebagian hadir pada latar belakang dengan warna monokrom, diwujudkan dengan tinta hitam.

Page 12: Teja Astawa Catalog

10

Objek-objek kecil tersebut terlihat ganjil dan pada umumnya dibuat dengan ukuran lebih kecil, dan justru lebih menggugah pandangan untuk mencari keterkaitannya dengan objek utama. Kehadiran objek-objek kecil tersebut merupakan kecenderungan Teja untuk bermain-main di atas kanvas, memberikan ruang bagi munculnya fragmen-fragmen bawah sadar hadir secara spontan merespon tema utama dalam karyanya. Meskipun dihadirkan dalam latar belakang dan kadang tersamar dalam tampilan sketsa dengan tinta, objek-objek tersebut sesungguhnya dapat berbalik menjadi aspek utama dan menjadi penting dalam karya Teja. Kehadirannya penuh dengan daya tarik, sehingga muncul pertanyaan mana sesungguhnya yang utama dalam karya Teja apakah komposisi objek-objek yang besar atau objek-objek kecil yang remeh dan terlihat ganjil itu? Setidaknya menurut penulis aspek yang kecil itulah yang bisa jadi

faktor utama dalam karya Teja, meskipun secara komposisional Teja memakai pendekatan perspektif namun sesungguhnya itu bukan linier perspektif. Memang secara visual ada pembedaan antara objek yang dekat dan yang jauh dengan pembedaan besar dan kecil, tapi tidak bisa dilihat sebagai skala yang logis. Karena Teja bisa seenaknya bermain-main dengan menghadirkan objek yang sangat kecil pada bagian depan dan pada bagian tengah dengan objek yang besar dan kembali objek yang kecil pada latar belakang. Kembali dapat dilihat dalam karya “Pengaduan Binatang” 2010 pada bagian depan bawah terdapat figur manusia kecil di dalam perahu dikerjakan dengan detail, logika perspektif linier tidak berlaku di sini.

Kecenderungan tema-tema pada karya-karya Teja bersifat sederhana dan banyak menampilkan tema-

Page 13: Teja Astawa Catalog

11

tema binatang yang mengingatkan tentang cerita Tantri (cerita tentang binatang), dan dikemas dengan keunikan objek-objek kecil yang menampilkan narasi tersendiri. Dihadirkan dengan sederhana, tidak terbebani narasi simbolik yang penuh dengan makna dan filosofis seperti pada cerita-cerita epik pewayangan ataupun cerita tantri. Karya Teja Astawa lebih menghadirkan tema dengan narasi yang ringan, kadang terlihat lucu, terkadang bisa nampak serius, penuh dengan keganjilan-keganjilan yang sekaligus unik. Objek-objek ganjil tersebut mampu mengundang pertanyaan untuk menanyakan hubungannya dengan objek utama, yang seperti punya keterkaitan langsung dalam satu rangkaian pemaknaan yang utuh. Tapi dalam kenyataannya, rangkaian pemaknaan dalam karya Teja tidak mempunyai keterkaitan yang utuh,

karena di dalamnya mengandung puzzle-puzzle fragmen yang kerap muncul dengan mekanisme spontanitas. Muncul secara spontan dalam proses berkaryanya, hadir tiba-tiba dari alam bawah sadar yang kemudian mencuri waktu untuk keluar melalui relung-relung imajinasi Teja.

Ditinjau dari bahasa rupa, Teja mengambil dari bentuk-bentuk wayang dengan melepaskannya dari bentuk dan atribut wayang yang diatur dalam pakem-pakem tertentu. Mulai dari bentuk mata, alis, mulut, postur dan gestur tubuh hingga atribut-atributnya yang berbeda-beda pada masing-masing tokoh, karena Teja tidak sedang mengetengahkan cerita atau narasi pewayangan, maka dia melepaskan aturan-aturan baku tersebut pada penggambaran wayang di dalam karyanya. Ia mengembangkan karakter wayang sesuai dengan imajinasinya sendiri, wayang yang merupakan karya seni deformatif

Page 14: Teja Astawa Catalog

12

hasil dari stilirisasi bentuk, kini diolah kembali dalam proporsi yang baru. Antara lain dengan kepala yang lebih besar dan anatomi yang lebih plastis dekat dengan anatomi manusia, berbeda dengan anatomi wayang yang umumnya lebih pipih, serta dengan menyederhanakan pada atribut pakaian wayangnya.

Dalam konteks proses kreatif, Teja sedang merekreasi kembali bentuk dan struktur wayang dengan mencerabutnya dari struktur yang telah memiliki pakem tertentu. Teja melakukan destrukturisasi terhadap struktur wayang, menjadikannya bahasa rupa yang baru sesuai dengan kreativitasnya. Dipresentasikan kembali dalam gaya rupa yang baru, gaya khas dan unik sesuai dengan karakter Teja sendiri yang penuh dengan spontanitas pun ketika dia sedang mengkomunikasikan

gagasannya. Secara keseluruhan karya Teja mengetengahkan beberapa aspek olah visual antara lain; pertama adalah soal narasi yang bersifat ringan, sederhana dan terbuka dengan pemaknaan. Kedua,mengenai pengolahan bahasa rupa yang bersumber dari gaya wayang yang kemudian dia rekreasi kembali hingga melahirkan gaya rupa yang khas dan unik. Ketiga, mengenai penataan atau komposisi elemen-elemen rupa yang ada di dalamnya, terutama dalam hal perspektif yang dimainkan dengan tanpa mempertimbangkan aspek linieritas. Objek pada latar depan, tengah dan belakang bisa sangat bertolak belakang, karena bisa dengan tiba-tiba muncul objek-objek kecil pada bagian depan yang dibuat dengan detail dan intensitas yang tinggi.

Page 15: Teja Astawa Catalog

13

*) I Wayan SerIyoga Parta, Lahir di Tabanan Bali tahun 1980, menyelesaikan S-1 Seni Kriya STSI (ISI) Denpasar tahun 2003, S-2 Pengkajian Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana ITB Bandung bulan Juli tahun 2010, dan kini sedang menempuh S-3 Pengkajian Seni Rupa di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Sejak tahun 2006 menjadi staf pengajar pada Universitas Negeri Gorontalo. Pernah menjadi dosen tamu untuk kuliah umum dengan topik Pengoleksian Karya Seni Rupa Sebagai Gaya Hidup, di FSRD Universitas Kristen Maranatha Bandung, 25 Februari 2010. Menjadi kurator Seni Rupa sejak tahun 2004, diantaranya seperti: Tim kurator Pra Bali Biennale 2005. Kurator Pameran REAL[I]TI, 2009 di Vannesa Art Link Jakarta. Kurator Pameran Roadshow Indonesian Artists, Edge Gallery Hongkong, 2010 diselenggarakan oleh El-canna Galeri Jakarta. Kurator Pameran Return to The Abstraction, 2009 dan Kurator Pameran Medi(a)esthetic, 2010 di Tonyraka Art Galerry Mas Ubud Bali.

Dalam karya Teja tersusun lapisan-lapisan objek yang tampil secara bersamaan dan sulit dipahami dengan sistem perspektif linier, atau pun dengan narasi linier yang menunjukkan urutan-urutan cerita yang terstruktur. Telah disebutkan dalam pembahasan, mekanisme komposisional dalam karya Teja mirip dengan kecenderungan komposisional dalam dunia mimpi yang muncul tiba-tiba dan bertumpuk dalam satu setting waktu yang padat dengan lapisan-lapisan narasi yang berbeda-beda. Narasi-narasi dalam karya Teja merupakan puzzle-puzzle yang muncul secara spontan dikomposisi sedemikian rupa pada bidang kanvas. ---

Page 16: Teja Astawa Catalog

14

The process in creating an artwork is stimulated by various factors, one of them is the artist’s personal experience that has made an impact on his life so deeply that it turns into an inspiration as well as motivation in the creative process of an artwork. In the context of creating an artwork, the experience then undergoes an internal process and interpretation of the artist. It is later reconstructed into a medium of artwork. The reconstruction process itself is related to re-imagining, the implementation plane of which may differ for each individual artist.

In the same way, the creating process of Teja Astawa, a young artist who grew up in Sanur, Bali coastal environment is executed. Teja’s artworks raise his childhood experience from the time he played with ‘kamboja’ and jack fruit leaves which were shaped into wayang figures. Together with his friends, Teja would often play with those leaves in his free imagination of childhood cheerfulness.

That childhood experience has printed a deep impression on him and made a room for his artistic life as he grows up, particularly in painting medium. Teja then re-weaves fragments of his experience and recreates those wayang figures in his artwork. In order to begin the

curATor I wAyAn SerIyogA PArTA* Fr

agme

nts o

f Sub

cons

cious

Mem

ory

Page 17: Teja Astawa Catalog

15

reconstruction process Teja has carried out a field study observing the varieties of wayang and their individual characteristic symbolism.

By the time he pours out these wayang fragments onto canvas, Teja does not immediately introduce stories from wayang world, most of these generally come from Ramayana and Mahabarata epics. Teja does not present a theme solely from the stories of the great epics, on the other hand, he releases its association with the epic narrative role it plays and treats wayang only as a medium to play the role conveyed by the ‘dalang’ (the narrator). In wayang world, there are boundaries that have to be thought about, i.e. the figure’s

form to begin with, its attribute, and the character attached to the figure, in addition, the story boundaries surrounding the great epics, Ramayana and Mahabarata.

Teja Astawa chooses to unleash himself from those boundaries by painting the wayang figure according to his free imagination. Just like his freedom when he played with leaf wayang during his childhood, in the process of creating his artwork, Teja reconstructs the experience. The experience which has settled in his subconscious memory has to be reemerged to the surface and that experience in itself has undergone some overlaps with other experiences. In the process of re-emerging, Teja has

Page 18: Teja Astawa Catalog

16

done some reconstruction process so that they appear as fragments that are composed visually into a narrative. The narratives do not have structured story setting as they have in wayang epics; the story fragments in Teja’s artwork is a sequence of independent narrative fragments which does not have direct association.

Needless to say, Teja has previously thought of a thematic idea for his artwork, however, the idea is continually improving as the artwork is in progress; spontaneous objects may come into the process and are expressed directly in the artwork. This spontaneity plays an important factor among the sequence of fragments in his work, and subsequently presents a narrative. The narrative has certain themes which are not a sequence of complete narratives, on the contrary they are independent narrative fragments united onto the canvas plane. Teja’s works represent fragments of his subconscious memory which

often appears spontaneously while he is working. Teja’s creativity process in his work is psychological explosions and impulses from his subconscious memories.

The narrative mechanism in Teja’s work closely resembles fragments appearing in his dreams. A sequence of narrative fragments in a dream, as Freud says, actually has a structure in the form of a sequence of events which repeatedly appear methodically, but in reality it is actually difficult to understand the sequences as they contain symbolic values. It is difficult to understand since the dream mechanism works in the subconscious memory, instead of the conscious memory; reality in dreams is not the same as reality in conscious memory. Like the complexity of the symbolic narratives in dream world, Teja’s fragments of narratives also contain complexity. This complexity comes

Page 19: Teja Astawa Catalog

17

from spontaneous method while the artwork is in process. Unlike the subconscious mechanism theory, Teja’s narrative fragments in his work even appear right into his conscious mechanism whereas parts of his ideas are taken from his subconscious memory.

Through spontaneous mechanism those memories appear in his work process, as in his work “Monkey Attack” dated 2010. In terms of outline, Teja wants to create a narrative about Monkeys relaxing on the beach, and one of them is even holding a surfing board. All of a sudden there is a “Bum”(=boom) sign, a bomb explodes and like in comic iconography, something is thrown out of a bombing ship in the background sea. On the other side, a monkey is having a conversation with a lady in a swimming pool. Subjectively interpreted, those monkey fragments may be associated with Bali Bomb Blasts I and II sometime ago in 2002 and 2004. When the author confirmed this to Teja, he admitted that the thought of the Bali Bomb Blasts did cross his mind impulsively as he was finishing his work. However, he admitted that he was not trying to portray the Blasts and associate the monkey figures and the coastal background with a certain condition in Bali tourism context. Teja added that the appearance of the bombing ship at sea in the background was only to portray a narrative fragment of monkey activities. Suddenly the Blasts incident crossed his mind and he impulsively expressed the incident in his work.

Page 20: Teja Astawa Catalog

18

Spontaneity method has previously become an inclination in surrealist artist artwork process, just like in literature e.g. a man of letters intends to create a poem spontaneously by taking words from scratches of newspapers or magazines he found and arranges them into a poem. That spontaneity method has also become an inclination in Teja Astawa’s work mechanism all this time. Spontaneity is the root of the presence of unusual, peculiar, at the same time unique ideas in Teja’s work.

Visual structure in Teja’s work consists of a sequence of human as well as animal figures in a composition seen as playing roles in a certain narrative theme. It is a sequence of narratives about animals and human, in this case wayang, which identity is not too obvious, since Teja only inserts iconography such as attributes representing a king or god. A god in wayang is usually represented by a string of aura lights in the form of arched lines surrounding the god figure. The themes are expressed by emphasizing the figures or objects being painted in relatively large scale, and in between the sequence of main objects appear little objects that often do not have direct connection with the main objects.

In his work “Sang Gembala” (=the Shepherd) dated 2010, the main object is a man sitting up while looking after his cows and a figure of a woman with long hair sitting on a table with her knees bent and folded back, as if feeding bird chicks. Out of nowhere, a mountain appears on the background with a car tangled on it. This is repeated in his work “Pengaduan Binatang” (=Animal Complaint) dated

Page 21: Teja Astawa Catalog

19

2010 which tells about a tiger facing a king or god figure. At the background appears a car drowning in water which is painted in white with straight horizontal lines. Also in the work “Memohon Perlindungan Dewi Penjaga Hutan” (= A Call for Protection from the Forest Guardian goddess) expressing two tigers meeting a goddess, on the blue background representing water, someone is driving a speeding boat. There are more similar small objects which can be found in Teja’s works, mostly they appear as background by the use of monochromatic color, which is sketched in black ink.

Those little objects seem peculiar and generally presented in smaller size which rouse the observer to find out whether there is a connection with the main object or not. The presence of the small objects is Teja’s inclination to play on canvas, giving space for the appearance of subconscious fragments and spontaneously responding to the main theme of his work. Although they are represented on the background

and sometimes seen disguised in ink sketches, those objects might, on the contrary, become the main aspect and play an important role in Teja’s work. The little objects’ presence is so full of attraction that arouses a question: which is actually the main theme in Teja’s work? Is it the composition of the larger objects or the seemingly unusual and peculiar trivial objects? At least, in the author’s opinion it is the smaller objects that may become the main factor in Teja’s work. In terms of composition, despite his exploitation of perspective approach, it does not actually appear to be linear perspective. Visually, the difference between near and far, large and small exists, however it cannot be seen as logically scaled since Teja may freely and playfully present the smaller objects in front, the larger objects in the middle and return to the background with the smaller objects. Once again it can be seen in his work “Pengaduan Binatang” (=Animal Complaint) dated 2010 where in the lower part the observer can see a small human in a boat, painted in detail. The linear

Page 22: Teja Astawa Catalog

20

perspective logic, in this case, is not in effect.

Thematic inclination in Teja’s work is simple in nature and it expresses animal themes which remind us of Tantri stories (fable), and is set in unique smaller objects that express independent narrative. Presented in simple manner, not burdened by narrative symbolism which is full of connotation and philosophy, like wayang epics or Tantri stories, Teja Astawa’s works offer lighter narrative themes, sometimes funny looking, another time seriously looking, full of peculiarity and also uniqueness. The smaller objects might rouse a question about the association between the main object, that appears as if it does have a direct connection, and the sequence of a whole complete connotation. However, in reality, the sequence of meanings in Teja’s work does not have a whole connectedness, since it contains fragmental puzzles which often appear in impulsive mechanism. They appear impulsively in his work process, spontaneously emerge from his subconscious memory, and quietly come out through the depths of Teja’s imagination.

Looking at it from the point of view of art language, Teja grasps wayang forms and unleash them

from their forms and attributes that standardized them within certain boundaries. Beginning from the eyes, eyebrows, mouth, posture and body gesture up to the varieties of attributes each figure has, as Teja does not present a wayang story or narrative, in his work he unleashes them from all standard rules of wayang painting. He develops wayang characters and adapts them to his own imagination, wayang as an artwork that in itself is a deformed artwork distorted from its depiction, then reprocesses it into a new proportion, i.e. by giving a bigger head with a more plastic anatomy, resembling human anatomy, unlike the usual thinner wayang figure, and by simplifying their clothing attributes.

In the context of creative process, Teja is recreating a new form and structure of wayang by removing it from the standardized structure. Teja has committed distortion towards wayang structure, turned it into new art language and adjusted it to his creativity. He re-presents it in a new art style, distinctive and unique, in conformity with his own characteristic that is full of spontaneity as he communicates his ideas. Taking all relevant factors into account, Teja’s artwork suggests some visual processing aspects, i.e. firstly, it is a matter

Page 23: Teja Astawa Catalog

21

of light narrative, light, simple and open-minded towards connotation, secondly, it is about processing art language rooted in wayang style, then he recreates it until it produces a specific and unique art form; thirdly, concerning arrangement and composition of art elements that exist in it, particularly in perspective context which is played by ignoring linear perspective aspects. Objects in front, middle and backgrounds can be contradictory, as all of a sudden small objects presented in detail with high intensity appear in front.

In Teja’s works, layers of objects that appear simultaneously and hard to be understood through linear perspective system or linear narrative that introduces sequential structured stories, are composed. As mentioned in the above analysis, the composition mechanism in Teja’s work is similar to the compositional inclination in a dream world which appears all of a sudden and overlaps in a set of time, condensed with layers of various narratives. Narratives in Teja’s work are in the form of spontaneous appearing pieces of puzzles composed in such a way onto a piece of canvas. ---

*) I Wayan SerIyoga Parta, born in Tabanan Bali in 1980, finishes his graduate degree in STSI Craft Art Design Department (ISI) Denpasar in 2003, Post-graduate (Master of Fine Art) in Art Research Studies Department, in ITB Bandung Post-graduate Studies in July, 2010, and at the moment he is undergoing post graduate studies (Doctoral Program) in Post Graduate Program of ISI Yogyakarta. Since 2006 he has been a teacher staff in a Public University of Gorontalo. He was a guest lecturer for ‘Collection of Artwork as a Lifestyle’ public lecture in Faculty of Art and Design, Maranatha Christian University, on February 25, 2010. He has been an Art Curator since 2004, i.e. Curator Team of Pra Bali Biennale 2005, Curator for REAL(I)TI, Art Exhibition 2009 in Vanessa Art Link Jakarta, Curator for Indonesian Artists Roadshow Exhibition, Edge Gallery Hongkong, 2010 which was produced by El-canna Gallery, Jakarta, Curator for Return to The Abstraction, 2009 Exhibition and Curator for Medi(a)esthetic, 2010 Exhibition in Tonyraka Art Gallery Mas, Ubud Bali.

Page 24: Teja Astawa Catalog

22

Tuban, March 1, 1971

EducationSekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Denpasar, Bali

EXHiBition1990 Museum Ratna Warta Ubud

Kelompok Lanjalan Ubud

Dies Natalis STSI Denpasar, di STSI Denpasar

Art Center Denpasar

Peksiminas, di STSI Denpasar

1992 Museum Sidik Jari Denpasar

Seni Masa Kini, di STSI Denpasar

1993 Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa Klungkung HUT II Kamasra, at STSI Denpasar

1994 Kelompok Sebelas, at Darga Gallery Sanur

1995 Kelompok Sebelas, at Art Center Denpasar

Exhibition at Arnanda Tour Kuta

1996 Canberra Sidney Australia

Refleksi Seni’98, at Darga Gallery Sanur

2000 Refleksi Seni II, at Darga Gallery Sanur

2001 Taksu Bali, at Gallery 678 Jakarta Selatan

Seni Rupa Bali Kontemporer, at Bentara Budaya Jakarta

What II, at Gallery Sembilan Ubud Bali

Himpunan Pelukis Sanur, at Balairung Dewi Sri Exhibition Hall Garuda Wisnu Exhibition Kencana, Jimbaran

2002 Himpunan Pelukis Sanur Soft Opening Santrian Gallery, at Santrian Gallery Sanur.

Perupa Dalam 16, at Gabrig Art Gallery Sanur

Exhibition Paradise Youth Activity For Humanity Sangga Bhuana, at RRI Denpasar

2003 Exhibition TAIBlack Dies Natalis STSI XXXVI, STSI Denpasar

Exhibition BIG Perupa Dalam 16, at Art Center Denpasar & Santrian Gallery Sanur

Exhibition NEW Harmony, at Rare Angon Gallery Sanur

Pesta Kesenian Bali XXV, at Art Center Denpasar

2004 Mosaik Himpunan Pelukis Sanur, at Santrian Gallery Sanur

Drawing New Harmony II, at Rare Angon Gallery Sanur

10 Artist Introduce Themselves, at 10 Fine Art Sanur, Bali

Auction, at Swissotel the Stamford Singapore

The Journey Himpunan Pelukis Sanur, at Museum Puri Lukisan Ubud

Teja

Asta

wa

Page 25: Teja Astawa Catalog

23

2005 Bali to Bali, at Sun Jin Gallery Singapore

Berdua “ Art As Self Expresion”, Santrian Art Gallery

2006 Ganesha Gallery Four Season, Jimbaran, Bali

2007 Juxtapose at Gallery Ellcana, Jakarta

2008 Perupa Bali at Montiq Gallery, Jakarta

11th Beijing International Art Exposition, Beijing

Bali Art Now, Yogyakarta

“ Works Of Ketut Teja Astawa “ {solo exhibition} at Gallery Roemah Roepa, Jakarta

2009 “Batman Forever” {solo exhibition} at Sunjin Gallery, Singapore

“Balinese Kunst In Geur En Kleur” at Nederlands Parfumflessen Museum

2010 “Return to the Abstraction” at Tony Raka Gallery, Ubud

“Post Modern Rambling” at Ganesha Gallery Fourseason, Jimbaran

“Corner Kick” at Tanah Tho Gallery, Ubud

“BAZAAR ART JAKARTA” in Jakarta

“2X…” Jakarta Art Disctrict

10+1 at Paros Gallery, Bali

aWaRdS2001 Philip Morris Art Award Finalist

Indonesia

MuSEuM coLLEction“ DER WELTKULTUREN AM SCHAUMAINKAI ”, Frankfurt.

Page 26: Teja Astawa Catalog

24

Pengaduan Binatang

acrylic on canvas

200 x 150 cm

2010

Page 27: Teja Astawa Catalog

25

Page 28: Teja Astawa Catalog

26

Monkey attack

acrylic on canvas

150 x 200 cm

2010

Page 29: Teja Astawa Catalog

27

iring-iringan Sang Pangeran

acrylic on canvas

150 X 200 cm

2010

Page 30: Teja Astawa Catalog

28

Sang Gembala

acrylic on canvas

150 x 200 cm

2010

Page 31: Teja Astawa Catalog

29

Fruit Problems

acrylic on canvas200 x 140 cm

2010

Page 32: Teja Astawa Catalog

30

Page 33: Teja Astawa Catalog

31

dewi Penjaga Hutan

acrylic on canvas

150 x 200 cm

2010

Page 34: Teja Astawa Catalog

32

Memohon Keselamatan

acrylic on canvas

200 x 150 cm

2010

Page 35: Teja Astawa Catalog

33

Page 36: Teja Astawa Catalog

34

Memohon Perlindungan(dewi penjaga hutan)

acrylic on canvas

120 x 200 cm

2010

Save the tree(sacred tree)

acrylic on canvas

200 x 150 cm

2010

Page 37: Teja Astawa Catalog

35

Page 38: Teja Astawa Catalog

36

Pangeran di taman istana

acrylic on canvas

200 x 140 cm

2010

Page 39: Teja Astawa Catalog

37

temu Kangen Prajurit

acrylic on canvas

150 x 200 cm

2010

Page 40: Teja Astawa Catalog

38

terperangkap di Sarang Macan

acrylic on canvas

200 x 120 cm (2 panel)

2010

Page 41: Teja Astawa Catalog

39

Page 42: Teja Astawa Catalog

This catalogue was published as a supplement to the exhibition of

by teja astawa

on January 21st - February 21st, 2011

at Tonyraka Art Gallery

Curator

I Wayan Seriyoga Parta

englISh tranSlatIon

Theresia Wijaya

CoVer

Teja Astawa (2010)

Rekreasi di Danau

150 x 200 cm

acrylic on canvas

DeSIgneD by

Kotasis Kamar Desain 3x3x3

Yogyakarta, Indonesia

www.kotasis.com

PublISheD by

Tonyraka Art Gallery

Jl. Raya Mas 86, Mas, Ubud,

Bali 80571, Indonesia

Ph. +62 361 7816785, 974538

Fax. + 62 361 975207

Tonyraka Gallery

Jakarta Art District

Grand Indonesia Shopping Town

East Mall, Lower Ground, Lot 29

Jl. MH. Thamrin No. 1

Jakarta Pusat 10310

Ph. +62 815 911 8600 (Agnes Camelia)

[email protected]

[email protected]

www.tonyrakaartgallery.com

eDItIon

500 copies

PrInteD In InDoneSIa

Page 43: Teja Astawa Catalog
Page 44: Teja Astawa Catalog