tb peritoneal

14
Penyakit Tuberkulosis Peritoneal Avena Athalia Alim 102011031 [email protected] FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA Kampus II Ukrida Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 Pendahuluan Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau viseral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, dan biasanya merupakan kelanjutan dari proses tuberkulosis di tempat lain. Penyakit tuberkulosa sendiri paling sering menyerang organ paru, namun ada beberapa kasus yang melibatkan organ gastrointestinal. 1 Penyakit ini juga masih sering dijumpai di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Untuk negara Amerika dan negara barat lainnya ada kecenderungan meningkat oleh karena jumlah pasien AIDS dan imigran yang meningkat. Tuberkulosis peritoneal sering tidak terdiagnosis atau terlambat ditegakkan, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Penyakit ini mempunyai gejala dan keluhan yang menyerupai penyakit yang lain seperti sirosis hati atau 1

Upload: avenaathalia

Post on 16-Sep-2015

19 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Makalah mengenai TB peritoneal

TRANSCRIPT

Albino Pada Manusia

Penyakit Tuberkulosis PeritonealAvena Athalia [email protected] KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANAKampus II Ukrida Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau viseral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, dan biasanya merupakan kelanjutan dari proses tuberkulosis di tempat lain. Penyakit tuberkulosa sendiri paling sering menyerang organ paru, namun ada beberapa kasus yang melibatkan organ gastrointestinal.1Penyakit ini juga masih sering dijumpai di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Untuk negara Amerika dan negara barat lainnya ada kecenderungan meningkat oleh karena jumlah pasien AIDS dan imigran yang meningkat. Tuberkulosis peritoneal sering tidak terdiagnosis atau terlambat ditegakkan, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Penyakit ini mempunyai gejala dan keluhan yang menyerupai penyakit yang lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.1,2Anamnesis

Pada anamnesis, selain data-data pribadi seperti jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan keluhan utama, perlu ditanyakan riwayat penyakit dulu dan sekarang. Riwayat penyakit dulu meliputi pertanyaan yang menanyakan apakah pasien dulu pernah mengalami penyakit-penyakit tertentu yang memungkinkan adanya hubungan dengan penyakit yang dialami sekarang. Sedangkan riwayat penyakit sekarang biasanya merupakan cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.3,4Berdasarkan hasil anamnesis, pada kasus ditemukan :1. Nyeri perut sejak 1 minggu.

2. Perut membesar sejak 2 bulan.

3. Demam tidak terlalu tinggi, berat badan menurun.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk memeriksa asites adalah tes undulasi dan tes shifting dullness. Cara melakukan tes undulasi 5 : (Lihat Gambar 1)

1. Minta asisten menekan kedua tanganpada midline abdomennya (kanan kiri).

2. Ketuklah satu sisi abdomen dengan jari dan rasakan pada sisi yang lain dengan tangan yang lain, adanya getaran yang diteruskan cairan asites.

Cara melakukan tes shifting dullness 6 : (Lihat Gambar 1 dan 2)1. Pasien diminta berbaring dan membuka baju.

2. Lakukan perkusi dari umbilikus ke sisi lateral.

3. Apabila terdapat perubahan suara dari timpani ke redup, tandai tempat terjadinyaperubahan suara tersebut.

4. Minta pasien miring ke arah kontralateral dari arah perkusi.

5. Tunggu 30 - 60 detik.6. Lakukan perkusi kembali pada daerah yang ditandai tadi sampai terjadi perubahan bunyi dari redup ke timpani.Pada pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah asites, demam, pembengkakan perut dan nyeri, pucat serta kelelahan. Pada penyakit yang menahun dapat dijumpai keadaan kurus dan kahektik. Pada perempuan sering dijumpai tuberkulosis peritoneal disertai dengan proses tuberkulosis pada ovarium atau tuba, sehingga sulit dibedakan dari kista ovarii. Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan massa, walaupun jarang ditemukan. Pemeriksaan lain dapat juga ditemukan tanda-tanda obstruksi, fistula, dan juga perdarahan masif.1,2

Berdasarkan kasus, dari pemeriksaan fisik didapat gizi kurang, anemia ringan, asites moderate, dan nyeri tekan di seluruh perut.

Gambar 1. Tes shifting dullness dan tes undulasiSumber : Internet, web Google Images dengan kata kunci shifting dullness

Gambar 2. Tes shifting dullnessSumber : Cpyright 2010, Cognition Studio, IncPemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan USG dapat dilihat pada penyakit tuberkulosis peritoneal adalah adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Dapat juga berupa abses dalam adomen, massa di daerah ileosekal dan pemesaran kelenjar limfe peritoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum.1,7Pada pemeriksaan CT-scan untuk tuberkulosis peritoneal tidak ada suatu gambaran yang khas, secara umum ditemukan gambaran peritoneum yang berpasir. Tetapi pemeriksaan ini dapat membedakan antara keganasan peritoneal dan tuberkulosis peritoneal. Gambaran paling jelas dilihat pada peritoneum parietalis. Pada tuberkulosis peritoneal, peritoneumnya licin dengan penebalan minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan gambaran tuberkulosis peritoneal, sedangkan karsinoma peritoneal terlihat adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang tak teratur.1Pada peritoneoskopi dapat ditemukan tuberkel yang khas dan dapat dilakukan biopsi yang terarah. Cara ini merupakan cara terbaik untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneum, namun tindakan ini sulit untuk dilakukan jika terjadi perlengketan yang luas. Hasil histologi yang terpenting adalah ditemukannya granuloma pada biopsi, terutama granuloma perkejuan. Gambaran yang dapat ditemukan pada tuberkulosis peritoneal 1 : 1. Tuberkel kecil atau besar pada dinding peritoneum atau pada organ lain dalam rongga peritoneum seperti hati, omentum, ligamentum atau usus.

2. Perlengketan di antara usus, omentum, hati, kandung empedu dan peritoneum.3. Penebalan peritoneum.4. Adanya cairan eksudat atau purulen, mungkin cairan bercampur darah.

Pada laparatomi diagnostik dilakukan pada kasus-kasus dimana cara lain yang lebih sederhana tidak memberikan kepastian diagnosis atau dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus.1Working Diagnosis (Diagnosis Kerja)Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta menyesuaikan dengan gejala-gejala, maka pasien diduga menderita tuberculosis peritoneal.Differential Diagnosis (Diagnosis Banding)

Different diagnosis untuk kasus tuberculosis peritoneal adalah keganasan. Antara tuberkulosis peritoneal dengan keganasan pada gastrointestinal sulit dibedakan. Dapat dibedakan dari hasil CT-scan. Pada tuberkulosis peritoneal, peritoneumnya licin dengan penebalan minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan gambaran tuberkulosis peritoneal, sedangkan keganasan (seperti karsinoma peritoneal) terlihat adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang tak teratur.1Etiologi

Tuberkulosis peritoneal terutama disebabkan oleh M.tuberculosis, tetapi penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Mycobacterium bovis. Di negara US, M.bovis merupakan organisme yang sering menyebabkan tuberkulosis pada binatang peliharaan dan manusia. M.tuberculosis merupakan bakteri tahan asam, berbentuk basil yang dapat menginfeksi primata termasuk manusia. Manusia merupakan resevoir utama dari M.tuberculosis. Bakteri ini menyebar dari manusia satu ke manusia lainnya melalui udara.2Epidemiologi

Secara umum penyakit ini lebih banyak mengenai perempuan dibandingkan dengan pria dengan perbandingan 1,5 : 1. Penyakit ini lebih banyak mengenai orang dengan umur 30-40 tahun. Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2 % dari seluhuh kasus tuberkulosis paru dan 59,8 % dari tuberkulosis abdominal. Peneliti lain melaporkan dari 91 pasien tuberkulosis peritoneal hanya 2 pasien yang dideteksi ada tuberkulosis parunya. Kasus tuberkulosis peritoneal sendiri di negara maju semakin meningkat. Di Kanada dilaporkan pada tahun 1988 ditemukan 81 kasus tuberkulosis abdominal dan 41 diantaranya merupakan kasus tuberkulosis peritoneal. Di Indonesia, Daldiyono menemukan 15 kasus tuberkulosis peritoneal di RSCM dalam periode 1968-1972.1Patogenesis

Peritoneum dapat terinfeksi oleh kuman M.tuberculosa dengan berbagai cara 1 : 1. Melalui penyebaran secara hematogen, terutama dari paru-paru

2. Melalui dinding usus yang terinfeksi

3. Dari kelenjar limfe mesenterium

4. Melalui tuba falopii yang terinfeksi

Berdasarkan patologi, tuberkulosis peritoneal dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu 1 :

1. Bentuk eksudatif

Gejala yang terutama adalah asites. Tuberkel sering ditemukan kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan nampak tersebar di peritoneum.

2. Bentuk adesif

Pada bentuk ini tidak terbentuk banyak cairan, usus dibungkus oleh peritoneum dan omentum yang mengalami fibrosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa pada perabaan abdomen.

3. Bentuk campuran

Bentuk ini disebut juga bentuk kista. Pembentukan kista terjadi melalui proses eksudasi dan adesi sehingga terbentuk cairan dari kantong-kantong perlengketan tersebut.Manifestasi Klinik / Gejala KlinisKeluhan pada tuberkulosis peritoneal tidak spesifik dan sangat bervariasi . Pada kasus dimana tuberkulosis peritoneal tidak disertai dengan tuberkulosis paru mempersulit penegakkan diagnosa. Seringkali pasien tidak menyadari bahwa dirinya mengalami penyakit ini. Keluhan yang paling sering disampaikan oleh pasien adalah tidak ada nafsu makan, batuk, dan demam.1Beberapa mengeluh sakit perut yang tidak terlokalisir letaknya, pembengkakan perut, keringat malam, kelelahan, berat badan turun dan mencret. Beberapa diantaranya mengeluh kembung, BAB darah dan konstipasi. Diantara keluhan-keluhan tersebut, keluhan yang paling sering disampaikan oleh pasien adalah sakit perut. Jika penyakit ini mengenai area duodenum, maka keluhan dan gejala yang dikeluhkan mirip dengan penyakit ulkus peptikum.1Penatalaksanaan Medikamentosa

Pengobatannya sama dengan tuberkulosis paru. Obat-obatan seperti streptomisin, INH, etambutol, rifampicin, pirazinamid memberikan hasil yang baik, perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan. Lama pengobatan dapat mencapai 9- 18 bulan lebih.1

Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberculosis. Kadar serendah 0,4 g/mL dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar M.tuberculosis strain human dan bovin dihambat dengan 10 g/mL. Efek samping jarang terjadi karena dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise dan bersifat nefrotoksik. Dosisnya 20 mg/kg BB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu.8

INH atau isoniazid atau isonikotinil hidrazid bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid sehingga pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Efek sampingnya adalah dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular, mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, tinitus, dan retensi urin. Dosisnya 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari.8

Etambutol tidak efektif untuk kuman lain selain M.tuberculosis dan M.kansasii. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Jika ada efek samping, yang paling penting adalah gangguan penglihatan. Dosis harian sebesar 15 mg/kgBB.8

Rifampisin dapat menghambat pertumbuhan M.tuberculosis. rifampisin jarang menimbulkan efek samping yang tidak diingini. Efek samping yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, muntah, dan menyebabkan warna urine menjadi merah. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg adalah 60 mg/hari.8

Pirazinamid menghambat sempurna pertumbuhan kuman tuberkulostatik dalam monosit. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan dalam satu hari atau beberapa kali sehari.8Penatalaksanaan Non Medikamentosa

Istirahat yang cukup dapat membantu proses penyembuhan tuberkulosis peritoneal. Serta membantu pemulihan gizi jika terjadi kekurangan gizi.Pencegahan

Pemakaian alat pelindung seperti masker ketika beraktivitas di luar rumah karena bakteri M.tuberculosis dapat menyebar lewat udara, jangan meludah sembarangan, dan bila batuk, sebisa mungkin tutupi dengan saputangan atau dengan tangan.

Prognosis

Prognosis tuberkulosis peritoneal cukup baik bila diagnosis dapat ditegakkan dan biasanya akan sembuh dengan pengobatan anti tuberkulosis yang adekuat.8Penutup

Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat lain. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering diagnosa terlambat baru diketahui. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.

Jadi, hipotesis diterima, penderita pada kasus mengalami tuberculosis peritoneal.Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.727-30.2. Yamada T, Alpers DH, Laine L, Kaplowitz N, Owyang C, Powell DW, editor. Textbook of gastroenterology. 4th ed. United States: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2003.h.81-3.3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Surabaya: Erlangga; 2007.h.7-10.

4. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.315.

5. Davey P. At a glance medicine. Edisi 1. Jakarta: Erlangga; 2005.h.47.

6. Meadow SR, Newell SJ. Lecture notes: pediatrika. Edisi 7. Jakarta: Erlangga; 2005.h.40.

7. Sacher R, McPherson R. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.h.639.8. Gunawan SG, editor. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.513-4.9