tbr ajeng ap (g1a210009)

41
TEXT BOOK REVIEW GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT Diajukan kepada : dr. Muttaqien Pramudigdo, SpS Disusun oleh : Ajeng Agustin Primastiwi G1A210009 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 1

Upload: camelia-aja

Post on 25-Jul-2015

122 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

TEXT BOOK REVIEW

GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT

Diajukan kepada :

dr. Muttaqien Pramudigdo, SpS

Disusun oleh :

Ajeng Agustin Primastiwi

G1A210009

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2011

1

Page 2: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK REVIEW

GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT

Diajukan untuk memenuhi syarat

mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof.dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal Februari 2011

Disusun oleh :

Ajeng Agustin Primastiwi G1A210009

Purwokerto, Februari 2011

Dosen Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, SpS

2

Page 3: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan

Text Book Review ini. Topik yang menjadi bahasan utama adalah mengenai

“Gangguan Tidur pada Usia Lanjut”.

Text Book Review ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam

mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. dr.

Margono Soekarjo Purwokerto. Selain itu, Text Book Review ini disusun sebagai

salah satu kajian ilmu khususnya tentang gangguan tidur pada usia lanjut yang

merupakan salah satu gangguan yang banyak dikeluhkan oleh pasien usia lanjut.

Text Book Review ini diharapkan berguna bagi pembaca terutama bagi para dokter

muda yang sedang menempuh pendidikan kepaniteraan klinik.

Penyusun mengucapkan teima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu kelancaran penyusunan Text Book Review ini, terutama kepada :

1. dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S sebagai dosen pembimbing dalam

penyusunan Text Book Review ini.

2. Teman-teman dokter muda yang telah membantu penyusunan Text Book

Review ini.

Penyusun menyadari Text Book Review ini masih belum sempurna, untuk

itu kritik dan saran yang membangun demi perbaikan Text Book Review ini.

Semoga Text Book Review ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Purwokerto, Februari 2011

Penyusun

3

Page 4: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................…………………ii

KATA PENGANTAR....................................................................……...………iii

DAFTAR ISI .............................................................................………………....iv

DAFTAR GAMBAR......................................................................................……v

DAFTAR TABEL ....................................................................................………vi

BAB I : PENDAHULUAN.........................................................…………………1

1.1 Latar Belakang..........................................................………………..........1

1.2 Tujuan Penulisan......................................................………………...........2

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA.............................................………………....3

2.1 Definisi.......................................................................................................3

2.2 Anatomi dan Fisiologi .................................................................................3

2.3 Klasifikasi Gangguan Tidur ........................................................................8

2.4 Etiologi.........................................................................................................9

2.5 Patofisiologi...............................................................................................10

2.6 Pemeriksaan Klinik....................................................................................17

2.7 Penatalaksanaan.........................................................................................19

BAB III : KESIMPULAN.....................................................……………….....22

DAFTAR PUSTAKA..........................................................……………….........23

4

Page 5: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tidur dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang

penting, seperti halnya makan dan minum. Tidur merupakan proses aktif

dari aktivitas susunan saraf pusat yang berperan sebagai alarm biologis.

Kebutuhan tidur bagi manusia berfungsi untuk memfasilitasi proses

anabolik (restorative theory), regulasi suhu tubuh, kekebalan tubuh,

konservasi energi, adaptasi untuk kelangsungan hidup (protective

behaviour), mengeliminasi toksin-toksin yang masuk saat bangun,

promotif dan plastisitas sinaptik neuronal serta memfasilitasi neuronal

secara keseluruhan.

Tidur yang lelap tanpa gangguan dan nyenyak menjadi kebutuhan

manusia yang esensial. Gangguan tidur pada malam hari (insomnia) akan

menyebabkan rasa mengantuk sepanjang hari esoknya. Mengantuk

merupakan faktor risiko terjadinya kecelakaan, jatuh, penurunan stamina,

dan secara ekonomi dapat menurunkan produktivitas seseorang. Pada usia

lanjut, gangguan tidur di malam hari akan mengakibatkan banyak hal lain

seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal-hal lain yang dapat terjadi

adalah ketidakbahagiaan, dicekam kesepian, dan mengakibatkan penyakit-

penyakit degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut,

perburukan, dan menjadi tidak terkontrol. Selain itu, akan menimbulkan

problem sosial lain terhadap lingkungan, terutama terhadap keluarganya.

Setiap tahun di dunia diperkirakan 20-70 % pasien dilaporkan

mengalami gangguan tidur dan 17 % didiagnosis mengalami gangguan

tidur yang serius. Prevalensi tersebut meningkat jumlahnya pada pasien

usia lanjut yaitu mencapai 67 %. Akan tetapi prevalensi pada orang

dewasa hanya sebesar 20 %. Kecilnya angka tersebut karena sebagian

besar orang menganggap gangguan tidur bukanlah penyakit.

5

Page 6: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

1.2.Tujuan Penulisan

a. Memperoleh informasilebih lanjut mengenai gangguan tidur

b. Mampu melakukan diagnosis dan tindakan yang tepat pada kasus

gangguan tidur.

c. Memenuhi syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di

bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto

6

Page 7: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Definisi

Tidur adalah derajat kesadaran yang menunjukkan daya bereaksi di

bawah derajat awas waspada.1 Pada referensi lainnya disebutkan bahwa

tidur adalah status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak

yang khas dan sensitivitas reversibel yang menurun tetapi tetap siaga

terhadap rangsang dari luar. 2

II.2. Anatomi dan Fisiologi

Tidur merupakan keadaan fisiologis yang ditentukan oleh aktivitas

sinkronisasi bagian ventral substansia retikularis medula oblongata. Pada

binatang, stimulasi halus di bagian ventral substansia retikularis bagian

kaudal medulla oblongata akan menidurkan hewan tersebut. Oleh karena

itu, substansia retikularis disebut sebagai pusat tidur. Proses yang

mendasari mekanisme tidur tidak hanya aktivitas yang bersumber pada

pusat tidur saja tetapi juga proses aktif sistem saraf yang sangat komplek

yang berlokasi terutama di hipotalamus, batang otak, dan thalamus. 3

Gambar 2.1. Formatio retikularis.

7

Page 8: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Aktivitas kortikal yang dapat direkam dalam keadaan tidur

memperlihatkan sinkronisasi yang jelas. Irama yang sinkron dengan rotasi

bola dunia disebut irama sirkadian Pola siklus tidur dan bangun (irama

sirkadian) adalah siklus bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan

tidur sepanjang malam saat gelap. Oleh karena itu, yang menjadi faktor

kunci adalah perubahan gelap terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk

melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut

nucleus supra chiasmatic (NSC) yang akan mengeluarkan

neurotransmitter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon

pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormon (GH), dan lain-lain

yang berperan untuk bangun dan tidur. 4

Gambar 2.2. Nucleus suprachiasmatic.

NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan

tidur. Apabila pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan

hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol, dan

GH sehingga orang terbangun. Apabila malam tiba, NSC merangsang

pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur.

Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal (suatu

bagian kecil di otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan

8

Page 9: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

ke dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta

penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah

mulai meningkat pada pukul 21.00 dan terus meningkat sepanjang malam

dan menghilang pada pukul 09.00 4,5.

Para ahli mengelompokkan gelombang otak secara umum beserta

kondisi yang memunculkan masing-masing gelombang yaitu sebagai

berikut 6 :

a. Beta

Beta adalah gelombang otak yang frekuensinya paling tinggi yaitu

14-40 getaran per detik. Gelombang ini muncul terutama dalam proses

berpikir secara sadar. Gelombang beta digunakan untuk berpikir,

berinteraksi, dan menjalani kehidupan sehari-hari.

b. Alfa

Alfa memiliki gelombang yang frekuensinya sekitar 8-12 Hz. Alfa

berhubungan dengan kondisi pikiran yang rileks dan santai.

Gelombang alfa bermanfaat sebagai jembatan penghubung antara

pikiran sadar dan bawah sadar sehingga kita dapat merasakan

keberadaan mimpi.

c. Teta

Teta adalah gelombang dengan kisaran 4-8 Hz yang dihasilkan

oleh pikiran bawah sadar (subconcious minds). Teta muncul saat kita

bermimpi dan saat terjadi fase REM. Pada beberapa referensi lainnya

menyatakan bahwa gelombang alfa dan teta merupakan gelombang

yang menyertai proses penggapaian khusyuk dalam ibadah seseorang.

d. Delta

Delta adalah gelombang otak paling lambat yaitu pada kisaran

frekuensi 0,1-4 Hz. Pada saat kita tertidur lelap, otak secara dominan

menghasilkan gelombang delta agar manusia dapat beristirahat dan

memulihkan kondisi fisik.

9

Page 10: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Gambar 2.3. Gelombang otak.

Siklus tidur terbagi menjadi dua status primer yaitu Rapid Eye

Movement (REM) dan non REM. Status non REM ditandai dengan

mekanisme serotogenik dan relatif inaktif terhadap regulasi otak aktif

dalam gerakan tubuh. Konsekuensi apabila fase non REM tidak cukup

maka keadaan fisik menjadi kurang gesit. Fase non REM terbagi menjadi

empat stadium yaitu 3,4 :

a. Stadium 1

Saat transisi antara bangun penuh dan tidur. Tidur ringan, keadaan

mengantuk, reaksi terhadap rangsangan melambat, tetapi masih mudah

terbangun. Kondisi seseorang yang baru saja terlena, seluruh otot

menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata dan bola mata yang

terkadang bergerak bolak balik. Pernafasan menjadi ireguler. Keadaan

ini berlangsung sekitar 30 detik sampai 7 menit dengan karakteristik

gelombang otak low voltage pada pemeriksaan

electroencephalography (EEG). 3,4

b. Stadium 2

Stadium ini ditandai dengan kedua bola mata yang berhenti bergerak

tetapi tonus otot tetap terjaga. Selain itu, aktivitas otot dagu lambat,

gerakan badan menurun, pernafasan dan detak jantung menjadi teratur

dan suhu tubuh mulai turun. Stadium 2 disebut sebagai onset tidur

10

Page 11: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

yang sebenarnya (first true sleep state) dan meliputi 50 % dari waktu

tidur keseluruhan. Pada pemeriksaan dengan EEG nampak adanya

gelombang low voltage pada EEG. Perbedaan dengan stadium I adalah

adanya gelombang high voltage yang disebut sleep spindles dan K

complexes. 3,4

c. Stadium 3 dan 4

Stadium ini sering disebut tidur yang dalam atau delta sleep. Stadium

ini ditandai oleh imobilitas, keadaan yang lebih sulit untuk

dibangunkan, fisik lemah lunglai karena tonus otot sangat rendah, bola

mata berhenti bergerak, tekanan darah dan temperatur tubuh turun,

pernafasan yang lambat dan teratur, suplai darah ke otot yang

meningkat, adanya perbaikan jaringan, dan dapat timbul dengkuran

(biasanya parasomnia terjadi pada tahap ini). Stadium ini merupakan

10 % dari total waktu tidur pada orang dewasa. Pada pemeriksaan EEG

menunjukkan gelombang yang lambat dengan amplitudo tinggi. 3,4

Gambar 2.4 Gelombang tidur. Sumber:www.sleepsync.com

Rapid Eye Movement (REM) ditandai oleh 3,4:

a. Tonus otot yang kembali meningkat terutama otot-otot rahang bawah.

b. Bola mata kembali bergerak dengan kecepatan lebih tinggi. Hal ini

merupakan tahap paradoxal sleep yang biasanya muncul mimpi.

c. Aktivitas otak yang sangat tinggi dalam kondisi tubuh yang tidak

bergerak.

d. Adanya peningkatan penggunaan energi oleh otak.

11

Page 12: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

e. Adanya aktivitas simpatis yang intens meliputi irama jantung dan

nafas meningkat, vasokontriksi perifer, dan tekanan darah sistemik

meningkat.

f. Seringkali sulit dibangunkan dengan stimulus sensoris.

g. Biasanya orang terbangun secara spontan di pagi hari dalam episode

REM sleep.

Konsekuensi apabila stadium REM tidak mencukupi adalah

kecederungan untuk menjadi hiperaktif pada esok harinya, kurang dapat

mengendalikan emosi, nafsu makan dan nafsu birahi yang meningkat.

Masa laten REM yang pendek terlihat pada orang yang depresi dan

narkolepsi. 3

Dua puluh lima persen waktu tidur dihabiskan pada status REM

dan 75 % pada status non REM. Pada orang muda yang sehat, waktu yang

dibutuhkan dari stadium 1 sampai 3 hanya 30-45 menit. Stadium 4

berlangsung sekitar 70-120 menit. Selama watu tidur, dapat terjadi

stadium REM dan non REM secara bergantian sebanyak 4-6 kali. Pada

tidur yang normal cenderung terdapat perubahan stadium dari tidur yang

dalam menuju tidur yang ringan. Empat jam pertama tidur terdiri dari

pengulangan status non REM dan kebanyakan berada pada stadium 3 dan

4, sedangkan empat jam kedua lebih banyak terjadi pengulangan pada

stadium 1 dan 2 serta status REM. Pada sepertiga malam lebih banyak

muncul sleep wave sleep sedangkan pada separuh malam lebih banyak

muncul REM sleep. REM latency terjadi 90 menit setelah onset tidur. 3,5.

II. 3. Klasifikasi Gangguan Tidur

Gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi kesulitan

masuk tidur (sleep onset problems), kesulitan mempertahankan tidur

nyenyak (deep maintenance problems), dan bangun terlalu pagi (early

morning awakening). Gejala dan tanda yang muncul sering kombinasi

ketiganya, munculnya ada yang sementara atau kronik. 5

12

Page 13: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Secara internasional, insomnia masuk dalam dua diagnostik yaitu

International Code of Diagnostic (ICD) 10 dan Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorder (DSM) IV. 5

Pada ICD 10 insomnia dibagi menjadi dua yaitu organik dan non

organik. Untuk yang non organik dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu

dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas, dan waktu tidur) dan

parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti

mimpi buruk, berjalan sambil tidur, dll). Pada ICD 10 tidak dibedakan

antara insomnia primer atau sekunder akibat penyakit atau kondisi

abnormal lain. Insomnia yang dimaksud adalah insomnia kronik yang

sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan

fungsi dan sosial. 3,5

Pada DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi empat

tipe yaitu gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain,

gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum, gangguan

tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu, dan

gangguan tidur primer (gangguan tidur yang tidak berhubungan sama

sekali dengan kondisi mental, penyakit, atau obat-obatan). Pengertian

gangguan tidur primer mirip dengan insomnia non organik pada ICD 10

yaitu gangguan tidur menetap dan diderita minimal satu bulan. 3,5

II. 4. Etiologi

Sampai saat ini, berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyebab

gangguan tidur pada usia lanjut merupakan gabungan banyak faktor, baik

fisik, maupun psikologis, yang di antaranya adalah sebagai berikut 5,7:

a. Perubahan-perubahan irama sirkadian

b. Gangguan tidur primer (sleep disordered breathing, periodic leg

movements in sleep, rapid eye movement behaviour disorder).

c. Penyakit-penyakit fisik (hipertiroid, arthritis)

d. Pengobatan polifarmasi, alkohol, kafein

e. Demensia

13

Page 14: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

f. Kebiasaan higiene tidur yang kurang baik.

II. 5. Patofisiologi

Penyakit-penyakit saraf sering menyebabkan gangguan tidur di

malam hari yang berakibat terganggunya fungsi harian, sebagai contoh

insomnia, gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan pernafasan,

dan gangguan pada stadium REM. Pola gangguan tidur pada penyakit-

penyakit saraf dapat terjadi melalui beberapa mekanisme di antaranya lesi

di area yang mengontrol tidur, lesi atau penyakit yang menimbulkan nyeri,

kelumpuhan, dan mobilitas yang jelek (disebabkan oleh tremor, rigiditas,

distonia atau gangguan motorik lainnya). 8

Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk

tidur (berbaring lama di tempat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai

lebih sedikit atau lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Pada usia lanjut

juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi

kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Pada irama sirkadian

yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan

temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH

meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu

malam. Pada usia lanjut, eksresi kortisol dan GH serta perubahan

temperatur tubuh berfluktualisasi dan kurang menonjol. Melatonin,

hormon yang dieksresikan pada malam hari dan berhubungan dengan

tidur, menurun dengan adanya peningkatan umur. 5

14

Page 15: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Tabel 2.1. Keluhan Subjektif dan Objektif pada Usia Lanjut

Subyektif Objektif

Menghabiskan terlalu banyak waktu di

tempat tidur.

Penurunan tidur stadium 3 dan 4 (delta

sleep).

Menghabiskan lebih sedikit waktu

untuk dapat tidur nyenyak.

Penurunan tidur REM.

Jumlah terbangun meningkat. Peningkatan nyata dalam jumlah

terbangun.

Memerlukan waktu lebih banyak untuk

dapat tidur.

Frekuensi gangguan tidur meningkat.

Kepuasan tidur meningkat. Efisiensi tidur menurun

Keletihan sepanjang hari. Rasa mengantuk di siang hari secara

nyata.

Lebih sering dan lebih lama

menghabiskan waktu untuk istirahat.

Jumlah istirahat meningkat.

Sumber : Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat,

juga bergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Apabila

pada siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, maka pada malam hari

tidak ada gangguan dalam tidurnya. Sebaliknya, apabila pada siang hari

tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur. 5,9

Gangguan tidur yang akan dijelaskan di sini antara lain 5:

a. Gangguan Tidur Primer

1) Gangguan tidur karena gangguan pernafasan (sleep disorder

breathing)

2) Sindrom kaki kurang tenang (restless legg syndrome) dan

gangguan gerakan tungkai periodik (periodic limb movement

disorder).

15

Page 16: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

3) Gangguan perilaku REM (REM behavior disorder)

b. Gangguan Tidur karena Gangguan Irama Sirkadian

a. Gangguan Tidur Primer

1) Gangguan Tidur karena Gangguan Pernafasan (Sleep Disorder

Breathing)

Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok waktu tidur dan

mengantuk hebat pada siang hari. Gangguan tidur karena gangguan

pernafasan dibagi menjadi tiga yaitu sindrom tahanan saluran napas

atas (upper airway resistance syndrome), henti nafas karena obstruksi

(obstructive sleep apneu), dan sindrom hipoventilasi karena obesitas

(obesity hipoventilation syndrome). 5,10

Pada referensi lainnya, gangguan tidur karena gangguan pernafasan

sering disebut sleep apnea atau hypopnea syndrome. Ada tiga tipe

gangguan yaitu henti napas karena obstruksi akibat oklusi sebagian

atau total saluran pernafasan atas, henti napas karena proses sentral

(central sleep apnea) akibat gangguan rangsang bernafas dari pusat

pernafasan di medula oblongata sehingga terjadi penurunan

kemampuan atau tonus pernafasan, dan tipe campuran keduanya. 5,10

Gangguan tidur karena gangguan pernafasan merupakan interaksi

komplek dari sistem saraf pusat dan perifer, otot-otot saluran

pernafasan atas dan beberapa neurotransmitter yang menghasilkan

kolaps sebagian atau seluruh lubang pernafasan atas (faring) sehingga

menyebabkan obstruksi jalan napas dan hipoksia. Faktor dasar seperti

anatomi saluran pernafasan atas (hipertrofi tonsil), obstruksi hidung,

distribusi dan pengumpulan lemak tubuh, dan tonus otot pernafasan

atas, mungkin memegang peranan pada berat ringannya gangguan

tidur karena gangguan pernafasan, baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama. Data terbaru menunjukkan adanya cacat primer

anatomi faring, yang kecil dan mudah kolaps, dikombinasikan dengan

16

Page 17: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

lemahnya otot saluran napas atas pada pasien gangguan tidur karena

gangguan pernafasan. 5

Gambar 2.5. Obstructive Sleep Apnea.

Faktor risiko terjadinya gangguan tidur karena gangguan

pernafasan antara lain obesitas, jenis kelamin laki-laki, ras (lebih

banyak kulit hitam), usia lanjut, depresi sistem saraf pusat (alkohol,

obat-obat sedatif), penyempitan saluran pernafasan atas (micrognathia,

retrognathia), hipertensi, penyekit jantung, stroke, hipotiroid,

akromegali, keturunan, penyakit paru obstruktif, penyakit degeratif

saraf seperti sindrom shy-dragger, dan penyakit-penyakit penyebab

kejang. 5,7.

Gambaran klinis pasien gangguan tidur karena gangguan

pernafasan adalah pada saat tidur terdapat mengorok sangat keras,

tersedak dan batuk-batuk, henti napas beberapa detik, dan gerakan-

gerakan seperti orang kehabisan nafas. Gambaran tersebut biasanya

dilaporkan oleh teman tidurnya sedangkan pasien sendiri mengeluh

sering terbangun tanpa sebab, nokturia, dan merasa tidak tidur

semalaman. Pada pagi hari sering mengeluh nyeri kepala, kepala terasa

ringan, dan mengantuk terus. Apabila hal tersebut berlangsung terus

menerus maka dapat muncul gangguan kognitif, penurunan intelektual,

perubahan perilaku dan kepribadian, depresi, dan penurunan gairah

seksual. 5

17

Page 18: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

2) Sindrom kaki kurang tenang (restless leg syndrome) dan gangguan

gerakan tungkai periodik (periodic limb movement disorder).

Sindrom ini ditandai oleh rasa tidak enak yang berlebihan terutama

pada kaki selama malam saat pasien beristirahat. Hal ini adalah bentuk

dari akathisia atau sering disebut perasaan seperti dikelilingi semut

atau hewan kecil. Perasaan ini menyebabkan pasien menggerakkan

kakinya atau bangun pagi untuk berjalan berkeliling untuk

menghilangkan rasa tidak enak ini. Oleh karena itu, gangguan ini

menyebabkan usia lanjut sulit tidur atau terbangun berkali-kali. 7,10

Gangguan gerakan tungkai yang periodik mungkin menyertai

sindrom kaki kurang tenang atau berdiri sendiri. Gangguan ini ditandai

dengan munculnya episode gerakan yang sama dan berulang, biasanya

terjadi pada kaki tapi terkadang juga dapat muncul pada tangan.

Biasanya pasangan tidur pasien melaporkan ada episode gerakan

menendang yang muncul selama 20-40 detik saat tidur dan muncul

berulang-ulang. Gerakan ini sebagian besar tidak membangunkan

pasien meskipun pasien melakukan 100 tendangan semalam. Hanya

tendangan dengan frekuensi dan intensitas tinggi yang dapat

membangunkan pasien. Pasien sering mengeluhkan rasa lelah yang

berlebihan saat bangun tidur, tidur tidak nyenyak, dan sebagian

berakibat ngantuk sepanjang hari. 5,10

Patofisiologi terjadinya sindrom tersebut belum diketahui dengan

jelas. Hipotesis terbaru mengatakan mungkin disfungsi sistem dopamin

dan opiat di saraf pusat yang mendasari kelainan ini. Hipotesis tersebut

dibuat kerena melihat efek terapi agonis dopamin dan opiat yang

efektif mengobati kedua gangguan tidur ini. Faktor risiko kedua

kelainan ini adalah usia lanjut, gagal ginjal, defisiensi besi (kadar

feritin serum < 50 ng/ml), dan polineuropati perifer. 5,7

18

Page 19: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Diagnosis kedua kelainan ini dibuat berdasarkan gejala klinik

seperti tersebut di atas dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan

elektromielografi (EMG) di laboratorium tidur. 5

Terapi konservatif dengan merendam kaki dan tungkai atas dengan

air hangat serta olahraga ringan (jalan kaki) yang dilakukan secara

teratur dapat membantu menghilangkan gejala kedua gangguan tidur

tersebut. Apabila belum berhasil dapat digunakan obat anti parkinson

yaitu karbidopa-levodopa (formula 25-100 mg) dengan dosis awal satu

kali setengah tablet saat akan tidur. Dosis dapat ditingkatkan menjadi

satu tablet tiap 3-4 hari apabila keadaan belum membaik. 5,9.

3) Gangguan perilaku REM (REM behavior disorder)

Gangguan perilaku REM ini sangat jarang tetapi dapat terjadi pada

usia lanjut. Proses yang mendasari kejadian ini biasanya adalah adanya

disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Gangguan ini

sering muncul pada tengah malam saat REM terjadi. Bentuk gangguan

dapat bervariasi seperti mengigau, bicara sambil tidur, berjalan, bahkan

makan sambil tidur. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat

tidur sehingga terjadi perlukaan. 5

Patofisiologi terjadinya gangguan perilaku REM sampai saat ini

tidak diketahui. Beberapa laporan menunjukkan ada hubungan

kejadian gangguan perilaku REM akut dengan penggunaan obat-

obatan antidepresi seperti antidepresi trisiklik, fluoksetin, inhibitor

monoamin oksidase, dan kecanduan alkohol atau sedatif. Gangguan

perilaku REM kronik dihubungkan dengan narkolepsi dan beberapa

penyakit neurodegeneratif idiopatik seperti demensia dan penyakit

parkinson. 5,10

Diagnosis dibuat berdasarkan penilaian lengkap terutama riwayat

tidur. Oleh karena pasien tidak menyadari apa yang dilakukannya

sambil tidur, maka anamnesis lengkap dilakukan terhadap keluarga

atau teman tidurnya. Anamnesis mengenai apa yang dirasakan saat

19

Page 20: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

tidurnya, mimpinya, dan perasaannya saat bangun tidur. Pemeriksaan

dengan polisomnogram dan rekaman video tiap malam di laboratorium

tidur perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis gangguan perilaku

REM. 7,10

Obat golongan benzodiazepin kerja lama seperti klonazepam yang

diberikan sekali sehari saat akan tidur biasanya mampu mengontrol

gejala gangguan ini. Namun, apabila obat dihentikan biasanya gejala

akan muncul kembali. Selain itu, untuk mencegah terjadinya perlukaan

pada pasien dan teman tidurnya, perlu datur kamar tidurnya. Usahakan

tidak ada benda-benda tajam di kamar, tempat tidur sebaiknya rendah,

jendela sebaiknya dipasang teralis besi dan pintu kamar selalu dikunci

untuk mencegah pasien berjalan keluar rumah saat tidur. 9

b. Gangguan Tidur karena Gangguan Irama Sirkadian

Irama sirkadian tidur diatur oleh proses endogen berupa pengaturan

temperatur badan dan pengeluaran hormon-hormon kortisol, hormon

pertumbuhan, dan melatonin yang dipicu oleh nucleus supra

chiasmaticus dan proses eksogen berupa perubahan gelap terang. Pada

usia lanjut terdapat perubahan gangguan tidur akibat gangguan irama

sirkadian ini. Kelainan tersebut antara lain 5 :

1) Ketidaksinkronan respons proses endogen terhadap rangsang

eksogen dimana terjadi penurunan respons endogen terhadap

perubahan siang dan malam, sehingga dapat terjadi bangun tidak

beraturan lagi.

2) Sindrom fase tidur lebih cepat. Pada sindrom ini periode atau siklus

bangun tidur lebih cepat atau maju dibandingkan usia dewasa

muda. Usia lanjut sudah tidur lebih sore sehingga bangun lebih dini

hari. Gangguan terletak pada pengaturan temperatur badan yaitu

temperatur badan sudah turun pada pukul 18.00-19.00 dan sudah

meningkat pada pukul 02.00-03.00 dini hari.

20

Page 21: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Diagnosis kelainan ini dapat ditentukan dengan membuat buku

catatan harian tidur dari pasien. Selain untuk diagnosis, catatan harian

tersebut untuk menilai irama sirkadian tidur pasien. Catatan harian ini

minimal harus dibuat selama dua minggu berturut-turut sebelum dpat

dipakai sebagai penilaian siklus tidur pasien. 5

Pada gangguan irama sirkadian, perlu dijelaskan pada pasien bahwa

gangguan tidur ini bukan penyakit sehingga tidak memerlukan

pengobatan khusus, hanya perlu pengaturan waktu masuk tidurnya

untuk tidak terlalu dini dengan melakukan kegiatan atau kesibukan

pada petang hari dan baru masuk tidur pada jam yang sama dengan

keluarga lain. Apabila tetap tidak dapat mengatasi, diberikan terapi

lampu terang pada saat seharusnya pasien masih bangun di pagi hari

dan petang hari serta lampu dipadamkan atau gelap pada saat malam

hari. 5,10

II. 6. Pemeriksaan Klinik

a. Laboratorium klinik

Pemeriksaan yang dibutuhkan berdasarkan indikasi individual

untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan blood gas analyzes

dibutuhkan apabila terdapat tanda-tanda hipoksia yang jelas, terutama

pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik. 5

b. Pemeriksaan di Laboratorium Tidur

Pemeriksaan yang dilakukan selama tidur dengan alat

polisomnogram dapat memberikan informasi yang akurat mengenai

pola tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita

obstructive sleep apnea (OSA) atau central sleep apnea (CSA). 5,10

Pemeriksaan di laboratorium tidur ini juga diperlukan untuk

menghitung apneu-hipopneu index (AHI), yaitu menghitung jumlah

total episode apnea dan hipopnea dibagi lama tidur. Apabila AHI > 5

kali episode per jam maka diagnosis obstructive sleep apnea dapat

ditegakkan. 5

21

Page 22: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah multiple sleep latency test

(MSLT), yang dilakukan untuk pasien dengan keluhan mengantuk

terus sepanjang hari dengan riwayat gangguan tidur karena gangguan

pernafasan yang tidak jelas. MSLT yang dilakukan dengan alat

polisomnogram digunakan untuk menguji ukuran periode laten (waktu

atau kecepatan) dari saat bangun sampai tertidur. Uji dilakukan

berulang kali pada siang hari sesuai jadwal yang telah ditentukan. Uji

ini juga mencatat munculnya stadium Rapid Eye Movement (REM).

Adanya dua atau lebih stadium REM saat uji dilakukan, menunjukkan

pasien dalam kondisi narcolepsy, yaitu gangguan tidur yang ditandai

dengan empat gejala : serangan mendadak tidur, katalepsi, paralisis

sementara, dan halusinasi. MSLT dapat membantu diagnosis

hipersomia primer. 5,10

Tabel 2.2. Perbedaan Polisomnografi dan Multiple Sleep Latency Test

Pemeriksaan mirip MSLT yang disebut repeated test of sustained

wakefulness (RTSW) juga mengukur periode laten tetapi dengan

perintah agar pasien mempertahankan tetap terbangun selama uji

dilakukan dan pasien ditempatkan di ruang tenang dengan lampu

temaram. 5

22

Page 23: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

c. Pemeriksaan Pencitraan

Pemeriksaan ini hanya dilakukan dalam penelitian atau untuk

persiapan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini meliputi refleksi akustik

yang digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas,

somnofluoroskopi digunakan untuk melihat kolapsnya faring dan

penyempitan maksimal jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologi

sefalometri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial, CT scan

jalan napas atas diperlukan apabila terdapat tanda-tanda tumor di

nasofaring atau orofaring posterior, magnetic resonance imaging

pemeriksaan yang menghasilkan resolusi bagus dari jalan napas,

jaringan lunak, dan deposit lemak di leher. 5,10

II. 7. Penatalaksanaan

Banyaknya penyebab gangguan tidur pada usia lanjut maka

penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut harus dilakukan secara

individual dengan meneliti dan menilai gejala dan tanda yang ada pada

tiap pasien. Beberapa hal dapat diterapkan secara umum pada semua jenis

gangguan tidur pada usia lanjut yaitu edukasi tidur, mengubah gaya hidup,

psikoterapi, dan medikamentosa. 5,9

Edukasi tidur diberikan baik kepada pasien maupun keluarga atau

care giver. Edukasi tersebut meliputi 10 :

a. Tunggu sampai terasa sangat mengantuk sebelum naik ke tempat tidur.

b. Apabila dalam 20 menit berbaring belum dapat tidur, maka lebih baik

bangun lagi, lakukan kegiatan lagi dengan tenang dan lakukan

relaksasi. Apabila mengantuk baru kembali ke tempat tidur.

c. Hindarkan penggunaan kamar tidur untuk bekerja, membaca, atau

menonton televisi.

d. Bangun tidur pagi hari pada jam yang sama, tidak peduli sudah berapa

lama ia tidur.

e. Hindarkan minum kopi atau merokok.

f. Lakukan olahraga ringan setiap pagi setelah bangun tidur.

23

Page 24: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

g. Kurangi tidur siang, lakukan kegiatan atau hobi yang menyenangkan.

h. Kurangi jumlah minum setelah makan malam.

i. Hindari minum alkohol.

j. Pelajari teknik relaksasi dan lakukan meditasi.

k. Hindarkan gerakan badan berlebihan saat di tempat tidur.

l. Berdoa sebelum tidur.

m. Mengubah gaya hidup, diperlukan untuk memperbaiki faktor fisik dan

psikis yang mendasari terjadinya gangguan tidur pada usia lanjut.

Perubahan tersebut meliputi :

1) Usaha menurunkan berat badan dengan memperbaiki pola makan

pada pasien gangguan tidur karena gangguan pernafasan.

2) Menghindari perjalanan jauh atau bekerja sampai malam hari agar

tidak terjadi jet lag.

3) Menghindari membaca atau menonton atau mendengarkan cerita-

cerita yang menakutkan atau sangat menyedihkan.

4) Apabila memungkinkan, buat suasana lingkungan rumah bersih

dan menyenangkan.

5) Perbaiki hubungan antar anggota keluarga, tumbuhkan suasana

aman dan penuh kasih antar sesama penghuni rumah.

6) Lakukan aktivitas fisik, jangan duduk diam sepanjang hari.

Psikoterapi perlu diberikan pada pasien gangguan tidur yang

disebabkan oleh ansietas dan depresi. Selain psikoterapi dari seorang

psikolog, dibutuhkan juga psikoterapi berupa dukungan dan penghiburan

yang sebaiknya dilakukan oleh anak atau cucu pasien. 7,10

Terapi medikamentosa diberikan sesuai dengan penyebab yang

mendasari terjadinya gangguan tidur dan jenis gangguan tidur yang terjadi.

Obat-obat transkuiliser minor seperti golongan benzodiazepin dapat

diberikan pasien insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu

yang tidak lama. Terapi terhadap penyakit penyerta yang diderita usia

lanjut harus dilakukan dengan megnhidarkan sebisa mungkin obat-obatan

24

Page 25: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Melatonin yang sedang marak

dipakai sebagai obat tidur, sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang

memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut. 5,7.

KESIMPULAN

Tidur adalah derajat kesadaran yang menunjukkan daya bereaksi di bawah

derajat awas waspada atau status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak

25

Page 26: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

bergerak yag khas dan sensitivitas reversibel yang menurun tetapi tetap siaga

terhadap rangsang dari luar.

Tidur secara fisiologis mempunyai tahapan tidur yaitu Rapid Eye

Movement (REM) dan non Rapid Eye Movement (non REM). Fase non Rapid Eye

Movement terdiri dari empat stadium.

Macam-macam gangguan tidur yang dapat menyerang pasien usia lanjut

antara lain gangguan tidur primer dan gangguan tidur karena gangguan irama

sirkadian. Gangguan tidur primer terdiri dari gangguan tidur karena gangguan

pernafasan, sindrom kaki kurang tenang dan gerakan tungkai periodik, serta

gangguan perilaku REM.

Manajemen terapi yang tepat dapat mengatasi gangguan tidur pada pasien

usia lanjut. Terapi yang dilakukan sebaiknya juga mendapat dukungan dari

keluarga pasien.

DAFTAR PUSTAKA

26

Page 27: Tbr Ajeng AP (g1a210009)

1. Marjono M dan Sidharta P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian

Rakyat.

2. Dorland. 2006. Kamus Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

3. Pinel JPJ. 2009. Biopsikologi Edisi 7. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2005. Buku Ajar

Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

5. Rahayu RA. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.

Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

6. Ancoli AL. 2006. The Diagnosis and Treatment of Sleep Disorder in

Older Adults.American Journal Geriatri Psychiatry. Diakses pada 12

Februari 2011.

7. Rechschaffen A. 2007. Improving Sleep Management in The Elderly.

Annals of Long Term Care : Clinical Care and Aging.

8. Jennum JP. 2007. Report of EFNS Task Force on Management of Sleep

Disorder in Neurologic Disease. European Journal of Neurology.

9. Montgomery P dan Lily J. 2006. Insomnia in The Elderly. British Medical

Journal.

10. Roepke SK dan Ancoli S. 2008. Sleep Disorders in The Elderly. British

Medical Journal.

27