te vani tena

33
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tind meliputi pemberiananestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaks anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan ya anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perenca menentukan prognosis dan persiapan pada pada harioperasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemel tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronikpada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari to tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut t kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lan pendekatan operatif tonsilektomi. Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil palatina. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang mu abad ! diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi coblation. Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana dan prasarana. "i #ndonesia, tonsil masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan de anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar !$!%.&&& pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestes

Upload: vaniafildza

Post on 04-Nov-2015

238 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TE

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi. Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil palatina. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation.Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana dan prasarana. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi setelah operasi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal.

BAB IILAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIENNama: Tn. NJenis Kelamin: Laki-lakiUsia: 35 tahunBerat Badan: 90 kgAgama: IslamAlamat: Grogol, CilegonNo. RM: 241xxxDiagnosis: Tonsilitis Kronik

B. ANAMNESISAnamnesis dilakukan tanggal 29 Mei 2015, pukul 06.30. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.a. Keluhan utama: Nyeri Menelanb. Riwayat penyakit sekarang:Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Cilegon pada tanggal 25 Mei 2015 dengan keluhan nyeri menelan yang dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien juga mengeluh nyeri menelan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah, pasien juga mengeluhkan sering demam berulang hampir setiap bulan. Nyeri menelan disertai dengan ngorok maupun nafas tersengal-sengal saat tidur. 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1 bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan, susah menelan, disertai demam. Keluhan terasa terutama setelah pasien mengkonsumsi minuman dingin dan makanan berminyak. Saat ini pasien tidak mengalami demam, batuk, pilek, hidung tersumbat, nyeri di kedua telinga maupun kurang pendengaran.c. Riwayat penyakit dahulu:1) Riwayat asma disangkal2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal3) Riwayat pernah operasi disangkal4) Riwayat Hipertensi disangkal5) Riwayat DM disangkald. Riwayat penyekit keluarga:Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIKDilakukan pada 29 Mei 2015GCS:E4V5M6 = 15Vital Sign:Tekanan darah: 120/80 mmHgNadi: 82 x/menit Suhu: 36,6CPernafasan:16 x/menit Status Generalisa. Kulit:Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat. b. Kepala:Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata dan tidak mudah dicabut. Tonsil membesar T4-T3, kripte melebar, detritus (-).c. Mata:Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterikd. Pemeriksaan Leher1) Inspeksi:Tidak terdapat jejas 2) Palpasi:Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.i. Pemeriksaan Thorax1) Jantunga) Inspeksi: Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistrab) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkatc) Perkusi :i. Batas atas kiri :SIC II LPS sinsitraii. Batas atas kanan :SIC II LPS dextraiii. Batas bawah kiri :SIC V LMC sinistraiv. Batas bawah kanan :SIC IV LPS dextrad) Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.2) Parua) Inspeksi:Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.b) Palpasi:Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.c) Perkusi:Sonor kedua lapang parud) Auskultasi:Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua paru. Tidak terdengar suara wheezing j. Pemeriksaan Abdomena) Inspeksi:Perut membuncit, simetris, tidak terdapat jejas dan massab) Auskultasi:Terdengar suara bising usus dalam batas normal.c) Perkusi:Timpanid) Palpasi:Supel, tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas. Hepar dan lien tidak teraba.k.Pemeriksaan Ekstremitas : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan25-05-2015Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin16,614-18 g/dL

Leukosit75805000-10000/L

Hematokrit47,840-48%

Trombosit185000150000-450000/L

CT125-15 menit

BT21-6 menit

Gol. DarahO Rh(+)

Kimia Klinik

SGOT17< 37 U/L

SGPT28< 41 U/L

Ureum1817-43 mg/dL

Creatinin0,80,7-1,1 mg/dL

GDS86 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAgAnti-HIVNegatifNon ReaktifNegatifNon Reaktif

Elektrolit

Natrium140,6135-155 mmol/l

Kalium3,883,0-5,5 mmol/l

Klorida101,895-107 mmol/l

E. KESAN ANESTESILaki-laki 35 tahun menderita Tonsilitis Kronik dengan ASA I

F. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan yaitu :a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpmb. Pro Tonsilectomyc. Informed Consent Operasid. Konsul ke Bagian Anestesie. Informed Consent Pembiusan Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I

BAB IIILAPORAN ANESTESI

A. 1.Preoperatif Informed Consent (+) Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar Keadaan umum tampak sakit sedang Kesadaran Compos Mentis Tanda Vital: TD: 120/80 mmHg RR: 16 x/menit Nadi: 72 x/menit Suhu: 36,6C

B. Premedikasi AnestesiSebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.

C. Tindakan AnestesiTanggal 29 Mei 2015 jam 09:00, Tn. N, 35 tahun tiba di ruang operasi dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign dengan hasil TD 120/80 mmHg; Nadi 72x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 09:15. Diberikan premedikasi dengan injeksi Ondancentron 4 mg secara intravena. Setelah diberikan premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi Fentanyl 200 g, propofol 150 mg intavena yang dilanjutkan dengan pemberian obat pelumpuh otot injeksi Rocurorium Bromida 40 mg intavena. Bersamaan dengan itu, pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi yang mengalirkan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Setelah pasien terinduksi dengan tanda reflek bulu mata menghilang, diberikan oksigen 100% selama 3 menit. Kemudian setelah fasikulasi hilang dan leher pasien sudah tidak kaku dilakukan pemasangan ET (endotracheal tube) tipe non kinkink no. 30 dengan menggunakan laringoskop. Setelah intubasi dilakukan ET dikunci dengan menggembungkan balon ET dengan udara dalam spuit hingga suara desis napas hilang, kemudian connector ET dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mendapatkan O2. Setelah itu dilakukan auskultasi paru kanan dan kiri untuk mengetahui apakah ET sudah terpasang dengan benar. Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2, N20 dan isoflurane. Inhalasi N2O : O2 diberikan dengan perbandingan 50:50. Pada pasien ini diberikan N2O sebesar 2 liter/menit dan O2 sebesar 2 liter/menit. Isoflurane diberikan sebanyak vol 2%. Bila anestesinya terlalu dalam maka isoflurane diturunkan begitu pula sebaliknya. Kombinasi dinaikkan dan diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan keadaan pasien. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit hingga operasi selesai. Selama maintenance diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign diset otomatis dan dicatat setiap 5 menit. Selama operasi , tekanan darah dan nadi di monitor tiap 5 menit dengan hasil: lima menit I:122/60 mmHg, nadi 89x/mnt, SpO2 99% lima menit II:117/56 mmHg, nadi 92x/mnt, SpO2 99% lima menit III :110/70 mmHg, nadi 99x/mnt, SpO2 99% lima menit IV :120/72 mmHg, nadi 91x/mnt, SpO2 99% lima menit V :130/80 mmHg, nadi 90x/mnt, SpO2 99% lima menit VI :130/80 mmHg, nadi 92x/mnt, SpO2 99% lima menit VII:125/77 mmHg, nadi 88x/mnt, SpO2 99% lima menit VIII:130/75 mmHg, nadi 92x/mnt, SpO2 99% lima menit IX:130/80 mmHg, nadi 82x/mnt, SpO2 99% lima menit X:127/77 mmHg, nadi 86x/mnt, SpO2 99%

Respirasi rate 22x/menit. Perdarahan selama operasi 25 cc. Pasien tidak tampak hipoksia, sesak napas maupun hipovolemik. Pembedahan dilakukan selama 35 menit. Intake IVFD RL 250 cc.Setelah operasi selesai isoflurane diturunkan secara bertahap sampai mencapai 0 vol%, N2O diturunkan hingga 0 liter/menit, sementara itu O2 dinaikkan menjadi 6 liter/menit. Sesaat sebelum pasien sadar dilakukan ekstubasi. Sebelum ET dilepas dilakukan pembersihan jalan napas dari lendir dengan menggunakan suction sampai bersih supaya pernapasan lancar, kemudian balon ET dikempeskan kemudian baru dilepaskan. Setelah ekstubasi pasien tetap diberikan O2 selama kurang lebih 5-10 menit. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan (recovery room), dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat kesadaran, dan vital sign hingga stabil. Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar penuh sampai pemulihan anestesi maksimal. Setelah berada di recovery room dilakukan penilaian aldrete score, hingga nilai > 8, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal)

BAB IVAnalisa Kasus

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien dapt diklasifikasikan ke dalam ASA I, yaitu pasien normal dan hanya menderita penyakit yang akan dioperasi tanpa penyakit sistemik lainnya. Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan baik, memasang infus, dan pasien dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi.Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan teknik SCCS dengan ETT. Dari anamnesa diketahui bahwa psien belum pernah menjalankan operasi apapun. Pasien direncanakan untuk operasi tonsilektomi elektif.Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu memastikan infus berjalan lancar, ini dimaksudkan karena pada saat operasi sebagian besar obat-obatan diberikan melalui jalur intravena, kemudian pemasangan alat-alat tanda vital seperti tensi, alat saturasi yang bertujuan untuk melihat tekanan darah pasien karena beberapa obat anestesi dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah. Alat saturasi bertujuan untuk memantau suplai oksigen. Kemudian memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, yang bertujuan agar pasien tidak mual dan muntah karena obat-obat anestesi dapat merangsang muntah pada pasien. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor Serotonin 5 Hydroxytriptamine (5HT3) selektif. 5HT3 merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan rengsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat muntah dan kemudian terjadi mual muntah.Kemudian dilakukan anestesi general kepada pasien dengan menggunakan Fentanyl, Propofol, dan Rocurorium Bromida. Fentanyl sebagai analgesik adalah analgesik narkotika yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anestesi maupun sebagai awalan anestesi. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100 g. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian, bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis, dan bradikardi. Profopol bekerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgesik. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan berlangsung cepat. Recurorium Bromida sebagai relaksan otot yang bersifat opioid. Sebagai tambahan pada anestesi umum untuk mempermudah intubasi endotrakeal dan memberikan relaksasi otot rangka selama pembedahan.Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi. Teknik anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek.Pada kasus ini digunakan maintenance N2O dan O2 dengan perbandingan 50:50 (N20 2 liter per menit : O2 2 liter per menit) serta Sevofluran vol 2 %.Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan dapat mengembalikan kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan serta mempunyai batas keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat dicapai bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu anestesi dalam bentuk kombinasi. Umumnya obat anestesi umum diberikan secara intravena dan inhalasi. Selama anestesi berlangsung, pasien diberikan Tramadol 100 mg secara bolus IV. Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu juga menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibat impuls nyeri terhambat.Ekstubasi dilakukan sesaat sebelum pasien sadar. Namun sebelum ET dilepas dilakukan pembersihan jalan napas dari lendir dengan menggunakan suction sampai bersih supaya pernapasan lancar, kemudian balon ET dikempeskan selanjutnya baru dilepaskan. Setelah ekstubasi dipasang guedel dan pasien tetap diberikan O2 selama kurang lebih 5-10 menit. Terapi cairan durante operasi pada pasien ini dipilih menggunakan Ringer Laktat yang merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.Setelah operasi selesai, pemantauan dilanjutkan di RR (Recovery Room). Tampak kondisi pasien stabil, sadar penuh, tanda-tanda vital dalam batas normal, idak tampak adanya tanda syok, dan penilaian respon motorik pascaanestesi dengan menggunakan skor Bromage didapatkan skor 5 tahun dengan balon (cuffed).A: Airway Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.T: Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.I: Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.S : Suction penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:a. Induksi intravena Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena: Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mgSebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesik. Propofol (diprivan, recofol)Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

Ketamin (ketalar)Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100 mg). Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.b. Induksi intramuskulerSampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.c. Induksi inhalasi N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan. Halotan (fluotan)Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah. Enfluran (etran, aliran)Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan. Isofluran (foran, aeran)Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Desfluran (suprane)Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. Sevofluran (ultane)Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.d. Induksi per rektalCara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam.

e. Induksi mencuriDilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.f. Pelumpuh otot non-depolarisasi Tracurium 20 mg (Atracurium) Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik tetapi tidak menyebabkan depolarisasi hanya menghalangi asetilkolin menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya 2 menit. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot: Cegukan (hiccup) Dinding perut kaku Ada tahanan pada inflasi paru3. Rumatan anestesi (maintenance)Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total), dengan inhalasi, atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesik cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesik cukup sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu, atau dikendalikan.4. Tatalaksana jalan napasHubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan: Hidung menuju nasofaring Mulut menuju orofaringHidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esofagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan kuneiform.a. Manuver tripel jalan napasTerdiri dari:1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula3) Mulut dibukaDengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.b. Jalan napas faringJika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).c. Sungkup mukaMengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.d. Sungkup laring (laryngeal mask)Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.Dikenal 2 macam sungkup laring:1) Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.e. Pipa trakea (endotracheal tube)Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).f. LaringoskopiFungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2 macam laringoskop:1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.Gradasi Pilar faringUvulaPalatum Molle

1+++

2-++

3--+

4---

g. IntubasiIntubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapunKelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasiMisalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, dan ventilasi jangka panjang.3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasiAdapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi: Persiapan1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop, ET, stilet, dan lain-lain.2) Masih siap pakai atau alat bantu napas.3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan lain-lain. 4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium, pavulon, dan lain-lain.5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan lain-lain. Tindakan1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+).3) Jika fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1 menit.4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi mulut membuka.5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri.6) Cari epiglotis tempatkan bilah di depan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan menekan trakea dar luar).8) Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah.9) Masukan ET melalui rima glotis.10) Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas (alat resusitasi) Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu: Leher pendek berotot Mandibula menonjol Maksila atau gigi depan menonjol Uvula tidak terlihat Gerak sendi temporo-mandibular terbatas Gerak vertebra servikal terbatasAdapun komplikasi pada intubasi yaitu:1) 30

2) Selama intubasi Trauma gigi geligi Laserasi bibir, gusi, laring Merangsang saraf simpatis Intubasi bronkus Intubasi esofagus Aspirasi Spasme bronkus

3) Setelah ekstubasi Spasme laring Aspirasi Gangguan fonasi Edema glotis-subglotis Infeksi laring, faring, trakea

Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan hal-hal berikut ini:1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika: Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya. 5. Pasca anestesiSebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang recovery room (RR).

a. Aldrete scoreNilai warna Merah muda 2 Pucat 1 Sianosis 0Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk 2 Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1 Apnea atau obstruksi 0Sirkulasi Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2 Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1 Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0Kesadaran Sadar, siaga, dan orientasi 2 Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1 Tidak berespons 0Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1 Tidak bergerak 0Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.b. Steward score (anak-anak)Pergerakan Gerak bertujuan 2 Gerak tak bertujuan 1 Tidak bergerak 0Pernapasan Batuk, menangis 2 Pertahankan jalan napas 1 Perlu bantuan 0Kesadaran Menangis 2 Bereaksi terhadap rangsangan 1 Tidak bereaksi 0Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

F. Kontraindikasi Anestesi UmumAdapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:1. Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).2. Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death on the table) meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi relatif ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa diberikan anestesi umum.

BAB VIKESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tonsilektomi pada penderita Laki-laki, usia 35 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis tonsilitis kronik yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no. 30 respirasi spontan.Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2009. Cardiopulmonary Resuscitaion. Diakses dari http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479.

American Heart Association. 2010. Highlights of the 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC.

Dachlan, R., dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dar, A.B. 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. India: Associate Prof of Medicine.

Latief, S.A. & Suryadi. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Omuigui. 1995. The Anaesthesia Drugs Handbook 2nd Ed. Mosby year Book Inc.